18
BAB II LANDASAN TEORI A. Kebudayaan Kebudayaan Indonesia adalah satu kondisi yang majemuk karena bermodalkan berbagai kebudayaan lingkungan wilayah yang berkembang menurut tuntutan sejarahnya sendiri-sendiri. Pengalaman serta kemampuan wilayah-wilayah itu memberikan jawaban terhadap masing-masing tantangan, itulah yang memberi bentuk, dari kebudayaan itu. Juga proses sosialisasi yang kemudian dikembangkan dalam kerangka masing-masing kultur itu, memberi warna kepada kepribadian yang muncul dari lingkungan wilayah budaya itu sendiri. Klarifikasi tentang keberadaan tari tidak akan pernah tuntas tanpa mengikutsertakan aspek-aspek sosiologisnya. Kehadiran tari benar-benar merupakan masalah sosial dan hingga kini senantiasa ditemukan dalam setiap masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh Hadi (2005:30) sebagai berikut: Kehadiran tari ditengah-tengah masyarakat mengundang berbagai macam pertan yaan. Karena itu lahirlah pertanyaan tentang bagaimana jenis kegiatan atau perilaku sosial yang cukup berarti (significant symbol) ini harus dipahami. Dasar pemahaman ini menyangkut sosiologi yang berskala besar (makro), yaitu merupakan suatu system sosio-kultural yang terdiri dari sekelompok manusia, yang menggunakan berbagai cara untuk beradaptasi dengan lingkungan mereka; bertindak menurut bentuk tindakan sosial yang sudah terpolakan dan menciptakan kesepakatan bersama yang dibuat untuk memberi makna bagi tindakan bersama yang dibuat. Pada intinya kehidupan masyarakat manusia dalam sistem sosio-kultural dibedakan dalam dua komponen pokok. Di satu pihak pola sosial yang termasuk

BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/420/3/T1_152008008_BAB II.pdf · Pada zaman Kerajaan, ketika di Jawa terdapat dua golongan yang

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/420/3/T1_152008008_BAB II.pdf · Pada zaman Kerajaan, ketika di Jawa terdapat dua golongan yang

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kebudayaan

Kebudayaan Indonesia adalah satu kondisi yang majemuk karena bermodalkan

berbagai kebudayaan lingkungan wilayah yang berkembang menurut tuntutan sejarahnya

sendiri-sendiri. Pengalaman serta kemampuan wilayah-wilayah itu memberikan jawaban

terhadap masing-masing tantangan, itulah yang memberi bentuk, dari kebudayaan itu.

Juga proses sosialisasi yang kemudian dikembangkan dalam kerangka masing-masing

kultur itu, memberi warna kepada kepribadian yang muncul dari lingkungan wilayah

budaya itu sendiri.

Klarifikasi tentang keberadaan tari tidak akan pernah tuntas tanpa

mengikutsertakan aspek-aspek sosiologisnya. Kehadiran tari benar-benar merupakan

masalah sosial dan hingga kini senantiasa ditemukan dalam setiap masyarakat. Seperti

yang diungkapkan oleh Hadi (2005:30) sebagai berikut:

Kehadiran tari ditengah-tengah masyarakat mengundang berbagai macam pertan yaan. Karena itu lahirlah pertanyaan tentang bagaimana jenis kegiatan atau perilaku sosial yang cukup berarti (significant symbol) ini harus dipahami. Dasar pemahaman ini menyangkut sosiologi yang berskala besar (makro), yaitu merupakan suatu system sosio-kultural yang terdiri dari sekelompok manusia, yang menggunakan berbagai cara untuk beradaptasi dengan lingkungan mereka; bertindak menurut bentuk tindakan sosial yang sudah terpolakan dan menciptakan kesepakatan bersama yang dibuat untuk memberi makna bagi tindakan bersama yang dibuat.

