Upload
ginger-davis
View
9
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
asites komplikasi
Citation preview
Komplikasi
• Edema dan asites
• Spontaneus bacterial peritonitis (SBP)
• Peradarahan saluran cerna
• Ensefalopatik hepatik
• Kanker hati
Penatalaksanaan
Grade 1. Ascites hanya terdiagnosis dengan USG. Untuk grade ini, tidak dilakukan
terapi apapun.
Grade 2. Ascites sedang yang ditandai dengan distensi abdomen yang simetris. Pasien
seperti ini dapat diterapi sebagai pasien rawat jalan dan tidak dilakukan opname kecuali
pada pasien tersebut ditemukan komplikasi lain dari cirrhosis. Terapi yang diberikan
bertujuan untuk meniadakan retensi natrium dan menghasilkan keseimbangan natrium
negatif. Hal ini dilakukan dengan mengurangi asupan natrium dan meningkatkan
ekskresi natrium dengan diuretik.
- Pembatasan natrium, rekomendasi untuk asupan natrium adalah 80-120 mmol/hari
atau setara dengan 4,6-6,9 gram garam / hari.
- Diuretik yang dapat diberikan antara lain Furosemid (dimulai dengan dosis 40 mg/hari
dinaikkan setiap 7 hari sampai dengan 160 mg/hari), maupun Spironolakton (100
mg/hari, dimana jika tidak responsif dapat dinaikkan setiap 7 hari sampai mencapai 400
mg/hari). Pemberian diuretik ini diberikan hingga didapatkan penurunan berat badan
harian tidak lebih dari 0,5 kg/hari pada pasien tanpa oedem perifer dan 1 kg/hari pada
pasien dengan oedem perifer, hal ini untuk menghindari gagal ginjal terkait pemberian
diuretik dan/atau hiponatremia.
Grade 3. Ascites dalam jumlah yang besar yang ditandai dengan distensi abdomen.
Paracentesis volume besar (Large-volume Paracentesis, LVP) merupakan pilihan terapi
dimana penelitian menunjukkan (1) LVP yang dikombinasi dengan albumin lebih
efektif ketimbang diuretik dan secara nyata mempersingkat durasi rawat inap di RS. (2)
LVP dengan albumin lebih aman ketimbang diuretik dalam frekuensi kejadian
hiponatremia, gagal ginjal, dan ensefalopati hepatik. (3) Tidak ada perbedaan yang
menjamin rawat ulang maupun angka keberhasilan antara keduanya. (4) LVP adalah
prosedur yang aman dengan resiko komplikasi lokal seperti perdarahan atau perforasi
usus yang rendah.
Ketika ascites kurang dari 5 liter dikurangi, pemberian dextran-70 maupun polygeline
setara dengan pemberian albumin, tetapi pemberian albumin lebih bermakna pada
penarikkan cairan ascites yang lebih dari 5 liter. Hal ini bertujuan untuk mencegah
terjadinya disfungsi dari sirkulasi setelah LVP.
Prognosis
Perkembangan ascites pada cirrhosis mengindikasikan prognosis yang buruk. Angka kematian diperkirakan mencapai 40% pada tahun pertama dan 50% pada tahun kedua. Faktor lain yang menentukan prognosis yang buruk, antara lain : hiponatremia, tekanan arterial yang rendah, peningkatan serum kreatinin, dan kadar natrium yang rendah dalam urine.
PATOFISIOLOGI
Ada beberapa teori yang menerangkan patofisiologi asites transudasi. Teori-teori itu misalnya underfilling, overfilling, dan periferal vasodilation. Menurut teori underfilling, asites dimulai dari volume cairan plasma yang menurun akibat hipertensi porta dan hipoalbuminemia. Hipertensi porta akan meningkatkan tekanan hidrostatik venosa ditambah hipoalbuminemia akan menyebabkan transudasi, sehingga volume cairan intravaskular menurun. Akibat volume cairan intravaskular menurun, ginjal akan bereaksi dengan melakukan reabsorpsi air dan garam melalui mekanisme neurohormonal. Sindrom hepatorenal terjadi bila volume cairan intravaskular sangat menurun. Teori ini tidak sesuai dengan hasil penelitian selanjutnya yang menunjukkan bahwa pada pasien sirosis hati terjadi vasodilatasi perifer, vasodilatasi splanchnic bed, peningkatan volume cairan intravaskular dan curah jantung.
