15

Click here to load reader

bunuh diri

Embed Size (px)

DESCRIPTION

bunuh diri

Citation preview

Page 1: bunuh diri

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Perilaku Percobaan Bunuh Diri

1. Definisi Percobaan Bunuh Diri (Suicide Attempt)

Secara umum, bunuh diri berasal dari bahasa Latin “suicidium”, dengan

“sui” yang berarti sendiri dan “cidium” yang berarti pembunuhan. Schneidman

mendefinisikan bunuh diri sebagai sebuah perilaku pemusnahan secara sadar yang

ditujukan pada diri sendiri oleh seorang individu yang memandang bunuh diri

sebagai solusi terbaik dari sebuah isu. Dia mendeskripsikan bahwa keadaan

mental individu yang cenderung melakukan bunuh diri telah mengalami rasa sakit

psikologis dan perasaan frustasi yang bertahan lama sehingga individu melihat

bunuh diri sebagai satu-satunya penyelesaian untuk masalah yang dihadapi yang

bisa menghentikan rasa sakit yang dirasakan (dalam Maris dkk., 2000).

Dari aliran eksistensial, Baechler mengatakan bahwa bunuh diri mencakup

semua perilaku yang mencari penyelesaian atas suatu masalah eksistensial dengan

melakukan percobaan terhadap hidup subjek (dalam Maris dkk., 2000).

Menurut Corr, Nabe, dan Corr (2003), agar sebuah kematian bisa disebut

bunuh diri, maka harus disertai adanya intensi untuk mati. Meskipun demikian,

intensi bukanlah hal yang mudah ditentukan, karena intensi sangat variatif dan

bisa mendahului , misalnya untuk mendapatkan perhatian, membalas dendam,

mengakhiri sesuatu yang dipersepsikan sebagai penderitaan, atau mengakhiri

hidup.

Page 2: bunuh diri

Menurut Maris, Berman, Silverman, dan Bongar (2000), bunuh diri

memiliki 4 pengertian, antara lain:

1. Bunuh diri adalah membunuh diri sendiri secara intensional

2. Bunuh diri dilakukan dengan intensi

3. Bunuh diri dilakukan oleh diri sendiri kepada diri sendiri

4. Bunuh diri bisa terjadi secara tidak langsung (aktif) atau tidak langsung

(pasif), misalnya dengan tidak meminum obat yang menentukan

kelangsungan hidup atau secara sengaja berada di rel kereta api.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat dikatakan bahwa bunuh diri

secara umum adalah perilaku membunuh diri sendiri dengan intensi mati sebagai

penyelesaian atas suatu masalah.

Memiliki sedikit definisi yang berbeda, percobaan bunuh diri dan bunuh

diri yang berhasil dilakukan memiliki hubungan yang kompleks (Maris

dkk.,2000). Hal tersebut dikarenakan adanya interaksi dan komorbid antara

etiologi kedua perilaku tersebut. Di samping itu, kebanyakan pelaku bunuh diri

melakukan beberapa percobaan bunuh diri sebelum akhirnya berhasil bunuh diri.

Beck (dalam Salkovskis, 1998) mendefinisikan percobaan bunuh diri sebagai

sebuah situasi dimana seseorang telah melakukan sebuah perilaku yang

sebenarnya atau kelihatannya mengancam hidup dengan intensi menghabisi

hidupnya, atau memperlihatkan intensi demikian, tetapi belum berakibat pada

kematian.

Page 3: bunuh diri

Dengan demikian, yang dimaksud dengan percobaan bunuh diri adalah

upaya untuk membunuh diri sendiri dengan intensi mati tetapi belum berakibat

pada kematian.

2. Metode Bunuh Diri

Richman menyatakan ada dua fungsi dari metode bunuh diri (dalam Maris

dkk., 2000). Fungsi pertama adalah sebagai sebuah cara untuk melaksanakan

intensi mati. Sedangkan pada fungsi yang kedua, Richman percaya bahwa metode

memiliki makna khusus atau simbolisasi dari individu.

