52
BAB II TERAPI CRYOSURGERY PADA PASIEN HEPATOMA DITINJAU DARI ASPEK KEDOKTERAN 2.1 Anatomi dan Fisiologi Hepar 2.1.1 Anatomi Hepar Hepar atau hati adalah organ terbesar yang terletak disebelah kanan atas rongga abdomen. Pada kondisi hidup, hati berwarna merah tua karena kaya akan persediaan darah. Beratnya 1200 – 1800 gram, dengan permukaan atas terletak bersentuhan dibawah diafragma, permukaan bawah terletak bersentuhan di atas organ – organ abdomen. Batas atas hepar sejajar dengan ruang interkosta V kanan dan batas bawah menyerong ke atas dari iga IX kanan ke iga VIII kiri. Permukaan posterior hati berbentuk cekung dan terdapat celah transversal sepanjang 5 cm dari system porta hepatis (Amirudin, 2009).

Bab II Skripsi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Bab II Skripsi

BAB II

TERAPI CRYOSURGERY PADA PASIEN HEPATOMA DITINJAU

DARI ASPEK KEDOKTERAN

2.1 Anatomi dan Fisiologi Hepar

2.1.1 Anatomi Hepar

Hepar atau hati adalah organ terbesar yang terletak disebelah kanan atas

rongga abdomen. Pada kondisi hidup, hati berwarna merah tua karena kaya akan

persediaan darah. Beratnya 1200 – 1800 gram, dengan permukaan atas terletak

bersentuhan dibawah diafragma, permukaan bawah terletak bersentuhan di atas

organ – organ abdomen. Batas atas hepar sejajar dengan ruang interkosta V

kanan dan batas bawah menyerong ke atas dari iga IX kanan ke iga VIII kiri.

Permukaan posterior hati berbentuk cekung dan terdapat celah transversal

sepanjang 5 cm dari system porta hepatis (Amirudin, 2009).

Hepar terbagi menjadi lobus kiri dan lobus kanan yang dipisahkan oleh

ligamentum falciforme, di inferior oleh fissure yang dinamakan dengan

ligamentum teres dan diposterior oleh fissure yang dinamakan ligamentum

venosum. Lobus kanan hepar berukuran enam kali lebih besar dari lobus kiri dan

mempunyai 3 bagian utama yaitu : lobus kanan atas, lobus caudatus dan lobus

quadrates. Diantara kedua lobus terdapat porta hepatis, jalur masuk dan keluar

pembuluh darah, saraf dan ductus. Hepar dikelilingi oleh kapsula fibrosa yang

dinamakan kapsula glissoni dan di bungkus peritoneum pada sebagian besar

keseluruhan permukaannya (Hadi, 2002).

Page 2: Bab II Skripsi

Hepar disuplai oleh dua pembuluh darah, yaitu : vena porta hepatica yang

berasal dari lambung dan usus yang kaya akan nutrient seperti asam amino,

monosakarida, vitamin yang larut dalam air dan mineral. Arteri hepatica yang

merupakan cabang dari arteri koliaka yang kaya akan oksigen. Pembuluh darah

tersebut masuk hati melalui porta hepatis yang kemudian dalam porta tersebut

vena porta dan arteri hepatica bercabang menjadi dua, yakni ke lobus kiri dank e

lobus kanan (Hadi, 2002).

Darah dari cabang – cabang arteri hepatica dan vena porta mengalir dari

perifer lobules ke dalam ruang kapiler yang melebar yang disebut sinusoid.

Sinusoid ini terdapat diantara barisan sel – sel hepar ke vena sentral. Vena sentral

dari semua lobules hati menyatu untuk membentuk vena hepatica (Sherwood,

2010).

Vaskularisasi Inervasi hepar

1. Aorta abdominaslis adalah lanjutan aorta thoracalis setelah menembus

diaphragm bercabang menjadi A. coeliaca dan bercaban g lagi menjadi A.

hepatica communis. A. hepatica communis kemudian bercabang menjadi A.

hepatica propia yang berjalan pada dinding cranial pars superior duodenum

masuk kedalam ligamentum hepatoduodenale pergi ke porta hepatis dan

bercabang lagi menjadi :

a. A. cystica, ke vesical fellea

b. Ramus dextra, ke lobus dextra hepatis

c. Ramus sinistra, ke lobus sinistra hepatis

2. Vena portae yang di bentuk oleh V. mesenterica superior dan V. lienalis,

berjalan ke cranial dextra menyilang di dorsal pars superior duodenum masuk

Page 3: Bab II Skripsi

ke dalam ligamentum hepatoduodenale menuju ke porta hepatis bercabang

menjadi ramus dextra untuk lobus dextra, dan ramus sinistra untuk lobus

sinistra.

3. Persarafan berasal dari serabut – serabut simpatis yang berasal dari plexus

coeliacus dan serabut – serabut parasimpatis dari nervus vagus dextra dan

sinistra.

a. Nervus vagus sinistra

i. Menembus diafragma di depan esophagus

ii. Mengikuti a. gasstrica khusu menginervasi hepar

b. Nervus vagus dextra

i. Menembus diafragma di belakang esophagus

ii. Menuju langsung ke pangkal trunkus coeliacus dan plexus

coeliacus dan menginervasi hepar, intestinum crissum dan

tenue, gaster, 2/3 colon transversum, lien dan pancreas

(Sofwan, 2014).

Selain cabang – cabang vena porta dan arteri hepatica yang mengelilingi

bagian perifer lobules hati, juga terdapat saluran empedu yang membentuk

kapiler empedu yang dinamakan kanalikuli empedu yang berjalan diantara

lembaran sel hati (Amirudin, 2009).

Untuk persarafan, terdapat Plexus hepaticus yang mengandung serabut

dari ganglia simpatis T7 – T10, yang bersinaps dalam plexuscoeliacus, nervus

vagus dexter dan sinister serta phrenicus dexter (Sherlock, 1995).

Page 4: Bab II Skripsi

2.1.2 Fisiologi Hepar

Hati adalah organ metabolic terbesar dan terpenting di tubuh. Organ ini

penting bagi system pencernaan dan sekresi empedu. Hati menghasilkan empedu

sekitar satu liper per hati, yang di ekskresi melalui ductus hepatikus kanan dan

kiri yang kemudian bergabung membentuk ductus hepatikus komunis. Selain

sekresi empedu, hati juga melakukan berbagai fungsi lain, berupa :

1. Pengolahan metabolic kategori nutrient utama (karbohidrat, lemak, protein)

setelah penyerapan dari saluran cerna.

2. Detoksifikasi atau degradasi zat – zat sisa dn hormone serta obat dan

senyawa asing lainnya.

