49
12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Eksistensi Diri 1. Pengertian Eksistensi Diri Secara etimologi, istilah existence berasal dari bahasa Latin existo, yang terdiri dari dua suku kata, ex dan sistere yang berarti muncul, menjadi, atau hadir (Misiak & Sexton, 2005). Akar atau dasar eksistensi sendiri bermula pada pandangan bahwa manusia selalu hidup dalam bahaya yang tidak pernah lepas dari kecemasan, ketakutan, dan fakta akan kematian (Rodgers & Thompson, 2015). Kondisi-kondisi inilah yang mendorong manusia untuk mewujudkan eksistensi dirinya dengan merealisasikan kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam rangka mencapai kehidupan yang bermakna. Eksistensi manusia dipandang sebagai satu kesatuan yang menyeluruh, yakni sebagai kesatuan individu dan dunianya. Sebagaimana diungkapkan Heidegger (dalam Friedman & Schustack, 2008) bahwa eksistensi adalah makna dari keberadaan manusia yang mengedepankan masalah being-in-the- world, yaitu diri manusia tidak akan ada tanpa dunia dan dunia tidak akan ada tanpa makhluk yang mempersepsikannya. Dunia manusia bukan dunia fisik saja, melainkan dunia makna, yakni pemaknaan individu terhadap dunia. Oleh sebab itu, tidak mungkin bisa memahami manusia tanpa memahami dunia tempat eksistensi manusia (misalnya rumah tempat tinggal individu dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Eksistensi Diri 1. Pengertian ... · Keautentikan. Orang autentik memiliki ciri-ciri yaitu menyadari dirinya dan hubungannya dengan lingkunganya, mampu

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Eksistensi Diri

1. Pengertian Eksistensi Diri

Secara etimologi, istilah existence berasal dari bahasa Latin existo,

yang terdiri dari dua suku kata, ex dan sistere yang berarti muncul, menjadi,

atau hadir (Misiak & Sexton, 2005). Akar atau dasar eksistensi sendiri

bermula pada pandangan bahwa manusia selalu hidup dalam bahaya yang

tidak pernah lepas dari kecemasan, ketakutan, dan fakta akan kematian

(Rodgers & Thompson, 2015). Kondisi-kondisi inilah yang mendorong

manusia untuk mewujudkan eksistensi dirinya dengan merealisasikan

kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam rangka mencapai kehidupan yang

bermakna.

Eksistensi manusia dipandang sebagai satu kesatuan yang menyeluruh,

yakni sebagai kesatuan individu dan dunianya. Sebagaimana diungkapkan

Heidegger (dalam Friedman & Schustack, 2008) bahwa eksistensi adalah

makna dari keberadaan manusia yang mengedepankan masalah being-in-the-

world, yaitu diri manusia tidak akan ada tanpa dunia dan dunia tidak akan ada

tanpa makhluk yang mempersepsikannya. Dunia manusia bukan dunia fisik

saja, melainkan dunia makna, yakni pemaknaan individu terhadap dunia. Oleh

sebab itu, tidak mungkin bisa memahami manusia tanpa memahami dunia

tempat eksistensi manusia (misalnya rumah tempat tinggal individu dan

13

tempat dimana ia merasa bermakna sebagai individu; orang lain terhadap siapa

ia berbicara atau mengungkapkan perasaannya; tempat kerja dimana ia

mengekspresikan kemampuannya dan merasa menjadi manusia; sekolah

dimana ia belajar dan mengekspresikan keberadaannya; dan seterusnya).

Melalui dunianyalah makna eksistensi tampak bagi dirinya dan orang lain

(Abidin, 2002).

Dalam pandangan psikologi eksistensial, dikatakan bahwa eksistensi

merupakan sebuah cara berada manusia, situasinya dalam dunia,

kebebasannya memilih tujuan hidup, serta berusaha memahami arti

kehidupannya sendiri (Chaplin, 2000). Eksistensi diri merupakan segala

kemungkinan yang apabila direalisasikan dapat mengarahkan individu pada

keberadaan autentik, yaitu manusia menjadi dirinya sendiri, mengambil

tanggung jawab untuk menjadi dirinya sendiri dengan menyeleksi

kemungkinan-kemungkinan yang ada disediakan dalam kehidupan (Rodgers

& Thompson, 2015).

Loonstra, Brouwers, & Tomic (2007) mengartikan eksistensi diri

sebagai kesadaran manusia terhadap tujuan hidup dan dengan sepenuhnya

dapat menerima potensi-potensi serta batasan diri secara hakiki. Menurut

Abidin (2002), kesadaran manusia pada dasarnya adalah intensionalitas (selalu

memiliki maksud atau terarah kepada sesuatu) dan dunia manusia pada

dasarnya merupakan hasil penciptaan (pemaknaan) manusia, serta ia hidup

dalam dunia yang telah “diciptakan” atau dimaknakannya. Para eksistensialis

lebih lanjut memiliki keyakinan bahwa setiap manusia mempunyai potensi

14

untuk menangani beberapa kondisi bawaannya dan membuat hidupnya

menjadi lebih bermakna. Corey (2003) memaparkan potensi manusia sebagai

berikut :

a. Kesadaran. Setiap manusia memiliki kemampuan untuk menyadari dirinya

dan lingkungannya. Semakin besar kesadarannya, semakin banyak

kemungkinan dan peluang keberhasilan untuk menangani ketakutan dan

kecemasannya.

b. Keautentikan. Orang autentik memiliki ciri-ciri yaitu menyadari dirinya

dan hubungannya dengan lingkunganya, mampu membuat pilihan dan

menyadari bahwa keputusan merupakan konsekuensi yang tak bisa

dihindari, mengambil tanggung jawab untuk membuat pilihan, mengakui

bahwa ketidaksempurnaan kesadaran.

c. Kebebasan dan tanggung jawab. Jika manusia mau mengakui bahwa

dirinya memiliki kebebasan, maka di manapun mereka berada, mereka

mempunyai tanggung jawab.

d. Aktualisasi diri. Eksistensi memandang bahwa manusia mempunyai

kemampuan untuk mengaktualisasikan dirinya. Manusia yang gagal

mencapai aktualisasi diri, berpotensi dihinggapi perasaan malu, bersalah

dan cemas, serta persepsi hidupnya tak bermakna.

e. Memaknakan hidup. Setiap manusia termotivasi untuk membuat hidupnya

menjadi bermakna. Untuk memaknakan hidupnya, manusia harus

memiliki keinginan untuk hidup, tidak merusak diri dan mau mencintai

diri sendiri serta orang lain bahkan lingkungan fisiknya.

15

Dari berbagai uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa eksistensi diri

adalah cara individu memaknai keberadaan dirinya di dunia melalui berbagai

upaya dengan mengaktualisasikan potensi-potensi yang dimiliki untuk

mencapai keberadaan autentik dan membuat hidupnya menjadi bermakna.

2. Konsep Dasar Eksistensi Diri

Konsep dasar mengenai eksistensi diri digambarkan oleh Abidin

(2002) sebagai berikut :

a. Eksistensi adalah suatu proses yang dinamis, suatu proses “menjadi” atau

“mengada”. Jadi, eksistensi tidak bersifat kaku dan berhenti, melainkan

lentur dan mengalami perkembangan atau sebaliknya kemunduran

tergantung pada kemampuan individu dalam mengaktualisasikan potensi-

potensinya.

b. Eksistensi adalah pemberian makna. Hal ini sesuai dengan hakekat

kesadaran manusia itu sendiri sebagai intensionalitas, yang selalu

mengarah ke luar dirinya dan melampui dirinya. Realitas yang semula

objektif, lalu diberi makna subjektif, sesuai dengan kebutuhannya.

c. Eksistensi adalah ada-dalam-dunia. Manusia tidak hidup sendiri dan

berada dalam diri sendiri, melainkan berada-dalam-dunianya. Manusia

tidak bisa lepas dari (dan tidak dapat terealisasi tanpa) dunianya. Dunia

dalam arti ini terus berkembang dan bersifat subjektif, karena bersifat

terpusat pada manusia, sehingga setiap kontak manusia dengan sesuatu di

luar dirinya selalu ditandai oleh subjektifitasnya.

16

d. Manusia hidup dalam mitwelt, eigenwelt, dan umwelt.

1) Umwelt adalah dunia objek-objek di sekitar kita, dunia yang bersifat

objektif. Umwelt adalah dunia kebutuhan biologis, dorongan hewani,

naluri tidak sadar, dan segala sesuatu yang biasanya dinamakan

“lingkungan”.

2) Mitwelt adalah dunia perhubungan antar manusia, terdapat perasaan

seperti benci dan cinta. Baik cinta dan benci, tidak pernah bisa

dipahami hanya sebagai sesuatu yang bersifat biologis dan tergantung

pada sejumlah faktor yang bersifat manusia, misalnya keputusan

pribadi dan komitmen terhadap orang lain.

3) Eigenwelt adalah kesadaran diri, perhubungan diri, dan secara khas

hadir dalam diri manusia. Eigenwelt merupakan pusat dari perspektif

manusia dan pusat dari perhubungan antara manusia dengan benda-

benda atau orang lain. Eigenwelt juga berarti kesadaran, bahwa

manusia “ada” dan “keberadaannya” tidak dapat disangkal. Tanpa

kesadaran itu manusia kehilangan orientasi dan dengan demikian

kehilangan eksistensinya.

e. Eksistensi adalah “milik pribadi”. Tidak ada dua individu yang identik.

Tidak ada pula dua pengalaman identik. Oleh sebab itu, eksistensi adalah

milik pribadi, yang keberadaannya tidak tergantikan oleh siapa pun.

f. Eksistensi mendahului esensi. Hal ini berati bahwa nasib manusia dan

takdir manusia, struktur hidup manusia, dan konsep tentang manusia,

adalah dipilih dan ditentukan sendiri oleh manusia.