Secara umum, metode bunuh diri terdiri dari 6 kategori utama yaitu:

1. obat (memakan padatan, cairan, gas, atau uap)

2. menggantung diri (mencekik dan menyesakkan nafas)

3. senjata api dan peledak

4. menenggelamkan diri

5. melompat

6. memotong (menyayat dan menusuk)

3. Faktor Penyebab Bunuh Diri

Bunuh diri bukanlah merupakan satu hal tetapi terdiri dari banyak

fenomena yang tumpang tindih. Oleh sebab itu, tidak ada satupun kasus bunuh

diri yang memiliki etiologi yang sama (Maris dkk.,2000). Schneidman menyebut

bunuh diri sebagai hasil dari “psychache”. Psychache merupakan rasa sakit dan

derita yang tidak tertahankan dalam jiwa dan pikiran. Rasa sakit tersebut pada

Page 4: bunuh diri

dasarnya berasal dari jiwa seseorang ketika merasakan secara berlebih rasa malu,

rasa bersalah, penghinaan, kesepian, ketakutan, kemarahan, kesedihan karena

menua, atau berada dalam keadaan sekarat (dalam Maris dkk., 2000). Di samping

itu, Mann dari bidang psikiatri mengatakan penyebab bunuh diri berada di otak,

akibat kurangnya tingkat 5-HIAA, reseptor post-sinapsis, dan pertanda biologis

lainnya (dalam Maris dkk., 2000).

Tidak ada faktor tunggal pada kasus bunuh diri, setiap faktor yang ada

saling berinteraksi. Namun demikian, tidak berarti bahwa seorang individu yang

melakukan bunuh diri memiliki semua karakteristik di bawah ini. Berikut

beberapa faktor penyebab bunuh diri yang didasarkan pada kasus bunuh diri yang

berbeda-beda tetapi memiliki efek interaksi di antaranya (Maris, dalam Maris

dkk.,2000; Meichenbaum, 2008):

1. Major-depressive illness, affective disorder

2. Penyalahgunaan obat-obatan (sebanyak 50% korban percobaan bunuh

memiliki level alkohol dalam darah yang positif)

3. Memiliki pikiran bunuh diri, berbicara dan mempersiapkan bunuh diri

4. Sejarah percobaan bunuh diri

5. Sejarah bunuh diri dalam keluarga

6. Isolasi, hidup sendiri, kehilangan dukungan, penolakan

7. Hopelessness dan cognitive rigidity

8. Stresor atau kejadian hidup yang negatif (masalah pekerjaan, pernikahan,

seksual, patologi keluarga, konflik interpersonal, kehilangan, berhubungan

dengan kelompok teman yang suicidal)

Page 5: bunuh diri

9. Kemarahan, agresi, dan impulsivitas

10. Rendahnya tingkat 5-HIAA

11. Key symptoms (anhedonia, impulsivitas, kecemasan / panik, insomnia global,

halusinasi perintah)

12. Suicidality (frekuensi, intensitas, durasi, rencana dan perilaku persiapan

bunuh diri)

13. Akses pada media untuk melukai diri sendiri

14. Penyakit fisik dan komplikasinya

15. Repetisi dan komorbid antara faktor-faktor di atas

4. Penjelasan Bunuh Diri

Penjelasan-penjelasan dari perspektif yang berbeda berikut hendaknya dipandang

sebagai satu kesatuan dalam memahami perilaku bunuh diri yang kompleks.

1. Penjelasan Psikologis

Leenars (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003) mengidentifikasi tiga bentuk

penjelasan psikologis mengenai bunuh diri. Penjelasan yang pertama didasarkan

pada Freud yang menyatakan bahwa “suicide is murder turned around 180

degrees”, dimana dia mengaitkan antara bunuh diri dengan kehilangan seseorang

atau objek yang diinginkan. Secara psikologis, individu yang beresiko melakukan

bunuh diri mengidentifikasi dirinya dengan orang yang hilang tersebut. Dia

merasa marah terhadap objek kasih sayang ini dan berharap untuk menghukum

atau bahkan membunuh orang yang hilang tersebut. Meskipun individu

mengidentifikasi dirinya dengan objek kasih sayang, perasaan marah dan harapan

Page 6: bunuh diri

untuk menghukum juga ditujukan pada diri. Oleh karena itu, perilaku destruktif

diri terjadi.

