60
LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK Oleh : dr. I Gede Budiarta, Sp.An, KMN DEPARTEMEN/KSM ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF RSUP SANGLAH/FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2019

LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

  • Upload
    others

  • View
    10

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

LAPORAN KASUS

CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

Oleh :

dr. I Gede Budiarta, Sp.An, KMN

DEPARTEMEN/KSM ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF

RSUP SANGLAH/FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2019

Page 2: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

i

LAPORAN KASUS

CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

Oleh :

dr. I Gede Budiarta, Sp.An, KMN

DEPARTEMEN/KSM ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF

RSUP SANGLAH/FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2019

Page 3: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas

karunia-Nya, laporan kasus yang berjudul “CAIRAN KOLOID DALAM

MANAJEMEN SYOK” ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini jauh dari sempurna. Oleh

karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.

Semoga laporan kasus ini dapat memberikan sumbangan ilmiah dalam masalah

kesehatan dan memberi manfaat bagi masyarakat.

Denpasar, Oktober 2019

Penulis

Page 4: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

iii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i

KATA PENGANTAR. ...................................................................................... ii

DAFTAR ISI. ..................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN. ................................................................................. 1

BAB II TINJUAN PUSTAKA. ........................................................................ 3

2.1 Syok……………………………………………… ........................... 3

2.2 Jenis-jenis Cairan dalam Manajemen Syok ...................................... 6

2.3 Resusitasi Cairan Beerdasarkan Tipe Syok ...................................... 12

BAB III LAPORAN KASUS ............................................................................ 18

3.1 Identitas Pasien ...................................................................................... 18

3.2 Anamnesis .............................................................................................. 18

3.3 Pemeriksaan Fisik ................................................................................. 19

3.4 Pemeriksaan Penunjang ........................................................................ 20

3.5 Permasalahan dan Kesimpulan ............................................................. 20

3.6 Persiapan Anestesi ................................................................................ 21

3.7 Manajemen Operasi .............................................................................. 22

3.8 Follow Up Pasien .................................................................................. 22

BAB IV PEMBAHASAN .................................................................................. 45

BAB V SIMPULAN .......................................................................................... 49

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 50

Page 5: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

1

BAB I

PENDAHULUAN

Syok didefinisikan sebagai suatu keadaan gangguan perfusi jaringan parah yang

mengakibatkan hipoperfusi organ akhir multisistem serta hipoksia jaringan. Beberapa

jenis syok diantaranya ialah syok hipovolemik, syok kardiogenik, syok obstruktif,

serta syok distributif. Syok hipovolemik disebabkan oleh volume darah yang tidak

adekuat dalam sirkulasi tubuh. Syok kardiogenik ialah kondisi jantung yang tidak

mampu menyediakan aliran darah yang memadai akibat gangguan fungsi pompa

jantung atau disritmia yang signifikan. Syok obstruktif disebabkan oleh adanya

penyumbatan di luar jantung yang mengganggu kembalinya darah vena ke jantung.

Syok distributif mengacu pada syok sekunder akibat hilangnya tonus vaskular yang

tidak terkontrol, dan terbagi menjadi syok neurogenik, septik, dan anafilaksis. Syok

neurogenik adalah hasil kerusakan pada sistem saraf. Syok septik terjadi karena

infeksi bakteri sistemik. Syok anafilaksis terjadi karena adanya reaksi alergi pada

pasien dengan respon alergi yang parah karena paparan alergen.1–3

Secara umum, syok sirkulasi ditemukan dalam sepertiga dari seluruh kasus di

unit perawatan intensif (ICU) dan angka kematiannya lebih tinggi pada lansia dan

anak. Sementara Lee et al. (2017) pada jurnalnya menyatakan bahwa syok septik dan

syok kardiogenik masing-masing menyumbang tiga per lima dan seperlima dari kasus

syok di ICU dengan tingkat mortalitas sekitar 40-80% pada syok septik dan 60% pada

syok kardiogenik.4 Manajemen syok memerlukan pendekatan multidisiplin untuk

mencapai target terapi yang diharapkan, terutama dalam resusitasi cairan sebagai

penanganan awal untuk semua jenis syok. Terapi cairan intravena memiliki

konsekuensi klinis dan metabolik yang beragam, sehingga perlu diberikan sesuai

konteks dan spesifik bagi tiap pasien, agar mencegah terjadinya keadaan

ketidakcukupan atau terapi cairan yang berlebih yang justru pada akhirnya akan

membahayakan keberlangsungan hidup pasien.

Pentingnya manajemen syok terutama pada perawatan pasien kritis

menyebabkan klinisi perlu mengetahui lebih lanjut terutama tentang peran cairan

koloid dalam manajemen syok khususnya pada pasien dengan sakit kritis di

Ruang Terapi Intensif. Melalui laporan kasus ini diharapkan dapat membantu

dalam memahami mengenai peran cairan koloid dalam manajemen syok. Kritik

Page 6: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

2

dan saran sangat diperlukan dalam membantu membuat laporan ini menjadi lebih

baik.

Page 7: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Syok

Syok didefinisikan sebagai suatu keadaan gangguan perfusi jaringan parah

yang mengakibatkan hipoperfusi organ akhir multisistem serta hipoksia jaringan.

Keadaan ini diklasifikasikan menjadi 4 jenis yang meliputi syok hipovolemik, syok

distributif, syok kardiogenik dan syok obstruktif. Klasifikasi ini penting untuk

diterapkan, karena meskipun keempat jenis syok dapat berakhir pada stadium akhir

yang sama yaitu kegagalan organ multipel (multiorgan failure/MOF), penanganan

terapeutik yang berbeda dan khusus diperlukan untuk tiap jenis syok yang berbeda

pula, guna mencapai efek terapeutik optimal dalam restorasi fungsi-fungsi vital,

terutama pada fungsi kardiovaskuler yang vital untuk bertahan hidup.1-2

2.1.1 Syok Hipovolemik

Syok hipovolemik merupakan kondisi akut ketidakcukupan

perfusi organ akibat hilangnya volume intravaskuler, yang

menyebabkan terjadinya penurunan cardiac preload hingga ke

kadar kritis dan penurnnan makro- serta mikrosirkulasi dan

memicu terjadinya reaksi inflamasi. Syok hipovolemik kemudian

terbagi lagi menjadi 4 subtipe yang meliputi syok hemoragik akibat

dari perdarahan akut tanpa trauma jaringan lunak mayor; syok

hemoragik traumatik akibat perdarahan akut dengan trauma

jaringan lunak dan pelepasan aktivator sistem imun; syok

hipovolemik dalam lingkup lebih sempit akibat dari reduksi kritikal

pada volume plasma yang tersirkulasi tanpa perdarahan akut; serta

syok hipovolemi traumatik akibat dari reduksi kritikal pada volume

plasma yang tersirkulasi tanpa perdarahan akut, karena trauma

jaringan lunak dan pelepasan aktivator sistem imun. Syok dipicu

oleh penurunan kritikal pada volume darah tersirkulasi, kehilangan

sel darah merah masif memperparah keadaan hipoksia jaringan.1-2

Page 8: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

4

2.1.2 Syok Distributif

Syok distributif adalah suatu keadaan hipovolemi relatif

akibat redistribusi patologis dari volume intravaskuler absolut dan

merupakan tipe syok yang paling sering ditemukan. Beberapa

penyebab dari tipe syok ini ialah hilangnya regulasi tonus

pembuluh darah, dengan pergeseran volume dalam sistem vaskuler,

dan/atau gangguan permeaabilitas sistem vaskuler dengan

pergeseran volume intravaskuler ke interstitial. Tiga subtipe syok

distributif meliputi syok sepsis, syok anafilaksis/anafilaktoid, dan

syok neurogenik.1

Sepsis didefinisikan berdasarkan kriteria terkini Sepsis-3

sebagai respons disregulasi tubuh terhadap suatu infeksi yang

berakibat pada disfungsi organ yang mengancam nyawa. Kondisi

ini dinilai secara kuantitatif oleh peningkatan skor SOFA

(Sequential Organ Failure Assessment) hingga ≥ 2 poin. Pada

kasus emergensi, penggunaan skor “Quick SOFA” dapat

diterapkan untuk skrining, dengan hanya membutuhkan penilaian

awal status kesadaran, laju respirasi, dan tekanan darah. Bila ada

perubahan patologis dari parameter-parameter tersebut (perubahan

kesadaran GCS<15, laju respirasi ≥ 22x/min, SBP ≤90 mmHg),

serta bila dicurigai adanya infeksi, adanya kondisi sepsis dapat

diasumsikan. Kadar laktat diatas 2 mmol/L dan hipotensi persisten

yang membutuhkan pemberian vasopresor untuk mengontrol MAP

≥ 65 mmHg didefinisikan sebagai syok sepsis. Patofisiologi utama

dari terjadinya syok sepsis ialah disfungsi endotelial, yang

berakibat pada disregulasi tonus pembuluh darah yang berakhir

pada vasodilatasi, gangguan distribusi dan pergeseran volume pada

sirkulasi makro maupun mikro, serta peningkatan permeabilitas

vaskuler (capillary leak syndrome). Syok sepsis dikatakan sebagai

suatu bentuk campuran dari berbagai kondisi patologis

(hipovolemi, vasodilatasi, gangguan fungsi jantung dan disfungsi

Page 9: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

5

mitokondia) dan biasanya berhubungan dengan koagulopati

kompleks.1-2

Tabel 1. Sequential (Sepsis-related) organ failure assessment (SOFA) score.1-3

Syok anafilaksis memiliki karakterisitik berupa vasodilatasi

dan maldistribusi masif yang dimediasi oleh histamin (reaksi

sistemik akut yang dimediasi oleh reaksi hipersensitivitas

bergantung-IgE) dengan pergeseran cairan dari intravaskuler

menuju ke ruang ekstravaskuler. Sementara syok neurogenik

merupakan keadaan ketidakseimbangan antara regulasi simpatettik

dan parasimpatettik dari kerja jantung dan otot polos pembuluh

darah, dengan tanda-tanda dominan meliputi vasodilatasi berat

dengan hipovolemi relaif sementara volume darah tetap tidak

berubah.1-3

2.1.3 Syok Kardiogenik

Syok kardiogenik terutama merupakan suatu gangguan

fungsi jantung dalam bentuk reduksi kritikal dari kapasitas pompa

jantung, akibat disfungsi sistol maupun diastol, yang menyebabkan

penurunan fraksi ejeksi atau terganggunya pengisian ventrikel,

yang didefinisikan sebagai SAP<90 mmHg atau MAP <30 mmHg

Page 10: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

6

dan cardiac index (CI) <1,8 L/min/m2 tanpa farmakologi maupun

penunjang mekanik, atau <2,0 L/min/m2 dengan penunjang.1

2.1.4 Syok Obstruktif

Syok obstruktif merupakan suatu kondisi yang disebabkan

oleh obstruksi pada pembuluh darah besar atau pada jantung itu

sendiri. Patofisiologi dari syok obstruktif dapat diklasifikasikan

berdasarkan lokasi dari obstruksi pada sistem vaskuler dalam

hubungannya dengan jantung. Faktor-faktor intra- atau

ekstravaskuler mekanik maupun luminal menurunkan aliran darah

pada pembuluh darah besar atau cardiac outflow dengan penurunan

kritikal pada cardiac output dan suplai oksigen global. Hasilnya

ialah kondisi syok dengan hipoksia jaringan pada seluruh sistem

organ.

2.2 Jenis-jenis Cairan dalam Manajemen Syok

Penggolongan cairan secara umum terbagi menjadi cairan kristaloid dan

koloid. Kristaloid ialah larutan yang mengandung zat terlarut berat molekul

rendah yang dilarutkan dalam air dengan proporsi tertentu.7 Sementara cairan

koloid didefinisikan sebagai molekul besar atau partikel ultramikroskopik dari

bahan non-kristal homogen yang terdispersi dalam zat kedua, biasanya garam

isotonik, atau kristaloid seimbang.8 Permeabilitas kristaloid antar kompartemen

lebih tinggi daripada koloid. Dalam kondisi normal, air dan elektrolit dapat

menyebar dan bergerak bebas menuruni gradien masing-masing dari ruang

intravascular ke insterstitial. Pada molekul berukuran lebih besar (komponen

cairan koloid) permeabilitasnya lebih rendah akibat adanya glikokaliks pada sisi

vaskular dari endotelium serta tight junction diantara celah antara sel endotel

sebagai sawar.9

2.2.1 Cairan Kristaloid dalam Manajemen Syok

Mekanisme kristaloid dan koloid dalam meningkatkan volume

intravaskular secara umum dapat dikatakan mirip. Pemberian kristaloid

atau koloid intravena (IV) akan meningkatkan tekanan osmotik dan

menarik air keluar dari ruang intraselular ke ruang ekstraselular termasuk

Page 11: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

7

ruang intravaskular. Pada cairan kristaloid, keadaan ini akan bertahan

hanya hingga ion-ion tersebut menyebar kembali ke dalam ruang

intraselular yang bergantung pada permeabilitas membran sel dan aktivitas

pompa ATPase. Hasil akhirnya ialah perluasan volume intravaskular

sementara dengan redistribusi air bebas ke semua kompartemen.10 Karena

permeabilitas komponen kristalloid yang tinggi, hanya sepertiga larutan

kristaloid isotonik intravena yang didistribusikan ke cairan ekstraselular.

