Upload
vominh
View
256
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
135
Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien dengan
Cedera Otak Traumatik Memberikan Relaksasi Otak yang Lebih Baik Dibandingkan
dengan Manitol 20%
Made Ayu Damayanthi*, I Ketut Sinardja*, I Nyoman Golden**
*Bagian/SMF Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif
**Bagian Bedah/SMF Bedah Saraf Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana/Rumah Sakit Pusat Sanglah Denpasar
Abstrak
Latar Belakang dan Tujuan: Manitol telah dipakai secara luas sebagai pilihan osmoterapi untuk menurunkan
masa otak baik itu akibat cedera otak maupun tumor. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa salin hipertonik
sama efektifnya bahkan lebih baik dalam menurunkan tekanan intrakranial maupun menurunkan masa otak
intraoperatif. Penelitian ini bertujuan untuk menilai kondisi relaksasi otak setelah pemberian salin hipertonik 3%
dibandingkan dengan manitol 20% selama kraniotomi pada pasien dengan cedera otak traumatik.
Subyek dan Metode: Empat puluh dua pasien dengan cedera otak traumatik yang memenuhi kriteria eligibilitas
diikutsertakan dalam penelitian uji klinik prospektif ini. Keempatpuluhdua pasien dibagi menjadi dua kelompok,
kelompok A menerima 5 mL/kgBB salin hipertonik 3% dan kelompok B menerima 5 mL/kgBB mannitol 20%
yang diberikan saat insisi kulit kepala selama 15 menit. Pada saat pembukaan duramater, dokter bedah saraf
menilai relaksasi otak berdasarkan skala empat poin, selanjutnya data relaksasi otak dibagi menjadi data dikotom
(favorable dan unfavorable). Analisis statistik dilakukan uji chi-kuadrat dan nilai p<0,05 dianggap signifikan.
Hasil: Kondisi otak favorable didapatkan pada 19 pasien (90,5%) pada kelompok A dan 13 pasien (61,9%) pada
kelompok B. Analisis statistik menyebutkan kondisi relaksasi otak setelah pemberian salin hipertonik 3%
bermakna lebih baik dibandingkan dengan manitol 20% (uji chi-kuadrat), nilai p<0,05).
Simpulan: Pemberian salin hipertonik 3% selama kraniotomi pada pasien dengan cedera otak traumatik
memberikan relaksasi otak yang lebih baik dibandingkan manitol 20%
Kata kunci: cedera otak traumatik, kraniotomi, manitol 20%, relaksasi otak, salin hipertonik 3%
JNI 2013;2(3): 135–39
Hypertonic Saline 3% Provide a Better Brain Relaxation During Craniotomy in Patients with Traumatic
Brain Injury Compared to Mannitol 20%
Abstract
Background and Objective: Mannitol has been widely used as an osmotherapy agent to reduce brain mass
caused either by brain injury or tumor. Many studies argued that hypertonic saline is as effective or even better
in reducing intracranial pressure and intraoperative brain mass. The purpose of this study was to evaluate brain
relaxation after administration of hypertonic saline 3% compared to mannitol 20% during craniotomy in patients
with traumatic brain injury.
Material and Methods: Forty two patients who met the eligibility criteria were enrolled into this prospective
clinical trial. Patients were randomized into two groups, group A received 5 mL/kg of hypertonic saline 3% and
group B received 5 mL/kg of mannitol 20% at scalp incision, infused in 15 minutes. After opening duramater,
neurosurgeon assessed brain relaxation on four-point scale. Data were dichotomized into two points (favorable
and unfavorable) and analyzed by chi-square test, p-value less than 0.05 was considered significant.
Results: Favorable brain were observed in 19 patients (90.5%) in group A and 13 patients (61,9%) in group B.
Statistical analysis showed that brain relaxation after administration of hypertonic saline 3% was significantly
better compared to mannitol 20% (chi-square test, p-value less than 0.05).
Conclusion: The present study demonstrated that administration of hypertonic saline 3% provides better brain
relaxation during craniotomy in patients with traumatic brain injury compared to mannitol 20%.
Keywords: brain relaxation, craniotomy, hypertonic saline 3%, mannitol 20%, traumatic brain injury
JNI 2013;2(3): 135–39
136 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
I. Pendahuluan
Cedera otak traumatik merupakan penyebab utama
mortalitas dan morbiditas pada pasien dewasa
muda.1 Proses cedera otak ini menimbulkan cedera
otak primer dan sekunder. Cedera primer berkaitan
dengan cedera awal dan dapat berupa perdarahan
pada parenkim otak, iskemia kompresi dan/atau
cedera saraf secara langsung. Cedera primer tidak
dapat dirubah dan dapat memicu sejumlah proses
yang menyebabkan cedera otak sekunder. Cedera
otak sekunder melibatkan perubahan-perubahan
yang disebabkan oleh penurunan aliran darah yang
bisa dicegah dengan melakukan resusitasi segera
untuk memperbaiki tekanan perfusi otak dan
mencegah cedera iskemik.2
Pasien dengan cedera otak traumatik seringkali
membutuhkan tindakan pembedahan baik itu untuk
evakuasi hematom intrakranial maupun untuk
menurunkan tekanan intrakranial. Dalam rangka
pembedahan tersebut, seorang dokter anestesi harus
mampu mengendalikan tekanan intrakranial dengan
tujuan agar otak tetap relaks selama tindakan
sehingga dokter bedah tidak membuat banyak
trauma dengan melakukan banyak retraksi otak. 3
Relaksasi otak selama tindakan kraniotomi
sangatlah penting, terutama pada pasien dengan
hipertensi intrakranial. Relaksasi otak ini telah
dianggap sebagai tolak ukur penilaian proteksi otak
oleh karena dapat menurunkan kompresi pada otak,
hipoperfusi lokal dan iskemia otak.3
Pemberian osmoterapi pada saat awal tindakan kraniotomi sebelum dilakukan membuka duramater
merupakan salah satu tindakan untuk menghasilkan
relaksasi otak. Sampai saat ini hanya 2 obat yang
dipakai untuk tujuan osmoterapi yaitu manitol dan
salin hipertonik. Infus manitol intravena disebut
sebagai standar baku terapi untuk penanganan
peningkatan tekanan intrakranial.4 Meskipun
manitol mendominasi pilihan osmoterapi selama
beberapa tahun, terdapat beberapa keterbatasan dari
manitol. Kejadian hiperosmolalitas sering terjadi
dan kadar osmolaritas serum >320 mOsmol/L
berhubungan dengan efek samping ginjal dan
sistem saraf pusat. Kejadian diuresis osmotik akibat
pemberian manitol dapat menyebabkan hipotensi
terutama pasien yang hipovolemia.5
Beberapa penelitian secara prospektif yang
membandingkan efek manitol dan salin hipertonik
pada tekanan intrakranial menyebutkan bahwa salin
hipertonik sama efektifnya, bahkan lebih baik
dibandingkan manitol dalam menurunkan tekanan
intrakranial.6-10
Sebagian besar penelitian tentang
perbandingan efek manitol dan salin hipertonik
untuk penanganan penurunan tekanan intrakranial
dilakukan di unit perawatan intensif. Sedangkan
penelitian yang membandingkan efek klinis kedua
obat tersebut pada pasien yang menjalani tindakan
bedah saraf belum banyak dilakukan.10
Penelitian ini bertujuan untuk menilai kondisi
relaksasi otak setelah pemberian salin hipertonik
3% dibandingkan dengan manitol 20% selama
kraniotomi pada pasien dengan cedera otak
traumatik.
II. Subjek dan Metode
Penelitian ini merupakan uji klinik intervensional
yang dilakukan secara prospektif pada pasien yang
mengalami cedera otak traumatik dan menjalani
operasi bedah kraniotomi di Instalasi Rawat
Darurat RSUP Sanglah Denpasar. Empat puluh dua
pasien dengan cedera otak traumatik yang akan
menjalani operasi bedah kraniotomi diikutsertakan
pada penelitian ini. Data penelitian dikumpulkan
dari bulan November 2012 sampai April 2013.
Kriteria inklusi yaitu pasien dengan cedera otak
traumatik, usia 16-65 tahun, pada gambaran CT
scan kepala ditemukan adanya gambaran fokal lesi
berupa perdarahan subdural atau intraserebral yang
memerlukan tindakan kraniotomi, ditemukan
gambaran edema serebri atau midline shift pada
pembacaan CT scan kepala. Kriteria eksklusi
meliputi pasien dengan status fisik ASA V,
hiponatremia atau hipernatremia praoperasi
(natrium serum <135 atau >145 mEq/L),
mendapatkan terapi hiperosmoler baik manitol
maupun salin hipertonik pada 24 jam terakhir pra
operasi, riwayat gagal ginjal atau gagal jantung
kongestif. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi kemudian dirandomisasi untuk
menerima baik itu salin hipertonik 3% 5mL/kgBB
(osmolaritas=1024 mOsm/L disebut kelompok A)
atau manitol 20% 5 dengan dosis mL/kgBB
(1gr/kgBB, osmolaritas=1098 mOsm/L disebut
kelompok B). Cairan tersebut diberikan saat insisi
kepala selama 15 menit melalui infus vena perifer.
Pasien yang akan dijadikan sampel diperlakukan
sesuai pengelolaan pasien dengan cedera kepala.
Pasien diposisikan head up 30⁰ dan dipastikan tidak
ada obstruksi aliran vena jugularis kanan dan kiri.
Untuk pengelolaan jalan nafas dan ventilasi
dilakukan tindakan laringoskopi intubasi dengan
induksi fentanyl 2 mcg/kgBB, propofol 2
mg/kgBB, lidokain 1,5 mg/kgBB dan pelumpuh
otot vekuronium 0,1mg/kgBB. Pemeliharaan
anestesi dengan sevoflurane 1% dalam oksigen dan
compressed air serta propofol dengan rentang
dosis 3–4 mg/kg/jam; bolus fentanyl dan
vekuronium sesuai kebutuhan dokter anestesi.
Sebelum pembukaan duramater, end-tidal CO2
137 Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien
dengan Cedera Otak Traumatik Memberikan Relaksasi Otak yang
Lebih Baik Dibandingkan dengan Manitol 20%
dipertahankan pada rentang 35–45 mmHg, saturasi
oksigen dipertahankan 100%, tekanan arteri rerata
dipertahankan kurang lebih 20% dari tekanan arteri
rerata basal dan kebutuhan cairan pemeliharaan
diberikan NaCl 0,9 %.
Penilaian relaksasi otak dilakukan oleh dokter
bedah saraf saat pembukaan duramater. Penilaian
didasarkan atas skala empat poin (1=otak sangat
relaksasi; 2=relaksasi otak cukup memuaskan; 3=
otak tegang tapi tidak membutuhkan penanganan
lanjutan; 4=otak sangat bengkak dan membutuhkan
penanganan lebih lanjut). Tindakan hiperventilasi
sampai rentang end-tidal CO2 30–35 mmHg
didasarkan pada penilaian awal dari relaksasi otak.
Pengelolaan pasca operasi didasarkan pada
penilaian kondisi GCS awal sebelum operasi dan
kondisi pasien selama operasi.
Semua data relaksasi otak kemudian dibagi menjadi
data dikotom (favorable = skala 1 dan 2 pada skala
empat poin; unfavorable= skala 3 dan 4 pada skala
empat poin). Perbandingan relaksasi otak dianalisis
dengan uji chi-kuadrat dan nilai p<0,05 dianggap
signifikan.
III. Hasil
Tidak ditemukan perbedaan signifikan antara kedua
kelompok berdasarkan umur, jenis kelamin, kadar
natrium pra-operasi, osmolaritas darah pra-operasi
dan kondisi GCS pra-operasi. Jumlah kondisi otak
yang favorable pada kelompok salin hipertonik 3%
sebesar 19 orang dan 13 orang pada kelompok
manitol 20%. Sedangkan kondisi orak unfavorable
sebesar 2 orang pada kelompok salin hipertonik 3%
dan 8 orang pada kelompok manitol 20%.
Tabel 1.Karakteristik Sampel Penelitian
Karakteristik NaCl 3%
(A)
(n=21)
Manitol
20% (B)
(n=21)
P
Umur (tahun)
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Berat Badan (kg)
IMT (kg/m2)
Kadar natrium pra-op
Osmolaritas pra-op
GCS
Cedera Kepala Berat
Cedera Kepala
Sedang
Cedera Kepala
Ringan
43,67±15,77
14(66,7%)
7(33,3%)
61,29±14,32
24,24±4,37
139,24±3,06
291,17±8,92
8(38,1%)
9(42,9%)
4(19%)
50,67±14,46
16(76,2%)
5(23,8%)
60,86±9,74
22,75±3,09
138,04±2,73
291,62±6,64
10(47,6%)
6(28,6%)
5(23,8%)
0,093a
0,495b
0,859c
0,216c
0,188c
0,428a
0,844d
Rerata±SD (numerik), % (kategorikal), aMann-Whitney
test, bChi-square, cT-test, dLinear by linear Association,
Signifikan p<0,05.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi
relaksasi otak secara signifikan lebih baik setelah
pemberian salin hipertonik 3% dibandingkan
dengan kelompok manitol 20% (p<0,05) (Tabel 2).
Tabel 2. Kondisi Relaksasi Otak antara
Kelompok Salin Hipertonik 3%
dengan Manitol 20%
Kondisi Relaksasi Otak
p Favorable Unfavorable
Salin
Hipertonik
3%
19 (90,5%) 2 (9,5%) 0,03*
Manitol 20% 13 (61,9%) 8 (38,1%)
*Chi-Square, Signifikan p<0,05.
IV. Pembahasan
Kami membandingkan efek dari pemberian salin
hipertonik 3% dan manitol 20% pada relaksasi otak
selama kraniotomi pada pasien dengan cedera otak
traumatik. Hasil dari penelitian ini menunjukkan
bahwa relaksasi otak pada pasien dengan cedera
otak traumatik yang menjalani operasi bedah
kraniotomi, setelah pemberian salin hipertonik 3%
5 mL/kgBB secara statistik bermakna lebih baik
dibandingkan dengan pemberian manitol 20% 5
mL/kgBB.
Penelitian sebelumnya pada pasien dengan cedera
otak menunjukkan bahwa salin hipertonik lebih
efektif dibandingkan manitol untuk menurunkan
tekanan intrakranial. 8,10-13
Sebagian besar penelitian
tersebut dilakukan pada populasi pasien di ruang
perawatan intensif. Penelitian awal tentang efek
salin hipetonik dilakukan oleh Worthley dkk. yang
melaporkan bahwa dua pasien dengan cedera otak
traumatik yang mengalami peningkatan tekanan
intrakranial yang refrakter setelah pemberian
manitol dan diuretik, berhasil ditangani dengan
pemberian salin hipertonik.13
Kemudian Vialet
dkk. dalam penelitiannya menyebutkan bahwa
NaCl 7,5% efektif untuk mengelola episode
hipertensi intrakranial pada pasien dengan cedera
kepala.8 Huang dkk. dalam penelitiannya pada
pasien dengan cedera kepala berat menyebutkan
bahwa infus cepat dosis tunggal salin hipertonik
berhasil menurunkan tekanan intrakranial.12
Harutjunyan dkk. yang melakukan penelitian
dengan membandingkan pemberian larutan NaCl
7,2%–hydroxyethyl starch 200/0,5 dengan manitol
15% menyebutkan bahwa pemberian salin
hipertonik lebih efektif untuk mempertahankan
tekanan intrakranial kurang dari 15 mmHg pada
pasien dengan resiko hipertensi intrakranial.10
Penelitian tentang efektifitas salin hipertonik dan
manitol pada operasi intrakranial mendapatkan
hasil yang bervariasi. Hasil yang sama dengan
penelitian kami didapatkan oleh Wu dkk. yang
138 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
meneliti efek salin hipertonik pada operasi elektif
tumor otak supratentorial.14
Pada penelitian yang
dilakukan Wu dkk. menunjukkan bahwa salin
hipertonik 3% memberikan relaksasi otak yang
lebih baik dibandingkan dengan manitol 20%.
Walaupun dilakukan pada kondisi patologi otak
yang berbeda, kami asumsikan bahwa pemberian
salin hipertonik juga efektif untuk menghasilkan
relaksasi otak pada kondisi cedera otak traumatik.
Hasil yang berbeda didapatkan pada beberapa
penelitian. Rozet dkk., membandingkan efek
larutan ekuiosmolar manitol 20% dan NaCl 3%
pada relaksasi otak dan keseimbangan elektrolit
juga menyebutkan tidak adanya perbedaan yang
bermakna secara statistik pada kondisi relaksasi
otak. Penelitian yang dilakukan oleh Rozet dkk.
tersebut menilai kondisi relaksasi otak pada pasien
yang dilakukan kraniotomi oleh berbagai sebab
yang heterogen baik itu oleh sebab perdarahan non
trauma maupun tumor yang memerlukan drainase
cairan serebrospinal intraoperatif. Kondisi otak
yang heterogen akan memberikan kontribusi pada
efektifitas pemberian salin hipertonik atau manitol
dalam menghasilkan relaksasi otak.6
Mekanisme kerja utama manitol maupun salin
hipertonik dalam menurunkan tekanan intrakranial
tergantung pada integritas sawar darah otak,
koefisien refleksi dari larutan hiperosmoler dan
gradien osmotik yang tercipta.15
Mekanisme efek
osmotik dari salin hipertonik disebabkan oleh
perbedaan gradien osmotik yang tercipta dari
konsentrasi natrium yang lebih tinggi melewati
sawar darah otak.16
Sedangkan mekanisme kerja
manitol berasal dari efek peningkatan volume
plasma yang akhirnya menurunkan hematokrit dan
viskositas darah. Efek osmosis dari manitol
sebagian besar disebabkan oleh efek rheologi
sehingga efek manitol telambat 15–30 menit
sampai tercipta gradien osmotik antara sel dan
plasma.
Efektifitas dari larutan hiperosmoler juga
tergantung dari koefisien refleksi sawar darah otak
terhadap larutan. Natrium memiliki koefisien
refleksi 1 dan manitol 0,9 sehingga lebih tidak
permeabel dibandingkan manitol sehingga lebih
efektif sebagai larutan osmotik.6 Selain itu efek dari
manitol sehubungan dengan koefisien refleksi 0,9
yaitu potensial untuk terjadi gap pada celah sel dan
mengakibatkan terjadinya rebound phenomenon,
meski hal ini lebih sering terjadi pada pemberian
dosis manitol berulang dan jarang terjadi pada
pemberian manitol dosis tunggal. 17
Keamanan merupakan isu yang paling penting
dalam pemberian salin hipertonik dalam
menurunkan tekanan intrakranial baik intraoperatif
maupun saat pengelolaan pasien di ruang terapi
intensif. Komplikasi neurologis hubungan
utamanya dengan perubahan cepat dari osmolaritas
serum dan konsentrasi ion natrium, yang bisa
mengakibatkan terjadinya koma, kejang maupun
central pontine myelinolysis. 18
Insiden central
pontine myelinolysis setelah pemberian salin
hipertonik sangatlah jarang. Pada suatu penelitian
multisenter yang menilai sekuele neurologis setelah
terapi hiponatremia berat dengan salin hipertonik,
koreksi cepat dari hiponatremia kronik yang
menyebabkan lesi otak demielinisasi. Namun, lesi
ini ditemukan pada pasien dengan hiponatremia
ekstrim yang diberikan infus kontinyu selama 48
jam pertama.18
Salin hipertonik akan memicu
peningkatan progresif kadar natrium dan
osmolaritas plasma. Namun, kondisi hipernatremia-
hiperosmolaritas berat dilaporkan hanya terjadi bila
larutan ini diberikan berulang , yang menyebabkan
kadar natrium >160 mmol/L.19
Pada penelitian
kami kadar natrium paling tinggi 2 jam pasca
pemberian salin hipertonik 3% sebesar 157
mmol/L. Efek samping dari pemberian salin
hipertonik yang lain yaitu hiperkloremia. Hal ini
berkaitan dengan pemberian larutan yang
mengandung ion klorida yang berlebihan.
Hiperkloremia akan meningkatkan angka kejadian
ileus pascaoperasi dan gangguan homeostasis
biologis. Pemantauan ketat setelah pemberian salin
hipertonik penting untuk mencegah kondisi
hipernatremia dan hiperkloremia.20
V. Simpulan
Berdasarkan hasil dari penelitian ini, dapat kami
simpulkan bahwa pemberian salin hipertonik 3%
selama kraniotomi pada pasien dengan cedera otak
traumatik memberikan relaksasi otak yang lebih
baik dibandingkan manitol 20%. Hal ini didasarkan
pada teori bahwa salin hipertonik 3% lebih tidak
permeabel terhadap sawar darah otak dibandingkan
manitol 20% sehingga lebih efektif sebagai larutan
osmotik.
Daftar Pustaka
1. Cantrambone J, He W, Prestigiacomo C. The
use of hypertonic saline in the treatment of
post-traumatic cerebral edema: a Review. Eur J
Trauma Emerg Surg. 2008;34:397–409.
2. Maas AIR, Stocchetti N, Bullock R. Moderate
and severe traumatic brain injury in adults.
Lancet Neurol. 2008;7:728–41.
3. Lian A. Anestesia pada cedera kepala akut.
Anestesia & Critical Care. 2004;22(2):176–9.
4. Raslan A, Bhardwaj A. Medical management
of cerebral edema. Neurosurg Focus.
2007;22(5):E12.
139 Pemberian Salin Hipertonik 3% Selama Kraniotomi pada Pasien
dengan Cedera Otak Traumatik Memberikan Relaksasi Otak yang
Lebih Baik Dibandingkan dengan Manitol 20%
5. White H, Cook D, Venkantesh B. The use of
hypertonic saline for treating intracranial
hypertension after traumatic brain injury.
Anesth Analg. 2006;102:1836–46.
6. Rozet I, Tontisirin N, Muangman S, Vavilala
MS, Souter MJ, Lee LA, dkk. Effect of
equiosmolar solutions of mannitol versus
hypertonic saline on intraoperative brain
relaxation and electrolyte balance.
Anesthesiology. 2007;107(5):697–704.
7. Schwarz S, Geogiadis D, Aschoff A, Schwab
S. Effects of hypertonic (10%) saline in
patients with raised intracranial pressure after
stroke. Stroke. 2002;33(1):136–40.
8. Vialet R, Albanese J, Thomacot L, Antonini F,
Bourgouin A, Alliez B, dkk. Isovolume
hypertonic solutes (sodium chloride or
mannitol) in the treatment of refractory
posttraumatic intracranial hypertension: 2
mL/kg 7.5% saline is more effective than 2
ml/kg 20% mannitol. Crit Care Med.
2003;31(6):1683–87.
