22
BAB I PENDAHULUAN Bacterial vaginosis (BV) merupakan penyebab keputihan yang berbau amis pada wanita usia reproduktif. (1) Adapun penyebab pasti masih sulit dipahami, meskipun beberapa referensi menyatakan adanya interaksi yang kompleks antara berbagai komponen dari ekosistem mikroba vagina dan host. (1, 2) Bacterial vaginosis adalah peradangan pada vagina yang disebabkan oleh konsentrasi bakteri anaerob yang meningkat dibandingkan flora normal vagina. Flora normal vagina Lactobacilli digantikan oleh bakteri anaerob seperti Gardnerella vaginalis, Atopobium vaginae, bacterial vaginosis- associated bacteria, Megasphaera vaginalis, Mycoplasma hominis, Mobiluncus sp, Ureaplasma urealitycum, Prevotella, dan Peptostreptococcus sp. (1, 3) Patogenesis BV sampai saat ini masih belum diketahui secara jelas. Sekitar 50% wanita sehat ditemukan kolonisasi G. vaginalis dalam vagina dalam jumlah sedikit sehingga hal ini menunjukkan bahwa kuman tersebut termasuk flora normal dalam vagina. Dari beberapa hasil studi, ditemukan hubungan G. vaginalis dan bakteri lainnya menyebabkan BV. (4) Penemuan secara klinis pasien BV jarang didapatkan karena bersifat asimtomatik. (1) Tetapi, kasus BV 1

bacterial vaginosis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

referat bacterial vaginosis

Citation preview

Page 1: bacterial vaginosis

BAB I

PENDAHULUAN

Bacterial vaginosis (BV) merupakan penyebab keputihan yang berbau amis

pada wanita usia reproduktif.(1) Adapun penyebab pasti masih sulit dipahami,

meskipun beberapa referensi menyatakan adanya interaksi yang kompleks antara

berbagai komponen dari ekosistem mikroba vagina dan host.(1, 2)

Bacterial vaginosis adalah peradangan pada vagina yang disebabkan oleh

konsentrasi bakteri anaerob yang meningkat dibandingkan flora normal vagina.

Flora normal vagina Lactobacilli digantikan oleh bakteri anaerob seperti

Gardnerella vaginalis, Atopobium vaginae, bacterial vaginosis-associated

bacteria, Megasphaera vaginalis, Mycoplasma hominis, Mobiluncus sp,

Ureaplasma urealitycum, Prevotella, dan Peptostreptococcus sp.(1, 3)

Patogenesis BV sampai saat ini masih belum diketahui secara jelas. Sekitar

50% wanita sehat ditemukan kolonisasi G. vaginalis dalam vagina dalam jumlah

sedikit sehingga hal ini menunjukkan bahwa kuman tersebut termasuk flora

normal dalam vagina. Dari beberapa hasil studi, ditemukan hubungan G. vaginalis

dan bakteri lainnya menyebabkan BV.(4)

Penemuan secara klinis pasien BV jarang didapatkan karena bersifat

asimtomatik.(1) Tetapi, kasus BV meningkat seiring tingginya faktor risiko melalui

hubungan seks yang sering berganti pasangan, Human Papilloma Virus (HPV),

dan Human Immunodeficiency Virus (HIV). Bacterial vaginosis juga dikaitkan

akibat infeksi post operasi, kehamilan dengan kondisi ketuban pecah dini,

persalinan prematur, infeksi intra amnion, dan riwayat persalinan Berat Bayi Lahir

Rendah (BBLR).(1, 3, 5)

Faktor risiko terjadinya BV adalah pasangan seksual baru atau sering berganti

pasangan seksual, menjalin hubungan seksual pada usia muda, pemakaian

intrauterine devices (IUD), douching dan wanita yang merokok.(3-9)

Bacterial vaginosis biasa terjadi pada wanita usia reproduktif.(1, 3, 7, 8)

Sebanyak 16% wanita hamil di Amerika Serikat terkena penyakit BV. Bacterial

vaginosis juga sering didapatkan pada wanita berkulit hitam dibanding wanita

1

Page 2: bacterial vaginosis

berkulit putih, wanita homoseksual (lesbian) dan wanita yang merokok.(3, 5, 7, 8).

