Upload
ekawahyuningtiass
View
22
Download
8
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Sindroma antibodi antifosfolipid (antibody antiphospholipid syndrome,
APS) didefiinisikan sebagai penyakit trombofilia autoimun yang ditandai
dengan adanya 1) antibody antifosfolipid (antibody antikardiolipin dan/ atau
antikoagulan lupus) yang menetap (persisten) serta 2) kejadian berulang
thrombosis vena/ arteri, keguguran, atau trombositopnia. Sindrom ini pertama
kali diusulkan oleh Hughes dan Harris antara tahun 1983-1986, oleh karena itu
sindrom ini dikenal juga sebagaii sindrom Hughes.
Antibodi antifosfolipid (antiphospholipid antibody, aPLA) didefiinisikan
sebagai immunoglobulin yang bereaksi dengan dinding biologis sel bagian
luar yang komponen utamanya adalah fosfolipid.
Fosfolipid antikoagulan disebut juga sebagai antifosfolipid
(antiphospholipid, aPL), yang secara structural hampir menyerupai
komplemen. Secara alamiah (fisiologis), aPL yang dibentuk oleh tubuh
adalah b2 glikoprotein I (b2GPI), berfungsi sebagai pengontrol aktivitas
fosfolipid prokoagulan (PL) yang mengandung enzim fosfolipase A₂, PLA ).b2GPI merupakan enzim yang terikat oleh apolipoprotein-H (Apo-H)
sebagai penghambat enzim PLA2. Selain dari b2GPI, secara alamiah tubuh
juga membentuk annexia V atau“placental anticoagulant protein I” yang
disebut juga sebagai “plasental aPL”, yang sangat kuat menghambat enzim
PLA2, terutama pada kehamilan dan kematian sel (apoptosis). Penghambat
PLA2 yang secara patologis terbentuk diketahui sebagai inhibitor Lupus yang
lebih dikenal sebagai Antikoagulan Lupus (Lupus Anticoagulant, LA) yang
terdiri dari subgrup, yaitu: a). LA sensitif tromboplastin yang menghambat
kompleks VIIa, III, PL, dan Ca++, mengakibatkan pemanjangan massa
protrombin (PT), khususnya pada pemeriksaan dengan “diluted PT’; b). LA
non-sensitif tromboplastin yang menghambat kompleks VIIIa, IXa, PL, Ca++
1
mengakibatkan pemanjangan masa tromboplastin teraktifasi parsial (aPTT)
dan/atau yang menghambat kompleks Xa, Va, PL, dan Ca++ mengakibatkan
pemanjangan dRVVT-1 pada dRVVT-2 normal.
Berbagai jenis aPLA dapat dibangun oleh berbagai antigen yang terikat
pada epitopefosfolipid pada bagian luar dinding biologis sel yang terpapar.
Sebagai contoh, aPLA dependen protrombin dibangun oleh epitope fosfolipid
pengikat apolipoprotein, pengikat LA atau protrombin; aPLA dependen b2-
GPI dibangun oleh epitope fosfolipid pengikat Apo-H pengikat b2-GPI; dan
aPLA dependen anneksin V dibangun oleh epitopefosfolipid pengikat
apolipoprotein-pengikat annexin V; sedangkan aPLA dependen LDL
teroksidasi dibangun oleh epitope fosfolipid pengikat apolipoprotein-pengikat
LDL teroksidasi.
Kebanyakan jenis aPLA yang ditemukan dapat bereaksi langsung terhadap
kofaktor plasma protein (apolipoprotein) yang terikat kardiolipin
(difosfatidilgliserol) yang dapat dideteksi secara ELISA
atau radioummunoassay (RIA), disebut sebagai antibodi antikardiolipin
(anticardiolipin antibody, ACA) (Rantam, Fedik A. 2003).