9. Battison C, Andrews PJ, Graham C, Petty T.
Randomized controlled trial on the effect of
20% mannitol solution and 7.5% saline/6%
dextran solution on increased intracranial
pressure after brain injury. Crit Care Med.
2005;33(1):196–202.
10. Harutjunyan L, Holz C, Rieger A., Menzel M,
Grond S, Soukup J. Efficiency of 7.2%
hypertonic saline hydroxyethyl starch 200/0.5
versus mannitol 15% in the treatment of
increased intracranial pressure in neurosurgical
patients-a randomized clinical trial. Crit Care.
2005;9(50;R530–40.
11. White H, Venkantesh B. Cerebral perfusion
pressure in neurotrauma: a review. Anesth
Analg. 2008;107(3):979–88.
12. Huang SJ, Chang L, Han YY, Lee YC, Tu YK.
Efficacy and safety of hypertonic saline
solutions in the treatment of severe head
injury. Surg Neurol. 2006;65(6):539–46
13. Worthley LI, Cooper DJ, Jones N. Treatment
of resistant intracranial hypertension with
hypertonic saline: report of two cases. J
Neurosurg. 1988;68:478–81.
14. Wu CJ, Chen LC, Kuo CP, Ju DT, Borel CO,
Cherng CH, Wong CS. A comparison of 3%
hypertonic saline and mannitol for brain
relaxation during elective supratentorial brain
tumor surgery. Anesth Analg. 2010;110(3):
903–7.
15. Boas W, Marques MB, Alves A.
Hydroelectrolytic balance and cerebral
relaxation with hypertonic isooncotic saline
versus mannitol 20% during elective
neuroanesthesia. Rev Bras Anesthesiol.
2011;61(4):456–68.
16. Boulard G, Marquinaud E, Sesay M. Osmotic
cerebral oedema: the role of plasma osmolarity
and blood brain barrier. Ann Fr. Anesth
Reanim. 2003;22(3):215–9.
17. Paczynsky RP. Osmotherapy: basic concepts
and controversies. Crti Care Clin.
1997;13(1):105–29.
18. Qureshi AI, Suarez JI. Use of hypertonic saline
solutions in treatment of cerebral edema and
intracranial hypertension. Crit Care Med.
2000;28(9): 3301–13.
19. Castillo LB, Bugedo GA, Paranhos JL.
Mannitol or hypertonic saline for intracranial
hypertension? A point of view. Crit Care
Resusc. 2009;11(2): 151–54.
20. Roquilly A, Mahe PJ, Latte DD, Loutrel O,
Champin P, Di Falco C, dkk. Continuous
controlled-infusion of hypertonic saline
solution in traumatic brain-injured patients: a
9-year retrospective study. Crit Care.
2011;15(5):R260.
140
Tatalaksana Anestesi Perioperatif pada Pasien dengan Perdarahan Intraserebral (PIS)
Spontan akibat Hipertensi Emergensi: Serial Kasus
Lira Panduwaty, Dewi Yulianti Bisri
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RS. Dr. Hasan Sadikin Bandung
Abstrak
Latar Belakang dan Tujuan: Perdarahan intraserebral (PIS) mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang
tinggi. Hanya 20% individu yang bertahan dari penyakit ini dapat hidup dalam 6 bulan. Masih terdapat
kontroversi dalam tatalaksana PIS, seperti meregulasi tekanan darah, mencegah perluasan hematoma, edema
otak, dan mempertahankan perfusi serebral. Tujuan penelitian ini adalah untuk membahas prosedur tatalaksana
perioperatif PIS dengan hipertensi emergensi. Subjek dan Metode: Penelitian serial kasus dari 3 kasus dengan gangguan kesadaran (skor GCS ≤14),
didiagnosa PIS, akan dilakukan kraniotomi evakuasi hematoma. Dilakukan pengelolaan tekanan darah prabedah
dengan target tekanan darah rata-rata (TAR) 125–130 mmHg. Induksi dengan fentanyl 3 ug/kg, propofol 2,5
mg/kg, vecuronium 0,1 mg/kg, lidokain 1,5 mg/kg dan rumatan anestesi dengan O2, air, isoflurane 1–1,5 vol%.
Results: Pascabedah 2 kasus dirawat di ICU selama 2–3 hari dan satu kasus dirawat di neurocritical care unit
(NCCU) selama 3 hari dan terdapat perbaikan GCS menjadi 15. Setelah itu dipindahkan ke ruangan dan
mendapat perawatan selama 5–7 hari, dan dipulangkan setelah 7–15 hari.
Simpulan: Masih ada kontroversi tentang terapi PIS yang optimal terutama dalam pengendalian tekanan darah.
Tekanan darah yang tinggi dapat menimbulkan hematoma, tapi penurunan tekanan darah dapat menimbulkan
penurunan perfusi otak. The Intensive Blood Pressure Reduction of Acute Cerebral Hemorrhage Trial
(INTERACT) menemukan bahwa penurunan tekanan darah yang segera akan mengurangi resiko perluasan
perdarahan tapi tidak mempunyai efek pada outcome, akan tetapi, pada ke 3 kasus tersebut menurunkan tekanan darah dalam waktu kurang dari 24 jam memberikan hasil yang baik.
Kata kunci: Perdarahan intraserebral, penanganan perioperatif.
JNI 2013;2(3): 140–46
Perioperative Anesthesia Management in Patients with Spontaneous Intracerebral
Haemorrhage (ICH) et causa Hypertensive Emergency: A Case Series
Abstract
Background and Objectives: Intracerebral hemorrhage (ICH) have a high rate of morbidity and mortality. Only
20% of individuals who survive ICH are independent at 6 months. Many issues need to be considered for the
optimal management of ICH, such as blood pressure (BP) control, prevention of hematoma growth, containing
brain edema, and preserving cerebral perfusion. The objective of this case series is to report perioperative
management procedure for ICH with hypertensive emergency.
Subject and Methods: A serial case study of three patients with decrease consciousness (score GCS ≤14), ICH, were
planned for craniotomy evacuation. Perioperative management of BP has been done to a targetted mean arterial pressure (TAR) of 125–130 mmHg. Induction with fentanyl 3 ug/kg, propofol 2.5 mg/kg, vecuronium 0.1 mg/kg,
lidocaine 1.5 mg/kg and maintain of anesthesia with O2, air, isoflurane 1–1.5 vol%.
Results: Two patients were admitted to the ICU post-operatively for 2–3 days, one patient were admitted to the
Neuro Critical Care Unit (NCCU) for three days, and had improvements of consciousness (GCS 15), then
transferred to the ward for another 5–7 days, and finally discharged after 7–15 days.
Conclusion: There are still controversies in the treatment of ICH, especially in the control of BP. High BP can
lead to hematoma, but decrease in BP can reduce cerebral perfusion. The Intensive Blood Pressure Reduction of
Acute Cerebral Hemorrhage Trial (INTERACT) found that early intensive BP management reduced the risk of
hematoma expansion but had no effect on outcomes. However in all three cases above, a reduction in BP within
24 hours have provided good results.
Keywords: Intracerebral hemorrhage, perioperative management.
JNI 2013;2(3): 140–46
141 Tatalaksana Anestesi Perioperatif pada Pasien dengan
Perdarahan Intraserebral Spontan akibat Hipertensi
Emergensi: Serial Kasus
I. Pendahuluan
Perdarahan intraserebral (PIS) merupakan masalah
kesehatan yang serius di seluruh dunia. Sampai saat
ini belum ditemukan tatalaksana yang tepat untuk
mengatasi masalah ini, hal ini berhubungan dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Hanya
20% individu yang bertahan dari penyakit ini dapat
hidup secara fungsional dalam 6 bulan. Hipertensi,
angiopati amiloid serebral (cerebral amyloid
angiopathy) dan terapi antikoagulan diduga menjadi
penyebab perdarahan intraserebral.1
Masih banyak kontroversi dalam pemberian
tatalaksana yang optimal pada perdarahan
intraserebral, seperti meregulasi tekanan darah,
mencegah perluasan hematom, edema otak, dan
mempertahankan perfusi serebral.1 Tujuan
penelitian ini adalah untuk membahas prosedur tatalaksana perioperatif pada perdarahan
intraserebral dengan hipertensi emergensi pada tiga
orang pasien yang berbeda.
II. Subjek dan Metode
Laporan kasus dari tiga pasien yang berbeda,
datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) dengan
keluhan utama penurunan kesadaran (GCS <14),
pasien mempunyai riwayat hipertensi yang tidak
terkontrol, dengan tekanan darah yang terukur saat
datang rata-rata ≥ 200/100 mmHg (tekanan arteri
rata-rata/TAR >130 mmHg). Pasien kemudian direncanakan untuk dilakukan operasi kraniotomi
evakuasi, namun dengan keadaan hipertensi
emergensi, manajemen perioperatif yang dilakukan
adalah menurunkan tekanan darah dengan target
sampai TAR 125–130 mmHg. Setelah target TAR
terpenuhi dalam waktu <24 jam, pasien kemudian
dilakukan operasi. Induksi dengan fentanyl 3 ug/kg,
propofol 2,5 mg/kg, vecuronium 0,1 mg/kg,
lidokain 1,5 mg/kg dan rumatan dengan O2, air,
isoflurane 1–1,5 vol%, pasien dioperasi selama ±
3,5–4 jam. Pascaoperasi pasien dirawat di ICU
selama ± 2–3 hari dan mengalami peningkatan kesadaran. Pasien kemudian pindah rawat ke
ruangan selama ± 5–7 hari, dan diijinkan pulang
pada hari perawatan ke 7–11 hari.
III. Hasil
Dua pasien dirawat di ICU pascabedah selama ±2–3
hari, satu pasien dirawat di neuro critical care unit
(NCCU) selama tiga hari, dan memiliki
peningkatan kesadaran (GCS 15), kemudian
dipindahkan ke ruang perawatan selama ± 5–7 hari,
dan pasien diijinkan pulang setelah 7–15 hari. Masih ada kontroversi dalam pengobatan optimal
perdarahan intraserebral, terutama dalam
mengontrol tekanan darah. Tekanan darah tinggi
dapat menyebabkan hematoma, tetapi secara drastis
menurunkan tekanan darah dapat mengurangi
perfusi otak. The Intensive Blood Pressure Reduction of Acute Cerebral Hemorrhage Trial
(INTERACT) menemukan bahwa tatalaksana
penurunan tekanan darah secara intensif sejak awal
dapat mengurangi risiko perluasan hematoma tetapi
tidak mempengaruhi hasil operasi, tetapi dalam
ketiga kasus di atas, penurunan tekanan darah
dalam waktu kurang dari 24 jam telah menunjukkan
hasil yang baik.
Kasus 1.
Seorang wanita, usia 46 tahun datang ke IGD
dengan keluhan utama penurunan kesadaran sejak
10 jam yang lalu, disertai kelumpuhan ekstremitas
sebelah kiri, dan muntah non proyektil sebanyak 5
kali sehari, menurut keluarga pasien, sebelumnya 3
hari yang lalu pasien pernah mengeluh sakit kepala
hebat, keluhan tidak disertai dengan kejang dan
demam. Riwayat penyakit dahulu pasien
mempunyai riwayat darah tinggi sejak 2 tahun yang
lalu dengan riwayat berobat yang tidak teratur,
pasien pernah mengalami serangan stroke 1 tahun
yang lalu, dengan kelumpuhan ekstremitas sebelah kiri dan bicara rero. Saat ini pasien tidak
mengkonsumsi obat-obatan anti hipertensi atau obat
apa pun. Dari pemeriksaan fisik didapatkan
kesadaran somnolen (GCS E3M6V5), tekanan
darah 220/110 mmHg (TAR 147 mmHg), laju
denyut jantung 70 kali/menit, pemeriksaan mata
didapatkan pupil bulat isokor, reflek cahaya
langsung dan tidak langsung +/+, dari pemeriksaan
motorik didapatkan hemiparese sinistra, dari foto
toraks didapatkan gambaran kardiomegali tanpa
bendungan paru, dari CT scan didapatkan gambaran kompresi sulkus dan girus, massa hiperdens di
fronto temporo parietal dextra, midline shift > 5 mm
ke kiri.
Pemeriksaan Fisik:
Kesadaran Somnolen (GCS E3M6V5 )
Tekanan darah 220/110 mmHg (TAR 147
mmHg)
Laju nadi 70 x/menit
Frekuensi nafas 20 x/menit
Suhu 36,50C
Saturasi 99% sungkup muka 5 L/menit
Pupil bulat, isokor, Ø 3 mm Refleks cahaya +/+
Motorik Hemiparese sinistra, refleks
patologis -/+
142 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
Pemeriksaan Laboratorium:
Kimia
Darah
Hb 15,7/Ht 45/ L 19.400/Tr 231.000
PT 12,8/INR 1,02/APTT 22,2
Ur 40/Cr 0,74
Na 140/K 3,0 GDS 135
EKG Irama sinus, 89 x/menit, T-Inverted
Lead V1-V6
Rontgen Kardiomegali
CT Scan Sulcus dan gyrus tertekan
Masa hiperdense pada frontotemporo parietal kanan, Midline shift > 5 mm
ke kiri.
Pemeriksaan CT-scan: PIS
Kasus 2.
Seorang laki-laki usia 69 tahun, datang ke IGD
dengan keluhan utama penurunan kesadaran sejak 7
jam yang lalu, disertai muntah dan kelumpuhan
ekstremitas sebelah kanan, serta bicara rero, kejang
(-). Riwayat darah tinggi tidak diketahui sejak
kapan, pasien tidak pernah berobat secara teratur,
saat ini pasien tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan apapun. Dari pemeriksaan fisik didapatkan
kesadaran sopor (GCS E3M5V2), tekanan darah
200/100 mmHg (TAR 133mmHg), denyut nadi 78
kali/menit, pemeriksaan mata didapatkan pupil
bulat isokor, reflek cahaya langsung dan tidak
langsung +/+, dari pemeriksaan motorik didapatkan
hemiparese dekstra, dari foto toraks didapatkan
gambaran kardiomegali tanpa bendungan paru dan
atherosklerosis aorta, dari CT-scan didapatkan
gambaran kompresi sulkus dan girus, massa
hiperdens di regio parietal sinistra dengan edema perifokal, midline shift (-).
Pemeriksaan Fisik:
Kesadaran Sopor (GCS E3M5V2)
Tekanan darah 200/100 mmHg (TAR 133
mmHg)
Laju nadi 78 x/menit
Frekuensi
nafas
24 x/menit
Suhu 36,70C
Saturasi 98% sungkup muka 5 L/menit
Pupil bulat, isocor, Ø 3 mm
Refleks cahaya
+/+
Motorik Hemiparese dextra, refleks
patologik +/-
Pemeriksaan Laboratorium:
Kimia
darah
Hb 14,3/Ht 41/ L 12.400/Tr 181.000
Ur 45/Cr 0,95
Na 131/K 3,5 GDS 129
pH 7.42/pCO2 33/PO2 129/HCO3
21.6/BE -2.1/Sat O2 98.8%
EKG Irama sinus, 78 x/menit
Rontgen Kardiomegali, atherosklerosis aorta CT Scan Sulcus dan gyrus tertekan
Massa hiperdens di parietal kiri,
perifocal edema (+)
Midline shift (-)
Pemeriksaan CT-scan
Kasus 3.
Seorang wanita, usia 68 tahun datang ke IGD dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 4 jam
yang lalu, disertai kelumpuhan ekstremitas sebelah
kanan, tidak ada kejang dan muntah. Riwayat
143 Tatalaksana Anestesi Perioperatif pada Pasien dengan
Perdarahan Intraserebral Spontan akibat Hipertensi
Emergensi: Serial Kasus
hipertensi diketahui sejak 5 tahun yang lalu, namun pasien tidak berobat secara teratur. Saat ini pasien
tidak mengkonsumsi obat apapun. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran sopor
(GCS E2M5V2), tekanan darah 210/110 mmHg
(TAR 143 mmHg), denyut nadi 92 kali/menit,
frekuensi nafas 28 kali/menit, pemeriksaan mata
didapatkan pupil bulat isokor, reflek cahaya
langsung dan tidak langsung +/+, dari pemeriksaan
motorik didapatkan hemiparese dextra, dari foto
toraks didapatkan gambaran kardiomegali tanpa
bendungan paru, dari CT scan didapatkan massa hiperdens di ganglia basalis sinistra, midline shift >
5 mm ke kanan; sulkus,girus dan fisura sylvian
tidak terkompresi.
Pemeriksaan Fisik:
Kesadaran Sopor (GCS E2M5V2) Tekanan darah 210/110 mmHg (TAR 143 mmHg) Laju nadi 92 x/menit
Frekuensi nafas 28 x/menit Suhu 36,60C Saturasi 97% sungkup muka 5 L/menit Pupil bulat, isokor, Ø 3 mm Refleks cahaya +/+ Motorik Hemiparese dekstra, refleks
patologik +/-
Pemeriksaan Laboratorium:
Kimia darah Hb 11,9/Ht 37/ L 13.800/Tr 351.000 Ur 26/Cr 0,63 Na 136/K 4,7, GDS 119
EKG Irama sinus, 90 x/menit
Rontgen Kardiomegali CT Scan Fissura Sylvian, sulkus dan girus
tidak tertekan Massa hiperdens pada ganglia basalis kiri, Midline shift > 5 mm ke kanan.
Pemeriksaan CT-scan
Manajemen Perioperatif
Pasien 1. Untuk regulasi tekanan darah, pasien
diberikan terapi nicardipin drip 0,3 ug/kg/menit
dengan target TAR 125–130 mmHg, pasien
mendapat terapi antihipertensi selama 24 jam
sebelum dilakukan kraniotomi evakuasi, tekanan
darah awal saat masuk ke kamar operasi 165/108
mmHg (TAR 127 mmHg), laju jantung 82 x/menit,
laju nafas 24x/menit, Sat O2 99% dengan bi nasal
kanul 3 L/menit. Dilakukan induksi dengan
fentanyl 200 ug, propofol 100 mg, lidokain 80 mg,
vecuronium 8 mg dan pengulangan dosis propofol 50 mg, pasien kemudian diintubasi dengan pipa
endotrakheal non kinking no 7,0, pasien diberikan
rumatan anestesi dengan O2+Air+Isoflurane 1 vol%
dengan propofol kontinyu 10–30 mL/jam, dan
vecuronium 2 mg/30 menit. Operasi berlangsung
selama 4 jam. Pascaoperasi pasien dipindahkan ke
ICU dan analgetik pascaoperasi diberikan morphine
10 ug/kg/menit.
Pemantauan Hemodinamik
Kasus 2. Untuk regulasi tekanan darah, pasien diberikan terapi klonidin drip 0,5 ug/kg/mnt dengan
target TAR 125–130 mmHg pasien mendapat terapi
antihipertensi selama 22 jam sebelum dilakukan
kraniotomi evakuasi. Tekanan darah awal saat
masuk ke kamar operasi 175/104 mmHg (TAR 127
mmHg), laju jantung 62 x/menit, laju nafas 22
x/menit, Sat O2 99% dengan sungkup muka 5
L/menit. Dilakukan induksi dengan fentanyl 150
ug, propofol 100 mg, lidokain 80 mg, vecuronium 8
mg and pengulangan dosis propofol 50 mg, pasien
kemudian diintubasi dengan pipa endotrakheal non kinking no 7,5, pasien diberikan rumatan anestesi
O2+Air+Isoflurane 1 vol% dengan propofol
kontinyu 10–30 mL/jam, dan vecuronium 2 mg/30
menit. Operasi berlangsung selama 3,5 jam.
Pascaoperasi pasien dipindahkan ke ICU dan
analgetik pascaoperasi diberikan morphine 10
ug/kg/menit.
0
50
100
150
200
SBP
DBP
HR
144 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
Pemantauan Hemodinamik
Kasus 3. Untuk regulasi tekanan darah, pasien
diberikan terapi nicardipin drip 0,3 ug/kg/menit
dengan target TAR 125–130 mmHg, pasien
mendapat terapi anti hipertensi selama 18 jam
sebelum dilakukan kraniotomi evakuasi, tekanan darah awal saat masuk ke kamar operasi 172/110
mmHg (TAR 130 mmHg), laju jantung 90 x/menit,
laju nafas 20 x/menit, Sat O2 97% dengan sungkup
muka 5 L/menit. Dilakukan induksi dengan
fentanyl 200 ug, propofol 100 mg, lidokain 80 mg,
vecuronium 8 mg and pengulangan dosis propofol
50 mg, pasien kemudian diintubasi dengan pipa
endotrakheal non kinking no 7,0, pasien diberikan
rumatan O2+Air+Isoflurane 1 vol% dengan
propofol kontinyu 10–30 mL/jam, dan vecuronium
2 mg/30 menit. Operasi berlangsung selama 4 jam. Pascaoperasi pasien dipindahkan ke ICU dan
analgetik pascaoperasi diberikan morphine 10
ug/kg/menit.
Pemantauan Hemodinamik
Hasil
Kasus 1. Pasien mendapat perawatan ICU
selama 2 hari, dipindah rawat ke
ruangan dengan GCS E4M6V5,
mendapat perawatan selama 6 hari, dan
diijinkan pulang pada hari perawatan
ke-8.
Kasus 2. Pasien mendapat perawatan di ICU
selama 2 hari, dipindah ke NCCU
dengan GCS E4M6V5, mendapat
perawatan selama 3 hari dan pindah ke
ruang rawat biasa pada hari ke-5, dan diijinkan pulang pada hari ke
perawatan ke-11.
Kasus 3. Pasien mendapat perawatan di ICU
selama 3 hari, pindah ke ruang rawat
dengan GCS E4M6V5, dan diijinkan
pulang pada hari perawatan ke-7.
Pembahasan
Masih terdapat kontroversi dalam hal terapi optimal
pada perdarahan intraserebral, terutama dalam pengendalian tekanan darah. Tingginya tekanan
darah dapat menyebabkan penambahan hematom,
namun penurunan tekanan darah yang terlalu drastis
dapat menurunkan perfusi serebral. Intensive Blood
Pressure Reduction Acute Cerebral Hemorrhage
Trial (INTERACT) menyatakan bahwa penanganan
intensif yang segera pada tatalaksana tekanan darah
dapat menurunkan resiko perluasan hematom
namun tidak memberikan pengaruh terhadap
hasilnya, tetapi pada ketiga kasus diatas, penurunan
tekanan darah dalam waktu kurang dari 24 jam ternyata memberikan hasil yang baik.2-5
Rekomendasi dan AHA/ASA untuk terapi
peningkatan tekanan darah pada PIS spontan
terlihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 1. Pedoman rujukan AHA/ASA dalam
Penatalaksanaan Peningkatan Tekanan Darah
pada PIS
1. Jika tekanan darah sistolik >200 mmHg atau
tekanan arteri rerata >150 mmHg,
pertimbangkan penurunan tekanan darah secara
agresif dengan infus kontinyu, pemantauan
tekanan darah setiap 5 menit.
