25
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.05/2017 TENTANG PENGAWASAN PT PERMODALAN NASIONAL MADANI (PERSERO) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung perkembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), khususnya untuk mendapatkan, dan meningkatkan akses pembiayaan UMKM kepada lembaga keuangan non bank, baik bank maupun non-bank, perlu adanya landasan; b. bahwa untuk memberikan landasan hukum terhadap pengawasan usaha PT Permodalan Nasional Madani (Persero) di Indonesia serta dalam rangka menciptakan kegiatan usaha yang sehat dan memberikan perlindungan kepada pelaku UMKM; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pengawasan PT Permodalan Nasional Madani (Persero); Mengingat : Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN:

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA … · b ahwa dalam rangka mendukung perkembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM ... Tingkat Kesehatan Keuangan adalah hasil penilaian

  • Upload
    lethuan

  • View
    217

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

OTORITAS JASA KEUANGAN

REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN

NOMOR /POJK.05/2017

TENTANG

PENGAWASAN PT PERMODALAN NASIONAL MADANI (PERSERO)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung perkembangan Usaha

Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), khususnya untuk

mendapatkan, dan meningkatkan akses pembiayaan

UMKM kepada lembaga keuangan non bank, baik bank

maupun non-bank, perlu adanya landasan;

b. bahwa untuk memberikan landasan hukum terhadap

pengawasan usaha PT Permodalan Nasional Madani

(Persero) di Indonesia serta dalam rangka menciptakan

kegiatan usaha yang sehat dan memberikan

perlindungan kepada pelaku UMKM;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana

dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pengawasan

PT Permodalan Nasional Madani (Persero);

Mengingat : Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa

Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011

Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5253);

MEMUTUSKAN:

- 2 -

Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG

PENGAWASAN

PT PERMODALAN NASIONAL MADANI (PERSERO)

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud

dengan:

1. PT Permodalan Nasional Madani (Persero) yang

selanjutnya disebut Perusahaan adalah perusahaan yang

didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 38 Tahun 1999 tanggal 25 Mei 1999

tentang Penyertaan Modal Negara untuk pendirian

Perusahaan (Perseroan) dalam rangka Pengembangan

Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah.

2. Usaha Mikro Kecil dan Menengah yang selanjutnya

disebut UMKM adalah usaha mikro kecil dan menengah

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro

Kecil dan Menengah.

3. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang

perorangan dan/atau badan usaha perorangan, yang

memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

4. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri

sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan

usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau

bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau

menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung

dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi

kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha

Mikro, Kecil, dan Menengah.

5. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang

berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan

atau badan usaha yang bukan merupakan anak

- 3 -

perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki,

dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun

tidak langsung dengan Usaha Kecil atau usaha besar

dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan

tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan

Menengah.

6. Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam

berdasarkan fatwa dan/atau pernyataan kesesuaian

syariah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama

Indonesia.

7. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS

adalah unit kerja di kantor pusat Perusahaan yang

berfungsi sebagai kantor pusat dari kantor cabang

dan/atau kantor perwakilan yang menjalankan kegiatan

usaha Perusahaan berdasarkan Prinsip Syariah.

8. Jasa Pembiayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah yang

selanjutnya disebut Jasa Pembiayaan adalah kegiatan

penyaluran kredit modal usaha bagi Usaha Mikro Kecil

dan Menengah termasuk kredit program.

9. Jasa Manajemen adalah kegiatan non finansial berupa

pelatihan, konsultasi dan pendampingan usaha yang

ditujukan untuk pengembangan koperasi, usaha mikro,

kecil, dan menengah serta lembaga keuangan mikro atau

lembaga keuangan mikro syariah.

10. Nasabah adalah konsumen baik badan usaha atau orang

perseorangan yang menerima Jasa Pembiayaan atau Jasa

Manajemen dari Perusahaan.

11. Direksi adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang

Perseroan Terbatas.

12. Dewan Komisaris adalah komisaris sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007

tentang Perseroan Terbatas.

13. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat DPS

adalah bagian dari organ Perusahaan yang mempunyai

tugas dan fungsi pengawasan terhadap penyelenggaraan

kegiatan usaha agar sesuai dengan Prinsip Syariah.

- 4 -

14. Tingkat Kesehatan Keuangan adalah hasil penilaian

kondisi Perusahaan terhadap risiko permodalan,

likuiditas, aset, operasional dan kinerja Perusahaan.

