Upload
putri-cinthya
View
237
Download
7
Embed Size (px)
DESCRIPTION
neuro
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan Penulisan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Stroke
2.2 Patofisiologi dan Etiologi Stroke
2.3 Klasifikasi Stroke
2.4 Gejala Klinis
2.5 Diagnosis1
Gejala defisit neurologic terutama hemiparesis mudah dikenali pada pasien stroke.
Juga tanda-tanda khas yang biasanya muncul bersamaan dengan hemiparesis biasanya
mudah terdeteksi. Adapun tanda-tanda tersebut, yang dinamakan tanda-tanda gangguan
upper motor neuron (UMN): a. Tonus otot pada sisi yang lumpuh meningkat. b. Refleks
tendon meningkat pada sisi yang lumpuh c. Refleks patologik positif pada sisi yang
lumpuh. Untuk membedakan stroke tersebut termasuk jenis hemoragis atau non
hemoragis. antara keduanya, dapat ditentukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis
neurologis, algoritma dan penilaian dengan skor stroke, dan pemeriksaan penunjang.
2.5.1 Anamnesis1
Bila sudah ditetapkan sebagai penyebabnya adalah stroke, maka langkah
berikutnya adalah menetapkan stroke tersebut termasuk jenis yang mana, stroke
hemoragis atau stroke non hemoragis. Untuk keperluan tersebut, pengambilan anamnesis
harus dilakukan seteliti mungkin. Berdasarkan hasil anamnesis, dapat ditentukan
perbedaan antara keduanya, seperti tertulis pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Perbedaan stroke hemoragik dan stroke infark berdasarkan anamnesis
2.5.2. Pemeriksaan klinis neurologis1
Pada pemeriksaan ini dicari tanda-tanda (sign) yang muncul, bila dibandingkan
antara keduanya akan didapatkan hasil sebagai berikut :
Tabel 2. Perbedaan Stroke Hemoragik dan Stroke Infark berdasarkan tanda-tandanya.
2.5.3. Algoritma dan penilaian dengan skor stroke1
Terdapat beberapa algoritma untuk membedakan stroke antara lain dengan :
Gambar 1. Penetapan Jenis Stroke berdasarkan Algoritma Stroke Gadjah Mada1
Tabel 3. Penetapan jenis stroke berdasarkan Siriraj stroke score1
Catatan : 1. SSS> 1 = Stroke hemoragik
2. SSS < -1 = Stroke non hemoragik
2.5.4. Pemeriksaan Penunjang2
Computerized tomography (CT scan): untuk membantu menentukan penyebab
seorang terduga stroke, suatu pemeriksaan sinar x khusus yang disebut CT scan otak
sering dilakukan. Suatu CT scan digunakan untuk mencari perdarahan atau massa di
dalam otak, situasi yang sangat berbeda dengan stroke yang memerlukan penanganan
yang berbeda pula. CT Scan berguna untuk menentukan:
jenis patologi
lokasi lesi
ukuran lesi
menyingkirkan lesi non vaskuler
MRI scan: Magnetic resonance imaging (MRI) menggunakan gelombang
magnetik untuk membuat gambaran otak. Gambar yang dihasilkan MRI jauh lebih detail
jika dibandingkan dengan CT scan, tetapi ini bukanlah golden standart untuk diagnose
stroke. jika CT scan dapat selesai dalam beberapa menit, MRI perlu waktu lebih dari satu
jam. MRI dapat dilakukan kemudian selama perawatan pasien jika detail yang lebih baik
diperlukan untuk pembuatan keputusan medis lebih lanjut. Orang dengan peralatan medis
tertentu (seperti, pacemaker) atau metal lain di dalam tubuhnya, tidak dapat dijadikan
subyek pada daerah magneti kuat suatu MRI.
Metode lain teknologi MRI: suatu MRI scan dapat juga digunakan untuk secara
spesifik melihat pembuluh darah secara non invasif (tanpa menggunakan pipa atau
injeksi), suatu prosedur yang disebut MRA (magnetic resonance angiogram). Metode
MRI lain disebut dengan diffusion weighted imaging (DWI) sering didapatkan di
beberapa pusat kesehatan. Teknik ini dapat mendeteksi area abnormal beberapa menit
setelah aliran darah ke bagian otak yang terganggu, karena MRI konvensional tidak dapat
mendeteksi stroke sampai lebih dari 6 jam dari saat terjadinya stroke, dan CT scan
kadang-kadang tidak dapat mendeteksi sampai 12-24 jam setelah terjadinya stroke.