Teori overfilling mengatakan bahwa asites dimulai dari ekspansi cairan plasma akibat reabsorbsi air oleh ginjal. Gangguan fungsi itu terjadi akibat peningkatan aktifitas hormon anti-diuretik (ADH) dan penurunan aktifitas hormon natriuretik karena penurunan fungsi hati. Teori overfilling tidak dapat menerangkan kelanjutan asites menjadi sindrom hepatorenal. Teori ini juga gagal menerangkan gangguan neurohormonal yang terjadi pada sirosis hati dan asites. Evolusi dari kedua teori itu adalah teori vasodilatasi perifer. Menurut teori ini, faktor patogenesis pembentukan asites yang amat penting adalah hipertensi porta yang sering disebut sebagai faktor lokal dan gangguan fungsi ginjal yang sering disebut faktor sistemik.
Akibat vasokonstriksi dan fibrotisasi sinusoid terjadi peningkatan resistensi sistem porta dan terjadi hipertensi porta. Peningkatan resistensi vena porta diimbangi dengan vasodilatasi splanchnic bed oleh vasodilatasi endogen. Peningkatan resistensi sistem porta yang diikuti oleh peningkatan aliran darah akibat vasodilatasi splanchnic bed menyebabkan hipertensi porta menjadi menetap. Hipertensi porta akan meningkatkan tekanan transudasi terutama di sinusoid dan selanjutnya kapiler usus. Transudat akan terkumpul di rongga peritoneum. Vasodilator endogen yang dicurigai berperan antara lain: glukagon, nitric oxide (NO), calcitonine gene related peptide (CGRP), endotelin, faktor natriuretik atrial (ANF),
polipeptida vasoaktif intestinal (VIP), substansi P, prostaglandin, enkefalin, dan tumor necrosis factor (TNF).
Vasodilator endogen pada saatnya akan memengaruhi sirkulasi arterial sistemik; terdapat peningkatan vasodilatasi perifer sehingga terjadi proses underfilling relatif. Tubuh akan bereaksi dengan meningkatkan aktifitas sistem saraf simpatik, sistem renin-angitensin-aldosteron dan arginin vasopresin. Akibat selanjutnya adalah peningkatan reabsorpsi air dan garam oleh ginjal dan peningkatan indeks jantung.
PENGOBATAN
Pengobatan asites transudat sebaiknya dilakukan secara komprehensif, meliputi:
1. Tirah baring.
Tirah baring dapat memperbaiki efektifitas diuretika, pada pasien asites transudat yang berhubungan dnegan hipertensi porta, perbaikan efek diuretika tersebut berhubungan dengan perbaikan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus akibat tirah baring. Tirah baring akan menyebabkan aktifitas simpatis dan sistem renin-angiotensin-aldosteron menurun. Yang dimaksud tirah baring disini bukan istirahat total di tempat tidur sepanjang hari, tetapi tidur terlentang, kaki sedikit diangkat, selama beberapa jam setelah minum obat diuretika.
2. Diet.
Diet rendah garam ringan sampai sedang dapat membantu diuresis. Konsumsi garam (NaCl) perhari sebaiknya dibatasi hingga 40-60meq/hari. Hiponatremia ringan sampai sedang bukan merupakan kontraindikasi untuk memberikan diet rendah garam, mengingat hiponatremia pada pasien asites transudat bersifat relatif. Jumlah total Na dalam tubuh sebenarnya di atas normal. Biasanya diet rendah garam yang mengandung NaCl kurang dari 40 mEq/ hari tidak diperlukan. Konsentrasi NaCl yang sangat rendah justru dapat mengganggu fungsi ginjal.