Sehingga pasien harus menerima cairan kristalloid paling sedikit 3 kali

volume kehilangan darah.11 Sejumlah besar administrasi kristaloid

menyebabkan perluasan volume ekstraselular yang signifikan yang

menyebabkan edema jaringan dan kekhawatiran tentang konsekuensi

kardiopulmoner pasca terapi. Edema secara teoritis dapat menyebabkan

dampak buruk seperti peningkatan jarak difusi di dalam jaringan, kompresi

pembuluh darah kecil dan kapiler yang mengakibatkan perfusi dan

oksigenasi organ yang terganggu.12

Kristaloid yang biasa digunakan dalam terapi cairan adalah natrium

klorida, ringer laktat, dan dekstrosa. Natrium klorida (NaCl) tersedia

dalam beberapa variasi tonisitas tergantung konsentrasi natrium klorida

terlarut. Larutan isotonik mengandung 0.9g natrium klorida dalam setiap

liter air dan juga disebut larutan NaCl 0,9%, isotonic saline atau normal

saline. Meskipun disebut normal saline, NaCl 0,9% sedikit hipertonik

dengan tingkat pH sedikit asam dibandingkan plasma.12,17 NaCl 0,9% juga

memiliki konsentrasi klorida jauh lebih tinggi dibandingkan dengan

plasma sehingga infus dalam volume besar akan menyebabkan asidosis

metabolik hiperkloremik karena penyempitan strong ion difference. NaCl

0,9% tidak memiliki kalsium, sehingga menjadi pilihan untuk

mengencerkan sel darah merah sebelum transfusi.10

Varian tonisitas natrium klorida yang lain biasanya digunakan

dalam keadaan khusus. Larutan hipotonik seperti larutan NaCl 0,45%

dapat ditunjukkan untuk kehilangan cairan terutama yang melibatkan air

atau pada pasien dehidrasi dengan hipernatremia. Larutan ini tidak bekerja

sebagai expander volume plasma.11,17 Sebaliknya, larutan NaCl hipertonik

Page 12: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

8

mengandung jumlah natrium klorida supra fisiologis (konsentrasi NaCl

lebih besar dari 0,9%) seperti NaCl hipertonik 3% yang ditunjukkan pada

pasien simtomatik. dengan hiponatremia berat atau dengan plasma [Na +]

kurang dari 110mEq / L. Administrasi larutan ini akan menghasilkan

transfer air intraselular ke kompartemen ekstraselular. larutan ini dianggap

mengiritasi pembuluh darah karena osmolaritas tinggi dan disarankan

diberikan melalui pembuluh darah besar.10

Ringer lactate (RL) adalah salah satu kristaloid yang dimodifikasi

dengan komposisi yang lebih mirip dengan plasma darah. Tidak seperti

larutan NaCl 0,9%, ringer laktat memiliki konsentrasi sodium dan

terutama klorida lebih rendah. Klorida di substituasikan oleh laktat

sehingga memiliki kapasitas buffer melalui metabolisme laktat menjadi

bikarbonat di hati. RL memiliki efek paling minimal pada komposisi

cairan ekstraselular dan karenanya disebut sebagai larutan "seimbang" atau

"fisiologis". Dengan adanya kalsium, larutan RL dapat mengurangi

ketersediaan bioavailabilitas obat-obatan tertentu dan tidak dapat

digunakan dengan produk darah karena kalsium akan mengikat dengan

antikoagulan sitrat dan menyebabkan pembentukan gumpalan darah.18

Kelemahan lain dari RL adalah risiko hiperlaktatemia pada pasien

politrauma dan juga tidak disarankan pada pasien dengan cedera otak

traumatis atau pasien neurologis lainnya karena risiko terkena hipertensi

intrakranial.17,18

Jenis lain dari kristaloid adalah larutan glukosa yang tersedia

sebagai isotonik 5% (50 g glukosa per liter air) atau larutan hipertonik

(25% dan 50%). Pada pemberian IV, dekstrosa dengan cepat

dimetabolisme meninggalkan air bebas yang kemudian terdistribusikan

kembali seluruh kompartemen tubuh. Waktu paruh plasma pendek dan

ketidakmampuan untuk mempertahankan tekanan osmotik membuat

larutan gula sedikit berperan sebagai plasma expander.10 Namun, larutan

gula memiliki peran penting sebagai cairan pemeliharaan, yang membantu

memenuhi kebutuhan air bebas tubuh dan untuk tatalaksana

hipoglikemia.18

Page 13: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

9

2.2.2 Cairan Koloid dalam Manajemen Syok

Sementara itu, koloid di sisi lain mengandung partikel dengan berat

molekul lebih besar yang tidak mudah melewati membran kapiler

semipermeabel dan memiliki tekanan onkotik serupa seperti protein

plasma normal.3,8,13,14. Koloid mengandung molekul dengan berat molekul

tinggi (lebih besar dari 35.000 dalton) yang tidak mudah menembus

membran kapiler sehingga berada lebih lama dalam intravaskular

dibandingkan dengan kristaloid dan dibutuhkan dalam jumlah lebih

sedikit. Koloid akan tetap berada di ruang intravaskular untuk waktu yang

lama, dengan mekanisme penggantian tekanan onkotik plasma yang hilang

karena perdarahan, meminimalkan penyaringan transkapiler serta secara

lebih efektif mengembalikan volume intravaskular dibandingkan larutan

kristaloid.3,6,15 Bila permeabilitas membran tetap utuh, koloid seperti

albumin, gelatin, dekstran dan pati hidroksietil secara khusus memperluas

volume plasma (PV) daripada volume cairan interstisial (IFV). Ekspansi

PV tanpa diikuti oleh ekspansi IFV menawarkan keuntungan yaitu titik

akhir resusitasi terpenuhi dengan volume yang lebih rendah sehingga

kebutuhan cairan lebih rendah, akumulasi edema perifer dan pulmoner

lebih sedikit. Koloid dikenal sebagai ekspander plasma sebab

mengekspansikan volume plasma lebih besar dari volume yang diinfuskan

karena menarik cairan kedalam ruang intravaskular (hiperonkotik).17

Tekanan osmotik suatu larutan disebabkan oleh jumlah partikel

dalam larutan. Setiap partikel, berapapun massanya, memberikan rata-rata

tekanan yang sama karena mereka memiliki energi kinetik yang kira-kira

sama. Partikel yang lebih besar bergerak pada kecepatan yang lebih

lambat, sedangkan partikel yang lebih kecil bergerak lebih cepat. Jadi,

rata-rata, setiap partikel memiliki energi kinetik yang kira-kira sama.

Protein adalah satu-satunya zat terlarut dalam plasma yang tidak mudah

berdifusi melalui membran kapiler. Karena itu, protein terlarut dalam

interstitium dan plasma menimbulkan tekanan osmotik 'koloid' pada

membran kapiler. Kontribusi utama pada gradien osmotik adalah

Page 14: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

10

perbedaan protein pada setiap sisi endotelium. Konsentrasi protein dalam

plasma adalah sekitar 7,3 g / dl, sedangkan angka untuk cairan interstitial

adalah 2 hingga 3 g / dl. Pada keadaan normal, konsentrasi koloid dalam

interstitium adalah sekitar sepertiga konsentrasi plasma; Namun, ketika

permeabilitas kapiler meningkat di beberapa keadaan patologis, gradien

osmotik antara kapiler dan interstitium berkurang dan fluks bersih cairan

ke dalam interstitium meningkat. Tekanan osmotik koloid terukur

menyimpang dari tekanan yang dihitung. Tekanan osmotik koloid plasma

yang dihitung adalah 15mm Hg, sedangkan tekanan terukur berkisar antara

25 hingga 30mm Hg. Albumin, globulin, dan fibrinogen adalah protein

plasma primer. Konsentrasi normal protein ini masing-masing adalah 4,5 g

/ dl, 2,5 g / dl dan 0,3 g / dl. Karena albumin memiliki berat molekul yang

relatif kecil (69 000D) dibandingkan dengan globulin, 1g albumin

mengandung lebih banyak molekul dan karenanya memberikan tekanan

osmotik koloid yang lebih besar. Tekanan osmotik koloid normal plasma

manusia adalah 28mm Hg dan tekanan parsial akibat albumin adalah

21,8mm Hg, sedangkan tekanan akibat globulin hanya 6mm Hg.15-17

Koloid dideskripsikan berdasarkan berat dan ukuran molekul.

Dalam larutan monodisperse, semua molekul memiliki berat dan ukuran

molekul yang sama, sedangkan dalam larutan polydisperse terdapat

berbagai ukuran dan bentuk molekul. Jumlah berat molekul rata-rata

adalah rata-rata aritmatika dari bobot semua molekul, sedangkan berat

molekul rata-rata tertimbang adalah jumlah dari jumlah molekul pada

setiap berat molekul dibagi dengan berat total semua molekul. Berat

molekul rata-rata tertimbang lebih dipengaruhi oleh proporsi kecil molekul

yang sangat berat daripada jumlah rata-rata berat molekul. Indeks

polidispersitas diberikan oleh rasio rata-rata tertimbang dan jumlah berat

molekul rata-rata. [6] Jumlah berat molekul rata-rata lebih rendah dari

berat molekul rata-rata tertimbang untuk koloid polydisperse. Cairan

dengan molekul ukuran kecil atau partikel dengan berat molekul rendah

akan dipertahankan dalam sirkulasi untuk waktu yang relatif lebih pendek

daripada partikel yang lebih besar. Partikel hilang dari sirkulasi oleh

Page 15: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

11

pembersihan ginjal dan kehilangan ke interstitium. Untuk konsentrasi

koloid tertentu, cairan dengan partikel kecil akan memberikan efek

onkotik yang lebih besar untuk periode yang lebih pendek daripada

partikel yang lebih besar. Demikian pula, untuk konsentrasi tertentu (berat

/ volume) dari koloid berat molekul yang lebih besar ada partikel yang

relatif lebih sedikit, sehingga efek osmotik lebih sedikit tetapi durasi efek

lebih berkelanjutan.16

2.2.2.1 Albumin

Albumin merupakan salah satu jenis dari cairan koloid yang

merupakan suatu polipeptida tunggal, dengan berat molekuler rata-

rata sebesar 65-69 kDa, dengan fungsi dalam darah ialah untuk

mempertahankan tekanan onkotik dan berperan sebagai karier

berbagai metabolit. Albumin merupakan cairan monodispers, yang

merupakan protein predominan dalam plasma manusia (dihasilkan

oleh hati) dan berpengaruh dalam 75 – 80% dari tekanan onkotik

koloid normal, dan sekitar 50-60% protein plasma.

Albumin tersedia dalam bentuk isotonik (4 atau 5%) dan

bentuk terkonsentrasi (20 atau 25%). Cairan albumin 5% memiliki

tekanan onkotik koloid sebesar 19 mmHg, yang menyediakan

kemampuan meningkatkan volume intravaskuler setara dengan

volume yang diinfuskan. Sedangkan cairan albumin 25%

mengandung 12,5 g albumin dalam 50 mL normal saline, dengan

tekanan onkotik 100 mmH, yang menyebabkan peningkatan 300 –

500 ml volume intravaskuler dalam 100 ml larutan yang diinfus.

Efek albumin yang diinfuskan pada volume plasma beragam,

tergantung dari deficit volume, tekanan onkotik awal, permeabilitas

vaskuler dan kecukupan resusitasi volume. Ekspansi volume

plasma terutama tergantung pada jumlah dari albumin yang

diberikan, bukan dari konsentrasi larutannya.

2.2.2.2 Dextran

Sementara dextran ialah suatu polisakarida dengan berat

molekuler tinggi (40-70 kDa), terbentuk dari bakteri penghasil

Page 16: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

12

asam laktat, paling banyak ialah Leuconostoc mesenteroides, yang

pada praktek klinis digunakan untuk efek kolodial, antikoagulan

dan hipoviskositasnya pada plasma. Dextran terdiri dari larutan

40.000 D dan 70.000 D. Kedua jenis dextran awalnya

memproduksi ekspansi volume intravasluler akibat peningkatan

tekanan osmotic, namun efeknya dikatakn hanya sementara.

