bioflock

Embed Size (px)

DESCRIPTION

budidaya ikan lele bioflock

Citation preview

  • PEMANFAATAN LIMBAH BUDIDAYA IKAN LELE (Clarias sp) SISTEM BIOFLOK UNTUK BUDIDAYA

    CACING SUTRA (Tubificidae)

    DEDI PARDIANSYAH

    SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR 2014

  • PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

    SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Pemanfaatan limbah

    budidaya ikan lele (Clarias sp) sistem bioflok untuk budidaya cacing sutra (Tubificidae) adalah benar karya saya denganarahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

    Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

    Pertanian Bogor. Bogor, Oktober 2014

    Dedi Pardiansyah

    NIM C151120321

  • RINGKASAN DEDI PARDIANSYAH. Pemanfaatan limbah budidaya ikan lele (Clarias sp) sistem bioflok untuk budidaya cacing sutra (Tubificidae). Dibimbing oleh EDDY SUPRIYONO dan DJOKOSETIYANTO.

    Intensifikasi budidaya ikan lele membawa implikasi penggunaan pakan

    buatan kaya protein yang semakin banyak untuk mendukung pertumbuhan ikan yang semakin besar. Limbah yang dihasilkan oleh sistem budidaya tersebut juga akan semakin tinggi. Proses konversi senyawaan nitrogen yang berlangsung lebih cepat adalah proses heterotrofik, bakteri heterotroph dapat mengubah senyawaan amoniak menjadi biomassa bakteri sebagai sumber protein dengan penambahan karbon organik.pemanfaatan limbah lele dengan sistem intensif melalui teknologi bioflok dapat dilakuakan dengan budidaya cacing sutra.

    Cacing sutra merupakan salah satu jenis pakan alami ikan budidaya yang potensial untuk dikembangkan karena memiliki kandungan nutrien yang cukup tinggi (52-57 % protein). Saat ini pemenuhan kebutuhan cacing sutra hanya mengandalkan dari hasil tangkapan alam, dimana hasil tangkapan ini belum mencukupi kebutuhan dari permintaan. Hasil tangkapan alam tidak memiliki jaminan kualitas, karena cacing sutra dapat menjadi pembawa agen penyakit yang dapat menyebabkan kematian pada benih ikan.

    Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan dan 2 ulangan, yaitu A = pemberian limbah lele system intensif, B = pemberian limbah lele sistem bioflok, C = penambahan bahan organik berupa fermentasi kotoran ayam diawal serta D = penambahan bahan organik berupa fermentasi kotoran ayam diawal dan penambahan kotoran ayam fermentasi 5 hari sekali.

    Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hasil budidaya cacing sutra dengan memanfaatkan limbah budidaya lele sistem bioflok. Wadah pemeliharaan berupa bak plastik berukuran 1 x 0,5 x 0,15 m3, dengan padat tebar2 mg/cm2. Substrat yang digunakan berasal dari lumpur kolam, air dari media budidaya ikan dialirkan ke wadah pemeliharaan cacing sutra (Tubificidae) menggunakan sistem resirkulasi dengan debit air 0,05 ml detik-1.

    Parameter yang diamati adalah TOM dan rasio C/N pada sedimen serta kualitas air terutama TSS dan VSS pada air. Hasil menunjukkan bahwa nilai TOM pada sedimen meningkat akibat penambahan bahan organik yang berasal dari limbah lele, dan rasio C/N terendah pada perlakuan pemanfaatan limbah lele sistem bioflok dengan nilai rasio C/N 6-9. Demikian pula pemanfaatan nilai TSS dan VSS oleh cacing sutra terbesar yaitu pada perlakuan pemanfaatan limbah lele sistem bioflok dengan pemanfaatan sebesar 23-28 % untuk nilai TSS dan 20-23% pada VSS.

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi bobot biomassa tertinggi pada perlakuan pemanfaatan limbah lele sistem bioflok untuk lama pemeliharaan 60 hari dengan pertumbuhan berat sebesar 2.0 kg m-2 dan penambahan jumlah individu untuk lama pemeliharaan 70 hari dengan penambahan jumlah individu sebesar 601.630 ribu m-2.

    Kata kunci : Bioflok , cacing sutra , iken lele, limbah lele.

  • SUMMARY DEDI PARDIANSYAH. Catfish (Clarias sp) cultivation waste utilization bioflok system for the cultivation of silk worms (Tubificidae). Under direction of EDDY SUPRIYONO dan DJOKOSETIYANTO.

    Catfish farming intensification implications of protein-rich feed use

    growing to support the fish growth which gettinghigher. Waste the resulting by the culture system will be large. The process of conversion of nitrogen that goes faster is a heterotrophic process, heterotrophic bacteria can convert ammonia compounds into bacterial biomass as a source of protein with the addition of organic carbon. catfish waste utilization with intensive systems through technology bioflocs can be done by utilizing the tubifex tubifex.

    Tubifex tubifex is one kind of natural feed the cultured fish have the potential to be developed because the nutrient content is quite high (52-57% protein). Currently to meet of tubifex tubifex is only depend on the natural catchment result, where it is insufficient from the demand. Nature catches have quality assurance, because tubifex tubifex can be carriers of disease agents that can cause death in fish seed.

    This study used a completely randomized design with 4 treatments and 2 replications, the treatment of A = granting sewage catfish intensive system, B = granting sewage catfish bioflocs system, C = the addition of organic matter in the form of fermented chicken manure at the beginning and D = the addition of organic matter in the form of fermented chicken manure at the beginning and the addition of chicken manure fermentation 5 days.

    This study aims to analyze the results of the cultivation of silk worms by utilizing waste bioflok catfish cultivation systems. Maintenance of a plastic tub container measuring 1 x 0.5 x 0.15 m3, by density 2 mg m-2. Use substrat from pond mud, water from fish culture media flowed into the container maintenance silk worms (Tubificidae) using a recirculation system with water flow of 0.05 ml sec-1.

    Parameters measured were TOM and C/N ratio in sediment and water quality, especially TSS and VSS in the water. The results showed that increasing the value of TOM in the sediments a result the addition of organic matter derived from catfish waste, and C/N ratio on treatment B with the lowest value of C/N ratio of 6-9. utilization of TSS and VSS values by the largest tubifex tubifex in treatment B with a utilization rate of 23-28% to 20-23% in TSS and VSS.

    The results showed that the highest biomass production weight on long maintenance treatment B for 60 days with a heavy growth of 2.0 kg m-2 and the increase in the number of individuals for long maintenance 70 days with the addition of the number of individuals amounted to 601 630 thousand m-2.

    Keywords: biofloc , Catfish, tubifex tubifex, waste catfish.

  • Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

    Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

    Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

    atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

    penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

    tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

    IPB

    Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

    dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

  • Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

    Magister Sains pada

    Program Studi Ilmu Akuakultur

    PEMANFAATAN LIMBAH BUDIDAYA IKAN LELE (Clarias sp) SISTEM BIOFLOK UNTUK BUDIDAYA

    CACING SUTRA (Tubificidae)

    SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR 2014

    DEDI PARDIANSYAH

  • Penguji Luar Komisi Pada Ujian Thesis : Dr Ir Kukuh Nirmala, MSc

  • Judul Tesis : Pemanfaatan Limbah Budidaya Ikan Lele (Clarias sp) Sistem Bioflok Untuk Budidaya Cacing Sutra (Tubificidae)

    Nama : Dedi Pardiansyah NIM : C151120321

    Disetujui oleh

    Komisi Pembimbing Dr Ir Eddy Supriyono, MSc

    Ketua Prof Dr Ir Daniel Djokosetiyanto, DEA

    Anggota

    Diketahui oleh Ketua Program Studi Ilmu Akuakultur

    Dr Ir Widanarni, MSi

    Dekan Sekolah Pascasarjana Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

    Tanggal Ujian: 30 September 2014

    Tanggal Lulus:

  • PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa taala atas

    segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2014 ini adalah Pemanfaatan limbah budidaya ikan lele sistem bioflok untuk budidaya cacing sutra (Tubificidae).

    Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr Ir Eddy Supriyono,MSc dan Bapak Prof Dr Ir D Djokosetianto

    DEA. selaku tim komisi pembimbing atas arahan, bimbingan dan masukan-masukannya sejak penyusunan rencana penelitian sampai penyusunan tesis ini.

    2. Dr Ir Kukuh Nirmala, MSc. selaku penguji luar komisi, atas arahan dan masukan untuk perbaikan dalam penyusunan tesis ini.

    3. Istri dan anakku tercinta, serta saudara-saudaraku atas doa, semangat serta dukungan yang tak pernah surut selamaini.

    4. Teknisi Laboratorium BDP IPB ; Bapak Ranta (Lab Kesehatan Ikan FPIK IPB), Bapak Jajang (Lab Lingkungan FPIK IPB), Bapak Wasjan dan mbak Retno (Lab Nutrisi FPIK IPB) yang telah membantu penulis selama melakukan analisa laboratorium.

    5. Semua Rekan-rekan mahasiswa Program Mayor Ilmu Akuakultur angkatan 2012 atas kebersamaan dan kerjasama yang baik serta bantuannya dalam perkuliahan, penelitian dan penyelesaian karya ilmiah ini.

    Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

    Bogor, Oktober 2014

    Dedi Pardiansyah

  • DAFTAR ISI

    DAFTAR TABEL vi

    DAFTAR GAMBAR vi

    DAFTAR LAMPIRAN vi

    1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 3 Tujuan Penelitian 3 Hipotesis 3 Manfaat Penelitian 3

    2 METODE 3 Waktu dan Tempat 3 Rancangan Penelitian 4 Pengamatan 5

    3 HASIL DAN PEMBAHASAN 7 Hasil 7 Pembahasan 13

    4 SIMPULAN DAN SARAN 16 Simpulan 16 Saran 16

    DAFTAR PUSTAKA 16

    LAMPIRAN 19

    RIWAYAT HIDUP 24

  • DAFTAR TABEL

    1. Hasil uji proksimat molase pada budidaya dengan sistem BFT 4 2. Parameter kualitas air lele 6 3. Parameter kualitas air cacing sutra 8 4. Pengukuran nilai TSS pada wadah budidaya cacing sutra 8 5. Pemanfaatan TSS oleh cacing sutra 9 6. Pengukuran nilai VSS pada wadah budidaya cacing sutra 9 7. Pemanfaatan VSS oleh cacing sutra 9 8. Produksi Biomasa dan Jumlah Individu Cacing Sutra 12

    DAFTAR GAMBAR

    1 Total Suspended Solid pada wadah budidaya ikan lele 7 2 Volatile Suspended Solid pada wadah budidaya ikan lele .................. 7 3 Total Oraganic Matter (TOM) pada wadah pemeliharaan cacing sutra 10 4. Pengamatan nilai TOM pada media tumbuh cacing sutra 10 5. Pengamatan rasio C/N pada media tumbuh cacing sutra 11 6. Penambahan jumlah individu cacing sutra 11 7. Pertumbuhan bobot biomassa cacing sutra 12

    DAFTAR LAMPIRAN

    1 Prosedur penambahan sumber karbon 19 2 Hasil pengamatan laju pertumbuhan jumlah inividu cacing sutra 20 3 Anova pertumbuhan jumlah individu hari ke-60 20 4 Anova pertumbuhan jumlah individu hari ke-70 20 5 Hasil perhitungan laju pertumbuhan bobot biomassa cacing sutra 21 6 Anova pertumbuhan bobot biomassa hari ke-60 21 7 Anova pertumbuhan bobot biomassa hari ke-70 21 8 Dokumentasi selama penelitian 22

  • 1 PENDAHULUAN

    Latar Belakang

    Kegiatan budidaya perikanan sistem intensif meliputi penerapan kepadatan yang tinggi, penggunaan jumlah pakan yang tinggi, penambahan aerasi, serta penggantian air secara berkala dalam jumlah besar. Sistem budidaya seperti ini akan menghasilkan total beban limbah pakan yang lebih banyak daripada yang teretensi menjadi daging ikan. Tingginya input pakan pada budidaya secara intensif mengakibatkan semakin tinggi pula akumulasi limbah N dalam media budidayabahkan dapat merugikan (Avnimelech 1999). Intensifikasi budidaya ikan lele membawa implikasi penggunaan pakan buatan kaya protein yang semakin banyak untuk mendukung pertumbuhan ikan yang semakin besar. Limbah yang dihasilkan oleh sistem budidaya tersebut juga akan semakin tinggi (Gunadi 2012). Limbah budidaya secara intensif berasal dari akumulasi residu organik yang berasal dari pakan yang tidak termakan, ekskresi amoniak, feses, dan partikel-partikel pakan (Avnimelech et al. 1994).

    Proses konversi senyawa nitrogen yang berlangsung lebih cepat adalah proses heterotrofik, bakteri heterotrofik dapat mengubah senyawa amoniak menjadi biomassa bakteri sebagai sumber protein. Nitrogen yang dihasilkan akan mengalami proses secara biologi oleh bakteri heterotrofik yang menyerap amonium menjadi biomasa bakteri dengan adanya bahan organik (Gunadi 2012).

    Memanfaatkan sistem heterotrofik yang merupakan salah satu teknologi yang bertujuan untuk memperbaikikualitas air dan meningkatkan efisiensi pemanfaatan nutrient yang dikenal dengan budidaya sistem Bioflok (bioflocs technology). Teknologi ini didasarkan pada konversi nitrogen anorganik terutama amoniak oleh bakteri heterotrof menjadi biomassa mikroba yang kemudian dapat dikonsumsi oleh organisme budidaya (Crab et al. 2007; Ekasari 2009).Selain itu bioflok juga dapat menyediakanpakantambahan berprotein karena bioflok dilakukan dengan menambahkan sumber karbon organik ke dalam media budidaya untuk merangsang pertumbuhan bakteri heterotrof dan meningkatkan rasio C/N (Crab et al. 2007).

    Angka kenaikan produksi ikan lele secara intensif dari tahun 2007-2011 adalah 39,50% dan angka kenaikan produksi ikan lele dari tahun 2010-2011 adalah 39,03% (KKP 2012). Berdasarkan data tersebut, angka produksi nasional ikan lele per tahun masih diharapkan untuk bertambah hingga 2014ini, belum ditambah dengan produksi jenis ikan tawar lainnya. Untuk dapat memenuhi target tersebut maka dibutuhkan cacing sutra sebagai pakan alami untuk benih lele. Pembenihan ikan lele dengan produksi 200.000-250.000 ekor harus menyediakan 1-2 liter cacing sutra setiap harinya.Kebutuhan cacing sutra pada pembenihan lele juga meningkat seiring bertambahnya umur benih lele (Adlan 2014).

    KKP (2014) mengatakan konsep blue economy mengajarkan bagaimana menciptakan produk nir-limbah (zero waste). Budidaya sistem bioflok mampu memperbaiki kualitas air budidaya ikan, namun pemanfaatan bioflok yang telah terbentuk belum banyak dilakukan dan belum memberikan hasil yang maksimal. Untuk memenuhi konsep blue economy maka limbah budidaya sistem intensif dan sistem bioflok akan dimanfaatkan untuk budidaya cacing sutra. Beberapa

  • 2

    komoditas seperti ikan segar, udang, maupun rumput laut dengan mengedepankan inovasi dapat dihasilkan berbagai produk turunan yang bernilai tambah baik untuk kepentingan konsumsi atau pangan, kesehatan, kosmetik atau yang lainnya (KKP 2014).

