Upload
others
View
6
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seribu hari pertama kehidupan (1000 HPK) dimulai dari janin yang berada
dalam perut atau ketika wanita dalam kondisi hamil sampai anak tersebut berusia
dua tahun dan masa ini disebut dengan masa windows critical. Karena pada masa
ini terjadi perkembangan otak atau kecerdasan dan pertumbuhan badan yang cepat,
sehingga pada masa ini bila tidak dilakukan asupan nutrisi yang cukup oleh ibu
hamil, pemberian ASI ekslusif dan pemberian MP-ASI dan asupan nutrisi yang
cukup sampai anak dua tahun maka potensial terjadi stunting. (Johnson dan
Brookstone, 2012).
Periode seribu hari pertama kehidupan disebut sebagai “periode emas” dan
world bank menyebut sebagai “window of opportunity“, karena pada usia tersebut
sedang terjadi pertumbuhan yang pesat dan waktu perbaikan sangat singkat.
Sehingga pada masa ini seorang anak memerlukan asupan zat gizi yang seimbang
baik dari segi jumlah maupun proporsinya untuk mencapai berat dan tinggi badan
yang optimal (Soeparmanto, 2007).
Di Indonesia status gizi (berat badan dan tinggi badan) balita belum optimal.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, 2010, dan 2013, status gizi
kurang menunjukkan proporsi 18,4%, 17,9%, dan 19,6%, data ini menunjukkan
penurunan proporsi dari tahun 2007 ke 2010 dan naik pada tahun 2013, tetapi
proporsinya masih dalam klasifikasi permasalahan gizi balita kategori medium.
Status gizi pendek menunjukkan proporsi 36,8%, 35,6%, dan 37,2%, data ini
menunjukkan penurunan proporsi dari tahun 2007 ke 2010 dan naik pada tahun
2013, tetapi proporsinya sudah dalam klasifikasi permasalahan gizi balita kategori
tinggi. Status gizi kurus menunjukkan proporsi 13,6%, 13,3%, dan 12,1% data ini
menunjukkan penurunan dari tiap tahun sehingga proporsinya dalam klasifikasi
permasalahan gizi balita termasuk kategori tinggi. Hal yang serupa juga terjadi di
Provinsi Sulawesi Tenggara dimana status gizi kurang 17,8 % proporsinya termasuk
klasifikasi permasalahan gizi balita kategori medium, status gizi pendek 27,5%
proporsinya termasuk klasifikasi permasalahan gizi balita kategori medium, dan
status gizi kurus 12,5 % proporsinya termasuk klasifikasi permasalahan gizi balita
kategori tinggi.
Berdasarkan (RISKESDAS) 2007 di Kabupaten Kolaka dilihat bahwa status
gizi kurang 22,8% proporsinya termasuk klasifikasi permasalahan gizi balita
kategori tinggi, status gizi pendek 39,8% proporsinya termasuk klasifikasi
permasalahan gizi balita kategori tinggi dan status gizi kurus 13,9% proporsinya
termasuk klasifikasi permasalahan gizi balita kategori tinggi.
Masalah gizi diatas dipengaruhi oleh setidaknya tiga faktor utama, yaitu
buruknya kualitas dan kuantitas konsumsi pangan sebagai akibat masih rendahnya
ketahanan pangan keluarga, buruknya pola asuh, dan rendahnya akses pada fasilitas
kesehatan (Hendrayati, 2013).
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa asupan makan anak balita
masih rendah. Hasil penelitian Muchlis, Hadju, dan Jafar (2011) tentang hubungan
asupan energi dan protein dengan status gizi balita di kelurahan tamamaung di kota
Makassar, jumlah balita status gizi kurus dengan asupan energi beresiko kurang
(28,3%) lebih banyak dari pada asupan energi baik (17,9%). Sama halnya dengan
asupan protein, jumlah balita status gizi kurus dengan asupan protein beresiko
kurang (28,6%) lebih banyak dari pada asupan protein baik (21,7%).
Selain asupan yang rendah status gizi juga berhubungan dengan pola asuh
yang belum memadai, seperti pemberian ASI Ekslusif dan MP-ASI. Dilihat dari
hasil penelitian Rahmad (2016) tentang pemberian ASI dan MP-ASI terhadap
pertumbuhan bayi usia 6-24 bulan bahwa bayi yang tidak mendapatkan ASI secara
ekslusif sebesar 63,5% sama halnya dengan pemberian MP-ASI yang kurang
sebesar 65,4% mayoritas mengalami pertumbuhan tidak normal atau kependekan
(61,5%).
Pola makan balita yang kurang baik dilihat dari hasil penelitian Isnaeni
(2016) tentang hubungan pola asuh, pola makan dan penyakit infeksi dengan
kejadian gizi buruk pada balita di kabupaten magetan tahun 2016 bahwa balita
dengan pola makan kurang baik (68,5%) lebih banyak dari pada balita dengan pola
makan yang baik ( 31,5%), dimana dalam hal ini makanan yang diberikan pada
anak harus memadai dalam hal kuantitas maupun kualitas, sesuai dengan umur atau
tahap perkembangan anak. Dengan memperhatikan pemberian makan dan
penyediaan menu yang bervariasi agar tidak terjadi kebosanan pada jenis makanan.
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian
tentang “Asupan Makanan Pada Anak Usia Di bawah Dua Tahun (Baduta) Di
Kecamatan Tirawuta Kabupaten Kolaka Timur ( Analisis Data Sekunder ) “
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah asupan makanan anak Baduta di Kecamatan Tirawuta
Kabupaten Kolaka Timur ?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui tentang asupan makanan anak Baduta di Kecamatan
Tirawuta Kabupaten Kolaka Timur.
