Upload
khoirunnisa
View
335
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semut merupakan salah satu model yang ideal untuk mengukur dan memonitor
keanekaragaman hayati karena beberapa alasan. Serangga yang tergolong ke dalam famili
Formicidae dan ordo Hymenoptera ini sangat banyak dan dominan di dalam ekosistim, baik
sebagai predator atau bersimbiosis dengan tumbuhan dan berbagai organisme lain, mudah
dikoleksi dengan cara yang bisa distandarisasi, cukup menyebar pada suatu lokasi,
memungkinkan untuk diidentifikasi, dan sebagainya (e.g., Wilson, 1976; Hölldobler &
Wilson, 1990). Sebagian besar semut mempunyai lokasi yang tertentu dan mempunyai
sarang perenial dengan wilayah untuk mencari makan yang terbatas, sehingga mereka dapat
pula digunakan sebagai indikator bagi kondisi lingkungan (Chung & Mohamed, 1996; Peck
et al., 1998; Hashimoto et al., 2001, Andersen et al., 2002; Longino et al., 2002).
Pengetahuan mengenai keanekaragaman semut pada suatu area dapat memberikan
informasi yang sangat berguna bagi perencanaan konservasi, karena inventarisasi spesies
semut pada suatu area akan berhubungan dengan data tentang distribusinya,
mendokumentasikan apakah ada yang jarang, terganggu, atau adanya spesies yang amat
penting secara ekologi (adanya spesies baru atau adanya spesies yang hanya dapat ditemukan
pada habitat tertentu). Jumlah dan komposisi semut pada suatu area mengindikasikan
kesehatan suatu ekosistim dan memberikan gambaran pada kehadiran organisme lain, karena
banyaknya interaksi semut dengan berbagai tumbuhan maupun hewan lain (Alonso dan
Agusti, 2000).
Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang sangat
tinggi, akan tetapi masih sedikit sekali publikasi yang dapat ditemukan mengenai hal itu.
Khusus mengenai keanekaragaman semut di Indonesia, baru pada tahun 2001, Ito et. al.
melaporkan bahwa telah ditemukan 216 jenis semut di Kebun Raya Bogor. Pada tahun 2005,
selama meneliti fluktuasi semut pada sebuah area di dalam Kebun Raya Bogor, ditemukan
pula 10 spesies semut lainnya (Herwina dan Nakamura, 2008).
Keanekaragaman semut telah diteliti pada beberapa tipe habitat di negara tropika
lainnya, misalnya pada kanopi pohon-pohon di hutan hujan (Itino and Yamane, 1995,
Widodo et al. 2001), di lantai hutan (Yamane et al. 1996), di hutan savanna (Andersen,
1991), pada lahan perkayuan semi arid tropika Australia (Andersen et al. 2002). Kebanyakan
penelitian semut di negara Asia Tenggara (termasuk India dan tropical Australia) dilakukan
di daerah hutan (Khoo, 1990; Chung dan Mohamed, 1996; Basu, 1997; Bruhl, et al. 1998)
dan hanya sedikit sekali penelitian pada daerah yang telah dijamah manusia (Sota, et al. 2001,
Ito et al. 2001, Andersen, 2002).
Potensi semut sebagai bioindikator telah banyak dikembangkan di Australia
(Andersen, 2002). Di North Carolina dan Virginia ditemukan bahwa semut berpotensi
sebagai bioindikator agroekosistem. Kehadiran spesies semut di suatu area erat kaitannya
dengan faktor manajemen, variasi tanah dan praktek penanaman (Peck et al., 1998). Semut
adalah predator yang penting, dan diprediksikan dapat melindungi tanaman dari hama jika
dapat dimengerti dan diteliti dengan benar (Philpott dan Armbrecht, 2006).