Penjelasan kedua memandang masalah bunuh diri pada dasarnya adalah

masalah kognitif. Pada pandangan ini, depresi merupakan faktor kontribusi yang

sangat besar, yang khususnya diasosiasikan dengan hopelessness. Fokus

pandangan ini terletak pada penilaian negatif yang dilakukan oleh suicidal person

terhadap diri, situasi sekarang, dunia, dan masa depan. Sejalan dengan penilaian

ini, pikiran yang rusak muncul. Pikiran ini seringkali otomatis, tidak disadari, dan

dicirikan oleh sejumlah kesalahan yang mungkin. Beberapa diantaranya begitu

menyeluruh sehingga membentuk distorsi-distorsi kognitif.

Beck (dalam Pervine, 2005) memperkenalkan model kognitif depresi yang

menenkankan bahwa seseorang yang depresi secara sistematis salah menilai

pengalaman sekarang dan masa lalunya. Model ini terdiri dari 3 pandangan

negatif mengenai diri, dunia, dan masa depan. Dia memandang dirinya tidak

berharga dan tidak berguna, memandang dunia menuntut terlalu banyak darinya,

dan memandang masa depan itu suram. Ketika skema kognitif yang disfungsional

(automatic thoughts) ini diaktifkan oleh kejadian hidup yang menekan, individu

beresiko melakukan bunuh diri.

Penjelasan ketiga menyatakan bahwa perilaku bunuh diri itu dipelajari.

Teori ini berpendapat bahwa sebagai seorang anak, individu suicidal belajar untuk

tidak mengekspresikan agresi yang mengarah keluar dan sebaliknya membalikkan

agresi tersebut menuju pada dirinya sendiri. Di samping itu, sebagai akibat dari

reinforcement negatif, individu tersebut menjadi depresi. Depresi dan kaitannya

Page 7: bunuh diri

dengan perilaku bunuh diri atau mengancam hidup lainnya bisa dilihat sebagai

reinforcer positif, karena menurut pandangan ini individu dipandang tidak dapat

bersosialisasi dengan baik dan belum mempelajari penilai budaya terhadap hidup

dan mati.

Sebagai tambahan, Jamison (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003)

mengemukakan bahwa psikopatologi adalah elemen paling umum pada perilaku

bunuh diri. Dia percaya bahwa sakit mental memainkan suatu peranan penting

pada perilaku bunuh diri. Beberapa kondisi psikopatologis yang difokuskannya

adalah mood disorder, schizophrenia, borderline dan antisocial personality

disorder, alkoholik, dan penyalahgunaan obat-obatan.

2. Penjelasan Biologis

Banyak penelitian telah dilakukan untuk menemukan penjelasan biologis

yang tepat untuk perilaku bunuh diri. Beberapa peneliti percaya bahwa ada

gangguan pada level serotonin di otak, dimana serotonin diasosiasikan dengan

perilaku agresif dan kecemasan. Penelitian lain mengatakan bahwa perilaku bunuh

diri merupakan bawaan lahir, dimana orang yang suicidal mempunyai keluarga

yang juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Walaupun demikian, hingga

saat ini belum ada faktor biologis yang ditemukan berhubungan secara langsung

dengan perilaku bunuh diri.

3. Penjelasan Sosiologis

Penjelasan yang terbaik datang dari sosiolog Durkheim yang memandang

perilaku bunuh diri sebagai hasil dari hubungan individu dengan masyarakatnya,

yang menekankan apakah individu terintegrasi dan teratur atau tidak dengan

Page 8: bunuh diri

masyarakatnya. Berdasarkan hubungan tersebut, Durkheim (dalam Corr, Nabe, &

Corr, 2003) membagi bunuh diri menjadi 4 tipe yaitu:

1. Egoistic Suicide

Inidividu yang bunuh diri di sini adalah individu yang terisolasi dengan

masyarakatnya, dimana individu mengalami underinvolvement dan

underintegration. Individu menemukan bahwa sumber daya yang dimilikinya

tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan, dia lebih beresiko melakukan perilaku

bunuh diri.