2. Tujuan Khusus
a. Menilai tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein anak baduta
b. Mengetahui asupan energi dan protein ASI pada bayi umur 0-6 bulan
c. Melihat pola makan usia 7-24 bulan
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi masyarakat
Memberikan informasi tentang asupan makan anak Baduta khususnya di
daerah penelitian.
2. Bagi pemerintah
Diharapkan dapat dijadikan sumbangan informasi untuk penyusunan
program kebijakan
3. Bagi ilmu pengetahuan dan teknologi
Diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan dan merupakan salah satu
bahan acuan bagi peneliti berikutnya.
4. Bagi peneliti
Merupakan pengalaman berharga dalam memperluas wawasan dan
pengetahuan tentang gizi kesehatan masyarakat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Status Gizi Anak Balita
Status gizi adalah suatu ukuran mengenai kondisi tubuh seseorang yang dapat
dilihat dari makanan yang dikonsumsi dan penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh.
Status gizi dibagi menjadi tiga kategori, yaitu status gizi kurang, gizi normal, gizi
lebih (Almatsier, 2005). Definisi lain menyebutkan bahwa status gizi adalah
keadaan kesehatan sebagai akibat keseimbangan antara konsumsi, penyerapan
zat gizi dan penggunaannya didalam tubuh (Supariasa, 2002).
Dilihat dari pola tabel 1 dibawah , distribusi prevalensi underweight sangat
mirip dengan distribusi prevalensi stunting (menurun di tahun 2010 dan naik di
tahun 2013). Sementara pola distribusi prevalensi wasting cenderung berbeda dari
yang lainnya, dan bahkan menurun pada tahun 2013 ketika prevalensi stunting dan
underweight naik secara bersamaan. Miripnya pola distribusi prevalensi stunting
dan underweight mengarahkan pada asumsi bahwa faktor resiko dua masalah gizi
tersebut kurang lebih sama. Maka menangani masalah stunting diasumsikan juga
akan sekaligus mengatasi masalah underweight.
Tabel 1
Indikator Status Gizi Balita Indeks antropometri
No. Indikator Proporsi (%)
2007 2010 2013
1. Berdasarkan BB/U untuk
kombinasi akut dan/atau kronis:
Gizi buruk dan gizi kurang
(underweight)
Gizi buruk
Gizi kurang
18,4
(medium)
5,4
13,0
17,9
(medium)
4,9
13,0
19,6
(medium)
5,7
13,0
2. Berdasarkan TB/U untuk kondisi
kronis:
Sangat pendek dan pendek
(stunting)
Sangat pendek
Pendek
36,8
(tinggi)
18,8
18,0
35,6
(tinggi)
18,5
17,1
37,2
(tinggi)
18,0
19,2
3. Berdasarkan BB/TB untuk
kondisi akut:
Sangat kurus dan kurus
(wasting)
Sangat kurus
Kurus
Gemuk
13,6
(tinggi)
6,2
7,4
12,2
13,3
(tinggi)
6,0
7,3
14,4
12,1
(tinggi)
5,3
6,8
11,9
Sumber : RISKESDAS, 2013
Namun berbeda dengan kasus wasting yang pola distribusi prevalensinya
tidak sama dengan pola distibusi prevalensi stunting/underweight. Sehingga dapat
dikatakan ada kemungkinan beberapa faktor resiko masalah wasting berbeda
dengan stunting/underweight. Meski kasus wasting menurun di tahun 2013
(menjadi 12,1%), tetapi tingkat keseriusan masalah ini tetap tinggi (selalu > 9,9%)
dari sejak RISKESDAS 2007. Karena sifatnya yang mudah pulih, maka ambang
batas untuk masalah wasting memang lebih rendah dibanding ambang batas untuk
masalah stunting/underweight. Kondisi dimana berat badan kurang hingga
menjadi tidak proporsional dengan tinggi badan (atau disebut “kurus”) umunya
tidak banyak terjadi karena adanya proses adaptasi terhadap kondisi kurang gizi
hingga pada tingkatan tertentu. Tetapi proses adaptasi ini bisa gagal ketika terjadi
ketidakseimbangan yang parah (sangat tidak homeostatis) antara zat gizi yang
masuk (intake-uptake) dengan yang digunakan atau yang dieksresikan.
Maka berbeda dengan konsisi stunting yang sebenarnya merupakan bentuk
adaptasi dari kondisi kurang gizi yang berkepanjangan, maka wasting justru
merupakan kondisi akibat gagal adaptasi yang terjadi dalam waktu singkat.
Sebagai implikasinya, kondisi wasting jelas lebih lethal atau mempunyai resiko
mortalitas yang jauh lebih tinggi dibanding kondisi stunting. Sebagai bukti, hasil
pooled analisa 10 studi prospektif dari beberapa Negara termasuk Indonesia,
menunjukkan bahwa resiko kematian pada kasus wasting selalu lebih tinggi dari
stunting atau underweight (Olofin dkk, 2013 dalam Wibowo dan Erwin, 2016).
Bahkan pada kasus wasting parah, resiko kematian akan meningkat
menjadi 11 lebih tinggi (mortality HR: 11,63 dengan CI: 9,84 – 13,76)
dibandingkan dengan resiko pada kasus stunting parah yang 5 kali lebih tinggi
(mortality HR: 5,48 dengan CI: 4,62 – 6,50) dari anak normal. Hal ini juga yang
menyebabkan prevalensi wasting umumnya tidak tinggi karena adanya survivor
bias atau hanya anak-anak wasting yang masih hidup saat survei yang akan
terdeteksi sebagai kasus (Boerma dkk, 1992 dalam Wibowo dan Erwin, 2016).