B. Rumusan Masalah
Di Indonesia, belum ditemukan informasi mengenai keanekaragaman semut dan
fungsinya di dalam ekosistim pertanian, hutan maupun ekosistim lainnya. Oleh karena itu,
dapat dirumuskan beberapa masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah keanekaragaman spesies semut yang terdapat pada beberapa tipe
daerah pertanian di Lubuk Minturun?
b. Apakah terdapat perbedaan jenis semut berdasarkan usia tanaman padi?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dilaksanakannya penelitian mengenai struktur komunitas dan peranan ekologi
semut sebagai predator serangga hama pada beberapa lanskap pertanian di Lubuk Minturun
ini adalah sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi keanekaragaman spesies semut yang terdapat pada beberapa tipe
lanskap ekosistem pertanian di Lubuk Minturun.
b. Mengidentifikasi spesies semut yang berpotensi sebagai bioindikator bagi kesehatan
ekosistim pertanian
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat dimanfaatkan sebagai bagian informasi
awal mengenai komunitas semut di lanskap pertanian dan pada gilirannya dapat digunakan
dalam upaya pengendalian hama pertanian di Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Data mengenai keanekaragaman dan komposisi spesies semut merupakan dasar yang
dibutuhkan dalam penggunaan semut untuk memonitor perubahan atau perbaikan lingkungan.
Walaupun banyak spesies semut yang mampu membuat sarang dalam kondisi yang cukup
variatif, namun banyak juga yang memerlukan kriteria tertentu dan khusus sehingga dapat
digunakan sebagai indikator perubahan habitat atau keberhasilan restorasi. Ada beberapa
spesies semut di seluruh dunia yang dapat beradaptasi untuk hidup pada area yang telah
“diganggu” dan mengembangkan koloni dengan cepat. Semut seperti ini dapat menjadi
indikator adanya perusakan habitat. Kebanyakan spesies semut hidup pada koloni secara tetap
dan tidak gampang berpindah habitat. Semut menjadi ideal untuk program monitoring karena
dapat di sampling secara berulang kali dengan menggunakan metoda yang sama, dapat
memberi informasi mengenai bagaimana struktur vegetasi, kepadatan musuh alami, kualitas
tanah dan kepadatan predator berubah seiring dengan waktu (Alonso dan Agusti, 2000).
Penelitian mengenai spesies semut di hutan hujan tropika wilayah Asia tenggara telah
mulai berkembang dan telah dilaporkan adanya diversitas spesies semut yang sangat luar
biasa (e.g., Brühl et.al., 1998; Yamane, 1996). Akan tetapi, di Indonesia, belum ada publikasi
yang solid mengenai fauna semut, kecuali yang dilaporkan oleh Ito et al. (2001) (tapi lihat
juga Dammermann, 1948 untuk wilayah Krakatau, disebutkan dalam Ito et.al., 2001). Ito et
al. meneliti mengenai fauna semut di Kebun Raya Bogor, Jawa Barat, dengan menggunakan
7 metode sampling pada tahun 1985 dan antara tahun 1990 dan 1998. Secara keseluruhan,
mereka menemukan 216 spesies yang tergabung ke dalam 9 sub subfamily. Melalui
perbandingan hasil penelitian ini dengan berbagai laporan dari wilayah hutan hujan tropika
Asia, mereka menjelaskan bahwa komposisi spesies di Kebun Raya Bogor sama dengan yang
ditemukan di wilayah hutan hujan dataran rendah lainnya di Jawa Barat, tetapi berbeda
dengan yang ditemukan pada hutan hujan di wilayah pegunungan. Jumlah spesies yang
ditemukan di Kebun Raya Bogor lebih rendah dibandingkan dengan yang dilaporkan telah
ditemukan pada hutan primer dataran rendah di wilayah Asia lainnya (misalnya, Brühl et al.,
1998 dan lihat Ito et al., 2001 sebagai referensi selanjutnya). Walaupun demikian, Kebun
Raya Bogor, yang terisolasi di pusat sebuah daerah perkotaan, dengan banyak gangguan dari
manusia, menyimpan diversitas semut yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang di
temukan di wilayah subtropika dan temperate (misalnya., 267 spp. Untuk seluruh Jepang dan
138 pada “seasonal” hutan hujan sub tropika di bagian barat Australia (Ito et al., 2001).
