26
15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Stres Akulturatif 2.1.1 Pengertian Stres Akulturatif Stres secara umum dimengerti sebagai suatu keadaan tertekan, baik secara fisik maupun psikologis (Chaplin, 2009). Oliver dkk. (1999, dalam Baron dan Byrne, 2005) mengatakan bahwa stres adalah suatu peristiwa fisik atau psikologis apapun yang dipersepsikan sebagai ancaman potensial terhadap kesehatan fisik atau emosional. Baum (1990, dalam Taylor dkk. 2009) mengatakan bahwa stres adalah pengalaman emosi negatif yang diiringi dengan perubahan fisiologis, biokimia, dan behavioral yang dirancang untuk menyesuaikan diri terhadap stresor dengan cara memanipulasi situasi atau mengubah stresor atau dengan mengakomodasi efeknya. Sarafino (1990, dalam Smet, 1994) mengemukakan bahwa stres merupakan suatu kondisi yang disebabkan oleh transaksi antara individu dengan lingkungan yang menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari situasi dengan sumber-sumber daya sistem biologis, psikologis dan sosial dari seseorang. Sutherland dan Cooper (1990, dalam Smet, 1994) mengatakan bahwa stres didefinisikan sebagai ketidakseimbangan antara tuntutan yang dirasakan dengan kemampuan yang dirasakan dalam memenuhi tuntutan tersebut. Herskovits dkk. (1939, dalam Berry dkk. 1999) mengatakan bahwa akulturasi adalah fenomena yang terjadi ketika kelompok-

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13230/2/T2_832014701_BAB II... · perubahan sikap dan tingkah laku, yang harus dilakukan oleh

Embed Size (px)

Citation preview

15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stres Akulturatif

2.1.1 Pengertian Stres Akulturatif

Stres secara umum dimengerti sebagai suatu keadaan tertekan,

baik secara fisik maupun psikologis (Chaplin, 2009). Oliver dkk.

(1999, dalam Baron dan Byrne, 2005) mengatakan bahwa stres adalah

suatu peristiwa fisik atau psikologis apapun yang dipersepsikan sebagai

ancaman potensial terhadap kesehatan fisik atau emosional. Baum

(1990, dalam Taylor dkk. 2009) mengatakan bahwa stres adalah

pengalaman emosi negatif yang diiringi dengan perubahan fisiologis,

biokimia, dan behavioral yang dirancang untuk menyesuaikan diri

terhadap stresor dengan cara memanipulasi situasi atau mengubah

stresor atau dengan mengakomodasi efeknya.

Sarafino (1990, dalam Smet, 1994) mengemukakan bahwa stres

merupakan suatu kondisi yang disebabkan oleh transaksi antara

individu dengan lingkungan yang menimbulkan persepsi jarak antara

tuntutan-tuntutan yang berasal dari situasi dengan sumber-sumber daya

sistem biologis, psikologis dan sosial dari seseorang. Sutherland dan

Cooper (1990, dalam Smet, 1994) mengatakan bahwa stres

didefinisikan sebagai ketidakseimbangan antara tuntutan yang

dirasakan dengan kemampuan yang dirasakan dalam memenuhi

tuntutan tersebut.

Herskovits dkk. (1939, dalam Berry dkk. 1999) mengatakan

bahwa akulturasi adalah fenomena yang terjadi ketika kelompok-

16

kelompok individu yang memiliki budaya berbeda terlibat dalam

kontak langsung disertai perubahan terus-menerus, sejalan dengan

pola-pola budaya asal dari kelompok itu atau dari kedua kelompok.

Santrock (2002) memberi definisi mengenai akulturasi sebagai

perubahan kebudayaan akibat dari kontak langsung dan terus-menerus

antara dua kelompok budaya yang berbeda.

Santrock (2002) mengatakan bahwa stres ialah respon individu

terhadap keadaan-keadaan dan peristiwa-peristiwa (disebut “stressor”)

yang mengancam individu dan mengurangi kemampuan individu dalam

mengatasi segala bentuk stressor. Stressor tersebut dapat berasal dari

berbagai sumber, salah satunya adalah faktor sosial budaya. Lebih

lanjut Santrock (2002) mengatakan bahwa faktor-faktor sosial budaya

di dalam stres di antaranya adalah stres akulturatif dan stres sosial

ekonomi.

Santrock (2002) mengatakan bahwa stres akulturatif ialah akibat

negatif dari akulturasi. Huang & Gibbs (1989, dalam Santrock, 2002)

mengatakan bahwa anggota-anggota kelompok minoritas etnis secara

historis telah mengalami permusuhan, prasangka buruk, dan kurangnya

dukungan yang efektif selama masa-masa krisis, yang menyumbang

bagi timbulnya rasa alienasi, isolasi sosial, dan stres tinggi.

Berry dkk. (1999) mengatakan bahwa kondisi saat individu

mengalami tekanan akibat akulturasi dengan budaya asing disebut

sebagai stres akulturatif. Konsep stres akulturatif mengacu pada satu

macam stres yang stresornya diketahui bersumber dalam proses-proses

akulturasi. Ada serangkaian perilaku stres khusus selama akulturasi,

seperti penurunan status kesehatan mental terutama kecemasan,

17

depresi, perasaan marjinalitas dan alienasi, aras simtom psikosomatis

meningkat, dan kebingungan identitas diri.

Stres akulturatif didefinisikan oleh Wei et.al. (2007) sebagai

reaksi stres dalam menanggapi peristiwa kehidupan yang berakar pada

pengalaman akulturasi, kesulitan psikologis dalam beradaptasi dengan

budaya baru, atau stresor psikososial akibat dari ketidakbiasan dengan

hal dan norma-norma sosial yang baru. Sumber stres akulturatif sering

meliputi tekanan akademik, kesulitan bahasa, perasaan rendah diri,

kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan makanan baru atau nilai-

nilai budaya, kurangnya dukungan, diskriminasi yang dirasakan, dan

kerinduan (Sandhu & Asrabadi, 1994, dalam Wei dkk., 2007).