Tabel 2
Klasifikasi Untuk Tingkat Permasalahan Gizi Balita Berdasarkan Ambang Batas
Kesmas
Klasifikasi permasalahan
gizi balita
Indeks Antropometri (%)
BB/TB Z-skor
<-2 SD
BB/U Z-skor
<-2 SD
TB/U Z-skor <-2
SD
Acceptable Rendah < 5 < 10 < 20
Pool Medium 5 – 9,9 10 – 19,9 20 – 29,9
Serious Tinggi 10 - 14,9 20 – 29,9 30 – 39,9
Critical Sangat tinggi ≥ 5 ≥ 30 ≥ 40
Sumber : Gibson, 2005
B. Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi
Gambar 1
Penyebab Masalah Gizi (UNICEF, 1990 )
Masalah kurang gizi disebabkan oleh penyebab langsung, penyebab tidak
langsung dan akar masalah. Kurang gizi secara langsung disebabkan oleh
kurangnya konsumsi makanan dan adanya penyakit infeksi. Pada tingkat rumah
tangga, perawatan ibu dan anak tidak memadai , praktik pemberian makan dan
perilaku, air yang buruk, sanitasi lingkungan dan pelayanan kesehatan tidak
memadai. Perawatan penting bagi anak meliputi pengasuhan pemberian makan,
kesehatan, kebersihan, stimulasi kognitif, dan praktik menyusui, sedangkan bagi ibu
adalah perawatan selama kehamilan (antenatal care) dan menyusui. Kemiskinan
merupakan penyebab pokok akar masalah kurang gizi dikaitkan dengan pendapatan,
dimana makin kecil pendapatan penduduk makin tinggi peresentase anak kurang
gizi. Rendahnya tingkat pendapatan keluarga, berdampak terhadap rendahnya daya
beli keluarga tersebut sehingga mempengaruhi kualitas dan kuantitas makanan yang
tersedia dalam rumah tangga dan pada akhirnya mempengaruhi asupan zat gizi.
1. Faktor Langsung
a. Asupan Makanan
Asupan makanan adalah susunan, jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi
seseorang pada waktu tertentu yang dapat menunjukkan tingkat keberagaman
pangan masyarakat. Umumnya asupan makanan di pelajari untuk di hubungkan
dengan keadaan gizi masyarakat suatu wilayah atau individu. Informasi ini dapat
digunakan dalam perencanaan pendidikan gizi khususnya untuk menyusun menu
atau intervensi untuk meningkatkan sumber daya manusia, mulai dari keadaan
kesehatan dan gizi serta produktivitasnya.
1) Energi
Makanan diubah menjadi energi yang digunakan untuk pertumbuhan,
perkembangan, fungsi metabolik seperti pernapasan, kontraksi jantung, dan
percernaan. Asupan energi dapat dilihat dan diperoleh dari konsumsi makanan yang
mengandung karbohidrat, protein, dan lemak. Ketika seseorang anak memiliki
energi yang dikeluarkan lebih tinggi dari yang dikonsumsi, maka dapat
menyebabkan penurunan berat badan. Selain itu, apabila seorang anak mengalami
kekurangan energi, maka akan berdampak pada gagalnya pertumbuhan fisik dan
perkembangan mental, serta daya tahan tubuh mengalami penurunan sehingga
meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada anak.
Menurut hasil penelitian Jati dan Nindya (2017) bahwa asupan energi balita
status gizi underweight tidak adekuat (34,2%) lebih banyak dari pada asupan energi
adekuat (8,3%). Disebabkan karena rendahnya nafsu makan dan kebiasaan anak
yang sering mengkonsumsi makanan atau jajanan ringan. Karena setelah usia 12
bulan pertama, anak-anak pada usia tersebut lebih tartarik untuk mengeksplorasi
dunia mereka dan memungkinkan kehilangan minat terhadap makanan.
Apabila asupan energi kurang dari kebutuhan individu dan aktifitas fisik,
maka laju pertumbuhan akan mengalami penurunan. Asupan energi yang rendah
mengakibatkan lemak dan protein tidak dapat melakukan fungsi utamanya. Dampak
dari keadaan ini adalah terjadinya gangguan pertumbuhan. Sebaliknya, asupan
energi yang berlebihan dapat meningkatkan jaringan adipose atau deposisi lemak
dan berat badan.
Kebutuhan energi pada masa bayi lebih besar, dengan RMR dua kali lipat
lebih besar dibandingkan masa dewasa. Hal tersebut digunakan untuk aktivitas,
pertumbuhan, dan perkembangan bayi. Kebutuhan energi pada bayi bergantung
pada banyak faktor, antara lain ukuran dan komposisi tubuh, tingkat metabolisme,
aktifitas fisik, ukuran lahir, usia, jenis kelamin, faktor genetik, asupan energi,
kondisi medis, suhu tubuh, dan grafik pertumbuhan. Tujuan pemenuhan kebutuhan
gizi pada bayi antara lain untuk:
a) Pertumbuhan dan perkembangan fisik psikomotor.
b) Melakukan aktifitas fisik
c) Memberikan zat gizi yang cukup bagi kebutuhan hidup, yaitu untuk
pemeliharaan dan atau pemulihan serta peningkatan kesehatan
Kebutuhan energi tahun pertama berdasarkan rekomendasi berdasarkan
berdasarkan rekomendasi dari European Food Safety Authority (EFSA) 2013 dan
WHO 2003 adalah sebesar 100-110 kkal/kgBB dan tiap tiga tahun pertambahan
umur turun 10 kkal/kgBB. Pada usia balita (2-5 tahun), penggunaan energi dalam
tubuh adalah sebesar 50% untuk penggunaan metabolisme basal, 5-10% untuk
SDA, 12% untuk pertumbuhan, 25% untuk aktifitas fisik, dan 10% terbuang
melalui feses. Anjuran pembagian pemenuhan energi sehari diperoleh dari 50-60%
karbohidrat, 25-35% lemak, dan 10-15% protein.
