36
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Inkompatibilitas ABO merupakan suatu keadaan akibat reaksi ikatan antara antibodi dalam plasma darah dengan antigen pada sel darah merah. Keadaan ini dapat dijumpai pada kesalahan memberikan tranfusi darah dari donor ke penerima dan ketidaksesuaian golongan darah ibu dan janinnya pada waktu kehamilan. Inkompatibilitas ABO dalam kasus kesalahan memberikan tranfusi darah dapat mengakibatkan reaksi tranfusi letal (lethal tranfusion reaction), sehingga membutuhkan penanganan dengan cepat dan tepat. Kasus inkompatibilitas pada kesalahan tranfusi sangat jarang ditemukan pada era kesehatan modern seperti sekarang. Pengidentifikasian golongan darah donor dan penerima (crossmatch test) sudah memadai, selain itu tuntutan sikap untuk disiplin dan berhati-hati dalam memberikan pelayanan kesehatan oleh praktisi kesehatan menghindarkan dari kelalaian dalam pemberian tranfusi darah yang tidak sesuai dengan resipien. Inkompatibilitas ABO dalam kehamilan adalah suatu keadaan dimana umur sel darah merah janin atau neonatus yang memendek akibat antibodi ibunya. Inkompatibilitas ABO lebih sering ditemukan pada bayi golongan darah A atau B dan ibu golongan darah O. Angka kejadian dalam kasus ini lebih bermakna dibandingkan dengan kehamilan inkompatibel pada ibu golongan darah A atau B. Kehamilan inkompatibilitas ibu golongan darah O dengan janin golongan darah A atau B ditemukan sekitar 15-40% dari seluruh kehamilan. Inkompatibilitas ABO dalam keadaan ini dapat menyebabkan bayi kuning (ikterus) dan kadar bilirubin meningkat, jika ikterus pada bayi tidak mendapatkan penanggulangan yang baik akan berakibat kernikterus (penimbunan bilirubin di sel-sel otak), yang berdampak keterbelakangan mental, kelumpuhan serebral (cerebral palsy), tuli, dan bahkan kematian. Inkompatibilitas ABO didapatkan Sekitar 20%-30% pada penderita ikterus neonatal dari berbagai ras. Sejumlah penelitian menemukan bahwa resiko kejadian PHN (Penyakit Hemolitik Neonatal) – ABO lebih tinggi pada ras kulit berwarna dibandingkan dengan ras kulit putih. Di Afrika

Makalah ABO Inkompatibilitas

Embed Size (px)

DESCRIPTION

t

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar belakang

Inkompatibilitas ABO merupakan suatu keadaan akibat reaksi ikatan antara antibodi dalam plasma darah dengan antigen pada sel darah merah. Keadaan ini dapat dijumpai pada kesalahan memberikan tranfusi darah dari donor ke penerima dan ketidaksesuaian golongan darah ibu dan janinnya pada waktu kehamilan. Inkompatibilitas ABO dalam kasus kesalahan memberikan tranfusi darah dapat mengakibatkan reaksi tranfusi letal (lethal tranfusion reaction), sehingga membutuhkan penanganan dengan cepat dan tepat. Kasus inkompatibilitas pada kesalahan tranfusi sangat jarang ditemukan pada era kesehatan modern seperti sekarang. Pengidentifikasian golongan darah donor dan penerima (crossmatch test) sudah memadai, selain itu tuntutan sikap untuk disiplin dan berhati-hati dalam memberikan pelayanan kesehatan oleh praktisi kesehatan menghindarkan dari kelalaian dalam pemberian tranfusi darah yang tidak sesuai dengan resipien.Inkompatibilitas ABO dalam kehamilan adalah suatu keadaan dimana umur sel darah merah janin atau neonatus yang memendek akibat antibodi ibunya. Inkompatibilitas ABO lebih sering ditemukan pada bayi golongan darah A atau B dan ibu golongan darah O. Angka kejadian dalam kasus ini lebih bermakna dibandingkan dengan kehamilan inkompatibel pada ibu golongan darah A atau B. Kehamilan inkompatibilitas ibu golongan darah O dengan janin golongan darah A atau B ditemukan sekitar 15-40% dari seluruh kehamilan.Inkompatibilitas ABO dalam keadaan ini dapat menyebabkan bayi kuning (ikterus) dan kadar bilirubin meningkat, jika ikterus pada bayi tidak mendapatkan penanggulangan yang baik akan berakibat kernikterus (penimbunan bilirubin di sel-sel otak), yang berdampak keterbelakangan mental, kelumpuhan serebral (cerebral palsy), tuli, dan bahkan kematian.Inkompatibilitas ABO didapatkan Sekitar 20%-30% pada penderita ikterus neonatal dari berbagai ras. Sejumlah penelitian menemukan bahwa resiko kejadian PHN (Penyakit Hemolitik Neonatal) ABO lebih tinggi pada ras kulit berwarna dibandingkan dengan ras kulit putih. Di Afrika Selatan ditemukan 47% dari penderita ikterus neonatal disebabkan oleh inkompatibilitas ABO. Dalam masyarakat Indonesia, kelompok golongan darah O merupakan persentase tertinggi dibandingkan kelompok golongan darah lainnya yaitu 40,8%, diikuti golongan A, B kemudian. AB. Di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta (RSUPN CM), 59,2% ibu bergolongan darah O melahirkan bayi golongan darah A atau B.mInkompatibilitas ABO sering ditemukan pada kasus ikterus neonatal, meskipun bermanifestasi ringan sampai sedang jika tidak ditangani dengan segera dapat berakibat buruk bagi kesehatan bayi. pemahaman yang baik mengenai jenis inkompatibilitas beserta gejala klinis yang muncul, dapat sangat membantu praktisi kesehatan untuk dapat membedakan jenis inkompatibilitas yang dihadapi sehingga dapat pula menentukan jenis terapi yang tepat-guna bagi janin. Oleh sebab itu, inkompatibilitas ABO perlu untuk dipelajari dan dicermati dengan baik.B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mahasiswa mampu menjelaskan konsep dasar inkompatibilitas ABO serta melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan inkompatibilitas ABO

