32
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang terdiri dari bermacam- macam suku bangsa. Keberanekaragaman suku bangsa tersebut yang menjadikan bangsa Indonesia memiliki kebudayaan yang agung. Warisan kebudayaan dari nenek moyang yang masih bisa dinikmati dan dijumpai pada saat ini antara lain berupa candi, prasasti, benda-benda bersejarah, dan peninggalan-peninggalan yang lainnya. Sebagian besar bangsa Indonesia pasti sudah tidak asing dengan peninggalan-peninggalan tersebut, karena candi dan relief biasanya lebih terkenal dibandingkan peninggalan kebudayaan lainnya. Berbeda dengan peninggalan kebudayaan yang berupa naskah. Naskah merupakan peninggalan kebudayaan yang sering diabaikan dan ditinggalkan dibanding dengan peninggalan lainnya. Naskah merupakan tuangan sebuah ide, gagasan yang di dalamnya menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan yang mendalam tentang kehidupan masyarakat pada zamannya. Robson (1994:1) mengemukakan bahwa naskah adalah kesusastraan tertulis dalam bentuk buku tulisan tangan yang dipergunakan untuk mencatat hal-hal yang penting. Naskah dipandang sebagai dokumen budaya, gambaran dari kehidupan bangsa Indonesia pada masa lampau. Mengingat umur naskah yang sangat tua, kondisi naskah pasti mengalami kerusakan-kerusakan karena termakan oleh zaman. Maka naskah-naskah lama yang masih ada harus segera dilakukan penanganan khusus. Penanganan terhadap naskah bertujuan agar isi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang · bahwa naskah adalah kesusastraan tertulis dalam bentuk buku tulisan tangan ... Wayang 7. Cerita Wayang 8. Piwulang atau ajaran 9. Syair Puisi

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang terdiri dari bermacam-

macam suku bangsa. Keberanekaragaman suku bangsa tersebut yang

menjadikan bangsa Indonesia memiliki kebudayaan yang agung. Warisan

kebudayaan dari nenek moyang yang masih bisa dinikmati dan dijumpai pada

saat ini antara lain berupa candi, prasasti, benda-benda bersejarah, dan

peninggalan-peninggalan yang lainnya. Sebagian besar bangsa Indonesia pasti

sudah tidak asing dengan peninggalan-peninggalan tersebut, karena candi dan

relief biasanya lebih terkenal dibandingkan peninggalan kebudayaan lainnya.

Berbeda dengan peninggalan kebudayaan yang berupa naskah. Naskah

merupakan peninggalan kebudayaan yang sering diabaikan dan ditinggalkan

dibanding dengan peninggalan lainnya.

Naskah merupakan tuangan sebuah ide, gagasan yang di dalamnya

menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan yang mendalam tentang

kehidupan masyarakat pada zamannya. Robson (1994:1) mengemukakan

bahwa naskah adalah kesusastraan tertulis dalam bentuk buku tulisan tangan

yang dipergunakan untuk mencatat hal-hal yang penting.

Naskah dipandang sebagai dokumen budaya, gambaran dari

kehidupan bangsa Indonesia pada masa lampau. Mengingat umur naskah yang

sangat tua, kondisi naskah pasti mengalami kerusakan-kerusakan karena

termakan oleh zaman. Maka naskah-naskah lama yang masih ada harus segera

dilakukan penanganan khusus. Penanganan terhadap naskah bertujuan agar isi

2

yang terkandung di dalam naskah dapat dinikmati atau dipelajari oleh

masyarakat sekarang, selain itu untuk menghindari kepunahan naskah karena

rusak atau hilang, dan mempertahankan bukti-bukti sejarah.

Bidang yang sesuai untuk penanganan naskah adalah bidang filologi,

dan yang menangani naskah adalah seorang filolog. Edwar Djamaris (2002:7)

mengungkapkan bahwa tugas utama seorang filolog adalah mendapatkan

kembali naskah yang bersih dari kesalahan, yang berarti memberikan

pengertian yang sebaik-baiknya dan yang bisa dipertanggungjawabkan,

sehingga kita dapat mengetahui naskah yang paling dekat dengan aslinya

karena naskah itu sebelumnya mengalami penyalinan untuk kesekian kalinya,

serta cocok dengan kebudayaan yang melahirkannya. Suatu naskah ditangani

agar isi yang terkandung di dalamnya bisa diungkapkan kembali dan informasi-

informasi masa lampau bisa disebarluaskan kepada masyarakat. Penanganan

tersebut meliputi perbaikan huruf dan bacaan, ejaan, bahasa, tata tulisnya,

kemudian menyunting dan mengalihaksarakan dengan disertai komentar atau

tafsiran, dan yang terakhir adalah menerbitkan kembali naskah yang telah

bersih dari kesalahan.

