44
KEHILANGAN DAERAH BORNEO SELATAN DAN PEMULIHAN KEMBALINYA PERJALANAN KE DAERAH MAANJAN dari Missionaris Karl Gottlob Weiler Penerbitan Toko Buku Basler Mission

Kehilangan daerah Barito Selatan dan pemulihan kembalinya K.G.Weiler.docx

Embed Size (px)

Citation preview

11

KEHILANGAN DAERAH BORNEO SELATAN DAN PEMULIHAN KEMBALINYA

PERJALANAN KE DAERAH MAANJANdariMissionaris Karl Gottlob Weiler

Penerbitan Toko Buku Basler Mission

Kata PengantarKehilangan daerah! Tidak dengan kekerasan hilang, seperti banyak daerah misi jerman melainkan kehilangan karena kekurangan tenaga misi. Itulah daerah bagian timur dari sungai Barito, yang sekarang merupakan daerah misi Basel. Untuk seorang misionaris itu sangat menyakitkan dan kami mengeluh: Aku telah bersusah-susah dengan percuma, dan telah menghabiskan kekuatanku dengan sia-sia dan tak berguna; namun, hakku terjamin pada Tuhan dan upahku pada Allahku. Stasiun-stasiun yang runtuh, jalan-jalan yang tertutup oleh semak duri memperkuatkan perasaan ini, yang memberikan gambaran dari keadaan jemaat yang juga mengalami keruntuhan iman. Tetapi firman Allah dan roh kudus juga menanamkan nilai abadi di daerah gurun. Api itu juga menyala di bawah abu. Kesadaran yang dalam, bahwa itu akan tumbuh kembali, keinginan yang kuat akan mendapatkan utusan Tuhan masih ada di daerah Maanjan dan itu sangat banyak. Tetap masih ada beberapa jiwa setia yang dalam kesendirian lebih mendekati kepada Tuhan.Kunjungan ke keluarga pangeran di Telang membuktikan, bahwa benih firman Tuhan melemahkan hati keras dan tumbuhkan beberapa tangkai hijau, yang akan diikuti oleh orang lain. Itu membangkitkan harapan kami missionaris untuk mendapatkan kembali daerah itu, kami setia mendukung mereka dengan doa syafaat, supaya di luar sana bisa berkembang kebun Allah untuk memuliakan Tuhan dan memberi semangat kepada kami. (S.M.)

1. Dari Bandjermasin ke MengkatibSudah beberapa waktu kami memikirkan suatu perjalanan ke daerah Maanjan. Kami dapatkan tugas dari pimpinan misi Basel, untuk bersama dengan Prses misi Barmen mengadakan satu perjalanan penelitian ke daerah itu, untuk memperoleh kejakinan untuk mengirimkan kembali seorang missionaris ke situ. Daerah Maanjan, yang meluas dari sungai Barito jauh ke timur didiami oleh kurang lebih 10000 jiwa. Bahasa dari Oloh Maanjan jauh berbeda dengan bahasa Oloh Ngadju, yang sebenarnya suku Dajak yang besar, yang mendiami di sungai Kapuas dan Kahajan. Suku Maanjan dan tetangganya di sebelah timur suku Lawangan juga masuk kekeluarga Dajak walaupun bahasa, pikiran, perasaan dan karakternya jauh berbeda. Daerah Maanjan ini adala daerah lama misi Barmen. Sudah sebelum pertumpahan darah tahun 1859 missionaris Denninger dan Klammer pekerja disitu.Waktu pemberontakan itu mereka seharusnya juga dibunuh, tetapi untungnya mereka bisa selamat. Berkat dan berlindungan Tuhan, kecerdasan missionaris Klammer dan keberanian suku Maanjan yang menyelamatkan mereka. Di kemudian hari didirikan stasiun misi di Tamianglajang dan Beto oleh misionaris Feige, Tromp, Sudermann dan beberapa lainnya. Dengan penuh kesabaran mereka menabur benih iman dan mengasihi orang maanjan dalam suka dan duka. Tetapi ladangnya keras yang ditaburi benih injil, saya rasa ladang yang paling keras di pulau Borneo. Pelebaran kerajaan Tuhan berjalan pelan-pelan, sangat pelan, apalagi setela tahun 1915 stasiun di Beto ditutup dan di tahun 1918 juga stasiun utama Tamianlajang harus ditutup oleh kekurangan misionaris.Kami diinformasikan banyak tentang keruntuhan gedung-gedung misi disitu. Itu bisa dimaklumi karena gedung yang tidak dipelihara di daerah tropis cepat runtuh. Apakah jemaat di situ mengalami nasib yang sama, itu kami mau selediki dalam perjalanan kami.Untuk menempatkan hari keberangkatan, kami baru sadar akan kesulitan transportasi di sini. Sampai ke Mengkatib kami bisa menggunakan satu kapal cina yang menyusuri sungai Barito.Kami lama mencarinya.Kapal uap itu tidak berangkat teratur dan tidak punya jadwal tertentu. Kalau muatannya cukup mereka berangkat dan berhenti dimana-mana mereka ada barang dagangan seperti rotan, ikan kering, karet dll. Semua jenis kapal itu mempunyai kiri dan kanan perahu sampingan untuk memuat barang-barang dan kalau perlu juga penumpang. Banyak kotoran, kutu-kutu dan binatang lainnya mengurangi kenyamanan perjalanan di kapal cina yang biasanya dimiliki oleh orang cina kaya tetapi untuk kami misionaris jauh lebih murah daripada kapal pemerintah. Kebetulun guru Samuel bisa ketemukan suatu kapal uap itu yang mau berangkat ke hulu sungai Barito. Namanya indah yaitu Iris dan mereka bersedia untuk membawah kami missionaris Hendrich yang dulu jadi misionaris Maanjan - missionaris Henking dan saya bersama Riwai pembantu rumah tangga yang akan melayani kami selama perjalanan. Hari keberangkatan ditentukan pada 26. Juli. Isteri-isteri kami, khususnya nyonya Hendrich, yang mempunyai pengalaman yang besar, mempersiapkan pakaian, perlengkapan tidur dan terutama bahan makanan untuk perjalanan kami. Semuanya dibungkus dalam peti dan keranjang, kasur-kasur digulung dan diikat rapat dengan tali yang kuat. Untuk perjalanan ke perdalaman kita harus memperhatikan semuanya; cukup terigu untuk membakar roti, minyak tanah untuk lampu tembok, perlengkapan jahit dll. Sebelum keberangkatan kami selruruh keluarga dan pembantu rumah tangga berkumpul di ruang makan untuk mengadakan kebaktian singkat. Sudah satu hari sebelumnya kami menyewa satu perahu tambangan untuk mengangkut barang-barang kami ke kapal. Sampai Mengkatib perahu itu ditarik oleh kapal uap, setelah itu perahu itu harus membawah kami lewat sungai penghubung. Sesuai pengalaman lama di Mengkatib memang sulit untuk ketemukan perahu tambangan. Pukul 4 pagi kami berada di kapal Iris. Satu perahu sampingan mempunyai satu ruangan yang bersih. Disini kami ditempatkan. Dengan bantuan tangan yang rajin barang-barang sehari-hari kami cepat di angkut ke atas kapal. Hanya barang-barang yang tidak bernilai tinggal di perahu tambangan yang disewakan. Perhatian ini berdasarkan penduduk di kampung-kampung pinggir sungai yang memiliki profesi untuk mencuri perahu-perahu dan barang-barang yang bernilai. Setelah semuanya disimpan ditempatnya, maka kami memperhatikan penumpang-penumpang yang lainya dengan seksama. Mereka terutama taruna domestik. Pimpinan mereka, seorang serjan belanda yang rama, mendatangi kami untuk memperkenal diri. Kami bisa merasakan bahwa dia sangat gembira tidak lagi sendiri sebagai seorang eropa di kapal. Ia berjalan dengan kelompoknya ke Puruk Tjahu. Di samping dia ada dua orang serjan dari Ambon dan Menado bersama keluarganya yang mempersiapkan tempatnya untuk perjalanan. Ternyata mereka dua keluarga Kristen dan dalam perjalanan kami cepat merasa akrab dengan mereka. Selain itu ada juga enam taruna muslim dari Jawa dengan tawanannya yang diikat dengan rantai. Mereka dihukum oleh mencuri dan membunuh untuk kerja paksa seumur hidup. Mereka sudah diketahui oleh pakaian berwarnah istimewah yang dipakai.Dari ekspresi mereka kita bisa menyimpulkan kehidupan mereka dan kami inginkan dalam hati tidak pernah bertemu dengan orang seperti ini di jalan yang sepi. Ini adalah rombongan perjalanan kami. Dalam dua hari perjalanan kami, dalam ruangan sama, dimana kami makan dan tidur, tidak ada yang bisa dikeluhkan. Jam 4 pagi seharusnya kapal berangkat, tetapi juga disini berlaku sabar atau jam karet. Baru jam 6 sore, setelah klakson kapal berkali-kali ditiupkan, kapal Iris pelan-pelan bergerak dari pelabuhan. Pertamanya kami jalan mundur, jalan yang kami tiba 5 bulan yang lalu di Bandjermasin, dengan perasaan kwatir dan gembira. Sedang matahari terbenam dan sungai Matapura dengan tepi penuh pohon kelapa kelihatan dalam cahaya merah-emas. Kanan dan kiri kami melihat nelayan dan pengangkut kayu yang duduk di batang, mereka sedang mandi dengan air kotor dari sungai setelah sehari kerja diterik matahari. Itu mereka selalu melakukan sebelum makan malam. Apakah kebersihan memang dijamin dengan air yang penuh lumpur dan kotoran lainnya itu boleh dikawatirkan. Waktu kami sampai ke sungai Barito malam sudah gelap. Kami tidak bisa melihat apapun juga. Angin segar yang kami rasakan bisa cepat mengakibatkan sakit flu, oleh sabab itu kami mengikuti contoh penumpang lainnya dan segera menutupi jalusi di sampingkapal. Lampu tembok yang kabur di tengah-tengah ruangan kami, memberi sedikit cahaya. Kami tidak bisa memberi semangat kepada serjan Ambon yang mengusahakan untuk mengangkap kutu-kutu yang bergeliaran di ruangan kami. Ia juga usahakan untuk menggunakan korek api. Dalam cahayanya ia juga bisa mematikansebagian kutu-kutu di dinding. Dengan pertunjukan seperti itu harus disini dihitungkan. Juga kami digigit disini-sana tanpa melihat pelakunya.Tetapi juga disini berlaku perkataan: tidak ada harga yang terlalu tinggi dan jalan yang terlalu sulit! Tidak lama lagi kami juga tertidur walaupun terganggu oleh kutu-kutu itu tetapi kami bisa lumaian tidur. Tangisan anak-anak dan teriakan perajurit moslem menggangu tidur kami sampai pagi. Pada 27. Juli subuh kami tiba di desa malayu Marabahan. Per jam-jam kami melihat rumah-rumah di tepi sungai. Kebanyakan dari penduduknya adalah orang pedagang, tetapi mereka tidak baik, kotor pikiranya dan badan, pembohong, penipu, penjudi dan orang muslim yang fanatik.Kami melihat beberapa mesdjid dan pesantren, juga perwakilan dari nabi palsu yaitu Hadji tidak ketinggalan. Kami melabuh di satu batang untuk menurunkan dan memuat macam-macam barang, juga beberepa penumpang diantaranya seorang Hadji naik kapal kami. Mereka tidak naik ke tempat kami, melainkan menjari pengikut agama mereka.Semua hadji membenci tiap orang eropa, terutama orang-orang missionaris. Pemerintahan belanda harus memperhatikan cacahanya seperti itu dengan teliti. Setelah pemberhentian singkat, kami meneruskan perjalanan. Di tepi sungai Barito kelihatan jejak orang-orang rajin, yaitu sawah, kebun karet dan rotan yang dipelihara baik. Dibandingkan dengan sungai Kahajan di sungai Barito tinggal lebih banyak orang. Di hulunya terutama desa melayu yang munjul diseblah kanan dan kiri tepi sungai dikelilingi pohon-pohon kelapa dan bua-buahan lainnya. Tetapi juga mereka harus diperhatikan oleh misi. Baru sebelum Mengkatib, mulai kelihatan kampung-kampung asli orang dajak. Begitu banyak pekerjaan untuk misionaris yang tinggal di Mengkatib. Sesuai perhitungan kami, besok pagi kami harus tiba di muara sungai kira-kira 8 kilometer sebelum Mengkatib, yang merupakan pintu gerbang daerah Maanjan. Kami minta kepada pengemudi kapal untuk berhenti disitu supaya kami bisa memuat barang-barang kami ke perahu yang terikat di belakang kapal. Ia berjanji itu dengan ramah dan sopan santun seperti semua orang cina. Apakah ia tidak melihat muara sungai atau lupa janji atau tidak mau berhenti, pada jam setengah enam pagi kami terkejut karena melihat rumah-rumah dari Mengkatib. Apa boleh buat, kami menggunakan kesempatan ini untuk mengunjungi missionaris Hampp dan mengontrol barang bawahan kami, memuatnya ke dalam perahu. Pada jam setengah delapan kami meneruskan perjalanan kami.