2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : Ny. Tri Esti
Umur : 28 tahun
Tanggal Lahir :
Agama : Islam
Suku/bangsa : Indonesia
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan : SMP
Alamat : Desa Sumberejo Kec. Widang RT 07/ RW 03 Kabupaten Tuban
Nama Suami : Tn. Ahmad Nurrahmi
Umur : 40 tahun
Agama : Islam
Suku/bangsa : Indonesia
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Desa Sumberejo Kec. Widang RT 07/ RW 03 Kabupaten Tuban
2.2 Anamnesa
Keluhan Utama : Hamil 9 bulan kenceng
RPD : Anti Cardiolipid antibody
Riwayat Sosial : Tinggal 200 meter dari pabrik rokok
HPHT : 12-05-2014
HTP : 19-02-2015
Siklus Haid : Teratur
Riwayat Pernikahan : Suami ke 1, menikah 1x
Lama Pernikahan : 8 tahun
Jumlah anak : 0
3
Riwayat abortus : 3x (Kehamilan petama usia kehamilan 5 bulan dan kehamilan
ketiga dan keempatb usia kehamilan 3 bulan)
Riwayat IUFD : 2x (Kehamilan kedua usia kehamilan 7 bulan)
2.3 Pemeriksaan Fisik
-Status General-
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Suhu : 36,8oC
Nadi : 96x/mnt
-Status Obstetric-
RR : 20x/mnt
TFU : 27cm
His : + adekuat 4x dalam 10 menit masing-masing 50detik
DJJ : 11-12-11 : 136x/mnt
Vt : Pembukaan 1cm
Effacement : 25%
Teraba : Kepala
Hodge : I
-Status Regional-
Kepala : Normochepal
Mata : anemis (-/-) icterus (-/-)
Thorax : Cor-S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), Gallop (-)
Pulmo : Vesikuler, Rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : Bising Usus (+) normal
Ekstremitas : Edema (-/-)
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium (11-02-2015)
Hematologi
Hb : 9,2 g/dl
PCV : 27,6%
4
Eritrosit : 3.110.000/cmm
Hitung Jenis
Leukosit : 13.800/cmm
Trombosit : 105.000/cmm
MCV : 88,7fl
MCH : 29,6pg
MCHC : 33.3g/dl
Imunologi
Hbs Ag : -
Anti-HIV : Non reaktif
Faal Hemostasis
APTT : 32.5detik
PPT : 13,1detik
2.5 Diagnosa Kerja
GV P0010 Ab300 38-39mgg/T/H+Kala 1 Fase Laten+HSVB+ACA on tx
2.6 Terapi
Konservatif : Histolan 2x1
Asam Mefenamat 3x1
Jika Inpartu dan siap darah 2 PRC oleh karena potensial HPP
Jika Inpartu Injeksi Heparin (Tx ACA) stop 6 jam sebelum persalinan
Jika tidak inpartu sejak pagi, KRS untuk kontrol ke poli dan rencana SC elektif
2.7 Follow Up
Tgl/jam Keluhan Pasien dan Perjalanan Penyakit
Instruksi Dokter/Tindakan yang dilakukan
10/02/2015Jam 19.30
S: Pasien datang dengan keluhan kenceng2 dan hamil 9 bulan.O: TD= 110/70 mmHg
Suhu= 36,7ͦ c
A/p dr.Vera, Sp.OG.- Konservatif:
Histolan 2x1, As.mef 3x1
- Jika inpartu siap darah 2 colf oleh karna potensial
5
Nadi= 80x/menitRR= 20x/menitStatus ObstetricTFU= 27 cmHIS= (+) jarang
2x dalam 10 mnt /his ±1 mnt
DJJ= 11-12-11VT= pembukaan 2Eff= 50%Teraba= kepalaHodge= 1
A: GV P0100 Ab300 38-39 mgg/T/H + kala 1 fase laten + HSVB + ACA on tx.
HPP.- Jika inpartu Inj.
Heparin (tx ACA) stop 6 jam sebelum persalinan.
- Jika tidak inpartu besok pagi KRS kontrol poli untuk rencana SC elektif
11/12/201505.00
08.00
11.00
11.30
14.45
HIS (+) 3x dalam 10 menit ± 30 detikDJJ (+) 11-12-11VT= Pembukaan 4 cmEff= 50%Ketuban pecah=jernihTTV=dbnTD= 110/70 mmHg (TTV dbn)HIS= (+) 3x dalam 10 menit ±30 detikDJJ (+) 11-11-12VT= pembukaan 4 cmEff= 50%Ket (-) jernihHasil LabAPTT= 32,5 detikPPT= 13,1Trombosit= 105.000/Cmm
Evaluasi:DJJ=11-11-12/HIS (+) jarangVT= pembukaan 7Teraba kepalaHotge IIKet: (-) jernihEff= 75%Bayi lahir:BB= 2300 gram
Konsul dr.Vera Sp.OG:- Ada persiapan
darah 2 colf WB
A/p dr.vera, Sp.OG:-cek DL- Lapor dr.vera, Sp.OG untuk hasilnya-konsul IPD
Lap dr.Pungki, Sp.PD:- Aspilet stop- Heparin stop- Lanjut inj. Heparin
setelah 1 hari. Dosis 1x 5000 IU (Sub kutan).
A/p dr.Vera, Sp.OG:-CITO SCIndikasi SC: arrest of dilatation ec.malposisi
6
15.30
PB= 47 cmAS= 8-9JK= perempuanCacat (-)Pasien datang dari OKS= (-)O= k/u sadarTTV: TD= 110/70 mmHg
S=35,4 ͦcN=88x/mntRR=24x/mnt
A=post SC arrest of dilatation ec.malposisi+ACA on tx.