2. Altruistic Suicide

Individu di sini mengalami overinvolvement dan overintegration. Pada situasi

demikian, hubungan yang menciptakan kesatuan antara individu dengan

masyarakatnya begitu kuat sehingga mengakibatkan bunuh diri yang dilakukan

demi kelompok. Identitas personal didapatkan dari identifikasi dengan

kesejahteraan kelompok, dan individu menemukan makna hidupnya dari luar

dirinya. Pada masyarakat yang sangat terintegrasi, bunuh diri demi kelompok

dapat dipandang sebagai suatu tugas.

3. Anomic Suicide

Bunuh diri ini didasarkan pada bagaimana masyarakat mengatur anggotanya.

Masyarakat membantu individu mengatur hasratnya (misalnya hasrat terhadap

materi, aktivitas seksual, dll.). Ketika masyarakat gagal membantu mengatur

individu karena perubahan yang radikal, kondisi anomie (tanpa hukum atau

norma) akan terbentuk. Individu yang tiba-tiba masuk dalam situasi ini dan

mempersepsikannya sebagai kekacauan dan tidak dapat ditolerir cenderung akan

Page 9: bunuh diri

melakukan bunuh diri. Misalnya remaja yang tidak mengharapkan akan ditolak

oleh kelompok teman sebayanya.

4. Fatalistic Suicide

Tipe bunuh diri ini merupakan kebalikan dari anomic suicide, dimana individu

mendapat pengaturan yang berlebihan dari masayarakat. Misalnya ketika

seseorang dipenjara atau menjadi budak.

B. Pikiran Bunuh Diri (Suicidal Ideation)

1. Definisi Pikiran Bunuh Diri

Pikiran bunuh diri adalah pikiran untuk membunuh diri sendiri tanpa

melakukan bunuh diri secara eksplisit. Sedangkan suicide ideators adalah orang

yang memikirkan atau membentuk intensi untuk bunuh diri yang bervariasi

derajat keseriusannya tetapi tidak melakukan percobaan bunuh diri secara eksplisit

atau bunuh diri (Maris dkk.,2000). Pikiran bunuh diri bervariasi mulai dari yang

non-spesifik (“Hidup ini tidak berarti”), yang spesifik (“Saya berharap saya

mati”), pikiran dengan intensi (“Saya akan membunuh diri saya”), sampai pikiran

yang berisi rencana (“Saya akan membunuh diri saya sendiri dengan pistol”).

Pikiran bunuh diri paling sering diasosiasikan dengan gangguan depresi

(Maris dkk., 2000). De Catanzaro (dalam Maris dkk., 2000) menemukan bahwa

antara 67% hingga 84% pikiran bunuh diri bisa dijelaskan dengan masalah

hubungan sosial dan hubungan dengan lawan jenis, terutama yang berkaitan

dengan loneliness dan perasaan membebani keluarga. Adapun dua motivasi yang

paling sering muncul dalam pikiran bunuh diri adalah untuk melarikan diri dari

Page 10: bunuh diri

masalah dalam kehidupan dan untuk membalas dendam pada orang lain (Maris,

dalam Maris dkk., 2000)

Intensi merupakan komponen yang penting dalam pikiran bunuh diri

sekaligus merupakan konsep dalam bunuh diri yang paling susah diukur (Maris

dkk., 2000). Jobes, Berman , dan Josselman telah mendaftar beberapa kriteria

agar intensi bunuh diri dapat diukur. Beberapa kriteria tersebut adalah pernyataan

verbal yang eksplisit, percobaan bunuh diri yang pernah dilakukan, persiapan

untuk mati, hopelessness, dan lain sebagainya (dalam Maris dkk., 2000).

2.Karakteristik Pikiran Bunuh Diri

Ketika seseorang mengalami distres psikologis, pikirannya menjadi lebih

kaku dan bias, penilaian menjadi absolut, dan pandangan tentang diri, dunia, dan

masa depan menjadi susah diubah (Weishaar, dalam Salkovskis, 1998). Weishaar

juga berpendapat bahwa kesalahan logika atau distorsi kognitif mengubah

persepsi ke arah yang negatif dan menyebabkan kesimpulan yang salah.