Computerized tomography dengan angiography: menggunakan zat warna
yang disuntikkan ke dalam vena di lengan, gambaran pembuluh darah di otak dapat
memberikan informasi tentang aneurisma atau arteriovenous malformation.
Conventional angiogram: suatu angiogram adalah tes lain yang kadang-kadang
digunakan untuk melihat pembuluh darah. Suatu pipa kateter panjang dimasukkan ke
dalam arteri (biasanya di area lipat paha) dan zat warna diinjeksikan sementara foto sinar-
x secara bersamaan diambil. Meskipun angiogram memberikan gambaran anatomi
pembuluh darah yang paling detail, tetapi ini juga merupakan prosedur yang invasif dan
digunakan hanya jika benar-benar diperlukan. Misalnya, angiogram dilakukan setelah
perdarahan jika sumber perdarahan perlu diketahui dengan pasti. Prosedur ini juga
kadang-kadang dilakukan untuk evaluasi yang akurat kondisi arteri carotis ketika
pembedahan untuk membuka sumbatan pembuluh darah dipertimbangkan untuk
dilakukan.
Carotid Doppler ultrasound: adalah suatu metode non-invasif (tanpa injeksi
atau penempatan pipa) yang menggunakan gelombang suara untuk menampakkan
penyempitan dan penurunan aliran darah pada arteri carotis (arteri utama di leher yang
mensuplai darah ke otak)
Tes jantung: tes tertentu untuk mengevaluasi fungsi jantung sering dilakukan
pada pasien stroke untuk mencari sumber emboli. Echocardiogram adalah tes dengan
gelombang suara yang dilakukan dengan menempatkan peralatan microphone pada dada
atau turun melalui esophagus (transesophageal achocardiogram) untuk melihat bilik
jantung. Monitor Holter sama dengan electrocardiogram (EKG), tetapi elektrodanya
tetap menempel pada dada selama 24 jam atau lebih lama untuk mengidentifikasi irama
jantung yang abnormal.
Tes darah: tes darah seperti eritrosit sedimentation rate dan C-reactive protein
yang dilakukan untuk mencari tanda peradangan yang dapat memberi petunjuk adanya
arteri yang mengalami peradangan. Protein darah tertentu yang dapat meningkatkan
peluang terjadinya stroke karena pengentalan darah juga diukur. Tes ini dilakukan untuk
mengidentifikasi penyebab stroke yang dapat diterapi atau untuk membantu mencegah
perlukaan lebih lanjut. Tes darah screening mencari infeksi potensial, anemia, fungsi
ginjal dan abnormalitas elektrolit mungkin juga perlu dipertimbangkan.
Tabel 4. Perbedaan jenis stroke dengan menggunakan alat bantu3
Tabel 5. Gambaran CT-Scan Stroke Infark dan Stroke Hemoragik3
Tabel 6. Karakteristik MRI pada stroke hemoragik dan stroke infark3
2.6 Penatalaksanaan Brain6
Penatalaksanaan umum pasien stroke, baik stroke perdarahan maupun infark
memengang prinsip 5 B yaitu ; brain, breath. Bowel, bladder dan 5 NO yaitu; no
antihipertensi, no glukosa, no kortkosteroid, no diuretic, dan no anticoagulant.
Keseimbangan cairan dan elektrolit juga harus diperhatikan agar dapat menjaga aliran
darah ke otak. Adapun penatalaksanaan brain tersebut dilakukan agar mencegah
komplikasi yang paling buruk dari progresititas penyakit stroke yaitu edema otak, lihat
bab patofisiologi. Selain edema otak, kejang juga seringkali terjadi terutama pada kasus
stroke hemoragik karena peningkatan tekanan intracranial yang mendadak. Dalam
keadaan akut proteksi neuronal atau obat – obatan sitoproteksi, diharapkan dapat
menghalangi progresivitas terjadinya iskemik sehingga dapat mencegah kerusakan
neuron lebih lanjut. Pada stroke hemoragik biasa dipertimbangkan pengelolaan operatif,
dengan mempertimbangkan berbagai macam faktor. Tujuan daripada pengelolaan
operatif tersebut adalah : pengeluaran bekuan darah, penyaluran cairan serebrospinal
yang nantinya diharapkan akan mengurangi tekanan intrakranial.