Tabel 3
Estimasi kebutuhan energi pada bayi (0-12 bulan)
Usia Jenis kelamin Energi (kkal/hari)
0-6 bulan Laki-laki
Perempuan
472-645
438-593
6-12 bulan Laki-laki
Perempuan
645-844
593-768
1-2 tahun Laki-laki
Perempuan
844-1050
768-997
Sumber : Hardinsyah, 2016
2) Protein
Balita yang kurang mendapatkan asupan protein mempunyai peluang
mengalami status gizi tidak normal dibandingkan dengan balita yang cukup
mendapatkan asupan protein. Protein merupakan zat gizi penghasil energi yang
tidak berperan sebagai sumber energi, tetapi berfungsi untuk mengganti jaringan
dan sel tubuh yang rusak. Protein merupakan zat makanan yang penting bagi tubuh
karena berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Apabila tubuh mengalami
kekurangan zat energi maka protein terlebih dahulu akan menghasilkan energi untuk
membentuk glukosa.
Kekurangan protein dapat menyebabkan gangguan pada asupan dan
transportasi zat-zat gizi. Kekurangan protein yang terus menerus akan menimbulkan
gejala yaitu pertumbuhan kurang baik, daya tahan tubuh menurun, rentan terhadap
penyakit, daya kreatifitas dan daya kerja merosot, mental lemah dan lain-lain.
Tingkat kecukupan asupan protein akan mempengaruhi status gizi. Hal ini bisa
dilihat dari hasil penelitian Jati dan Nindya (2017) bahwa asupan protein balita
status gizi underweight tidak adekuat (37,9%) lebih banyak dari pada asupan
protein adekuat (12,1%) .
Baik bayi maupun balita membutuhkan protein berkualitas tinggi yang dapat
dipenuhi dari ASI, susu formula, dan MP-ASI. Kandungan protein dalam bahan
makanan untuk masa ini berfungsi sebagai :
a) Zat pembangun, pengatur, dan memperbaiki jaringan termasuk jaringan mata,
kulit, otot, jantung, paru, otak, dan organ lain.
b) Membuat enzim, hormon, antibodi dan komponen penting lain.
c) Membantu proses regulasi tubuh (Zimmerman & Snow, 2012 dalam
Hardinsyah)
European Food Safety Authority (EFSA) 2013, merekomendasikan
kebutuhan protein pada bayi usi 0-<6 bulan sebesar 0,58 g/kgBB/hari, sedangkan
untuk bayi berusia 6-<36 bulan kebutuhan protein sebesar 0,66 g/kgBB/hari.
Rekomendasi tersebut diturunkan dari perhitungan keseimbangan nitrogen pada
dewasa, diestimasi dari tingkat rata-rata protein terdeposisi harian serta disesuaikan
dari efisiensi penggunaan protein untuk pemeliharaan tubuh dan pendukung
pertumbuhan bayi.
b. Penyakit Infeksi
Penyakit infeksi dan keadaan gizi anak merupakan 2 hal yang saling
mempengaruhi. Dengan infeksi, nafsu makan anak mulai menurun dan mengurangi
konsumsi makanannya, sehingga berakibat berkurangnya zat gizi ke dalam tubuh
anak. Kadang-kadang orang tua juga melakukan pembatasan makan akibat infeksi
yang diderita dan menyebabkan asupan zat gizi sangat kurang sekali bahkan bila
berlanjut lama mengakibatkan terjadinya gizi buruk (Moehji, 2003).
1) Penyebab Tidak Langsung
a. Pola Asuh
Pola asuh gizi merupakan perubahan sikap dan perilaku ibu atau pengasuh
lain dalam hal memberi makanan, kebersihan, member kasih sayang dan semua
yang berhubungan dengan keadaan ibu dalam keadaan fisik dan mental. Pola asuh
yang baik dari ibu akan memberikan kontribusi yang besar pada pertumbuhan dan
perkembangan balita sehingga akan menurunkan angka kejadian gangguan gizi.
Apabila pengasuhan anak baik maka status gizi anak juga akan baik. Hal ini bisa
dilihat dari penelitian Munawaroh, (2015) tentang pola asuh mempengaruhi status
gizi balita bahwa pola asuh status gizi kurus baik (90,6%) sedangkan pola asuh
kurang baik (47,9%).
b. Pemberian ASI dan MP-ASI
Pemberian ASI secara eksklusif berarti bayi hanya diberikan ASI tanpa
memberikan makanan dan minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai bayi
berusia enam bulan, kecuali obat dan vitamin. Pemberian ASI sebaiknya juga tetap
dilanjutkan hingga bayi berusia dua tahun (Dinkes SulTra, 2005).
Bedasarkan data dari Word Health Organization (WHO, 2011 dalam
Datesfordate, 2017), menyatakan bahwa hanya 40% bayi di dunia yang mendapat
ASI ekslusif sedangkan 60% bayi lainnya non ekslusif saat usia kurang dari 6
bulan. Hal ini menggambarkan bahwa pemberian ASI ekslusif masih rendah
sedangkan pemberian ASI non ekslusif diberbagai negara masih tinggi.
