Upload
yusrina-nur-amalia
View
12
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Makalah IV Kelompok 3
Citation preview
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Paradigma PembelajaranSecara etimologis, kata paradigma berasal dari bahasa Yunani yang
berarti suatu model, teladan, arketif dan ideal. Sedangkan secara terminologis, arti paradigma adalah konstruk berpikir berdasarkan pandangan yang menyeluruh dan konseptual terhadap suatu masalah dengan menggunakan teori formal, eksperimentasi dan metode keilmuan yang terpercaya. Yang kedua adalah pengertian pembelajaran. Pembelajaran merupakan proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar agar proses perolehan ilmu dan pengetahuan dapat membentuk sikap dan perilaku peserta didik. Paradigma pembelajaran ini dapat berubah menurut sistem pembelajaran yang terus berkembang, sehingga ada yang menyebutkan ada paradigma lama dan paradigma alternatif dalam pembelajaran.
2.2. Inovasi PembelajaranInovasi pembelajaran dapat dimaknai sebagai suatu upaya baru
dalam proses pembelajaran, dengan menggunakan berbagai metode, pendekatan, sarana dan suasana yang mendukung untuk tercapainya tujuan pembelajaran. Hasbullah (2001) berpendapat bahwa “baru” dalam inovasi itu merupakan apa saja yang belum dipahami, diterima atau dilaksanakan oleh si penerima inovasi.
2.3. Pembelajaran Kontekstual (CTL)2.3.1. Pengertian
Pembelajaran kontekstual (CTL) merupakan salah satu model pembelajaran yang menekankan pada keterlibatan lingkungan kehidupan dan pengalaman siswa dalam proses pembelajaran, sehingga pembelajaran menjadi lebih hidup dan lebih bermakna bagi siswa (Nurhadi, dkk., 2004). Di dalam pembe-lajaran ini siswa belajar melalui lingkungan dan melibatkan pengalamannya untuk memaknai objek yang dipelajarinya. Siswa secara mandiri memiliki peluang untuk membangun (mengkonstruk) suatu pengetehuan (konsep) dari pengalaman dan lingkungannya. Dengan membangun pengetahuan secara mandiri siswa berpeluang untuk memperluas, menguatkan dan menerapkan kemampuan akademiknya dalam berbagai tatanan kehidupan. Felow (1999) menyatakan ”student learn best by actively their own understanding”. Sementara itu John Dewey juga menyatakan bahwa “siswa akan dapat belajar dengan baik apabila bahan yang dipelajarinya berhubungan dengan
1 |
pengetahuan/pengalaman yang mereka miliki. Proses pembelajaran juga akan produktif apabila siswa terlibat langsung dalam proses pembelajaran.”
2.3.2. Pokok-pokok pembelajaran kontekstual (CTL) Pokok-pokok pembelajaran kontekstual (CTL) harus menekankan
pada hal-hal berikut (Nurhadi, dkk., 2004):1. Belajar berbasis masalah (problem-base learnig).
Belajar harus selalu berakar dari masalah nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk berpikir kritis dan menemukan strategi pemecahannya, sehingga diperoleh suatu pegetahuan / konsep baru.
2. Pengajaran autentik (authentic construction)Pembelajaran harus memberikan peluang bagi siswa untuk mempelajari konteks kehidupan yang bermakna baginya.
3. Belajar berbasis inquiri (inquiry-base learning)Pembelajaran harus menggunakan strategi dan metodologi sains yang bermakna, serta mampu melatih siswa utuk berpikir kritis, dan mampu menemukan dan memecahkan masalah yang dihadapi.
4. Belajar berbasis proyek/tugas (project-base learning)Pembelajaran harus bisa mendesain lingkungan siswa agar siswa dapat melakukan penyelidikan/penelitian terhadap objek belajarnya, serta mampu melaksanakan tugas bermakna.
5. Belajar berbasis kerja (work-base learning)Pemelajaran harus memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari materi tertentu, agar materi tersebut dapat digunakan kembali di tempat kerja.
6. Belajar berbasis layanan (service learning)Pembelajaran harus menekankan hubungan antara pngalaman jasa-layanan yang bersifat praktis dan pembelajaran akademis.