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui struktur anatomi dan fisiologi sel darah manusia

b. Mengetahui sistem penggolongan darah manusia

c. Mengetahui pengertian inkompatibilitas ABO.

d. Mengetahui penyebab inkompatibilitas ABO.

e. Mengetahui manifestasi klinis inkompatibilitas ABO.

f. Mengetahui patofisiologi inkompatibilitas ABO

g. Mengetahui prognosis dan komplikasi pada inkompatibitas ABO

h. Mengetahui pemeriksaan diagnostik inkompatibilitas ABO

i. Mengetahui penatalaksanaan pada inkompatibilitas ABO

j. Membuat asuhan keperawatan pada pasien dengan inkompatibilitas ABO

BAB IITINJAUAN PUSTAKAA. Anatomi Fisiologi

1. Komponen darah manusiaVolume darah manusia sekitar 6-8% (5 liter) dari total berat badan. Komponen penyusun darah terdiri dari sel darah dan plasma darah. Sel darah merupakan 45% penyusun komponen darah. Sel darah terdiri dari sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan keping darah (trombosit). Semua sel darah tersebut terendam dalam larutan kompleks yang disebut plasma darah. Kandungan plasma sebesar 55% dari komponen penyusun darah, dan sisanya 1% merupakan sel darah putih dan keping darah.Gambar 1. Komponen penyusun darah

a. Sel darah merah

Eritrosit merupakan bagian utama dari sel darah. Setiap milliliter darah mengandung rata-rata sekitar 5 miliar eritrosit (sel darah merah), yang secara klinis sering dilaporkan dalam hitung terdapat 5 juta per millimeter kubik (mm3). Eritrosit berbentuk lempeng bikonkaf,yang merupakan sel gepeng berbentuk piringan yang dibagian tengah dikedua sisinya mencekung,seperti sebuah donat dengan bagian tengah mengepeng bukan berlubang dengan diameter 8m, tepi luar tebalnya 2m dan bagian tengah 1m.Gambar 2. Penampang eritrosit

Sel darah merah memiliki struktur yang jauh lebih sederhana dibandingkan kebanyakan sel pada manusia. Pada hakikatnya, sel darah merah merupakan suatu membran yang membungkus larutan hemoglobin (protein ini membentuk sekitar 95% protein intrasel sel darah merah), dan tidak memiliki organel sel, misalnya mitokondria, lisosom atau aparatus Golgi. Sel darah manusia, seperti sebagian sel darah merah pada hewan, tidak berinti. Namun, sel darah merah tidak inert secara metabolis. Melalui proses glikolisis, sel darah merah membentuk ATP yang berperan penting dalam proses untuk mempertahankan bentuknya yang bikonkaf dan juga dalam pengaturan transpor ion (mis. oleh Na+-K+ ATPase dan protein penukar anion serta pengaturan air keluar-masuk sel. Bentuk bikonkaf ini meningkatkan rasio permukaan-terhadap-volume sel darah merah sehingga mempermudah pertukaran gas. Sel darah merah mengandung komponen sitoskeletal yang berperan penting dalam menentukan bentuknya.b. Sel darah putihJumlah sel darah putih sekitar 5-10 ribu dalam setiap mikrometerdarah manusia. Fungsi utamanya adalah melawan infeksi. Selain itu jg berfungsi untuk mencerna zat seperti sel yang sudah mati, sisa jaringan dan eritrosit yg sudah tua. Sel darah putih juga berfungsi sebagai proteksi terhadap benda asing yg masuk ke aliran darah, seperti alergen dan proteksi melawan sel-sel yg bermutasi, seperti kanker. Sel darah putih bersifat diapedesis, dapat dengan mudah keluar-masuk jaringan dan pembuluh darah.Gambar 3. Sel darah putih

c. Keping darahMerupakan bagian terkecil dari sel darah, dengan diameter 1-4 mikrometer. Trombosit mempunyai peranan penting dalam proses pembekuan darah. Volume normal dari trombosit berkisar 150-450 ribu mikroliter.Gambar 4. Platelets

d. Plasma darahPlasma merupakan cairan yg relatif jernih, cairan berwarna kekuningan, yg mengandung gula, lemak, protein, dan larutan garam yg berfungsi membawa sel darah merah, lekosit, trombosit dan bahan kimia lain. Kandungan plasma darah sebagian besar (90-95%) adalah air, dan sisanya merupakan substansi albumin, globulin dan fibrinogen, dan zat metabolik lainnya.Gambar 5. Plasma darah

2. Pembentukan sel Darah Merah

Eritrosit (sel darah merah) dihasilkan pertama kali di dalam kantong kuning (yolk sac) saat embrio pada minggu-minggu pertama. Proses pembentukan eritrosit disebut eritropoisis. Setelah beberapa bulan kemudian, eritrosit terbentuk di dalam hati, limfa, dan kelenjar sumsum tulang. Produksi eritrosit ini dirangsang oleh hormon eritropoietin. Setelah dewasa eritrosit dibentuk di sumsum tulang membranosa. Semakin bertambah usia seseorang, maka produktivitas sumsum tulang semakin turun.

