40
GAYA PENULISAN BERITA INVESTIGASI ( Studi Analisis Isi Kecenderungan Gaya Penulisan Berita Investigasi Majalah Tempo dalam Rubrik Investigasi Kasus Asian Agri Grup Edisi 15 – 21 Januari 2007 ) Disusun Oleh : FILIA AFRANI D0205072 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

GAYA PENULISAN BERITA INVESTIGASI/Gaya... · “pengungkapan kasus korupsi”, wartawan majalah Tempo Toriq Hadad menyatakan , media massa Indonesia memberikan gambaran fluktuatif.(Santana,

  • Upload
    lynga

  • View
    230

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

GAYA PENULISAN BERITA INVESTIGASI

( Studi Analisis Isi Kecenderungan Gaya Penulisan Berita Investigasi Majalah

Tempo dalam Rubrik Investigasi Kasus Asian Agri Grup Edisi 15 – 21 Januari

2007 )

Disusun Oleh :

FILIA AFRANI

D0205072

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di era yang serba cepat dan instan saat ini, manusia dituntut untuk mengakses

informasi sebanyak-banyaknya agar mengetahui peristiwa-peristiwa yang sedang dan

telah terjadi di sekeliling kita. Dengan informasi tersebut setidaknya dapat

mengurangi keraguan kita dalam situasi tertentu. Tentunya secara otomatis akan

meningkat pula peran media massa sebagai penyampai pesan kepada khalayak.

Media massa atau pers di Indonesia telah mengalami perkembangan yang

sangat pesat. Baik itu media cetak maupun media elektronik. Tentunya hal tersebut

juga harus dibarengi dengan kualitas penyajian pesan yang baik pula kepada

masyarakat. Kualitas kebebasan pers pada masa awal reformasi terus mengalami

peningkatan disemua bidang terutama pada masa pemerintahan Presiden KH

Abdurahhman Wahid.(Simaremare, 2001: hal 99)

Meningkatnya kualitas kebebasan pers dan bertambahnya jumlah penerbitan

pers, tentu cukup menggembirakan masyarakat. Dengan meningkatkan kualitas

kebebasan pers dan bertambahnya jumlah penerbitan pers, kesempatan masayarakat

untuk mengetahui dan memperoleh informasi yang akurat dan obyektif menjadi

semakin luas dan terbuka. Demikian juga perwujudan fungsi dan peranan pers,

diharapkan menjadi lebih nyata. (Simaremare, 2001: hal 99)

Dengan demikian, media massa adalah alat-alat dalam komunikasi yang bisa

menyebarkan pesan secara serempak, cepat kepada audience yang luas dan

heterogen. Bahkan media massa mampu menyebarkan pesan hampir seketika pada

waktu yang tak terbatas.(Nurudin, 2007: 9)

Untuk memenuhi keingintahuan masyarakat terhadap peristiwa besar yang

terjadi tersebut, tentunya diperlukan peliputan berita secara mendalam agar

memperoleh data-data yang lengkap, akurat, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Pelaporan macam itu membawa muatan kerja reportase yang cukup banyak. Bentuk

pemberitaannya the long story, di dalam jurnalisme kerap diistilahkan dengan Depth

Reporting, reportase mendalam. (Santana, 2003: 78)

Dan bagi jurnalisme investigasi, pelaporan tipe Depht Reporting ini sangat erat

kaitannya. Bahkan sangat signifikan di dalam peliputan investigasi. Waktu liputannya

lebih lama, membutuhkan kesabaran dan ketekunan serta imajinasi pada tiap

pencarian fakta. Al Hester menulis dalam Pelaporan Selidikan: Pokok Persoalan Dan

Metoda, “Investigative reporting bisa mencapai cakupan yang lebih luas tafsiran

mendalam (interpretative in-depth reporting).” Menurut Andreas Harsono, salah satu

hal yang banyak membedakan antara Indepth reporting dan investigative reporting

adalah ada tidaknya hipotesis dalam penelusuran tersebut. (Santana, 2003: 78-79)

Istilah investigative reporting pertama kali muncul di Negara Amerika Serikat.

Tampaknya mulai populer pada tahun 1975, ketika di Columbia didirikan

Investigative Reporters and Editors Inc. Namun, berbicara tentang sejarah

kemunculan jurnalisme investigatif, tampaknya harus dimulai dari kemunculan apa

yang dinamakan muckraking journalism. (Santana, 2003: 49)

Muckraking journalists adalah julukan yang diberikan pada jurnalis Amerika,

yang menggunakan surat kabar tempat ia bekerja sebagai sarana untuk menggugat

ketidakadilan, mengungkap kesewenang-wenangan (abuses), dan menyebarkan

informasi tentang berbagai penyimpangan yang terjadi kepada masyarakat umum.

(http://www.enotes.com/ what-muckraking-journalism)

Istilah ini dipopulerkan pada akhir 1900-an, ketika sejumlah jurnalis Amerika

mulai mengambil jarak dari bentuk pelaporan berita peristiwa biasa. Sebagai

gantinya, mereka mulai melakukan investigasi dan menulis tentang tokoh dan

organisasi ternama. Dengan semangat untuk mengungkap korupsi di kalangan bisnis

dan politik, para jurnalis ini membantu meningkatkan kesadaran publik terhadap

berbagai penyakit sosial, ekonomi, dan politik. (Santana, 2003: 54)

Pelaksanaan jurnalisme investigasi di Indonesia dipengaruhi antara lain oleh

sistem politik “keterbukaan dan kemerdekaan pers”. Hal itu bisa dilihat misalnya, dari

sebuah catatan “pengantar”, yang ditulis wartawan Indonesia untuk penerbitan

kumpulan laporan investigasi yang dikerjakan majalahnya. Melalui sampel

“pengungkapan kasus korupsi”, wartawan majalah Tempo Toriq Hadad menyatakan ,

media massa Indonesia memberikan gambaran fluktuatif.(Santana, 2003: 8)

Masih menurut Toriq Hadad, semuanya terkait dengan “sikap penguasa negeri”

dalam menerapkan kebijakan kebebasan pers. Masalah korupsi, yang banyak terjadi

“Sejak Republik (Indonesia) meraih kemerdekaan”, dilaporkan pers dalam dua gerak

ekstrem, dari “sangat takut-takut” sampai “sangat berani”. Pelaporan jurnalisme

investigasi dari pers Indonesia akhirnya selalu dikaitkan dengan suara politik yang

“berisik dan mengganggu” kekuasaan. Kegiatan investigasi pers Indonesia ditakut-

takuti tindakan pembredelan penguasa.

Menulis laporan investigatif, tak jauh berbeda dengan kerja seorang redaktur.

Khususnya, dalam kepekaan untuk mengedit tulisan reporter atau copy editing siaran.

Kecermatan menghitung tingkat distorsi, yang akan ada di dalam news story yang

akan dilaporkan, menjadi tumpuan tingkat kecermatan. (Santana, 2003: 282)

Menurut David Spark dalam bukunya Investigative Reporting, a study in

technique, sebagaimana yang di kutip Santana, pada sisi lain ketika hendak hendak

menyajikannya kepada khalayak, penulisan investigatif memiliki kesamaan dengan

berbagai feature di berbagai media. Tidak hanya mementingkan kesederhaan dan

kejelasan melainkan juga harus memudahkan pemahaman: sebagai target penulisan.

