40
1 Kalam 25 / 2013 I E mpat novel Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer dapat dinikmati dengan beberapa cara baca, karena karya- karya itu menampilkan suasana awal munculnya kesadaran kebangsaan di Hindia Belanda, dengan berbagai faset persoalan yang sama menariknya. Di sini akan diterapkan tiga cara membaca yaitu 1) Melihat keempat novel itu sebagai narasi tentang kehilangan yang harus ditanggung setelah suatu perjuangan panjang dan getir; 2) Membacanya sebagai cerita tentang hubungan antara lelaki dan perempuan dengan simpati besar terhadap peranan perempuan; 3) Meninjaunya sebagai lukisan tentang peranan hubungan produksi dalam perubahan masyarakat, khususnya dalam usaha emansipasi orang terjajah terhadap pihak penjajah, dan emansipasi perempuan terhadap dominasi laki-laki. Jilid I Bumi Manusia (selanjutnya akan disingkat BM) telah ditutup dengan kisah Nyai Ontosoroh kehilangan anak perempuannya, Annelies, yang harus dibawa ke negeri Belanda untuk ditempatkan di bawah perwalian Nyonya Amalia Mellema-Hammers sebagai istri sah Herman Mellema, setelah yang terakhir ini meninggal, dengan Kekuasaan, Gender dan Hubungan Produksi Perspektif Tetralogi Pulau Buru Ignas Kleden

Kekuasaan, Gender dan Hubungan Produksi kladen.pdf · untuk tidak kalah seluruhnya, dan tidak kehilangan segala sesuatu yang ada pada mereka. Nyai Ontosoroh kehilangan perusahaan

  • Upload
    others

  • View
    18

  • Download
    4

Embed Size (px)

Citation preview

1 PB

Kalam 25 / 2013

I

Empat novel Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer

dapat dinikmati dengan beberapa cara baca, karena karya-

karya itu menampilkan suasana awal munculnya kesadaran

kebangsaan di Hindia Belanda, dengan berbagai faset persoalan yang

sama menariknya. Di sini akan diterapkan tiga cara membaca yaitu

1) Melihat keempat novel itu sebagai narasi tentang kehilangan

yang harus ditanggung setelah suatu perjuangan panjang dan getir;

2) Membacanya sebagai cerita tentang hubungan antara lelaki dan

perempuan dengan simpati besar terhadap peranan perempuan; 3)

Meninjaunya sebagai lukisan tentang peranan hubungan produksi

dalam perubahan masyarakat, khususnya dalam usaha emansipasi

orang terjajah terhadap pihak penjajah, dan emansipasi perempuan

terhadap dominasi laki-laki.

Jilid I Bumi Manusia (selanjutnya akan disingkat BM) telah

ditutup dengan kisah Nyai Ontosoroh kehilangan anak perempuannya,

Annelies, yang harus dibawa ke negeri Belanda untuk ditempatkan

di bawah perwalian Nyonya Amalia Mellema-Hammers sebagai istri

sah Herman Mellema, setelah yang terakhir ini meninggal, dengan

Kekuasaan, Gender dan Hubungan Produksi

Perspektif Tetralogi Pulau Buru

Ignas Kleden

2 PB

Kalam 25 / 2013

meninggalkan dua orang anak dari pergundikannya dengan Nyai

Ontosoroh. Kehilangan yang sama menimpa siswa HBS Surabaya

bernama Minke, anak bupati kota B, yang diterima oleh Nyai

Ontosoroh untuk tinggal di Boerderij Buitenzorg di Wonokromo,

sebagai teman dan kekasih Annelies, dan seterusnya dinikahkan

dengan Annelies, setelah dia lulus dari HBS Surabaya sebagai lulusan

terbaik di kota itu. Ini juga cerita tentang Nyai Ontosoroh yang

kehilangan kedua orangtuanya, yang tidak diakuinya lagi dan tidak

pernah dijumpainya lagi dengan sengaja, setelah ayahnya yang ingin

naik pangkat menyerahkannya kepada Herman Mellema, yang ketika

itu menjadi administratur pabrik gula di Tulangan, Jawa Timur.

Masih ada satu kehilangan lagi yang dialami Nyai Ontosoroh, yaitu

kehilangan Tuannya, Herman Mellema, yang kedapatan mati mabuk

di rumah bordil Kebun Jepun, milik seorang Cina.

Jilid II Anak Semua Bangsa (selanjutnya disingkat ASB)

ditutup dengan dirampasnya perkebunan dan pabrik susu Boerderij

Buitenzorg oleh anak Herman Mellema dari istri sah. Anak ini

bernama Ir. Maurits Mellema, pahlawan perang Belanda melawan

Inggris di Afrika Selatan, yang datang ke Hindia Belanda karena

mendapat penugasan untuk membangun pelabuhan laut di Surabaya

sebagai pangkalan Angkatan Laut Hindia Belanda. Perusahaan

seluas 180 ha (belum termasuk sawah, ladang, hutan dan semak)

yang telah turut dikelola oleh Nyai Ontosoroh selama 20 tahun,

harus diserahkan ke Maurits Mellema sebagai ahli waris yang sah,

sementara Nyai Ontosoroh sebagai gundik yang tidak dilindungi

hukum Belanda, tidak mendapat sesuatu pun, dan harus pindah ke

rumah bambu di Wonocolo, dan mulai membangun perusahaan

baru di sana dengan modal uang tabungannya selama bekerja 20

3 PB

Kalam 25 / 2013

tahun di Boerderij Buitenzorg. Dalam pada itu Nyai Ontosoroh

sebagai gundik kehilangan dua orang anaknya, yaitu Annelies,

yang akhirnya meninggal di Rumah Sakit Huizen, Belanda, karena

menolak makan dan kehilangan gairah hidup, dan Robert Mellema

abang Annelies, yang berlayar dengan kapal Inggris dan meninggal

karena sifilis di Los Angeles. Sebelum berlayar Robert rupanya

menjalin asmara gelap dengan seorang perempuan muda pemerah

susu bernama Minem, yang kemudian melahirkan seorang anak

laki-laki yang diberi nama Rono Mellema. Sementara itu di tempat

lain para petani kehilangan tanah yang diambil paksa oleh pihak

perkebunan tebu. Seorang petani bernama Trunodongso yang

mencoba mempertahankan tanahnya, mendapat luka-luka berat dan

bersama keluarganya mencari perlindungan ke Boerderij Buitenzorg.

Di Surabaya Minke kehilangan sahabatnya Khouw Ah Soe, seorang

aktivis Angkatan Muda Tiongkok, lulusan Sekolah Menengah

berbahasa Inggris di Shanghai, yang menyelundup ke Hindia Belanda

untuk memperjuangkan berakhirnya kekaisaran Cina, dan mati

terbunuh oleh gerombolan teror di Surabaya yang dikenal sebagai

Gerombolan Thong.

Jilid III Jejak Langkah (seterusnya disingkat JL) bercerita

tentang banyak kehilangan. Minke kehilangan kesempatan menjadi

dokter Jawa di STOVIA Betawi, karena menulis resep buat kekasihnya

yang sakit payah, meskipun dia belum menjadi dokter. Dia harus

mengembalikan beasiswa selama empat tahun sebesar 4 x 12 x f40.

Dengan bantuan Nyai Ontosoroh utang itu dapat dilunasi, tetapi Minke

harus kehilangan istrinya yang kedua, Ang San Mei, seorang gadis

muda, guru bahasa Inggris di Sekolah Tionghoa di daerah Kota, yang

menyelundup ke Hindia Belanda, menyebarkan cita-cita perjuangan

4 PB

Kalam 25 / 2013

Angkatan Muda Tiongkok, dan meninggal karena menderita ascites

dan uremi. Mei adalah tunangan Khouw Ah Soe yang mati terbunuh

di Surabaya. Kehilangan terbesar tentulah pembuangan Minke ke

Ambon, karena koran Medan yang dipimpinnya menerbitkan tulisan

Marko yang mengandung kritik keras atas perjalanan Gubernur

Jenderal Alexander Willem Frederik Idenburg ke Rembang, untuk

melayat Bupati Rembang, suami R.A. Kartini, yang meninggal dunia,

dengan rombongan yang amat besar. Sekitar 80 taksi di Bandung,

Buitenzorg dan Betawi dicarter untuk perjalanan ini. Setelah Minke

dibuang segala harta kekayaannya dibekukan oleh pemerintah dan

pengadilan: rumahnya di Buitenzorg, percetakan, Hotel Medan di

Betawi dan toko alat tulis serta semua uangnya yang ada di bank.

Pembuangan ini menyebabkan Minke juga kehilangan istrinya yang

ketiga, seorang putri raja Maluku, yang dipaksa kembali ke Maluku

setelah Minke dibuang.

Jilid VI Rumah Kaca (seterusnya disingkat RK) bercerita

tentang seorang intelektual dan pejabat tinggi asal Menado, yang

diambil anak oleh seorang apoteker Prancis. Menamatkan sekolah

menengah di Lyon, dia kemudian belajar dua tahun di Universitas

Sorbonne, dan selanjutnya mengikuti pendidikan di Sekolah Tinggi

Kepolisian hingga tamat. Sebagai Ajung Komisaris dia ditugaskan

mengamati dan mengawasi Minke, dan kemudian mengantar Minke

ke tempat pembuangan di Ambon. Setelah diangkat sebagai pejabat

tinggi di Algemeene Secretarie atau Kantor Gubernur Jenderal

di Buitenzorg, dia diangkat menjadi tenaga ahli untuk urusan

pribumi yang harus mengawasi kegiatan organisasi-organisasi

pribumi yang bermunculan. Hidup tokoh kita ini yang bernama

Pangemanann adalah tegangan dan tarik-menarik antara nurani

5 PB

Kalam 25 / 2013

intelektualnya yang membenarkan sikap dan tindakan Minke dan

tokoh-tokoh kebangkitan nasional lainnya seperti Tjokro, Marko,

Wardi dan Siti Soendari, dan kewajibannya sebagai pejabat kolonial

untuk mengawasi dan membatasi sepak-terjang mereka agar tidak

membahayakan kekuasaan kolonial. Pada akhirnya Pangemanann

ditugaskan menjemput Minke yang kembali dari pembuangannya, dan

mengantarnya dari Surabaya ke Betawi. Dalam menjalankan tugasnya

mengawasi gerakan pribumi Pangemanann menggunakan juga cara-

cara di luar hukum, dengan mempekerjakan orang-orang yang bisa

melakukan kekerasan terhadap Minke dan tokoh-tokoh pergerakan

lainnya, dengan ketentuan bahwa teror tersebut dilaksanakan atas

prakarsa dan risiko pribadi mereka yang melakukannya. Kalau

berhasil, mereka dibayar. Kalau mereka terluka atau mati, pemerintah

dianggap tak tahu-menahu tentang tindakan mereka. Minke akhirnya

meninggal di Betawi karena dokter Jerman yang harus mengobatinya

dilarang dengan ancaman oleh kaki tangan Pangemanann. Konflik

batin dalam tugas ini menyebabkan Pangemanann sering tidak

mempedulikan keluarganya. Istrinya Paulette akhirnya tidak tahan,

dan minta pulang ke Prancis dengan membawa dua anaknya yang

masih tinggal bersama mereka. Ketika Nyai Ontosoroh kembali

dari Paris ke Betawi untuk menengok Minke, setelah mendengar

menantunya ini dipulangkan dari pembuangannya, Pangemanann

harus mengantar Minke ke kuburnya, dengan nisan yang telah ditutup

oleh ter hitam. Pangemanann kehilangan keluarga dan kehilangan

kepercayaan dirinya sebagai seorang terpelajar, Minke kehilangan

segala milik bahkan hidupnya sendiri, dan Nyai kehilangan bekas

menantu, yang selalu mendapat bantuannya dalam segala kesulitan.