3. Diuretika.
Diuretika yang dianjurkan adalah diuretika yang bekerja sebagai antialdosteron, misalnya spironolakton. Diuretika ini merupakan diuretika hemat kalium, bekerja di tubulus distal dan menahan reabsorpsi Na. Sebenarnya potensi natriuretik diuretika distal lebih rendah dari pada diuretika loop bila etiologi peningkatan air dan garam tidak berhubungan dengan hiperaldosteronisme. Efektifitas obat ini lebih bergantung pada konsentrasinya di plasma, semakin tinggi semakin efektif. Dosis yang dianjurkan antara 100-600 mg/hari. Jarang diperlukan dosis yang lebih tinggi lagi.
Diuretika loop dibutuhkan sebagai kombinasi. Diuretika ini sebenarnya lebih berpotensi daripada diuretika distal. Pada sirosis hati, karena mekanisme utama reabsorpsi air dan natrium adalah hiperaldosteronisme, diuretika loop menjadi kurang efektif.
Target yang sebaiknya dicapai dengan terapi tirah baring, diet rendah garam dan terapi diuretika adalah peningkatan diuresis sehingga berat badan turun 400-800 gram/hari. Pasien yang disertai edema perifer penurunan berat badan dapat sampai 1500 gram/hari. Sebagian besar pasien berhasil baik dengan terapi kombinasi tirah baring, diet rendah garam dan diuretika kombinasi. Setelah cairan asites dapat dimobilisasi, dosis diuretika dapat disesuaikan. Biasanya diet rendah garam dan spironolakton masih tetap diperlukan untuk mempertahankan diuresis dan natriuresis sehingga asites tidak terbentuk lagi.
Komplikasi diuretika pada pasien sirosis hati harus diwaspadai. Komplikasi itu misalnya: gagal ginjal fungsional, gangguan elektrolit, gangguan keseimbangan asam-basa, dan ensefalopati hepatikum. Spironolakton dapat menyebabkan libido menurun, ginekomastia pada laki-laki, dan gangguan menstruasi pada perempuan.
Hemat kaliumDiuretik yang mempertahankan kalium menyebabkan diuresis tanpa
kehilangan kalium dalam urine. Yang termasuk dalam klompok ini antara lain aldosteron, traimteren dan amilorid.
Antagonis AldosteronAldosteron adalah mineralokortikoid endogen yang paling kuat. Peranan
utama aldosteron ialah memperbesar reabsorbsi natrium dan klorida di tubuli serta memperbesar ekskresi kalium. Yang merupakan antagonis aldosteron adalah spironolakton dan bersaing dengan reseptor tubularnya yang terletak di nefron sehingga mengakibatkan retensi kalium dan peningkatan ekskresi air serta natrium. Obat ini juga meningkatkan kerja tiazid dan diuretik loop. Diuretik yang mempertahankan kalium lainnya termasuk amilorida, yang bekerja pada duktus pengumpul untuk menurunkan reabsorpsi natrium dan ekskresi kalium dengan memblok saluran natrium, tempat aldosteron bekerja. Diuretik ini digunakan bersamaan dengan diuretik yang menyebabkan kehilangan kalium serta untuk pengobatan edema pada sirosis hepatis. Efek diuretiknya tidak sekuat golongan diuretik kuat.
Mekanisme kerja Penghambatan kompetitif terhadap aldosteron. Bekerja di tubulus renalis
rektus untuk menghambat reabsorpsi Na+, sekresi K+ dan sekresi H+Farmakokinetik70% spironolakton oral diserap di saluran cerna, mengalami sirkulasi
enterohepatik dan metabolisme lintas pertama. Metabolit utamanya kankrenon. Kankrenon mengalami interkonversi enzimatik menjadi kakreonat yang tidak aktif.
Efek sampingEfek toksik yang paling utama dari spironolakton adalah hiperkalemia yang
sering terjadi bila obat ini diberikan bersama-sama dengan asupan kalium yang berlebihan. Tetapi efek toksik ini dapat pula terjadi bila dosis yang biasa diberikan bersama dengan tiazid pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal yang berat. Efek samping yang lebih ringan dan reversibel diantranya ginekomastia, dan gejala saluran cerna.
Indikasi
Antagonis aldosteron digunakan secara luas untuk pengobatan hipertensi dan udem yang refrakter. Biasanya obat ini dipakai bersama diuretik lain dengan maksud mengurangi ekskresi kalium, disamping memperbesar diuresis.