Sel pembentuk eritrosit adalah hemositoblas yaitu sel batang myeloid yang terdapat di sumsum tulang. Sel ini akan membentuk berbagai jenis leukosit, eritrosit, megakariosit (pembentuk keping darah). Rata-rata umur sel darah merah kurang lebih 120 hari. Sel-sel darah merah menjadi rusak dan dihancurkan dalam sistem retikulum endotelium terutama dalam limfa dan hati.Hemoglobin dipecah menjadi asam amino (globin) untuk digunakan sebagai protein dalam jaringan-jaringan dan zat besi dalam hem dari hemoglobin dikeluarkan untuk dibuang dalam pembentukan sel darah merah lagi. Sisa hem dari hemoglobin diubah menjadi bilirubin (warna kuning empedu) dan biliverdin, yaitu yang berwarna kehijau-hijauan yang dapat dilihat pada perubahan warna hemoglobin yang rusak pada luka memar.

Gambar 6. Pembentukan sel darah

3. Penghancuran sel darah merahPenghancuran sel darah merah terjadi dalam sistem retikuloendotelial yaitu dalam hati dan limpa. Hemoglobin bebas dipecah menjadi heme (persenyawaan Fe-protoporfirin) dan globin. Persenyawaan Fe-protoporfirin kemudian menjadi hematin. Rantai porfirin dipecah oleh suatu oksidasi pada jembatan a-metan, Fe tetap terikat pada persenyawaan ikatan globin pun tetep tidak terputus. Persenyawaan tersebut dinamakan verdo-hemoglobin. Kemudian Fe dan globin lepas dan terbentuk biliverdin. Biliverdin selanjutnya akan menjadi bilirubin. Fe yang dilepaskan itu diikat oleh protein dalam jaringan dan melalui plasma diangkut ke sumsum tulang untuk dipergunakan pada pembentukan heme, sedangkan globin yang dilepaskan akan dipecah menjadi asam amino lagi yang kemudia disintesis menjadi protein.Bilirubin yang dibentuk (tidak larut dalam air) diikat oleh albumin dan diangkut dalam plasma dari tempat penghancuran ke hati. Dalam hati bilirubin ini bersenyawa dengan asam glukoronat dengan bantuan enzim glukoronil transverase. Persenyawaan ini larut dalam air dan menyebabkan reaksi Hijmans van den Bergh positif. Bilirubin yang belum bersenyawa dengan asam glukoronat akan bereaksi indirek dengan reagensia Hijmans van den Bergh. Persenyawaan bilirubin-glukoronid ini akan keluar dari hati dan masuk ke dalam saluran pencernaan. Oleh bakteri yang ada pada usus, persenyawaan ini akan diubah menjadi urobilin yang akan dikeluarkan bersama-sama tinja dalam bentuk sterkobilin. Sebagian urobilinogen yang terdapat dalam usus akan diserap kembali melalui plasma, sebagian kembali ke hati dan sebagian lagi dikeluarkan melalui ginjal.

Gambar 7. Destruksi eritrosit

4. Golongan Darah ManusiaManusia memiliki Alel ganda pada golongan darah ABO dan Rh. Dalam golongan darah sistem ABO, penggolongan darah pada manusia dipengaruhi oleh alel IO, IA, dan IB. Sifat alel golongan darah manusia memiliki ketentuan sebagai berikut:

a. Sifat alel IO resesif terhadap IA dan IB,

b. IA dan IB saling kodominan dan tidak saling mengalahkan. c. Interaksi ketiga alel tersebut menghasilkan 4 variasi fenotip golongan darah, yaitu A, B, AB dan O. Atas dasar sifat dari alel tersebut, didapatkan karakteristik sebagai berikut:

a. Orang dengan alel IA dapat membentuk aglutinogen atau antigen yang disebut antigen-A pada permukaan eritrosit dan membentuk antibodi atau aglutinin atau anti-B dalam serum atau plasma darah. b. Orang dengan alel IB dapat membentuk antigen-B dalam eritrosit, dan zat anti-A dalam serum darah. c. Golongan darah AB memiliki antigen-A dan antigen-Bd. Golongan darah O tidak memiliki antigenGambar 8. Karakteristik golongan darah ABO:

Gambar 9. Klasifikasi golongan darah ABO:

B. Konsep Inkompatibilitas ABO

1. Definisi inkompatibilitas ABOInkompatibilitas grup darah (ABO) merupakan suatu mekanisme yang melibatkan ikatan antara antibodi plasma darah dengan antigen pada permukaan (membran) sel darah merah (eritrosit). Reaksi antara antigen-antibodi ini menimbulkan reaksi penggumpalan darah (aglutinasi) (Joyce Poole, 2001).Keadaan inkompatibilitas ABO dapat dialami oleh seorang yang mendapatkan tranfusi darah dan antara ibu dan janinnya selama periode kehamilan. Inkompatibilitas ABO merupakan suatu kondisi sebagai akibat dari ketidaksesuaian golongan darah antara ibu dan janin yang dikandungnya (Ann Longsdon, 2012). Inkompatibilitas ABO dalam kehamilan adalah suatu keadaan dimana umur sel darah merah janin atau neonatus yang memendek akibat antibodi ibunya2. Etiologi inkompatibilitas ABO2.1 Pada tranfusi darah

Kasus hemolitik akibat inkompatibilitas ABO disebabkan karena ketidaksesuaian golongan darah antara penerima dan pendonor. Ketidaksesuaian ini mengakibatkan adanya reaksi penghancuran pada sel darah merah donor oleh antibodi penerima. Keadaan ini disebut lethal tranfusion reaction.

Keadaan ini terjadi karena kurang hati-hati dan teliti dalam memberikan transfusi darah pada:

1) Golongan A, B, atau AB kepada penerima yang bergolongan darah O

2) Golongan darah A atau AB kepada penerima yang bergolongan darah B

3) Golongan darah B atau AB kepada penerima yang bergolongan darah A.