-observasi-inj.ceftri 2x1-inj antrain 3x1-inj invicloth 24 jam post SC-diet TKTP-KIE
12/02/201507.00
S: taaO: TD=110/70 mmHg S= 36,6 ͦ c N= 84x/mnt RR=24x/mnt Lochea (+) rubra Luka op baikA: post SC Taa
-Ciprofloxacin 3x500 mg-Metergin 2x125 mg-As. Mefenamat 3x500 mg-mobilisasi
13/02/2015 S: taaO: TD=110/70 mmHg S= 36,6ͦc N=84x/mnt RR= 24x/mnt Lochea (+) rubra Luka op baikA: post SC TA
-ciprofloxacin 3x500 mg-as. Mefenamat 3x500 mg
7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Sindroma antibodi antifosfolipid (antibody antiphospholipid syndrome,
APS) didefiinisikan sebagai penyakit trombofilia autoimun yang ditandai
dengan adanya 1) antibody antifosfolipid (antibody antikardiolipin dan/ atau
antikoagulan lupus) yang menetap (persisten) serta 2) kejadian berulang
thrombosis vena/ arteri, keguguran, atau trombositopnia. Sindrom ini pertama
kali diusulkan oleh Hughes dan Harris antara tahun 1983-1986, oleh karena itu
sindrom ini dikenal juga sebagaii sindrom Hughes.
Antibodi antifosfolipid (antiphospholipid antibody, aPLA) didefiinisikan
sebagai immunoglobulin yang bereaksi dengan dinding biologis sel bagian luar
yang komponen utamanya adalah fosfolipid. Fosfolipid antikoagulan disebut
juga sebagai antifosfolipid (antiphospholipid, aPL), yang secara structural
hampir menyerupai komplemen (Rantam, Fedik A, 2003).
3.2 Epidemiologi
Antibodi antifosfolipid dijumpai sejak usia muda, prevalensi antibodi
antifosfolipid meningkat seiring dengan bertambah umur, khususnya di antara
pasien usia lanjut dengan penyakit kronis penyerta. Kebanyakan pasien
antiphospholipid syndrome adalah wanita dan utamanya didiagnosis pada
masa reproduksi (usia 15 – 55 tahun).
8
Antibodi antifosfolipid terdapat pada 5,3 % dari 7.726 kehamilan normal,
20 % dari 2.226 kehamilan ibu dengan keguguran berulang, dan 37 % dari
1.579 ibu dengan lupus eritematosus sistemik.
Studi prospektif telah menunjukkan hubungan antara antibodi
antifosfolipid dan episode pertama dari thrombosis venadan infark miokard,
serta strok berulang. Oleh karena itu, hal yang menjadi penting adalah
identifikasi pasien dengan antibodi antifosfolipid yang risikonya terhadap
kejadian trombotik meningkat. Faktor risiko penting adalah riwayat
trombosis, adanya antibody antikoagulan lupus, dan peningkatan kadar
antibody antikardiolipin IgG. Masing-masing meningkatkan risiko trombosis
sampai lima kali lipat, meskipun tidak semua studi melaporkan hasil yang
sama (Prawirohardjo, S, 2010).
3.3 Etiologi
Antiphospholipid syndrome merupakan suatu gangguan autoimun yang
belum diketahui penyebabnya. Penelitian untuk mengetahui faktor pemicu
yang mungkin telah menemukan kaitan autoimun atau penyakit rematik,
infeksi dan obat-obatan yang dikaitkan dengan Lupus anticoagulant atau
antikardiolipin antibody.
Penyakit otoimun atau rematik dan persentase pasien yang memiliki antibody
aPL:
-SLE(25–30%)
-Sjögren syndrome 42%
-Rheumatoid arthritis 33%
-Autoimmune thrombocytopenic purpura 30%
-Autoimmune hemolytic anemia – tidak diketahui
-Psoriatic arthritis 28%
-Systemic sclerosis 25%
-Mixed connective-tissue disease 22%
-Polymyalgia rheumatica atau giant cell arteritis 20%
9
-Behçet syndrome 20%
Infeksi:
-Syphilis
-Infeksi Hepatitis C
-Infeksi HIV
-Infeksi virus Human T-cell lymphotrophic tipe 1
-Malaria
-Bakterial septikemia
Obat–obatan:
-Jantung (Prokainamide, quinidine, propranolol, hydralazine)
-Neuroleptik atau psikiatrik (Phenytoin, Klorpromazine)
-Obat-obatan lain (Interferon alfa, quinine, amoxicillin)
Predisposisi genetik:
-Hubungan keluarga: Hubungan keluarga dengan orang yang menderita
antiphospholipid syndrome memiliki kemungkinan besar memiliki
antibody antifosfolipid. Suatu penelitian menggambarkan frekuensi
sebesar 33%.
-HLA: Suatu penelitian terbaru menemukan sebuah kaitan antara antibodi
antikardiolipin dan sekelompok individu dengan gen-gen HLA tertentu,
termasuk DRw53, DR7 (paling banyak pada orang Hispanic), dan DR4
(terutama pada orang kulit putih).