Pada penelitian tentang semut yang juga dilakukan selama 3.5 tahun di dalam Kebun
Raya Bogor (luas area 15 x 20 m2, yang ditanami dengan 30 Ipomea carnea) dengan
sampling yang dilakukan secara intensif (setiap satu atau dua minggu sekali) menggunakan
pitfall trap, didapatkan kurva akumulasi species semut yang asimtot. Diperkirakan hampir
semua jenis semut pada lokasi penelitian telah terkoleksi, yaitu 55 spesies. Spesies semut
yang dominan adalah Pheidole plagiaria, Anoplolepis gracilipes dan Odontoponera
denticulata (Herwina dan Nakamura, 2008). Jumlah jenis yang ditemukan ini lebih tinggi
dibandingkan dengan jumlah spesies semut yang ditemukan dengan menggunakan metoda
yang sama pada beberapa lokasi di daerah hutan di Western Gath India, yaitu 36 spesies
(Basu, 1997). Penemuan ini menunjukkan keanekaragaman semut yang sangat tinggi di
Indonesia, namun penelitian dan informasi yang ada masih sangat terbatas.
Pada 3 lokasi yang berbeda (tanaman sayuran polikultur yang banyak pestisida, padi
polikultur dengan sayuran dan palawija yang sedikit pestisida, dan padi monokulktur tanpa
pestisida) dii Daerah Aliran Sungai (DAS) Cianjur, Jawa Barat, telah ditemukan pula dua
genus Pheidole yang dominan, diikuti dengan A. gracilipes dan O. denticulata. Dari
pengamatan lapangan, beberapa semut predator terlihat dominan disalah satu lokasi
dibandingkan dengan lokasi lainnya (Yuherwandi, belum dipublikasikan). Kecendrungan
yang tampak ini menimbulkan keingintahuan untuk melihat lebih jauh pengaruh habitat serta
cara pemanfaatan lahan yang berbeda terhadap keanekaragaman dan potensi semut sebagai
bioindikator lingkungan dan predator bagi serangga lainnya, khususnya predator bagi
serangga hama.
BAB IIIMETODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di daerah persawahan Lubuk Minturun, Kecamatan Koto
Tangah, Padang. lanskap pertanian di daerah ini tergolong kompleks (heterogen) karena
dikelilingi habitat hutan sekunder, kebun, semak, dan sungai. Selain itu cara tanam padi
pada area ini tidak serempak, sehingga pada satu hamparan memiliki umur tanaman padi
yang berbeda. Untuk mendapatkan keanekaragaman serangga pada umur padi yang
berbeda, di setiap blok dilakukan pengambilan contoh serangga pada umur tanaman padi
antara 6 hingga 12 minggu setelah tanam. Pemilihan umur tersebut adalah untuk
menyeragamkan kondisi pematang (kondisi tanah dan rumput) yang merupakan tempat
pemasangan perangkap untuk pengambilan contoh serangga.
B. Keanekaragaman Semut (Hymenoptera: Formicidae) berdasarkan masa pertumbuhan padi di Lubuk Minturun
1. Pengambilan sampel Semut
Pengambilan sampel pada pertanaman padi di Lubuk Minturun dilakukan
sebanyak tiga kali dalam satu musim. Pada tanaman padi sampel diambil saat
tanaman padi berumur 20, 50, dan 80 hari setelah tanam. Hal ini dapat dilakukan
karena pertumbuhan pertanaman padi di lapangan lebih seragam. Pengambilan
sampel semut di setiap titik sampel pada jalur transek dilakukan dengan
menggunakan perangkap jebak (pitfall trap). Perangkap jebak terbuat dari gelas
plastik dengan volume 220 ml, diameter mulut 7 cm dan tinggi 10 cm. Gelas diisi
25 ml larutan air sabun secukupnya untuk mengurangi tegangan permukaan,
sehingga serangga yang terperangkap tenggelam dan mati. Perangkap jebak
digunakan untuk memerangkap serangga yang aktif di permukaan tanah, termasuk
semut (Heong et al 1991; Schonenly et al. 1998; Yaherwandi, et al. 2006). Pada
saat menyusuri jalur transek, species semut yang ditemukan dikoleksi pula dengan
menggunakan aspirator. Faktor lingkungan, seperti suhu, kelembaban, curah hujan
dan keadaan cuaca dicatat. Demikian pula halnya dengan kondisi vegetasi disetiap
titik sampel.