Semua kehilangan ini disebabkan oleh kekuatan obyektif

6 PB

Kalam 25 / 2013

sejarah yang tak dapat dilawan, meskipun orang-orang yang

mengalaminya berusaha sekuat tenaga untuk tidak menyerah dan

dapat mengikuti pilihan hidup mereka sebagai manusia bebas. Tragis

bahwa kebebasan yang menjadi dambaan Minke harus ditebus dengan

kematiannya, dan kebebasan yang selalu didengar dan dibaca oleh Nyai

Ontosoroh hanya dapat dialaminya dengan meninggalkan Hindia

Belanda dan pindah ke Prancis, ke negeri suaminya, Jean Marais, yang

kemudan mengubah namanya menjadi Jean Le Boucq. Kehilangan

menjadi representasi dari tak terlawankannya kekuatan sejarah, dan

tegarnya subyektivitas manusia yang tidak bisa ditundukkan begitu

saja oleh kekuatan-kekuatan yang berada di luar dirinya.

II

Dalam perspektif kedua kita akan melihat peranan yang dimainkan

oleh tokoh lelaki dan perempuan. Bintang dalam BM tentulah Nyai

Ontosoroh atau Sanikem, yang diserahkan oleh ayahnya Sastrotomo

ke administratur pabrik gula Tulangan untuk dijadikan gundiknya.

Akan tetapi Sanikem tidak mau menyia-nyiakan hidupnya. Dia

belajar bahasa Belanda sampai mahir menggunakannya secara lisan

dan tertulis, belajar mengurus rumah dan mengelola perusahaan susu,

belajar pembukuan dan korespondensi dagang, sampai akhirnya dia

bisa berdiri sendiri dan tidak tergantung kepada tuannya. Sebaliknya,

tuannya Herman Mellema, mungkin seorang administratur yang

baik, tetapi seorang pribadi yang lemah. Dia tak sanggup melindungi

Sanikem dan kedua anaknya dari cercaan dan tuntutan hukum Ir.

Maurits Mellema, anaknya dari istrinya yang sah di negeri Belanda.

7 PB

Kalam 25 / 2013

Herman Mellema kemudian tidak lagi berminat mengurus perusahaan,

meninggalkan rumah secara tidak teratur, minum hingga mabuk, jadi

langganan tetap rumah bordil Kebun Jepun milik seorang Cina dan

akhirnya mati mabuk di rumah bordil tersebut. Robert Mellema,

anak Herman Mellema dengan Sanikem, jebol dari HBS, kerjanya

menganggur dan berburu, dan ternyata melakukan kejahatan inses

dengan memperkosa adiknya sendiri, pergi berlayar dengan kapal

Inggris, dan mati kena sifilis di Los Angeles.

Bintang lainnya yang tak kurang gemerlapan adalah Bunda, ibu

Minke, istri bupati Kota B. Perempuan ini hanya mengenal nilai-nilai

kebudayaan Jawa, dan merasa nilai-nilai itu mencukupi kebutuhannya,

dan yang dicoba diteruskannya kepada Minke. Berlainan dari ayah

Minke sebagai priyayi yang haus jabatan, Bunda selalu mencoba

memahami anaknya yang tidak ingin menjadi bupati dan hanya mau

menjadi manusia bebas, meskipun cita-cita anaknya ini sangat jauh

dari pengertiannya. Bunda tampil sebagai antitesis yang sama kuatnya

untuk Sanikem. Boleh dikata Sanikem adalah tokoh yang mendendam

kepada orangtua, mendendam kepada masa lalu dan kebudayaan Jawa

yang telah membuangnya, dan kemudian berusaha memanfaatkan

segala apa yang ada di sekitarnya untuk menjadi dirinya sendiri. Dia

terjepit di antara kebudayaan Jawa yang telah membuangnya sebagai

sebutir telur yang pecah dan hukum kolonial yang telah merampas

anaknya Annelies, tanpa mempedulikan jerih payahnya melahirkan,

mengasuh dan membesarkan anaknya itu. Bunda, sebaliknya, menjadi

tokoh yang menyimpan kedamaian utuh dalam dirinya, karena

keyakinan penuh bahwa kewajiban dalam hidup adalah menghormati

atasan, menjunjung tinggi yang berkuasa, dan tunduk kepada mereka

yang lebih tinggi kedudukannya, Jawa atau Belanda.

8 PB

Kalam 25 / 2013

Minke tampil sebagai seorang pemuda yang terombang-

ambing di antara berbagai gelombang pengaruh yang datang padanya.

Dia menolak kebudayaan Jawa yang hanya menghargai orang karena

status dan jabatan. Dia terpukau pada cita-cita Revolusi Prancis yang

dibacanya dan dipelajarinya di sekolah. Kebebasan, persaudaraan

dan persamaan adalah nilai-nilai yang amat menarik hatinya. Dalam

pada itu dia seakan terjebak dalam kehidupan seorang nyai, dengan

nilai-nilai yang belum pernah dikenalnya. Dia bergaul dengan pelukis

Prancis, Jean Marais, seorang veteran Perang Aceh, yang hidup

dalam kesunyian dengan anak perempuannya, yang dilahirkan oleh

seorang perempuan Aceh, dan tidak ingin tampil dalam kehidupan

umum, karena cacat tubuhnya, akibat kehilangan satu kakinya dalam

pertempuran. Tokoh perempuan yang banyak memberi motivasi

kepada Minke ialah guru sastra Belanda, Magda Peters, yang

kemudian harus kembali ke Belanda, karena pandangan politiknya

tidak berkenan pada pemerintah Hindia Belanda.

Dalam ASB perempuan-perempuan dilukiskan kandas dalam

nasib dan perjuangan mereka, tetapi memperlihatkan ikhtiar mereka

untuk tidak kalah seluruhnya, dan tidak kehilangan segala sesuatu

yang ada pada mereka. Nyai Ontosoroh kehilangan perusahaan dan

pabrik susu, tetapi dia tidak menjadi terlunta-lunta. Dengan uang

tabungannya yang sudah mencapai belasan ribu gulden, dia pindah ke

Wonocolo, mendirikan sebuah rumah bambu dan mulai membangun

perusahaannya yang baru di sana dengan sukses. Guru sastra Belanda

di HBS Surabaya, Magda Peters, harus kembali ke Belanda atas

kehendak pemerintah Hindia Belanda. Tetapi dia tidak kehilangan

semuaya, karena seorang muridnya, dengan nama pena Max Tollenaar,

mulai mengumumkan tulisan-tulisannya dalam bahasa Belanda yang

9 PB

Kalam 25 / 2013

indah, dan kemudian berkembang menjadi penulis dan wartawan

yang berhasil. Surati, keponakan Sanikem, anak abangnya Paiman,

diserahkan oleh ayahnya menjadi gundik administratur pabrik gula,

pengganti Herman Mellema, karena ingin mendapat jabatan lebih

tinggi. Surati tidak dapat membantah kehendak ayahnya, tetapi minta

izin untuk tirakat sebelum menyerahkan dirinya kepada Tuan Besar

administratur pabrik gula. Dalam tirakat itu dia berjalan memasuki

desa yang tertular cacar ketika wabah cacar menyerang desa-desa

sekitar Tulangan. Semalam suntuk dia membiarkan dirinya diserang

cacar, dan pagi harinya dia datang sendiri ke Tuan Vlekkenbaaij untuk

menyerahkan dirinya. Administratur itu segera mati karena cacar,

Surati dapat diluputkan dan dibawa kembali ke rumah orangtuanya

dengan muka penuh bopeng.

Sebaliknya, hampir semua tokoh laki-laki dalam ASB adalah

tokoh yang lemah. Paiman, abang Sanikem, adalah pemburu jabatan

seperti ayah mereka, yang tak sanggup melindungi anak perempuannya

dari keinginan dan nafsu administratur pabrik gula. Kommer, penulis

berbahasa Melayu, gagal mencuri hati Nyai Ontosoroh, meskipun

dia sahabat dan pembela setia Minke. Vlekkenbaaij, administratur

pabrik gula, tak berbeda dengan pendahulunya, mengambil gadis

anak pegawainya untuk dijadikan gundik. Sementara itu wartawan

Marteen Nijman, yang semula amat dihormati Minke dan banyak

diminta nasihatnya, ternyata seorang Indo, yang menjadi anggota

pimpinan cabang Indische Bond, yaitu persatuan perusahaan gula

di Jawa. Nijman mencegah niat Minke untuk membela petani

Trunodongso yang tanahnya dirampas oleh perkebunan tebu,

dan mencoba mempertahankan tanah miliknya. Tidak terkecuali

Gubernur Jenderal Willem Roseboom, yang amat ketakutan dengan

10 PB

Kalam 25 / 2013

kunjungan Putra Mahkota Rusia yang bersama armadanya mampir

ke Betawi dalam perjalanan ke Port Arthur. Setelah tahu bahwa

putra mahkota gemar berburu, Gubernur Jenderal memerintahkan

tangkap sejumlah besar rusa di istana Buitenzorg untuk dilepas di

hutan-hutan dekat Priok, tempat putera mahkota berburu. Alhasil,

putra mahkota merasa amat tersanjung oleh pujian orang karena dia

dapat menembak mati tiga ekor rusa, yang memang jinak. Demikian

pun dalam penyerahan Boerderij Buitenzorg ke Ir. Maurits Mellema,

akuntan De Visch, tidak dapat menyelamatkan perusahaan karena

hanya sibuk memikirkan honornya dalam tawar-menawar yang keras

dengan Nyai Ontosoroh.