Pada intinya kehidupan masyarakat manusia dalam sistem sosio-kultural

dibedakan dalam dua komponen pokok. Di satu pihak pola sosial yang termasuk

Page 2: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/420/3/T1_152008008_BAB II.pdf · Pada zaman Kerajaan, ketika di Jawa terdapat dua golongan yang

��

infrastruktur material yang berisi bahan baku dan bentuk sosial dasar yang

berhubungan dengan usaha manusia untuk mempertahankan hidup serta beradaptasi

dengan lingkungannya. Infrastruktur sebuah masyarakat dapat diidentifkasi seperti

misalnya unit dasar teknologi, ekonomi, ekologi dan demografi. Dengan pengertian

bahwa tanpa unit-unit yang paling dasar itu, manusia tidak mungkin dapat bertahan

secara fisik. Di samping itu pola social yang termasuk infrastruktur, berisi pula beberapa

pola kehidupan sosial yang teratur yang dipakai dikalangan para anggota masyarakat,

yaitu struktur social yang selalu merujuk kepada pola prilaku atau berisi apa yang

dilakukan orang secara aktual. Unit dasar struktur sosial ini menyangkut misalnya

stratifikasi sosial, organisasi sosial, keluarga, kekerabatan, gaya hidup, pembagian kerja

dan pendidikan.

Pada dasarnya kesenian yang berkembang di Indonesia terbagi menjadi 2

kelompok yaitu kesenian yang lahir di kalangan Istana atau kerajaan dan kesenian yang

lahir di kalangan rakyat (kesenian rakyat). Sesuai dengan pendapat yang dikemukakan

oleh Sujana, Anis (2001:132) sebagai berikut:

Sekarang dikenal dua kutub kebudayaan, yaitu kebudayaan rakyat di satu pihak dan kebudayaan istana dipihak lain (volkskuns dan hofkuns), maka kesenian rakyat menempati bagian luar (outdoor) keraton, dan kesenian istana menempati bagian dalam ( indoor) keraton.

Dari ungkapan di atas, dapat disimpulkan bahwa kesenian terbagi menjadi dua

dimana terdapat kesenian istana dan rakyat, hal ini dapat dibedakan dari tempat

pertunjukkannya dimana kesenian rakyat dipentaskan di bagian luar keraton dan

kesenian istana dipentaskan di bagian dalam keraton. Hal tersebut diungkap pula oleh

Page 3: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/420/3/T1_152008008_BAB II.pdf · Pada zaman Kerajaan, ketika di Jawa terdapat dua golongan yang

��

Kayam (1981:39) bahwa, sebagai berikut: ”...”tradisi agung” dan “tradisi kecil”. Yakni

pola kebudayaan dari peradaban kota (agung) dan pola kebudayaan dari komunitas

kecil atau masyarakat pertanian (kecil)”. Hal tersebut diungkap pula oleh Soedarsono

dalam bukunya Pengaruh Perubahan Sosial Terhadap Seni Pertunjukkan di Indonesia,

dijelaskan bahwa, sebagai berikut.

Pada zaman Kerajaan, ketika di Jawa terdapat dua golongan yang sangat berbeda, yaitu golongan istana dan golongan rakyat, telah mengahdirkan dua gaya seni pertunjukkan yang sangat berbeda pula, yaitu seni pertunjukkan istana dan seni pertunjukkan rakyat.

Berdasarkan pemaparan di atas jelas terdapat dua kebudayaan atau tradisi yang

terdapat dalam sebuah pertunjukkan di masyarakat. Dimana perbedaan tersebut

munjukan status sosial masayarakat dari kalangan mana dia berasal.

Page 4: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/420/3/T1_152008008_BAB II.pdf · Pada zaman Kerajaan, ketika di Jawa terdapat dua golongan yang

B. Kesenian

Kesenian merupakan unsur kebudayaan selalu mengalami perkembangan dan

perubahan dari masa ke masa. Perubahan itu disadari oleh pandangan manusia yang

dinamis dan semakin lama semakin berkembang dalam konsep proses dan hasil karya

berkesenian.

Hal tersebut dapat dimengerti karena kesenian merupakan salah satu unsur

kebudayaan dan manusia adalah pencipta sekaligus penikmatnya. Oleh karena itu,

sepanjang sejarahnya manusia tidak akan lepas dari seni, karena hal tersebut

mengandung nilai estetis (keindahan), sedangkan manusia menyukai keindahan. Sejalan

dengan hal tersebut, Rohidi (2000:3) berpendapat sebagai berikut:

Kesenian telah menyertai manusia sejak awal kehidupannya, dan sekaligus juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari seluruh hidup manusia. Semua ini menunjukkan keunikan baik dari umurnya maupun ke universalanya, sebagai salah satu bagian dari kebudayaan.