3.4 Penyebab abortus berulang
1. Kelainan zygote: kelainan genetik (kromosomal) pada suami atau istri.
Gangguan hormonal.
Di wanita dengan abortus habitualis, ditemukan bahwa fungsi
glandula tiroidea kurang sempurna. Hubungan peningkatan antibodi
antitiroid dengan abortus berulang masih diperdebatkan karena
beberapa penelitian menunjukkan hasil yang berlawanan. Luteal phase
10
deficiency (LPD) adalah gangguan fase luteal. Gangguan ini bisa
menyebabkan disfungsi tuba dengan akibat transpor ovum terlalu cepat,
mobilitas uterus yang berlebihan, dan kesukarannidasi karena
endometrium tidak dipersiapkan dengan baik. Penderita dengan LPD
mempunyai karakteristik siklus haid yang pendek, interval post
ovulatoar kurang dari 14 hari dan infertil sekunder dengan recurrent
early losses. 2,3,4
2. Gangguan nutrisi. Berbagai penyakit seperti anemia berat, penyakit
menahun dan lain-lain dapat mempengaruhi gizi ibu sehingga
mengganggu persediaan berbagai zat makanan untuk janin yang sedang
tumbuh.
3. Penyakit infeksi. Infeksi Toksoplasma, virus Rubela, Cytomegalo dan
herpes merupakan penyakit infeksi parasit dan virus yang selalu
dicurigai sebagai penyebab abortus melalui mekanisme terjadinya
plasentitis. Mycoplasma, Lysteria dan Chlamydia juga merupakan agen
yang infeksius dan dapat menyebabkan abortus habituali. Autoimmune
disorder. Penyakit pembuluh darah kolagen lupus eritematosus sistemik
(SLE) dapat menyebabkan abortus, kemungkinan disebabkan oleh
adanya gangguan aliran darah. APS dikenal juga dengan nama Hughes
syndrome merupakan penyakit autoimun yang pada dekade akhir ini
makin dikenal sebagai salah satu penyebab abortus berulang. Tipe APS
ada dua, yakni ”primer” bila tidak disertai dengan penyakit pokok yang
mendasari dan ”sekunder” bila APS ini berhubungan dengan adanya
SLE, penyakit autoimun lain, infeksi dan neoplasma.
4. Kelainan pada serviks dan uterus. Abortus juga dapat disebabkan oleh
kelainan anatomik bawaan, laserasi uterus yang luas, serviks
inkompeten yang membuka tanpa rasa nyeri, sehingga ketuban
menonjol dan pecah. Di mioma uteri submukus terjadi gangguan
implantasi ovum yang dibuahi atau gangguan pertumbuhan dalam
kavum uteri (L.P, Kalalo, dkk, 2006).
11
3.5 Patofisiologi
Adanya peningkatan antibodi antifosfolipid merupakan kriteria
laboratorium yang diperlukan untuk membuat diagnosis. Namun, patogenesis dan
patofisiologi APS yang terjadi karena peningkatan antibodi tersebut belum
sepenuhnya terungkap. Antibodi antifosfolipid merupakan istilah yang
mencangkup antibodi terhadap antigen protein yang mengikat fosfolipid anionik
dan antibodi yang mengikat antigen fosfolipid anionik secara langsung, antara
lain:
- aCL:antibodi antikardiolipin
-LA: antibodi antikoagulan lupus
-αβ2-GPI: antibodi anti β2-GPI
-αFII:antibodi antiprotrombin (faktor II)
Antigen yang menjadi target utama antibodi adalah β2-glikoprotein I (β2-
GPI) dan protrombin. Antigen β2-GPI adalah suatu protein yang memiliki domain
untuk pengikatan fosfolipid anionik. Meskipun beperan dalam patogenesis APS,
fungsi β2-GPI sendiri belum jelas, tetapi secara in vitro protein ini dapat
berinteraksi dengan berbagai jenis sel, reseptor, dan enzim. Protrombin adalah
suatu proenzim yang akan menghasilkan trombin setelah dipecah oleh kompleks
enzim protrombinase. Selain β2-GPI, pada penderita APS dapat pula ditemukan
antibodi yang ditujukan terhadap fosfolipid itu sendiri, seperti antikardiolipin dan
antifosfatidilserin. Banyak mekanisme yang terlibat setelah munculnya antibodi-
antibodi tersebut yang pada akhirnya menyebabkan trombosis (vena, arteri, atau
plasenta) dengan manifestasi klinik APS. Namun, belum jelas mekanisme apa
yang paling berperan. Morbiditas dan mortalitas janin agaknya tidak hanya
disebabkan oleh trombosis plasenta, tetapi juga inflamasi plasenta yang
menyebabkan aktivasi komplemen dan gangguan fungsi trofoblas (Prawirohardjo,
S, 2010).
