Upload
truongtuyen
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
�
�
�
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kebudayaan
Kebudayaan Indonesia adalah satu kondisi yang majemuk karena bermodalkan
berbagai kebudayaan lingkungan wilayah yang berkembang menurut tuntutan sejarahnya
sendiri-sendiri. Pengalaman serta kemampuan wilayah-wilayah itu memberikan jawaban
terhadap masing-masing tantangan, itulah yang memberi bentuk, dari kebudayaan itu.
Juga proses sosialisasi yang kemudian dikembangkan dalam kerangka masing-masing
kultur itu, memberi warna kepada kepribadian yang muncul dari lingkungan wilayah
budaya itu sendiri.
Klarifikasi tentang keberadaan tari tidak akan pernah tuntas tanpa
mengikutsertakan aspek-aspek sosiologisnya. Kehadiran tari benar-benar merupakan
masalah sosial dan hingga kini senantiasa ditemukan dalam setiap masyarakat. Seperti
yang diungkapkan oleh Hadi (2005:30) sebagai berikut:
Kehadiran tari ditengah-tengah masyarakat mengundang berbagai macam pertan yaan. Karena itu lahirlah pertanyaan tentang bagaimana jenis kegiatan atau perilaku sosial yang cukup berarti (significant symbol) ini harus dipahami. Dasar pemahaman ini menyangkut sosiologi yang berskala besar (makro), yaitu merupakan suatu system sosio-kultural yang terdiri dari sekelompok manusia, yang menggunakan berbagai cara untuk beradaptasi dengan lingkungan mereka; bertindak menurut bentuk tindakan sosial yang sudah terpolakan dan menciptakan kesepakatan bersama yang dibuat untuk memberi makna bagi tindakan bersama yang dibuat.
Pada intinya kehidupan masyarakat manusia dalam sistem sosio-kultural
dibedakan dalam dua komponen pokok. Di satu pihak pola sosial yang termasuk
�
��
�
infrastruktur material yang berisi bahan baku dan bentuk sosial dasar yang
berhubungan dengan usaha manusia untuk mempertahankan hidup serta beradaptasi
dengan lingkungannya. Infrastruktur sebuah masyarakat dapat diidentifkasi seperti
misalnya unit dasar teknologi, ekonomi, ekologi dan demografi. Dengan pengertian
bahwa tanpa unit-unit yang paling dasar itu, manusia tidak mungkin dapat bertahan
secara fisik. Di samping itu pola social yang termasuk infrastruktur, berisi pula beberapa
pola kehidupan sosial yang teratur yang dipakai dikalangan para anggota masyarakat,
yaitu struktur social yang selalu merujuk kepada pola prilaku atau berisi apa yang
dilakukan orang secara aktual. Unit dasar struktur sosial ini menyangkut misalnya
stratifikasi sosial, organisasi sosial, keluarga, kekerabatan, gaya hidup, pembagian kerja
dan pendidikan.
Pada dasarnya kesenian yang berkembang di Indonesia terbagi menjadi 2
kelompok yaitu kesenian yang lahir di kalangan Istana atau kerajaan dan kesenian yang
lahir di kalangan rakyat (kesenian rakyat). Sesuai dengan pendapat yang dikemukakan
oleh Sujana, Anis (2001:132) sebagai berikut:
Sekarang dikenal dua kutub kebudayaan, yaitu kebudayaan rakyat di satu pihak dan kebudayaan istana dipihak lain (volkskuns dan hofkuns), maka kesenian rakyat menempati bagian luar (outdoor) keraton, dan kesenian istana menempati bagian dalam ( indoor) keraton.