Prevalensi BV meningkat karena kurangnya skrining dan biasanya bersifat

asimptomatik.(7)

Bacterial vaginosis menunjukkan adanya faktor risiko pada kelahiran bayi

prematur semasa kehamilan. BV juga dikaitkan dengan faktor risiko pada

transmisi HIV. Penelitian juga menunjukkan bahwa BV memiliki faktor risiko

yang tinggi terjadinya neoplasia serviks intra epitelial. Beberapa penelitian

menghubungkan BV dengan demam pasca partum, komplikasi pasca operasi

ginekologi, dan infeksi pasca abortus.(4)

Sebanyak 75% kasus BV adalah asimptomatik dan kebanyakan penderita

datang dengan keluhan keputihan yang keluar dari vagina berbau amis dan

berwarna putih keabu-abuan, encer dan terdapat juga keluhan rasa gatal serta

nyeri.(2-4, 9, 10)

Dengan pengobatan metronidazole dan klindamisin memberi angka

kesembuhan yang tinggi (84-96%). Prognosis BV baik, dilaporkan perbaikan

spontan pada lebih sepertiga kasus. (14)

2

Page 3: bacterial vaginosis

BAB II

PENEGAKAN DIAGNOSIS

Sebanyak 75% kasus BV adalah asimptomatik dan kebanyakan penderita

datang adalah dengan keluhan keputihan yang berbau dan kelainan warna serta

tekstur keputihannya. Penyakit ini dicurigai pada wanita yang datang dengan

keluhan keputihan berbau amis (fishy odor). Bau lebih menusuk setelah

berhubungan seksual dan menyebabkan bau darah menstruasi berbau abnormal.

Iritasi daerah vagina atau sekitar vagina (gatal, rasa terbakar), nyeri abdomen,

dispareunia.(2-6)

Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesis gejala klinisnya, pemeriksaan

spekulum, kriteria “Amsel”, pemeriksaan penunjang dan mikroskopi.(3) Setiap

pemeriksaan dijelaskan seperti di bawah :

1. Gejala klinis

Penderita datang dengan keluhan keputihan yang keluar dari vagina berbau

amis dan berwarna putih keabu-abuan, encer dan terdapat juga keluhan rasa gatal

serta nyeri.(2-4, 9, 10)

2. Pemeriksaan spekulum

Pemeriksaan spekulum dilakukan pada wanita yang sudah menikah atau

pernah melakukan hubungan seksual dan pada pemeriksaan didapatkan keputihan

yang homogen, putih keabu-abuan atau kuning yang menempel pada dinding

vagina.(2-4)

3. Kriteria Amsel

Kriteria Amsel dipakai dalam bagian genitourinaria untuk mendiagnosa BV.

Kriteria ini dicetuskan oleh Gardner dan Dukes pada tahun 1955 dalam penemuan

mereka tentang “clue cells”, yang mendiskripsikan bahwa clue cells berupa sel-

sel epitelial yang di kelilingi oleh bakteri-bakteri kecil sehingga memberikan

gambaran batas yang tidak tegas.(1, 2, 7)

Kriteria Amsel, 3 dari 4 kriteria dapat didiagnosis(2-5, 7, 9, 11, 12) :

3

Page 4: bacterial vaginosis

a. pH cairan vagina >4,5

b. Bau amis pada penambahan alkali KOH 10 %

c. Cairan vagina berwarna putih homogen, encer ,putih, melekat pada dinding

vagina

d. Terdapat clue cells secara mikroskopik

Gambar 1. Gambaran clue cells pada pemeriksaan mikroskopi.

Dikutip dari Kepustakaan (7)

Pemeriksaan yang dilakukan untuk melihat sel-sel ini adalah “wet amount

examination”, satu tetes cairan saline di campurkan dengan sekret yang di smear

di objek glass dengan perbandingan 1:1 dan kemudian di periksa di bawah

mikroskop dengan pembesaran (800x) serta menggunakan minyak emersi.(2, 3)

Interpretasi kriteria Amsel bisa salah jika(3) :

a. Sekresi vagina diambil dari penderita yang baru melakukan coitus dan

douching.

b. Candida dan Trichomonas Vaginalis memberikan gambaran yang sama secara

klinisnya.

c. Reaksi KOH 10% positif dan pH vagina meningkat serta menjadi asam pada

keputihan yang bercampur dengan semen.

d. Keseimbangan pH vaginal bersifat asam ketika menstruasi.