Dari segi bahasa, jenis naskah ada bermacam-macam, antara lain,

naskah Bali, Aceh, Batak, Madura, naskah Melayu dan tidak terkecuali adalah

naskah Jawa. Naskah Jawa memiliki banyak jenis yang dapat diketahui dari

isinya. Penjenisan naskah Jawa berdasarkan isinya oleh Nancy K. Florida

(2000: 5) adalah sebagai berikut:

1. Sejarah

2. Arsip Keraton Surakarta

3

3. Upacara Adat

4. Arsitektur dan Keris

5. Hukum

6. Wayang

7. Cerita Wayang

8. Piwulang atau ajaran

9. Syair Puisi

10. Roman Islam

11. Sejarah Islam

12. Musik dan Tari

13. Adat dan pengetahuan tentang Jawa, di antaranya meliputi:

a. Ramalan

b. Perhitungan waktu

c. Obat-obatan

14. Mistik Kejawen

Berdasarkan beberapa klasifikasi naskah di atas, ketertarikan peneliti

tertuju pada naskah yang termasuk dalam jenis naskah sejarah dengan judul

“Sêrat Sajarah Urun Wijining Karaton”. Dilihat dari segi isinya, naskah

“Sêrat Sajarah Urun Wijining Karaton” merupakan naskah yang berisi

pengetahuan tentang sejarah Keraton dari Ki Ageng Tarub sampai Kangjeng

Gusti Pangeran Adipati Arya (selanjutnya disingkat KGPAA) Mangkunegara

IV. Keraton adalah daerah tempat seorang penguasa memerintah atau tempat

tinggalnya. Dalam pengertian sehari-hari, keraton sering merujuk pada istana

penguasa di Jawa. Dalam Bahasa Jawa, kata karaton berasal dari kata dasar

4

ratu yang berarti penguasa. Sedangkan dalam Bahasa Melayu bisa di artikan

sebagai datuk atau datu yang kemudian akan dikenal dengan istilah kedaton.

Di Surakarta istilah kedaton merujuk pada kompleks tertutup bagian dalam

keraton tempat raja dan putra-putrinya tinggal. Jadi bisa disimpulkan bahwa

keraton merupakan tempat tinggal orang-orang yang mempunyai kuasa di

Jawa.

Dalam naskah ”Sêrat Sajarah Urun Wijining Karaton” menceritakan

tentang silsilah keturunan keraton, yang bisa diartikan sebagai silsilah orang-

orang yang berkuasa di tanah Jawa. Episode-episode yang ada dalam naskah

”Sêrat Sajarah Urun Wijining Karaton” ada yang sama dengan naskah

Babad Tanah Jawi, tetapi tidak semua sama persis. Naskah ”Sêrat Sajarah

Urun Wijining Karaton” lebih menekankan pada silsilah keraton yang

dimulai dari Ki Ageng Tarub sampai dengan KGPAA Mangkunegara IV atau

nama aslinya Raden Mas Sudira. Sedangkan di dalam Babad Tanah Jawi

cakupan ceritanya lebih meluas.

Naskah “Sêrat Sajarah Urun Wijining Karaton” sudah dialih

aksarakan oleh Sutarmo dan Suyatno, pihak Reksapustaka. Namun setelah

ditelusuri lebih lanjut, masih terjadi banyak kesalahan dalam pemenggalan

kata dan kekeliruan dalam alih aksara. Naskah ini masih banyak terdapat

kesalahan-kesalahan penulisan yang apabila tidak dilakukan penelitian lebih

lanjut akan menimbulkan perbedaan persepsi yang dapat menyesatkan bagi

pembaca. Maka dari itu amat disayangkan apabila naskah ini tidak diteliti

secara filologis.

5

Langkah awal penelitian filologi adalah inventarisasi naskah melalui

katalog-katalog, yaitu Descriptive Catalogus of the Javanese Manuscripts

and Printed Book in the Main Libraries of Surakarta and Yogyakarta

(Girardet-Sutanto, 1983), Javanese Language Manuscripts of Surakarta

Central Java A Preliminary Descriptive Catalogus Level I and II (Nancy K.

Florida, 1996), Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 3B

(Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1998), Katalog Induk Naskah-

naskah Nusantara Jilid 4 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

(Behrend, 1998), dan Katalog Naskah Lokal Perpustakaan Reksapustaka

Pura Mangkunegaran Surakarta.

Berdasarkan hasil inventarisasi dari 5 katalog tersebut, hanya

ditemukan satu naskah yang berjudul ”Sêrat Sajarah Urun Wijining

Karaton” (selanjutnya disingkat STWK). Naskah tersebut tersimpan di

Perpustakaan Reksapustaka Surakarta dengan nomor naskah B 38 (Katalog

lokal Reksapustaka) dan di dalam Descriptive Catalogus of the Javanese

Manuscripts and Printed Book in the Main Libraries of Surakarta and

Yogyakarta naskah tersebut bernomor 22110 (Girardet-Sutanto, 1983).

Gambar 1: Punggung naskah

6

Judul naskah tertulis pada cover dalam naskah yang di dalamnya juga

sedikit menjelaskan tentang isi naskah. Di samping itu juga dicantumkan

tentang pengarang naskah yaitu Raden Ngabehi Karyarujita.

Gambar 2: Cover dalam

Cover dalam yang berbunyi:

“Punika sajarah turun wijining karaton, wiwit Ki Agêng Tarub peputra Rara

Nawangsih kagarwa Raden Bondhan Kajawan, dumugi Kangjêng Gusti Pangeran

Adipati Arya Mangkunagara ingkang kaping IV peputra Kangjêng Ratu

Pakubuwana Prameswari Dalêm Ingkang Sinuhun Kangjêng Susuhunan

Pakubuwana ingkang kaping sadasa. Karanganipun Raden Ngabehi Karyarujita

Abdi dalêm mantri garap ing kantor Radyapustaka”.

Terjemahan:

“Ini Sejarah keturunan Keraton, dari Ki Ageng Tarub berputra Rara Nawangsih

yang diperistri Raden Bondhan Kajawan, sampai dengan Kangjeng Gusti

Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV berputra Kangjeng Ratu Pakubuwana

Permaisuri Raja Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana X. Karangan

Raden Ngabehi Karyarujita abdi dalem juru tulis di kantor Radyapustaka”.