Dari ungkapan di atas, dapat disimpulkan bahwa kesenian terbagi menjadi dua
dimana terdapat kesenian istana dan rakyat, hal ini dapat dibedakan dari tempat
pertunjukkannya dimana kesenian rakyat dipentaskan di bagian luar keraton dan
kesenian istana dipentaskan di bagian dalam keraton. Hal tersebut diungkap pula oleh
�
��
�
Kayam (1981:39) bahwa, sebagai berikut: ”...”tradisi agung” dan “tradisi kecil”. Yakni
pola kebudayaan dari peradaban kota (agung) dan pola kebudayaan dari komunitas
kecil atau masyarakat pertanian (kecil)”. Hal tersebut diungkap pula oleh Soedarsono
dalam bukunya Pengaruh Perubahan Sosial Terhadap Seni Pertunjukkan di Indonesia,
dijelaskan bahwa, sebagai berikut.
Pada zaman Kerajaan, ketika di Jawa terdapat dua golongan yang sangat berbeda, yaitu golongan istana dan golongan rakyat, telah mengahdirkan dua gaya seni pertunjukkan yang sangat berbeda pula, yaitu seni pertunjukkan istana dan seni pertunjukkan rakyat.
Berdasarkan pemaparan di atas jelas terdapat dua kebudayaan atau tradisi yang
terdapat dalam sebuah pertunjukkan di masyarakat. Dimana perbedaan tersebut
munjukan status sosial masayarakat dari kalangan mana dia berasal.
�
�
�
B. Kesenian
Kesenian merupakan unsur kebudayaan selalu mengalami perkembangan dan
perubahan dari masa ke masa. Perubahan itu disadari oleh pandangan manusia yang
dinamis dan semakin lama semakin berkembang dalam konsep proses dan hasil karya
berkesenian.
Hal tersebut dapat dimengerti karena kesenian merupakan salah satu unsur
kebudayaan dan manusia adalah pencipta sekaligus penikmatnya. Oleh karena itu,
sepanjang sejarahnya manusia tidak akan lepas dari seni, karena hal tersebut
mengandung nilai estetis (keindahan), sedangkan manusia menyukai keindahan. Sejalan
dengan hal tersebut, Rohidi (2000:3) berpendapat sebagai berikut:
Kesenian telah menyertai manusia sejak awal kehidupannya, dan sekaligus juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari seluruh hidup manusia. Semua ini menunjukkan keunikan baik dari umurnya maupun ke universalanya, sebagai salah satu bagian dari kebudayaan.
Berdasarkan paparan diatas, berarti dengan seni, seseorang dapat memperoleh
kenikmatan yang dirasakannya tidak hanya secara fisik saja, melainkan juga secara
batiniah. Estetika adalah disiplin terhadap keindahan atau seni.Bahasan seni dalam
estetika mencakup masalah filosofis (pengetahuan) dan sains sekaligus. Kemudian,
secara bertahap berkembanglah berbagai disiplin seni yang lebih mengedepankan aspek
rasional dan empiris yang didasari oleh interaksi bangsa-bangsa di dunia ini. Dimulai
oleh disiplin antropologi yang kemudian bersentuhan dengan disiplin seni. Kenikmatan
itu timbul apabila kita menangkap simbol-simbol estetik dari penciptanya, sehingga
�
���
�
sering orang menyatakan nilai seni merupakan nilai spiritual (kejiwaan). Pandangan
tersebut dikemukakan pula oleh Rohindi (2000:11), sebagai berikut:
Kesenian adalah sebagai pedoman bagi pemenuhan integrative, yang bertalian dengan keindahan, berfungsi untuk mengintegrasikan berbagai kebutuhan tersebut menjadi suatu satuan system yang diterima oleh cita rasa yang langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan pembenaran secara moral dan penerimaan akal pikiran warga masyarakat pendukungnya.
Karena kompleksitas dan kedalamannya, maka orang membuat batasan-batasan
tentang seni. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah dalam memahami dan menilai
seni, sehingga timbul konsep-konsep yang bervariasi sesuai dengan pemahaman,
penghayatan, pengalaman dan pandangan seseorang terhadap seni.