Berdasarkan paparan diatas, berarti dengan seni, seseorang dapat memperoleh

kenikmatan yang dirasakannya tidak hanya secara fisik saja, melainkan juga secara

batiniah. Estetika adalah disiplin terhadap keindahan atau seni.Bahasan seni dalam

estetika mencakup masalah filosofis (pengetahuan) dan sains sekaligus. Kemudian,

secara bertahap berkembanglah berbagai disiplin seni yang lebih mengedepankan aspek

rasional dan empiris yang didasari oleh interaksi bangsa-bangsa di dunia ini. Dimulai

oleh disiplin antropologi yang kemudian bersentuhan dengan disiplin seni. Kenikmatan

itu timbul apabila kita menangkap simbol-simbol estetik dari penciptanya, sehingga

Page 5: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/420/3/T1_152008008_BAB II.pdf · Pada zaman Kerajaan, ketika di Jawa terdapat dua golongan yang

���

sering orang menyatakan nilai seni merupakan nilai spiritual (kejiwaan). Pandangan

tersebut dikemukakan pula oleh Rohindi (2000:11), sebagai berikut:

Kesenian adalah sebagai pedoman bagi pemenuhan integrative, yang bertalian dengan keindahan, berfungsi untuk mengintegrasikan berbagai kebutuhan tersebut menjadi suatu satuan system yang diterima oleh cita rasa yang langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan pembenaran secara moral dan penerimaan akal pikiran warga masyarakat pendukungnya.

Karena kompleksitas dan kedalamannya, maka orang membuat batasan-batasan

tentang seni. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah dalam memahami dan menilai

seni, sehingga timbul konsep-konsep yang bervariasi sesuai dengan pemahaman,

penghayatan, pengalaman dan pandangan seseorang terhadap seni.

Berbagai kesenian merupakan petualangan manusia, dan sebagian besar karya-

karya tentang estetika pada masa kini, dimulai dari perbedaan-perbedaan umum di antara

cabang-cabang seni yang dihasilkan dalam kehidupan kita. Namun demikian, dalam

tahapan tertentu berbagai cabang kesenian ini mempunyai satu kesatuan, yang

membentuk identitas masyarakat pendukungnya.

Kesenian sudah melekat dalam tatanan hidup masyarakat. Hal ini tidak dapat

kita pungkiri lagi karena kesenian telah ada sejak jaman dulu dalam kehidupan

masyarakat. Bentuk kesenian adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia di zaman dulu

tersebut, sering kali disebut sebagai kesenian tradisional.

Kesenian tradisional lahir dari masyarakat, dipelihara oleh masyarakat, serta

mendapatkan pengembangannya oleh masyarakat. Oleh karena itu masyarakatlah yang

menentukan perubahan pada kesenian tradisional.Kesenian tradisional memiliki ciri

Page 6: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/420/3/T1_152008008_BAB II.pdf · Pada zaman Kerajaan, ketika di Jawa terdapat dua golongan yang

���

tersendiri yang berpijak kepada adat istiadat atau aturan-aturan yang sudah baku, seperti

yang diungkapkan oleh Edy Sedyawati (1981: 48) bahwa:

Predikat tradisional bisa diartikan sebagai segala yang sesuai dengan tradisi sesuai dengan kerangka pola-pola bentuk maupun penerapan yang selalu berulang, sedang yang tidak tradisional adalah yang terikat pada kerangka apapun.

Dari pernyataan di atas, menunjukan bahwa pandangan masyarakat tentang

kesenian tradisi hanya diartikan sebagai warisan budaya yang patut dilestarikan tanpa

pengamatan yang lebih dalam, serta mencerminkan makna dan symbol yang terdapat

didalamnya.

Kesenian tradisional sangat dirasakan masyarakat pendukungnya sebagai sarana

untuk mencapai suatu kebutuhan baik moril maupun spiritual. Mereka sangat percaya

bahwa keinginannya, akhirnya akan tercapai. Akan tetapi makna yang terkandung

dalam kesenian tradisional pada umumnya berhubungan dengan kebutuhan

pendukungnya.

Dari begitu banyak gaya tari rakyat yang ada, maka dapat dilihat ciri-ciri yang

selalu ada pada setiap tari rakyat, hal ini diungkapkapkan oleh Sedyawati (1986: 169)

diantaranya sebagai berikut:

1. Fungsi sosial; Tarian yang mempunyai sifat sosial atau kebersamaan, atau bisa

ditarikan oleh semua kalangan masyarakat.

2. Ditarikan bersama; Kelompok ataupun massal, bukan pemain atau penari saja,

akan tetapi penonton juga dapat ikut andil pada pertunjukkan tari rakyat tersebut.

