30
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Prinsip hukum secara universal mengakui bahwa semua orang mempunyai hak yang sama di depan hukum (Equality Before The Law), serta berhak atas perlindungan hukum tanpa diskriminasi apapun. Setiap orang berhak atas Peradilan yang efektif dari Pengadilan Nasional jika ada pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh ketentuan peraturan perundang-undangan 1 . Sejalan dengan asas tersebut. Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia mengatakan bahwa: Tidak seorangpun boleh ditangkap, ditahan, atau diperlakukan secara sewenang-wenang karna setiap orang berhak untuk didengar pendapatnya dimuka umum, diadili secara adil oleh Pengadilan yang bebas dan tidak memihak, baik mengenai hak dan kewajibanya, maupun dalam tuntutan pidana yang ditujukan 2 . Dilihat dari tujuan hukum untuk mewujudkan ketertiban dan keteraturan, kedamaiaan, serta keadilan dapat dirumuskan dengan istilah yakni perlindungan. Jadi secara singkat tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia, tetapi mengayomi manusia itu tidaklah hanya melindungi manusia dalam arti pasif yakni hanya mencegah tindakan sewenang-wenang dan pelanggaran hak saja. Melainkan meliputi pengertian melindungi secara aktif, artinya meliputi upaya untuk 1 H. Parman Soeparman. Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana Bagi Korban Kejahatan. Reflika Aditama.2009.,h. 1. 2 Pasal 8-10 Deklarasi Universal Tentang Hak-Hak Asasi Manusia..

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11573/1/T1_312011018_BAB I.pdf · pledoi . terdakwa dan kuasa hukumnya. Atas vonis tersebut, Antasari

  • Upload
    vanthuy

  • View
    230

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11573/1/T1_312011018_BAB I.pdf · pledoi . terdakwa dan kuasa hukumnya. Atas vonis tersebut, Antasari

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Prinsip hukum secara universal mengakui bahwa semua orang mempunyai

hak yang sama di depan hukum (Equality Before The Law), serta berhak atas

perlindungan hukum tanpa diskriminasi apapun. Setiap orang berhak atas Peradilan

yang efektif dari Pengadilan Nasional jika ada pelanggaran Hak Asasi Manusia

yang dijamin oleh ketentuan peraturan perundang-undangan1. Sejalan dengan asas

tersebut. Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia mengatakan bahwa:

Tidak seorangpun boleh ditangkap, ditahan, atau diperlakukan

secara sewenang-wenang karna setiap orang berhak untuk

didengar pendapatnya dimuka umum, diadili secara adil oleh

Pengadilan yang bebas dan tidak memihak, baik mengenai hak

dan kewajibanya, maupun dalam tuntutan pidana yang

ditujukan2.

Dilihat dari tujuan hukum untuk mewujudkan ketertiban dan keteraturan,

kedamaiaan, serta keadilan dapat dirumuskan dengan istilah yakni perlindungan.

Jadi secara singkat tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia, tetapi

mengayomi manusia itu tidaklah hanya melindungi manusia dalam arti pasif yakni

hanya mencegah tindakan sewenang-wenang dan pelanggaran hak saja. Melainkan

meliputi pengertian melindungi secara aktif, artinya meliputi upaya untuk

1 H. Parman Soeparman. Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam

Perkara Pidana Bagi Korban Kejahatan. Reflika Aditama.2009.,h. 1.

2 Pasal 8-10 Deklarasi Universal Tentang Hak-Hak Asasi Manusia..

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11573/1/T1_312011018_BAB I.pdf · pledoi . terdakwa dan kuasa hukumnya. Atas vonis tersebut, Antasari

2

menciptakan kondisi dan mendorong manusia untuk selalu memanusiakan

manusia3.

Peninjauan Kembali merupakan tugas Mahkamah Agung yang terdapat

dalam Pasal 28 ayat (1) huruf c Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang

Mahkamah Agung, sebagaimana telah diubah terakhir kalinya dengan Undang-

Undang No. 3 Tahun 2009 Perubahan Kedua Atas undang-undang No. 14 Tahun

1985 Tentang Mahkamah Agung yang berbunyi:

Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus

permohonan Peninjauan Kembali putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.

Sehingga Peninjauan Kembali hanya bisa dilakukan satu kali sebagai unsur untuk

melahirkan hukum yang bersifat final.

Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi “menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945”. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2004 juncto Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan, yang pada intinya menyebutkan secara

hierarkis kedudukan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 adalah lebih tinggi dari Undang-Undang. Oleh karena itu, setiap ketentuan

Undang-Undang tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar negara

Republik Indonesia Tahun 1945 (constitutie is de hoogste wet). Jika terdapat

ketentuan dalam Undang-Undang yang bertentangan dengan Undang-Undang

3 Ibid., h. 8

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11573/1/T1_312011018_BAB I.pdf · pledoi . terdakwa dan kuasa hukumnya. Atas vonis tersebut, Antasari

3

Dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945, maka ketentuan tersebut dapat

dimohonkan untuk diuji melalui mekanisme pengujian Undang-Undang.

Ada dua alasan penting sacara doktriner yang tidak dapat ditinggalkan dalam

pembahasan mengenai Peninjauan Kembali, hal demikian telah dimuat dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disingkat KUHAP)4, yakni

conflict van rechtspraak dan novum. Hal yang pertama ialah terdapanya putusan-

putusan yang berlainan dengan keadaan yang dinyatakan terbukti. Hal yang kedua

ialah adanya suatu keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika

diketahui keadaan itu, pada waktu sidang masih berlangsung hasilnya akan berupah

putusan bebas atau putusan lepas dari tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum

tidak dapat diterima, dan juga terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana

yang lebih ringan5.

Kasus Antasari bermula ketika ia diajukan dimuka persidangan Pengadilan

Negeri Jakarta. Oleh Majelis Hakim PN Jakarta yang di Ketuai oleh Hakim Herry

Swantoro. Dalam persidangan tersebut Antasari dianggap terbukti oleh Majelis

Hakim, bekerja sama dengan pengusaha Sigit Haryo Wibisono untuk membunuh

Nasrudin Zulkarnaen, direktur PT Rajawali Putra Banjaran. Namun Antasari

menolak semua tuduhan termasuk perselingkuhan yang menjadi motif utama

pembunuhan tersebut dan mengaku tetap setia kepada Ida Laksmiwati yang telah

menjadi istrinya selama lebih dari 26 tahun. Antasaripun didakwa dengan hukuman

mati dan akhirnya oleh PN Jakarta Selatan ia divonis penjara selama 18 tahun.