Williams & Berry (1991, dalam Crockett et.all. 2007)

mengatakan bahwa stres akulturatif terjadi ketika individu mengalami

masalah yang timbul dari proses akulturasi. Hal ini dapat berasal dari

nilai-nilai budaya yang tidak sama atau sejenis, kesulitan bahasa, dan

diskriminasi. Lebih lanjut, Crockett et.all. (2007) mengatakan bahwa

ketika ada tekanan untuk berasimilasi, kurangnya kompetensi

antarbudaya, atau diskriminasi dianggap melebihi kemampuan

seseorang untuk mengatasi, hal ini akan mengarah pada persepsi

subjektif dari stres sampai pada emosi negatif. Stres akulturatif telah

dikaitkan dengan gejala depresi dan terkadang juga dikaitkan dengan

gejala kecemasan yang lebih dalam.

Berdasarkan uraian yang dikemukakan para tokoh di atas, dapat

disimpulkan bahwa stres akulturatif adalah suatu keadaan tertekan, baik

secara fisik maupun psikologis terhadap peristiwa yang dipersepsikan

18

sebagai ancaman potensial terhadap kesehatan fisik atau emosional,

yang bersumber dari adanya perbedaan budaya.

2.1.2 Teori Stres Akulturatif

Para teoretikus sosiokultural telah memperingatkan kita tentang

pentingnya memperhitungkan stresor dalam menjelaskan tingkah laku

abnormal. Salah satu sumber stres utama adalah kebutuhan atau

tuntutan untuk beradaptasi dengan kultur baru, hal ini terjadi dalam

kelompok imigran atau kelompok penduduk asli yang hidup dalam

kultur mayoritas kelompok pendatang. Istilah akulturasi (acculturation)

menunjukkan pada suatu proses adaptasi terhadap kultur baru melalui

perubahan sikap dan tingkah laku, yang harus dilakukan oleh kelompok

imigran dan penduduk asli (Rogler dkk. 1991, dalam Nevid dkk. 2005).

Ada dua teori umum tentang hubungan akulturasi dengan

penyesuaian diri (Griffith, 1983, dalam Nevid dkk., 2005):

a. Teori pertama disebut teori peleburan (melting pot theory),

menyatakan bahwa akulturasi membantu orang menyesuaikan diri

dengan kultur setempat. Dari sudut pandang ini, Hispanik-Amerika

dapat lebih mudah menyesuaikan diri dengan mengganti bahasa

Spanyolnya dengan bahasa Inggris dan mengambil atau memakai

nilai-nilai dan adat istiadat kultur mayoritas orang Amerika.

b. Teori yang ke dua, teori bikultural (bicultural theory),

mengemukakan bahwa penyesuaian psikososial dilakukan dengan

mengidentifikasi diri ke dalam kedua kultur, kultur tradisional

tempat asal dengan kultur setempat. Dimaksudkan di sini,

kemampuan adaptasi terhadap kebiasaan-kebiasaan masyarakat

19

yang baru, dipadukan dengan tradisi kultural yang mendukung dan

perasaan memiliki identitas etnik, akan menghasilkan penyesuaian

yang baik. Dari sudut pandang teori bikultural, para imigran

mempertahankan identitas etnik dan nilai-nilai tradisi mereka

sambil mempelajari dan beradaptasi dengan bahasa dan adat istiadat

kultur setempat.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa terdapat dua

teori tentang stres akulturatif, yaitu teori peleburan (melting pot theory)

dan teori bikultural (bicultural theory).

2.1.3 Aspek-aspek Stres Akulturatif

Berry dkk. (1999) mengatakan bahwa stres akulturatif

merupakan suatu fenomena yang mungkin mendasari suatu reduksi

dalam status kesehatan individu (aspek fisik, psikologis, dan sosial).

Mena et.al. (1987, dalam Crockett et.al.., 2007) mengatakan bahwa

aspek-aspek dari stres akulturatif yang menonjol pada mahasiswa dapat

berhubungan dengan kurang mahirnya bahasa atau ketidakbiasaan

dengan praktek-praktek budaya yang berlaku dan pengalaman sistem

nilai yang bertentangan.

Berbagai pengukuran terhadap stres akulturatif telah dilakukan

sebelumnya, seperti Cornell Medical Index (Broadman dkk., 1952,

dalam Berry dkk., 1999). Aspek stres akulturatif yang digunakan dalam

penelitian ini yaitu keberfungsian somatis dan kehidupan psikologis.

Penelitian Wei dkk. (2007) mengukur stres akulturatif

menggunakan Acculturative Stress Scales for International Student

(ASSIS) dari Sandhu & Asrabadi (1994). ASSIS merupakan alat ukur

yang menilai stres akulturatif siswa internasional, terdiri dari 36 aitem

20

yang meliputi tujuh aspek atau faktor yaitu persepsi diskriminasi,

kerinduan, menerima kebencian, takut , stres karena perubahan/ culture

shock/ kekagetan budaya, rasa bersalah, dan kekhawatiran nonspesifik.

Mena et.al. (1987, dalam Crockett et.al., 2007) melakukan

penelitian tentang stres akulturatif dengan menggunakan empat domain

yaitu : domain keluarga, sikap, sosial, dan domain lingkungan.

Berdasarkan beberapa uraian di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa terdapat beberapa aspek dan domain stres akulturatif. Pada

penelitian ini, pengukuran mengenai stres akulturatif mendasarkan pada

skala Acculturative Stress Scales for International Student (ASSIS; dari

Sandhu & Asrabadi, 1994), karena memiliki aspek atau domain yang

lebih lengkap yaitu persepsi diskriminasi, kerinduan, menerima

kebencian, takut, stres karena perubahan/ culture shock/ kekagetan

budaya, rasa bersalah, dan kekhawatiran nonspesifik.