2.6.1 Penatalaksanaan Edema Otak8
Edema serebri atau edema otak adalah keadaan patologis terjadinya akumulasi
cairan di dalam jaringan otak sehingga meningkatkan volume otak. Dapat terjadi
peningkatan volume intraseluler (lebih banyak di daerahsubstansia grisea) maupuri
ekstraseluler (daerah substansia alba), yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial. Beberapa jenis edema serebri yaitu; Vasogenik, sitotoksik, hidrostatik dan
hiperosmotik. Permberian obat – obatan untuk edema otak meliputi:
2.6.2.1 Manitol
Dosis awal manitol 20% 1-1,5 g/kgBB IV bolus, diikuti dengan 0,25-0,5 g/kgBB
IV bolus tiap 4-6 jam. Efek mak-simum terjadi setelah 20 menit pemberian dan durasi
kerjanya 4 jam. Pernberian manitol ini harus disertai pemantauan kadar osmolalitas
serum. Osmolalitas darah yang terlalu tinggi akan meningkatkan risiko gagal ginjal.).
Pemberian manitol ini juga merupakan kontraindikasi pada decomp jantung.
2.6.2.2 Salin Hipertonik
Cairan salin hipertonik (NaC1 3%) juga dapat digunakan sebagaialternatif
pengganti manitol dalam terapi edema otak. Mekanisme kerjanya kurang lebih sama
dengan manitol, yaitu dehidrasi osmotik.
2.6.2.3 Steroid
Glukokortikoid efektif untuk mengatasi edema vasogenik yang menyertaitumor,
peradangan, dan kelainan lain yang berhubungan dengan peningkatan permeabilitas
sawar darah-otak, termasuk akibat manipulasi pembedahan. Namun, steroid tidak
berguna untuk mengatasi edema sitotoksik dan berakibat buruk pada pasien iskemi otak.
Deksametason paling disukai karena aktivitas mineral kortikoidnya yang sangat
rendah. Dosis awal adalah 10 mg IV atau per oral, dilanjutkan dengan 4mg setiap 6 jam.
Dosis ini ekuivalen dengan 20 kali lipat produksi kortisolnormal yang fisiologis.
Responsnya seringkali muncul dengan cepat namun pada beberapa jenis tumor hasilnya
kurang responsif. Dosis yang lebih tinggi,hingga 90 mg/hari, dapat diberikan pada kasus
yang refrakter. Setelah penggunaan selama berapa hari, dosis steroid harus diturunkan
secara bertahap
2.6.2.4 Furosemid
Terkadang dikombinasikan dengan manitol. Terapi kombinasi ini telah terbukti
berhasil pada beberapa penelitian. Furosemid dapat meningkatkan efek manitol, namun
harus diberikan dalam dosis tinggi, sehingga risiko terjadinya kontraksi volume
melampaui manfaat yang diharapkan. Peranan asetasolamid, penghambat karbonik
anhidrase yang mengurangi produksi CSS, terbatas pada pasien high-altitude illness dan
hipertensi intrakranial benigna.Induksi hipotermi telah digunakan sebagai intervensi
neuroproteksi pada pasien. dengan lesi serebral akut.
2.6.2 Penatalaksanaan Kejang9
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang
kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat
untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis
diazepam intravena adalah 10 mg diberikan perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2
mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg. Bila kejang tetap
belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal 15-20 mg/kg/kali
dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti
dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Bila dengan
fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang rawat intensif.
2.6.3 Obat Proteksi Neuronal4
Proteksi neuronal/sitoproteksi, diharapkan dapat menghalangi progresivitas
terjadinya iskemik sehingga dapat mencegah kerusakan neuron lebih lanjut. Obat-obatan
tersebut antara lain :
CDP-Choline bekerja dengan memperbaiki membran sel dengan cara menambah
sintesa phospatidylcholine, menghambat terbentuknya radikal bebas dan juga
menaikkan sintesis asetilkolin suatu neurotransmiter untuk fungsi kognitif. Meta
analisis Cohcrane Stroke Riview Group Study(Saver 2002) 7 penelitian 1963
pasien stroke iskemik dan perdarahan, dosis 500 – 2.000 mg sehari selama 14 hari
menunjukkan penurunan angka kematian dan kecacatan yang bermakna.
Therapeutic Windows 2 – 14 hari.
Piracetam, cara kerja secara pasti didak diketahui, diperkirakan memperbaiki
integritas sel, memperbaiki fluiditas membran dan menormalkan fungsi membran.
Dosis bolus 12 gr IV dilanjutkan 4 x 3 gr iv sampai hari ke empat, hari ke lima
dilanjutkan 3 x 4 gr peroral sampai minggu ke empat, minggu ke lima sampai
minggu ke 12 diberikan 2 x 2,4 gr per oral,. Therapeutic Windows 7 – 12 jam.