2. Jika tekanan darah sistolik >180 mmHg dan
terdapat tanda peningkatan intrakranial,
pertimbangkan pemantauan tekanan intrakranial (ICP) dan penurunan tekanan darah
secara intermiten atau kontinyu dengan
mempertahankan tekanan perfusi serebral
(CPP) ≥ 60 mmHg.
3. Jika tekanan darah sistolik >180 mmHg atau
tekanan arteri rerata > 130 mmHg, dan tidak
terdapat tanda peningkatan tekanan intrakranial
(ICP), pertimbangkan penurunan tekanan darah
perlahan (misalnya: tekanan arteri rerata 110
mmHg atau target tekanan darah 160/90
mmHg) dengan terapi intravena intermiten atau kontinyu, dilakukan pemantauan setiap 15
menit.
Dikutip dari: Wallace M, Joint Committee 7th. 6,7
0
50
100
150
200
SBP
DBP
HR
050
100150200
SBP
DBP
HR
145 Tatalaksana Anestesi Perioperatif pada Pasien dengan
Perdarahan Intraserebral Spontan akibat Hipertensi
Emergensi: Serial Kasus
Tabel 2. Rujukan dari EUSI untuk
Tatalaksana Tekanan Darah pada PIS
Riwayat hipertensi (+)
Penurunan tekanan arteri rerata (TAR) < 120 tetapi > 84
mmHg; hindari penurunan TD > 20%. Tekanan darah dibatasi < 10/105 mmHg; target tekanan darah < 170/100 mmHg. Hindari penurunan TD >20%.
Riwayat hipertensi (-)
Penurunan tekanan arteri rerata (TAR) hingga 110 mmHg
Tekanan darah dibatasi < 160/95 mmHg; target TD <150/90 mmHg. Hindari penurunan TD > 20%.
Didapati peningkatan tekanan intrakranial
Target tekanan arteri rerata (TAR) atau tekanan darah disesuaikan dengan tekanan perfusi serebral (CPP) 60–70
mmHg.
Dikutip dari: Eiot J, dkk. 1
Keterangan: EUSI=the European Stroke Initiative
Pada ketiga kasus ini dilakukan pengelolaan
hipertensi prabedah dengan target TAR 125–130
mmHg.
Tabel 3. Skor PIS
Komponen Poin Skor PIS
Skor GCS
3-4 2
5-12 1
13-15 0
Volume PIS (cm3)
≥ 30 1
< 30 0
IVH
Ya 1 Tidak 0
PIS infratentorial
Ya 1
Tidak 0
Usia (thn)
≥80 1
<80 0
Total angka kematian dalam 30 hari :
5+ 100 %
4 97 %
3 72 % 2 26 %
1 13 %
0 0 % Dikutip dari: Hemphill J, dkk. 2
Tabel 4. Skor FUNC
Komponen Angka FUNC
Volume PIS (cm3) <30 4 30–60 2 >60 0 Usia (tahun) <70 2 70–79 1
>80 0 Lokasi PIS Lobar 2 Dalam 1 Infratentorial 0 Skor GCS ≥9 2 ≤8 0
Gangguan kognitif pre-PIS Ya 1 Tidak 0 Total skor FUNC 0–11
Dikutip dari: Hemphill J, dkk. 2
Tabel 5. Obat Antihipertensi untuk Perdarahan
Intraserebral Akut
Obat Mekanisme Dosis
Labetalol Antagonis reseptor α1, β1, β2
10–80 mg bolus setiap 10 menit, dapat ditingkatkan
sampai 300 mg 0,5–2 mg/mnt infus
Esmolol Antagonis reseptor β1
0,5 mg/kg bolus; 50–300 ug/kg/mnt
Nicardipine Calcium channel blocker tipe-L (dihydropyridine)
5–15 mg/jam infus
Enalapril ACE inhibitor 0,625 mg bolus; 1,25–5 mg tiap 6
jam Fenoldopam Antagonis
reseptor dopamine-1
0,1–0.3 ug/kg/mnt
Nitropruside Vasodilator (arteri dan vena)
0,25-10 ug/kg/mnt
Dikutip dari: Tuncel M, Cline D, Abdelwahab W.8-10
Simpulan
Masih ada kontroversi tentang terapi PIS optimal
terutama dalam pengendalian tekanan darah.
Tekanan darah yang tinggi dapat menimbulkan
hematoma, tapi penurunan tekanan darah dapat menimbulkan penurunan perfusi otak. The Intensive
Blood Pressure Reduction of Acute Cerebral
Hemorrhage Trial (INTERACT) menemukan
bahwa penurunan tekanan darah yang segera akan
mengurangi resiko perluasan perdarahan tapi tidak
146 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
mempunyai efek pada outcome, akan tetapi, pada ke 3 kasus tersebut menurunkan tekanan darah
dalam waktu kurang dari 24 jam memberikan hasil
yang baik.
Daftar Pustaka
1. Eiot J, Smith M. The acute management of
intracerebral hemorrhage: a clinical review.
Anesth Analg. 2010; 110(5):1419–27.
2. Hemphill J, Bonovich D, Besmertis L, Manley G, Johnston S. The ICH score, a simple
grading scale for intracerebral hemorrhage.
Stroke. 2001; 32: 891–7
3. Haas A, Marik P. Current diagnosis and
management of hypertensive emergency.
Semin Dial. 2006; 19(6): 502–12.
4. Link A, Selejan S, Walenta K, Reil J, Bohm M.
Treatment of peri-and postoperative
hypertensive emergencies. Dtsch Med
Wochenschr. 2009; 134(14): 701–7.
5. Bisri YD, Bisri T. Perioperative management of hemorrhagic stroke. JNI 2012; 1(1):59–66.
6. Wallace M, Haddadin A. Hypertensive Crises.
Dalam: Hines R, Marschall K, penyunting.
Stoelting's Anesthesia and Co-Existing
Disease. Philadelphia: Churchill Livingstone;
2008.
7. The Seventh Report of the Joint Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Pressure. Bethesda:
National Heart, Lung, and Blood Institute, US
Department of Health and Human Services;
2004.
8. Tuncel M, Ram V. Hypertensive emergencies.
Etiology and management. Am J Cardiovasc
Drugs. 2003; 3(1): 21–31.
9. Cline D, Amin A. Drug treatment for hypertensive emergency. EMC reg. 2008; 1:1–
12.
10. Abdelwahab W, Landau A, Frishman W.
Management of hypertensive urgencies. J Clin
Pharmacol. 1995; 35(8):746–62.
147
Manajemen Anestesi untuk Reseksi Tumor Pineal Body dengan Posisi Duduk
Agus Baratha Suyasa
Departemen Anestesi dan Terapi Intensif Kasih Ibu Hospital, Bali
Abstrak
Perkembangan teknik operasi mikro yang semakin baik serta perkembangan neuroanesthesia dan critical care
yang semakin canggih membuat reseksi tumor yang agresif menjadi pilihan untuk manajemen tumor regio pineal dan ventrikel III. Seorang laki laki 49 tahun dengan tumor pineal body pasca Ventriculo-Peritoneal shunt, akan
dilakukan operasi kraniotomi reseksi tumor dengan posisi duduk. Pasien mengeluh nyeri kepala hebat, berkurang
dengan obat tetapi sering kambuh. Sejak Maret 2013 penglihatan kabur, sempoyongan, mual muntah, dan telinga
terasa berdenging. Operasi dilakukan dengan posisi duduk dalam anestesi umum, menggunakan pipa endotrakeal
(ETT) no.7,5 non kinking, ventilasi kendali. Pipa nasogastrik (NGT) no.16 dipasang untuk dekompresi.
Premedikasi dengan midazolam 2 mg iv, deksametason 20 mg iv. Koinduksi menggunakan fentanyl 100 μg iv,
induksi dengan propofol 200 mg iv. Fasilitas intubasi dengan rokuronium 0,9 mg/KgBB. Pemeliharaan anestesi
dengan O2 + air + sevofluran dengan fraksi oksigen 50%. Propofol kontinyu 100–200 mg/jam, vekuronium
6mg/jam. Monitoring tanda vital (tekanan darah, nadi, SaO2, elektrokardiografi), etCO2, arteri line dan kateter
vena sentral (CVC). Reseksi tumor dilakukan selama 6 jam. Selama operasi hemodinamik relatif stabil, tekanan
darah sistolik berkisar 90–110 mmHg, tekanan darah diastolik 60-80mmHg, laju nadi 50–70 x/mnt, SaO2 99–100 %, etCO2 30 mmHg. Pascaoperasi pasien masih dengan ventilasi kontrol di rawat di ruang perawatan intensif.
Berbagai pendekatan bedah telah dikemukakan untuk tumor ventrikel III posterior dan regio pineal. Pilihan
pendekatan dipengaruhi oleh lokasi tumor, temuan patologi, dan kenyamanan dokter bedah serta pertimbangan
resiko komplikasi.
Kata kunci: tumor pineal body, posisi duduk
JNI 2013;2(3): 147–54
Management of Anesthesia for Pineal Body Tumor Resection in the Sitting Position
Abstract
The development of micro-surgery techniques are advancing and the development of neuroanesthesia and critical
care are growing increasingly sophisticated making aggressive tumor resection as an option for the management
of tumors located in the pineal and third ventricle region. A 49 years old male with a pineal body tumor after
Ventriculo-Peritoneal shunt, underwent a craniotomy tumor resection surgery conducted in a sitting position.
The patient complained of severe headache which was reduced by drugs, however relapsed again. Blurred vision, staggering, nausea, vomiting, ringing in the ears, were experienced in March 2013. Surgery performed
with general anesthesia in the sitting position, using non kinking endotracheal tube size 7.5 under controlled
ventilation. Nasogastric tube no.16 was inserted for decompression. Premedication with midazolam 2 mg iv,
dexamethasone 20 mg iv. Co induction using fentanyl 100 mcg iv, induced with propofol 200 mg iv. Facilities
intubation with rocuronium 0.9 mg/KgBW. Maintenance of anesthesia with sevoflurane + O2 + air with oxygen
fraction 50%. Continuous propofol 100–200 mg/hour, and vekuronium 6 mg/h were given. Monitoring vital
signs (BP, HR, SaO2, ECG), etCO2, arterial line and CVC. Tumor resection was performed in 6 hours. Relatively
stable hemodynamics during surgery, systolic blood pressure ranged within 90–110 mmHg, diastolic blood
pressure of 60-80 mmHg, heart rate 50–70 x/min, SaO2 99–100%, etCO2 30 mmHg. Postoperatively the patient
was managed in the ICU under controlled ventilation. Various surgical approaches have been put forward for the
posterior third ventricular tumor and pineal region. Choice of approach is influenced by the location of the tumor, pathological findings, surgeon comfort and risk of complications.
Keywords: Pineal body tumors, sitting position
JNI 2013;2(3): 147–54
148 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
I. Pendahuluan
Perkembangan teknik operasi mikro yang semakin
baik serta perkembangan neuroanesthesia dan
critical care yang semakin canggih membuat
reseksi tumor yang agresif menjadi pilihan untuk
manajemen tumor regio pineal dan ventrikel III.
Walaupun berbagai pendekatan untuk tumor pada
ventrikel III posterior telah dikenalkan, namun
hanya tiga pendekatan yang sering digunakan.
Pendekatan infratentorial-supraserebelar memberi
keuntungan berupa ruang yang alami antara
serebelum dan tentorium. Pendekatan supratentorial meliputi intrahemisfer-transcallosal dan occipital-
transtentorial. Memilih pendekatan pembedahan
yang optimal tergantung pada letak anatomi tumor
serta pemilihan dan pengalaman dokter bedah.
Perbaikan teknik pembedahan memberi dampak
perbaikan pula pada hasil pembedahan untuk tumor
yang jarang ini.1
II. Laporan Kasus
Anamnesis
Seorang laki-laki 49 tahun, berat badan 80Kg
dengan diagnosis Pineal body tumor post V-P
Shunt ec hidrocefalus non comunican, datang ke RS Kasih Ibu Denpasar Bali dengan keluhan nyeri
kepala hebat, berkurang dengan obat tetapi kambuh
lagi diikuti penglihatan kabur, sempoyongan, mual
muntah, telinga terasa berdenging sejak 4 bulan
yang lalu. Penderita sebelumnya diperiksa di
Rumah Sakit Umum Daerah Luwuk, Sulawesi
Tengah, dilakukan CT-Scan, ditemukan ada tumor
pada otak, serta pelebaran sistem ventrikel,
disarankan untuk operasi. Penderita kemudian
datang ke RS Kasih Ibu Denpasar, Bali. Dilakukan
pemasangan V-P Shunt cito. Riwayat asthma (-), allergi (-), hipertensi (-), sesak nafas (-).
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum: Sadar, nyeri kepala, gangguan
pengelihatan, gangguan keseimbangan.
Survei Primer Airway Bebas, oksigenasi 3 L/menit O2 nasal
kanul Breathing Nafas spontan 18-20 x/menit, gerakan
dinding dada simetris (+)
Pola nafas torakoabdominal, vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)
Circulation Tekanan darah 130/80 mmHg, laju nadi 76 x/menit, regular Bising (-), sianosis (-), ekstremitas hangat temperatur: 36o C
Disability Tingkat kesadaran: GCS = E4 M6 V5 = 15
Pupil isokor bulat 3 mm. Reflek cahaya +/+. Papil edema (-) Motorik 5 / 5 / 5 / 5, sensorik +/+/+/+
reflek fisiologis (+) Defisit neurologis lain pendengaran menurun
Survei Sekunder Kepala Tyromental distance 7 cm, gerakan
kepala bebas ke segala arah Leher Jugular venous pressure tidak
meningkat Thorak Bentuk dan gerakan dada simetris Abdomen Supel, bising usus (+),
Ekrstremitas Deformitas (-), hangat (+), capilary refill <2 detik Motorik 5/5 Sensorik +/+ 5/5 +/+
Pemeriksaan Penunjang Laboratorium pre op ke-1 (05 Juni 2013) pkl:
09.11 Haemoglobin 14,5 gr/dL BUN 35,0 mg/dL Leukosit 8,43/mm3 Creatinin 0,89 mg/dL Eritrosit 5,25/mm3 SGOT 12 U/L Haematokrit 42,0% SGPT 15 U/L Trombosit 250 000/mm3 Bleeding
time 2,00
Clothing time 12,15
Gula Darah Puasa
105 mg/dL
Pemeriksaan Laboratorium pre op ke-2 (15 Juni
2013) pukul 10.56 Haemoglobin 12,5 gr/dL Leukosit 6,35/mm3 Eritrosit 4,48/mm3 Haematokrit 36,5% Trombosit 253 000/mm3
Foto Thorak
Paru : Corakan bronchovaskular normal, kedua sudut costofrenicus tajam
Jantung : Besar dan bentuk normal
Kesan : Foto thorak tak tampak kelainan
CT-Scan Kepala (pre op, RSUD Luwuk Sulawesi
Tengah)
149 Manajemen Anestesi untuk Reseksi Tumor Pineal Body
dengan Posisi Duduk
Tampak lesi isodens daerah ventrikel III dengan
dilatasi ventrikel lateralis kiri dan kanan, tidak
tampak midline shift.
Kesan: ependimoma dengan hidrocefalus
MRI kepala dengan kontras (post VP-Shunt)
Kesan:
Masa solid ukuran 2,66 x 2,99 x 3,28 cm di daerah
pineal body yang mendesak pons dan ventrikel IV,
disertai multipel nodul di pons sisi kanan, di lobus
occipital kanan dan di lobus parietal kiri.
Assessmen
Pineal Body Tumor post V-P shunt ec Hidrocefalus
non comunican
Rencana Tindakan (Reseksi Tumor dengan posisi duduk)
1. Persiapan operasi, infus NaCl 0,9%
24tts/menit
2. Puasa 6 jam preop, informed consent
3. Pemasangan kateter vena sentral dan arteri
line
4. Pemasangan pipa nasogastrik dan kateter
urine
5. Pascabedah pemantauan intensif dengan
ventilator
Pengelolaan anestesi dilakukan dengan anestesi umum dengan posisi duduk (sitting position)
menggunakan pipa endotrakeal no 7,5 non kinking,
ventilasi kendali. Pipa nasogastrik no.16 dipasang
untuk dekompresi. Premedikasi dengan midazolam
2 mg iv, dexamethasone 20 mg iv. Co induksi
menggunakan fentanyl 100 μg iv, induksi dengan
propofol 200 mg iv. Fasilitas intubasi dengan
rokuronium 0,9 mg/KgBB. Pemeliharaan anestesi
dengan O2 + air + sevofluran dengan fraksi oksigen
50%. Propofol diberikan kontinyu 100–200
mg/jam, vekuronium 6mg/jam. Monitoring tanda vital (tekanan darah, laju nadi, SaO2,
elektrokardiografi), ETCO2, arteri line dan kateter
vena sentral (CVC).
Reseksi tumor dilakukan selama 6 jam, dengan
posisi duduk. Selama operasi hemodinamik relatif
stabil, tekanan darah sistolik berkisar 90–110
mmHg, tekanan darah diastolik 60–80mmHg, laju
nadi 50–70 x/mnt, SaO2 99–100 %, ETCO2 30
mmHg. Pascaoperasi pasien dirawat di ruang
intensif dengan ventilasi kontrol.
150 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
Status Anestesi
Pengelolaan Pascabedah
Hari ke-0 (17.45)
KU : Dalam pengaruh obat, terpasang NGT, CVC,
arteri line
A : Bebas, ETT 7,5 non kinking; B : Ventilator
BIPAP 13, RR 12, PEEP 3, FiO2 50%; C : TD
114/67mmHg HR 52 x/menit SaO2 100 % ETCO2
30 mmHg; D: pupil isokor 3mm, RC +/+
Terapi :
Posisi terlentang kepala keatas 300, Infus (NaCl
100mL, asering 500 mL, tutofusin OPS@ 1000mL =
2500 mL/24 jam), analgetik fentanyl 200Ug + ketorolac 60 mg dalam 25 cc NaCl drip 3 cc/jam,
ceftriaxon 2x1 gram, ranitidin 2x1 amp,
dexamethason 3x1amp, catapres@ 0,2 ug/Kg/jam
titrasi, propofol 80mg/jam, vecuronium 6 mg/jam.
Periksa analisa gas darah (AGD).
Hari ke-1 (05.00)
KU : Ekstubasi, komposmentis
A : Bebas; B : RR 14 x/mnt vesikuler; C : TD
123/86mmHg HR 61x/menit SaO2 100 % ; D :
pupil isokor 3mm, RC +/+
Terapi :
Posisi terlentang kepala keatas 300, infus (NaCl 100mL, asering 500 mL, tutofusin OPS@ 1000mL =
2500 mL/24 jam), analgetik fentanyl 200Ug +
ketorolac 60 mg dalam 25 cc NaCl drip 3 cc/jam,
ceftriaxon 2x1 gram, ranitidin 2x1amp,
deksametason 3x1amp, catapres@ 0,2 ug/Kg/jam
titrasi, coba minum sedikit, diet cair
Hari Ke-2
KU : Komposmentis, Nyeri (-)
A : Bebas; B : RR 14 x/mnt vesikuler; C : TD
150/106 mmHg HR 50x/menit SaO2 100 % ; D:
pupil isokor 3mm, RC +/+
Terapi :
Posisi terlentang kepala keatas 300, Infus (NaCl
100mL, asering 500 mL, tutofusin OPS@ 1000mL =
2500 mL/24 jam), analgetik ketesse@ 3x50mg,
ceftriaxon 2x1 gram, ranitidin 2x1amp,
deksametason 3x1amp, catapres 0,2 ug/Kg/jam
titrasi, diet bubur, boleh pindah ruangan.
III. Pembahasan
1.Pineal Body (Glandula Pineal)
Glandula Pineal sering disebut mata ketiga,
merupakan kelenjar endokrin kecil pada otak
vertebrata. Kelenjar pineal memproduksi serotonin
151 Manajemen Anestesi untuk Reseksi Tumor Pineal Body
dengan Posisi Duduk
(derivat melatonin), hormon yang mempengaruhi modulasi bangun dan tidur. Terletak di dekat titik
tengah otak diantara dua hemisfer di celah antara
kedua thalamus.1
Gambar 1. Glandula pineal Dikutip dari: Behari S et al 3
2. Patologi
Tumor yang berasal murni dari glandula pineal
sangat jarang, 50–70% berasal dari embryonik germ cells, sehingga disebut germinoma yang
sering berasal dari seminoma testis maupun ovarian
disgerminoma. Tumor glandula pineal secara
prinsip di bagi 3 yaitu germ sel tumor, pineal sel
tumor dan glial sel tumor. Sebagai tambahan tumor
glandula pineal dan ventrikel III posterior, termasuk
astrositoma thalamus, ependimoma, tumor pleksus
koroideus, craniopharyngioma dan meningioma
yang berasal dari velum interpositum dll. Tumor
pineal dapat menekan coliculus superior dan area
pretektal bagian dorsal otak tengah (midbrain),
menyebabkan sindroma Parinaud. Menekan aquaduktus serebri menyebabkan hidrochepalus.
Manifestasi klinis merupakan konsekuensi dari efek
penekanan berupa gangguan pengelihatan, sakit
kepala, gangguan mental serta kadang seperti
demensia. Jika lokasi tumor telah ditentukan maka
jalan terbaik adalah eksisi.1,2
2.1.Hidrocepalus
Sebagian besar pasien datang dengan hidrocepalus.
Sangat disarankan pemasangan V-P shunt 3 sampai
7 hari sebelum operasi tumor definitif untuk
dekompresi ventrikel. Walaupun pemasangan V-P shunt dapat menyebabkan penyebaran ke
peritoneum pada tumor yang maligna, namun
kejadianya sangat jarang.1,4,8-10
3.Teknik Pendekatan Bedah
Berbagai macam pendekatan bedah telah di coba
oleh para klinisi untuk kasus lesi pada glandula
pineal, ventrikel III posterior serta dorsal midbrain.