    Untuk menbantu mensukseskan konsep blue economy yang digalakkan KKP maka perlu dilakukan penelitian tentang pemanfaatan limbah budidaya ikan sistem intensif. Pada penelitian lain pemanfaatan limbah lele dengan sistem intensif melalui teknologi bioflok sudah dilakukan untuk kelompok ikan yang tergolong filter fidder seperti ikan nila (Gunadi 2012) dan oleh udang galah (Rohmana 2009). dan belum ada yang melakukannnya dengan memanfaat cacing sutra yang sangat baik dalam memanfaatkan limbah organik.

    Cacing sutra merupakan salah satu jenis pakan alami ikan budidaya yang potensial untuk dikembangkan. Kandungan nutrien cacing ini cukup tinggi, yaitu sekitar 52,49% protein dan 13% lemak (DKP 2010). Kandungan nutrien cacing yaitu protein (57%),lemak (13,3%), serat kasar (2,04%), kadarabu (3,6%) (Bintaryanto 2013). Cacing sutra baik untuk pertumbuhan benih ikan (Subandiah et al. 2003; Juhariyah 2005; Priyadi 2010).Selain mengandung nutrien yang tinggi dan disukai ikan, cacing sutra memiliki harga jual yang cukup tinggi, harga dipasaran mencapai Rp. 20.000Rp. 40.000 liter-1.

    Saat ini kebutuhan akan cacing sutra hanya mengandalkan hasil tangkapan alam yang tidak dapat dipastikan kualitasnya dandapat menjadi agen pembawa penyakit. Keberadaan cacing sutra di alam tidaklah tersedia sepanjang tahun, khususnya pada musim penghujan dimana kegiatan pembenihan banyak dilakukan (DKP 2010). Kebanyakan cacing sutra ditemukan pada bahan-bahan organik dan perairan dengan polusi tinggi, karena pada umumnya cacing sutra dapat beradaptasi pada oksigen rendah. Cacing sutra mempunyai habitat lingkungan dengan konduktifitas tinggi, kedalaman rendah, sedimen liat-berpasir atau liat-berlumpur, kecepatan arusrendah, dan jumlah yang berubah-ubah dari bahan organik (Marian dan Pandian 1989).

    Cacing sutra yang berasal dari tangkapan alam tiadak memiliki jaminan kualitas dimana semakain banyak kandungan bahan tercemar di alam maka akan semakin banyak juga bahan tercemar tersebut terakumulasi didalam tubih cacing.Semakin banyak kandungan logam berat pada suatu perairan semakin tinggi pula kandungan logam berat tersebut di dalam tubuh cacing sutra (Santoso dan Hernayanti 2004). Cacing sutra diteliti oleh beberapa peneliti untuk mencegah penyebaran penyakit yang disebabkan Myxobolus cerebral (Kerans 2005; Hendrick 2008).

    Salah satu cara peningkatan produksi cacing sutra adalah dengan membudidayakannya (DKP 2010). Penelitian tentang budidaya cacing sutra di Indonesia dilakukan oleh beberapa peneliti berikut ini; Kasiorek (1974) meneliti tentangjenis makanan, Marian dan Pandian (1989) meneliti tentang kualitas media, Chumaidi dan Suprapto (1986) meneliti tentang kualitas media,Fiastri dan Zainudin (1987) meneliti tentang aliran air (Djokosetianto 1991), namun sampai saat ini belum diperoleh hasil yang maksimal untuk sampai tarafkomersial karena produktivitasnya masih rendah, baru mencapai 0,6 kg/m2 (Findy 2011) dan 2 kg/m2 (Febriyani 2012) sedangkan kemampuan alam diperkirakan mencapai 2,5 kg/m2.

  • 3

    Berdasarkan uraian di atas, penelitian tentang pemanfaatan limbah budidaya ikan sistem bioflok masih terfokus pada kelompok ikan yang tergolong filter fidder. Untuk itu dilakukan evaluasi pemanfaatan limbah budidaya ikan lele sistem bioflok oleh cacing sutra.

    Pada penelitian ini limbah N yang dihasilkan oleh ikan lele akan dikonversi menjadi mikroba yakni bakteri dan alga (bioflok) untuk kemudiandimanfaatkan oleh cacing sutra(Tubifex sp).

    Perumusan Masalah

    Bahan organik merupakan faktor terpenting dalam budidaya cacing sutra. Limbah lele yang dibudidaya dengan system bioflok mengandung bahan organik yang dapat di manfaatkan untuk budidaya cacing sutra. Pemanfaatan bahan organik limbah lele oleh cacing sutra diharapkan mampu memperbaiki kualitas lingkungan budidaya lele dan meningkatkan pertumbuhan cacing sutra.

    Tujuan Penelitian

    Tujuan penelitian ini adalah menganalisa penggunaan limbah budidaya ikan lele sistem bioflok terhadap kualitas media dan pertumbuhan cacing sutra.

    Hipotesis

    Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian seperti tersebut diatas maka hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut: Jika pemberian bahan organik berupa bioflok dari limbah lele dapat meningkatkan kualitas media cacing sutra, maka akan memingkankan pertumbuhan dan hasil panen cacing sutra.

    Manfaat Penelitian

    Manfaat dari penelitian ini adalah merekomendaikan teknik budidaya cacing

    sutra dengan memanfaatkan limbah budidaya sistem bioflok.

    2 METODE

    Waktu dan Tempat Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Juni

    2014 di LaboratoriumLingkungan, DepartemenBudidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

  • 4

    Rancangan Penelitian

    Penelitian ini dirancang dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 2 ulangan,yaitu : Perlakuan A = Pemberian limbah lele sistem intensif, Perlakuan B = Pemberian limbah lele sistem bioflok. Perlakuan C = Penambahan bahan organik berupa fermentasi kotoran ayam

    diawal. Perlakuan D = Penambahan bahan organik berupa fermentasi kotoran ayam

    diawal dan penambahan kotoran ayam 5 hari sekali. Penambahan jumlah individu dan berat biomasa yang diperoleh dianalisa

    dengan menggunakan one way analysis of variance dengan selang kepercayaan 95%. Untuk melihat perbedaan perlakuanmakadilanjutkan dengan menggunakan uji BNT. Sedangkan kondisi sedimen dan kualitas air dianalisis secara deskriptif.

    Tahapan Penelitian

    Penyediaan Bahan Organik Penyediaan bahan organik berupa limbah lele dilakukan pada bak plastik

    berukuran 2 m x 1mx 0,6 m dengan volume 800 l. Wadah dibersihkan dan dilakukan proses sterilisasi dengan menggunakan kaporit dosis 100 mg l-1 dan dibiarkan selama 3 hari sebelum digunakan (Gunadi 2012). Padat tebar 100 ekor m-2 dengan rata-rata biomass 5 g ekor-1.

    Pemberian pakan dilakukan sebanyak 3 kali berdasarkan pada biomassa dan persentase pakan bobot dari ikan. Pakan yang digunakan adalah pakan komersil dengan kandungan protein 30-32%. Penambahan sumber karbon eksternal (molase) dilakukansecara langsung ke dalam wadah pemeliharaan ikan dan diberikan sebanyak 1 kali dalam sehari dengan waktu 2 jam setelah pemberian pakan pagi.