Dalam penjelasan, berbagai fakta di dalam keseluruhan pelaporan mesti dapat

berbicara sendiri kepada khalayak. Rangkaian berbagai fakta yang ditemukan

wartawan investigatif selama melakukan riset, tidak perlu dijelas-jelaskan demikian

ekpositoris oleh penulis. Rangkaian fakta yang disampaikan merupakan representasi

dari apa yang hendak dihipotesiskan wartawan investigatif. Berbgai fakta yang dipilih

bahkan mesti memberikan peluang untuk didiskusikan khlayak, harus bersifat

terbuka. Khalayak dapat dengan mudah menelusurinya segala rincian data dan

keterangan yang terungkap.(Santana, 2003: 284)

Satu hal yang mesti diperhitungkan, penulisan investigatif bukanlah sebuah

pengisahan yang dipenuhi dengan catatan-catatan keterangan atau memo. Penulisan

mesti memakai sentuhan dari cara dunia. sastra dalam mengembangkan cerita. Dalam

pedoman handbook reportase investigatif yang dibuatnya, Weinberg menegaskan

bahwa disiplin penulisan jurnalisme sastra merupkan perangkat yang banyak dipakai

para wartawan investigatif ketika melaporkan skandal, kejahatan atau kasus

pelanggaran.(Santana, 2003: 286)

Munculnya fenomena investigative reporting menunjukkan nilai tertentu bagi

perkembangan jurnalisme investigasi di Indonesia. Sesudah praktik jurnalisme

investigatif semakin matang, ada beberapa bentuknya yang dapat dikenali. Menurut

Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam bukunya Elemen-elemen Jurnalisme,

setidaknya ada tiga bentuk yang bisa kita bedakan. Yaitu: pelaporan investigatif

orisinal, pelaporan investigatif interpretatif, dan pelaporan terhadap investigasi.

Yang pertama, pelaporan investigatif orisinal (original investigative reporting).

Jenis pelaporan ini melibatkan reporter itu sendiri dalam mengungkap dan

mendokumentasikan berbagai aktivitas subjek, yang sebelumnya tidak diketahui oleh

publik.

Sedangkan yang kedua, pelaporan investigatif interpretatif (interpretative

investigative reporting). Jenis pelaporan ini juga menggunakan keterampilan yang

sama, seperti pada pelaporan investigatif orisinal, namun menempatkan interpretasi

(penafsiran) pada tingkatan yang berbeda.

Terakhir yaitu, pelaporan terhadap investigasi (reporting on investigations).

Pelaporan terhadap investigasi adalah perkembangan terbaru dari jurnalisme

investigatif, yang semakin biasa dilakukan. Dalam hal ini, pelaporan berkembang dari

temuan awal atau bocoran informasi, dari sebuah penyelidikan resmi yang sudah

berlangsung atau yang sedang dipersiapkan oleh pihak lain, biasanya oleh badan-

badan pemerintah.

Dalam amatan Andreas Harsono, dekade 1990an merupakan fase beberapa

majalah mulai secara eksplisit memakai istilah “investigasi” pada beberapa

liputannya. Ketika terbit, tahun 1996, dwi-mingguan Tajuk menyatakan dirinya

sebagai majalah “berita, investigasi dan entertainment.” Penerbitan kembali majalah

Tempo, 6 Oktober 1998, seusai dibredel membuka lembaran baru penerbitannya (6-

12 Oktober 1998, “Pemerkosaan:Cerita dan Fakta”) dengan laporan investigasi

mengenai pemerkosaan keturunan Cina pada saat huru-hara Mei 1998. (Santana,

2003: 8)

Bukan kebetulan jika berita utama edisi perdana Tempo sebelas tahun lalu

mengangkat isu pemerkosaan perempuan Tionghoa pada kerusuhan yang membakar

Jakarta pada Mei 1998. Topik itu dipilih karena kontroversial: banyak orang masih

ragu benar-tidaknya terjadi pemerkosaan massal pada hari-hari menjelang jatuhnya

Soeharto itu.

Sejak pertama kali terbit kembali satu dasawarsa silam, jurnalisme Tempo

adalah jurnalisme investigasi. Menyajikan kabar di balik warta, dengan mengintip

dan membongkar apa yang selama ini disembunyikan dari mata publik, sejak awal

sudah ditahbiskan jadi nilai lebih media ini. Pada setiap edisi, mantra di ruang redaksi

adalah ”lebih dalam, lebih baru, lebih penting”. Inilah cap dagang yang diniatkan

menjadi pembeda Tempo dengan media lain di Indonesia.

(www.tempointeraktif.com)

Maka tak heran jika majalah ini menerbitkan satu rubrik khusus yang

dinamakan dengan rubrik investigasi. Rubrik ini dimulai sejak awal berdiri pasca

pembredelan tahun 1998. Rubrik investigasi ini mengangkat tema-tema yang

dianggap kontroversial, menyangkut kepentingan publik, dan bersifat berusaha untuk

disembunyikan atau tidak terkuak dalam masyarakat.

Tentunya dalam penulisan berita investigasi harus memenuhi kelayakan unsur-

unsur jurnalisme investigasi. Antara lain harus memenuhi nilai berita seperti

proksimitas, relevansi, kecepatan, drama dan lainnya (Boyd, 1994). Oleh sebab itu,

materi kisah investigatif tidak tertuju kepada pengupasan yang tidak tegas, rigid,

permasalahannya. Gambaran permasalahan yang diungkap mesti jelas. (Santana,

2003:285)

Maka itulah, hasil kerja investigative repoting ditulis dengan memperhitungkan

persyaratan-persyaratan penulisan jurnalistik: dari persoalan tata bahasa, perberdaan

pelaporan feature dan hardnews, sampai ke pemakaian teknik penulisan first person

(Orang pertama) atau third person (Orang Ketiga). Selain itu, ialah daya pikat

susunan kisah, kedalaman, kekuatan tiap fakta. (Santana, 2003: 288)

Penelitian ini mengambil Rubrik Investigasi dalam Majalah Tempo sebagai

sampel. Dari sampel acak tersebut hanya diambil satu berita yakni berita investigasi

kasus Asian Agri Group tahun 2007. Dimana dalam pemberitaannya, perusahaan

tersebut di duga telah melakukan tindak pidana manipulasi pajak yang merugikan

negara lebih dari Rp 1 Triliun. Dengan jumlah satu berita investigasi tersebut, penulis

anggap sudah mampu mewakili untuk mengetahui kecenderungan gaya penulisan

berita investigasi pada rubrik investigasi Majalah Tempo dalam penyampaian

pesannya. Dan dapat diketahui berita investigasi tersebut masuk dalam jenis kategori

berita investigasi apa.

B. Rumusan Masalah

Dari paparan di atas, maka dapat dirumuskan satu permasalahan sebagai

berikut:

1. Bagaimanakah kecendurungan gaya penulisan berita investigasi pada rubrik

Investigasi Majalah Tempo dalam penyampaian pesannya?

2. Termasuk dalam jenis berita investigasi apakah kasus Asian Agri dalam

Rubrik Investigasi Majalah Tempo tersebut?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan diadakannya penelitian ini antara lain:

1. Untuk mengetahui bagaimanakah kecendurungan gaya penulisan berita

investigasi pada rubrik Investigasi Majalah Tempo dalam penyampaian

pesannya.

2. Untuk mengetahui berita investigasi pada rubrik investigasi Majalah Tempo

tersebut termasuk dalam jenis berita investigasi apa.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Memberikan pemahaman mengenai gaya penulisan serta jenis-jenis berita

investigasi.

2. Sebagai kontribusi bagi para jurnalis, akademisi maupun masyarakat dalam

menyikapi perkembangan jurnalisme investigasi saat ini.

E. Kerangka Pemikiran dan Teori

Teori merupakan landasan berpijak bagi seorang peneliti dalam melakukan

penelitian. Untuk itulah, penelitian ini akan mengambil beberapa teori untuk landasan

berpijak bagi penulis.

