Upload
saza-alleira
View
227
Download
10
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TERAPI CRYOSURGERY PADA PASIEN HEPATOMA DITINJAU
DARI ASPEK KEDOKTERAN
2.1 Anatomi dan Fisiologi Hepar
2.1.1 Anatomi Hepar
Hepar atau hati adalah organ terbesar yang terletak disebelah kanan atas
rongga abdomen. Pada kondisi hidup, hati berwarna merah tua karena kaya akan
persediaan darah. Beratnya 1200 – 1800 gram, dengan permukaan atas terletak
bersentuhan dibawah diafragma, permukaan bawah terletak bersentuhan di atas
organ – organ abdomen. Batas atas hepar sejajar dengan ruang interkosta V
kanan dan batas bawah menyerong ke atas dari iga IX kanan ke iga VIII kiri.
Permukaan posterior hati berbentuk cekung dan terdapat celah transversal
sepanjang 5 cm dari system porta hepatis (Amirudin, 2009).
Hepar terbagi menjadi lobus kiri dan lobus kanan yang dipisahkan oleh
ligamentum falciforme, di inferior oleh fissure yang dinamakan dengan
ligamentum teres dan diposterior oleh fissure yang dinamakan ligamentum
venosum. Lobus kanan hepar berukuran enam kali lebih besar dari lobus kiri dan
mempunyai 3 bagian utama yaitu : lobus kanan atas, lobus caudatus dan lobus
quadrates. Diantara kedua lobus terdapat porta hepatis, jalur masuk dan keluar
pembuluh darah, saraf dan ductus. Hepar dikelilingi oleh kapsula fibrosa yang
dinamakan kapsula glissoni dan di bungkus peritoneum pada sebagian besar
keseluruhan permukaannya (Hadi, 2002).
Hepar disuplai oleh dua pembuluh darah, yaitu : vena porta hepatica yang
berasal dari lambung dan usus yang kaya akan nutrient seperti asam amino,
monosakarida, vitamin yang larut dalam air dan mineral. Arteri hepatica yang
merupakan cabang dari arteri koliaka yang kaya akan oksigen. Pembuluh darah
tersebut masuk hati melalui porta hepatis yang kemudian dalam porta tersebut
vena porta dan arteri hepatica bercabang menjadi dua, yakni ke lobus kiri dank e
lobus kanan (Hadi, 2002).
Darah dari cabang – cabang arteri hepatica dan vena porta mengalir dari
perifer lobules ke dalam ruang kapiler yang melebar yang disebut sinusoid.
Sinusoid ini terdapat diantara barisan sel – sel hepar ke vena sentral. Vena sentral
dari semua lobules hati menyatu untuk membentuk vena hepatica (Sherwood,
2010).
Vaskularisasi Inervasi hepar
1. Aorta abdominaslis adalah lanjutan aorta thoracalis setelah menembus
diaphragm bercabang menjadi A. coeliaca dan bercaban g lagi menjadi A.
hepatica communis. A. hepatica communis kemudian bercabang menjadi A.
hepatica propia yang berjalan pada dinding cranial pars superior duodenum
masuk kedalam ligamentum hepatoduodenale pergi ke porta hepatis dan
bercabang lagi menjadi :
a. A. cystica, ke vesical fellea
b. Ramus dextra, ke lobus dextra hepatis
c. Ramus sinistra, ke lobus sinistra hepatis
2. Vena portae yang di bentuk oleh V. mesenterica superior dan V. lienalis,
berjalan ke cranial dextra menyilang di dorsal pars superior duodenum masuk
ke dalam ligamentum hepatoduodenale menuju ke porta hepatis bercabang
menjadi ramus dextra untuk lobus dextra, dan ramus sinistra untuk lobus
sinistra.
3. Persarafan berasal dari serabut – serabut simpatis yang berasal dari plexus
coeliacus dan serabut – serabut parasimpatis dari nervus vagus dextra dan
sinistra.
a. Nervus vagus sinistra
i. Menembus diafragma di depan esophagus
ii. Mengikuti a. gasstrica khusu menginervasi hepar
b. Nervus vagus dextra
i. Menembus diafragma di belakang esophagus
ii. Menuju langsung ke pangkal trunkus coeliacus dan plexus
coeliacus dan menginervasi hepar, intestinum crissum dan
tenue, gaster, 2/3 colon transversum, lien dan pancreas
(Sofwan, 2014).
Selain cabang – cabang vena porta dan arteri hepatica yang mengelilingi
bagian perifer lobules hati, juga terdapat saluran empedu yang membentuk
kapiler empedu yang dinamakan kanalikuli empedu yang berjalan diantara
lembaran sel hati (Amirudin, 2009).
Untuk persarafan, terdapat Plexus hepaticus yang mengandung serabut
dari ganglia simpatis T7 – T10, yang bersinaps dalam plexuscoeliacus, nervus
vagus dexter dan sinister serta phrenicus dexter (Sherlock, 1995).
2.1.2 Fisiologi Hepar
Hati adalah organ metabolic terbesar dan terpenting di tubuh. Organ ini
penting bagi system pencernaan dan sekresi empedu. Hati menghasilkan empedu
sekitar satu liper per hati, yang di ekskresi melalui ductus hepatikus kanan dan
kiri yang kemudian bergabung membentuk ductus hepatikus komunis. Selain
sekresi empedu, hati juga melakukan berbagai fungsi lain, berupa :
1. Pengolahan metabolic kategori nutrient utama (karbohidrat, lemak, protein)
setelah penyerapan dari saluran cerna.
2. Detoksifikasi atau degradasi zat – zat sisa dn hormone serta obat dan
senyawa asing lainnya.
3. Sintesis berbagai protein plasma, mencakup protein – protein yang penting
untuk pembekuan darah serta untuk mengangkut hormone tiroid, steroid dan
kolesterol dalam darah
4. Penyimpanan glikogen, lemak, besi, tembaga dan banyak vitamin.
5. Pengaktifan vitamin D, yang dilaksanakan oleh hati bersama dengan ginjal.
6. Pengeluaran bakteri dan sel darah merah yang using.
7. Ekskresi kolesterol dan bilirubin yang merupakan produk penguraian yang
berasal dari pemecahan sel darah merah yang sudah using.