3. Sintesis berbagai protein plasma, mencakup protein – protein yang penting

untuk pembekuan darah serta untuk mengangkut hormone tiroid, steroid dan

kolesterol dalam darah

4. Penyimpanan glikogen, lemak, besi, tembaga dan banyak vitamin.

5. Pengaktifan vitamin D, yang dilaksanakan oleh hati bersama dengan ginjal.

6. Pengeluaran bakteri dan sel darah merah yang using.

7. Ekskresi kolesterol dan bilirubin yang merupakan produk penguraian yang

berasal dari pemecahan sel darah merah yang sudah using.

Hati merupakan komponen sentral system imun. Tiap – tiap sel hati atau

hepatosit mampu melaksanakan berbagai tugas metabolis diatas, Untuk

mengerjakan berbagai macam fungsi tersebut, bentuk anatomis dari hepar itu

sendiri sangat membantu, karena menyebabkan setaip sel hepatosit untuk

Page 5: Bab II Skripsi

melakukan kontak langsung dengan kedua sumber perdarahan pada hepar, yaitu

pembuluh arteri yang bercabang dari Aorta, dan pembuluh vena langsung dari

saluran pencernaan. Seperti halnya sel lain, sel hepatosit menerima suplai darah

dari arteri hepatica yang mengandung oksigen dan membawa simpanan bahan

metabolic untuk diproses di hepar. Pembuluh darah vena memasuki hepar

melalui system portal hepatica, berupa hubungan pembuluh darah antara saluran

pencernaan dan hepar yang complex. Aliran darah vena yang mengalir dari

saluran pencernaan tidak langsung bergabung dengan vena cava inferior

(pembuluh darah yang kembali ke jantung), melainkan vena dari saluran

pencernaan masuk ke vena portal hepatica, yang mana membawa produk –

produk hasil penyerapan pada saluran pencernaan langsung ke hepar untuk di

proses, di simpan, ataupun di detoxifikasi sebelum mereka masuk kembali ke

sirkulasi. kecuali aktivitas fagositif yang dilaksanakan oleh makrofat residen atau

yang lebih dikenal sebagai sel kupffer (Sherwood, 2010).

Sel kupffer yang meliputi 15% dari massa hati serta 80% dari total populasi

fagosit tubuh merupakan sel yang sangat penting dalam menanggulangi antigen

yang berasa; dari luar tubuh dan mempresentasikan antigen tersebut kepada

limfosit (Amirruddin, 2009).

Hepar merupakan suatu organ yang terbagi – bagi menjadi unit – unit

fungsional berupa lobules, yang tersusun secara hexagonal mengelilingi vena

centralis. Disetiap tepi dari enam lobules, terdapat 3 pembuluh, berupa cabang

dari arteri hepatica, cabang dari vena portal hepatica, dan saluran empedu. Darah

dari kedua cabang arteri hepatica dan vena porta mengalir dari perifer lobules

menuju rongga – rongga kapiler yang disebut sinusoid, yang terdapat di antara

Page 6: Bab II Skripsi

deretan sel – sel hepar menuju vena centralis seperti ruji – ruji pada sepeda. Sel –

sel kupffer ber baris pada sinusoid dan menghancurkan bakteri dan sel – sel

darah merah tua yang lewat. (Sherwood, 2010).

Empedu atau bilirubin yang di sekresi oleh hepar merupakan pigmen Kristal

berbentuk jingga icterus yang merupakan bentuk akhir dari pemecahan

katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi – reduksi. Bilirubin berasal dari

katabolisme protein heme, dimana 75% berasal dari penghancuran eritrosit dan

25% berasal dari penghancuran eritrosit yang imatur dan protein heme lainnya

seperti myoglobin, sitokrom, katalase dan peroksidase. Metabolism bilirubin

meliputi pembentukan bilirubin, transportasi bilirubin, asupan bilirubin,

konjugasi bilirubin, dan ekskresi bilirubin (Guyston, 2008).

Langkah oksidase pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan

bantuan enzim heme oksigenase yaitu enzim yang sebagian besar terdapat dalam

sel hati, dan organ lain. Biliverdin yang larut dalam air kemudian akan direduksi

menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reductase. Bilirubin bersifat lipofilik dan

terikat dengan hydrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut. Pembentukan

bilirubin yang terjadi di system retikuloendotelial, selanjutnya dilepaskan ke

sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin (Guyston, 2008).

Bilirubin yang terikat dengan albumin serum ini tidak larut dalam air dan

kemudian akan ditransportasikan ke sel hepar. Bilirubin yang terikat pada

albumin bersifat nontoksik. Pada saat kompleks bilirubin – albumin mencapai

membrane plasma hepatosit, albumin akan terikat ke reseptor permukaan sel.

Kemudian bilirubin, di transfer melalui sel membrane yang berikatan dengan

ligandin (protein Y), mungkin juga dengan protein ikatan sitotoksik lainnya.

Page 7: Bab II Skripsi

Berkurangnya kapasitas pengambilan hepatic bilirubin yang tak terkonjugasi

akan berpengaruh terhadap pembentukan icterus fisiologis. Bilirubin yang tak

terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin konjugasi yang larut dalam air di

reticulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine di-phosphate glucoronosyl

transferase (UDPG-T). Bilirubin ini kemudian di eksresikan ke dalam

kanalikulus empedu. Sedangkan satu molekul bilirubin yang tak terkonjugasi

akan kembali ke reticulum endoplasmic untuk rekonjugasi berikutnya (Guyton,

2008).

Setelah mengalami proses konjugasi, bilirubin akan diekskresikan ke dalam

kandung empedu, kemudian memasuki saluran cerna dan di ekskresikan melalui

feces. Setelah berada dalam usus halus, bilirubin yang terkonjugasi tidak

langsung dapat diresorbsi, kecuali dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak

terkonjugasi oleh enzim beta – glukoronidase yang terdapat dalam usus. Resorbsi

kembali bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke hati untuk di konjugasi

disebut sirkulasi enterohepatic (Guyton, 2008).

2.1.3 Pemeriksaan Normal Hepar

A. Pemeriksaan fisik hepar

1. Inspeksi Hati

Pengamatan dinding perut pada awal pemeriksaan, bertujuan untuk melihat

pembesaran hepar ataupun tampak acites perut yang dapat diguakan sebagai

petunjuk untuk pemeriksaan selanjutnya.

2. Auskultasi Hati

a. Dengung Vena Abdominal

Page 8: Bab II Skripsi

Jika pada inspeksi terdapat dilatasi vena superfisial, maka ada

kemungkinan akan terdengar dengung vena pada auskultasi, yang

dapat didengarkan dengan sedikit menekan diafragma stetoskop.