17

g. Eksistensi adalah autentik atau tidak autentik. Menurut Heidegger dan

Sartre (dalam Abidin, 2002), eksistensi sebagian besar manusia adalah

tidak autentik. Manusia lupa akan dirinya sendiri, dikuasai oleh kekuatan

massa atau oleh pesona benda, mengabaikan hati nurani, gampang

terpengaruh oleh iklan menggoda, dan lain-lain. Padahal manusia bisa

memilih dan bertindak secara autentik; sadar diri, bertindak atas kekuatan

sendiri, bersedia mendengarkan hati nurani sendiri.

Lathief (2010) mengungkapkan pula bahwa konsep dasar eksistensi

diri berkaitan erat dengan hal-hal berikut ini :

a. Ada dan Ketiadaan (Being and Nothingness)

Makna ontologis kata “ada” dimaksudkan sebagai manusia hadir

dan menampakkan diri, mengalami dirinya sebagai subjek yang sadar,

aktif dan berproses. Sedangkan ketiadaan (nothingness) merupakan ukuran

bagi ketidakberadaan manusia, suatu dimensi dimana manusia melakukan

regresi atas keberadaannya dan mengalami dirinya sebagai objek.

b. Ada-di-Dunia (Being-in-The-World)

Menurut Heidegger (dalam Lathief, 2010), konsep manusia “ada-

di-dunia” mengandung implikasi bahwa manusia hidup dan

mengungkapkan dirinya bahwa ia berada di tengah-tengah kehidupan yang

lain yang telah ditentukan oleh dirinya sendiri. Dunia manusia sendiri

digambarkan menjadi tiga, yaitu umwelt (lingkungan biologis atau fisik),

mitwelt (lingkungan manusia), dan eigenwelt (manusia itu sendiri

termasuk badannya).

18

c. Ada-Melampaui-Dunia (Being-over-The-World)

Menurut para psikoterapis eksistensialisme, “ada-melampaui-

dunia” berarti berusaha mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan yang

dimiliki manusia untuk mengatasi dunia yang dihuninya dan memasuki

sebuah dunia baru, sehingga manusia selalu dalam proses mengatasi diri

(self transcending).

d. Relasi Aku-Engkau (The I-Thou Relationship)

Relasi sosial aku-engkau berarti bahwa individu sadar dan

menghargai individu lain sebagai subjek seperti dirinya, subjek dengan

dunianya sendiri, subjek yang selalu berproses, subjek yang memiliki

perasaan, pikiran dan keinginannya sendiri.

e. Intensionalitas (Intentionality)

Intensionalitas merupakan struktur eksistensi manusia yang berarti

bahwa manusia tidak pernah memikirkan atau membayangkan kekosongan

dan kesia-siaan (selalu memiliki maksud atau terarah kepada sesuatu).

f. Ada Autentik dan Tidak Autentik (Being Autentic and Inautentic)

Menurut Heidegger dan Sartre (dalam Lathief, 2010), eksistensi

manusia pada umumnya adalah tidak autentik seperti keharusan memilih,

memikul tanggung jawab, ketakutan, kecemasan, pengalaman kematian,

isolasi sosial, sampai pada ketidakbermaknaan (meaningless). Ada

autentik berarti bahwa manusia sanggup mengukuhkan dirinya (self

affirmation) tanpa menghindarkan atau mengingkari keniscayaan hidup

seperti ancaman, kecemasan, menentukan berbagai pilihan.

19

g. Kebebasan dan Tanggung Jawab (Independence and Responsibility)

Psikoterapis eksistensialisme selalu menekankan kebebasan dan

tanggung jawab sebagai struktur eksistensial manusia yang paling

mendasar, dimana kebebasan dikaitkan dengan tanggung jawab memilih

berbagai kemungkinan, membuat keputusan-keputusan, serta memilih

tindakan-tindakan sesuai dengan kapasitas autentik.

h. Kesadaran Diri (Self Consciousness)

Para psikoterapis memandang kesadaran diri sebagai kapasitas

yang memungkinkan manusia bisa hidup sebagai pribadi utuh.

Kierkegaard (dalam Lathief, 2010) mengungkapkan bahwa semakin tinggi

kesadaran diri manusia, maka semakin utuh pula pribadi manusia tersebut.

i. Eksistensi Bersifat Individual (Exsistence is Individual-Being)

Eksistensi adalah milik pribadi dan bersifat individual, yang

keberadaannya tidak mungkin bisa terwakili dengan keberadaan manusia

lain. Eksistensi manusia pertama-tama adalah bersifat individual

(individual being), baru kemudian menentukan eksistensial sosialnya

(social being) atau bereksistensi dalam masyarakat.

j. Eksistensi Mendahului Esensi (Existence Proceed Essence)

Konsep psikoterapi eksistensialisme mengemukakan bahwa

manusia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, apapun bentuk dan

model eksistensinya, apapun makna yang hendak diberikan eksistensinya.

Manusia selalu mendapatkan kesempatan untuk tiap kali memilih apa yang

baik dan apa yang kurang baik untuk membentuk dirinya sendiri.

20

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Eksistensi Diri

Abidin (2002) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi

eksistensi diri, antara lain :

a. Kematian (Ketiadaan)

Eksistensi manusia tidak lepas dari kematian. Kematian merupakan

akhir dari eksistensi manusia. Namun, kematian dapat membuat seseorang

menjadi diri yang autentik apabila ia dapat menerima kematian sebagai

suatu fakta yang tidak terpisahkan dari eksistensinya. Apabila manusia

dapat menerima kematian yang identik dengan ketiadaan dan kesendirian

yang mencekam dan menyeluruh, maka ia akan berusaha melepaskan diri

diri kontrol dengan orang lain. Kuasa atau kontrol orang lain inilah yang

membuat eksistensi seseorang dangkal atau tidak autentik.

b. Kecemasan

Kecemasan (angst atau anxiety) dalam hal ini berhubungan dengan

kebebasan. Manusia adalah makhluk satu-satunya yang hidup bebas di

dunia. Namun, keebebasan tersebut justru membuat manusia menjadi

cemas karena selalu dihadapkan pada berbagai kemungkinan. Manusia

tidak pernah tahu apakah kemungkinan-kemungkinan tersebut akan baik

atau justru menghancurkan eksistensi dirinya. Dengan kata lain,

kecemasan tersebut disebabkan karena adanya kesadaran manusia akan

kebebasan dimana semua resikonya menuntut pertanggungjawaban.

21

c. Kehendak Bebas

Setiap saat manusia dihadapkan pada kondisi untuk memilih satu

atau beberapa kemungkinan-kemungkinan yang ada. Manusia berhak

sepenuhnya untuk memilih apa yang ia inginkan, dan karenanya manusia

disebut sebagai makhluk yang bebas. Tindakan-tindakan manusia pada

dasarnya mengisyaratkan adanya kehendak bebas, misalnya :

1) Penentuan diri (self determination). Dalam menentukan sebuah pilihan

dalam hidup, manusia dapat menerima masukan dari orang lain tentang

baik atau buruknya hal-hal yang sedang dihadapi. Walaupun demikian,

pada akhirnya penentuan pilihan tersebut bukan berasal dari orang lain,

melainkan keputusan dari diri sendiri.

2) Pilihan. Pilihan yang diambil akan menghasilkan tindakan yang

dilakukan saat ini.

3) Konsekuensi. Tidak semua konsekuensi sesuai dengan yang

diprediksikan. Terkadang, ada tindakan baik namun malah berakibat

buruk.

4) Pertanggungjawaban. Setiap manusia bertanggung jawab atas semua

konsekuensi dari tindakan yang dilakukannya.

5) Karakter. Setiap pilihan tindakan yang diambil seseorang, menciptakan

pribadinya, misalnya apakah seseorang memilih menjadi seorang

pemarah, penyabar, atau pemberani. Ketika memilih, sesesorang akan

melakukan tindakan dan tindakan tersebut yang membentuk karakter

dirinya.

22

d. Waktu (Temporalitas)

Waktu dalam hal ini berkaitan dengan pengalaman manusia, tidak

ada kaitannya dengan waktu objektif yang diukur dengan satuan jam.

Pengalaman manusia dihayati tidak secara objektif, melainkan secara

subjektif. Setiap manusia menghayati masa lalu, masa kini, dan masa

depan secara berbeda. Masa depan merupakan sebuah ancaman bagi orang

yang cemas, namun merupakan peluang dalam membuka berbagai

kemungkinan bagi orang yang optimis.

e. Ruang (Spasialitas)

Ruang dalam hal ini adalah “ruang yang dihayati”. Setiap individu

menghayati ruang secara berbeda. Ruang spasial ditentukan oleh nada

(perasaan) dan detak (emosional) seseorang. Detak atau nada ruang batin

yang dihayati dapat dirasakan sebagai sesuatu yang penuh atau kosong,

bisa dirasakan sebagai sesuatu yang luas atau justru malah membatasi.

Cinta merupakan contoh perluasan ruang, walaupun berada jauh namun

terasa dekat dengan orang yang dikasihi. Sebaliknya, perasaan putus asa

membuat ruang terasa kosong dan penderitaan membuat ruang terasa

sempit.

f. Tubuh

Tubuh dalam hal ini bukanlah merupakan tubuh secara fisiologis,

melainkan tubuh yang dihayati, tubuh yang bermakna dan yang memberi

makna pada dunia. Makna terhadap tubuh bersifat subjektif. Tubuh

bermakna sebagai tubuh-subjek bagi diri sendiri, karena setiap tindakan

23

dilakukan melalui tubuh. Sedangkan bagi orang lain, tubuh merupakan

tubuh-objek, misalnya objek untuk dibedah saat operasi atau objek

pemenuhan kebutuhan seksual.

g. Diri Sendiri

Manusia memberi makna tidak hanya pada dunia, namun juga pada

diri sendiri. Makna terhadap diri sendiri juga dapat berbeda antara individu

satu dengan individu lainnya. Beberapa orang memaknai dirinya sebagai

orang yang kuat, namun beberapa lainnya memaknai dirinya sebagai orang

yang lemah. Tidak hanya kuat dan lemah, namun makna diri sendiri juga

dapat berupa optimistik atau pesimistik, menarik atau menyebalkan,

berkuasa atau tidak berdaya.

h. Rasa Bersalah

Manusia pada umumnya memiliki rasa bersalah ketika melakukan

tindakan-tindakan yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain

dan lingkungan. Rasa bersalah juga muncul ketika manusia merasa telah

membuang waktu dan merasa gagal dalam mengaktualisasikan potensi-

potensi, bakat-bakat, dan kemampuan-kemampuan yang dimiliknya.