4.3.2. Analisis data
Analisis data Keanekaragaman dan kelimpahan spesies semut dilakukan
dengan menggunakan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wienner, indek kekayaan
spesies dan indeks kemerataan Simpson. Untuk menghitung kekayaan spesies,
indeks Shannon-Wienner dan indeks kemerataan Simpson digunakan program
Ecological metodology for Windows. Untuk menentukan perbedaan kekayaan,
keanekaragaman dan kemerataan spesies semut digunakan analisis ragam (One way
ANOVA) dan uji jarak berganda Duncan (DNMRT) 95% menggunakan program
Statistica 6.0 for Windows.
BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN
A. Jumlah Individu dan spesies semut yang ditemukan pada persawahan Lubuk
Minturun
Umur
padi
No. Pit
fall trap
Banyak serangga
pada
pengamatan ke
Jenis serangga
pengamatan ke
1 1
1-20 1 1 Leptogenenys diminota
2 1 Leptogenenys diminota
3 1 Leptogenenys diminota
4 3 Leptogenenys diminota
5 1 Leptogenenys diminota
6 1 Leptogenenys diminota
7 2 Leptogenenys diminota
8 1 Leptogenenys diminota
9 0 -
10 0 -
11 1 Leptogenenys diminota
12 2 Leptogenenys diminota
13 3 Leptogenenys diminota
14 4 Leptogenenys diminota
15 1 Leptogenenys diminota
16 1 Leptogenenys diminota
17 0 -
18 1 Leptogenenys diminota
19 0 -
20 0 -
total 24
Umur
padi
No. Pit
fall trap
Banyak serangga
pada
pengamatan ke
Jenis serangga
pengamatan ke
1 1
1-20 1 3 Odontomacus similinus
2 1 Odontomacus similinus
3 1 Odontomacus similinus
4 3 Odontomacus similinus,Leptogenenys diminota
5 0 -
6 0 -
7 2 Odontomacus similinus
8 1 Odontomacus similinus,Leptogenenys diminota
9 2 Odontomacus similinus,Leptogenenys diminota
10 0 -
11 0 -
12 2 Odontomacus similinus
13 2 Odontomacus similinus
14 5 Odontomacus similinus
15 2 Odontomacus similinus,Leptogenenys diminota)
16 1 Odontomacus similinus
17 2 Odontomacus similinus
18 0 -
19 0 -
20 0 -
total 27
Umur
padi
No.
Pit
fall
trap
Banyak serangga
pada pengamatan
ke
Jenis serangga
pengamatan ke
1 2 3 1 2 3
50-100 1 3 4 5 Odontomacus similinus,
Leptogenenys diminota
Odontomacus similinus
2 2 3 2 Odontomacus similinus,
Odontomacus similinus,
Odontomacus similinus,
3 1 3 3 Leptogenenys diminota
Leptogenenys diminota
Leptogenenys diminota
4 4 5 1 Odontomacus similinus,
Odontomacus similinus,
Odontomacus similinus,
5 0 3 6 Leptogenenys diminota
Leptogenenys diminota
Leptogenenys diminota
6 0 5 7 Odontomacus similinus,
Odontomacus similinus,
Odontomacus similinus,
7 2 4 6 Leptogenenys diminota
Leptogenenys diminota
Leptogenenys diminota
8 4 4 5 Odontomacus similinus,
Odontomacus similinus,
Odontomacus similinus,
9 3 3 6 Leptogenenys diminota
Leptogenenys diminota
Leptogenenys diminota
10 0 5 4 Odontomacus similinus,
Odontomacus similinus,
Odontomacus similinus,
11 0 3 5 Leptogenenys diminota
Leptogenenys diminota
Leptogenenys diminota
12 2 4 5 Odontomacus similinus,
Odontomacus similinus,
Odontomacus similinus,