Dengung akan hilang jika stetoskop di tekan dengan kuat atau dengan

menekan vena dengan tangan yang bebas. Dengung vena abdominal

disebabkan oleh hipertensi vena portal, saluran vena kolateral terbuka

antara vena portal dan saluran vena sistemik, dan aliran darah yang

dihasilkan dari system portal bertekanan tinggi akan menuju ke

system sistemik yang bertekanan rendah, aliran ini akan

menghasilkan dengung.

b. Bising Hati

Selanjutnya dengan menekan diafragma dengan tekanan sedang dapat

terdengar bising hati pada sistol. Merupakan akibat dari peningkatan

aliran arteri ke hati, arteriovenous shunt di hati, atau obstruksi parsial

aliran arteri.

c. Gesekan Hati

Gesekan hati terdengar seperti suara yang dihasilkan dengan

menggosokkan ibu jari dengan telunjuk di dekat telinga. Jika suara

diproduksi oleh gerakan hati, suara tersebut biasanya akan terbatas

pada perut dan tidak akan menyebar ke dada. Demikian juga suara

gesekan yang disebabkan oleh pergerakan pleura tidak akan terdengar

di hati. Sebagian besar suara gesekan hati dihasilkan oleh adanya

peradangan hati atau struktur yang berdekatan, baik berupa kanker

maupun infeksi.

Page 9: Bab II Skripsi

3. Perkusi Hati

Untuk batas atas, dilakukan perkusi dari sela iga kedua pada linea

midklavikula kanan terus kebawah hingga suara perkusi berubah dari sonor

ke redup. Untuk batas bawah, dilakukan dari kuadran kanan bawah setingkat

umbilicus pada linea midklavikula kanan. Perkusi dimulai dengan suara

timpani kemudian diteruskan ke atas hingga redup. Ukuran normal hepar

orang dewasa ialah 4 – 9 cm.

4. Palpasi Hati

Pada hati dengan tepi yang normal, palpasi akan teraba lembut, tajam dan

teratur, dengan permukaan yang halus. Pada inspirasi, hati teraba sekitar 3

cm di bawah batas kosta kanan pada linea midklavikula (Hardison JE, 1990).

B. Pemeriksaan lab hepar

1. Bilirubin Total ( 0,1 – 1,1 mg/dL)

Digunakan untuk diagnosis icterus, menilai beratnya penyakit, penyakit

gilbert, hemolysis, diagnosis kolektasis

2. ALT (7 – 35 IU/L)

Digunakan untuk diagnosis dini penyakit hepatoseluler (lebih spesifik

dibandingkan dengan AST), pemantauan

3. AST (8 – 33 IU/L)

Digunakan untuk diagnosis dini penyakit hepatoseluler, pemantauan, pada

alkoholisme AST>ALT

4. ALP (30 – 130 IU/L)

Digunakan untuk diagnosis kolestasis, infiltrasi hepatic, diagnosis kelainan

metabolism

Page 10: Bab II Skripsi

5. Albumin (3,5 – 4,9 g/dL)

Digunakan untuk menilai beratnya penyakit dan kronis

6. Masa prothrombin (9 – 12 detik)

Digunakan untuk menilai beratnya penyakit dan beratnya kolestasis

(Sherlock S, 2002) (Dufour DR, 2006).

2.2 Hepatoma

2.2.1 Definisi dan Tingkatan Hepatoma

Hepatoma atau karsinoma hepato seluler merupakan tumor ganas hati

primer yang sering di jumpai di Indonesia. Hepatoma merupakan tumor ganas

dengan prognosis yang amat buruk, dimana pada umumnya penderita meninggal

dalam waktu 2 – 3 bulan setelah diagnosis di tegakkan (Misnadiarly, 2007).

Tingkatan penyakit hepatoma terdiri dari :

Ia : Tumor tunggal diameter < 3cm tanpa emboli tumor, tanpa metastasis

kelenjar limfe peritoneal ataupun metastasis jauh.

Ib : Tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter < 5 cm di separuh hati,

tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun

metastasis jauh.

IIa : Tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter gabungan < 10 cm di

separuh hati, atau dua tumor dengan gabungan < 5 cm di kedua belahan

hati kiri dan kanan tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe

peritoneal ataupun metastasis jauh.

IIb : Tumor tunggal atau multiple dengan diameter gabungan > 10 cm di

separuh hati, atau tumor multiple dengan gabungan > 5 cm di kedua

Page 11: Bab II Skripsi

belahan hati kiri dan kanan tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar

limfe peritoneal ataupun metastasis jauh.

IIIa : Tidak peduli kondisi tumor, terdapat emboli tumor di pembuluh utama

vena porta atau vena kava inferior, tidak terdapat metastasis kelenjar

limfe peritoneal atau metastasis jauh.

IIIb : Tidak peduli kondisi tumor, tidak peduli emboli tumor, metastasis

(Desen, 2008).

Selain itu terdapat pula klasifikasi child-pugh

Point

1 2 3

Albumin (g/dl) >3,5 3,0-3,5 <3,0

Bilirubin

(mg/dl)

<2,0 2,0-3,0 >3,0

Untuk Sirosis

bilier primer

1,0-4,0 4,0-10,0 >10,0

Ascites Tidak Sedikit Berat

Ensepalopati

(grade)

Tidak 1,0-2,0 3,0-4,0

Prothrombine

Time

(pemanjangan)

(INR)

1,0-4,0/<1,7 4,0-6,0/1,7-2,3 >6,0/>2,3

Page 12: Bab II Skripsi

Kelas A, point 5-6 : Tanpa gangguan fungsi hati, respon normal untuk semua

operasi, kemampuan regenerasi hati normal.

Kelas B, point 7-9 : Ada beberapa gangguan pada fungsi hati, tidak ada

perubahan respon pada semua jenis operasi tetapi toleransinya dapat membaik

dengan persiapan preoperative yang baik, terdapat keterbatasan regenerasi hati

dan merupakan kontraindikasi untuk reseksi hati yang luas.

Kelas C, point 10-15 : Gangguan yang berat pada fungsi hati, respon yang buruk

pada semua jenis operasi meskipun telah dipersiapkan dengan baik,

kontraindikasi untuk reseksi hati.

2.2.2 Epidemiologi hepatoma

Terdapat perbedaan mencolok dalam frekuensi HCC di berbagai negara

di dunia, erat kaitannya dengan prevalensi infeksi HBV. Angka insidensi tahunan

di Amerika Utara dan Selatan, Eropa utara dan Tengah, dan Australia adalah 3 –

7 kasus per 100.000 populasi, sedangkan yang insidensinya pertangahan (hingga

20 kasus per 100.000) adalah Negara di sekitar Mediterranea (Hussodo, 2009).

Frekuensi tertinggi ditemukan di Taiwan, Mozambik dan Cina tenggara.

Angka insidensi tahunan pada pria mendekati 150 per 100.000. gambaran umum

pada daerah dengan insidensi tinggi adalah pembawa HBV sejak masa bayi,

setelah penularan vertical dari ibu yang terinfeksi. Keadaan pembawa yang

kronis ini meningkatkan risiko HCC pada masa dewasa sebesar 200 kali lipat. Di

daerah – daerah ini sirosis mungkin tidak di temupak pada hamper separuh

pasien HCC. Di dunia Barat di mana jarang terdapat pembawa HBV, sirosis di

temukan pada 85% hingga 90% kasus HCC, yang sering timbul dari penyakit

hati kronis lainnya (Hussodo, 2009).