Statin, diklinik digunakan untuk anti lipid, mempunyai sifat neuroprotektif untuk
iskemia otak dan stroke. Mempunyai efek anti oksidan “downstream dan
upstream”. Efek downstream adalah stabilisasi atherosklerosis sehingga
mengurangi pelepasan plaque tromboemboli dari arteri ke arteri. Efek
“upstream” adalah memperbaiki pengaturan eNOS (endothelial Nitric Oxide
Synthese, mempunyai sifat anti trombus, vasodilatasi dan anti inflamasi),
menghambat iNOS (inducible Nitric Oxide Synthese, sifatnya berlawanan dengan
eNOS), anti inflamasi dan anti oksidan.
Cerebrolisin, suatu protein otak bebas lemak dengan khasiat anti calpain,
penghambat caspase dan sebagai neurotropik dosis 30 – 50 cc selama 21 hari
menunjukkan perbaikan fungsi motorik yang bermakna.
2.6.4 Pengelolaan Konservatif dan Operatif pada Perdarahan Intra Serebral dan
Perdarahan Sub Arachnoid
2.6.4.1 Pengelolaan konservatif 5
Pada perdarahan Intra Serebral pemberian anti perdarahan : Epsilon aminocaproat
30 - 36 gr/hari, Asam Traneksamat 6 x 1 gr untuk mencegah lisisnya bekuan darah yamg
sudah terbentuk oleh tissue plasminogen. Evaluasi status koagulasi seperti pemberian
protamin 1 mg pada pasien yang mendapatkan heparin 100 mg & 10 mg vitamin K
intravena pada pasien yang mendapat warfarin dengan prothrombine time memanjang.
Untuk mengurangi kerusakan jaringan iskemik disekeliling hematom dapat diberikan
obat-obat yang mempunyai sifat neuropriteksi. Pada perdarahan Sub Arahnoid Bed rest
total selama 3 minggu dengan suasana yang tenang, pada pasien yang sadar, penggunaan
morphin 15 mg IM pada umumnya diperlukan untuk menghilangkan nyeri kepala pada
pasien sadar. Vasospasme terjadi pada 30% pasien, dapat diberikan Calcium Channel
Blockers dengan dosis 60 – 90 mg oral tiap 4 jam selama 21 hari atau 15 – 30 mg/kg/jam
selama 7 hari, kemudian dilanjutkan per oral 360 mg /hari selama 14 hari, efektif untuk
mencegah terjadinya vasospasme yang biasanya terjadi pada hari ke 7 sesudah iktus yang
berlanjut sampai minggu ke dua setelah iktus. Bila terjadi vasospasme dapat dilakukan
balance positif cairan 1 – 2 Liter diusahakan tekanan arteri pulmonalis 18 – 20 mmHg
dan Central venous pressure 10 mmHg, bila gagal juga dapat diusahakan peningkatan
tekanan sistolik sampai 180 – 220 mmHg menggunakan dopamin.
2.6.4.2 Pengelolaan operatif5
Tujuan pengelolaan operatif adalah : Pengeluaran bekuan darah, Penyaluran
cairan serebrospinal & Pembedahan mikro pada pembuluh darah. Yang penting
diperhatikan selain hasil CT Scan dan arteriografi adalah keadaan/kondisi pasien itu
sendiri, Faktor faktor yang mempengaruhi :
Usia
Lebih 70 th tidak ada tindakan operasi
60– 70 th pertimbangan operasi lebih ketat
Kurang 60 th operasi dapat dilakukan lebih aman
Tingkat kesadaran
Koma/sopor tak dioperasi
Sadar/somnolen tak dioperasi kecuali kesadaran atau keadaan
neurologiknya menurun
Perdarahan serebelum : operasi kadang hasilnya memuaskan walaupun
kesadarannya koma.
Topis lesi
Hematoma Lobar (kortical dan Subcortical)
Bila TIK tak meninggi tak dioperasi
Bila TIK meninggi disertai tanda tanda herniasi (klinis menurun) operasi
Perdarahan putamen
Bila hematoma kecil atau sedang tak dioperasi
Bila hematoma lebih dari 3 cm tak dioperasi, kecuali kesadaran atau
defisit neurologiknya memburuk
Perdarahan talamus
Pada umumnya tak dioperasi, hanya ditujukan pada hidrocepalusnya akibat
perdarahan dengan VP shunt bila memungkinkan.