Polimer glukosa yang lebih kecil secara cepat keluar dari

kompartemen vaskuler menuju ke ruang interstitial atau

diekskresikan oleh ginjal. Namun, dextran juga memiliki

karakteristik tambahan dengan implikasi klinis dalam hal efek

hematologis, yaitu dengan merubah viskositas darah. Perubahan

viskositas ini dipengaruhi oleh berat molekulernya; dextran dengan

berat molekuler lebih daari 60.000D cenderung menyebabkan

agregasi sel darah merah; sedangkan dextran dengan berat kurang

dari itu, kecenderungannya ialah menyebabkan terjadinya

disagregasi Dextran juga menurunkan kadar faktor von-Willebrand

dan juga sebagai aktivator plasminogen dalam fungsi trombolisis.

Efek-efek antikoagulan dan antitrombotik yang dimiliki oleh

dextran ini menurunkan produksi dan ketahanan klot; serta efek

onkotik dextrann yang menurunkan hematokrit serta viskositas

plasma. Kombinasi dari kedua efek tersebut meningkatkan

perbaikan aliran darah.

2.2.2.3 Pati Hidroksietil

Pati hidroksietil (Hydroxyethyl starches/HES) merupakan

salah satu dari berbagai jenis cairan koloid yang dapat digunakan

dalam penanganan syok. Senyawa ini merupakan suatu polimer

sintetis glukosa yang didapat dari pemecahan amiloidpeptin oleh

amilase. Cairan ini dibedakan berdasarkan berat molekuler

reratanya menjadi 3, yang meliputi berat molekuler rendah (70-130

kDa); medium (200-260 kDa); dan tinggi (>450 kDa). Pati

hidroksietil menyerupai albumin 5%; keduanya merupakan larutan

isotonis dan meningkatkan volume intravaskuler sebesar sekitar

Page 17: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

13

volume yang diinfuskan. Waktu paruh pati ini pada ruang plasma

lebih lama, menurun setelah 24 – 36 jam baik oleh ekskresi renal

dari molekul yang lebih kecil dan oleh kerja amilase

2.2.2.4 Gelatin

Dewasa ini, terdapat 2 tipe gelatin yang diproduksi dari

kolagen sapi. Kedua tipe tersebut memiliki rerata berat molekuler

sebesar 35.000D, dengan tekanan osmotic koloid sebesar 465

mmH2O. Kedua tipe gelatin ini merupakan polidispers, dengan

partikel-partikel kecilnya menghasilkan efek osmotic awal, namun

dengan cepat hilang dari sirkulasi oleh filtrasi glomerulus. Efek

ekspansi volume bertahan kira-kira 3 jam pada sirkulasi sehat

namun dapat menjadi lebih singkat oleh terjadinya sepsis.

Koloid memiliki beberapa kelemahan. Kondisi syok hemoragik,

sepsis atau setelah cedera parah dapat mengakibatkan peningkatan

permeabilitas vascular yang memungkinkan kebocoran molekul koloid ke

ekstravaskuler.3 Dalam kondisi ini, koloid dapat masuk ke interstitium,

meningkatkan tekanan onkotik interstitium dan menyebabkan edema

jaringan.15

Walaupun demikian, cairan koloid memiliki kelemahan. Koloid

khususnya albumin manusia, meskipun ditemukan aman dalam hal efek

sampingnya, dapat dikatakan mahal dan tidak praktis untuk digunakan

sebagai cairan resusitasi.13 Beberapa penelitian besar juga menolak

keunggulan teoretis koloid. Studi Albumin Italian Outcome Sepsis

(ALBIOS) yang mengamati pemberian albumin dalam tambahan terapi

kristaloid pada pasien dengan sepsis berat (atau syok sepsis) bila

dibandingkan dengan terapi tunggal cairan kristaloid, tidak ditemukan

perbaikan pada survival rate di hari ke-28 dan 90.12 Selain itu, pada studi-

studi Saline versus Albumin Fluid Evaluation (SAFE) serta Colloids

versus Crystalloids for the Resuscitation of the Critically Ill (CRISTAL)

tidak menunjukkan adanya manfaat signifikan pada penggunaan albumin.

Baik pada pemberian dextran maupun gelatin juga dikatakan memiliki

Page 18: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

14

risiko untuk terjadinya reaksi urtikaria, bahkan hingga terjadi reaksi

anafilaksis berat yang ditemukan pada 1:6000 – 1:13000 unit yang

teradministrasi, serta ditemukan mempengaruhi cross-matching darah.12

suatu studi yang dilakukan oleh The Scandinavian Starch for Severe

Sepsis/Shock menunjukkan peningkatan insiden acute kidney injury/AKI,

mortalitas dan kebutuhan dialisis pada pasien dengan sepsis berat yang

diterapi dengan pati dengan berat molekuler rendah, selain itu tidak

ditemukan pula perbedaan mortalitas pada 90 hari perawatan, dan bahkan

hingga kebutuhan akan terapi penggantian ginjal, bila dibandingkan

dengan terapi kristalloid.12 Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan

tingginya biaya yang dibutuhkan untuk mendapatkan albumin, serta

berbagai permasalahan keamanan pada penggunaan jenis koloid lainnya,

Surviving Sepsis Campaign guidelines pada akhirnya merekomendasikan

kristaloid sebagai pilihan pertama pada resusitasi cairan pada pasien sepsis

pada khususnya, dan pada pasien syok pada umumnya.16 Koloid masih

tidak memiliki bukti manfaat yang konsisten dan ada bukti bahaya pada

beberapa pasien.3,15 Kristaloid yang harganya murah dan banyak tersedia

tetap menjadi andalan sebagai cairan resusitasi lini pertama.13

Koloid telah digunakan untuk mempertahankan volume

intravaskular dengan kehilangan darah akibat pembedahan dan dari

penyebab syok lainnya. Sebagian besar penelitian telah membandingkan

terapi koloid tunggal dengan terapi kristaloid atau membandingkan 2

koloid, sehingga rekomendasi yang pasti mengenai terapi koloid 'terbaik'

tetap sulit dipahami. Selanjutnya, 'terbaik' dapat didefinisikan oleh efek

hemodinamik, efektivitas biaya atau komplikasi dari pemberian koloid.

Insiden reaksi alergi terhadap transfusi darah lebih besar dibandingkan

dengan terapi koloid apa pun.17

Albumin tetap merupakan terapi koloid yang sangat mahal. Sebuah

studi pasien unit perawatan intensif membandingkan penggunaan 4,5%

albumin dan 3,5% gelatin untuk penggantian volume. Lama tinggal dan

mortalitas tidak berbeda menurut kelompok perlakuan. Beberapa

penelitian telah membandingkan 5% albumin dan 6% hetastarch untuk

Page 19: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

15

resusitasi volume setelah operasi jantung. Hetastarch dan albumin

keduanya memberikan ekspansi volume yang andal dan respons

hemodinamik yang stabil; Namun, penggunaan hetastarch dikaitkan

dengan waktu tromboplastin parsial teraktivasi yang diperpanjang (PTT)

dan waktu protrombin (PT) dalam beberapa penelitian. Dari catatan,

pasien yang menerima hetastarch tidak mengalami perdarahan lebih dari

pasien yang menerima albumin. Demikian pula, sebuah penelitian yang

membandingkan 5% albumin dan 6% hetastarch pada pasien dengan

trauma lagi melaporkan PTT yang berkepanjangan, tetapi tidak ada

peningkatan risiko perdarahan pada pasien yang menerima hetastarch.

Meskipun dosis harian yang direkomendasikan dari hetastarch adalah

1500ml untuk orang dewasa, beberapa penelitian telah mengevaluasi dosis

hingga 3000ml dan tidak melaporkan peningkatan kehilangan darah

dibandingkan dengan 5% albumin.17

2.2.3 Produk Darah dalam Manajemen Syok

Modalitas lain dalam resusitasi syok adalah produk darah. Produk

darah adalah zat terpeutik dari darah yang terdiri dari whole blood, packed

red blood cells (PRC), konsentrat trombosit dan fresh frozen plasma

(FFP). Whole blood adalah darah utuh (komponen penyusun belum

dipisahkan) yang diterima dari donor disimpan dalam wadah yang

mengandung antikoagulan. Whole blood dapat diproses lebih lanjut untuk

memisahkan komponen-komponen penyusunnya menjadi PRC, FFP dan

konsentrat trombosit. PRC tersusun atas 150-200 ml eritrosit dengan

sebagian besar plasma telah dipisahkan. PRC digunakan untuk mengganti

kehilangan eritrosit, namun jika PRC tidak tersedia dapat menggunakan

whole blood. Konsentra trombosit dibentuk atas trombosit sejumlah 55 x

109 hingga 150–500 x 109 tergantung sumber dan pengolahan. Konsentrat

trombosit diberikan jika terdapat disfungsi trombosit atau trombositopenia.

FFP terbuat dari 200-300 ml plasma yang dipisahkan dari pemrosesan

whole blood yang kemudian dibekukan pada suhu ≤ 25°C. FFP

mengandung faktor pembekuan, albumin dan immunoglobulin. FFP

Page 20: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

16

diindikasikan untuk mengganti kekurangan factor koagulasi akibat

penyakit hati, DIC atau dilusi setelah resusitasi cairan. FFP tidak

diindikasikan untuk mengganti cairan tubuh seperti yang diperankan oleh

kritaloid. Pemberian Whole blood dan PRC, kompatibilitas ABO dan RH

merupakan hal yang essensial. Untuk FFP secara umum harus ABO

kompatibel, sedangkan konsentrat trombosit diharapkan kompatibel secara

ABO.10,19

2.3 Resusitasi Cairan Beerdasarkan Tipe Syok

2.3.1 Syok Hipovolemik

Secara garis besar, saat ini terdapat dua strategi resusitasi cairan

pada syok hipovolemik: pendekatan liberal dan restriktif. Pendekatan

liberal meliputi resusitasi dengan pemberian larutan elektrolit isotonis

hangat (RL atau NaCl 0,9%) secara bolus sedini mungkin (ketika dicurigai

adanya tanda dan gejala awal kehilangan darah). Menurut panduan

ATLS®, pendekatan semacam ini merupakan prinsip utama pada

tatalaksana awal pasien dengan cedera otak traumatik atau syok

hipovolemik tanpa perdarahan. Adapun dosis awal cairan untuk dewasa

adalah 1-2 L, sedangkan untuk pasien pediatri adalah sebesar 20

mL/KgBB.20,22,23

Namun, pada kasus syok hipovolemik hemoragik, khususnya

akibat trauma mayor (injury severity score ≥ 16) dan trauma penetratif,

terdapat perbedaan pendapat mengenai strategi resusitasi cairan mana yang

lebih baik. Pendekatan liberal dinilai berperan pada pelunasan hutang

oksigen, menangani asidosis, dan mengoreksi defisit cairan ekstraseluler.

Namun, terdapat pendekatan alternatif yang lebih restriktif, meliputi

penundaan resusitasi cairan yang agresif sampai tekanan darah sistolik

jatuh cukup rendah dan bila status mental pasien telah menurun. Sebuah

meta-analisis mengindikasikan bahwa resusitasi secara liberal yang terlalu

dini dapat memiliki mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan pendekatan

restriktif, karena diyakini dapat menimbulkan koagulopati delusional

akibat terlepasnya bekuan-bekuan halus. Meski demikian, terdapat risiko

Page 21: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

17

bias selektif dan keberagaman klinis pada beragam studi tersebut, sehingga

efektivitasnya masih tidak dapat disimpulkan.20,21

Panduan ATLS® dan The European Guideline on Management of

Major Bleeding and Coagulopathy Following Trauma saat ini

menyarankan “Resusitasi Berimbang” untuk syok hemoragik traumatis,

yakni menyeimbangkan target perfusi organ dan risiko perdarahan ulang.

Rekomendasi meliputi: (1) target SBP 80-90 mmHg sampai perdarahan

mayor telah dihentikan pada trauma tanpa cedera kepala (1C); (2) strategi

restriktif untuk mencapai target tekanan darah sampai perdarahan dapat

dihentikan (1B); (3) Target MAP ≥ 80 mmHg dipertahankan pada pasien

dengan cedera kepala berat (GCS ≤ 8) (1C); dan (4) menggunakan serum

laktat dan/atau pengukuran defisit basa untuk memperkirakan dan

memantau tingkat perdarahan dan syok (1B). Hal yang perlu

digarisbawahi adalah bahwa strategi ini memiliki kontraindikasi absolut

pada kasus cedera kepala traumatik, iskemia serebri, dan penyakit

miokardium. Selain itu, terdapat kontraindikasi relatif pada kasus

hipertensi arteri kronis dan harus berhati-hati pada pasien lanjut usia.23-25

Lebih lanjut, resusitasi restriktif yang bersifat hipotensif semacam

itu, bersama dengan minimalisasi resusitasi kristaloid, pengendalian

hipotermia, pencegahan asidosis, dan penggunaan produk darah secara

dini untuk mencegah koagulpati merupakan komponen dari strategi

resusitasi kontrol kerusakan (DCR). Tujuannya adalah menangani lethal

triad berupa koagulopati akut, hipotermia, dan asidosis pada pasien trauma

dengan kehilangan darah. Namun, strategi DCR ini hanya diindikasikan

pada kelompok pasien tertentu dengan exsanguinating syndrome.20

Cairan yang diutamakan dipilih untuk resusitasi syok hipovolemik

adalah larutan kristaloid isotonis. Larutan RL lebih direkomendasikan

pada syok hemoragik karena dapat meminimalkan risiko asidosis dan tidak

menyebabkan hiperkloremia, sedangkan NaCl 0,9% lebih dipilih pada

cedera otak akut. Cairan hipotonis (5% D/W 0,45% NaCl) diindikasikan

untuk kasus dehidrasi. Pasien dengan perdarahan derajat III dan IV serta

pasien yang merespon resusitasi bolus cairan awal dengan sementara atau

Page 22: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

18

bahkan tidak merespon resusitasi sama sekali merupakan indikasi

penggunaan PRC. Jika lebih dari 1-2 unit, darah dihangatkan hingga 37oC.