15. Pemeriksaan adalah rangkaian kegiatan mencari,

mengumpulkan, mengolah, dan mengevaluasi data

dan/atau keterangan, serta untuk menilai dan

memberikan kesimpulan mengenai penyelenggaraan

usaha Perusahaan.

16. Pemeriksa adalah pegawai Otoritas Jasa Keuangan atau

pihak lain yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan

untuk melakukan Pemeriksaan.

17. Hari adalah hari kerja.

18. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK

adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang

Otoritas Jasa Keuangan.

BAB II

KELEMBAGAAN

Pasal 2

(1) Perusahaan berkedudukan dan berkantor pusat di

Jakarta atau sesuai dengan anggaran dasar Perusahaan.

(2) Perusahaan dapat membuka kantor di luar kantor pusat.

(3) Perusahaan wajib melaporkan pembukaan, penutupan,

dan perubahan kantor di luar kantor pusat kepada OJK.

Pasal 3

Perusahaan wajib mempunyai struktur organisasi yang

menggambarkan secara jelas paling sedikit fungsi:

a. akuntansi dan keuangan;

b. pemasaran;

c. analisis kelayakan Jasa Pembiayaan;

d. manajemen risiko;

e. kepatuhan;

f. pengawasan internal;

- 5 -

g. pelayanan dan penyelesaian pengaduan; dan

h. pengembangan informasi/database nasabah,

yang dilengkapi dengan susunan personalia, uraian tugas,

wewenang, dan tanggung jawab serta ditetapkan oleh Direksi.

Pasal 4

(1) Perusahaan dapat menjalankan kegiatan usaha

berdasarkan Prinsip Syariah.

(2) Dalam hal Perusahaan menjalankan kegiatan usaha

berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), maka Perusahaan wajib membentuk UUS.

(3) Perusahaan yang membentuk UUS sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) wajib memenuhi ketentuan:

a. mempunyai modal kerja yang disisihkan untuk

kegiatan UUS;

b. mempunyai pimpinan UUS yang bertanggung jawab

atas pelaksanaan kegiatan usaha yang dilakukan

berdasarkan Prinsip Syariah;

c. mempunyai paling sedikit 1 (satu) orang DPS;

d. mempunyai pembukuan terpisahkan.

(4) Pembentukan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari OJK.

(5) Untuk memperoleh izin UUS sebagaimana dimaksud pada

ayat (4), Direksi Perusahaan harus mengajukan

permohonan izin pembukaan UUS kepada OJK dilampiri

dengan:

a. Surat keputusan Direksi Perusahaan mengenai

alokasi modal kerja bagi UUS;

b. Dokumen DPS Perusahaan yang meliputi:

1. Daftar riwayat hidup;

2. Surat pengangkatan DPS oleh Direksi

Perusahaan;

3. Surat rekomendasi dari Dewan Syariah

Nasional Majelis Ulama Indonesia;

c. Dokumen pimpinan UUS yang meliputi:

1. Daftar riwayat hidup; dan

2. Surat pengangkatan pimpinan UUS oleh

Direksi Perusahaan;

- 6 -

d. Contoh format perjanjian kegiatan usaha

berdasarkan Prinsip Syariah sesuai dengan akad

yang digunakan.

BAB III

PENYELENGGARAAN USAHA

Bagian Kesatu

Kegiatan Usaha Perusahaan

Pasal 5

(1) Kegiatan usaha Perusahaan meliputi :

a. Jasa Pembiayaan;

b. Jasa Manajemen; dan

c. kegiatan usaha lain berdasarkan persetujuan OJK.

(2) Kegiatan usaha Perusahaan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) huruf a dapat dilakukan berdasarkan Prinsip

Syariah.

Pasal 6

(1) Seluruh kegiatan usaha Jasa Pembiayaan antara

Perusahaan dengan Nasabah wajib dituangkan dalam

perjanjian tertulis atau dokumen elektronik.

(2) Perjanjian Jasa Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) wajib paling sedikit memuat:

a. jenis Jasa Pembiayaan;

b. nomor dan tanggal perjanjian;

c. identitas para pihak;

d. jumlah pembiayaan;

e. tanggal pembayaran dan nilai angsuran pembiayaan;

f. jangka waktu dan tingkat suku bunga pembiayaan;

g. jenis agunan (jika ada);

h. klausul pembebanan fidusia secara jelas, apabila

terdapat pembebanan jaminan fidusia dalam kegiatan

pembiayaan;

i. mekanisme apabila terjadi perselisihan dan pemilihan

tempat penyelesaian perselisihan;

j. ketentuan mengenai hak dan kewajiban para pihak;

dan

- 7 -

k. ketentuan mengenai denda.