    Prosedur Penambahan Sumber Karbon Eksternal

    Ikan hanya memanfaatkan 22,2% nitrogen dalam pakan sedangkan sisanya diekskresi berupa NH4

    + atau N organik yang terdapat dalam feses dan residu pakan (Ebeling et al. 2006). Efisiensi konversi mikroba diasumsikan 40-60%, sehingga jumlah nitrogen yang terbuang dalam perairan dapat dihitung berdasarkan jumlah pakan, kandungan % N dalam pakan serta % N yang di ekskresi. Jumlah karbon yangharus ditambahkan untuk mendukung proses pertumbuhan bakteri dihitung dengan rumus (Avnimelech 1999) sebagai berikut :

    (Pakan x % N Pakan x % N Ekskresi) x [C/N] mic

    CH = % C x E

    Keterangan : CH : Jumlah karbon yang harus ditambahkan %N pakan : Kandungan nitrogen dalam pakan %N ekskresi : Kandungan nitrogen yang dibuang oleh ikan atau udang [C/N]mic : C/N rasio bakteri

  • 5

    %C :Kandungan karbon dalam pakan dan sumber karbon tambahan E : Efisiensi konversi mikroba.

    Sumber karbon yang digunakan sebagai perlakuan terlebih dahulu dilakukan uji proksimat. Hasil dari uji proksimat dari sumber karbon dapat dilihat pada Tabel 1 (Azhar 2013)

    Tabel 1 Hasil uji proksimat molase pada budidaya dengan sistem BFT

    Kode Kadar Kadar Protein Lemak Karbohidrat BETN Sampel Air (%) Abu (%) (%) (%) serat kasar (%) Molase 31,89 5,88 3,79 0,35 0,00 58,09

    Uji C organik pada sumber karbonyang digunakan sebagai perlakuan

    dilakukan dengan menggunakan metode Walkley dan Black (1934). Hasil dari uji kandungan C organik yang terdapat dalam molase yang digunakan sebagai perlakuan sebesar 58,09 % (Azhar 2013). Sedangkan untuk kotoran ayam fermentasi, dilakuakan proses fermentasi pupuk menggunakan EM4 sebagai aktivator fermentasi, gula pasir dan air. Proses ini diawali dengan pembuatan larutan aktivator sebagai berikut : - Sebanyak 3,75 g gula pasir dan 4 ml EM4 dimasukkan kedalam 300 ml air - Campuran tersebut dicampurkan pada 10 kg kotoran ayam dan diaduk secara

    merata - kotoran ayam yang telah diberi campuran aktivator tersebut di bungkus dalam

    plastik untuk proses fermentasi selama 5 hari Fermentasi merupakan proses pemecahan senyawa organik menjadi

    senyawa yang sederhanamelibatkan mikroorganisme atau segala macam metabolisme (enzim, jasad renik secara oksidasi, reduksi, hidrolisa atau reaksi kimia lainnya) melakukan perubahan kimia pada suatu substrat organik dengan menghasilkan produk akhir (Pujaningsih 2005).

    Budidaya Cacing Sutra

    Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan wadah berupa bak plastikdengan ukuran panjang 100 cm dan lebar 50 cm, dengan kedalaman 15 cm. Lapisan dasar wadah diberi lumpur kolam sedalam 3 cm dengan ketinggian air 2 cm. Cacing sutra diperoleh dari para pengumpul,kemudian cacing sutra dibersihkandan ditimbang sesuai dengan perlakuansebelum ditebar secara merata ke media budidaya.Padat tebar yang akan digunakan adalah 1,5 mg cm-2 (Findy 2011). Pemberian bahan organik dilakukan bersamaan dengan aliran air yang diperoleh dari limbah buangan budidaya ikan lele.Aliran air yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem resirkulasi dengan debit air 0,05 l detik-1. Air yang berasal dari wadah budidaya lele dialirkan ke wadah budidaya cacing dan kemudian kembali lagi kedalam wadah budidaya lele. Sampling dilakukan setiap 10 hari sekali dengan cara memasukkan pipa paralon berdiameter 3 cm ke dalam substrat sampai ke dasarwadah pada bagian inlet, tengah, dan outlet wadah. Cacing dipisahkan dari subtrat dengan caramengambil sedikit demi sedikit substratkemudian ditaruh pada kaca arloji untuk mempermudah mengambil cacing yang berada di substrat tersebut. Cacing yang diperoleh dihitung,

  • 6

    kemudian dibilas dengan airyang telah disiapkan, setelah semua cacing diambil kemudian dikeringkan dengan tisu dan ditimbang sekaligus.

    Pengamatan Kualitas air budidaya lele

    Pengamatan parameter kualitas air cacing sutra yang diukur antara lain: - Suhu diukur dengan thermometer air raksa - Oksigen terlarut (DO) diukur dengan menggunakan DO-meter - pH diukur dengan menggunakan pH-meter - TSS dan VSS - Amoniak - TAN - Nitrit - Nitrat

    Pengamatan kualitas air dilakukan setiap 10 hari sekali, pengukuran dilakukan dengan prosedur sesuai APHA (2005).

    Sedimen

    Pengamatan sedimen meliputi, TOM (Total Organic Matter) dan rasio C/N, pengukuran dilakukan dengan prosedur sesuai APHA (2005).

    Kualitas air cacing sutra

    Pengamatan parameter kualitas air cacing sutra yang diukur antara lain: - Suhu diukur dengan termometer air raksa - Oksigen terlarut (DO) diukur dengan menggunakan DO-meter - pH diukur dengan menggunakan pH-meter - TOM (Total Organic Matter) - Amoniak - TAN - Nitrit - Nitrat

    Pengamatan kualitas air dilakukan setiap 10 hari sekali setelah sampling, pengukuran dilakukan dengan prosedur sesuai APHA (2005).

    Penambahan Jumlah Individu cacing sutra

    Penambahan jumlah individu dihitung secara langsung dengan mengambil sampel secara acak pada masing-masing perlakuan dan ulangan seperti yang dijelaskan pada prosedur kerja. Jumlah individu cacing sutra yang diperoleh kemudian di konversi ke luasan m2.

    Bobot Biomasa cacing sutra

    Bobot biomasa dihitung dengan cara mencari selisih antar bobot biomasa akhir dikurangi dengan bobot biomassa awal. bobot biomassa diperoleh dengan cara menimbang sample yang diperoleh, kemudian dihitung berat rata-ratanya. Nilai berat rata-rata ini dikalikan dengan jumlah indivu cacing sutra sehingga diperoleh nilai bobot biomassa.

  • 7

    3 HASIL DAN PEMBAHASAN

    Hasil

    Profil Kualitas Air Lele Hasil pengukuran TAN, nitrit, nitrat dan amonia selama penelitian dapat

    dilihat pada Tabel 2 di bawah ini.

    Tabel 2 Parameter kualitas air berupa DO, pH, suhu TAN, nitrit, nitrat dan amonia

    Perlakuan

    Kualitas air DO (mg l-1)

    pH Suhu (oC)

    TAN (mg l-1)

    Nitrit (mg l-1)

    Nitrat (mg l-1)

    Amonia (mg l-1)

    Intensif 4,7-7,1 7,2-7,8 27-28,3 1,4-2,0 0,71-0,82 0,2-0,73 0,02-0,11 Bioflok 4,8-6,7 7,3-7,8 27,1-28,3 1,7-2,6 0,37-0,52 0,2-0,42 0,02-0,07

    Hasil pengukuran menunjukkan nilai kualitas air pada semua perlakuan masih dalam kondisi optimal yang digunakan dalam budidaya ikan lele.

    TSS dan VSS

    Hasil dari pengukuran TSS (Total Suspended Solid) pada media pemeliharaan ikan lele dilakukan setiap sepuluh hari dapat dilihat pada Gambar 1.

    Gambar 1 Total Suspended Solid (TSS) pada wadah pemeliharaanikan lele

    Hasil dari pengukuran TSS diperoleh bahwa nilai TSS meningkat pada hari

    ke-10 pada perlakuan A dan terus meningkat hingga hari ke-20 pada perlakuan B. nilai TSS pada perlakuan A dan B berfluktuatif dan cenderung stabil hingga akhir penelitian. Hasil dari pengukuran VSS (Volatile Suspended Solid) pada media pemeliharaan ikan lele dilakukan setiap sepuluh hari dapat dilihat pada Gambar 2.