Page 13: Bab II Skripsi

Di seluruh dunia, HCC terutama dikumpai pada laki – laki dengan

perbandingan antara 3:1 terutama di daerah dengan insidensi rendah dan di

daerah yang insidensinya tinggi perbandingannya adalah 8:1. Hal ini berkaitan

dengan tingginya prevalensi infeksi HBV, alkoholisme dan penyakit hati kronis

pada laki – laki. Di setiap daerah, orang berkulit hitam memiliki angka serangan

(Attack rate) sekitar empat kali lebih besar daripada kulit putih. Di daerah

dengan insidensi tinggi, HCC umumnya timbul pada masa dewasa (decade ketiga

hinga kelima) sedangkan di daerah dengan insidensi rendah tumor ini paling

sering ditemukan pada orang berusia enam puluh hingga tujuh puluh tahun

(hussodo, 2009).

Di Indonesia (khususnya di Jakarta) HCC ditemukan tersering pada

median umur antara 50 – 60 tahun dengan predominasi pada laki – laki. Rasio

antara kasus laki – laki dan perempuan berkisan antara 2-6 : 1. Manifestasi

klinisnya sangat bervariasi dari asimtomatik hingga dengan gejalra dan tandanya

yang sangat jelas disertai gagal hati. Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah

nyeri atau perasaan tak nyaman di kuadran kanan- atas abdomen (hussodo,

2009).

Temuan fisik tersering pada HCC adalah hepatomegaly dengan atau

tanpa “bruit” hepatic, splenomegaly, asites, icterus, demam atau atrofi otot.

Sebagian dari pasien yang dirujuk kerumah sakit karena perdarahan varises

esophagus atau peritonitis bacterial spontan (SBP) ternyata sudah menderita

HCC. Pada suatu laporan serial nekropsi didapatkan bahwa 50% dari pasien

HCC telah menderita asites hemoragik yang jarang ditmeukan pada pasien

sirosis hati saja. Pada 10% hingga 40% pasien dapat ditemukan

Page 14: Bab II Skripsi

hiperkolesterolemia akibat dari berkurangnya produksi enzim beta –

hidroksimetilglutaril koenzim – A reductase, karena tiadanya control umpan

balik yang normal pada sel hepatoma (Hussodo, 2009).

2.2.3 Etiologi hepatoma

Penyebab karsinoma ini tidak diketahui secara pasti, tetapi ada beberapa

factor yang terlihat :

1. Virus Hepatitis B (HBV)

Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya HCC

terbukti kuat, baik secara epidemiologis klinis maupun eksperimental.

Karsinogenesitas HBV terhadap hati mungkin terjadi melalui proses

inflamasi kronik, peningkatan proliferasi hepatosir, integrasi HBV DNA

ke dalam DNA sel pejamu, dan aktivitas protein spesifik HBV

berinteraksi dengan gen hati. Pada dasarnya perubhan hepatosir dari

kondisi inaktif (quiescent) menjadi sel yang aktif bereplikasi menentukan

tingkat karsinogenesis hati. Siklus sel dapat diaktifkan secara tidak

langsung oleh kompensasi proliferative merespons nekroinflamasi sel

hati, atau akibat dipicu oleh ekspresi berlebihan suatu atau beberapa gen

yang berubah akibat HBV. Koinsidensi infeksi HBV dengan pajanan

agen onkogenik lain seperti aflatoksin dapat menyebabkan terjadinya

HCC tanpa melalui sirosis hati. Transaktifasi beberapa promoter selular

atau viral tertentu oleh gen – x HBV (HBx) dapat mengakibatkan

terjadinya HCC, mungkin karena akumulasi protein yang disandi HBx

mampu menyebabkan proliferasi hepatosis. Dalam hal ini proliferasi

Page 15: Bab II Skripsi

berlebihan hepatosit oleh HBx melampaui mekanisme protektif dari

apoptosis sel (Hussodo, 2009).

2. Virus Hepatitis C (HCV)

Prevalensi anti HCV pada pasien HCC di Cina dan Aftika selatan

sekitar 30% sedangkan di Eropa Selatan dan Jepang 70 – 80%. Prevalensi

anti HCV jauh lebih tinggi pada kasus HCC dengan HbsAg – negative

daripada HbsAg – positif. Pada kelompok pasien penyakit hati akibat

transfuse darah dengan anti HCV positif, interval saat transfuse hingga

terjadinya HCC dapat mencapai 29 tahun. Hepatokarsinogenesis akibat

infeksi HCV di duga melalui aktivitas nekroinflamasi kronik dan sirosis

hati (Hussodo. 2009).

3. Sirosis Hati

Lebih dari 80% penderita hepatoseluler menderita sirosis hati.

Peningkatan pergantian sel pada nodul regenerative sirosis di hubungkan

dengan kelainan sitologi yang dinilai sebagai perubahan dysplasia pra –

ganas. Semua tipe sirosis dapat menimbulkan komplikasi karsinoma,

tetapi hubungan ini paling besar pada hemokromatosis, sirosis terinduksi

virus dan sirosis alkoholik (Hussodo, 2009).

4. Aflaktosin

Aflaktosin B1 (AFB1) merupakan mitoksin yang diproduksi oleh

jamur Aspergillus. Dari percobaan binatang diketahui bahwa AFB1

bersifan karsinogen. Metabolit AFB1 yaitu AFB 1-2-3-epoksid

merupakan karsinogen utama dari kelompok aflatoksin yang mampu

membentuk ikatan dengan DNA maupun RNA (Hussodo, 2009).

Page 16: Bab II Skripsi

5. Alkohol

Meskipun alcohol tidak memiliki kemampuan mutagenic, peminum

berat alcohol (>50-70g/hari dan berlangsung lama) berisiko untuk

menderita HCC melalui sirosis hati alkoholik. Hanya sedikit bukti adanya

efek karsinogenik langsung dari alcohol. Alkoholisme juga meningkatkan

risiko terjadinya sirosis hati dan HCC pada pengidap infeksi HBV atau

HCV (Hussodo, 2009).

2.2.4 Patofisiologi hepatoma

Perjalanan penyakit cepat, bila tidak segera diobati, sebagian besar pasien

meninggal dalam 3 sampai 6 bulan setelah diagnosis. Perjalanan klinis keganasan

hati tidak berbeda diantara pasien yang terinfeksi kedua virus dengan hanya

terinfeksi salah satu virus yaitu HBV dan HCV. Infeksi kronik ini sering

menimbulkan sirosis, yang merupakan factor resiko penting untuk karsinoma

hepatoseluler (Isselbacher, 2000).