Berbagai kesenian merupakan petualangan manusia, dan sebagian besar karya-
karya tentang estetika pada masa kini, dimulai dari perbedaan-perbedaan umum di antara
cabang-cabang seni yang dihasilkan dalam kehidupan kita. Namun demikian, dalam
tahapan tertentu berbagai cabang kesenian ini mempunyai satu kesatuan, yang
membentuk identitas masyarakat pendukungnya.
Kesenian sudah melekat dalam tatanan hidup masyarakat. Hal ini tidak dapat
kita pungkiri lagi karena kesenian telah ada sejak jaman dulu dalam kehidupan
masyarakat. Bentuk kesenian adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia di zaman dulu
tersebut, sering kali disebut sebagai kesenian tradisional.
Kesenian tradisional lahir dari masyarakat, dipelihara oleh masyarakat, serta
mendapatkan pengembangannya oleh masyarakat. Oleh karena itu masyarakatlah yang
menentukan perubahan pada kesenian tradisional.Kesenian tradisional memiliki ciri
�
���
�
tersendiri yang berpijak kepada adat istiadat atau aturan-aturan yang sudah baku, seperti
yang diungkapkan oleh Edy Sedyawati (1981: 48) bahwa:
Predikat tradisional bisa diartikan sebagai segala yang sesuai dengan tradisi sesuai dengan kerangka pola-pola bentuk maupun penerapan yang selalu berulang, sedang yang tidak tradisional adalah yang terikat pada kerangka apapun.
Dari pernyataan di atas, menunjukan bahwa pandangan masyarakat tentang
kesenian tradisi hanya diartikan sebagai warisan budaya yang patut dilestarikan tanpa
pengamatan yang lebih dalam, serta mencerminkan makna dan symbol yang terdapat
didalamnya.
Kesenian tradisional sangat dirasakan masyarakat pendukungnya sebagai sarana
untuk mencapai suatu kebutuhan baik moril maupun spiritual. Mereka sangat percaya
bahwa keinginannya, akhirnya akan tercapai. Akan tetapi makna yang terkandung
dalam kesenian tradisional pada umumnya berhubungan dengan kebutuhan
pendukungnya.
Dari begitu banyak gaya tari rakyat yang ada, maka dapat dilihat ciri-ciri yang
selalu ada pada setiap tari rakyat, hal ini diungkapkapkan oleh Sedyawati (1986: 169)
diantaranya sebagai berikut:
1. Fungsi sosial; Tarian yang mempunyai sifat sosial atau kebersamaan, atau bisa
ditarikan oleh semua kalangan masyarakat.
2. Ditarikan bersama; Kelompok ataupun massal, bukan pemain atau penari saja,
akan tetapi penonton juga dapat ikut andil pada pertunjukkan tari rakyat tersebut.
�
���
�
3. Sifatnya spontanitas dan komunikatif; Geraknya dilakukan tanpa dipikirkan
terlebih dahulu tapi muncul secara spontan, asalkan mendekati suasana hati
lingkungan, dapat menjadi unsur berlangsungnya sebuah tari rakyat.
4. Bentuk geraknya sederhana; Bentuk gerak yang diungkapkan bukan gerak yang
sukar dan tinggi mutunya dalam arti gaya tari tertentu yang tinggi nilainya, akan
tetapi sifat atau bentuk gerak yang sederhana (tidak ada pengolahan), sekedar
mengimbangi bentuk gerak dan irama pasangannya.
5. Tata rias dan busana pada umumnya sederhana; Kespontanitasan yang dituntut
untuk berpartisipasi dalam tarian rakyat, dengan sendirinya menjadikan unsur tata
rias dan tata busana penampilan tari rakyat sangat sederhana.
6. Irama iringan dinamis; Iringan musiknya penuh semangat dan tenaga, sehingga
cepat bergerak dan mudah menyesuaikan diri dengan keadaan. Dengan diiringi
hentakan-hentakan pukulan kendang lebih kerap, yang menyebabkan gending
iringan terasa lebih dinamis.
