Upload
firma-nurdinia-dewi
View
13
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Di dalam praktik kedokteran aspek etik seringkali tidak dapat dipisahkan
dari aspek hukum dan disiplin. Aspek etik kedokteran yang mencantumkan juga
kewajiban memenuhi standar profesi kedisiplinan mengakibatkan penilaian
perilaku etik seseorang dokter yang diadukan tidak dapat dipisahkan dengan
penilaian perilaku profesinya. Etik yang memiliki sanksi moral dipaksa berbaur
dengan keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat
administratif dan semakin dipersulit apabila masuk ke domain hukum. Dengan
demikian pelanggaran standar profesi dapat dinilai sebagai pelanggaran etik,
pelanggaran disiplin, dan juga pelanggaran hukum (Soeparto, 2006).
Dokter bukanlah angel of healing, dokter adalah manusia biasa dan karena
itu tidak jarang mereka keliru dalam menegakkan diagnosis. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa kesalahan diagnosis bukanlah kejadian yang langka. Ada
penelitian di Inggris, misalnya, yang mengungkapkan bahwa secara umun dokter
melakukan kesalahan diagnosis pada sekitar 8-24% dari pasien yang ditanganinya.
Kesalahan diagnosis ini bukan hanya terjadi pada praktik pribadi dokter
tetapi juga di rumah sakit–rumah sakit yang memiliki peralatan medis lengkap dan
memadai. Sebuah penelitian lain menunjukkan bahwa di tingkat rumah sakit
kesalahan diagnosis terjadi pada sekitar 155 dari 1000 pasien yang dirawat.
Kesalahan diagnosis yang terjadi memiliki tingkat fatalitas yang bermacam-
macam, dan bisa melanggar berbagai macam aspek, yaitu pelanggaran etik,
disiplin, dan hukum.
Timbulnya kesalahan diagnosis dapat disebabkan oleh tiga faktor yaitu
dokter, pasien, dan alat pemeriksaan. Ada tipe dokter, yang karena keterbatasan
waktu, pengetahuan, dan keterampilan yang dimilikinya, yang cenderung
menyimplifikasikan tiap keluhan yang disampaikan pasien kepadanya.
Sebaliknya, ada pula dokter yang amat sensitif dengan keluhan pasien. Dokter
jenis ini biasanya sangat aware dengan penyakit-penyakit spesifik yang sangat
1
dikenal. Tetapi, pada kondisi ini dokter menjadi supersensitif terhadap setiap
keluhan dan tanpa sadar melakukan overdiagnosis terhadap pasiennya.
Selain faktor dokter, faktor pasien juga berkontribusi terhadap kesalahan
diagnosis. Banyak pasien yang tidak mampu mengidentifikasi keluhan utamanya
atau tidak dapat memberikan keterangan yang jelas kepada dokter mengenai
keluhannya. Mereka kesulitan mengungkapkan hal-hal detail tentang penyakitnya.
Banyak pula di antara mereka yang tidak mau berterus terang tentang penyakitnya
karena malu dan tabu. Kondisi ini akan berkontribusi terhadap terjadinya
kesalahan diagnosis yang dibuat dokter.
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah alat-alat pemeriksaan. Semua
alat pemeriksaan medis memiliki keterangan batasan yang disebut sebagai nilai
sensitivitas atau spesivisitas. Semua alat pemeriksaan medis dioperasikan oleh
manusia dan karena itu faktor subjektivitas manusia juga berperan dalam
terjadinya kesalahan diagnosis. Ketika melakukan pemeriksaan dan melaporkan
hasil pemeriksaan, seorang petugas laboratorium dapat saja melakukan kesalahan
akibat pengaruh faktor fisik, psikis, dan bias yang dialami oleh mereka.
Untuk menegakkan diagnosis yang akurat, seorang dokter perlu
menggabungkan informasi dari pasien dengan pengetahuan dan keterampilan
medisnya. Selain itu, mereka juga perlu ditunjang oleh pemeriksaan laboratorium
yang baik. Kesalahan diagnosis pada hakikatnya bersifat multi-faktorial. Satu saja
dari faktor ini terganggu akan menyebabkan terjadinya kesalahan diagnosis
(Mochtar, 2009).
1.2. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan perbedaan pelanggaran etik, disiplin, dan hukum.