7. Belajar Kooperatif (coorperative learning)Belajar memerlukan penggunaan kelompok kecil siwa untuk bekerjasama dalam memaksimalkan kondisi belajar.
Selain itu, pembelajaran kontekstual juga harus memperhatikan faktor:
1. perkembangan mental siswa.2. pembentukan kelompok belajar siswa.3. lingkungan yangmendukung pembelajaran mandiri4. keragaman karakteristik siswa5. penggunaan teknik bertanya.6. penerapan penilaian autentik.
Keenam faktor tersebut akan menentukan organisasi materi, metode, media, dan sumber belajar yang harus diterapkan dalam
2 |
pembelajaran. Oleh karena itu, pembelajaran kontekstual cenderung ke arah pendekatan individual, bukan pendekatan klasikal ansih.
Untuk mendukung pembelajaran kontekstual diperlukan model–model pembelajaran yang mampu membangkitkan gairah belajar siswa, menantang siswa, dan meningkatkan kreatifitas siswa. Oleh karena itulah guru dituntut untuk melakukan inovasi dalam pembelajaran. Guru dituntut untuk mampu menciptakan model-model pembelajaran yang kondusif sesuai dengan karakteristik, kebutuhan dan lingkungan siswa. Dari sinilah akan lahir model-model pembeajaran inovatif.
2.3.3. Contoh Pembelajaran CTLPembelajaran inovatif merupakan model pembelajaran yang kreatif
dan unik yang cenderung melibatkan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran. Pembelajaran inovatif diciptakan dengan mempetimbangkan karakteristik siswa, kondisi lingkungan siswa, dan sarana-prasarana yang tersedia, sehingga lebih menantang dan menggairahkan siswa untuk belajar secara mandiri, serta mempermudah pencapaian tujuan belajar yang diinginkan. Jumlah dan ragam model pembelajaran inovatif sangat tidak terbatas tergantung dari kemampuan (kreativitas dan inovasi) guru dalam berkarya untuk menciptakan model-model pembelajaran yang baru. Yang terpenting dalam dunia pendidikan, model pembelajaran inovatif harus mampu memotivasi/ membangkitkan semangat belajar siswa dan mempermudah siswa mencapai tujuan belajar. Di samping itu, model pembelajaran inovatif juga harus mampu membiasakan siswa berperilaku positif dan produktif untuk kepentingan hidup mereka maupun orang lain. Berikut ini disajikan beberapa contoh model pembelajaran inovatif yang mungkin bisa digunakan sebagai landasan bagi para pendidik (guru) untuk melaksanakan pembelajaran maupun untuk mengembangkan model pembelajaran yang baru.
2.3.3.1. Model Numbered Heads Together (Kagan,S., 1998)Langkah-langkah :1. Siswa dibagi dalam kelompok, setiap siswa dalam kelompok
mendapat nomor.2. Guru memberikan tugas pada masing-masing untuk didiskusikan.
(Tugas yang diberikan kepada siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran dan materi yang dipelajari, serta disesuaikan dengan lingkungan siswa)
3. Masing-masing kelompok mendiskusikan tugas untuk mendapatkan jawaban yang benar, dan memastikan tiap anggota kelompok dapat memahami/mengerjakan/mengetahui jawabannya.
3 |
4. Guru memanggil salah satu nomor siswa dan nomor yang dipanggil melaporkan hasil diskusi mereka.
5. Guru menunjuk nomor siswa yang lain untuk memberikan tanggapan.6. Guru dan siswa bersama-sama mengambil kesimpulan.
2.3.3.2. Student Team-Achievement Divisions (Slavin, R., 1994)Langkah-langkah :1. Membentuk kelompok yang anggotanya = 4 orang secara heterogen
(campuran menurut prestasi, jenis kelamin, suku, dll)2. Guru menyajikan pelajaran3. Guru memberi tugas kepada kelompok untuk dikerjakan oleh anggota-
anggota kelompok. Anggotanya yang sudah mengerti dapat menjelaskan pada anggota lainnya sampai semua anggota dalam kelompok itu mengerti.