Perdarahan serebelum
Bila perdarahannya lebih dari 3 cm dalam minggu pertama maka operasi
Bila perjalanan neurologiknya stabil diobati secara medisinal dengan
pengawasan
Bila hematom kecil tapi disertai tanda tanda penekanan batang otak operasi
Penampang volume hematoma
Bila penampang hematoma lebih 3 cm atau volume lebih dari 30 cc dapat
dilakukan operasi. Bila penampang kecil, kesadaran makin menurun dan keadaan
neurologiknya menurun ada tanda tanda penekanan batang otak maka tidak
diperlukan tindakan operasi
Waktu yang tepat untuk pembedahan
Dianjurkan untuk operasi secepat mungkin 6 – 7 jam setelah serangan
sebelum timbulnya edema otak , bila tak memungkinkan sebaiknya ditunda
sampai 5 – 15 hari kemudian. Indikasi pembedahan pasien PSA adalah pasien
dengan grade “Hunt & Hest Scale” 1 sampai 3, waktu pembedahan dapat segera
(< 72 jam) atau lambat (setelah 14 hari). Pembedahan pasien PSA dengan Hunt
&Hest Scale 4 – 5 menunjukkan angka kematian yang tinggi (75%).
2.7 Komplikasi6
Komplikasi pada stroke sering terjadi dan menyebabkan gejala klinik stroke menjadi
semakin memburuk. Tanda-tanda komplikasi harus dikenali sejak dini sehingga dapat
dicegah agar tidak semakin buruk dan dapat menentukan terapi yang sesuai.1 Komplikasi
pada stroke yaitu:
2.7.1 Komplikasi Dini (0-48 jam pertama):
o Edema serebri: Merupakan komplikasi yang umum terjadi, dapat
menyebabkan defisit neurologis menjadi lebih berat, terjadi peningkatan
tekanan intrakranial, herniasi dan akhirnya menimbulkan kematian.
o Abnormalitas jantung: Kelaianan jantung dapat menjadi penyebab, timbul
bersama atau akibat stroke,merupakan penyebab kematian mendadak pada
stroke stadium awal.sepertiga sampai setengah penderita stroke menderita
gangguan ritme jantung.
o Kejang pada fase awal lebih sering terjadi pada stroke hemoragik dan pada
umumnya akan memperberat defisit neurologis.
o Nyeri kepala
o Gangguan fungsi menelan dan aspirasi
2.7.2 Komplikasi jangka pendek (1-14 hari pertama):
o Pneumonia: Akibat immobilisasi yang lama.2 merupakan salah satu
komplikasi stroke pada pernafasan yang paling sering, terjadi kurang lebih
pada 5% pasien dan sebagian besar terjadi pada pasien yang menggunakan
pipa nasogastrik.
o Emboli paru: Cenderung terjadi 7-14 hari pasca stroke, seringkali pada
saat penderita mulai mobilisasi.
o Perdarahan gastrointestinal: Umumnya terjadi pada 3% kasus stroke.
Dapat merupakan komplikasi pemberian kortikosteroid pada pasien stroke.
Dianjurkan untuk memberikan antagonis H2 pada pasien stroke ini.
o Stroke rekuren
o Abnormalitas jantung
Stroke dapat menimbulkan beberapa kelainan jantung berupa:
Edema pulmonal neurogenik
Penurunan curah jantung
Aritmia dan gangguan repolarisasi
o Deep vein Thrombosis (DVT)
o Infeksi traktus urinarius dan inkontinensia urin
2.7.3 Komplikasi jangka panjang
Stroke rekuren
Abnormalitas jantung
Kelainan metabolik dan nutrisi
Depresi
Gangguan vaskuler lain: Penyakit vaskuler perifer.
2.8 Prognosis7
Ada sekitar 30%-40% penderita stroke yang masih dapat sembuh secara sempurna
asalkan ditangani dalam jangka waktu 6 jam atau kurang dari itu. Hal ini penting agar
penderita tidak mengalami kecacatan. Kalaupun ada gejala sisa seperti jalannya pincang
atau berbicaranya pelo, namun gejala sisa ini masih bisa disembuhkan.
Sayangnya, sebagian besar penderita stroke baru datang ke rumah sakit 48-72 jam
setelah terjadinya serangan. Bila demikian, tindakan yang perlu dilakukan adalah
pemulihan. Tindakan pemulihan ini penting untuk mengurangi komplikasi akibat stroke
dan berupaya mengembalikan keadaan penderita kembali normal seperti sebelum
serangan stroke.