Page 7: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/420/3/T1_152008008_BAB II.pdf · Pada zaman Kerajaan, ketika di Jawa terdapat dua golongan yang

���

3. Sifatnya spontanitas dan komunikatif; Geraknya dilakukan tanpa dipikirkan

terlebih dahulu tapi muncul secara spontan, asalkan mendekati suasana hati

lingkungan, dapat menjadi unsur berlangsungnya sebuah tari rakyat.

4. Bentuk geraknya sederhana; Bentuk gerak yang diungkapkan bukan gerak yang

sukar dan tinggi mutunya dalam arti gaya tari tertentu yang tinggi nilainya, akan

tetapi sifat atau bentuk gerak yang sederhana (tidak ada pengolahan), sekedar

mengimbangi bentuk gerak dan irama pasangannya.

5. Tata rias dan busana pada umumnya sederhana; Kespontanitasan yang dituntut

untuk berpartisipasi dalam tarian rakyat, dengan sendirinya menjadikan unsur tata

rias dan tata busana penampilan tari rakyat sangat sederhana.

6. Irama iringan dinamis; Iringan musiknya penuh semangat dan tenaga, sehingga

cepat bergerak dan mudah menyesuaikan diri dengan keadaan. Dengan diiringi

hentakan-hentakan pukulan kendang lebih kerap, yang menyebabkan gending

iringan terasa lebih dinamis.

7. Jarang membawakan cerita lakon; Di dalam pertunjukkan tari rakyat ini tidak

membawakan cerita lakon.

8. Jangka waktu pertunjukan tergantung dari gairah penari yang tergugah; Waktu

pertunjukkan tari rakyat sangat tergantung dengan banyaknya para apresiator dari

penonton yang terlibat. Sebaliknya bila suasana sekekliling termasuk penonton

tidak apresiatif, dan tambahan lagi penari-penari yang hadir tidak saling

menggugah kegairahan mereka, hal semacam ini dapat menyebabkan

pertunjukan menjadi sangat kurang bergairah dan patah di tengah jalan

Page 8: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/420/3/T1_152008008_BAB II.pdf · Pada zaman Kerajaan, ketika di Jawa terdapat dua golongan yang

���

9. Sifat tari rakyat sering humoristis: Dari segi sifat tari rakyat, dapat dirasakan

bahwa humor sangat menonjol mewarnai sifat tari rakyat itu.

10. Tempat pementasan berbentuk arena; Tempat penyelenggaraan tari rakyat sangat

lumrah diadakan di arena, dimana kemungkinan tontonan itu menyatu dengan

para penontonnya (tidak ada batas antara pemain dan penonton).

11. Bertemakan kehidupan masyarakat; Tema tari rakyat mencerminkan kehidupan

masyarakat dimana teori itu dilahirkan dan dibina, serta dikembangkan, seiring

dengan pengaruh suasana lingkungan tempat dan waktu.

Pemaparan di atas diungkap pula oleh Dolyana (1981:14) bahwa, “Ciri khas

sebuah kesenian rakyat yaitu suasana yang akrab dan kadang-kadang tidak diketahui

lagi batas antara pemain dengan penonton”. Hal tersebut sejalan dengan ciri-ciri

kesenian lengger yang merupakan kesenian rakyat.

C. Kesenian Tradisional Lengger

Dalam Ensiklopedi Indonesia tradisi ialah hal atau segala sesuatu yang

diserahkan dari sejarah masa lampau dalam bidang adat, bahasa, tata

kemasyarakatan, keyakinan dan sebagainya. Secara turun temurun dari nenek

moyang yang masih dijalankan oleh masyarakat.

Sejalan dengan perkembangan kebudayaan, berbagai bentuk ekspresi

kebudayaan dan kesenian warisan tradisi mempunyai sifat kedaerahan.

Tradisional dapat diartikan pula sebagai segala sesuatu yang sesuai dengan pola-

pola bentuk maupun penerapan yang selalu berulang-ulang meliputi segala

Page 9: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/420/3/T1_152008008_BAB II.pdf · Pada zaman Kerajaan, ketika di Jawa terdapat dua golongan yang

���

pandangan hidup, kepercayaan, ajaran, upacara adat, kesenian yang semua

bersifat turun temurun (Sedyawati, 1981:48).

Seni tradisi dalam kehidupan kita meliputi seluruh bentuk seni yang

dihargai dan merupakan terusan atau kelanjutan masa lalu. Kesenian tradisional

adalah sebagai warisan nenek moyang yang diwariskan secara turun temurun

merupakan bentuk kesenian yang sudah menyatu dengan masyarakat, sangat

berkaitan dengan adat istiadat, dan berhubungan erat dengan sifat kedaerahan.