13 2 1 6 Leptogenenys diminota
Leptogenenys diminota
Leptogenenys diminota
14 5 4 5 Odontomacus similinus,
Odontomacus similinus,
Odontomacus similinus,
15 2 3 7 Leptogenenys diminota
Leptogenenys diminota
Leptogenenys diminota
16 4 3 2 Odontomacus similinus,
Odontomacus similinus,
Odontomacus similinus,
17 2 4 3 Leptogenenys diminota
Leptogenenys diminota
Leptogenenys diminota
18 0 2 3 Odontomacus similinus,
Odontomacus similinus,
Odontomacus similinus,
19 0 3 0 Leptogenenys diminota
Leptogenenys diminota
Leptogenenys diminota
20 0 4 0 Odontomacus similinus,
Odontomacus similinus,
Odontomacus similinus,
Total 36 69 77
B. Kerapatan serangga tanah di lokasi persawahan penelitian dengan cara pitfall trap
Umur padi Nama Takson Kerapatan/m2
1-20 Semut hitam (Leptogenenys diminota) 24/100m2= 0,0024 m2
Semut merah (Odontomacus similinus) -
20-50 Semut merah(Odontomacus similinus)
18/100m2= 0,0018 m2
Semut hitam (Leptogenenys diminota) 9/100m2= 0,0009m2
50-100 Semut merah (Odonomacus similinus) 124/100m2= 0,0124 m2
semut hitam (Leptogenys peugeti) 58/100m2= 0,0058 m2
BAB VPEMBAHASAN
` Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan data dari tabel pengamatan diatas dapat
diketahui bahwa kerapatan populasi disuatu tempat dapat diukur dengan menghitung
besarnya populasi persatuan ruang habitat yang didiami oleh populasi organisme tersebut.
Setelah melakukan perhitungan dari ke 20 sampel yang di ujikan, diketahui bahwa semut
merah pada umu padi 50-100 memiliki kerapatan yang tinggi dibandingkan dengan hewan
tanah yang lainnya. Karena kami melakukan pengamatan sebanyak 3 kali.
Kondisi lingkungan yang kami amati dilihat dari tekstur tanahnya tidak kering, cocok
ungtuk perkembangan ekosistem yang ada disana. Selain itu tanah telihat subur berdasarkan
kandungan bahan orgaiknya didata pada percobaan pengukuran kadar material organik.
Semut adalah kelompok serangga yang kelimpahan dan rentang penyebarannya paling luas,
dan dapat dijumpai di hampir semua jenis habitat, kecuali perairan. Wilson (1987)
menjelaskan, bahwa semut adalah kelompok serangga yang paling mampu beradaptasi.
Beberapa catatan memperlihatkan bahwa tidak kurang dari 24 genera semut yang diduga
hidup pada jutaan tahun yang lalu, masih dijumpai hingga saat ini, di antaranya
genus Ponera, Tetraponera, Aphaenogaster, Monomorium, Iridomyrmex, Formica, Lasius,
dan Camponotus. Banyak jenis semut dapat bersifat invasif dan sekaligus merusak. Misalnya,
semut Anoplolepis gracilipes tercatat sebagai salah satu spesies yang bersifat invasif dan
dominan terhadap spesies organisme yang lain (Miller, 2004; Davis et al., 2008). Spesies ini
menimbulkan masalah di Australia karena mampu mendominasi sebagian besar wilayah di
bagian utara Australia, serta membunuh 1/3 populasi kepiting darat merah lokal, dan
dikuatirkan akan mengubah ekosistem di beberapa tempat yang lain.