Unit fungsional dasar dari hepar disebut lobul dan unit ini unik karena

memiliki suplai darah sendiri. Seiring dengan berkembangnya inflamasi pada

hepar, pola normal pada hepar aka terganggu. Gangguan terhadap suplai darah

normal pada sel – sel hepar ini menyebabkan nekrosis dan kerusakan sel – sel

hepar (Smeltzer, 2002).

Inflamasi pada hepar terjadi karena invasi virus HBV atau HCV akan

mengakibatkan kerusakan sel hati dan duktuli empedu intrahepatic (empedu yang

membesar tersumbat oleh tekanan nodul maligna dalam hilus hati), sehingga

menimbulkan nyeri. Hal ini dimanifestasikan dengan adanya rasa mual dan nyeri

Page 17: Bab II Skripsi

di ulu hati. Sumbatan intrahepatic dapat menimbulkan hambatan pada aliran

portal sehingga tekanan portal akan naik dan terjadi hipertensi portal (Smeltzer,

2002).

Timbulnya asites karena penurunan sintesa albumin pada proses

metabolism protein sehingga terjadi penurunan tekanan osmotic dan peningkatan

cairan atau penimbunan cairan didalam rongga peritoneum. Gangguan

metabolism protein yang mengakibatkan penurunan sintesa fibrinogen

prothrombin dan terjadi penurunan factor pembekuan darah sehingga dapat

menimbulkan perdarahan (Carpenito, 1998).

Icterus timbul karena kerusakan sel parenkim hati dan duktuli empedu

intrahepatic, maka terjadi kesukaran pengangkutan tersebut dalam hati.

Akibatnya bilirubin tidak sempurna dikeluarkan melalui ductus hepatikus, karena

terjadi terjadi retensi (akibat kerusakan sel ekskresi) dan regurgitasi pada

duktulis, empedu belum mengalami konjugasi (bilirubin indirek), maupun

bilirubin yang sudah mengalami konjugasi (bilirubin direk). Jadi icterus yang

timbul disini terutama disebabkan karena kesukaran dalam pengangkutan,

konjugasi dan ekskresi bilirubin, oleh karena nodul tersebut menyumbat vena

porta atau bila jaringan tumor tertanam dalam rongga perioteneal (Isselbacher,

2000).

Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat disertai peningkatan

garam – garam empedu dalam darah yang akan menimbulkan gatal – gatal pada

icterus. Gangguan metabolism karbohidrat, lemak dan protein menyebabkan

penurunan glikogenesis dan gluconeogenesis sehingga glikogen dalam hepar

Page 18: Bab II Skripsi

berkurang, glikogenolisis menurun dan glukosa dalam darah berkurang akibatnya

timbul keletihan (Isselbacher, 2000).

Kerusakan sel hepar juga dapat mengakibatkan penurunan fungsi

penyimpanan vitamin dan mineral sehingga terjadi defisiensi pada zat besi,

vitamin A, vitamin K, vitamin D, vitamin E, dll. Defisiensi zat besi dapat

mengakibatkan keletihan, defisiensi vitamin A mengakibatkan gangguan

penglihatan, defisiensi vitamin K mengakibatkan resiko terjadi perdarahan,

defisiensi vitamin D mengakibatkan demineralisasi tulang dan defisiensi vitamin

E berpengaruh pada integritas kulit (Isselbacher, 2000).

Hepatokarsinogenesis dianggap suatu proses yang berasal dari sel – sel

induk hati (namun, peran sel induk hati sebagai sel yang berkembang menjadi

karsinoma hepatoseluler masih dalam perdebatan) atau berasal dari sel hepatosit

yang matang dan merupakan perkembangan dari penyakit hati kronis yang di

dorong oleh stress oksidatif, inflamasi kronis dan kematian sel yang kemudian

diikuti oleh proliferasi terbatas/ dibatasi oleh regenrasi, dan kemudian

remodeling hati permanen (Porth, 2011).

Mekanisme hepatokarsinogenesis tidak sepenuhnya dipahami. Namun,

seperti kebanyakan tumor solid lainnya, pengembangan dan perkembangan

kanker hati yang diyakini disebabkan oleh akumulasi perubahan genetic yang

mengakibatkan perubahan ekspresi pada gen yang terkait kanker, seperti

onkogen atau gen supresor tumor, serta gen lainnya yang terlibat dalam jalur

regulasi (Porth, 2011).

Dalam lingkungan yang bersifat karsinogenik, perkembangan nodul

hiperplastik dan displastik akan segera menjadi kondisi pre – neoplastic. Namun,

Page 19: Bab II Skripsi

diduga akumulasi dari berbagai peristiwa molekuler yang berurutan pada

berbagai tahap penyakit hati (jaringan normal hati, hepatitis kronis, sirosis, nodul

hiperplastik dan displastik, dan kanker ) hanya dipahami secara parsial saja.

Pathogenesis secara molekul dari karsinoma hepatoseluler melibatkan genetic

atau terjadi penyimpangan epigenetic yang berbeda dan terdapat perubahan

dalam beberapa jalur sinyal yang mengarah pada heterogenitas penyakit dalam

hal biologis dan perilaku klinis. Bukti saat ini menunjukkan bahwa dalam

hepatokarsinogenesis, terdapat dua mekanisme utama yang terlibat, yaitu sirosis

dan yang berhubungan dengan regenerasi hati setelah adanya kerusakan hati

kronis yang disebabkan oleh beberapa factor (infeksi hepatitis, toksin atau

gangguan metabolism), serta adanya sejumlah mutase DNA yang menyebabkan

gangguan dari keseimbangan onkogenesis – onkosupresos dari sel yang mengara

ke perkembangan sel – sel neoplastic. Beberapa jalur penting dari sinyal seluler

telah diamati menjadi bagian dari keterlibatan onkogenetik pada karsinoma

hepatoseluler. Jalur sinyal utama pada karsinoma hepatoseluler adalah RAF /

MEK / ERK, P13K/AKT/mTOR, NTB/ β – catenin, IGF, HGF / c-MET dan

factor pertumbuhan yang mengatur sinyal angiogenik (Porth, 2011).

Hepatokarsinogenesis dimulai pada lesi pre – neoplastic seperti nodul

makroregeneratif, nodul diplastik low – grade dan high grade. Percepatan

proliferasi hepatosit dan pengembangan populasi hepatosit monoclonal terjadi

pada semua kondisi pre – neoplastic. Akumulasi perubahan genetic dalam lesi

pre – neoplastic diyakini mengarah terjadinya karsinoma hepatoseluler.

Perubahan genom yang terjadi secara acak akan terakumulasi dalam hepatosit

yang displastik dan hepatosir pada karsinoma hepatoseluler. Meskipun

Page 20: Bab II Skripsi

perubahan genetic dapat terjadi secara bebas dari kondisi etiologi, beberapa

mekanisme molekuler lebih sering berkaitan dengan etiologi spesifik (Porth,

2011).