7. Jarang membawakan cerita lakon; Di dalam pertunjukkan tari rakyat ini tidak
membawakan cerita lakon.
8. Jangka waktu pertunjukan tergantung dari gairah penari yang tergugah; Waktu
pertunjukkan tari rakyat sangat tergantung dengan banyaknya para apresiator dari
penonton yang terlibat. Sebaliknya bila suasana sekekliling termasuk penonton
tidak apresiatif, dan tambahan lagi penari-penari yang hadir tidak saling
menggugah kegairahan mereka, hal semacam ini dapat menyebabkan
pertunjukan menjadi sangat kurang bergairah dan patah di tengah jalan
�
���
�
9. Sifat tari rakyat sering humoristis: Dari segi sifat tari rakyat, dapat dirasakan
bahwa humor sangat menonjol mewarnai sifat tari rakyat itu.
10. Tempat pementasan berbentuk arena; Tempat penyelenggaraan tari rakyat sangat
lumrah diadakan di arena, dimana kemungkinan tontonan itu menyatu dengan
para penontonnya (tidak ada batas antara pemain dan penonton).
11. Bertemakan kehidupan masyarakat; Tema tari rakyat mencerminkan kehidupan
masyarakat dimana teori itu dilahirkan dan dibina, serta dikembangkan, seiring
dengan pengaruh suasana lingkungan tempat dan waktu.
Pemaparan di atas diungkap pula oleh Dolyana (1981:14) bahwa, “Ciri khas
sebuah kesenian rakyat yaitu suasana yang akrab dan kadang-kadang tidak diketahui
lagi batas antara pemain dengan penonton”. Hal tersebut sejalan dengan ciri-ciri
kesenian lengger yang merupakan kesenian rakyat.
C. Kesenian Tradisional Lengger
Dalam Ensiklopedi Indonesia tradisi ialah hal atau segala sesuatu yang
diserahkan dari sejarah masa lampau dalam bidang adat, bahasa, tata
kemasyarakatan, keyakinan dan sebagainya. Secara turun temurun dari nenek
moyang yang masih dijalankan oleh masyarakat.
Sejalan dengan perkembangan kebudayaan, berbagai bentuk ekspresi
kebudayaan dan kesenian warisan tradisi mempunyai sifat kedaerahan.
Tradisional dapat diartikan pula sebagai segala sesuatu yang sesuai dengan pola-
pola bentuk maupun penerapan yang selalu berulang-ulang meliputi segala
�
���
�
pandangan hidup, kepercayaan, ajaran, upacara adat, kesenian yang semua
bersifat turun temurun (Sedyawati, 1981:48).
Seni tradisi dalam kehidupan kita meliputi seluruh bentuk seni yang
dihargai dan merupakan terusan atau kelanjutan masa lalu. Kesenian tradisional
adalah sebagai warisan nenek moyang yang diwariskan secara turun temurun
merupakan bentuk kesenian yang sudah menyatu dengan masyarakat, sangat
berkaitan dengan adat istiadat, dan berhubungan erat dengan sifat kedaerahan.
Kesenian tradisional merupakan ungakapan perasaan dari masyarakat
pendukungnya secara simbolis. Menurut Sedyawati (1981:48) kesenian
tradisional adalah segala sesuatu yang sesuai dengan tradisi, kerangka pola-pola
bentuk maupun penerapan yang selalu berulang dan diwariskan secara turun
temurun. Kesenian tradisional sebagai produk rakyat jelas sekali gaya seni dan
ciri-cirinya lebih bersifat spontan dan umumnya mempunyai fungsi ritual.
Kesenian tradisional dalam pertumbuhannya erat dengan lingkungan fisik
maupun sosial budaya. Menurut Soedarsono, “Tari adalah ekspresi jiwa manusia
yang diungkapkan dengan gerak-gerak ritmis yang indah”.