Semuanya membutuhkan presisi serta pengetahuan anatomi yang baik. Horsley merupakan orang
pertama yang melakukan pembedahan untuk lesi
regio pineal, namun pembedahan yang berhasil
pertama kali dilakukan oleh Krause pada tahun
1931 dengan menggunakan pendekatan
infratentorial supraserebelar, yang kemudian
pendekatan ini diperbarui oleh Stein pada tahun
1971. Pendekatan alternatif lain dilakukan oleh
Jamieson dan Poppen (pendekatan occipital
transtentorial), VanWagenen (pendekatan
transventrikuler posterior), dan Dandy (pendekatan transcallosal posterior).1-3,6,7
3.1.Keuntungan
Pendekatan lewat garis tengah untuk mencapai
tumor menghindari cedera pada kanal vena-vena
dalam (vena serebral interna yang bermuara pada
vena Galen yang bermuara pada sinus dan vena
basal Rosenthal) yang biasanya terletak di superior
lesi. Pendekatan ini memberikan paparan yang baik
dengan kerusakan minimal. Posisi duduk
memberikan paparan dan drainase yang baik darah
dan LCS dengan bantuan gravitasi.1-3,6,7
3.2.Kerugian
Jika lesi meluas sampai ke lateral dan keatas
trigonum ventrikel lateral atau lesi meliputi corpus
callosum maka sulit untuk melakukan reseksi
secara komplit dengan pendekatan infratentorial
sehingga membutuhkan pendekatan supratentorial.
Posisi duduk yang biasanya menjadi pilihan,
meningkatkan resiko emboli udara, tension
pneumochepalus dan cedera hiperfleksi yang
menyebabkan quadriplegia. 1-3,6,7
4.Tujuan Pembedahan
Tujuan pembedahan pada tumor ventrikel III posterior tergantung klinis dan situasi individual.
Tujuan pertama adalah untuk menegakan diagnosis
histologi. Pembedahan dapat di abaikan jika
ditemukan serumor pada cairan otak (CSF) α-
fetoprotein atau β-HCG (human chorionic
gonadotropin). Marker ini spesifik untuk elemen
germ cell maligna. Pasien dengan germ cell
maligna, biasanya dilakukan preoperatif dengan
radioterapi dan kemoterapi. Jika marker positif
tidak ditemukan, maka diperlukan sampel jaringan.
Reseksi tumor membuat pengurangan efek massa
dan meningkatkan respon terhadap terapi adjuvant untuk lesi maligna. Untuk tumor jinak, dapat
dilakukan reseksi total. 1-3
5.Posisi Pembedahan
Berbagai posisi pasien untuk pembedahan tumor
region pineal dan ventrikel III posterior telah
diperkenalkan. Masing-masing memiliki
152 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
keuntungan dan kerugian tersendiri dalam hal kenyamanan operator, komplikasi, dan kesesuaian
dengan tujuan operasi.1,6
5.1.Posisi Duduk
Posisi duduk banyak dipilih untuk pendekatan
infratentorial-supraserebelar dan juga baik untuk
pendekatan occipital-transtentorial. Pada posisi
duduk, kepala difiksasi pada bagian temporal
menggunakan head pin, dokter bedah membantu
memposisikan kepala sehingga membentuk
konfigurasi C-Shaped antara kepala dan lutut. Kaki
pasien sedikit di tekuk untuk memberi ruang pada aliran vena. Leher difleksikan sehingga tentorium
sejajar dengan lantai namun tetap menyisakan jarak
2 jari antara dagu dan dada. Prinsip dari posisi
duduk adalah gravitasi membantu retraksi
serebelum dan diseksi tumor pada sistem vena
dalam. 1,6,7
Gambar 2. Posisi duduk 1
Dikutip dari : Lozier AP, Bruce JN 1
6. Anestesi dan Komplikasi
Komplikasi yang potensial terjadi pada posisi
duduk diantaranya (1) emboli udara, (2)
pneumochepalus, (3) perdarahan supratentorial, (4)
myelopati fleksi midservikal, dan (5) malfungsi shunting. Monitoring dengan precordial Doppler
dan ETCO2 dapat mendeteksi sejumlah kecil udara
yang masuk sebelum menjadi masalah yang besar.
Resiko emboli udara paling besar pada saat
kraniotomi dan membuka duramater. Tulang yang
terbuka harus di beri bone wax dan perdarahan
vena harus di kontrol sebelum melakukan diseksi
lebih dalam. Beberapa ahli anestesi melakukan
pemasanga central venous catheter (CVC) untuk
melakukan aspirasi udara pada atrium kanan.
Kebocoran liquor cerebrospinalis (LCS) dan perdarahan dapat terjadi pasca operasi. Hal ini
mungkin terjadi karena perdarahan pada sisa tumor
atau karena gravitasi yang menyebabkan kolapsnya
bridging vein pada posisi duduk. Infark hemoragik
vena juga dapat terjadi karena koagulasi pada
bridging vein. 1,3,5,6-10
7. Manajemen Tumor Intraoperatif
Untuk tumor pada regio pineal, harus dilakukan
biopsi dan frozen section (FZ) terlebih dahulu
untuk menegakan diagnosis. Jika hasilnya
menunjukkan suatu germinoma, maka reseksi agresif menjadi kontroversial, disarankan
pengambilan tumor secukupnya dan dilanjutkan
radioterapi. Jika ditemukan suatu tumor yang
invasif seperti glioma pada batang otak atau
thalamus, debulking harus dilakukan secara hati-
hati, karena banyaknya tumor yang diambil
berasosiasi dengan defisit neurologis yang timbul.
Tujuan yang rasional adalah mengembalikan aliran
LCS. Namun jika tumor yang ditemukan adalah
meningioma velum interpositum atau tentorium,
maka dianjurkan reseksi total.1,3,5-7
8.Manajemen Pascabedah
Masalah yang paling signifikan pascabedah meliputi perdarahan pada tumor bed, hidrosefalus,
malfungsi shunting, pneumochepalus dan subdural
hematom. Semua hal tersebut dapat diatasi dan
dideteksi segera dengan CT-scan. Perdarahan
sering terjadi pada tumor yang invasif dengan
reseksi parsial. Hidrosefalus dan malfungsi
shunting dapat terjadi karena debris yang
menyumbat pada ventrikel III. Pneumocefalus
sering terjadi pada posisi duduk dan menyebabkan
confusion pascabedah. Subdural hematom terjadi
karena shifting otak dan robeknya bridging vein,
memerlukan evakuasi segera. Pascabedah pasien harus tetap diberikan steroid dosis tinggi sampai
keadaan klinis stabil. Dianjurkan pemberian
dexamethason sampai 2 minggu kemudian di
tapering off, hal ini juga penting untuk menghindari
ventrikulitis. Jika pendekatan yang dipakai adalah
supratentorial maka disarankan memberikan
profilaksis anti kejang.1,3,5,7-10
9.Emboli Udara Vena (Venous Air Embolism/VAE)
Emboli udara vena (VAE) sering terjadi pada
pembedahan fossa posterior terutama pada posisi
duduk, karena tekanan subatmosfer pada saat vena
terbuka serta adanya vena yang tidak bisa kolaps (diploic vein, dural sinuses) menyebabkan udara
masuk kedalam sirkulasi. Udara yang masuk
mengikuti sirkulasi pulmonal, menimbulkan
obstruksi mekanik dan hipoksia sehingga memicu
reflek simpatis vasokontriksi. Gelembung udara
mikro mengaktivasi pelepasan mediator yang
menghasilkan pembentukan komplemen, pelepasan
sitokin, dan molekul O2 aktif. Manifestasinya
meliputi hipertensi pulmonal, gangguan pertukaran
gas, hipoksemia, retensi CO2, peningkatan
pulmonal dead space, serta penurunan ETCO2.
Iskemik miokard terjadi karena hipoksia yang lama. Blok oleh gelembung udara menyebabkan gagal
153 Manajemen Anestesi untuk Reseksi Tumor Pineal Body
dengan Posisi Duduk
jantung kanan akut, disritmia dan kolaps kardiovaskuler. Morbiditas dan mortalitas VAE
berhubungan dengan jumlah udara dan kecepatan
yang masuk kedalam sirkulasi. Angka kejadian
VAE 25%–60% pada posisi kepala lebih tinggi dari
jantung. Pemasangan kateter vena sentral sangat
berguna untuk aspirasi udara pada atrium kanan
jika terjadi VAE, juga untuk mengkonfirmasi
diagnosis VAE. 8-10
Table 1. Monitoring deteksi VAE 8,9
Monit
or
Keuntungan Kerugian
Doppler
Monitor non invasif paling sensitif Deteksi dini
Tidak kuantitatif Kesulitan pemasangan pada obesse, deformitas dinding dada, posisi telungkup atau miring. False negatif jika udara tidak melewati
gelombang ultrasonik dan tidak berguna jika menggunakan kauter Manitol intravena mirip seperti udara dalam intravaskuler
PA Kateter
Kuantitatif, sedikit lebih sensitif
daripada ETCO2 Tersedia luas Pemasanganya mudah bagi yang berpengalaman Dapat mendeteksi tekanan atrium kanan lebih baik
daripada tekanan wedge kapiler
Lumen kecil, sedikit udara yang dapat diaspirasi
Penempatan untuk aspirasi udara mungkin tidak dapat untuk mengukur tekanan wedge kapiler Tidak spesifik untuk udara
ETCO2 Non invasif Sensitif Kuantitatif Tersedia luas
Tidak spesifik untuk udara Kurang sensitif dibandingkan Doppler, kateter PA Akurasi dipengaruhi takipneu, kardiak output
yang rendah, COPD ETN2 Spesifik untuk
udara Mendeteksi udara lebih dini dibanding ETCO2
Tidak dapat mendeteksi emboli udara subklinik Dapat mengindikasikan clearance udara dari sirkulasi pulmonal secara premature Akurasi dipengaruhi hipotensi
TEE Paling sensitif untuk udara Dapat mendeteksi udara pada jantung kiri, aorta
Mahal Harus di lakukan observasi secara kontinyu Tidak kuantitatif Terganggu dengan ultrasonografi Doppler
Doppler, precordial Dopplerultrasonografi, PA,
pulmonary artery, TEE, transesophageal echocardiografi. Dikutip dari: Smith DS, Osborn I 8,9
Tabel 2. Penanganan VAE 8,9
Tujuan intraoperatif
1. Memberitahu dokter bedah segera
2. Stop N2O segera, naikan flow
O2 3. Modifikasi anestesi 4. Penuhi lapangan operasi
dengan air 5. Kompresi vena jugularis 6. Aspirasi udara lewat kateter
atrium kanan (CVC/RAC) 7. Suport kardiovaskular
8. Ubah posisi pasien
Tujuan postoperatif
1. Berikan suplemen oksigen 2. Lakukan EKG dan rontgen
thorak 3. Analisa gas darah serial 4. Kompresi hiperbarik jika
tersedia
Dikutip dari: Smith DS, Osborn I
8,9
IV. Simpulan
Berbagai pendekatan bedah telah di kemukakan
untuk tumor ventrikel III posterior dan regio pineal. Pilihan pendekatan dipengaruhi oleh lokasi tumor,
temuan patologi, dan kenyamanan dokter bedah
serta pertimbangan komplikasi yang mungkin
terjadi. Untuk sebagian besar tumor regio pineal
yang terletak di garis tengah di bawah sistem vena
dalam lebih dipilih pendekatan supraserebelar-
infratentorial dengan posisi duduk. Tumor regio
pineal biasanya dapat dilakukan reseksi total
disamping karena dibantu posisi dan gravitasi,
dengan morbiditas dan mortalitas yang minimal.
Sisa lesi jika ada, biasanya berespon baik terhadap radioterapi dan kemoterapi.
Daftar Pustaka
1. Lozier AP, Bruce JN. Surgical approaches to
posterior third ventricular tumors. Neurosurg
Clin N Am 2003;14(4):527–45.
2. Macchi M, Bruce J. Human pineal physiology
and functional significance of melatonin.
Front Neuroendocrinol. 2004; 25 (3–4):177–
95.
3. Behari S, Garg P, Jaiswal S, Nair A, Naval R,
Jaiswal AK. Major surgical approaches to the posterior third ventricular region: A pictorial
review. J Pediatr Neurosci. 2010;5(2):97–101.
4. History. CNS Clinic - Neurosurgery – Jordan.
2005.
154 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
5. Dinsmore J. Anesthesia for elective neurosurgery. Br J Anesth 2007; 99(1): 68–74.
6. Georghita E, Ciurea J, Balanescu B.
Consideration on anesthesia for posterior
fossa surgery. Romanian Neurosurgery
2012;XIX 3:183–92.
7. Bruce JN, Ogden AT. Surgical strategies for
treating patient with pineal region tumors. J
Neurooncol 2004;69:221–36.
8. Smith DS. Anesthetic management for
posterior fossa surgery. Dalam: Cotrell JE,
Young WL, penyunting. Neuroanesthesia, 5th ed, Philadelphia:Mosby; 2010, 203–17.
9. Smith DS, Osborn I. Posterior fossa:
anesthetic consideration. Dalam: Cotrell JE,
Smith DS, penyunting. Anesthesia and
neurosurgery. Philadelphia: Mosby; 2001,
335–51.
10. Goma H. Anesthetic considerations of brain
tumor surgery. Dalam: Abujamra AL,
penyunting. Diagnostic techniques and
surgical management of brain tumors. Egypt.
InTech; 2011,365–84.
155
Anestesi untuk Pengangkatan Meningioma Suprasella dengan Pendekatan Supraorbita
Yudi Hadinata, M. Isngadi, Buyung Hartiyo L.
Departemen Anestesi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya–RSU Saiful Anwar, Malang.
Abstrak
Anestesi pada kasus meningioma memiliki beberapa hal yang harus diperhatikan. Otak merupakan jaringan
yang tertutup oleh tulang kranium dan memiliki jaringan pembuluh darah yang banyak sehingga beresiko untuk
terjadinya pendarahan dan edema. Kondisi jaringan otak yang rileks dibutuhkan ketika akan dilakukan operasi
otak melalui insisi kecil supraorbita. Tanpa penanganan anestesi yang baik maka ahli bedah saraf akan kesulitan
untuk melakukan pendekatan pada tumor dan meningkatkan resiko edema otak karena manipulasi operasi. Pada kasus ini dilaporkan pasien wanita usia 44 tahun datang dengan keluhan nyeri kepala hebat dan pusing dirasakan
sejak 8 bulan sebelum masuk rumahsakit, mengalami periode kejang selama 1–2 menit, terjadi kurang lebih
1x/bulan, penglihatan pada mata kanan buram. Pasien didiagnosa dengan meningioma suprasellar, dan
direncanakan dilakukan pembedahan dengan pendekatan subfrontal. Status fisik ASA 3 dengan riwayat asma,
riwayat sepsis karena pneumonia dan infeksi saluran kemih, riwayat Steven Johnson karena phenytoin,
leukositosis 10.570, defisit neurologis. Pasien dilakukan tindakan anestesi umum dengan intubasi. Induksi
dengan midazolam, fentanyl, lidokain, propofol, dan vecuronium. Operasi dengan pendekatan supraorbita
berlangsung selama 10 jam. Pascabedah, pasien dirawat di Unit Perawatan Intensif (Intensive Care Unit/ICU)
selama 2 hari sebelum pindah ruangan. Kontrol faktor fisiologi dan perlakuan anestesi yang dilakukan selama
operasi memiliki pengaruh kepada jaringan otak. Lebih lanjut lagi, seorang dokter anestesi harus memiliki
pengetahuan tentang berbagai macam efek obat untuk mencapai hal tersebut dan mengetahui kondisi premorbid pasien yang dapat mempengaruhinya.
Kata kunci: Anestesi umum, meningioma, suprasella
JNI 2013;2(3): 155–61
Anesthesia Management for Suprasella Meningioma Removal with Supraorbital
Approach
Abstract
Anesthesia for meningioma presents special considerations. The brain is enclosed in a rigid skull and the brain is
a highly vascular organ presenting potential for massive perioperative hemorrhage and edema. A slack brain is
necessary when treating neoplastic lesions through the small supraorbital approach. Without optimal anesthesia
care, the neurosurgeon can not reach the operative site and the risk of brain edema due to extensive brain
manipulation is increased. This case reports a 44 years old woman with severe headache and dizziness for 8
months prior to admission she suffers from 1–2 minutes periods of seizure once a month, and experienced a
blured vision on her right eye. She was diagnosed with suprasellar meningioma, which will be removed with
supraorbital surgical approach. ASA 3rd was confirmed with history of status asthmaticus, septic condition due to pneumonia and urinary tract infection, history of Steven-Johnson syndrome due to phenytoin, leucocytosis of a
count of 10.570, and neurological deficits general anesthesia was performed. Induction of anesthesia was done
using midazolam, fentanyl, lidocaine, propofol and vecuronium. The surgery for meningioma was conducted
within 10 hours. Patient was managed in the Intensive Care Unit post operatively for 2 days prior to ward
transfer. Physiologic and anesthetics factors controlled by the anesthesiologist have profound effects on the
brain. Furthermore, anesthesiologists are required knowledge of the effects of various drugs on the issues
mentioned above and patient conditions.
Keyword: General anesthesia, meningiomas, suprasella.
JNI 2013;2(3): 155–61
156 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
I. Pendahuluan
Meningioma merupakan tumor yang berasal dari
jaringan meningen. Insiden lebih banyak pada
wanita dibanding pria dengan rasio antara 1: 1,4–
2,8. Pada laporan di beberapa negara, disebutkan
bahwa neoplasma intrakranial berupa meningioma
berkisar 20% di Jepang dan 22% di Korea,
sementara di Serawak Malaysia meningioma
merupakan tumor otak yang umum dioperasi.1
Lokasi tersering untuk kejadian meningioma
intrakranial adalah di daerah parasagittal. Meningioma suprrasella memberikan kontribusi
sekitar 9% dari total meningioma intrakranial.
Kebanyakan meningioma suprasella berasal dari
lapisan dura tuberkulum sellae, dan lebih jarang
muncul dari diafragma sellae.2
Klasifikasi meningioma secara umum berdasarkan
kriteria WHO membagi meningioma dalam 3
kelompok sebagai berikut:
Tabel 1. Grading meningioma berdasarkan
kriteria WHO Benign meningioma (WHO Grade I)
Histological variant other than clear-cell, chordoid, papillary,
or rhabdoid
Lacks criteria of atypical and anaplastic meningioma
Atypical meningioma (WHO Grade II) (any of three criteria)
Mitotic index ≥ 4 mitoses/10
high-power fields (HPF)
At least 3 of 5 parameters: o Increase celullarity
o High nuclear/cytoplasmic ratio (small cells)
o Prominent nucleoli o Uninterupted patternless
or sheet-like growth
o Foci of spontaneous necrosis (ie, not induced by embolisation or
radiation)
Brain invasion
Anaplastic (malignant) meningioma (WHO Grade III) (either of two criteria)
Mitotic index ≥ 20 mitoses/10 HPF
Anaplasia (sarcoma or melanoma-like histology)
Sumber: Markus JR, Arie P, Guido R.2
Meningioma suprasella dibagi dalam 3 klasifikasi
berdasarkan letaknya dari diafragma sella. Tipe A
yaitu meningioma yang berasal dari bagian atas diafragma sellae dan terletak di pituitari anterior,
tipe B yaitu meningioma yang berasal dari bagian
atas diafragma sellae dan terletak di posterior dari
pituitari, sedangkan tipe C yaitu meningioma yang
berasal dari bagian inferior diafragma sellae.3
Penentuan jenis meningioma suprasella ini akan
menentukan jenis teknik operasi yang akan
dilakukan terhadap pasien. Pendekatan yang
mungkin dilakukan adalah pendekatan intrakranium
(kraniotomi frontotemporal, bifrontal, atau
subfrontal di atas atap orbita) serta pendekatan
transfenoidal.4
II. Kasus
Anamnesa
Pasien wanita usia 44 tahun datang dengan keluhan
nyeri kepala hebat dan pusing dirasakan sejak 8
bulan sebelum masuk rumah sakit, nyeri kepala saat
kambuh dirasakan pada daerah belakang kepala
sebelah kanan. Pasien juga mengalami kejang dan
kaku pada kedua tangan dan kaki, saat kejang mata
melirik keatas, mulut berbusa, mengompol, setelah
kejang sadar dan badan terasa lemas, periode
kejang berlangsung selama 1–2 menit, dan terjadi
kurang lebih 1x/bulan. Pasien juga mengalami penurunan penglihatan pada mata kanan, bila
melihat benda terlihat buram. Dari pemeriksaan,
didapatkan berat badan 45 kg, tinggi badan 145 cm,
dengan indeks masa tubuh 21. Status AMPLE
didapatkan (A) riwayat sindroma Steven Johnson
karena pemberian fenitoin (+) selama perawatan,
(M) pasien memiliki alat nebulizer pribadi dengan
pengobatan Farbiven (ipratropium bromide +
salbutamol sulfate), (P) pasien rutin berobat karena
asma, dengan serangan minimal 2x/bulan, reda
dengan obat nebulizer, pencetus udara berdebu dan infeksi, pasien sempat diintubasi karena gagal nafas
sesak saat kambuh asma dengan pencetus infeksi
pneumonia di unit gawat darurat. Pasien juga
sempat dirawat di ICU karena sepsis infeksi saluran
kemih dan infeksi lokasi pemasangan Central
Venous Catheter (CVC) pada vena subklavia
kanan. (L) Puasa dilakukan 8 jam sebelum tindakan
anestesi dan operasi. (E) Pusing, nyeri kepala sejak
8 bulan yang lalu. Kejang 1x/bulan. Penglihatan
mata kanan menurun.
Pemeriksaan fisik Nafas spontan dengan udara ruangan saturasi pulse
oxymetri (SpO2) 97%, buka mulut 3 jari,
Mallampati I, gigi atas tersisa 1 pada gigi seri kiri,
gigi palsu (-), pergerakan temporomandibular joint
baik, fleksi ekstensi leher baik, auskultasi wheezing
(-), ronki (-). Akral hangat, suhu aksila 36,20C, nadi
92x/menit, tekanan darah 100/70 mmHg, Capillary
Refill Test <2 detik, Allen test radialis
dekstra/sinistra <5 detik, auskultasi suara jantung
157 Anestesi untuk Pengangkatan Meningioma Suprasella
dengan Pendekatan Supraorbita
S12 single, murmur (-), gallop (-). Kesadaran baik, kompos mentis, GCS 15 (4-5-6), paralisa N.
kranialis (-), motorik , sensorik ,
refleks fisiologis normal, refleks patologis tidak
ditemukan. Pupil 3 mm/3mm, refleks cahaya
normal/normal. Miksi spontan tidak terpasang
kateter. Bising usus (+) normal. Tulang ekstremitas
dan tulang belakang dalam batas normal.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Darah:
Pemeriksaan Keterangan Pemeriksaan Keterangan
Hemoglobin Hematokrit Leukosit Trombosit Natrium Kalium Klorida Ureum
Kreatinin SGOT SGPT
12.8 g/dl 41%
10.570/mm3 412.000//mm3
135 mEq/L 3.47 mEq/L 107 mEq/L 14.2 mg/dl
0.54 mg/dl 13 u/L 12 u/L
PT APTT Albumin GDS BGA pH PaCO2 PaO2
HCO3 BE Saturasi
11 ( kontrol 12) detik
31 (kontrol 26) detik
3.43 u/L
90 u/L
7.35
38.4 80.1 20.6 -5.4
94.7% (room air)
Foto toraks AP normal, tes faal paru obstruksi
ringan (VC 50%, rasio FEV1/FVC = 76,5%). EKG
irama sinus 89x/menit, aksis normal, tidak
ditemukan gangguan konduksi dan perubahan
segmen ST. Optalmoskopi OD papil atrofi (+),
visus 1/300, OS papil atrofi (-), visus 2/60. EEG
tidak ditemukan gelombang epileptik ataupun
perlambatan abnormal. Hasil CT-scan (gambar 1)
menunjukkan massa solid batas tegas, ukuran
40x40x34 mm, dengan edema perifokal di suprasella kanan, massa mendesak ventrikel kanan
hingga menyempit dan terjadi midline shift ke kiri
sejauh 5 mm.