4

Page 5: bacterial vaginosis

e. Interpretasi salah dari mikroskopi boleh terjadi karena debris dan degerasi sel

yang di salah anggap sebagai “clue cells”dan lactobacilli yang sedikit

jumlahnya pada vagina.

4. Pemeriksaan penunjang

a. Whiff test

Pemeriksaan bau. Cairan vagina diberi beberapa tetesan kalium hidroksida

(KOH), bau yang amis seperti bau ikan memberikan hasil positif.(3)

b. Pewarnaan Gram

Pemeriksaan ini adalah cara mudah untuk mengkonfirmasi BV. Pada vagina

yang normal jumlah lactobacilli banyak dan bentuknya adalah batang, Gram-

positif dan ujungnya yang tumpul. Gardnerella bersifat Gram-negatif, dan

berbentuk kokus. Pada BV didapatkan banyak bakteri Gram-negatif dan batang

kecil.(3)

Gambar 2. Gambar bakteri gram negatif Gardnerella vaginalispada pewarnaan gram

Dikutip dari Kepustakaan(12)c. Pemeriksaan kultur

Pemeriksaan ini jarang dilakukan karena kurang sensitivitas dan spesifitas

sehingga jarang digunakan untuk menegakkan diagnosa.(3)

d. Pemeriksaan lain

Pemeriksaan ini adalah pemeriksaan lanjutan jika diagnosanya masih

dicurigai, tes ini mendeteksi perubahan biokimia cairan vagina. Ada juga yang

menggunakan kertas pH untuk menilai keasaman cairanvagina karena tes

penunjang BV blue dan Fem Exam agak mahal biayanya.(3)

5

Page 6: bacterial vaginosis

Peralatan untuk test Fem Exam terdiri dari 2 kartu plastik. Kartu pertama

terdiri dari test untuk pH dan amina. Cairan vagina dari swab pertama (kapas) di

usapkan dibagian tes pH yang memicu reaksi kualitas colorimetric. Jika pH cairan

vagina 4,7 atau lebih, tanda plus biru muncul. Tanda minus muncul jika pH

kurang dari 4,7. Swab pertama tadi kemudian diusapkan lagi dibagian tes amina,

dalam waktu 2 menit reaksi colorimetric terjadi.(12) Sedangkan pada BV Blue

merupakan sebuah tes diagnostik yang didasarkan pada peninggian kadar enzim

sialidase dalam sampel cairan vagina.(11)

Gambar 3. A. BV Blue Test : Warna biru mengindikasikan VB blue test positif. Dikutip dari Kepustakaan(13)

Gambar 4. FemExam Test Card : Test 1 warna biru mengindikasikan BV positif, Test 2 warna pink mengindikasikan BV positif.

Dikutip dari Kepustakaan(13)

6

Page 7: bacterial vaginosis

Penyakit BV didiagnosa banding dengan candidiasis vulvovaginal dan

trichomoniasis vaginitis. Pada serviksitis, selalu adanya perdarahan akibat kontak

dan keputihan yang purulen. Candidiasis memberikan gambaran keputihan yang

lebih putih dan seperti keju serta ada gejala gatal. Pada trichomoniasis, untuk

kasus akut, terlihat sekret vagina seropurulen berwarna kekuningan-kuningan,

kuning hijau, berbau tidak enak (malodorous), dan berbusa. Dinding vagina

tampak kemerahan dan sembab. Kadang-kadang terbentuk abses kecil pada

dinding vagina dan serviks, yang tampak sebagai granulasi berwarna merah dan

dikenal sebagai strawberry appearance dan disertai gejala dispareunia,

perdarahan pasca coitus, dan perdarahan intermenstrual. Bila sekret banyak yang

keluar dapat timbul iritasi pada lipat paha atau di sekitar genitalia eksterna.