Dalam JL perempuan-perempuan yang tampil adalah Ibu

Badrun, Bunda, Ang San Mei, R.A. Kartini, Dewi Sartika, wartawan

Marie van Zeggelen, dan Prinses van Kasiruta yang bernama

asli Prinses Dede Maria Futimma de Souza. Barisan srikandi ini

berhadapan dengan sejumlah besar laki-laki. Di pihak pemerintah

ada Gubernur Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz dan Gubernur

Jenderal Idenburg. Di kalangan tokoh politik ada Ir. H.van Kollewijn

anggota Tweede Kamer dari golongan radikal dan Ter Haar wartawan

koran De Locomotief di Semarang yang bersimpati dengan perjuangan

pribumi. Ada pula Mr. Aberon, direktur pendidikan Hindia Belanda.

Dari pihak pribumi muncul tokoh-tokoh pergerakan seperti Minke,

pemimpin mingguan Medan dan pemimpin Sjarikat Dagang Islam,

ada dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dari Dewan Pimpinan Boedi

Moeljo. Dari kalangan agama Islam ada Sjech Ahmad Badjened,

guru agama Minke. Dari kalangan Indo ada Hadji Moeloek dan

Douwager, dan dari kalangan nasionalis muncul Wardi, Marko dan

Sandiman. Priyayi lama diwakili oleh Achmad Djajadiningrat, bupati

11 PB

Kalam 25 / 2013

Serang, dan priyayi baru diwakili oleh dr. Sadikoen, dokter di Kroya

dan anggota pimpinan Boedi Oetomo cabang Kroya. Pribumi yang

bekerja pada pemerintah Hindia Belanda diwakili oleh Thamrin

Mohamad Thabrie, wedana Manggabesar, yang bersimpati dengan

kebangkitan nasional, dan kemudian mengundurkan diri sebagai

wedana, karena ingin mendukung Sjarikat Dagang Islam. Raja-raja

lokal yang menentang ketundukan kepada Belanda diwakili oleh

ayah Prinses van Kasiruta dari Maluku yang dibuang ke Sukabumi,

Raja Klungkung I Dewa Agoeng Djambe bersama Mahapatihnya I

Goesti Agung Djelantik yang memerintahkan rakyatnya melawan

pasukan pendudukan Belanda dengan Perang Puputan pada 1904,

meskipun sebelumnya Kerajaan Buleleng dihasut oleh Kompeni

untuk melepaskan diri dari Klungkung.

Ang San Mei adalah gadis pelarian dari Cina daratan, lulusan

Sekolah Guru di Shanghai, dididik dalam biara Katolik sejak kecil,

fasih berbahasa Inggris dan Prancis, dan kemudian menggabungkan

diri dengan Angkatan Muda Tiongkok untuk mengakhiri kekuasaan

kaisarina Ye Si. Dia masuk secara gelap ke Hindia Belanda untuk

memprogandakan cita-cita Angkatan Muda Tiongkok, bersama

sejumlah pemuda, antara lain, Khouw Ah Soe yang beroperasi

di Surabaya, dan pernah mendapat perlindungan di Boerderij

Buitenzorg, menjadi teman Minke, kemudian kedapatan mati

terbunuh di Surabaya. Khouw Ah Soe ternyata tunangan Ang San

Mei. Gadis ini menyamar sebagai guru bahasa Inggris di sebuah

sekolah Tionghoa di daerah Kota. Dipecat dari sekolahnya karena

ketahuan berhubungan dengan seorang pribumi siswa STOVIA

bernama Minke. Dengan bantuan Minke dia berhubungan surat-

menyurat dengan Kartini di Jepara. Setelah dipecat dari sekolahnya,

12 PB

Kalam 25 / 2013

Mei dititipkan oleh Minke di rumah Ibu Badrun, yang menjadi tempat

Minke mampir setiap akhir pekan. Keduanya mengunjungi orangtua

Minke di kota B, mendapat restu Bunda, kemudian menikah di kota

Bandung, setelah sempat mengunjungi Kartini di Jepara. Dialah yang

selalu mengajurkan kepada Minke untuk memberi perhatian kepada

organisasi. Kehidupan organisasi ini menyebabkan bahwa hanya

beberapa bulan setelah menikah dan tinggal di rumah Ibu Badrun

bersama Minke, dia minta izin kepada suaminya untuk pergi setiap

malam ke tempat yang dirahasiakannya, bertemu dengan pemuda-

pemuda yang tak dikenal oleh Minke, untuk urusan yang tak pernah

diceritakannya. Mei hanya menjanjikan kesetiaan kepada Minke dan

minta diperkenankan oleh suaminya untuk boleh bekerja beberapa

bulan untuk Tiongkok, tanah airnya. Kehidupan yang keras dan

tak teratur selama beberapa bulan, udara malam, dan paksaan kerja,

menyebabkan kesehatannya terus merosot dan akhirnya meninggal

karena sakit ascites dan uremi.

Ibu Badrun adalah seorang janda yang tidak lagi muda dengan

seorang anak perempuan. Rumahnya menjadi rumah keluarga untuk

Minke pada tiap akhir pekan. Menjadi kebiasaan anak-anak STOVIA

untuk mencari salah satu keluarga di daerah Kwitang, tempat mereka

mampir pada akhir pekan, untuk mengganti seragam sekolah dengan

baju Eropa, dan berjalan-jalan di kota sampai sore hari. Minke

memilih Ibu Badrun sebagai keluarganya. Kalau Bunda dari kota

B hendak menengok anaknya, Bunda juga menginap di rumah Ibu

Badrun. Kesulitan besar menimpa Ibu Badrun ketika Ang San Mei

setelah menikah dengan Minke, pergi setiap malam entah ke mana

dan pulang ke rumah menjelang pagi. Sebagai keluarga baik-baik

si Ibu ini khawatir bahwa perilaku Mei akan menjadi gunjingan

13 PB

Kalam 25 / 2013

tetangga dan dia akan dipersalahkan karena menerima perempuan

nakal dalam rumahnya. Ibu Badrun akhirnya dapat diyakinkan oleh

Minke yang berjanji bahwa dirinya sendiri menjadi jaminan kesetiaan

istrinya, dan kalau terbukti bahwa Mei melakukan perbuatan yang

tak patut, maka Minke sendiri akan mengusirnya dengan hina.

Bunda tetap memainkan peranannya sebagai ibu yang tak

pernah menarik kembali cintanya untuk anaknya, meskipun cita-cita,

keinginan dan sepak-terjang anaknya sering amat membingungkan

dia dan asing bagi pengertiannya. Dia tertegun mendengar niat

Minke membela para petani. Menurut Bunda, mengapa petani

harus dibela padahal tugas mereka hanyalah tunduk pada perintah

pembesar. Untuk itulah pembesar ada. Dalam cerita wayang tak

pernah disinggung-singgung tentang petani. Yang ada dalam wayang

hanyalah para raja dan pangeran. Dia pun heran bahwa anaknya tak

menginginkan jabatan bupati, yang menjadi impian tiap priyayi dan

orang bersekolah tinggi. Ketika dia menerangkan bahwa tindakan

Minke dapat membahayakan kedudukan ayahnya sebagai bupati,

Minke menjawab, “Tidak ada hubungannya dengan sahaya, Bunda.

Kalau Ayahanda dipecat bukanlah karena sahaya. Bukan” (Jl, 488).

Semua konflik batin itu tak sedikit pun mengurangi rasa sayang kepada

anaknya. Berbagai pertentangan yang dihadapinya menjelma sebagai

coincidentia oppositorum, koinsidensi dari hal-hal yang bertentangan

dan keselarasan berbagai kontradiksi. Dia begitu mengagungkan

nilai-nilai Jawa tetapi tidak terkejut ketika Minke mengajukan niatnya

untuk menikahi Ang San Mei dari Cina. Bunda berkata, “Raja-raja

nenek-moyangmu dulu selalu bermimpi dapat memperistri putri

Tiongkok atau juga putri Campa sebagai kehormatan. Tapi mereka

tak pernah Paramesywari” (JL, 107).

14 PB

Kalam 25 / 2013

Nyai Ontosoroh sebagai bekas mertua Minke selalu tampil

sebagai tangan yang mengulurkan bantuan kalau Minke mengalami

kesulitan keuangan. Dia akhirnya menikah dengan pelukis Prancis

Jean Marais dan melahirkan seorang anak bernama Jeanette Marais.

Setelah menikah Jean Marais mengganti namanya menjadi Jean Le

Boucq dan Nyai Ontosoroh menjadi Madame Le Boucq. Mereka

pindah ke Prancis dan menjadi warga negara Prancis karena Nyai

Ontosoroh ingin membuktikan sendiri bahwa di dunia ini ada negeri

di mana kebebasan tiap orang dihormati.

Prinses van Kasiruta adalah anak perempuan seorang raja

Maluku yang dibuang ke Sukabumi. Dia mengikuti kursus persamaan

MULO selama dua tahun di Bandung. Bisa bicara Belanda, Melayu

dan sedikit Sunda. Dia menjadi pembantu mingguan Medan yang

dipimpin oleh Minke, dan kemudian menjadi istri Minke yang

ketiga. Dia ternyata pandai berkelahi, sanggup menggunakan senjata

api dengan baik dan menembak para penyerang Minke di Bandung

tanpa Minke sendiri mengetahuinya.

Kalau tokoh-tokoh perempuan ditampilkan sebagai

representasi sifat-sifat manusia dan sifat kebudayaan, maka tokoh

laki-laki muncul sebagai representasi sifat-sifat kekuasaan. Gubernur

Jenderal van Heutsz yang mempunyai hubungan erat dengan Minke

dikenal sebagai penakluk Aceh yang kemudian menuntut ketaklukan

daerah-daerah yang belum tunduk kepada kekuasaan Gubernur

Jenderal. Tuntutan itu disampaikannya melalui maklumat Korte

Verklaring. Idenburg pengganti van Heutsz hanya memperhatikan

orang sebagai pejabat dan bukan sebagai manusia. Para nasionalis

di Hindia Belanda mendirikan organisasi-organisasi pribumi yang

mempersatukan kekuatan pribumi dalam berhadapan dengan

15 PB

Kalam 25 / 2013

kekuatan kolonial. Tokoh agama seperti Sjech Achmad Badjened

menjadi otak yang berada di balik gerakan pedagang keturunan Arab

yang melakukan boikot terhadap usaha-usaha perdagangan Belanda

dan pribumi non-Arab. Ini menimbulkan kesulitan kelompok pribumi

lainnya, meskipun mereka sama-sama anggota Sjarikat Dagang Islam.