Diskripsi Pigeaud dalam Javaanese volksvertoningen lazim digunakan
untuk member gambaran seperti apakah Lengger di masa lalu. Mulanya
pertunjukan ini menampilkan laki-laki yang berperan sebagai perempuan
kemudian menari dan menyanyi diiringi angklung, kempul, gong, dan kendang
batangan, disusul penampilan pria yang menggunakan topeng untuk menari
�
��
�
bersama penari Lengger. Topeng yang digunakan adalah topeng yang beragam,
mulai dari topeng raja, ksatria, putri, hingga karakter-karakter binatang.
Menurut sumber di sekitar wilayah Banyumas dan Wonosobo, kata
“Lengger” berasal dari dua kata, yakni “Leng” yang berarti lubang atau liang
sebagai symbol feminimitas dan “Ngger” yang berasal dari kata jengger yang
dalam bahasa Jawa merujuk pada jengger ayam jantan (jago) sebagai lambang
maskulinitas. Hal ini berkaitan dengan sejarah pertunjukan Lengger yang
dahulunya ditarikan oleh laki-laki yang berdandan perempuan.
Namun ada juga pendapat bahwa Lengger adalah gabungan kata “le”
yang merupakan suku kata pertama dari kata Ledhek, Tledhek dan “ngger” yang
berasal dari kata “Geger” yang dalam bahasa Indonesia berarti gempar. Sehingga
dapat dimaknai sebagai tledhek yang membuat kegegeran atau kegemparan.
Cerita ini berhubungan dengan cerita Panji yang dipentaskan, diceritakan dalam
cerita Panji, Dewi Sekartaji dalam mencari sang kekasih yaitu Raden Panji
Inukertapati. Dalam pencarianya, Dewi Sekartaji menyamar sebagai penari
tledhek barangan, dan karena kecantikan serta kepandaianya menari, banyak
pemuda yang tergila-gila hingga tak sadarkan diri.
Tledek geger juga dapat muncul dari kegegeran penari tayub yang
biasanya ditarikan oleh seorang perempuan namun ditarikan oleh seorang laki-
laki. Menurut beberapa sumber, keberadaan penari laki-laki yang berperan
sebagai perempuan telah muncul semasa perang Diponegoro mencapai daerah
Wonosobo. Pada saat itu pemimpin perang di daerah Wonosobo adalah
�
��
�
Tumenggung Jogonegoro yang juga merupakan orang kepercayaan Pangeran
Diponegoro sekaligus penyiar agama Islam, oleh karena situasi perang yang tidak
memungkinkan untuk mendatangkan penari perempuan pada saat prajurit
membutuhkan hiburan, kemudian mereka mendandani laki-laki layaknya
perempuan untuk menari tayub.
Asal usul berikutnya adalah “Leng” (eling) dari kata Elinga yang dalam
bahasa Indonesia berarti mengingan atau ingat, dan “ngger” (angger) yang berarti
anak laki-laki. Penyatuan dua kata tersebut berarti “Elinga Ngger”, yaitu
merupakan nasehat yang diberikan kepada anak atau orang yang jauh lebih muda.
Pendapat ketiga ini kental dengan siar Islam. Menurut crita, istilah ini muncul
ketika Sunan Kalijaga menyebarkan Islam di tengah-tengah para pemuda yang
sedang larut dalam kegembiraan Tayuban. (Syamsul Hadi, 2006 : 7)
D. Fungsi Kesenian Tradisional
Dalam kehidupan sehari-hari manusia memerlukan santapan-santapan
estetis yang berwujud seni. Namun perhatian antara orang yang satu dengan orang
yang lain berbeda. Ada yang lebih senang kepada seni lukis, seni musik, seni
drama, seni tari dan lain sebagainya. Kesenian sebagai salah satu aktivitas budaya
masyarakat dalam hidupnya tidak pernah berdiri sendiri. Segala bentuk dan
fungsinya berkaitan erat dengan masyarakat tempat kesenian itu tumbuh, hidup,
dan berkembang.