Menurut (Soetjiningsih, 1997) Untuk mengetahui, bahwa tiap tahun
produksi ASI akan berubah, volume ASI akan menurun sesuai dengan waktu, yaitu:
1) Tahun pertama : 400-700 ml/24 jam
2) Tahun Kedua : 200-400 ml/24 jam
3) Tahun Ketiga : sekitar 200 ml/24 jam
Taksiran volume/konsumsi ASI : (Diketahui : frekuensi ASI 4 kali
sehari, lama menyusui ± 20 menit, volume ASI untuk menyusui tahun pertama 600
ml/24 jam), maka : Taksiran Volume ASI yang dikonsumsi sehari : 4 kali x 20
menit = 80 menit, : (24 jam → 24×60 = 1440 menit), : (80 menit : 1440 menit) x
600 ml = 33,3 ml/hari
Nilai gizi dari ASI yang dikonsumsi sehari (33,3 ml ASI) (Diketahui dalam
100 ml ASI mengandung Energi 62 kal, Protein 1,5 g, Lemak 3,3 g, dan
Karbohidrat 7 g).
Usia dibawah dua tahun masa yang amat penting sekaligus masa kritis
dalam proses tumbuh kembang bayi baik fisik maupun kecerdasan, oleh karena itu
setiap bayi dan anak usia 6-24 bulan harus memperoleh asupan gizi sesuai dengan
kebutuhannya. Hasil survei menunjukkan bahwa salah satu penyebab terjadinya
gangguan tumbuh kembang bayi dan anak usia 6-24 bulan di Indonesia adalah
rendahnya mutu makanan pendamping susu ibu (MP-ASI) dan tidak sesuai pola
asuh yang diberikan sehingga beberapa zat gizi tidak dapat mencukupi
kebutuhannya.
Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) adalah makanan yang diberikan pada
bayi yang telah berusia enam bulan atau lebih karena ASI tidak lagi memenuhi gizi
bayi. Diakrenakan ASI hanya akan memenuhi sekitar 60-70% kebbutuhan bayi,
sedangkan yang 30-40% harus di penuhi dari makanan pendamping atau makanan
tambahan. Dalam pemberian MP-ASI, yang perlu diperhatikan adalah usia
pemberian MP-ASI, jenis MP-ASI, frekuensi dalam pemberian MP-ASI, porsi
pemberian MP-ASI dan cara pemberian MP-ASI pada tahap awal.
Pemberian makanan pendamping dilakukan secara berangsur-angsur untuk
mengembangkan kemampuan bayi mengunyah dan menelan serta menerima
macam-macam makanan dengan berbagai tekstur dan rasa. Keberhasilan pemberian
MP-ASI ini di pengaruhi juga oleh perkembangan fungsi sistem saraf, saluran cerna
dan ginjal bayi.
Pola asuh dalam memberikan makanan pada anak meliputi pemberian
makanan yang sesuai umur, secara umum pemberian makan balita usia 6-12 bulan
dan 12-24 bulan dijelaskan sebagai berikut:
(1) Umur 6-12 bulan
(a) ASI sesering mungkin
(b) Makanan utama frekuensi 2-3 kali sehari jika masih disusui
(c) Makanan utama frekuensi 5 kali sehari jika sudah tidak disusui
(d) Makanan selingan diberikan diantara waktu makan
(2) Umur 6-12 bulan
(a) ASI sesering mungkin
(b) Makanan utama frekuensi 3-4 kali sehari
(c) Makanan selingan diberikan 2 kali selingan diantara waktu makan
Pemberian makanan pendamping harus bertahap dan bervariasi, mulai dari
bentuk bubur cair ke bentuk bubur kental, sari buah, buah segar, makanan lumat,
makanan lembek dan akhirnya makanan padat (Sulistijani, 2001).
Menurut Depkes RI (2007) jenis makanan pendamping ASI yang baik
adalah terbuat dari bahan makanan yang segar, seperti tempe, kacangkacangan, telur
ayam, hati ayam, ikan, sayur mayur dan buah-buahan. Jenis-jenis makanan
pendamping yang tepat dan diberikan sesuai dengan usia anak adalah sebagai
berikut:
1) Makanan Lumat
Makanan lumat adalah makanan yang dihancurkan, dihaluskan atau disaring
dan bentuknya lebih lembut atau halus tanpa ampas. Biasanya makanan lumat ini
diberikan saat anak berusia enam sampai Sembilan bulan. Contoh dari makanan
lumat itu sendiri antara lain berupa bubur susu, bubur sumsum, pisang saring atau
dikerok, pepaya saring dan nasi tim saring.
2) Makanan Lunak
Makanan lunak adalah makanan yang dimasak dengan banyak air atau
teksturnya agak kasar dari makanan lumat. Makanan lunak ini diberikan ketika anak
usia sembilan sampai 12 bulan. Makanan ini berupa bubur nasi, bubur ayam, nasi
tim, kentang puri.
3) Makanan Padat
Makanan padat adalah makanan lunak yang tidak nampak berair dan
biasanya disebut makanan keluarga. Makanan ini mulai dikenalkan pada anak saat
berusia 12-24 bulan. Contoh makanan padat antara lain berupa lontong, nasi, lauk-
pauk, sayur bersantan, dan buah-buahan
c. Pengetahuan
Status gizi yang baik penting bagi kesehatan setiap orang, termasuk ibu
hamil, ibu menyusui dan anaknya. Pengetahuan gizi memegang peranan yang
sangat penting dalam penggunaan dan pemilihan bahan makanan dengan baik
sehingga dapat mencapai keadaan gizi yang seimbang (Suhardjo, 2005).
d. Tingkat Pendapatan
Tingkat pendapatan sangat menentukan bahan makanan yang akan dibeli.