Kesenian tradisional merupakan ungakapan perasaan dari masyarakat

pendukungnya secara simbolis. Menurut Sedyawati (1981:48) kesenian

tradisional adalah segala sesuatu yang sesuai dengan tradisi, kerangka pola-pola

bentuk maupun penerapan yang selalu berulang dan diwariskan secara turun

temurun. Kesenian tradisional sebagai produk rakyat jelas sekali gaya seni dan

ciri-cirinya lebih bersifat spontan dan umumnya mempunyai fungsi ritual.

Kesenian tradisional dalam pertumbuhannya erat dengan lingkungan fisik

maupun sosial budaya. Menurut Soedarsono, “Tari adalah ekspresi jiwa manusia

yang diungkapkan dengan gerak-gerak ritmis yang indah”.

Diskripsi Pigeaud dalam Javaanese volksvertoningen lazim digunakan

untuk member gambaran seperti apakah Lengger di masa lalu. Mulanya

pertunjukan ini menampilkan laki-laki yang berperan sebagai perempuan

kemudian menari dan menyanyi diiringi angklung, kempul, gong, dan kendang

batangan, disusul penampilan pria yang menggunakan topeng untuk menari

Page 10: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/420/3/T1_152008008_BAB II.pdf · Pada zaman Kerajaan, ketika di Jawa terdapat dua golongan yang

��

bersama penari Lengger. Topeng yang digunakan adalah topeng yang beragam,

mulai dari topeng raja, ksatria, putri, hingga karakter-karakter binatang.

Menurut sumber di sekitar wilayah Banyumas dan Wonosobo, kata

“Lengger” berasal dari dua kata, yakni “Leng” yang berarti lubang atau liang

sebagai symbol feminimitas dan “Ngger” yang berasal dari kata jengger yang

dalam bahasa Jawa merujuk pada jengger ayam jantan (jago) sebagai lambang

maskulinitas. Hal ini berkaitan dengan sejarah pertunjukan Lengger yang

dahulunya ditarikan oleh laki-laki yang berdandan perempuan.

Namun ada juga pendapat bahwa Lengger adalah gabungan kata “le”

yang merupakan suku kata pertama dari kata Ledhek, Tledhek dan “ngger” yang

berasal dari kata “Geger” yang dalam bahasa Indonesia berarti gempar. Sehingga

dapat dimaknai sebagai tledhek yang membuat kegegeran atau kegemparan.

Cerita ini berhubungan dengan cerita Panji yang dipentaskan, diceritakan dalam

cerita Panji, Dewi Sekartaji dalam mencari sang kekasih yaitu Raden Panji

Inukertapati. Dalam pencarianya, Dewi Sekartaji menyamar sebagai penari

tledhek barangan, dan karena kecantikan serta kepandaianya menari, banyak

pemuda yang tergila-gila hingga tak sadarkan diri.

Tledek geger juga dapat muncul dari kegegeran penari tayub yang

biasanya ditarikan oleh seorang perempuan namun ditarikan oleh seorang laki-

laki. Menurut beberapa sumber, keberadaan penari laki-laki yang berperan

sebagai perempuan telah muncul semasa perang Diponegoro mencapai daerah

Wonosobo. Pada saat itu pemimpin perang di daerah Wonosobo adalah

Page 11: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/420/3/T1_152008008_BAB II.pdf · Pada zaman Kerajaan, ketika di Jawa terdapat dua golongan yang

��

Tumenggung Jogonegoro yang juga merupakan orang kepercayaan Pangeran

Diponegoro sekaligus penyiar agama Islam, oleh karena situasi perang yang tidak

memungkinkan untuk mendatangkan penari perempuan pada saat prajurit

membutuhkan hiburan, kemudian mereka mendandani laki-laki layaknya

perempuan untuk menari tayub.

Asal usul berikutnya adalah “Leng” (eling) dari kata Elinga yang dalam

bahasa Indonesia berarti mengingan atau ingat, dan “ngger” (angger) yang berarti

anak laki-laki. Penyatuan dua kata tersebut berarti “Elinga Ngger”, yaitu

merupakan nasehat yang diberikan kepada anak atau orang yang jauh lebih muda.