Kata fungsi menunjukkan pengaruh terhadap sesuatu yang lain, tidak
berdiri sendiri, tetapi justru dalam hubungan tertentu. Dengan demikian apa yang
�
���
�
dimaksud fungsional bukan merupakan sesuatu yang lepas dari konteksnya,
melainkan harus dipandang secara keseluruhan. Yang dimaksud fungsi kesenian
di sini adalah bahwa kegiatan kesenian tersebut mempunyai peranan penting
dalam kehidupan masyarakat (Soekanto, 1989:6).
Kesenian tradisional dalam kaitannya dengan fungsi, bagaimana suatu
kesenian tradisional yang diciptakan oleh suatu masyarakat dapat mempunyai
makna dan arti penting bagi masyarakatnya, dengan demikian kesenian
tradisional yang hidup dalam kelompok masyarakat tertentu memiliki fungsi
tertentu pula (Sedyawati, 1983:138).
Kehadiran suatu bentuk kesenian di tengah-tengah masyarakat
mempunyai fungsi-fungsi tertentu di tengah kehidupan masyarakatnya. Oleh
karena itu dapatlah kiranya kehadiran suatu kesenian dikaji fungsinya, baik itu
sebagai sarana upacara, hiburan atau tontonan untuk dinikmati masyarakat umum.
Keberadaan suatu bentuk kesenian selalu berkaitan dengan fungsinya.
Kesenian tradisional bukan hanya merupakan suatu sarana hiburan saja, tetapi
berperan erat dalam segi agama, persembahan atau sebagai wujud ungkapan dari
rasa syukur maupun bentuk ekspresi dari masyarakat pendukungnya. Menurut
Peursen (dalam Djazuli, 1994:36) dijelaskan bahwa fungsi selalu menunjukan
terhadap sesuatu yang lain, apa yang namanya fungsional adalah sesuatu yang
tidak dapat berdiri sendiri tetapi apabila dihubungkan dengan yang lain akan
mempunyai arti dan maksud yang lain pula.
�
���
�
Sebagai salah satu unsur kebudayaan, kesenian memiliki fungsi sebagai
acuan pedoman bertindak bagi pendukungnya, dalam upaya memenuhi kebutuhan
estetikanya. Sebagai sistem budaya, kesenian menjadi pengatur, penata,
pengendali atau pedoman bagi para pendukungnya dalam kegiatan kesenian baik
dalam tataran berkreasi maupun dalam apresiasi. Hal ini terbukti terutama dalam
bentuk kesenian tradisional (Triyanto, 1994:179).
Menurut Thohir (1994:4) kesenian adalah salah satu unsur kebudayan
yang menunjukkan fungsi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat.
Melalui kesenian manusia mencari, melaksanakan dan menciptakan aktifitas yang
besar untuk memenuhi rasa estetis sesuai dengan tuntutan emosinya. Menurut
Sach (dalam Djazuli, 1994:36), kesenian tradisional memiliki fungsi untuk tujuan
magis dan sebagai tontonan, tujuan magis maksudnya adalah mempengaruhi
keadaan manusia dan lingkungannya, seperti untuk mendatangkan hujan,
memperoleh kesejahteraan, selamat dari bencana dan lain sebagainya. Fungsi
penyajian kesenian tradisional sebagai tontonan adalah untuk hiburan atau
santapan estetis yang merupakan perkembangan dari fungsi magis.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas peneliti menyimpulkan bahwa
kesenian tradisional yang hidup dalam kelompok masyarakat tertentu memiliki
fungsi tertentu pula dalam kehidupan masyarakatnya. Kesenian tradisional bukan
hanya merupakan suatu sarana hiburan saja, tetapi berperan erat dalam segi
agama, persembahan atau sebagai wujud ungkapan dari rasa syukur maupun
bentuk ekspresi dari masyarakat pendukungnya.