Kegagalan tersebut dapat terjadi bila seseorang terlalu konformis dengan

lingkungan sekitarnya, sehingga bakat dan potensinya termatikan.

Perasaan bersalah juga muncul ketika terjadi putusnya keintiman,

komunikasi, atau berkurangnya rasa cinta terhadap sesama.

24

Rollo May (dalam Bastaman, 1996) juga mengemukakan tiga faktor

yang mempengaruhi eksistensi diri, berkaitan dengan modus (bentuk) dunia

manusia yaitu :

a. Umwelt. Umwelt secara harfiah berarti dunia sekitar (world around), yaitu

dunia fisik biologis yang dalam kehidupan sehari-hari lazim disebut

lingkungan (environment). Dapat dikatakan umwelt lebih tepat

diterjemahkan sebagai alam sekitar.

b. Mitwelt. Mitwelt secara harfiah berarti dunia bersama (with world), yang

diterjemahkan sebagai masyarakat.

c. Eigenwelt. Eigenwelt adalah dunia pribadi (own world), yang

diterjemahkan sebagai diri. Manusia menyadari diri sendiri, mampu

melakukan distansi dengan diri dan lingkungannya, serta mampu

mentransendensikan diri (kemampuan seseorang untuk menyadari dan

menilai pengalaman-pengalaman masa lalu dan masa sekarang untuk

diproyeksikan ke masa depan.

4. Ciri-ciri Individu yang Memiliki Eksistensi Diri

Ciri-ciri individu yang memiliki eksistensi diri menurut Smith (2003)

adalah sebagai berikut :

a. Kesadaran diri, yaitu kemampuan untuk mengenali kekuatan dan

kelemahan diri sendiri, apa yang mampu dilakukan, dan bagaimana cara

melakukannya.

25

b. Kepercayaan diri, yaitu kemampuan individu untuk melihat sisi positif dari

suatu peristiwa.

c. Harga diri, yaitu bagaimana individu memfokuskan pada orang yang

dilayani atau individu mampu bekerja.

d. Kesadaran akan peran, yaitu kesadaran mengenai pentingnya peran yang

ada dalam dirinya untuk segera direalisasikan.

e. Kesadaran akan kekuatan misi pribadi, yaitu visi tentang apa yang perlu

dilakukan dan semangat serta fokus dalam melakukannya.

f. Daya tarik pribadi, yaitu sesuatu yang menjadi daya tarik individu

sehingga dapat mempengaruhi penilaian orang lain terhadap dirinya.

g. Kesadaran akan keunikan diri, yaitu tidak membanding-bandingkan diri

dengan orang lain atau mengkhawatirkan apa yang tidak dimiliki diri.

h. Konsistensi terhadap kehidupan, yaitu tidak terombang-ambing dengan

setiap ide atau peluang baru atau perubahan kejadian.

i. Ketenangan dan kedamaian, yaitu tetap berkepala dingin meskipun

menghadapi banyak masalah.

5. Dinamika dan Perkembangan Eksistensi Diri

a. Dinamika Eksistensi Diri

Dalam pandangan psikologi eksistensial, manusia memiliki

kebebasan untuk memilih dan ia sendiri bertanggung jawab atas

eksistensinya. Manusia dapat mengatasi baik lingkungan maupun badan

fisiknya apabila ia memang memilih begitu. Apa saja yang dilakukan

26

individu adalah pilihannya sendiri. Orang sendirilah yang menentukan

akan menjadi apa dia dan apa yang akan dilakukannya (Calvin dan

Lindzey, 1993).

Menurut Boss (dalam Calvin dan Lindzey, 1993), meskipun

manusia itu bebas memilih, seringkali ditemui rasa kecemasan,

pengasingan, kebosanan, kompulsi, dan berbagai macam gangguan lain.

Hal ini disebabkan oleh tiga hal, yaitu :

1) Kebebasan memilih tidak menjamin bahwa pilihan tersebut merupakan

pilihan yang bijaksana (menyadari kemungkinan-kemungkinan dan

tetap terbuka supaya kemungkinan-kemungkinan tersebut menyiapkan

dirinya) karena memilih satu atau yang lainnya adalah sama, meskipun

tentu saja konsekuensi-konsekuensinya akan berbeda secara radikal.

2) Hal yang tidak dapat diatasi oleh manusia adalah rasa bersalah yang

dimilikinya akibat kegagalannya melaksanakan peran untuk memenuhi

semua kemungkinan yang dimilikinya.

3) Adanya rasa takut terhadap ketiadaan atau ketidakpastian dalam

menjalani hidup yang bisa menyebabkan pengasingan dan isolasi dari

dunia.

b. Perkembangan Eksistensi Diri

Konsep eksistensial tentang perkembangan yang paling penting

adalah konsep tentang “menjadi”. Eksistensi tidak pernah statis, tetapi

selalu berada dalam proses menjadi sesuatu yang baru, mentransendensi

atau mengatasi diri sendiri. Tujuannya ialah untuk menjadi manusia

27

sepenuhnya, yakni memenuhi semua kemungkinan ada-di-dunia. Hal ini

merupakan projek tanpa berkesudahan dan sia-sia karena pilihan terhadap

salah satu kemungkinan selalu berarti penolakan terhadap semua

kemungkinan lainnya. Meskipun demikian, tetap merupakan tanggung

jawab seseorang sebagai seorang manusia bebas untuk merealisasikan

sebanyak mungkin kemungkinan ada di dunianya (Calvin dan Lindzey,

1993).

Boss (dalam Calvin dan Lindzey, 1993) menjelaskan bahwa

kehidupan atau setidak-tidaknya eksistensi manusia sebagai ada di dunia

ini berakhir dalam kematian sudah merupakan fakta yang diketahui oleh

setiap orang. Oleh karena itu, eksistensi manusia dapat disebut “ada

sampai mati” yang berarti bahwa kesudahan dari ada di dunia yang tidak

dapat dielakkan ini memberikan manusia tanggung jawab untuk

memanfaatkan semaksimal mungkin setiap saat dalam eksistensinya dan

memenuhi eksistensinya tersebut.

6. Proses Pencapaian Eksistensi Diri

Langle, Orgler, & Kundi (2003) memaparkan proses pencapaian

eksistensi diri yang terjadi melalui tahapan berikut :

a. Perception

Perception berkaitan dengan fakta bahwa manusia berada di dunia

dan dunia mempunyai hukumnya sendiri yang harus manusia sesuaikan.

Manusia memahami atau mempersepsikan objek di dunia sebagai sebuah

28

arti yang terus berkembang. Dalam berinteraksi dengan dunia, penting

bagi individu untuk mengumpulkan informasi yang relevan dan

mempelajari berbagai kondisi maupun situasi yang dihadapi. Sebuah

kehidupan yang bermakna selalu berhadapan dengan perubahan-perubahan

faktual dan kemungkinannya, sampai individu memperoleh suatu

kebenaran yang hakiki. Distorsi realitas atau ketidakmampuan untuk

menerima perubahan tersebut bisa menjadi halangan untuk mencapai

langkah selanjutnya.

Dalam memaknai kehidupan di dunia, manusia diharapkan mampu

berperan aktif dengan siap untuk mengisi space, mengandalkan support

yang didapat, dan percaya terhadap protection yang dianugerahkan

kepadanya. Jika seseorang bisa memenuhi tiga hal tersebut, maka ia akan

dapat merasa percaya berada di dunia (being here). Keseluruhan dari

pengalaman ini adalah kepercayaan fundamental (a fundamental trust),

sebuah kepercayaan bahwa individu mempunyai support yang mendalam

dan abadi di dalam hidupnya. Bagaimanapun hal tersebut tidak cukup

untuk mendapatkan protection, space, dan support. Individu juga harus

meraih beberapa kondisi ini, membuat keputusan terhadapnya, serta

menerimanya. Peran aktif individu pada kondisi fundamental dari ‘being

here’ adalah menerima aspek positif dan bertahan terhadap efek

negatifnya. Menerima berarti siap untuk mengisi ‘space’ tempat

keberadaan diri, mengandalkan support yang didapat dan percaya terhadap

protection yang dianugrahkan pada diri individu. Bertahan berarti

29

mengharuskan diri untuk menerima kesulitan apapun, ancaman dan

menoleransi apa-apa yang tidak dapat diubah.

b. Recognition of Values

Recognition of values berkaitan dengan fakta bahwa manusia hidup

dan dirinyalah yang berperan dalam mengisi kehidupannya tersebut.

Manusia diharapkan mampu memahami hubungan kualitatif antara objek

yang ditemui maupun antara objek dengan diri manusia itu sendiri. Hal ini

dilandasi oleh pengenalan individu terhadap perasaan atau emosi serta

evaluasi dari reaksi-reaksi dalam menerima dan mengimajinasikan objek.

Individu kini mengorientasikan dan mengalihkan perhatian kepada hal-hal

di luar dirinya. Perhatian individu yang semula terarah pada kepentingan

pribadi pun dialihkan pada kepentingan sosial.