Gambar1. CT-scan pasien
Pasien didiagnosa status fisik ASA 3 dengan
riwayat asma, riwayat sepsis karena pneumonia dan
infeksi saluran kemih, riwayat sindroma Steven
Johnson karena fenitoin, leukositosis 10,570,
dengan defisit neurologis. Pasien direncanakan
untuk dilakukan tindakan anestesi umum dengan
intubasi. Pengobatan asma tetap diberikan hingga
pagi hari menjelang operasi yaitu steroid
deksametason 5 mg dan farbiven bila diperlukan.
Kebutuhan cairan disesuaikan dengan kebutuhan
rumatan selama puasa (85 cc/jam).
Pengelolaan Anestesi
Pasien dilakukan induksi dengan pemberian
midazolam 2,5 mg, fentanyl 150 ug titrasi, lidokain
60 mg, propofol 90 mg titrasi, vecuronium 4,5 mg,
satu menit sebelum tindakan intubasi diberikan
tambahan propofol 30 mg. Intubasi dilakukan
menggunakan laryngoscope Macintosh dengan
endotracheal tube (ETT) non kinking nomor 7,
kedalaman ETT 18 cm pada tepi bibir. Anestesi pemeliharaan diberikan sevoflurane dengan aliran
oksigen dan N2O (50:50), fentanyl kontinyu 1–2
μg/KgBB/jam dan vecuronium kontinyu 0,06
mg/KgBB/jam. Setelah intubasi dilakukan
pemasangan catheter vena central (CVC) subklavia
kanan dan arterial line pada arteri radialis kanan.
Monitoring durante operasi dilakukan evaluasi
terhadap tekanan darah sistolik, diastolik, arteri
rata-rata, tekanan CVC, end tidal CO2, saturasi
oksigen, gelombang EKG, pemasangan stetoskop prekordial, produksi urin melalui kateter urin,
insersi pipa nasogastrik, analisa gas darah, evaluasi
osmolaritas plasma dan kondisi hematokrit darah.
158 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
Grafik1. Profil tanda vital dan monitoring selama
operasi
Hasil analisa gas darah selama operasi dengan pH
7,44, PCO2 33, PaO2 188, HCO3 24, BE -0.2, Sat
99%, FiO2 40%, volume tidal (VT) 360 cc, laju
nafas 12x/menit, positive end expiratory pressure
(PEEP) 0, ET CO2 30. Pemeriksaan osmolaritas
plasma durante operasi sebesar 286 mmol/L
dengan elektrolit natrium 135, kalium 2,82, klorida
109, ureum 8,5, kreatinin 0,5, gula darah sesaat 168 mg%.
Tabel 2. Estimasi cairan selama operasi
Cairan Keluar Cairan masuk Balans
cairan
Urin 3500 cc
Pendarahan 900 cc
NS 800 cc
Mannitol 300 cc
Defisit 1000 cc
Koloid 500 cc
PRC
250 cc
Rumatan (85 cc/jam)
NS 500 cc + RL 500 cc
Cairan operasi (2 cc/Kg/jam)
RL 500 cc + NS 500 cc
Dilakukan pembedahan selama 10 jam dengan
pendekatan subfrontal, saat periosteum dibuka dura
tidak tampak tegang, dan saat dura dibuka tampak
slack brain, dilakukan eksisi tumor dengan bantuan
mikroskop. Dilakukan penutupan duramater, tutup
lapis demi lapis dan operasi selesai. Satu jam sebelum operasi berakhir terjadi pendarahan dari
vaskuler otak di daerah dekat tumor dan dilakukan
hemostasis dengan tekanan pada lokasi pendarahan,
hal tersebut menyebabkan edema pada lokasi
tersebut dan menyebabkan kesulitan saat penutupan
duramater. Dilakukan pemberian mannitol dan akhirnya dura dapat ditutup primer.
Pascabedah
Pascabedah, pasien dirawat di Unit Perawatan
Intensif (Intensive Care Unit/ICU) selama 2 hari
sebelum pindah ruangan. Hari pertama di ICU,
pasien masuk ICU jam 20.00 malam dan dalam
kontrol ventilator (pressure control, FiO2 40%, RR
12x/menit, P-inspirasi 14, PEEP 3, Vt 270–320 cc,
Sat 99%) selama 6 jam dan dilakukan weaning bertahap serta ekstubasi jam 09.00 pagi. Selama di
ICU pasien mendapatkan sedasi dexmedetomidine
0,1–0,2µg /kg/jam dan fentanyl 25 µg/jam. Satu
jam sebelum ekstubasi, deksmedetomidine dan
fentanyl dihentikan. Terapi lain di ICU adalah
ceftriaxone, ranitidin, deksametason, meto-
clopramide, mannitol, asam tranexamin,
metamizole, phenobarbital dan vitamin C.
Tabel 3. Profil Pemeriksaan Laboratorium
pascabedah di ICU
Pemeriksaan Keterangan Pemeriksaan Keterangan
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Natrium
Kalium
Klorida
Ureum
Kreatinin
SGOT
SGPT
11.6 g/dl
35.4%
21.160/mm3
334.000//mm3
136 mEq/L
3.34 mEq/L
113 mEq/L
15.5 mg/dl
0.63 mg/dl
13 u/L
8 u/L
PT
APTT
Albumin
GDS
BJ Plasma
Osmolaritas
plasma
BGA
pH
PaCO2
PaO2
HCO3
BE
Saturasi
11 ( kontrol
11) detik
33 (kontrol
26) detik
3.3 u/L
142 u/L
1.025
288 mmol/L
7.39
38.4
140.8
25
+ 1.3
99% (Fi02
40%)
Hari kedua di ICU, pasien bernafas spontan,
kondisi hemodinamik stabil, status neurologis tidak
ada penurunan, pasien dipindahkan ke ruangan.
III. Pembahasan
Tehnik kraniotomi dengan pendekatan subfrontal
dan transfrontal pertama kali diperkenalkan oleh
Franscesco Durante tahun 1884 untuk operasi kasus olfactory groove meningioma, pada periode
pascabedah tidak diketemukan adanya defisit
neurologis. Harvey Chusing melakukan reseksi
komplet meningioma daerah tuberkulum sella
dengan pendekatan subfrontal pada tahun 1916.
Selanjutnya tehnik ini banyak dikembangkan oleh
para ahli bedah saraf.5
159 Anestesi untuk Pengangkatan Meningioma Suprasella
dengan Pendekatan Supraorbita
Sasaran dokter anestesiologi dalam bedah saraf selain memfasilitasi dilakukannya tindakan
pembedahan juga untuk mengendalikan tekanan
intrakranial dan volume otak, melindungi jaringan
saraf dari cedera dan iskemia, serta mengurangi
terjadinya pendarahan selama berlangsungnya
pembedahan. Pendarahan dapat dikurangi dengan
cara menurunkan tekanan darah akan tetapi
penurunan tekanan darah harus diperhatikan karena
dapat mengakibatkan penurunan tekanan perfusi
otak dan menyebabkan iskemia pada jaringan otak
sehat maupun jaringan otak yang sudah iskemia karena tertekan tumor.6
Secara anatomi, jaringan yang terdapat dibawah
kranium terdiri dari 3 komponen, yaitu parenkim
otak (86%), darah (4%), dan cairan serebrospinal
(10%). Komposisi volume ketiga komponen
tersebut dapat berubah sesuai hukum Monroe
Kellie, akan tetapi volume totalnya selalu konstan karena volume intrakranial selalu sama, sehingga
perubahan salah satu komponen akan diikuti oleh
pergeseran komponen yang lain.6
Autoregulasi aliran darah ke otak pada kondisi
normal berkisar 50 cc/100gram/menit dengan
konsumsi basal oksigen otak 3,3 cc/100 gram/menit
dan konsumsi glukosa otak 4,5 mg/100 gram/menit,
hal tersebut dapat terjadi bila tekanan rata-rata
arteri (MAP) dijaga antara 50–150 mmHg.
Tekanan darah arteri rata-rata di bawah 50 mmHg
akan menyebabkan iskemia pada jaringan otak,
sementara tekanan di atas 150 mmHg akan
menyebabkan kerusakan sawar darah otak sehingga terjadi edema otak atau pendarahan yang lebih
buruk. Pada kasus pembedahan tumor otak maka
diharapkan target PaO2 antara 100–200 mmHg.
Pemberian kadar oksigen tinggi dengan PaO2 > 200
mmHg harus dihindari karena dapat terjadi
vasokontriksi serebral dan menyebabkan iskemi
jaringan otak. 6,8
Gambar 2. Hubungan tekanan perfusi dengan
aliran darah otak Sumber: Cottrell JE, Smith DS
8
Perubahan tekanan parsial CO2 pada arteri (PaCO2)
akan mengakibatkan perubahan aliran darah otak
karena CO2 merupakan vasodilator kuat pada pembuluh darah otak. Setiap perubahan 1 mmHg
PaCO2 antara 25–80 mmHg akan mengakibatkan
perubahan aliran darah sekitar 4%. Pada operasi
tumor otak PaCO2 dipertahankan antara 25–30
mmHg dengan tujuan unutk menurunkan aliran
darah otak. Tekanan PaCO2 di bawah 20 mmHg
harus dihindari karena dapat menyebabkan
vasokontriksi hebat dan menyebabkan iskemia
jaringan otak. 6,8
Induksi pada pasien ini dilakukan dengan pemberian midazolam sebagai koinduksi.
Pemberian midazolam untuk koinduksi dengan
dosis 30 ug/KgBB dapat mengurangi kebutuhan
obat anestesi lain untuk induksi dan memperdalam
induksi. 9
Sejak diperkenalkan tahun 1986, propofol semakin
banyak digunakan dalam induksi anestesi dan
sedasi di perawatan neurointensif. Beberapa
penelitian menunjukkan propofol memiliki efek
proteksi terhadap otak. Tekanan intrakranial, aliran
darah otak, dan metabolisme otak turun pada penggunaan propofol.7 Mekanisme kerja propofol
yaitu memfasilitasi inhibisi neurotransmisi yang
dimediasi oleh gamma-aminobutyric acid (GABA).
Pada pasien dengan tekanan intrakranial normal,
propofol akan menurunkan metabolisme otak 36%,
tekanan intrakranial 30% dan tekanan perfusi otak
10%. Propofol juga menurunkan tekanan
intraokular.11,14 Pada kasus ini digunakan propofol
titrasi 90 mg pada pasien dengan berat badan 45 kg.
Pemberian propofol pada sistem kardiovaskuler
dapat menyebabkan penurunan pada tekanan darah rata-rata 20% dan penurunan systemic vascular
resisten (SVR) sebesar 26% dan hasil akhirnya
adalah penurunan perfusi serebral, akan tetapi
penurunan tersebut dapat dicegah dengan
pemberian propofol secara titrasi dan pemberian
cairan sebelum induksi. Pada pasien ini diberikan
cairan ko-loading sebesar 10 cc/KgBB atau 450 cc.
Anestetika inhalasi yang digunakan dalam prosedur
ini adalah sevoflurane menggunakan aliran gas O2
dan N2O dengan perbandingan (40:60).
Penggunaan aliran oksigen 40% dilakukan dengan tujuan untuk mencegah tekanan PaO2 diatas 200
mmHg dan dilakukan konfirmasi dengan
pemeriksaan analisa gas darah. Penggunaan N2O
dipilih karena tidak tersedianya fasilitas gas
compress air. Penggunaan N2O dapat menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah otak secara langsung
dan meningkatkan aliran darah otak, akan tetapi
efek tersebut dapat dikurangi dengan tindakan
hiperventilasi (PaCO2 30–35 mmHg). Pada
beberapa penelitian penggunaan N2O tidak
160 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
memiliki efek protektif terhadap neuron otak dan dapat menyebabkan vakuolisasi endoplasmik
retikulum serta mitokondria. N2O juga dapat
menyebabkan disinhibisi pada reseptor GABA
secara menyeluruh. Pada pasien dengan defisiensi
asam folat, penggunaan N2O dapat menyebabkan
degenerasi medula spinalis serta menghambat
pemulihan elektrofisiologis sel. Akan tetapi,
pengaruh negatif tersebut bervariasi bila N2O
digunakan bersama anestetika inhalasi lain, dengan
atau tanpa hipokapnia. 6,8
Sevoflurane digunakan dalam kasus ini karena efek
dari vasodilatasi serebral serta peningkatan aliran
darah otak yang paling rendah diantara semua gas
anestesi. Sevoflurane juga memiliki efek
neuroprotektif berupa antiapoptosis.6 Penurunan
curah jantung oleh sevoflurane juga lebih rendah
dibandingkan isoflurane ataupun halothane
sehingga menghindari pemberian cairan berlebih
atau penggunaan vasokonstriktor. Sevoflurane juga
aman digunakan pada kasus asma karena tidak
mengiritasi jalan nafas. Ekstubasi dini setelah
pemakaian sevoflurane memfasilitasi dilakukan pemeriksaan neurologis dini.10
Lidokain merupakan anestesi lokal golongan
amida. Lidokain dapat diberikan secara intravena
dengan dosis 1–1,5 mg/KgBB untuk mencegah
respon peningkatan hemodinamik dan jalan nafas
pada instrumentasi trakea saat intubasi. Onset yang
diperlukan agar lidokain dapat bekerja dengan baik
adalah 60–90 detik.9 Pada kasus ini digunakan
lidokain 60 mg intravena saat induksi dengan
harapan tidak terjadi gejolak hemodinamik yang dapat meningkatkan tekanan darah rata-rata dan
lidokain mempunyai efek proteksi otak.
Obat pelumpuh otot yang digunakan pada kasus ini
adalah vecuronium dengan dosis bolus 0,1
mg/kgBB dan dosis rumatan 0,06 mg/kg/jam.
Vecuronium dipilih pada kasus ini karena tidak
menyebabkan pelepasan histamin yang dapat
mencetuskan asma dan tidak meningkatkan aliran
darah ke otak yang dapat menyebabkan edema.6
Dexmedetomidine merupakan obat generasi kedua dari golongan alpha-2 agonis. Dexmedetomidine
memiliki selektifitas yang tinggi terhadap reseptor
alpha-2 yaitu sekitar 1600:1 dibandingkan terhadap
alpha–1, atau bila dibandingkan dengan klonidin
yang memiliki perbandingan sebesar 200:1.
Dexmedetomidine saat ini banyak digunakan pada
kasus perawatan intensif di ICU sebagai bagian dari
pemberian sedasi. 9,12 Efek utama dari obat ini yaitu
sebagai agonis pada reseptor alpha–2 yang dapat
menghambat pelepasan norepinepfrin yang
menyebabkan eksitasi sistem saraf pusat. Dexmedetomidine dapat memberikan efek sedasi,
anksiolisis, dan analgesia pada tingkat spinal
maupun supraspinal tanpa disertai depresi nafas.
Hal ini dapat memberi tempat untuk tindakan
ekstubasi tanpa menghentikan pemberiannya
dengan tujuan untuk sedasi pascabedah.
Keuntungan lain dari sedasi dengan obat ini bahwa
pasien dapat dibangunkan dan tetap memiliki
kemampuan kognitif yang normal, sehingga
penilaian status neurologik dapat dilakukan tiap
saat diperlukan. Sedasi tanpa gangguan kognitif dapat menjadi pilihan yang menguntungkan pada
beberapa kondisi, seperti pada kasus perawatan
pasien di ICU. Dosis awal dexmedetomidine
adalah 1 ug/KgBB intravena dengan kecepatan
pemberian lebih dari 10 menit. Dosis untuk sedasi
dan rumatan anestesi umum adalah 0,2–0,7
ug/KgBB/jam. Efek samping pemberian
dexmedetomidine berupa bradikardi, hipotensi dan
blok jantung.9 Tehnik total intravenous anesthesia
(TIVA) propofol atau dexmedetomidine disebut
sebagai tehnik brain protection dengan coupling
flow metabolism.13 Penggunaan dexmedetomidine juga mengurangi kejadian delirium setelah
penggunaan sedasi di ICU. Kejadian delirium
banyak didapatkan pada penggunaan opiat dan
benzodiazepine.7
Furosemid merupakan golongan loop diuretik yang
dapat digunakan dengan dosis 0,5–1 mg/KgBB dan
onset yang dibutuhkan adalah 30 menit. Mannitol
20% merupakan osmotik diuretik yang memiliki
osmolaritas 1086 mosm/L, dosis 0,25-0,5
gram/KgBB dapat menurunkan tekanan intrakranial dengan cepat.6 Pada kasus ini digunakan kombinasi
keduanya. Pemberian mannitol yang pertama
dilakukan sebelum dilakukan kraniektomi untuk
mengurangi edema otak. Pemberian mannitol kedua
diberikan pada saat akhir operasi dengan tujuan
mengurangi edema otak terkait pendarahan dan
manipulasi otak oleh operator saat menghentikan
pendarahan yang terjadi pada saat 1 jam sebelum
operasi berakhir karena robeknya pembuluh darah.
Setelah edema berkurang maka penjahitan
duramater dapat dilakukan, dan luka operasi
ditutup.
Tindakan lain yang dapat dilakukan untuk
mencegah peningkatan intakranial adalah dengan
mengatur posisi kepala pasien elevasi 15–30
derajat. Mencegah penekanan pada vena-vena
leher karena vena leher yang tertekan dapat
menyebabkan penurunan drenase vena jugularis
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial. Metode hipotermia ringan yaitu suhu
33–35 derajat celcius dapat menyebabkan
161 Anestesi untuk Pengangkatan Meningioma Suprasella
dengan Pendekatan Supraorbita
penurunan aliran darah ke otak sekitar 5% pada setiap perubahan 1 derajat celcius. Mencegah
PEEP dengan menghindari penekanan pada daerah
abdomen dan toraks yang dapat meningkatkan
tekanan inspirasi puncak dan mempengaruhi aliran
darah ke jantung. 6 Selain itu pasien juga memiliki
riwayat asma dengan kemungkinan kambuh saat
operasi, monitoring kondisi asma selama operasi
dilakukan dengan pemasangan prekordial stetoskop
kanan dan kiri. Dilakukannya penundaan ekstubasi
karena operasi lama lebih dari 7 jam dan adanya
riwayat pembengkakkan otak selama operasi.10 Pada periode pascabedah, sedasi, analgesia dan
proteksi otak adalah hal-hal yang dapat menentukan
pencegahan terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial.15 Pada kasus ini pascabedah telah
diberikan suplemen dexmedetomidine dan fentanyl
kontinyu dalam upaya mencakup ketiga hal diatas.
Pengelolaan cairan selama pembedahan dengan
memperhitungkan kebutuhan rumatan dan
pergantian cairan yang keluar melalui urin akibat
penggunaan diuretika. Cairan mengandung glukosa
dihindari selama empat jam pertama pembedahan dan target balans cairan adalah defisit ringan 500–
1000 cc.10 Pada pasien ini tercapai defisit 1000 cc.
IV. Simpulan
Pendekatan supraorbita pada kasus meningioma
suprasella membutuhkan kondisi otak pada area
operasi yang rileks. Hal tersebut dapat dicapai
dengan memposisikan pasien dengan baik dan manajemen neuroanestesi yang optimal dengan
mencapai parameter hemodinamik yang stabil serta
menjaga tekanan perfusi serebral dan komponen
metabolik dalam batas yang normal selama operasi.
Pemilihan obat-obatan yang akan digunakan untuk
anestesi juga harus mempertimbangkan kondisi
premorbid pasien seperti riwayat alergi dan asma,
sehingga dipilih obat yang berfungsi untuk menjaga
kestabilan hemodinamik dan perfusi serebral serta
menghindari efek samping obat yang dapat
mencetuskan asma pada kasus ini. Aplikasi tehnik anestesi yang tepat merupakan hal yang penting
untuk mendapatkan kondisi good brain relaxation,
sedangkan tujuan pemilihan tehnik operasi yang
tepat adalah minimal brain exposure dan brain
retraction.
Daftar Pustaka
1. Tan AK, Mallika PS, Aziz S, Asok T, Intan G. The importance of ophthalmic signs in the
diagnosis of suprasellar meningioma-a case report. Malaysian Family Physician 2009;4(1):26–9.
2. Markus JR, Arie P, Guido R. Histological classification and molecular genetics of meningiomas. Lancet Neurology 2006;5:1045–54.
3. Seung WC, Dong WP, Choong-Ki P, Young-Jun L, Seung RL, Ju YP. Pure intrasellar meningioma located under the pituitary gland: case report. Korean J Radiol 2013;14(2):321–3.
4. Chandler WF. Management of suprasellar meningioma.J Neuroophthalmol 2003;23(1):1–2.
5. Hafez MME, Bary THA, Ismail AS, Mohammed MAM. Frontolateral keyhole craniotomy approach to anterior cranial base. ZUMJ 2013; 1(19):6–8.
6. Bisri T. Dasar-dasar Neuroanestesi, edisi ke-2. Bandung: Saga Olah Citra; 2008:1–74.
7. Flower O, Hellings S. Sedation in traumatic brain injury. Emergency Medicine Int 2012;2
8. Cottrell JE, Smith DS. Anesthesia and neurosurgery. Edisi ke-4. St Louis: Mosby;2001,297–313.
9. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical anesthesiology. Edisi ke-4. New York: McGraw-Hill;2006,111–285.
10. Rao GSU. Anaesthetic management of supratentorial intracranial tumors. ISSN 2005;311(2):4–5.
11. Roosiati B, Yarlitasari D, Harahap S, Rahardjo S. TIVA pada kraniotomi pengangkatan tumor residif. JNI 2012;1(4):269–77.