2.1.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stres Akulturatif

Nevid dkk. (2005) merangkum berbagai pendapat tokoh dan

mengatakan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi stres akulturatif

sebagai berikut:

a. Coping stress

Pada umumnya coping stres terdiri dari coping yang

berfokus pada emosi (emotion-focused coping) dan coping yang

berfokus pada masalah (problem-focused coping). Pada coping

yang berfokus pada emosi, individu berusaha segera mengurangi

dampak stressor, dengan menolak adanya stressor atau menarik diri

dari situasi. Coping yang berfokus pada emosi tidak menghilangkan

21

stressor atau tidak juga membantu individu dalam mengembangkan

cara yang lebih baik untuk mengatur stressor, sebaliknya, pada

coping yang berfokus pada masalah, individu menilai stressor yang

dihadapi dan melakukan sesuatu untuk mengubah stressor atau

memodifikasi reaksinya untuk meringankan efek dari stressor

tersebut.

b. Harapan akan self-efficacy

Harapan akan self-efficacy berkenaan dengan harapan

individu terhadap kemampuan diri dalam mengatasi tantangan yang

dihadapi, harapan terhadap kemampuan diri untuk dapat

menampilkan tingkah laku terampil, dan harapan terhadap

kemampuan diri untuk dapat menghasilkan perubahan hidup yang

positif (Bandura, 1982, 1986, dalam Nevid dkk. 2005). Individu

mungkin dapat mengelola stres dengan lebih baik, termasuk stres

karena penyakit, jika percaya diri dan yakin bahwa dirinya mampu

mengatasi stres dan memiliki harapan yang tinggi.

c. Ketahanan psikologis

Ketahanan psikologis (psychological hardiness) atau

sekumpulan trait individu yang dapat membantu dalam mengelola

stres yang dialami.

d. Optimisme

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa yang

mempunyai nilai optimisme lebih tinggi melaporkan dapat lebih

menekan gejala fisik seperti kelelahan, pusing, pegal-pegal, dan

penglihatan yang kabur. Gejala pada subjek penelitian di awal

penelitian diperhitungkan secara statistik sehingga dapat dikatakan

22

bahwa studi tersebut semata-mata menunjukkan bahwa individu

yang sehat akan cenderung lebih optimis.

e. Dukungan sosial

Para peneliti percaya bahwa memiliki kontak sosial yang

luas membantu melindungi sistem kekebalan tubuh terhadap stres.

Berry & Kim (1988, dalam Berry dkk., 1999) menemukan

faktor budaya dan psikologis yang menentukan hubungan akulturasi

dan kesehatan mental. Faktor-faktor yang memperantarai hubungan

antara akulturasi dan stres tersebut yaitu:

a. Modus akulturasi: integrasi, asimilasi, separasi, dan marjinalisasi

Modus akulturasi merupakan satu faktor penting: mereka

yang merasa termarjinalisasi (”terpinggirkan”) cenderung

mengalami stres lebih tinggi, mereka yang mengutamakan suatu

tujuan separasi (pemisahan) juga cenderung stres. Sebaliknya, yang

berupaya melakukan integrasi (mempererat) mengalami stres secara

minimal, sementara asimilasi membawa ke derajat-derajat

menengah.

b. Fase akulturasi: kontak, konflik, krisis, adaptasi

Dalam banyak kajian, ada upaya untuk mengaitkan gejala-

gejala stres akulturatif dengan suatu fase tertentu dari akulturasi.

Mereka yang dalam kontak pertama dan telah mencapai sementara

adaptasi yang stabil cenderung mengalami stres minimal,

sebaliknya mereka yang mengalami konflik dan krisis akan

memperlihatkan stres.

c. Keberadaan masyarakat yang lebih luas: multikultural lawan

asimilasionis

23

Keberadaan masyarakat majemuk secara budaya memiliki

toleransi yang cukup tinggi terhadap perbedaan budaya, serta

memungkinkan untuk memberikan dukungan terhadap proses

akulturasi. Pada dasarnya masyarakat tersebut memiliki toleransi

yang lebih besar atau penerimaan keberagaman budaya. Berbeda

dengan masyarakat yang monokultural (tidak majemuk),

menekankan kepada budaya asing sebagai pendatang untuk dapat

menyesuaikan diri dengan budaya monokultural tersebut. Pada

dasarnya masyarakat tersebut memberlakukan suatu paksaan atau

kurang memiliki toleransi atau penerimaan terhadap keberagaman

budaya.

d. Prasangka dan diskriminasi

Beberapa kelompok lebih diterima berdasarkan latar

belakang etnisitas, ras atau keagamaan ketimbang yang lain.

Mereka yang kurang diterima akan menghadapi hambatan

(prasangka dan diskriminasi) yang akan membawa mereka ke

marjinalisasi kelompok (kelompok yang ”terpinggirkan”) dan

mungkin mengakibatkan stres lebih tinggi.

e. Ciri-ciri kelompok yang berakulturasi: usia, status, dukungan sosial

Status juga menjadi suatu faktor, bahkan ketika keberasalan

orang berada dalam suatu masyarakat yang relative terstratifikasi.

Contoh, “status masuk” seseorang ke suatu masyarakat baru sering

lebih rendah dibandingkan “status pergi” dari masyarakat sendiri.