Landasan teori diawali dengan teori mengenai jurnalistik. Hal ini disebabkan

obyek penelitian ini adalah produk jurnalistik.

1. Jurnalistik

Jurnalistik atau journalisme berasal dari perkataan journal, artinya catatan

harian, atau catatan mengenai kejadian sehari-hari, atau bisa juga berarti surat kabar.

Journal berasal dari perkataan Latin diurnalis, artinya harian atau tiap hari. Dari kata

itulah lahir kata jurnalis, yaitu orang yang melakukan pekerjaan jurnalistik.

(Kusumaningrat & Kusumaningrat, 2006:15)

Juranlistik juga dapat diartikan sebagai kegiatan mencari dan mengolah fakta,

realitas empirik, kemudian dilaporkan kepada khalayak melalui media massa.

Laporan tentang realitas empirik di media massa ini disebut berita. (Mursito, 1999:

25)

Sejarah jurnalistik dimulai ketika tiga ribu tahun yang lalu, Firaun di Mesir,

Amenhotep III, mengirimkan ratusan pesan kepada para perwiranya di provinsi-

provinsi untuk memberitahukan apa yang terjadi di ibukota. Di Roma, 2000 tahun

yang lalu Acta Diurna (tindakan-tindakan harian)- tindakan-tindakan harian senat,

peraturan-peraturan pemerintah, berita kelahiran dan kematian ditempelkan di

tempat-tempat umum. Selama abad pertengahan Eropa, siaran berita yang ditulis

tangan merupakan media informasi yang penting bagi para usahawan.

(Kusumaningrat & Kusumaningrat, 2006:16)

Menurut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, tujuan utama jurnalisme adalah

menyediakan informasi yang dibutuhkan warga agar mereka bisa hidup merdeka dan

mengatur diri sendiri. Untuk memenuhi tugas ini, maka para jurnalis harus mematuhi

prinsip-prinsip jurnalisme yang disebut sembilan elemen jurnalisme. Sembilan

elemen jurnalisme berisi:

1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran.

2. Loyalitas pertama jurnalisme kepada warga.

3. Intisari jurnalisme adalah disiplin dalam verifikasi.

4. Para praktisinya harus menjaga independensi terhadap sumber berita.

5. Jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan.

6. Jurnalisme harus menyediakan forum publik untuk kritik, maupun dukungan

warga.

7. Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting menarik dan relevan.

8. Jurnalisme harus menjaga agar berita komprehensif dan proporsional.

9. Para praktisinya harus diperbolehkan mengikuti hati nurani mereka. (Kovach

& Rosenstiel, 2004: 8)

2. Jurnalisme Investigasi

A. Pengertian Jurnalisme Investigasi dan Unsur-unsur Dasarnya

Menurut Steve Weinberg, jurnalisme atau reportase investigatif adalah

“Reportase, melalui inisiatif sendiri dan hasil kerja pribadi yang penting bagi

pembaca, pemirsa dan pemerhati. Dalam banyak hal, subyek yang diberitakan

menginginkan bahwa perkara yang berada dalam penyelidikan tetap tak tersingkap.”

(Kusumaningrat & Kusumaningrat, 2006:258)

Biasanya teknik laporan investigatif adalah penggalian yang bersifat mengusut

dari sebuah isu pemberitaan. Seorang wartawan tidak hanya melakukan check and re-

check untuk menguji kebenaran suatu fakta, tapi juga mengusut perkara tersebut

dengan lebih mendalam, sehingga hasil reportase tersebut berpotensi resiko pada

wartawan yang mengerjakannya. (Assegaff, 1983:88)

Menurut Greene Roberts, mantan Pemimpin Redaksi Newsday di Amerika

mendefinisikan reportase investigatif sebagai reportase melalui hasil kerja dan

inisiatif sendiri, yang artinya penting yang oleh beberapa pribadi atau organisasi ingin

tetap dirahasiakan.

Sementara, menurut Bennett, WL (2009) dalam Journal Of Communication,

Toward a theory of press-state relations in the United States. Atau teori hubungan

pers-negara di Amerika Serikat, menyatakan bahwa:

“Muckraking refers to the practices that aim to expose and reveal misconduct in public life. Rooted in the progressive movement in the United States, muckraking has long been associated with investigative journalism, and it has been regarded as having a watchdog function. In the RRC, investigative journalists have conducted public surveillance on the state, and usually enjoy heroic reputations.” Secara ringkas dapat diterangkan bahwa muckraking mengacu pada praktek-

praktek yang bertujuan untuk mengekspos dan mengungkapkan kesalahan dalam

kehidupan publik. Berakar dalam gerakan progresif di Amerika Serikat, muckraking

telah lama berhubungan dengan investigasi dan telah dianggap sebagai memiliki

fungsi pengawas. Di RRC, jurnalis investigatif telah melakukan pengawasan publik

pada negara, dan biasanya menikmati heroik reputasi.

Tiga unsur dasarnya adalah bahwa investigasi itu merupakan kerja wartawan,

bukan laporan investigasi yang dilakukan oleh orang lain; bahwa masalah yang

diberitakan melibatkan sesuatu yang sangat penting bagi pembaca atau pemirsa; dan

bahwa pihak-pihak lain berusaha menutupi. (Kusumaningrat & Kusumaningrat,

2006:259)

Sedangkan menurut Burgh, reportase investigatif adalah sebuah upaya

rekontekstualisasi terhadap semua bahan liputan ke dalam klasifikasi dan struktur

pengisahan tertentu dengan menyeimbangkan dua sudut pandang yang berbeda atau

menonjolkan sudut pandang alternatif. Permasalahan kasus-kasus investigatif

menurut Burgh antara lain;

§ Berbagai hal memalukan yang terkait pelanggaran hukum dan moral.

§ Penyalahgunaan kekuasaan.

§ Dasar faktual dari berbagai informasi aktual yang tengah menjadi

pembicaraan publik.

§ Keadilan yang korup.

§ Manipulasi laporan keuangan.

§ Pelanggaran hukum.

§ Perbedaan antara profesi dan praktisi, dan

§ Hal-hal yang sengaja disembunyikan. (Santana, 2003:98)

B. Sifat dan Tujuan Pelaporan Investigasi

Sedangkan menurut Atmakusumah, reportase investigasi diistilahkan dengan

Laporan Penyidikan, dan dapat dipahami melalui lima tujuan dan sifat pelaporannya:

1. Mengungkapkan kepada masyarakat, informasi yang perlu mereka

ketahui karena menyangkut kepentingan dan nasib mereka. Dengan

mengetahui informasi tersebut, masyarakat dapat ikut berpartisipasi

dalam mengambil keputusan. Tanpa bantuan laporan penyidikan,

informasi itu mungkin tidak dapat mereka ketahui, karena;

1) “pemilik” atau “penyimpan” informasi tidak menyadari pentingnya

informasi itu;

2) Informasi itu sengaja disembunyikan.

2. Laporan penyidikan tidak hanya mengungkapkan hal-hal yang secara

operasional tidak sukses, tetapi dapat juga sampai kepada konsep yang

keliru.

3. Laporan penyidikan itu beresiko tinggi, karena bisa menimbulkan

kontroversi dan bahkan kontradiksi dan konflik. Untuk menghasilkan

laporan seperti ini, seringkali harus menggali bahan-bahan informasi

yang dirahasiakan.

4. Karena itu harus jauh-jauh hari dipikirkan akibat-akibat yang dapat

ditimbulkannya terhadap:

1) Subyek laporannya (dengan menimbang-nimbang akibat negatif

yang di derita subyek laporan dibandingkan dengan manfaat bagi

umumnya)

2) Penerbitan pers itu sendiri (baik reaksi dari lembaga resmi maupun

dari pemasang iklan dan publik pembaca).