4 Lihat masing-masing Pasal 263 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).

5 Oemar Seno Adji, Herziening Gantirung Suap Perkembangan Delik. Erlangga Jakarta, 1981., h.

38-39

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11573/1/T1_312011018_BAB I.pdf · pledoi . terdakwa dan kuasa hukumnya. Atas vonis tersebut, Antasari

4

Statusnya sebagai tersangka membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada

tanggal 4 Mei 2009 memberhentikan dari jabatannya sebagai ketua KPK6.

Pada sidangnya yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 11

Februari 2010. Dalam persidangan Ketua Majelis Hakim Herry Swantoro

menyatakan, semua unsur sudah terpenuhi antara lain, unsur barang siapa, turut

melakukan, dengan sengaja, direncanakan, dan hilangnya nyawa orang lain. Majelis

hakim menyatakan perbuatan terdakwa sudah memenuhi unsur Pasal 55 KUHP,

sehinga majelis hakim tidak sependapat dengan pledoi terdakwa dan kuasa

hukumnya. Atas vonis tersebut, Antasari merencanakan akan mengajukan banding

tetapi tidak jadi. Dalam persidangan di PN Jakarta Selatan. Antasari dijatuhi pidana

penjara 18 tahun. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperkuat

hukuman yang dijatuhkan PN Jakarta Selatan7.

Mahkamah Agung juga menolak permohonan kasasi yang diajukan. Antasari

kemudian mengajukan Peninjaun Kembali dan membawa tiga bukti baru dan 48

kekhilafan hakim yang menjadi dasar buat dirinya mengajukan Peninjaun Kembali.

Namun Peninjauan Kembali tersebut juga ditolak Mahkamah Agung. Tak puas

dengan hal itu, Antasari menggugat KUHAP melalui uji judicial review ke

Mahkamah Konstitusi.

Pada 8 Maret 2013 Antasari Azhar menggugat ke Mahkamah Konstitusi

untuk melakukan judicial review atas Pasal 268 ayat (3) undang-undang No. 8

Tahun 1981 Tentang KUHAP yang memperbolehkan pengajuan Peninjauan

6 Lihat http://www.kompasiana.com/andiansyori/tangisan-antasari-azhar-keadilan-tidak-dapat-

dibatasi-dengan-waktu_54f82c8ca33311a3738b53d1. 12:14 WIB tgl 27 Oktober 2015.

7 ibid

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11573/1/T1_312011018_BAB I.pdf · pledoi . terdakwa dan kuasa hukumnya. Atas vonis tersebut, Antasari

5

Kembali hanya bisa diajukan satu kali. Mahkamah Konstitusi menilai bahwa Pasal

268 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP, melanggar Pasal

28J ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Pasal tersebut menurut Mahkamah Konstitusi tidak dapat diterapkan untuk

membatasi Peninjaun Kembali hanya satu kali karena sangat terkait dengan Hak

Asasi Manusia yang paling mendasar yaitu menyangkut kehidupan manusia.

Mahkamah Konstitusi menilai bahwa asas yuridis overted memang harus ada

karena berkaitan dengan kepastian hukum. Namun untuk keadilan yang berkaitan

dengan perkara pidana asas tersebut tidak dapat diterapkan karena hanya dengan

Peninjaun Kembali satu kali, terlebih lagi ditemukanya bukti baru (novum) hal ini

bertentangan dengan asas keadilan yang dijunjung tinggi.

Dalam isi permohonan yang diajukan oleh Antasari Azhar ke Mahkamah

Konstitusi, bahwa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor

1532/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel, telah diputus pada tanggal 11 Februari 2010, putusan

mana telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dengan putusan

Mahkamah Agung Nomor 1429K/Pid/2010 tanggal 21 September 2010; Bahwa

terhadap putusan Mahkamah Agung Nomor 1429K/Pid/2010 tanggal 21 September

2010, Pemohon I mengajukan upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali

dan diputus oleh Mahkamah Agung Nomor. 117/PK/Pid/2011 tanggal 13 Februari

2012 yang memutuskan menolak permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan.

Bahwa karena telah mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, maka

berdasarkan Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang

KUHAP, Pemohon 1 tidak memiliki upaya hukum lain untuk membersihkan

namanya, jika suatu saat terdapat bukti baru, yang memberikan putusan yang

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11573/1/T1_312011018_BAB I.pdf · pledoi . terdakwa dan kuasa hukumnya. Atas vonis tersebut, Antasari

6

berbeda dengan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor

1532/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel tanggal 11 Februari 2010 juncto putusan Mahkamah

Agung Nomor 1429K/Pid/2010 tanggal 21 September 20108.

Pemohon Antasari Azhar, Perseorangan warga negara Indonesia selaku

terpidana pada perkara pidana di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor

1532/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel yang telah diputus pada tanggal 11 Februari 2010.

Terhadap putusan tersebut Pemohon Antasari Azhar, mengajukan upaya hukum

biasa yaitu permohonan kasasi yang diputus oleh Mahkamah Agung dengan

Putusan Nomor 1429K/Pid/2010, tanggal 21 September 2010 dan terhadap putusan

tersebut, Pemohon Antasari Azhar, mengajukan upaya hukum luar biasa Peninjauan

Kembali dan telah diputus oleh Mahkamah Agung Nomor 117/PK/Pid/2011,

tanggal 13 Pebruari 2012, yang amarnya menyatakan menolak permohonan

Peninjauan Kembali yang diajukan Pemohon Antasari Azhar. Pemohon bermaksud

mengajukan Peninjauan Kembali terhadap perkara tersebut, namun karena

berlakunya Pasal 268 ayat (3) KUHAP, Pemohon Antasari Azhar, tidak dapat

mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali lagi untuk membersihkan namanya,

jika suatu saat terdapat keadaan baru yang dapat memberikan putusan berbeda

dengan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor

1532/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel, tanggal 11 Februari 2010 juncto putusan Mahkamah

Agung Nomor 1429K/Pid/2010, tanggal 21 September 2010. Atas dasar dalil

tersebut yang dihubungkan dengan hak konstitusional yang ditentukan dalam

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, khususnya Pasal 28D ayat (1),

8 Lihat putusan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 Tentang Peninjauan Kembali

Berulang Kali.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11573/1/T1_312011018_BAB I.pdf · pledoi . terdakwa dan kuasa hukumnya. Atas vonis tersebut, Antasari

7

menurut Mahkamah Konstitusi, Pemohon telah mengalami kerugian konstitusional

yang bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut

penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi serta terdapat hubungan sebab

akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional

dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian yang

apabila dikabulkan maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti

yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi9.

Berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan

permohonan Peninjauan Kembali bekali-kali. Sebelumnya Mahkamah Agung

sudah lebih dulu megabulkan Peninjaun Kembali lebih dari sekali. Setidaknya ada

sekitar tujuh kali Mahkamah Agung mengabulkan Peninjauan Kembali yang

diajukan kedua kali. Hal ini berkaitan dengan Surat Edaran Mahkamah No. 10

Tahun 2009 yang isinya menghimbau agar Peninjaun Kembali itu tertib dan

mengaitkan dengan Pasal 268 ayat (3) KUHAP, tetapi di dalamnya juga mengatur

bahwa;

Apabila ada bukti yang saling bertentangan antara satu dengan

lainya maka Peninjauan Kembali tersebut dapat diperiksa.

Dari kasus posisi yang disebutkan di atas maka pertimbangan hakim dalam

kasus Antasari Azhar dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013

Tentang Peninjauan Kembali Berulang Kali. Bahwa para Pemohon mendalilkan

Pasal 268 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat

(1), Pasal 28C ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun1945, penjelasanya sebagai berikut; Pasal 1 ayat (3) yang

9 Ibid

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11573/1/T1_312011018_BAB I.pdf · pledoi . terdakwa dan kuasa hukumnya. Atas vonis tersebut, Antasari

8

menyatakan Negara Indonesia adalah Negara Hukum Pasal 24 ayat (1) yang

menyatakan :

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka

untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan.

Pasal 28C ayat (1) menyatakan :

Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan

kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan

memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni

dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi

kesejahteraan umat manusia,

Pasal 28D ayat (1) yang menyatakan:

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan

kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan

hukum.

Mahkamah Konstitusi mengadili mengabulkan permohonan para Pemohon

Pasal 268 Ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945

Pasal 268 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat Pasal 268 Ayat (3) Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat10.

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2014. Berdasarkan amar

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 34/PUU-XI/2013 tanggal 6 Maret 2014

butir 1.2 dinyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) Undang - Undang Nomor 8 Tahun

10 Ibid

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11573/1/T1_312011018_BAB I.pdf · pledoi . terdakwa dan kuasa hukumnya. Atas vonis tersebut, Antasari

9

1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Untuk terwujudnya kepastian hukum permohonan Peninjauan Kembali,

SEMA perlu memberikan petunjuk sebagai berikut:

1. Bahwa pengaturan upaya hukum Peninjauan Kembali, selain diatur dalam

ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana yang normanya telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana tersebut di atas,

juga diatur dalam beberapa Undang-Undang, yaitu: a). Undang - Undang

Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Pasal 24 Ayat (2), berbunyi:

“Terhadap putusan Peninjauan Kembali tidak dapat dilakukan Peninjauan

Kembali” b). Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985

tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang -

Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang -

Undang Nomor 3 Tahun 2009 Pasal 66 ayat (1), berbunyi: “Permohonan

Peninjauan Kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali”

2. Bahwa dengan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

Pasal 268 ayat (3) Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 34/PUU-XI/2013

tanggal 6 Maret 2014, tidak serta merta menghapus norma hukum yang

mengatur permohonan Peninjauan Kembali yang diatur dalam Pasal 24 ayat

(2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

dan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11573/1/T1_312011018_BAB I.pdf · pledoi . terdakwa dan kuasa hukumnya. Atas vonis tersebut, Antasari

10

1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2009 tersebut;

3. Berdasarkan hal tersebut di atas, Mahkamah Agung berpendapat bahwa

permohonan Peninjauan Kembali dalam perkara pidana dibatasi hanya 1

(satu) kali;

4. Permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan lebih dari 1 (satu) kali

terbatas pada alasan yang diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung

Nomor 10 Tahun 2009 tentang pengajuan Peninjauan Kembali yaitu

apabilah ada suatu objek perkara terdapat 2 (dua) atau lebih putusan

Peninjauan Kembali yang bertentangan satu dengan yang lain baik dalam

perkara perdata maupun perkara pidana;

5. Permohonan Peninjauan Kembali yang tidak sesuai dengan ketentuan

tersebut di atas agar dengan penetapan Ketua Pengadilan tingkat pertama

permohonan tersebut tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak perlu

dikirim ke Mahkamah Agung sebagaimana telah diatur dalam Surat Edaran

Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 200911.

Berkaitan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2014 yang

memeperkuat Peninjaun Kembali hanya satu kali. Dalam hal ini bahwa keadilan

merupakan salah satu tujuan hukum. Tujuan hukum memang tidak hanya keadilan,

tetapi juga kepastian hukum, dan kemanfaatan. Idealnya, hukum memang harus

mengakomodasikan ketiganya. Putusan hakim misalnya sedapat mungkin

11 Surat Edara Mahakamah Agung No. 7 Tahun 2014 Tentang Peninjauan Kembali.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11573/1/T1_312011018_BAB I.pdf · pledoi . terdakwa dan kuasa hukumnya. Atas vonis tersebut, Antasari

11

merupakan resultante dari ketiganya. Sekalipun demikian, tetap ada yang

berpendapat, diantara ketiga tujuan hukum itu, keadilan merupakan tujuan yang

paling penting, bahkan ada yang berpendapat bahwa keadilan merupakan tujuan

hukum satu-satunya. Contohnya ditunjukan oleh seorang hakim Indonesia, Bismar

Siregar mengatakan;

Bila untuk menegakan keadilan saya korbankan kepastian hukum,

akan saya korbankan hukum itu, hukum hanya sarana, sedangkan

tujuanya adalah keadilan12.

Dalam perkembangannya falsafah keadilan sering dikaitkan dengan salah

satu bidang pranata kehidupan yaitu hukum karena keadilan merupakan tujuan yang

paling utama dari hukum. Permasalahnya bila hukum ternyata tidak mampu

mewujudkan nilai keadilan dalam kehidupan bermasyarakat.

Keadilan adalah tolak ukur baik buruknya suatu hukum. Hal ini diperkuat

dengan teori-teori keadilan salah satunya ide dasar aliran Stoa didasarkan atas dua

prinsip yaitu jangan merugikan seseorang dan berikanlah kepada tiap-tiap manusia

apa yang menjadi haknya. Jika prinsip ini ditaati barulah hal itu disebut adil13.

Pendapat aliran hukum alam menyatakan bahwa alam semesta ini diciptakan

dengan prinsip keadilan, sehingga pada norma hukum alam primer yang terdapat

Stoisme menyatakan bahwa “berikanlah kepada setiap orang apa yang menjadi

haknya (unicuique suumtribuere) dan jangan merugikan seseorang (neminem

laedere). Cicero mengatakan bahwa hukum dan keadilan tidak ditentukan oleh

pendapat manusia tetapi oleh alam14.