Sedangkan pada kasus yang kronik, gejala lebih ringan dan sekret vagina biasanya

tidak berbusa.(12)

7

Page 8: bacterial vaginosis

BAB III

PENATALAKSANAAN

3.1 Terapi topikal

a. Metronidazole gel intravagina (0,75%) 5 gram, 1 x sehari selama 5 hari.(2, 14)

b. Klindamisin krim (2%) 5 gram, 1 x sehari selama 7 hari digunakan sebelum

tidur malam, Klindamisin ovula 100mg 1xsehari selama 3 hari.(1, 2, 7, 14)

Sebuah studi acak membandingkan efektifitas klindamisin vagina ovula (100

mg sehari selama 3 hari) dengan klindamisin krim vagina (5 gram pada

waktu tidur selama 7 hari) untuk pengobatan BV. Tingkat kesembuhan

adalah serupa: 53,7% untuk kelompok ovula dan 47,8% untuk kelompok

krim.(1)

c. Tetrasiklin intravagina 100 mg, 1 x sehari. Sangat efektif mengobati

vaginosis bakterial, tetapi menginduksi kandidiasis vagina dan lesi ulseratif

vagina.

d. Krim sulfonamid tripel (Sulfacetamid 2,86%, sulfabenzamide 3,7%, dan

sulfathiazole 3,42%) digunakan secara luas setelah penemuan pertaama BV

oleh GARDNER dan DUKES tahun 1955.(5, 14) Cara pemakaiannya 1

aplikator penuh krim ke dalam vagina 2 x sehari selama 10 hari. (14)

Sulfonamid adalah turunan dari para-amino-benzene sulphonamide. Ia

bertindak dengan menghambat enzim sintetase asam dihidrofolik bakteri,

yang mengubah Para Aminobenzoat Acid (PABA) menjadi asam

dihidrofolik. Sel mamalia dan bakteri resisten tidak mensintesis asam folat

dan tidak terpengaruh. Sulfonamid adalah bakteriostatik dan sebagian diserap

dengan baik melalui oral. Sulfonamid didistribusikan melalui seluruh

jaringan tubuh, dimetabolisme dalam hati dan diekskresikan terutama oleh

ginjal.(15) Efek pengobatan ini mendapat tantangan setelah dilaporkan

kegagalan 86% oleh PFEIFER dkk pada tahun 1978. Penyembuhan dengan

krim ini berkisar antar 15-45%.(14)

3.2 Terapi sistemik

8

Page 9: bacterial vaginosis

a. Metronidazole dengan dosis 2 x 500 mg setiap hari selama 7 hari.(2, 5)

Memberi angka penyembuhan lebih dari 90%.(5) Pemberian

metronidazole pada pasangan laki-laki tidak dapat mencegah terjadinya BV

berulang.(2) Metronidazole adalah antiprotozoa nitroimidazole yang juga

memiliki aktivitas bakteri kuat terhadap bakteri anaerob, termasuk spesies

bakterioides dan klostridium. Metronidazole diindikasikan untuk terapi

infeksi anaerobik, vaginitis (infeksi tikomonas, bacterial vaginosis), kolitis,

dan abses otak.(15)

Pemberian Metronidazole pada wanita hamil tidak mengurangi

munculnya BV berulang, bahkan pada studi kasus metanalisis didapatkan

bahwa BV meningkatkan risiko bayi lahir prematur dan abortus. Pengobatan

antimikroba oral pada BV selama >7 hari pada awal masa kehamilan dapat

mengurangi risiko lahir prematur pada wanita dengan riwayat risiko BV.(2)

Metronidazole oral cepat diserap dan menembus semua jaringan melalui

difusi sederhana. Kadar intraselnya cepat mendekati kadar ekstrasel. Kadar

plasma puncak tercapai dalam 1-3 jam. Ikatan protein kedua obat ini rendah

(10-20%); waktu paruh obat yang tidak mengalami perubahan adalah 7,5 jam

untuk metronidazole dan 12-14 jam untuk tinidazole. Metronidazole dan

metabolitnya diekskresi terutama melalui urine. Bersihan metronidazole

dalam plasma menurun pada penderita gangguan fungsi hati.(15)

Gugus nitro dalam metronidazole direduksi secara kimiawi pada bakteri

anaerob dan protozoa yang sensitif. Produk reduksi yang reaktif tampaknya

berperan menimbulkan aktifitas antimikroba.(15)

