23
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semut merupakan salah satu model yang ideal untuk mengukur dan memonitor keanekaragaman hayati karena beberapa alasan. Serangga yang tergolong ke dalam famili Formicidae dan ordo Hymenoptera ini sangat banyak dan dominan di dalam ekosistim, baik sebagai predator atau bersimbiosis dengan tumbuhan dan berbagai organisme lain, mudah dikoleksi dengan cara yang bisa distandarisasi, cukup menyebar pada suatu lokasi, memungkinkan untuk diidentifikasi, dan sebagainya (e.g., Wilson, 1976; Hölldobler & Wilson, 1990). Sebagian besar semut mempunyai lokasi yang tertentu dan mempunyai sarang perenial dengan wilayah untuk mencari makan yang terbatas, sehingga mereka dapat pula digunakan sebagai indikator bagi kondisi lingkungan (Chung & Mohamed, 1996; Peck et al., 1998; Hashimoto et al., 2001, Andersen et al., 2002; Longino et al., 2002). Pengetahuan mengenai keanekaragaman semut pada suatu area dapat memberikan informasi yang sangat berguna bagi perencanaan konservasi, karena inventarisasi spesies semut pada suatu area akan berhubungan dengan data tentang distribusinya, mendokumentasikan apakah ada yang jarang, terganggu, atau adanya spesies yang amat penting secara ekologi (adanya spesies baru atau adanya spesies yang hanya dapat ditemukan pada habitat tertentu). Jumlah dan komposisi semut pada suatu area mengindikasikan kesehatan suatu ekosistim dan memberikan gambaran pada kehadiran organisme

makalah entomologi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: makalah entomologi

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Semut merupakan salah satu model yang ideal untuk mengukur dan memonitor

keanekaragaman hayati karena beberapa alasan. Serangga yang tergolong ke dalam famili

Formicidae dan ordo Hymenoptera ini sangat banyak dan dominan di dalam ekosistim, baik

sebagai predator atau bersimbiosis dengan tumbuhan dan berbagai organisme lain, mudah

dikoleksi dengan cara yang bisa distandarisasi, cukup menyebar pada suatu lokasi,

memungkinkan untuk diidentifikasi, dan sebagainya (e.g., Wilson, 1976; Hölldobler &

Wilson, 1990). Sebagian besar semut mempunyai lokasi yang tertentu dan mempunyai

sarang perenial dengan wilayah untuk mencari makan yang terbatas, sehingga mereka dapat

pula digunakan sebagai indikator bagi kondisi lingkungan (Chung & Mohamed, 1996; Peck

et al., 1998; Hashimoto et al., 2001, Andersen et al., 2002; Longino et al., 2002).

Pengetahuan mengenai keanekaragaman semut pada suatu area dapat memberikan

informasi yang sangat berguna bagi perencanaan konservasi, karena inventarisasi spesies

semut pada suatu area akan berhubungan dengan data tentang distribusinya,

mendokumentasikan apakah ada yang jarang, terganggu, atau adanya spesies yang amat

penting secara ekologi (adanya spesies baru atau adanya spesies yang hanya dapat ditemukan

pada habitat tertentu). Jumlah dan komposisi semut pada suatu area mengindikasikan

kesehatan suatu ekosistim dan memberikan gambaran pada kehadiran organisme lain, karena

banyaknya interaksi semut dengan berbagai tumbuhan maupun hewan lain (Alonso dan

Agusti, 2000).

Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang sangat

tinggi, akan tetapi masih sedikit sekali publikasi yang dapat ditemukan mengenai hal itu.

Khusus mengenai keanekaragaman semut di Indonesia, baru pada tahun 2001, Ito et. al.

melaporkan bahwa telah ditemukan 216 jenis semut di Kebun Raya Bogor. Pada tahun 2005,

selama meneliti fluktuasi semut pada sebuah area di dalam Kebun Raya Bogor, ditemukan

pula 10 spesies semut lainnya (Herwina dan Nakamura, 2008).