Menurut Ellis dan Rutherford (2008), beberapa karakteristik pikiran bunuh

diri antara lain:

1. Executive Functioning: Cognitive Rigidity, Dichotomous thinking, dan

Deficient Problem-Solving

Cognitive rigidity adalah karakteristik kognitif dimana individu melihat

dirinya dan orang lain sebagai baik atau buruk, memilih antara kesedihan atau

kematian, dimana individu susah atau tidak mungkin dapat berpikir fleksibel

untuk mencari solusi atas masalah yang sedang dihadapi. Individu yang memiliki

Page 11: bunuh diri

pikiran bunuh diri susah untuk membayangkan adanya alternatif untuk

penderitaannya. Marzuk, Hartwell, Leon, dan Poetra (dalam Ellis & Rutherford,

2008), menyatakan bahwa cognitive rigidity merupakan karakteristik yang

mendasari dichotomous thinking dan problem-solving deficit.

Karakteristik kedua dari fungsi eksekutif adalah dichotomous (black or

white) thinking, dimana individu berpikir secara kutub seperti baik dan buruk,

berhasil dan gagal, dan lain sebagainya.

Kurangnya kemampuan menyelesaikan masalah (problem-solving deficit)

diasosiasikan dengan dua karakteristik di atas, karena ketidakmampuan

menghasilkan solusi alternatif telah dibuktikan berhubungan dengan baik dengan

masalah impersonal atau masalah interpersonal (Levenson & Neuringer, dalam

Ellis & Rutherford, 2008). Schotte, Cools, dan Pyvar (dalam Ellis & Rutherford,

2008) menambahkan bahwa ketidakmampuan menyelesaikan masalah

interpersonal merupakan penghubung antara depresi, hopelessness, dan intensi

bunuh diri. Penyebab problem-solving deficit belum banyak dipelajari. Namun,

dua faktor yang pasti menentukan adalah overgeneral autobiographical memory

(Pollock & Williams, dalam Ellis & Rutherford, 2008) dan saraf yang terdapat di

otak. Overgeneral autobiographical memory berguna dalam mengingat situasi

masalah yang mirip yang dialami di masa lalu. Keilp (dalam Ellis & Rutherford,

2008), menemukan bahwa pasien dengan sejarah percobaan-percobaan bunuh diri

menunjukkan ketidakberfungsian saraf yang besar, dan ketidakberfungsian ini

lebih besar pada pelaku percobaan yang high-lethality.

2. Hopelessness

Page 12: bunuh diri

Hopelessness didefinisikan sebagai harapan individu bahwa kejadian

negatif akan terjadi di masa depan dan dia akan terus gagal dalam mencapai

tujuannya. Melalui penelitian yang dilakukan, Minkoff, Bergman, dan Beck

(dalam Ellis & Rutherford, 2008) menyatakan hopelessness merupakan penengah

antara depresi dan kecenderungan bunuh diri. Hopelessness juga berhubungan

dengan perilaku bunuh diri tanpa variabel depresi (Steer, Kumar, & Beck, dalam

Ellis & Rutherford, 2008). Di samping itu, kejadian hidup yang negatif dapat

memprediksi munculnya hopelessness (Yang & Clum, dalam Ellis & Rutherford,

2008).

3. Alasan untuk hidup

Alasan untuk hidup menunjukkan kemampuan individu menyatakan

pernyataan-pernyataan baik secara eksplisit atau dalam dirinya sendiri untuk

bertahan hidup. Individu yang memiliki pikiran bunuh diri biasanya susah untuk

menyatakan alasan untuk hidup. Linehan telah mengembangkan RFL (Reasons

for Living) yang merupakan alat untuk membedakan alasan hidup pada individu

suicidal dan non-suicidal yang hasilnya dapat diasosiasikan dengan beberapa

variabel, termasuk diantaranya intensi bunuh diri (Linehan, Goodstein, &

Nielsen, dalam Ellis & Rutherford, 2008).

4. Perfectionism

Perfeksionisme, yaitu penentuan harapan yang tinggi, telah dikenal sebagai

faktor resiko melakukan bunuh diri. Penentuan harapan yang tidak realistis ini

mengakibatkan self-criticism. Perfeksionisme dapat dibagi menjadi tiga jenis,

diantaranya self-oriented (menetapkan standar yang tidak realistis untuk diri

Page 13: bunuh diri

sendiri), other-oriented (menuntut kesempurnaan dari orang lain), dan socially

prescribed (mempercayai bahwa orang lain mengharapkan dirinya sempurna).