2. Menyelesaikan permasalahan yang terkait dalam aspek etik, disiplin,
dan hukum.
3. Sebagai bekal dalam menjalankan profesi dokter gigi di masa yang akan
datang dengan memperhatikan aspek etik, disiplin, dan hukum.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Kasus Sita dengan RS Pondok Indah
Sengketa antara keluarga almarhumah Sita Dewi dan pihak RS Pondok
Indah berawal dari tidak diberitahukannya hasil pemeriksaan laboratorium
patologi anatomi terbaru yang menyebutkan bahwa tumor yang dideritanya adalah
tumor ganas. Pada pemeriksaan patologi anatomi yang pertama, disebutkan bahwa
tumor yang diderita adalah tumor jinak sehingga dokter hanya memberikan
perawatan sesuai hasil pemeriksaan dan hanya mengangkat tumor tersebut.
Setelah tumor diangkat dan dilakukan pemeriksaan patologi anatomi ulang
barulah didapatkan hasil yang berbeda yaitu tumor tersebut adalah tumor ganas.
Setelah 1 tahun operasi, Sita mengeluhkan adanya benjolan pada perutnya dan
memeriksakan diri ke dokter Ichramsyah (dokter yang merawatnya dahulu). Dari
dokter Ichramsyah barulah Sita mengetahui bahwa dia menderita tumor ganas dan
mulai melakukan kemoterapi. Namun kemoterapi yang dijalankan belum selesai,
Sita meninggal dunia. Dengan kejadian tersebut, pihak keluarga menuntut ganti
rugi 20 miliar kepada pihak rumah sakit dan dokter. Namun rumah sakit hanya
mau mengganti rugi 400 juta dan dikemudikan dinaikkan menjadi 1 miliar. Pihak
keluarga tetap bersikukuh dengan tuntutannya dan mengajukan ke pihak hukum.
Dari hasil persidangan didapatkan putusan bahwa pihak dokter dan rumah sakit
harus mengganti rugi sebanyak 2 miliar. (www.majalahtrust.com)
2.2. Analisis Kasus
Dalam kasus Sita Dewati Darmoko disini didapatkan akar
permasalahannya adalah bahwa dokter yang menangani Sita melakukan kesalahan
yang berakibat sangat fatal, yaitu hilangnya nyawa Sita akibat kesalahan diagnosis
yang berujung tidak diberitahukannya hasil rekam medis tersebut (tidak
diberitahukan hasil laboratorium patologi anatomi yang baru tentang adanya
tumor ganas yang diderita Sita hingga berakibat kematian). Hal ini sudah sangat
jelas melanggar hak pasien dan kewajiban dokter itu sendiri.
3
Setiap pelanggaran yang secara sengaja atau tidak sengaja dilakukan oleh
dokter mengandung tiga jenis unsur pelanggaran yaitu pelanggaran etik, disiplin,
dan hukum. Sebelum masuk ke pembahasan mengenai pelanggaran pada kasus
diatas, sebaiknya mengetahui letak perbedaan ketiga jenis pelanggaran tersebut.
Tabel 1. Perbedaan Etik, Disiplin, dan Hukum
Etik Disiplin Hukum
Masalah Moral
(baik~buruk)
Masalah standar
profesi/perilaku pelayananMasalah benar~salah
Dibuat Organisasi
Profesi (IDI/PDGI)
Dibuat KKI (bersama stake
holder)
Dibuat pemerintah dan
DPR, UU/PP/Kepres/dll
Kode etik kedokteran/
Kode etik kedokteran
gigi, diatur untuk norma
perilaku pelksanaan
profesi
Diatur untuk norma
perilaku pelaksanaan
profesi
Diatur untuk norma
perilaku manusia
umumnya
Sanksi : moral atau
psikologis
Sanksi :
moral/peringatan/cabut ijin,
Re schooling
Sanksi pidana (mati,
kurungan, penjara atau
denda)
Sanksi Perdata (ganti
rugi)
Sanksi administrasi
(teguran, cabutan ijin)
Yang berwenang
mengadili organisasi
profesi (MKEKG-
PDGI/MKEK-IDI)
Yang berwenang mengadili
adalah MKDKI
Yang berwenang
mengadili adalah
pengadilan
Di kasus ini juga pihak-pihak yang terkait memiliki statement masing-
masing untuk mengukuhkan pendapatnya bahwa pihak-pihak tersebut tidak
bersalah. Contohnya saja seperti berikut :
4
a. Statement Dokter
Kuasa hukum dokter Ichramsyah, menyatakan bahwa dokter tidak
bersalah karena dokter hanya bekerja berdasarkan sarana dan prasarana
Rumah Sakit, termasuk didalamnya dokumen hasil PA. Dokter juga
memberikan penanganan yang sesuai, karena hasil PA menyatakan
bahwa tumor itu tidak ganas.