Pasien yang menerima lebih dari 6 unit membutuhkan tambahan fresh

frozen plasma dan transfusi platelet.22,23

2.3.2 Syok Kardiogenik

Syok kardiogenik terjadi karena ketidakmampuan dari jantung

untuk mendistribusikan darah dalam jumlah yang cukup untuk jaringan.

Tatalaksana syok kardiogenik dibagi dalam 2 tahapan, tahap pertama ialah

stabilisasi, tahap ini bertujuan untuk menormalisasi parameter

hemodinamik, mencegah kerusakan organ, dan mencegah perburukan

status klinis pasien, tahap selanjutnya ialah tahap yang paling penting

disini dilakukan penilaian dan penanganan etiologi, seperti revaskularisasi

kororoner pada syok akibat infark.26-29

Terapi cairan termasuk dalam tahap pertama penanganan syok

kardiogenik, cairan harus diberikan dengan sangat hati-hati untuk

menghindari adanya peningkatan preload ventrikel kiri dan edema paru

sekunder. Pemeberian cairan awal di berikan berdasarkan temuan klinis,

pasien yang dicurigai mengalami infark anterior diberikan 250 ml cairan

kristaloid, yang diberikan selama 15 menit, sedangkan untuk pasien yang

diduga mengalami infark inferior diberikan cairan 450 ml dalam waktu

yang sama yaitu 15 menit, untuk infark jantung kanan yang disertai

hipotensi dan tanpa edem paru, direkomendasikan untuk memberikan

bolus cairan 250-500 ml, jika setelah pemberian cairan bolus didapatkan

edem paru atau tidak terdapat perbaikan pada pasien maka selanjutnya

diberikan vasopressors ataupun inotropik.27,29,30

Page 23: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

19

Gambar 1. Tatalaksana awal syok kardiogenik27

2.3.3 Syok Obstruktif

Pada syok obstruktif umumnya dijumpai adanya tahanan pada

jantung yang menghalangi proses pengisian jantung yang adekuat.

Penanganan utama pada syok obstruktif bukanlah pemberian cairan ,

namun demikian pemberian cairan untuk menjaga volume intravaskular

tetaplah penting sebagai penanganan awal dan dapat sedikit meningkatkan

cardiac output. Dosis pemberian cairan pada syok obstruktif umumnya

ialah 0.05- 0.1 g/kg/min diberikan sebagai continous infusion.31,32

2.3.4 Syok Distributif

Syok distributif terjadi ketika pembuluh darah berdilatasi masif dan

permeabilitas kapiler meningkat sehingga distribusi darah tidak efektif.

Vasodilatasi ini akan menyebabkan suatu kondisi yang disebut

hipovolemik semu, karena adanya penurunan resistensi vaskular sistemik

dan peningkatan aliran darah ke kulit. Pada akhirnya, organ dan jaringan

tidak mendapatkan oksigen dan nutrisi yang adekuat.33,34 Syok distributif

terdiri dari tiga jenis yaitu, syok septik, shok anafililaktik, dan syok

Page 24: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

20

neurogenik. Dari semua jenis syok yang terjadi di ICU, syok septik terjadi

pada 62% kasus, sedangkan jenis syok distributif yang lain hanya 6%.33

Pada syok septik, Rivers et al. Mengemukakan “golden hours”

kritikal pada sepsis dimana terdapat transisi mendadak menuju kondisi

serius dan dimulainya early goal-directed therapy (EGDT), dimana

prinsip fundamentalnya ialah identifikasi pasien risiko tinggi, pemeriksaan

kultur yang sesuai, kontrol sumber infeksi, serta administrasi awal

antibiotik yang sesuai, dimana kemudian diikuti dengan optimalisasi awal

hemodinamik penghantaran oksigen dan menurunkan konsumsi oksigen.

Surviving Sepsis Campaign guidelines 2008 mengintegrasikan bundel

resusitasi sepsis untuk dapat tercapai dalam 6 jam dan bundel manajemen

sepsis untuk dapat tercapai dalam 24 jam. Pada tahun 2012, bundel

resusitasi 6 jam dimodifikasi menjadi dua bundel: “the severe sepsis 3-

hour resuscitation bundle” dan “the 6-hour septic shock bundle”, yang

mengandung semua sasaran terapeutik yang harus tercapai dalam 3 dan 6

jam dari awal terjadinya syok sepsis. Pada 2018, bundel 3 dan 6 jam

kemudian dikombinasikan menjadi bundel tunggal 1 jam.16

BUNDEL RESUSITASI 3-JAM BUNDEL SYOK SEPSIS 6-JAM

I. Ukur serum laktat inisial

II. Lakukan kultur darah

sebelum terapi antibiotik

III. Berikan antibiotik

spektrum-luas

IV. Berikan 30 mL/kg cairan

kristalloid untuk

hipotenai atau laktat ≥4

mmol/L

I. Pemberian vasopresor (pada

hipotensi yang tidak

responsif terhadap

resusitasi cairan inisial)

untuk memelihara MAP

≥65 mmHg

II. Pada kasus hipotensi

persisten meskipun

dengan resusitasi cairan

(syok sepsis) atau laktat

≥ 4 mmol/L, ukur CVP

dan Scv02

Tabel 2. Bundel Resusitasi pada Syok Sepsis16

Page 25: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

21

Pada syok sepsis, resusitasi cairan adalah lini pertama pada

penanganan masalah hemodinamik. Seperti yang telah disebutkan pada

subbab sebelumnya, bahwa dengan mempertimbangkan tingginya biaya

yang dibutuhkan untuk mendapatkan albumin, serta berbagai

permasalahan keamanan pada penggunaan jenis koloid lainnya, Surviving

Sepsis Campaign guidelines merekomendasikan kristaloid sebagai pilihan

pertama pada resusitasi cairan pada pasien sepsis pada khususnya, dan

pada pasien syok pada umumnya. Terdapat pula rekomendasi tingkat

rendah untuk pemberian albumin intravena pada resusitasi cairan untuk

sepsis berat dan syok sepsis bila pasien membutuhkan jumlah yang

signifikan dari kristaloid. Sebuah meta-analisis pada pasien sepsis

mengemukakan bahwa resusitasi dengan balanced crystalloids mungkin

memliki hubungan dengan angka mortalitas yang lebih rendah

dibandingkan dengan normal saline.16

Pada satu jam pertama, cairan kristaloid isotonik sebanyak

20ml/kgBB bolus harus diberikan secara agresif dan berulang, cairan bolus

dapat diulang sebanyak empat kali atau lebih.34,35 Tetapi, perlu diingat

bahwa pemberian cairan terlalu banyak dapat meningkatkan mortalitas

karena resiko edema paru, perburukan koagulopati, dan peningkatan resiko

edema otak.35,36 Untuk syok anafilaksis, pemberian cairan isotonik 0,9%

NaCl secara bolus dengan dosis 1-2 liter dengan cepat dapat menangani

hipotensi dan membantu sirkulasi pada syok anafilaksis. Epinefrin adalah

vasopresor pilihan, namun, hal itu tidak selalu diberikan segera, bahkan

pada pasien di rumah sakit.34,37 Pada syok neurogenik, hipotensi biasanya

tidak bisa ditangani dengan resusitasi cairan, namun pemberian cairan

isotonis tetap perlu diberikan. Penanganan utamanya adalah pemberian

vasopresor yang akan meningkatkan resistensi vaskular dan obat-obatan

inotropik yang menstimulasi denyut jantung.34,38

Page 26: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

22

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : NWU

No. RM : 19044689

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 65 tahun

Agama : Hindu

Status Perkawinan : Menikah

Alamat : Dusun Catur, Kintamani, Bangli

Diagnosis : Syok Sepsis

Peritonitis Generalisata ec Necrotic Illium +

Abses Jejunum

Post Laparotomi Eksplorasi + Ileostomy

AKI dd/ ACKD + Hipoalbumin

VAP

Suspect CAD

MRS : 30 September 2019

3.2 Anamnesis

Keluhan Utama : Tidak bisa buang air besar

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien merupakan rujukan dari RSUD Bangli, datang sadar diantar

keluarga dengan keluhan utama tidak bisa buang air besar. Pasien mengeluh tidak

bisa BAB sejak 3 hari SMRS. Keluhan tidak bisa BAB disertai dengan keluhan

nyeri perut bagian tengah dan bawah sejak 5 hari SMRS, yang dirasakan hilang

timbul. Pasien juga tidak flatus bersamaan dengan keluhan tidak bisa BAB. Pasien

juga mengeluh mual sejak 3 hari setiap makan dan minum namun tidak disertai

dengan muntah. Makan terakhir 1 hari SMRS pada pukul 19.00 WITA. Pasien

menyangkal adanya keluhan BAB dempul, muntah darah, dan demam. Pasca

operasi, pasien dirawat di HCU dan pada tanggal 7 Oktober 2019 pasien dipindah

di ICU RSUP Sanglah.

Page 27: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

23

Riwayat Penyakit Dahulu dan Pengobatan

Pasien memiliki riwayat asma sejak kurang lebih 2 tahun yang lalu..

Riwayat alergi obat maupun alergi makanan disangkal. Riwayat penyakit sistemik

seperti hipertensi, diabetes melitus disangkal. Riwayat pengobatan sebelumnya

tidak ada.

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga pasien yang mengalami keluhan serupa.

Riwayat penyakit sistemik di keluarga seperti hipertensi, jantung, stroke, diabetes

melitus disangkal.

Riwayat Pribadi Dan Sosial

Pasien merupakan seorang geriatri yang sehari-hari dapat beraktivitas ringan

tanpa keluhan sebelum sakit. Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok ataupun

mengonsumsi minuman beralkohol.

3.3 Pemeriksaan Fisik

BB : 49,5 kg, TB : 159 cm, BMI : 19,57 kg/m2, Suhu aksila : 36,7 oC, NRS diam:

0/10, NRS bergerak : 2/10

SSP : Kesadaran Compos mentis, GCS E4V5M6, pupil isokor 2/2 mm, RC/RK

+/+, ikterus -/-, anemis -/-

Respirasi : Frekuensi 16x/menit, tipe vesikuler (+/+), rhonki (+/+), wheezing (-/-),

SpO2 97% (ventilator)

KV : TD 109/60 mmHg, HR 110 x/menit, bunyi jantung S1-S2 tunggal,

regular, murmur (-), gallop (-)

GIT : Supel, bising usus (+) , defans muskuler (-), nyeri tekan (+) pada perut

bagian bawah

UG : BAK via dower kateter

MS : akral hangat + + , edema - -

+ + - -

Page 28: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

24

3.4 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium (30/9/2019)

Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Keterangan

WBC 29,04 103/µL 4.1 - 11.0 Tinggi

HGB 17,18 g/dL 12 – 16 Tinggi

HCT 52,64 % 36 – 46 Tinggi

RBC 6,26 106/µL 4,0 – 5,2 Tinggi

PLT 1292 103/µL 140 – 440 Tinggi

pH 7.41 7.35-7.45

pCO2 37,8 mmHg 35 – 45

pO2 140,7 mmHg 80 – 100 Tinggi

BEecf -1.2 mmol/L -2 – 2

HCO3- 23,4 mmol/L 22 – 26

SO2c 98,8 % 95 % - 100 %

TCO2 24,6 mmol/L 24 – 30

Natrium 132 mmol/L 136 – 145 Rendah

Kalium 3,55 mmol/L 3.5 – 5.1

Klorida 105 mmol/L 96 – 108

PT 22,4 detik 10,8 - 14.4 Tinggi

aPTT 40,9 detik 24 – 36 Tinggi

INR 1,63 0,9 – 1,1 Tinggi

3.5 Permasalahan Dan Kesimpulan

Permasalahan Aktual :

- Geriatri

- Peritonitis generalisata

Page 29: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

25

Permasalahan Potensial : Infeksi, hipoalbumin, malnutrisi, perdarahan

Kesimpulan : Status Fisik ASA III

3.6 Persiapan Anestesi

Persiapan di Ruang Perawatan

• Evaluasi identitas penderita

• Persiapan psikis

− Anamnesis pasien

− Memberikan penjelasan kepada penderita dan keluarganya tentang

rencana anestesi yang akan dilakukan mulai di ruang penerimaan,

ruang operasi sampai di ruang pemulihan

• Persiapan fisik

− Puasa 8 jam sebelum operasi

− Melepaskan perhiasan sebelum ke kamar operasi

− Ganti pakaian khusus sebelum ke ruang operasi

− Memeriksa status present, status fisik dan hasil pemeriksaan

penunjang

− Memeriksa surat persetujuan operasi

− Memasang iv line, cairan pengganti puasa dengan RL dengan tetesan

20 tetes per menit.