5. Untuk menghadapi dilema ini diperlukan kecintaan dan semangat

pengabdian kepada masyarakat luas. Pada pokokknya, harus ada

idealisme, baik di dalam diri reporter penyidikan itu semdiri maupun di

sektor-sektor lain dalam struktur organisasi penerbitan pers itu – sampai

kepada anggota direksi dan pemegang sahamnya.(Santana, 2003: 140)

C. Jenis-jenis Berita Investigasi

Menurut bill Kovach dan Tom Resenstiel terdapat tiga jenis berita investigasi,

yakni:

1) Reportase Investigasi Orisinal

Ini merupakan bentuk pelaporan investigatif, yang sering berujung pada

investigasi publik secara resmi, tentang subjek atau aktivitas yang semula

diselidiki dan diungkap oleh jurnalis. Ini adalah contoh klasik, di mana pers

mendesak lembaga publik (pemerintah), atas nama publik. (Bill Kovach, 2003:

145)

2) Reportase Investigasi Interpretasi

Pelaporan interpretatif ini biasanya melibatkan seperangkat fakta dan

isu-isu yang lebih kompleks, ketimbang sekadar pengungkapan biasa.

Pelaporan interpretatif ini menyajikan cara pandang yang baru terhadap

sesuatu, serta informasi baru tentangnya. (Bill Kovach, 2003: 147)

Menurut Saur Hutabarat dalam buku Mursito. BM, Teori dan Praktek

Jurnalistik Dasar, pemisahan investigative dan interpretative dapat dilihat dari

fungsinya yang interdepedensi. Interpretative reporting lebih berurusan untuk

“menggali” apa yang di bawah permukaan. Sedangkan dengan investigative

reporting, diniatkan untuk membongkar atau “mengangkat” apa yang

disembunyikan.

3) Reportase Mengenai Investigasi

Pelaporan terhadap investigasi adalah perkembangan terbaru dari

jurnalisme investigatif, yang semakin biasa dilakukan. Pelaporan terhadap

investigasi bisa terjadi, manakala penyelidik resmi sedang bekerja. Penyelidik

dari pihak pemerintah bekerjasama secara aktif dengan jurnalis pada kasus-

kasus tertentu, karena sejumlah alasan. (Bill Kovach, 2003: 149)

D. Struktur Penulisan Berita Investigatif

Menulis investigative reporting, berbeda dengan menulis berita langsung.

Karena investigative reporting memerlukan lebih banyak sumber, lebih banyak

bahan, lebih banyak fakta. Sedemikian banyaknya bahan, dapat menyebabkan

‘tersesat”. Agar tak tersesat, dianjurkan agar mulailah dengan membuat outline, serta

menuliskan fokus tulisan.

Outline berisi garis besar isi tulisan. Disitu disebutkan pembagian tulisan,

yaitu apa saja yang ditulis pada bagian awal (intro/lead), apa pula yang dituang pada

tubuh tulisan (body/struktur), dan akhirnya bagaimana tulisan tersebut diakhiri

(ending/penutup). (Saur Hutabarat, 1994: 165-166)

Tidak seperti pada berita piramida terbalik yang geometri kaku, struktur

penulisan berita investigatif yang mirip dengan penulisan feature adalah organik. Ada

permulaan cerita, pertengahan, serta penutup, dan semua bagian erat saling

berhubungan. (Luwi Ishwara, 2008:138)

Untuk itu, Carole Rich dalam bukunya Writing And Reporting News,

sebagaimana yang di kutip oleh Santana, menyebut Rumus 5 Hal Penting. Rumus ini

dapat dijadikan sebagai variasi dari struktur penulisan berita investigasi. Kelima

elemen tersebut menyangkut: News (Apa yang terjadi atau akan diperistiwakan),

Context (Latar belakang dari kejadian atau trend, gejala), Scope (Apakah peristiwa

lokal menjadi bagian dari peristiwa atau gejala di tingkat nasional), Edge (Kemana

berita hendak diarahkan, apa yang terjadi kemudian), dan Impact (mengapa menjadi

perhatian semua orang).

Penulisan investigatif tetap memakai dasar pelaporan yang biasa dikerjakan

kalangan jurnalis, yakni dalam urutan: awal (Leads), tengah/tubuh (Middles), akhir/

penutup (Endings). Leads merupakan pembuka, melalui paragraf-paragraf awal yang

memulai sebuah pengisahan investigatif. Bagian tengah, biasa disebut tubuh (body),

merupakan kelanjutan dari awal paparan kisah, yang berisi tentang penjelasan

berbagai hal yang telah diungkap – dipancing wartawan kepada pembaca, agar

tertarik dengan permasalahan. Bagaian akhir ialah penutup yang mengkonklusi kisah

ke dalam paparan-paparan resolutif. (Santana, 2003: 298)

a. Bagian Awal (Leads)

Ada beberapa jenis Lead (pembuka) yang biasa dipergunakan wartawan

investigatif. Jenis-jenis lead dari hard news, misalnya menjadi pembuka yang kerap

dipakai wartawan investigatif ketika mereka telah siap untuk membuka kisah

penyelidikan mereka yang penuh dengan kerumitan soal. Untuk itu misalnya,

pembuka jenis ringkasan (summary) dipergunakan. (Santana, 2003:298)

Selain lead diatas, terdapat pula jenis laed rangkuman. Karena sebuah

investigasi lebih panjang dari sebuah berita biasa dan bisa jadi tidak langsung pada

saat itu menyampaikan beritanya, reporter barangkali ingin merangkum peristiwa

yang terjadi tersebut dalam bagian lead, yang mungkin bertujuan untuk memancing

sekaligus memberitahu pembaca terhadap pelaporan peristiwa yang terjadi.

Selain itu terdapat pula jenis lead yang digunakan wartawan investigatif

dalam memulai penulisan beritanya. Lead kutipan langsung, pernyataan dibuka

dengan kutipan langsung. Pernyataan seseorang yang di kutip ini bisa membawa

pembaca kepada initi persoalan yang terkait dengan kepentingan, kerugian atau

perusakan publik dari sebuah pelanggaran atau kejahatan yang hendak diungkap.

(Santana, 2003: 301)

Pada sisi lain Lead jenis anekdot juga sering dipakai untuk pembuka.

Formula yang paling sederhana untuk untuk diikuti ketika menulis sebuah anekdot

adalah memiliki satu karakter dalam kisah berita untuk melakukan sesuatu yang akan

memancing beberapa tipe emosi pembaca.(Santana, 2003: 308)

b. Bagian Tubuh berita (Middles)

Bagian ini merupakan kelanjutan dari awal kisah. Kecakapan literer sangat

dipertaruhkan disini. Banyak bagiannya mempergunakan teknik-teknik penulisan

yang didasari oleh kecakapan penulisan sastra. Penjelasan yang bersifat angka-angka,

atau statistikal, memerlukan penanganan khusus agar pembaca tidak jenuh dengan

uraian yang bersifat teknis.

Penggunaan ketrampilan sastra, sebagai peralatan penarik bacaan di

bagian pertengahan ini, kadang mesti dibuka ke dalam penjelasan yang bersifat

sebuah diskusi. Bagian dari permasalahan didiskusikan, menyambung awalan

lontaran tanya yang telah diungkap di bagian awal. Seringkali apa-apa yang telah

ditekankan di bagian awal, diruntut penjelasannya secara naratif di bagian

pertengahan.(Santana, 2003: 300)

Salah satu teknik penarik uraian dibagian tengah ini, ialah pengisahan

adegan. Melalui adegan, permasalahan dipertunjukkan seluk beluk kejadiannya.