Keanekaragaman semut telah diteliti pada beberapa tipe habitat di negara tropika

lainnya, misalnya pada kanopi pohon-pohon di hutan hujan (Itino and Yamane, 1995,

Widodo et al. 2001), di lantai hutan (Yamane et al. 1996), di hutan savanna (Andersen,

1991), pada lahan perkayuan semi arid tropika Australia (Andersen et al. 2002). Kebanyakan

Page 2: makalah entomologi

penelitian semut di negara Asia Tenggara (termasuk India dan tropical Australia) dilakukan

di daerah hutan (Khoo, 1990; Chung dan Mohamed, 1996; Basu, 1997; Bruhl, et al. 1998)

dan hanya sedikit sekali penelitian pada daerah yang telah dijamah manusia (Sota, et al. 2001,

Ito et al. 2001, Andersen, 2002).

Potensi semut sebagai bioindikator telah banyak dikembangkan di Australia

(Andersen, 2002). Di North Carolina dan Virginia ditemukan bahwa semut berpotensi

sebagai bioindikator agroekosistem. Kehadiran spesies semut di suatu area erat kaitannya

dengan faktor manajemen, variasi tanah dan praktek penanaman (Peck et al., 1998). Semut

adalah predator yang penting, dan diprediksikan dapat melindungi tanaman dari hama jika

dapat dimengerti dan diteliti dengan benar (Philpott dan Armbrecht, 2006).

B. Rumusan Masalah

Di Indonesia, belum ditemukan informasi mengenai keanekaragaman semut dan

fungsinya di dalam ekosistim pertanian, hutan maupun ekosistim lainnya. Oleh karena itu,

dapat dirumuskan beberapa masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah keanekaragaman spesies semut yang terdapat pada beberapa tipe

daerah pertanian di Lubuk Minturun?

b. Apakah terdapat perbedaan jenis semut berdasarkan usia tanaman padi?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dilaksanakannya penelitian mengenai struktur komunitas dan peranan ekologi

semut sebagai predator serangga hama pada beberapa lanskap pertanian di Lubuk Minturun

ini adalah sebagai berikut:

a. Mengidentifikasi keanekaragaman spesies semut yang terdapat pada beberapa tipe

lanskap ekosistem pertanian di Lubuk Minturun.

b. Mengidentifikasi spesies semut yang berpotensi sebagai bioindikator bagi kesehatan

ekosistim pertanian

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat dimanfaatkan sebagai bagian informasi

awal mengenai komunitas semut di lanskap pertanian dan pada gilirannya dapat digunakan

dalam upaya pengendalian hama pertanian di Indonesia.

Page 3: makalah entomologi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Data mengenai keanekaragaman dan komposisi spesies semut merupakan dasar yang

dibutuhkan dalam penggunaan semut untuk memonitor perubahan atau perbaikan lingkungan.

Walaupun banyak spesies semut yang mampu membuat sarang dalam kondisi yang cukup

variatif, namun banyak juga yang memerlukan kriteria tertentu dan khusus sehingga dapat

digunakan sebagai indikator perubahan habitat atau keberhasilan restorasi. Ada beberapa

spesies semut di seluruh dunia yang dapat beradaptasi untuk hidup pada area yang telah

“diganggu” dan mengembangkan koloni dengan cepat. Semut seperti ini dapat menjadi

indikator adanya perusakan habitat. Kebanyakan spesies semut hidup pada koloni secara tetap

dan tidak gampang berpindah habitat. Semut menjadi ideal untuk program monitoring karena

dapat di sampling secara berulang kali dengan menggunakan metoda yang sama, dapat

memberi informasi mengenai bagaimana struktur vegetasi, kepadatan musuh alami, kualitas

tanah dan kepadatan predator berubah seiring dengan waktu (Alonso dan Agusti, 2000).

Penelitian mengenai spesies semut di hutan hujan tropika wilayah Asia tenggara telah

mulai berkembang dan telah dilaporkan adanya diversitas spesies semut yang sangat luar

biasa (e.g., Brühl et.al., 1998; Yamane, 1996). Akan tetapi, di Indonesia, belum ada publikasi

yang solid mengenai fauna semut, kecuali yang dilaporkan oleh Ito et al. (2001) (tapi lihat

juga Dammermann, 1948 untuk wilayah Krakatau, disebutkan dalam Ito et.al., 2001). Ito et

al. meneliti mengenai fauna semut di Kebun Raya Bogor, Jawa Barat, dengan menggunakan

7 metode sampling pada tahun 1985 dan antara tahun 1990 dan 1998. Secara keseluruhan,

mereka menemukan 216 spesies yang tergabung ke dalam 9 sub subfamily. Melalui

perbandingan hasil penelitian ini dengan berbagai laporan dari wilayah hutan hujan tropika