Ketika seseorang memiliki ‘space’ di dunia, ia dapat mengisinya

dengan kehidupan secara sederhana. ‘Being there’ tidaklah cukup,

manusia menginginkan eksistensinya menjadi baik. Untuk mendapatkan

hidup yang diinginkan dan dicintai, terdapat tiga hal yang harus diraih

yaitu relationship, time, dan closeness. Jika ketiganya terpenuhi, ia akan

mendapatkan keharmonisan antara dunia dengan dirinya, dan ia akan

merasakan kedalaman hidup. Pengalaman ini merupakan bentuk

‘fundamental value’, sebuah perasaan yang paling dalam terhadap nilai

kehidupan (value of life). Hal ini mewarnai emosi individu dan

merepresentasikan ukuran terhadap apapun yang mungkin dirasakan untuk

menjadi berharga. Tidak hanya relationship, time, dan closeness, namun

30

partisipasi aktif serta persetujuan diri juga diperlukan. Ketika individu

berpaling pada sesuatu atau seseorang, membiarkan diri tersentuh, ia akan

merasakan pengalaman hidup yang bersemangat. Tidak hanya pengalaman

hidup bersemangat, secara seimbang ia juga mengalami pengalaman

seperti kehilangan dan kesedihan.

c. Freedom

Freedom berkaitan dengan fakta bahwa manusia bebas menjadi

dirinya sendiri dan menentukan dunianya. Hal ini mengacu pada

kemampuan manusia dalam menentukan diri dan dunianya, termasuk

menentukan tindakan maupun arah hidupnya. Individu harus sadar dengan

pilihan yang ia ambil dan konsekuensinya. Ada suatu saat dimana

seseorang akan dipaksa untuk memutuskan sebuah pilihan, akan tetapi

tetap diri individulah yang menyadari dan memutuskan pilihannya sendiri.

Keputusan saja tidak cukup, individu harus bertindak dan berkomitmen

pada pilihannya. Pada intinya, keputusan ini bisa berarti sebagai kesetiaan

hidup seseorang atas tujuan yang ia pilih.

Untuk menemukan inti atau keaslian diri seseorang, hal tersebut

dapat dibangun melalui attention, justice, dan appreciation. Diperlukan

pula partisipasi aktif individu dengan mengatakan “ya” untuk dirinya

sendiri. Dirinya harus melihat orang lain serta bertemu mereka, dan pada

saat yang sama, ia juga harus menggambarkan dirinya sendiri, berdiri

sendiri, serta menolak apapun yang tidak sesuai dengan akalnya.

31

Encounter (pertemuan) dan regret (penyesalan) adalah dua cara

yang dilakukan individu agar bisa hidup otentik tanpa berakhir dalam

kesendirian. Encounter merupakan jembatan yang diperlukan untuk

menghubungkan pada orang lain. Itu membuat individu memahami esensi

orang lain serta dirinya sendiri; menemukan 'I' pada 'you'. Dengan

partisipasi diri dan apresiasi dari orang lain menciptakan apresiasi yang

sama bagi ‘siapa saya’.

d. Responsibility

Responsibility berkaitan dengan fakta bahwa manusia harus

menemukan tujuan hidup di dunia dan menentukan masa depannya. Hal

ini mengacu pada bagaimana individu mewujudkan keputusan dan rencana

yang sudah ia pilih untuk masa depan dan tujuan hidupnya. Jika individu

bisa berada di sini, mencintai hidup dan menemukan diri didalamnya,

maka terpenuhilah kondisi untuk menuju kondisi fundamental keempat,

keberadaan individu mengakui hidupnya dan apa saja tentangnya. Tahap

ini merupakan bentuk dari pemenuhan eksistensial dan inti dari penentuan

dalam menempatkan keputusan seseorang secara praktis. Manusia

diharapkan mampu berperan aktif melalui field of activity, a structural

context, dan a value to be realized in the future, untuk memeriksa apakah

yang dilakukan adalah benar-benar hal yang baik untuk orang lain, untuk

masa depan, dan untuk lingkungannya. Keseluruhan pengalaman ini

mengarahkan pada meaning of life dan sense of fulfillment.

32

B. Tuna Daksa

1. Pengertian Tuna Daksa

Istilah tuna daksa berasal dari kata “tuna” yang berarti rugi, kurang,

dan “daksa” berarti tubuh. Tuna daksa sama dengan beberapa istilah yang

berkembang seperti cacat fisik, cacat tubuh, tuna tubuh, crippled, physically

handicaped, physically disabled, non ambulatory, having organic problems,

orthopedically impairment, dan orthopedically handicapped. Istilah ini

ditujukan kepada orang yang memiliki anggota tubuh tidak sempurna dan

dimaksudkan untuk menyebut seseorang yang memiliki ketunaan pada

anggota tubuhnya, bukan ketunaan pada inderanya (Chori, 1995).

Tuna daksa berarti suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat

gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya

yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau

dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir (White House Conference

dalam Somantri, 2007). Tuna daksa sering juga diartikan sebagai suatu kondisi

yang menghambat kegiatan individu sebagai akibat kerusakan atau gangguan

pada tulang dan otot sehingga mengurangi kapasitas normal individu untuk

mengikuti pendidikan dan untuk berdiri sendiri.

Astati (2000) mendefinisikan tuna daksa sebagai penyandang bentuk

ketunaan pada sistem otot, tulang, dan persendian yang dapat mengakibatkan

gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan gangguan

perkembangan keutuhan pribadi. Individu tuna daksa adalah individu yang

33

mengalami ketunaan menetap pada alat gerak (tulang, sendi, otot) dan syaraf

sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus (Hermanto, 2012).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tuna daksa

adalah suatu kondisi dimana individu mengalami keterbatasan dalam

beraktivitas karena tidak berfungsinya otot, tulang, sendi, maupun hilangnya

anggota tubuh tertentu sehingga membatasi individu dalam bergerak.

2. Faktor-faktor Penyebab Ketunadaksaan

Somantri (2007) mengemukakan bahwa ketunadaksaan dapat

disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :

a. Sebab-sebab yang timbul sebelum kelahiran :

1) Faktor keturunan.

2) Trauma dan infeksi pada waktu kehamilan.

3) Usia ibu yang sudah lanjut pada saat melahirkan anak.

4) Pendarahan pada saat kehamilan.

5) Keguguran yang dialami ibu.

b. Sebab-sebab yang timbul saat kelahiran :

1) Penggunaan alat-alat bantu kelahiran (seperti tang, tabung, vacuum,

dan lain-lain) yang tidak lancar.

2) Penggunaa obat bius saat proses kelahiran.

c. Sebab-sebab setelah kelahiran :

1) Infeksi.

2) Trauma.

34

3) Tumor.

4) Kondisi-kondisi lainnya.

3. Klasifikasi Tuna Daksa

Menurut Frances G. Koening (dalam Somantri, 2007), tuna daksa dapat

diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Kerusakan yang dibawa sejak lahir atau kerusakan yang merupakan

keturunan, meliputi :

1) Club-foot (kaki seperti tongkat).

2) Club-hand (tangan seperti tongkat).

3) Polydactylism (jari yang lebih dari lima pada masing-masing tangan

atau kaki).

4) Syndactylism (jari-jari yang berselaput atau menempel satu dengan

yang lainnya).

5) Torticolis (gangguan pada leher sehingga kepala terkulai ke muka).

6) Spina-bifida (sebagian dari sumsum tulang belakang tidak tertutup).

7) Cretinism (kerdil/katai).

8) Mycrocephalus (kepala yang kecil, tidak normal).

9) Hydrocepalus (kepala yang besar berisi cairan).

10) Clefpalats (langit-langit mulut yang berlubang).

11) Herelip (gangguan pada bibir dan mulut).

12) Congenital hip dislocation (kelumpuhan pada bagian paha).

35

13) Congenital amputation (bayi yang dilahirkan tanpa anggota tubuh

tertentu).

14) Fredresich ataxia (gangguan pada sumsum tulang belakang).

15) Coxa valga (gangguan pada sendi paha, terlalu besar).

16) Syphilis (kerusakan tulang dan sendi akibat penyakit syphilis).

b. Kerusakan pada saat kelahiran, meliputi :

1) Erb’s palsy (kerusakan pada syaraf lengan akibat tertekan atau tertarik

waktu kelahiran).

2) Fragilitas osium (tulang yang rapuh dan mudah patah).

c. Infeksi, meliputi :

1) Tuberkulosis tulang (menyerang sendi pada sehingga menjadi kaku).

2) Osteomyelitis (radang di dalam dan di sekeliling sumsung tulang

karena bakteri).

3) Poliomyelitis (infeksi virus yang mungkin menyebabkan kelumpuhan).

4) Pott’s disease (tuberkulosis sumsung tulang belakang).

5) Still’s disease (radang pada tulang yang menyebabkan kerusakan

permanen pada tulang).

6) Tuberkulosis pada lutut atau sendi lain.

d. Kondisi traumatik atau kerusakan traumatik, meliputi :

1) Amputasi.

2) Kecelakaan akibat luka bakar.

3) Patah tulang.

36

e. Tumor, meliputi :

1) Oxostosis (tumor tulang).

2) Osteosis fibrosa cystica (kista atau kantang yang berisi cairan di dalam

tulang).

f. Kondisi-kondisi lainnya, meliputi :

1) Flatfeet (telapak kaki yang rata, tidak berteluk).

2) Kyphosis (bagian belakang sumsum tulang belakang yang cekung).

3) Lordosis (bagian muka sumsum tulang belakang yang cekung).

4) Perthe’s disease (sendi paha yang rusak atau mengalami kelainan).

5) Rickets (tulang yang lunak karena nutrisi menyebabkan kerusakan

tulang dan sendi)

6) Scoliosis (tulang belakang yang berputar, bahu, dan paha yang miring).

C. Tuna Daksa Akibat Kecelakaan

1. Pengertian Tuna Daksa Akibat Kecelakaan

Erikson (dalam Damayanti & Rostiana, 2003) mengungkapkan istilah

non normatif untuk kejadian yang datangnya tidak dapat diduga dan tidak

diharapkan. Salah satu kejadian non normatif adalah kecelakaan yang

mengakibatkan ketunadaksaan dan membuat anggota tubuh kehilangan

fungsinya. Bentuk kecelakaan ini bisa berupa kecelakaan saat berkendara,

cedera saat bencana alam, maupun cedera saat melakukan aktivitas sehari-hari

(Baltus dalam Tentama, 2010).