Hati merupakan komponen sentral system imun. Tiap – tiap sel hati atau
hepatosit mampu melaksanakan berbagai tugas metabolis diatas, Untuk
mengerjakan berbagai macam fungsi tersebut, bentuk anatomis dari hepar itu
sendiri sangat membantu, karena menyebabkan setaip sel hepatosit untuk
melakukan kontak langsung dengan kedua sumber perdarahan pada hepar, yaitu
pembuluh arteri yang bercabang dari Aorta, dan pembuluh vena langsung dari
saluran pencernaan. Seperti halnya sel lain, sel hepatosit menerima suplai darah
dari arteri hepatica yang mengandung oksigen dan membawa simpanan bahan
metabolic untuk diproses di hepar. Pembuluh darah vena memasuki hepar
melalui system portal hepatica, berupa hubungan pembuluh darah antara saluran
pencernaan dan hepar yang complex. Aliran darah vena yang mengalir dari
saluran pencernaan tidak langsung bergabung dengan vena cava inferior
(pembuluh darah yang kembali ke jantung), melainkan vena dari saluran
pencernaan masuk ke vena portal hepatica, yang mana membawa produk –
produk hasil penyerapan pada saluran pencernaan langsung ke hepar untuk di
proses, di simpan, ataupun di detoxifikasi sebelum mereka masuk kembali ke
sirkulasi. kecuali aktivitas fagositif yang dilaksanakan oleh makrofat residen atau
yang lebih dikenal sebagai sel kupffer (Sherwood, 2010).
Sel kupffer yang meliputi 15% dari massa hati serta 80% dari total populasi
fagosit tubuh merupakan sel yang sangat penting dalam menanggulangi antigen
yang berasa; dari luar tubuh dan mempresentasikan antigen tersebut kepada
limfosit (Amirruddin, 2009).
Hepar merupakan suatu organ yang terbagi – bagi menjadi unit – unit
fungsional berupa lobules, yang tersusun secara hexagonal mengelilingi vena
centralis. Disetiap tepi dari enam lobules, terdapat 3 pembuluh, berupa cabang
dari arteri hepatica, cabang dari vena portal hepatica, dan saluran empedu. Darah
dari kedua cabang arteri hepatica dan vena porta mengalir dari perifer lobules
menuju rongga – rongga kapiler yang disebut sinusoid, yang terdapat di antara
deretan sel – sel hepar menuju vena centralis seperti ruji – ruji pada sepeda. Sel –
sel kupffer ber baris pada sinusoid dan menghancurkan bakteri dan sel – sel
darah merah tua yang lewat. (Sherwood, 2010).
Empedu atau bilirubin yang di sekresi oleh hepar merupakan pigmen Kristal
berbentuk jingga icterus yang merupakan bentuk akhir dari pemecahan
katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi – reduksi. Bilirubin berasal dari
katabolisme protein heme, dimana 75% berasal dari penghancuran eritrosit dan
25% berasal dari penghancuran eritrosit yang imatur dan protein heme lainnya
seperti myoglobin, sitokrom, katalase dan peroksidase. Metabolism bilirubin
meliputi pembentukan bilirubin, transportasi bilirubin, asupan bilirubin,
konjugasi bilirubin, dan ekskresi bilirubin (Guyston, 2008).
Langkah oksidase pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan
bantuan enzim heme oksigenase yaitu enzim yang sebagian besar terdapat dalam
sel hati, dan organ lain. Biliverdin yang larut dalam air kemudian akan direduksi
menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reductase. Bilirubin bersifat lipofilik dan
terikat dengan hydrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut. Pembentukan
bilirubin yang terjadi di system retikuloendotelial, selanjutnya dilepaskan ke
sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin (Guyston, 2008).
Bilirubin yang terikat dengan albumin serum ini tidak larut dalam air dan
kemudian akan ditransportasikan ke sel hepar. Bilirubin yang terikat pada
albumin bersifat nontoksik. Pada saat kompleks bilirubin – albumin mencapai
membrane plasma hepatosit, albumin akan terikat ke reseptor permukaan sel.
Kemudian bilirubin, di transfer melalui sel membrane yang berikatan dengan
ligandin (protein Y), mungkin juga dengan protein ikatan sitotoksik lainnya.
Berkurangnya kapasitas pengambilan hepatic bilirubin yang tak terkonjugasi
akan berpengaruh terhadap pembentukan icterus fisiologis. Bilirubin yang tak
terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin konjugasi yang larut dalam air di
reticulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine di-phosphate glucoronosyl
transferase (UDPG-T). Bilirubin ini kemudian di eksresikan ke dalam
kanalikulus empedu. Sedangkan satu molekul bilirubin yang tak terkonjugasi
akan kembali ke reticulum endoplasmic untuk rekonjugasi berikutnya (Guyton,
2008).
Setelah mengalami proses konjugasi, bilirubin akan diekskresikan ke dalam
kandung empedu, kemudian memasuki saluran cerna dan di ekskresikan melalui
feces. Setelah berada dalam usus halus, bilirubin yang terkonjugasi tidak
langsung dapat diresorbsi, kecuali dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak
terkonjugasi oleh enzim beta – glukoronidase yang terdapat dalam usus. Resorbsi
kembali bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke hati untuk di konjugasi
disebut sirkulasi enterohepatic (Guyton, 2008).
2.1.3 Pemeriksaan Normal Hepar
A. Pemeriksaan fisik hepar
1. Inspeksi Hati
Pengamatan dinding perut pada awal pemeriksaan, bertujuan untuk melihat
pembesaran hepar ataupun tampak acites perut yang dapat diguakan sebagai
petunjuk untuk pemeriksaan selanjutnya.
2. Auskultasi Hati
a. Dengung Vena Abdominal
Jika pada inspeksi terdapat dilatasi vena superfisial, maka ada
kemungkinan akan terdengar dengung vena pada auskultasi, yang
dapat didengarkan dengan sedikit menekan diafragma stetoskop.
Dengung akan hilang jika stetoskop di tekan dengan kuat atau dengan
menekan vena dengan tangan yang bebas. Dengung vena abdominal
disebabkan oleh hipertensi vena portal, saluran vena kolateral terbuka
antara vena portal dan saluran vena sistemik, dan aliran darah yang
dihasilkan dari system portal bertekanan tinggi akan menuju ke
system sistemik yang bertekanan rendah, aliran ini akan
menghasilkan dengung.
b. Bising Hati
Selanjutnya dengan menekan diafragma dengan tekanan sedang dapat
terdengar bising hati pada sistol. Merupakan akibat dari peningkatan
aliran arteri ke hati, arteriovenous shunt di hati, atau obstruksi parsial
aliran arteri.
c. Gesekan Hati
Gesekan hati terdengar seperti suara yang dihasilkan dengan
menggosokkan ibu jari dengan telunjuk di dekat telinga. Jika suara
diproduksi oleh gerakan hati, suara tersebut biasanya akan terbatas
pada perut dan tidak akan menyebar ke dada. Demikian juga suara
gesekan yang disebabkan oleh pergerakan pleura tidak akan terdengar
di hati. Sebagian besar suara gesekan hati dihasilkan oleh adanya
peradangan hati atau struktur yang berdekatan, baik berupa kanker
maupun infeksi.