2.2.5 Gambaran klinis hepatoma

Gambaran umum karsinoma hepatoseluler beragam, dapat tidak bergejala

hingga adanya gejala berat berupa nyeri hebat dengan atau tanpa hepatomegaly,

gejala gagal faal hati, perdarahan varises, asites hemoragik, perdarahan

intraperitoneal mendadak tanpa trauma, akut abdomen mendadak, syok

hipovolemik, dan metastasis jauh di tempat lain dengan atau tanpa gejala klinis

(Sjamsuhidajat dan de Jong, 2010).

Umumnya, tampak benjolan di perut bagian atas, disertai dengan nyeri

terus – menerus yang menembus ke belakang atau ke daerah bahu. Nyeri

meningkat bila penderita bernafas dalam karena rangsangan peritoneum pada

permukaan benjolan. berat badan cepat menurun. Kadang terdapat asites atau

perdarahan saluran cerna bagian atas karena varises esophagus. Keadaan ini

biasanya menunjukkan karsinoma hepatoseluler stadium lanjut (Sjamsuhidajat

dan de Jong, 2010).

Oleh karena hepatoseluler karsinoma kebanyakan berhubungan dengan

sirosis, sering dijumpai pula tanda sirosis, berupa pembuluh darah kolateral di

dinding perut, spider nevi (bercak pada kulit seperti laba – laba), splenomegaly,

eritema palmaris dan, ginekomastia (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2010).

Pada keadaan lebih lanjut, dapat timbul icterus yang menunjukkan

perjalanan penyakit yang progresif. Perdarahan intraperitoneal mendadak pada

Page 21: Bab II Skripsi

penderita yang keadaan umumnya buruk kemungkinan terjadi akibat karsinoma

hepatoseluler yang pecah spontan (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2010).

2.2.6 Diagnosis dan diagnosis banding hepatoma

A. Diagnosis

Melakukan pemeriksaan berkala bagi kelompok risiko tinggi antara lain :

pengidap virus Hepatitis B dan C, dokter, dan bagi orang yang mempunyai

anggota kelluarga penderita kanker hati. Pemeriksaan dilakukan setiap 3 bulan

sekali pada penderita sirosis hati dengan HBsAg positif dan pada penderita

hepatitis kronis dengan HBsAg negative atau penderita penyakit hati kronis atau

dengan sirosis dengan HBsAg negative pernah mendapat transfuse atau

hemodialisa diperiksa 6 bulan sekali.

The American Association for the Study of Liver Disease (AASLD) pada

tahun 2011 menerbitkan pedoman praktis untuk mendiagnosis hepatoma.

Disebutkan bahwa pemeriksaan yang digunakan untuk mendiagnosa hepatoma

mencakup pemeriksaan radiologi, biopsy dan serologi AFP. Pemeriksaan mana

yang digunakan tergantung kondisi lesi (Bates, 2014)

1. Anamnesis

Sebagian besar penderita yang datang berobat sudah dalam fase

lanjut dengan keluhan nyeri perut kanan atas. Sifat nyeri ialah nyeri

tumpul, terus – menerus, kadang – kadang terasa hebat apabila bergerak.

Di samping keluhan nyeri perut ada pula keluhan seperti benjolan di perut

kanan atas tanpa atau dengan nyeri. Perut membuncit karena adanya

asites dan keluhan yang paling umum yaitu merasa badan semakin lemah,

Page 22: Bab II Skripsi

anoreksia, perasaan lekas kenyang, feses hitam, demam, bengkak pada

kaki, perdarahn dari dubur (Sujono, 2000).

2. Pemeriksaan fisik

Biasanya hati terasa besar dan berbenjol – benjol, tepi tidak rata,

tumpul, kadang – kadang terasa nyeri bila ditekan. Bila letak tumor di

lobus kiri maka pembesaran hati terlihat di epigastrium, tapi bila tumor

tersebut terletak di lobus kanan maka pembesaran hati terlihat di

hipokondrium kanan (Sujono, 1999).

Pada palpasi menunjukkan adanya gesekkan permukaan

peritoneum viserale yang kasar akibat rangsang dan infiltrasi tumor ke

permukaan hati dengan dinding perut. Gesekan ini dapat didengarkan

juga melalui stetoskop. Pada auskultasi di atas benjolan ditemukan suara

bising aliran darah karena hipervaskularisasi tumor. Gejala ini

menunjukkan fase lanjut karsinoma hepatoseluler (Sjamsuhidajat dan de

Jong, 2010).

3. Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium

i. Serum AFP

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah

pemeriksaan Alfa – fetoprotein (AFP) yaitu protein serum

normal yang disintesis oleh sel hati fetal. Rentang normal AFP

serum adalah 0 – 20 ng/ml, kadar AFP meningkat pada 60% -

70% penderita kanker hati (Hussodo, 2009).

ii. Biopsi

Page 23: Bab II Skripsi

Biopsy masih merupakan gold standard dalam menegakkan

diagnosis hepatoma. Dengan kemajuan teknologi di bidang

radiologi, tidak semua kasus yang dicurigai sebagai hepatoma

harus dilakukan biopsy. Biopsy tidak perlu dilakukan apabila

pada pemeriksaan pencitraan telah didapatkan gambaran khas

lesi hepatoma, serta terdapat kontra indikasi untuk dilakukan

tindakan ablasi atau transplantasi. Biopsy wajib dilakukan

apabila pemeriksaan pencitraan tidak dapat menemukan lesti

atau visualisasi lesi memberikan gambaran yang tidak khas,

serta untuk lesi dengan diameter > 2 cm dengan AFP rendah

(Paradis, 2013).

b. Pemeriksaan pencitraan

i. Foto polos radiografi

Temuan hepatoma pada foto polos adalah nonspesifik.

Sebuah massa abdomen mungkin dapat terlihat bila berukuran

besar. Kalsifikasi jarang ditemukan pada hepatoma. Pasien

dengan hemochromatosis sebagai factor predisposisi dalam

perkembangan hepatoma dapat menunjukkan deposisi kalsium

pirofosfat pada tulang rawan sendi, namun banyak penyebab

lain dari kondrokalsinosis, seperti gout, hiperparatiroidisme,

penyakit Wilson, dan penyakit degenerative sendi (Jacobson,

2013).

ii. Computed Tomography (CT) Scan

Page 24: Bab II Skripsi

CT Scan dengan kontras meliputi 3 fase yaitu fase arteri,

fase vena porta, dan fase delayed (late washout). Pada fase

arteri, lesi umumnya hiperdens sebagai akibat dari suplai arteri

hepatica. Neovaskularisasi kadang juga ditemukan. Pada fase

vena porta, lesi kecil mungkin densitasnya iso-hipodens dan

sulit terlihat karena parenkim hepar yang normal meningkat

densitasnya. Lesi yang lebih besar dengan area nekrotik tetap

hipodens. Pada fase delayed, lesi kecil mungkin tak terlihat

jelas. Fase delayed dapat menunjukkan gambaran kapsul

tumor, yang merupakan salah satu tanda yang lebih spesifik

menunjukkan adanya hepatoma (Jacobson. 2013).

iii. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Gambaran hepatoma pada MRI tergantung pada parenkim

tumor, grade tumor, serta kandungan lemak dan glikogen

intratumoral. Gambaran lesi bervariasi dari isointense sampai

ke hiperintens, baik pada T1-weighted image maupun T2.