Persiapan di Ruang Persiapan IGD

• Periksa kembali catatan medik penderita, identitas, persetujuan operasi

• Tanyakan kembali persiapan yang dilakukan di ruang perawatan

• Evaluasi ulang status present dan status fisik

• Penjelasan ulang kepada penderita tentang rencana anestesi

Persiapan di Kamar Operasi

• Menyiapkan mesin anestesi dan aliran gas

• Menyiapkan monitor dan kartu anestesi

• Mempersiapkan obat dan alat anestesi

• Menyiapkan obat dan alat resusitasi

• Evaluasi ulang status present penderita

Page 30: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

26

3.7 Manajemen Operasi

➢ Teknik Anestesi GA-OTT

Pre medikasi : Dexametason 10 mg iv

Dipenhidramin 10 mg iv

Induksi : Propofol titrasi sampai pasien terhipnosis

Analgetik : Fentanyl 200 mcg iv

Ketorolac 30 mg iv

Fasilitas intubasi : Atracurium 30 mg iv

Maintenance : O2: Air 2:2 lpm, Sevoflurane

Medikasi lain : Asam traneksamat 1000 mg iv

Ondansentron 8 mg IV

➢ Durante operasi

Hemodinamik : TD 110-120/ 65-70 mmHg, Nadi 60-80x/menit, RR

14-16x/menit, SpO2 99-100%

Cairan masuk : RL 1500 ml, darah tidak ada.

Cairan keluar : Urin 200 ml, perdarahan 200 ml

Lama operasi : 2 jam 20 menit

➢ Post Operasi

Perawatan : Rawat ICU

- Observasi tanda vital

- Manajemen nyeri pasca operasi

3.8 Follow Up Pasien

1. Hari ke-1 (1 Oktober 2019)

A. Subjektif :

Pasien masih dalam pengaruh obat

B. Objektif :

Status Present

Keadaan Umum : GCS E1VxM1, keadaan lemah

Tekanan Darah : 110/70 mmHg

Page 31: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

27

Nadi : 110 kali / menit

Respirasi : 14 kali/menit

SpO2 : 96% dengan ventilator PC BIPAP 16, RR 14, FiO2 40 %,

PEEP 5

Suhu : 36,5 °C

Status Generalis

Mata : Anemis -/-, ikterus -/-, reflex pupil +/+ isokor, edema palpebra -/-

THT : Tonsil T1/T1 , Faring normal dan lidah normal

Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Thorax : Cor : S1 S2 tunggal regular, murmur (-)

Paru : Suara napas vesikuler, ronchi -/-, wheezing -/-

Abdomen : Distensi (-), Bising usus (+) normal, hepar dan lien tidak tampak

pembesaran

Ekstremitas : Akral hangat (+/+), edema (-/-)

Pemeriksaan Laboratorium (1/10/2019)

Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Keterangan

WBC 22,97 103/µL 4.1 - 11.0 Tinggi

HGB 16,27 g/dL 12 – 16 Tinggi

HCT 50,9 % 36 – 46 Tinggi

RBC 5,96 106/µL 4,0 – 5,2 Tinggi

PLT 1208 103/µL 140 – 440 Tinggi

pH 7.32 7.35-7.45 Rendah

pCO2 45,4 mmHg 35 – 45 Tinggi

pO2 90,4 mmHg 80 – 100

Beecf -3,6 mmol/L -2 – 2

HCO3- 22,6 mmol/L 22 – 26

SO2c 96,2 % 95 % - 100 %

TCO2 24,0 mmol/L 24 – 30

Page 32: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

28

Natrium 135 mmol/L 136 – 145 Rendah

Kalium 3,63 mmol/L 3.5 – 5.1

Klorida 107 mmol/L 96 – 108

C. Assessment

Peritonitis Generalisata ec Necrotic Illium + Abses Jejunum

Post Laparotomi Eksplorasi + Ileostomy

D. Planning

Feeding : E : - Minum sedikit-sedikit

P : - Ringer Laktat 1200 ml/24 jam

Analgesia : Fentanyl 250 mcg/24 jam

Paracetamol 1000 mg tiap 8 jam

Sedation : -

Trombus Profilaksis : -

Head of the bed up : Head up 30-45◦

Ulcer gaster protektif : -

Glucose control : -

Terapi lain : - Ceftriaxone 2 gram tiap 24 jam

- Metronidazole 500 mg tiap 8 jam

- Ranitidine 50 mg tiap 12 jam

- Oral hygiene dengan chlorhexidine tiap 12

jam

- Oral hygiene dengan air putih tiap 2 jam

2. Hari Ke-2 (2 Oktober 2019)

A. Subjektif

Pasien tidak sadar

B. Objektif

Status Present

Keadaan Umum : GCS E1VxM1,

Tekanan Darah : 106/68 mmHg

Nadi : 122 kali / menit

Page 33: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

29

Respirasi : 20 kali/menit

SpO2 : 98% dengan ventilator PC BIPAP 16, RR 16, FiO2 40 %,

PEEP 5

Suhu : 36,6 °C

Status Generalis

Mata : Anemis -/-, ikterus -/-, reflex pupil +/+ isokor, edema palpebra -/-

THT : Tonsil T1/T1 , Faring normal dan lidah normal

Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Thorax : Cor : S1 S2 tunggal regular, murmur (-)

Paru : Suara napas vesikuler, ronchi -/-, wheezing -/-

Abdomen : Distensi (-), Bising usus (+) normal, hepar dan lien tidak tampak

pembesaran

Ekstremitas : Akral hangat (+/+), edema (-/-)

Pemeriksaan Laboratorium (2/10/2019)

Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Keterangan

WBC 18,62 103/µL 4.1 - 11.0 Tinggi

HGB 14,6 g/dL 12 – 16

HCT 46,16 % 36 – 46 Tinggi

RBC 5,41 106/µL 4,0 – 5,2 Tinggi

PLT 1151 103/µL 140 – 440 Tinggi

pH 7.38 7.35-7.45

pCO2 41,4 mmHg 35 – 45

pO2 81,1 mmHg 80 – 100

Beecf -1,2 mmol/L -2 – 2

HCO3- 23,9 mmol/L 22 – 26

SO2c 95,8 % 95 % - 100 %

TCO2 25,2 mmol/L 24 – 30

Natrium 135 mmol/L 136 – 145 Rendah

Page 34: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

30

Kalium 4,35 mmol/L 3.5 – 5.1

Klorida 110 mmol/L 96 – 108 Tinggi

SGOT (AST) 21,8 U/L 11 – 27

SGPT (ALT) 17,4 U/L 11 – 34

e-LFG 16,5 mg/L >= 90 Rendah

Albumin 1,8 g/dL 3.4 – 4.8 Rendah

BUN 83,4 mg/dL 8 – 23 Tinggi

Kreatinin 2,83 mg/dL 0,5 – 0,9 Tinggi

C. Assessment

Peritonitis Generalisata ec Necrotic Illium + Abses Jejunum

Post Laparotomi Eksplorasi + Ileostomy

Suspect CAD

AKI dd ACKD ec Pre renal

D. Planning

Feeding : E : - Puasa, dilakukan GC

P : - Ringer Laktat 500 ml/24 jam

- Dextrose 5% 500 ml/24 jam

- Aminofluid 500 ml/24 jam

- Albumin 20% 1 fl tiap 24 jam

Analgesia : Fentanyl 250 mcg/24 jam

Paracetamol 1000 mg tiap 8 jam

Sedation : -

Trombus Profilaksis : -

Head of the bed up : Head up 30-45◦

Ulcer gaster protektif : -

Glucose control : -

Terapi lain : - Ceftriaxone 2 gram tiap 24 jam

- Metronidazole 500 mg tiap 8 jam

- Ranitidine 50 mg tiap 12 jam

Page 35: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

31

- Oral hygiene dengan chlorhexidine tiap 12

jam

- Oral hygiene dengan air putih tiap 2 jam

3. Hari ke – 3 (3 Oktober 2019)

A. Subjektif

Pasien tidak sadar

B. Objektif

Status Present

Keadaan Umum : GCS E1VxM2

Tekanan Darah : 102/65 mmHg

Nadi : 114 kali / menit

Respirasi : 24 kali/menit

SpO2 : 98% dengan ventilator VC SIMV 12, RR 12, FiO2 40 %,

PEEP 5

Suhu : 36,8 °C

Status Generalis

Mata : Anemis -/-, ikterus -/-, reflex pupil +/+ isokor, edema palpebra -/-

THT : Tonsil T1/T1 , Faring normal dan lidah normal

Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Thorax : Cor : S1 S2 tunggal regular, murmur (-)

Paru : Suara napas vesikuler, ronchi -/-, wheezing -/-

Abdomen : Distensi (-), Bising usus (+) normal, hepar dan lien tidak tampak

pembesaran

Ekstremitas : Akral hangat (+/+), edema (-/-)

Pemeriksaan Laboratorium (3/10/2019)

Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Keterangan

WBC 21,47 103/µL 4.1 - 11.0 Tinggi

HGB 13,7 g/dL 12 – 16

HCT 42,94 % 36 – 46 Tinggi

Page 36: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

32

RBC 4,96 106/µL 4,0 – 5,2 Tinggi

PLT 1010 103/µL 140 – 440 Tinggi

pH 7.40 7.35-7.45

pCO2 42,6 mmHg 35 – 45

pO2 84,9 mmHg 80 – 100

Beecf 1,2 mmol/L -2 – 2

HCO3- 25,9 mmol/L 22 – 26

SO2c 96,4 % 95 % - 100 %

TCO2 27,2 mmol/L 24 – 30

Natrium 139 mmol/L 136 – 145 Rendah

Kalium 3,71 mmol/L 3.5 – 5.1

Klorida 112 mmol/L 96 – 108 Tinggi

e-LFG 36,42 mg/L >= 90 Rendah

BUN 69,2 mg/dL 8 – 23 Tinggi

Kreatinin 1,47 mg/dL 0,5 – 0,9 Tinggi

LDH 961 U/L 240 – 480 Tinggi

Asam Urat 7,6 mg/dL 2 – 5,7 Tinggi

C. Assessment

Peritonitis Generalisata ec Necrotic Illium + Abses Jejunum

Post Laparotomi Eksplorasi + Ileostomy

Suspect CAD

AKI dd ACKD + Hipoalbumin

D. Planning

Feeding : E : - Puasa hingga NGT jernih, dilakukan GC

P : - Ringer Laktat 1000 ml/24 jam

- Dextrose 5% 500 ml/24 jam

Page 37: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

33

- Albumin 20 % 1 fl tiap 24 jam

Analgesia : Fentanyl 250 mcg/48 jam

Paracetamol 1000 mg tiap 8 jam

Sedation : -

Trombus Profilaksis : -

Head of the bed up : Head up 30-45◦

Ulcer gaster protektif : -

Glucose control : -

Terapi lain : - Ceftriaxone 2 gram tiap 24 jam

- Metronidazole 500 mg tiap 8 jam

- Ranitidine 50 mg tiap 12 jam

- Asetosal 80 mg tiap 24 jam

- Bisoprolol 1,25 mg tiap 24 jam

- Simvastatin 20 mg tiap 24 jam

- Oral hygiene dengan chlorhexidine tiap 12

jam

- Oral hygiene dengan air putih tiap 2 jam

4. Hari Ke – 4 (4 Oktober 2019)

A. Subjektif

Pasien tidak sadar

B. Objektif

Status Present

Keadaan Umum : GCS E1VxM2

Tekanan Darah : 109/72 mmHg

Nadi : 112 kali / menit

Respirasi : 22 kali/menit

SpO2 : 98% dengan ventilator VC SIMV 12, RR 12, FiO2 60 %,

PEEP 6

Suhu : 37,2 °C

Status Generalis

Mata : Anemis -/-, ikterus -/-, reflex pupil +/+ isokor, edema palpebra -/-

Page 38: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

34

THT : Tonsil T1/T1 , Faring normal dan lidah normal

Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Thorax : Cor : S1 S2 tunggal regular, murmur (-)