2. Perjalanan dengan perahu ke daerah MaanjanSekarang tidak ada lagi bantuan mesin uap untuk menjalankan kapal melainkan perahu kami harus didayung. Jumlah barang dan penumpang hampir terlalu banyak untuk perahu ini, oleh sebab itu kami juga hampir tidak ada tempat, hanya untuk duduk yang lurus. Di bawah atab kami semakin lama semakin merasa kepanasan apalagi kami harus duduk mepet-mepet dan merasa temanya disamping. Lumayan cepat kami tiba di muara sungai Mabu. Kampung bertama adalah Kalanis yang kebanyakan penduduknya adala orang melayu. Mereka terutama tukang potong kayu dan nelayan. Dimana-mana diatas batang kami melihat ratusan ikan untuk dekeringkan. Makanan utama orang melayu dan orang dajak adalah ikan kering dan nasi. Pundang, ikan yang ditaburi garam dan dikeringkan, kami ketemu dimana-mana. Disini di kampung Kalanis pada tahun 1859 missionaris Klammer, waktu melarikan diri ke Bandjermasin, ditahan 24 jam oleh pemberontak yang punya perintah untuk membunuhnya dan mereka mau melakukan tugas kejam disini. Kabar itu juga sampai ke Tamianglajang dan segera 200 orang Maanjan dengan persenjataan lengkap berangkat untuk membantunya. Setelah mereka tiba, pemberontak mundur teratur oleh ketakutan. Berapa banyak doa Klammer naikkan ke Tuhan yang maha kuasa, yang akhirnya melakukan suatu keajaiban, karena Tuhan memakai orang Maanjan untuk keselamatan dia. Missionaris Klammer adalah satu-satunya orang eropa yang selamat dalam pemberontakan berdarah itu. Pada masa sekarang ini, kami tidak merasakan apa-apa dari kejadian itu. Walaupun orang melayu tetap tertutup dan waspada, itu juga diajarinya oleh para hadji mereka. Tetapi kalau kami orang missionaris berlabuh di salah satu batang untuk membeli pundang, maka mereka sangat ramah. Untung itulah kata ajaib untuk membuka hati mereka. Apalagi pada musim kering, dimana kekayaan akan ikan sangat besar di sungai, mereka senang bisa menjualnya dengan harga yang baik. Saat ini mereka menjari ikan siang dan malam.Oleh sebab itu tiap 100-200 meter ada semacam pagar di sungai. Hanya satu bukaan kecil izinkan kami untuk melewatinya dengan hati-hati. Pagar itu terdiri dari tongkat yang tiap 20 cm ditajak ke dasar sungai. Dengan ranting-ranting dibuat suatu jaringan supaya ikan-ikan tidak bisa melewatinya. Secara alami semua ikan berkumpul di jaringan itu dan semua orang besar maupun kecil menangkap banyak ikan. Pada musim hujan waktu air tinggi, semua teluk dan parit ditutup dengan jaringan bambu. Kalau air nanti surut, banyak ikan tinggal disitu dan bisa ditangkap dengan mudah. Cara lain yang kami juga bisa berhatikan, beberapa anak mudah naik dengan jukung diam-diam di air yang tidak dalam. Di mukanya berdiri satu anak dengan parang jari tiga, kalau dia melihat ikan di dasar sungai dia dengan pandai bisa menangkapnya. Kekayaan akan ikan juga menarik perhatian banyak buaya. Mereka sering kali sangat menggangu dan membahayakan. 3 tahun yang lalu semua penduduk berbondeng-bondeng untuk mengatsi masalah itu. Mereka bisa tangkap 70 ekor dan untuk memberi tahu keberhasilanya mereka pamerkan kepalanya di tepi sungai. Kami sendiri tidak bisa melihat raksasa air itu tetapi beberapa kadal yang panjangnya 1.50 meter. Tumbuh-tumbuhan di tepi sungai sangat sedikit. Beberapa tahun yang lalu pada musim kering, ada kebakaran hutan yang luas dan dashiat di daerah ini. Beberapa pohon raksasa yang gundul masih terlihat, tetapi mereka juga cacat oleh api itu. Ada yang terletak di tanah dimana rumput alang-alang tanpa hambatan tumbuh meluas. Banyak batang pohon ditiup angin ke sungai. Mereka menghalangi perjalanan kami. Kecuali kampong Kalantis, kami tidak ketemu kampung lain lagi. Kadang-kadang ditepi sungai ada beberapa pondok yang didiami oleh nelayan pada musim kering. Biasanya diperhitungkan satu hari perjalanan dari Mengkatib ke Tamianglajang. Itu bisa berlaku pada musim hujan kalau air sungai tinggi dan tidak banyak hambatan. Kami tidak mencapainya. Matahari yang menyinari kami pada siang hari sedang terbenam di arah barat waktu kami melintasi padang air yang terletak antara Kalanis dan Tamianglajang. Pada musim hujan padang air itu sangat luas dan kadang-kadang terlihat pepohonan yang muncul keluar dari air itu. Di belakangnya kelihatan hutan yang merupakan perbatasan padang air itu. Di dalam rawa itu sering terjadi ada orang hilang karena tidak tahu jalannya keluar. Pada waktu kami menyeberang, air sudah surut dan tinggal rawa-rawa dan sungai kecil, yang lainnya ditutupi oleh alang-alang, untuk burung-burung bangau suatu taman eden ikan-ikan. Kami sebenarnya menginginkan jalan yang lebih lebar dan tidak begitu banyak alang-alang. Dengan ceri payah kami maju sedikit demi sedikit. Waktu kami tidak bisa dayung lagi, orang perahu mengambil tongkat bambu untuk mendorong perahu maju. Sementara itu tiba muncul kekelapan malam. Disini kami duduk, tidak bisa jalan lagi. Orang-orang terlalu lelah. Kami masih mampu sampai ketemu beberapa pondok yang kepunyaan orang Megantis, desa besar yang terdekat. Kami tanya apakah kami boleh menginap di salah satunya yang kosong. Tidak ada yang kosong jawabanya. Tidak terlalu ramah orang nelayan itu. Mereka juga adalah pengikut nabi Mohammad. Apa boleh buat, kami membuat kemah kami 100 meter lebih ke hilir. Barang-barang kami susun di tepi sungai dan tutupnya dengan tikar untuk mencega kalau hujan turun. Begitu ada tempat untuk tiga orang yang cape di perahu. Sambil kami mempersiapkan semuanya itu, Riwai kami juga mempersiapkan makan malam yang sederhana. Ribuan nyamuk mengelilingi dan menyiksa kami, kami tidak tahu bagaimana melawannya. Bawah kami bermalam di alam terbuka celas nelayan-nelayan itu tahu. Beberapa datang kepada kami dan ikut duduk keliling api yang kami buat. Antara mereka ada seorang laki yang dikenal oleh missionaris Hendrich. Dia adalah Adil. Waktu dulu ia sering bekerja di Tamianglajang di kebun missionaris Hendrich, atau ia jadi pengangkut barang atau pendayung dalam perjalanan kemana-mana. Adil kurang lebih berumur 50 tahun. Ia sendiri tidak tahu pasti. Waktu ia melihat missionaris Hendrich, mata nakalnyabersynar gembira. Apakah cahaya itu tertuju ke missionaris atau barangnya yang disusun di tepi sungai kami tidak tahu, tetapi pasti dua-duanya. Adil adalah seorang moslem yang fanatik dan namanya tidak cocok untuknya. Dia adalah pencuri berat, kami dengar itu dan juga mengalaminya sendiri. Apa saja yang dia bisa angkut di bahu atau dengan perahu ia pasti curi. Yang jelas, kunjunganya bersama anak laki-lakinya pasti untuk mengintai apakah ada barang-barang yang nanti malam bisa dicurinya. Dalam percakapan dengannya saya kasih tahu, bawah kami punya senapan di perahu untuk memburu kancil dan babi hutan, tetapi senapang itu juga siap untuk menyambut pencuri-pencuri nanti malam. Itu Adil mengerti dan tidak lama lagi ia minta pulang dengan kata malam bai. Kalau kami betul mengerti dalam percakapan di pondok nelayan, beberapa kali disebut kata senapang. Tetapi perlindungan kami yang tepat bukan senapang itu, melainkan penjaga Israel, yang pada malam ini di padang rumput menyertai dan melindungi kami. Pada pagi tanggal 29. Juli, setelah kami bolak-balik mundur-maju tarik-dorong, kami bisa berlahan-lahan berjalan maju. Sudah kami diliputi hutan rimba lagi yang memberi, dengan dahan yang besar, sedikit perlindungan terik matahari dan udara sejuk. Sekitar jam 10 kami tiba di Patai. Dari desa ini ada satu jalan yang menuju ke Tamianglajang sekitar 4 jam berjalan kaki lamanya. Kami memutuskan untuk mengirim barang-barang kami dengan perahu lewat sungai dan kami sendiri berjalan kaki. Perjalanan kaki ini mengeluarkan banyak tetesan keringat. Matahari bersinar dari punjaknya langit dengan sekuat-kuatnya. Tetapi kami merasa enak bisa bergerak bebas setelah kami duduk berhari-hari di perahu. Kami heran karena jalur yang kami lalui begitu kuat tidak seperti tanah rawa-rawa di Badjermasin. Ladang padi, semak-semak dan pohon-pohon buah-buahan kami melewati di pinggir jalan. Setelah 2 jam perjalanan, kami sampai kampung Sarapat yang dikelilingi pohon durian. Ada dua ibu Kristiani yang tinggal di kampung ini, ibu dari salah satu guru di Tamianglajang, yaitu indu Aron, dan menantunya. Selain itu semua penduduk adalah orang kafir. Setelah kami beristirahat sebentar, kami teruskan perjalanan kami naik turun lewat bukit-bukit yang indah. Jam 2 siang kami tiba di bukit kecil dimana terletak Tamianglajang.