Asia, mereka menjelaskan bahwa komposisi spesies di Kebun Raya Bogor sama dengan yang

ditemukan di wilayah hutan hujan dataran rendah lainnya di Jawa Barat, tetapi berbeda

dengan yang ditemukan pada hutan hujan di wilayah pegunungan. Jumlah spesies yang

ditemukan di Kebun Raya Bogor lebih rendah dibandingkan dengan yang dilaporkan telah

ditemukan pada hutan primer dataran rendah di wilayah Asia lainnya (misalnya, Brühl et al.,

1998 dan lihat Ito et al., 2001 sebagai referensi selanjutnya). Walaupun demikian, Kebun

Raya Bogor, yang terisolasi di pusat sebuah daerah perkotaan, dengan banyak gangguan dari

manusia, menyimpan diversitas semut yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang di

Page 4: makalah entomologi

temukan di wilayah subtropika dan temperate (misalnya., 267 spp. Untuk seluruh Jepang dan

138 pada “seasonal” hutan hujan sub tropika di bagian barat Australia (Ito et al., 2001).

Pada penelitian tentang semut yang juga dilakukan selama 3.5 tahun di dalam Kebun

Raya Bogor (luas area 15 x 20 m2, yang ditanami dengan 30 Ipomea carnea) dengan

sampling yang dilakukan secara intensif (setiap satu atau dua minggu sekali) menggunakan

pitfall trap, didapatkan kurva akumulasi species semut yang asimtot. Diperkirakan hampir

semua jenis semut pada lokasi penelitian telah terkoleksi, yaitu 55 spesies. Spesies semut

yang dominan adalah Pheidole plagiaria, Anoplolepis gracilipes dan Odontoponera

denticulata (Herwina dan Nakamura, 2008). Jumlah jenis yang ditemukan ini lebih tinggi

dibandingkan dengan jumlah spesies semut yang ditemukan dengan menggunakan metoda

yang sama pada beberapa lokasi di daerah hutan di Western Gath India, yaitu 36 spesies

(Basu, 1997). Penemuan ini menunjukkan keanekaragaman semut yang sangat tinggi di

Indonesia, namun penelitian dan informasi yang ada masih sangat terbatas.

Pada 3 lokasi yang berbeda (tanaman sayuran polikultur yang banyak pestisida, padi

polikultur dengan sayuran dan palawija yang sedikit pestisida, dan padi monokulktur tanpa

pestisida) dii Daerah Aliran Sungai (DAS) Cianjur, Jawa Barat, telah ditemukan pula dua

genus Pheidole yang dominan, diikuti dengan A. gracilipes dan O. denticulata. Dari

pengamatan lapangan, beberapa semut predator terlihat dominan disalah satu lokasi

dibandingkan dengan lokasi lainnya (Yuherwandi, belum dipublikasikan). Kecendrungan

yang tampak ini menimbulkan keingintahuan untuk melihat lebih jauh pengaruh habitat serta

cara pemanfaatan lahan yang berbeda terhadap keanekaragaman dan potensi semut sebagai

bioindikator lingkungan dan predator bagi serangga lainnya, khususnya predator bagi

serangga hama.

Page 5: makalah entomologi

BAB IIIMETODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di daerah persawahan Lubuk Minturun, Kecamatan Koto

Tangah, Padang. lanskap pertanian di daerah ini tergolong kompleks (heterogen) karena

dikelilingi habitat hutan sekunder, kebun, semak, dan sungai. Selain itu cara tanam padi

pada area ini tidak serempak, sehingga pada satu hamparan memiliki umur tanaman padi

yang berbeda. Untuk mendapatkan keanekaragaman serangga pada umur padi yang

berbeda, di setiap blok dilakukan pengambilan contoh serangga pada umur tanaman padi

antara 6 hingga 12 minggu setelah tanam. Pemilihan umur tersebut adalah untuk

menyeragamkan kondisi pematang (kondisi tanah dan rumput) yang merupakan tempat

pemasangan perangkap untuk pengambilan contoh serangga.