(3) Perjanjian Jasa Pembiayaan antara Perusahaan dengan

Nasabah wajib memenuhi ketentuan penyusunan

perjanjian sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK

mengenai perlindungan konsumen sektor jasa keuangan

dan peraturan pelaksanaannya.

Pasal 7

(1) Perusahaan wajib melakukan mitigasi risiko pembiayaan.

(2) Mitigasi risiko pembiayaan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dapat dilakukan dengan cara:

a. mengalihkan risiko pembiayaan melalui asuransi kredit

atau mekanisme penjaminan kredit;

b. mengalihkan risiko atas barang yang dibiayai atau

barang yang menjadi agunan dari kegiatan pembiayaan

melalui mekanisme asuransi; dan/atau

c. melakukan pembebanan agunan berupa barang

bergerak atau tidak bergerak dari kegiatan pembiayaan.

(3) Dalam hal Perusahaan melakukan pengalihan risiko

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a wajib

menggunakan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan

Penjaminan yang telah mendapatkan izin usaha dari OJK

dan tidak dalam pengenaan sanksi pembatasan kegiatan

usaha atau pembekuan kegiatan usaha dari OJK.

Bagian Kedua

Penempatan Dana

Pasal 8

(1) Perusahaan hanya dapat melakukan penempatan

dana/investasi di dalam negeri.

(2) Investasi Perusahaan dalam bentuk penyertaan langsung

hanya dapat dilakukan pada lembaga keuangan atau

lembaga lain.

(3) Penyertaan langsung pada lembaga lain sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) wajib terlebih dahulu mendapat

persetujuan OJK.

Bagian Ketiga

- 8 -

Sumber Pendanaan

Pasal 9

Sumber pendanaan Perusahaan hanya dapat berasal dari :

a. penyertaan modal negara;

b. pinjaman dari bank, industri keuangan non bank,

dan/atau badan usaha lain;

c. penerbitan obligasi atau obligasi syariah;

d. penerbitan medium term notes;

e. pinjaman subordinasi;

f. sekuritisasi piutang pembiayaan;

g. hibah; dan/atau

h. sumber pendanaan lain dengan persetujuan OJK.

Bagian Keempat

Rasio Produktivitas

Pasal 10

(1) Perusahaan wajib memenuhi rasio produktivitas kegiatan

usaha yaitu:

a. Financing to Asset Ratio; dan

b. Micro Financing Ratio.

(2) Perusahaan wajib menjaga Financing to Asset Ratio

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit 70%

(tujuh puluh per seratus).

(3) Financing to Asset Ratio sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) merupakan perbandingan total pembiayaan terhadap

total aset.

(4) Perusahaan wajib menjaga Micro Financing Ratio

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:

a. untuk nilai pembiayaan kurang dari atau sama dengan

Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) paling sedikit

20% (dua puluh per seratus); dan

b. untuk nilai pembiayaan Rp10.000.000,00 (sepuluh

juta rupiah) sampai dengan Rp100.000.000,00

(seratus juta rupiah paling sedikit 20% (dua puluh per

seratus).

(5) Micro Financing Ratio sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) merupakan perbandingan total pembiayaan mikro

terhadap total pembiayaan.

- 9 -

Bagian Kelima

Tingkat Kesehatan Keuangan

Pasal 11

(1) Perusahaan setiap waktu wajib memenuhi persyaratan

tingkat kesehatan keuangan dengan kondisi minimum

sehat.

(2) Pengukuran rasio tingkat kesehatan keuangan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. likuiditas;

b. rasio permodalan; dan

c. kualitas piutang pembiayaan;

Pasal 12

(1) Perusahaan wajib memenuhi rasio likuiditas paling sedikit

120% (seratus dua puluh per seratus).

(2) Rasio likuiditas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dihitung dengan menggunakan current ratio yaitu

perbandingan antara aset lancar terhadap kewajiban

lancar.

Pasal 13

(1) Perusahaan wajib memenuhi rasio permodalan melalui

perhitungan gearing ratio paling tinggi 10 (sepuluh) kali.

(2) Gearing ratio sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

merupakan perbandingan antara jumlah pinjaman yang

diterima dikurangi kas dan setara kas dengan ekuitas

Perusahaan.

Pasal 14

(1) Perusahaan wajib melakukan penilaian kualitas piutang

pembiayaan.

(2) Piutang pembiayaan yang dikategorikan sebagai piutang

pembiayaan bermasalah (non performing loan) terdiri atas

piutang pembiayaan dengan kualitas kurang lancar,

diragukan, dan macet.