3. Pada stasiun misi TamianglayangDi sana-sini ada wajah yang terkejut, melihat sekaligus tiga Tuan berdatangan. Satu misionaris yaitu Hendrich, mereka sudah tahu dengan baik oleh sebelumnya; tetapi bagaimana hal-hal dengan dua lainnya? Tamianglayang adalah daerah misi tua dan menjadi pusat bekerja di antara suku Maanjan. Pada awal 1880 Missionar Feige menempati di sini dan telah membangun rumah misi pertama. Sampai saat meninggalnya dia bekerja di Tamianglayang. Kuburan dia dan anaknya adalah di sebelah kiri pintu masuk ke lokasi Misi. Stasiun ini juga memilikimisionaris yang meninggal disini. Karena rumah tua sudah hancur misionaris Tromp pada tahun 1902 membangun yang baru dan lebih besar. Pekerjaan penginjilan tumbuh dan menyebar dan orang percaya bahwa pengembanganmisi Maanjan akan suksess. Tetapi kemudian adakekurangan orang ahli dari Eropa. Yang lama pergi dan oleh perang dunia pertama, tidak bisa kirim tenaga muda lagi.Misionaris Hendrich, yang terakhir bekerja di Tamianglajang, harus pada tahun 1918 ke Banjarmasin ke kantor pusat untuk mengambil alih kepemimpinan disitu. Sejak saat itu die daerah suku Maanjan titak ada misionaris. Ini adalah pengalaman yang lama di Kalimantan, bahwa stasiun tanpa misionaris, luar dan dalam selalu kembali mundur. Jadi begitu juga di sini. Fasilitas stasiun jatuh ke dalam keruntuhan . Pelajaran yang diberikan per tahun-tahun tentang kebersihan dan ketertiban tidak ada gunannya. Rumah misi, baru-baru harus dihubungkan dengan tali yang khusus dibeli ke dua pohon kelapa, sehingga tidak menjadi permainan badai. Pada tahun 1920 rumah itu dijual untuk dibonkar , tetapi dikemudian hari dibangun lagi dari sisa-sisa kayu rumah singahan. Ini masih berdiri sampai hari ini . Rumah ini pun ditawarkan kepada kami untuk menjadikan apartemen dan tempat tinggal selama kami tinggal di Tamianglayang. Namun, rumah ini hanya bayangan kecil sekali dari yang sebelumnya berdiri di tempat ini. Saya tidak mengatakan rumah ini tidak akan memenuhi persyaratan kami lebih dari cukup. Tetapi sehubungan dengan pertanyaan apakah itu bisa berfungsi sebagai rumah kediaman suatu pasangan untuk jangka lama atau bahkan tinggal permanen di masa depan, harus dijawab dengan tidak. Rumah ini memiliki teras kecil , ruang keluarga kecil dengan dua jendela, kamar tidur yang lebih kecil lagi dengan satu jendela. Pada waktu kedatangan kami,evangelis Abel yang ditempatkan di sini muncul dengan dua guru untuk menyambut kami. Sudah lama kami telah mengumumkan kunjungan kami, tetapi terus ada halangan untuk keberankatan kami. Sekarang mereka telah menyerah memikirkan kunjungan kami, berhubungan musim kering dan kurangnya air di sungai. Hal ini kadang-kadang memiliki kelebihan jika kami tiba-tiba muncul di tempat kunjungan. Abel adalah layanan siap, pria ramah sekitar 35 tahun, ia adalah seorang guru dan menerima pendidikannya di Depok Jawa. Karena sebelum Barmen Misi memimiliki sendiri di Kalimantansebuah perguruan tinggi pelatihan guru, mereka mengirim orang-orang muda yang mampu untuk dididik ke Jawa. Selama bertahun-tahun Abel sekarang melayani sebagai penginjil di antara bangsanya disini. Kami mendapat kesan dari dia, bahwa karyanya adalah keinginan hatinya. Permintaan kami untuk membawa kami tiga buah kelapa muda dari pohon, yang isinya cair,merupakan suatu selamat datang yang indah, setelah 4 jam perjalanan dengan terbakarnya oleh sinar matahari. Orang Kristen yang masih di lokasi ini, sekitar 50, termasuk anak-anak, sebagian besar berada masih di ladang. Mereka datang pada malam hari untuk menyambut tuan lama mereka, dan mengajukan berbagai kesulitan mereka, pada umumnya penyakit dan meminta obat. Abel mengeluh bahwa tidak ada kemajuan dalam masyarakat. Mereka mendengar pesan penginjilan, tetapi untuk melakukannya mereka sangat tertinggal. Saya percaya bahwa komunitas Kristen bisa dibandingkan dengan keadaan tanah misi, sekitar dua setengah hektarini. Dari semuanya masih ada sedikit. Gudang sapi masih berdiri, namun setengah atap telah dibongkar, papan telah digunakan untuk keperluan lain. Di kandang ayam masih ada atap, tapi kawatnya telah menemukan kekasih. Nasib gedung lainnya sama. Disana dan disini ada sesuatu yang hilang atau telah dirusak oleh semut. Jalan-jalan menjadi semakin sempit, karena dari kedua sisinya rumput tumbuh ke tengah-tengahnya. Pohon buah-buahan banyak, yang ditanam dengan ketekunan dan perawatan dan dipelihara, masih berdiri, tetapi memiliki banyak kayu mati dan parasit. Lainnya hanya menambahkan banyak kayu. Sayangnya, mereka tidak memiliki pisau yang memotong yang tidak berharga, yang lainnya tidak memiliki tangan peduli yang menyuburkan dan merawatnya. Hanya dua pohon limau menyumbang beberapa buah-buahan. Pohon-pohon kelapa banyak menderita oleh musuh-musuh mereka yaitu tupai, yang hidup mengerikan .Mereka ngebor buah muda, yang kemudian jatuh dan tidak berharga. Aku menghitung di bawah pohon kelapa tunggal enam puluh biji yang dibor. Bukti lainnya dari waktu kuno adalah pagar di sekitar stasiun misi yang ditanam dengan tangannya sendiri misionaris keliling pohon kelapa muda, sehingga mereka tidak dimakan habis dan dirusak oleh sapi dan bisa berkembang untuk jaminan masa depan. Tetapi sebagian dari taman yang telah menderita, masih memiliki masa depan, jika segera seorang yang rajin tangan menggali, memotong dan merawat apa yang ada kerusakan. Apakah itu tidak juga seharusnya dengan jemaat gereja? Pertanyaan ini tidak dapat dan tidak harus dijawab di sini. Tapi satu hal yang jelas, jika itu berlangsung dengan taman seperti sebelumnya, ia adalah padang gurun dalam 10 tahun. Sekolah , yang juga berdiri di tanah misi, telah mengalami, akhir-akhir ini, suatu kemajuan yang baik. Saat ini,sekolah memiliki 75 siswa, yang tidak memiliki cukup ruangan di dalam gedung. Pembesaran gedung sekolah dan bertambahnya ruangan-ruangan harus diperhatikan oleh misi.4. Jalan kaki ke BetoRencana kami adalah, pada hari berikutnya, Sabtu 30 Juli, berjalan ke Beto, sekitar 7 jam dari Tamianglayang. Kami ingin tinggal di sana dan pergi ke beberapa stasiun luar pada hari Senin hingga Minggu. Hanya setelah kami telah kunjungi stasiun luar, kami ingin memperhatikan Tamianglayang dan komunitasnya. Mulai sekarang tidak ada lagi sungai. Barang-barang kami harus diangkut oleh kuli-kuli. Oleh karena itu kami menginstruksikan para penginjil Abel untuk pergike desa melayu Magantis untuk menyewa kuli-kuli bagi kita. Di Tamianglajang kita tidak bisa mendapatkan. Abel pergi , dan dia membawa senapannya dan bohlam lampu. Yang terakhir diimpor dari Inggris atau Amerika, pada umumnya disini digunakan untuk berburu rusa. Penduduk menggunakan caraseperti berikut ini : Pada tengah malam mereka pergi, mereka pergi bertelanjang kaki dengan lampu ini melalui medan yang jelas, perkebunan karet, ladang, sehingga mereka tidak dapat didengar.Mereka selalumenjari dengan sinar lampu di sebelah kanan dan kiri jalan. Kalau ketemu rusa atau kancil, matanya bersinar seperti dua bola api. Dan hewan itu berhenti, ia tidak berpikir untuk melarikan diri. Diam-diam pemburu mendekati di belakang bayangan lampu, dan sinar penuh reflektor lampu menerangi mata binatang itu. Kalau sudah cukup dekat dia menembak. Dengan cara yang baru saja dijelaskan, Abel malam ini, ketika ia pergi untuk mencari dukungan, mendapatkan rusa, yang menguntungkan kami semua. Selain itu, ia juga membawah orang-orang yang diperlukan. Keesokan harinya keberangkatan kami tertunda oleh segala macam persiapan. Terpenting kita harus panggang roti yang diperlukan untuk perjalanan. Misionaris Hendrich, yang memiliki pengalaman yang kaya, meremas dan mencoba adonan sejak fajar. Kompornya adalah kaleng minyak tanah yang kosong. Roti menjadi baik sekali. Kuli-kuli kami sudah mempersiapkan kasur dan makanan yang diperlukan dan ikat ke keranjang angkat dan sudah berangkat dahulu. Pada jam 12 kamipun mulai bergerak. Meskipun matahari bersinar sengat, kita tidak bisa menutup mata oleh pemandangan yang indah.Jalan itu membawa kami per jam-jam melalui pegunungan yang subur, yang di sana-sini dihiasi dengan sungai kecil. Kadang-kadang kita ingat gelombang bukit seperti di rumah. Baru untuk kami adalah yang disebut pulau buah itu. Sebagian besar dijadikan oleh biji buah-buahanyang dibuang. Sayangnya, kami datang ke daerah Maanjanpada suatu waktu, dimana pohon buah-buahan banyak hanya berdaun, tetapi tidak ada buahnya. Di tengah-tengah pulau buahan itu yang juga memiliki sumber air yang jernih, kami beristirahat sejenak. Hal ini diperlukan mengingat kuli-kuli kita, yang tidak bisa lagi bersaing dengan kami dan sudah terbelakang. Setelah kami berjalan sekitar 4 jam melalui hutan dan semak, melalui perkebunan buah dan ladang padi pemandangan merobah drastis. Dimuka kami munjul suatu pegunungan tanpa pohon hampir tak terhitung luasnya. Itu ditutupi dengan rumput alang-alang yang dikenalnya. Ia memiliki puncak panjang yang berbentuk pedang, yang memiliki tepi tajam yang bila rumput lebih tinggi, bisa menggores pengembara pada wajah dan tangan. Rumput ini sangat ditakuti karena ditumbuhi dan mematikan segala sesuatu yang lain. Sulit untuk memberantas. Hanya pohon rindang sanggup mematikan dia dari kondisi hidup dan membuatnya menghilang. Sayangnya, kebakaran besar tahunan mencegah kemajuan makmur semak dan perpohonan tumbuh, yang dengan demikian hancur lagi dan mendukung tumbuhnya pesat alang-alang. Pandangan yang luas membuat mata kami heran, mungkin karena kami belum pernah memenuhi sesuatu seperti ini di Kalimantan. Di Timur, gelombang bukit menjadi pegunungan yang megah. Daerah Aliran Sungai ini merupakan perbatasan antara Divisi timur dan selatan Belanda-Borneo. Melalui gunung ini missionaris Maanjan harus lagi berjalan kaki berhari-hari ke timur untuk mengunjungi kumpulan masyarakat di sana dan untuk melaiani mereka dengan Injil. Pada kinerja fisik misionaris ada permintaan yang tidak kecil. Di bukit yang baru saja disebutkan, tidak ada kehidupan kecuali rusa dan babi hutan. Desa-desa terletak hanya di tepi. Kami melalui pada malam beberapa desa yang terletak sepanjang jalan ke Beto. Mereka kadang-kadang sangat kecil, hanya terdiri dari 3 sampai 4 rumah. Namun Haiaping membuat pengecualian, karena memiliki sekitar 70 hingga 80 rumah dan jumlah penduduk 400. Orang-orang keluar ke jalan dengan heran ketika mereka melihat kami datang berjalan. Kami salam mereka tabe, tapi jarang menerima salam balik. Ini adalah kesopananorang Maanjan? Kemudian kami diberitahu bahwa ini adalah jenis suku yang begitu, merekahanya menyapa siapa mereka kenal. Di jembatan di pusat desa, sebelah tempat pemandian umum, kami bertemu seorang pria kecil dengan keranjang perjalanan di bagian belakang dan tombak di tangannya. Dia membuat pengecualian berkaitan dengan bersalaman. Dengan tabe tuan ia sopan membungkuk. Aku memintanya petunjuk arah dan kemudian mengatakan kepadanya bahwa tuan Hendrich akan datang di belakang kami. Ketika ia mendengar nama itu, ia menjadi terbuka. Apakah Anda pandita? - Ya! - Dan aku Onder! - Jadi, Anda adalah Albert! - Ketika saya memanggilnya dengan namanya dan ia mendengar bahwa saya telah mendengar banyak dari dia, dia hampir kolegial.Dia sedang dalam perjalanan misi dan memiliki tugas yang kurang menyenangkan karena harus mengumpulkan wang tapala (pajak jajak pendapat). Dia adalahseorang Kristen sejak kecil dan ia juga menjabat beberapa tahun sebagai guru. Keterikatannya dengan segala sesuatu yang merupakan bagian dari misi adalah besar. Kakek Albert 1859 membantu untuk menyelamatkan misionaris Klammer. Sayangnya,walaupun Albert Blantang memiliki pengetahuan yang besar tentang kekristenan dan kebenaran injil, masih tidak dapat membebaskan diri dari rasa duniawi, dan kecanduan uang. Sayang baginya. Tapi kita tidak boleh kehilangan harapan, bahwa ia lagi benar-benar bertobat. Lalu ia akan menjadi dukungan dan tulang punggung misi Maanjan. Secara bertahap berita telah menyebar di desa, Tuan sari (Tuan sebelumnya) telah tiba. Dalam waktu singkat sekitar 100 orang berkumpul di jembatan, di mana misionaris Hendrich menemukan beberapa kenalan lama. Banyak yang mengungkapkan keinginan untuk memliki sekolahhan. Antara Hajaping dan Beto terletak kampung Biwan, disana tinggal beberapa orang Kristen. Juga disini, sukacita besar waktu bertemu ulang. Meskipun terlambat jam, kami masih harus masuk ke dalam salah satu gubuk. Orang-orang memberi kita minuman jus aren, dari mana mereka mempersiapkan gula merah. Sayangnya, ia terasa terlalu banyak bau asap. Tabung bambu, di mana jus dikumpulkan dari pohon, diasap sebelum digunakan selama berjam-jam. Hal ini akan mencegah fermentasi jus dan tumbuh jamur.