Paru : Suara napas vesikuler, ronchi -/-, wheezing -/-

Abdomen : Distensi (-), Bising usus (+) normal, hepar dan lien tidak tampak

pembesaran

Ekstremitas : Akral hangat (+/+), edema (-/-)

Pemeriksaan Laboratorium (4/10/2019)

Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Keterangan

pH 7.40 7.35-7.45

pCO2 49,3 mmHg 35 – 45 Tinggi

pO2 134,4 mmHg 80 – 100 Tinggi

Beecf 5.0 mmol/L -2 – 2 Tinggi

HCO3- 29,8 mmol/L 22 – 26 Tinggi

SO2c 98,6 % 95 % - 100 %

TCO2 31,3 mmol/L 24 – 30 Tinggi

Natrium 149 mmol/L 136 – 145 Tinggi

Kalium 3,41 mmol/L 3.5 – 5.1 Rendah

Klorida 113 mmol/L 96 – 108 Tinggi

e-LFG 32,4 mg/L >= 90 Rendah

BUN 32,2 mg/dL 8 – 23 Tinggi

Kreatinin 0,76 mg/dL 0,5 – 0,9

C. Assessment

Peritonitis Generalisata ec Necrotic Illium + Abses Jejunum

Post Laparotomi Eksplorasi + Ileostomy

Suspect CAD

AKI dd ACKD + Hipoalbumin

Page 39: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

35

D. Planning

Feeding : E : - Peptamen 50 ml tiap 4 jam

P : - Ringer Laktat 1500 ml/24 jam

- Dextrose 5% 500 ml/24 jam

- Albumin 20 % 1 fl tiap 24 jam

Analgesia : Fentanyl 250 mcg/48 jam

Paracetamol 1000 mg tiap 8 jam

Sedation : -

Trombus Profilaksis : -

Head of the bed up : Head up 30-45◦

Ulcer gaster protektif : Omeprazole 80 mg tiap 24 jam

Glucose control : -

Terapi lain : - Ceftriaxone 2 gram tiap 24 jam

- Metronidazole 500 mg tiap 8 jam

- Ranitidine 50 mg tiap 12 jam

- Levofloxacin 750 mg tiap 24 jam

- Norepinefrin 0,1 mcg/kgBB/jam titrasi dengan

target MAP 65-95 mmHg

- Asetosal 80 mg tiap 24 jam

- Bisoprolol 1,25 mg tiap 24 jam

- Simvastatin 20 mg tiap 24 jam

- Oral hygiene dengan chlorhexidine tiap 12

jam

- Oral hygiene dengan air putih tiap 2 jam

5. Hari Ke – 5 (5 Oktober 2019)

A. Subjektif

Pasien tidak sadar

B. Objektif

Status Present

Keadaan Umum : GCS E1VxM2

Tekanan Darah : 105/68 mmHg

Page 40: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

36

Nadi : 98 kali / menit

Respirasi : 18 kali/menit

SpO2 : 98% dengan ventilator PC BIPAP 16, RR 14, FiO2 40 %,

PEEP 5

Suhu : 36,4 °C

Status Generalis

Mata : Anemis -/-, ikterus -/-, reflex pupil +/+ isokor, edema palpebra -/-

THT : Tonsil T1/T1 , Faring normal dan lidah normal

Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Thorax : Cor : S1 S2 tunggal regular, murmur (-)

Paru : Suara napas vesikuler, ronchi -/-, wheezing -/-

Abdomen : Distensi (-), Bising usus (+) normal, hepar dan lien tidak tampak

pembesaran

Ekstremitas : Akral hangat (+/+), edema (-/-)

Pemeriksaan Laboratorium (5/10/2019)

Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Keterangan

pH 7.43 7.35-7.45

pCO2 45,6 mmHg 35 – 45 Tinggi

pO2 133,7 mmHg 80 – 100 Tinggi

Beecf 5,4 mmol/L -2 – 2 Tinggi

HCO3- 29,7 mmol/L 22 – 26 Tinggi

SO2c 98,7 % 95 % - 100 %

TCO2 31,1 mmol/L 24 – 30 Tinggi

Natrium 141 mmol/L 136 – 145

Kalium 3,54 mmol/L 3.5 – 5.1

Klorida 116 mmol/L 96 – 108 Tinggi

e-LFG 92,45 mg/L >= 90

BUN 24,3 mg/dL 8 – 23 Tinggi

Page 41: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

37

Kreatinin 0,61 mg/dL 0,5 – 0,9

Albumin 2,6 g/dL 3,4 – 4,8 Rendah

C. Assessment

Peritonitis Generalisata ec Necrotic Illium + Abses Jejunum

Post Laparotomi Eksplorasi + Ileostomy

Suspect CAD

AKI dd ACKD + Hipoalbumin

Pneumonia suspect VAP

D. Planning

Feeding : E : - Peptamen 50 ml tiap 4 jam

P : - Ringer Laktat 1000 ml/24 jam

- Dextrose 5% 500 ml/24 jam

- Nutriflex lipid 2000 ml

Analgesia : Fentanyl 250 mcg/48 jam

Paracetamol 1000 mg tiap 8 jam

Sedation : Midazolam 5 mg k/p

Trombus Profilaksis : -

Head of the bed up : Head up 30-45◦

Ulcer gaster protektif : Omeprazole 80 mg tiap 24 jam

Glucose control : -

Terapi lain : - Ceftriaxone 2 gram tiap 24 jam

- Metronidazole 500 mg tiap 8 jam

- Levofloxacin 750 mg tiap 24 jam

- Norepinefrin 0,05 mcg/kgBB/jam titrasi

dengan target MAP 65-95 mmHg

- Asetosal 80 mg tiap 24 jam

- Bisoprolol 1,25 mg tiap 24 jam

- Simvastatin 20 mg tiap 24 jam

- Oral hygiene dengan chlorhexidine tiap 12

jam

- Oral hygiene dengan air putih tiap 2 jam

Page 42: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

38

6. Hari Ke – 6 (6 Oktober 2019)

A. Subjektif

Pasien tidak sadar

B. Objektif

Status Present

Keadaan Umum : GCS E1VxM3,

Tekanan Darah : 110/65 mmHg

Nadi : 98 kali / menit

Respirasi : 28 kali/menit

SpO2 : 98% dengan ventilator VC SIMV 6, RR 6, FiO2 40 %,

PEEP 5

Suhu : 37,5 °C

Status Generalis

Mata : Anemis -/-, ikterus -/-, reflex pupil +/+ isokor, edema palpebra -/-

THT : Tonsil T1/T1 , Faring normal dan lidah normal

Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Thorax : Cor : S1 S2 tunggal regular, murmur (-)

Paru : Suara napas vesikuler, ronchi -/-, wheezing -/-

Abdomen : Distensi (-), Bising usus (+) normal, hepar dan lien tidak tampak

pembesaran

Ekstremitas : Akral hangat (+/+), edema (-/-)

Pemeriksaan Laboratorium (6/10/2019)

Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Keterangan

WBC 22,83 103/µL 4.1 - 11.0 Tinggi

HGB 13,87 g/dL 12 – 16

HCT 45,04 % 36 – 46

RBC 5,27 106/µL 4,0 – 5,2 Tinggi

PLT 454,9 103/µL 140 – 440 Tinggi

pH 7.46 7.35-7.45 Tinggi

Page 43: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

39

pCO2 37,3 mmHg 35 – 45

pO2 112,7 mmHg 80 – 100 Tinggi

Beecf 2,2 mmol/L -2 – 2 Tinggi

HCO3- 26 mmol/L 22 – 26

SO2c 98,3 % 95 % - 100 %

TCO2 27,2 mmol/L 24 – 30

Natrium 141 mmol/L 136 – 145

Kalium 3,33 mmol/L 3.5 – 5.1 Rendah

Klorida 111 mmol/L 96 – 108 Tinggi

e-LFG 83,51 mg/L >= 90 Rendah

BUN 24,0 mg/dL 8 – 23 Tinggi

Kreatinin 0,74 mg/dL 0,5 – 0,9

C. Assessment

Peritonitis Generalisata ec Necrotic Illium + Abses Jejunum

Post Laparotomi Eksplorasi + Ileostomy

Suspect CAD

AKI dd ACKD + Hipoalbumin

Suspect VAP

D. Planning

Feeding : E : - Peptamen 50 ml tiap 4 jam

P : - Ringer Laktat 1000 ml/24 jam

- Dextrose 5% 500 ml/24 jam

- Aminofluid 500ml/24 jam

Analgesia : Fentanyl 250 mcg/24 jam

Paracetamol 1000 mg tiap 8 jam

Sedation : -

Trombus Profilaksis : -

Head of the bed up : Head up 30-45◦

Page 44: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

40

Ulcer gaster protektif : Omeprazole 80 mg tiap 24 jam

Glucose control : -

Terapi lain : - Ceftriaxone 2 gram tiap 24 jam

- Metronidazole 500 mg tiap 8 jam

- Levofloxacin 750 mg tiap 24 jam

- Norepinefrin 0,1 mcg/kgBB/jam titrasi dengan

target MAP 65-95 mmHg

- Asetosal 80 mg tiap 24 jam

- Bisoprolol 1,25 mg tiap 24 jam

- Simvastatin 20 mg tiap 24 jam

- Oral hygiene dengan chlorhexidine tiap 12

jam

- Oral hygiene dengan air putih tiap 2 jam

7. Hari Ke – 7 (7 Oktober 2019)

A. Subjektif

Pasien sadar, pasien membuka mata secara spontan, namun pasien hanya mampu

mengeluarkan suara

B. Objektif

Status Present

Keadaan Umum : GCS E4V2M4,

Tekanan Darah : 105/64 mmHg

Nadi : 92 kali / menit

Respirasi : 28 kali/menit

SpO2 : 98% dengan O2 face mask 7 lpm

Suhu : 36,9 °C

Status Generalis

Mata : Anemis -/-, ikterus -/-, reflex pupil +/+ isokor, edema palpebra -/-

THT : Tonsil T1/T1 , Faring normal dan lidah normal

Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Thorax : Cor : S1 S2 tunggal regular, murmur (-)

Paru : Suara napas vesikuler, ronchi -/-, wheezing -/-

Page 45: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

41

Abdomen : Distensi (-), Bising usus (+) normal, hepar dan lien tidak tampak

pembesaran

Ekstremitas : Akral hangat (+/+), edema (-/-)

Pemeriksaan Laboratorium (7/10/2019)

Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Keterangan

pH 7.45 7.35-7.45

pCO2 37,4 mmHg 35 – 45

pO2 76,4 mmHg 80 – 100 Rendah

Beecf 1,4 mmol/L -2 – 2

HCO3- 25,4 mmol/L 22 – 26

SO2c 95,9 % 95 % - 100 %

TCO2 25,5 mmol/L 24 – 30

Natrium 139 mmol/L 136 – 145

Kalium 3,39 mmol/L 3.5 – 5.1 Rendah

Klorida 110 mmol/L 96 – 108 Tinggi

C. Assessment

Peritonitis Generalisata ec Necrotic Illium + Abses Jejunum

Post Laparotomi Eksplorasi + Ileostomy

AKI dd ACKD + Hipoalbumin

VAP

Suspect CAD

D. Planning

Feeding : E : - Peptamen 50 ml tiap 4 jam

P : - Ringer Laktat 1000 ml/24 jam

- Dextrose 5% 500 ml/24 jam

Analgesia : Fentanyl 250 mcg/48 jam

Paracetamol 1000 mg tiap 8 jam

Sedation : -

Page 46: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

42

Trombus Profilaksis : -

Head of the bed up : Head up 30-45◦

Ulcer gaster protektif : Omeprazole 80 mg tiap 24 jam

Glucose control : -

Terapi lain : - Ceftriaxone 2 gram tiap 24 jam

- Metronidazole 500 mg tiap 8 jam

- Levofloxacin 750 mg tiap 24 jam

- Norepinefrin 0,1 mcg/kgBB/jam titrasi dengan

target MAP 65-95 mmHg

- Asetosal 80 mg tiap 24 jam

- Bisoprolol 1,25 mg tiap 24 jam

- Simvastatin 20 mg tiap 24 jam

- Nebulizer Combivent tiap 8 jam

- Oral hygiene dengan chlorhexidine tiap 12

jam

- Oral hygiene dengan air putih tiap 2 jam

8. Hari Ke – 8 (8 Oktober 2019)

A. Subjektif

Pasien sudah bisa membuka mata dengan respon suara

B. Objektif

Status Present

Keadaan Umum : GCS E3VxM2

Tekanan Darah : 108/66 mmHg

Nadi : 102 kali / menit

Respirasi : 24 kali/menit

SpO2 : 95% dengan ventilator VC SIMV 16, RR 16, FiO2 50 %,

PEEP 7

Suhu : 39,2 °C

Status Generalis

Mata : Anemis -/-, ikterus -/-, reflex pupil +/+ isokor, edema palpebra -/-

Page 47: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

43

THT : Tonsil T1/T1 , Faring normal dan lidah normal

Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Thorax : Cor : S1 S2 tunggal regular, murmur (-)