Pendapat ketiga ini kental dengan siar Islam. Menurut crita, istilah ini muncul

ketika Sunan Kalijaga menyebarkan Islam di tengah-tengah para pemuda yang

sedang larut dalam kegembiraan Tayuban. (Syamsul Hadi, 2006 : 7)

D. Fungsi Kesenian Tradisional

Dalam kehidupan sehari-hari manusia memerlukan santapan-santapan

estetis yang berwujud seni. Namun perhatian antara orang yang satu dengan orang

yang lain berbeda. Ada yang lebih senang kepada seni lukis, seni musik, seni

drama, seni tari dan lain sebagainya. Kesenian sebagai salah satu aktivitas budaya

masyarakat dalam hidupnya tidak pernah berdiri sendiri. Segala bentuk dan

fungsinya berkaitan erat dengan masyarakat tempat kesenian itu tumbuh, hidup,

dan berkembang.

Kata fungsi menunjukkan pengaruh terhadap sesuatu yang lain, tidak

berdiri sendiri, tetapi justru dalam hubungan tertentu. Dengan demikian apa yang

Page 12: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/420/3/T1_152008008_BAB II.pdf · Pada zaman Kerajaan, ketika di Jawa terdapat dua golongan yang

���

dimaksud fungsional bukan merupakan sesuatu yang lepas dari konteksnya,

melainkan harus dipandang secara keseluruhan. Yang dimaksud fungsi kesenian

di sini adalah bahwa kegiatan kesenian tersebut mempunyai peranan penting

dalam kehidupan masyarakat (Soekanto, 1989:6).

Kesenian tradisional dalam kaitannya dengan fungsi, bagaimana suatu

kesenian tradisional yang diciptakan oleh suatu masyarakat dapat mempunyai

makna dan arti penting bagi masyarakatnya, dengan demikian kesenian

tradisional yang hidup dalam kelompok masyarakat tertentu memiliki fungsi

tertentu pula (Sedyawati, 1983:138).

Kehadiran suatu bentuk kesenian di tengah-tengah masyarakat

mempunyai fungsi-fungsi tertentu di tengah kehidupan masyarakatnya. Oleh

karena itu dapatlah kiranya kehadiran suatu kesenian dikaji fungsinya, baik itu

sebagai sarana upacara, hiburan atau tontonan untuk dinikmati masyarakat umum.

Keberadaan suatu bentuk kesenian selalu berkaitan dengan fungsinya.

Kesenian tradisional bukan hanya merupakan suatu sarana hiburan saja, tetapi

berperan erat dalam segi agama, persembahan atau sebagai wujud ungkapan dari

rasa syukur maupun bentuk ekspresi dari masyarakat pendukungnya. Menurut

Peursen (dalam Djazuli, 1994:36) dijelaskan bahwa fungsi selalu menunjukan

terhadap sesuatu yang lain, apa yang namanya fungsional adalah sesuatu yang

tidak dapat berdiri sendiri tetapi apabila dihubungkan dengan yang lain akan

mempunyai arti dan maksud yang lain pula.

Page 13: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/420/3/T1_152008008_BAB II.pdf · Pada zaman Kerajaan, ketika di Jawa terdapat dua golongan yang

���

Sebagai salah satu unsur kebudayaan, kesenian memiliki fungsi sebagai

acuan pedoman bertindak bagi pendukungnya, dalam upaya memenuhi kebutuhan

estetikanya. Sebagai sistem budaya, kesenian menjadi pengatur, penata,

pengendali atau pedoman bagi para pendukungnya dalam kegiatan kesenian baik

dalam tataran berkreasi maupun dalam apresiasi. Hal ini terbukti terutama dalam

bentuk kesenian tradisional (Triyanto, 1994:179).

Menurut Thohir (1994:4) kesenian adalah salah satu unsur kebudayan

yang menunjukkan fungsi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat.

Melalui kesenian manusia mencari, melaksanakan dan menciptakan aktifitas yang

besar untuk memenuhi rasa estetis sesuai dengan tuntutan emosinya. Menurut

Sach (dalam Djazuli, 1994:36), kesenian tradisional memiliki fungsi untuk tujuan

magis dan sebagai tontonan, tujuan magis maksudnya adalah mempengaruhi

keadaan manusia dan lingkungannya, seperti untuk mendatangkan hujan,

memperoleh kesejahteraan, selamat dari bencana dan lain sebagainya. Fungsi

penyajian kesenian tradisional sebagai tontonan adalah untuk hiburan atau

santapan estetis yang merupakan perkembangan dari fungsi magis.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas peneliti menyimpulkan bahwa

kesenian tradisional yang hidup dalam kelompok masyarakat tertentu memiliki

fungsi tertentu pula dalam kehidupan masyarakatnya. Kesenian tradisional bukan

hanya merupakan suatu sarana hiburan saja, tetapi berperan erat dalam segi

agama, persembahan atau sebagai wujud ungkapan dari rasa syukur maupun

bentuk ekspresi dari masyarakat pendukungnya.