Berbagai adegan tersebut dideskripsikan. Penggambarannya mengombinasi

keterlibatan tokoh (subyek) berita, berbagai saksi yang terkait dan mengetahui duduk

soal, berbagai laporan dari institusi-institusi yang menjadi sandaran pembuktian, dan

sebagainya. Semua itu ditujukan untuk memudahkan upaya pendeskripsian segala

data ke dalam gambaran rincian adegan. (Santana, 2003: 301)

Selain itu, pada penulisan tubuh berita investigatif dipergunakan juga

perangkat-perangkat penulisan majas seperti metapor, persamaan dan sebagainya.

Melalui metapor misalnya, ditekankan kepada khalayak ada dua hal yang mirip telah

terjadi. Majas persamaan dipakai untuk menegaskan kepada khalayak bahwa peugas

koperasi yang menipu masyarakat adalah bagaikan, atau seperti, atau sama dengan,

lintah darat. Perangkat kebahasaan itu dapat diperpanjang lagi. Namun pada intinya

ialah menjadikan penulisan berita investigatif yang memiliki kemenarikan, dan

keintiman, dengan khalayak sasarannya.(Santana, 2003: 302)

Pada sisi lain, pengisahan investigatif di bagian tengah ini, juga memakai

teknik pemaparan kisah melalui dialog. Dialog dipergunakan untuk meraih sesuatu

yang hidup, nyata, dikenali dalam keseharian hidup khalayak. Penggunaaan dialog

diupayakan agar pelaporan tidak hanya menjadi seperti pengisahan yang disampaikan

oleh narator.

Pada akhirnya, semua perangkat teknik penulisan di bagian tengah ini

memang terkait erat dengan teknik penulisan yang biasa dipakai di kalangan sastra.

Penulisan investigatif mempergunakan teknik flashback, dan nilai dramatis lain.

Kesemuanya ditujukan untuk mendapatkan gambaran kejelasan kasus dan dampak,

yang tertuju kepada pengupasan unsur why dari rincian keterangan how, what, when,

where, who dalam formula penulisan jurnalistik. (Santana, 2003: 303)

c. Bagian Penutup berita (Endings)

Bagian akhir dari penulisan investigatif seringkali memaparkan

kedalaman pikiran dan emosi ke dalam benak pembaca, tanpa paparan editorial atau

petuah moral. Penulisan mesti merancang bagain awal dan tengah dengan baik

sebelum masuk ke akhir laporan. Beberapa bagian sebelumnya memperhitungkan

akan adanya penutup yang logis, mendasar terkait dengan uraian. Hal ini menyiratkan

paparan kisah investigatif yang ditutup berdasar rangkain atau jelujuran sebab- akibat

yang dapat dipertanggungjawabkan. (Santana, 2003: 304)

Aktivitas jurnalisme investigatif mencakup penggambaran, penjelasan dan

persuasi terhadap masyarakat dengan menunjukkan keterkaitan, sebab dan akibat dari

fakta-fakta yang diperolehnya. Sehingga, wartawan dapat memberi tahu kepada

masyarakat bahwa ada pihak-pihak yang berbohong dan menutup-nutupi kebenaran

supaya masyarakat dapat lebih waspada. Pelanggaran-pelanggaran tersebut

ditunjukkan dengan bukti-bukti yang diperoleh dari pelbagai sumber dan tipe

informasi. (Santana, 2003:100)

E. Aspek-aspek Penulisan Investigatif

Tubuh penulisan investigatif, seperti banyak dikerjakan reporternya

mengkreasikan pengisahan literary journalism, jurrnalisme sastra. Dunia literary

jouranlism memang menekankan bukan saja pemakaian unsur sastra, di dalam

penulisan jurnalistik, melainkan juga meliputi intensitas reportase yang mendalam.

Jurnalisme sastra mengembangkan konsep sampai ke tingkat pendekatan liputan yang

mempersyaratkan kedalam reportase, penggunaan berbgai teknik naratif yang

meleluasakan kehadiran “suara” penulis, serta menekankan tingkat ketinggian

terhadap akurasi.(Santana, 2003: 286)

Pada tahun 1970-an, Tom Wolf mencuatkan istilah New Journalism melalui

unsur konstruksi adegan, kelengkapan reportase orang ketiga, rincian status sosial

subyek. Pada tahun 1984, para jurnalis sastra menjumput karakteristik kedalam

reportase, akurasi, suara, struktur, responsibilitas, dan representasi simbolik. Pembaca

diajak masuk kedalam materi liputan, secara intim dan personal.

Pelaporan investigatif sebenarnya juga merupakan upaya menyusun temuan

fakta-fakta ke dalam pengisahan yang seperti fiksi. Seperti novelis, wartawan

investigatif menceritakan sebuah kebenaran yang ditemukannya. Kisah investigatif

mesti disampaiakn seakan tengah berbicara dengan pembaca, bukan menguliahi

publik. Berbagai gambar, grafik, atau foto, menjadi ilustrasi yang menguatkan

paparan teks. Dari sejak awal pengisahan, bacaan investigatif mesti memperhitungkan

akhir kisah yang kuat. Dari tiap pokok ceritanya, pengisahan mesti memiliki daya tari

yang menahan pembaca untuk tidak meninggalkan bacaannya.(Santana, 2003:288)

Dari tesis investigatif yang diangkat ke wacana publik itu, penulisan investigatif

pun biasanya mengumandangkan bentukan resolusi. Publik diajak untuk menekuri

adanya pernyataan resolustif yang akan mengisi ruang publik, dan mesti disimak.

Resolusi didalam pelaporan investigatif, bisa diibaratkan dengan medium bantuan

penyampai hipotesis wartawan investigatif.

Sedangkan medium tersebut bisa berupa data dan keterangan yang kemudian

diringkas ke dalam sebuah fakta tunggal dan disampaikan kepada publik melalui

statement-statement yang berupa resolutif. Jadi pelaporan tidak hanya berkutat di

penjelajahan berbagai adegan-adegan dramatis melainkan juga memberikan ending

yang baik, bermanfaat dan layak direnungkan khalayak publik.(Santana, 2003: 291-

292)

3. Berita

Mitchel V. Charnley mendefinisikan berita sebagai the timely report of fact

or opinion, that hold internal or importance, or both for a considerable number

of people. Definisi itu dapat disederhanakan supaya lebih mudah dipahami, yaitu

bahwa berita adalah informasi yang aktual tentang fakta-fakta dan opini yang

menarik perhatian orang. (Kusumaningrat & Kusumaningrat, 2006:39)

Melihat prinsip-prinsip yang harus dipenuhi oleh para jurnalis dalam

menjalankan tugasnya, maka jelas bahwa tidak semua informasi dapat dikatakan

sebagai berita atau karya jurnalistik. Artinya sebuah peristiwa layak menjadi berita

ketika ia memiliki nilai berita yang dihargai dalam masyarakat.