5. Pada stasiun misi BetoSudah jam 20.30 ketika kami tiba di Beto dengan aman di depan rumah kepala desa Mathias Saung. Semuanya sudah berada di tidur nyenyak. Kami menyesal bahwa kami harus mengganggu mereka tidur, tapi kami tidak bisa menghindarkannya. Dengan rela mereka membuka pintu. Kepala desa, penampilan menengah sekitar 40 tahun, menyambut kami dengan hangatdan menawari kami kamar kenegaraannya sebagai ruang tamu. Dengan senang hati kami menerima tawaran ini untuk beristirahat dan meluruskan seluruh badan kita, setelah perjalanan sehari penuh. Matthias masih mau suruh masak untuk kami, tapi kami berterima kasih.Di sungai terdekat di mana ada banyak buaya saat musim hujan, sekarang air dapat dicapaimelalui tangga batang, kita bisa melepaskan debu dan keringat sehari. Segera setelah itu , rumah kepala desa Beto kembali dikelilingi kedamaian dan keheningan malam. Keesokan paginya Minggu , berkumpul apa yang masih tersisa dari anggota gereja di Beto dan lingkungan, di rumah kepala desa untuk meraiakan kebaktian. Lonceng mantan gereja, yang kini menggantung pada kerangka kecil di depan rumah kepala desa, seperti pada hari yang lebih baik memanggil masyarakat berkumpul. Sayang sekali bahwa tidak lebih banyak mengikuti panggilan ini. Hanya sekitar 30 orang, seluruh komunitas Kristen yang hadir. Dari orang-orang kafir tidak ada yang datang. Setelah menyanyi dan doa, misionaris Hendrich berkhotbah dalam bahasa Maanjan. Setelah dia Misionar Henking berbicara dalam bahasa Melayu, yang di sini umumnya masih dipahami masyarakat. Dia memberi perupamaan daribanyak pohon buah-buahan yang kami temui sepanjang jalan yang hanya ada daunnya tapi tidak menghasilkan buah, dan bahwa ia telah menerima kesan yang sama dari masyarakat Maanjan, yang sudah mendengar Injil selama 70 tahun. Setelah dia, berbicara lagi 3 perwakilan dari masyarakat. Pertama Onder Albert atas nama Tamianglajang. Dia mengatakan bahwa kebun ditinggalkan tukang kebun terlalu dini, jadi oleh karena itu gulma telah mampu menyebar begitu luas. Misionaris harus datang kembali, maka itu akan segera merobah. Dia diikuti oleh mantan penginjil Benjamin dari Dujus, sebuah cabang dari Beto, yang juga meminta seorang missionaris untuk daerah Maanjan. Terakhir juga kepala desa sendiri menyampaikan permintaan dimasukkan seorang misionaris lagi. Namun, ia lebih menekankan manfaat eksternal yang telah ada melalui misionaris: Bantuan kesehatan, dukungan bermasalah dengan pemerintah. Bahkan mereka ingin memiliki lagi sebuah sekolah. Tapi itu tidak mencukupi semuanya. Seorang guru saja kurang baik, yang berarti bahwa ia tidak dapat membantu sebanyak seorang misionaris. Kami merasa kasihan pada kepala desa bahwa ia tidak ada motif lain untuk meminta seorang misionaris. Dia hanya salah satu yang dimiliki setan, iblis judi telah merasuki dirinya.Jika, oleh kasih karunia Allah di dalam dia tidak ada pengakuan iman, Matthias yang sebenarnya pintar akan mengalami kehancuran duniawi yang kekal. Setelah layanan ini, kami mengunjungi lokasi misi tua. Ia menawarkan gambaran mata yang membuat kami menangis. Bukan hanya karena bekas rumah misi menjadi timbunan puing dan bekas gereja tinggal pilar saja, tidak hanya tentang itu, juga karena di sekolah yang telah ditutup, semut putih bebas melakukan pekerjaan mereka yaitu kehancuran gedung, banyak barang berharga sudah dicuri dan rumput dan gulma di sekitar berkembang biak subur. Kesan suram ini diperburk karena di tempat ini sekitar setengah abad diberitakan firman Allah dan keselamatan yang ditawarkan dalam Kristus, begitu sedikit yang dipanggil datang, dan sebagian besar tidak mengakui apa yang akan membawa kedamaian. Apakah petani surgawi memutuskan penghakiman terakhir kepada pokok anggur Maanjan? Kita tidak mau percaya itu. Sebaliknya, kita ingin permintaan dari teks perjalanan kita dalam pandangan daerahMaanjan letakkan ke hadapan Tahta Allah: Tuhan, biarkan saja pohon ara tahun ini!Sore hari kami pergi sekitar 1 jam jauhnya ke Dujus, ke rumah Benjamin untuk membaptis dua anak bungsunya. Itu adalah perayaan aneh di pondok yang gelap. Kami duduk diatas tiga koper yang disediakan, para saksi baptisan dan beberapa orang Kristen membuat dirinya nyaman di lantai atau di atas tikar Rotan. Pada awalnya perayaan ituBenjamin menemukakan beberapa kesulitan. Hanya masalah di satu sisi dengan tanggal lahir, benar, ia telah mencatat dalam Kalender Misi pada tanggal 19 Juli kelahiran seorang putri kecil. Kalender tersebut diterbitkan pada tahun 1916, dan pada saat itu tidak mungkin bayi itu lahir! Tapi dengan mengumpulkan tukar pikiran seisi rumah hal itu segera diperbaiki. Tidak demikian dengan nama. Dia mikirkan maju mundur, kamipun membuat saran. Bagaimanapun tidak adayang masuk akal baginya. Tiba-tiba dia memiliki ide,dia meraih Perjanjian Baru, membuka silsilah dalam Injil Matius dan mulai dengan semangat untuk mencari. Tapi itu tidak berhasil. Akhirnya kami memutuskan nama Emma untuk putri, Yosia untuk anak laki-laki. Baru sekarang bisa memulai perayaan pembabtisan,dimana bahkan mertua kafir Benjamin melipat tangan untuk bernyanyi bersama. Harapan kami, dua anak kecil yang kita bisa memasukkan dalam gereja Yesus Kristus, tumbuh menjadi orang Kristen sejati dan melalui perilaku mereka sekali saksi Tuhan dan Guru pada mereka yang belum menerima keselamatan. Setelah itu kami mengunjungi ayah dari kepala desa, Ma Gaung yang tua. Ia telah lama menjadi Kristen, tetapi para misionaris khawatir karena sifat tertutupnya dan tidak jujur. Rakyat katakan dia memiliki segala macam ilmu kafir, sihir dan lain,tetapi tidak pernah sesuatu yang tertentu diketahui karena pengikutnya diam saja. Pada hari Senin pagi kami rencanakan untuk berangkat jam 7 pagi. Namun, kami tidak diperhitungkan banyak yang meminta orang masih mau minta obat-obatan. Baru saja jam 11 , setelah doa singkat dengan kuli kami, kepala keluarga dan sejumlah orang Kristen, kami bisa mengambil tongkat dan akhirnya berangkat. Tuan rumah kami dan para tetua masyarakat menemani kami bahkan sampai akhir desa. Ketika mereka berpisah, kami menyadari bahwa orang-orang Kristen di Beto akhirnya juga menjadi hangat. Orang Maanjan mungkin tidak secepat orang Ngaju.