Kehilangan status relatif ini mungkin mengakibatkan stres dan

kesehatan mental memburuk. Faktor lain, mobilitas status seseorang

dalam masyarakat yang lebih besar, apakah untuk mendapatkan

24

kembali status asal seseorang atau tetap bertahan di tengah

kelompok lain. Sebagai tambahan, beberapa ciri khas status (seperti

pendidikan dan pekerjaan) menyediakan orang sumber-sumber

untuk berhadapan dengan masyarakat yang lebih luas dan ciri-ciri

ini mungkin mengakibatkan kemampuan orang untuk berfungsi

secara efektif dalam lingkungan baru.

Usia dan kelompok jenis kelamin seesorang, boleh jadi

memainkan peran. Misalnya orang yang relatif lebih tua dan kadang

wanita, sering dicatat mengalami stres yang lebih tinggi

sebagaimana mereka yang hidup tanpa pasangan perkawinan

(karena pengalaman kehilangan atau karena memang tidak

dimungkinkan).

Ubahan paling komprehensif dalam literatur adalah ubahan

dukungan sosial. Ubahan ini menunjuk pada kehadiran lembaga

sosial dan budaya yang mampu memberi dukungan kepada individu

yang berakulturasi. Tercakup disini ialah faktor seperti asosiasi

etnik (nasional maupun lokal), ikatan-ikatan etnik daerah, keluarga

somah, ketersediaan kelompok asal individu (melalui kunjungan,

penghidupan kelompok, atau alienasi dari budaya) dan lembaga

lebih formal sebagai agen dan klinik-klinik yang siap memberi

dukungan.

f. Ciri-ciri individu yang berakulturasi: penilaian, pengatasan, sikap,

kontak

Secara khusus, penilaian orang mengenai pengalaman

akulturasi dan keterampilan pengatasannya dalam berhadapan

dengan stresor dapat mempengaruhi tingkat stres akulturatif.

25

Berdasarkan pendapat para tokoh di atas, dapat disimpulkan

bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi stres akulturatif meliputi

coping stres, harapan akan self-efficacy, ketahanan psikologis

(hardiness), optimisme, dukungan sosial, modus akulturasi (integrasi,

asimilasi, separasi, dan marjinalisasi), fase akulturasi (kontak, konflik,

krisis, adaptasi), keberadaan masyarakat yang lebih luas (multikultural

lawan asimilasionis), prasangka dan diskriminasi, ciri-ciri kelompok

yang berakulturasi (usia, status, dukungan sosial), ciri-ciri individu

yang berakulturasi (penilaian, pengatasan, sikap, kontak).

2.2 Hardiness

2.2.1 Pengertian Hardiness

Konsep hardiness pertama kali dikemukakan oleh Kobasa,

1984, yaitu sebagai tipe kepribadian yang penting sekali dalam

perlawanan terhadap masalah. Kobasa memulai dengan adanya

perbedaan-perbedaan interpersonal dalam kontrol pribadi dan

mengkombinasikan peubah ini dengan yang lain, agar dapat dihasilkan

tipe kepribadian yang lebih komprehensif (Smet, 1994).

Kobasa dkk. (1982, dalam Daneshamooz & Alamolhodaei,

2012) mengemukakan bahwa hardiness menyediakan kerangka kerja

yang berguna untuk memahami mengapa siswa lebih bersedia untuk

terlibat dalam kursus akademis yang lebih menantang daripada yang

lain. Teori hardiness berpendapat bahwa tiga proses penilaian kognitif

(komitmen, tantangan, dan kontrol) berfungsi untuk penyaring efek

buruk dari situasi kehidupan yang penuh tekanan.

26

Hardiness adalah suatu ciri kepribadian yang dapat

mempertahankan respons individu terhadap stres. Individu yang

memiliki hardiness mengasumsikan bahwa dirinya berada dalam

kendali, sangat berkomitmen terhadap aktivitas dalam hidup, dan

memperlakukan perubahan sebagai suatu tantangan (Ivancevich dkk.

2006). Nevid dkk. (2005) memberi definisi hardiness sebagai suatu

kelompok trait penahan stres yang ditandai dengan adanya komitmen,

tantangan, dan pengendalian.

Hardjana (1994) memberi definisi hardiness atau ketangguhan

pribadi merupakan keadaan diri orang yang membuat orang itu

memiliki ketabahan dan daya tahan. Orang yang tangguh mampu

menghadapi dan menerima kesukaran, kesulitan, masalah dengan

tabah. Dia tidak mudah goyah, bimbang, takut dan kehilangan nyali.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hardiness

adalah ciri kepribadian yang menunjukkan bahwa individu memiliki

daya tahan yang ditandai dengan adanya komiten, tantangan, dan

pengendalian.

2.2.2 Aspek-aspek Hardiness

Kobasa dkk. (1982, dalam Daneshamooz & Alamolhodaei,

2012) mengemukakan komponen hardiness yang terdiri dari:

a. Komitmen, yaitu memahami aktivitas kehidupan seseorang sebagai

sesuatu yang berharga untuk diri dan orang lain.

b. Tantangan, yaitu memahami perubahan dari pada stabilitas sebagai

bagian yang diharapkan dan normal dari kehidupan, serta melihat

perubahan sebagai bermanfaat bagi pengembangan pribadi.

27

c. Kontrol, yaitu memahami diri sendiri sebagai memiliki kontrol

pribadi atas peristiwa kehidupan yang penting.

Ivancevich dkk. (2006) mengatakan bahwa orang yang memiliki

hardiness ditunjukkan dengan adanya aspek sebagai berikut:

a. Yakin bahwa dapat mengendalikan peristiwa yang daitemui.

b. Sangat berkomitmen terhadap aktivitas dalam kehidupannya.

c. Memperlakukan perubahan dalam kehidupan sebagai sebuah

tantangan.