Untuk mendapatkan berita yang bernilai, seorang wartawan harus bisa

membedakan fakta-fakta yang memiliki nilai berita dengan fakta-fakta yang tidak ada

artinya. Seorang wartawan harus pandai mengenali berita diantara berbagai fakta

yang dijumpainya dalam kehidupan sehari-hari. Wartawan harus tahu di mana tempat

untuk mencari fakta-fakta beritanya. Mereka juga harus tahu fakta mana yang bisa

ditonjolkan dan harus dibuang karena tidak relevan atau tidak penting. (Assegaff,

1983: 25)

Dalam pasal 5 Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia disebutkan bahwa

“Wartawan Indonesia menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutamakan kecermatan dan ketepatan, serta tidak mencampurkan fakta dan opini sendiri. Tulisan berisi interpretasi dan opini wartawan agar disajikan dengan menggunakan nama jelas penulisnya.” (Kusumaningrat & kusumaningrat, 2006:47)

Dari ketentuan dalam Kode Etik Jurnalistik itu dapat dirumuskan unsur layak

berita berikut cara penyampaiannya agar sebuah informasi bisa dikatakan sebagai

produk jurnalistik. Unsur-unsur produk jurnalistik itu antara lain:

a. Akurat, akurasi tidak hanya dilihat dari ketepatan dalam menyajikan data-data

seperti nama, tanggal, atau angka-angka saja. Tapi harus ada proses verifikasi

terhadap fakta yang disampaikan. Tak hanya itu, Akurat artinya benar dalam

memberikan kesan umum, benar dalam sudut pandang pemberitaan yang

dicapai oleh penyajian detail-detail fakta dan oleh tekanan yang diberikan

pada fakta-faktanya. (Kusumaningrat & Kusumaningrat, 2006:48)

b. Lengkap, Adil dan Berimbang, lengkap artinya tidak mengurangi fakta-fakta

yang penting dan menambahkan fakta fakta yang tidak relevan sehingga

menyesatkan publik. Sementara adil dan berimbang berarti bahwa seorang

wartawan harus menyampaikan fakta yang sesungguhnya terjadi dengan

proporsi yang wajar. (Kusumaningrat & Kusumaningrat, 2006:52)

c. Obyektif, seorang wartawan harus dituntut obyektif dalam menulis. Dengan

sikap obyektifnya, berita yang ia buat pun akan bersifat obyektif, artinya

berita yang ia buat itu selaras dengan kenyataan, tidak berat sebelah, bebas

dari prasangka. (Kusumaningrat & Kusumaningrat, 2006:54)

d. Ringkas dan Jelas, untuk memenuhi unsur ini, sebuah berita haruslah

menggunakan bahasa-bahasa yang efektif, segar dan jelas. Sehingga

masyarakat dapat segera memahami isi yang disampaikan. Bahasa yang klise

dan berbelit-belit, pada akhirnya justru akan membuat masyarakat kesulitan

memahami isi berita tersebut. (Kusumaningrat & Kusumaningrat, 2006:56)

Terdapat dua jenis berita yakni berita obyektif dan berita interpretatif.

Pertama, berita yang terpusat pada peristiwa (event-centered news) yang khas

menyajikan peristiwa hangat yang baru terjadi, dan umumnya tidak diinterpretasikan,

dengan konteks yang minimal, tidak dihubungkan dengan situasi dan peristiwa yang

lain. Kedua, berita yang berdasarkan pada proses (process- centered news) yang

disajikan dengan interpretasi tentang kondisi dan situasi dalam masyarakat yang

dihubungkan dalam konteks yang luas dan melampaui waktu.(Ishwara, 2008: 51-52)

4. Komunikasi Massa

Pemahaman terhadap jurnalistik saat ini harus diimbangi dengan pemahaman

mengenai komunikasi massa sebagai sarana penyampaian produk-produk jurnalistik.

(Assegaff, 1983:11)

Komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa. Media massa di

sini diartikan sebagai media yang dihasilkan oleh teknologi modern. Sedangkan

massa berarti menunjuk pada khalayak, audience, penonton, pemirsa atau pembaca.

(Nurudin, 2007:4)

Masih menurut Nurudin, Sebuah komunikasi dapat disebut sebagai

komunikasi massa jika mencakup ciri-ciri sebagai berikut:

a. Komunikator dalam Komunikasi Massa Melembaga

Komunikator dalam komunikasi massa bukan satu orang, melainkan

kumpulan orang-orang. Artinya, gabungan antar berbagai macam unsur dan

bekerja satu sama lain dalam sebuah lembaga. Lembaga di sini menyerupai

sebuah sistem. Dalam komunikasi massa, komunikator adalah lembaga media

massa itu sendiri.

b. Komunikan dalam Komunikasi Massa Bersifat Heterogen

Audience sebuah media massa memiliki keragaman umur, jenis kelamin dan

status sosial ekonomi. Karakter komunikan atau audience menurut Herber

Blumer adalah:

- Audience dalam komunikasi massa bersifat heterogen, berasal dari

berbagai kelompok dalam masyarakat.

- Berisi individu-individu yang tidak saling mengenal dan tidak saling

berinteraksi secara langsung.

- Tidak memiliki kepemimpinan atau organisasi sosial.

c. Pesannya Bersifat Umum

Pesan yang disampaikan dalam komunikasi massa bersifat umum dan

ditujukan untuk khalayak yang jamak, bukan pada orang atau golongan

tertentu.

d. Komunikasi Berlangsung Satu Arah

Dalam bentuk komunikasi ini, komunikan tidak bisa langsung memberi

tanggapan terhadap pesan yang disampaikan komunikator.

e. Komunikasi Massa Menimbulkan Keserempakan

Dalam komunikasi massa penyampaian pesan dilakukan secara serempak atau

hampir bersamaan, walaupun pada audience media cetak komunikan belum

tentu menerima pesan secara bersamaan.

f. Komunikasi Massa Mengandalkan Peralatan Teknis

Media massa sebagai sarana utama dalam penyampaian pesan kepada

khalayak sangat membutuhkan berbagai peralatan teknis seperti komputer,

mesin cetak, kamera dan lain-lain.

g. Komunikasi Massa Dikontrol oleh Gatekeeper

Gatekeeper berfungsi untuk memilih informasi yang layak disebarkan dan

menyederhanakan penyampaiannya agar mudah dipahami oleh khalayak.

5. Media Cetak dan Tempo

a) Media Cetak

Hal penting yang mengikuti era cetak adalah penggunaan kertas sebagai bahan

untuk merekam tulisan. Hal demikian sudah dimulai di dunia Islam sepanjang abad

ke- 18 dengan kertas kulit (meskipun sebenarnya kertas sudah muncul di Cina). Lama

kelamaan, sistem pemakaian di atas kertas tersebar ke umat Kristen Eropa, khususnya

ketika tentara Moors menduduki Spanyol. Tulisan yang awal mulanya dimonopoli

oleh kalangan pendeta, elite politik, ilmuwan, dan ahli lain mulai bergeser. Masyrakat

umum yang memiliki kemampuan untuk menulis dan membaca mulai merasakan

kemanfaatannya. (Nurudin, 2007: 54-55)

Cetakan yang sebagaimana kita ketahui saat ini, tidak mungkin terjadi tanpa

perantara tukang emas di Mainz, perkembangan cetak mencetak sudah demikian

pesat. Ide dasar pengembangan surat kabar lebih awal di benuaEropa, Inggris, dan

“Dunia Baru” (negara taklukan atau yang ditemukan di Negara Eropa). Di Amerika

sendiri baru tahun 1830-an ada surat kabar di New York yang boleh dibilang sukses.

Surat kabar tersebut bisa disebarkan ke beberapa belahan dunia. (Nurudin, 2007: 58)

Melvin D. Fleur dan Sandra J. Ball- Rokeach (1989) mengatakan ada dua hal

penting yang layak dicermati dalam era ini. Pertama, media surat kabar dan juga

cetak lainnya setelah seperangkat kompleksitas elemen budaya muncul dan terus

berkembang di masyarakat. Kedua, sperti hampir terjadi pada semua penemuan

sebelumnya, penemuan mesin cetak merupakan gabungan antar elemen dalam

masyarakat. Masyarakat menerima perkembangan media cetak karena tak lain

sebagai sebuah kompleks budaya yang terus berkembang. (Nurudin, 2007: 58)

b) Tempo

Majalah Tempo adalah majalah berita mingguan Indonesia yang umumnya

meliput berita dan politik. Edisi pertama Tempo diterbitkan pada Maret 1971 yang

merupakan majalah pertama yang tidak memiliki afiliasi dengan pemerintah.