12. Mani V, Morton NS. Overview of total intravenous anesthesia in children. Pediatric Anesthesia 2009:1–11.
13. Cole CD, Gottfried ON, Gupta DK, Couldwell WT. Total intravenous anesthesia: advantages for intracranial surgery. Neurosurgery 2007; 61:367–78.
14. Hemmings HC. The pharmacology intravenous anesthetic induction agent: the primer. Anesthesia 2010:6–7.
15. Gheorgita E, Ciurea J, Blanescu B. Consideration on anesthesia for posterior fossa surgery. Rumanian Neurosurgey 2012; 19(3):183–93.
162
Pemanjangan Ventilasi Mekanik di Intensive Care Unit (ICU) pada Pasien dengan
Tumor Glioma Batang Otak yang menjalani Kraniotomi Pengangkatan Tumor
Radian Ahmad Halimi, Tatang Bisri
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RS. Dr. Hasan Sadikin Bandung
Abstrak
Kekerapan glioma batang otak mencapai 10–20% dari semua tumor primer sistem saraf pusat dan biasanya
terdiagnosa pada usia muda. Pada penanganan perioperatif perlu dipertimbangkan cara pengangkatan tumornya,
pemakaian steroid perioperatif, perencanaan ventilasi mekanik pascabedah dan fisioterapi. Seorang anak
berumur 11 tahun dengan diagnosa tumor batang otak, mengeluh tidak dapat berdiri, penglihatan ganda, afasia,
gangguan menelan. Pasien telah menggunakan kortikosteroid dalam waktu yang lama. Dilakukan operasi
pengangkatan massa tumor otak dengan lama operasi 10 jam. Pascabedah terjadi pemanjangan ventilasi
mekanik, Ventilator Associated Pneumonia (VAP) pada hari ke-4 dan perdarahan lambung pada hari ke-6 di
ICU. Teknik operasi sulit karena tumor berada di daerah yang sangat dekat dengan pusat pernapasan dan
hemodinamik. Diperlukan perencanaan yang matang mengenai penilaian kondisi pasien saat preoperatif,
pemantauan hemodinamik dan tekanan intrakranial, strategi perlindungan terhadap lambung, perencanaan
ventilasi mekanik, penilaian cepat perlunya trakheostomi, pemberian antibiotik untuk meningkatkan keluaran
yang lebih baik.
Kata kunci: batang otak, glioma, pascabedah, ventilasi mekanik
JNI 2013;2(3): 162–65
Prolonged Mechanical Ventilation on Postcraniotomy Tumor Removal on Brainstem
Glioma in the Intensive Care Unit
Abstract
Brain stem glioma makes 10–20% of primary central nervous system tumor and is diagnosed primarily in
children. In perioperative management, approach of tumor removal, steroid usage, mechanical ventilation
planning, good nursing care, and physioterapy, should be considered. The aim of this case report is to discuss
complications that may occur with prolonged mechanical ventilation after surgery. An 11-year old boy,
diagnosed with brain tumor, was admitted to hospital due to inability to stand, double-vision, aphasia,
swallowing disorder, with long–term corticosteroid treatment. He underwent a brain tumor removal surgery.
Surgery was conducted within 10 hours. After the surgery, he had prolonged mechanical ventilation in ICU. On
the fourth day, he suffered from ventilator associated pneumonia (VAP) and gastrointestinal bleeding on the
sixth day care in ICU. Patient presented to hospital with late onset symptoms of his condition. Operation
technique was difficult as the tumor is located within close proximity to the breathing and haemodynamic
centers. There are necessity for detailed perioperative assessment and planning, hemodynamic and intracranial
pressure monitoring, gastric protection strategy, mechanichal ventilation planning, quick assessment of
tracheostomy installment need and usage of proper antibiotic for a better outcome.
Keywords: brain stem, glioma, mechanical ventilation, postoperative
JNI 2013;2(3): 162–65
163 Pemanjangan Ventilasi Mekanik di Intensive Care Unit
(ICU) pada Pasien dengan Tumor Glioma Batang Otak
yang menjalani Kraniotomi Pengangkatan Tumor
I. Pendahuluan
Kekerapan glioma batang otak 10 sampai 20% dari
semua tumor primer pada sistem saraf pusat dan
biasanya terdiagnosa pada usia muda.1 Glioma
batang otak merupakan tumor yang sangat
heterogen baik secara manifestasi klinis dan secara
bentuk patologiknya.2 Pada penanganan perioperatif
perlu dipertimbangkan berdasarkan dari cara pengangkatan tumornya, pemakaian steroid
perioperatif (methylprednisolone), perencanaan
ventilasi mekanik hingga pemulihan ventilasi dan
refleks batuk normal, pemasangan gastrostomi pada
pasien dengan gangguan menelan, asuhan
keperawatan yang baik dan fisioterapi.3 Pada cedera
batang otak pascaoperasi, sebagian besar bersifat
reversibel jika teknik bedah yang dilakukan telah
tepat. Terdapat beberapa komplikasi yang mungkin
terjadi setelah dilakukan operasi pengangkatan
tumor, diantaranya akan menyebabkan penggunaan ventilasi mekanik yang memanjang dan perlunya
untuk dilakukan trakeostomi.
II. Kasus
Anamnesa
Pasien didiagnosa sebagai tumor otak sejak 4 tahun
sebelum masuk rumah sakit. Pada saat itu orang tua
pasien memutuskan untuk menggunakan obat-
obatan tradisional. Sejak 3 tahun yang lalu pasien
mengeluh tidak dapat berdiri, memiliki penglihatan
ganda, afasia, gangguan menelan dan kortikosteroid
telah diberikan kepada pasien sejak 1 bulan lalu. Tidak ada riwayat kejang. Kortikosteroid diberikan
sebelum operasi untuk mencegah terjadinya krisis
adrenal.
Pemeriksaan Fisik
Tekanan darah: 100/60 mmHg, nadi; 82x/menit,
laju napas: 16x/menit, SpO2: 99% (dengan 3L O2
melalui kanul binasal) dan suhu: 36,3oC. Status
neurologik: GCS - E4M5V - afasia, pupil isokor
dengan refleks pupil yang positif. Pemeriksaan
funduskopi menunjukkan atrofi sekunder pada
papil, gangguan pada saraf kranialis ke VII, dengan
tetraparesis dan disused atrofi.
Pemeriksaan Laboratorium
CT-scan:
• Sylvian fissure tertekan
• Temporal horn >2mm
• FH/ID=33%
• Evans= 22%
• Ventrikel 4 terdesak
• Ventrikel lateral dan ventrikel 3 melebar
• Edema periventrikel (+)
• Massa hipodens batas tegas di pons
Pengelolaan Anestesi
Induksi anestesia dilakukan dengan propofol 2
mg/kgBB, lidokain 1,5 mg/kgBB, fentanyl 3
ug/kgBB, dan vecuronium 0,1 mg/kgBB. Rumatan
anestesi dilakukan dengan isofluran 0,6–0,8 vol% dengan fresh gas flow menggunakan kombinasi
oksigen and air 3 L/menit dan propofol 50
ug/kgBB/menit. Hemodinamik stabil saat operasi
dan lama operasi adalah 10 jam.
Pascabedah
Pasien dipindahkan ke ruang perawatan ICU dan
dilakukan ventilasi mekanik. Dilakukan strategi
perlindungan terhadap otak. Antibiotik tetap
dilanjutkan dan diberikan proton pump inhibitor
dengan omeprazole. Hasil kultur darah pada awal
perawatan di ICU adalah negatif, tetapi pada kultur
darah hari ke 5, menunjukkan tanda positif terhadap staphylococcus aureus yang masih sensitif terhadap
antibiotik ceftazidime dan levofloksaxin.
Pada hari perawatan ke-4 skor Clinical Pulmonary
Infection Score (CPIS) adalah 9 dan suhu tubuh
mencapai 38,8oC dan PaCO2 menunjukkan 48
mmHg. Pada hari ke 6 perawatan, suhu tubuh
meningkat hingga 39,60C dan terjadi perdarahan
lambung dengan penurunan kadar konsentrasi
hemoglobin.Setelah perawatan hari ke-10 di ICU,
kondisi pasien semakin membaik dan faktor
pembekuan menunjukkan angka yang normal, tetapi pada hari ke-20 perawatan, haemodinamik
menjadi tidak stabil akibat perdarahan pada saluran
makan bagian atas. Kondisi pasien semakin hari
semakin memburuk dan meninggal pada hari ke-22
perawatan.
164 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
III. Pembahasan
Pasien datang ke rumah sakit dalam tahap
pengobatan yang terlambat.Teknik operasi sulit
karena tumor berada di daerah yang sangat dekat
dengan pusat pengatur fungsi pernapasan, hemodinamik dan sistem organ lainnya.1,3-5
Lama operasi adalah 10 jam. Sedangkan suatu
operasi dengan durasi yang lama, dapat
menyebabkan pergeseran cairan antar kompartemen
cairan tubuh, mendepresi sistem imun tubuh,
merangsang aksis hipotalamus hipofisis adrenal dan
menyebabkan respon stres yang lebih berat.3-6
Keadaan ini dapat mempengaruhi status fisiologik
dan menyebabkan edema pada jaringan otak yang
dapat menyebabkan beberapa pusat pengatur organ
vital yang terletak pada daerah sekitar operasi menjadi terganggu fungsinya. Mengingat
kemungkinan komplikasi respirasi pascabedah
pada operasi yang berlangsung lebih dari 8 jam,
dilakukan perawatan di ICU dan dilakukan ventilasi
mekanik.2,3 Pasien ini menjalani operasi di daerah
batang otak dengan kemungkinan gangguan pusat
kardiovaskuler dan respirasi pascabedah akibat
cedera pembedahan atau terjadinya edema
intraoperatif dan pascabedah.3,4
Sebelum operasi, kortikosteroid telah diberikan
selama satu bulan, sedangkan pemberian
kortikosteroid selama lebih dari 2 minggu dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh yang
menyebabkan pasien sangat mudah terinfeksi dan
hilangnya perlindungan terhadap lambung akibat
habisnya sekresi prostaglandin pada mukosa
lambung.7-9
Sistem kardiovaskuler pasien relatif stabil sejak
dimulainya operasi dan juga di ICU, tetapi terjadi
pendarahan lambung pascaoperasi meskipun terapi
pencegahan menggunakan omeprazole dimulai
lebih awal.
Strategi perlindungan terhadap otak telah dilakukan sejak awal perawatan, tetapi ketika pasien mulai
terinfeksi ia terserang ventilator associated
pneumonia (VAP). Ventilator associated
pneumonia adalah suatu nosocomial pneumonia
(NP) yang berkembang pada pasien dalam waktu
48 jam atau lebih setelah intubasi endotrakeal.
Nosocomial pneumonia merupakan komplikasi
infeksi paling serius di rumah sakit, dan kejadiannya hanya di bawah infeksi saluran
kencing, terutama di ICU Bedah Saraf. 11
Ventilator associated pneumonia akibat pemakaian
ventilasi mekanik menyebabkan situasi menjadi
sangat sulit karena terjadi kenaikan suhu yang
meningkatkan metabolisme otak yang akan
menyebabkan peningkatan aliran darah ke otak dan
peningkatan terhadap PaCO2. Kondisi tersebut
dapat mempengaruhi homeostasis otak dan pasien
sulit disapih dari ventilator.1,10,11 Pada saat terjadi
gagal nafas dan terjadi hipoksemia serta hiperkarbia akan menyebabkan peningkatan aliran darah otak
dan tekanan intrakranial serta memperberat edema
yang telah terjadi pada bagian otak yang menjalani
pembedahan.11 Pasien meninggal hari ke-22 setelah
perawatan di ICU.
Tabel 1. Faktor risiko untuk NP/VAP
Yang berhubungan dengan Pasien
Yang berhubungan dengan Intervensi
Aspirasi Intubasi endotrakeal
Kolonisasi bakteri
nasofaring
Ventilasi mekanik >24
jam
Koma, penurunan level
kesadaran
Penggunaan barbiturate
Usia tua Cedera otak traumatik
>30 tahun pada early
onset pneumonia
Obat penghambat
histamin tipe-2
>60 tahun pada late-
onset pneumonia
Pelumpuh otot
Serum albumin <2,2 Sedasi berlebihan
ARDS Penggantian sirkuit
ventilator yang sering
COPD Reintubasi/intubasi
yang diluar rencana
MODS Monitoring ICP
pH gaster tinggi Pipa nasogastrik/nutrisi
enteral
Sinusitis Nutrisi parenteral
uremia Transport pasien
Lama perawatan di ICU Dikutip dari: Rozet I.
11
Keterangan: COPD: chronic obstructive pilmonary disease,
MODS: multiorgans dysfunction syndrome, ARDS: adult
respiratory distress syndrome, ICP: intracranial pressure, ICU:
intensive care unit.
IV. Simpulan
Diperlukan perencanaan yang matang seperti
penilaian preoperatif terutama pada pasien yang
menggunakan kortikosteroid jangka panjang,
pemantauan hemodinamik saat operasi baik dengan
invasif ataupun non-invasif, perencanaan
penggunaan ventilasi mekanik untuk perlunya
pemasangan trakeostomi secara cepat hingga
165 Pemanjangan Ventilasi Mekanik di Intensive Care Unit
(ICU) pada Pasien dengan Tumor Glioma Batang Otak
yang menjalani Kraniotomi Pengangkatan Tumor
pemberian antibiotik yang adekuat. Seluruh hal tersebut sangat diperlukan untuk mendapatkan hasil
luaran yang lebih baik.
Daftar Pustaka
1. Stanislaw B. Recent clinical trials in diffuse
intrinsic brainstem glioma. Cancer Therapy
2007;5:379–90.
2. Polednak AP, Flannery BS. Brain, other central
nervous system and eye cancer. Cancer Supply
1995;75:330–37.
3. Smith DS. Anesthetic management for poaterior fossa surgery. Dalam: Cottrell JE, Young WL,
penyunting. Cottrell and Young’s
Neuroanesthesia, edisi-5. USA: Mosby Elsevier;
2010,203–17.
4. Bruder NJ, Ravussin PA. Anesthesia for
supratentorial tumor. Dalam: Newfield P,
Cottrell JE, penyunting. Handbook of
neuroanesthesia, edisi-5. Philadelphia: Wolter
Kluwer Lippincott Wiliams & Wilkins;
2012,115–35.
5. Bendo AA, Kass IS, Hartung J, Cottrell JE.
Anesthesia for neurosurgery. Dalam: Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, penyunting.
Clinical anesthesia, 5th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins;2005,746–82.
6. Freeman CR, Farmer JP. Pediatric brainstem
gliomas: a review. Int J Radiat Oncol Biol Phys
1998;40:265–71.
7. Mehta VS, Chandra PS, Singh PK, Garg A,
Rath GK. Surgical considerations for ‘intrinsic’
brainstem gliomas: proposal of a modification
in classification. Neurology India. 2009;57(3).
8. Barnholtz-Sloan JS, Sloan AE, Schwartz AG.
Cancer of the brain and other central nervous
system. SEER survival monograph 2006;203–
15.
9. Weismann C. The metabolic response to stress: an overview and update. Anesthesiology
1990;73:308–27.
10. Tan JC, Banzon AG, Ayuyao F, Guia TD.
Comparison of CPIS (clinical pulmonary
infection score) and clinical criteria in the
diagnosis of ventilator-associated pneumonia in
ICU complex patients. Phil Heart Center J
2007;13(2):135–38.
11. Rozet I, Domino KB. Respiratory care of the
neurosurgical patient. Dalam: Newfield P,
Cottrell JE, penyunting. Handbook of
neuroanesthesia, edisi-5. Philadelphia: Wolter Kluwer Lippincott Wiliams & Wilkins;
2012,354–35.
166
Implikasi Anestesi Pasien Cedera Kepala Traumatik dengan Penyakit Jantung Bawaan
(PJB) Sianotik: Masalah Hiperviskositas Darah
Agus Baratha Suyasa *), Nazaruddin Umar **), Bambang J. Oetoro ***)
*)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Kasih Ibu Hospital, Bali,**) Departemen Anestesiologi dan
Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara Rumah Sakit Adam Malik-Medan
***)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Rumah Sakit Mayapada Jakarta
Abstrak
Saat ini banyak penderita penyakit jantung bawaan (PJB) yang mampu bertahan sampai dewasa (15–25%).
Penderita PJB memiliki anatomi serta fisiologi yang kompleks dan spesifik dengan morbiditas dan mortalitas
perioperatif yang tinggi. Anak-anak dengan PJB meningkatkan resiko henti jantung serta mortalitas 30 hari
setelah pembedahan mayor maupun minor dibandingkan dengan anak-anak yang sehat. Cedera otak traumatik
merupakan salah satu kondisi yang mengancam jiwa dan merupakan penyebab utama kecacatan serta kematian
pada dewasa dan anak-anak. Edema serebral sering ditemui dalam praktek klinis serta dapat menimbulkan
masalah besar termasuk iskemia serebral, yang memperburuk aliran darah otak regional dan global, pergeseran
kompartemen intrakranial akibat peningkatan tekanan intrakranial (TIK) sehingga menekan struktur vital otak.
PJB sianotik memiliki kadar hematokrit yang meningkat dan diasumsikan berhubungan dengan resiko trombosis
serebral dan stroke. Peningkatan massa sel darah merah dicurigai sebagai penyebab sindroma hiperviskositas
dimana kadar hematokrit selanjutnya menjadi faktor resiko tejadinya infark serebral. Terdapat hubungan yang
signifikan antara aliran darah otak dan kadar hematokrit namun belum jelas dinyatakan dalam literatur berapa
batas kadar hematokrit, dan kriteria untuk dilakukan phlebotomi. Namun beberapa argumentasi menyatakan
polisitemia (kadar hematokrit >60%) memiliki efek yang merugikan dan harus diturunkan dengan phlebotomi
karena kompensasi yang berlebihan akan mengganggu aliran darah regional serta aliran darah serebral.
Kata Kunci: Penyakit jantung bawaan sianotik, cedera otak traumatik, hiperviskositas darah
JNI 2013;2(3): 166–76
Anesthesia Implication in a Traumatic Brain Injury Patient with Cyanotic Congenital
Heart Disease (CHD): Blood hyperviscosity problem
Abstract
Many patients with congenital heart disease (CHD) survive to adulthood period (15–25%). Patients with CHD
have a complex and specific anatomy and physiology with high perioperative morbidity and mortality. Children
with congenital heart disease have an increased risk of cardiac arrest and 30 days mortality after both major and
minor surgeries compared to healthy children. Traumatic brain injury is one of a life-threatening conditions
which is the leading cause of disability and death in both adults and children. Cerebral edema is commonly
encountered in clinical practice which have potential to cause major problems including cerebral ischemia,
which was worsen the regional and global cerebral blood flow, intracranial compartment shift due to an increase
in intracranial pressure (ICP) therefore pressing the vital structures of the brain. Cyanotic congenital heart
disease patients have an increased hematocrit levels and this is assumed to be related to the risk of cerebral
thrombosis and stroke. Increased red blood cell mass is suspected as the cause of hyperviscosity syndrome in
which the hematocrit levels is a further risk factor for cerebral infarction is a significant relationship between
cerebral blood flow and hematocrit levels. However the haematocrit unit and criterias for phlebotomy has not
been explicitly stated in the literature. Some arguments stated that polycythemia (hematocrit levels >60%) had
an adverse effect and should be reduced by phlebotomi as excessive compensation would disrupt the regional
blood flow and cerebral blood flow.
Keywords: Cyanotic congenital heart disease, traumatic brain injury, blood hyperviscosity
JNI 2013;2(3): 166–76
167 Implikasi Anestesi Pasien Cedera Kepala Traumatik
dengan Penyakit Jantung Bawaan (PJB) Sianotik: Masalah
Hiperviskositas Darah
I. Pendahuluan
Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan
kelainan yang paling sering pada kelompok
kelainan bawaan, terjadi sekitar 8 dari 1000
kelahiran hidup. Mayoritas penderita kelainan PJB yang tidak mendapat penanganan, meninggal saat
masih bayi atau usia anak-anak dan hanya 15–25%
yang mampu bertahan sampai usia dewasa.
Beberapa dari penderita ini mungkin suatu saat
menjalani terapi pembedahan non jantung (salah
satunya bedah saraf) selama hidupnya. Penderita
dengan PJB menunjukkan anatomi serta fisiologi
yang kompleks dan spesifik. Morbiditas dan
mortalitas perioperatif meningkat pada penderita
PJB baik yang terkoreksi maupun yang tidak.
Namun belum ada studi mayor yang fokus meneliti
masalah ini. American College of Cardiology menganjurkan ada konsultasi yang baik antara
kardiologi dan anestesi.1
Anak-anak dengan PJB meningkatkan resiko henti
jantung serta mortalitas 30 hari setelah pembedahan
mayor maupun minor dibandingkan dengan anak-
anak yang sehat. Karenanya sebelum melakukan
anestesi pada penderita PJB harus memiliki pengetahuan tentang anatomi jantung yang spesifik,
fisiologi kardiorespirasi serta resiko potensial
terjadinya komplikasi pada kasus individu. Ahli
anestesi harus mengerti tentang interaksi kompleks
systemic vascular resistance (SVR) dan pulmonal
vascular resistance (PVR) serta berbagai faktor
yang mempengaruhinya, memahami empat
komplikasi mayor pada PJB dan mengetahui anak
mana yang dalam keadaan resiko tinggi.2
Cedera otak traumatik merupakan salah satu
kondisi yang mengancam jiwa secara serius pada
korban kecelakaan, dan merupakan penyebab
utama kecacatan dan kematian pada dewasa dan
anak-anak. Diperkirakan 1,5 juta orang mengalami
cedera kepala traumatik setiap tahunnya di USA,
dan 50.000 orang diantaranya meninggal serta
80.000 sisanya mengalami kecacatan permanen.
Edema serebral sering ditemui pada praktek klinis
dan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien sakit kritis serta pasien
bedah saraf yang mengalami cedera otak akut.
Konsekuensi dari adanya edema serebri adalah
dapat menimbulkan masalah besar termasuk
iskemia serebral, yang memperburuk aliran darah
otak regional dan global, pergeseran kompartemen
intrakranial akibat dari peningkatan tekanan
intrakranial (TIK) sehingga menekan struktur vital
otak. 16
Sudah diketahui bahwa pasien dengan PJB sianotik
memiliki kadar hematokrit yang meningkat dan
diasumsikan berhubungan dengan resiko trombosis
serebral dan stroke. Peningkatan massa sel darah
merah dicurigai sebagai penyebab sindroma
hiperviskositas dimana kadar hematokrit
selanjutnya menjadi faktor resiko tejadinya infark
serebral. Telah dilaporkan terdapat hubungan yang
signifikan antara aliran darah otak dan kadar
hematokrit.6
II. Epidemiologi
Sekitar 25% dewasa dengan PJB memilki tipe yang
ringan dari penyakitnya sehingga mampu bertahan
sampai usia dewasa tanpa intervensi pembedahan
maupun kateterisasi jantung. Mayoritas dewasa dengan PJB tampak sebagai pasien rawat jalan,
namun biasanya pasien ini telah menjalani prosedur
pembedahan maupun kateterisasi jantung. Lesi PJB
secara fungsional diklasifikasikan menjadi (1)
dengan shunting kiri ke kanan (acyanotic) (2)
dengan shunting dari kanan ke kiri (cyanotic).