    0

    50

    100

    150

    200

    250

    300

    , 10, 20, 30, 40,

    TSS

    (m

    g l-1

    )

    Waktu (hari)

    Limbah lele sistem Intensif Limbah lele sistem bioflok

  • 8

    Gambar 2 Volatile Suspended Solid (VSS) pada wadah pemeliharaan ikan lele

    Nilai VSS (Volatile Suspended Solid) yang diperoleh selama masa

    pemeliharaan menunjukkan nilai konsentrasi fluktuatif dan cenderung stabil hingga akhir pemeliharaan.

    Profil Kualitas Air Cacing Sutra

    Hasil pengukuran parameter kualitas air yang dilakukan setiap 10 hari sekali setelah sampling pada media pemeliharaan cacing sutra selama masa pemeliharaan berupa suhu, DO, pH, TAN, nitrit, nitrat dan amonia selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini.

    Tabel 3 Parameter kualitas air berupa DO, pH, suhu TAN, nitrit, nitrat dan amonia

    Perlakuan (limbah

    budidaya)

    Kualitas air DO

    (mg/l) Ph

    Suhu (oC)

    TAN (mg/l)

    Nitrit (mg/l)

    Nitrat (mg/l)

    Amonia (mg/l)

    Intensif 4,7-7,2 6,6-7,9 27,0-28,3 1,7-2,6 0,71-0,82 0,2-0,72 0,03-0,08 Bioflok 4,8-7,0 6,4-7,9 27,0-28,4 1,4-2,0 0,37-0,52 0,2-0,42 0,03-0,08 Fermentasi 4,2-7,2 7,5-8,4 27,2-28,4 0,6-3,1 0,42-0,68 0,37-0,98 0,09-0,12 Fermentasi + 5 5,0-7,0 7,8-8,3 27,2-28,0 0,8-3,1 0,51-0,93 0,24-0,98 0,06-0,15

    Hasil pengukuran menunjukkan bahwa nilai kualitas air berupa suhu, DO,

    pH, TAN, nitrit, nitrat dan amonia pada semua perlakuan masih dalam kondisi optimal yang digunakan dalam budidaya cacing sutra.

    Hasil pengukuran TSS yang dilakukan setiap 10 hari sekali setelah sampling pada media pemeliharaan cacing sutra selama masa pemeliharaan dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini.

    0

    20

    40

    60

    80

    100

    120

    140

    160

    180

    , 10, 20, 30, 40,

    VSS

    (m

    g l-1

    )

    Waktu (hari)

    Limbah lele sistem Intensif Limbah lele sistem bioflok

  • 9

    Tabel 4 Pengukuran nilai TSS pada wadah budidaya cacing sutra Perlakuan

    (limbah budidaya) Saluran Pengamatan hari ke-

    air 0 10 20 30 40

    Intensif in 139,496 188,753 171,489 213,865 213,919 out 114,643 155,556 142,574 182,243 179,421

    Bioflok in 125,228 184,897 271,667 221,251 233,935 out 99,005 143,661 220,410 175,666 188,356

    Fermentasi in 110,223 170,248 167,544 181,524 129,858 out 94,075 148,479 144,316 158,995 117,077

    Fermentasi + 5 in 119,696 190,282 181,765 195,866 206,806 out 100,368 161,029 152,645 164,730 177,627

    Berdasarkan Tabel 4 diatas dapat dilihat bahwa terdapat selisih nilai TSS

    pada saluran pemasukan dan pengeluaran air.Jika di persentasekan maka nilai pemanfaatan TSS dapat dilihat pada Tabel 5 dibawah ini.

    Tabel 5 Pemanfaatan TSS oleh cacing sutra

    Perlakuan (limbah budidaya)

    Pemanfaan TSS oleh cacing sutra (%) hari ke- 0 10 20 30 40

    Intensif 21,678 21,341 20,281 17,352 19,228 Bioflok 26,487 28,704 23,255 25,950 24,198 Fermentasi 17,165 14,661 16,096 14,170 10,917 Fermentasi + 5 19,258 18,166 19,077 18,901 16,427

    Berdasarkan Tabel diatas terlihat bahwa pemanfaatan nilai TSS oleh cacing

    sutra yang terbesar pada perlakuan B sebesar 23,255-26,487 %, kemudian diikuti perlakuan A sebesar 20,281-27,325 % dan yang terendah pada perlakuan C sebesar 14,661-17,165 %. Hasil pengukuran VSS yang dilakukan setiap 10 hari sekali setelah sampling pada media pemeliharaan cacing sutra selama masa pemeliharaan dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah ini.

    Tabel 6 Pengukuran nilai VSS pada wadah budidaya cacing sutra

    Perlakuan (limbah budidaya)

    Saluran Pengamatan Hari Ke-

    air 0 10 20 30 40

    Intensif in 81,891 120,596 104,822 124,375 117,952 out 67,322 98,783 84,290 104,007 94,432

    Bioflok in 83,690 119,753 139,141 142,172 156,139 out 64,699 95,237 109,641 112,261 124,910

    Fermentasi in 90,791 98,157 76,915 75,972 60,171 out 78,205 83,171 64,842 65,548 52,740

    Fermentasi + 5 in 90,839 108,024 121,471 129,452 122,788 out 77,298 91,765 102,602 109,651 104,686

    Berdasarkan Tabel 6 diatas dapat dilihat bahwa terdapat nilai VSS pada

    saluran pemasukan dan pengeluaran air. Kadar VSS lebih menggambarkan biomassa mikroba, yang di dalamnya mengandung biomassa bakteri dan alga (Gunadi 2012).

  • 10

    Selisih nilai VSS ini adalah bahan tersuspensi yang dimanfaatkan oleh cacing sutra dan sebagian lagi mengendap pada sedimen.Jika di persentasekan maka nilai pemanfaatan VSS dapat dilihat pada Tabel 7 dibawah ini.

    Tabel 7 Pemanfaatan VSS oleh cacing sutra

    Perlakuan (limbah budidaya)

    Pemanfaan VSS oleh cacing sutra (%) hari ke- 0 10 20 30 40

    Intensif 17,791 18,088 19,588 16,376 19,940 Bioflok 22,692 20,472 21,202 21,039 20,001 Fermentasi 13,862 15,267 15,697 13,722 12,349 Fermentasi + 5 14,907 15,052 15,534 15,296 14,742

    Pemanfaatan nilai VSS oleh cacing sutra yang terbesar pada perlakuan B

    sebesar 20,472-22,692%, kemudian diikuti perlakuan A sebesar 16,376-19,940 % dan yang terendah pada perlakuan C sebesar 12,349-15,697 %.

    Hasil dari pengukuran TOM (Total Organic matter) pada media pemeliharaan cacing sutra dilakukan setiap sepuluh hari dapat dilihat pada Gambar 3.

    Gambar 3 Total Oraganic Matter (TOM) pada wadah pemeliharaan cacing sutra

    Bila dilihat dari Gambar 3 diatas nilai TOM turun pada hari ke-10 di setiap

    perlakuan.pada perlakuan A dan B nilai TOM cedrung stabil sejak hari ke-10 hingga akhir penelitian, pada perlakuan C nilai tom terus turun hingga akhir penelitian sedangkan pada perlakuan D sebaliknya nilai TOM meningkat hingga akhir penelitian.

    Profil Sedimen

    Hasil pengukuran TOM pada media pemeliharaan cacing sutra dilakukan setiap 10 hari sekali dapat dilihat pada Gambar 4.

    0

    20

    40

    60

    80

    100

    120

    , 5, 10, 15, 20, 25, 30, 35, 40, 45,

    TO

    M (

    mg

    l-1)

    Waktu (Hari)

    Intensif Bioflok Fermentasi Fermentasi + 5

  • 11

    Gambar 4 Pengamatan nilai TOM pada media tumbuh cacing sutra.