Hadji Moeloek mencoba memperkenalkan sumbangan kelompok

Indo kepada perubahan budaya di Hindia Belanda, tetapi Robert

Suurhof, Indo yang menjadi teman kelas Minke di HBS Surabaya,

memimpin berbagai gerakan teror di Betawi untuk mengintimidasi

setiap gerakan pribumi, khususnya sepak-terjang Minke. Wajah

kemanusiaan dan wajah kebudayaan pada tokoh-tokoh perempuan

berhadapan dengan wajah kekuasaan pada tokoh laki-laki.

Dalam RK peran utama dimainkan oleh Jacques Pangemanann,

yang mendapat pendidikan menengah dan pendidikan tinggi di Lyon

dan Paris. Dia menjadi pejabat tinggi di kantor Gubernur Jenderal

dan menempati rumah Minke di Buitenzorg, setelah pengadilan

membekukan segala harta kekayaan Minke setelah dia dibuang. Dilihat

dari perspektif hubungan lelaki-perempuan maka Pangemanann

dalam tugasnya mengawasi kegiatan pribumi berhadapan dengan

empat orang perempuan yaitu Paulette Pangemanann, Prinses van

Kasiruta, Siti Soendari sebagai bintang yang muncul di langit nasional

setelah Kartini dan Nyai Ontosoroh sebagai bekas mertua yang tetap

mengikuti perkembangan bekas menantunya, Minke.

Paulette adalah perempuan Prancis yang dinikahi

Pangemanann di Prancis dan kemudian memutuskan mengikuti

suaminya pindah ke Hindia Belanda. Perkawinan mereka memberi

mereka empat orang anak. Paulette adalah istri yang penuh pengabdian,

mengatur rumah tangga dengan rapi dan tertib, dan mencintai anak-

16 PB

Kalam 25 / 2013

anak dan suaminya dengan sepenuh hati. Keinginannya untuk cuti ke

Prancis bersama suami dan anak-anak tidak terpenuhi, karena Eropa

sedang terlibat Perang Dunia I yang bermula di Sarajevo. Selain itu,

promosi suaminya menjadi tenaga ahli urusan pribumi di Algemeene

Secretarie memberinya amat banyak pekerjaan yang tak dapat ditunda.

Nasihat-nasihat Pangemanann sebagai tenaga ahli dibutuhkan oleh

Gubernur Jenderal setiap saat, khususnya menyangkut gerakan

pribumi.

Konflik batin yang dialami Pangemanann antara nurani

intelektualnya yang menghargai kebebasan dan sikap merdeka

seseorang dan kewajibannya sebagai tenaga ahli kolonial yang harus

mengawasi tiap gerakan dalam organisasi pribumi membuatnya

sering kali hilang keseimbangan dan menjadi nervous. Keadaan ini

tambah diperberat oleh beban pekerjaan yang semakin hari semakin

menumpuk, karena atasannya rupanya menyerahkan semua urusan

kepada dia. Ketegangan batin ini membuatnya semakin hari semakin

acuh terhadap keluarganya, apalagi setelah dia dengan sia-sia berusaha

menenangkan dirinya dengan minuman keras atau mencari pelarian

pada wanita hiburan. Sikapnya yang semakin aneh terhadap keluarga

dan perilaku nervous yang semakin memburuk akhirnya membuat

Paulette mengambil sikap. Istrinya memutuskan kembali ke Prancis

bersama anak-anak, karena merasa suaminya tak membutuhkan

bantuan dan kehadiran dirinya lagi.

Prinses van Kasiruta sebagai istri ketiga Minke selalu siap

membantu Minke dalam pekerjaan dan siap juga melindungi

keselamatan suaminya. Sebagai tenaga ahli urusan pribumi

Pangemanann berusaha dengan segala cara mengawasi dan membatasi

sepak-terjang Minke yang semakin hari semakin berpengaruh karena

17 PB

Kalam 25 / 2013

pelayanan kepada pembaca yang diberikan melalui koran mingguan

Medan. Pangemanann akhirnya terpaksa mengandalkan bantuan

orang-orang yang bersedia melakukan teror dan intimidasi. Robert

Suurhof sebagai tenaga yang disiapkan kepolisian untuk digunakan

atas cara di luar hukum, mendapat instruksi dari Pangemanann untuk

menyerang Minke di Bandung pada hari yang sudah ditentukan.

Sudah ditetapkan pula warna baju yang harus dikenakan, serta hari

dan jam penyerangan dilakukan. Gerombolan Suurhof diminta

mencederai Minke tanpa membahayakan hidupnya. Setelah instruksi

diberikan Pangemanann merasa Minke tak seharusnya dicederai

dengan cara sebagaimana direncanakan. Dia lalu mengirim surat

kaleng kepada Prinses van Kasiruta tentang rencana penyerangan itu,

tentang waktu dan tempat penyerangan dan warna baju yang akan

dikenakan oleh para penyerang.

Oleh Prinses surat kaleng itu tidak diperlihatkan kepada

Minke, tetapi secara rahasia Prinses mengajak Sandiman dan Marko,

pembantu Minke, untuk menyiapkan aksi penyelamatan. Pada

hari dan jam kejadian para pelaku teror sudah mengepung Minke

yang sedang makan sate di sebuah warung di Bandung bersama

Pangemanann. Tiba-tiba lewat seorang perempuan muda dengan

payung hitam, lalu terdengar letusan tembakan revolver. Seorang

tersungkur mati, dan Robert Suurhof sendiri terbaring tak berdaya

dengan sebilah pisau terhunjam di perutnya. Belakangan Minke

tahu bahwa aksi itu dilakukan oleh Prinses, Marko dan Sandiman,

meskipun ketika ditanya Prinses mengelak menjawab. Ketika Minke

terus mendesak, Prinses akhirnya menjawab: “Ah kau Mas, menikahi

wanita Kasiruta tapi tak tahu wataknya”. “Bagaimana watak wanita

Kasiruta?” “Dia akan bunuh suami durhaka. Dan dia akan bunuh

18 PB

Kalam 25 / 2013

pendurhaka suami yang dicintainya” (JL, 522).

Setelah Pangemanann tinggal di rumah Minke dan Prinses,

tiap sore dia melihat dua perempuan tarik-menarik mendekati

rumahnya. Dengan teropong dia melihat bahwa keduanya adalah

Prinses van Kasiruta dan Piah pembantunya. Dia tahu bahwa Prinses

ingin berhadapan dengannya dan ingin berdebat dengannya tentang

kepemilikan rumah itu. Ia menelepon polisi istana yang kemudian

datang dan menyeret pergi kedua perempuan itu dengan kasar.

Paulette istrinya melihat itu dan tersinggung hatinya. Dia berkata

kepada Pangemanann bahwa tindakan itu amat berlebihan dan

tidak patut. Kalau di Prancis dia bertindak seperti itu maka seluruh

masyarakat akan mengutuknya. Prinses kehilangan rumahnya yang

penuh ketenangan, tetapi Pangemanann kehilangan martabatnya

sebagai laki-laki terpelajar.

Siti Soendari adalah perempuan yang menjadi obyek

pengamatan Pangemanann pada masa Tjokro mulai mengambil

alih pimpinan Sjarikat Dagang Islam. Dia lahir dari sebuah keluarga

priyayi terpelajar. Ayahnya pernah mengikuti pendidikan dokter

Jawa di STOVIA tetapi tak selesai, dan kemudian bekerja sebagai

kepala pegadaian di Pemalang. Siti Soendari dibesarkan ayahnya

sebagai orangtua tunggal karena ibunya meninggal ketika dia masih

amat kecil. Pendidikan terakhirnya adalah HBS Semarang, sedangkan

abangnya melanjutkan studi di Hoge Handelschool di Rotterdam.

Setelah tamat HBS Siti Soendari mengajar SD berbahasa Belanda

di Pacitan. Pada hari-hari tertentu dia membawa murid-muridnya

keluar kelas dan belajar di alam bebas. Menurut dia, murid-murid

harus mengenal alam tempat mereka hidup karena di situlah tanah

air mereka. Selain mengajar dia menghadiri pertemuan-pertemuan

19 PB

Kalam 25 / 2013

politik, menjadi propagandis Insulinde dan menulis artikel-

artikel politik di surat kabar dengan inisial SS. Dia diawasi oleh

gubernemen, tulisan-tulisannya dipelajari oleh Pangemanann, yang

berusaha mempertahankan sikapnya bahwa Siti Soendari tidak

boleh ditangkap hanya karena punya pandangan yang berbeda dari

pandangan pemerintah kolonial. Berita atau desas-desus bahwa dia

diawasi oleh gubernemen menimbulkan ketakutan pada pimpinan

sekolah tempatnya mengajar. Dia dipecat dari sekolah itu dan harus

meninggalkan murid-muridnya dengan berat hati.

Sementara itu pemerintah kolonial berusaha menghentikan

kegiatan politiknya dengan memaksa ayahnya segera menikahkan

dia. Perintah ini disertai ancaman bahwa kalau Siti Soendari tidak

segera dinikahkan, maka abangnya yang sedang belajar di Rotterdam

akan dikeluarkan dari sekolahnya. Siti Soendari sendiri kemudian

menghilang dan ayahnya juga tak dapat ditemukan. Ternyata sebelum

kedua anak-beranak itu raib dari pengawasan pemerintah, sang ayah

telah menarik semua uang simpanannya di bank. Beberapa waktu

kemudian diketahui bahwa Siti Soendari sudah berada di negeri

Belanda bersama Marko, murid Minke. Patut dicatat bahwa setelah

kegiatan publik Kartini dapat dihentikan dengan memaksanya

dikawinkan dengan Bupati Rembang, pemerintah kolonial rupanya

yakin bahwa kegiatan politik perempuan yang punya pikiran bebas

dapat dihentikan dengan membawa mereka ke ranjang pengantin.

Gubernur Jenderal van Heutsz oleh masyarakat di sekitar istana

dianggap menjadi Mak Comblang untuk Minke dan Prinses van

Kasiruta. Dengan cara yang lebih primitif Asisten Residen Pekalongan

menugaskan kontrolir untuk mendengar sendiri percakapan Siti

Soendari dengan seorang ibu yang diminta oleh ayah Siti Soendari

20 PB

Kalam 25 / 2013

agar membujuk anaknya itu untuk mau dinikahkan. Pembicaraan

dilakukan di hadapan ayah Siti Soendari, sementara Kontrolir itu

bersembunyi di balik dinding untuk mendengar. Singkat kata, Siti

Soendari menolak tawaran menikah, karena dalam anggapannya

pendidikan yang diperolehnya selama 10 tahun, harus dimanfaatkan

untuk tujuan yang lebih besar daripada sekadar menjadi istri orang.