B. Keanekaragaman Semut (Hymenoptera: Formicidae) berdasarkan masa pertumbuhan padi di Lubuk Minturun

1. Pengambilan sampel Semut

Pengambilan sampel pada pertanaman padi di Lubuk Minturun dilakukan

sebanyak tiga kali dalam satu musim. Pada tanaman padi sampel diambil saat

tanaman padi berumur 20, 50, dan 80 hari setelah tanam. Hal ini dapat dilakukan

karena pertumbuhan pertanaman padi di lapangan lebih seragam. Pengambilan

sampel semut di setiap titik sampel pada jalur transek dilakukan dengan

menggunakan perangkap jebak (pitfall trap). Perangkap jebak terbuat dari gelas

plastik dengan volume 220 ml, diameter mulut 7 cm dan tinggi 10 cm. Gelas diisi

25 ml larutan air sabun secukupnya untuk mengurangi tegangan permukaan,

sehingga serangga yang terperangkap tenggelam dan mati. Perangkap jebak

digunakan untuk memerangkap serangga yang aktif di permukaan tanah, termasuk

semut (Heong et al 1991; Schonenly et al. 1998; Yaherwandi, et al. 2006). Pada

saat menyusuri jalur transek, species semut yang ditemukan dikoleksi pula dengan

menggunakan aspirator. Faktor lingkungan, seperti suhu, kelembaban, curah hujan

dan keadaan cuaca dicatat. Demikian pula halnya dengan kondisi vegetasi disetiap

titik sampel.

Page 6: makalah entomologi

4.3.2. Analisis data

Analisis data Keanekaragaman dan kelimpahan spesies semut dilakukan

dengan menggunakan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wienner, indek kekayaan

spesies dan indeks kemerataan Simpson. Untuk menghitung kekayaan spesies,

indeks Shannon-Wienner dan indeks kemerataan Simpson digunakan program

Ecological metodology for Windows. Untuk menentukan perbedaan kekayaan,

keanekaragaman dan kemerataan spesies semut digunakan analisis ragam (One way

ANOVA) dan uji jarak berganda Duncan (DNMRT) 95% menggunakan program

Statistica 6.0 for Windows.

Page 7: makalah entomologi

BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN

A. Jumlah Individu dan spesies semut yang ditemukan pada persawahan Lubuk

Minturun

Umur

padi

No. Pit

fall trap

Banyak serangga

pada

pengamatan ke

Jenis serangga

pengamatan ke

1 1

1-20 1 1 Leptogenenys diminota

2 1 Leptogenenys diminota

3 1 Leptogenenys diminota

4 3 Leptogenenys diminota

5 1 Leptogenenys diminota

6 1 Leptogenenys diminota

7 2 Leptogenenys diminota

8 1 Leptogenenys diminota

9 0 -

10 0 -

11 1 Leptogenenys diminota

12 2 Leptogenenys diminota

13 3 Leptogenenys diminota

14 4 Leptogenenys diminota

15 1 Leptogenenys diminota

16 1 Leptogenenys diminota

17 0 -

18 1 Leptogenenys diminota

19 0 -

20 0 -

total 24

Page 8: makalah entomologi

Umur

padi

No. Pit

fall trap

Banyak serangga

pada

pengamatan ke

Jenis serangga

pengamatan ke

1 1

1-20 1 3 Odontomacus similinus

2 1 Odontomacus similinus

3 1 Odontomacus similinus

4 3 Odontomacus similinus,Leptogenenys diminota

5 0 -

6 0 -

7 2 Odontomacus similinus

8 1 Odontomacus similinus,Leptogenenys diminota

9 2 Odontomacus similinus,Leptogenenys diminota

10 0 -

11 0 -

12 2 Odontomacus similinus

13 2 Odontomacus similinus

14 5 Odontomacus similinus

15 2 Odontomacus similinus,Leptogenenys diminota)

16 1 Odontomacus similinus

17 2 Odontomacus similinus

18 0 -

19 0 -

20 0 -

total 27

Page 9: makalah entomologi

Umur

padi

No.