6 Kunjungan ke Cabang Tewah-Popoh Tujuan kami sekarang Tewah-Popoh, cabang dengan sekolah dan komunitas Kristen kecil. Jarak antara Beto dan Tewah-Popoh diperkirakan 12 Paal tua, sebuah Paal tua = 1500 meter. Jadi kami harus berjalan sekitar 18 kilometer. Panduan kami adalah Lukas, seorang Kristen dari Biwan yang tahu baik tidak hanya jalan kegubernuran, tetapi juga masih tahu jalan samping, karena ia yakin bahwa jalan itu jauh lebih pendek dan lebih cepat untuk membawa kita ke tujuan. Kami memberi kepercayan kepada dia.Mula-mulaan kami berjalan dengan lancar. Di suatu kampung kecil kami memasuki jalur sisi yang menguntungkan. Kami jalan terus diatas batang pohon yang ditempatkan memanjang di atas rawa dan lumpur, melalui semak hutan dan ladang alang-alang. Kami juga bisa menonton suatu kebakaran padang rumput yang hebat. Seperti marah-marah api merebut, mengipasi oleh setiap embusan angin lagi permukaan alang-alang dan semak-semak yang tertutup. Jadi itu membakar selama berhari-hari dan terus sampai hujan turun. Sebuah koridor abu-abu panjang memberi tahu apa yang telah terjadi disini. Semua kehidupan tampaknya mati. Hanya rusa datang pada malam hari ke situ untuk pesta makan abu asin itu. Setelah hujan berikutnya turun kecambah dan alang-alang rumput tumbuh lagi dan menghiasinya dengan karpet hijau yang indah. Berlama-lama jalanya, keraguan meningkat dalam diri kita tentang jalan pintas ini, apalagi setelah yang membawah kami juga tidak menyadari lagi di mana kita. Beberapa kali kami melewati rute dimana kanan dan kiri jalan perangkap tombak mengerikan didirikan, penggunaan orang untuk berburuh. Karena itu kami perlu sangat berhati-hati.Karena banyak kali orang telah terluka oleh perangkap seperti itu yang khusus untuk babi dan rusa liar. Perangkap seperti ini membuktikan kecerdasan alami orang dayak. Pada tempat-tempat perlaluan binatang, terutama di dekat jalan hutan, sejenis pagar terbuat dari ranting tipis, yang disediakan dengan lobang di sana-sini. Didalam lobang buatan tersebut, berdiri suatu kayu yang kalaudisentuh, menggerakkan tombak yang melintasi lobang dengan kecepatan tinggi untuk membunuh mangsanya. Sekitar 30 perangkap kami menghitung pada malam ini. Sementara itu, kita semua menyadari bahwa kita kehilangan jalan dan orientasi secara menyeluruh. Lukas sendiri menegaskan hal ini dan berkata jalan lama tidak ada lagi. Kami sudah berjalan panjang dan luasnya. Setiap jalur baru yang kami temukan kami pergi dengan harapan untuk bertemu kembali jalan yang benar, tetapi setiap kali ternyata jalan itu menuju ke beberapa bidang sawah tua yang ditinggalkan. Akhirnya, kami tidak memiliki pilihan selain mendirikan kemah kita di sebuah gubuk kosong. Kuli-kuli kami ingin memberikan prioritas dan telah membawa barang-barang kami ke gubuk. Kami berterima kasih untuk itu, tetapi menyuruh mereka bahwa ke gubuk nyaman itu. Mereka juga sangat lelah dan tidak mengurus apa-apa lagi. Karena kayu bakar di hutan ada dalam kelimpahan, segera kami menyala api terang yang menerangi lingkungan sekitarnya kami seterang hari. Selama makan malam kami direbus di atas api, kami bekerja tekun dengan pisau untuk membuat alas dari daun-daun untuk kasur kami.Ketika kita akhirnya, setelah semua persiapan selesai, bersama-sama kita menjerahkan ke perlindungan Tuhan untuk malam, kita merasa bahwa kita harus mengharapkan lebih dari sebelumnya pada perlindungan ini dalam situasi kita dan juga diperbolehkan. Tapi tindakan pencegahan manusia kami tidak dapat diabaikan. Untuk menghindari pertemuan yang tidak menyenangkan dengan ular, kami masukankelambu kami dengan hati-hati ke bawah kasur. Lampu minyak kami gantung di cabang pohon, sinarnya memerangi lingkungan sekitar kita. Lelah seperti kami, kami tidak tertarik keajaiban hutan malam dengan kehidupan misterius. Gemerisik di punjung, jeritan binatang liar tidak bisa mempengaruhi tidur nenyak kami.Keesokan paginya ketika kita merapikan perkemahan kami sebelum matahari terbit dan mengemasi barang-barang kami, pemilik gubuk datang. Malam sebelumnya ia berburu anjing terbang (paing) dan kemudian tinggal bersama kerabat semalam, itu dia mengatakan kepada kami. Kepada Lukas dia mengatakan sesuatu yang lain, dan itu akan menjadi mungkin benar. Ketika ia ingin pergi ke gubuknya kemarin malam ia telah melihat api kami dan pakaian perjalanan kami yang hijau seperti seragam tentara. Tetapi dari tentara dia takut. Jadi dia tidak mempunya hati nurani yang baik di dadanya. Selain itu ia adalah seorang pria yang ramah. Kami juga cepat mengetahunya kesulitannya yang dia tertindas. Istrinya sudah meninggal tahun lalu. Sekarang cucunya mengurus rumah tangganya. Ketika ditanya mengapa ia tidak menikah lagi, ia berkata terus terang: Aku sudah meminta di sana-sini, tapi itu tidak membawa saya berhasil! Ketika ia melihat bahwa kami telah tidur di lantai, dia sangat marah. Untuk apa ada gubuknya di sini? Dan mengapa kami tidak ambil dari beras yang ada dalam wadah kulit di bawah gubuk? Entah geramnya jujur? Setelah kami bertanya jalan yang harus kami mengikuti, kami perpisah. Sebuah pasukan monyet, yang telah menghabiskan malam di lingkungan kami pada pohon mengikuti dengan ribut. 3 jam lagi kami pergi ke sana. Jalan sering sangat sempit dan kuli-kuli kami mengalami kesulitan melaluinya. Pada jam 10 akhirnya muncul Tewah Popoh. Guru Anton dan penginjil Abel, yang telah datang dari Tamianglayang lebih dulu, menyambut kami di pintu masuk. Di Tewah Popoh berada sekitar 30 orang Kristen dan 2 calon baptisan. Sekolah dikelola oleh guru muda Anton dan menjanjikan sesuatu yang baik untuk masa depan.Sayangnya, gedung sekolah tua telah membusuk sehingga tidak bisa lagi digunakan. Saat ini, sekolah diadakan di rumah gurunya. Ini juga jauh lebih baik, karena guru masih belum menikah. Di rumahnya, yang dulu dibangun oleh misi, bersih dan rapi. Hanya rumah sekolah dan guru saat ini sangat bobrok yang dalam jangka pendek atau panjang akan runtuh dalam dirinya sendiri. Menambahkan banyak semut putih yang telah menyerang rumah dan bersikeras mendiaminya. Putri Mahkota Belanda pada hari ini berulang tahun, oleh sebab itu anak-anak tidakbersekolah. Orang-orang Kristen juga absen. Mereka bekerja di sawah dan hanya datang kembali pada malam hari. Jadi kita punya waktu untuk mengurus manusia lahiriah kami kembali seperti semula. Kami berenang di sungai terdekat, di mana kita mengganggu seklompok monyet yang sedang dalam pesta buah mereka.Pada jam 7 malam, orang kristen dan beberapa orang kafir mengumpulkandi ruang sekolah. Kalau orang-orang disini bisa dilayani dengan injil lebih mendalam tentu saja masyarakat akan mendapatkan kepercaiaan yang lebih baik dan dalam. Guru yang stu tahun yang lalu lulus dari pendidikan mengadakan khotbah tiap hari minggu. Tetapi betapa sedikit orang-orang muda sendiri memiliki yang bisa mereka berikan! Mereka sering juga kekurangan penanganan intelektual dan spiritual oleh orang Kristen senior. Seperti dalam dunia alam, begitu juga berlaku dalam Kerajaan Allah, hukuman bahwa seseorang tidak dapat berharap untuk panen, di mana ia tidak menaburkan. Dalam pertemuan malam ini, misionaris Hendrich mendesak anggota gereja untuk menjaga apa yang mereka sudah memiliki. Setelah dia, saya bisa juga menyampaikan beberapa kata kepada jemaat.Aku mendasarinya pertanyaan Yesus kepada murid-muridnya: "Apakah kamu tidak mau pergi juga?" Setelah layanan kami, orang-orang Kristen dan orang-orang kafir membawa segala macam kekhawatiran, antara lain, kepala desa, seorang pria kafir yang cerdas muda. Mereka semua ingin memiliki seorang misionaris, kalau bisa di Tewah Popoh sendiri. Tetapi mereka mengisyaratkan bahwa mereka memerlukan bantuan Pandita khusus dalam hal duniawi.Dia harus membantu mereka melawan gangguan "salam orangutan" (Islam), yang tidak memperhatikan pengaturan adat dan batas-batasdesa, dan orang Maanjan semakin banyak akan kehilangan hak-hak lama mereka. Kalau dikirim surat protes kepada kepala kecamatan yang beragama islam, jadi sudah pasti dia akan membantu orang Melayu. Berikutnya mereka mengeluh bahwa mereka dalam kasus-kasus penyakit ditinggalkan sendiri, dan karena itu sering dipaksa untuk menggunakan obat-obatan kafir. Dari apa yang menjadi tetap hal utama, bahwa rasa lapar untuk firman Allah, kerinduan untuk keselamatan dalam Kristus, sedikit saja muncul keinginan. Tapi Roh Tuhan bisa membangkitkan rasa lapar yang melalui pemberitaan Firman dan memimpin orang-orang ke tempat di mana makanan sejati jiwa dapat ditemukan. Supaya ini bisa terjadi adalah doa dan harapan kami untuk Tewah Popoh.Hari berikutnya adalah pemeriksaan sekolah yang wajib, tetapi sangat sering terganggu karena banyak yang datang untuk mengambil obat. Pada umumnya, mereka meminta obat kina untuk demam, obat-obatan cacing dan kalium iodida. Sebagai ucapan terima kasih mereka memberikan masing-masing dalam keranjang beras. Sebuah doa bersama-sama dengan siswa dan anggota masyarakat, menandai akhir dari kunjungan kami di Tewah Popoh. Tuhan menganugerahi bahwa benih yang ditaburkan naik dan menjadi buah untuk selamanya. Di bawah pimpinan yang aman penginjil Abel kami berjalan kembali ke Tamianglayang. Awalnya, jalan itu kurang menyenangkan. Selama beberapa ratus meter kita melalui rawa yang luas diatas batang pohon yang terletak. Siapa yang meleset mengalami kesulitan untuk menarik kaki kembali dari lumpur setinggi lutut. Sebuah jalan kaki yang memadai membawa kami melalui pohon-pohon rindang buah-buahan, kebun karet, tetapi juga melalui sawah panas, dan rumput alang-alang. Di desa Djara kami mengunjungi Petrus seorang kristen. Dia telah mendengar bahwa kami berada di Popoh dan menunggu di depan rumahnya sampai Tuannya datang. Selama kunjungan kami, ia menyatakan kesediaannya untuk menemani kami pada hari berikutnya sebagai kuli keTelang. Untungnya kami setuju tawaran itu. Di Tawuloh, desa berikutnya, tinggal Hanna yang tua, janda Johannes Djakat, pada gubuknya kita tidak boleh lewat, harus kami mampir.Bertahun-tahun ia menjadi teman baik untuk keluarga missionaris terutama untuk anak-anaknya. Sekarang dia sudah tua dan bongkok dan tinggal sangat sederhana. Cucunya laki-laki tinggal bersamanya, tetapi ia sangat malas dan hanya senang bermain suling. Semua nasehat untuk bekerja tidak menghasilkan buah. Ia merasa dipangil untuk sesuatu yang lebih besar daripada tanam padi. Adalah baik, bawah Hanna sabar menunggu dalam iman sampai tiba saatnya untuk bersabbat bersama jemaat Tuhan di sorga. Tiba di Tamianglajang berkumpul beberapa orang yang meminta obat-obatan. Antara mereka juga ada si Adil yang kami ketemu di padang. Sudah sering kali ia mendengar firman Tuhan tetapi ia tidak mau menjadi seorang Kristiani. Sebagai orang muslim ia tidak ada masalah untuk mencuri.