b. Statement Pasien (Ahli Waris Pasien)
Pasien juga memiliki sanggahan yang tidak kalah menyudutkan untuk
pihak dokter dan Rumah Sakit, bahwa kesalahan yang dilakukan pihak
dokter dan Rumah Sakit sangat fatal, yaitu tidak diberitahukannya hasil
pemeriksaan patologi anatomi terbaru sehingga pasien kehilangan waktu
satu tahun untuk menyembuhkan dan menjalani terapi bagi penyakitnya,
sehingga nyawa pasien sudah tidak tertolong lagi.
2.3. Jenis Pelanggaran
2.3.1. Pelanggaran yang dilakukan dokter
a. Pelanggaran Etik
Kode Etik Kedokteran
1. Pasal 7b
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan
pasien dan sejawatnya dan berupaya untuk mengingatkan
sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekuranfan dalam
karakter atau kompetensi atau yang melakukan penipuan atau
penggelapan dalam menangani pasien.
2. Pasal 7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak
sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya dan harus
menjaga kepercayaan pasien.
Sesuai pasal tersebut, dokter bersikap tidak jujur dalam
memberikan hasil laboratorium patologi anatomi yang baru dan
5
tidak menghormati hak pasien yaitu untuk mendapatkan isi rekam
medis.
b. Pelanggaran Disiplin
Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia No. 17/KKI/KEP/VIII/2006
tentang Pedoman Penegakan Disiplin Profesi Kedokteran
1. Butir 6
Dalam penatalaksanaan pasien, melakukan yang seharusnya
tidak dilakukan atau tidak melakukan yang seharusnya
dilakukan, sesuai dengan tanggung jawab profesionalnya, tanpa
alasan pembenar atau pemaaf yang sah, sehingga dapat
membahayakan pasien.
2. Butir 8
Tidak menjelaskan penjelasan yang jujur, etis, dan memadai
kepada pasien atau keluarganya yang melakukan praktik
kedokteran.
Sesuai penjelasan di atas, dokter melakukan pelanggaran yaitu
tidak melakukan yang seharusnya dilakukan dengan tidak
melakukan tindakan yang sesuai dengan hasil laboratorium
patologi anatomi yang baru. Selain itu dokter tidak memberikan
penjelasan yang detail ke pasien.
c. Pelanggaran Hukum
Undang–Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
1. Pasal 52 tentang Hak Pasien
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran,
mempunyai hak:
a) mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan
medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3)
tentang diagnosis dan tata cara tindakan medis; tujuan
tindakan medis yang dilakukan; alternatif tindakan lain dan
6
risikonya; risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi;
prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
c) mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
e) mendapatkan isi rekam medis.
2. Pasal 47
1) Dokumen rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
46 merupakan milik dokter, dokter gigi, atau sarana
pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis
merupakan milik pasien.
Berdasarkan penjelasan pasal–pasal tersebut, pelanggaran yang
dilakukan dokter antara lain melanggar hak pasien yakni untuk
mendapatkan isi rekam medis. Dalam hal ini, isi rekam medis
merupakan milik pasien. Selain itu dokter juga tidak
memberitahukan kepada pasien tentang kesalahan diagnosis
yang dilakukannya, yaitu mengenai tumor jinak yang ternyata
merupakan tumor ganas. Oleh karena itu dokter hanya
memberikan pelayanan medis sesuai dengan diagnosis awal
yaitu penanganan untuk tumor jinak.
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
1. Pasal 4
Setiap orang berhak atas kesehatan
2. Pasal 8
Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data
kesehatan dirinya termasuk tindakan pengobatan yang telah
maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.