12 Muhamad Erwin, Filsafat Hukum Refleksi Kritis Terhadap Hukum, Rajawali Pers,2012.. h.218

13 ibid.,228

14 Ibid.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11573/1/T1_312011018_BAB I.pdf · pledoi . terdakwa dan kuasa hukumnya. Atas vonis tersebut, Antasari

12

Sementara menurut pandangan kaum utilitarianisme, ukuran satu-satunya

untuk mengukur sesuatu adil atau tidak adalah seberapa besar dampaknya bagi

kesejateraan manusia (human wefare). Menurut aliran Realisme Hukum yang salah

satu tokohnya John Rawls (A Theory of Justice 1971) berpendapat perlu ada

keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Ukuranya

keseimbangan itu harus diberikan, itulah yang disebut keadilan. Memperlakukan

keadilan sebagai kebijakan utama, berarti memberikan kesempatan secara adil dan

sama bagi setiap orang untuk mengembangkan serta menikmati harga diri dan

martabatnya sebagai manusia15.

Falsafah keadilan adalah untuk mencari jalan keluar dari belenggu kehidupan

secara rasional dengan menggunakan hukum yang berlaku untuk mencapai keadilan

dalam hidupnya. Peranan filsafat keadilan tak pernah selesai terkait dengan

persoalan hukum yang selalu mencari keadilan, hukum dan keadilan adalah dua hal

yang berjalan beriringan dan tidak dapat dipisahkan. Hukum dibuat dan ditetapkan

agar orang yang berada dibawah naungan hukum menikmati dan merasakan

keadilan. Akan tetapi kenyataannya hukum sering kali bertentangan dengan nilai

keadilan. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimana kaitan antara keduanya, serta

dalam kondisi mana hukum sebagai perangkat paling khas dalam masyarakat untuk

menciptakan tata kehidupan masyarakat dan melaksanakan kebijakan dapat dipakai

untuk tujuan keadilan sosial.

Pandangan Aristoteles tentang tujuan hukum bahwa suatu negara didasarkan

atas hukum sebagai satu-satunya sarana yang tepat dan dapat digunakan untuk

15 Ibid.. h.230

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11573/1/T1_312011018_BAB I.pdf · pledoi . terdakwa dan kuasa hukumnya. Atas vonis tersebut, Antasari

13

mencapai kehidupan lebih baik yang merupakan tujuan utama organisasi politik16.

Akan tetapi Aristoteles menyadari bahwa dalam pelaksanaan hukum bukan tidak

mungkin untuk kasus-kasus konkrit akan terjadi kesulitan akibat penerapan hukum

yang kaku. Untuk mengatasi masalah tersebut, Aristoteles menguslkan adanya

equality sebagai koreksi terhadap hukum apabilah hukum itu kurang tepat karena

bersifat umum17 .

Sedangkan Teorinya Gustav Radbruch mengajarkan adanya skala prioritas

yang harus dijalankan, dimana perioritas pertama selalu keadilan, kemudian

kemanfaatan, dan terakhir barulah kepastian hukum. Hukum menjalankan

fungsinya sebagai sarana konservasi kepentingan manusia dalam masyarakat.

Tujuan hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai yang membagi hak dan

kewajiban antara setiap individu didalam masyarakat. Hukum juga memberikan

wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara

kepastian hukum18.

Berbicara mengenai tujuan hukum pada menurut Gustav Radbruch memakai

asas prioritas. Asas prioritas tersebut dijadikan sebagai sebagai tiga nilai dasar

tujuan hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Setiap hukum

yang diterapkan memiliki tujuan spesifik. Tujuan hukum adalah sekaligus keadilan,

kemanfaatan dan kepastian hukum maka faktanya hal tersebut akan menimbulkan

masalah. Tidak jarang antara kepastian hukum berbenturan dengan kemanfaatan,

16 Peter.Marzuki. Pengantar Ilmu Hukum. Kencana Pernada Media Group 2008.,h.107

17 Ibid.

18 Dilihat https://bolmerhutasoit.wordpress.com/2011/10/07/artikel-politik-hukum-tujuan-hukum-

menurut-gustav-radbruch/, 21 Oktober 2015, jam 14:15 WIB.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11573/1/T1_312011018_BAB I.pdf · pledoi . terdakwa dan kuasa hukumnya. Atas vonis tersebut, Antasari

14

antara keadilan dengan kepastian hukum, dan antara keadilan terjadi benturan

dengan kemanfaatan. Contoh yang mudah untuk dipahami adalah jika hakim

dihadapkan dalam sebuah kasus untuk mengambil sebuah keputusannya adil19.

Pembaruan oleh hakim melalui putusannya juga tidak bisa dilakukan secara

maksimal, selain pengaruh civil law system yang menghendaki hakim mendasarkan

diri secara ketat pada bunyi Undang-Undang meski Undang-Undang tersebut telah

ketinggalan zaman. Maka penerapan keadilan dalam pembuatan putusan bukanlah

hal mudah untuk dilakukan. Paradigma berpikir hakim juga lebih condong

mendasarkan diri pada filsafat positivisme hukum. Melihat dari sudut pandang ini

tujuan utama hukum menjadi bukan keadilan melainkan kepastian. Hanya hal yang

bersifat pasti saja yang dapat dijadikan ukuran kebenaran. Ukuran adil cenderung

disesuaikan dengan rasa keadilan pribadi masing-masing. Masyarakat pada

umumnya masih beranggapan putusan hakim yang ada masih kaku dengan dengan

bunyi aturan dalam Undang-Undang. Keadilan adalah hak asasi yang harus

dinikmati oleh setiap manusia yang mampu mengaktualisasikan segala potensi

manusia.

Hukum memiliki fungsi tidak hanya menegakkan keadilan tetapi juga

menegakan kepastian dan kemanfaatan. Berkaitan dengan hal tersebut asas prioritas

yang telah ditelurkan Gustav Radbruch menjadi titik terang dalam masalah ini.

Prioritas keadilan dari segala aspek lain adalah hal penting. Kemanfaatan dan

kepastian hukum menduduki strata dibawah keadilan. Faktanya sampai saat ini

19 Ibid.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11573/1/T1_312011018_BAB I.pdf · pledoi . terdakwa dan kuasa hukumnya. Atas vonis tersebut, Antasari

15

diterapkannya asas prioritas ini membuat proses penegakan dan pemberlakuan

hukum positif di Indonesia masih dapat berjalan.

Terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Pasal 268 ayat

(3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP. Mendapatkan banyak

pendapat yang melahirkan pro dan kontra. Kepala Biro Hukum dan Humas

Mahkamah Agung, Ridwan Mansyur berpendapat bahwa;

Ketentuan Peninjauan Kembali yang membatasi sebenarnya

menyangkut kepastian hukum dan keadilan. Pembatasan itu

masuk ruang lingkup hukum acara yang menjadi pedoman court

of justice peradilan. Peninjauan Kembali boleh berkali-kali,

sampai kapan batas akhirnya, akan lebih banyak perkara narkoba

dan korupsi mengajukan Peninjauan Kembali. Putusan

Mahkamah Konstitusi yang memboleh Peninjauan Kembali lebih

dari sekali juga bisa berimplikasi menghambat pelaksanaan

putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Ketika perkara

sudah dieksekusi, beberapa tahun kemudian seseorang

mengajukan Peninjauan Kembali lagi, sepertinya perkara

tersebut tidak ada akhirnya.20

Sedangkan pendapat yang berbeda disampaikan oleh Hakim Agung Gayus

Lumbuun mengatakan:

Putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan berlakunya

Pasal 268 ayat (3) KUHAP merupakan putusan yang arif dan

bijaksana dalam memahami tujuan hukum yang harus memberi

kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan. Gayus Lumbuun

mengatakan semangat putusan Mahkamah Konstitusi itu bukan

hal baru sebagai terobosan hukum untuk memberi jaminan

kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan kepada masyarakat.

Sebab SEMA No. 10 Tahun 2009 tertanggal 12 Juni 2009

membolehkan pengajuan Peninjauan Kembali lebih dari satu kali

baik terhadap perkara Perdata maupun Pidana. Memberi

kesempatan Peninajaun Kembali lebih dari sekali juga tidak

menjadikan menumpuknya perkara. Soalnya persyaratan

pengajuan Peninjauan Kembali seperti diatur Pasal 268 ayat (2)

KUHAP, seperti adanya keadaan baru (novum) tetap

20 Agus Sahbani, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt531a71cbc4e1c/putusan-mk-tentang-

pk-mengkhawatirkan. Dilihat 14:52 WIB, 21 Oktober 2015.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11573/1/T1_312011018_BAB I.pdf · pledoi . terdakwa dan kuasa hukumnya. Atas vonis tersebut, Antasari

16

berlaku.Menurut Gayus Lambuun, materi putusan Mahkamah

Konstitusi itu harus disikapi dalam revisi KUHAP yang tengah

berjalan. Jika materi revisi KUHAP tidak menyikapi persoalan ini

dengan memberi jalan keluar dalam penerapannya, Mahkamah

Agung bisa membuat peraturan untuk mengisi kekosongan hukum

dalam menjalankan kekuasaan kehakiman demi hukum keadilan

dan Kebenaran21.

Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat berpendapat bahwa:

Diperbolehkannya Peninjauan Kembali diajukan berkali- kali

justru mempertimbangkan asas kehati-hatian dalam memutus.

Dengan prinsip, jika ditemukan novum, upaya hukum luar biasa

itu bisa diajukan dan itu bisa berulang kali22.

Menurut Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva menegaskan

bahwa:

Ketentuan Peninjauan Kemabali berkali-kali seharusnya tidak

menjadi polemik untuk mempertanyakan di mana letak kepastian

hukumnya. Menurutnya, harusnya mengetahui vonis pada tingkat

kasasi telah memberikan kepastian hukum. Karena itu seharusnya

eksekusi bisa dilaksanakan. Kalau tidak bisa dilaksanakan karena

adanya ketentuan Peninjauan Kembali bisa diajukan berkali-

kali23.

Di sisi lain Hakim Agung Suhadi menyatakan :

Peninjauan Kembali di ajukan berulang kali dalam perkara

pidana hanya dapat diajukan satu (1) kali adalah untuk

memberikan kepastian hukum. Selain itu, lambatnya eksekusi

terhadap gembong narkoba24. Hal senada juga diutarakan oleh

hakim ad-hoc tindak pidana korupsi pada tingkat kasasi, Prof.

Dr. Krisna Harahap. Kalau boleh dua kali, tiga kali, empat kali

dan seterusnya, kapan bisa dieksekusi 25.

21 Ibid.

22 Koran Sindo, http://nasional.sindonews.com/read/946663/149/ma-dinilai-membangkangi-

konstitusi-1420520533. Diliahat 15:25 WIB, 21 Oktober 2015.

23 ibid

24 Andi Saputra, http://news.detik.com/berita/2792201/lambatnya-eksekusi-gembong-narkoba-

jadi-salah-satu-alasan-keluarnya-sema. Dilihat 15:35 WIB, 21 Oktober 2015.

25 Ibid..

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11573/1/T1_312011018_BAB I.pdf · pledoi . terdakwa dan kuasa hukumnya. Atas vonis tersebut, Antasari

17

Ketatnya persyaratan untuk permintaan Peninjauan Kembali adalah untuk

menerapkan asas keadilan terhadap pemberlakuan asas kepastian hukum, oleh

karena itu Peninjauan Kembali berorientasi pada tuntutan keadilan. Putusan Hakim

adalah karya manusia yang tidak luput dari kekhilafan Hakim secara manusiawi.

Fungsi Mahkamah Agung dalam Peradilan Peninjauan Kembali adalah untuk

mengadakan koreksi terakhir terhadap Putusan Pengadilan yang mengandung

ketidakadilan karena kesalahan dan kekhilafan Hakim. Oleh karena itu walaupun

pranata Peninjauan Kembali semata-mata didasarkan pada syarat dan pertimbangan

hukum tetapi tujuannya adalah demi keadilan bagi terpidana26.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan

bahwa Indonesia adalah negara hukum. Prinsip ini semula dimuat dalam Penjelasan

yang berbunyi;

Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechsstaat) tidak

berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat).

Materi penjelasan tersebut kemudian diangkat ke dalam Pasal 1 ayat (3)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (perubahan ketiga)

berbunyi:

Negara Indonesia adalah negara hukum.

Demikian pula tentang kekuasaan kehakiman yang mandiri, diangkat dari

Penjelasan menjadi batang tubuh Undang-Undang Dasar Negara Repubik

26 Lihat Makalah Tentang Peninjauan Kembali, oleh H. Abdul Kadir Mappong, S.H., (Wakil

Ketua Mahkamah Agung RI, Bidang Yudisial)

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11573/1/T1_312011018_BAB I.pdf · pledoi . terdakwa dan kuasa hukumnya. Atas vonis tersebut, Antasari

18

Indonesia Tahun 1945 Pasal 24 yat (1). Hal ini akan menguatkan konsep negara

hukum Indonesia27.

Didalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Pasal 24A ayat (1) (perubahan ketiga), Mahkamah Agung berwenang mengadili

pada tingkat kasasi, menguji peraturan Perundang-Undangan dibawah Undang-

Undang terhadap Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainya yang

diberikan oleh Undang-Undang. Wewenang Mahkamah Agung melakukan

pengujian terhadap peraturan Perundang-Undangan dibawah Undang-Undang

selama ini diatur dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-

Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 26 ayat (1) yang berbunyi;

Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah semua

peraturan Perundang-Undang dari tingkat yang lebih rendah

dari Undang-Undang atas alasan bertentangan dengan

pertauran Perundang-Undangan yang lebih tinggi.

Wewenang tersebut dipertegas kembali dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973

dan Ketetapan MPR No. III/ MPR/1973, Pasal 11 Ayat (4) menyatakan:

Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil

peraturan Perundang-Undang dibawah Undang-Undang.

Diatur kembali dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang

Mahkamah Agung yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004

Tentang Perubahan Pertama Atas Undang-Undang No.14 Tahun 1985 Tentang

Mahkamah Agung28.

27 Ni’matul Huda. Lembaga Negara Hukum Masa Trnsisi Demokrasi. UII Pres Yogyakarta 2007.,

h.129-130

28 Ni’imatul Huda. dan R. Nazariyah. Teori & Pengujian Peraturan Perundang-Undangan.

Penerbit Nusantara Media 2011.,h.134-135

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11573/1/T1_312011018_BAB I.pdf · pledoi . terdakwa dan kuasa hukumnya. Atas vonis tersebut, Antasari

19

Dalam Perubahan Ketiga Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun

1945 Pasal 24C ayat (1), Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat

pertama dan terakhir yang putusanya bersifat final untuk menguji Undang-Undang

terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara

yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran

partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Kewenangan tersebut adalah dalam tingkat pertama dan terakhir dan Putusan

Mahkamah Konstitusi bersifat final yaitu langsung mempunyai kekuatan hukum

tetap dan tidak terdapat upaya hukum untuk mengubahanya. Selain wewenang itu,

berdasarkan Pasal 24C ayat (2) jo Pasal 7B, Mahkamah Konstitusi juga

berkewajiban untuk memeriksa, mengadili dan memutus mengenai pendapat DPR

bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum

berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindakan pidana berat

lainya atau perbuatan tercela dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil

Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden29.

Berdasarkan wewenang yang dimiliki Mahkamah Konstitusi merupakan

pengawal konstitusi (the guardian of the constitution) terkait dengan empat

wewenang dan satu kewajiban yang dimilikinya. Hal itu membawa konsekuensi

Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai penafsir konstitusi (the sole interpreter of

the constitution). Konstitusi sebagai hukum tertinggi mengatur penyelenggaraan

negara berdasarkan hukum tertinggi mengatur penyelenggaaraan negara

berdasarkan prinsip demokrasi dan salah satu fungsi konstitusi sehingga menjadi

29 Ibid., h. 144

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11573/1/T1_312011018_BAB I.pdf · pledoi . terdakwa dan kuasa hukumnya. Atas vonis tersebut, Antasari

20

hak konstitusional warga negara. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi juga

berfungsi sebagai pengawal demokrasi (the guardion of the democrazy), pelindung

hak konstitusi warga negara (the protector of the citizen’s constitusional rights)

serta perlindungan hak asasi manusia (the protector of human rights)30.

Sebagai lembaga negara produk reformasi, Mahkamah Konstitusi menjadi

tumpuan ekspektasi masyarakat yang menginginkan terjadinya perbaikan dalam

bidang penegakan hukum. Terkait dengan penegakan prinsip keadilan, Mahkamah

Konstitusi mengedepanan keadilan subtantif yaitu keadilan yang lebih disadarkan

pada kebenaran material dari pada kebenaran formal-prosudural. Hal ini secara

formal-prosudural benar bisa saja disalahkan jika secara material dan subtansinya

melanggar keadilan. Inilah yang terjadi pada pembatasan peromohonan Peninjauan

Kembali yang di batasi satu kali hal ini dapat mencederai rasa keadilan untuk setiap

individu dalam mencari keadilan.

Berkaitan dengan penegakan prinsip keadilan oleh Mahkamah Konstitusi

melahirkan tafsir yang ditentukan dalam putasan Mahkamah Konstitusi dipenuhi

maka suatu norma atau Undang-Undang tetap konstitusional sehingga

dipertahankan legalitasnya. Adapun jika tafsir yang ditentukan dalam putusan

Mahkamah Konstitusi tidak dipenuhi maka suatu norma hukum atau Undang-

Undang menjadi inkonstitusional sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat31.

30 Ibid.,h.145

31 Ibid hlm 148-149

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11573/1/T1_312011018_BAB I.pdf · pledoi . terdakwa dan kuasa hukumnya. Atas vonis tersebut, Antasari

21

Dalam praktek dikenal adanya tiga macam norma hukum yang dapat diuji

atau yang biasa disebut sebagai norm control mechanism. Ketiganya sama-sama

merupakan bentuk norma hukum sebagai hasil dari proses pengambilan keputusan

hukum, yaitu : (i) keputusan normatif yang berisi dan bersifat pengaturan

(regeling), (ii) keputusan normatif yang berisi dan bersifat penetapan administratif

(beschekking) yang biasa disebut vonis32. Ketiga bentuk norma hukum tersebut ada

yang merupakan individual and concrete norms,dan ada pula yang merupakan

general and abstract norm, vonnis dan beschikking selalu bersifat individual and

concrete, sedangkan regeling selalu bersifat general and abstract33.

Seringkali bentuk-bentuk peraturan yang ditetapkan oleh lembaga-lembaga

yang bersifat khusus atau independen tersebut dapat dikatagorikan sebagai

peraturan umum yang tunduk kepada prinsip hirarki hukum berdasarkan tata urutan

peraturan Perundang-Undangan yang lazim. Produk hukum pengaturan yang

ditetapkan oleh pejabat tertentu yang secara protokoler sederajat tidak dapat

dikatakan selalu mengikuti tingkatan pejabat yang menetapkan. Misalnya Gubernur

Bank Indonesia memang secara portokoler sederajat dengan Menteri. Akan tetapi

produk peraturan yang ditetapkanya sama seperti Peraturan Pemerintah, yaitu

menjalankan Undang-Undang. Karena itu, kedudukan peraturan-peraturan yang

ditetapkan oleh lembaga-lembaga khusus itu lebih tepat disebut juga sebagai

peraturan yang bersifat khusus (Lex Specialis). Semua peraturan yang ditetapkan

oleh lembaga khusus dan independen itu dapat diperlukan sebagai bentuk peraturan

32 Jimly A Pengujian Undang-Undang, Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang.

Cetakan Kedua, Sekertariatan Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, h

1.