7. Keluarga pangeran di TelangPagi tanggal 4. Augustus kami menggunakan untuk mempersiapkan perjalanan kami ke Telang. Pada jam 12 siang kami berangkat. Kami punya tiga orang pengangkut diluar si Petrus dan Albert, yang dulu selama 15 tahun menjadi pembantu rumah tangga beberapa missionaris dan seorang kafir dari Tamianglajang. Bersama mereka dan juga evangelis Abel kami berangkat ke Telang yang terletak sebelah barat dari Tamianglajang. Jaraknya antara Tamiamglajang dan Telang diperkirakan sekitar 18 km. Jalanan itu yang terbaik yang kami ketemukan di daerah Maanjan sampai sekarang. Mungkin oleh jalan itu lebih dekat dengan Buntok, tempat kediaman inspektur pemerintah. Medannya berbukit-bukitan dan jalanya berpasir seperti di tepi laut. Di tempat lain kami teringat daerah Jura di Swiss atau Schwarzwald di Jerman oleh banyaknya tumbuhan pakis dan sedikit pohon-pohon. Tetapi disini semua kelihatan lebih kecil karena tidak ada pegunungan yang tinggi. Antara Telang dan Tamianglajang terletak Morotowoh, suatu desa yang tidak boleh dilupakan dalam sejarah misi di daerah Maanjan. Disini misionaris Denninger membangung satu stasiun misi 60 tahun yang lampau dan mulai dengan pekerjaanya. Ia juga mengali satu sumur yang sampai sekarang masih dipakai. Penduduknya masih ingat akan Tuan Denninger seperti mereka bilang kepada kami. Sayang orang tidak mengikuti undangannya. Kami merasa bawah di desa ini orang kafir masih lebih kuat percaya kepada tukang sihir dan hantu-hantu dibandingkan desa lain. Itu kelihatan di pintu gerbang, disitu berdiri tiga patung besar dengan perisai dan tombak ditangannya, siap dipakai. Mereka adalah penjaga desa. Penduduk sembahkan ayam dan beras kepada patung-patung itu, supaya mereka melindungi dan jauhkan segala hantu-hantu yang berbahayakan desa itu dengan perisai dan tombak. Kasihan orang kafir itu yang dilindungi oleh patung kayu itu. Padahal mereka sudah dengar dari penjaga Israel yang tidak pernah tidur! Di desa ada kematian. Wakil kepala desa yang meninggal. Peti mayat yang sederhana berada di halaman rumah dan dikelilingi beberapa laki-laki mudah, yang akan angkatnya ke kuburan. Tanpa harapan di mata mereka berdiri disitu seperti mereka mau kasih tahu kehampaan dan ketidakharapan kepercayaan mereka. Pada pintu gerbang di Telang ada juga tiga patung yang sama, juga dilengkapi dengan perisai dan tombak.Perasaan kami tentang penduduk disini, mereka sangat kafir dan ketakutan. Begitu banyak patung seperti di kiri kanan jembatan saya belum pernah melihat di Borneo. Disini ada yang besar dan kecil, panjang dan pendek, kurus dan gendut, jelek dan kurang jelek. Semua itu berdiri singpangsiur tetapi tetapi bersatu dalam tugas untuk melindungi desa dan penduduknya dari marah bahaya dan hantu-hantu. Di muka beberapa patung ada mangkok kelapa dengan macam-macam persembahan. Desa ini cukup berarti untuk daerah Maanjan, karena di Telang berdiri rumah besar yaitu tempat kediaman keluarga Raden yang terpandang oleh suku Maanjan. Keluarga ini terkenal di luar daerah Maanjan juga oleh ayah dari Raden sekarang dan juga diketahui oleh misi, yaitu Suta Ono. Iadengan sukunya pada tahun 1859 tetap setia kepada pemerintah Belanda, meskipun ada ancaman dan perjanjian dengan para pemberontak. Ia juga ikut menyelamatkan misionaris Klammer. Seluruh daerah Barito dan juga di luar daerahia dibanggakan oleh keberaniannya. Setiap pemberontakan ia bergegas dengan pengikutnya kepada pemerintah untuk membantu, dan Dayak tua mengatakan kepada saya bahwa jika para pemberontak hanya mendengar bahwa Suta Ono berada di pasukan, mereka tidak lagi berani. semua ini membawa kepada dia banyak penghargaan, medali dan hadiah dari pemerintah. Sayangnya, ia tidak melakukan langkah terakhir yaitu menjadi seorang Kristen walaupun ia dekat dengan misi dan masih ingin belajar membaca dan menulis pada usia lanjut. Pada bulan April 1894, dia meninggalkan dunia ini seperti bisa dibaca pada gucinya. Tapi tidak sebagai seorang Kristen tetapi sebagai seorang kafir.Anak-anaknya, semua pejabat senior dalam pelayanan pemerintah, telah berjanji pada misionaris Tromp untuk menjadi orang Kristen ketika ibu mereka, istri Suta Ono telah meninggal. Ia selalu menjadi pengikut tangguh kepercayaan hantu yang lama, yang diwariskan oleh ayahnya. Anak-anaknya, boleh memilih dengan bebas untuk tetap kafir atau masuk Kristen. Menjadi pengikut Muhammad tidak diperbolehkan dalam kondisi apapun. Beberapa tahun yang lalu ibu tua itu sudah meninggal dunia. Sejak saat itu, seluruh suku Maanjan dan para misionaris menunggu pertobatan di rumah besar. Sekitar setahun yang lalu salah satu dari anak-anak datang ke misionaris ke Banjarmasin dengan pemberitahuan bahwa mereka sekarang siap untuk menjadi orang Kristen dan bersama mereka 100 orang sukunya juga. Disini masih harus diberitakan, bahwa cucu-cucu dari Suta Ono sudah masuk Kristen. Tetapi untuk suku Maanjanini tidak memiliki efek lebih lanjut. Apa yang dilakukan orang tua, itulah yang penting. Dan sekarang datang berita ini! Apakah tidak bersorak-sorai hati para misionaris terutama veteran tua yang per tahun-tahundisana memberitakan kabar baik kepadaorang-orang danberdoa serta menangis, tapi tanpa melihat hasil nyata! Siapapun yang tahu sejarah misi dan kerajaan Allah, tahu bahwa gerakan tersebut harus dinilai dengan hati-hati. Suatu gerakan belum berarti ada kebangunan. Untuk waktu yang lama maka kita juga tidak mendengar banyak tentang masalah ini. Dikatakan bahwa perempuan-perempuanmasih bermusuhan dengan penyebrangan itu. Dengan niat untuk mendapatkan kejelasan yang nyata, dan dengan harapan di dalam hati, bahwa kami akan melihat buahnya yang diinginkan, kami masuk pada 7 jam malam rumah besar yang terkenal. Penunjukan ini memang berlaku juga dalam arti nyata. Kanan dan kiri tangga ada dua pondok penjaga untuk oppas (pegawai polisi) yang dimiliki seorang Raden sebagai pejabat Belanda. Sebuah tangga lebar mengarah ke ruang tamu yang luas, yang memiliki beberapa meja dan bangku-bangku yang rusak, juga tumpukan besar sampah besi, yang mengidentifikasi dirinya, pada pemeriksaan lebih dekat, sebagai komponen tempat tidur besi. Kami telah dilaporkan dan segera diterima dari Kiai Guntik, saudara Raden. Kiai ini (pangkat resmi tertinggi dalam negeri) merupakan fenomena menarik. Ia berumur sekitar 60 tahun. Tampaknya adalah ukuran medium, tapi kekar. Ekspresinya adalah bukti tekad dan kemauan yang kuat. Ketika ia berbicara, matanya berkelebat dalam api muda. Sebagai guru gubernuran ia pandai berbahasa Belanda juga memiliki sopan santun Eropa, yang ia selalu menggunakan dengan cara yang benar dan bermartabat.Segera setelah datang Kiai, Raden sendiripun datang. Dia adalah kakak tertua dan membawa kehormatan terbesar. Mengingat pentingnya kunjungan kami, ia memakai pakaian terbaik, jas wol yang gelap dan lawung, busana nasional dajak. Wajahnya tidak menunjukkan keterbukaan seperti Kiai, seluruh keberadaannya lebih hati-hati dan tak tersentuh oleh kehidupan intelektual Eropa. Kiai adalah spiritual lebih signifikan, Raden, bagaimanapun, adalah jenis seorang pangeran negeri yang karakter utama sifat adalah menahan ketat adat lama, dikombinasikan dengan kehati-hatian diplomatik dan martabat. Sayangnya, dua bersaudara lainnya tidak hadir; satu berada di Buntok, yang lainnya di Muarateweh. Tapi yang penting wakil utama keluarga, Kiai dan Raden, hadir. Dalam percakapan yang terdiri terutama dalam beralih ke masa lalu dan peristiwanya, keduanya mengatakan kepada kami banyak hal yang menarik dari masa lalu. Adat dan kebiasaan domestik melarang kami, langsung mulai dengan tujuan kunjungan kami. Keduanya, terutama Raden, masih hidup sepenuhnya di saat perbuatan kepahlawanan ayahnya dan pertempuran berikutnya dengan pemberontak (brandal). Kiai ikut pada 1904 dalam perang di Puruk Tjahu, dan terluka di lengan. Sementara itu mereka di dapur menyiapkan makanan bagi kita. Raden sendiri mengatur meja dengan cara Eropa dan juga hidangkan makanan pada kami. Dia mengikutinya semua adat dajak, dimana selain dari tuan rumah tidak ada yang boleh melayani tamu dan menghidangkan makanan. Selama Raden sibuk, dan Kiai yang tidak merasa cukup baik, telah mohon diri, kami memiliki kesempatan untuk melihat lebih dekat ruang tamu pangeran. Itu sebuah ruangan besar, yang menempati seluruh lebar rumah. Langit-langit terdiri dari atap sirap abu-abu di mana dua kaca yang kuat dibuat untuk menerangi ruangan. Kolom yang menahan atap disediakan dari kayu besi dan sebagian lagi diukir oleh orang Melayu. Secara umum, semua bahan yang digunakan untuk konstruksi adalah kualitas tertinggi. Dindingnya dihiasi foto-foto dari Ratu Belanda, yang mendiang raja, dari cucu keluarga Raden, serta ukiran tembaga tua, guntingan dari majalah surat kabar dan poster iklan besar berwarna-warni. Satu-satunya referensi martabat rumah itu ditempatkan di atas pintu ke ruang tengah; ornamen kayu yang diukirdan lilapis emas mahkota kerajaan Belanda, bersama-sama dengan lambang kekaisaran. Tiga meja marmer kecil bundar, meja makan persegi panjang dan sejumlah kursi yang nyaman, bersama dengan tiga lampu gantung yang hanya satu masih berfungsi, regulator yang megah dan lemari arsip, tentu dekorasi tidak terlalu mewah. Setelah kami makan, juga pengangkut kami dapat giliran untuk makan. Peralatan makan yang digunakan dari kita, kami bertanya-tanya tentang kehadirannya di rumah Raden karena masih berasal dari misionaris Feige. Setelah kematiannya Raden telah membelinya di lelang dan masukkan ke dalam harta rumahnya. Kami mengucapkan terima kasih kepada Raden untuk keramahan dan pelayanan dan kemudian mengadakan bersama-sama dengan pengangkut kami kebaktian malam. Raden juga ikut ambil bagian, dia sudah cukup banyak pengetahuan. Berapa kali ia sudah mendengar firman Allah bahkan membacanya. Kapan dia akan serius menerimanya? Di ruang yang sama di mana kami diterima dan makan, kami tidur baik bersama-sama dengan pengangkut kami. Kami mencari sudut yang cocok, mempersiapkan kasur dan segera setelah itu seluruh rumah besar dalam istirahat. Keesokan paginya, ketika kita lagi duduk setelah sarapan dengan Raden dan Kiai, kami berbicara hal utama. Malam sebelumnya Raden telah bertanya Penginjil Abel, apakah orang selalu dibaptis di depan jemaat. Apakah ini tidak bisa terjadi di rumah. Sekarang mereka berani mengungkapkan persoalan. Keputusan Kiai jelas: ia ingin menjadi seorang Kristen; dan Raden juga. Tetapi dia masih adah ganjalan. Orang-orang desa telah mengungkapkan keinginan bahwa salah satu dari empat bersaudara untuk sementara waktu harus tetap seorang kafir, sehingga mereka tidak benar-benar tanpa pemimpin. Tapi itu hanya untuk sementara waktu; sambil menunjukkan berulang kali, pada dasarnya dia tidak menolak untuk menjadi seorang Kristen. Disepakati bahwa penginjil dari Tamianglayang akan datang ke Telang untuk mengajar Kiai.Dengan rasa syukur dan sukacita Kiai menerima katekismus. Dia tidak akan lepaskan tujuannya. Tentu saja, jika sekarang tidak datang seorang misionaris dan masuk melalui pintu yang terbuka, mungkin tidak ada perobahan khususnya diantara kalangan perempuan. Semoga Kiai yang berani ini sebagai pejuang lama dan tentara, sekarang menjadi seorang prajurit Yesus Kristus yang benar, supaya melalui dia yang lain dipimpin dengan bantuan Tuhan, untuk masuk ke dalam tentara Tuhan. Setelah pembicaraan serius ini kami bersama Raden berjalan keliling desa. Dia menunjukkan kepada kita tempat di mana 40 tahun yang lalu seorang misionaris yang bernama Tromp mendirikan stasiun dan bekerja dengan sia-sia. Beberapa pohon kelapa tunggal masih berdiri. Mereka telah menjadi besar dan kuat dan berbuah. Semoga musim buah juga segera terjadi didaerah Maanjan! Sebelah tanah misi tua sekarang berdirigedung sekolah gubernuran. Selama badai terakhir satu batang pohon perkasa telah meruntuhkan atap. Untungnya, tidak ada yang terluka. Kemudian Raden membawah kami ke sebuah pondok kecil yang kokoh. Pondasinya disemen. Pintu dikunci dengan batang besi yang kuat yang ditempatkan dua gembok yang kuat. Betapa berharganya harta di pondok ini sampai dirawat dan di kunci dengan rajin dan berhati-hati! Rumah ini adalah tempat kudus keluarga Raden, karena ia menimpan sebuah guci berisi abu dari Suta Ono, bersama dengan guci-gucianggota rumah lain yang meninggal. Sesuai adat kafir, almarhum harus membawah semuanya yang mereka memiliki sendiri dalam kehidupan ke dalam dunia orang mati. Hal ini dilakukan dengan meletakkan barang-barang tersebut ke dalam pondok itu. Setelah kami masuk, tak terduga kami merasa seperti dalam toko barang lama. Di tengah-tengah berdiri satu peti kayu yang diukir dengan rajin, yang menyandang nama dan tanggal kematian Suta Ono di bagian depan. Selain itu, semua medali, pengharagan dan hadiah yang telah diterima dari pemerintah. Barang-barang lainnya yang dia gunakan selama hidupnya digantung pada tali melintang ruangan atau berbaring di lantai di sekitar peti kayu.Seperti senapannya berburu, tombak, mandau, payung, sebuah meja kecil, pakaian tanpa nomor, piring, cangkir, kendi air, kotak sirih dan banyak lagi, bahkan, tampaknya mainan dan gambar anak-anaknya terletak di antara barang-barang yang sebagian besar terganggu oleh semut . Lebih dari itujuga kafir miskin, bahkan jika mereka keluarga Radenpun, tidak diberikan kepada mereka yang mati. Mereka tidak memiliki harapan tertentu seperti orang-orang Kristen, yang didasarkan pada janji Allah yang tidak berubah, bahwa kita akan pergi dengan Tuhan, di mana kita tidak akan lagi lapar dan haus. Dalam perjalanan kembali ke rumah Raden kami bertemu para guru dari sekolah negeri, seorang pria muda ramah yang segera mengunjungi kami dan mengatakan bahwa ia ingin menjadi seorang Kristen. Dengan demikian, itu akan menjadi dua. Semoga Tuhan mengabulkan bahwa jumlah mereka akan segera dilipatgandakan! Sebelum kita pergi, kita berkumpul lagi untuk berdoa. Selain dari Raden dan Kiai masih ikut wanita keduanya dan beberapa warga desa, termasuk guru. Kiai senang bahwa ia sekarang telah menemukan sesama peserta didik lain. Ketika ditanya tentang istrinya, ia berkata, bahwa dia titak ada pilihan lain dari juga menjadi seorang Kristen. Dengan berjanji untuk bertemu lagi, kami berangkat dari rumah besar dan Telang dan menendang jalan kembali Tamianglajang.