Berdasarkan isi pasal–pasal tersebut, dokter melakukan
pelanggaran yakni melanggar hak pasien untuk hidup sehat dan
untuk mendapatkan informasi tentang data kesehatan dirinya
7
mengenai adanya perubahan diagnosis dari tumor jinak yang
ternyata tumor ganas.
Undang–Undang Rumah Sakit No. 44 Tahun 2009
1. Pasal 13
Ayat (3), Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit
harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan
Rumah Sakit, standar prosedur operasional yang berlaku, etika
profesi, menghormati hak pasien dan mengutamakan
keselamatan pasien.
Pelanggarannya yaitu dalam bekerja dokter tidak menghormati hak
pasien antara lain mendapatkan isi rekam medis yang merupakan
milik pasien, tidak memberitahukan tentang kesalahan diagnosis
mengenai tumor jinak yang ternyata merupakan tumor ganas, dan
hanya memberikan pelayanan medis sesuai dengan diagnosis awal
untuk penanganan tumor jinak. Selain itu dokter melanggar etika
profesi dengan tidak bersikap jujur dalam memberikan hasil
laboratorium patologi anatomi yang baru.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
1. Pasal 304
Barangsiapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan
seorang dalam keadaan sengsara padahal menurut hukum yang
berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi
kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu,
diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan
atau pidana denda paling banyak 4.500,00.
2. Pasal 359
Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan
oranglain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama 5
tahun atau pidana kurungan paling lama 1 tahun.
8
Pasal tersebut ditujukan kepada dokter. Adapun pelanggarannya
yaitu dokter mengetahui hasil laboratorium patologi anatomi yang
baru bawa hasilnya adalah tumor ganas dan tidak memberitahukan
ke pasien. Jadi, dalam kasus tersebut dokter membiarkan pasien
dalam keadaan sakit yang bertambah.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
1. Pasal 1365
Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa
kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang
menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk
menggantikan kerugian tersebut.
2. Pasal 1366
Setiap orang bertanggung jawab, bukan hanya atas kerugian
yang disebabkan perbuatan perbuatan, melainkan juga atas
kerugian yang disebabkan kelalaian atau kesembronoannya.
Pelanggarannya adalah dokter menimbulkan kerugian pada pasien
dengan tidak memberitahukan hasil laboratorium patologi anatomi
yang baru. Dengan sikap tersebut, dokter membiarkan pasien dalam
keadaan sakit yang bertambah karena lamanya waktu sekitar satu
tahun sebenarnya dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit
yang dideritanya ternyata tumor ganas. Dalam prosedur tindakan
medisnya, dokter mengemukakan bahwa tumor ganas tersebut
dapat diminimalisasi dengan menjalani enam kali kemoterapi.
Karena waktu selama satu tahun telah berkurang secara sia–sia
akibat tidak diberitahukan tentang tumor ganas, maka kemoterapi
hanya dapat dilakukan selama dua kali sampai akhirnya Sita
meninggal dunia .
9
2.3.2. Pelanggaran yang dilakukan rumah sakit
a. Pelanggaran Hukum
Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
1. Pasal 29 tentang Kewajiban Rumah Sakit
Butir (l), Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur
mengenai hak dan kewajiban pasien.
2. Pasal 32 tentang Hak Pasien
Butir (j), Mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata
cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan,
resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis
terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya
pengobatan.
Pelanggaran yang dilakukan rumah sakit adalah tidak memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur tentang hak pasien, dan
melanggar hak pasien yaitu untuk mendapatkan informasi medis,
seperti tercantum dalam Undang–Undang Praktik Kedokteran pasal
52 tentang hak pasien.
b. Pelanggaran Etik
Kode Etik Rumah Sakit Indonesia
1. Pasal 9
Rumah sakit harus mengindahkan hak–hak asasi pasien.
2. Pasal 10
Rumah sakit harus memberikan penjelasan apa yang diderita
pasien dan tindakan apa yang hendak dilakukan.
3. Pasal 13
Rumah sakit harus menjamin agar pimpinan staf dan
karyawannya agar senantiasa mematuhi etika profesi masing-
masing.
10
Pelanggaran yang dilakukan rumah sakit antara lain tidak
mematuhi hak pasien untuk mendapatkan isi rekam medis,
tidak memberikan penjelasan sebenarnya tentang yang diderita
pasien, dan tidak mematuhi etika profesi.