Page 14: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/420/3/T1_152008008_BAB II.pdf · Pada zaman Kerajaan, ketika di Jawa terdapat dua golongan yang

� �

Seni pertunjukan memiliki fungsi yang sangat kompleks dalam kehidupan

manusia. Disamping itu, antara manusia yang hidup di negara berkembang dengan yang

hidup di negara maju, juga sangat berlainan dalam mereka memanfaatkan seni

pertunjukkan dalam hidup mereka. Sebagai contoh yang mudah saja, di negara-negara

yang sedang berkembang, yang dalam tata kehidupannya masih banyak mengacu kepada

budaya agraris, seni pertunjukkan memiliki fungsi ritual yang sangat beragam. Lebih-

lebih apabila penduduk Negara tersebut memeluk agama yang selalu melibatkan seni

dalam kegiatan-kegiatan upacaranya, seperti misalnya saja agama Hindu Dharma di

Bali. Sebaliknya, di negara-negara maju yang dalam tata kehidupannya sudah mengacu

kepada budaya industrial yang segala sesuatu bisa diukur dengan uang, sebagian besar

bentuk-bentuk seni pertunjukkan merupakan penyajian estetis, yang hanya dinikmati

keindahannya.

Oleh karena begitu kompleksnya fungsi seni pertunjukkan dalam kehidupan

masyarakat serta antara masyarakat yang satu menempatkan salah satu bentuk seni

pertunjukkan lebih penting dari masyarakat yang lain, maka tak pernah ada kesepakatan

serta keseragaman pendapat mengenai fungsi-fungsi yang sangat kompleks ini.

Setiap zaman, setiap kelompok etnis serta setiap lingkungan masyarakat,

mempunyai berbagai bentuk seni pertunjukkan yang memiliki fungsi primer dan

skunder yang berbeda. Pembagian fungsi primer menjadi tiga berdasarkan atas siapa

yang menjadi penikmat seni pertunjukkan itu. Hal ini penting kita perhatikan, karena

dipertunjukkan bagi penikmat. Apabila penikmatnya adalah kekuatan-kekuatan yang tak

kasat mata seperti misalnya dewa atau roh nenek moyang, maka seni pertunjukkan

berfungsi sebagai sarana ritual. Apabila penikmatnya adalah pelakunya sendiri seperti

Page 15: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/420/3/T1_152008008_BAB II.pdf · Pada zaman Kerajaan, ketika di Jawa terdapat dua golongan yang

���

misalnya seorang pengibing pada pertunjukkan tayub, ketuk tilu, topeng banjet, doger

kontrak, bajidoran dan disko, seni pertunjukkan itu berfungsi sebagai sarana hiburan

pribadi. Jika penikmat seni pertunjukkan itu adalah penonton yang kebanyakan harus

membayar, seni pertunjukkan itu berfungsi sebagai presentasi estetis.

Seperti yang diungkapkan oleh Soedarsono (2002: 122), sebagai berikut. Seni

pertunjukkan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok fungsi-fungsi primer dan

kelompok fungsi-fungsi sekunder. Secara garis besar seni pertunjukkan primer terbagi

menjadi tiga fungsi, yaitu

1. Sebagai sarana ritual;

2. Sebagai ungkapan pribadi yang pada umunya berupa hiburan pribadi;

3. Sebagai presentasi estetis. Sedangkan yang berfungsi sekunder, diantaranya:

• Media interaksi atau komunikasi;

• Gengsi atau prestion;

• Mata pencaharian;

• Pendidikan, dan lain-lain.

Di lingkungan masyarakat Indonesia yang masih sangat kental nilai-nilai

kehidupan agrarisnya, sebagian besar seni pertunjukkannya memiliki fungsi ritual.