�
� �
�
Seni pertunjukan memiliki fungsi yang sangat kompleks dalam kehidupan
manusia. Disamping itu, antara manusia yang hidup di negara berkembang dengan yang
hidup di negara maju, juga sangat berlainan dalam mereka memanfaatkan seni
pertunjukkan dalam hidup mereka. Sebagai contoh yang mudah saja, di negara-negara
yang sedang berkembang, yang dalam tata kehidupannya masih banyak mengacu kepada
budaya agraris, seni pertunjukkan memiliki fungsi ritual yang sangat beragam. Lebih-
lebih apabila penduduk Negara tersebut memeluk agama yang selalu melibatkan seni
dalam kegiatan-kegiatan upacaranya, seperti misalnya saja agama Hindu Dharma di
Bali. Sebaliknya, di negara-negara maju yang dalam tata kehidupannya sudah mengacu
kepada budaya industrial yang segala sesuatu bisa diukur dengan uang, sebagian besar
bentuk-bentuk seni pertunjukkan merupakan penyajian estetis, yang hanya dinikmati
keindahannya.
Oleh karena begitu kompleksnya fungsi seni pertunjukkan dalam kehidupan
masyarakat serta antara masyarakat yang satu menempatkan salah satu bentuk seni
pertunjukkan lebih penting dari masyarakat yang lain, maka tak pernah ada kesepakatan
serta keseragaman pendapat mengenai fungsi-fungsi yang sangat kompleks ini.
Setiap zaman, setiap kelompok etnis serta setiap lingkungan masyarakat,
mempunyai berbagai bentuk seni pertunjukkan yang memiliki fungsi primer dan
skunder yang berbeda. Pembagian fungsi primer menjadi tiga berdasarkan atas siapa
yang menjadi penikmat seni pertunjukkan itu. Hal ini penting kita perhatikan, karena
dipertunjukkan bagi penikmat. Apabila penikmatnya adalah kekuatan-kekuatan yang tak
kasat mata seperti misalnya dewa atau roh nenek moyang, maka seni pertunjukkan
berfungsi sebagai sarana ritual. Apabila penikmatnya adalah pelakunya sendiri seperti
�
���
�
misalnya seorang pengibing pada pertunjukkan tayub, ketuk tilu, topeng banjet, doger
kontrak, bajidoran dan disko, seni pertunjukkan itu berfungsi sebagai sarana hiburan
pribadi. Jika penikmat seni pertunjukkan itu adalah penonton yang kebanyakan harus
membayar, seni pertunjukkan itu berfungsi sebagai presentasi estetis.
Seperti yang diungkapkan oleh Soedarsono (2002: 122), sebagai berikut. Seni
pertunjukkan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok fungsi-fungsi primer dan
kelompok fungsi-fungsi sekunder. Secara garis besar seni pertunjukkan primer terbagi
menjadi tiga fungsi, yaitu
1. Sebagai sarana ritual;
2. Sebagai ungkapan pribadi yang pada umunya berupa hiburan pribadi;
3. Sebagai presentasi estetis. Sedangkan yang berfungsi sekunder, diantaranya:
• Media interaksi atau komunikasi;
• Gengsi atau prestion;
• Mata pencaharian;
• Pendidikan, dan lain-lain.
Di lingkungan masyarakat Indonesia yang masih sangat kental nilai-nilai
kehidupan agrarisnya, sebagian besar seni pertunjukkannya memiliki fungsi ritual.
Fungsi-fungsi ritual itu bukan saja berkenaan dengan peristiwa daur hidup yang
dianggap penting seperti misalnya kelahiran, potong gigi, potong rambut yang pertama,
turun tanah, khitanan, pernikahan serta kematian; berbagai kegiatan yang dianggap
penting juga memerlukan seni pertunjukkan, seperti misalnya berburu, menanam padi,
panen, bahkan sampai pula persiapan untuk perang. Pada pertunjukkan untuk
�
���
�
kepentingan ritual ini penikmatnya adalah para penguasa dunia atas serta bawah,
sedangkan manusia sendiri lebih mementingkan tujuan upacara itu dari pada menikmati
bentuknya.