2.2 Pada kehamilan

Kasus hemolitik akibat inkompatibilitas ABO disebabkan oleh ketidakcocokan dari golongan darah ibu dengan golongan darah janin, dimana umumnya ibu bergolongan darah O dan janinnya bergolongan darah A, atau B, atau AB. Dikarenakan dalam kelompok golongan darah O, terdapat antibodi anti-A dan anti-B (IgG) yang muncul secara natural, dan dapat melewati sawar plasenta. Situasi ini dapat juga disebabkan oleh karena robekan pada membran plasenta yang memisahkan darah maternal dengan darah fetal, sama halnya seperti pada previa plasenta, abruptio placenta, trauma, dan amniosentesis.3. Manifestasi klinis inkompatibilitas ABO

3.1 Pada tranfusi darah Awal manifestasi klinis umumnya tidak spesifik, dapat berupa demam menggigil, nyeri kepala, nyeri pada panggul, sesak napas, hipotensi, hiperkalemia, dan urin berwarna kemerahan atau keabuan (hemoglobinuria). Pada reaksi hemolitik akut yang terjadi di intravaskular dapat timbul komplikasi yang berat berupa disseminated intravascular coagulation (DIC), gagal ginjal akut (GGA), dan syok. Pada reaksi hemolitik tipe lambat memunculkan gejala dan tanda klinis reaksi timbul 3 sampai 21 hari setelah transfusi berupa demam yang tidak begitu tinggi, penurunan hematokrit, peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi, ikterus prehepatik, dan dijumpainya sferositosis pada apusan darah tepi. Beberapa kasus reaksi hemolitik tipe lambat tidak memperlihatkan gejala klinis, tetapi setelah beberapa hari dapat dijumpai DAT yang positif. Haptoglobin yang menurun dan dijumpainya hemoglobinuria dapat terjadi, tetapi jarang terjadi GGA. Kematian sangat jarang terjadi, tetapi pada pasien yang mengalami penyakit kritis, reaksi ini akan memperburuk kondisi penyakit3.2 Pada kehamilan

Manifestasi yang ditimbulkan inkompatibilitas ABO pada kehamilan terhadap janin bervariasi mulai dari ikterus ringan dan anemia sampai hidrops fetalis.

Manifestasi yang muncul pada bayi setelah persalinan meliputi:

1) Asfiksia

2) Pucat (oleh karena anemia)

3) Distres pernafasan

4) Jaundice

5) Hipoglikemia

6) Hipertensi pulmonal

7) Edema (hydrops, berhubungan dengan serum albumin yang rendah)

8) Koagulopati (penurunan platelets dan faktor pembekuan darah)

9) Kern ikterus (oleh karena hiperbilirubinemia)Inkompatibilitas ABO ialah penyebab tersering dari kasus hemolitik pada neonatus. Sekitar 15% dari bayi yang lahir berisiko untuk mengalami hal ini, namun manifestasi nyata hanya terjadi pada sekitar 0,3-2,2%. Inkompatibilitas ABO terjadi jika ibu hamil dengan golongan darah tipe O dan janin yang dikandungnya memiliki golongan darah A atau B. Keadaan ini diperkirakan kurang dari limabelas persen (15%) kehamilan, dan kejadian hemolitik pada kasus ini tidak lebih dari tiga persen (3%). Kasus hemolitik akibat inkompatibilitas ABO yang parah hanya mencapai satu persen (1%) dari seribu kehamilan.

Inkompatibilitas pada kelompok golongan darah mayor di antara ibu dan fetus umumnya akan berakhir pada kasus yang lebih ringan dibandingkan pada kasus inkompatibilitas Rh. Penyakit ini sering tidak parah jika dibandingkan dengan inkompatibilitas Rh, ditandai anemia neonatus sedang dan hiperbilirubinemia neonatus ringan sampai sedang serta kurang dari 1% kasus yang membutuhkan transfusi tukar. Inkompabilitas ABO tidak pernah benar-benar menunjukkan suatu penyebab hemolisis. Mayoritas inkompatibilitas ABO diderita oleh anak pertama (40%), dan anak-anak berikutnya makin lama makin baik keadaannya. Pada beberapa kasus, penyakit hemolitik ABO tampak hiperbilirubinemia ringan sampai sedang selama 24-48 jam pertama kehidupannya. Hal ini jarang muncul dengan anemia yang signifikan. Tingginya jumlah bilirubin dapat menyebabkan kernikterus terutama pada neonatus preterm.Gambar 10. Hydrops fetalis dan ikterus

4. Patofisiologi inkompatibilitas ABO

Patofisiologi yang dapat menjelaskan timbulnya reaksi hemolitik pada inkompatibilas ABO akibat kesalahan transfusi adalah antibodi dalam plasma pasien akan melisiskan sel darah merah yang inkompatibel. Meskipun volume darah inkompatibel hanya sedikit (10-50 ml) namun sudah dapat menyebabkan reaksi berat. Semakin banyak volume darah yang inkompatibel maka akan semakin meningkatkan risiko.Umumnya proses hemolitik terjadi di dalam pembuluh darah (intravaskular), yaitu sebagai reaksi hipersensitivitas tipe II. Reaksi hemolitik akut akibat transfusi merupakan antigen (major incompatability) yang berinteraksi dengan antibodi pada resipien yang berupa imunoglubulin M (IgM) anti-A, anti-B, atau terkadang antirhesus. Proses hemolitik dibantu oleh reaksi komplemen sampai terbentuknya C5b6789 (membrane attack complex). Reaksi komplemen ini terjadi di dalam intravaskuler dan merupakan reaksi hemolisis tipe akut. Pada beberapa kasus juga dapat terjadi interaksi plasma donor sebagai antibodi dan eritrosit resipien sebagai antigen (minor incompatability). Malah dapat terjadi interaksi plasma donor sebagai antibodi dengan eritrosit donor sendiri sebagai antigen (inter-donor incompatability) pada saat diberikan kepada resipien, tetapi kasus seperti ini jarang. Reaksi hemolitik pada tranfusi tipe lambat diawali dengan reaksi antigen-antibodi yang terjadi di intravaskular, namun proses hemolitik terjadi secara ekstravaskular. Plasma donor yang mengandung eritrosit merupakan antigen (major incompatability) yang berinteraksi dengan IgG dan atau C3b pada resipien. Selanjutnya eritrosit yang telah diikat IgG dan C3b akan dihancurkan oleh makrofag di hati. Jika eritrosit donor diikat oleh antibodi (IgG1 atau IgG3) tanpa melibatkan komplemen, maka ikatan antigen-antibodi tersebut akan dibawa oleh sirkulasi darah dandihancurkan di limpa.Gambar 11. Reaksi antigen-antibodi pada lethal blood tranfusion