3. Perkusi Hati
Untuk batas atas, dilakukan perkusi dari sela iga kedua pada linea
midklavikula kanan terus kebawah hingga suara perkusi berubah dari sonor
ke redup. Untuk batas bawah, dilakukan dari kuadran kanan bawah setingkat
umbilicus pada linea midklavikula kanan. Perkusi dimulai dengan suara
timpani kemudian diteruskan ke atas hingga redup. Ukuran normal hepar
orang dewasa ialah 4 – 9 cm.
4. Palpasi Hati
Pada hati dengan tepi yang normal, palpasi akan teraba lembut, tajam dan
teratur, dengan permukaan yang halus. Pada inspirasi, hati teraba sekitar 3
cm di bawah batas kosta kanan pada linea midklavikula (Hardison JE, 1990).
B. Pemeriksaan lab hepar
1. Bilirubin Total ( 0,1 – 1,1 mg/dL)
Digunakan untuk diagnosis icterus, menilai beratnya penyakit, penyakit
gilbert, hemolysis, diagnosis kolektasis
2. ALT (7 – 35 IU/L)
Digunakan untuk diagnosis dini penyakit hepatoseluler (lebih spesifik
dibandingkan dengan AST), pemantauan
3. AST (8 – 33 IU/L)
Digunakan untuk diagnosis dini penyakit hepatoseluler, pemantauan, pada
alkoholisme AST>ALT
4. ALP (30 – 130 IU/L)
Digunakan untuk diagnosis kolestasis, infiltrasi hepatic, diagnosis kelainan
metabolism
5. Albumin (3,5 – 4,9 g/dL)
Digunakan untuk menilai beratnya penyakit dan kronis
6. Masa prothrombin (9 – 12 detik)
Digunakan untuk menilai beratnya penyakit dan beratnya kolestasis
(Sherlock S, 2002) (Dufour DR, 2006).
2.2 Hepatoma
2.2.1 Definisi dan Tingkatan Hepatoma
Hepatoma atau karsinoma hepato seluler merupakan tumor ganas hati
primer yang sering di jumpai di Indonesia. Hepatoma merupakan tumor ganas
dengan prognosis yang amat buruk, dimana pada umumnya penderita meninggal
dalam waktu 2 – 3 bulan setelah diagnosis di tegakkan (Misnadiarly, 2007).
Tingkatan penyakit hepatoma terdiri dari :
Ia : Tumor tunggal diameter < 3cm tanpa emboli tumor, tanpa metastasis
kelenjar limfe peritoneal ataupun metastasis jauh.
Ib : Tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter < 5 cm di separuh hati,
tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun
metastasis jauh.
IIa : Tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter gabungan < 10 cm di
separuh hati, atau dua tumor dengan gabungan < 5 cm di kedua belahan
hati kiri dan kanan tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe
peritoneal ataupun metastasis jauh.
IIb : Tumor tunggal atau multiple dengan diameter gabungan > 10 cm di
separuh hati, atau tumor multiple dengan gabungan > 5 cm di kedua
belahan hati kiri dan kanan tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar
limfe peritoneal ataupun metastasis jauh.
IIIa : Tidak peduli kondisi tumor, terdapat emboli tumor di pembuluh utama
vena porta atau vena kava inferior, tidak terdapat metastasis kelenjar
limfe peritoneal atau metastasis jauh.
IIIb : Tidak peduli kondisi tumor, tidak peduli emboli tumor, metastasis
(Desen, 2008).
Selain itu terdapat pula klasifikasi child-pugh
Point
1 2 3
Albumin (g/dl) >3,5 3,0-3,5 <3,0
Bilirubin
(mg/dl)
<2,0 2,0-3,0 >3,0
Untuk Sirosis
bilier primer
1,0-4,0 4,0-10,0 >10,0
Ascites Tidak Sedikit Berat
Ensepalopati
(grade)
Tidak 1,0-2,0 3,0-4,0
Prothrombine
Time
(pemanjangan)
(INR)
1,0-4,0/<1,7 4,0-6,0/1,7-2,3 >6,0/>2,3
Kelas A, point 5-6 : Tanpa gangguan fungsi hati, respon normal untuk semua
operasi, kemampuan regenerasi hati normal.
Kelas B, point 7-9 : Ada beberapa gangguan pada fungsi hati, tidak ada
perubahan respon pada semua jenis operasi tetapi toleransinya dapat membaik
dengan persiapan preoperative yang baik, terdapat keterbatasan regenerasi hati
dan merupakan kontraindikasi untuk reseksi hati yang luas.
Kelas C, point 10-15 : Gangguan yang berat pada fungsi hati, respon yang buruk
pada semua jenis operasi meskipun telah dipersiapkan dengan baik,
kontraindikasi untuk reseksi hati.
2.2.2 Epidemiologi hepatoma
Terdapat perbedaan mencolok dalam frekuensi HCC di berbagai negara
di dunia, erat kaitannya dengan prevalensi infeksi HBV. Angka insidensi tahunan
di Amerika Utara dan Selatan, Eropa utara dan Tengah, dan Australia adalah 3 –
7 kasus per 100.000 populasi, sedangkan yang insidensinya pertangahan (hingga
20 kasus per 100.000) adalah Negara di sekitar Mediterranea (Hussodo, 2009).
Frekuensi tertinggi ditemukan di Taiwan, Mozambik dan Cina tenggara.
Angka insidensi tahunan pada pria mendekati 150 per 100.000. gambaran umum
pada daerah dengan insidensi tinggi adalah pembawa HBV sejak masa bayi,
setelah penularan vertical dari ibu yang terinfeksi. Keadaan pembawa yang
kronis ini meningkatkan risiko HCC pada masa dewasa sebesar 200 kali lipat. Di
daerah – daerah ini sirosis mungkin tidak di temupak pada hamper separuh
pasien HCC. Di dunia Barat di mana jarang terdapat pembawa HBV, sirosis di
temukan pada 85% hingga 90% kasus HCC, yang sering timbul dari penyakit
hati kronis lainnya (Hussodo, 2009).