4. Guru memberi kuis/pertanyaan kepada seluruh siswa. Pada saat menjawab kuis, siswa tidak boleh saling membantu.
5. Memberi evaluasi6. Mengambil kesimpulan secara bersama-sama.
2.3.3.3. Model Tim Ahli – Jigsaw (Aronson, E. & Patnoe, S., 1997) Langkah-langkah :
1. Siswa dikelompokkan ke dalam 4 tim.2. Tiap orang dalam tim diberi bagian materi yang berbeda untuk
dibahas.3. Anggota dari tim yang berbeda yang telah mempelajari bagian/sub
bab yang sama bertemu dalam kelompok baru (kelompok ahli) untuk mendiskusikan sub bab yang menjadi bagia mereka.
4. Setelah selesai diskusi sebagai tim ahli tiap anggota kembali ke kelompok asal dan bergantian mengajar teman satu tim mereka tentang sub bab yang mereka kuasai, dan anggota lainnya mendengarkan. Bila perlu anggota tim dapat memberikan pedapat untuk memperjelas materi yang dipelajarinya.
5. Tiap tim ahli mempresentasikan hasil diskusi dari timnya masing-masing.
6. Guru bersama siswa memberi tanggapan dan evaluasi terhadap presen-tasi dari tiap-tiap tim.
7. Penutup dengan mengambil kesimpulan.
2.3.3.4.Model Debate (Kagan, S., 1998)Langkah-langkah :1. Guru membagi 2 kelompok peserta debat yang satu kelompok pro dan
yang lainnya kelompok kontra.
4 |
2. Guru memberikan tugas untuk membaca materi yang akan didebatkan oleh kedua kelompok diatas.
3. Setelah selesai membaca materi, Guru menunjuk salah satu anggota kelompok pro untuk berbicara. Kemudian kelompok kontra menanggapi apa yag dikatakan oleh kelompok pro tersebut. Demikian seterusnya sampai sebagian besar siswa bisa mengemukakan pendapatnya.
4. Sementara siswa menyampaikan gagasannya, guru menulis inti/ide-ide dari setiap pembicaraan sampai mendapatkan sejumlah ide diharapkan.
5. Guru menambahkan konsep/ide yang belum terungkap6. Dari data-data yang diungkapkan tersebut, guru mengajak siswa
membuat kesimpulan/rangkuman yang mengacu pada topik yang ingin dicapai.
2.3.3.5. Model Role Playing (Kagan, S., 1998)Langkah-langkah :1. Guru menyusun/menyiapkan skenario kegiatan yang akan
ditampilkan.2. Menunjuk beberapa siswa untuk mempelajari skenario dalam waktu
beberapa hari sebelum kegiatan pembelajaran.3. Guru membentuk kelompok yang anggotanya 5 orang siswa.4. Memberikan penjelasan tentang kompetensi yang ingin dicapai.5. Memanggil para siswa yang sudah ditunjuk untuk memeragakan
skenario yang sudah dipersiapkan.6. Masing-masing siswa berada di kelompoknya sambil mengamati
skenario yang sedang diperagakan.7. Setelah selesai peragaan, masing-masing siswa diberi lembar kerja
untuk membahas peragaan dari masing-masing kelompok.8. Masing-masing kelompok menyampaikan hasil kesimpulannya.9. Guru memberikan kesimpulan secara umum10. Evaluasi11. Penutup
2.3.3.6. Model Group Investigation (Sharan,S., 1999)Langkah-langkah :1. Guru membagi kelas dalam beberapa kelompok heterogen.2. Guru mempersiapkan tugas kelompok.3. Guru menjelaskan maksud pembelajaran dan tugas kelompok.4. Guru memanggil ketua kelompok dan setiap kelompok diberi tugas
yang berbeda dari kelompok lain.5. Masing-masing kelompok membahas materi yang sudah ada secara
kooperatif untuk mendapatkan suatu temuan substansi materi.