33 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Pjjress, Jakarta, 2006, h 6.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11573/1/T1_312011018_BAB I.pdf · pledoi . terdakwa dan kuasa hukumnya. Atas vonis tersebut, Antasari

22

khusus yang tunduk pada prinsip Lex Specialis Derogat Lex Generalis. Termasuk

dalam katagori ini misalnya Peraturan Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah

Konstitusi, Peraturan Bank Indonesia, Peraturan Komisi Pemilihan Umum,

Peraturan Komisi Hak Asasi Manusia, Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia,

Peraturan Pusat Pelapor dan Analisis Transaksi Keuangan, dan sebagainya34.

Berkaitan dengan permasalahan hukum secara hirarki antara Putusan

Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 Tentang Peninjauan Kembali

Berulang Kali dengan SEMA No. 7 Tahun 2014 Tentang Peninjauan Kembali

bahwa SEMA No. 7 Tahun 2014 Tentang Peninjauan Kembali ini bertentangan

Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan sejumlah

Undang-Undang seperti Undang-Undang No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan Pasal 7 ayat (1), Undang-undang No. 39 Tahun

1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang No. 48 Tahun 1999 Tentang

Kekuasaan Kehakiman, dan putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013

.Mahkamah Agung keliru memahami putusan Mahkamah Konstitusi, seharusnya

putusan itu tidak semata-mata sebagai dasar terpidana mengajukan Peninjauan

Kembali lebih dari satu kali, tetapi jaminan negara bagi setiap orang untuk

mengakses keadilan dengan menemukan bukti baru (novum) yang belum pernah

ditemukan dalam sidang sebelumnya. Secara hirarki Putusan Mahkamah Konstitusi

No. 34/PUU-XI/2013 setara dengan Undang-Undang sebagai penganti kekosongan

hukum dalam Peninjauan Kembali lebih dari satu kali (regeling). Sedangkan SEMA

sendiri secara hirarki tidak setara dengan Undang-Undang, SEMA hanya berlaku

34 ibid.h.80.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11573/1/T1_312011018_BAB I.pdf · pledoi . terdakwa dan kuasa hukumnya. Atas vonis tersebut, Antasari

23

ditataran internal Mahkamah Agung sebagai himbauan kepada para hakim-hakim

dibawah peradilan Mahkamah Agung (beschikking).

Mahkamah Agung tidak berwenang membuat Peraturan yang materi muatan

seharusnya dituangkan dalam norma Undang-Undang. Sebab Pasal 8 Ayat (1) dan

Ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan, telah menggariskan dimungkinkannya penerbitan SEMA

yakni hanya dalam keadaan mendesak, terdapat peraturan terkait tidak jelas yang

butuh penafsiran, substansinya tidak bertentangan dengan peraturan Perudang-

Undangan. SEMA yang dikeluarkan bukanlah peraturan, tetapi dilihat dalam

Undang-undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan, dimungkinkan SEMA berisi materi peraturan, seperti yang dikeluarkan

Mahkamah Agung. Tetapi SEMA No. 7 Tahun 2014 Tentang Peninjauan Kembali,

seharusnya diatur dalam bentuk Undang-Undang sebagai tindak lanjut dari Putusan

Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 Tentang Peninjauan Kembali lebih

dari satu kali.

Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai Peninjauan Kembali, Majelis

Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang biasa disebut

dengan KUHAP, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 karena

membatasi Peninjauan Kembali oleh terdakwa lebih dari satu kali. Dengan alasan

keadilan, Mahkamah Konstitusi menyatakan tak memberlaku pasal tersebut, yang

merugikan kedudukan Pemohon yang dalam hal ini ialah Antasari Azhar. Putusan

Mahkamah Konstitusi ini membuka jalan bagi Antasari Azhar untuk melakukan

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11573/1/T1_312011018_BAB I.pdf · pledoi . terdakwa dan kuasa hukumnya. Atas vonis tersebut, Antasari

24

Peninjauan Kembali atas putusan Peninjauan Kembali dari Mahkamah Agung yang

tetap memberikan hukuman bagi dirinya.

Pengajuan uji materil ke Mahkamah Konstitusi oleh Antasari Azhar telah

dilakukan pada tanggal 25 April 2013. Dengan hanya diijinkan sekali mengajukan

Peninjauan Kembali, maka menjadi rintangan bagi Antasari Azhar untuk

mengajukan lagi Peninjauan Kembali terkait kasus yang menimpanya. Menurut

Antasari Azhar pada waktu itu, ia sudah mempunyai bukti baru dan kuat. Putusan

ini menyiratkan bahwa Peninjauan Kembali dapat diajukan lebih dari sekali

sepanjang memenuhi syarat yang ditentukan Pasal 268 ayat (2) KUHAP. Kutipan

Putusan Mahkamah Konstitusi bernomor 34/PUU-XI/2013:

Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya. Pasal 268

ayat (3) KUHAP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki

kekuatan hukum mengikat.

Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa upaya hukum luar biasa

Peninjauan Kembali secara historis dan filosofis merupakan upaya hukum yang

lahir demi melindungi kepentingan terpidana. Hal itu berbeda dengan upaya hukum

biasa yang berupa banding atau kasasi yang harus dikaitkan dengan prinsip

kepastian hukum. Sebab, jika tidak adanya limitasi waktu pengajuan upaya hukum

biasa itu, maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang melahirkan

ketidakadilan karena proses hukum tidak selesai. Selain itu, alasan lain Mahkamah

Konstitusi ialah upaya hukum luar biasa bertujuan untuk menemukan keadilan dan

kebenaran materil. Keadilan tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan

formalitas yang membatasi upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali, yang di

dalam KUHAP, hanya dapat diajukan satu kali. Mungkin saja setelah diajukannya

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11573/1/T1_312011018_BAB I.pdf · pledoi . terdakwa dan kuasa hukumnya. Atas vonis tersebut, Antasari

25

Peninjauan Kembali dan diputus, ada keadaan baru (novum) yang substansial, yang

baru ditemukan saat Peninjauan Kembali sebelumnya belum ditemukan.

Sementara KUHAP sendiri bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia

dari kesewenang-wenangan negara terkait dengan hak hidup dan kebebasan sebagai

hak fundamental. Hak tersebut dijamin dalam konstitusi sebagaimana tersebut di

dalam Pasal 28I ayat (4) dan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karenanya, Peninjauan Kembali sebagai

upaya hukum luar biasa yang diatur dalam KUHAP harus lah dalam kerangka yang

demikian, yakni untuk menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi

menegaskan bahwa upaya pencapaian kepastian hukum sangat layak dibatasi.