Majalah ini pernah dilarang oleh pemerintah pada tahun 1982 dan 21 Juni 1994

dan kembali beredar pada 6 Oktober 1998. Tempo juga menerbitkan majalah dalam

bahasa Inggris sejak 12 September 2000 yang bernama Tempo Magazine dan pada 2

April 2001 Tempo juga menerbitkan Koran Tempo. (www.tempo interaktif.com)

Pelarangan terbit majalah Tempo pada 1994 (bersama dengan Tabloid Editor

(tabloid) dan Tabloid Detik (tabloid)), tidak pernah jelas penyebabnya. Tapi banyak

orang yakin bahwa Menteri Penerangan saat itu, Harmoko, mencabut Surat Izin

Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) Tempo karena laporan majalah ini tentang impor

kapal perang dari Jerman. Laporan ini dianggap membahayakan "stabilitas negara".

Laporan utama membahas keberatan pihak militer terhadap impor oleh Menristek BJ

Habibie. Sekompok wartawan yang kecewa pada sikap Persatuan Wartawan

Indonesia (PWI) yang menyetujui pembreidelan Tempo, Editor, dan Detik, kemudian

mendirikan Aliansi Jurnalis Indonesia. (www.tempo interaktif.com)

F. Desfinisi Konseptual dan Operasional

1. Definisi konseptual

Definisi konseptual adalah batasan tentang pengertian yang diberikan peneliti

terhadap variabel-variabel konsep yang hendak diukur, diteliti.dan digali datanya.

Berikut adalah definisi konseptual dalam penelitian ini:

1. Struktur/bagian penulisan berita investigasi. Yakni dalam urutan: awal

(Leads), tengah/tubuh (Middles), akhir/ penutup (Endings). (Santana, 2003:

296-298)

2. Kelengkapan artinya, berita harus didukung oleh semua fakta-fakta yang

relevan. (Kusumaningrat & Kusumaningrat, 2006:52)

3. Adanya hipotesis dalam berita tersebut. Artinya hipotesis merupakan teknik

berpikir yang paling penting dalam melakukan investigasi. Fungsi hipotesis

tersebut adalah membantu melihat makna dari suatu obyek atau peristiwa.

(Kusumaningrat & Kusumaningrat, 2006:268)

4. Kedalaman dalam penggalian fakta. Artinya hal ini terkait dengan kegiatan

membuat pengisahan menjadi berkembang terkait dengan upaya

mengembangkan bangunan fakta-fakta.(Santana, 2003: 104)

5. Jenis-jenis berita investigasi, yaitu: reportase investigatif orisinal, reportase

investigatif interpretatif, reportase mengenai investigatif. (Bill Kovach,

2003:145-149)

2. Definisi Operasional

1. Variabel : Struktur/bagian penulisan berita investigasi.

Definisi Konseptual :Yakni dalam urutan: awal (Leads), tengah/tubuh

(Middles), akhir/ penutup (Endings). (Santana, 2003: 296-298)

Indikator :

a. Bagian Awal (Lead) :

a) Menggunakan Lead rangkuman

b) Menggunakan Lead Naratif

c) Menggunakan Lead Anekdot

b. Bagian Tubuh Berita (Middles) :

a) Menggunakan gaya penulisan naratif (bertutur, pola bercerita)

b) Menggunakan gaya penulisan deskriptif

c) Menggunakan gaya penulisan persuasif

d) Terdapat kalimat yang mengandung majas metafora; semacam

analogi yang membandingkan dua hal secara langsung. (Gorys

Kearaf, 2008: 139)

e) Terdapat kalimat yang mengandung majas personifikasi;

menggambarkan benda mati yang seolah-olah memiliki sifat-

sifat kemanusiaan.(Gorys Keraf, 2008: 140)

c. Bagian Akhir (Endings) :

a) Berita tersebut ditutup dengan cara membuat kesimpulan

b) Berita tersebut ditutup dengan cara membuat ringkasan

c) Berita tersebut ditutup dengan kalimat tanya

2. Variabel : Lengkap

Definisi Konseptual : berita harus didukung oleh semua fakta-fakta yang

relevan. (Kusumaningrat & Kusumaningrat, 2006:52)

Indikator : Mengandung unsur-unsur:

a. What, yaitu peristiwa apa yang sedang terjadi

b. Who, yaitu siapa yang terlibat dalam peristiwa itu

c. When, yaitu kapan peristiwa itu terjadi

d. Where, yaitu dimana peristiwa itu terjadi

e. Why, yaitu mengapa peristiwa itu terjadi, dan

f. How, yaitu bagaimana proses peristiwa itu terjadi.

3. Variabel : Adanya hipotesis dalam berita tersebut.

Definisi Konseptual : Hipotesis merupakan teknik berpikir yang paling

penting dalam melakukan investigasi. Fungsi hipotesis tersebut adalah

membantu melihat makna dari suatu obyek atau peristiwa. (Kusumaningrat

& Kusumaningrat, 2006:268)

Indikator :

a. Terdapat kalimat “diduga”, “menduga”, “dicurigai”

b. Terdapat kalimat yang menyatakan indikasi pelanggaran hukum dan

manipulasi keuangan dan korupsi, seperti : “adanya penggelapan

dana”, “penggelembungan uang”, “dana fiktif”, “transaksi gelap.”

4. Variabel : Kedalaman dalam penggalian fakta dan

menginterpretasikannya.

Definisi Konseptual : Hal ini terkait dengan kegiatan membuat pengisahan

menjadi berkembang terkait engan upaya mengembangkan bangunan fakta-

fakta. Pelbagai dokumen dieksploitasi interpretasinya. hal ini terkait dengan

kegiatan membuat pengisahan menjadi berkembang terkait engan upaya

mengembangkan bangunan fakta-fakta. Pelbagai dokumen dieksploitasi

interpretasinya.(Santana, 2003: 104)

Indikator : pencarian bahan melalui berbagai keterangan yang

bersifat tekstual dan mewawancarai sumber-sumber terkait.

a. Sumber-sumber sekunder : surat kabar, majalah, buku referensi, data

bases komputer, internet,dokumen pers yang dikerjakan pelbagai

asosiasi jurnalisme.

b. Dokumen-dokumen primer ; naskah perjanjian, catatan pajak, data-dat

keuangan, sampai databases pemerintahan.

c. Narasumber-narasumber terkait : menelusuri narasumber yang harus

dicari melalui direktori-dierktori telepon, city, workplace, sampai

mantan-mantan pejabat yang masih valid untuk ditanyakan

keterangannya- sebagai sumber internal network,serta berbagai

dokumen dan data lainnya. Selain itu, pencarian data ke sumber-

sumber yang biasa menjadi pencetus opini publik, dan para pakar

(pengamat).

5. Variabel : Jenis-jenis penulisan berita Investigasi

Definisi Konseptual : yaitu reportase investigatif orisinal, reportase investigatif

interpretatif, reportase mengenai investigatif. (Bill Kovach, 2003:145-149)

Indikator :

a. Reportase Investigasi Orisinal :

a) Membuka informasi yang belum dikumpulkan pihak lain untuk

memberi informasi pada publik mengenai peristiwa yang terjadi.

b) Reportase investigasi berujung pada investigasi publik terkait

subyek/aktivitas yang dipaparkan.

b. Reportase Investigatif Interpretatif

a) Masalah yang diungkap lebih kompleks.

b) Menyingkap cara pandang baru sekaligus informasi baru tentang

suatu masalah.

c. Reportase Mengenai Investigasi

a) Reportase berkembang dari penemuan/bocoran informasi dari

sebuah investigasi resmi yang sudah dijalankan.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif

kuantitatif. Penelitian bertujuan untuk memberikan uraian mengenai suatu

gejala sosial yang diteliti. Dalam penelitian ini peneliti mengembangkan

konsep dan menghimpun fakta, tetapi tidak melakukan pengujian

hipotesis.(Klaus Krippendorrf, 1993: 15)

Analisis isi merupakan metode penelitian yang memungkinkan bagi

peneliti untuk memperoleh keterangan dari isi komunikasi yang berbentuk

lambang. Metode ini juga dapat dilakukan untuk menganalisis semua bentuk

komunikasi guna mendapatkan pesan yang menyeluruh dari isi pesan.