7

Pada naskah STWK juga terdapat kolofon yang berada di halaman

pertama pupuh pertama. Kolofon tersebut berbunyi:

“Dadi suci samadyaning bumi/ ari Dite Pahing wuku Maktal/ guru

wurukung gigise/ kanêm Kunthara Windu/ leking Sura purnama siddhi/ Ehe

sangkala ijrah/ nalika mangapus/ paksa karya wedha Nata/ cecarangan

aluranireng leluri/ kang sinungsih ing suksma//”.

Artinya: “menjadi suci di tengah-tengah bumi/ hari Minggu Pahing

wukunya Maktal/ hari yang ketujuh/ mangsa keenam Kunthara Windu/ bulan

Sura ketika bulan purnama/ dengan penanda tahun Ehe Ijrah/ ketika

mengarang/ paksa karya wedha Nata (1842)/ cerita episode baru tentang

urutannya leluhur/ yang diberi berkah oleh Tuhan//”

Gambar 3: Kolofon

Di dalam naskah tersebut ditulis sengkala, yaitu penanda tahun dengan

kata-kata yang berbunyi “paksa karya wedha Nata” yang berarti tahun 1842

Jawa.

8

Naskah STWK merupakan naskah tunggal yang berbentuk tembang.

Hal ini bisa dilihat dari adanya penanda pupuh “purwapada“ yang terletak di

awal teks, “madyapada” di tengah teks, dan “wasanapada” di akhir teks.

Tanda ini menjelaskan atau merupakan bukti bahwa naskah STWK tersebut

berbentuk sebuah tembang.

Gambar 4: Purwapada

Adanya tanda “madyapada” yang terletak di tengah teks. Tanda

“madyapada” di atas berbunyi mandrawa yang berarti bahwa teks tersebut

masih jauh atau masih lama berakhirnya.

Gambar 5: Madyapada

Terdapat satu penulisan “madyapada” yang berbeda sendiri dengan

yang lainnya. Penulisan tersebut berada dipergantian antara pupuh pertama

dengan pupuh kedua.

Gambar 6: Madyapada yang berbeda

9

Adanya tanda “ wasanapada “ yang terletak di akhir teks. Tanda

“wasanapada” di atas berbunyi iti atau titi yang menjelaskan atau

merupakan bukti bahwa berakhirnya naskah STWK tersebut .

Gambar 7: Wasanapada

Bentuk tembang naskah STWK juga ditandai dengan adanya tanda

padaluhur yang fungsinya untuk menandai di setiap pergantian bait.

Gambar 8: Pada luhur

Naskah STWK terdiri dari 83 halaman dan rata-rata terdiri dari 18

baris di setiap halamannya. Naskah STWK disajikan dalam bentuk puisi atau

tembang yang dituangkan dalam 14 pupuh tembang. Berikut tabel jenis

tembang dan jumlah bait teks STWK:

Tabel 1. Jenis Tembang dan Jumlah Bait

No. Jenis Tembang Jumlah Bait Halaman

1. Dhandhanggula 51 1-13

2. Asmaradana 21 13-16

10

3. Gambuh 151 16-35

4. Megatruh 21 35-38

5. Maskumambang 81 38-46

6. Pocung 32 46-49

7. Pangkur 10 49-51

8. Kinanthi 54 51-59

9. Durma 14 59-61

10. Sinom 28 61-67

11. Girisa 13 67-70

12. Juru demung 8 70-71

13. Dhandhanggula 45 71-82

14. Kinanthi 8 82-83

Tinta yang digunakan dari awal hingga akhir adalah tinta berwarna

hitam. Akan tetapi, pada halaman 1-29 pemakaian tintanya tipis. Sedangkan

pada halaman selanjutnya, penggunaan tinta tebal sehingga menimbulkan tinta

agak tembus ke halaman baliknya. Tulisan teks STWK adalah miji ketumbar

dengan gaya tulisan yang miring ke kanan. Dalam lembar teks terdapat garis

tepi berupa garis tipis menggunakan pensil. Cara penulisan naskah ditulis

secara bolak balik (recto verso) yaitu lembaran naskah yang ditulisi pada kedua

halaman muka dan belakang.

Pada naskah ini terdapat keunikan dalam penulisan halamannya.

Terdapat dua macam halaman, yaitu dengan angka aksara Jawa dan juga

11

dengan angka Arab. Tetapi penulisan halaman antara angka Jawa dengan

angka Arab mengalami perbedaan, selisih satu nomor.

Gambar 9: Penulisan halaman

STWK dipilih sebagai objek kajian penelitian didasari oleh dua alasan.

Pertama adalah dari segi filologis dan kedua dari segi isi. Alasan tersebut

antara lain sebagai berikut :

1. Segi filologis

Secara Filologis banyak ditemukan varian atau permasalahan tentang

kesalahan penulisan di dalam naskah STWK. Varian-varian yang terdapat

dalam naskah STWK ini , yaitu :

a. Lakuna, yaitu bagian yang terlampaui atau kelewatan

Terdapat kata “mri” yang seharusnya “mring”.

Gambar 10: Lakuna

“...tan pait mri Jeng Susunan Kudus...”

Kata “mri” mengalami pembetulan berdasarkan pertimbangan linguistik

dan konteks kalimat menjadi mring yang artinya “kepada”.

12

b. Adisi, yaitu bagian yang berlebihan atau penambahan.

Terdapat kata ”pangingkising” yang seharusnya “pangikising”.

Gambar 11: Adisi

“...pangingkising driyanira...”