37

Tuna daksa sendiri diartikan sebagai suatu kondisi dimana individu

mengalami keterbatasan dalam beraktivitas karena tidak berfungsinya otot,

tulang, sendi, maupun hilangnya anggota tubuh tertentu sehingga membatasi

individu dalam bergerak. Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat disimpulkan

bahwa tuna daksa akibat kecelakaan merupakan kondisi dimana individu

mengalami keterbatasan pada tubuhnya untuk bergerak karena tidak

berfungsinya otot, tulang, sendi, maupun hilangnya anggota tubuh tertentu

akibat kecelakaan yang terjadi, baik kecelakaan saat berkendara, bencana,

maupun kecelakaan saat melakukan aktivitas sehari-hari.

2. Pertumbuhan dan Perkembangan Penyandang Tuna Daksa Akibat

Kecelakaan

a. Perkembangan Fisik Penyandang Tuna Daksa Akibat Kecelakaan

Somantri (2007) mengungkapkan bahwa perkembangan manusia

secara umum dapat dibedakan dalam aspek fisik dan psikologis. Aspek

fisik merupakan potensi yang berkembang dan harus dikembangkan oleh

individu. Namun pada penyandang tuna daksa, potensi tersebut tidak utuh

karena ada bagian tubuh yang tidak sempurna. Usaha yang dilakukan

penyandang tuna daksa untuk agar tetap mampu mengaktualisasikan diri

secara utuh di tengah ketidaksempurnaannya adalah dengan mengkompen-

sasikan dengan bagian tubuh lain yang tidak mengalami ketunaan. Sebagai

contoh, penyandang tuna daksa yang mengalami masalah atau kerusakan

38

pada tangan kanan, maka tangan kiri akan lebih berkembang sebagai

kompensasi kekurangan yang dialami tangan kanan.

Di samping hal tersebut, kerusakan pada salah satu bagian tubuh

tidak jarang juga menimbulkan kerusakan pada bagian tubuh lainnya,

misalnya kerusakan pada salah satu sendi paha akan berakibat pada

miringnya letak tulang pinggul. Secara umum, perkembangan fisik tuna

daksa akibat kecelakaan sama dengan individu normal kecuali pada bagian

tubuh yang mengalami kerusakan atau bagian tubuh lain yang terpengaruh

oleh kerusakan tersebut (Somantri, 2007).

b. Perkembangan Emosi Penyandang Tuna Daksa Akibat Kecelakaan

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa usia ketika

ketunadaksaan terjadi turut mempengaruhi perkembangan emosi

penyandang tuna daksa. Individu yang menjadi tuna daksa sejak kecil

mengalami perkembangan emosi secara bertahap, sedangkan individu

yang mengalami ketunadaksaan setelah besar misalnya akibat kecelakaan,

mengalaminya sebagai suatu hal yang mendadak dan sebelumnya pernah

menjalani kehidupan sebagai orang normal sehingga keadaan tuna daksa

dianggap sebuah kemunduran dan sulit untuk diterima individu tersebut.

Dukungan orang tua dan orang-orang sekitar merupakan hal yang sangat

berpengaruh terhadap perkembangan emosi penyandang tuna daksa,

khususnya tuna daksa akibat kecelakaan (Somantri, 2007).

Penelitian Fitzgerald (dalam Somantri, 2007) menunjukkan bahwa

reaksi dan perlakuan keluarga merupakan salah satu sumber frustasi bagi

39

penyandang tuna daksa yang tidak jarang berakibat lebih berat dari akibat

ketunadaksaannya. Hasil dari peneltiain ini berkaitan dengan sikap orang

tua dan orang-orang di sekitar penyandang tuna daksa. Terdapat orang tua

yang sering memperlakukan penyandang tuna daksa dengan sikap terlalu

melindungi, serta ada pula orang tua yang bersikap menolak kehadiran

penyandang tuna daksa tersebut. Perlakuan ini seringkali menyebabkan

penyandang tuna daksa merasakan ketergantungan sehingga merasa takut

menghadapi lingkungan. Selain itu, kegiatan fisik atau jasmani yang tidak

dapat dilakukan oleh penyandang tuna daksa dapat mengakibatkan

timbulnya problem emosi seperti mudang tersinggung, marah, rendah diri,

kurang dapat bergaul, pemalu, menyendiri, dan frustasi (Astati, 2000).

Damayanti & Rostiana (2003) menyebutkan bahwa beberapa faktor yang

turut berperan dalam dinamika emosi penyandang tuna daksa adalah

coping, self efficacy, serta dukungan sosial.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keadaan

emosi penyandang tuna daksa akibat kecelakaan sangat dipengaruhi oleh

sikap lingkungan terhadap dirinya. Apabila lingkungan bersikap menolak

(rejection) terhadap kehadiran penyandang tuna daksa, maka dirinya akan

cenderung bersikap rendah diri, pesimistis, pemalu, dan menutup diri dari

lingkungan. Sebaliknya, apabila lingkungan memperlakukan penyandang

tuna daksa dengan berlebihan (over protective), maka akan menumbuhkan

sikap ketergantungan pada diri tuna daksa.

40

c. Perkembangan Kepribadian Penyandang Tuna Daksa Akibat Kecelakaan

Semua aspek pertumbuhan dan perkembangan satu dengan yang

lain saling berhubungan dan memiliki ketergantungan satu sama lain.

Kondisi penyandang tuna daksa secara berkesinambungan mengubah dan

memodifikasi beberapa atau bahkan semua dimesi perkembangan dalam

berbagai taraf. Somantri (2007) menyebutkan bahwa perkembangan

kepribadian individu tuna daksa secara keseluruhan dipengaruhi oleh :

1) Tingkat ketidakmampuan (kesulitan) akibat ketunadaksaan.

Dreikurs (dalam Somantri, 2007) mengungkapkan bahwa

penyandang tuna daksa merumuskan responnya terhadap

ketunadaksaan sesuai “gaya hidup”. Gaya hidup ini menurut Adler

(dalam Somantri, 2007) terbentuk pada masa anak-anak melalui

hambatan dan pengalaman yang dihadapi individu tersebut.

Ketunadaksaan merupakan faktor penting yang menentukan

perkembangan kepribadian individu.

2) Usia ketika ketunadaksaan terjadi.

Keadaan tuna daksa yang dialami pada usia yang lebih besar

akan menunjukkan efek yang lebih kecil terhadap perkembangan fisik,

namun menimbulkan efek yang lebih besar pada perkembangan

psikologis yang bersangkutan.

3) Tampak atau tidaknya kondisi ketunadaksaan.

Tampak atau tidaknya kondisi ketunadaksaan menunjukkan

pengaruh terhadap perkembangan kepribadian individu terutama

41

mengenai gambaran tubuh (body image). Kondisi tuna daksa

umumnya sangat mudah diketahui atau dilihat oleh orang lain,

meskipun ada variasinya. Ketunadaksaan tersebut ada yang mencolok

tetapi ada juga yang tidak mudah terlihat oleh orang lain. Ada

kesulitan yang begitu berat dan jelas sehingga mudah mengundang

rasa kasihan, akan tetapi ada pula ketunadaksaan yang akibat

kesulitannya tidak jelas. Faktor tampak dan tidaknya ketunadaksaan ini

memiliki pengaruh yang demikian besar dalam menentukan sikap

lingkungan terhadap penyandang tuna daksa maupun sikap

penyandang tuna daksa terhadap lingkungannya.

Penyandang tuna daksa pada umumnya menunjukkan sikap

rendah diri, cemas, dan agresif. Hal demikian berhubungan dengan

gambaran tubuh yang dimilikinya. Di samping itu, pengaruh

ketunadaksaan terhadap perkembangan kepribadian individu

ditentukan juga oleh nilai psikologis bagian tubuh yang mengalami

ketunadaksaan tersebut.

4) Dukungan keluarga dan dukungan masyarakat.

Sikap orang tua dan lingkungan yang menunjukkan sikap

menolak akan mengakibatkan penyandang tuna daksa mengalami rasa

rendah diri, merasa tidak berdaya, frustasi, merasa bersalah, serta

merasa benci dengan dirinya sendiri. Pembentukan self respect pada

penyandang tuna daksa yang terpenting adalah dengan menghargai,

yaitu dengan jalan menerima apa adanya sehingga tuna daksa merasa

42

dianggap sebagai seorang pribadi atau individu. Ketiadaan self respect

pada penyandang tuna daksa akan mengakibatkan mudah timbulnya

ketegangan. Sedikit saja penyandang tuna daksa mengalami kesulitan,

maka dirinya akan merasa bahwa hal tersebut tidak akan mungkin

dapat dihadapi.

5) Sikap masyarakat terhadap penyandang tuna daksa.

Sikap masyarakat terhadap penyandang tuna daksa

menunjukkan pengaruh yang sangat menentukan terhadap

perkembangan kepribadian individu yang bersangkutan. Hal tersebut

erat kaitannya dengan pandangan masyarakat yang melihat bahwa

ukuran keberhasilan seseorang adalah dari prestasi yang dicapainya.

Keterbatasan penyandang tuna daksa menghambat untuk mencapai

prestasi seperti orang normal lain dan hal tersebut menimbulkan rasa

tidak aman serta kecemasan yang menganggu kepribadian penyandang

tuna daksa tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perkembangan

kepribadian penyandang tuna daksa antara lain dipengaruhi oleh tingkat

ketidakmampuan (kesulitan) akibat ketunadaksaan, usia saat ketunadaksaan

terjadi, tampak atau tidaknya kondisi ketunadaksaan, dukungan keluarga dan

dukungan masyarakat, serta sikap masyarakat terhadap penyandang tuna

daksa.

43

3. Permasalahan yang Muncul pada Penyandang Tuna Daksa Akibat

Kecelakaan

Berbagai permasalahan seringkali muncul pada penyandang tuna daksa,

khususnya akibat kecelakaan. Caroline (dalam Gemari, 2006) menyebutkan

bahwa penyandang tuna daksa cenderung bersikap apatis, malu, rendah diri,

sensitif, dan kadang-kadang muncul sikap egois terhadap lingkungannya.