(3) Nilai piutang pembiayaan dengan kategori kualitas

piutang pembiayaan bermasalah (non performing loan)

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah dikurangi

cadangan penyisihan penghapusan piutang pembiayaan

- 10 -

wajib paling tinggi sebesar 5% (lima persen) dari total

piutang pembiayaan.

(4) Penilaian kualitas piutang pembiayaan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan faktor

ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga.

Pasal 15

(1) Penilaian kualitas piutang pembiayaan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 14 ditetapkan menjadi:

a. lancar;

b. dalam perhatian khusus;

c. kurang lancar;

d. diragukan; atau

e. macet.

(2) Penilaian piutang pembiayaan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dikategorikan sebagai berikut:

a. lancar apabila tidak terdapat keterlambatan atau

terdapat keterlambatan pembayaran pokok dan/atau

bunga sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kalender;

b. dalam perhatian khusus apabila terdapat

keterlambatan pembayaran pokok dan/atau bunga

yang telah melampaui 30 (tiga puluh) hari kalender

sampai dengan 90 (sembilan puluh) hari kalender;

c. kurang lancar apabila terdapat keterlambatan

pembayaran pokok dan/atau bunga yang telah

melampaui 90 (sembilan puluh) hari kalender sampai

dengan 120 (seratus dua puluh) hari kalender;

d. diragukan apabila terdapat keterlambatan pembayaran

pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 120

(seratus dua puluh) hari kalender sampai dengan 180

(seratus delapan puluh) hari kalender; atau

e. macet apabila terdapat keterlambatan pembayaran

pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 180

(seratus delapan puluh) hari kalender.

Bagian Keenam

Tata Kelola Perusahaan Yang Baik

Pasal 16

Prinsip tata kelola perusahaan yang baik meliputi:

- 11 -

a. Transparansi, yaitu keterbukaan dalam melaksanakan

proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam

mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai

perusahaan;

b. Akuntabilitas, yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan

pertanggungjawaban organ sehingga pengelolaan

perusahaan terlaksana secara efektif;

c. Pertanggungjawaban, yaitu kesesuaian di dalam

pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-

undangan dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat;

d. Kemandirian, yaitu keadaan di mana perusahaan dikelola

secara professional tanpa benturan kepentingan dan

pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai

dengan peraturan perundang-undangan dan prinsip-

prinsip korporasi yang sehat;

e. Kewajaran, yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam

memenuhi hak-hak pemangku kepentingan (stakeholders)

yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan

perundangundangan.

Pasal 17

(1) Perusahaan wajib menerapkan prinsip tata kelola

perusahaan yang baik sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 12 dalam setiap kegiatan usahanya pada seluruh

tingkatan atau jenjang organisasi.

(2) Pelaksanaan prinsip tata kelola perusahaan yang baik

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dituangkan

dalam suatu pedoman tertulis.

(3) Pelaksanaan prinsip tata kelola perusahaan yang baik

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diwujudkan

dalam:

a. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi, Dewan

Komisaris, dan DPS;

b. pelaksanaan tugas satuan kerja dan komite yang

menjalankan fungsi pengendalian internal

Perusahaan;

c. penerapan fungsi kepatuhan, auditor internal dan

auditor eksternal;

- 12 -

d. penerapan manajemen risiko, termasuk sistem

pengendalian internal dan penerapan tata kelola

teknologi informasi;

e. penerapan kebijakan remunerasi; dan

f. transparansi kondisi keuangan dan non keuangan

Perusahaan.

(4) OJK melakukan penilaian terhadap kebijakan dan

prosedur pedoman tata kelola perusahaan yang baik.

(5) OJK dapat meminta Perusahaan untuk melakukan

perbaikan terhadap kebijakan dan prosedur pedoman

tata kelola perusahaan yang baik.

Pasal 18

(1) Perusahaan wajib menerapkan tata kelola teknologi

informasi yang efektif.

(2) Perusahaan wajib memberikan perlindungan hak dan

kepentingan kepada nasabah dan memiliki fungsi

penanganan keluhan.

Pasal 19

(1) Perusahaan wajib memberikan informasi kepada OJK

secara lengkap, tepat waktu dan dengan cara yang

efisien.

(2) Perusahaan wajib memiliki sistem pelaporan keuangan

yang dapat diandalkan untuk keperluan pengawasan dan

pemangku kepentingan lain.