Paru : Suara napas vesikuler, ronchi -/-, wheezing -/-

Abdomen : Distensi (-), Bising usus (+) normal, hepar dan lien tidak tampak

pembesaran

Ekstremitas : Akral hangat (+/+), edema (-/-)

Pemeriksaan Laboratorium (8/10/2019)

Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Keterangan

WBC 34,83 103/µL 4.1 - 11.0 Tinggi

HGB 15,68 g/dL 12 – 16

HCT 50,6 % 36 – 46 Tinggi

RBC 5,85 106/µL 4,0 – 5,2 Tinggi

PLT 300,7 103/µL 140 – 440

pH 7.36 7.35-7.45

pCO2 47,3 mmHg 35 – 45 Tinggi

pO2 117,8 mmHg 80 – 100 Tinggi

Beecf 0,6 mmol/L -2 – 2

HCO3- 26,1 mmol/L 22 – 26

SO2c 98,1 % 95 % - 100 %

TCO2 27,6 mmol/L 24 – 30

Natrium 142 mmol/L 136 – 145

Kalium 3,85 mmol/L 3.5 – 5.1

Klorida 115 mmol/L 96 – 108 Tinggi

e-LFG 80,86 mg/L >= 90 Rendah

BUN 27,8 mg/dL 8 – 23 Tinggi

Kreatinin 0,76 mg/dL 0,5 – 0,9

Page 48: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

44

PPT 17,8 detik 10,8 - 14.4 Tinggi

aPTT 36,4 detik 24 – 36

INR 1,28 0,9 – 1,1 Tinggi

C. Assessment

Peritonitis Generalisata ec Necrotic Illium + Abses Jejunum

Post Laparotomi Eksplorasi + Ileostomy

Suspect CAD

AKI dd ACKD + Hipoalbumin

VAP

D. Planning

Feeding : E : - Peptamen 50 ml tiap 4 jam

P : - Nutriflex lipid 625 ml/kg

- Ringer Laktat 1000 ml/24 jam

Analgesia : Fentanyl 250 mcg/48 jam

Paracetamol 1000 mg tiap 8 jam

Sedation : -

Trombus Profilaksis : -

Head of the bed up : Head up 30-45◦

Ulcer gaster protektif : Omeprazole 80 mg tiap 24 jam

Glucose control : -

Terapi lain : - Ceftriaxone 2 gram tiap 24 jam

- Metronidazole 500 mg tiap 8 jam

- Levofloxacin 750 mg tiap 24 jam

- Meropenem 1 g tiap 8 jam

- Anbasim 1 g tiap 24

- Norepinefrin 0,4 mcg/kgBB/jam titrasi dengan

target MAP 65-95 mmHg

- Asetosal 80 mg tiap 24 jam

- Bisoprolol 1,25 mg tiap 24 jam

- Simvastatin 20 mg tiap 24 jam

Page 49: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

45

- Oral hygiene dengan chlorhexidine tiap 12

jam

- Oral hygiene dengan air putih tiap 2 jam

Pada pukul 03.00 WITA (9 Oktober 2019). Pasien mengalami syok sepsis

Objektif

Status Present

Kesadaran : GCS E1VxM1

Tekanan Darah : 60/40 mmHg

Nadi : 121 kali/menit

Laju Respirasi : 32 kali/menit

Sp O2 : 95 % dengan ventilator VC MMV 16, RR 16, FiO2 70 %,

PEEP 7

Suhu axilla : 40 o C

Status General

Mata : Anemis -/-, ikterus -/-, reflex pupil +/+ isokor, edema palpebra -/-

THT : Tonsil T1/T1 , Faring normal dan lidah normal

Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Thorax : Cor : S1 S2 tunggal regular, murmur (-)

Paru : Suara napas vesikuler, ronchi -/-, wheezing -/-

Abdomen : Distensi (-), Bising usus (+) normal, hepar dan lien tidak tampak

pembesaran

Ekstremitas : Akral hangat, edema (-/-)

Assessment :

Syok Sepsis

Peritonitis Generalisata ec Necrotic Illium + Abses Jejunum

Post Laparotomi Eksplorasi + Ileostomy

AKI dd ACKD + Hipoalbumin

VAP

Manajemen :

- Diberikan Cairan kristaloid NaCl 0,9 % 500 ml loading

Page 50: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

46

- Meningkatkan dosis Norepinefrin menjadi 0,8 mcg/kgBB/jam titrasi dengan

target MAP 65-95 mmHg

- Diberikan Oksigen dengan menggunakan ventilator VC MMV 16, RR 16,

FiO2 70 %, PEEP 7

9. Hari Ke – 9 (9 Oktober 2019)

A. Subjektif

Pasien tidak sadar

B. Objektif

Status Present

Keadaan Umum : GCS E1VxM1

Tekanan Darah : 75/42 mmHg

Nadi : 142 kali / menit

Respirasi : 24 kali/menit

SpO2 : 98% dengan ventilator PC BIPAP 14, RR 14, FiO2 40 %,

PEEP 5

Suhu : 40,2 °C

Status Generalis

Mata : Anemis -/-, ikterus -/-, reflex pupil +/+ isokor, edema palpebra -/-

THT : Tonsil T1/T1 , Faring normal dan lidah normal

Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Thorax : Cor : S1 S2 tunggal regular, murmur (-)

Paru : Suara napas vesikuler, ronchi -/-, wheezing -/-

Abdomen : Distensi (-), Bising usus (+) normal, hepar dan lien tidak tampak

pembesaran

Ekstremitas : Akral hangat (+/+), edema (-/-)

Pemeriksaan Laboratorium (9/10/2019)

Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Keterangan

WBC 23,27 103/µL 4.1 - 11.0 Tinggi

HGB 12,31 g/dL 12 – 16

HCT 38,07 % 36 – 46

Page 51: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

47

RBC 4,44 106/µL 4,0 – 5,2

PLT 126,7 103/µL 140 – 440

pH 7.30 7.35-7.45 Rendah

pCO2 53,4 mmHg 35 – 45 Tinggi

pO2 124,2 mmHg 80 – 100 Tinggi

Beecf -0,5 mmol/L -2 – 2

HCO3- 25,9 mmol/L 22 – 26

SO2c 98,1 % 95 % - 100 %

TCO2 27,5 mmol/L 24 – 30

Natrium 144 mmol/L 136 – 145

Kalium 4,13 mmol/L 3.5 – 5.1

Klorida 119 mmol/L 96 – 108 Tinggi

C. Assessment

Syok sepsis

Peritonitis Generalisata ec Necrotic Illium + Abses Jejunum

Post Laparotomi Eksplorasi + Ileostomy

Suspect CAD

AKI dd ACKD + Hipoalbumin

VAP

D. Planning

Feeding : E : - Peptamen 50 ml tiap 4 jam

P : - Ringer Laktat 1000 ml/24 jam

- Dextrose 5% 500 ml/24 jam

Analgesia : Fentanyl 250 mcg/48 jam

Paracetamol 1000 mg tiap 8 jam

Hydrocodone 200 mg tiap 24 jam

Sedation : -

Trombus Profilaksis : -

Page 52: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

48

Head of the bed up : Head up 30-45◦

Ulcer gaster protektif : Omeprazole 80 mg tiap 24 jam

Glucose control : -

Terapi lain : - Meropenem 1 gram tiap 8 jam

- Anbasim 1 gram tiap 24 jam

- Norepinefrin 0,8 mcg/kgBB/jam titrasi dengan

target MAP 65-95 mmHg

- Dobutamin 10 mcg dengan target MAP 65-95

mmHg

- Vasopresin 0,03 tiap 8 jam

- Oral hygiene dengan chlorhexidine tiap 12

jam

- Oral hygiene dengan air putih tiap 2 jam

Page 53: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

49

BAB IV

PEMBAHASAN

Syok merupakan suatu keadaan adanya gangguan perfusi jaringan parah

yang mengakibatkan hipoperfusi organ akhir multisistem serta hipoksia jaringan.

Keadaan ini diklasifikasikan menjadi 4 jenis yang meliputi syok hipovolemik,

syok distributif, syok kardiogenik dan syok obstruktif. Klasifikasi ini penting

untuk diterapkan, karena meskipun keempat jenis syok dapat berakhir pada

stadium akhir yang sama yaitu kegagalan organ multipel (multiorgan

failure/MOF), penanganan terapeutik yang berbeda dan khusus diperlukan untuk

tiap jenis syok yang berbeda pula, guna mencapai efek terapeutik optimal dalam

restorasi fungsi-fungsi vital, terutama pada fungsi kardiovaskuler yang vital untuk

bertahan hidup.1-2.

Pada kasus ini dimana pasien perempuan berusia 65 tahun datang dengan

keluhan utama tidak bisa buang air besar. Pasien mengeluh tidak bisa BAB sejak

3 hari SMRS. Keluhan tidak bisa BAB disertai dengan keluhan nyeri perut bagian

tengah dan bawah sejak 5 hari SMRS, yang dirasakan hilang timbul. Pasien juga

tidak flatus bersamaan dengan keluhan tidak bisa BAB. Pasien juga mengeluh

mual sejak 3 hari setiap makan dan minum namun tidak disertai dengan muntah.

Makan terakhir 1 hari SMRS pada pukul 19.00 WITA. Pasien menyangkal adanya

keluhan BAB dempul, muntah darah, dan demam. Oleh dokter spesialis bedah

pasien di diagnosis dengan peritonitis generalisata et causa necrotic ileum dan

Abses Jejunum. Pasien dilakukan tindakan operasi Laparotomi Eksplorasi +

Ileostomy, Setelah dilakukan tindakan operasi, pasien dipindahkan ke ruang

perawatan ICU.

Pada tanggal 9 Oktober 2019 Pukul 03.00 WITA, kondisi pasien menurun

dan pasien tidak sadar. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran GCS

E1VxM1, tekanan darah 60/40 mmHg dengan MAP 46,7 mmHg, nadi 121

kali/menit, laju respirasi 32 kali/menit dengan suhu axilla 400C.. Pasien ini di

diagnosis dengan syok sepsis. Hal tersebut sesuai dengan teori mengenai sepsis

dan syok sepsis. Berdasarkan literatur Sepsis didefinisikan berdasarkan kriteria

terkini Sepsis-3 sebagai respons disregulasi tubuh terhadap suatu infeksi yang

Page 54: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

50

berakibat pada disfungsi organ yang mengancam nyawa. Kondisi ini dinilai secara

kuantitatif oleh peningkatan skor SOFA (Sequential Organ Failure Assessment)

hingga ≥ 2 poin. Pada kasus emergensi, penggunaan skor “Quick SOFA” dapat

diterapkan untuk skrining, dengan hanya membutuhkan penilaian awal status

kesadaran, laju respirasi, dan tekanan darah. Bila ada perubahan patologis dari

parameter-parameter tersebut (perubahan kesadaran GCS<15, laju respirasi ≥

22x/min, SBP ≤90 mmHg), serta bila dicurigai adanya infeksi, adanya kondisi

sepsis dapat diasumsikan. Kadar laktat diatas 2 mmol/L dan hipotensi persisten

yang membutuhkan pemberian vasopresor untuk mengontrol MAP ≥ 65 mmHg

didefinisikan sebagai syok sepsis. Pada pasien ini terdapat laju respirasi yang

meningkat yaitu 32 x/menit dan tekanan darah sistolik 60 mmHg. Untuk kriteria

syok sepsis, pada pasien ini ditemukan MAP < 65 mmHg yaitu 46,7 mmHg,

namun pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan kadar laktat. Pada kasus ini

sumber infeksi yang menyebabkan terjadinya syok sepsis adalah pneumonia.

Patofisiologi utama dari terjadinya syok sepsis ialah disfungsi endotelial, yang

berakibat pada disregulasi tonus pembuluh darah yang berakhir pada vasodilatasi,

gangguan distribusi dan pergeseran volume pada sirkulasi makro maupun mikro,

serta peningkatan permeabilitas vaskuler (capillary leak syndrome). Syok sepsis

dikatakan sebagai suatu bentuk campuran dari berbagai kondisi patologis

(hipovolemi, vasodilatasi, gangguan fungsi jantung dan disfungsi mitokondia) dan

biasanya berhubungan dengan koagulopati kompleks.