Anggapan bahwa dirinya tuna daksa, tidak berguna, dan menjadi beban bagi

orang lain menjadikan penyandang tuna daksa bersikap malas belajar, malas

bermain, dan perilaku salah suai lainnya terlebih pada penyandang tuna daksa

akibat kecelakaan. Ketunadaksaan yang diakibatkan kecelakaan merupakan

suatu hal berat sehingga tidak mengherankan jika penyandangnya

memperlihatkan gejolak emosi terhadap perubahan kondisinya.

Kondisi ketunadaksaan permanen, khususnya tuna daksa akibat

kecelakaan seringkali menjadi penghambat individu dalam melakukan

penyesuaian pribadi maupun sosial karena memiliki perkembangan fisik

kurang memadai atau memiliki ciri-ciri fisik kurang menarik, akan

menghadapi banyak masalah yang jarang dapat diatasi dengan baik (Hurlock,

2006). Feist & Feist (2006) mengungkapkan bahwa kekurangan yang terdapat

pada salah satu bagian tubuh individu dapat mempengaruhi individu tersebut

secara keseluruhan. Menurut Setyaningsih & Abdullah (2010), penyandang

tuna daksa mempunyai keterbatasan kemampuan untuk memenuhi tuntutan

kebutuhan hidupnya, bahkan ketunadaksaan yang dialami dapat menjadi

hambatan yang membatasi kesempatan dan kemampuannya. Selain itu,

44

penyandang tuna daksa seringkali menghadapi masalah baik dari segi emosi,

sosial, dan pekerjaan akibat ketunadaksaan yang dialami (Damayanti &

Rostiana, 2003).

Penelitian yang dilakukan oleh Setyaningsih & Abdullah (2010)

menemukan bahwa ketidakpuasan semakin dirasakan penyandang tuna daksa

apabila berada dalam kehidupan sosial. Masyarakat umum memandang

penyandang tuna daksa tidak mampu melakukan aktivitas secara mandiri

karena kekurangan yang dimiliki sehingga dirinya merasa kurang memiliki

kebebasan menentukan sikap. Celaan dan hinaan juga kerap diterima

penyandang tuna daksa akibat kecelakaan cenderung menyebabkan individu

cenderung merasa sensitif, egois, dan pesimis menatap masa depan. Kondisi

tersebut senada dengan pendapat Goffman (dalam Johnson, 1990) yang

menyebutkan bahwa masalah sosial utama yang dialami penyandang tuna

daksa adalah adanya stigma masyarakat bahwa tuna daksa tidak mampu

melakukan aktivitas dalam segala hal. Di sisi lain, penyandang tuna daksa

menganggap bahwa keterbatasan fisik yang dimiliki adalah kekurangan yang

kurang pantas ia alami. Hal ini seringkali dapat menjadi pemicu munculnya

pikiran untuk menyelesaikan permasalahan hidup dengan mengakhiri

hidupnyanya sendiri (Setyaningsih & Abdullah, 2010).

Berbagai permasalahan yang dialami penyandang tuna daksa di atas,

dibagi dalam dua kategori yaitu permasalahan internal dan permasalahan

eksternal (Kementerian Kesehatan, 2014). Kedua hal tersebut dijelaskan lebih

rinci sebagai berikut :

45

a. Permasalahan internal, yaitu masalah yang berasal dari dalam diri individu

itu sendiri yang terdiri dari :

1) Gangguan atau kerusakan organ fungsi fisik sebagai akibat

ketunadaksaan maupun kerusakan organ yang menyebabkan berbagai

hambatan dalam kehidupan individu.

2) Gangguan, hambatan atau kesulitan dalam orientasi, mobilitas,

komunikasi, aktivitas, penyesuaian diri, penyesuaian sosial,

kepercayaan diri, gangguan belajar, keterampilan, dan pekerjaan.

b. Permasalahan eksternal, yaitu masalah yang berasal dari luar diri individu

yang terdiri dari :

1) Rendahnya pemahaman masyarakat terhadap masalah penyandang

tuna daksa.

2) Stigma (kutukan, nasib), isolasi, dan perlindungan yang berlebihan.

3) Kurangnya peran keluarga dan masyarakat terhadap permasalahan

penyandang tuna daksa dan penanganannya.

4) Kurangnya upaya pemenuhan hak-hak penyandang tuuna daksa dalam

berbagai aspek kehidupan.

5) Masih banyaknya penyandang tuna daksa yang hidup di bawah garis

kemiskinan dan tingkat pendidikan masih sangat rendah.

6) Masih banyaknya keluarga yang menyembunyikan atau menutupi bila

memiliki anggota keluarga penyandang tuna daksa.

7) Peran dunia usaha belum maksimal.

46

Hutapea (2011) juga memaparkan beberapa permasalahan pokok yang

seringkali dialami penyandang tuna daksa yaitu :

a. Sosialisasi

Terdapat dua faktor dalam aspek sosialisasi yang menjadi

penghambat bagi penyandang tuna daksa, yaitu faktor internal dan dari

eksternal. Faktor internal meliputi rasa rendah diri, tidak percaya diri,

merasa berbeda dari orang lain yang kondisi fisiknya normal dan

seringkali merasa takut dirinya akan menjadi beban bagi orang lain

sehingga menjadi penghambat individu untuk bersosialisasi dengan orang

lain. Lingkungan yang tidak aksesibel juga menjadi penghambat utama

bagi penyandang tuna daksa untuk dapat melakukan mobilitas sosial.

b. Pekerjaan

Tantangan lainnya yang dirasa berat bagi penyandang tuna daksa

adalah masalah pekerjaan. Kondisi mereka yang berbeda, menjadikannya

kurang bebas bergerak seperti orang pada umumnya. Hal ini membuat

kebanyakan orang beranggapan bahwa mereka kurang berkompeten untuk

melakukan pekerjaan dan hanya akan memberikan kesulitan bagi orang

lain karena keterbatasan yang dimilikinya. Padahal penyandang tuna daksa

juga perlu untuk memiliki pekerjaan sebagai bentuk penyaluran hobi dan

pengetahuan yang dimilikinya.

c. Mencari pasangan

Setiap individu memiliki hasrat untuk memiliki pasangan, menikah,

dan berkeluarga terlebih ketika individu memasuki tahap dewasa awal

47

karena hal itu merupakan salah satu tugas perkembangan yang harus

diselesaikan. Namun kondisi fisik yang berbeda, membuat penyandang

tuna daksa membatasi diri dari lingkungan sosial dan memiliki sedikit

teman. Hal itu dikarenakan mereka merasa rendah diri dan malu dengan

kondisi fisiknya apalagi sebelumnya mereka memiliki fisik yang normal.

Mereka juga beranggapan apabila mereka menikah, mereka hanya akan

mempersulit hidup pasangannya nanti. Selain itu, masyarakat juga

memiliki anggapan bahwa memiliki menantu yang memiliki kekurangan

fisik merupakan suatu hal yang memalukan.

d. Emosi

Secara umum, kekurangan fisik yang dimiliki penyandang tuna

daksa akan membuat dirinya memiliki perasaan yang sensitif. Perasaan

tidak mampu dan rendah diri yang berlebihan sering menjadikan mereka

mudah tersinggung oleh kata-kata dan segala sesuatu yang dianggap

menyepelekan dan menyinggung kekurangan mereka. Mereka juga sering

berprasangka dan menjadi mudah curiga terhadap orang lain.

Berbagai uraian di atas menggambarkan bahwa permasalahan-

permasalahan yang seringkali dialami penyandang tuna daksa memang cukup

kompleks dan datang baik dari sisi internal maupun eksternal individu.

Kondisi-kondisi ini perlu diperhatikan karena berkaitan dengan bagaimana

fungsional individu dalam menjalani kehidupannya sehingga dapat berjalan

dengan baik.

48

D. Dewasa Awal

1. Pengertian Dewasa Awal

Istilah adult berasal dari kata kerja Latin, seperti juga istilah

adolescene – adolescre yang berarti “tumbuh menjadi kedewasaan”. Kata

adult berasal dari bentuk lampau adultus yang berarti “telah tumbuh menjadi

kekuatan dan ukuran yang sempurna” atau “telah menjadi dewasa”. Orang

dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap

menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa

lainnya (Hurlock, 2006).

Menurut Papalia (2009), masa dewasa awal adalah masa dimana

seseorang menghadapi segalanya sendirian, mengurus dan mengatur rumah,

serta membuktikan apa yang telah mereka impikan yang dimulai dari usia 20

tahun hingga 40 tahun. Desmita (2012) mengatakan bahwa usia dewasa awal

berkisar antara 20 tahun hingga 45 tahun. Berbeda dengan kedua pendapat di

atas, Hurlock (2006) mengungkapkan masa dewasa awal dimulai dari 18

sampai 40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis menyertai

berkurangnya kemampuan reproduktif. Masa ini adalah periode penyesuaian

diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru.

Santrock (2002) menggolongkan usia dewasa awal berkisar antara 20

tahun hingga 30 tahun. Masa tersebut merupakan masa untuk bekerja dan

menjalin hubungan dengan lawan jenis, terkadang menyisakan sedikit waktu

untuk hal lainnya. Kenniston (dalam Santrock, 2002) mengemukakan masa

muda (youth) adalah transisi antara masa remaja dan masa dewasa yang

49

merupakan periode kesementaraan ekonomi dan pribadi yang rata-rata terjadi

dua sampai delapan tahun, tetapi dapat juga lebih lama. Dua kriteria yang

diajukan untuk menunjukkan akhir masa muda dan permulaan dari masa

dewasa awal adalah kemandirian ekonomi dan kemandirian dalam membuat

keputusan. Hal yang paling luas diakui sebagai tanda memasuki masa dewasa

adalah ketika seseorang mendapatkan pekerjaan penuh waktu yang kurang

lebih tetap.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dewasa awal

adalah individu yang berada pada rentang usia antara 18 hingga 45 tahun,

masa dimana individu menghadapi segalanya sendiri, mengalami perubahan

fisik maupun psikologis yang disertai berkurangnya kemampuan reproduktif,

serta masa untuk bekerja dan menjalin hubungan dengan lawan jenis. Dewasa

awal diharapkan mampu mandiri baik secara ekonomi maupun dalam

membuat keputusan.