Fungsi-fungsi ritual itu bukan saja berkenaan dengan peristiwa daur hidup yang

dianggap penting seperti misalnya kelahiran, potong gigi, potong rambut yang pertama,

turun tanah, khitanan, pernikahan serta kematian; berbagai kegiatan yang dianggap

penting juga memerlukan seni pertunjukkan, seperti misalnya berburu, menanam padi,

panen, bahkan sampai pula persiapan untuk perang. Pada pertunjukkan untuk

Page 16: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/420/3/T1_152008008_BAB II.pdf · Pada zaman Kerajaan, ketika di Jawa terdapat dua golongan yang

���

kepentingan ritual ini penikmatnya adalah para penguasa dunia atas serta bawah,

sedangkan manusia sendiri lebih mementingkan tujuan upacara itu dari pada menikmati

bentuknya.

Seni pertunjukkan semacam ini bukan disajikan bagi manusia tetapi harus

dilibatkan (arts of participation). Seni pertunjukkan ritual memiliki ciri-ciri khas, yaitu:

1. Diperlukan tempat pertunjukkan yang terpilih, yang biasanya dianggap sakral;

2. Diperlukan pemilihan hari serta saat yang terpilih yang biasanya juga dianggap

sakral;

3. Diperlukan pemain yang terpilih, biasanya mereka yang dianggap suci, atau yang

telah membersihkan diri secara spiritual;

4. Diperlukan seperangkat sesaji yang kadang-kadang sangat banyak jenis dan

macamnya;

5. Tujuan lebih dipentingkan daripada penampilannya secara estetis; dan

6. Diperlukan busana yang khas.

Fungsi yang berikutnya adalah sebagai ungkapan atau hiburan pribadi. Seni

pertunjukkan jenis ini penikmatnya harus melibatkan diri dalam pertunjukan. Biasanya

di Indonesia bentuk pertunjukan yang berfungsi sebagai hiburan pribadi disajikan oleh

penari wanita dan yang ingin mendapatkan hiburan adalah pria yang bisa menari

bersama penari wanita tersebut. Oleh karena pertunjukan ini hanya dinikmati sendiri

oleh pelakunya, bentuk ungkapan estetisnya tidaklah penting. Biasanya asal penari pria

itu bisa mengikuti irama musik yang mengiringi pertunjukan, ia sudah puas. Setiap

Page 17: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/420/3/T1_152008008_BAB II.pdf · Pada zaman Kerajaan, ketika di Jawa terdapat dua golongan yang

���

penari pria yang menari bersama penari wanita yang menghiburnya memiliki gaya

penampilan sendiri-sendiri.

Seni pertunjukkan yang berfungsi sebagai penyajian estetis memerlukan

penggarapan yang sangat serius, karena penikmat yang pada umumnya membeli karcis,

menuntut sajian pertunjukan yang baik. Di Indonesia seni pertunjukkan estetis muncul

pada akhir abad ke-19, ketika di beberapa wilayah tumbuh kota-kota yang penghuninya

dalam hidupnya tidak tergantung pada pertanian. Mereka itu adalah para karyawan

pemerintah, para pengusaha, para karyawan–karyawan perusahaan, serta para pedagang.

Sebagai makhluk yang memiliki estetis (aesthetic behavior), yang secara naluriah ingin

menikmati sajian-sajian estetis, mereka memerlukan bentuk-bentuk pertunjukkan yang

bisa dinikmati dengan membeli karcis kapan saja dan dimana saja. Sudah barang tentu

seni pertunjukkan estetis baru akan berkembang dengan baik apabila para cara

penikmatnya memiliki penghasilan yang cukup, sehingga mereka bisa menyisihkan

sebagian penghasilannya untuk kepentingan rekreasi.

Fungsi kesenian lengger mengalami pergeseran nilai, pada awalnya kesenian

lengger berfungsi sebagai upacara ritual kemudian berkembang menjadi pertunjukan

tari hiburan.

Page 18: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/420/3/T1_152008008_BAB II.pdf · Pada zaman Kerajaan, ketika di Jawa terdapat dua golongan yang

���

E. Penelitian Yang Relevan

Berikut ini dikemukakan penelitian yang relevan dengan bahasan permasalah

yang sesuai dalam penelitian ini, yaitu: Suwoko. 2011. Struktur dan Makna Gerak

Simbolis Tari Lengger Solasih Karya Sanggar Satria Wonosobo Kabupaten Wonosobo,

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Univrsitas Veteran Bangun Nusantara,

Sukoharjo. Membahas secara luas mengenai struktur tari lengger solasih secara

menyeluruh serta makna yang terkandung dalam setiap gerak-gerak simbolis tari yang

ditarikan oleh para penari didikan dari sanggar satria yang berada di Kabupaten

Wonosobo.