Cairan koloid merupakan cairan mengandung partikel dengan berat

molekul lebih besar yang relatif tidak mampu melewati membran kapiler

semipermeabel dan memiliki tekanan onkotik serupa seperti protein plasma

normal.3,8,13,14 Koloid akan tetap berada di ruang intravaskular untuk waktu yang

lama, dengan mekanisme penggantian tekanan onkotik plasma yang hilang karena

perdarahan, meminimalkan penyaringan transkapiler serta secara lebih efektif

mengembalikan volume intravaskular dibandingkan larutan kristaloid.3,6,15 Bila

permeabilitas membran tetap utuh, koloid seperti albumin, gelatin, dekstran dan

pati hidroksietil secara khusus memperluas volume plasma (PV) daripada volume

cairan interstisial (IFV). Ekspansi PV tanpa diikuti oleh ekspansi IFV

menawarkan keuntungan yaitu titik akhir resusitasi terpenuhi dengan volume yang

Page 55: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

51

lebih rendah sehingga kebutuhan cairan lebih rendah, akumulasi edema perifer

dan pulmoner lebih sedikit. Koloid memiliki beberapa kelemahan. Kondisi syok

hemoragik, sepsis atau setelah cedera parah dapat mengakibatkan peningkatan

permeabilitas vascular yang memungkinkan kebocoran molekul koloid ke

ekstravaskuler.3 Dalam kondisi ini, koloid dapat masuk ke interstitium,

meningkatkan tekanan onkotik interstitium dan menyebabkan edema jaringan.

Walaupun demikian, cairan koloid memiliki kelemahan. Koloid khususnya

albumin manusia, meskipun ditemukan aman dalam hal efek sampingnya, dapat

dikatakan mahal dan tidak praktis untuk digunakan sebagai cairan resusitasi. Oleh

karena itu, dengan mempertimbangkan tingginya biaya yang dibutuhkan untuk

mendapatkan albumin, serta berbagai permasalahan keamanan pada penggunaan

jenis koloid lainnya, Surviving Sepsis Campaign guidelines pada akhirnya

merekomendasikan kristaloid sebagai pilihan pertama pada resusitasi cairan pada

pasien sepsis pada khususnya, dan pada pasien syok pada umumnya.16 Koloid

masih tidak memiliki bukti manfaat yang konsisten dan ada bukti bahaya pada

beberapa pasien.3,15 Kristaloid yang harganya murah dan banyak tersedia tetap

menjadi andalan sebagai cairan resusitasi lini pertama.

Pada syok sepsis, resusitasi cairan adalah lini pertama pada penanganan

masalah hemodinamik. Seperti yang telah disebutkan pada subbab sebelumnya,

bahwa dengan mempertimbangkan tingginya biaya yang dibutuhkan untuk

mendapatkan albumin, serta berbagai permasalahan keamanan pada penggunaan

jenis koloid lainnya, Surviving Sepsis Campaign guidelines merekomendasikan

kristaloid sebagai pilihan pertama pada resusitasi cairan pada pasien sepsis pada

khususnya, dan pada pasien syok pada umumnya. Terdapat pula rekomendasi

tingkat rendah untuk pemberian albumin intravena pada resusitasi cairan untuk

sepsis berat dan syok sepsis bila pasien membutuhkan jumlah yang signifikan dari

kristaloid. Sebuah meta-analisis pada pasien sepsis mengemukakan bahwa

resusitasi dengan balanced crystalloids mungkin memliki hubungan dengan angka

mortalitas yang lebih rendah dibandingkan dengan normal saline.

Penanganan pasien syok di RSUP Sanglah bergantung pada kondisi

pasien, sehingga penanganan syok antara pasien satu dengan pasien lainnya

berbeda. Pada pasien ini dilakukan pemberian cairan kristaloid berupa NaCl 0,9 %

Page 56: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

52

500 loading dengan target MAP minimal 65. Pada pasien ini tidak diberikan

cairan koloid karena cairan koloid mahal dan tidak praktis untuk digunakan

sebagai cairan resusitasi. Selain itu tidak ditemukan perbedaan mortalitas antara

resusitasi menggunakan cairan koloid dan cairan kristaloid. sehingga sesuai

dengan Surviving Sepsis Campaign guidelines cairan resusitasi yang diberikan

adalah kristaloid. Selain itu pasien juga diberikan Norepinefrin menjadi 0,8

mcg/kgBB/jam titrasi dengan target MAP 65-95 mmHg. Pasien juga diberikan

oksigen dengan menggunakan ventilator VC MMV 16, RR 16, FiO2 70 %, PEEP

7 hingga Sp O2 pasien stabil diatas 94 %.

Page 57: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

53

BAB V

SIMPULAN

Syok merupakan suatu keadaan adanya gangguan perfusi jaringan parah

yang mengakibatkan hipoperfusi organ akhir multisistem serta hipoksia jaringan.

Manajemen syok memerlukan pendekatan multidisiplin untuk mencapai target

terapi yang diharapkan, terutama dalam resusitasi cairan sebagai penanganan awal

untuk semua jenis syok. Terapi cairan intravena memiliki konsekuensi klinis dan

metabolik yang beragam, sehingga perlu diberikan sesuai konteks dan spesifik

bagi tiap pasien, agar mencegah terjadinya keadaan ketidakcukupan atau terapi

cairan yang berlebih yang justru pada akhirnya akan membahayakan

keberlangsungan hidup pasien. Pada kasus ini pasien dengan diagnosis peritonitis

generalisata et causa necrotic ileum dan Abses Jejunum post laparotomi eksplorasi

dan Ileostomy mengalami syok sepsis di Ruang Terapi Intensif. Pada saat itu

pasien tidak sadar. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran GCS E1VxM1,

tekanan darah 60/40 mmHg dengan MAP 46,7 mmHg, nadi 121 kali/menit, laju

respirasi 32 kali/menit dengan suhu axilla 400C.. Kemudian dilakukan

penanganan syok sepsis berupa pemberian cairan kristaloid yaitu NaCl 500 ml

loading dengan target MAP > 65 mmHg, norepineprin dan oksigen. Pada pasien

ini tidak diberikan cairan koloid karena cairan koloid mahal dan tidak praktis

untuk digunakan sebagai cairan resusitasi,

Page 58: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

54

DAFTAR PUSTAKA

1. Standl, Thomas. et al. The Nomenclature, Definition and Distinction of

Types of Shock. Deutsches Ärzteblatt International. Dtsch Arztebl Int 2018;

115: 757–68

2. Fauci A. Harrisons Manual of Medicine. 18th ed. McGraw-Hill Professional;

2012. 69-73 p.

3. Smith, L.M. & Gordon NO. Shock. In: Clinical Emergency Medicine. New

York: McGraw Hill Education; 2014. p. 42–5.

4. Sommand DM, Ward KR. Fluid and Blood Resuscitation in Traumatic Shock.

In: Tintinalli’s Emergency Medicine (A Comprehensive Study Guide). 8th ed.

New York: McGraw Hill Education; 2016. p. 69–74.

5. Lee E, Hsia S, Lin J, Chan O, Lee J, Lin C. Hemodynamic Analysis of

Pediatric Septic Shock and Cardiogenic Shock Using Transpulmonary

Thermodilution. Biomed Res Int. 2017;1–7.

6. Jain A. Body Fluid Composition. Pediatr Rev. 2015;36(4):141–52.

7. Hall JE. The Body Fluid Compartments: Extracellular and Intracellular Fluids;

Interstitial Fluid and Edema. Guyt Hall Textb Med Physiol. 2012;292–3

8. Gan, T. J. Colloid or Crystalloid : Any Differences in Outcomes ? Int. Anesth.

Res. Soc. 27–32 (2011).

9. Miller, R. D. et al. Miller’s Anesthesia 8th Edition. (Elsevier Health Sciences,

2014).

10. Bennet, V. A. & Cecconl, M. Perioperative fluid management: From

physiology to improving clinical outcomes. Indian J. Anaesth. 61, 295–301

(2017).

11. Buckley, H. & Kishen, R. Crystalloids, colloids, blood products, and blood

substitutes. Anaesth. Intensive Care Med. 14, 255–260 (2013).

12. John F. Butterworth IV, David C. Mackey, J. D. W. in Clinical Anesthesiology

1, 1153–1155 (2013).

13. Reddy, S., Weinberg, L. & Young, P. Crystalloid fluid therapy. Crit. Care 20,

59 (2016).

14. Myburgh, J. & Mythen, M. Resuscitation fluids. N Engl J Med 369, 1243–51

(2013).

Page 59: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

55

15. Perel, P., Roberts, I. & Ker, K. in Cochrane Database of Systematic Reviews

(ed. Perel, P.) CD000567 (John Wiley & Sons, Ltd, 2013).

doi:10.1002/14651858.CD000567.pub6

16. Asensio, J. A. & Trunkey, D. D. Current therapy of trauma and surgical

critical care. (Elsevier, 2016).

17. Serpa Neto, A. et al. Fluid resuscitation with hydroxyethyl starches in patients

with sepsis is associated with an increased incidence of acute kidney injury and

use of renal replacement therapy: A systematic review and meta-analysis of the

literature. J. Crit. Care 29, 185.e1-185.e7 (2014).

18. Garnacho-Montero, J. et al. Crystalloids and colloids in critical patient

resuscitation. Med. Intensiva (English Ed. 39, 303–315 (2015).

19. Hahn, R. G. Clinical pharmacology of infusion fluids. 19, 210–212 (2012).

20. Butterworth, J. Mackey, D. Wasnick, J. Morgan & Mikhail´s Clinical

Anesthesiology. Mc Graw Hill (Mc Graw Hill, 2013). doi:10.1213/00000539-

199210000-00057

21. Chatrath V, Khetarpal R, Ahuja J. Fluid management in patients with trauma:

Restrictive versus liberal approach. J Anaesthesiol Clin Pharmacol.

2015;31(3):308–16.

22. Wang C-H, Hsieh W-H, Chou H-C, Huang Y-S, Shen J-H, Yeo YH, et al.

Liberal Versus Restricted Fluid Resuscitation Strategies in Trauma Patients: A

Systematic Review and Meta-Analysis of Randomized Controlled Trials and

Observational Studies. Crit Care Med. 2013;42(4):954–61.

23. de Moya MA. MSD Manual. 2013.

24. Advanced Trauma Life Support (ATLS). 9th ed. Chicago: American College of

Surgeons; 2012.

25. Kudo D, Yoshida Y, Kushimoto S. Permissive hypotension/hypotensive

resuscitation and restricted/controlled resuscitation in patients with severe

trauma. J Intensive Care. 2017;5(11):1–6.

26. Rossaint R, Bouillon B, Cerny V, Coats TJ, Duranteau J, Fernández-Mondéjar

E, et al. The European guideline on management of major bleeding and

coagulopathy following trauma: fourth edition. BioMed Cent. 2016;20(100).

27. Van Herck JL, Claeys MJ, De Paep R, Van Herck PL, Vrints CJ, Jorens PG.

Management of cardiogenic shock complicating acute myocardial infarction.

Eur Hear J Acute Cardiovasc Care. 2015;4(3):278–97.

Page 60: LAPORAN KASUS CAIRAN KOLOID DALAM MANAJEMEN SYOK

56

28. Szymanski FM, Filipiak KJ. Cardiogenic shock — diagnostic and therapeutic

options in the light of new scientific data. Rev Anaesthesiol Intensive Ther.

2014;46(4):301–6.

29. Panja M, Panja M, Mandal S, Kumar D. Cardiogenic shock-management. Med

Updat. 2010;301–8.

30. Beed M, Sherman R, Mahajan R. Emergencies in critical care. 2nd ed. London:

OUP Oxford; 2013. 112-125 p.

31. Levis JT, Garmel GM. Clinical Emergency Medicine Casebook. 1st ed.

Chicago: LANGE; 2009. 42-45 p.

32. Fuhrman B. Pediatric Critical Care. 4th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders;

2011.

33. Morgan C. Obstructive Shock. Open Pediatr Med Journal2. 2013;7(1):35–7.

34. Finfer SR, Vincent J, Backer D De. Circulatory Shock. N Engl J Med.

2013;(369):1726–34.

35. Pediatric Advanced Life Support. Distributive Shock Overview [Internet].

ACLS-algorithms. 2017. Available from: https://acls-algorithms.com/pediatric-

advanced-life-support/pediatric-shock-overview-part-1/pals-review-

distributive-shock/

36. J, Ferri C, Baró A, Murcia C, Lorencio C. Fluid balance in sepsis and septic

shock as a determining factor of mortality. Am J Emerg Med [Internet]. 2014;

Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.ajem.2014.11.016

37. Polderman KH, Varon J. Do not drown the patient : appropriate fluid

management in critical illness. Am J Emerg Med [Internet]. 2015;9–11.

Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.ajem.2015.01.051

38. Simons FER, Ardusso LRF, Bilo MB, Dimov V, Ebisawa M, El-gamal YM, et

al. 2012 Update : World Allergy Organization Guidelines for the assessment

and management of anaphylaxis. Lippincott William & WIlkins.

2012;(12):389–99.

39. Mack EH. Neurogenic Shock. Open Pediatr Med Journal.

2013;7(Suppl1:M4):16–8.