2.4. Penyelesaian
Kasus antara pihak keluarga Sita Dewi dan rumah sakit berakhir dengan
keputusan pengadilan dengan ganti rugi sebanyak 2 miliar secara tanggung
renteng. Meskipun dalam kasus kami sudah menemukan jalan penyelesaian
melalui jalur pengadilan, tetapi kami sebagai penulis mempunyai gambaran
sendiri tentang penyelesaian kasus tersebut yaitu:
2.4.1. Melalui mediasi
Berdasarkan Undang–Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 pasal
29 bahwa “Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam
menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih
dahulu melalui mediasi”.
Proses mediasi dilakukan oleh pihak mediator dengan menemukan
kedua belah pihak yang sedang bersengketa. Pada kasus, pihak yang
dirugikan langsung melaporkan atau mengadukan kasusnya ke pengadilan.
Seharusnya, pihak yang dirugikan melakukan mediasi untuk mendapat
kesepakatan atas kerugian yang ditimbulkan sehingga pada akhirnya tidak
menimbulkan keputusan yang sepihak.
Sebagaimana mediasi merupakan proses penyelesaian sengketa
perdata secara non litigasi. Penyelesaian secara sukarela dengan
perantaraan/bantuan pihak ketiga (mediator) yang netral. Campur tangan
hakim sangat terbatas, bahkan mungkin tidak ada.
2.4.2. Melalui MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran)
Berdasarkan adanya pelanggaran etik yang dilakukan oleh dokter,
maka pihak yang menemukan dugaan terjadinya kasus pelanggaran dapat
mengajukan surat pengaduannya kepada MKEK Cabang tempat dimana
terjadinya kasus pelanggaran tersebut.
11
Prosedur penanganan pelanggaran etika kedokteran sebagai
berikut:
1. Pada prinsipnya semua masalah yang menyangkut pelanggaran etik
diteruskan lebih dahulu kepada MKEK.
2. Masalah etik murni diselesaikan oleh MKEK.
3. Masalah yang tidak murni serta masalah yang tidak dapat diselesaikan
oleh MKEK dirujuk ke P3EK propinsi.
4. Dalam sidang MKEK dan P3EK untuk pengambilan keputusan, Badan
Pembela Anggota IDI dapat mengikuti persidangan jika dikehendaki oleh
yang bersangkutan (tanpa hak untuk mengambil keputusan).
5. Masalah yang menyangkut profesi dokter atau dokter gigi akan ditangani
bersama oleh MKEK dan MKEKG terlebih dahulu sebelum diteruskan
ke P3EK apabila diperlukan.
6. Untuk kepentingan pencatatan, tiap kasus pelanggaran etik kedokteran
serta penyelesaiannya oleh MKEK dilaporkan ke P3EK Propinsi.
7. Kasus-kasus pelanggaran etikolegal, yang tidak dapat diselesaikan oleh
P3EK Propinsi, diteruskan ke P3EK Pusat.
8. Kasus-kasus yang sudah jelas melanggar peraturan perundang-undangan
dapat dilaporkan langsung kepada pihak yang berwenang (Hanafiah,
2008).
2.4.3. Melalui MAKERSI (Majelis Kode Etik Rumah Sakit Indonesia)
Sanksi etik berupa :
1. Teguran lisan maupun tertulis oleh MAKERSI.
2. Informasi kepada masyarakat lewat media masa.
3. Rekomendasi kepada yang berwenang unutk meninjau kembali ijin
rumah sakit. Yang berwenang Depkes, Dinkes, PERSI.
12
2.4.4. Melalui MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia)
Adanya pelanggaran disiplin dalam kasus tersebut yang dilakukan
oleh dokter maka berdasarkan Undang–Undang Praktik Kedokteran No. 29
Tahun 2004 Pasal 66 bahwa “Setiap orang yang mengetahui atau
kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam
menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada
Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia”.
Keputusan dalam menyelesaikan masalah melalui MKDKI berdasarkan
Undang–Undang Praktik Kedokteran No. 29 Tahun 2004 Pasal 69 bahwa
(1) Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
mengikat dokter, dokter gigi, dan Konsil Kedokteran Indonesia.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
dinyatakan tidak bersalah atau pemberian sanksi disiplin.