Pendapatan merupakan faktor yang penting untuk menentukan kualitas dan
kuantitas makanan, maka erat hubungannya dengan gizi (Suhardjo, 2005).
e. Besar Keluarga
Besar keluarga atau banyaknya anggota keluarga berhubungan erat dengan
distribusi dalam jumlah ragam pangan yang dikonsumsi anggota keluarga
(Suhardjo, 2005).
Keberhasilan penyelenggaraan pangan dalam satu keluarga akan
mempengaruhi status gizi keluarga tersebut. Besarnya keluarga akan menentukan
besar jumlah makanan yang dikonsumsi untuk tiap anggota keluarga. Semakin
besar jumlah anggota keluarga maka semakin sedikit jumlah konsumsi gizi dan
makanan yang didapatkan oleh masing-masing anggota keluarga (Supariasa, 2002)
C. Penilaian Status Gizi
a. Secara Langsung
1) Antropometri : ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi
adalah berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh
dari barbagai tingkat umur dan tingkat gizi.
2) Klinis : metode yang didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi
terkait ketidakcukupan zat gizi.
3) Biokimia: pemeriksaan specimen yang diuji secara laboratories yang
dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh.
4) Biofisik : metode penentuan status gizi dengan melihat
kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur
dari jaringan.
Tabel 4
Kategori dan ambang batas status gizi anak berdasarkan indeks
Indeks Kategori status gizi Ambang batas (Z-score)
Berat badan menurut umur
(BB/U)
Anak umur 0-60 bulan
Gizi buruk
Gizi kurang
Gizi baik
Gizi lebih
<-3 SD
-3 SD sampai dengan <-2 SD
-2 SD sampai dengan 2 SD
>2 SD
Lanjutan …
Panjang badan menurut umur
(PB/U) atau tinggi badan
menurut umur (TB/U)
Anak umur 0-6 bulan
Sangat pendek
Pendek
Normal
Tinggi
<-3 SD
-3 SD sampai dengan <-2 SD
-2 SD sampai dengan 2 SD
>2 SD
Berat badan menurut panjang
badan (BB/TB)
Anak umur 0-6 bulan
Sangat kurus
Kurus
Normal
Gemuk
<-3 SD
-3 SD sampai dengan <-2 SD
-2 SD sampai dengan 2 SD
>2 SD
Sumber : Keputusan Menteri Kesehatan RI Tentang Standar Antropometri Penilaian Status
Gizi Anak, Kemenkes RI, Dirjen Bina Gizi dan KIA, Direktorat Bina Gizi, 2011.
b. Tidak Langsung
Penilaian status gizi secara tidak langsung meliputi survei konsumsi
makanan, statistik vital, dan vaktor ekologi.
D. Metode Pengukuran Asupan Makanan
Tabel 5
Metode Penilaian Konsumsi Makanan
LEVEL Informasi yang diinginkan Pendekatan yang lebih disukai
1 Artinya asupan nutrisi suatu
kelompok
Sekali recall 24 jam atau catatan
penimbangan atau taksiran makanan,
dengan sebagian besar subjek dan
respresentasi yang memadai dari semua
hari dalam seminggu
2
Proporsi populasi “beresiko” Pengamatan yang direplikasi pada
masing-masing individu atau sampel
menggunakan recall 24 jam atau catatan
makanan 1 hari yang ditimbang atau
diperkirakan
3
Asupan nutrisi biasa pada
individu untuk rangking
dalam kelompok
Beberapa replikasi 24 jam dari catatan
makanan atau kuesioner frekuensi
makanan semi kuantitatif
4
Asupan makanan atau nutrisi
biasa pada individu untuk
konseling atau untuk analisis
korelasi atau regresi
Jumlah yang lebih besar atau catatan
setiap individu. Sebagai alternatif,
kuesioner frekuensi makanan semi
kuantitatif atau riwayat diet dapat
digunakan
Sumber : Gibson (2005)
Mengetahui asupan makanan suatu kelompok masyarakat atau individu
merupakan salah satu cara untuk menduga keadaan gizi kelompok masyarakat atau
individu bersangkutan. Hal ini bisa dilakukan dengan metode recall 24 jam,
penjelasannya seperti berikut:
a. Recall 24 Jam
Recall 24 jam adalah mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang
dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Jumlah konsumsi makanan individu
ditanyakan secara teliti dengan menggunakan alat URT atau ukuran lainnya yang
biasa digunakan sehari-hari.Wawancara dilakukan oleh petugas yang sudah terlatih
dengan menggunakan kuesioner terstruktur.
Kelebihan metode recall 24 jam, yaitu : (Supariasa, 2002)
1) Mudah melaksanakannya serta tidak terlalu membebani responden.
2) Biaya relatif murah, karena tidak memerlukan peralatan khusus dan tempat yang
luas untuk wawancara.
3) Cepat, sehingga dapat mencakup banyak responden.
4) Dapat digunakan untuk responden yang buta huruf.
5) Dapat memberikan gambaran nyata yang benar – benar dikonsumsi individu
sehingga dapat dihitung intake zat gizi sehari.
Kekurangan metode recall 24 jam, yaitu : (Supariasa, 2002)
1) Tidak dapat menggambarkan asupan makan sehari – hari, bila hanya dilakukan
recall satu hari.
2) Ketepatannya sangat tergantung pada daya ingat responden. Oleh karena itu,
responden harus mempunyai daya ingat yang baik, sehingga metode ini tidak
cocok dilakukan pada anak usia dibawah 7 tahun, orang tua berusia diatas 70
tahun dan orang yang hilang ingatan atau orang yang pelupa.