Upaya untuk memulihkan kondisi kesehatan penderita stroke sebaiknya dilakukan
secepat mungkin, idealnya dimulai 4-5 hari setelah kondisi pasien stabil. Tiap pasien
membutuhkan penanganan yang berbeda-beda, tergantung dari kebutuhan pasien. Proses
ini membutuhkan waktu sekitar 6-12 bulan.
BAB III
KESIMPULAN
Definisi stroke berdasarkan WHO adalah suatu tanda klinis yang berkembang
secara cepat akibat gangguan otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang
berlangsung selama 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa adanya
penyebab lain yang jelas selain vaskular. Stroke hemoragik adalah stroke yang terjadi
apabila lesi vaskular intraserebrum mengalami ruptur sehingga terjadi perdarahan ke
dalam ruang subaraknoid atau langsung ke dalam jaringan otak.
Dari keseluruhan kasus stroke, mortalitas dan morbiditas pada stroke hemoragik
lebih berat dari pada stroke iskemik. Dilaporkan hanya sekitar 20% saja pasien yang
mendapatkan kembali kemandirian fungsionalnya. Selain itu, ada sekitar 40-80% yang
akhirnya meninggal pada 30 hari pertama setelah serangan dan sekitar 50% meninggal
pada 48 jam pertama.3
Beberapa gejala/tanda yang mengarah kepada diagnosis stroke antara lain
hemiparesis, gangguan sensorik satu sisi tubuh, hemianopia atau buta mendadak,
diplopia. Vertigo, afasia, disfagia, disartria, ataksia, kejang atau penurunan kesadaran
yang keseluruhannya terjadi secara mendadak. Diagnosis stroke hemoragik dapat
ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis, dan
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium, CT scan, dan MRI. 1
Penatalaksanaan umum pasien stroke, baik stroke perdarahan maupun infark
memengang prinsip 5 B yaitu ; brain, breath. Bowel, bladder dan 5 NO yaitu; no
antihipertensi, no glukosa, no kortkosteroid, no diuretic, dan no anticoagulant.
Keseimbangan cairan dan elektrolit juga harus diperhatikan agar dapat menjaga aliran
darah ke otak. Adapun penatalaksanaan brain tersebut dilakukan agar mencegah
komplikasi yang paling buruk dari progresititas penyakit stroke yaitu edema otak, lihat
bab patofisiologi. Selain edema otak, kejang juga seringkali terjadi terutama pada kasus
stroke hemoragik karena peningkatan tekanan intracranial yang mendadak. Dalam
keadaan akut proteksi neuronal atau obat – obatan sitoproteksi, diharapkan dapat
menghalangi progresivitas terjadinya iskemik sehingga dapat mencegah kerusakan
neuron lebih lanjut. Pada stroke hemoragik biasa dipertimbangkan pengelolaan operatif,
dengan mempertimbangkan berbagai macam faktor. Tujuan daripada pengelolaan
operatif tersebut adalah : pengeluaran bekuan darah, penyaluran cairan serebrospinal
yang nantinya diharapkan akan mengurangi tekanan intrakranial.6
DAFTAR PUSTAKA
1. Kelompok studi serebrovaskuler & Neurogeriatri, PERDOSSI : Guideline Stroke
2011 Seri Pertama, Jakarta, Mei 2011.
2. World Health Organizations: Stroke 1989. Recommendations on stroke prevention,
diagnosis anf therapy. Stroke 1989, 20: 1407-31.
3. National Institute of Neurological Disorders and Stroke: Classification of
cerebrovascular disease III. Stroke 1990, 21: 637-76.
4. Sandercock P, Huub W, Peter S.: Medical Treatment of acute ischemic stroke. Lancet
1992, 339: 537-9.
5. CP Warlow, MS Dennis, J Van Gijn, GJ Hankey, PAG Ssandercock, JH Bamford,
Wardlaw. Stroke.A practical guide to management. Specific treatment of acute
ischaemic stroke Excell Typesetters Co Hongkong, 1996; 11; 385 – 429.,
6. Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Guideline Stroke 2007. Edisi Revisi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia: Jakarta, 2007.
7. Widjaja D. Highlight of Stroke Management. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan,
Surabaya 2002.
8. Airlangga, Caesario, dkk. 2011.Penatalaksanaan Edema Otak. Jakarta: Universitas Indonesia
9. Pusponegoro, Hardiono, dkk. 2006. Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam.
Jakarta : Ikatan Doker Anak Indonesia