Kobasa dkk. (1982, dalam Nevid dkk., 2005) mengatakan

bahwa tiga aspek dari hardiness adalah:

a. Komitmen yang tinggi. Individu yang memiliki hardiness ini yakin

sekali pada apa yang dilakukannya dan melibatkan diri sepenuhnya

terhadap pekerjaan dan tanggung jawabnya. Individu tersebut tidak

pernah mencoba untuk menjauhkan diri dari situasi dan pekerjaan

mereka.

b. Tantangan yang tinggi. Individu yang memiliki hardiness percaya

perubahan merupakan suatu hal yang normal, dirinya tidak terpaku

pada kondisi stabil saja, tetapi tertantang untuk mengatasi atau

melakukan perubahan.

c. Pengendalian yang kuat terhadap hidup. Individu yang memiliki

hardiness percaya dan bertindak dengan keyakinan bahwa dirinya

yang menentukan reward dan hukuman (ganjaran positif dan

negatif) yang diterima dalam hidup ini.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat

tiga aspek hardiness, yaitu aspek pengendalian, keterlibatan, dan

tantangan. Aspek ini dikemukakan oleh Kobasa, dkk., dan akan

28

menjadi dasar teori dalam penyusunan alat ukur hardiness pada

penelitian ini karena Kobasa dkk., merupakan pencetus utama dari teori

hardiness.

2.3 Dukungan Sosial Teman

2.3.1 Pengertian Dukungan Sosial Teman

Dukungan sosial adalah suatu keadaan yang dapat dipercaya,

dari interaksi itu individu akan menjadi tahu bahwa orang lain

memperhatikan, menghargai dan mencintai dirinya (Smet, 1994). Cobb

(1983, dalam Smet, 1994) menekankan masalah dukungan sosial ini

melalui orientasi subjektifnya yang memerlihatkan bahwa dukungan

sosial tersebut terdiri atas informasi yang menuntun seseorang untuk

meyakini bahwa ternyata dirinya masih diurus dan disayangi. Sarafino

(1990, dalam Smet, 1994) mendeskripsikan dukungan sosial sebagai

suatu kesenangan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang dirasakan

dari orang lain atau kelompok.

Sarason dkk. (1994, dalam Baron dan Byrne, 2005) mengatakan

bahwa dukungan sosial adalah kenyamanan secara fisik dan psikologis

yang diberikan oleh orang lain (teman atau anggota keluarga). Buunk

dkk. (1993, dalam Taylor dkk., 2009) mengatakan bahwa dukungan

sosial dapat berasal dari pasangan atau partner, anggota keluarga,

kawan, kontak sosial dan masyarakat, teman sekelompok, jemaah

gereja atau masjid, dan teman kerja atau atasan di tempat kerja.

Sarafino (1990, dalam Smet, 1994) membedakan sumber-

sumber stres yaitu dalam diri individu, keluarga, komunitas, dan

masyarakat. Baron & Byrne (2005) mengatakan bahwa teman-teman

dan keluarga mungkin dapat membantu memecahkan masalah.

29

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dukungan

sosial teman adalah hubungan atau transaksi interpersonal yang dapat

dipercaya (berupa pemberian bantuan dalam bentuk informasi,

instrumental, dukungan emosional, dan dukungan penghargaan) yang

berarti bagi individu sehingga individu merasa diperhatikan oleh

temannya.

2.3.2 Jenis-jenis Dukungan Sosial

House (1990, dalam Smet, 1994) membedakan empat jenis atau

dimensi dukungan sosial yaitu:

a. Dukungan emosional, mencakup ungkapan empati, kepedulian dan

perhatian terhadap orang yang bersangkutan (misal; umpan balik,

penegasan).

b. Dukungan penghargaan, terjadi lewat ungkapan hormat

(penghargaan) positif untuk orang itu, dorongan maju atau

persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu, dan

perbandingan positif orang itu dengan orang-orang lain, seperti

misalnya orang-orang yang kurang mampu atau lebih buruk

keadaannya (menambah penghargaan diri).

c. Dukungan instrumental, mencakup bantuan langsung, seperti kalau

orang-orang memberikan pinjaman uang kepada orang itu atau

menolong dengan pekerjaan pada waktu mengalami stres.

d. Dukungan informatif, mencakup memberi nasihat, petunjuk-

petunjuk, saran-saran atau umpan balik. Dukungan informatif akan

lebih bermanfaat kalau terdapat kekurangan pengetahuan, dan

ketrampilan, dan dalam hal yang amat tidak pasti tentang

kekurangan pengetahuan dan keterampilan.

30

Menurut Buunk dkk. (1993 dalam Taylor dkk., 2009), dukungan

sosial bisa diberikan melalui beberapa cara yang dapat dikelompokkan

menjadi empat jenis yaitu:

a. Dukungan emosional. Perhatian emosional yang diekspresikan

melalui rasa suka, cinta atau empati.

b. Dukungan instrumental, seperti penyediaan jasa atau barang selama

masa stres.

c. Dukungan informatif, seperti pemberian informasi tentang situasi

yang menekan.

d. Dukungan penghargaan, dukungan yang berupa persetujuan dari

orang lain akan gagasan atau perilaku.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat

empat jenis dukungan sosial, yaitu dukungan emosional, dukungan

penghargaan, dukungan instrumental dan dukungan informatif.

2.4 Hubungan antara Hardiness dan Dukungan Sosial Teman

dengan Stres Akulturatif

Mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah perlu melakukan

adaptasi terhadap kondisi setempat di mana mahasiswa tersebut

menimba ilmu, karena adanya perbedaan karakteristik sosial budaya.

Proses adaptasi dengan keadaan masyarakat dan budaya setempat tidak

selamanya berlangsung mulus (Hidajat dan Sodjakusumah, 2000).

Kekurangmampuan dalam melakukan penyesuaian diri atau adaptasi

dengan situasi dan tuntutan yang ada dapat menimbulkan tekanan-

tekanan bagi mahasiswa yang bersangkutan, dan bila dibiarkan tanpa

penyelesaian akan mempengaruhi kesehatan mental (Siswanto, 2007).