5 |
6. Setelah selesai diskusi, juru bicara kelompok menyampaikan hasil pembahasan kelompok.
7. Guru memberikan penjelasan singkat sekaligus memberi kesimpulan.
8. Evaluasi 9. Penutup
2.3.3.7. Model Talking Stick (Kagan, S., 1998)Langkah-langkah :1. Guru menyiapkan sebuah tongkat dan pertanyaan-pertanyaan yang
terkait dengan materi yang dipelajari.2. Guru menyampaikan materi pokok yang akan dipelajari, kemudian
memberikan kesempatan kepada siswa untuk membaca dan mempelajari materi.
3. Setelah selesai membaca materi/buku pelajaran dan mempelajarinya, siswa menutup bukunya.
4. Guru mengambil tongkat dan menggulirkan tongkat kepada siswa dengan nyanyian. Setelah togkat bergulir, guru menstop nyanyian, dan siswa yang pada saat itu memegang tongkat berkewajiban menjawab pertanyaan yang dikemukakan oleh uru. Apabila siswa tertunjuk telah menjawab dengan benar, nyayian dilanjutkan dan tongkat digulirkan kembali hingga menunjuk siswa yang lain untuk menjawab pertanyaan guru. Demikian diakukan hingga sebagian besar siswa tertunjuk untuk menjawab pertanyaan guru. Apabila siswa tertunjuk tidak mampu menjawab, tongkat digulirkan kembali dengan nyanyian hingga menunjuk siswa lainnya.
5. Guru bersama siswa merangkum seluruh jawaban siswa dan menyimpulkan substansi pokok materinya.
6. Guru menutup pelajaran dengan memberikan tugas lain untuk siswa.
2.3.3.8.Model Cooperative Integrated Reading and Composition (Steven, R. dan Slavin, R., 1995)
Langkah-langkah :1. Membentuk kelompok yang anggotanya 4 orang secara heterogen.2. Guru memberikan wacana (bisa dari kliping, surat kabar, majalah atau
sumber yang lain) terkait dengan topik pembelajaran.3. Siswa bekerja sama saling membacakan dan menemukan ide pokok
dan memberi tanggapan terhadap wacana tersebut. Tanggapan tiap kelompok ditulis pada kertas.
4. Tiap kelompok mempresentasikan/membacakan hasil kerja kelompok, sementara itu kelmpok lain memberikan tanggapan.
5. Guru membuat kesimpulan bersama dengan siswa.6. Penutup
6 |
2.3.3.9. Model Inside – Outside Circle (Kagan, S., 1998)“Siswa saling membagi informasi pada saat yang bersamaan, dengan pasangan yang berbeda dengan singkat dan teratur”Langkah-langkah :1. Separuh kelas berdiri membentuk lingkaran kecil dan menghadap
keluar.2. Separuh kelas lainnya membentuk lingkaran di luar lingkaran
pertama, menghadap ke dalam3. Dua siswa yang berpasangan dari lingkaran kecil dan besar berbagi
informasi. Pertukaran informasi ini bisa dilakukan oleh semua pasangan dalam waktu yang bersamaan
4. Kemudian siswa yang berada di lingkaran kecil diam di tempat, sementara siswa yang berada di lingkaran besar bergeser satu atau dua langkah searah jarum jam.
5. Selanjutnya giliran siswa yang berada di lingkaran besar membagi informasi. Demikian seterusnya.
6. Pertukaran informasi itu akan diterima oleh seluruh siswa, sehigga seluruh siswa memiliki informasi yang sama.
Catatan:Informasinya harus sudah didisain oleh guru, sesuai dengan materi pembelajaran, sehingga informasi tersebut tidak jauh melenceng dari pokok materi.
2.3.4. Komponen Pembelajaran Kontekstuala. Membuat hubungan yang bermakna (making meaningful
connections) antara sekolah dan konteks kehidupan nyata, sehingga siswa merasakan bahwa belajar penting untuk masa depannya.
b. Melakukan pekerjaan yang siginifikan (doing significant work). Pekerjaan yang memiliki suatu tujuan, memiliki kepedulian terhadap orang lain, ikut serta dalam menentukan pilihan, dan menghasilkan produk.
c. Pembelajaran mandiri (self-regulated learning) yang membangun minat individual siswa untuk bekerja sendiri ataupun kelompok dalam rangka mencapai tujuan yang bermakna dengan mengaitkan antara materi ajar dan konteks kehidupan sehari-hari
d. Bekerjasama (collaborating) untuk membantu siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, membantu mereka untuk mengerti bagaimana berkomunikasi/berinteraksi dengan yang lain dan dampak apa yang ditimbulkannya.