Seni pertunjukkan semacam ini bukan disajikan bagi manusia tetapi harus
dilibatkan (arts of participation). Seni pertunjukkan ritual memiliki ciri-ciri khas, yaitu:
1. Diperlukan tempat pertunjukkan yang terpilih, yang biasanya dianggap sakral;
2. Diperlukan pemilihan hari serta saat yang terpilih yang biasanya juga dianggap
sakral;
3. Diperlukan pemain yang terpilih, biasanya mereka yang dianggap suci, atau yang
telah membersihkan diri secara spiritual;
4. Diperlukan seperangkat sesaji yang kadang-kadang sangat banyak jenis dan
macamnya;
5. Tujuan lebih dipentingkan daripada penampilannya secara estetis; dan
6. Diperlukan busana yang khas.
Fungsi yang berikutnya adalah sebagai ungkapan atau hiburan pribadi. Seni
pertunjukkan jenis ini penikmatnya harus melibatkan diri dalam pertunjukan. Biasanya
di Indonesia bentuk pertunjukan yang berfungsi sebagai hiburan pribadi disajikan oleh
penari wanita dan yang ingin mendapatkan hiburan adalah pria yang bisa menari
bersama penari wanita tersebut. Oleh karena pertunjukan ini hanya dinikmati sendiri
oleh pelakunya, bentuk ungkapan estetisnya tidaklah penting. Biasanya asal penari pria
itu bisa mengikuti irama musik yang mengiringi pertunjukan, ia sudah puas. Setiap
�
���
�
penari pria yang menari bersama penari wanita yang menghiburnya memiliki gaya
penampilan sendiri-sendiri.
Seni pertunjukkan yang berfungsi sebagai penyajian estetis memerlukan
penggarapan yang sangat serius, karena penikmat yang pada umumnya membeli karcis,
menuntut sajian pertunjukan yang baik. Di Indonesia seni pertunjukkan estetis muncul
pada akhir abad ke-19, ketika di beberapa wilayah tumbuh kota-kota yang penghuninya
dalam hidupnya tidak tergantung pada pertanian. Mereka itu adalah para karyawan
pemerintah, para pengusaha, para karyawan–karyawan perusahaan, serta para pedagang.
Sebagai makhluk yang memiliki estetis (aesthetic behavior), yang secara naluriah ingin
menikmati sajian-sajian estetis, mereka memerlukan bentuk-bentuk pertunjukkan yang
bisa dinikmati dengan membeli karcis kapan saja dan dimana saja. Sudah barang tentu
seni pertunjukkan estetis baru akan berkembang dengan baik apabila para cara
penikmatnya memiliki penghasilan yang cukup, sehingga mereka bisa menyisihkan
sebagian penghasilannya untuk kepentingan rekreasi.
Fungsi kesenian lengger mengalami pergeseran nilai, pada awalnya kesenian
lengger berfungsi sebagai upacara ritual kemudian berkembang menjadi pertunjukan
tari hiburan.
�
���
�
E. Penelitian Yang Relevan
Berikut ini dikemukakan penelitian yang relevan dengan bahasan permasalah
yang sesuai dalam penelitian ini, yaitu: Suwoko. 2011. Struktur dan Makna Gerak
Simbolis Tari Lengger Solasih Karya Sanggar Satria Wonosobo Kabupaten Wonosobo,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Univrsitas Veteran Bangun Nusantara,
Sukoharjo. Membahas secara luas mengenai struktur tari lengger solasih secara
menyeluruh serta makna yang terkandung dalam setiap gerak-gerak simbolis tari yang
ditarikan oleh para penari didikan dari sanggar satria yang berada di Kabupaten
Wonosobo.