Shunting dari kiri ke kanan terjadi jika darah yang
teroksigenasi dari atrium kiri, ventrikel kiri, serta
aorta, transit di atrium kanan, ventrikel kanan dan
arteri pulmonalis. Paru menerima darah yang tidak
teroksigenasi dari sirkulasi sistemik kemudian darah yang telah teroksigenasi mengalami shunting
melalui defek yang ada, sehingga terjadi volume
overload pada satu atau beberapa ruang jantung.
Jika defek yang ada besar dan non restriktif, maka
keduanya meningkatkan flow dan transmisi pada
pulmonary vascular bed mendekati tekanan darah
sistemik. Dalam jangka waktu lama kondisi ini
dapat merubah secara permanen struktur pulmonary
vascular bed, menyebabkan peningkatan PVR serta
berhubungan dengan hipertensi arteri pulmonal.
Jika tekanan arteri pulomonalis sama dengan
tekanan sistemik, dapat terjadi shunting dari kanan ke kiri atau bidirectional pada defek (Eisenmenger
Syndrome). Penyakit jantung bawaan sianotik
menyebabkan keterbatasan pada pulmonary blood
flow sehingga terjadi percampuran antara darah
yang teroksigenasi dengan yang tidak teroksigenasi.
Kondisi ini menurunkan oxygen content dan
menyebabkan sianosis.1
III. Fisiologi Kardiovaskular
Sirkulasi normal pada dewasa merupakan suatu
sirkulasi “seri” dimana kedua ventrikel memompa
seluruh curah jantung ke dalam sirkulasi pulmonal
dan sistemik. Sirkulasi pada anak-anak adalah
sirkulasi paralel, dimana darah yang teroksigenasi
mengalir melalui vena umbilikalis menuju fetus.
Sekitar 50% darah vena umbilikus melewati hati (bypass) melalui duktus venosus dan bercampur
dengan darah yang tidak teroksigenasi dari bagian
bawah tubuh pada vena cava inferior. Darah dari
168 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
vena cava inferior mengalami shunting secara langsung melewati foramen ovale dan di ejeksikan
oleh jantung kiri menuju aorta ascenden.
Karenanya arteri koroner dan arteri serebral
diperfusi oleh darah yang memiliki tekanan oksigen
yang relatif tinggi. Vena cava superior yang kurang
teroksigenasi mengalir menuju ventrikel kanan
kemudian ke arteri pulmonalis dimana 90% aliran
mengalami shunting melewati duktus arteriosus
menuju aorta descending. Ventrikel kanan dominan
selama kehidupan fetus karena outputnya dua kali
ventrikel kiri.3
Bayi dan anak-anak yang menderita PJB memiliki
sistem kardiopulmonal yang imatur. Shunting
intrakardiak dan obstruksi sering menyebabkan
sianosis atau penyakit jantung kongestif (CHF).
Penyakit vaskuler pulmonal serta gagal jantung
kanan juga sering ditemukan. Pada kasus terjadinya
shunting kanan ke kiri, terjadi hipoksia arterial
yang berat, dimana keadaan ini menyebabkan polisitemia dengan peningkatan viskositas darah
serta koagulopati. Pada anak-anak yang normal
sirkulasi paralel fetus bertransformasi menjadi
sirkulasi seri dewasa. Perubahan normal ini
terganggu dengan adanya PJB. Singkatnya jika
hipoksia dan asidosis muncul karena PJB selama
masa neonatus dan infant, penurunan PVR normal
tidak terjadi, sehingga dapat terjadi paten duktus
arteriosus dan foramen ovale persisten.4
3.1. Sirkulasi ”Seri” Normal
Jantung normal memiliki sirkulasi pulmonal dan
sistemik yang bekerja bersama. Darah dipompakan
dalam tekanan yang berbeda ke paru-paru dan
seluruh tubuh. Tidak terdapat lubang sehingga tidak
terjadi percampuran antara darah yang teroksigenasi dan yang tidak teroksigenasi. Jika
terdapat PJB, maka terjadi percampuran antara
darah teroksigenasi dan yang tidak. Arah aliran
juga tergantung pada gradien tekanan. Shunting kiri
ke kanan menyebabkan aliran darah pulmonal yang
eksesif dan shunting kanan ke kiri menyebabkan
penurunan aliran darah pulmonal dan sianosis.
Perubahan SVR dan PVR karena anestesi memiliki
pengaruh yang besar pada defek unrestriktif yang
besar.2
Gambar 1. Sirkulasi seri normal2
Sumber : White MC 2
3.2. Sirkulasi Paralel atau Balans
Dalam hal percampuran darah yang teroksigenasi
dan yang tidak, terdapat hubungan antara intra dan
ekstra kardiak, dimana aliran darah menuju
sirkulasi sistemik dan pulmonal tergantung
resistensi masing masing lintasan dalam hal ini
tergantung pada SVR dan PVR. Aliran darah
pulmonal (pulmonary blood flow/PBF) yang
berlebihan menyebabkan edema paru serta perfusi sistemik yang tidak adekuat (nantinya berkaitan
dengan komplikasi perfusi koroner, ginjal dan
sphlanik yang jelek). Namun insufisiensi PBF juga
menyebabkan sianosis yang berat. Karena biasanya
PVR<SVR maka anak dengan PJB biasanya
memiliki PBF yang tinggi serta perfusi sistemik
yang buruk. Optimalisasi PVR dan SVR pada kasus
ini sangat sulit. Bagaimanapun, peningkatan PVR
dan penurunan SVR (yang dapat terjadi pada
induksi anestesi yang berlebihan serta hipoksia dan
hiperkarbia ringan) dapat menurunkan aliran shunting secara bermakna dan menyebabkan
penurunan curah jantung bahkan henti jantung.
Pada anak dengan ventricular septal defect (VSD)
yang besar juga dapat menunjukkan adanya
fisiologi sirkulasi balans. Anak ini predominan
dengan shunting dari kiri ke kanan. Pada saat
pemberian anestesi terjadi penurunan SVR
sehingga dapat mengubah arah shunting dan
menyebabkan desaturasi yang berat. Aliran darah
pulmonal yang berlebih pada shunting kiri ke kanan
juga menempatkan anak dalam resiko hipertensi pulmonal yang merupakan salah satu penyebab
desaturasi selama anestesi.2
Gambar 2. Sirkulasi paralel atau Balans Sumber : White MC 2
Gambar 3. Sirkulasi paralel atau balans 4
Sumber : Tempe DK 4
169 Implikasi Anestesi Pasien Cedera Kepala Traumatik
dengan Penyakit Jantung Bawaan (PJB) Sianotik: Masalah
Hiperviskositas Darah
3.3. Sirkulasi Ventrikel Tunggal
BT-Shunt dilakukan sebelum koreksi total
(contohnya untuk tetralogy of fallot/ TOF),
sehingga merupakan tahap pertama dari sirkulasi
ventrikel tunggal. Tahap kedua adalah Glenn shunt
atau shunting cavopulmonari bidireksional. Pada
prosedur ini vena cava superior (SVC) langsung
dikoneksi ke arteri pulmonalis, dan vena cava
inferior masih bermuara pada atrium dan ventrikel
tunggal. Pada tahap ini anak akan tampak sianosis
dengan SaO2 75–85%. Tahap ketiga dikenal dengan
nama Fontane procedure dimana vena cava inferior terkoneksi pada arteri pulmonalis dan memisahkan
sirkulasi sistemik dan sirkulasi pulmonal. Sirkulasi
ventrikel tunggal memiliki satu ventrikel yang
memompa darah ke sirkulasi sistemik dan ke
sirkulasi pulmonal dimana aliran darah ke paru
bergantung pada tekanan pasif vena dari vena cava
superior dan inferior. Karenanya bergantung
seluruhnya pada gradient tekanan vena cava
superior/ vena cava inferior terhadap atrium kiri.
Pada sirkulasi ventrikel tunggal peningkatan PVR
dan tekanan positif intratorakal dapat menurunkan
PBF secara bermakna. Pada pembiusan kondisi ini sangat mempengaruhi strategi ventilasi. Perhatian
pada pemberian PEEP dan minimalisasi waktu
inspirasi serta tekanan inspirasi puncak
memaksimalkan PBF.2
Gambar 4. Sirkulasi ventrikel tunggal Sumber : White MC
2
IV. Klasifikasi Penyakit Jantung Bawaan (PJB)
Penyakit jantung bawaan dapat diklasifikasikan
dalam berbagai cara, salah satunya berdasarkan
percampuran darah (mixing), arah shunting,
obstruksi aliran darah atau adanya interaksi
komplek PVR dan SVR. Beberapa anak mungkin
memiliki lebih dari satu lesi sehingga masuk dalam
lebih dari satu katagori sehingga meningkatkan kejadian komplikasi.2
Tabel 1. Klasifikasi fisiologis Penyakit Jantung
Bawaan.2
1 Shunting kiri ke kanan “simple”: menyebabkan
peningkatan aliran darah pulmonal (PBF) a. Atrial Septal Defek
b. Ventrikuler Septal Defek c. Atrioventrikuler Septal Defek d. Patent Duktus Arteriosus (PDA) e. Aortopulmonari window
NB. Efek shunting pada ventrikel kanan terhadap fisiologi respiratori berbeda tergantung level dimana
shunting terjadi 2 Shunting kanan ke kiri “simple”: menyebabkan
penurunan aliran darah pulmonal (PBF) dengan sianosis
a. Tetralogi of Fallot. b. Atresia pulmonal c. Atresia Trikuspidal d. Anomali Ebstein’s
3 Shunt kompleks Menyebabkan percampuran aliran darah pulmonal
dan sistemik.Sianosis terjadi akibat interaksi kompleks antara systemic vascular resistance dan pulmonaty vascular resistance
a. Transposition of great arteries b. Truncus arteriosus c. Total anomalous pulmonary venous drainage d. Double outlet right ventricle (DORV)
e. Sindroma hipoplasi jantung kiri Semua kelainan diatas kecuali Total anomalous
pulmonary venous drainage adalah contoh sirkulasi parallel.
4 Lesi Obstruktif
a. Koartasio Aorta
b. Interupted aortic arch Sumber : White MC 2
V. Komplikasi Mayor pada Penyakit Jantung
Bawaan (PJB)
5.1. Aritmia
Kerusakan pada nodus sinus menyebabkan aritmia
atrial, seperti bradikardi, blok sinoatrial atau
supraventrikular takikardi. Hal ini dapat terjadi
asimptomatik atau berkaitan dengan kolaps
hemodinamik dan kematian yang mendadak. Kerusakan permanen biasanya terjadi setelah
perbaikan defek sinus venosus, ASD, atrial switch
procedure (Mustard atau Senning), serta
cavopulmonari anastomosis (Fontane Procedure).
Anak dengan prosedur diatas beresiko terhadap
kejadian disritmia atrial yang meningkat setiap
tahunya. Atrial takikardi perioperatif sering terjadi
pada anak dengan anomali Ebstein’s dan aritmia
maligna serta kematian mendadak sering ditemukan
pada saat saat pemasangan alat intrakardiak.
Kerusakan nodus atrioventrikuler serta bundle His
menyebabkan aritmia ventrikuler. Nekrosis dan fibrosis progresif yang meluas ke sistem konduksi
170 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
diperkirakan menjadi penyebab terjadinya aritmia onset lambat. Aritmia menyebabkan kematian pada
30% pasien dengan single ventrikel. Anak dengan
koreksi TOF memiliki resiko yang meningkat
terjadinya kematian yang mendadak atau takikardi
ventrikel. Anak yang pernah mengalami blok
jantung, meningkatkan resiko 10 kali terjadinya
blok jantung setelah koreksi. Toleransi yang buruk
terhadap aktifitas fisik menunjukkan adanya gagal
jantung kanan dan hal ini merupakan resiko
terhadap kejadian takikardi ventrikel dan kematian
mendadak. Pada anak dengan resiko aritmia, faktor-faktor yang diketahui menurunkan ambang ektopik
ventrikel harus diperhatikan secara serius seperti
hiperkarbi, asidosis, hipoksia, dan penggunaan
lokal anestesi dosis besar serta epinefrin.1,2
5.2. Gagal Jantung
Gagal jantung muncul ketika jantung gagal
memompa darah untuk mencukupi kebutuhan
metabolik tubuh. Anak dengan cadangan jantung
(cardiac reserve) terbatas, harus diidentifikasi
karena mereka rentan terhadap terjadinya gagal
jantung selama anestesi. Tanda klinis dapat
bervariasi menurut umur. Takipneu, takikardi, akral dingin adalah gejala yang umumnya muncul pada
semua umur. Pada bayi biasanya ditemukan
hilangnya nafsu makan, gagal tumbuh kembang,
berkeringat serta hepatomegali. Induksi inhalasi
maupun intravena dapat dilakukan namun induksi
membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga
perlu kesabaran agar tidak terjadi pemberian obat
induksi anestesi yang berlebihan. Sevofluran 4%
lebih disukai daripada 8%, propofol memiliki efek
yang hebat terhadap tekanan darah dan curah
jantung sehingga kurang baik terhadap anak dengan PJB, ketamin lebih dipilih untuk kasus ini. Jika
gagal jantung telah terjadi, pemberian obat
vasoaktif seperti milrinone atau dobutamin
dianjurkan sebelum induksi serta monitor invasif
diperlukan walaupun untuk pembedahan minor.1,2
5.3. Sianosis, Perdarahan dan Resiko Trombosis
Sianosis kronis berkaitan dengan polisitemia dan
hemostasis abnormal. Polisitemia adalah respon
adaptif terhadap hipoksia dimana menyebabkan
pasokan oksigen sistemik yang normal tanpa
adannya peningkatan curah jantung. Pada saat
hematokrit meningkat, viskositas darah meningkat secara dramatis yang menyebabkan peningkatan
SVR dan PVR serta menurunkan perfusi arteri
koroner. Pada anak dengan PJB sianotik,
hiperviskositas berkaitan dengan trombosis vena
dan sinus intrakranial yang dapat menyebabkan
stroke. Anak dibawah 5 tahun berada pada tingkat
resiko tertinggi khususnya jika terdapat dehidrasi,
demam atau defisiensi besi. Sindroma
hiperviskositas ditandai dengan nyeri kepala, dizziness, pengelihatan kabur, kelelahan general,
kelemahan otot, myalgia, parestesia jari tangan,
kaki dan bibir, serta penurunan mentasi. Anak
dengan PJB sianotik harus selalu diperiksa kadar
Hb dan hematokrit. Terapi cairan preoperatif harus
dipertimbangkan pada kadar Hb >18 g/dL atau
hematokrit >60% untuk mencegah gejala
hiperviskositas serta trombosis. Puasa preoperatif
tidak boleh terlalu lama pada pasien ini.1,2,7,10, 23-25
Anak-anak dengan PJB sianotik, 20% diantaranya
memiliki tes laboratorium hemostasis yang abnormal. Pemanjangan PT dan APTT adalah yang
paling sering ditemukan, abnormalitas yang lain
termasuk trombositopenia, disfungsi trombosit,
hipofibrinogenemia dan peningkatan fibrinolisis.
Hemostasis abnormal ini tampaknya berkaitan
dengan tingkat sianosis serta eritrositosis,
mekanismenya masih belum jelas. Terkadang
walaupun hasil tes koagulasi normal, tidak menutup
resiko adanya perdarahan yang eksesif pascabedah.
Semua pasien dengan sianosis harus di asumsikan
dengan tingkat resiko perdarahan yang tinggi. Obat-
obatan seperti aspirin, NSAID dan heparin dapat menyebabkan koagulasi yang abnormal. Namun
jika pasien sudah dalam terapi aspirin untuk
menjaga patensi shunt, maka aspirin tetap
dilanjutkan karena resiko trombosis lebih besar
daripada perdarahan.1,2,7,10
Pada pasien yang sianotik, penggunaan premedikasi
sering ditemukan. Premedikasi meminimalisasi
distress sehingga menurunkan konsumsi oksigen
serta menjaga oksigenasi yang sudah terbatas.
Monitoring etCO2 biasanya memberikan nilai PCO2
yang lebih rendah karena adanya shunting dari kanan ke kiri. Pasien yang sianotik, respon ventilasi
terhadap hipoksia menjadi tumpul, karenanya
hipoksia yang terjadi tidak diikuti oleh respon
peningkatan ventilasi yang normal terutama jika
obat yang menekan pernafasan diberikan, seperti
opioid. Pascabedah pasien harus diawasi secara
ketat.1,2,7,10
5.4. Hipertensi Pulmonal.
Hipertensi Pulmonal didefinisikan sebagai
peningkatan tekanan rata-rata arteri pulmonalis
(PA) >25 mmHg pada saat istirahat atau >30
mmHg saat aktivitas. Dalam konteks pasien dengan PJB yang akan menjalani pembedahan non jantung,
ada 2 hal yang harus diperhatikan sehubungan
dengan resiko terjadinya hipertensi pulmonal. (1)
Adanya PBF yang eksesif karena shunting kiri ke
kanan, (2) Obtruksi pada drainase vena pulmonalis
atau paparan karena tingginya tekanan pada atrium
kiri. Hipertensi pulmonal terjadi lebih dini pada
pasien dengan lesi tertentu, contohnya
171 Implikasi Anestesi Pasien Cedera Kepala Traumatik
dengan Penyakit Jantung Bawaan (PJB) Sianotik: Masalah
Hiperviskositas Darah
atrioventrikuler septal defek dan pada beberapa populasi pasien tertentu seperti pada sindroma
Down’s. Pada hipertensi pulmonal, vascular bed
berkaitan dengan perubahan struktur namun secara
bervariasi dipengaruhi beberapa faktor; asidosis,
hiperkarbia, hipoksia, hipotermia, peningkatan
stimulasi simpatis dan peningkatan tekanan jalan
nafas, semua faktor ini meningkatkan PVR.
Gambar 5. Faktor yang mempengaruhi
distribusi aliran darah antara sirkulasi sistemik
dan pulmonal Sumber: Cannesson M, Earing MG, Collange V, Kersten JR 1
Manajemen yang baik terhadap faktor tersebut
dapat menurunkan PVR memperbaiki fungsi ventrikel serta menurunkan derajat shunting dari
kanan ke kiri. Penanganan krisis hipertensi
pulmonal dipengaruhi oleh anatomi intrakardiak,
namun secara umum penanganan meliputi
menghilangkan penyebab yang menstimulasi
termasuk pemberian opioid atau mendalamkan
anestesi dan jika terdapat shunting intrakardiak, α-
agonis (penilefrin) harus diberikan. Suport
inotropik untuk ventrikel kanan mungkin juga
diperlukan.1,2,9
VI. Pertimbangan Umum Anestesi pada PJB
Pada saat melakukan anestesi terhadap pasien
dengan PJB, kita harus waspada terhadap adanya
kelainan bawaan lain, baik defek intrakardiak
maupun ekstrakardiak, efek perubahan
hemodinamik pada defek tersebut serta efek
kardiovaskular dari agen anestesi yang diberikan.
Patofisiologi utama pada PJB adalah shunting,
hipoksemia, gagal jantung, disritmia, edema paru
dan obstruksi pada saluran keluar (outflow tract
obstruction).5
Shunting: PBF yang eksesif karena adanya shunting
dapat menyebabkan gagal jantung, gangguan fungsi paru, obstruksi saluran nafas kecil, obstruksi
bronkus utama kiri, meningkatkan cairan paru
interstisial maupun alveoli, serta penyakit vaskular
obtruktif. Episode hipersianotik dapat terjadi pada
shunting intrakardiak. Arah shunting dapat berubah
(shunt reversal) karena SVR menurun dan PVR yang meningkat karena efek anestesi meningkatkan
tekanan jalan nafas. Episode hipersianotik selama
anestesi dapat terjadi karena stimulasi pembedahan,
obstruksi outflow ventrikel kanan, penurunan PBF
karena hipovolemia, peningkatan tekanan jalan
nafas serta penurunan SVR. Penanganan meliputi
meningkatkan volume intravaskular, oksigenasi,
menurunkan outflow tract obstruction dengan beta
bloker.5
Hipoksemia: sebagai respon terhadap hipoksemia
kronik, tubuh berusaha menormalisasi transport oksigen dengan cara: (1) Polisitemia, (2)
Meningkatkan volume darah, (3) Neovaskularisasi,
(4) Hiperventilasi alveoler. Konsekuensi dari
mekanisme adaptif ini termasuk penurunan
cadangan kardiopulmonal, peningkatan SVR karena
meningkatnya viskositas darah, trombosis renal dan
serebral terutama jika terjadi dehidrasi, serta
koagulopati. Gejala hiperviskositas diantaranya
nyeri kepala, fatique, parestesia, dizzines,
penurunan status mental biasanya pada hematokrit
>65%. Namun hemodilusi isovolemia tidak boleh
dilakukan hanya berdasarkan nilai hematokrit namun berdasarkan gejala yang ada. Resiko dari
polisitemia adalah trombosis pulmonal dan
serebral. Pada pasien yang hipoksik aliran darah
sistemik di redistribusikan ke otak, jantung dengan
penurunan perfusi ke organ splanik, kulit, otot dan
tulang. 5,18,19
Hipertensi Pulmonal: peningkatan PVR secara
permanen atau transien menjadi salah satu
komplikasi pada PJB. Peningkatan endothelin
(endothelin constricting factor) terjadi pada
hipertensi pulmonal karena PJB, diperkirakan karena peningkatan tekanan pada arteri pulmonalis.