2. Ciri-ciri Masa Dewasa Awal

Masa dewasa awal merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-

pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Hurlock (2006)

menyebutkan beberapa ciri masa dewasa awal, yaitu :

a. Masa Dewasa Awal sebagai Masa Pengaturan

Penjajakan yang terlalu singkat mengakibatkan terbentuknya bibit

ketidakpuasan karena terlalu cepat memilih. Masa dewasa awal

merupakan masa penjajakan dalam berbagai hal seperti penjajakan

50

pekerjaan maupun teman hidup. Banyak individu dewasa awal mencoba

berbagai pekerjaan untuk menentukan mana yang paling sesuai dengan

kemampuan mereka dan yang akan memberi kepuasan yang lebih

permanen. Banyak juga individu yang mendekati teman lawan jenis

mereka untuk mengetahui siapa yang akan dijadikan pendamping hidup.

Pola perilaku, sikap, dan nilai-nilai yang terbentuk pada masa

dewasa awal cenderung akan menjadi kekhasannya selama hidupnya.

Setiap peruahan yang terjadi pada pola ini akan menimbulkan gangguan

emosional. Tidak disanksikan lagi, berbagai ketidakpuasan dan

ketidakbahagiaan yang didapati individu pada usia ini adalah akibat belum

memiliki pola, sikap dan nilai yang mendorong individu menemukan

kepuasan sepanjang hidup.

b. Masa Dewasa Awal sebagai Usia Reproduktif

Orang tua merupakan salah satu peran yang paling penting dalam

hidup orang dewasa. Individu yang menikah akan berperan sebagai orang

tua pada saat ia berusia dua puluhan atau tiga puluhan. Individu yang

belum menikah hingga menyelesaikan pendidikannya atau telah memulai

karirnya tidak akan menjadi orang tua sebelum ia merasa bahwa ia mampu

berkeluarga.

c. Masa Dewasa Awal sebagai Masa Bermasalah

Masa dewasa awal disibukkan dengan masalah-masalah yang

berhubungan dengan penyesuaian diri dalam berbagai aspek utama

kehidupan orang dewasa. Individu dewasa awal berupaya menyesuaikan

51

diri dalam kehidupan pernikahan, peran sebagai orang tua, dan karir

mereka. Masalah-masalah yang harus dihadapi individu dewasa awal

memerlukan waktu dan energi yang cukup banyak sehngga berbagai

penyesuaian diri tidak akan dilakukan pada waktu yang bersamaan. Pria

dewasa awal pada umumnya menyesuaikan diri terlebih dahulu terhadap

pekerjaan, dan baru kemudian memusatkan perhatian pada upaya

penyesuaian diri yang berkaitan dengan masalah peran sebagai orang tua.

Ada banyak alasan mengapa penyesuaian diri terhadap masalah

pada masa dewa awal terasa begitu sulit. Pertama, individu dewasa awal

tidak memiliki persiapan untuk mengahadapi jenis-jenis masalah yang

perlu diatasi sebagai individu dewasa. Pendidikan di sekolah lanjutan dan

sekolah tinggi hanya memberikan latihan kerja yang terbatas dan hampir

tidak ada sekolah yang memberikan kursus-kursus mengenai masalah-

masalah umum yang ditemui dalam pernikahan, penyesuaian diri, peran

sebagai orang tua.

Kedua, mencoba menguasai dua atau lebih keterampilan secara

serempak biasanya menyebabkan kedua-duanya kurang berhasil. Sulit bagi

individu dewaa awal untuk berhasil dalam memilih karir sekaligus

pasangan hidup. Ketiga, individu dewasa awal tidak memperoleh bantuan

dalam masalah mereka. Banyak individu dewasa awal membanggakan

status mereka yang baru sehingga mereka enggan untuk mengakui bahwa

mereka belum siap mengahdapi status tersebut.

52

d. Masa Dewasa Awal sebagai Masa Ketegangan Emosional

Individu dalam kelompok usia hampir dewasa atau baru saja

dewasa pada umumnya merupakan usia sekolah dan di ambang memasuki

dunia pekerjaan. Emosi yang menggebu-gebu ketika mereka melihat

perbedaan masih terbawa pada saat awal memasuki usia dewasa. Sekitar

awal atau pertengahan tiga puluhan, kebanyakan individu telah mampu

memecahkan masalah mereka dengan cukup baik sehingga stabil dan

tenang secara emosional. Ketegangan emosi yang berlanjut sampai usia

tiga puluhan menandakan bahwa individu tersebut memiliki keresahan.

Keresahan yang terjadi merupakan masalah penyesuaian diri yang harus

dihadapi saat itu dan berhasil tidaknya mereka dalam upaya penyelesaian

masalah.

e. Masa Dewasa Awal sebagai Masa Keterasingan Sosial

Berakhirnya pendidikan formal dan terjunnya seseorang ke dalam

pola kehidupan dewasa, yitu karir, pernikahan dan rumah tangga,

hubungan dengan teman-teman kelompok sebaya menjadi renggang.

Keterlibatan individu dalam kegiatan kelompok di luar rumah akan terus

berkurang. Akibatnya, individu akan mengalami keterasingan sosial atau

Erikson menyebutnya dengan “krisis keterasingan”. Banyak individu

dewasa awal yang semenjakan kanak-kanak hingga remaja terbiasa

tergantung pada persahabatan dalam kelompok mereka merasa kesepian

apabila pekerjaan mereka memisahkan mereka dengan kelompok.

53

3. Aspek Perkembangan Masa Dewasa Awal

Santrock (2012) mengemukakan bahwa masa dewasa awal merupakan

masa transisi baik secara fisik, transisi dalam hal intelektual, dan peran sosial

dengan penjelasan sebagai berikut :

a. Aspek Perkembangan Fisik

Menurut Santrock (2002), dewasa awal merupakan masa peralihan

dari masa remaja untuk memasuki masa tua. Penampilan fisik yang benar-

benar matang mendukung individu untuk siap melakukan tugas-tugas

seperti bekerja, menikah, dan mempunyai anak. Individu dapat bertindak

secara bertanggung jawab untuk dirinya sendiri maupun orang lain

(termasuk keluarganya). Segala tindakannya sudah dikenakan aturan-

aturan hukum yang berlaku, artinya apabila terjadi pelanggaran akibat dari

tindakannya, maka ia akan memperoleh sanksi hukum yang berlaku. Masa

ini ditandai pula dengan adanya perubahan fisik, misalnya tumbuh bulu-

bulu halus, perubahan suara, menstruasi, dan kemampuan reproduksi.

Bagi sebagian besar individu, puncak dari kemampuan fisik

dicapai pada usia dewasa awal antara usia 19 dan 26. Tidak hanya

mencapai puncak kemampuan fisik saja pada awal masa dewasa, dalam

masa ini kita juga dalam kondisi yang paling sehat. Hanya sedikit orang

dewasa awal yang mengalami masalah kesehatan kronis.

b. Aspek Perkembangan Kognitif

Menurut Piaget, berpikir operasional formal, yang dimulai dari usia

11 hingga 15 tahun merupakan tahap kognitif yang terakhir. Santrock

54

(2002) mengatakan bahwa jika dilihat dari segi kuantitatif jumlah

pengetahuan orang dewasa lebih besar dibandingkan dengan remaja.

Secara kualitatif tahap perkembangan kognitif orang dewasa tidak berbeda

dari remaja. Beberapa ahli menyatakan bahwa di masa dewasa awal,

idealisme yang terdapat pada tahap operasional formal mengalami

kemunduruan yang kemudian digantikan dengan pemikiran yang lebih

realistis dan pragmatis.

Masa perkembangan kognitif dewasa awal ditandai dengan adanya

keinginan mengaktualisasikan segala ide dan pemikiran yang dimatangkan

selama duduk di pendidikan tinggi. Individu yang memasuki dewasa awal

biasanya individu yang telah mencapai penguasaan ilmu pengetahuan dan

ketrampilan matang sehingga individu siap untuk menerapkan keahlian

tersebut ke dalam dunia pekerjaan. Individu dewasa awal memecahkan

masalah secara sistematik dan mampu mengmbangkan daya inisiatif dan

kreatifnya sehingga ia memperoleh pengalaman baru.

c. Aspek Perkembangan Sosio-Emosional

Sebagian besar individu dewasa awal telah menyelesaikan

pendidikan sampai pada jenjang perguruan tinggi dan kemudian mereka

memasuki jenjang karir dalam pekerjaannya. Menurut Erikson dalam

Papalia (2009) mengatakan bahwa individu dewasa awal berada dalam

tahap perkembangan psikososial intimacy vs isolation. Individu dewasa

awal merupakan masa dimana individu menjalin komitmen pribadi dengan

orang lain. Individu dewasa awal juga akan memasuki kehidupan

55

pernikahan, pembentukan keluarga baru, mengasuh anak-anak dan tetap

harus memperhatikan orang tua. Ketika individu tidak menjalin komitmen

pribadi dengan orang lain, individu beresiko menjadi terisolasi dan terpaku

pada diri sendiri.

4. Tugas Perkembangan Masa Dewasa Awal

Santrock (2002) mengungkapkan bahwa tugas perkembangan individu

dewasa awal adalah memilih pasangan dan belajar untuk hidup bersama orang

lain dalam hubungan intim, membangun keluarga, dan membesarkan anak. Di

sisi lain, individu dewasa awal diharapkan mampu memiliki kemandirian

dalam karir dan dalam setiap pengambilan keputusan. Tugas perkembangan

tersebut dijabarkan secara rinci sebagai berikut :

1) Karir dan Pekerjaan

Salah satu tugas perkembangan dewasa awal adalah kemandirian

dalam karir dan pekerjaan. Masa ini dikaitkan khususnya ketika seleksi

dan masuk kerja serta penyesuain diri terhadap pekerjaan tersebut.