Namun tidak demikian dengan upaya pencapaian keadilan. Sebab keadilan

merupakan kebutuhan manusia yang sangat mendasar dan lebih mendasar daripada

kepastian hukum. “Kebenaran materil mengandung semangat keadilan, tetapi

norma hukum acara mengandung sifat kepastian hukum yang terkadang

mengabaikan asas keadilan.” Karenanya, upaya hukum menemukan kebenaran

materil demi memenuhi kepastian hukum telah selesai dengan putusan pengadilan

yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), dan menempatkan

terdakwa menjadi terpidana. Hal ini dipertegas dengan Pasal 268 ayat (1) KUHAP

yang menyebut, “Permintaan Peninjauan Kembali atas suatu putusan tidak

menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut.”

Menurut Mahkamah Konstitusi, ada pembatasan hak dan kebebasan yang diatur di

dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945, namun demikian, hal itu tidak dapat disalahartikan untuk membatasi

pengajuan Peninjauan Kembali hanya satu kali. Sebab, pengajuan Peninjauan

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11573/1/T1_312011018_BAB I.pdf · pledoi . terdakwa dan kuasa hukumnya. Atas vonis tersebut, Antasari

26

Kembali perkara pidana sangat terkait dengan hak asasi manusia yang paling

mendasar yang menyangkut kebebasan dan kehidupan manusia. Lagi pula,

pengajuan Peninjauan Kembali tidak terkait dengan jaminan pengakuan,

penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.

Menurut Mahkamah Konstitusi, dalam ilmu hukum terdapat asas litis finiri

oportet, yang berarti bahwa setiap perkara harus ada akhirnya. Namun asas itu

terkait dengan kepastian hukum, sedangkan dalam hal keadilan dalam perkara

pidana, asas itu tidak dapat diterapkan karena dengan hanya membolehkan

Peninjauan Kembali hanya satu kali, terlebih, manakala ditemukan adanya keadaan

baru (novum), maka hal itu justru bertentangan dengan asas keadilan yang begitu

dijunjung tinggi oleh kekuasaan kehakiman Indonesia. Hal ini sebagaimana

terdapat dalam konstitusi, yaitu untuk menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24

ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesa Tahun 1945). Hal ini

juga sebagai konsekuensi dari asas negara hukum.

Maksud baik dari Mahkamah Konstitusi tersebut memunculkan kekhawatiran

yang lain, yaitu peluang untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali

putusan kasus pidana secara berkali-kali tanpa memperhatikan atau menyadari

bahwa “novum” yang diajukan, sesungguhnya bukanlah bukti baru. Tentunya

Mahkamah Agung harus memperketat syarat permohonan Peninjauan Kembali,

dengan dapat mengatur lebih lanjut substansi yang terdapat dalam putusan

Mahkamah Konstitusi tersebut, misalnya dalam bentuk Peraturan Mahkamah

Agung. Hal ini merupakan peraturan yang lebih memperjelas substansi putusan

Mahkamah Konstitusi tersebut, dalam ranah hukum acara di Mahkamah Agung dan

badan peradilan di bawahnya. Hal ini juga untuk menghindari salah tafsir adanya

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11573/1/T1_312011018_BAB I.pdf · pledoi . terdakwa dan kuasa hukumnya. Atas vonis tersebut, Antasari

27

pertentangan asas kepastian hukum dan asas keadilan di dalam putusan Mahkamah

Konstitusi tersebut, dan salah tafsir dengan mengajukan permohonan Peninjauan

Kembali berkali-kali.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah sampaikan di atas maka rumusan dari

penulisan ini sebagai berikut:

- Bagaimana analisis terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi

No.34/PUU-XI/2013 Tentang Peninjauan Kembali Berulang Kali,

untuk melahirkan keadilan yang substantif.

C. Tujuan

Untuk mengetahui bahwa putusan yang di sahkan oleh Mahkamah

Konsstitusi dapat melahirkan kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan sebagai

pertimbangan Hakim pada Putusan Mahkamah Konstitusi No.34/PUU-XI/2013

Tentang Peninjauan Kembali lebih dari satu kali.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diberikan melalui penilitian ini dari segi teoritis :

- Pengembangan ilmu pengetahuan dalam memutus perkara Peninjauan

Kembali yang dapat melahirkan, keadilan, kepastian hukum dan

kemanfaatan.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11573/1/T1_312011018_BAB I.pdf · pledoi . terdakwa dan kuasa hukumnya. Atas vonis tersebut, Antasari

28

Sedangkan pada tataran praktis:

- Memberikan masukan kepada lembaga hukum dalam hal ini Mahkamah

Konstitusi, Mahkamah Agung dan para penegak hukum yaitu para hakim

yang memeriksa permohonan Peninjauan Kembali yang kedua kali,

semata untuk melahirkan keadilan bukan saja melihat pada tataran

kepastian hukum semata.

E. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan

Yuridis Normatif yakni pendekatan terhadap masalah dengan melihat norma-

norma/ ketentuan hukum yang berlaku.

a. Jenis Penelitian

Penelitian yang penulis lakukan adalah Yuridis Normatif. Dikatakan

demikian karena sasaran penelitian Normatif diarahkan untuk pengkajian

Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 Tentang

Peninjauan Kembali lebih dari satu kali dengan mengaitkan pada ketentuan

yang berlaku.

b. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi :

Studi kepustakaan meliputi bahan-bahan :

- Bahan Hukum Primer

Yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11573/1/T1_312011018_BAB I.pdf · pledoi . terdakwa dan kuasa hukumnya. Atas vonis tersebut, Antasari

29

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang

Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2009, Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang

Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-

XI/2013 Tentang Peninjauan Kembali lebih dari satu kali dan Deklarasi

Universal Tentang Hak-Hak Asasi Manusia.

- Bahan Hukum Sekunder

Filsafat Hukum Refleksi Kritis Terhadap Hukum;

Keadilan Kepastian Dan Kemanfaatan (Prespektif Filsafat Hukum);

- Bahan hukum tersier

Kamus Aneka Filsafat Hukum

F. Sistimatika Penulisan

a. BAB I : Pada Bab ini berisikan uraian orientasi tentang penelitian yang akan

dilakukan. Meliputi :

- Latar Belakang Masalah

- Rumusan Masalah

- Tujuan

- Manfaat Penelitian

- Metode Penelitian

BAB II : Bab ini berisikan uraian kerangka teori, hasil penelitian dan analisis

permasalahan penelitian. Penulis akan menguraikan hasil dari analisa

Page 30: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11573/1/T1_312011018_BAB I.pdf · pledoi . terdakwa dan kuasa hukumnya. Atas vonis tersebut, Antasari

30

tentang kasus yang dipelajari, yaitu tentang Dissenting Opinion dalam

kasus putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 tentang

pembataan peninjauan kembali lebih dari satu kali

BAB III : Bab ini berisikan penutup yaitu kesimpulan dan saran penulis.