    Nilai TOM pada perlakuan A dan B meningkat sejak hari ke-10 dan

    cendrung stabil hingga akhir penelitian,pada perlakuan C nilai TOM meningkat sejak hari ke-20 tapi kemudian mulai turun setelah hari ke-30 hingga akhir penelitian, sedangkan pada perlakuan D nilai TOM terus meningkat sejak hari ke-20 hingga akhir penelitian.

    Hasil pengukuran rasio C/Npada media pemeliharaan cacing sutra dilakukan setiap sepuluh hari sekali dapat dilihat pada Gambar 5.

    Gambar 5 Pengamatan rasio C/N pada media tumbuh cacing sutra.

    Hasil pengukuran rasio C/N pada perlakuan A turun pada hari ke-10 dan

    terus stabil hingga akhir penelitian, pada perlakuan C nilai rasio C/N meningkat sejak hari ke-10 hingga hari ke-20 dan kemudian turun hingga akhir penelitian. Sedangkan pada perlakuan D nilai rasio C/N turun pada hari ke-10 dan meningkat hingga hari ke-20 serta stabil hingga akhir penelitian.

    ,

    10,

    20,

    30,

    40,

    50,

    60,

    70,

    80,

    0 10 20 30 40

    TO

    M (

    mg

    l-1)

    Waktu (hari)

    Intensif Bioflok Fermentasi Fermentasi + 5

    0

    2

    4

    6

    8

    10

    12

    14

    16

    18

    , 5, 10, 15, 20, 25, 30, 35, 40, 45,

    C/N

    ras

    io

    Waktu (hari) Intensif Bioflok Fermentasi Fermentasi + 5

  • 12

    Parameter Produksi

    Hasil dari pengukuran jumlah individu pada media pemeliharaan cacing sutra yang dilakukan setiap sepuluh hari dapat dilihat pada Gambar 6.

    Gambar 6 Penambahan jumlah individu cacing sutra Berdasarkan Gambar 6 diatas dapat dilihat bahwa pertumbuhan jumlah

    individu turun pada hari ke-10 dan mulai meningkat pada hari ke-20 di setiap perlakuan. Perlakuan A dan B jumlah inidividu meningkat hingga akhir penelitian, pada perlakuan C peningkatan jumlah individu mulai turun setelah hari ke-50 hingga akhir penelitian, dan perlakuan D sejak hari ke-50 hingga akhir penelitian jumlah individu terlihat stabil

    Hasil dari pengukuran bobot biomasa pada media pemeliharaan cacing sutra yang dilakukan setiap sepuluh hari dapat dilihat pada Gambar 7.

    Gambar 7 Pertumbuhan bobot biomassa cacing sutra

    ,

    100,

    200,

    300,

    400,

    500,

    600,

    700,

    800,

    0 10 20 30 40 50 60 70

    Kel

    impa

    han

    (000

    ) m

    -2

    Waktu (hari)

    Intensif Bioflok Fermentasi Fermentasi + 5

    0

    0,3

    0,6

    0,9

    1,2

    1,5

    1,8

    2,1

    2,4

    , 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70,

    Bo

    bo

    t b

    iom

    assa

    (K

    g m

    -2)

    Waktu (hari)

    Intensif Bioflok Fermentasi Fermentasi + 5

  • 13

    Gambar 7 diatas menjelaskan bahwa pertumbuhan bobot biomassa cacing sutra turun pada hari ke-10 dan mulai naik sejak hari ke-20 hinggahari ke-60 dan turun kembali pada hari ke-70 pada setiap perlakuan.

    Hasil analisa menunjukkan perbedaan yang sangat nyata terhadap pertumbuhan bobot maupun penambahan jumlah individu cacing sutra, untuk itu dilanjutkan dengan uji BNT. Tabel 8 Produksi biomasa dan jumlah individu cacing sutra

    Perlakuan

    hari ke-60 hari ke-70 Produksi biomassa

    (Kg)

    Jumlah individu

    (000)

    Produksi Biomassa

    (Kg)

    Jumlah individu

    (000) Intensif 1,6 0,07c 435,0 10,556b 1,3 0,036b 467,37 14, 357c Bioflok 2,0 0,106d 561,8 14,075c 1,6 0,150c 601,6334,479 d

    Fermentasi 1,0 0,035a 269,0 14,075a 0,7 0,071a 246,64 24,206 a Fermentasai + 5 1,3 0,07b 365,3 3,519ab 1,1 0,175ab 375,21 74,881b

    Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf superscript yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji beda nyata terkecil).

    Pada Tabel 6 terlihat bahwa hasil produksi biomassa terbaik pada

    perlakuan pemanfaatan limbah budidaya ikan lele system bioflok yang dipelihara selama 60 haridan hasil produksi jumlah individu terbaik pada perlakuan B yangdipelihara selama 70 hari.

    Pembahasan Nilai kalitas air ikan lele berupa TAN, nitrit, nitrat, amonia, suhu, DO dan

    pH dalam kisaran yang optimal untuk pertumbuhan.Ikan lele dapat tumbuh dengan baik pada lingkungan dengan nilai pH air berkisar 6,5-7,11, suhu air berkisar 27,73-29,63C, ammonia 0,0001-0,0256 mg l-1, nitrit 0,01-0,46 mg l-1, nitrat 0,16-1,65 mg l-1, TAN 0,02-3,65 mg l-1 dan DO 2,61-6,92 mg l-1 (Gunadi 2012). Kualitas air dengan nilai pH air berkisar 6,1-7,7, suhu air berkisar 27-30C, ammonia 0-0,023 mg l-1, nitrit 0,003-0,726 mg l-1, nitrat 0,128-0,860 mg l-1, TAN 0-0,81 mg l-1 dan DO 2,24-8,14 mg l-1 baik untuk pertumbuhan ikan lele (Rohmana 2009). Sedangkan nilai nitrat dan nitrit yang baik untuk lingkungan budidaya adalah nitrat 0-400 mg l-1 dan nitrit

  • 14

    Terlihat bahwa cacing sutra mampu memanfaatkan bahan organik yang berasal dari wadah budidaya ikan lele dengan baik. Dalam dua jejaring rantai makanan sistem bioflok nilai TSS dan VSS yang dihasilkan ikan lele akan menurun karena pemanfaatan bahan organik oleh ikan nila (Gunadi 2012). Nilai TSS dan VSS pada sistem bioflok akan terus meningkat hingga akhir penelitian (Azhar 2013).

    Sedimen liat-berlumpur merupakan media terbaik bagi pertumbuhan cacing sutra,sekitar 90% cacing sutramenempati daerah permukaan hingga kedalaman 4 cm, dengan perincian sebagai berikut : juvenil (dengan bobot kurang dari 0,1 mg) pada kedalaman 0-2 cm, immature (0,1-0,5 mg) pada kedalaman 0-4 cm, mature (lebih dari 0,5 mg) pada kedalaman 2-4 cm (Marian dan Pandian 1989). Kualitas lingkungan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup dengan populasi dari cacing sutra.Suhu optimal yang diperlukan bagi pertumbuhan Tubifex sp. Cacing sutra mempunyai batas toleran terhadap nilai pH air. Cacing sutra berkembang biak pada media yang mempunyai kandungan oksigen terlarut berkisar antara 2-5 ppm, kandungan ammonia

  • 15

    Peningkatan nilai TOM sedimen pada perlakuan A dan B pada hari ke-10 cendrung stabil hingga akhir penelitian dikarenakan limbah lele yang mengandung bahan organik yang masuk ke wadah pemeliharaan dimanfaatkan oleh cacing sutra. Budidaya sistem bioflok dilakukan dengan menambahkan sumber karbon organik ke dalam media budidaya untuk merangsang pertumbuhan bakteri heterotrof (Crab et al. 2007).