12
3.6 Klasifikasi
Kriteria diagnosis sindrom antifosfolipid revisi sydney (Miyakis, S, dkk,
2006).
Sindrom antifosfolipid ada jika setidaknya terdapat satu dari kriteria klinik dan
satu dari kriteria laboratorium berikut:
Kriteria Klinis Kriteria Laboratorium
1. Trombosis vaskular
Satu atau lebih episode klinis trombosis arteri, vena atau
pembuluh darah kecil pada organ atau jaringan manapun.
Trombosis harus dikonfirmasi dengan kriteria obyektif
yang valid (contoh temuan pasti menggunakan teknologi
pencitraan yang sesuai atau histopatologi).
Untuk konfirmasi histopatologi, trombosis harus ada bukti
yang signifikan tidak adanya inflamasi pada dinding
pembuluh darah
1. Lupus Antikoagulan (LA)
Terdapat LA dalam plasma pada 2 atau lebih
pemeriksaan dalam rentang minimal 12 minggu,
dideteksi berdasarkan guideline International
Society on Thrombosis and Haemostasis (ISTH)
2. Morbiditas Kehamilan
a) Satu atau lebih kematian janin dengan morfologi
normal pada atau setelah usia kehamilan 10 minggu
dengan morfologi normal yang didokumentasikan dengan
2.Anticardiolipin antibody(ACA)
Terdapat ACA IgG dan atau IgM dalam plasma/
serum pada titer medium atau tinggi (yaitu
>40GPL atau MPL, atau > 99th persentil) yang
13
ultrasound atau memeriksa janin secara langsung, atau
b) Satu atau lebih kelahiran prematur dengan morfologi
normal sebelum usia kehamilan 34 minggu yang
disebabkan oleh:
i) Eklampsia atau preeklampsia berat berdasarkan
definisi standar
ii) Insufisiensi plasenta, atau
c) Tiga atau lebih aborsi spontan yang terjadi berturut-
turut, disertai kelainan anatomi dan hormon maternal,
penyebab berupa kelainan kromosom maternal maupun
paternal disingkirkan.
dilakukan 2 kali atau lebih dalam rentang
minimal 12 minggu. Pemeriksaan diukur
menggunakan metode ELISA yang sudah
terstandarisasi.
3. Anti-β2 glycoprotein I
antibody (anti- β2-GPI)
Terdapat Anti-β glycoprotein I antibody IgG dan
atau IgM dalam serum/ plasma (dalam titer>
99th persentil) pada 2 atau lebih pemeriksaan
yang dilakukan dalam rentang minimal 12
minggu, diukur menggunakan metode ELISA
yang terstandarisasi.
3.7 Gejala Klinis
- Asimptomatik pada LA dan/atau ACA positif
- simptomatik pada LA dan/atau ACA positif:
Perempuan dengan:
1.Riwayat infertilisasi primer tanpa kelainan ginekologis dan kesuburan.
2.Riwayat keguguran.
3.Riwayat toksemia kehamilan
Adanya thrombosis
Arteri, vena atau pembuluh darah kecil pada jaringan atau organ
-Sindrom antibody antifosfolipid katastrofa.
Sindroma antibody antifosfolipid katastrofa adalah kegagalan organ
multisystem, sekunder terhadap thrombosis/infark dan menunjukkan gambaran
mikroangiopati pada pemeriksaan histology.
Kejadian vasopatik atau vaso-oklusif dapat terjadi pada setiap system
organ, maka padan anamnesis sangat penting untuk mendapatkan riwayat
penyakit pasien dan kemungkinan manifestasi pada organ yang spesifik, Penyakit
14
ini memiliki spectrum klinis yang luas, mulai dari asimptomatik secara klinis dan
indolen sarmpai yang perjalanan penyakit progresif secara cepat.
1. Mata.penglihatan kabur atau ganda
2. Kardioresepsi.Nyeri dada, menjalar ke lengan; napas pendek
3. Gastrointestinal.Nyeri perut,kembung,muntah.
4. Pembuluh darah perifer.Nyeri pembengkakan tingaki,kladukasio,ulseri
jari,dan nyeri jari tangan.
5. Muskuluskeletal.Nyeri tulang, nyeri sendi.
6. Kulit.Purpura/ petekie,ruam livedo retikularis temporer atau menetap, jari-
jari tangan/kaki kehitaman atau terlihat pucat.
7. Neurologi dan psikiatri.Pingsan,kejang,nyeri
kepala,parastesi,paralis,ascending weakness,tremor,gerakan
abnormal,hilangnya memori,masalah dalam pendidikan( sulit mengerti,
berkosentrasi yang dibaca dan dihitung)
8. Endokrin.Rasa lemah,fatique,artralagi,nyeri abdomen.
9. Urogenital.Hematuri, edema perifer
10. Riwayat kehamilan.Keguguran berulang,kelahiran premature,
pertumbuhan janin terlambat.