Memasuki sebuah pekerjaan menandakan dimulainya peran dan tanggung

jawab baru bagi individu. Tuntutan peran karir terhadap kompetensi sangat

tinggi dan permintaan adalah nyata bagi orang dewasa. Ketika individu

memasuki sebuah pekerjaan untuk pertama kalinya, mereka mungkin

dihadapkan pada masalah dann kondisi yang tidak mereka antisipasi

sebelumnya. Transisi diperlukan ketika individu mencoba untuk

menyesuaikan diri dengan peran yang baru. Memenuhi tuntutan karir dan

56

menyesuaikan diri dengan peran yang baru adalah penting bagi individu

pada fase dewasa awal.

Menurut Levinson (dalam Santrock, 2002), sekali individu

memasuki satu pekerjaan, ia harus membangun identitas pekerjaan yang

berbeda dan menempatkan dirinya dalam dunia kerja. Sejalan dengan hal

tersebut, ia mungkin gagal, keluar, atau memulai jalan baru. Individu

dewasa awal mungkin tetap bertahan pada satu jalur atau mencoba

beberapa arah baru sebelum menetap secara mantap pada satu jalur. Proses

penyesuaian ini bisa berlangsung beberapa tahun untuk mengeksplorasi

dunia kerja, menjadi akrab dengan industri dan serikat buruh, maupun

melampaui status magang menjadi peran kerja yang tetap.

2) Pernikahan dan Keluarga

Tahun-tahun awal masa dewasa adalah saat ketika individu

biasanya membangun hubungan yang intim dengan individu yang lain.

Aspek yang penting dari hubungan ini adalah komitmen individu satu

sama lain dengan membangun sebuah keluarga. Menurut Santrock (2002),

siklus kehidupan keluarga mencakup meninggalkan rumah dan menjadi

orang dewasa yang hidup sendiri, bergabungnya keluarga melalui

pernikahan (pasangan baru), menjadi orang tua dan sebuah keluarga

dengan anak, keluarga dengan anak remaja, keluarga pada kehidupan usia

tengah baya, dan keluarga pada kehidupan usia lanjut.

Perkembangan dalam masa dewasa awal sering melibatkan

keseimbangan yang membingungkan antara keintiman dan komitmen pada

57

satu sisi, dan kemandirian dan kebebasan di sisi yang lain. Ketika individu

mencoba memantapkan suatu identitas, mereka menghadapi kesulitan

mengatasi peningkatan kemandirian dari orang tua, membangun hubungan

intim dengan individu lain, dan meningkatkan komitmen persahabatan

mereka, dan di sisi lain mereka harus dapat berpikir untuk dirinya sendiri

dan melakukan sesuatu tanpa selalu harus mengikuti apa yang dikatakan

atau dilakukan oleh orang lain.

Havighurst (dalam Dariyo, 2003) juga mengemukakan beberapa tugas

perkembangan dewasa awal, antara lain :

1) Memilih Pasangan Hidup

Individu dewasa awal akan berupaya mencari teman hidup yang

cocok untuk dijadikan pasangan dalam kehidupan rumah tangga. Individu

tersebut akan menentukan kriteria tertentu seperti usia, pendidikan,

pekerjaan atau bahkan suku bangsa sebagai syarat bagi pasangan hidupnya.

2) Mulai Membina Keluarga

Usia dewasa awal sebagian dari mereka merupakan individu yang

telah lulus SMA maupun kuliah sehingga setelah itu mereka memasuki

dunia kerja guna mengejar karir mereka. Melalui pekerjaan, individu akan

membuktikan kemapanan dirinya secara ekonomi, artinya individu yang

bersangkutan sudah tidak lagi bergantung dengan orang tua. Sikap mandiri

juga menjadi salah satu persiapan untuk memasuki kehidupan rumah

tangga. Setelah itu, individu harus membangun, membina dan

58

menyesuaikan diri dengan kehidupan rumah tangga termasuk mengasuh

dan mendidik anak.

3) Memulai Kehidupan Bekerja

Meniti karir setelah menyelesaikan pendidikan di SMA maupun

kuliah merupakan langkah untuk memantapkan ekonomi rumah tangga.

Individu akan berupaya menekuni pekerjaan yang sedang digelutinya,

apabila individu merasa cocok, maka individu tersebut akan merasa puas

dengan pekerjaannya. Masa dewasa awal merupakan masa untuk

mencapai puncak prestasi sehingga dengan semangat dan penuh idealisme,

individu akah bekerja dan bersaing dengan teman sebaya atau teman

kerjanya untuk menunjukkan prestasi kerja.

4) Menerima Langsung Tanggung Jawab Negara

Warga negara yang baik adalah warga negara yang taat dan patuh

terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dapat

dilakukan dengan berbagai cara, seperti membayar pajak, mengurus dan

memiliki surat-surat kewarganegaraan, dan menjaga ketertiban dan

keamanan masyarakat. Tugas perkembangan ini merupakan tugas yang

harus dipenuhi oleh individu dewasa awal sesuai dengan norma sosial

budaya yang berlaku di masyarakat.

E. Lokasi Penelitian

Peneliti memilih lokasi penelitian di Kabupaten Sukoharjo karena di

daerah ini dijumpai beberapa penyandang tuna daksa dewasa awal akibat

59

kecelakaan sehingga memudahkan peneliti dalam melakukan pengambilan data

subjek. Kabupaten Sukoharjo juga merupakan salah satu daerah yang memiliki

komunitas penyandang tuna daksa bernama “SEHATI” dan ditemui pula

penyandang tuna daksa yang relevan dengan karakteristik penelitian. Domisili

peneliti yang terletak di Sukoharjo mempermudah diadakannya penelitian

mengenai eksistensi diri pada penyandang tuna daksa dewasa awal akibat

kecelakaan ini.

F. Pertanyaan Penelitian

Penelitian ini dilakukan berdasarkan fenomena yang menarik yang

memerlukan pemahaman dan pemerolehan data yang mendalam pada kasus

penyandang tuna daksa dewasa awal akibat kecelakaan. Individu yang

sebelumnya mempunyai fisik yang utuh, kini dihadapkan pada keterbatasan dan

berbagai permasalahan baru akibat kecelakaan berkaitan dengan hilangnya fungsi

tubuh maupun kondisi fisiknya yang berubah, bahkan semakin krusial ketika

memasuki masa dewasa awal yang dituntut dalam hal kemandirian, tanggung

jawab pribadi, serta berbagai tuntutan interaksional. Berbagai pengalaman hidup

penyandang tuna daksa dewasa awal akibat kecelakaan menjadikan peneliti

tertarik untuk melihat proses pencapaian eksistensi diri yang dilakukan sebagai

usaha untuk mendapatkan kehidupan yang bermakna melalui potensi-potensi yang

dimiliki. Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin mengetahui “Bagaimana proses

pencapaian eksistensi diri pada penyandang tuna daksa dewasa awal akibat

kecelakaan?”

60

G. Kerangka Berpikir

Gambar 2. 1. Kerangka Berpikir Eksistensi Diri pada Penyandang Tuna Daksa Dewasa Awal akibat Kecelakaan

Individu menentukan

dirinya sendiri dan

dunianya, termasuk

menentukan tindakan

maupun arah hidupnya.

Sadar atas pilihan yang

diambil dan konsekuensi

dari pilihan tersebut. Bertindak dan

berkomitmen terhadap

pilihan yang diambil (mampu mengambil

sikap yang tegas terha-

dap segala sesuatu di

luar diri). Menemukan inti atau

keaslian diri yang diba-

ngun melalui attention

(pemahaman) secara

mendalam, prinsip

justice (keadilan), dan

appreciation

(penghargaan) terhadap

diri dan orang lain.

Proses Pencapaian Eksistensi Diri

PERCEPTION RECOGNITION OF

VALUES

RESPONSIBILITY

FREEDOM

Pemaknaan yang

semakin jelas (settle)

akan arti kehidupan di

dunia.

Penerimaan dan

penyesuaian terhadap

perubahan-perubahan

faktual yang terjadi

dalam hidup dan

kemungkinannya

sampai memperoleh

kebenaran yg hakiki.

Mampu untuk mengisi

space, mengandalkan

support yang didapat,

dan percaya terhadap

protection yang

dianugerahkan.

Mampu bertahan atas

kesulitan dan

ancaman apapun serta

mentoleransi segala

hal yang tidak dapat

diubah.

Peran diri individu dalam

mengisi kehidupannya. Pemahaman individu atas

hubungan kualitatif

berlandaskan pengenalan

perasaan atau emosi serta

evaluasi dari reaksi-

reaksi dalam menerima

objek.

Terjadi perpindahan arah

kepentingan, yaitu

perhatian yang semula

terarah pada kepentingan

pribadi, kini dialihkan

pada kepentingan sosial.

Mencapai keharmonisan

antara dunia dan dirinya

serta merasakan

kedalaman hidup yang

ditunjukkan dengan

berpartisipasi aktif

mengisi kehidupan

melalui relationship,

time, dan closeness.

Individu menemukan

tujuan hidup di dunia

dan menentukan

masa depan. Berperan aktif

memenuhi eksistensi

diri melalui field of

activity (bertindak

secara nyata), a

structural context

(memiliki konteks

struktural yang lebih

luas terhadap

orientasi hidup), dan

a value to be realized

in the future

(berjuang mencapai

tujuan hidup besar di

masa depan) Pencapaian meaning

of life dan sense of

fulfillment.

Latar belakang

kecelakaan

yang menye-

babkan subjek

menjadi tuna

daksa.

Kondisi

Internal

Kondisi

Psikologis

Kondisi

Eksternal

Kondisi

Kesulitan Fisik

Gambaran Pencapaian Eksistensi Diri pada Penyandang

Tuna Daksa Dewasa Awal Akibat Kecelakaan

Tugas Perkembangan Dewasa Awal

Hubungan dan Peran Sosial

Pendidikan dan pengembangan karir

Membangun hubungan intim dengan lawan jenis

Riwayat

Kecelakaan

Latar Belakang Kehidupan Penyandang Tuna

Daksa Dewasa Awal Akibat Kecelakaan

Stigma

Masyarakat

Dukungan

Keluarga

Aksesibilitas

yang Diperoleh