Di seluruh dunia, HCC terutama dikumpai pada laki – laki dengan
perbandingan antara 3:1 terutama di daerah dengan insidensi rendah dan di
daerah yang insidensinya tinggi perbandingannya adalah 8:1. Hal ini berkaitan
dengan tingginya prevalensi infeksi HBV, alkoholisme dan penyakit hati kronis
pada laki – laki. Di setiap daerah, orang berkulit hitam memiliki angka serangan
(Attack rate) sekitar empat kali lebih besar daripada kulit putih. Di daerah
dengan insidensi tinggi, HCC umumnya timbul pada masa dewasa (decade ketiga
hinga kelima) sedangkan di daerah dengan insidensi rendah tumor ini paling
sering ditemukan pada orang berusia enam puluh hingga tujuh puluh tahun
(hussodo, 2009).
Di Indonesia (khususnya di Jakarta) HCC ditemukan tersering pada
median umur antara 50 – 60 tahun dengan predominasi pada laki – laki. Rasio
antara kasus laki – laki dan perempuan berkisan antara 2-6 : 1. Manifestasi
klinisnya sangat bervariasi dari asimtomatik hingga dengan gejalra dan tandanya
yang sangat jelas disertai gagal hati. Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah
nyeri atau perasaan tak nyaman di kuadran kanan- atas abdomen (hussodo,
2009).
Temuan fisik tersering pada HCC adalah hepatomegaly dengan atau
tanpa “bruit” hepatic, splenomegaly, asites, icterus, demam atau atrofi otot.
Sebagian dari pasien yang dirujuk kerumah sakit karena perdarahan varises
esophagus atau peritonitis bacterial spontan (SBP) ternyata sudah menderita
HCC. Pada suatu laporan serial nekropsi didapatkan bahwa 50% dari pasien
HCC telah menderita asites hemoragik yang jarang ditmeukan pada pasien
sirosis hati saja. Pada 10% hingga 40% pasien dapat ditemukan
hiperkolesterolemia akibat dari berkurangnya produksi enzim beta –
hidroksimetilglutaril koenzim – A reductase, karena tiadanya control umpan
balik yang normal pada sel hepatoma (Hussodo, 2009).
2.2.3 Etiologi hepatoma
Penyebab karsinoma ini tidak diketahui secara pasti, tetapi ada beberapa
factor yang terlihat :
1. Virus Hepatitis B (HBV)
Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya HCC
terbukti kuat, baik secara epidemiologis klinis maupun eksperimental.
Karsinogenesitas HBV terhadap hati mungkin terjadi melalui proses
inflamasi kronik, peningkatan proliferasi hepatosir, integrasi HBV DNA
ke dalam DNA sel pejamu, dan aktivitas protein spesifik HBV
berinteraksi dengan gen hati. Pada dasarnya perubhan hepatosir dari
kondisi inaktif (quiescent) menjadi sel yang aktif bereplikasi menentukan
tingkat karsinogenesis hati. Siklus sel dapat diaktifkan secara tidak
langsung oleh kompensasi proliferative merespons nekroinflamasi sel
hati, atau akibat dipicu oleh ekspresi berlebihan suatu atau beberapa gen
yang berubah akibat HBV. Koinsidensi infeksi HBV dengan pajanan
agen onkogenik lain seperti aflatoksin dapat menyebabkan terjadinya
HCC tanpa melalui sirosis hati. Transaktifasi beberapa promoter selular
atau viral tertentu oleh gen – x HBV (HBx) dapat mengakibatkan
terjadinya HCC, mungkin karena akumulasi protein yang disandi HBx
mampu menyebabkan proliferasi hepatosis. Dalam hal ini proliferasi
berlebihan hepatosit oleh HBx melampaui mekanisme protektif dari
apoptosis sel (Hussodo, 2009).
2. Virus Hepatitis C (HCV)
Prevalensi anti HCV pada pasien HCC di Cina dan Aftika selatan
sekitar 30% sedangkan di Eropa Selatan dan Jepang 70 – 80%. Prevalensi
anti HCV jauh lebih tinggi pada kasus HCC dengan HbsAg – negative
daripada HbsAg – positif. Pada kelompok pasien penyakit hati akibat
transfuse darah dengan anti HCV positif, interval saat transfuse hingga
terjadinya HCC dapat mencapai 29 tahun. Hepatokarsinogenesis akibat
infeksi HCV di duga melalui aktivitas nekroinflamasi kronik dan sirosis
hati (Hussodo. 2009).
3. Sirosis Hati
Lebih dari 80% penderita hepatoseluler menderita sirosis hati.
Peningkatan pergantian sel pada nodul regenerative sirosis di hubungkan
dengan kelainan sitologi yang dinilai sebagai perubahan dysplasia pra –
ganas. Semua tipe sirosis dapat menimbulkan komplikasi karsinoma,
tetapi hubungan ini paling besar pada hemokromatosis, sirosis terinduksi
virus dan sirosis alkoholik (Hussodo, 2009).
4. Aflaktosin
Aflaktosin B1 (AFB1) merupakan mitoksin yang diproduksi oleh
jamur Aspergillus. Dari percobaan binatang diketahui bahwa AFB1
bersifan karsinogen. Metabolit AFB1 yaitu AFB 1-2-3-epoksid
merupakan karsinogen utama dari kelompok aflatoksin yang mampu
membentuk ikatan dengan DNA maupun RNA (Hussodo, 2009).
5. Alkohol
Meskipun alcohol tidak memiliki kemampuan mutagenic, peminum
berat alcohol (>50-70g/hari dan berlangsung lama) berisiko untuk
menderita HCC melalui sirosis hati alkoholik. Hanya sedikit bukti adanya
efek karsinogenik langsung dari alcohol. Alkoholisme juga meningkatkan
risiko terjadinya sirosis hati dan HCC pada pengidap infeksi HBV atau
HCV (Hussodo, 2009).
2.2.4 Patofisiologi hepatoma
Perjalanan penyakit cepat, bila tidak segera diobati, sebagian besar pasien
meninggal dalam 3 sampai 6 bulan setelah diagnosis. Perjalanan klinis keganasan
hati tidak berbeda diantara pasien yang terinfeksi kedua virus dengan hanya
terinfeksi salah satu virus yaitu HBV dan HCV. Infeksi kronik ini sering
menimbulkan sirosis, yang merupakan factor resiko penting untuk karsinoma
hepatoseluler (Isselbacher, 2000).
Unit fungsional dasar dari hepar disebut lobul dan unit ini unik karena
memiliki suplai darah sendiri. Seiring dengan berkembangnya inflamasi pada
hepar, pola normal pada hepar aka terganggu. Gangguan terhadap suplai darah
normal pada sel – sel hepar ini menyebabkan nekrosis dan kerusakan sel – sel
hepar (Smeltzer, 2002).