8. Perjalanan kembali ke TamianglajangPada hari Minggu pagi kami digejutkan beberapa umat dari Tamianglajang dengan kue-kue manis yang akan menerima kehormatan dari tukang kue di negara kami. Kebaktian di pagi hari diambil alih oleh misionaris Hendrich. Yang hadir sekitar 18 pria dan 12 wanita, dan beberapa anak-anak. Kebaktian diikuti baptisan anak bungsu dari penginjil Abel. Baptisan ini dan kedatangan kami memberi kesempatan untuk merayakan pesta kecil di rumah onder Albert. Di tengah ruangan luas itudihidangkan nasi di piring yang disusun piring per piring dalam bersegi empat, di samping tiap piring ada mangkuk dengan kaldu sayuran (djoho).Keranjang rotan bersih dengan nasi, siap untuk mengisi ulang ke piring, melengkapi gambar yang paling menarik. Berkumpul semua anggota jemaat Tamianglajang, bersama-sama dengan tamu luar, beberapa kafir, termasuk Pambakal (kepala desa) dari Tamianglajang. Dengan lagu dan doa santapan makan dibuka. Kemudian kita heran melihat orang-orang makan! Sendok dan garpu tak seorang pun mempunyai dan menggunakannya kecuali kami. Sebelum kita baru mulai benar, yang lainnya sudah selesai dengan porsi pertama dan sudah menambah porsi kedua. Setelah itu buah pinang diedarkan untuk mengunyah, dinyanyikan beberapa lagu dan juga menyampaikan beberapa pidato. Namun, karena semua memakai bahasa Maanjan, kita dari Basel tidak bisa mengikuti, tetapi kami setiap kali diberitahu hal yang paling penting. Orang-orang Kristen yang berbicara, mendesak agar orang lain yang belum dikonversi, sekarang harus serius, karena seruannya anugerah dari Allah sekarang lagi bertahan, dan kita tidak bisa tahu berapa lama masa ini masi berlangsung. Kemudian berbicara lagi dua calon yang akan dibaptis dan dua orang kafir. Dua yang terakhir memberikan pendapat mereka tentang apa yang dikatakan orang-orang Kristen, yang satu sudah menyebut dirinya setengah Kristen, dan yang lainnya, kepala desa ingin menunggu sampai rumah besar yang berkembang di Telang. Dia membutuhkannya perbandingan: kita tidak biasa menarik kerbau, tetapi kita akan ditarik oleh kerbau! (Kerbau adalah rumah besar di Telang!) Penuh semangat mereka mengikuti laporan dari misionaris Hendrich tentang kunjungan kami di Telang. Sore jam empat, kami berkumpul lagi dengan komunitas kecil di dalam ruangan kelas. Kali ini kami berdua dari Basel mendapat kesempatan unteu berkata. Misionaris Henking menjelaskan perlunya pertumbuhan, karena kita tidak tahu kapan adalah jam Tuhan kita. Saya berbicara tentang undangan Allah yang besar, yang disampaikan juga ke suku Maanjan dan terus akan disampaikan. Setelah kebaktian ini kami membuat beberapa kunjungan rumah, kami diterima sangat ramah di mana-mana. Pada hari Senin berikutnya, itu adalah hari sibuk di Tamianglajang. Pada hari Selasa adalah pasar, orang Melayu sudah datang dari jauh dengan buah-buahan dan ikan-ikanan yang dimuat di gerobak beroda dua,mereka suda datang pada hari Senin malam.Mereka tukar buah-buahan dan ikan-ikanan kering dengan padi. Fakta adalah bahwa orang Maanjan sering ditipu dan dipermalukan, tetapi ini tidak mengherankan karena kelicikan orang Islam sudah diketahui. Pada hari pasar ratusan rakyat Tamianglajang berkumpul bersama-sama. Sebuah kesempatan besar untuk membawa kabar baik dengan cara apapun! Khotbah publik untuk orang kafir akan pemerintah pasti dilarang oleh pertimbangkankaum orang Islam. Tapi dengan kata-kata tentang obat-obatan, traktat, pertemuan individual, dan sebagainya pasti banyak orang kafir bisa dibawah ke kaki salib. Dekat pasar, berdiri rumah Taris. Dia telah menyatakan pada perayaan festival sebagai setengah orang Kristen. Kami mengunjungi dia dan duduk bersama-sama di teras yang sangat kecil. Dia mengatakan kepada kami banyak hal tentang kehidupan dan pengalaman yang kaya. Dia berutang budi banyak kepada misi; Itu dia katakan dengan tulus dan benar. Waktu keluarganya dederita penyakit-penyakit, keluarga misionaris yang datang kepadanya dengan bantuan dan nasihat untuk membantu. Tuhan menganugerahi ia dengan hidup yang lama, dan dia segera berkelana langkah penting terakhir dan menjadi seorang Kristen yang penuh. Dia sangat tergantungkepada anak-anaknya, terutama anak laki-laki yang satu-satunya, yang ia telah memberi nama aneh Borsumij. Ini adalah nama sebuah perusahan perdagangan belanda terkenal di Hindia Belanda. Untuk nama yang luar biasa yang pernah tampaknya ia memiliki kesukaan besar. Putri bungsunya disebut Berljin. Dia sangat bangga atas akalnya.Waktu keberangkatan kami, sementara itu, sudah dekat. Desa-desa dan jemaat-jemaat yang kami rencanakan, kami sudah mengunjungi dan telah melakukan misi kami. Kami harus meninggalkan pemandangan indah di daerah Maanjan lagi. Keberangkatan kami ditetapkan pada hari Selasa, 9 Agustus. Karena tingkat air rendah kita tidak bisa menggunakan jalan sungai dari Tamianglajang tetapi kami harus mengangkat barang-barang kami dengan gerobak roda dua ke Megantis. Dari situ kita mungkin bisa melanjutkan dengan 2 perahu dayung kecil. Sebagai pendayung kami sampai Mengkatib, kami memiliki dua orang maanjan pengikut Kristus dan kami masih menyewa bapak Adil dari Megantis dan putranya.Pada pagi hari yang ditunjuk kami meninggalkan Tamianglajang pada jam tujuh, setelah kami telah diberkati dari anggota gereja yang sudah berkumpul di pagi hari ini. Pada jam delapan kami sudah naik perahu kecil dan berdayung menyusuri sungai Sirau. Itu adalah perjalanan dengan banyak rintangan. Tidak hanya dalam pandangan banyak belokan dan tikungan yang membuat sungai berubah-ubah ini, tetapi terutama banyak batang dan cabang pohon yang sering menutupi jalan perahu sehingga kami harus menggali pada satu sisi saja untuk melewatinya. Kemudian lagi pohon-pohon raksasa melintang di air dangkal. Sering kali nasihat yang baik diperlukan,tetapi kami berhasil melewatinya, apakah pisau yang membebaskan kita dari ini atau itu, atau oleh fakta bahwa kita sendiri gesit melompat keluar dari perahu dan berdiri sampai ke pinggang dalam air membantu mendorong perahu atau memutar batang pohon yang menggangu. Jelas bahwa kami dengan cara begitu hanya perlahan-lahan maju ke depan, mari kita bayangkan. Pada musim hujan kita perlu sampai Patai biasanya 1,5 jam. Tetapi kami sekarang membutuhkan empat jam dan pendayung kami harus kerja sekeras-kerasnya. Berapa kali bapak Petrus melompat ke dalam air atau bermain dengan mandau tersebut! Seberapa sering disebut mundur oleh bapak Albert ketika kami sekali lagi terjebak! Kami semua menarik napas, ketika kami sampai di Padang dan sekarang tidak harus takut ada lagi batang. Tetapi sinar matahari! Di tengah hari panas, kami meremas diri melalui jalan sempit di rumput dan gurun air. Alang-alangdi kiri kanan jalan tidak bisa dilewati oleh angin. Meskipun atap daun di atas perahu kami, panas dan kelembaban sangat tinggi. Perjalanan baru menyenangkan ketika kita sudah meninggalkan padang di belakang kami dan matahari malam bersinar lebih ringan dari pada siang hari. Selain itu, di arah tenggara mulai guntur. Hanya jauh dan teredam. Secara bertahap itu datang lebih dekat dan lebih dekat lagi dan segera kami yakin bahwa kami melaju ke dalam badai tropis yang hebat. Rencana untuk tiba di Kalanis pada hari ini juga, kami tinggalkan. Waktu di tepi sungai munjul pondok nelayan kosong dan kami diserang tetes hujan pertama, kami pergi ke darat dan sesegera mungkin mencari perlindungan di salah satu pondok. Tidak lama setelah kami dibagikan ke pondok-pondok dan kasur kami diangkat juga, badai itu pecah. Sulit untuk menggambarkan kekuatan badai yang mengamuk. Seluruh alam di sekitar kita ikut dalam kerusuhan alamyah. Keras menggemakan guntur di hutan, badai mengguncang dan menggelengkan semak dan pohon, seolah-olah ia ingin menjatuhkan segala sesuatu ke tanah. Kami takut untuk gubuk nelayan kami, yang dengan setiap embusan angin mengerang. Memasak tak seorang pun berpikir. Semua orang berusaha untuk melindungi kekayaan kecilnya dari hujan, yang oleh badai dikocok melalui semua celah. Ketika hujan berhenti, mulai wabah nyamuk. Tetapi kita bisa melindungi diri kita lebih baik. Kami memasang kelambu kami dan pergi tidur. Di bawah perlindungan kemurahan Allah kami boleh menghabiskan malam tanpa terganggu. Keesokan paginya pada jam lima hidup kembali di perkemahan kami. Segera kami membuat sarapan di atas api terbuka dan memuat bagasi lagi ke perahu. Dengan tenaga baru pendayung kami mulai bekerja. Mereka mendayung dengan semangat baru, kecuali Adil Junior, yang sesuai pengamatan kami kemarin menjadi anak agak lambat dan malas lagi juga hari ini. Sebuah kelompok monyet yang hidup di tepi sungai menunjukkan tidak sedikit ketakutan, waktu kita meluncur di pagi hari begitu awal pada permukaan air yang seperti cermin-halus. Untuk melarikan diri, mereka tidak berpikir. Pada jam duabelas, kami berada di Kalanis. Di batang kepala desa itu kami memasak. Pendayung kami senang ketika mereka dapat bantuan air pasang. Ini berarti itu adalah terima kasih kepada mereka bahwa kita mampu untuk melabuh di sore hari sudah di batang rumah misi di Mengkatib jam dua siang. Kami dapat kabar dari misionaris Hampp bahwa beberapa kapal di barito atas terjebak karena kekurangan air. Di sini, tingkat air di barito menurun dari hari ke hari. Dengan penuh semangat kita melihat di hari-hari berikutnya ke arah utara, apakah tidak melihat awan. Selama tiga hari kami menunggu sia-sia. Kemudian akhirnya pada Sabtu 13 Agustus, pada siang hari dengan jam satu datang Riwai kami ke ruangan dan berkata: Kapal Datang! Dalam tergesa-gesa, barang-barang kita dipersiapkan untuk dimuat, karena kapal-kapal di Mengkatib biasanya berlabuh hanya sangat singkat. Pada waktu kapal uap semakin dekat kami melihat itu adalah kapal pemerintah Voorwaarts yang tanpa izin apapun oleh kepala desa atau Inspektur boleh membawah penumpang. Kami suruh satu kelotok untu mendekatinya dan menjelaskan keadaan kami. Permohonan itu diterima dan kapal itu sebentar lagi melabuh di batang untuk memuat barang-barang kami dan kami pun ikut naik. Kapten kapal yang ramah meminta kami untuk urus ijin nanti setelah tiba di Bandjermasin. Yang lebih baik kami tidak mengharapan. Di ruangan salon dari kapal pemerintah kami merasa jauh lebih aman daripada di kapal china yang kotor. Kami sangat berterimakasih karena kami tahu itu adalah rencana Tuhan. Pada hari Minggu tanggal 14. Agustus pagi jam 10 kami tiba di Badjermasin di tempat keluarga tersayang kami, setelah perjalanan selama tiga minggu. Mereka dan kami juga boleh merasakan perlindungan dan kebaikan Tuhan secara khusus. Dua kali ada kebakaran di Bandjermasin selama kami dalam perjalanan, satu kali dekat sekali dengan rumah misi kami. Tetapi semua terlindung dari mara bahaya. Semoga Tuhan memberkati daerah Maanjan setelah perjalanan kami. Apa yang kami lihat dan merasakan disitu memberi kami kekuatan untuk berdoa terus supaya Tuhan memberi hujan untuk melehmahkan hati-hati keras dan menabur firmannya dan memberikan panen yang baik.