31

Tekanan atau stres yang diakibatkan dari penyesuaian budaya

bisa saja terjadi. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Santrock

(2002b) bahwa stresor atau sumber stres dapat berasal dari berbagai

sumber, salah satunya adalah faktor sosial budaya. Menurut Kim (1995,

dalam Samovar dkk., 2010), ketika individu memasuki budaya baru,

individu mengalami stres sebagai akibat dari hilangnya kemampuan

untuk berfungsi secara normal. Individu tersebut menjadi stres ketika

berhadapan dengan cara baru dan berbeda dalam kehidupan sehari-hari.

Upaya yang dilakukan untuk mengurangi stres dengan

mengembangkan dan menggabungkan norma baru yang dibutuhkan

untuk dapat berfungsi secara normal, sehingga mulai beradaptasi

dengan budaya baru. Melalui pengalaman yang berkelanjutan dari

adaptasi stres, perspektif seseorang semakin luas, sehingga

menghasilkan pertumbuhan pribadi.

Huang & Gibbs (1993,dalam Santrock, 2002b) mengatakan

bahwa anggota-anggota kelompok minoritas etnis secara historis telah

mengalami permusuhan, prasangka buruk, dan kurangnya dukungan

yang efektif selama masa-masa krisis, yang menyumbang bagi

timbulnya rasa alienasi, isolasi sosial, dan stres tinggi.

Tekanan atau stres yang diakibatkan dari penyesuaian budaya

disebut juga sebagai stres akulturatif (Berry dkk., 1999). Stres

akulturatif dapat ditekan jika individu memiliki hardiness dan

mendapat dukungan sosial dari lingkungan sekitarnya. Sebagaimana

yang dikemukakan oleh Cohen & Wills (1985, dalam Eschleman dkk.,

2010), bahwa dukungan sosial sering dianggap sebagai sumber daya

yang dapat melindungi salah satu dari efek stres. Hasil penelitian

32

Viswesvaran dkk. (1999, dalam Eschleman, dkk., 2010) menunjukkan

bahwa dukungan sosial umumnya memiliki efek utama pada stres dan

ketegangan. Ada beberapa alasan bahwa sifat hardiness akan

berhubungan positif dengan dukungan sosial. Pertama, hardiness

melibatkan komitmen dan keterlibatan yang mendalam dalam beberapa

domain kehidupan, seperti keluarga, teman, pekerjaan, dan kegiatan

sosial. Sangat mungkin bahwa keterlibatan dalam domain ini

memungkinkan seseorang untuk mengembangkan jaringan hubungan

sosial yang kaya yang dapat ditarik pada saat seseorang membutuhkan

dukungan. Kemungkinan lain adalah bahwa individu yang tangguh

umumnya lebih menarik secara sosial dan bahwa ini membuat mereka

lebih mudah untuk memperoleh dukungan.

Berdasarkan uraian di atas dapat diperoleh gambaran bahwa

individu yang memiliki hardiness memungkinkan mendapat dukungan

sosial dari temannya yang lebih besar. Adanya hardiness dan dukungan

sosial tersebut dapat digunakan individu dalam menahan atau

meminimalisir efek stres. Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh

Eschleman dkk. (2010), bahwa hardiness dan komponen hardiness

berhubungan positif dengan dukungan sosial. Selain mencari dukungan

sumber daya, hubungan positif dapat terjadi karena dukungan diberikan

kepada orang-orang yang berkomitmen dalam banyak domain

kehidupan dan dengan demikian memiliki lingkaran sosial yang besar

atau mungkin merupakan hasil dari individu yang tangguh (hardy) di

mana secara sosial lebih menarik. Individu yang tangguh (hardy) juga

cenderung memiliki strategi coping yang lebih proaktif daripada

regresif. Artinya, rasa yang lebih besar dari kontrol dan komitmen

33

untuk lingkungan, cenderung mempengaruhi individu untuk mengatasi

stres daripada terlibat dalam perilaku penarikan.

2.5 Hubungan antara Hardiness dengan Stres Akulturatif

Masalah stres yang dialami mahasiswa sebenarnya dapat

diminimalisir jika mahasiswa memiliki hardiness. Sebagaimana hasil

penelitian yang dilakukan Kobasa dkk. (1979 dalam Nevid dkk., 2005)

bahwa hardiness yang dimiliki ini yang kemudian menyebabkan

individu tidak mudah merasakan stres. Nevid dkk. (2005) memberi

definisi hardiness sebagai suatu kelompok trait penahan stres yang

ditandai dengan adanya komitmen, tantangan, dan pengendalian.

Berbeda dengan hasil penelitian Florian dkk. (1995, dalam

Eschleman dkk. 2010), meskipun hardiness diyakini menjadi prediktor

berharga beberapa kriteria penting, konseptualisasi hardiness masih

diperdebatkan. Secara khusus, para peneliti telah menyarankan bahwa

komponen tantangan dari hardiness dapat dijatuhkan dari

konseptualisasi hardiness karena tidak berkontribusi pada prediksi hasil

kesehatan. Pendapat Florian dkk. ini mengandung arti pula bahwa tidak

selamanya hardiness dapat menahan efek stres.

Maddi (1999, dalam Cole dkk., 2004) mengatakan bahwa

hardiness memiliki tiga komponen yang saling berhubungan, dan

diperkirakan akan mempengaruhi dua mekanisme dasar yang

meningkatkan kesehatan dan kinerja seseorang ketika mengalami

kondisi stres. Secara khusus, sikap tangguh diyakini mempengaruhi

bagaimana individu mengalami dan mengatasi situasi kehidupan yang

penuh stres.