7 |
e. Berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thingking); siswa diwajibkan untuk memanfaatkan berpikir kritis dan kreatifnya dalam pengumpulan, analisis dan sintesa data, memahami suatu isu/fakta dan pemecahan masalah.
f. Pendewasaan individu (nurturing individual) dengan mengenalnya, memberikan perhatian, mempunyai harapan tinggi terhadap siswa dan memotivasinya.
g. Pencapaian standar yang tinggi (reaching high standards) melalui pengidentifikasian tujuan dan memotivasi siswa untuk mencapainya.
h. Menggunakan penilaian autentik (using authentic assessment) yang menantang siswa agar dapat menggunakan informasi akademis baru dan keterampilannya kedalam situasi nyata untuk tujuan yang signifikan.
2.3.5. Perbedaan model CTL dan Tradisional
Nmr. CTL Tradisional1. Menyandarkan pada memori
spasial (pemahaman makna)Menyandarkan pada hapalan
2 Pemilihan informasi berdasarkan kebutuh-an siswa
Pemilihan informasi di-tentukan oleh guru
3 Siswa terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran
Siswa secara pasif menerima informasi
4 Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata/-masalah yang disi-mulasikan
Pembelajaran sangat abstrak dan teoritis
5 Selalu mengkaitkan informasi dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa
Memberikan tumpukan informasi kepada siswa sampai saatnya diperlukan
6 Cenderung mengintegrasikan beberapa bidang
Cenderung terfokus pada satu bidang (disiplin) tertentu
7 Siswa menggunakan waktu belajarnya untuk menemukan, menggali, berdiskusi, berpikir kritis, atau mengerjakan proyek dan pemecahan masalah (melalui kerja kelompok)
Waktu belajar siswa se-bagian besar dipergu-nakan untuk mengerja-kan buku tugas, men-dengar ceramah, dan mengisi latihan yang membosankan (melalui kerja individual)
8 Perilaku dibangun atas kesadaran diri
Perilaku dibangun atas kebiasaan
9 Keterampilan dikem-bangkan atas dasar pemahaman
Keterampilan dikem-bangkan atas dasar latihan
8 |
10 Hadiah dari perilaku baik adalah kepuasan diri
Hadiah dari perilaku baik adalah pujian atau nilai (angka) rapor
11 Siswa tidak melakukan hal yang buruk karena sadar hal tsb keliru dan merugikan
Siswa tidak melakukan sesuatu yang buruk karena takut akan hukuman
12 Perilaku baik berdasar-kan motivasi intrinsik
Perilaku baik berdasar-kan motivasi ekstrinsik
13 Pembelajaran terjadi di berbagai tempat, konteks dan setting
Pembelajaran hanya terjadi dalam kelas
14 Hasil belajar diukur melalui penerapan penilaian autentik
Hasil belajar diukur melalui kegiatan akademik dalam bentuk tes/ujian/ulangan
2.4. Pembelajaran Realistic Mathematic Education (RME)2.4.1. PengertianPembelajaran matematika realistik adalah atau Realistic Mathematics
Education (RME) adalah sebuah pendekatan pembelajaran matematika yang dikembangkan Freudenthal di Belanda. Gravemeijer (1994: 82) dimana menjelaskan bahwa yang dapat digolongkan sebagai aktivitas tersebut meliputi aktivitas pemecahan masalah, mencari masalah dan mengorganisasi pokok persoalan.
Matematika realistik yang dimaksudkan dalam hal ini adalah matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menemaptkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran.
Masalah-masalah realistik digunakan sebagai sumber munculnya konsep-konsep matematika atau pengetahuanmatematika formal.