Inflamasi pada hepar terjadi karena invasi virus HBV atau HCV akan
mengakibatkan kerusakan sel hati dan duktuli empedu intrahepatic (empedu yang
membesar tersumbat oleh tekanan nodul maligna dalam hilus hati), sehingga
menimbulkan nyeri. Hal ini dimanifestasikan dengan adanya rasa mual dan nyeri
di ulu hati. Sumbatan intrahepatic dapat menimbulkan hambatan pada aliran
portal sehingga tekanan portal akan naik dan terjadi hipertensi portal (Smeltzer,
2002).
Timbulnya asites karena penurunan sintesa albumin pada proses
metabolism protein sehingga terjadi penurunan tekanan osmotic dan peningkatan
cairan atau penimbunan cairan didalam rongga peritoneum. Gangguan
metabolism protein yang mengakibatkan penurunan sintesa fibrinogen
prothrombin dan terjadi penurunan factor pembekuan darah sehingga dapat
menimbulkan perdarahan (Carpenito, 1998).
Icterus timbul karena kerusakan sel parenkim hati dan duktuli empedu
intrahepatic, maka terjadi kesukaran pengangkutan tersebut dalam hati.
Akibatnya bilirubin tidak sempurna dikeluarkan melalui ductus hepatikus, karena
terjadi terjadi retensi (akibat kerusakan sel ekskresi) dan regurgitasi pada
duktulis, empedu belum mengalami konjugasi (bilirubin indirek), maupun
bilirubin yang sudah mengalami konjugasi (bilirubin direk). Jadi icterus yang
timbul disini terutama disebabkan karena kesukaran dalam pengangkutan,
konjugasi dan ekskresi bilirubin, oleh karena nodul tersebut menyumbat vena
porta atau bila jaringan tumor tertanam dalam rongga perioteneal (Isselbacher,
2000).
Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat disertai peningkatan
garam – garam empedu dalam darah yang akan menimbulkan gatal – gatal pada
icterus. Gangguan metabolism karbohidrat, lemak dan protein menyebabkan
penurunan glikogenesis dan gluconeogenesis sehingga glikogen dalam hepar
berkurang, glikogenolisis menurun dan glukosa dalam darah berkurang akibatnya
timbul keletihan (Isselbacher, 2000).
Kerusakan sel hepar juga dapat mengakibatkan penurunan fungsi
penyimpanan vitamin dan mineral sehingga terjadi defisiensi pada zat besi,
vitamin A, vitamin K, vitamin D, vitamin E, dll. Defisiensi zat besi dapat
mengakibatkan keletihan, defisiensi vitamin A mengakibatkan gangguan
penglihatan, defisiensi vitamin K mengakibatkan resiko terjadi perdarahan,
defisiensi vitamin D mengakibatkan demineralisasi tulang dan defisiensi vitamin
E berpengaruh pada integritas kulit (Isselbacher, 2000).
Hepatokarsinogenesis dianggap suatu proses yang berasal dari sel – sel
induk hati (namun, peran sel induk hati sebagai sel yang berkembang menjadi
karsinoma hepatoseluler masih dalam perdebatan) atau berasal dari sel hepatosit
yang matang dan merupakan perkembangan dari penyakit hati kronis yang di
dorong oleh stress oksidatif, inflamasi kronis dan kematian sel yang kemudian
diikuti oleh proliferasi terbatas/ dibatasi oleh regenrasi, dan kemudian
remodeling hati permanen (Porth, 2011).
Mekanisme hepatokarsinogenesis tidak sepenuhnya dipahami. Namun,
seperti kebanyakan tumor solid lainnya, pengembangan dan perkembangan
kanker hati yang diyakini disebabkan oleh akumulasi perubahan genetic yang
mengakibatkan perubahan ekspresi pada gen yang terkait kanker, seperti
onkogen atau gen supresor tumor, serta gen lainnya yang terlibat dalam jalur
regulasi (Porth, 2011).
Dalam lingkungan yang bersifat karsinogenik, perkembangan nodul
hiperplastik dan displastik akan segera menjadi kondisi pre – neoplastic. Namun,
diduga akumulasi dari berbagai peristiwa molekuler yang berurutan pada
berbagai tahap penyakit hati (jaringan normal hati, hepatitis kronis, sirosis, nodul
hiperplastik dan displastik, dan kanker ) hanya dipahami secara parsial saja.
Pathogenesis secara molekul dari karsinoma hepatoseluler melibatkan genetic
atau terjadi penyimpangan epigenetic yang berbeda dan terdapat perubahan
dalam beberapa jalur sinyal yang mengarah pada heterogenitas penyakit dalam
hal biologis dan perilaku klinis. Bukti saat ini menunjukkan bahwa dalam
hepatokarsinogenesis, terdapat dua mekanisme utama yang terlibat, yaitu sirosis
dan yang berhubungan dengan regenerasi hati setelah adanya kerusakan hati
kronis yang disebabkan oleh beberapa factor (infeksi hepatitis, toksin atau
gangguan metabolism), serta adanya sejumlah mutase DNA yang menyebabkan
gangguan dari keseimbangan onkogenesis – onkosupresos dari sel yang mengara
ke perkembangan sel – sel neoplastic. Beberapa jalur penting dari sinyal seluler
telah diamati menjadi bagian dari keterlibatan onkogenetik pada karsinoma
hepatoseluler. Jalur sinyal utama pada karsinoma hepatoseluler adalah RAF /
MEK / ERK, P13K/AKT/mTOR, NTB/ β – catenin, IGF, HGF / c-MET dan
factor pertumbuhan yang mengatur sinyal angiogenik (Porth, 2011).
Hepatokarsinogenesis dimulai pada lesi pre – neoplastic seperti nodul
makroregeneratif, nodul diplastik low – grade dan high grade. Percepatan
proliferasi hepatosit dan pengembangan populasi hepatosit monoclonal terjadi
pada semua kondisi pre – neoplastic. Akumulasi perubahan genetic dalam lesi
pre – neoplastic diyakini mengarah terjadinya karsinoma hepatoseluler.
Perubahan genom yang terjadi secara acak akan terakumulasi dalam hepatosit
yang displastik dan hepatosir pada karsinoma hepatoseluler. Meskipun
perubahan genetic dapat terjadi secara bebas dari kondisi etiologi, beberapa
mekanisme molekuler lebih sering berkaitan dengan etiologi spesifik (Porth,
2011).
2.2.5 Gambaran klinis hepatoma
Gambaran umum karsinoma hepatoseluler beragam, dapat tidak bergejala
hingga adanya gejala berat berupa nyeri hebat dengan atau tanpa hepatomegaly,
gejala gagal faal hati, perdarahan varises, asites hemoragik, perdarahan
intraperitoneal mendadak tanpa trauma, akut abdomen mendadak, syok
hipovolemik, dan metastasis jauh di tempat lain dengan atau tanpa gejala klinis
(Sjamsuhidajat dan de Jong, 2010).