Bertentangan dengan pandangan atasannya di kantor

Gubernur Jenderal, Pangemanann tetap bertahan untuk tidak

menangkap Siti Soendari. Ini bukan hanya karena simpati pribadi

tetapi berdasarkan kenyataan politik bahwa pembuangan Minke

telah menaikkan jumlah anggota Sjarikat Dagang Islam dengan

cepat, sementara penangkapan tokoh politik dan pemimpin

organisasi politik cenderung berkoinsidensi dengan pembakaran

perkebunan tebu secara besar-besaran. Lagi pula Gubernur Jenderal

van Limburg Stirum yang mengganti Gubernur Jenderal Idenburg

telah mengeluarkan kebijakan baru untuk merangkul para pemimpin

organisasi politik dan melarang penangkapan dan pembuangan

mereka. Patut dicatat bahwa tiga orang laki-laki pemimpin organisasi

politik, yakni Tjipto, Douwager dan Wardi dibuang oleh pemerintah

kolonial ke negeri Belanda. Sebaliknya, Siti Soendari seorang perawan

muda berhasil menghindari penangkapan kolonial dan melarikan

diri ke negeri Belanda atas kehendak sendiri. Sekali lagi terlihat

kecenderungan Pramoedya untuk mengunggulkan perempuan dan

perjuangan mereka lebih dari laki-laki.

Nyai Ontosoroh yang berganti nama menjadi Madame

Le Boucq, datang ke Betawi bersama anak perempuannya karena

mendengar Minke telah kembali dari pembuangannya di Ambon. Dia

menghubungi konsul Prancis di Betawi untuk menanyakan bagaimana

21 PB

Kalam 25 / 2013

caranya dia dapat bertemu dengan Minke. Konsul Prancis mengontak

kantor Gubernur Jenderal untuk minta tolong. Pangemanann

sebagai tenaga ahli urusan pribumi kemudian ditugaskan oleh kantor

Gubernur Jenderal untuk menemui Konsul Prancis. Di kantor konsul

itulah Pangemanann dipertemukan dengan Madame Le Boucq, yang

minta kepadanya untuk membantu mempertemukannya dengan

Minke. Baru pada saat itu pula Madame Le Boucq diberitahu bahwa

Minke telah meninggal dunia. Ketika ditanyakan penyakit apa yang

menyebabkan Minke meninggal, dan dokter mana yang menolongnya

kali terakhir, Pangemanann menyatakan tidak tahu. Memang hanya

itu yang dapat dilakukannya, karena Pangemanann sendiri turut

bertanggung jawab atas kematian Minke, yang meninggal karena

dokter Jerman yang diminta menolongnya diancam oleh Robert

Suurhof, seorang kaki tangan Pangemanann. Suurhof memaksa

dokter itu untuk menyatakan bahwa pasien menderita disentri berat

dan tidak dapat ditolong lagi. Minke dibawa kembali ke rumah

Goenawan, tempatnya menumpang, dan mengembuskan napas

terakhir di rumah sahabatnya itu, tanpa banyak diketahui oleh para

pengikutnya.

Madame Le Boucq minta Pangemanann mengantar dia dan

anak perempuannya ke makam Minke. Pangemanann menyanggupi

dan membawa ibu dan anaknya ke sana. Ketika sampai di makam

ketahuan bahwa nisan di kubur Minke telah ditutup dengan ter

hitam. Pangemanann merasa tak enak hati dan berusaha meyakinkan

Madame Le Boucq bahwa bukan dia yang menutup tulisan itu

dengan ter. Dia memanggil seorang tukang doa di pemakaman itu

untuk memberi konfirmasi bahwa beberapa hari lalu dia membawa

kembang ke makam Minke dan nisan itu belum tertutup ter. Madame

22 PB

Kalam 25 / 2013

Le Boucq rupanya menaruh curiga terhadap Pangemanann dalam

hubungan dengan kematian Minke. Dia menjawab Pangemanann

dengan kalimat yang penuh kata-kata bersayap: ”Aku percaya Tuan

tidak ikut campur dalam pengeteran itu, pastilah Tuan melakukan

yang selebihnya” (RK, 499).

III

Dalam perspektif ketiga empat novel Pulau Buru ini melukiskan

perjuangan tiap tokoh merebut posisinya dalam hubungan produksi,

dan dengan cara itu mengubah pula kedudukannya dalam masyarakat.

Istilah “hubungan produksi” digunakan di sini dalam pengertian

sosiologi Marxian yang standar, yaitu sejauh mana seseorang atau

sekelompok orang menguasai alat produksi seperti modal dan

keahlian teknis. Seseorang yang tidak menguasai alat produksi hanya

dapat menjual tenaga kerjanya dan menempatkan dirinya sebagai

pihak yang selalu tergantung pada mereka yang menguasai alat-

alat produksi. Saya berpendapat bahwa keempat novel Pulau Buru

Pramoedya memberi perhatian khusus kepada hubungan produksi

ini.

Setelah Sanikem diserahkan kepada administratur pabrik

gula Tulangan untuk dijadikan gundiknya, perempuan desa ini

yang rupanya dikaruniai inteligensi yang tinggi dan kemauan yang

kuat, berusaha sekuat tenaga untuk tidak hanya hanyut dalam

kesedihan. Secara teratur dia mulai belajar bahasa Belanda di

bawah bimbingan tuannya, menguasai bahasa itu secara lisan dan

tertulis, di samping belajar membantu Herman Mellema mengelola

23 PB

Kalam 25 / 2013

perusahaan susu dan perkebunan yang demikian luas dengan banyak

tenaga kerja. Dia akhirnya tahu membuat perhitungan pemasukan

dan pengeluaran perusahaan, sanggup mengawasi pemerah susu

dan berapa banyak yang harus mereka hasilkan dalam sehari, dapat

membuat pembukuan, dan sanggup memberi perintah secara efektif

kepada para pekerja di perkebunan. Sebagai pembantu tuannya

dalam mengurus perusahaan, Sanikem mendapat gaji bulanan yang

lumayan baik, yang selalu ditabungnya di bank. Anaknya, Annelies,

terpaksa dikeluarkannya dari sekolah untuk membantu dia bekerja,

setelah Herman Mellema mulai kehilangan kepercayaan dirinya

dan menghabiskan waktu dengan menenggak minuman keras dan

mengunjungi rumah bordil setiap hari. Tagihan dari rumah bordil

kepada Nyai Ontosoroh adalah f45 setiap bulan. Annelies dididik oleh

Nyai menjadi mandor pemerah susu, dan ini artinya dia sendiri harus

dapat memberi contoh bagaimana cara memerah susu yang produktif

dan berapa banyak waktu kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan

susu yang banyak.

Sejak tahun-tahun pertama bersama Herman Mellema Nyai

Ontosoroh sudah menabung dan bisa menyimpan f100 di bank

setiap bulan. Sebagai perbandingan, beasiswa yang diberikan oleh

pemerintah kolonial kepada siswa STOVIA besarnya tidak lebih

dari f40 per bulan. Perjalanan dengan kapal laut dari Surabaya ke

Amsterdam biayanya f120. Tabungan Nyai Ontosoroh bertambah

dengan cepat karena selain upah bulanan, dia juga diberi bagian dari

keuntungan perusahaan selama lima tahun. Bagian keuntungan

yang diterimanya sebesar f5.000. Pada saat Annelies dibawa ke

negeri Belanda, tabungan Nyai Ontosoroh sudah mencapai belasan

ribu gulden. Sebagai gundik yang tak mempunyai hak apa pun

24 PB

Kalam 25 / 2013

dalam sistem hukum kolonial, dia sadar bahwa setiap saat dia dapat

diusir dari rumah tuannya, atau ditinggal terlantar begitu saja

kalau tuannya memutuskan kembali ke negeri Belanda. Dia sudah

memperhitungkan bahwa kalau apa yang dicemaskannya itu terjadi,

maka dia sudah dapat membuka usaha sendiri dengan modal yang ada

dengan kepandaian kerja dan keterampilan yang telah dipelajarinya

di Boerderij Buitenzorg.

Persiapannya untuk mandiri ditunjang juga oleh sikap

tuannya, yang telaten dan keras dalam mengajarkan beragai hal

kepadanya. Di pihak Nyai Ontosoroh ada kemauan dan disiplin

untuk belajar segala sesuatu dengan cepat dan dengan tekun. Betapa

pun Herman Mellema amat baik kepadanya dan memperlakukannya

sebagai pasangan sederajat, Nyai tetap pada keyakinannya bahwa dia

bukanlah istri Herman Mellema, melainkan harta milik tuannya,

yang telah membelinya dengan harga tertentu yang sudah dibayar

kepada orangtuanya. Ketika anak perempuannya, Annelies, bertanya

kepadanya apakah dia pernah mencintai orang yang menjadi papa

Annelies, Nyai menjawab bahwa dia tak tahu apa itu cinta. Dia hanya

tahu bahwa tuannya dan dia masing-masing punya kewajiban. Yang

satu berkewajiban memelihara, yang lain berkewajiban melayani,

membantu dan bekerja.

Ada dua peristiwa yang semakin mempertajam kesadarannya

tentang hubungan yang tidak setara antara dirinya sebagai pribumi

dan mereka yang dilindungi oleh kekuasaan dan hukum kolonial.

Peristiwa pertama ialah kedatangan Ir. Maurits Mellema ke Boerderij

Buitenzorg untuk mendamprat ayahnya, Herman Mellema, karena

ayahnya tak pernah secara resmi menceraikan ibunya Mevrouw

Amelia Mellema-Hammers, sehingga selama lebih dari 20 tahun

25 PB

Kalam 25 / 2013

ibunya tak dapat menikah lagi. Sementara itu—begitu kata Maurits

Mellema lebih lanjut—ayahnya bersenang-senang dengan seorang

gundik yang tidak dinikahinya dan hidup bersama dalam suatu

hubungan gelap selama bertahun-tahun. Menghadapi dampratan

putranya itu Herman Mellema bukan saja tidak bisa membela diri

secara patut, tetapi dia ternyata tidak bisa membela Nyai Ontosoroh

dan anak-anak mereka yang dituduh lahir dari hubungan tidak

sah. Sejak peristiwa itu Herman Mellema berubah, dia kehilangan

kepercayaan dirinya, sering tidak pulang ke rumah, dan kalau pun

pulang selalu dalam keadaan kacau dan mabuk. Nyai Ontosoroh

hilang hormatnya kepada tuannya, sama seperti dia tidak lagi

menaruh respek kepada orangtuanya yang dianggap hilang atau mati,

karena tak sanggup melindungi dirinya. Nyai segera mengambil alih

pimpinan perusahaan yang dijaga dengan setia oleh seorang pendekar

Madura yang amat setia bernama Darsam. Perusahaan tidak boleh

merugi karena nasib banyak orang tergantung kepada perusahaan itu.