Pasal 20

Perusahaan wajib menetapkan pengendalian internal yang

efektif dan efisien untuk memberikan keyakinan yang

memadai bahwa kegiatan usaha dijalankan sesuai dengan

sasaran dan strategi bisnis serta anggaran dasar dan aturan

internal lain Perusahaan dan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Pasal 21

(1) Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan pegawai Perusahaan

dilarang menawarkan atau memberikan sesuatu, baik

- 13 -

langsung maupun tidak langsung kepada pihak lain,

untuk mempengaruhi pengambilan keputusan yang

terkait dengan kegiatan jasa pembiayaan, dengan

melanggar ketentuan perundang-undangan yang

berlaku.

(2) Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan pegawai Perusahaan

dilarang menerima sesuatu untuk kepentingan

pribadinya dengan melanggar ketentuan perundang-

undangan yang berlaku, baik langsung maupun tidak

langsung, dari siapapun, yang dapat mempengaruhi

pengambilan keputusan yang terkait dengan kegiatan

jasa pembiayaan.

Pasal 22

(1) Perusahaan wajib memiliki satuan kerja atau pegawai

yang melaksanakan fungsi kepatuhan.

(2) Satuan kerja atau pegawai sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) bertugas membantu Direksi dalam memastikan

kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan

mengenai kegiatan jasa pembiayaan dan peraturan

perundang-undangan lainnya.

(3) Satuan kerja atau pegawai sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) bertanggungjawab kepada anggota Direksi yang

membawahkan fungsi kepatuhan.

(4) Anggota Direksi yang membawahkan fungsi kepatuhan

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat

dirangkap oleh direktur utama.

Pasal 23

(1) Perusahaan wajib membentuk komite audit.

(2) Komite audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

bertugas membantu Dewan Komisaris dalam memantau

dan memastikan efektifitas system pengendalian internal

dan pelaksanaan tugas auditor internal dan auditor

eksternal dengan melakukan pemantauan dan evaluasi

atas perencanaan dan pelaksanaan audit dalam rangka

menilai kecukupan pengendalian internal termasuk

proses pelaporan keuangan.

- 14 -

(3) Dalam membantu tugas Dewan Komisaris peusahaan

dapat membentu komite Lainnya yang terdiri dari Komite

Pemantau Risiko, Komite Nominasi dan Remunerasi, dan

Komite Pengembangan Usaha.

Pasal 24

(1) Laporan keuangan tahunan wajib diaudit oleh auditor

eksternal.

(2) Auditor eksternal Perusahaan wajib ditunjuk oleh RUPS

dari calon auditor eksternal yang diajukan oleh Dewan

Komisaris berdasarkan usulan komite audit.

(3) Pencalonan auditor eksternal sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dan ayat (2) wajib disertai:

a. alasan pencalonan dan besarnya honorarium atau

imbal jasa yang diusulkan untuk auditor eksternal

tersebut; dan

b. pernyataan kesanggupan yang ditandatangani oleh

auditor eksternal, untuk bebas dari pengaruh Direksi,

Dewan Komisaris, DPS, dan pihak yang

berkepentingan di perusahaan dan kesediaan untuk

memberikan informasi terkait dengan hasil auditnya

kepada Kepala Eksekutif Industri Keuangan Non

Bank OJK.

(4) Perusahaan wajib menyediakan semua catatan

akuntansi dan data penunjang yang diperlukan bagi

auditor eksternal sehingga memungkinkan auditor

eksternal memberikan pendapatnya tentang kewajaran,

ketaatan, dan kesesuaian laporan keuangan Perusahaan

dengan standar audit yang berlaku.

Pasal 25

(1) Perusahaan wajib melakukan penilaian secara mandiri

(self assesment) atas penerapan tata kelola perusahaan

yang baik secara berkala.

(2) Ketentuan mengenai tata cara penilaian secara mandiri

(self assessment) atas penerapan tata kelola perusahaan

yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur

dalam Surat Edaran OJK

- 15 -

Bagian Ketujuh

Manajemen Risiko

Pasal 26

(1) Perusahaan wajib menerapkan manajemen risiko secara

efektif.

(2) Penerapan manajemen risiko secara efektif sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup :

a. pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris;

b. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit

risiko;

c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran,

pemantauan, dan pengendalian risiko serta sistem

informasi manajemen risiko; dan

d. sistem pengendalian intern yang menyeluruh.

(3) Dalam rangka menerapkan manajemen risiko

sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan wajib

memiliki pedoman penerapan manajemen risiko.

(4) OJK melakukan penilaian terhadap pedoman manajemen

risiko Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

(5) OJK dapat meminta Perusahaan untuk melakukan

perbaikan terhadap pedoman manajemen risiko.