Sedangkan patofisiologi yang dapat menjelaskan timbulnya penyakit inkompabilitas ABO pada kehamilan terjadi ketika sistem imun ibu menghasilkan antibodi yang melawan sel darah merah janin yang dikandungnya. Pada saat ibu hamil, eritrosit janin dalam beberapa insiden dapat masuk kedalam sirkulasi darah ibu yang dinamakan fetomaternal microtransfusion. Bila ibu tidak memiliki antigen seperti yang terdapat pada eritrosit janin, maka ibu akan distimulasi untuk membentuk imun antibodi. Imun anti bodi tipe IgG tersebut dapat melewati plasenta dan kemudian masuk kedalam peredaran darah janin sehingga sel-sel eritrosit janin akan diselimuti (coated) dengan antibodi tersebut dan akhirnya terjadi aglutinasi dan hemolisis, yang kemudian akan menyebabkan anemia (reaksi hipersensitivitas tipe II). Hal ini akan dikompensasi oleh tubuh bayi dengan cara memproduksi dan melepaskan sel-sel darah merah yang imatur yang berinti banyak, disebut dengan eritroblas (yang berasal dari sumsum tulang) secara berlebihan.

Produksi eritroblas yang berlebihan dapat menyebabkan pembesaran hati dan limpa yang selanjutnya dapat menyebabkan rusaknya hepar dan ruptur limpa. Produksi eritroblas ini melibatkan berbagai komponen sel-sel darah, seperti platelet dan faktor penting lainnya untuk pembekuan darah. Pada saat berkurangnya faktor pembekuan dapat menyebabkan terjadinya perdarahan yang banyak dan dapat memperberat komplikasi. Lebih dari 400 antigen terdapat pada permukaan eritrosit, tetapi secara klinis hanya sedikit yang penting sebagai penyebab penyakit hemolitik. Kurangnya antigen eritrosit dalam tubuh berpotensi menghasilkan antibodi jika terpapar dengan antigen tersebut. Antibodi tersebut berbahaya terhadap diri sendiri pada saat transfusi atau berbahaya bagi janin.

Hemolisis yang berat biasanya terjadi oleh adanya sensitisasi maternal sebelumnya, misalnya karena abortus, ruptur kehamilan di luar kandungan, amniosentesis. Penghancuran sel-sel darah merah dapat melepaskan pigmen darah merah (hemoglobin), yang mana bahan tersebut dikenal dengan bilirubin. Bilirubin secara normal dibentuk dari sel-sel darah merah yang telah mati, tetapi tubuh dapat mengatasi kekurangan kadar bilirubin dalam sirkulasi darah pada suatu waktu. Eritroblastosis fetalis menyebabkan terjadinya penumpukan bilirubin yang dapat menyebabkan hiperbilirubinemia, yang nantinya menyebabkan jaundice pada bayi. Bayi dapat berkembang menjadi kernikterus. Gejala lain yang mungkin hadir adalah peningkatan kadar insulin dan penurunan kadar gula darah, dimana keadaan ini disebut sebagai hydrops fetalis. Hydrops fetalis ditujukkan oleh adanya penumpukan cairan pada tubuh, yang memberikan gambaran membengkak (swollen). Penumpukan cairan ini menghambat pernafasan normal, karena paru tidak dapat mengembang maksimal dan mungkin mengandung cairan. Jika keadaan ini berlanjut untuk jangka waktu tertentu akan mengganggu pertumbuhan paru. Hydrops fetalis dan anemia dapat menimbulkan masalah jantung.Gambar 12. Mekanisme inkompatibilitas ABO pada kehamilan

5. Prognosis dan komplikasi pada inkompatibilitas ABO

5.1 Inkompatibilitas ABO pada reaksi transfusi

Dalam kasus ini penderita dapat mengalami masalah yang serius hingga kematian. Penatalaksanaan yang tepat dapat menyelamatkan jiwa penderita. Komplikasi yang mungkin muncul pada inkompatibilitas ABO sebagai akibat reaksi tranfusi adalah gagal ginjal, syok anafilaktik, dan kematian5.2 Inkompatibilitas ABO pada kehamilan

Secara keseluruhan, angka survival dapat mencapai 85-90%, namun dapat berkurang sebanyak 15% pada janin dengan hidrops fetus. Kebanyakan janin yang bertahan hidup dari gestasi allo-imunisasi, tetap memiliki keutuhan fungsi neurologis. Walau begitu, abnormalitas neurologis telah dilaporkan berkaitan dengan derajat beratnya anemia dan asfiksia perinatal. Risiko tuli sensori-neural juga dapat meningkat.