Dengan sebuah keputusan Pengadilan Amsterdam, Annelies diambil

dan dibawa ke negeri Belanda, dengan ditemani seorang pegawai

yang diam-diam diselundupkan oleh Nyai Ontosoroh ke atas kapal.

“Kita kalah Ma” kata Minke dengan sendu. “Kita telah melawan, Nak,

Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya,” jawab Nyai Ontosoroh

dengan tegar. Tak lama kemudian Annelies meninggal di Rumah

Sakit Huizen, Belanda.

Peristiwa yang kedua adalah ketika Ir. Maurits Mellema datang

untuk kedua kalinya, untuk mengambil alih perusahaan sebagai ahli

waris, setelah ayahnya Herman Mellema kedapatan mati mabuk di

rumah bordil Kebun Jepun. Nyai berusaha menyelamatkan perusahaan

itu dengan menyewa beberapa ahli hukum, yang gagal menolongnya,

26 PB

Kalam 25 / 2013

entah karena kedudukan hukum Nyai Ontosoroh terlalu lemah, atau

juga karena pusat perhatian para ahli hukum itu hanya pada besarnya

honorarium yang mereka terima. Sejak saat itu kepercayaannya

kepada hukum hilang sama sekali, karena beberapa sebab. Pertama,

Pengadilan Amsterdam sama sekali tak mempertimbangkan dirinya

dan sumbangan yang telah diberikannya kepada perusahaan selama

lebih dari 20 tahun. Kedua, anak perempuannya, Annelies, diambil

darinya untuk ditempatkan di bawah perwalian ibu Maurits Mellema,

karena Annelies dianggap masih di bawah umur dan belum menikah,

padahal dia sudah menikah secara sah dengan Minke menurut hukum

Islam, yang tidak diakui sama sekali oleh Pengadilan Amsterdam.

Sebuah debat antara Ir. Maurits Mellema dan Nyai Ontosoroh

dapat melukiskan pandangannya tentang hukum kolonial. Ketika

Maurits datang ke Boerderij Buitenzorg untuk mengambil alih

perusahaan, dia memanfaatkan kesempatan itu untuk menyatakan

belasungkawa kepada Minke dan Nyai atas kematian Annelies. Ketika

dia mengulurkan tangan terjadilah pembicaraan sebagai berikut.

NO (Nyai Ontosoroh):

MM (Maurits Mellema):

NO:

MM: NO:

Tidak perlu itu. Hilangnya anakku tak dapat diganti dengan jabatan tangan pembunuhnya.Itu terlalu keras Nyai. Aku mengerti betapa besar dukacita Nyai. Tapi tuduhan pembunuh itu terlalu keras. Tidak benar.Tuan tidak kehilangan apa-apa kecuali kehormatan di hadapanku dan kami. Sebaliknya Tuan mendapat segala-galanya dari kehilangan kami. Aku tak bisa terima itu. Semua ada aturannya. Betul, semua ada aturannya bagaimana merugikan kami dan menguntungkan Tuan.

27 PB

Kalam 25 / 2013

MM: NO:

MM: NO:

MM:

NO:

Kematian Herman Mellema di rumah bordil dan kehadiran

penghuni Boerderij Buitenzorg telah membawa Nyai Ontosoroh

dan Minke berhadapan dengan pengadilan di Surabaya, yang

mengakibatkan Nyai harus mengeluarkan banyak uang untuk

membayar ongkos berperkara dan membayar honorarium para

penasihat hukumnya. Di tengah suasana yang yang panas itu Minke

pernah bertanya kepada Nyai apa tidak sebaiknya dia dan Annelies

segera menikah. Nyai menjawab: ”Apa boleh buat, Nak, menyesal

belum bisa meluluskan. Hari-hari persidangan telah banyak

merugikan perusahaan. Kemerosotan harus disusul lebih dahulu.

Karena, Nak, tanpa perusahaan berjalan baik, keluarga ini akan

kehilangan kehormatannya. Aku harap kau bisa mengerti” (BM,

325). Nyai sudah sadar bahwa perusahaan cepat atau lambat akan

diambil-alih oleh anak Herman Mellema. Pengadilan yang sengaja

Bukan aku yang membuat peraturan itu.Dan Tuan dengan baik telah berusaha gunakan aturan itu buat keuntungan Tuan.Tapi Nyai bisa gunakan advokat.Seribu advokat tak bisa kembalikan anakku padaku. Tak satu advokat pun bersedia mengurus perkara pribumi lawan totok. Tidak ada cara di sini.Apa boleh buat, kalau kehendak Tuhan sudah demikian.Ya. Kehendak Tuan telah menjadi kehendak Tuhan. Semua yang Tuan tidak mau bertanggungjawab, Tuhan yang Tuan suruh bertanggungjawab. Indah sekali. Mengapa tak mau mempertanggungjawabkan padaku? Ibunya? Yang melahirkan, membesarkan, mendidik, dan membiayainya? (ASB, 387-388).

28 PB

Kalam 25 / 2013

dibuat bertele-tele itu mempunyai dua sasaran. Pertama, diusahakan

mendapat bukti keterlibatan Nyai dan Minke dalam kematian Herman

Mellema. Kedua, pengadilan itu akan mengganggu konsentrasi Nyai

dalam mengurus perusahaan, sehingga bisa dibuktikan berdasarkan

pemeriksaan akuntan, bahwa sepeninggal Herman Mellema,

perusahaan menjadi tak terurus dan terbengkalai dan karena itu layak

diserahkan ke pihak yang lebih sanggup mengelolanya dengan baik.

*

Minke adalah anak bupati yang tidak tertarik kepada jabatan bupati.

Dia enggan memakai atribut kepriyayiannya. Satu-satunya yang

dipertahankan adalah gelar Raden Mas yang memberinya hak

menggunakan Forum Privilegiatum, yaitu hak untuk menolak diadili

oleh pengadilan untuk pribumi dan hanya diadili dalam forum yang

sederajat dengan pengadilan bagi orang Eropa. Dia menyatakan sikap

menolak menghormati ayahnya hanya karena ayahnya mempunyai

jabatan bupati. Dengan garang dia menentang Bupati Serang, Ahmad

Djajadiningrat, yang menuntut penghormatan khusus pada waktu

Minke beraudiensi.

Sebagai siswa HBS Surabaya dia bekerja dengan mencari

order lukisan untuk sahabatnya Jean Marais. Kemudian sebagai siswa

STOVIA di Betawi dia mencari tambahan uang saku dengan menjadi

penulis teks iklan untuk koran lelang. Tarif untuk tiap teks iklan

adalah setalen untuk teks bahasa Melayu, tiga talen untuk teks bahasa

Belanda, dan satu rupiah untuk teks bahasa Inggris. Sudah sejak di

Surabaya dia mengumumkan tulisan dan artikel dalam bahasa Belanda

dengan menggunakan nama pena Max Tollenaar. Lingkungan

pergaulannya bukanlah kaum priyayi, tetapi para penulis, wartawan

29 PB

Kalam 25 / 2013

dan pelukis. Wartawan-wartawan yang menjadi teman diskusinya

ialah Maarten Nijman, redaktur koran S.N. v/d D. di Surabaya, Jean

Marais, dan penulis berbahasa Melayu bernama Kommer, dan aktivis

Angkatan Baru Tiongkok, Khouw Ah Soe, yang datang ke Hindia

Belanda untuk menyebarkan cita-cita mereka di Surabaya. Dia

juga bersahabat dengan Darsam, pendekar Madura yang menjaga

keamanan perusahaan. Padanya Darsam tiap sore belajar membaca

dan berhitung. Di Betawi dia berkenalan dengan Ter Haar wartawan

koran Semarang de Locomotief. Dari Ter Haar Minke belajar tentang

paham-paham demokrasi liberal (Vrijzinnige Democraat). Koran

Semarang ini mempunyai sejarah khusus karena dia diterbitkan

untuk memperingati masuknya lokomotif untuk pertama kali ke

Pulau Jawa, 36 tahun sebelumnya. Di Betawi pula Minke berkenalan

dengan Marie van Zegellen, wartawan dan penulis perempuan

yang sangat kagum akan perjuangan rakyat Aceh mempertahankan

kemerdekaannya terhadap tentara pendudukan Belanda dalam perang

yang berlangsung seperempat abad. Wartawan dan penulis ini juga

menentang rencana Gubernur van Heutsz yang melalui maklumat

pendek atau korte verklaring menuntut ketaklukan dari daerah-daerah

yang masih merdeka kepada kekuasaan pemerintah kolonial Belanda.

Melalui pergaulannya dengan Ter Haar Minke akhirnya berkenalan

dengan Gubernur Jenderal van Heutsz dan mendapat perhatian

khusus dari jenderal itu.

Pengalaman-pengalaman politik yang diperolehnya dari

lingkungan pergaulan di Betawi dan dorongan dari Ang San Mei

yang dinikahinya dengan restu Bunda, membuatnya semakin terlibat

dalam kegiatan jurnalistik dan membawanya berurusan dengan

masalah-masalah publik. Istrinya Ang San Mei sering mengajukan

30 PB

Kalam 25 / 2013

kritik bahwa kaum tepelajar pribumi di Hindia Belanda terlalu

banyak berpikir dan bergerak sendiri-sendiri, padahal kekuatan

untuk mengubah keadaan hanya diberikan oleh organisasi. Tanpa

organisasi setiap orang hanya menjadi sebatang lidi yang mudah

dipatahkan. Dalam kaitan ini, dua perempuan telah memberinya

kesadaran tentang syarat-syarat perjuangan yang berhasil. Nyai

Ontosoroh menyadarkan Minke tentang pentingnya modal, dan

Ang San Mei mendorongnya mendirikan organisasi. Amat menarik

bahwa dalam pembicaraan dengan orang-orang dari lingkungan

terdekat, selalu ditekankan pentingnya landasan materil tiap usaha.

Kata Nyai kepada Minke, tanpa perusahaan yang berhasil orang tak

akan menghormati kita. Kata Ter Haar kepada Minke “sepandai-

pandai orang, dan Stevenson manusia unggul di abad ini pun, takkan

dapat berikan lokomotif pada dunia, kalau modal nihil. Hanya dengan

modal dia dapat perintah(kan) mendung menggerakkan lokomotif

yang puluhan meter panjangnya. Tanpa modal orang tak bisa

perintahkan petir menghidupkan telegrap dan telepon . . . . Tanpa

modal pembesar-pembesar itu tinggal jadi wayang kulit tanpa gapit”

(ASB, 294). Karena itu, begitu kata Ter Haar, gubernemen tidak

punya fungsi lain dari menjaga keselamatan modal, dan tiap orang

di daerah jajahan hanya dilihat dan diperhitungkan sebagai sumber

keuntungan. Selanjutnya kata Ang San Mei kepada Kartini ketika

berkunjung ke Jepara, “Akhir-akhirnya kasih sayang adalah juga

benda, sekalipun mujarat, abstrak, dan setiap benda harus tunduk pada

manusia . . . terserah pada manusia itu bagaimana menggunakannya.”