11. Riwayat keluarga.
12. Riwayat pengobatan (Sudoyo, Aru W. 2009).
3.8 Diagnosis
Diagnosis APS didasarkan pada kriteria klinis pada kehamilan adanya
tromboemboli, dan hasil pemeriksan laboratorium ditemukan tingginya
antifosfolipid antibod Titeries yang terdapat pada dua kali atau lebih hasil
pemeriksaan dengan interval 12 minggu. Klasifikasi APS tidak boleh
dilakukan apabila jarak antara hasil aPL yang positif dan manifestasi klinis
kurang dari 12 minggu atau lebih dari 5 tahun. Diagnosis APS ditegakkan
apabila memenuhi minimal 1 kriteria klinis dan 1 kriteria laboratorium.
Adanya aPL (LA /ACA/ anti β2-GPI) yang menetap sangat penting dalam
15
menegakkan diagnosis. Pada kriteria Sapporo dianjurkan rentang waktu
minimal adalah 6 minggu di antara 2 pemeriksaan dengan hasil positif, pada
kenyataannya tidak ada data yang mendukung validitas rentang tersebut. Oleh
karena itu pada revisi kriteria klasifikasi yang baru rentang waktu minimal
antara 2 hasil positif adalah 12 minggu hal tersebut untuk memastikan aPL
bersifat persisten karena aPL yang berada sementara dapat menyebabkan
kesalahan klasifikasi. Berdasarkan revisi kriteria klasifikasi APS maka pasien
APS dibedakan menjadi 2 kategori sebagai berikut:
Kategori I : apabila terdapat lebih dari satu pemeriksaan aPL positif
Kategori II : IIa. Hanya LA saja yang positif
IIb. Hanya ACA saja yang positif
IIc. Hanya anti β2-GPI saja yang positif (jurnal Yulaikah. S, 2010)
3.9 Diagnosa Banding
Sindrom antiphospolipid adalah satu dari beberapa keadaan protrombik
dimana trombosis terjadi baik pada vena atau arteri.Msekipun kondisi lain yang
dapat menjadi predisposisi terjadinya trombosis arteri dan vena dapat di deteksi
malalui pemeriksaan laboratorium rutin, adanay antibodi antifosfolipid mungkin
menjadi satu-satunya kelaianan pada pasien dengan sindrom antifosfolipid
sindrom primer.
Penting untuk dicatat bahwa karena waktu tromboplastin parsial teraktivasi
yang normal tidak menyingkirkan adanya antibodi antikoagulan lupus, seorang
pasien yang menunjukan kejadian trombolik pertama kali harus di scrining
antibodi antikardiolipin dan pemeriksaan lain yuang sensitif dengna antibodi
antikoagulan lupus.Diagnosis yang tidak diperkirakan pada yang sindrom
antifosfolipidnya menunjukak proses yang kronik dan lebihn endolen,
16
mengakibatkan terjadinya isekemia dan hilngnya fungsi organ yang lambat dan
progresif.
Faktor resiko sekunder yang meningkatkan kecendrungan trombosis harus
dicari. Beberapa faktor dapat mempengaruhi dinding vena dan arteri, termasuk
stasis, cedera vaskuler, obat-obatn seperti kontrasepsi oral, dan faktor resiko
tradisional untuk aterosklerosis.Sangat penting untuk menghilangkan dan
mengurangi faktor-faktor ini, karen kehadiran antibodi antifosfolipid saja tidak
cukup untuk menyebabkan terjadinya trombosis;”serangan kedua”
dikombinasikan dengan antibodi antifosfolipid diperlukan untuk terjadinya
trombosis.Akhirnya, bahkan pada pasien yang terbuky\ti menderita sindrom
antifosfolipid, mengurangi penyebab dan efeknya dapat sangat sulit. Sebagai
contoh , sindrom antifosfolipid dikaitkan dengan sindrom nefritis, yang juga
merupakan faktor resiko tromboemboli. Penyakit lain yang berhubungan dengan
APS seperti: ITP,kelainan aotuimun sekunder, penyakit kanker, penyakit infeksi,
penyakit hati kronis, sindrom hemolitik, Inkompatibilitas ibu dan bayi, dan
talasemia ( Sudoyo, Aru W. 2009).