34

Dalam persepsi dan evaluasi peristiwa kehidupan yang penuh

stres, Bartone dkk. (1989, Rhonewalt & Zone, 1989 dalam Cole dkk.,

2004) mengibaratkan individu yang memiliki karakter hardiness

sebagai seorang yang optimis yang cenderung untuk melihat tantangan

dalam sudut pandang yang positif. Orang yang memiliki karakter

hardiness merasakan pengalaman kegiatan sebagai hal menarik dan

menyenangkan (yaitu, komitmen), sebagai masalah pilihan pribadi

(yaitu, kontrol), dan sebagai stimulus penting untuk belajar (misalnya,

tantangan). Individu yang memiliki karakter hardiness yang rendah

telah daitemukan menampilkan peningkatan tanda-tanda depresi serta

kecemasan tinggi dan tekanan psikologis.

Kobasa dkk. (1982, dalam Daneshamooz & Alamolhodaei,

2012) mengemukakan bahwa hardiness menyediakan kerangka kerja

yang berguna untuk memahami mengapa siswa lebih bersedia untuk

terlibat dalam kursus akademis yang lebih menantang daripada yang

lain. Teori hardiness berpendapat bahwa tiga proses penilaian kognitif

(komitmen, tantangan, dan kontrol) berfungsi untuk penyaring efek

buruk dari situasi kehidupan yang penuh stres.

Berdasarkan uraian para tokoh di atas, dapat dikatakan bahwa

mahasiswa yang memiliki hardiness ditandai dengan adanya

komitmen, yaitu memiliki kesediaan untuk melibatkan diri dalam

kegiatan yang dilaluinya. Komitmen tersebut membuat mahasiswa

memiliki ketahanan dalam menghadapi berbagai kesulitan yang ada.

Mahasiswa Papua yang memiliki komitmen membuat dirinya tidak

mudah menyerah dan memiliki daya tahan dalam menghadapi tuntutan

termasuk tuntutan dalam hal penyesuaian dengan lingkungan atau

35

budaya baru, dengan kata lain mahasiswa Papua dapat menekan stres

akulturatif yang dialami. Berbeda dengan mahasiswa Papua yang

kurang memiliki komitmen, dirinya cenderung mudah menyerah karena

kurang memiliki antusias dalam menghadapi kesulitan. Pada saat

mengalami kesulitan penyesuaian dengan lingkungan yang baru,

mahasiswa Papua dengan komitmen yang rendah enggan untuk terlibat

lebih jauh dalam usaha adaptasinya. Mahasiswa yang kurang memiliki

komitmen tersebut mudah rentan mengalami stres akulturatif saat

menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya.

Mahasiswa Papua yang memiliki hardiness juga ditandai

dengan adanya aspek tantangan, yaitu melihat kendala yang ada dalam

hal penyesuaian diri sebagai sesuatu yang harus dipecahkan (merasa

tertantang dan tidak mudah menyerah). Mahasiswa yang memiliki

aspek tantangan bersedia mengerahkan energinya guna mengatasi

kesulitan sehingga tidak mudah mengalami stres saat menyesuaikan

diri. Berbeda dengan mahasiswa Papua yang kurang tertantang dengan

kesulitan akan mudah mengalami stres karena dirinya mudah merasa

kewalahan dengan kendala yang dihadapi.

Mahasiswa Papua yang memiliki hardiness juga ditandai

dengan adanya aspek kontrol, yaitu merasa mampu mengendalikan dan

mengatur diri, hidup, dan lingkungannya. Mahasiswa tersebut meyakini

bahwa keberhasilan dalam menyelesaikan suatu masalah termasuk

dalam hal kesulitan beradaptasi dengan lingkungan barunya, ditentukan

oleh kemampuan diri. Kontrol tersebut mengakibatkan mahasiswa

menjadi lebih bertanggung jawab terhadap masalah yang dialami,

sehingga mahasiswa Papua dapat mengelelola stres akulturatif atau

36

stres yang berkaitan dengan proses adaptasi dengan lingkungan

barunya di Salatiga. Berbeda dengan mahasiswa Papua yang kurang

memiliki aspek kontrol, dirinya menganggap keberhasilannya dalam

menyesuaikan diri lebih ditentukan oleh faktor di luar dirinya atau

ditentukan oleh keburuntungan semata, sehingga merasa tidak memiliki

kendali dalam mengatasi kesulitan tersebut. Perasaan tidak memiliki

kendali inilah yang mengakibatkan mahasiswa Papua cenderung mudah

menyerah dan pasrah terhadap keadaan, dan pada akhirnya lebih rentan

mengalami stres dalam beradaptasi dengan lingkungan barunya di

Salatiga.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa individu

termasuk mahasiswa dengan hardiness yang tinggi memiliki

ketangguhan dalam menghadapi permasalahan hidup. Adanya

hardiness ini mengakibatkan mahasiswa dapat menekan stres

akulturatif ketika harus beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Hal

ini berarti bahwa adanya hardiness maka stres akulturatif dapat ditekan.

2.6 Hubungan antara Dukungan Sosial Teman dengan Stres

Akulturatif

Dukungan sosial merupakan peubah lingkungan yang

mempunyai hubungan yang positif dengan kesehatan. Dalam

menghadapi peristiwa-peristiwa yang menekan, individu yang memiliki

dukungan sosial yang tinggi tidak hanya mengalami stres yang rendah,

tetapi juga dapat mengatasi stres secara lebih berhasil bila

dibandingkan dengan mereka yang kurang memperoleh dukungan

sosial (Taylor 1999, dalam Pramudiani dkk. 2001).