Kata “pangingkising” mengalami pembetulan berdasarkan pertimbangan

linguistik dan konteks kalimat menjadi pangikising yang artinya

“mengikis”.

c. Hiperkorek yaitu perubahan ejaan karena pergeseran lafal.

Terdapat kata “kerit” yang seharusnya “kerid”.

Gambar 12: Hiperkorek

“….kerit..”

Kata “kerit” mengalami pembetulan berdasarkan pertimbangan linguistik

menjadi kerid.

d. Penulisan yang tidak konsisten

Ketidakkonsistenan penggunaan aksara murda. Ketika menulis nama

orang, ada yang menggunakan aksara murda dan ada yang menggunakan

13

aksara biasa. Kata “Tarub” yang seharusnya menggunakan huruf kapital

pada penulisan Latin, sedangkan pada penulisan aksara Jawa seharusnya

menggunakan aksara Murda.

(a)

“…nênggih Ki Agêng Tarub…”

(b)

“…marma Jaka Tarub tan dadya ji…”

Gambar 13: Ketidakkonsistenan aksara Murda

e. Kesalahan metrum

Gambar 14: Kesalahan mentrum

Kesalahan metrum terdapat pada tembang Sinom (pupuh X, pada 8,

gatra 1) yang tertulis 8i seharusnya 8a, “…ingêla-êla lir putri…” setelah

mengalami pembetulan menjadi “…ingêla-êla lir putra…”.

14

f. Cara penanganan ketika ada kesalahan dalam penulisan

Gambar 15: Kesalahan penulisan 1

“”…sang lir retna lan mantu kawula…”

Gambar 16: Kesalahan penulisan 2

“…lan manehe putraningong…”

Gambar 17: Kesalahan penulisan 3

“…sang retna anjrit kapati/ mulat wengis krodhanira/ pangeran

anarik keris/ saha samangsang(h) aglis…”

Terdapat kata “samangsang(h)” yang seharusnya “samangsah”. Kata

“samangsang(h)” mengalami pembetulan berdasarkan pertimbangan

linguistik menjadi samangsah.

15

Ketika terdapat kesalahan dalam penulisan, penulis menggunakan dua

sandhangan agar huruf tersebut tidak dapat dibaca. Tetapi ada satu kata

yang mengalami kesalahan dalam penulisan, tetapi penulis tidak

menggunakan dua sandhangan dan hanya menambah kata yang benar

tanpa mencoret ataupun menggunakan dua sandhangan agar tidak dapat

dibaca.

g. Cara penulis dalam menyisipkan kata

Gambar 18: Sisipan kata

“…delêrêse ingkang anggalih…”

h. Penamaan nama tembang dengan menggunakan sasmita tembang

Gambar 19: Sasmita tembang

“… tan pegat mrih karahayon…”

Pegat berarti tembang Megatruh, yang berarti pupuh selanjutnya

tembangnya Megatruh.

Keindahan sastra ditemukan di setiap pergantian pupuh pada

naskah STWK dengan menggunakan sasmita tembang yang terletak di

16

akhir pupuh dengan tujuan agar pembaca bisa langsung mengerti pupuh

selanjutnya menggunakan tembang apa. Sasmita tembang adalah

pemberian nama pupuh tembang berupa isyarat, biasanya dalam bentuk

kata, kelompok kata, atau suku kata (Padmosoekotjo, 1953: 35).

i. Keunikan cara penulisan lainnya

Di dalam menulis angka, ada yang menggunakan angka aksara

Jawa, tetapi juga ada yang menulisnya dieja menggunakan aksara Jawa.

Hal ini merupakan sebuah variasi agar pembaca tidak bosan dalam

membaca naskah tersebut.

Gambar 20: Ketidakkonsistenan penulisan angka

2. Segi isi

Berdasarkan segi isi, naskah STWK berasal dari enam kata yaitu serat

yang artinya buku yang memuat cerita (karya sastra), sajarah berarti

silsilah, turun berarti keturunan, wijining bisa diartikan keturunan, dan

karaton berarti tempat tinggal raja-raja (Poerwadarminta, 1939) jadi STWK

memiliki arti karya sastra yang di dalamnya memuat silsilah keturunan para

raja-raja.

17

STWK merupakan naskah yang di dalamnya menjelaskan tentang

silsilah Keraton dari masa Ki Ageng Tarub sampai dengan KGPAA

Mangkunegara IV. Keraton merupakan tempat tinggal raja atau tempat

tinggal orang-orang yang berkuasa di tanah Jawa. Jadi naskah STWK

merupakan naskah yang menceritakan tentang silsilah orang-orang besar

atau raja yang ada di Jawa. Naskah STWK merupakan suatu karya sastra

sejarah. Selain mengandung unsur sastra, di dalamnya juga mengandung

unsur sejarah, keindahan, dan juga unsur khayalan. Karya sastra sejarah

yang diceritakan di dalam naskah STWK termasuk dalam historiografi

tradisional yang memiliki ciri istana sentris dan memiliki fungsi genetis

yang di dalamnya hanya menuliskan hal-hal tertentu saja seperti silsilah atau

yang lainnya yang dianggap penting serta digunakan untuk melacak asal-

usul seseorang.

Historiografi pada masa ini memiliki ciri-ciri magis, religius, bersifat

sakral, menekankan kultus, dewa raja dan mitologi, bersifat anakronisme,

etnosentrisme, dan berfungsi sosial psikologis untuk memberi kohesi pada

suatu masyarakat tentang kebenaran-kebenaran kedudukan suatu dinasti

(Indriyanto, 2001: 2). Historiografi tradisional biasanya dikenal dengan

istilah seperti babad, serat kanda, sajarah, carita, wawacan, hikayat, sejarah,

tutur, salsilah, dan cerita-cerita manurung (Sjamsuddin, 2007: 10). Karya-

karya sejarah yang dihasilkan terdiri dari naskah-naskah dalam bahasa-

bahasa daerah dan sejarah di dalamnya masih difungsikan sebagai mitos

(Dasuki, 2003: 347).