Implementasi pendidikan matematika relistik di indonesia harus dimulai dengan mengadaptasi RME sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia. Terdapat lima prinsip utama dalam “kurikulum” matematika realistik,antara lain:a. Didominasi oleh masalah-masalah dalam konteks, melayani dua hal yaitu
sebagai sumber dan sebagai terapan konsep matematika.b. Perhatian diberikan pada pengembangan model-model, situasi, skema, dan
simbol-simbol.c. Sumbangan dari para siswa, sehingga siswa dapat membuat pembelajaran
menjadi konstruktif dan produktif.d. Interaktif sebagai karakteristik dari proses pembelajaran matematika.e. Intertwining (membuat jalinan) antar topik atau antar pokok bahasan atau
standar kompetensi.
9 |
2.4.2. Ciri Pembelajaran Realistic Mathematic Education
Menurut Yuwono (2001:3), pembelajaran yang berorientasikan pada RME dapat dicirikan oleh :
a. Matematika dipandang sebagai kegiatan manusia sehari-hari, sehingga dapat memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
b. Belajar dengan matematika berarti bekerja dengan matematika.c. Siswa diberikesempatan untuk menemukan konsep-konsep
maematika di bawah bimbingan guru.d. Proses belajar mengajar berlangsug secara interaktif dan siswa
menjadi fokus dari seua aktifitas dikelas.e. Pemberian perhatian yang besar pada “reinvention” yakni siswa
diharapkan dapat membangun konsep dan struktur matematika bermula dari intuisi mereka masing-masing.
f. Pengenalan konsep dan abtraksi melalui hal-hal yang konkrit atau dari sekitar siswa.
g. Selama proses pematematikaan siswa mengkonstruksi gagasannya sendiri, tidak perlu sama antara siswa yang satu dengan siswa yang lain.
h. Hasil pemikiran siswa dikonfrontir dengan hasil pemikiran siswa yang lainnya.
i. Aktifitas yang dilakukan meliputi ; menemukan masalah-masalah konstektual (looking for problems), memeahkan masalah (solving problems) dan mengorganisir bahan belajar.
2.4.3. Karakteristik Pembelajaran Realistic Mathematic Education
Karateristik RME adalah menggunakan konteks “ dunia nyata “, model-model, produksi dan konstuksi siswa, interaktif, dan keterkaitan (intertwinment) (Treffers,1991;Van den Heuvel-Panhuizen,1998).
a. Menggunakan masalah kontekstual “ Dunia Nyata”Pembelajaran matematika diawali dengan masalah kontekstual (dunia
nyata), sehingga memungkinkan siswa menggunakan pengalaman atau pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya secara langsung. Masalah kontekstual tidak hanya berfungsi sebagai sumber pematematikaan, tetapi juga sebagai sumber untuk mengaplikasikan kembali matematika. Masalah kontekstual yang diangkat sebagai topik awal pembelajaran, hendaknya
10 |
masalah sederhana yang dikenali oleh siswa. Masalah kontekstual dalam PMR memiliki empat fungsi, yaitu:
(1) untuk membantu siswa menggunakan konsep matematika,(2) untuk membentuk model dasar matematika dalam mendukung
pola pikir siswa bermatematika,(3) untuk memanfaatkan realitas sebagai sumber aplikasi matematika
dan(4) untuk melatih kemampuan siswa, khususnya dalam menerapkan
matematika pada situasi nyata (realitas).b. Menggunakan berbagai model (Matematisasi)Istilah model berkaitan dengan model matematika yang dibangun
sendiri oleh siswa dalam mengaktualisasikan masalah kontekstual ke dalam bahasa matematika, yang merupakan jembatan bagi siswa untuk membuat sendiri model-model dari situasi nyata ke abstrak atau dari situasi informal ke formal.
c. Menggunakan Produksi dan KonstruksiSiswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan
berbagai strategi informal yang dapat mengarahkan pada pengkonstruksian berbagai prosedur untuk memecahkan masalah. Dengan kata lain, kontribusi yang besar dalam proses pembelajaran diharapkan datang dari siswa, bukan dari guru. Artinya semua pikiran atau pendapat siswa sangat diperhatikan dan dihargai.
d. Menggunakan Interaktif.Interaksi antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa, serta siswa
dengan perangkat pembelajaran merupakan hal yang sangat penting dalam PMR. Bentuk-bentuk interaksi seperti: negosiasi, penjelasan, pembenaran, persetujuan, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk pengetahuan matematika formal dari bentuk-bentuk pengetahuan matematika informal yang ditemukan sendiri oleh siswa.