    Untuk perlakuan C nilai TOM tertinggi pada hari ke-30 kemudian turun hingga akhir penelitian, ini di karenakan tidak ada penambahan bahan organik, sedangkan bahan organik yang ada telah dimanfaatkan oleh cacing sutra. Kandungan bahan organik total (TOM) menurun akibat pemanfaatan oleh cacing sutra (Shafrudin 2005). Pada perlakuan D nilai TOM meningkat setelah hari ke-20 hingga akhir penelitian, ini dikarenakan adanya penambahan kotoran ayam setiap 5 hari sekali, sedangkan kotoran ayam membutuhkan waktu untuk penguraian terlebih dahulu sehingga tidak dapat langsung dimanfaatkan oleh cacing sutra.

    Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat nilai rasio C/N pada perlakuan A dan B stabil dari awal hingga akhir penelitian, hal ini dikarenakan hampir tidak adanya penguraian bahan organik oleh bakteri pada sedimen, sedangkan pada perlakuan C nilai rasio C/N naik pada hari ke-20 dan terus menurun hingga akhir penelitian. Turunnya nilai rasio C/N diduga karena tidak adanya penambahan bahan organik pada perlakuan C sedangkan bahan organik yang ada sudah dimanfaatkan oleh cacing sutra. Pada perlakuan D nilai rasio C/N naik sejak hari ke-10 hingga akhir penelitian hal ini terjadi karena adanya proses perombakan bahan organik oleh bakteri yang terus berlangsung sejak awal penelitian hingga akhir akibat penambahan kotoran ayam setiap 5 hari sekali. Rasio C/N sangat tinggi disebabkan karena penambahan pupuk yang dilakukan setiap hari sehingga proses dekomposisi pupuk masih terus berlangsung (Pursetyo 2011). Pada habitat aslinya cacing sutra hidup pada sedimen dengan nilai rasio C/N 6,171 (Bentaryanto 2013).

    Pada Gambar 5 dan 6 dapat dilihat adanya peningkatan jumlah individu dan biomassa cacing sutra pada setiap perlakuan, dikarenakan adanya penambahan jumlah individu baru. Adanya kelahiran individu baru pada saat puncak populasi mengakibatkan peningkatan jumlah individu dan bobot biomassa (Shafrudin 2005). Ketersediaan nutrisi sangat mempengaruhi pertumbuhan cacing sutra (Bintaryanto dan Taufikurohmah, 2013). Puncakproduksi terjadi pada hari ke-60 untuk pertumbuhan biomasa dan hari ke-70 untuk penambahan jumlah individu.

    Perbedaan yang nyata antara laju pertumbuhan biomas dan penambahan jumlah individu cacing sutra ini terjadi disebabkan penambahan individu baru lebih banyak dibandingkan dengan kematian karena cacing sudah tua. Cacing yang sudah mencapai umur tua secara biologis dapat menyebabkan kematian (Febrianti 2004). Banyaknya jumlah anak yang dihasilkan menyebabkan bertambahnya jumlah individu cacing yang berukuran kecil sehingga terjadi pertumbuhan bobot biomassa (Shafrudin 2005). Pertumbuhan terjadi karena media mampu mencukupi kebutuhan makan cacing sutra (Pursetyo 2011).

  • 16

    4 SIMPULAN DAN SARAN

    Simpulan

    Produksi bobot biomassa dan penambahan jumlah individu terbaik pada perlakuan pemanfaatan limbah lele sistem bioflok. Dengan nilai produksi bobot biomassa sebesar 2,0 Kg m-2 untuk lama pemeliharaan 60 hari dan nilai penambahan jumlah individu sebesar 601.630 ribu individu m-2 untuk lama pemeliharaan 70 hari.

    Saran Budidaya cacing sutra meggunakan sistem resirkulasi disarankan

    memanfaatakan bahan organik yang berasal dari limbah budidaya lele sistem bioflok dengan padat tebar 200 ekor m-2.

    DAFTAR PUSTAKA

    Adlan MA. 2014. Pertumbuhan biomassa cacing sutra (Tubifex sp.) pada media kombinasi pupuk kotoran ayam dan ampas tahu [Skripsi]. Fakultas Pertanian. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

    APHA (American Public Health Association). 1989. Standard Methods for xamination of Water and Waste water. 14 th ed. APHA. Washington DC: APHA. AWWA (American Water Works Association). And WPCF (Water Pollution Control Federation).

    Avnimelech Y.1999. Carbon/nitrogen ratio as acontrol elementin aquaculture sistem. Aquaculture 176:227-235.

    Avnimelech Y. Noam Mozes. Shaher Diab. 1995. Rates of organic carbon and nitrogen degradation in intensive fish ponds. Aquaculture 134 (1995) 211-216 .

    Azhar MH. 2013. Peranan sumber karbon eksternal yang berbeda dalam pembentukan biflok dan pengaruhnya terhadap kualitas air serta produksi pada sistem budidaya Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) [Tesis]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelauan. Institut Pertanian Bogor. Bogor

    Bentaryanto BW dan Taufikurohmah T. 2013. Pemanfaatan campuran limbah padat (Sludge) pabrik kertas dan kompos sebagai media budidaya cacing sutra (Tubifex sp). UNESA Journal of Chemistry 2 (1). 1-8

    Crab R. Avnimelech Y. Defoirdt T. Bossier P and Verstraete W. 2007. Nitrogen removal techniques in aquaculture for sustainable production. Aquaculture. 270: 1-14.

    [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2010. Budidaya Cacing Sutra (Tubifex sp.) di Kolam dari Limbah Pakan Budidaya Lele. Dirjen Perikanan Buidaya Direktorat Pembenihan Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

    Djokosetianto. Yusadi D dan Supriyono E. 1991. Pengaruh Wadah dan Media terhadap Biomas Tubifex sp. Proyek Agricultural Research Managrment.

  • 17

    Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

    Ebeling JM. Timmons MB. Bisogni JJ. 2006. Engineering analysis of stoichiometry of photoautotrophic. Autotrophic and heterotrophic removalof amoniak-nitrogen in aquaculture sistems. Aquaculture 257. 346-358.

    Ekasari J. 2009. Teknologi Bioflok : Teori dan Aplikasi dalam Perikanan Budidaya Sistem Intensif. Jurnal Akuakultur Indonesia. 8(2): 9-19 (2009).

    Fadholi MR. 2001. Kajian ekologis cacing rambut (Tubifex sp.) dalam upaya mengorbitkannya sebagai indikator biologis pencemaran bahan organik di perairan. Jurnal Ilmu-ilmu Hayati. 1 (13) : 1-7

    Febrianti D. 2004. Pengaruh Pemupukan Harian Dengan Kotoran Ayam Terhadap Pertumbuhan Populasi dan Biomassa Cacing Sutra (Limnodrilus) [Skipsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelauan. Institut Pertanian Bogor. Bogor

    Febriyani M. 2012. Budidaya Cacing Oligochaeta pada Sistem Terbuka [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

    Findy S. 2011. Pengaruh Tingkat Pemberian Kotoran sapi Terhaddap Pertumbuhan Biomassa Cacing Sutra (Tubificidae). [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

    Gunadi B. 2012. Minimalisasi Limbah Nitrogen dalam Budidaya Ikan Lele (Clarias gariepinus) dengan Sistem Akuakultur Berbasis Jenjang Rantai Makanan. [Desertasi] Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

    Hendrick RP. Terry SM. Kaveramma M. 2008. Effects of Freezing, Drying, Ultraviolet Irradiation, Chlorine, and Quaternary Ammonium Treatments on the Infectivity of Myxospores of Myxobolus cerebralis for Tubifex tubifex. Journal of Aquatic Animal Health 20:116125

    Juhariyah. 2005. Pengaruh Pemberian Nauplii Artemia sp, Moina sp, danCacing sutra Terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Benih Balashark (Balancthiocheilus melanopterus bleeker). [Skripsi] Fakultas Biologi UNAS.