Jawab Kartini, “seperti penaklukkan atas hukum-hukum alam.” Kata

Ang San Mei kembali “itu hanya sebagian daripadanya” (JL, 117).

Percobaan pertama yang dilakukan Minke dalam mewujudkan

31 PB

Kalam 25 / 2013

organisasi ialah menghubungi para pejabat pribumi untuk mendirikan

Sjarikat Priyayi dan kemudian menerbitkan organ organisasi berupa

koran mingguan yang diberi nama Medan dan menggunakan bahasa

Melayu Pasar. Baik organisasi maupun mingguan Medan dibiayai

dengan iuran anggota. Menurut rencana, akan didirikan pula sekolah

dan asrama, dan dibentuk Badan Fonds Kemajuan untuk memberi

beasiswa kepada pelajar-pelajar cerdas tapi tak mampu. Organisasi ini

segera mandek pertumbuhannya karena sebagian besar dana dikorup

oleh pengurus. Akibatnya anggota mulai enggan membayar iuran.

Di pihak lain mingguan Medan berkembang pesat dan terus naik

tirasnya, terutama setelah koran ini menyediakan ruangan untuk

penyuluhan, konsultasi dan advokasi hukum. Dalam ruangan ini

pembaca dapat memperoleh penjelasan tentang peraturan-peraturan

yang dikeluarkan pemerintah. Pertanyaan-pertanyaan dan keluhan

pembaca dilayani dan dijawab oleh Mr. Frischboten, suami Miriam

de la Croix, yang menjadi sahabat Minke sejak dia masih belajar di

HBS Surabaya. Pembaca mengadukan masalah dan ketidakadilan

yang menimpa mereka dan Mr. Frischboten memberikan konsultasi

dan bahkan membawa perkara mereka ke pengadilan. Medan lambat-

laun dikenal sebagai mingguan yang dapat mencegah terulangnya

ketidakadilan yang menimpa pembaca dan memulihkan hak-hak

mereka yang dirampas.

Akan tetapi segera tampak bahwa Pramoedya sebagai

pengarang memainkan dialektika sejarah dengan cara yang indah

sekali. Nyai Ontosoroh atau Madame Le Boucq tetap mengikuti

kegiatan bekas menantunya dari Paris. Diperingatkannya Minke

bahwa hukum dan peraturan bukanlah segala-galanya dalam

hidup manusia. Sukses Minke yang mulai bersinar terang akan

32 PB

Kalam 25 / 2013

mengundang iri hati dan usaha-usaha dari orang yang dengki hatinya

untuk menggagalkan usahanya atau membahayakan hidupnya.

Dia sebaiknya segera merekrut satu dua orang pendekar untuk

melindungi dia dan perusahaan penerbitannya, seperti Darsam

melindungi Boerderij Buitenzorg di Wonokromo dulu. Lain dari itu

Nyai juga mempertanyakan mengapa Minke sebagai orang partikelir

membantu gubernemen dengan penyuluhan hukum dan penerangan

tentang aturan-aturan pemerintah. Bukankah penyuluhan seperti

itu adalah tugas pemerintah? Mengapa Minke harus mengeluarkan

banyak biaya untuk membantu gubernemen, bukankah gubernemen

yang harus membayar dia untuk jasa-jasanya memberi penjelasan dan

penyuluhan hukum dan aturan pemerintah?

Menarik untuk melihat bagaimana pengarang menguji

paham materialisme historis yang demikian ditonjolkan dalam diri

beberapa tokohnya melalui antitesis yang diciptakan melalui tokoh

lainnya. Antitesis itu diberikan oleh Tuan L. kepala arsip pusat (‘s

landscharchiev), yang mempunyai keahlian khusus dalam kebudayaan

Jawa. Diskusi tentang kebudayaan Jawa dalam RK mempunyai

sekurang-kurangnya dua tujuan. Pertama, Jawa menjadi representasi

dari akibat kolonialisme yang terlalu lama, dan kedua, akibat

penjajahan yang lama dan beban yang ditanggung dalam perjumpaan

dengan berbagai kebudayaan besar di dunia telah melahirkan suatu

defense mechanism dengan dampak kebudayaan yang khas. Menurut

teori Tuan L., suatu bangsa yang menghadapi gelombang-gelombang

kebudayaan dari luar yang datang beruntun dan kemudian menderita

penjajahan politik dalam ukuran abad, akan memilih di antara dua

kemungkinan: dia dapat berkompromi dalam prinsip dan filsafatnya

dengan kekuatan-kekuatan luar supaya dapat bertahan hidup, atau

33 PB

Kalam 25 / 2013

dia tetap mempertahankan prinsip dan filsafatnya dan kemudian

berperang untuk mempertahankan prinsip itu tanpa kompromi,

dengan akibat bahwa dia mungkin akan dihancurkan oleh kekuatan

luar dan kemudian sirna dari muka bumi. Bangsa Indian Amerika

misalnya tidak dapat mengkompromikan prinsip dan filsafat

mereka dengan paham yang dibawa dari Eropa dan menderita

banyak kehancuran dirinya. Sebaliknya, Jawa tetap dapat bertahan

karena kebudayaan ini mengkompromikan prinsip dan filsafatnya.

Kekalahan Jawa dalam perang melawan Belanda disebabkan oleh

kekalahan filsafatnya.

Saya tidak mempunyai keahlian cukup untuk menilai pendapat

dan teori Tuan L. sebagaimana dilukiskan oleh Pramoedya. Namun

demikian, tetap penting untuk melihat bagaimana Pramoedya yang

menonjolkan kekuatan materialisme historis dalam beberapa tokoh

utamanya, memberikan antitesis dengan menunjuk peran dan

kekuatan filsafat dan prinsip melalui pandangan Tuan L. Menurut

ahli ini setelah Majapahit runtuh pada 1478 Jawa hanya sanggup

berkompromi dan menyesuaikan diri dan tidak dapat lagi membuat

peninggalan untuk dunia seperti yang dilakukan pada masa-masa

sebelumnya.

Ada beberapa tahapan dialektika dalam perkembangan

pandangan pengarang. Bunda, Ibu Minke, adalah perempuan Jawa dari

kalangan priyayi yang hidup dengan keyakinan yang tak tergoyahkan

bahwa kehidupan akan aman, selamat dan tenteram, kalau tiap orang

tahu tempatnya dalam masyarakat, kalau petani tidak mencoba menjadi

priyayi, atau kalau priyayi tidak berpretensi dapat memacul di sawah.

Pembesar selalu akan ada supaya rakyat kecil mempunyai pihak yang

dapat dipatuhinya. Di pihak lain Nyai Ontosoroh berusaha melupakan

34 PB

Kalam 25 / 2013

kejawaannya karena menurut dia kebudayaan ini tidak memberi

kekuatan yang dapat memberi perlindungan kepada orang yang tidak

mempunyai kekuasaan. Dengan menyangkal kedua orangtuanya,

yang menjual dia kepada seorang administratur pabrik, dia praktis

menolak sejarahnya dan kebudayaan yang telah melahirkannya.

Dalam kehidupannya bersama tuan yang telah mengambilnya sebagai

gundik dan mendidiknya untuk bekerja dalam sebuah perusahaan

modern, dia akhirnya menemukan bahwa hal yang akan memberinya

martabat baru hanyalah modal yang dihasilkan oleh perusahaan

yang dikelola dengan baik. Keyakinan tentang pentingnya modal ini

semakin diperkuat oleh pengarang dengan memunculkan tokoh Ter

Haar, yang menganggap bahwa perkembangan dunia dikendalikan

oleh modal dan bahkan gubernemen tidak mempunyai tugas lain

selain mengamankan modal. Lalu muncul Ang San Mei, anggota

Angkatan Muda Tiongkok, yang yakin dan meyakinkan Minke bahwa

kekuatan untuk perubahan hanya diberikan oleh organisasi yang kuat.

Tanpa organisasi tak mungkin orang menciptakan kekuatan politik

dan keunggulan ekonomi. Terhadap pandangan-pandangan Nyai,

Ter Haar dan Ang San Mei pengarang menghadirkan tokoh Tuan

L., ahli kebudayaan Jawa yang berpendapat bahwa kekuatan suatu

bangsa dan suatu kebudayaan ditentukan oleh kekuatan filsafat dan

keteguhan prinsip yang dianutnya. Kekalahan dalam setiap perang

dan pertempuran pada akhirnya tidak lain dari kekalahan filsafat dan

kekalahan prinsip.

35 PB

Kalam 25 / 2013

IV

Pada bagian akhir uraian ini perlulah dijelaskan dengan sedikit

pertanggungjawaban mengapa ketiga perspektif ini telah diterapkan

dalam membaca keempat jilid novel-novel Pulau Buru, meskipun

ada berbagai faset lain yang sama menariknya untuk dijadikan

pokok pembicaraan dan diskusi. Amat menarik misalnya untuk

mempertanyakan apa gerangan yang menyebabkan keempat novel

ini menimbulkan gema yang demikian luas, tidak saja di Indonesia

tapi juga dalam kalangan sastra dunia. Dilihat dari bentuk dan

komposisinya novel-novel ini ditulis dengan cara yang serba-

konvensional. Tidak ada usaha dan pretensi pengarang untuk

melakukan pembaruan apa pun dalam teknik, gaya, atau pun struktur

cerita. Masing-masing cerita disusun dengan menggabungkan secara

sederhana plot linear dan flashback. Tokoh-tokoh cerita adalah

manusia biasa dengan watak yang normal dan tidak memperlihatkan

ideosinkrasi yang berlebihan. Dengan demikian, kekuatan novel-

novel ini tidak terletak pada aspek pembaruan yang dibawanya, tetapi

pada kekuatan pesan yang disampaikannya.

Pesan pertama yang amat jelas ialah bahwa ada pertarungan

abadi antara kebebasan dan subyektivitas manusia dan kekuatan

obyektif sejarah yang dihadapinya. Obyektivitas sejarah itu tampil

sebagai kekuatan yang tak bisa dihindari dan tak terlawankan, yang

dapat mengambil bentuk sistem budaya di mana anak-anak tak

dapat menampik kehendak orangtua khususnya kemauan sang ayah.