Pit

fall

trap

Banyak serangga

pada pengamatan

ke

Jenis serangga

pengamatan ke

1 2 3 1 2 3

50-100 1 3 4 5 Odontomacus similinus,

Leptogenenys diminota

Odontomacus similinus

2 2 3 2 Odontomacus similinus,

Odontomacus similinus,

Odontomacus similinus,

3 1 3 3 Leptogenenys diminota

Leptogenenys diminota

Leptogenenys diminota

4 4 5 1 Odontomacus similinus,

Odontomacus similinus,

Odontomacus similinus,

5 0 3 6 Leptogenenys diminota

Leptogenenys diminota

Leptogenenys diminota

6 0 5 7 Odontomacus similinus,

Odontomacus similinus,

Odontomacus similinus,

7 2 4 6 Leptogenenys diminota

Leptogenenys diminota

Leptogenenys diminota

8 4 4 5 Odontomacus similinus,

Odontomacus similinus,

Odontomacus similinus,

9 3 3 6 Leptogenenys diminota

Leptogenenys diminota

Leptogenenys diminota

10 0 5 4 Odontomacus similinus,

Odontomacus similinus,

Odontomacus similinus,

11 0 3 5 Leptogenenys diminota

Leptogenenys diminota

Leptogenenys diminota

12 2 4 5 Odontomacus similinus,

Odontomacus similinus,

Odontomacus similinus,

13 2 1 6 Leptogenenys diminota

Leptogenenys diminota

Leptogenenys diminota

14 5 4 5 Odontomacus similinus,

Odontomacus similinus,

Odontomacus similinus,

15 2 3 7 Leptogenenys diminota

Leptogenenys diminota

Leptogenenys diminota

16 4 3 2 Odontomacus similinus,

Odontomacus similinus,

Odontomacus similinus,

17 2 4 3 Leptogenenys diminota

Leptogenenys diminota

Leptogenenys diminota

18 0 2 3 Odontomacus similinus,

Odontomacus similinus,

Odontomacus similinus,

19 0 3 0 Leptogenenys diminota

Leptogenenys diminota

Leptogenenys diminota

20 0 4 0 Odontomacus similinus,

Odontomacus similinus,

Odontomacus similinus,

Total 36 69 77

Page 10: makalah entomologi

B. Kerapatan serangga tanah di lokasi persawahan penelitian dengan cara pitfall trap

Umur padi Nama Takson Kerapatan/m2

1-20 Semut hitam (Leptogenenys diminota) 24/100m2= 0,0024 m2

Semut merah (Odontomacus similinus) -

20-50 Semut merah(Odontomacus similinus)

18/100m2= 0,0018 m2

Semut hitam (Leptogenenys diminota) 9/100m2= 0,0009m2

50-100 Semut merah (Odonomacus similinus) 124/100m2= 0,0124 m2

semut hitam (Leptogenys peugeti) 58/100m2= 0,0058 m2

     

Page 11: makalah entomologi

BAB VPEMBAHASAN

` Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan data dari tabel pengamatan diatas dapat

diketahui bahwa kerapatan populasi disuatu tempat dapat diukur dengan menghitung

besarnya populasi persatuan ruang habitat yang didiami oleh populasi organisme tersebut.

Setelah melakukan perhitungan dari ke 20 sampel yang di ujikan, diketahui bahwa semut

merah pada umu padi 50-100 memiliki kerapatan yang tinggi dibandingkan dengan hewan

tanah yang lainnya. Karena kami melakukan pengamatan sebanyak 3 kali.

Kondisi lingkungan yang kami amati dilihat dari tekstur tanahnya tidak kering, cocok

ungtuk perkembangan ekosistem yang ada disana. Selain itu tanah telihat subur berdasarkan

kandungan bahan orgaiknya didata pada percobaan pengukuran kadar material organik.

Semut adalah kelompok serangga yang kelimpahan dan rentang penyebarannya paling luas,

dan dapat dijumpai di hampir semua jenis habitat, kecuali perairan. Wilson (1987)

menjelaskan, bahwa semut adalah kelompok serangga yang paling mampu beradaptasi.

Beberapa catatan memperlihatkan bahwa tidak kurang dari 24 genera semut yang diduga

hidup pada jutaan tahun yang lalu, masih dijumpai hingga saat ini, di antaranya

genus Ponera, Tetraponera, Aphaenogaster, Monomorium, Iridomyrmex, Formica, Lasius,

dan Camponotus. Banyak jenis semut dapat bersifat invasif dan sekaligus merusak. Misalnya,

semut Anoplolepis gracilipes tercatat sebagai salah satu spesies yang bersifat invasif dan

dominan terhadap spesies organisme yang lain (Miller, 2004; Davis et al., 2008). Spesies ini

menimbulkan masalah di Australia karena mampu mendominasi sebagian besar wilayah di

bagian utara Australia, serta membunuh 1/3 populasi kepiting darat merah lokal, dan

dikuatirkan akan mengubah ekosistem di beberapa tempat yang lain.