Umumnya, tampak benjolan di perut bagian atas, disertai dengan nyeri
terus – menerus yang menembus ke belakang atau ke daerah bahu. Nyeri
meningkat bila penderita bernafas dalam karena rangsangan peritoneum pada
permukaan benjolan. berat badan cepat menurun. Kadang terdapat asites atau
perdarahan saluran cerna bagian atas karena varises esophagus. Keadaan ini
biasanya menunjukkan karsinoma hepatoseluler stadium lanjut (Sjamsuhidajat
dan de Jong, 2010).
Oleh karena hepatoseluler karsinoma kebanyakan berhubungan dengan
sirosis, sering dijumpai pula tanda sirosis, berupa pembuluh darah kolateral di
dinding perut, spider nevi (bercak pada kulit seperti laba – laba), splenomegaly,
eritema palmaris dan, ginekomastia (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2010).
Pada keadaan lebih lanjut, dapat timbul icterus yang menunjukkan
perjalanan penyakit yang progresif. Perdarahan intraperitoneal mendadak pada
penderita yang keadaan umumnya buruk kemungkinan terjadi akibat karsinoma
hepatoseluler yang pecah spontan (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2010).
2.2.6 Diagnosis dan diagnosis banding hepatoma
A. Diagnosis
Melakukan pemeriksaan berkala bagi kelompok risiko tinggi antara lain :
pengidap virus Hepatitis B dan C, dokter, dan bagi orang yang mempunyai
anggota kelluarga penderita kanker hati. Pemeriksaan dilakukan setiap 3 bulan
sekali pada penderita sirosis hati dengan HBsAg positif dan pada penderita
hepatitis kronis dengan HBsAg negative atau penderita penyakit hati kronis atau
dengan sirosis dengan HBsAg negative pernah mendapat transfuse atau
hemodialisa diperiksa 6 bulan sekali.
The American Association for the Study of Liver Disease (AASLD) pada
tahun 2011 menerbitkan pedoman praktis untuk mendiagnosis hepatoma.
Disebutkan bahwa pemeriksaan yang digunakan untuk mendiagnosa hepatoma
mencakup pemeriksaan radiologi, biopsy dan serologi AFP. Pemeriksaan mana
yang digunakan tergantung kondisi lesi (Bates, 2014)
1. Anamnesis
Sebagian besar penderita yang datang berobat sudah dalam fase
lanjut dengan keluhan nyeri perut kanan atas. Sifat nyeri ialah nyeri
tumpul, terus – menerus, kadang – kadang terasa hebat apabila bergerak.
Di samping keluhan nyeri perut ada pula keluhan seperti benjolan di perut
kanan atas tanpa atau dengan nyeri. Perut membuncit karena adanya
asites dan keluhan yang paling umum yaitu merasa badan semakin lemah,
anoreksia, perasaan lekas kenyang, feses hitam, demam, bengkak pada
kaki, perdarahn dari dubur (Sujono, 2000).
2. Pemeriksaan fisik
Biasanya hati terasa besar dan berbenjol – benjol, tepi tidak rata,
tumpul, kadang – kadang terasa nyeri bila ditekan. Bila letak tumor di
lobus kiri maka pembesaran hati terlihat di epigastrium, tapi bila tumor
tersebut terletak di lobus kanan maka pembesaran hati terlihat di
hipokondrium kanan (Sujono, 1999).
Pada palpasi menunjukkan adanya gesekkan permukaan
peritoneum viserale yang kasar akibat rangsang dan infiltrasi tumor ke
permukaan hati dengan dinding perut. Gesekan ini dapat didengarkan
juga melalui stetoskop. Pada auskultasi di atas benjolan ditemukan suara
bising aliran darah karena hipervaskularisasi tumor. Gejala ini
menunjukkan fase lanjut karsinoma hepatoseluler (Sjamsuhidajat dan de
Jong, 2010).
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
i. Serum AFP
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah
pemeriksaan Alfa – fetoprotein (AFP) yaitu protein serum
normal yang disintesis oleh sel hati fetal. Rentang normal AFP
serum adalah 0 – 20 ng/ml, kadar AFP meningkat pada 60% -
70% penderita kanker hati (Hussodo, 2009).
ii. Biopsi
Biopsy masih merupakan gold standard dalam menegakkan
diagnosis hepatoma. Dengan kemajuan teknologi di bidang
radiologi, tidak semua kasus yang dicurigai sebagai hepatoma
harus dilakukan biopsy. Biopsy tidak perlu dilakukan apabila
pada pemeriksaan pencitraan telah didapatkan gambaran khas
lesi hepatoma, serta terdapat kontra indikasi untuk dilakukan
tindakan ablasi atau transplantasi. Biopsy wajib dilakukan
apabila pemeriksaan pencitraan tidak dapat menemukan lesti
atau visualisasi lesi memberikan gambaran yang tidak khas,
serta untuk lesi dengan diameter > 2 cm dengan AFP rendah
(Paradis, 2013).
b. Pemeriksaan pencitraan
i. Foto polos radiografi
Temuan hepatoma pada foto polos adalah nonspesifik.
Sebuah massa abdomen mungkin dapat terlihat bila berukuran
besar. Kalsifikasi jarang ditemukan pada hepatoma. Pasien
dengan hemochromatosis sebagai factor predisposisi dalam
perkembangan hepatoma dapat menunjukkan deposisi kalsium
pirofosfat pada tulang rawan sendi, namun banyak penyebab
lain dari kondrokalsinosis, seperti gout, hiperparatiroidisme,
penyakit Wilson, dan penyakit degenerative sendi (Jacobson,
2013).
ii. Computed Tomography (CT) Scan
CT Scan dengan kontras meliputi 3 fase yaitu fase arteri,
fase vena porta, dan fase delayed (late washout). Pada fase
arteri, lesi umumnya hiperdens sebagai akibat dari suplai arteri
hepatica. Neovaskularisasi kadang juga ditemukan. Pada fase
vena porta, lesi kecil mungkin densitasnya iso-hipodens dan
sulit terlihat karena parenkim hepar yang normal meningkat
densitasnya. Lesi yang lebih besar dengan area nekrotik tetap
hipodens. Pada fase delayed, lesi kecil mungkin tak terlihat
jelas. Fase delayed dapat menunjukkan gambaran kapsul
tumor, yang merupakan salah satu tanda yang lebih spesifik
menunjukkan adanya hepatoma (Jacobson. 2013).
iii. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Gambaran hepatoma pada MRI tergantung pada parenkim
tumor, grade tumor, serta kandungan lemak dan glikogen
intratumoral. Gambaran lesi bervariasi dari isointense sampai
ke hiperintens, baik pada T1-weighted image maupun T2.