3) The flat slope syndrome, yaitu kecenderungan bagi responden yang kurus untuk
melaporkan konsumsinya lebih banyak (over estimate) dan bagi responden yang
gemuk cenderung melaporkan lebih sedikit (under estimate).
4) Membutuhkan tenaga atau petugas yang terlatih dan terampil dalam
menggunakan alat - alat bantu URT dan ketepatan alat bantu yang dipakai
menurut kebiasaan masyarakat.
5) Responden harus diberi motivasi dan penjelasan tentang tujuan penelitian.
6) Untuk mendapat gambaran konsumsi makanan sehari – hari recall jangan
dilakukan pada saat panen, hari pasar, hari akhir pecan, pada saat melakukan
upacara – upacara keagamaan, selamatan dan lain – lain.
Lima Tahap Teknik Wawancara Recall 24 Jam
1) Quick list (membuat daftar ringkas) bahan makanan yang dikonsumsi sehari
kemarin.
2) Review kembali kelengkapan quick list bersama responden.
3) Gali hidangan yang dikonsumsi dikaitkan dengan waktu makan dan aktivitas.
4) Tanyakan rincian hidangan menurut jenis makanan, jumlah, berat dan sumber
perolehannya yang dikonsumsi sehari kemarin.
5) Review kembali semua jawaban untuk menghindari kemungkian masih ada
makanan dikonsumsi tapi terlupakan.
E. Kerangka Konsep
Gambar 2
Kerangka Konsep
Keterangan :
: Variabel yang tidak diteliti
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah survey.
B. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 14 sampai dengan 21
November 2017. Dimana tempat penelitian dilaksanakan di Kecamatan Tirawuta
Kabupaten Kolaka Timur.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua anak Baduta di Kecamatan
Tirawuta Kabupaten Kolaka Timur berjumlah 226 orang.
2. Sampel
a. Besar sampel
Besar sampel minimum ditentukan dengan menggunakan rumus estimasi
dengan simpangan mutlak untuk populasi kecil (Wibowo & Erwin, 2016).
Keterangan :
P = 50 %
d = 5 %
N = 226 (populasi anak baduta di lokasi penelitian)
NRR = 10 %
n = 142 sampel.
Bagan Cara penarikan Sampel
Gambar 3
Penyajian skematik dari pengambilan sampel
b. Teknik sampling
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Simple Random Sampling (gambar 3). Untuk memilih pasangan anak baduta dan
pengasuhnya sebagai subyek survei. Dalam kepentingan ini, maka kerangka
sampling (sampling frame) dibuat terlebih dahulu dengan mendaftar semua anak
baduta yang ada di setiap desa. Kemudian anak baduta dipilih langsung dari daftar
tersebut secara acak menggunakan teknik undian/lotre sebanyak jumlah sampel yang
awalnya diperhitungkan dengan rumus yang ada pada besar sampel. Jika dalam
penelitian sampel yang telah dilot terdapat dalam satu keluarga maka hanya satu
anak baduta yang akan diambil (perhitungan proporsi sampel terlampir).
Purposif
Purposif
sampling
Kec.
Ds.1
N=21
Ds.2
N=18
n= 13
Ds.3
N=28
n= 12
Ds.5
N=29
n= 18
n= 15
n= 18
Ds.4
N=43
n= 27
n= 21
Ds.7
N=24
Ds.6
N=34
n= 15
Ds.8
N=29
PPS
Dalam pemilihan sampel jika ditemukan ada anak baduta yang sakit parah
atau teridentifikasi dengan status gizi buruk, maka anak tersebut akan segera dirujuk
ke puskesmas terdekat dalam waktu 1x24 jam dan tidak dimasukan dalam daftar
subyek survei. Adapun kriteria inklusi sebagai berikut :
1) Pengasuh sampel dapat berkomunikasi dengan baik.
2) Bersedia menjadi responden yang dibuktikan dengan informed consent
D. Jenis Data dan Cara Pengumpulan Data
1. Jenis Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder. Adapun data yang akan di analisis
yaitu data sosiodemografi, asupan energi dan protein, pemberian ASI ekslusif, dan
pola makan. Adapun data tentang gambaran umum lokasi penelitian yang meliputi
letak geografis, demografis dan mata pencaharian penduduk yang diperoleh dari
laporan desa.
2. Prosedur Pengumpulan Data
Proses pengumpulan data ini diambil dari data Praktek Kerja Lapangan
Perencanaan Program Gizi.
E. Pengolahan dan Analisis Data
1. Pengolahan Data
Semua data numerik dan data kategori diolah dengan software SPSS versi
20. Data asupan makan diolah menggunakan nutri survey. Tahapan yang dilakukan
setelah proses penelitian adalah kegiatan pembuatan template data entri pada
software, kemudian proses memasukkan data dalam template (data entry),
pembersihan data, hingga ke analisa data.
Data entry dilakukan pada template yang telah dibuat dan telah dipersiapkan
terlebih dahulu. Semua kuisioner yang telah terisi akan diperiksa oleh peneliti untuk
kelengkapan dan ketepatan jawaban yang ada. Setelahnya diikuti dengan proses
data entry untuk kuisioner yang telah diperiksa yang dilakukan oleh peneliti.
Jika ditemukan error dalam kuisioner atau jawaban tidak lengkap dari
enumerator yang bertugas maka peneliti akan melakukan konfirmasi ulang kepada
enumerator. Data dari subyek yang tidak lengkap setelah konfirmasi tidak akan
dianalisis. Setelah data entry maka dilakukan pembersihan data yaitu dilakukan data
cleaning dalam bentuk cek nilai minimum dan maximum lalu cek distribusi dan
sebaran data.