Menurut Holsti dan Stone, analisis isi adalah sebuah teknik penelitian

untuk membuat referensi-referensi dengan mengidentifikasikan secara

sistematik dan obyektif karakteristik-karakterisitik khusus dalam sebuah teks.

Sementara Klaus Krippendorf mendefinisikan analisis isi sebagai suatu teknik

penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru dan sahih data

dengan memperhatikan konteksnya. (Bambang Setiawan, 1983: hal 2)

Sementara Golan dan Wanta mendeskripsikan analisis isi, dalam Journal

Of Communication International (2009) sebagai berikut:

“The unit of analysis was the paragraph of news stories. The paragraph was chosen, as it is one of the major units of analysis in content. Golan argues that, when analyzing text, the analisis unit of analysis might be words, themes, characters, and paragraphs. Golan and Santa suggest that the paragraph method is more appropriate than word count for drawing inferences from narrative statements, as meaning is commonly established with paragraphs rather than through the reporting of word or sentence. That five units have been commonly word, word sense or phrase, sentence, paragraph, and document”

Secara ringkas dapat diterangkan bahwa Unit analisis adalah berita

paragraph. Paragraf dipilih, karena merupakan salah satu unit utama analisis

isi. Golan berpendapat bahwa, ketika menganalisis teks, yang unit analisis

mungkin kata-kata, tema, karakter, dan paragraf. Golan dan Santa

menyarankan bahwa metode paragraf lebih tepat daripada jumlah kata untuk

menarik kesimpulan dari narasi pernyataan, seperti arti umumnya didirikan

dengan paragraf daripada melalui pelaporan kata atau kalimat. Hal itu

menunjukkan bahwa lima unit telah umum digunakan yaitu kata, arti kata atau

frase, kalimat, paragraf, dan dokumen.

Keunggulan analisis isi menurut Klaus Krippendorf antara lain:

1. Merupakan teknik riset yang tidak kentara, sehingga tidak

mempengaruhi kewajaran data

2. Analisis ini menerima materi sebagaimana adanya tanpa disusun terlebih

dulu dalam suatu struktur oleh penelitinya

3. Teknik analisis isi sangat peka terhadap konteks data, dengan demikian

mampu mengolah bentuk-bentuk simbolik (symbolic form)

4. Teknik analisis isi dapat menangani data yang jumlahnya sangat besar.

Untuk menghasilkan data yang sesuai dengan uji kehandalan salah

satunya dapat dilakukan dengan mengukur stabilitas. Hal itu merupakan

derajat sejauh mana sebuah proses tidak berbeda atau tidak berubah sepanjang

waktu. Stabilitas menjadi jelas dibawah kondisi test-retest, dimana seorang

pengkode yang sama diminta mengode serangkaian data dua kali pada saat

yang berlainan.

Setiap pemberian kode, pengklasifikasian, dan penetapan kategorisasi

dalam content analysis, maka peneliti adalah hakim yang bertanggungjawab

bagi penelitiannya.(Andi Bulaeng, 2004: 165)

Enam tahap dalam penelitian Content Analysis adalah:

1. Merumuskan pertanyaan penelitian dan hipotesis

2. Melakukan sampling (secara eksplisit dan tepat) terhadap sumber-

sumber data yang telah dipilih

3. Pembuatan kategori yang dipergunakan dalam analisis

4. Pembacaan suatu sampel dokumen yang telah dipilih, melakukan

“coding” dan meringkas isi-isi yang relevan. (Coding adalah

proses dimana data metah ditransformasikan secara sistematis dan

dikelompokkan ke dalam unit-unit yang memungkinkan membuat

deskripsi karakteristik isi yang relevan. Setelah coding adalah

penyeleksian unit-unit isi misalnya artikel, kata-kata, simbol-

simbol, tema, paragraf, kalimat atau item-item khusus)

5. Penskalaan item-item berdasarkan frekuensi, penampakan,

intensitas, atau kriteria-kriteria lainnya. (luas kolom, ukuran huruf,

penekan, fokus)

6. Penginterpretasian data dalam kaitannya dengan hipotesis dan

teori yang digunakan.(Bambang Setiawan, 1983:16-18)

2. Obyek Penelitian

Obyek dalam penelitian ini adalah Rubrik Investigasi yang ada di Majalah

Tempo. Yang hanya mengambil sampel acak. Sehingga peneliti cukup

meneliti satu rubrik investigasi saja, yaitu kasus Asian Agri Group yang di

duga telah melakukan tindak pidana manipulasi pajak yang merugikan

negara lebih dari Rp 1 Triliun, di tahun 2007.

3. Teknik Pengumpulan Data

a. Dokumentasi : usaha mengumpulkan data Rubrik Investigasi yang ada

di Majalah Tempo tahun 2007. dengan cara melakukan pencatatan dari

dokumen, transkrip, dan sebagainya.

Metode ini digunakan untuk mendapatkan data dari:

1. Dokumen Rubrik Data dari sini merupakan sumber informasi yang

paling penting, sebab di dalamnya dapat ditemukan orientasi dari

penelitian ini.

2. Dokumen dari Majalah Tempo untuk menuliskan gambaran

umumnya.

b. Metode observasi

Metode observasi yang digunakan adalah observasi sistemik, yaitu

dengan adanya kerangka penulisan yang memuat tentang faktor-faktor

yang telah ditentukan kategorisasinya, dan ciri-ciri khusus dalam tiap

kategori tersebut.

Observasi ini digunakan untuk mengetahui bagaiamana

kecenderungan penulisan berita investigasi majalah Tempo

berdasarkan kategori diatas.

4. Populasi

Pada penelitian ini, populasinya adalah Rubrik Investigasi yang

ada di Majalah Tempo. Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit

analisis yang ciri-cirinya dapat diduga. Berita Investigasi dalam Rubrik

Investigasi yang ada di Majalah Tempo tahun 2007 dan diambil secara

acak. Sehingga hanya berjumlah satu berita.

5. Unit Analisis

Unit analisis dari penelitian ini adalah frekuensi. Yang

dimaksudkan dengan frekuensi adalah jarang kerapnya gaya penulisan

berita investigasi yang muncul dalam pemberitaan Rubrik Investigasi

Majalah Tempo.

6. Analisis Data

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

metode analisis isi. Kemudian data yang telah dikoding, diproses untuk

mendapatkan frekuensi, prosentasi dan tabulasi. Kemudian dilakukan

interpretasi atas data digunakan rumus sebagai berikut:

F

P = — x 100%

N

Dimana:

P = angka prosentase

F = frekuensi yang sedang dicari prosentasenya

N = Number of cases (jumlah frekuensi atau banyak sumber informasi)

Untuk mengetahui dan menjamin keakuratan serta validitas dari

data yang telah dikoding dan diinterpretasikan, digunakan rumus

reliabilitas:

2M

CR = ----------------

N1+N2

Dimana :

CR= koefisien reliabilitas

M = jumlah pernyataan yang disetujui oleh dua orang pengkoding

N = jumlah pernyataan yang diberikan kode oleh pengkoding