Pada dasarnya prognosis inkompatibilitas ABO pada kehamilan adalah baik, karena hemolisis pada neonatus pada umumnya berlangsung singkat dan jarang menjadi hydrops fetalis. Hal ini disebabkan oleh:1) IgG anti-A (atau anti-B) yang memasuki sirkulasi fetus dari ibu yang mempunyai antigen A (atau antigen B) atau ibu dengan golongan darah O sangat sedikit yang berikatan dengan sel darah merah fetus2) Surface antigen A (atau antigen B) sel darah merah fetus belum berkembang dengan sempurna pada masa kehamilan, sehingga hanya sedikit (dalam jumlah kecil) reaksi antigen-antibodi yang terjadi.Komplikasi yang mungkin terjadi pada inkompatibilitas ABO pada kehamilan adalah kern ikterus, gagal jantung oleh karena anemia berat, hydrops fetalis (jarang terjadi). 6. Pemeriksaan diagnostik inkompatibilitas ABO

6.1. Pemeriksaan diagnostik pada inkompatibilitas ABO reaksi tranfusia. Pemeriksaan crossmatch ulang antara darah pendonor dan penerimab. Direct Antiglobulin Test (DAT)c. Pemeriksaan serologis rhesusd. Urinalisis didapatkan adanya hemoglobinuriae. Pemeriksaan lain untuk mengetahui komplikasi dari reaksi hemolitik, antara lain: Renal function test LDH, bilirubin dan haptoglobin Status koagulasi (prothrombin time, partial thromboplastin time, dan fibrinogen).6.2. Pemeriksaan diagnostik pada inkompatibilitas ABO pada kehamilana. Hitung sel darah merahPengukuran status anemia akan lebih akurat menggunakan darah vena sentral atau arteri dibandingkan dengan menggunakan darah kapiler. Pemeriksaan darah akan memberikan gambaran sel darah merah yang ternukleasi, retikulositosis, polikromasia, anisositosis, sferosit, dan fragmentasi sel. Hitung retikulosit dapat mencapai 40% pada pasien tanpa intervensi intrauterine. Hitung sel darah merah yang ternukleasi meningkat disertai peningkatan palsu leukosit, menunjukkan keadaan eritropoiesis. Sferosit lebih umum ditemukan pada kasus inkompatibilitas ABO melalui pemeriksaan gambaran darah tepi.Retikulosit merupakan sel darah merah imatur. Jika terjadi anemia, sumsum tulang berusaha mengkompensasi dengan meningkatkan aktivitas eritropoiesis, yang tercermin pada peningkatan hitung retikulosit. Jika produksisu msum tulang terganggu maka hitung retikulosit akan tetap rendah.Gambar 13. Nilai normal hemoglobin, hematokrit dan retikulosit pada neonatus

b. Direct Coomb Test (DCT)

Untuk mengetahui apakah sel darah merah diselubungi oleh IgG atau komplemen, artinya apakah ada proses sensitisasi pada sel darah merah di invivo (pada tubuh pasien).

Bahan yang dipergunakan : sel darah merah pasien

Sampel yang diperlukan : darah dengan antikoagulan EDTA

Gambar 14. DCT negatif

Gambar 15. DCT positif

c. Pemeriksaan bilirubin serum

Ikterik kerap nampak jika kadar bilirubin mencapai >5 mg/dl. Kadarbilirubin (total) pada bayi baru lahir bisa mencapai 15 mg/dl, namun jika masih 15mg/dl.

7. Penatalaksanaan pada inkompatibilitas ABO

7.1 Pada inkompatibilitas ABO reaksi tranfusi

a. Pemberian tranfusi harus diberhentikanb. Pemberian cairan intravena

Dilakukan hidrasi dengan PZ (3000ml/m2/hari)c. Untuk pencegahan GGA: Dapat diberikan dopamin dosis rendah 1-5 mcg/kg/menit Diuretik osmotik: manitol (100 ml/kg/hari), selanjutnya diberikan 30ml/kg/hari atau furosemid 1-2ml/kgBBd. Jika dijumpai tanda DIC, pertimbangkan untuk dilakukan tranfusi FFP, kriopresipitat, dan/ atau trombosit.7.2 Pada inkompatibilitas ABO masa kehamilan

1) Farmakologi

a. Pemberian antihistamin

b. Pemberian steroids

c. Cairan intravena2) Non farmakologi

a. Fototerapi

Bilirubin yang bersifat fotolabil, akan mengalami beberapa fotoreaksi apabila terpajan ke sinar dalam rentang cahaya tampak, terutama sinar biru (panjang gelombang 420 nm - 470 nm) dan hal ini akan menyebabkan fotoisomerasi bilirubin. Turunan bilirubin yang dibentuk oleh sinar bersifat polar oleh karena itu akan larut dalam air dan akan lebih mudah `diekskresikan melalui urine. Bilirubin dalam jumlah yang sangat kecil juga akan dipecah oleh oksigen yang sangat reaktif secara irreversibel yang diaktifkan oleh sinar. Produk foto-oksidasi ini juga akan ikut diekskresikan melalui urine dan empedu. Fototerapi kurang efektif diterapkan pada bayi dengan penyakit hemolitik, tetapi mungkin dapat berguna untuk mengurangi laju akumulasi pigmen setelah melakukan transfusi tukar.Beberapa hal yang perlu diperhatikan selama berlangsung terapi sinar ini ialah:

a) Diusahakan agar tubuh bayi terpapar sinar seluas mungkin, bila perlu bukalah pakaian bayi

b) Kedua mata dan gonad ditutup dengan penutup yang memantulkan cahaya untuk melingungi sel-sel retina dan mencegah gangguan maturasi seksual

c) Bayi diletakkkan 8 inci di bawah sinar lampu, jarak ini ialah jarak terbaik untuk mendapat energi cahaya yang optimal

d) Posisi bayi diubah setiap 18 jam agar seluruh badan terpapar sinar

e) Pengukuran suhu bayi setiap 4-6 jam/kali

f) Kadar bilirubin diukur setiap 8 jam atau sekurang-kurangnya sekali dalam 24 jam

g) Perhatikan hidrasi bayi, bila perlu tingkatkan konsumsi cairan bayih) Lama terapi sinar dicatat

b. Transfusi darah

Transfusi eritrosit dengan packed red cells (PRC) yang sudah diuji crossmatch merupakan terapi paling umum untuk anemia berat pada neonatus. Mengingat risikonya, baik infeksi maupun non-infeksi, perlunya transfusi darah sering diperdebatkan. Berikut kriteria tranfusi untuk neonatus:

Gambar 16. Tabel kriteria tranfusi neonatus

c. Suplementasi zat giziDefisiensi zat besi pada periode neonatal disebabkan oleh proses kehilangan darah kronis atau deplesi cepat cadangan zat besiyang jumlahnya terbatas. Defisiensi zat besi terjadi lebih berat pada bayi prematur yang pertumbuhannya lebih cepat dan cadangan zat besinya minimal. Oleh karena itu suplementasi zat besi sering diperlukan untuk mendukung proses eritropoiesis yang efektif. Terapi utama adalah mengatasi penyebab deplesi zat besi (misalnya kehilangan darah akut atau kronis, masalah absorbsi) dan

memberikan suplementasi dengan zat besi elemental 6 mg/kgBB/hari.d. Tranfusi tukar

Transfusi tukar bertujuan untuk membersihkan antibodi yang ada di sirkulasi atau karena tingginya kadar bilirubin akibat proses hemolisis. Pada umumnya, transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut:a) Anemia hemolitik isoimun berat dengan eritrosit tersensitisasi dan isoantibodi dalam sirkulasib) Anemia hemolitik kronis atau anemiahemoragik dengan peningkatan tekananvena sentralc) Koagulopati konsumtifd) Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek < 20 mg%

e) Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat, yaitu 0,3-1 mg%/jam

f) Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung

g) Bayi dengan kadar hemoglobin talipusat 3dtk15. Genitalia : perempuan, labia mayora hampir tertutupRefleks rooting : (+)

Refleks sucking : (+)

Refleks Moro : (+) 13

Refleks tonic neck : (+)

Refleks grasp : plantar +/+, palmar +/+III. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tanggal Pemeriksaan Hasil

25 Maret 2010Hb

Ht

Leukosit

Trombosit11,9 gr/dL

36 vol %

8.300/ul

201.000/ul

25 Maret 2010Hb

Ht

Leukosit

Trombosit

Gol.darah

GDS

Na

K

Cl

Ureum darah

Creatinine darah

CRP

Foto toraks15,8 gr/dL

50 vol%

20.000/ul

334.000/ul

A/+

56 mg/dL

137 mEq/L

6,1 mEq/L

104 mEq/L

34 mg/dL

1,14 mg/dL

(-)

Kesan :

Pulmo: DD/TTN

Awal HMD

Cor : besar dan bentuk

dalam batas normal

25 Maret 2010Bilirubin total

Bilirubin indirek

Bilirubin direk24,7 mg/dL

23,9 mg/dL

0,8 mg/dL

IV. RESUME

Pasien lahir pada tanggal 25 Maret 2010 pukul 17.15 WIB dengan cara sectio caesaria atas indikasi partus lama. Pasien terlihat ikterik di seluruh tubuh. BB 2200 gr, PB 46 cm, H-36 minggu, ketuban pecah dini 15,5 jam, warna jernih. Pasien tidak memiliki kelainan bawaan, anus (+). APGAR Score 8/9. Minum ASI habis 70 cc. Mekoneum (+), BAK (+).Pada 25 Maret 2010 pukul 11.15 WIB pasien terlihat sesak nafas, merintih, nafas cuping hidung (+), sianosis (+). Oleh karena itu pasien dipindahkan ke ruang rawat perinatologi RSUP Fatmawati. Pasien mengalami sesak nafas. Perdarahan (-), pucat (-), muntah (-), kejang (-), demam (-), refleks hisap baik, minum habis 7 x 4 cc, tonus otot baik, BAB dan BAK normal. Selama hamil ibu pasien mengeluh tidak nafsu makan, berat badan hanya naik 5 kg. Riwayat sakit, minum obat dan jamu selama hamil disangkal ibu. Golongan darah ibu adalah O, tidak tahu rhesus (+) atau (-). Pasien merupakan anak pertama, di keluarga pasien tidak ada yang menderita penyakit hemolitik, pembesaran hati dan limpa, dan anemia.Pada pemeriksaan fisik tanggal 26 Maret 2010 ditemukan :

Tanda vital : HR : 120 x / menit RR : 43 x / menit Suhu : 36 C diukur di aksila

Kulit : ikterik (+) di seluruh tubuh, pucat (-), plethora (-), ptekie (-), hematom (-), sianosis (-).

Kepala : normocephali, cephal hematom (-), rambut halus.

Mata : SI +/+, katarak (-), ikterik pada sklera +/+Hidung : napas cuping hidung (-).

Mulut : pucat (-).