Mual, muntah, nyeri kepala, mulut kering atau rasa logam di mulut umum

terjadi.(1, 17) Efek samping yang jarang terjadi meliputi muntah, diare,

insomnia, kelemahan, pusing, thrush, ruam, disuria, urine berwarna gelap,

vertigo, parastesia, dan neutropenia. Pemberian obat bersama makanan

menurunkan iritasi gastrointestinal. Metronidazole mempunyai efek yang

menyerupai disulfiram, sehingga dapat timbul mual dan muntah jika

mengkonsumsi alkohol selama terapi. Obat ini harus digunakan dengan hati-

hati pada penderita penyakit sistem saraf pusat.(15)

9

Page 10: bacterial vaginosis

Metronidazole dan metabolitnya bersifat mutagenik pada bakteri.

Pemberian metronidazole dosis besar jangka lama menyebabkan

tumorigenisitas pada mencit. Data mengenai teratogenisitas masih tidak

konsisten. Oleh sebab itu, metronidazole sebaiknya dihindari pada kehamilan

atau ibu menyusui, meskipun kelainan kongenital belum jelas terjadi akibat

penggunaannya pada manusia.(15)

b. Tinidazole merupakan antibiotik nitroimidazole dan agen antiprotozoa yang

dilaporkan pertama kali di Eropa, Asia, dan Amerika Latin sebagai

pengobatan BV. Tingkat keberhasilan pemberian Tinidazole 2 x 500 mg

selama 5 hari atau 2 x 1 g selama 7 hari memiliki efek yang setara dengan

pemberian Metronidazole 2 x 500 mg selama 7 hari.(1, 2, 5)

c. Klindamisin adalah agen antimikroba kedua untuk pengobatan BV. Ini adalah

antibiotik lincosamide, subkelas dari keluarga besar antibiotik macrolide,

memiliki berbagai jenis preparat, termasuk vagina (ovula dan krim) dan oral.(1)

Dosis yang digunakan yaitu : Klindamisin 300 mg oral 2x sehari selama 7

hari.(7, 14) Meskipun pengobatan intravagina tidak mengurangi kematian

perinatal, pengobatan dengan Klindamisin oral dapat mengurangi risiko

keguguran dan bayi lahir prematur bila diberikan pada awal masa kehamilan.

Penggunaan Klindamisin 500 mg oral 2x sehari selama 7 hari memberikan

efek yang sama dengan pemberian Metronidazole oral (500 mg, 2x sehari

selama 7 hari) atau Metronidazole topikal (0,75% gel 5 g, 1x sehari selama 7

hari.(1)

d. Augmentin (500 mg amoksisilin dan 125 mg asam klavulanat) 3 x sehari

selama 7 hari. Cukup efektif sebagai cadangan terapi untuk wanita hamil dan

intoleransi terhadap metronidazole.(14)

e. Ampisilin 500 mg, 4 x sehari selama 7 hari. Angka kesembuhan hanya

30-50%.(14)

f. Amoksisilin 500 mg 3 x sehari selama 7 hari.(14)

g. Tetrasiklin 250 mg, 4 x sehari selama 5 hari(14)

h. Doksisiklin 100 mg, 2 x sehari selama 7 hari.(14)

10

Page 11: bacterial vaginosis

i. Eritromisin 500 mg, 4 x sehari selama 7 hari. Meskipun in vitro sangat aktif

terhadap G. vaginalis dan kuman-kuman anaerob, ternyata tidak efektif untuk

BV.(4, 14)

j. Cefaleksin 500 mg, 4 x sehari selama 7 hari.(14)

k. Probiotik

Menurut World Health Association (WHO) dan Food and Drug

Administration (FDA), definisi dari Probiotik adalah mikroorganisme hidup

yang bila diberikan dalam jumlah tertentu dapat memberikan manfaat bagi

kesehatan tubuh. Mekanisme kerja probiotik bagi kesehatan tubuh masih

belum dapat dipahami dengan baik. Beberapa hipotesis mengenai mekanisme

kerjanya, yakni(1) :

(i) Sebagai contoh, Lactobacillus fermentum RC-14 dilaporkan dapat

menghasilkan biosurfaktan yang mengandung sejumlah kolagen yang

merupakan protein pengikat yang dapat menghambat ikatan benda asing

dan mengeluarkan benda asing dari sel epitel;