3.10 Penatalaksanaan
Anti-thrombotic terapi adalah pengobatan utama mengingat risiko tinggi
berulang tromboemboli yang menjadi ciri kondisi ini. Uji klinis telah
menunjukkan bahwa pasien dengan antibodi antifosfolipid dan tromboemboli
vena harus ditangani dengan antagonis vitamin K (warfarin), wanita dengan
keguguran berulang harus menerima profilaksis dosis heparin dan aspirin. Pada
studi prospec-tively menunjukkan bahwa pada pasien setelah pemberian
antikoagulan dihentikan didapati bahwa risiko kekambuhan pada pasien tersebut
adalah antara 50% hingga 67% per tahun. Hasil Studi retrospektif pada pasien
yang tidak menerima terapi antithrombotic didapatkan kasus berulang terjadi 52%
hingga 69% pasien selama 5 hingga 6 tahun follow up tanpa terapi antitrombotik.
Antithrombotic Selama Kehamilan untuk pasien obstetrik dengan APS, standar
terapinya adalah dengan subcutaneous LMWH (Low-Molecular- Weight Heparin)
dan aspirin dosis rendah. Pada wanita dengan lipid ¬ antiphospho antibodi dan
17
keguguran berulang tanpa sejarah trombosis, disarankan aspirin dosis rendah
dalam kombinasi dengan profilaksis unfractionated heparin dosis sedang atau
profilaksis dosis heparin berat molekul rendah, yang didapatkan selama masa
kehamilan. Pengobatan Pendarahan pada Pasien dengan APS Perdarahan adalah
komplikasi yang jarang daripada trombosis pada pasien dengan APS.
Trombositopenia yang berat dapat mengakibatkan perdarahan, keadaan umum
pasien lemah, pasien dengan antibodi APS mungkin diberikan prothrombin.
Secara umum, jika pendarahan hasil dari antithrom-botic terapi, jenis
antithrombotic perlu dihentrikan, diberikan obat penawar tertentu (protamine
sulfat untuk heparins, vitamin K untuk warfarin) dan dukungan yang diberikan
transfusional (plasma beku untuk heparins atau warfarin, prothrombin kompleks
konsentrat untuk warfarin dan pertimbangan untuk transfusi sel darah merah
untuk gejala anemia) (Jurnal Yulaikah. S., 2010).
Saat ini dikenal dikenal 2 jenis heparin, yaitu : unfractional (UFH) dan
Low Molecular Weight Heparin (LMWH). Penggunaan aspirin dosis 60 -100
mg/hari efektif untuk APS dlm kehamilan. Kombinasi heparin (UFH ) dgn dosis
10.000 -26.600 U/hari dan aspirin 81 mg/hari dpt meningkatkan tercapainya
kehamilan aterm hingga 70 -80 %. Segera setelah memasuki inpartu pemberian
heparin harus dihentikan dan proses persalinan diawasi sebagaimana proses
persalinan normal. Apabila ada indikasi untuk terminasi perabdominal, pemberian
LMWH dihentikan 2 hari sebelumnya diganti dengan UFH dosis 5-10 U/hari dan
dihentikan 6 - 8 jam sebelum tindakan pembedahan. Bila hanya digunakan
LMWH, maka tindakan pembedahan dilakukan 24 jam setelah pemberian dosis
terakhir.
3.11 Komplikasi
Komplikasi kehamilan yang mengarah diagnosis APS adalah tiga atau
lebih keguguran spontan kurang dari 10 minggu yang tidak dapat dijelaskan, satu
atau lebih kematian janin yang tidak dapat dijelaskan pada atau setelah 10
minggu, dan kelahiran prematur (sebelum 35 minggu) karena preeklampsia berat
18
atau insufisiensi plasenta. Inhibitor lupus dan IgG antibodi antikardiolipin dengan
titer tinggi sangat kuat berhubungan dengan komplikasi trombotik. Inhibitor lupus
juga merupakan prediktor kuat untuk kejadian trombosis pada persalinan
(Prawirohardjo, S, 2010).
3.12 Prognosis
Wanita dengan aPL antibodies yang mengalami aborsi berulang memiliki
prognosis baik saat kehamilan jika dirawat dengan aspirin dan heparin (Jurnal
Yulaikah. S., 2010).
3.13 Pencegahan
Stop dan hindari merokok, hindari kontrasepsi oral atau terapi pengganti
estrogen, lakukan gerakan secara teratur, hindari terlalu lama berdiam diri di
tempat tidur (Jurnal Yulaikah. S., 2010).
BAB IV
MASALAH & PEMBAHASAN
4.1 Apa faktor penyebab terjadinya ACA pada pasien ini?
Faktor penyebab terjadinya ACA berdasarkan teori adalah gangguan auto
imun yang penyebabnya masih belum diketahui, namun menurut beberapa
sumber penyebabnya dapat diakibatkan karena virus, bakteri, pola hidup,
keturunan, dan pencemaran lingkungan. Kemudian setelah dikaji kembali,
pada pasien ini tidak ditemukan adanya penyimpangan pola hidup seperti
konsumsi makanan-makanan yang tidak sehat atau jung food. Begitu juga
dengan faktor keturunan, tidak ditemukan adanya anggota keluarga dengan
penyakit serupa atau kelainan darah yang lainnya, sedangkan pada faktor
19
pencemaran lingkungan ditemukan adanya hubungan dengan pasien ini yaitu
adanya pabrik rokok yang berjarak 200 meter dari kediaman pasien ini.