Ekstremitas : pucat (-), ikterik +, plantar crease, CRT > 3 dtkGenitalia : perempuan, labia mayora hampir tertutupPemeriksaan penunjang foto toraks pada 25 Maret 2010 menunjukkan gambaran corakan bronkovaskuler kasar, tampak streaky line minimal.Pemeriksaan laboratorium 25 Maret 2010 :

Tanggal Pemeriksaan Hasil

25 Maret 2010Bilirubin total

Bilirubin indirek

Bilirubin direk24,7 mg/dL

23,9 mg/dL

0,8 mg/dL

V. PENATALAKSANAAN

1. ASI/PASI 8x20cc2. IVFD N5 + KCl + Ca Glukonas 8,6cc/jam3. Cefotaxim 2 x 100 mg4. Aminosteril 35 cc5. Terapi sinar6. Cek albumin, UL, Cek ulang bilirubin serum1. Analisa DataNoData EtiologiMasalah

1.DS:

Ibu bayi M mengatakan bahwa kulit bayinya berwarna kuning saat lahirDO:

Ikterik pada seluruh tubuh,

Bilirubin total :24,7 mg/dL

Bilirubin indirek: 23,9 mg/dL

Bilirubin direk: 0,8 mg/dLHemolisis ekstravaskuler

Peningkatan bilirubin yang tidak terkonjugasi dalam darah

Hepar tidak mampu melakukan konjungasi

Sebagian masuk kembali ke siklus enterohepatik

Peningkatan bilirubin yang tidak terkonjugasi dalam darah

Ikterus

Gangguan integritas kulit

Integritas kulit

2. DS:

Ibu bayi M mengatakan

bahwa bayinya sesak napas

DO:

pasien terlihat sesak nafas,

merintih, nafas cuping hidung (+), CRT > 3dtkHepar tidak mampu melakukan konjungasi

Sebagian masuk kembali ke siklus Enterohepatik

Peningkatan bilirubin yang tidak terkonjugasi dalam darah

Gangguan transport OksigenGangguan perfusi jaringan

Gangguan

Perfusi jaringan

3.DS:

Ibu bayi M mengungkapkan

bayinya memiliki kelainan dengan BAB berwarna putih

Ibu bayi M mengatakan bahwa kulit bayinya berwarna kuning saat lahir

DO:

Feses pucat

Bilirubin total :24,7 mg/dL

Bilirubin indirek: 23,9 mg/dL

Bilirubin direk: 0,8 mg/dLSumber informasi tentang penyakit inadekuat

Kurang pengetahuan tentang etiologi, proses, dan pengobatan tentang penyakitAnsietas

Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan gangguan transport oksigen sekunder peningkatan bilirubin 2. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan ikterus3. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakitIntervensi Keperawatan1. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan gangguan transport oksigen sekunder peningkatan bilirubinTujuan : asupan oksigen bayi adekuat

Kriteria hasil : dalam waktu 1x24 jam, napas normal 20-25x/menit

Mandiri - Observasi

1) Monitor bunyi paru; frekuensi napas, kedalaman, dengan indikator dari penggunaan alat penunjang yang efektif.2) Awasi tingkat kesadaran atau status mental. Selidiki adanya perubahan tingkat kesadaran

Mandiri - health education

3) Jelaskan prosedur pengobatan kepada keluarga4) Jelaskan penggunaan alat bantu pernafasan

Kolaborasi

5) Konsultasikan dengan dokter tentang kebutuhan akan pemeriksaan gas darah arteri (GDA) dan penggunaan alat bantu yang dianjurkan6) Konsultasikan kebutuhan oksigenasi klien

7) Siapkan klien untuk ventilasi atau oksigenasi mekanis bila perlu.

Intervensi Keperawatan

2. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan ikterus

Tujuan : integritas kulit bayi normal

Kriteria hasil : dalam waktu 1x24 jam kadar bilirubin direk dan indirek normal, warna

kulit normalMandiri - Observasi

1) Monitor tanda-tanda vital2) Monitor warna kulit setiap 8 jam3) Monitor kadar bilirubin direk dan indirek.4) Masase daerah kulit yang menonjol5) Jaga kelembapan dan kebersihan kulitKolaborasi dan Health education

6) Kolaborasi pemberian terapi sinar7) Berikan health education8) Kolaborasi dalam pemberian pemberian:

ASI/PASI 8x20cc IVFD N5 + KCl + Ca Glukonas 8,6cc/jam

ge 19

Intervensi Keperawatan3. Ansietas berhubungan dengan feses pucat

Tujuan : meningkatkan pengetahuan keluarga tentang proses penyakit

Kriteria hasil : keluarga bisa menerima kondisi klien, kecemasan keluarga menurunMandiri Health education

1) Memberikan pengetahuan tentang proses penyakit2) Berikan kesempatan pada keluarga untuk mengungakapkan perasaan3) Bersama keluarga memberikan perawatan personal hygiene4) Libatkan keluarga dalam setiap tindakan keperawatan kepada pasien .

DAFTAR PUSTAKA

1) Sabiston, David C. Buku ajar bedah (sabistons essentials surgery).alih bahasa Petrus Andrianto, Timan I.S; editor: Jonathan Oswari. Jakarta: EGC, 19952) Wang, et.al., (2005). Hemolytic Disease of the Newborn Caused by a High Titer Anti-Group B IgG From a Group A Mother. Pediatric Blood & Cancer

3) Haque KM, and Rahman M. (2000). An Unusual Case of ABO-Haemolytic Disease of the Newborn. Bangladesh Medical Research Council 4) Mennuti, M. (2011). Management of Pregnancy with ABO Incompatibility.The Foundation for Exxcellence in Women's Health Care5) Stiller RJ, et.al., Fetal ascites associated with ABO incompatibility:case report and review of the literature. Am J Obstet Gynecol 1996. No.175(S): p.1371-1372

6) McDonnell M, et.al.( 1998 ). Hydrops fetalis due to ABO incompatibility. Arch Dis Child Fetal neonatal Ed. 78: p. 220-2217) Yi-Bin Chen. (2014). Leukemia/Bone Marrow Transplant Program, Massachusetts General Hospital.

8) Joyce Poole, (2001). International Blood Group Reference Laboratory.. ENCYCLOPEDIA OF LIFE SCIENCES & Nature Publishing Group: Bristol, UK9) Intensive Care Nursery House Staff Manual.2004). Hemolytic Disease of the Newborn. The Regents of the University of California