Sediaan dan dosisSpironolakton terdapat dalam bentuk tablet 25, 50 dan 100 mg. Dosis dewasa
berkisar antara 25-200mg, tetapi dosis efektif sehari rata-rata 100mg dalam dosis tunggal atau terbagi. Terdapat pula sediaan kombinasi tetap antara spironolakton 25 mg dan hidraoklortiazid 25mg, serta antara spironolakton 25 mg dan tiabutazid 2,5 mg.
Loop DiuretikTermasuk dalam kelompok ini adalah asam etakrinat, furosemid dan
bumetanid. Asam etakrinat termasuk diuretik yang dapat diberikan secara oral maupun parenteral dengan hasil yang memuaskan. Furosemid atau asam 4-kloro-N-furfuril-5-sulfomail antranilat masih tergolong derivat sulfonamid. Diuretik loop bekerja dengan mencegah reabsorpsi natrium, klorida, dan kalium pada segmen tebal ujung asenden ansa Henle (nefron) melalui inhibisi pembawa klorida. Obat ini termasuk asam etakrinat, furosemid da bumetanid, dan digunakan untuk pengobatan hipertensi, edema, serta oliguria yang disebabkan oleh gagal ginjal. Pengobatan bersamaan dengan kalium diperlukan selama menggunakan obat ini.
Mekanisme kerja : Secara umum dapat dikatakan bahwa diureti kuat mempunyai mula kerja dan
lama kerja yang lebih pendek dari tiazid. Diuretik kuat terutama bekerja pada Ansa Henle bagian asenden pada bagian dengan epitel tebal dengan cara menghambat kotranspor Na+/K+/Cl- dari membran lumen pada pars ascenden ansa henle, karena itu reabsorpsi Na+/K+/Cl- menurun.
FarmakokinetikKetiga obat mudah diserap melalui saluran cerna, dengan derajat yang agak
berbeda-beda. Bioavaibilitas furosemid 65 % sedangkan bumetanid hamper 100%. Diuretic kuat terikat pada protein plasma secara ekstensif, sehingga tidak difiltrasi di glomerulus tetapi cepat sekali disekresi melalui system transport asam organic di tubuli proksimal. Kira-kira 2/3 dari asam etakrinat yang diberikan secara IV diekskresi melalui ginjal dalam bentuk utuh dan dalam konjugasi dengan senyawa sulfhidril terutama sistein dan N-asetil sistein. Sebagian lagi diekskresi melalui hati.sebagian besar furosemid diekskresi dengan cara yang sama, hanya sebagian kecil dalam bentuk glukuronid. Kira-kira 50% bumetanid diekskresi dalam bentuk asal, selebihnya sebagai metabolit.
Efek sampingEfek samping asam etakrinat dan furosemid dapat dibedakan atas :1. Reaksi toksik berupa gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yang
sering terjadi.2. Efek samping yang tidak berhubungan dengan kerja utamanya jarang
terjadi. Gangguan saluran cerna lebih sering terjadi dengan asam etakrinat daripada furosemid.
Tidak dianjurkan pada wanita hamil kecuali bila mutlak diperlukan.
Asam etakrinat dapat menyebabkan ketulian sementara maupun menetap. Ketulian sementara dapat terjadi pada furosemid dan lebih jarang pada bumetanid. Ketulian ini mungkin sekali disebabkan oleh perubahan komposisi eletrolit cairan endolimfe. Ototoksisitas merupakan suatu efek samping unik kelompok obat ini. Pada penggunaan kronis, diuretik kuat ini dapat menurunkan bersihan litium.
IndikasiFurosemid lebih banyak digunakan daripada asam etakrinat, karena ganguan
saluran cerna yang lebih ringan. Diuretik kuat merupakan obat efektif untuk pengobatan udem akibat gangguan jantung, hati atau ginjal.