    Kerans BL. Richard IS.dan Lemmon JC. 2005. Water Temperature Affects a HostParasite Interaction: Cacing sutracacing sutra and Myxobolus cerebralis. Department of Ecology. Montana State University. Bozeman. Montana. USA. 17:216221.

    [KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.2012. Statistik Kelautan dan Perikanan. Jakarta (ID). 302 hal

    [KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2014. Sosialisasikan konsep Blue Economy Menteri Kelautan & Perikanan Terbitkan Buku "Our Blue Economy: An Odyssey to Prosperity" di Forum APEC Bali 2013. [Internet].[diunduh 2014 Juli 17]. Tersedia pada :http://www.kkp.go. id/index.

    Marian MP dan Pandian TJ. 1989. Culture and Harvesting Technique for Tubifex tubifex. Aquaculture.42:303-315.

    Priyadi A. Kusrini E. dan Megawati T. 2010. Perlakuan Berbagai Jenis Pakan Alami untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan Sintasan Larva Ikan Upside Down Catfish (Synodontis nigiventris). Balai Riset Budidaya Ikan Hias. Depok Jakarta.

  • 18

    Pujaningsih RI. 2005. Teknologi Fermentasi dan Peningkatan Kualitas Pakan. Laboratorium Teknologi Makanan Ternak. Fakultas Peternakan UNDIP. 38 Hal.

    Pursetyo. 2011. Pengaruh Pemupukan Ulang Kotoran Ayam Kering Terhadap Populasi Cacing Sutra (Tubifex sp). Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Surabaya. 3(2). 117-182.

    Rohmana D. 2009. Konversi limbah budidaya ikan lele (Clarias sp) menjadi biomassa bakteri heterotrof untuk perbaikan kualitas air dan makanan udang galah (Macrobrachium rosenbergii). [Tesis]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelauan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

    Santoso S dan Hernayanti. 2004. Cacing sutra sebagai Bio Monitor Pencemaran Logam Berat Kadmium dan Seng dalam Leachate TPA Sampah Gunung Tugel Purwokerto. Program Studi Biologi. ITS. Surabaya.

    Shafrudin D. Efianti W. Widanarni. 2005. Pemanfaatan Ulang Limbah Organik dari Substrak Tubifex sp di Alam. Jurnal Akuakultur Indonesia. 4(2):97-102.

    Subandiyah S. Satyani D. Aliyah. 2003. Pengaruh Subtisusi Pakan Alami (Tubifex) dan Buatan terhadap Pertumbuhan Ikan Tilan Lurik Merah (Mastacembelus erythrotaenia Bleeker, 1850). Jurnal Iktiologi Indonesia. 3(2). 67-72.

    Tahapari E. Sularto dan Nurlela I. 2005. Intenfikasi Pemupukan dan Pemeliharaan Larva/Benih Ikan Patin Siam (Pangasianodon hypophthalmus) yang Dilakukan Secara Outdoor di Kolam Tanah. Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikan Air Tawar. Subang. Jawa Barat.

    Walkley, A. and I.A. Black. 1934. An examination of the Degtjareff method for determining organic carbon in soils: Effect of variations in digestion conditions and of inorganic soil constituents. Soil Sci. 63:251-263.

  • 19

    Lampiran 1 Prosedur penambahan Sumber karbon

    FR (%) x Biomassa (gr)

    Persamaan1

    Persamaaan 1 x Kandungan protein (%)

    Persamaan2

    Persamaan 2 x 16% (Jumlah N dalam pakan)

    Persamaan3

    Persamaan 3 x 75% (Jumlah N terbuang ke perairan)

    Persamaan4

    Persamaan 4 x rasio C/N yang ditentukan

    Persamaan5

    Persamaan 5 x Kandungan Corganik dalam sumber karbon(%)

    Jumlah karbon yang harus ditambahkan

    Keterangan : UntukmengetahuikandunganproteinsertaCdalampakandilakukandengan

    ujiproksimat.

  • 20

    Lampiran 2 Hasil pengamatan laju pertumbuhan jumlah inividu cacing sutra

    Perlakuan Ulangan Pengamatan Hari ke-

    0 10 20 30 40 50 60 70

    A 1 80.2 38.2 66.3 189.1 333.4 442.9 507.6 537.4 2 79.8 38.6 63.9 184.9 323.4 432.9 522.5 557.3

    B 1 79.6 39.0 72.2 207.3 393.1 507.6 632.0 656.8 2 80.6 38.6 65.5 204.9 383.2 552.3 651.9 706.6

    C 1 79.0 36.0 60.5 167.5 214.0 378.2 338.4 308.5 2 79.6 34.7 61.4 166.7 243.8 388.1 358.3 343.4

    D 1 80.8 35.5 62.2 187.4 278.7 432.9 442.9 403.1 2 79.4 33.3 68.0 188.3 273.7 442.9 447.9 507.6

    Lampiran 3 Anova pertumbuhan jumlah individu hari ke-60 SK JK DB KT F PERLAKUAN 91494.5 3.0 30498.2 234.603** SISA 520.0 4.0 130.0

    TOTAL 92014.5 7.0

    Lampiran 4 Anova pertumbuhan jumlah individu hari ke-70 SK JK DB KT F PERLAKUAN 134528.7 3.0 44842.9 23.638** SISA 7588.1 4.0 1897.0

    TOTAL 142116.8 7.0

  • 21

    Lampiran 5 Hasil perhitungan laju pertumbuhan bobot biomassa cacing sutra

    Perlakuan Ulangan Pengamatan Hari ke- - 10 20 30 40 50 60 70

    A 1 0.200 0.084 0.144 0.409 0.846 1.194 1.791 1.493 2 0.199 0.089 0.138 0.420 0.746 1.045 1.692 1.543

    B 1 0.199 0.089 0.166 0.470 0.995 1.344 2.239 1.742 2 0.200 0.090 0.155 0.459 0.945 1.294 2.090 1.891

    C 1 0.200 0.084 0.133 0.420 0.547 1.045 1.194 0.896 2 0.199 0.080 0.144 0.382 0.597 0.945 1.145 0.995

    D 1 0.199 0.087 0.144 0.426 0.647 1.145 1.543 1.145 2 0.200 0.079 0.155 0.481 0.697 1.095 1.443 1.393

    Lampiran 6 Anova pertumbuhan bobot biomassa hari ke-60 SK JK DB KT F PERLAKUAN 0.877 3.000 0.292 28.636** SISA 0.041 4.000 0.010

    TOTAL 0.918 7.000 Lampiran 7 Anova pertumbuhan bobot biomassa hari ke-70 SK JK DB KT F PERLAKUAN 0.821 3.000 0.274 22.775** SISA 0.048 4.000 0.012

    TOTAL 0.869 7.000

  • 22

    Lampiran8 Dokumentasi selama penelitian

    Sampling cacing sutra Sistem Resirkulasi

    Cacing sutra yang sudah dibersihkan Pengukuran bobot biomassa

  • 23

    Perlakuan B (sistem bioflok) Perlakuan A (sistem intensif)

    Perlakuan D (frekuensi 5 hari sekali) Perlakuan C (Kotoran ayam di awal)

  • 24

    RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kelobak, Kabupaten Kepahiang, Bengkulu, tanggal 23

    Januari 1982. Penulis merupakan anak ke empat dari lima bersaudara, pasangan Bapak Joharman JU dan Ibu Suryati. Pendidikan Program Sarjana diselesaikan pada tahun 2005 di Program Study Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian Universitas Prof Dr Hazairin, SH Bengkulu. Penulis melanjutkan pendidikan program Pascasarjana pada Program Studi Ilmu Akuakultur, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada tahun 2012 dengan sponsor Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) DIKTI.