Pasal 27

Manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23

wajib diterapkan untuk:

a. risiko kredit;

b. risiko pasar;

c. risiko likuiditas;

d. risiko operasional;

e. risiko hukum;

f. risiko reputasi;

g. risiko stratejik; dan

h. risiko kepatuhan.

- 16 -

Pasal 28

(1) Perusahaan wajib melakukan penilaian tingkat risiko

paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun untuk

posisi akhir tahun.

(2) Dalam hal diperlukan, OJK dapat meminta Perusahaan

untuk melakukan perubahan penilaian tingkat risiko

sewaktu-waktu.

Bagian Kedelapan (baru)

Anti Fraud

Pasal 29

(1) Dalam rangka mengendalikan risiko terjadinya fraud,

Perusahaan wajib melaksanakan fungsi pengendalian

fraud dan menerapkan strategi anti fraud yang

dituangkan dalam pedoman tertulis.

(2) Fungsi pengendalian fraud sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) meliputi aspek sebagai berikut:

a. pengawasan aktif manajemen;

b. organisasi dan pertanggungjawaban;

c. pengendalian dan pemantauan; dan

d. edukasi dan pelatihan.

(3) Dalam rangka melaksanakan aspek pengendalian dan

pemantauan fraud sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

huruf c, Perusahaan wajib menerapkan strategi anti fraud

yang meliputi:

a. pencegahan;

b. deteksi;

c. investigasi, pelaporan dan sanksi; dan

d. pemantauan, evaluasi, dan tindak lanjut.

(4) Perusahaan wajib menyampaikan laporan strategi anti

fraud kepada OJK sebagai berikut:

a. laporan penerapan strategi anti fraud tahunan,

disampaikan paling lambat tanggal 30 April tahun

berikutnya;

b. laporan setiap fraud yang diperkirakan berdampak

negatif secara signifikan terhadap Perusahaan,

- 17 -

nasabah dan/atau pihak lain termasuk yang

berpotensi menjadi perhatian publik, paling lama 3

(tiga) hari kerja sejak manajemen perusahaan

menandatangani dokumen pelaporan fraud; dan

c. laporan sebagaimana dimaksud pada huruf b paling

sedikit memuat:

1) nama pelaku;

2) bentuk atau jenis penyimpangan;

3) tempat kejadian;

4) informasi singkat mengenai modus; dan

5) indikasi kerugian.

Bagian Kesembilan

Rencana Bisnis

Pasal 30

(1) Perusahaan wajib menyusun kebijakan rencana

pelaksanaan kegiatan usaha yang dituangkan dalam

rencana bisnis tahunan Perusahaan.

(2) Rencana bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

paling sedikit meliputi:

a. kebijakan dan rencana kegiatan usaha;

b. kebijakan dan strategi manajemen;

c. penerapan manajemen risiko dan kepatuhan;

d. penerapan tata kelola perusahaan yang baik;

e. kinerja keuangan Perusahaan periode sebelumnya;

f. proyeksi laporan keuangan beserta asumsi yang

digunakan;

g. proyeksi rasio keuangan pokok dan Tingkat Kesehatan

Keuangan;

h. rencana pengembangan dan pemasaran kegiatan

usaha;

i. rencana pengembangan jaringan kantor (bila ada);

j. rencana pendanaan;

k. rencana pengembangan sumber daya manusia; dan

l. informasi lainnya.

- 18 -

(3) Rencana bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

wajib:

a. ditetapkan oleh Direksi;

b. mendapatkan persetujuan Komisaris;

c. disosialisasikan kepada manajemen dan pegawai di

unit kerja terkait; dan

d. mendapat persetujuan RUPS

Bagian Kesepuluh

Pelaporan

Pasal 31

(1) Perusahaan wajib menyampaikan laporan keuangan

tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik secara

lengkap dan benar dalam bentuk hasil cetak komputer

(hard copy) dan elektronik (soft copy) kepada OJK paling

lambat tanggal 30 April tahun berikutnya.

(2) Akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

harus merupakan akuntan publik yang telah terdaftar di

OJK.

(3) Laporan keuangan tahunan harus disusun berdasarkan

standar akuntansi yang berlaku dan disusun dalam mata

uang Rupiah.

Pasal 32

(1) Perusahaan wajib menyampaikan laporan bulanan

kepada Otoritas Jasa Keuangan.

(2) Ketentuan mengenai laporan bulanan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan OJK

mengenai laporan bulanan.