Sanikem dan Surati harus menyerah kepada perintah ayah mereka

untuk datang menyerahkan diri kepada administratur pabrik gula dan

tinggal di sana selama tuan mereka suka dan sampai saat mereka diusir

36 PB

Kalam 25 / 2013

kembali karena tuan mereka sudah merasa bosan. Namun demikian,

diperlihatkan juga bahwa subyektivitas manusia tak dapat dibinasakan

seluruhnya oleh kekuatan sejarah itu. Sanikem bertumbuh menjadi

pengusaha yang pandai dan terampil dan berhasil memimpin sebuah

perkebunan besar dan pabrik susu dengan banyak pekerja. Surati

menyerahkan diri kepada administratur Vlekkenbaaij dan sekaligus

membunuhnya dengan penyakit cacar yang sengaja ditularkan ke

dirinya sendiri sebelum datang kepada tuannya. Kemudian Minke

melakukan percobaan untuk menentang kebudayaannya. Dia enggan

menjadi bupati dan menolak hak-hak kepriyayiannya. Akan tetapi

penolakan itu tidak membuatnya menjadi seorang gelandangan

secara budaya, karena Bundanya amat mencintai dia, dan dia

juga mempunyai suatu hubungan afektif yang amat kuat dengan

Bundannya. Minke yang berontak terhadap ayahnya, selalu siap

sujud di kaki Bundanya untuk mendengar nasihat-nasihat yang telah

diwariskan para leluhurnya.

Selain sistem budaya, obyektivitas sejarah juga mengambil

bentuk kekuasaan politik dan kekuatan hukum kolonial. Setelah

menjadi gundik, Sanikem tidak mau mengakui lagi orangtuanya,

tidak lagi peduli dengan adat-istiadat Jawa, dan berusaha membentuk

dirinya menurut pola kebudayaan Barat, khususnya kebudayaan

Belanda. Hal yang sama dilakukan oleh Minke melalui pendidikan

yang diperolehnya di HBS Surabaya. Sebagai penulis dia lebih dulu

menulis dalam bahasa Belanda dan baru kemudian dalam bahasa

Melayu, tetapi tak pernah menulis dalam bahasa Jawa, sekalipun hal

ini berkali-kali diminta oleh Bundanya. Dengan keadaan dan pilihan

seperti itu baik Nyai Ontosoroh maupun Minke mengalami akhir

yang sama. Perusahaan susu yang maju dan berhasil dikelola oleh Nyai

37 PB

Kalam 25 / 2013

Ontosoroh akhirnya harus diserahkan ke anak Herman Mellema dari

istri yang sah di Belanda, sementara harta kekayaan Minke sebagai

pemimpin mingguan Medan dan pemimpin Sjarikat Dagang Islam

akhirnya dibekukan oleh pengadilan dan pemerintah, setelah Minke

dibuang ke Ambon. Minke gagal memperoleh kebebasannya kembali

dan akhirnya meninggal dengan cara yang mengenaskan di Betawi.

Nyai Ontosoroh akhirnya mendapatkan kebebasannya tapi harus

meninggalkan Hindia Belanda dan pindah ke Prancis. Kekuatan

sejarah memang tak terlawankan, tetapi subyektivitas manusia tak

tertaklukkan.

Dalam perspektif kedua ditampilkan peranan yang dimainkan

oleh laki-laki dan perempuan. Disengaja atau tidak, dimaksudkan atau

tidak, banyak sekali tokoh laki-laki yang mengalami kebangkrutan

moral dan kemerosotan dalam perkembangan jiwa mereka. Laki-laki

yang mempunyai kekuasaan besar cenderung tertimpa kelemahan

moral yang amat mencolok. Pada tingkat kekuasaan tertinggi di

Hindia Belanda para Gubernur Jenderal yang mempunyai hak-

hak luar biasa (exorbitante rechten) memperlihatkan cacat yang luar

biasa pula dalam watak dan perangai mereka. Van Heutsz, penakluk

Aceh, adalah pembunuh berdarah dingin yang tak tahan melihat

ada kantong-kantong yang masih merdeka. Bali menolak takluk

tapi hampir semua rakyatnya, laki-laki dan perempuan, pangeran

dan rajanya gugur mempertahankan diri dalam Perang Puputan.

Gubernur Jenderal Idenburg dilukiskan sebagai orang yang hanya

mengenal jabatan dan pejabat, tetapi tak mempunyai kepekaan

sosial-politik untuk memahami kebangkitan baru di Hindia Belanda.

Roseboom adalah Gubernur Jenderal bernyali kecil, yang gentar

ketakutan ketika Putra Mahkota Rusia mampir di Tanjung Priok

38 PB

Kalam 25 / 2013

dengan armadanya. Para administratur pabrik gula adalah Tuan

Besar Kuasa yang mempunyai selera rendah yang sama terhadap

anak perempuan pegawainya. Para bupati mempunyai satu kesibukan

yang sama: menyembah Asisten Residen sebagai atasannya, dan

minta disembah oleh rakyatnya. Jacques Pangemanann, intelektual

lulusan Prancis menjadi pejabat tinggi kolonial sambil berusaha sia-

sia membunuh nurani intelektualnya. Kekuasaan rupanya membawa

serta kemerosotan dalam moral, dan besarnya kekuasaan berbanding

lurus dengan tingkat dekadensi.

Di pihak lain, nama-nama perempuan muncul dengan

keagungan dan keanggunannya masing-masing. Bunda, ibu

Minke, adalah wanita tradisional Jawa yang tak tergoyahkan

dalam ketenangannya, karena dia hanya percaya pada nilai-nilai

yang diwariskan dari para leluhurnya. Sanikem menjadi gundik,

tetapi segera membuktikan dirinya sebagai gundik yang sanggup

beremansipasi dengan sukses. Ang San Mei, perempuan muda dari

Tiongkok mempersembahkan hidupnya untuk perjuangan Angkatan

Muda Tiongkok yang hendak mengakhiri kekuasaan kaisar. Prinses

van Kasiruta tampil sebagai perempuan Maluku yang sanggup

melindungi diri dan sanggup pula melindungi suami, bila perlu

melalui perkelahian dan duel senjata api. Juga Piah, pembantu rumah

tangga Minke dan Prinses, ternyata seorang anggota Sjarikat Dagang

Islam yang bersumpah akan selalu mengenang pemimpinnya dalam

pembuangan.

Dalam empat jilid novel ini tak ada perempuan yang berwatak

jahat. Secara hampir hitam-putih semua laki-laki menjadi representasi

kekuasaan dan sifat-sifat kekuasaan yang menindas. Laki-laki yang

mencoba melawan kekuasaan itu seakan ditakdirkan untuk kalah

39 PB

Kalam 25 / 2013

dan menderita bengisnya kekuasaan. Ini terjadi pada Minke yang

terpelajar hingga ke Trunodongso, petani buta huruf yang mencoba

mempertahankan tanah miliknya yang diambil oleh perkebunan

tebu. Timbul pertanyaan: mengapa sifat-sifat moral lebih muncul

pada tokoh perempuan daripada tokoh laki-laki? Sangat mungkin

ini terjadi karena laki-laki diidentifikasi dengan kelas dominan yang

berkuasa, di mana kedudukan dominan ini dibenarkan dan diperkuat

oleh patriarki yang berurat berakar dalam kebudayaan selama

berabad-abad. Sebagai kelas dominan laki-laki akan sibuk dengan

kekuasaan dan ini membuat mereka juga menderita sifat kekuasaan

yang cenderung korup. Cara pandang ini mengandung risiko

tersendiri, karena ada semacam idealisasi yang romantis di dalamnya.

Perempuan masih mempunyai kebajikan moral karena mereka

belum menjadi bagian dari kelas dominan dan belum mempunyai

kekuasaan. Emansipasi perempuan akan menghadapi dilema: untuk

tetap bermoral perempuan harus menghindari kekuasaan, karena

sekali dia mengambil bagian dalam kekuasaan laki-laki dia akan jatuh

ke dalam watak kekuasaan yang mengabaikan moral.

Dalam perspektif ketiga akan terlihat bahwa emansipasi

pribumi terhadap pihak penjajah dan emansipasi perempuan terhadap

dominasi laki-laki tidak begitu berhasil kalau dilakukan melalui jalan

politik, dan lebih berhasil kalau dilakukan dengan merebut tempat

yang lebih kuat dalam hubungan hubungan produksi. Siti Soendari,

perempuan lulusan HBS yang menjadi propagandis organisasi politik

dan menulis artikel-artikel politik yang tajam segera menarik perhatian

gubernemen. Dia diawasi dan dibuntuti ke mana pun dia pergi. Dia

hanya selamat karena berhasil melarikan diri ke Belanda dengan

dibiayai oleh uang ayahnya, dan di sana dia tidak dapat melakukan

40 PB

Kalam 25 / 2013

banyak aktivitas politik. Khouw Ah Soe dan tunangannya Ang San Mei

masuk secara gelap ke Hindia Belanda untuk mengobarkan semangat

Angkatan Muda Tiongkok menggulingkan kaisar. Keduanya mati di

negeri asing. Mereka yang lebih berhasil ialah yang berusaha melalui

perebutan tempat yang lebih baik dalam hubungan produksi. Sebagai

gundik Nyai Ontosoroh mungkin tidak dihormati, tetapi jelas dia

tidak bisa diremehkan. Dia mampu mengelola sebuah boerderij

seluas 180 ha dan mengurus pabrik susu yang mempekerjakan banyak

tenaga kerja. Hukum kolonial merampas perusahaan itu darinya, dan

menyerahkannya kepada Maurits Mellema sebagai ahli waris Herman

Mellema. Tetapi Nyai tidak menyerah, dia pindah ke Wonocolo dan

berhasil membangun perusahaan baru dengan tabungannya, hingga

dia pindah ke Prancis. Demikian pun Darsam, pendekar Madura

penjaga keamanan di Boerderij Buitenzorg, yang belajar baca-tulis

pada Minke dalam waktu senggangnya, kemudian terbukti sanggup

mengelola perusahaan di Wonocolo, setelah ditinggalkan oleh Nyai

Ontosoroh yang pindah ke Prancis.

Dikatakan secara singkat, perubahan sosial di Hindia Belanda

tidak terjadi karena perubahan status atau meningkatnya jabatan,

tidak juga oleh pergantian priyayi lama dan priyayi baru tamatan

sekolah tinggi. Perubahan sosial itu muncul karena didorong oleh

munculnya secara perlahan borjuasi pribumi, yang sanggup memberi

kekuatan nyata kepada pribumi untuk beremansipasi terhadap

kekuatan kolonial, dan memberi sarana yang sama kepada kaum

perempuan untuk beremansipasi terhadap dominasi laki-laki.

Jakarta, 10 September 2011