18

Dalam peristiwa-peristiwa sejarah biasanya sering dimunculkan nama-

nama orang yang terkait di dalam ceritanya. Tujuan disebutkan nama-nama

tersebut adalah selain untuk informasi, juga merupakan sebuah alat

legitimasi. Hal ini juga berlaku untuk naskah STWK. Di dalam naskah

STWK disebutkan nama-nama Raja yang dahulu pernah berkuasa di Jawa.

Salah satu raja tersebut adalah KGPAA Mangkunegara IV yang di dalam

naskah ini diceritakan menjadi keturunan dari Jaka Tarub. Hal ini untuk

menguatkan kedudukan KGPAA Mangkunegara IV sebagai seorang raja

dan akan mendapat pengakuan dengan kepatuhan demi melanggengkan

kekuasaannya.

Silsilah raja-raja besar yang pernah berkuasa di Jawa terangkum di

dalam naskah STWK. Hal ini bisa dilihat pada isi naskah berikut:

- Pupuh pertama bait kedua yang menjelaskan bahwa naskah STWK

merupakan naskah yang di dalamnya memuat tentang silsilah orang-

orang yang pernah berkuasa di Jawa (silsilah keraton) yang berbunyi:

ginanjarkên ing sawiji-wiji/ para turun wijining karatyan/ kang

minangka bebukane/ nênggih Ki Agêng Tarub/ sajatine darah ing

Pêngging/ putra Sri Dayaningrat/ ingkang kaping pitu/ dadya kalêrês

kang raka/ lawan Prabu Dayaningrat kang mungkasi/ ing Pêngging

praja harja//

Artinya: “Dihadiahkan satu persatu/ para keturunan keraton/ yang

menjadi cikal bakal/ yaitu Ki Ageng Tarub/ sejatinya keturunan di

Pengging/ anak Sri Dayaningrat/ yang ketujuh/ jadi urutannya kakak/

dengan Prabu Dayaningrat yang terakhir/ di Kerajaan Pengging//

19

Gambar 21: Pupuh pertama bait kedua

- Pupuh empat belas bait ke delapan yang berbunyi:

Samya trahing kali abu/ baboning bawana Jawi/ pinapudyeng wadya

bala/ widadaning prameswari/ ambawani kawibawan/ tumangkaping

wahyu jati//

Artinya: “Yang keturunan dari Bapak/ babonnya Tanah Jawa/ dipuja

oleh semuanya/ ketulusannya prameswari/ sifatnya bijaksana/

mendapatkan wahyu sejati dari Tuhan//”

Gambar 22: Pupuh empat belas bait delapan

20

Berdasarkan hal-hal yang dipaparkan di atas dan juga informasi yang

ada di dalam teks, maka naskah ini dirasa penting untuk diteliti baik secara

filologis maupun secara isi untuk nantinya disunting menjadi naskah yang

bersih dari kesalahan dan juga informasi yang terkandung di dalamnya

dapat diungkapkan sebagai warisan nenek moyang yang berpotensi hilang

karena perubahan jaman.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian dari naskah STWK, sebagai

berikut :

1. Bagaimanakah suntingan teks naskah STWK yang bersih dari kesalahan

sesuai dengan cara kerja filologi?

2. Bagaimana silsilah dari Ki Ageng Tarub sampai KGPAA Mangkunegara IV

yang terdapat dalam naskah STWK?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menyajikan suntingan teks naskah STWK yang bersih dari kesalahan sesuai

dengan cara kerja filologi.

2. Mengungkapkan silsilah dari Ki Ageng Tarub sampai KGPAA

Mangkunegara IV yang terdapat dalam naskah STWK.

21

D. Batasan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan pembatasan masalah

untuk mencegah agar tidak terjadi perlebaran permasalahan. Batasan masalah

tersebut ditekankan pada dua kajian utama, yaitu kajian filologis dan kajian isi.

Kajian filologis digunakan untuk mengupas tentang permasalahan seputar

uraian-uraian dalam naskah melalui cara kerja filologis, yakni meliputi

inventarisasi naskah, transliterasi naskah, kritik teks, aparat kritik, dan

terjemahannya. Sehingga diperoleh suntingan teks yang bersih dari kesalahan-

kesalahan. Kajian isi berfungsi untuk mengungkapkan isi yang terkandung

dalam naskah STWK.

E. Kajian Teori

1. Pengertian Filologi

Secara etimologi, filologi berasal dari bahasa Latin yang terdiri dari

dua suku kata philos dan logos. Philos artinya cinta dan logos artinya kata

(logos juga berarti ilmu). Dengan demikian, filologi secara harfiah berarti

cinta dengan kata-kata (Djamaris, 2002: 6). Adapun filologi Jawa adalah

ilmu yang mempelajari tentang kata-kata yang objek utama penelitiannya

adalah naskah-naskah lama yang merupakan hasil karya dari kesusastraan di

tanah Jawa.