Pasal 33

(1) Perusahaan wajib menyusun laporan penerapan tata

kelola perusahaan yang baik sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 13 pada setiap akhir tahun buku.

- 19 -

(2) Laporan penerapan tata kelola perusahaan yang baik

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit terdiri

dari:

a. transparansi penerapan tata kelola perusahaan yang

baik yang paling sedikit meliputi pengungkapan

seluruh aspek pelaksanaan prinsip tata kelola

perusahaan yang baik;

b. penilaian secara mandiri (self assessment) atas

penerapan tata kelola perusahaan yang baik

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13; dan

c. rencana tindak (action plan) yang meliputi tindakan

korektif (corrective action) yang diperlukan dan waktu

penyelesaian serta kendala/hambatan

penyelesaiannya, apabila masih terdapat

kekurangan dalam penerapan tata kelola perusahaan

yang baik.

(3) Laporan penerapan tata kelola perusahaan yang baik

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan

paling lambat tanggal 30 April tahun berikutnya.

(4) Perusahaan wajib menyampaikan laporan penerapan tata

kelola perusahaan yang baik sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) untuk pertama kali pada periode tahun 2018,

yang disampaikan paling lambat tanggal 30 April 2019.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, susunan, dan

tata cara penyampaian laporan penerapan tata kelola

perusahaan yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) diatur dalam surat edaran Otoritas Jasa Keuangan

Pasal 34

Perusahaan wajib menyampaikan laporan penilaian tingkat

risiko kepada OJK, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. untuk penilaian tingkat risiko posisi akhir tahun

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1)

disampaikan paling lambat 30 April tahun berikutnya;

dan

b. untuk penilaian tingkat risiko sewaktu-waktu

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2)

disampaikan sesuai batas waktu yang ditetapkan oleh

OJK.

- 20 -

Pasal 35

(1) Perusahaan wajib menyampaikan rencana bisnis

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) huruf a

dan b kepada OJK paling lambat tanggal 31 Oktober.

(2) Perusahaan wajib menyampaikan rencana bisnis

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) huruf d

kepada OJK paling lambat 30 hari setelah RUPS.

Pasal 36

Perusahaan wajib melaporkan perubahan anggaran dasar

kepada OJK paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah

perubahan disetujui atau dicatat oleh instansi yang

berwenang.

Pasal 37

Perusahaan wajib melaporkan perubahan anggota Direksi

dan/atau anggota Dewan Komisaris kepada OJK paling lama

15 (lima belas) hari kerja setelah perubahan dicatat oleh

instansi yang berwenang.

Pasal 38

Perusahaan wajib melaporkan perubahan susunan DPS

kepada OJK paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah

perubahan dicatat oleh instansi yang berwenang.

Pasal 39

Perusahaan wajib melaporkan perubahan alamat kantor

pusat dan/atau kantor selain kantor pusat secara tertulis

kepada OJK paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung

sejak tanggal perubahan alamat.

Pasal 40

(1) Seluruh laporan disampaikan kepada OJK secara dalam

jaringan (online) melalui sistem jaringan komunikasi data

Otoritas Jasa Keuangan.

- 21 -

(2) Dalam hal jatuh tempo penyampaian laporan kepada

Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 26 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 ayat (1), Pasal

29 ayat (1), Pasal 30 ayat (3), Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33,

Pasal 34, Pasal 35 dan Pasal 36 jatuh pada hari libur,

maka batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja

pertama berikutnya.

Bagian Kesebelas

Dana Titipan dan Dana Cadangan

Pasal 41

(1) Perusahaan hanya dapat menarik dana secara langsung

dari masyarakat berupa dana titipan nasabah mekaar

dan dana cadangan nasabah ulaam.

(2) Dana titipan dan dana cadangan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) wajib dikembalikan paling lambat 5 (lima)

hari kerja setelah nasabah menyelesaikan kewajiban

pembiayaan mekaar dan dana cadangan nasabah ulaam.

Bagian Keduabelas

Larangan

Pasal 42

Perusahaan dilarang:

a. menarik dana dari masyarakat kecuali dana titipan dan

dana cadangan dalam rangka penyaluran kredit ulaam dan

mekaar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1)

b. menggunakan dana titipan dan dana cadangan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) untuk

tujuan pendanaan;

c. menjamin hutang pihak ketiga; dan/atau

d. melakukan tindakan yang menyebabkan atau memaksa

lembaga keuangan lainnya yang berada di bawah

pengawasan OJK melanggar peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Bagian Ketigabelas

Pengawasan

- 22 -

Pasal 43

(1) OJK melakukan pengawasan terhadap Perusahaan.