Tumor yang well – differentiated lebih sering hiperintens pada

T1 dan isointense pada T2, sementara tumor yang moderate

atau poorly – differentiated cenderung hiperintens pada T2

dan isointense pada T1. Walaupun karateristik pencitraan

dapat sugestif kearah hepatoma, gambarannya dapat tumpang

tindih dengan nodul regenerative (Axelrod, 2013).

iv. Ultrasonografi (USG) Abdomen

Page 25: Bab II Skripsi

Untuk meminimalkan kesalahan hasil pemeriksaan

laboratorium, pasien sirosis hati dianjurkan menjalani

pemeriksaan USG setiap tiga bulan. Untuk tumor kecil pada

pasien dengan risiko tinggi USG lebih sensitive dari pada AFP

serum berulang. Sensitivitas USG untuk neoplasma hati

berkisar antara 70% - 80%. Tampilan USG yang khas untuk

HCC kecil adalah gambaran mosaic, formasi septum, bagian

perifer sonolusen (ber – halo) (Hussodo, 2009).

USG sangat berguna untuk membedakan HCC dari tumor

hepatic lain. Tumor yang berada di bagian atas belakang lobus

kanan mungkin tidak dapat terdeteksi oleh USG. Demikian

juga yang berukuran terlalu kecil dan isoekoik. Modalitas

imaging lain seperti CT – scan, MRI dan angiografi kadang di

perlukan untuk mendeteksi HCC, namun karena beberapa

kelebihannya, USG masih tetap merupakan alat diagnostic

yang paling popular dan bermanfaat (Hussodo, 2009).

B. Diagnosis Banding

Pola pertumbuhan hepatoma yang bervariasi, seringkali menimbulkan

tantangan dalam menegakkan diagnosis. Beberapa diagnosis banding hepatoma

antara lain : nodul regenerasi dan displastik, hemangioma, dan

kolangiokarsinoma. Neoplasma metastatic merupakan keganasan hepar yang

paling sering menjadi diagnosis banding hepatoma (Satir, 2007).

Page 26: Bab II Skripsi

2.2.7 Penatalaksanaan hepatoma

Terdapat beberapa gambaran penting untuk panduan terapi pada

hepatoma, yaitu : ukuran tumor, staging ( penyebaran tumor), keterlibatan

pembuluh darah di hepar, kapsul tumor, metastasis ekstrahepatal, satelit nodul,

serta pola vaskularisasi tumor. berdasarkan temuan tersebut di atas, kemudian

akan ditentukan penatalaksanaan pada hepatoma, berupa terapi operatif atau non

operatif (Ryder, 2003).

Satu – satunya terapi yang terbukti berpotensi kuratif untuk hepatoma

adalah tindakan operatif, baik reseksi maupun transplantasi hepar.

1. Transplantasi hepar harus dipertimbangkan pada pasien dengan sirosis

dan lesi berukuran kecil (1 lesi berukuran < 5 cm atau < 3 lesi berukuran

< 3 cm).

2. Pasien dengan HBV yang bereplikasi memiliki prognosis yang buruk

karena bersifat kambuhan, sehingga tidak memenuhi kriteria sebagai

kandidat untuk transplantasi. Terapi antivirus yang efektif saat ini telat

tersedia dan pasien dengan lesi hepatoma berukuran kecil seperti tersebut

di atas dapat dipertimbangkan untuk dilakukan transplantasi.

3. Reseksi hepar harus dipertimbangkan sebagai terapi utama pada pasien

dengan HCC dan hepar non – sirosis.

4. Reseksi dapat dilakukan pada pasien tertentu dengan sirosis hati dan

fungsi hepar yang masih baik yang tidak memenuhi kriteria untuk

transplantasi hepar (Axelrod, 2013).

Penatalaksanaan non – operatif diberikan bilamana terapi operatif tidak

memungkinkan

Page 27: Bab II Skripsi

1. Percutaneous Ethanol Injection (PEI) telah terbukti untuk menghasilkan

nekrosis pada hepatoma berukuran kecil. Tindakan ini cocok untuk lesi

perifer berukuran < 3 cm. ablasi radiofrekuensi mungkin menjadi terapi

ablative alternative yang baik tetapi ketersediaan data sangat terbatas.

2. Kemoembolisasi dapat menghasilkan tumor nekrosis dan telah terbukti

mempengaruhi kelangsungan hidup pada pasien untuk mempertahankan

hepar. Kemoembolisasi menggunakan lipiodol adalah terapi yang efektif

bila ditemukan nyeri atau perdarahan dari hepatoma

3. Kemoterapi sistemik dengan agen standar memiliki tingkat respon yang

rendah

4. Terapi hormonal dengan tamoxifen tidak menunjukkan manfaat terhadap

kelangsungan hidup dalam suatu penelitian sehingga tidak

direkomenfasikan Omata. Et al. 2010).

2.2.8 Komplikasi hepatoma

Komplikasi yang terjadi akibat karsinoma hepatoseluler menurut Pile Mone

(2000) adalah:

1. Hipertensi

2. Hyperbilirubinemia

3. Ensefalopati hepatic terjadi pada kegagalan hati berat yang disebabkan oleh

akumulasi ammonia serta metabolic toksin

4. Kerusakan jaringan parenkim hati yang meluas akan menyebabkan sirosis

hepatis

Page 28: Bab II Skripsi

2.2.9 Prognosis hepatoma

Pada umumnya prognosis karsinoma hepatoseluler adalah ad malam. Tanpa

pengobatan, kematian rata – rata terjadi sesudah 6 – 7 bulan setelah timbul

keluhan pertama. Dengan pengobatan, hidup penderita dapat diperpanjang

sekitar 11 – 12 bulan. Bila karsinoma hepatoseluler dapat dideteksi secara dini,

usaha – usaha pengobatan seperti pembedahan dapat segera dilakukan sehingga

masa hidup penderita dapat menjadi lebih panjang lagi (Siregar.A.Gontar, 2011).

2.2.10 Pencegahan hepatoma

1. Pencegahan primordial

Pencegahan yang dilakukan untuk menghindari kemuncul

keterpaparan dari gaya hidup yang berkontribusi meningkatkan risiko

penyakit, dilakukan dengan:

a. Mengkosumsi buah dan sayur yang mengandung vitamin, beta

karoten, mineral, dan tinggi serat yang dapat menjaga kondisi tubuh

agar tetap sehat.

b. Kurangi makanan yang mengandung lemak tinggi.

c. Kurangi makanan yang dibakar, diasinkan, diasap, diawetkan dengan

nitrit.

d. Pengontrolan berat badan, diet seimbang dan olahraga.

e. Hindari stress.

f. Menjaga lingkungan yang sehat dan bersih sehingga terhindar dari

penyakit menular (Elisabet, 2009).