2. Analisis Data
Analisis data dilakukan secara deskriptif dan dipresentasikan dalam bentuk
tabular ataupun grafik.
Beberapa variabel diolah/analisis dan dikategorikan sebagai berikut:
a. Asupan energi dan protein
Untuk memperoleh asupan makanan maka data asupan makanan/bahan
makanan akan dikonversi sehingga diperoleh berat mentah bersih dalam gram.
Adapun cara konversi makanan sebagai berikut :
b. Asupan ASI Ekslusif
Menurut (Soetjiningsih, 1997) Untuk mengetahui produksi ASI tiap tahun
akan berubah, volume ASI akan menurun sesuai dengan waktu, yaitu:
Tahun pertama : 400-700 ml/24 jam
Tahun Kedua : 200-400 ml/24 jam
Tahun Ketiga : sekitar 200 ml/24 jam
Taksiran Volume ASI yang dikonsumsi sehari:
Energi : Volume konsumsi ASI sehari/100 x 62 kal
Protein : Volume konsumsi ASI sehari/100 x 1,5 gram
c. Pola makan
Pola pemberian makan anak balita dibagi menurut umur 7-11 bulan dan 12-
24 bulan, sebagai berikut :
1) Pemberian ASI anak umur 7-11 bulan: sesering mungkin
2) Pemberian MP-ASI sehari ketika anak berumur 7-11 bulan: makanan utama
frekuensi 2-3 kali sehari jika masih disusui, makanan utama frekuensi 5 kali
sehari jika sudah tidak disusui, makanan selingan diberikan diantara waktu
makan.
3) Pemberian ASI anak umur 12-24 bulan: sesering mungkin
4) Pemberian MP-ASI sehari anak berumur 12-24 bulan: makanan utama frekuensi
3-4 kali sehari, makanan selingan diberikan 2 kali selingan diantara waktu
makan
F. Penyajian Data
Penyajian data dilakukan secara deskriptif dan dipresentasikan baik dalam
bentuk tabular ataupun grafik.
G. Definisi Operasional
1. Tingkat Kecukupan Energi
Kecukupan energi adalah total energi yang bersumber dari makanan dan
minuman yang dikonsumsi diperoleh dari survei konsumsi makanan menggunakan
metode recall 24 jam, kemudian dibandingkan dengan AKG (Fridawanti, 2016).
Untuk Interpretasi hasil, klasifikasi tingkat konsumsi dibagi menjadi 4 dengan cut
off points sebagai berikut (Supariasa, 2002) :
Baik : 100% AKG
Sedang : 80 - 99% AKG
Kurang :70 – 80% AKG
Defisit : < 70% AKG
2. Tingkat Kecukupan Protein
Kecukupan protein adalah total dari protein yang bersumber dari makanan
dan minuman yang dikonsumsi diperoleh dari survei konsumsi makanan
menggunakan metode recall 24 jam, kemudian dibandingkan dengan AKG
(Fridawanti, 2016). Untuk Interpretasi hasil, klasifikasi tingkat konsumsi dibagi
menjadi 4 dengan cut off points sebagai berikut (Supariasa, 2002) :
Baik : 100% AKG
Sedang : 80 - 99% AKG
Kurang :70 – 80% AKG
Defisit : < 70% AKG
3. Asupan ASI
Jumlah Energi dan Protein ASI yang dihitung berdasarkan taksiran volume
ASI yang dikonsumsi menurut (Soetjiningsih, 1997 ) dengan cara menghitung total
waktu menyusu dibagi total menit sehari dikali volume ASI sesuai waktu. Kemudian
untuk mengetahui nilai Asupan Energi ASI dihitung dengan cara hasil volume
konsumsi ASI sehari dibagi 100 dikali 62 kkal,sedangkan untuk mengetahui nilai
asupan Protein ASI dihitung dengan cara hasil volume konsumsi ASI sehari dibagi
100 dikali 1,5 kkal.
4. Pola Makan
Pola makan diambil berdasarkan hasil recall 24 jam, dengan melihat
frekuensi yang dieri skor dengan Cutt off sebagai berikut: Tidak pernah = 0, Jarang
< 4x/bln = 1, Kurang dari 3x/mgg = 5, 3-4x/mgg = 10, 1x/hari = 15, 2x/hari = 25,
Setiap kali makan (>2x/hr) = 50. Setelah itu pola makan dikriteriakan sebagai
berikut dikatakan kurang apabila < median dan cukup apabila > median.
H. Izin Etik Dari Pemerintah
Survei dilakukan setelah memperoleh ijin dari komisi etik Politeknik
Kesehatan Makassar dengan nomor: 611/KEPK/-PTKMKS/IX/2017. Untuk
kelengkapan etik, maka informed consent dimintakan pada subyek survei sebagai
persyaratan sebelum wawancara dimulai. Semua subyek hanya berpartisipasi secara
sukarela tanpa paksaan. Identitas informan juga dijamin kerahasiaannya oleh tim
peneliti. Permohonan ijin pemerintah juga diajukan di tingkat kabupaten hingga
tingkat desa.
I. Operasional
1. Tim Survei
Tabel 6
Daftar Tim Surveyor
No. Tim surveyor Tugas dan Tanggung jawab
1. Peneliti
1) Melakukan data entry
2) Melakukan analisis data dan konfirmasi
3) Melakukan penyusunan laporan peneltian
2. Jadwal kegiatan
Tahapan jadwal kegiatan dimulai dari dari tahap data processing, data entry,
data cleaning, analisis data serta penulisan laporan survei dapat dilihat pada
lampiran 3.