Namun, kajian-kajian yang lain menjelaskan peran semut yang menguntungkan bagi
ekosistem, misalnya peranannya sebagai perantara proses perombakan oleh organisme yang
lain. Aktivitas semut di dalam tanah (mereka bertindak sebagai pengolah tanah, misalnya
pada saat pembuatan sarang) secara tidak langsung mempengaruhi tekstur tanah, yang pada
gilirannya akan mempercepat proses penguraian.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai keanekaragaman serangga
berdasarkan masa tanam padi, ternyata ditemukan beberapa species yang bebeda setiap masa
tanam padi. Pada saat padi berumur 1- 20 hari, serangga yang kami temukan yaitu semut
hitam (Leptogenenys diminota). Berbeda dengan masa pertumbuhan padi pada saat
penyiangan dan pemupukan. Species yang kami temukan berupa semut merah (Odontomacus
similinus) dan semut hitam (Leptogenenys diminota) sebanyak 27 ekor. Berbeda lagi pada
masa padi berumur 50-100 hari kami melakukan 3 kali pengamatan. Sehingga kami
menemukan banyak semut di dalam jebakan, yang terdiri dari Odontomacus similinus dan
Leptogenenys diminota.
BAB VIKESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penganmatan penjebakan hewan dengan cara pit fall trap terdapat
beberapa hewan yang terjebak disana. Dari keselurahan dari hasil pengamatan terlihat bahwa
hewan tanah yang paling banyak didapatkan adalah semut merah. Disamping itu hewan
hewan tersebut banyak memiliki peranan dalam ekosistem tersebut. Peran semut yang
menguntungkan bagi ekosistem, misalnya peranannya sebagai perantara proses perombakan
oleh organisme yang lain. Aktivitas semut di dalam tanah (mereka bertindak sebagai
pengolah tanah, misalnya pada saat pembuatan sarang) secara tidak langsung mempengaruhi
tekstur tanah, yang pada gilirannya akan mempercepat proses penguraian. Odontomacus sp.
misalnya, membuat sarang di dalam tanah yang terbukti mampu memodifikasi kelimpahan
organisme tanah sehingga proses dekomposisi dapat berjalan dengan baik. Dari data tersebut
dapat dilihat bahwa jumlah spesies terbanyak ditemukan pada masa pertanaman padi
berumur 20-50 hari, disusul dengan semut yang ditemukan pada area masa pertanaman padi
berumur 1-20 hari.
LAPORAN ENTOMOLOGI
Keanekaragaman Semut pada Persawahan di Daerah Lubuk Minturun Berdasarkan Perbedaan Umur Tanaman Padi
OLEH:
KHOIRUNNISA (15994/2010)ULFA SYAFITRI (15999/2010)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGIJURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAMUNIVERSITAS NEGERI PADANG
2013
DAFTAR PUSTAKA
Andersen, N. A. Hoffman, B. D. Muller, W. J. & Griffiths, A. 2002. using ants as bioindicators in land management: simplifying assessment of ant community responses. Journal of Applied Ecology 39: 8-17
Alonso. L. E & Agosti, D. 2000. Biodiversity Studies, Monitoring, and Ants: An Overview. In ANTS. Standard Method for Measuring and Monitoring Biodiversity. Edited by Agosti, D., Majer, J. D, Alonso, L, E & Schultz, T. R. Smithsonian Institution.
Basu, P. 1997. Seasonal and spatial patterns in ground foraging ants in a rain forest in the Western Ghats, India. Biotropica. 29 (4): 489-500
Brown Jr, W. L. 2000. Diversity of Ants. In ANTS. Standard Method for Measuring and Monitoring Biodiversity. Edited by Agosti, D., Majer, J. D, Alonso, L, E & Schultz, T. R. Smithsonian Institution.
Bruhl, C.A., Gunsalam, G. & Linsemair, K. E. 1998. Stratification of ants (Hymenoptera, Formicidae) in primary rain forest in Sabah, Borneo. Journal of Tropical Ecology 14: 285-297.
Chung, A. Y. C & Mohamed, M. 1996. A comparative study of the ant fauna in a primary and secondary forest in Sabah, Malaysia. In Edward, D. S., Booth, W. E & Choy, S.C (eds). Tropical rainforest research-Current Issues, pp 357-366. Kluwer Academic Publisher, Dodrecht, Nederlands.