2. Objek Filologi

Manyambeang (1989: 18) mengatakan bahwa obyek filologi adalah

naskah atau teks dengan menggunakan media bahasa sebagai sarana

penelitian. Naskah dan teks memiliki pengertian yang berbeda. Naskah

22

adalah kesusastraan tertulis dalam bentuk buku tulisan tangan yang

dipergunakan untuk mencatat hal-hal yang penting. Sedangkan teks adalah

kandungan atau muatan naskah, sesuatu yang abstrak yang hanya dapat

dibayangkan saja (Hartini, 2012: 19).

3. Langkah Kerja Penelitian Filologi

Langkah kerja penelitian filologi menurut Edwar Djamaris (2002:

10), meliputi inventarisasi naskah, deskripsi naskah, pertimbangan dan

pengguguran naskah, dasar-dasar penentuan naskah yang asli atau naskah

yang berwibawa, transliterasi naskah, dan suntingan teks. Adapun menurut

Edi S. Ekadjati dalam kumpulan makalah filologi (1992: 1-8), langkah kerja

dalam penelitian filologi terdiri dari inventarisasi naskah, deskripsi naskah,

perbandingan naskah, pemilihan teks yang akan diterbitkan, ringkasan isi

naskah, alih aksara dan penyajian teks. Akan tetapi teori-teori tersebut

digunakan sesuai dengan kondisi naskah yang akan diteliti.

Penanganan naskah STWK ini menggunakan langkah kerja penelitian

filologi menurut Edwar Djamaris yang dimodifikasi dengan langkah kerja

Edi S Ekadjati dengan menghilangkan perbandingan naskah dalam

penggarapannya. Adapun langkah kerja penelitian filologi naskah STWK

adalah sebagai berikut :

a. Penentuan Sasaran Penelitian

Langkah awal yang dilakukan dalam penelitian filologi adalah

penentuan sasaran penelitian. Sasaran penelitian bisa dipilih dari segi

tulisan (huruf), bahasa, bentuk, bahan, maupun isinya. Dari segi tulisan,

ada naskah yang hurufnya Jawa, Arab, Bali, Sasak, dan Batak. Dari segi

23

bahasa ada yang berbahasa Jawa, Sunda, dan Melayu. Adapun dari segi

bentuk ada yang berbentuk puisi dan prosa. Dari segi bahan ada yang

berbahan kertas, lontar, dan rotan. Dan dari segi isi ada yang berisi

sejarah, piwulang, kakawin, dan lain sebagainya.

Berdasarkan keanekaragaman naskah tersebut, sasaran

penelitian sudah ditentukan naskah bertuliskan Jawa carik yang ditulis

pada kertas, berbentuk tembang dan berisi tentang silsilah Keraton dari

masa Ki Ageng Tarub sampai dengan KGPAA Mangkunegara IV .

Keseluruhan kriteria yang ditentukan oleh peneliti tersebut telah

terangkum di dalam naskah yang berjudul Sêrat Sajarah Turun

Wijining Karaton.

b. Inventarisasi Naskah

Menurut Edi S. Ekajati (1992), bila hendak melakukan

penelitian filologi, pertama-tama harus mencari dan memilih naskah

yang akan dijadikan pokok penelitian, dengan mendatangi tempat-

tempat koleksi naskah atau mencarinya melalui katalog. Langkah ini

dilakukan untuk mengetahui jumlah naskah, dimana tempat

penyimpanannya, dan penjelasan lain tentang keadaan naskah.

c. Observasi Pendahuluan dan Deskripsi Naskah

Langkah selanjutnya adalah observasi pendahuluan. Setelah

mengecek ke beberapa katalog, akan ditemukan informasi mengenai

naskah yang akan diteliti. Kemudian mengecek data secara langsung ke

tempat penyimpanan naskah. Setelah mendapatkan sumber data yang

24

dimaksud yakni naskah STWK, dilanjutkan dengan langkah selanjutnya

yaitu mendeskripsikan naskah.

Deskripsi naskah merupakan uraian terperinci mengenai suatu

naskah. Melalui deksripsi ini, pembaca bisa mengetahui keadaan

naskah tanpa harus melihat naskah secara langsung. Emuch Herman

Sumantri (1986: 2) menguraikan bahwa deskripsi naskah merupakan

sarana untuk memberikan informasi atau data mengenai : judul naskah,

nomor naskah, tempat penyimpanan naskah, asal naskah, keadaan

naskah, ukuran naskah, tebal naskah, jumlah baris setiap halaman,

huruf, aksara, tulisan, cara penulisan, bahan naskah, bahasa naskah,

bentuk teks, umur naskah, pengarang atau penyalin, asal-usul naskah,

fungsi sosial naskah, serta ikhtisar teks atau cerita.

d. Ringkasan Isi Naskah

Naskah merupakan produk masa lampau. Oleh karena itu,

biasanya aksara dan bahasa yang dipakai sulit dipahami oleh khalayak

sekarang. Menurut Edi S Ekadjati (1992), ringkasan isi naskah berguna

untuk mempermudah pengenalan isi naskah – naskah yang akan diteliti

lebih lanjut. Ringkasan isi naskah digunakan untuk mengetahui garis

besar kandungan naskah.

e. Transliterasi

Transliterasi adalah penggantian jenis tulisan, huruf demi huruf,

dari abjad yang satu ke abjad yang lain (Siti Baroroh Baried, et al,

1985:65). Transliterasi terhadap suatu naskah sangat perlu dilakukan

karena masyarakat sekarang sudah jarang yang mengerti tentang aksara

25

Jawa. Padahal di dalam naskah terdapat informasi yang bermanfaat dari

nenek moyang.