(2) Dalam rangka melaksanakan pengawasan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), OJK berwenang melakukan

Pemeriksaan terhadap Perusahaan.

(3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dilakukan oleh tim Pemeriksa yang dapat terdiri dari:

a. pegawai OJK yang ditugaskan untuk melakukan

pemeriksaan;

b. pihak lain yang ditunjuk oleh OJK; atau

c. gabungan antara pegawai OJK dan pihak lain yang

ditunjuk oleh OJK.

(4) Perusahaan dilarang menolak pemeriksaan yang

dilakukan oleh OJK.

Bagian Keempatbelas

Rencana Pemenuhan

Pasal 44

(1) Perusahaan yang melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3),

Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (3), Pasal 10, Pasal 11 ayat

(1), Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (1). Pasal 14 ayat (1)

dan ayat (3), Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 18, Pasal

20, Pasal 22, Pasal 23, pasal 25 ayat (1), Pasal 26 ayat (1)

dan ayat (3), Pasal 29 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 41 ayat

(1), Pasal 42 ayat (5) dan ayat (8) Peraturan OJK ini wajib

menyampaikan rencana pemenuhan kepada OJK paling

lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penetapan terjadinya

pelanggaran.

(2) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), paling sedikit memuat rencana yang akan dilakukan

Perusahaan untuk pemenuhan ketentuan yang disertai

dengan jangka waktu tertentu yang dibutuhkan dalam

Peraturan OJK ini.

(3) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) harus ditandatangani oleh seluruh Direksi dan Dewan

- 23 -

Komisaris serta terlebih dahulu disetujui oleh pemegang

saham.

(4) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) harus memperoleh pernyataan tidak keberatan dari

OJK.

(5) Dalam hal rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dinilai oleh OJK tidak cukup untuk

mengatasi permasalahan, Perusahaan wajib melakukan

perbaikan atas rencana pemenuhan tersebut.

(6) OJK memberikan pernyataan tidak keberatan atas

rencana pemenuhan yang disampaikan oleh Perusahaan

dengan memperhatikan kondisi permasalahan yang

dihadapi oleh Perusahaan paling lama 15 (lima belas) hari

kerja terhitung sejak tanggal diterimanya rencana

pemenuhan secara lengkap.

(7) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada

ayat (6), OJK tidak memberikan pernyataan tidak

keberatan atau tanggapan, Perusahaan dapat

melaksanakan rencana pemenuhan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1).

(8) Perusahaan wajib melaksanakan rencana pemenuhan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Bagian Kelimabelas

Sanksi Administratif

Pasal 45

(1) Direksi Perusahaan yang menyebabkan Perusahaan tidak

memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal Pasal 2 ayat (3), Pasal 3, Pasal 4 ayat (2), ayat (3),

dan ayat (4), Pasal 6, Pasal 7 ayat (1) dan ayat (3), Pasal

8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal

11 ayat (1), Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), Pasal 14

ayat (1), Pasal 17 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 18,

Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) dan ayat

(4), Pasal 23 ayat (1), Pasal 24, Pasal 25 ayat (1), Pasal 26

ayat (1) dan ayat (3), Pasal 27, Pasal 28 ayat (1), Pasal 29

ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 30 ayat (1) dan ayat

- 24 -

(3), Pasal 31 ayat (1), Pasal 32 ayat (1), Pasal 33 ayat (1),

ayat (3) dan ayat (4), Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal

37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43 ayat

(4) dan Pasal 44 ayat (1), ayat (5), dan ayat (8) Peraturan

OJK ini dikenakan sanksi administratif berupa

peringatan tertulis.

(2) Sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) diberikan oleh OJK sebanyak 3 (tiga) kali

berturut-turut dengan masa berlaku masing-masing 2

(dua) bulan.

(3) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi

peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),

Perusahaan telah memenuhi ketentuan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut sanksi peringatan

tertulis.

(4) Dalam hal jangka waktu surat peringatan tertulis ketiga

berakhir dan Perusahaan belum dapat memenuhi

ketentuan sebagai dimaksud pada ayat (1), OJK

menginformasikan kepada Kementerian Negara Badan

Usaha Milik Negara mengenai pengenaan sanksi

peringatan tertulis dimaksud.

BAB IV

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 46

Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan

pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya

dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal .........

KETUA DEWAN KOMISIONER

OTORITAS JASA KEUANGAN,

- 25 -

WIMBOH SANTOSO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK

INDONESIA,

YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR

TAHUN