Ewuim, S. C., Badejo, M.A. & Ajayi, O.O. 1997. Ant of forest and fallow plots in Nigeria. BIOTROPICA .29 (1): 93-99
Hashimoto, Y., Yamane, S. & Mohamed, M. 2001. How to design an inventory method for ground-level ants in tropical forest. Nature and Human Activities, 6: 25-30.
Heong KL, Aquino GB, Barrion AT. 1991. Arthropod community structure of rice ecosystem in the Philippines. Bull. of Entomol. Research 81: 407-416.
Herwina, H & Nakamura, K. 2008. Ant species diversity studied using pitfall traps in a small yard in Bogor Botanic Garden, West Java, Indonesia. TREUBIA, 35: 99-116
Holling, C.S. 1965. The functional response of predator to prey density and its role in mimicry and population regulation. Mem. Entomol. Soc. Can. 45: 5-60
Hölldobler, B. & Wilson, E. O. 1990. The Ants.. Harvard University Press. Cambridge, U. S. A.
Itino, T. & Yamane, S. 1995. The vertical distribution of ants on canopy trees in a Bornean lowland rainforest forest. Tropics 4: 227-281.
Itioka, T. 1997. Ants as key stone species in structurin gcomminities in tropical rain forest. In Inoue, T. & Hamid, A.A. (eds). General flowering of tropical rainforest in Serawak. Canopy Biology Program in Serawak (CBPS): series II. Center for Ecological Research , Kyoto University
Ito, F., Yamane, S., Eguchi, K., Noerdjito, W. A., Kahono, S., Tsuji, K., Ohkawara, K., Yamauchi, K., Nishida, T & Nakamura, K. 2001. Ant Species Diversity in Bogor Botanic Garden, West Java, Indonesia, with Descriptions of Two New Species of the Genus Laptanilla (Hymenoptera, Formicidae). Tropics 10 (3): 379-404
Khoo. Y. H. 1990. A note on the Formicidae (Hymenoptera) from Pitfall traps at Ulu Kinchin, Pahang, Malaysia. Malayan Nature Journal 43: 290-293.
Longino, J. T., Coddington, J. & Colwell, R. K. 2002. The ant fauna of tropical rain forest: estimating species richness three different ways. Ecology 83: 689-702.
Majer. J. D. 1997. The use of pitfall traps for sampling ants – a critique. Memoirs of the Museum of Victoria 56(62): 323-329
Peck, S. L, McQuaid, B. & Campbell, C. L. 1998. Using Ant species (Hymenoptera: Formicidae) as biological indicator of agroecosystem condition. Environmental Entomology 27: 1102-1110.
Philpott, S. M. &Armbrecht, I. 2006. Biodiversity in tropikal agroforest and ecological role of ants and ant diversity in predatory function. Ecological Entomology 31: 369-377
Romero, H. & Jaffe, K. 1989/ A comparison of methods of samplinf ants (Hymenoptera, Formicidae) in Savvanas. BIOTROPICA 21(4):348-352
Schoenly K, Justo HD, Barrion AT, Harris MK, Bottrell DG. 1998. Analysis of invertebrate biodiversity in a Phippine farmer’s irrigated rice fields. Environ. Entomol. 21(5): 1125-1136.
Sota, T., Nakano, S., Hasyim, A., Syafril & Nakamura, K. 2001. Fluctuation in abundance of terresterial arthrophods at an arable field in West Sumatran Highland. Tropics 10: 463-472.
Wilson, E. O. 1976. The Insect Societies. The Belknap Press of Harvard University Press. Cambridge, U. S. A.
Yaherwandi, Manuwoto S, Buchori D, Hidayat P dan Prasetyo L. 2006. Analisis spasial lanskap pertanian dan keanekaragaman Hymenoptera di Daerah Aliran Sungai Cianjur. Jurnal Hayati 13 (4): 137 – 144
Yamane, S. 1997. A list of Bornean ants. In Inoue, T. & Hamid, A.A. (eds). General flowering of tropical rainforest in Serawak. Canopy Biology Program in Serawak (CBPS): series II. Center for Ecological Research, Kyoto University.