SediaanAsam etakrinat. Tablet 25 dan 50 mg digunakan dengan dosis 50-200 mg per
hari. Sediaan IV berupa Na-etakrinat, dosisnya 50 mg, atau 0,5-1 mg/kgBB.Furosemid. Obat ini tersedia dalam bentuk tablet 20,40,80 mg dan preparat
suntikan. Umunya pasien membutuhkan kurang dari 600 mg/hari. Dosis anak 2mg/kgBB, bila perlu dapat ditingkatkan menjadi 6 mg/kgBB.
Bumetanid. Tablet 0.5mg dan 1 mg digunakan dengan dosis dewasa 0.5-2mg sehari. Dosis maksimal per hari 10 mg. Obat ini tersedia juga dalam bentuk bubuk injeksi dengan dosis IV atau IM dosis awal antara 0,5-1 mg, dosis diulang 2-3 jam maksimum 10mg/kg.
4. Terapi Parasentesis.
Parasentesis sebenarnya merupakan cara pengobatan asites yang tergolong kuno. Pada mulanya karena berbagai komplikasi. Beberapa tahun terakhir ini parasentesis kembali dianjurkan karena mempunyai banyak keuntungan dibandingkan terapi konvensional bila dikerjakan dengan baik. Untuk setiap liter cairan asites yang dikeluarkan sebaiknya diikuti dengan substitusi albumin parenteral sebanyak 6-8 gram. Setelah parasentesis sebaiknya terapi konvensional tetap diberikan. Parasentesis asites sebaiknya tidak dilakukan pada pasien sirosis dengan Child-Pugh C, kecuali asites tersebut refrakter.
Pengobatan sirosis dekompensata.
Asites: tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol/hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan obat-obatan diuretik. Awalnya dengan pemberian spironolaton dengan dosis 100-200 mg sekali sehari. Respons diuretik bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5 kg/hari, tanpa adanya edema kaki atau 1 kg/hari dengan adanya edema kaki. Bilamana pemberian spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasi dengan furosemid dengan dosis 20-40 mg/hari. Pemberian furosemid bisa ditambah dosisnya bila tidak ada respons, maksimal dosisnya 160 mg/hari. Parasentesis dilakukan bila asites sangat besar. Pengeluaran asites bisa hingga 4-6 liter dan dilindungi dengan pemberian albumin.
Ada 3 faktor yang mempengaruhi terbentuknya asites:
1. Tekanan koloid osmotik plasma
Biasanya tergantung pada kadar albumin plasma. Pada keadaan normal
albumin dibentuk di hati, bila fungsi hati terganggu maka pembentukan
albumin juga terganggu sehingga tekanan koloid osmotik plasma ikut
menurun.
2. Tekanan vena porta
Lebih banyak cairan yang masuk ke dalam kavum peritoneal daripada
yang meninggalkan kavum peritoneal menyebabkan terjadinya asites
3. Perubahan elektrolit
Penumpukan cairan di kavum peritoneal akan mengakibatkan
pengurangan cairan dalam badan, yang akan menyebabkan terjadinya
retensi natrium dan air pada ginjal
Analisa Cairan Asites
Guna penegakan diagnosa atau jenis cairan asites, maka dapat dilakukan
analisa untuk melihat
1. Gradien albumin serum-ascites (SAAG) dihitung dengan pengurangan
albumin konsentrasi cairan asites dari konsentrasi albumin dari suatu
spesimen serum yang diperoleh pada hari yang sama.
2. Konsentrasi amylasemeningkat pada asites pankreatik
3. Konsentrasi trigliserida meningkat pada asites chylous.
4. Jumlah sel darah putih jika lebih besar dari 350/mikroliter dapat
dicurigai suatu infeksi. Kebanyakan sel merupakan merupakan
polimorfonuklear, harus dicurigai sebagai infeksi bakteri. Ketika sel
didominasi oleh sel mononuklear, biasanya merupakan infeksi
tuberculosis atau jamur.
5. Jumlah sel darah merah lebih dari 50.000/mikroliter menandakan
asites hemoragik, biasanya berkaitan dengan malignansi, tuberkulosis
atau trauma.
6. Gram stain dan kultur dapat mengkonfirmasi diagnosis dari infeksi
bakteri.
7. pH ketika kurang dari 7 menunjukkan adanya infeksi bakterial.
8. Sitologi dapat positif pada malignansi.