Tumor yang well – differentiated lebih sering hiperintens pada
T1 dan isointense pada T2, sementara tumor yang moderate
atau poorly – differentiated cenderung hiperintens pada T2
dan isointense pada T1. Walaupun karateristik pencitraan
dapat sugestif kearah hepatoma, gambarannya dapat tumpang
tindih dengan nodul regenerative (Axelrod, 2013).
iv. Ultrasonografi (USG) Abdomen
Untuk meminimalkan kesalahan hasil pemeriksaan
laboratorium, pasien sirosis hati dianjurkan menjalani
pemeriksaan USG setiap tiga bulan. Untuk tumor kecil pada
pasien dengan risiko tinggi USG lebih sensitive dari pada AFP
serum berulang. Sensitivitas USG untuk neoplasma hati
berkisar antara 70% - 80%. Tampilan USG yang khas untuk
HCC kecil adalah gambaran mosaic, formasi septum, bagian
perifer sonolusen (ber – halo) (Hussodo, 2009).
USG sangat berguna untuk membedakan HCC dari tumor
hepatic lain. Tumor yang berada di bagian atas belakang lobus
kanan mungkin tidak dapat terdeteksi oleh USG. Demikian
juga yang berukuran terlalu kecil dan isoekoik. Modalitas
imaging lain seperti CT – scan, MRI dan angiografi kadang di
perlukan untuk mendeteksi HCC, namun karena beberapa
kelebihannya, USG masih tetap merupakan alat diagnostic
yang paling popular dan bermanfaat (Hussodo, 2009).
B. Diagnosis Banding
Pola pertumbuhan hepatoma yang bervariasi, seringkali menimbulkan
tantangan dalam menegakkan diagnosis. Beberapa diagnosis banding hepatoma
antara lain : nodul regenerasi dan displastik, hemangioma, dan
kolangiokarsinoma. Neoplasma metastatic merupakan keganasan hepar yang
paling sering menjadi diagnosis banding hepatoma (Satir, 2007).
2.2.7 Penatalaksanaan hepatoma
Terdapat beberapa gambaran penting untuk panduan terapi pada
hepatoma, yaitu : ukuran tumor, staging ( penyebaran tumor), keterlibatan
pembuluh darah di hepar, kapsul tumor, metastasis ekstrahepatal, satelit nodul,
serta pola vaskularisasi tumor. berdasarkan temuan tersebut di atas, kemudian
akan ditentukan penatalaksanaan pada hepatoma, berupa terapi operatif atau non
operatif (Ryder, 2003).
Satu – satunya terapi yang terbukti berpotensi kuratif untuk hepatoma
adalah tindakan operatif, baik reseksi maupun transplantasi hepar.
1. Transplantasi hepar harus dipertimbangkan pada pasien dengan sirosis
dan lesi berukuran kecil (1 lesi berukuran < 5 cm atau < 3 lesi berukuran
< 3 cm).
2. Pasien dengan HBV yang bereplikasi memiliki prognosis yang buruk
karena bersifat kambuhan, sehingga tidak memenuhi kriteria sebagai
kandidat untuk transplantasi. Terapi antivirus yang efektif saat ini telat
tersedia dan pasien dengan lesi hepatoma berukuran kecil seperti tersebut
di atas dapat dipertimbangkan untuk dilakukan transplantasi.
3. Reseksi hepar harus dipertimbangkan sebagai terapi utama pada pasien
dengan HCC dan hepar non – sirosis.
4. Reseksi dapat dilakukan pada pasien tertentu dengan sirosis hati dan
fungsi hepar yang masih baik yang tidak memenuhi kriteria untuk
transplantasi hepar (Axelrod, 2013).
Penatalaksanaan non – operatif diberikan bilamana terapi operatif tidak
memungkinkan
1. Percutaneous Ethanol Injection (PEI) telah terbukti untuk menghasilkan
nekrosis pada hepatoma berukuran kecil. Tindakan ini cocok untuk lesi
perifer berukuran < 3 cm. ablasi radiofrekuensi mungkin menjadi terapi
ablative alternative yang baik tetapi ketersediaan data sangat terbatas.
2. Kemoembolisasi dapat menghasilkan tumor nekrosis dan telah terbukti
mempengaruhi kelangsungan hidup pada pasien untuk mempertahankan
hepar. Kemoembolisasi menggunakan lipiodol adalah terapi yang efektif
bila ditemukan nyeri atau perdarahan dari hepatoma
3. Kemoterapi sistemik dengan agen standar memiliki tingkat respon yang
rendah
4. Terapi hormonal dengan tamoxifen tidak menunjukkan manfaat terhadap
kelangsungan hidup dalam suatu penelitian sehingga tidak
direkomenfasikan Omata. Et al. 2010).
2.2.8 Komplikasi hepatoma
Komplikasi yang terjadi akibat karsinoma hepatoseluler menurut Pile Mone
(2000) adalah:
1. Hipertensi
2. Hyperbilirubinemia
3. Ensefalopati hepatic terjadi pada kegagalan hati berat yang disebabkan oleh
akumulasi ammonia serta metabolic toksin
4. Kerusakan jaringan parenkim hati yang meluas akan menyebabkan sirosis
hepatis
2.2.9 Prognosis hepatoma
Pada umumnya prognosis karsinoma hepatoseluler adalah ad malam. Tanpa
pengobatan, kematian rata – rata terjadi sesudah 6 – 7 bulan setelah timbul
keluhan pertama. Dengan pengobatan, hidup penderita dapat diperpanjang
sekitar 11 – 12 bulan. Bila karsinoma hepatoseluler dapat dideteksi secara dini,
usaha – usaha pengobatan seperti pembedahan dapat segera dilakukan sehingga
masa hidup penderita dapat menjadi lebih panjang lagi (Siregar.A.Gontar, 2011).
2.2.10 Pencegahan hepatoma
1. Pencegahan primordial
Pencegahan yang dilakukan untuk menghindari kemuncul
keterpaparan dari gaya hidup yang berkontribusi meningkatkan risiko
penyakit, dilakukan dengan:
a. Mengkosumsi buah dan sayur yang mengandung vitamin, beta
karoten, mineral, dan tinggi serat yang dapat menjaga kondisi tubuh
agar tetap sehat.
b. Kurangi makanan yang mengandung lemak tinggi.
c. Kurangi makanan yang dibakar, diasinkan, diasap, diawetkan dengan
nitrit.
d. Pengontrolan berat badan, diet seimbang dan olahraga.
e. Hindari stress.
f. Menjaga lingkungan yang sehat dan bersih sehingga terhindar dari
penyakit menular (Elisabet, 2009).