(3) Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa :
a. pemberian peringatan tertulis;
b. rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin
praktik; dan/atau
c. kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi
pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.
Dengan adanya pernyataan dari undang-undang tersebut maka
pihak yang dirugikan berhak mengirimkan pengaduan ke MKDKI. Adapun
tahap penegakan disiplin oleh MKDKI antara lain :
Tahap 1 yaitu tahap investigasi yang memuat :
a. Pengaduan (admission)
b. Verifikasi
c. Pemeriksaan awal oleh MPA
Tahap 2 yaitu tahap pemeriksaan dan keputusan yang memuat :
a. Pemeriksaan disiplin oleh MPD
b. Pembuktian
c. Pengambilan keputusan
13
Tahap 3 yaitu tahap penyampaian keputusan ke pihak-pihak terkait
yaitu :
a. Tidak bersalah
b. Bersalah dengan sanksi :
i. Peringatan tertulis
ii. Rekomendasi pencabutan STR atau SIP
iii. Mengikuti pendidikan atau pelatihan ulang
2.4.5. Melalui Pengadilan
a. Pidana
Pada kasus tersebut dokter melanggar hukum pidana sesuai KUHP
pasal 304 dan 359 sehingga kasus dokter tersebut diselesaikan di
pengadilan dengan wajib bertanggungjawab atas tindakan yang
dilakukannya.
b. Perdata
Dalam kasus terdapat kerugian yang ditimbulkan oleh dokter
terhadap pasien. Menurut UU Kesehatan Pasal 58 ayat 1 “Setiap orang
berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan,
dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat
kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya”.
Selain itu berdasarkan KUHPerdata Pasal 1365 bahwa “Tiap perbuatan
yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya
untuk menggantikan kerugian tersebut. Pasal 1366 bahwa “Setiap orang
bertanggung jawab, bukan hanya atas kerugian yang disebabkan
perbuatanperbuatan, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan
kelalaian atau kesembronoannya”.
Pada kasus tersebut dokter melanggar hukum perdata sesuai
KUHPerdata pasal 1365 dan 1366 sehingga kasus dokter tersebut
diselesaikan di pengadilan dengan wajib bertanggungjawab atas
kerugian yang ditimbulkan dengan membayar denda yang diputuskan
oleh pengadilan.
14
Dalam kasus tersebut tidak hanya dokter yang harus bertanggung
jawab, melainkan pihak rumah sakit juga sesuai dengan yang tercamtum
pada UU Rumah Sakit pasal 46 yaitu “ Rumah sakit bertanggung jawab
secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian
yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit”. Selain itu, dalam
Kode Etik Rumah Sakit Indonesia pasal 2 “Rumah sakit harus dapat
mengawasi serta bertanggung jawab terhadap semua kejadian di rumah
sakit”.
15
BAB III
SIMPULAN
Dalam melakukan praktik kedokteran, dokter harus sesuai dengan etik,
disiplin dan hukum. Apabila dokter melakukan kesalahan maka diselesaikan
melalui pihak terkait misalnya pelanggaran etika diselesaikan melalui MKEK,
disiplin melalui MKDKI, dan hukum melalui pengadilan.
Pada kasus yang kami temukan terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh
dokter dan rumah sakit terhadap pasien yaitu tidak memberitahukan hasil
laboratorium patologi anatomi yang terbaru. Hal ini menyebabkan kondisi pasien
semakin parah. Dalam kasus ini pihak dokter melakukan pelanggaran etik, disiplin
dan hukum sedangkan pihak rumah sakit melanggar hukum dan etik. Oleh karena
itu pihak yang dirugikan melaporkan kasus tersebut ke pengadilan. Akan tetapi
langkah utama yang dilakukan keluarga pasien (pihak yang dirugikan) seharusnya
melakukan mediasi dengan pihak rumah sakit dan dokter. Apabila hasil mediasi
gagal, maka kasus dapat diteruskan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.
Pelanggaran etik yang dilakukan dokter dapat diadukan ke MKEK, pelanggaran
disiplin dilaporkan ke MKDKI, dan pelanggaran hukum ke pengadilan sesuai
dengan kasus yang dihadapi yaitu pidana atau perdata. Sedangkan pelanggaran
etik yang dilakukan rumah sakit dilaporkan ke MAKERSI.
16