Dari ketiga jenis perfeksionisme ini, jenis socially prescribed dan self-oriented

berkaitan erat dengan kecenderungan bunuh diri.

5. Konsep diri

Markus (dalam Weiten & Lloyd, 2006) menyatakan bahwa konsep diri

adalah kumpulan kepercayaan seseorang mengenai dirinya. Konsep diri ini

terbentuk dari pengalaman masa lalu dan berhubungan dengan trait kepribadian,

kemampuan, karakteristik fisik, nilai, tujuan, dan peran sosial (Campbell,

Assanand, & DiPaula, dalam Weiten & Lloyd, 2006). Di samping itu, Swann

mengemukakan bahwa orang yang mempunyai skema diri yang negatif selalu

mencari informasi yang mengkonfirmasi skema negatif tersebut(self-verification)

(dalam Pervine, Cervone, & John, 2005).

Salah satu fungsi konsep diri yaitu untuk menilai diri sendiri, atau yang

lebih sering disebut dengan harga diri (self-esteem). Harga diri merupakan

penilaian keseluruhan seseorang terhadap keberhargaan dirinya sebagai seorang

manusia (Weiten & Lloyd, 2006). Jika seseorang memandang dirinya secara

positif (konsep diri positif), maka dia akan memiliki harga diri yang tinggi, begitu

juga sebaliknya (Weiten & Lloyd, 2006). Di samping itu, pola asuh orang tua

berperan dalam pembentukan harga diri, dimana pola asuh authoritative

diasosiasikan dengan harga diri yang tinggi, dan pola asuh neglected diasosiasikan

dengan harga diri yang rendah (Furnham & Cheng, dalam Weiten & Lloyd, 2006).

Page 14: bunuh diri

Konsep diri yang negatif telah dibuktikan merupakan faktor resiko kecenderungan

bunuh diri tanpa variabel karakteristik kognitif lainnya.

6. Ruminative Response Style

Gaya berpikir merupakan faktor resiko terjadinya depresi, dan depresi

merupakan prediktor yang kuat dalam perilaku bunuh diri (Tanney, dalam Ellis &

Rutherford, 2008). Ruminative response style adalah gaya berpikir yang secara

terus menerus berfokus pada mood negatif dan implikasinya. Gaya berpikir ini

terdiri dari dua bentuk, yaitu bentuk pasif (brooding) dan bentuk aktif (reflection)

(Chan, Miranda, & Surrence, 2009). Brooding merupakan sebuah perbandingan

pasif antara situasi sekarang dengan standar yang tidak tercapai, sedangkan

reflection merupakan gaya berpikir adaptif yang berfokus pada diri dan bertujuan

untuk menyelesaikan masalah dan mengurangi simtom depresi. Brooding dapat

memprediksi terjadinya pikiran bunuh diri dan depresi. Sedangkan, reflection

hingga saat ini masih diprediksikan sebagai faktor protektif untuk pikiran bunuh

diri.

7. Autobiographical Memory

Autobiographical memory merupakan memori mengenai pengalaman yang

pernah dialami dalam kehidupan seseorang. Memori ini diasosiasikan dengan

depresi, posttraumatic stress disorder , dan bunuh diri. Pelaku percobaan bunuh

diri menunjukkan kesulitan dalam tugas mengingat autobiographical memory dan

menghasilkan autobiographical memory yang tidak jelas dan umum (William &

Broadbent, dalam Ellis & Rutherford, 2008). Memori ini berkaitan dengan bunuh

diri dalam 3 hal berikut: autobiographical memory yang terlalu umum

Page 15: bunuh diri

menyebabkan episode gangguan emosional yang menetap, merusak kemampuan

menyelesaikan masalah karena pengalaman masa lalu tidak dapat digunakan

sebagai referensi untuk strategi mengatasi masalah di masa depan, dan merusak

kemampuan individu untuk membayangkan masa depan secara spesifik. Hal

tersebut dapat meningkatkan tingkat hopelessness dan kecenderungan bunuh diri

pada individu.