(ii) Probiotik dapat menghasilkan senyawa antimikroba yang menghambat

pertumbuhan mikroorganisme patogen;

(iii) Terapi probiotik dapat merangsang mukosa untuk meningkatkan sistem

kekebalan tubuh;

Mikroorganisme dengan sifat probiotik seperti L. rhamnosus GR-1, L.

rhamnosus Lcr 35, L. reuteri RC-14, dan L. crispatus CTV-05, yang digunakan

secara oral atau vagina terbukti dapat meningkatkan flora vagina dengan efek

samping minimal.(1)

Bukti bahwa menurunnya jumlah spesies Lactobacillus pada BV melahirkan

konsep tentang pemberian Lactobacillus untuk mengembalikan flora normal

vagina. Hasil studi acak membandingkan tingkat kesembuhan pemberian

probiotik vagina 1 x 2 kapsul intravagina yang berisi 109 L. rhamnosus GR-1 dan

109 L. reuteri RC-14 digunakan sebelum tidur selama 5 hari lebih efektif daripada

pengobatan Metronidazole gel intravagina 0,75% 2 x 1 selama 5 hari.(1)

Studi lain melaporkan bahwa pemberian kombinasi Metronidazole oral 2 x

500 mg selama 7 hari dan Probiotik oral 2 x 1 selama 30 hari (1 kapsul yang berisi

11

Page 12: bacterial vaginosis

109 L. rhamnosus GR-1 dan 109 L. reuteri RC-14) memberikan hasil yang lebih

baik dibandingkan hanya metronidazole. Selain itu, pemberian kombinasi

Tinidazole dosis tunggal 2 g dan Probiotik 1 x 2 kapsul yang berisi 109 L.

rhamnosus GR-1 dan 109 L. reuteri RC-14 setiap pagi selama 4 minggu

memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan hanya Tinidazole. Beberapa ahli

menyarankan pemberian probiotik sebagai profilaksis pada wanita sehat dengan

riwayat BV berulang.(1)

Adapun pengobatan Bacterial vaginosis menurut The United States Centers

for Disease Control, yakni(1) :

1. Penatalaksanaan yang direkomendasikan :

a. Metronidazole oral 500 mg 2x1 selama 7 hari

b. Metronidazole gel 0,75% (5 g) intravagina, 1x1 selama 5 hari

c. Klindamisin krim 2% (5 g) intravagina, 1x1 sebelum tidur selama 7 hari

2. Penatalaksanaan alternatif :

a. Tinidazole oral 2 g, 1x1 selama 2 hari

b. Tinidazole oral 1 g, 1x1 selama 5 hari

c. Klindamisin oral 300 mg, 2x1 selama 7 hari

d. Klindamisin ovula 100 mg intravagina, 1x1 sebelum tidur selama 3 hari

3. Penatalaksanaan pada wanita yang sedang hamil:

a. Metronidazole 500 mg, 2x1 selama 7 hari

b. Metronidazole 250 mg, 3x1 selama 7 hari

c. Klindamisin 300 mg, 2x1 selama 7 hari

4. Penatalaksanaan BV pada beberapa keadaan(7) :

a. Pasien alergi Metronidazole:

Klindamisin krim intravaginal

b. Penatalaksanaan infeksi rekuren:

1) Rejimen terapi

12

Page 13: bacterial vaginosis

Metronidazole 500 mg 2 x sehari selama 7 hari. Merupakan obat

yang paling efektif saat ini dengan kesembuhan 95%. Penderita

dinasehatkan untuk menghindari alkohol selama terapi dan 24 jam

sesudahnya.

2) Rejimen alternatif

Metronidazole oral 2 gram dosis tunggal. Kurang efektif bila

dibandingkan dengan rejimen 7 hari; angka kesembuhan 84%.

Metronidazole gel 0.75% intravaginal, aplikator penuh (5gr), 2 x

sehari untuk 5 hari.

Klindamisin krim 2% intravaginal, aplikator penuh (5 gr),

dipakai saat akan tidur untuk 7 hari atau 2 x sehari selama 5

hari.

Klindamisin 300 mg 2 x sehari untuk 7 hari.