Namun, kajian-kajian yang lain menjelaskan peran semut yang menguntungkan bagi

ekosistem, misalnya peranannya sebagai perantara proses perombakan oleh organisme yang

lain. Aktivitas semut di dalam tanah (mereka bertindak sebagai pengolah tanah, misalnya

pada saat pembuatan sarang) secara tidak langsung mempengaruhi tekstur tanah, yang pada

gilirannya akan mempercepat proses penguraian.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai keanekaragaman serangga

berdasarkan masa tanam padi, ternyata ditemukan beberapa species yang bebeda setiap masa

tanam padi. Pada saat padi berumur 1- 20 hari, serangga yang kami temukan yaitu semut

hitam (Leptogenenys diminota). Berbeda dengan masa pertumbuhan padi pada saat

penyiangan dan pemupukan. Species yang kami temukan berupa semut merah (Odontomacus

similinus) dan semut hitam (Leptogenenys diminota) sebanyak 27 ekor. Berbeda lagi pada

Page 12: makalah entomologi

masa padi berumur 50-100 hari kami melakukan 3 kali pengamatan. Sehingga kami

menemukan banyak semut di dalam jebakan, yang terdiri dari Odontomacus similinus dan

Leptogenenys diminota.

Page 13: makalah entomologi

BAB VIKESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penganmatan penjebakan hewan dengan cara pit fall trap terdapat

beberapa hewan yang terjebak disana. Dari keselurahan dari hasil pengamatan terlihat bahwa

hewan tanah  yang paling banyak didapatkan adalah semut merah. Disamping itu hewan

hewan tersebut banyak memiliki peranan dalam ekosistem tersebut. Peran semut yang

menguntungkan bagi ekosistem, misalnya peranannya sebagai perantara proses perombakan

oleh organisme yang lain. Aktivitas semut di dalam tanah (mereka bertindak sebagai

pengolah tanah, misalnya pada saat pembuatan sarang) secara tidak langsung mempengaruhi

tekstur tanah, yang pada gilirannya akan mempercepat proses penguraian. Odontomacus sp.

misalnya, membuat sarang di dalam tanah yang terbukti mampu memodifikasi kelimpahan

organisme tanah sehingga proses dekomposisi dapat berjalan dengan baik. Dari data tersebut

dapat dilihat bahwa jumlah spesies terbanyak ditemukan pada masa pertanaman padi

berumur 20-50 hari, disusul dengan semut yang ditemukan pada area masa pertanaman padi

berumur 1-20 hari.

Page 14: makalah entomologi

LAPORAN ENTOMOLOGI

Keanekaragaman Semut pada Persawahan di Daerah Lubuk Minturun Berdasarkan Perbedaan Umur Tanaman Padi

OLEH:

KHOIRUNNISA (15994/2010)ULFA SYAFITRI (15999/2010)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGIJURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAMUNIVERSITAS NEGERI PADANG

2013

Page 15: makalah entomologi

DAFTAR PUSTAKA

Andersen, N. A. Hoffman, B. D. Muller, W. J. & Griffiths, A. 2002. using ants as bioindicators in land management: simplifying assessment of ant community responses. Journal of Applied Ecology 39: 8-17

Alonso. L. E & Agosti, D. 2000. Biodiversity Studies, Monitoring, and Ants: An Overview. In ANTS. Standard Method for Measuring and Monitoring Biodiversity. Edited by Agosti, D., Majer, J. D, Alonso, L, E & Schultz, T. R. Smithsonian Institution.

Basu, P. 1997. Seasonal and spatial patterns in ground foraging ants in a rain forest in the Western Ghats, India. Biotropica. 29 (4): 489-500

Brown Jr, W. L. 2000. Diversity of Ants. In ANTS. Standard Method for Measuring and Monitoring Biodiversity. Edited by Agosti, D., Majer, J. D, Alonso, L, E & Schultz, T. R. Smithsonian Institution.

Bruhl, C.A., Gunsalam, G. & Linsemair, K. E. 1998. Stratification of ants (Hymenoptera, Formicidae) in primary rain forest in Sabah, Borneo. Journal of Tropical Ecology 14: 285-297.