Daftar isi:

Kata Pengantar1. Dari Bandjermasin ke Mebgkatib2. Dengan perahu ke daerah Maanjan3. Pada stasiun misi Tamianglajang4. Jalan kaki ke Beto5. Pada stasiun misi di Beto6. Kunjungan ke cabang Tewah-Popoh7. Keluarga Pangeran di Telang8. Perjalanan kembali melalui Tamianglajang

Kata Penutup

Pada waktu ia menabur, sebagian benih itu jatuh di pinggir jalan, lalu datang burung dan memakannya sampai habis. Sebagian jatuh di tanah yang berbatu-batu, yang tidak banyak tanahnya, lalu benih itu pun segera tumbuh, karena tanahnya tipis. Tetapi sesudah matahari terbit, layulah ia dan menjadi kering karena tidak berakar. Sebagian lagi jatuh di tengah semak duri, lalu makin besarlah semak itu dan menghimpitnya sampai mati. Dan sebagian jatuh di tanah yang baik lalu berbuah; ada yang seratus kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, ada yang tiga puluh kali lipat. (Matius 13, 4 8)

Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Tuhan yang maha besar yang telah memberi hikmat untuk menterjemahkan buku ini. Saya selalu mendoakan suku Maanjan dan penduduk-penduduk di Kalimantan semoga benih-benih iman yang telah ditabur bisa bertumbuh dengan baik dan menghasilkan panen yang dilipatgandakan.(RDL)

Penulis: Karl Gottlob Weiler Penterjemah: Roland Dppen Lukar