2. Pencegahan primer
Pencegahan primer adalah langkah yang harus dilakukan untuk
menghindari insidensi penyakit dengan mengendalikan penyakit dan
factor resiko.
a. Memperhatikan menu makanan terutama mengkonsumsi protein
hewani cukup.
b. Hindari mengkonsumsi minuman alcohol
c. Mencegah penularan virus hepatitis, imunisasi bayi secara rutin
menjadi strategi utama untuk pencegahan infeksi HBV dan dapat
memutuskan rantai penularan (Elisabet, 2009).
3. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder adalah pengobatan penderita dan mengurangi
akibat – akibat yang serius dari penyakit melalui diagnose dini dan
pemberian pengobatan. Hepatoma sering ditemukan pada stadium lanjut
maka perlu dilakukan pengamatan berlaku pada kelompok penderita yang
kemungkinan besar akan menderita hepatoma dengan pemeriksaan USG
dan AFP (Elisabet, 2009).
2.3 Cryosurgery
2.3.1 Definisi Cryosurgery
Kryoterapi atau juga dikenal dengan kryoablasi merupakan salah satu
metode penggunaan sifat termal untuk mengablasi suatu tumor. Kryoterapi
ditempuh dengan menggunakan pendinginan / pembekuan yang cepat, biasanya
menggunakan gas nitrogen, penghangatan yang lambat, lalu pengulangan siklus
pembekuan – penghangatan (freeze-thaw cycles) tadi hingga mencapai titik
ablasi yang ditandai oleh terbentuknya Kristal es pada intra dan ekstra sel.
Penggabungan Kristal es yang terbentuk (sebagai bola es), dan kerusakan
vaskuler setempat. Efek kryoterapi meliputi kerusakan vaskuler, kerusakan
organela dan dinding sel, dehidrasi sel, serta perubahan pH dan osmolaritas
intrasel. Pengulangan siklus pembekuan – penghangatan tadi akan menghasilkan
kerusakan jaringan sel tumor target yang lebih luas karena sel tumor dihadapkan
pada paparan termal berulang yang merusak. Kerusakan unsur dan dinding sel
selama siklus pembekuan – penghangatan sebelumnya akan menyebabkan
meningkatnya konduktivitas termal dan berakibat pendinginan yang lebih cepat
serta pembesaran volume jaringan yang dibekukan (Lee dan Chen, 2010).
2.3.2 Indikasi Cryosurgery
Indikasi Cryosurgery dalam konteks HCC adalah untuk pasien dengan
tumor multiple yang tidak memungkinkan bagi tindakan reseksi segmental.
(Fung, 2014).
Kriteria yang diperlukan bagi pasien untuk dapat menjalani reseksi yaitu:
1. Tidak ada metastasis jauh
2. Tumor terbatas di satu lobus atau satu segmen
3. Pascalobektomi, sisa jaringan hati masih dapat memenuhi kebutuhan
tubuh (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2010).
Jika pasien tidak memenuhi kriteria di atas, maka dapat dilakukan tindakan
kryosurgery
2.3.3 Teknik Cryosurgery
Perlakuan tehnik cryosurgery di bagi menjadi 2, yaitu dengan open
laparotomy terlebih dahulu dan percutaneous cryosurgery.
Pada cryosurgery dengan open laparotomy, pasien dengan prothrombin
time (PT) memanjang ditransfusikan fresh frozen plasma terlebih dahulu untuk
memperbaiki nilai PT sesuai dengan International Normalized Ratio (INR) 1,2
atau kurang. Transfuse trombosit diberikan pada pasien dengan trombosit <
60.000. Cryosurgery dilakukan setelah pemberian anastesi umum yang diikuti
dengan insisi pada sebelah kanan subcostal hingga garis tengah. Pasien boleh di
bebaskan apabila fungsi hati sudah kembali normal dan efek samping pasca
operasi sudah hilang. (Zhiwei, et al. 2013).
Penggunaan intraoperative ultrasound (IOUS) sangat mendukung
pengembangan dari tehnik percuteous cryosurgery karena dapat menentukan
letak dari tumor secara akurat, khususnya yang berada pada bagian vaskuler
ataupun di struktur bilier. Merupakan metode yang akurat dan aman dalam
memandu jarum cyro (cryoprobe) (berdiameter 1,47mm dan mampu
mengeluarkan bola es berdiameter 3cm) menuju lesi dan mampu
menggambarkan luasnya pembekuan yang terlihat seperti lingkaran gelombang.
Penggunaan metode lain dengan dipandu oleh MRI atau CT-scan menghasilkan
keakuratan yang lebih rendah karena bukan merupakan scan waktu nyata,
sehingga mempersulit saat membedakan fase pembekuan. Setelah 2 kali fase
pembekuan dilakukan, kemudian cryoprobe di tarik dan perdarahan dihentikan
menggunakan spons gelatin untuk menutup sinus yang kemudian ditutup
menggunakan kasa steril dan di fiksasi dengan plester atau perban. (Chen, et al.
2011).
Cryoterapi dilakukan dengan memasukkan beberapa cryoprobe menuju
tumor dengan panduan. Kemudian nitrogen cair dengan suhu -190 C di alirkan
pada system tertutup hingga ujung dari cryoprobe sehingga membentuk bola es
pada ujung probe. Bola es tersebut dibiarkan menutupi tumor dan sekitar 1
setengah inchi dari perbatasan tumor. kemudian dilakukas siklus pembekuan
sebanyak 2 kali untuk setiap lesi. Siklus pembekuan berupa 10 menit pembekuan
diikuti dengan 5 menit penghangatan kemudian pembekuan kembali selama 10
menit dan penghangatan kembali selama 5 menit (Chen, et al. 2011).
2.3.4 Komplikasi Cryosurgery
Pada open laparotomy dapat ditemukan komplikasi berupa perdarahan
massif (> 700ml). tingginya perdarahan yang terjadi sangat berhubungan denga
ada atau tidaknya hipertensi porta pada pasien. selain itu dikarenakan letaknya
yang berdekatan dengan paru kanan, sering ditemukan luka pada bagian paru
kanan (Wilson, et al. 1998).
Pada percutaneous cryosurgery sering ditemukan perdarahan yang
disebabkan oleh karena pecahnya bola es ataupun bocornya cairan empedu
karena luka dari proses pembekuan (Chen, et al. 2011).