Chung, A. Y. C & Mohamed, M. 1996. A comparative study of the ant fauna in a primary and secondary forest in Sabah, Malaysia. In Edward, D. S., Booth, W. E & Choy, S.C (eds). Tropical rainforest research-Current Issues, pp 357-366. Kluwer Academic Publisher, Dodrecht, Nederlands.

Ewuim, S. C., Badejo, M.A. & Ajayi, O.O. 1997. Ant of forest and fallow plots in Nigeria. BIOTROPICA .29 (1): 93-99

Hashimoto, Y., Yamane, S. & Mohamed, M. 2001. How to design an inventory method for ground-level ants in tropical forest. Nature and Human Activities, 6: 25-30.

Heong KL, Aquino GB, Barrion AT. 1991. Arthropod community structure of rice ecosystem in the Philippines. Bull. of Entomol. Research 81: 407-416.

Herwina, H & Nakamura, K. 2008. Ant species diversity studied using pitfall traps in a small yard in Bogor Botanic Garden, West Java, Indonesia. TREUBIA, 35: 99-116

Holling, C.S. 1965. The functional response of predator to prey density and its role in mimicry and population regulation. Mem. Entomol. Soc. Can. 45: 5-60

Hölldobler, B. & Wilson, E. O. 1990. The Ants.. Harvard University Press. Cambridge, U. S. A.

Itino, T. & Yamane, S. 1995. The vertical distribution of ants on canopy trees in a Bornean lowland rainforest forest. Tropics 4: 227-281.

Page 16: makalah entomologi

Itioka, T. 1997. Ants as key stone species in structurin gcomminities in tropical rain forest. In Inoue, T. & Hamid, A.A. (eds). General flowering of tropical rainforest in Serawak. Canopy Biology Program in Serawak (CBPS): series II. Center for Ecological Research , Kyoto University

Ito, F., Yamane, S., Eguchi, K., Noerdjito, W. A., Kahono, S., Tsuji, K., Ohkawara, K., Yamauchi, K., Nishida, T & Nakamura, K. 2001. Ant Species Diversity in Bogor Botanic Garden, West Java, Indonesia, with Descriptions of Two New Species of the Genus Laptanilla (Hymenoptera, Formicidae). Tropics 10 (3): 379-404

Khoo. Y. H. 1990. A note on the Formicidae (Hymenoptera) from Pitfall traps at Ulu Kinchin, Pahang, Malaysia. Malayan Nature Journal 43: 290-293.

Longino, J. T., Coddington, J. & Colwell, R. K. 2002. The ant fauna of tropical rain forest: estimating species richness three different ways. Ecology 83: 689-702.

Majer. J. D. 1997. The use of pitfall traps for sampling ants – a critique. Memoirs of the Museum of Victoria 56(62): 323-329

Peck, S. L, McQuaid, B. & Campbell, C. L. 1998. Using Ant species (Hymenoptera: Formicidae) as biological indicator of agroecosystem condition. Environmental Entomology 27: 1102-1110.

Philpott, S. M. &Armbrecht, I. 2006. Biodiversity in tropikal agroforest and ecological role of ants and ant diversity in predatory function. Ecological Entomology 31: 369-377

Romero, H. & Jaffe, K. 1989/ A comparison of methods of samplinf ants (Hymenoptera, Formicidae) in Savvanas. BIOTROPICA 21(4):348-352

Schoenly K, Justo HD, Barrion AT, Harris MK, Bottrell DG. 1998. Analysis of invertebrate biodiversity in a Phippine farmer’s irrigated rice fields. Environ. Entomol. 21(5): 1125-1136.

Sota, T., Nakano, S., Hasyim, A., Syafril & Nakamura, K. 2001. Fluctuation in abundance of terresterial arthrophods at an arable field in West Sumatran Highland. Tropics 10: 463-472.

Wilson, E. O. 1976. The Insect Societies. The Belknap Press of Harvard University Press. Cambridge, U. S. A.

Yaherwandi, Manuwoto S, Buchori D, Hidayat P dan Prasetyo L. 2006. Analisis spasial lanskap pertanian dan keanekaragaman Hymenoptera di Daerah Aliran Sungai Cianjur. Jurnal Hayati 13 (4): 137 – 144

Yamane, S. 1997. A list of Bornean ants. In Inoue, T. & Hamid, A.A. (eds). General flowering of tropical rainforest in Serawak. Canopy Biology Program in Serawak (CBPS): series II. Center for Ecological Research, Kyoto University.