Naskah STWK adalah naskah tunggal, oleh karena itu peneliti

memilih untuk menggunakan transliterasi standar. Transliterasi standar,

yaitu transliterasi yang disesuaikan dengan ejaan yang berlaku.

f. Kritik Teks

Kritik teks adalah menempatkan teks pada tempat yang

sewajarnya, memberi evaluasi terhadap teks, meneliti atau mengkaji

lembaran naskah dan lembaran bacaan yang mengandung kalimat-

kalimat atau rangkaian kata-kata tertentu (Paul Mass dalam

Darusuprapta, 1984:1). Apabila di dalam naskah STWK terdapat teks

yang mengalami kesalahan, maka akan dibenarkan sesuai dengan

pertimbangan tertentu.

g. Suntingan Teks dan Aparat Kritik

Menurut Darusuprapta (1984:5) suntingan teks merupakan teks

yang telah mengalami pembetulan-pembetulan dan perubahan-

perubahan, sehingga dianggap bersih dari segala kekeliruan. Untuk

menyajikan sebuah bacaan yang bersih dari kesalahan, harus

mengadakan sebuah kritik teks. Alat dari kritik teks adalah aparat kritik.

Menurut Darusuprapta (1984: 8) aparat kritik merupakan uraian

tentang kelainan bacaan, yaitu bagian yang merupakan

pertanggungjawaban ilmiah dalam penelitian naskah, berisi segala

macam kelainan dalam semua naskah yang diteliti.

26

h. Terjemahan

Terjemahan adalah suatu langkah dalam kajian filologi yang

berupa penggantian bahasa naskah ke dalam bahasa lain, misalnya saja

dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia. Hal itu dimaksudkan agar

lebih mudah dipahami masyarakat secara umum.

Dalam penelitian ini, menggunakan metode penerjemahan isi

atau makna sehingga lebih mudah dalam penyampaiannya. Menurut

Darusuprapta (1984:9) terjemahan isi atau makna adalah kata-kata yang

diungkapkan dalam bahasa sumber diimbangi salinannya dengan kata-

kata bahasa sasaran yang sepadan.

4. Pengertian Sejarah, Silsilah

Secara etimologi, kata sajarah berasal dari bahasa Arab yaitu

Sajaratun (syajaroh) yang artinya pohon kehidupan. Maksudnya, segala

hal yang mengenai kehidupan memiliki “pohon” yakni masa lalu itu

sendiri. Sebagai pohon, sejarah adalah awal dari segalanya yang menjadi

realitas masa kini. Syajarah sering dikaitkan pula dengan makna kata

silsilah (juga dari bahasa Arab) yang berarti urutan, seri, hubungan,dan

daftar keturunan. Kata syajarah bersinonim dengan istilah babad dalam

tradisi masyarakat Jawa yang berarti riwayat kerajaan, riwayat bangsa,

buku tahunan, dan kronik (Abd Rahman Hamid, 2011: 4).

Menurut Louis Gottschalk (1985:27), history berasal dari kata

benda Yunani istoria, yang berarti ‘ilmu’. Dalam penggunaannya oleh

filsuf Yunani Aristoteles, istoria berarti suatu pertelaan sistematis

mengenai seperangkat gejala alam, entah susunan kronologi merupakan

27

faktor atau tidak di dalam pertelaan. “Sejarah” digunakan untuk menguji

dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau.

Rekonstruksi yang imajinatif dari masa lampau berdasarkan data yang

diperoleh dengan menempuh proses pengujian dan penganalisisan tersebut

disebut historiografi (penulisan sejarah).

Menurut Kuntowijaya, sejarah adalah rekontruksi masa lalu.

Peristiwa yang terjadi di masa lampau menjadi bagian-bagian dalam

penyusunan kembali sejarah (1995: 17). Selain mendefinisikan sejarah,

Kuntowijaya (1995: 19-35) juga menjelaskan mengenai kegunaan sejarah.

Kegunaan sejarah ada dua yaitu secara instrinsik dan ekstrinsik. Kegunaan

sejarah secara instrinsik meliputi sejarah sebagai ilmu, sejarah untuk

mengetahui masa lampau, sejarah sebagai pernyataan pendapat, dan

sejarah sebagai profesi. Sedangkan kegunaan sejarah ekstrinsik adalah

sejarah sebagai pendidikan moral, sejarah sebagai pendidikan penalaran,

sebagai pendidikan politik, kebijakan, perubahan, masa depan, keindahan,

ilmu bantu, latar belakang, rujukan, dan bukti.

Naskah STWK merupakan naskah yang berjenis sejarah.

Berdasarkan kegunaan sejarah, naskah STWK memiliki guna instrisik

berupa sejarah sebagai cara mengetahui masa lampau dan secara ekstrisik

berupa sejarah sebagai ilmu bantu.

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, silsilah merupakan 1).

Asal usul suatu keluarga berupa bagan; susur galur (keturunan); 2).

Catatan yang menggambarkan hubungan keluarga ternak sampai dengan

beberapa generasi; 3). Penggambaran hubungan antara bahasa induk dan

28

bahasa-bahasa tuturan dalam keluarga bahasa (2008: 1307). Silsilah

merupakan sarana untuk mengetahui sejarah hidup seseorang secara

biologis. Melalui silsilah, bisa ditemukan seseorang tersebut keturunan

dari siapa.