Augmentin oral 3 x sehari selama 7 hari.

Sefaleksin 500 mg 4 x sehari selama 7 hari.

3) Terapi pasangan seksualnya untuk menurunkan angka rekurensi.

Jika cara ini tidak berhasil untuk BV rekuren, maka dilakukan

pengobatan selama seminggu sebelum permulaan menstruasi dan

begitupun pada menstruasi berikutnya, dengan pengobatan selama 3-

5 hari dengan metronidazol oral dan anti jamur yaitu clotrimazole

intravaginal atau flukonazole. Tujuannya adalah berusaha untuk

melindungi serangan BV atau kandida selama 3-6 bulan dengan

harapan bahwa hal ini akan memberikan suatu pemecahan terhadap

apapun yang dapat menjadi pencetus BV. Cara ini telah dapat

membantu beberapa perempuan tetapi tidak semuanya.(14)

DAFTAR PUSTAKA

1. Menard J-P. Antibacterial treatment of bacterial vaginosis: current and

emerging therapies. Int J Womens Health. 2011;3:295-300.

13

Page 14: bacterial vaginosis

2. Holmes K. Sexually Transmitted Diseases: Overview and Clinical

Approach. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL,

Jameson JL, editors. Harrison's Principles of Internal Medicine. 16 ed. USA:

McGraw Hill; 2005. p. 766-8.

3. Hay P. Bacterial Vaginosis. Journal of Pediatrics, Obstetrics and

Gynecology. 2002:36-9.

4. Judanarso J. Vaginosis Bakterial. In: Juanda A, editor. Ilmu Penyakit Kulit

dan Kelamin. 5 ed. Jakarta: FKUI; 2010. p. 386-91.

5. Mitchell H. Vaginal discharge-causes, diagnoses, and treatment. In: Adler

M, Cowan F, French P, Mitchell H, Richens J, editors. ABC of Sexually

Transmitted Infections. 5 ed. London: BMJ Publishing; 2004. p. 25-9.

6. Filho DSC, Diniz CG, Silva VLd. Bacterial vaginosis : clinical,

epidemiologic and microbiological features. HU Revista. 2010;36:223-30.

7. Garcia A, Madkan V, Tyring S. Gonorrhea and Other Veneral diseases. In:

Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,

editors. Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine. USA: McGraw

Hill; 2008. p. 1999-2000.

8. Turovskiy Y, Noll KS, Chikindas ML. The Etiology of Bacterial Vaginosis.

J Appl Microbiol. 2011:1-2.

9. McDonald H, Brocklehurst P, Gordon A. Antibiotics for Treating Bacterial

Vaginosis in Pregnancy (Review). Cochraine Database Syst Rev. 2007(1):1-

2.

10. Breathnach S, Smith C, Chalmers R, Hay R. Systemic Therapy. In: Burns T,

Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook's Textbook of

Dermatology. 8 ed. Cambridge: Wiley-Blackwell; 2010. p. 74.38-74.39.

11. Myziuk L, Romanowski B, Johnson SC. BVBlue Test for Diagnosis of

Bacterial Vaginosis. J Clin Microbiol. 2003;41:1925-7.

12. West B, Morison L, Loeff MSVD, Gooding E, Awasana AA, Demba E, et

al. Evaluation of a New Rapid Diagnostic Kit (FemExam) for Bacterial

Vaginosis in Patients With Vaginal Discharge Syndrome in The Gambia.

Sex Transm Dis. 2003:483-7.

14

Page 15: bacterial vaginosis

13. Khatoon R, Ahmad S, Jahan N. OSOM BV blue test: A new point-of-care

test for diagnosing bacterial vaginosis and its comparison with Gram

staining. AJMR. 2013;7:4103-6.

14. Rahmah S, Adriani A, Tabri F. Vaginosis bakterial. In: Amiruddin, editor.

Penyakit Menular Seksual. Jogjakarta: LKIS Pelangi Aksara; 2004. p. 147-

61.

15. Chambers H. Obat Antimikroba Lain: Disinfektan, Antiseptik, dan sterilan.

In: Katzung B, editor. Farmakologi Dasar dan Klinik. 10 ed. Jakarta: EGC;

2010. p. 846-86.

15