2. Pencegahan primer

Page 29: Bab II Skripsi

Pencegahan primer adalah langkah yang harus dilakukan untuk

menghindari insidensi penyakit dengan mengendalikan penyakit dan

factor resiko.

a. Memperhatikan menu makanan terutama mengkonsumsi protein

hewani cukup.

b. Hindari mengkonsumsi minuman alcohol

c. Mencegah penularan virus hepatitis, imunisasi bayi secara rutin

menjadi strategi utama untuk pencegahan infeksi HBV dan dapat

memutuskan rantai penularan (Elisabet, 2009).

3. Pencegahan sekunder

Pencegahan sekunder adalah pengobatan penderita dan mengurangi

akibat – akibat yang serius dari penyakit melalui diagnose dini dan

pemberian pengobatan. Hepatoma sering ditemukan pada stadium lanjut

maka perlu dilakukan pengamatan berlaku pada kelompok penderita yang

kemungkinan besar akan menderita hepatoma dengan pemeriksaan USG

dan AFP (Elisabet, 2009).

2.3 Cryosurgery

2.3.1 Definisi Cryosurgery

Kryoterapi atau juga dikenal dengan kryoablasi merupakan salah satu

metode penggunaan sifat termal untuk mengablasi suatu tumor. Kryoterapi

ditempuh dengan menggunakan pendinginan / pembekuan yang cepat, biasanya

menggunakan gas nitrogen, penghangatan yang lambat, lalu pengulangan siklus

pembekuan – penghangatan (freeze-thaw cycles) tadi hingga mencapai titik

ablasi yang ditandai oleh terbentuknya Kristal es pada intra dan ekstra sel.

Page 30: Bab II Skripsi

Penggabungan Kristal es yang terbentuk (sebagai bola es), dan kerusakan

vaskuler setempat. Efek kryoterapi meliputi kerusakan vaskuler, kerusakan

organela dan dinding sel, dehidrasi sel, serta perubahan pH dan osmolaritas

intrasel. Pengulangan siklus pembekuan – penghangatan tadi akan menghasilkan

kerusakan jaringan sel tumor target yang lebih luas karena sel tumor dihadapkan

pada paparan termal berulang yang merusak. Kerusakan unsur dan dinding sel

selama siklus pembekuan – penghangatan sebelumnya akan menyebabkan

meningkatnya konduktivitas termal dan berakibat pendinginan yang lebih cepat

serta pembesaran volume jaringan yang dibekukan (Lee dan Chen, 2010).

2.3.2 Indikasi Cryosurgery

Indikasi Cryosurgery dalam konteks HCC adalah untuk pasien dengan

tumor multiple yang tidak memungkinkan bagi tindakan reseksi segmental.

(Fung, 2014).

Kriteria yang diperlukan bagi pasien untuk dapat menjalani reseksi yaitu:

1. Tidak ada metastasis jauh

2. Tumor terbatas di satu lobus atau satu segmen

3. Pascalobektomi, sisa jaringan hati masih dapat memenuhi kebutuhan

tubuh (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2010).

Jika pasien tidak memenuhi kriteria di atas, maka dapat dilakukan tindakan

kryosurgery

Page 31: Bab II Skripsi

2.3.3 Teknik Cryosurgery

Perlakuan tehnik cryosurgery di bagi menjadi 2, yaitu dengan open

laparotomy terlebih dahulu dan percutaneous cryosurgery.

Pada cryosurgery dengan open laparotomy, pasien dengan prothrombin

time (PT) memanjang ditransfusikan fresh frozen plasma terlebih dahulu untuk

memperbaiki nilai PT sesuai dengan International Normalized Ratio (INR) 1,2

atau kurang. Transfuse trombosit diberikan pada pasien dengan trombosit <

60.000. Cryosurgery dilakukan setelah pemberian anastesi umum yang diikuti

dengan insisi pada sebelah kanan subcostal hingga garis tengah. Pasien boleh di

bebaskan apabila fungsi hati sudah kembali normal dan efek samping pasca

operasi sudah hilang. (Zhiwei, et al. 2013).

Penggunaan intraoperative ultrasound (IOUS) sangat mendukung

pengembangan dari tehnik percuteous cryosurgery karena dapat menentukan

letak dari tumor secara akurat, khususnya yang berada pada bagian vaskuler

ataupun di struktur bilier. Merupakan metode yang akurat dan aman dalam

memandu jarum cyro (cryoprobe) (berdiameter 1,47mm dan mampu

mengeluarkan bola es berdiameter 3cm) menuju lesi dan mampu

menggambarkan luasnya pembekuan yang terlihat seperti lingkaran gelombang.

Penggunaan metode lain dengan dipandu oleh MRI atau CT-scan menghasilkan

keakuratan yang lebih rendah karena bukan merupakan scan waktu nyata,

sehingga mempersulit saat membedakan fase pembekuan. Setelah 2 kali fase

pembekuan dilakukan, kemudian cryoprobe di tarik dan perdarahan dihentikan

menggunakan spons gelatin untuk menutup sinus yang kemudian ditutup

Page 32: Bab II Skripsi

menggunakan kasa steril dan di fiksasi dengan plester atau perban. (Chen, et al.

2011).

Cryoterapi dilakukan dengan memasukkan beberapa cryoprobe menuju

tumor dengan panduan. Kemudian nitrogen cair dengan suhu -190 C di alirkan

pada system tertutup hingga ujung dari cryoprobe sehingga membentuk bola es

pada ujung probe. Bola es tersebut dibiarkan menutupi tumor dan sekitar 1

setengah inchi dari perbatasan tumor. kemudian dilakukas siklus pembekuan

sebanyak 2 kali untuk setiap lesi. Siklus pembekuan berupa 10 menit pembekuan

diikuti dengan 5 menit penghangatan kemudian pembekuan kembali selama 10

menit dan penghangatan kembali selama 5 menit (Chen, et al. 2011).

2.3.4 Komplikasi Cryosurgery

Pada open laparotomy dapat ditemukan komplikasi berupa perdarahan

massif (> 700ml). tingginya perdarahan yang terjadi sangat berhubungan denga

ada atau tidaknya hipertensi porta pada pasien. selain itu dikarenakan letaknya

yang berdekatan dengan paru kanan, sering ditemukan luka pada bagian paru

kanan (Wilson, et al. 1998).

Pada percutaneous cryosurgery sering ditemukan perdarahan yang

disebabkan oleh karena pecahnya bola es ataupun bocornya cairan empedu

karena luka dari proses pembekuan (Chen, et al. 2011).