F. Metode Penelitian

1. Bentuk dan Jenis Penelitian

Bentuk penelitian ini bersifat kualitatif deskriptif, yang artinya

pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif yaitu semata-mata

menggambarkan, melaporkan objek penelitian berdasarkan data yang

sebagaimana adanya. Seperti yang diungkapkan oleh Bogdan dan Bikeln

dalam Attar Semi (1993: 24) bahwa pendekatan kualitatif yang bersifat

deskriptif berpandangan bahwa semua penting dan semuanya mempunyai

pengaruh dan berkaitan dengan yang lain. Dengan mendeskripsikan segala

bentuk tanda (semiotik) mungkin akan memberikan suatu pemahaman yang

lebih komprehensif mengenai apa yang sedang dikaji.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian pustaka atau library research yaitu penelitian yang menggunakan

sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data (Edi Subroto,1992:42).

Peneliti dalam pengerjaan datanya dibantu dengan buku-buku, majalah,

naskah cetak, dokumen-dokumen, dan lain sebagainya yang ada di

perpustakaan yang berkaitan dengan objek penelitian.

29

2. Sumber Data dan Data

Sumber data adalah segala sesuatu yang mampu memberikan data

atau menunjuk pada tempat. Sedangkan data adalah yang dihasilkan dari

sumber data. Sumber data disini adalah naskah STWK yang tersimpan di

Perpustakaan Reksapustaka Surakarta dengan nomor katalog B 38.

Sedangkan datanya adalah naskah dan teks STWK yang sudah bersih dari

kesalahan. Selain naskah STWK, peneliti juga menggunakan data sekunder

yang digunakan dalam penelitian ini yang berupa buku-buku dan naskah-

naskah yang di dalamnya membahas tentang sejarah Ki Ageng Tarub dan

sejarah Keraton, seperti Naskah Babad Tanah Jawi, Babad Mataram, dan

Serat Jaka Tarub, dan sumber informasi penunjang lain yang dapat

membantu memberikan informasi yang berkaitan dengan naskah STWK.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan

inventarisasi data. Pengertian inventarisasi naskah adalah usaha-usaha

mendata atau mengumpulkan data. Hal ini ditempuh dengan mencari

informasi naskah di dalam katalog-katalog yang kemudian mendaftar semua

judul naskah yang sama. Setelah mendapat informasi dari katalog-katalog,

langkah selanjutnya adalah mengecek langsung ke lokasi penyimpanan

naskah dan melakukan pengamatan atau observasi.

Teknik selanjutnya adalah mendeskripsikan keadaan naskah. Setelah

itu naskah dialihmediakan menggunakan kamera digital atau kamera

handphone yang kemudian ditransfer ke komputer dengan dilakukan

pengeditan agar naskah mudah dalam pembacaannya. Teknik selanjutnya,

30

menggunakan teknik transliterasi. Teknik ini digunakan agar mendapatkan

alih aksara sekaligus bisa mendapatkan kesalahan dari teks yang sudah

dialihaksarakan dalam bentuk suntingan teks.

Teknik akhir yang digunakan adalah teknik analisis isi (content

analysis). Teknik ini digunakan untuk mengetahui bagaimana tanda-tanda

yang ada pada naskah STWK terbaca dan selanjutnya dianalisis isinya.

4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dibagi menjadi dua, yaitu analisis secara

filologis dan analisis data isi. Analisis data secara filologis menggunakan

metode standart. Metode standart digunakan karena isi naskah dianggap

sebagai cerita biasa, bukan dianggap suci atau penting dari sudut pandang

agama. Robson (1994: 25) menyebutkan jalan keluar dalam metode standar,

antara lain: 1) Apabila penyunting merasa bahwa ada kesalahan dalam teks,

peneliti dapat memberikan tanda yang mengacu pada aparatus kritik dan

menyarankan bacaan yang lebih baik, 2) Jika terdapat teks yang salah,

penyunting dapat memasukkan koreksi ke dalam teks tersebut dengan tanda

yang jelas yang mengacu pada aparatus kritik dan bacaan asli akan didaftar

dan ditandai sebagai “naskah”.

Edwar Djamaris (2002: 24) mengemukakan bahwa hal-hal yang

perlu dilakukan dalam edisi standar, yaitu mentransliterasi teks,

membetulkan kesalahan dalam teks, membuat catatan perbaikan atau

perubahan, memberi komentar atau tafsiran, membagi teks dalam beberapa

bagian dan menyusun daftar kata sukar.

31

Analisis data kedua adalah analisis data berupa isi. Analisi ini

menggunakan metode intepretasi isi yang terkandung di dalam naskah atau

teks. Interpretasi atau penafsiran sejarah seringkali juga disebut dengan

analisis sejarah. Analisis sendiri berarti menguraikan, dan secara

terminologis berbeda dengan sintesis yang berarti menyatukan. Namun

keduanya, analisis dan sintesis, dipandang sebagai metode-metode dalam

intepretasi (Kuntowijoyo, 1995: 100). Dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia (2008:1003) intepretasi adalah pemberian kesan, pendapat atau

pandangan teoretis terhadap sesuatu.

Simpulan akhir merupakan jawaban atas tujuan yang hendak dicapai

dalam penelitian ini. Penarikan kesimpulan berdasarkan pada analisis data

dengan menyajikan hasil suntingan yang bersih dari kesalahan dan

menelaah isi yang terkandung di dalam teks tersebut.

G. SISTEMATIKA PENULISAN

I. Pendahuluan

Yang terdiri dari tujuh subbab meliputi latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, kajian teori, metode

penelitian, dan sistematika penulisan.

II. Pembahasan

Pembahasan diawali dengan pembahasan kajian filologi kemudian

dilanjutkan pembahasan kajian isi.

32

III. Penutup

Berisi kesimpulan dan saran, pada bagian akhir dicantumkan daftar

pustaka, lampiran-lampiran dan daftar istilah dalam naskah STWK .