Sehingga kemungkinan pencemaran lingkungan seperti udara dapat menjadi
faktor resiko terjadinya ACA.
4.2 Apa penyebab terjadinya abortus berulang dan IUFD berulang pada
pasien ini?
Penyebab terjadinya abortus berulang dan IUFD pada pasien ini karena
adanya gangguan nutrisi yaitu tidak sampainya nutrisi yang disalurkan
melalui darah kedalam janin karena darah yang membeku terlalu cepat, pada
awalnya kebutuhan nutrisi atau pasokan makanan ke janin tidak terlalu
tinggi,namun seiring bertambahnya usia janin kebutuhan pasokan makanan
dan nutrisi semakin meningkat, sehingga semakin bertambah usia janin
semakin tinggi resiko abortus dan kematian janin.
4.3 Apa efek samping pada pasien ini setelah tindakan operatif?
Efek samping tindakan operatif pada pasien ini adalah hemoragik post
partum yang disebabkan karena pemberian terapi heparin yang diberikan
selama kehamilan. Maka dari itu pemberian heparian dihentikan 2 hari
sebelum tindakan operatif dengan tujuan menghindari terjadinya HPP ec.
Koagulopati dimana fungsi heparin itu adalah sebagai anticoagulant
(pengencer darah) yang digunakan untuk mencegah pembentukan gumpalan
darah.
4.4 Bagaimana prognosis pada pasien ini?
Prognosa pada pasien ini baik selama pemberian terapinya tepat dan
adekuat saat kehamilan dan pasca persalinan.
20
BAB V
KESIMPULAN
Anti Phospholipid Syndrome (APS), merupakan penyakit autoimun yang
ditandai dengan adanya antibodi antiphospholipid dan mengalami gejala
trombosis (darah di pembuluh darah vena/arteri mudah membeku) atau
mengalami keguguran berulang. Antibodi adalah protein yang dihasilkan oleh
sistem pertahanan tubuh untuk melawan benda asing yang menyerang tubuh,
misalnya bakteri atau virus. Beberapa jenis protein yang berperan dalam proses
pembekuan darah, ternyata menjadi target yang diserang oleh antibodi
21
phospholipid. Akibatnya, darah mudah membeku. Selain itu, antibodi
phospholipid juga dapat menyerang protein yang terdapat sel endotel, yaitu sel-sel
yang melapisi permukaan dinding pembuluh darah. Akibatnya permukaan
pembuluh darah rusak dan memicu pembentukan bekuan darah. Antibodi
phospholipid juga merangsang penggumpalan sel-sel pembekuan darah atau
disebut Trombosis. Trombosis dapat terjadi pada pembuluh darah vena maupun
pembuluh darah arteri. Trombosis dapat menyebabkan kerusakan pada organ yang
disuplai oleh pembuluh darah tersebut. Kerusakan dapat terjadi pada satu organ
atau pada keadaan yang parah kerusakan dapat terjadi pada beberapa organ dan
mengakibatkan kematian. Penderita APS, dapat mengalami keguguran berulang
karena darah pembawa nutrisi untuk janin terhambat, tidak dapat masuk ke dalam
rahim. Keguguran dapat terjadi pada awal kehamilan atau pada usia kehamilan 3
bulan dimana keadaan tersebut terjadi pada pasien ini dengan keguguran berulang
1 kali pada umur kehamilan 5 bulan,2 kali pada umur kehamilan 3 bulan. Selain
itu juga terjadi IUFD 2 kali pada usia kehamilan 7 bulan.
DAFTAR PUSTAKA
Rantam, Fedik A. 2003. Metode Imunologi. Surabaya. Universitas Airlangga.
Prawirohardjo, S. Ilmu Kebidanan. Edisi keempat. Cetakan ketiga. Penerbit:
PT.Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. 2010. Hal 790-792.
Miyakis S, Lockshin MD, Atsumi T, Branch DW, Brey RL, Cervera R, et al.
International consensus statement on an update of the classification criteria
22
for definite antiphospholipid syndrome. J Thromb Haemost 2006; 4: 295-
306.
Sudoyo, Aru W. 2009. Imu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing.
L P. Kalalo, S. Darmadi, E. G. Dachlan. “The Habitualis Abortion in
Antiphospholipid Syndrome”. Indonesian Journal of Clinical Pathology
and Medical Laboratory, Vol. 12, No. 2, Mar 2006: 82-87.
Yulaikah, S. Jurnal “Evidence Based Of Antiphospholipid Syndrome (APS)
Terhadap Kehamilan”. 2010.
23