e. Menggunakan Keterkaitan (Intertwinment)Struktur dan konsep matematika saling berkaitan, biasanya
pembahasan suatu topik (unit pelajaran) harus dieksplorasi untuk mendukung terjadinya proses pembelajaran yang lebih bermakna. Dalam tesis ini karakteristik ini tidak muncul
2.4.4. Langkah-langkah Pembelajaran Realistic Mathematic Education
Adapun langkah-langkah pembelajaran Realistic Mathematic Education adalah sebagai berikut :
AKTIVITAS GURU AKTIVITAS SISWA Guru memberikan siswa masalah
kontekstual Guru merespon secara positif
Siswa secara mandiri atau kelompok kecil mengerjakan masalah dengan strategi-
11 |
jawaban siswa. Siswa diberi kesempatan untuk memikirkan strategi siswa yang paling efektif.
Guru mengarahkan siswa pada beberapa masalah kontekstual dan selanjutnya mengerjakan masalah dengan menggunakan pengalaman mereka
strategi informal. Siswa memikirkan strategi
yang paling efektif. Siswa secara sendiri-sendiri
atau berkelompok menyelesaikan masalah tersebut.
Guru mendekati siswa sambil memberikan bantuan seperlunya.
Guru mengenalkan istilah konsep.
Guru memberikan tugas di rumah, yaitu mengerjakan soal atau membuat masalah cerita serta jawabannya sesuai dengan matematika formal.
Beberapa siswa mengerjakan di papan tulis, melalui diskusi kelas, jawaban siswa dikonfrontasikan
Siswa merumuskan bentuk matematika formal
Siswa mengerjakan tugas rumah dan menyerahkannya kepada guru.
2.4.5. Contoh PenerapanPenerapan Model RME di KelasUntuk memberikan gambaran tentang implementasi pembelajaran matematika realistik, misalnya diberikan contoh tentang pembelajaran pecahan di sekolah dasar (SD). Sebelum mengenalkan pecahan kepada siswa sebaiknya pembelajaran pecahan dapat diawali dengan pembagian menjadi bilangan yang sama misalnya pembagian kue, supaya siswa memahami pembagian dalam bentuk yang sederhana dan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga siswa benar-benar memahami pembagian setelah siswa memahami pembagian menjadi bagian yang sama, baru diperkenalkan istilah pecahan. Pembelajaran ini sangat berbeda dengan pembelajaran bukan matematika realistik dimana siswa sejak awal dicekoki dengan istilah pecahan dan beberapa jenis pecahan.
Pembelajaran matematika realistik diawali dengan dunia nyata, agar dapat memudahkan siswa dalam belajar matematika, kemudian siswa dengan bantuan guru diberikan kesempatan untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika. Setelah itu, diaplikasikan dalam masalah sehari-hari atau dalam bidang lain.
12 |
BAB III PENUTUP
3.1 KesimpulanDalam proses belajar sintak CTL (Contextual Teaching and
Learning) dan RME (Realistic Mathematic Education) sangat berguna, dimana CTL adalah konsep belajar yang membantu siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
RME (Realistic Mathematic Education) adalah matematika horizontal dan vertikal. Dimana prinsip realistic Mathematics Education ini yaitu konstruktivis, realitas, pemahaman, keterkaitan antar konsep, interaksi, dan bimbimbingan.
Apabila antara CTL (Contextual Teaching and Learning) dan RME (Realistic Mathematic Education) sudah terangkai dan dipakai dalam proses belajar mengajar maka terbentuklah sintak model pembelajaran.
3.2 Sarana. Diharapkan pengajar dapat menerapkan CTL (Contextual
Teaching and Learning) dan RME (Realistic Mathematic Education) dalam pembelajaran.
b. Diharapkan pengajar dapat secara kreatif mencobakan dan mengembangkan inovasi pembelajaran tersendiri yang khas, sesuai dengan kondisi nyata di tempat kerja masing-masing, sehingga pada gilirannya akan muncul inovasi pembelajaran versi baru.
13 |