37

Berbeda dengan pendapat Baron & Byrne (2005), meskipun

seseorang yang menghadapi masalah seperti stres, sangat

membutuhkan dukungan, upaya yang canggung untuk memberikan rasa

nyaman justru dapat membuat situasi menjadi semakin buruk. Pendapat

Baron dan Byrne di atas menunjukkan bahwa adanya dukungan sosial

belum tentu dapat meminimalisir stres, atau bahkan dukungan sosial

yang diberikan secara canggung justru dapat menimbulkan stres. Hal

ini juga diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Solber

dkk. (1994, Alva dkk. 1996; Rodriguez dkk. 2003, dalam Crocke dkk.

2007). Ketiga penelitian tersebut menemukan hasil yaitu tidak

daitemukan bukti bahwa dukungan sosial berhubungan dengan stres

psikologis ataupun penyesuaian diri pada mahasiswa Latin.

Dukungan sosial seperti perasaan memperoleh bantuan,

perasaan dicintai, dihargai atau dinilai tinggi, dapat merupakan penahan

(buffer) dari akibat-akibat stres yang merusak. Dukungan sosial yang

tinggi mempercepat kesembuhan seseorang dari penyakit yang diderita,

sehingga diasumsikan pula akan dapat mempercepat meningkatnya

kualitas hidup yang sebelumnya menurun (Pramudiani dkk., 2001).

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ross dkk. (1999 dalam

Taylor dkk. 2009) yang mengatakan bahwa poin yang jelas dan penting

di sini adalah hubungan sosial dapat membantu penyesuaian psikologis,

memperkuat praktik hidup sehat, dan membantu pemulihan dari sakit

hanya ketika hubungan itu bersifat suportif. Hasan (2008) mengatakan

bahwa hubungan suportif tersebut adalah individu merasa memiliki

seseorang yang memberi keyakinan dan tempat berbagi pikiran dan

38

perasaan, akan memiliki fungsi kekebalan yang lebih baik dari pada

yang tidak memiliki.

Dukungan sosial dapat menjadi penahan untuk melawan stres

dengan memberikan pencegahan dari situasi yang menyebabkan stres

ataupun memberikan solusi mengatasi stres. Selanjutnya menurut

Mallinckrodt dan Leong (1992, dalam Koyama, 2005), banyaknya

dukungan sosial akan mempengaruhi seseorang dalam mengatasi stres

sehubungan dengan penyesuaian diri dalam lingkungan dengan

kebudayaan yang berbeda. Penelitian ini menegaskan bahwa dukungan

sosial dapat meningkatkan penyesuaian psikologis dengan memberikan

ketahanan terhadap dampak dari hidup yang penuh stres.

Hasil penelitian Rodriguez (2003, dalam Crockett dkk., 2007)

menyebutkan bahwa dukungan sosial sangat penting bagi proses

penyesuaian individu tersebut dengan budaya asing. Seperti orang tua,

teman dapat memberikan dukungan emosi, instrumen dan informasi.

Mereka (teman) selalu ada di dalam lingkungan kampus dan

mempunyai informasi yang lebih relevan mengenai lingkungan

sekitarnya daripada orang tua. Selanjutnya, pada penelitian ini juga

ditemukan bahwa dukungan emosi dari teman berhubungan dengan

penyesuaian sosial yang baik dan dukungan dari teman dapat

mengurangi stres mahasiswa akibat interaksi mereka dengan budaya

asing.

2.7 Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Stres Akulturatif

Salah satu sumber stres utama adalah kebutuhan atau tuntutan

untuk beradaptasi dengan kultur baru. Slavin dan Rainer (1990, dalam

39

Crockett et.al., 2007) menemukan hubungan signifikan yang berbeda

antara penyesuaian diri dan stres akulturatif pada wanita dan laki-laki

Latin Meksiko di Amerika.

Dalam suatu penelitian pada imigran Hispanik, terdapat

hubungan yang kuat antara stres yang terjadi dalam upaya untuk

adaptasi terhadap kultur dan lingkungan baru dengan kondisi distres

psikologis. Imigran wanita menunjukkan tingkat depresi yang lebih

tinggi dibandingkan dengan imigran pria (Salgado dkk,, 1990, dalam

Nevid dkk., 2005). Uppaluri et.at (2001, dalam Il Livingston et.al,

2007) mengatakan bahwa wanita imigran Karibia yang datang ke

Amerika lebih banyak menderita gejala depresi dan keluhan somatik

ketika melakukan adaptasi dengan kultur yang baru dibandingkan

dengan imigran laki-laki.

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan Caetano (1987, dalam

Nevid dkk., 2005) ditemukan bahwa wanita Hispanik-Amerika yang

tingkat akulturasinya tinggi menjadi peminum berat lebih besar

dibandingkan wanita Hispanik-Amerika yang tingkat akulturasinya

rendah. Dalam kultur Amerika latin, laki-laki cenderung minum

alkohol lebih banyak daripada wanita, hal ini disebabkan oleh adanya

larangan kultural berkaitan dengan jenis kelamin tentang pembatasan

penggunaan alkohol sebagai minuman pada wanita. Ketidak-leluasaan

ini melemah pada wanita Hispanik-Amerika yang mengadopsi nilai-

nilai dan sikap orang Amerika.

40

2.8 Model Penelitian

Berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu di atas, maka

penulis menyusun sebuah model atau kerangka berpikir sebagai

berikut:

2.9 Hipotesis

Berdasarkan analisis teori yang telah dikemukakan di atas, maka

dapat disusun hipotesis dalam penelitian ini, yaitu:

1. Ada pengaruh simultan antara hardiness dan dukungan sosial teman

terhadap stres akulturatif pada mahasiswa Papua laki-laki di

Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

2. Ada pengaruh simultan antara hardiness dan dukungan sosial teman

dengan stres akulturatif pada mahasiswa Papua perempuan di

Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

3. Ada perbedaan stres akulturatif ditinjau dari jenis kelamin.

Hardiness

Dukungan

Sosial

Teman

Stres

Akulturatif

Laki-laki Perempuan