Peningkatan densitas reseptor beta pada paru-paru
juga terjadi akibat peningkatan faktor VIII (von
Willebrand).5,18,19
Tabel 2. Faktor yang mempengaruhi PVR
Meningkatkan PVR Menurunkan PVR
Hipoksia Oksigen Hiperkarbia Hipokarbia
Asidosis Alkalosis Hiperinflasi FRC normal Pe ↑ hematokrit Pe ↓ hematokrit Stimulasi simpatis Blok simpatis
Sumber : Lake CL 5
Hiperventilasi merupakan cara paling diandalkan
untuk menurunkan PVR, namun adalah pH dan
bukan PCO2 yang mengontrol vasokonstriksi
pulmonal. Prostasiklin dan nitric oxide juga
menurunkan PVR pada pasien dengan PJB. Nitrous
oxide tidak meningkatkan PVR pada PJB, namun
172 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
pada beberapa kasus ditemukan peningkatan PVR yang dramatis pada penggunaan nitrous oxide.5
VII. Cedera Otak Traumatik (Traumatic Brain
Injury)
Cedera otak traumatik di klasifikasikan menjadi
cedera primer dan sekunder. Cedera otak primer
adalah ireversibel, yang terjadi pada saat terjadinya
benturan, aselerasi-deselerasi dan menimbulkan
kerusakan pada tulang tengkorak, jaringan otak dan
jaringan saraf akibat axon yang putus (diffussed
axonal injury/DAI). Setelah kejadian cedera otak
primer, cedera sekunder muncul karena hipoksia, hiperkapnia, hipotensi, gangguan biokimia dan
hipertensi intrakranial, dimana semuanya
menyebabkan iskemik serebral. Cedera otak
sekunder dapat diatasi maupun dicegah dengan
intervensi medis yang baik. Indikasi dilakukan
pembedahan jika terjadi kompresi pada sisterna
basalis akibat karena resiko terjadinya herniasi. 1,2
7.1. Patofisiologi
7.1.1. Efek Sistemik
Respon kardiovaskular seringkali terlihat pada
stadium awal cedera otak, seperti hipertensi,
takikardi dan peningkatan curah jantung. Pada cedera otak yang berat, cedera sistemik multipel
dan kehilangan darah yang banyak, respon yang
muncul adalah hipotensi dan penurunan curah
jantung. Hipotensi (sistolik <90 mmHg) saat tiba di
rumah sakit meningkatkan mortalitas dan
morbiditas secara signifikan. Respon respirasi pada
cedera otak termasuk apnea, pola nafas abnormal,
hiperventilasi, aspirasi karena muntahan dan
central neurogenic pulmonary oedema. Regulasi
suhu tubuh juga terganggu, hipertermi dapat terjadi
dan memperberat cedera yang ada.2
7.1.2. Perubahan sirkulasi dan metabolisme serebral
Pada daerah cedera fokal, CBF dan CMRO2
menurun pada pusat cedera dan penumbra, dengan
area hipoperfusi di sekitarnya. Jika TIK meningkat
maka akan semakin hipoperfusi dan
hipometabolisme.2
7.1.3. Pembengkakan Otak Akut dan Odema
Serebral
Pembengkakan otak akut di sebabkan oleh
penurunan tonus vasomotor serta peningkatan
volume pada jaringan pembuluh darah serebral.
Pada keadaan ini peningkatan tekanan darah dapat dengan mudah menyebabkan pembengkakan otak
dan peningkatan TIK. Edema serebral seringkali
vasogenik atau sitotoksik karena kerusakan sawar
darah otak dan iskemia. Kedua keadaan diatas
dapat terjadi bersama dengan trauma kepala, jika
keadaan tersebut terjadi karena adanya hematoma intraserebral, maka TIK yang terjadi akan
menyebabkan penurunan aliran darah otak dan
iskemia. Jika tidak dilakukan penanganan segera
akan menyebabkan herniasi batang otak melalui
foramen magnum.2
7.1.4. Eksitotoksisitas, inflamasi sitokin dan
mediator
Cedera kepala menyebabkan pelepasan glutamat
dari neuron dan sel glia, meningkatkan konsentrasi
glutamat pada CSF, sehingga meningkatkan
kalsium intraseluler. Keadaan ini mengaktivasi phospolipase, protein kinase, protease, NO sintetase
dan enzim lainya yang memacu terbentuknya lipid
peroksidase, proteolisis, radikal bebas dan
kereusakan DNA sehingga menyebabkan kematian
sel. Sitokin meningkat pada keadaan iskemia
serebral. Pasien dengan GCS < 8 memiliki kadar
IL-6 yang lebih tinggi. Pelepasan sitokin setelah
TBI menstimulasi produksi radikal bebas, asam
arachidonat dan molekul adhesi yang mengganggu
mikrosirkulasi.2
VIII. Pertimbangan Umum pada Neuroanestesi
Evaluasi perioperatif fungsi paru-paru sangat penting. Hipoksia dan hiperkarbia intraoperatif
dapat menyebabkan otak bengkak sehingga
pembedahan menjadi sulit atau bahkan tidak
mungkin dilakukan, sehingga hal-hal yang
potensial menjadi penyebab harus ditangani
prabedah. Adanya penyakit penyerta
kardiovaskuler memiliki dampak penting pada
bedah saraf, sehingga pemeriksaan fungsi
kardiovaskuler menjadi sangat penting. Komplikasi
yang paling sering terjadi pada anestesi dan
pembedahan adalah iskemia serebral dan cedera saraf. Resiko terjadinya stroke dapat meningkat
pada keadaan tertentu. Adanya hipoksia dan
hipovolemia dapat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas. Keadaan tersebut dapat diterangkan dari
fisiologi otak, karena aliran darah otak diatur antara
lain oleh autoregulasi, PaCO2 dan PaO2. Selain itu
sistem simpatis, parasimpatis, suhu dan hematokrit
akan mempengaruhi aliran darah otak.11-13
8.1. Aliran Darah Otak
Aliran darah otak proporsional terhadap tekanan
perfusi otak. Pada pasien dengan cedera kepala,
tekanan perfusi otak < 50mmHg memiliki prognosa yang buruk. Aliran darah otak di atur oleh
autoregulasi, PaCO2 dan PaO2.
8.1.1. Autoregulasi
Aliran darah otak dipertahankan konstan pada MAP
50–150 mmHg, pemgaturan ini disebut
autoregulasi. Berbagai keadaan dapat merubah
173 Implikasi Anestesi Pasien Cedera Kepala Traumatik
dengan Penyakit Jantung Bawaan (PJB) Sianotik: Masalah
Hiperviskositas Darah
batas autoregulasi, misalnya hipertensi kronis, dimana autoregulasi bergeser ke kanan sehingg
mudah terjadi iskemia pada tekanan darah yang
dianggap normal. Iskemia serebral, infark serebral,
trauma kepala, hipoksia, abses otak, subdural
hematoma, arterosklerosis serebrovaskuler, obat
anestesi inhalasi juga mengganggu autoregulasi.12
8.1.2. PaCO2
Aliran darah otak berubah kira-kira 4% (0,95–1,75
mL/100gr/menit) setiap mmHg perubahan PaCO2
antara 25–80 mmHg. Jika dibandingkan dengan
keadaan normokapnea, aliran darah otak dua kali lipat pada PaCO2 80 mmHg dan setengahnya pada
PaCO2 20 mmHg. Karenanya hiperventilasi yang
berlebihan harus dihindari.12
8.1.3. PaO2
Bila PaO2 < 50 mmHg, akan terjadi vasodilatasi
serebral dan aliran darah otak yang meningkat.12
8.1.4. Hematokrit
Hematokrit mempengaruhi aliran darah otak secara
nyata. Bila hematokrit meningkat diatas normal,
maka aliran darah otak akan menurun karena ada
peningkatan viskositas darah.12,17,18
Otak hanya mampu menahan periode yang sangat singkat jika mengalami kekurangan pasokan darah
(iskemia). Ini karena neuron menghasilkan energi
(ATP) hampir seluruhnya oleh substrat dengan
metabolisme oksidatif termasuk glukosa dan badan
keton, dengan kapasitas sangat terbatas untuk
metabolisme anaerobik. Tanpa oksigen, energi yang
tergantung pada proses aerobik tersebut, berhenti
dan menyebabkan cedera selular ireversibel jika
darah tidak mengalir kembali dengan cepat (3
sampai 8 menit dalam berbagai situasi). Oleh
karena itu, aliran darah serebral yang memadai harus dipertahankan untuk menjamin pengiriman
konstan oksigen dan substrat serta untuk
membuang produk metabolisme.15,17,18
Aliran darah serebral (CBF) adalah tergantung pada
sejumlah faktor yang secara umum dapat dibagi
menjadi:
1. yang mempengaruhi tekanan perfusi serebral
2. yang mempengaruhi radius pembuluh darah
otak
Diameter pembuluh darah arteri otak, diatur oleh
empat faktor utama: 1. Metabolisme serebral, 2.
CO2, 3. Autoregulasi, 4. Faktor neurohumoral.
Diameter pembuluh arteri memiliki peran penting
karena juga berpengaruh pada CBF, diameter
dinaikkan (vasodilatasi) menyebabkan peningkatan
volume darah otak yang pada gilirannya
meningkatkan TIK dan mengurangi tekanan perfusi otak sehingga keseimbangan harus dijaga. Faktor–
faktor lain yang juga mempengaruhi aliran darah
otak adalah kekentalan darah yang berhubungan
langsung dengan hematokrit. Jika viskositas darah
menurun, maka CBF meningkat (Hukum Hagen-
Poiseuille). Namun, juga akan terjadi penurunan
kapasitas angkut oksigen dari darah. Hematokrit
yang optimal adalah dimana ada keseimbangan
antara aliran dan kapasitas, biasanya sekitar
30%.15,17-19
8.2. Pemilihan Obat Anestesi
Pada umumnya pemilihan obat anestesi
berdasarkan efeknya pada sistem kardiovaskuler,
tetapi pada pasien bedah saraf harus dipikirkan
efeknya terhadap aliran darah otak, volume darah
otak, tekanan intrakranial, cairan serebrospinal,
autoregulasi, dan respon terhadap CO2. Semua obat
anestesi intravena menurunkan aliran darah otak
kecuali ketamin yang meningkatkan aliran darah
otak.12
8.2.1. Ketamin
Merupakan vasodilator serebral, meningkatkan
aliran darah otak 60-80% dan menyababkan kenaikan tekanan intrakranial yang hanya bisa
dikurangi dengan hiperventilasi dan barbiturat.
Ketamin meningkatkan TIK secara hebat serta
peningkatan resistensi absorpsi cairan serebrospinal
yang akan meningkatkan TIK lebih dari yang
ditimbulkan oleh aliran darah otak saja. Ketamin
tidak dianjurkan untuk neuroanestesia terutama
pada pasien dengan peningkatan TIK atau
penurunan komplian intrakranial.12
8.2.2. Etomidate
Seperti halnya barbiturat etomidat menurunkan CBF, CMRO2 dan TIK. Hipotensi sistemik jarang
terjadi pada pemakaian etomidate, sehingga relatif
lebih aman digunakan pada pasien dengan
gangguan jantung. 16
8.3. Hiperventilasi
Hiperventilasi telah menjadi bagian dari
neuroanestesi dalam jangka waktu yang lama, tanpa
menyadari perubahan metabolisme dalam konteks
perubahan aliran darah otak. CBF berubah sekitar
4% untuk setiap mmHg perubahan PaCO2, dimana
pada nilai tertinggi (80mmHg) pembuluh darah
serebral dilatasi maksimal dan CBF meningkat dua kali lipat. Vasokonstriksi maksimal terjadi pada
nilai 20 mmHg dimana CBF menurun 40%.
Pemeriksaan kandungan oksigen vena jugularis
menunjukkan hiperventilasi menyebabkan
desaturasi oksigen vena serebral. Sebuah penelitian
menunjukan SjVO2 <50 % pada 40% pasien yang
174 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
diperiksa. Pada studi lain tentang tekanan oksigen yang tinggi, hiperoksia yang terjadi akibat
hiperventilasi beresiko terjadinya iskemia
serebral.13
8.4. Hiperviskositas
Sudah diketahui bahwa pasien dengan PJB sianotik
memiliki kadar hematokrit yang meningkat dan
diasumsikan berhubungan dengan resiko trombosis
serebral dan stroke. Peningkatan massa sel darah
merah dicurigai sebagai penyebab sindroma
hiperviskositas dimana kadar hematokrit
selanjutnya menjadi faktor resiko tejadinya infark serebral. Telah dilaporkan terdapat hubungan yang
signifikan antara aliran darah otak dan kadar
hematokrit. Pada polistemia rubra vera, sumbatan
vaskuler sering terjadi dan sebagian besar berupa
trombosis serebral, dan terdapat korelasi posistif
yang kuat antara kadar hematokrit dengan kejadian
sumbatan vaskular. Semua literatur mengatakan
bahwa pada PJB sianotik, kadar hematokrit terlalu
tinggi serta meningkatkan resiko trauma
serebrovaskular, sehingga sangat penting untuk
menurunkan kadar hematokrit. 6,17-19
Istilah ”terlalu tinggi” memang belum secara jelas dinyatakan berapa batas kadar hematokrit, dan
kriteria untuk dilakukan phlebotomi juga tidak
secara jelas dinyatakan dalam berbagai literatur.
Namun kemudian beberapa argumentasi
menyatakan polisitemia (kadar hematokrit >60%)
memiliki efek yang merugikan dan harus di
turunkan dengan phlebotomi karena kompenasi
yang berlebihan akan mengganggu aliran darah
regional serta aliran darah serebral. Pada kasus
dewasa dengan penurunan kesadaran karena
peningkatan kadar hematokrit, mengalami perbaikan setelah dilakukan phlebotomi. Pada
anak-anak, remaja dan dewasa muda dengan PJB
sianotik yang mengalami nyeri kepala, berkurang
setelah dilakukan phlebotomi. Hal yang perlu
diketahui adalah pada anak-anak dengan defisiensi
besi sianotik, kejadian sumbatan serebrovaskular
terjadi pada vena bukan arterial. Penelitian Golde
dkk, mengemukakan kehati-hatian dalam
menggunakan kadar hematokrit sebagai kriteria
untuk phlebotomi pada pasien dengan
eritrositosis.6,14,17-19
Terlepas dari apakah terdapat kompensasi terhadap eritrositosis atau tidak, tanda-tanda hiperviskositas
dipercaya berkaitan dengan sirkulasi serebral,
sehingga di asumsikan terdapat hubungan yang erat
antara kadar hematokrit, aliran darah serebral dan
cedera kepala. Penurunan kadar hematokrit
diasumsikan menurunkan resiko cedera kepala
khususnya stroke akibat trombosis arterial dengan
infark.6,14,17,19
Viskositas darah tidak hanya terdiri dari kadar hematokrit namun juga dari beberapa variabel
termasuk perubahan bentuk eritrosit, agregasi dan
dispersi elemen selular, kecepatan aliran, suhu,
kaliber pembuluh darah, integritas endotelial dan
viskositas plasma, dimana konsentrasi fibrinogen
menjadi determinan utama. Viskositas darah
memiliki sedikit efek pada aliran mikrosirkulasi
dimana kecepatan aliran tinggi, hal ini menyerupai
sirkulasi serebral dimana pembuluh darah arteri
memiliki kaliber yang kecil. Mekanisme kontrol
(autoregulasi) memiliki peran menjaga aliran darah walaupun terdapat hiperviskositas.6,14,17-19
8.5. Phlebotomi
Phlebotomi pada pasien PJB sianotik, dilakukan
berdasarkan asumsi bahwa eritrositosis yang terjadi
pada PJB sianotik merupakan predisposisi
terjadinya stroke karena trombosis arterial.
Phlebotomi kadang-kadang memiliki peranan terapi
yang penting namun jangan diasumsikan bahwa
dengan melakukan phlebotomi akan mengurangi
resiko trobosis arterial. Efek angka pendek
phlebotomi isovolumetrik terhadap eritrositosis
pada PJB sianotik diantaranya mengurangi viskositas darah yang selanjutnya menurunkan
resistensi vaskuler perifer, peningkatan volume
sekuncup (stroke volume), aliran darah sistemik,
dan transport oksigen arteri sistemik. Efek jangka
panjang phlebotomi berulang adalah defisiensi besi
dan mikrositosis dimana justru akan meningkatkan
viskositas darah secara keseluruhan. Defisiensi besi
menyebabkan tahanan yang besar pada sel darah
merah mikrospherotik untuk berubah bentuk pada
mikrosirkulasi, disamping juga menyebabkan
metabolisme anaerobik untuk kebutuhan energi sehingga produksi laktat meningkat.6,14
Karena berbagai alasan diatas, maka phlebotomi
tidak direkomendasi untuk pasien dengan
eritrositosis kompensata walaupun ketika kadar
hematorit mencapai >70% selama tanda-tanda
hiperviskositas serebral tidak ditemukan atau
ditemukan gejala ringan. Gejala hiperviskositas
serebral yang signifikan jarang ditemukan pada
kadar hematokrit <65%, namun jika ditemukan
gejala pada kadar hematokrit <65% maka
kecurigaan kita mengarah pada defisiensi besi. Jika
kita memberikan terapi besi, maka diberikan dengan dosis kecil (325 mg ferrous sulfate atau 65
mg elemental besi satu kali sehari). Pemberian
terapi besi dihentikan segera setelah ditemukan
peningkatan kadar hematokrit, biasanya dalam
waktu satu minggu.6,14,18
Indikasi yang paling kuat untuk melakukan
phlebotomi adalah jika ditemukan gejala dan tanda
hiperviskositas yang berat pada pasien dengan
175 Implikasi Anestesi Pasien Cedera Kepala Traumatik
dengan Penyakit Jantung Bawaan (PJB) Sianotik: Masalah
Hiperviskositas Darah
kadar hematokrit >65% dimana dehidrasi bukan merupakan penyebabnya. Jumlah darah yang
dikeluarkan harus seminimal mungkin yang
dibutuhkan untuk mencapai tujuan jangka pendek
perbaikan gejala hiperviskositas. Phlebotomi
berulang harus dihindari.6,14,18
8.6. Mannitol
Telah banyak diketahui penggunaan manitol
sebagai osmoterapi pada kasus bedah saraf,
khususnya pada cedera kepala traumatik, namun
mannitol juga memiliki efek kerja non osmotik
pada hemodinamik dan sebagai antiviskositas serta membuang radikal bebas. Mannitol menurunkan
viskositas darah, tidak hanya dengan menurunkan
hematokrit tetapi juga dengan menurunkan volume,
rigiditas, serta kohesi membran sel darah merah,
sehingga menurunkan resistensi mekanis saat
melewati struktur mikrovaskular. Efek
hemodinamik mannitol adalah dengan menurunkan
SVR serta efek inotropik positif pada jantung.
Sehingga nantinya menyebabkan peningkatan curah
jantung dan penghantaran oksigen. Maninitol juga
diketahui mampu membuang radikal bebas, dengan
membuat aliran darah pada daerah yang memiliki perfusi yang buruk, juga diyakini memiliki peranan
pada fenomena no-reflow. Namun masih belum ada
data yang mendukung efek kerja manitol secara
independen terhadap radikal bebas ini.14,20
IX. Simpulan
Semakin banyaknya pasien PJB yang mampu
bertahan sampai dewasa meningkatkan
kemungkinan untuk mengalami pembedahan non
jantung. Anatomi dan fisiologi pada PJB sangat
komplek sehingga dibutuhkan pengetahuan yang
khusus terutama mengenai implikasi anestesi. Pasien dengan PJB yang sedang dan berat memiliki
resiko mortalitas yang tinggi, terutama pasien
dengan functional class yang buruk, hipertensi
pulmonal, gagal jantung kongestif dan sianosis.
Pasien dengan PJB sudah dalam keadaan
hipoksemia karena adanya shunting intrakardiak,
serta polisitemia karena kompensasi tubuh terhadap
keadaan hipoksemia. Kedua hal ini memiliki
dampak yang buruk pada operasi bedah saraf,
karena dapat mengganggu aliran darah otak,
sehingga dapat menyebabkan hipoksia serebral
serta memperburuk keadaan pada cedera kepala traumatik dimana sudah terjadi edema serebral
yang mengganggu aliran darah otak. PJB sianotik
memiliki kadar hematokrit yang meningkat dan
diasumsikan berhubungan dengan resiko trombosis
serebral dan stroke. Terdapat hubungan yang
signifikan antara aliran darah otak dan kadar
hematokrit. Kadar hematokrit yang terlalu tinggi
serta meningkatkan resiko trauma serebrovaskular,
sehingga sangat penting untuk menurunkan kadar hematokrit. Indikasi yang paling kuat untuk
melakukan phlebotomi adalah jika ditemukan
gejala dan tanda hiperviskositas yang berat pada
pasien dengan kadar hematokrit >65% dimana
dehidrasi bukan merupakan penyebabnya.
Phlebotomi berulang harus dihindari. Mannitol
memiliki efek kerja non osmotik pada
hemodinamik dan sebagai antiviskositas serta
membuang radikal bebas. Mannitol menurunkan
viskositas darah, tidak hanya dengan menurunkan
hematokrit tetapi juga dengan menurunkan volume, rigiditas, serta kohesi membran sel darah merah,
sehingga menurunkan resistensi mekanis saat
melewati struktur mikrovaskular.
Daftar Pustaka
1. Cannesson M, Earing MG, Collange V,
Kersten JR. Anesthesia for noncardiac surgery
in adult with congenital heart disease. Dalam:
Riou B, penyunting. Anesthesiology 2009;
111, 432–40.
2. White MC. Anaesthetic implications of
congenital heart disease for Children
undergoing non-cardiac surgery. Dalam: Anesthesia and Intensive Care. Oxford:
Elsevier Ltd; 2009, 10:10.
3. Streitz SL, Hickey PR. Cardiovascular
physiology and pharmacology in children:
normal and diseased pediatric cardiovascular
system. Dalam: Cote CJ, Ryan JF, Todres ID,
Goudsouzian NG, penyunting. A practice of
anesthesia for infants and children. Edisi ke-2.
Philadelphia:WB Saunders; 1993, 271–90.
4. Tempe DK. Anesthesia for the management of
congenital heart defect. Dalam: Tempe DK. Clinical practice of cardiac anesthesia. Edisi
ke-2. New Delhi: Modern Publisher;2004,
143–75.
5. Lake CL. Anesthesia for noncardiac surgery in
children with congenital heart disease. Revista
exican de Anestesiologia 2004; 27, (1): 63–66.
6. Perloff JK, Marelli AJ, Miner PD. Risk of
stroke in adults with cyanotic congenital heart
disease. Circulation. 1993; 87 : 1954-59.
7. Hamid M, Khan MA, Akhtar MI, Saleemullah
H, Khalid S, Khan FH. Grown up congenital
heart disease patient presenting for non cardiac surgery: anesthetic implications. J Park Med
Assoc. Review Article 2010; 60 (11): 955–59.
176 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
8. Colman JM. Noncardiac surgery in adult congenital heart disease. Dalam: Gatzoulis
MA, penyunting. Management and diagnosis
of adult congenital heart disease. London:
Elsevier Ltd; 2003, Chapter 12.
9. Berger J. Pulmonary hypertension in
congenital heart disease. Medscape Pulmonary
Medicine 2012.
10. Walker F, Mullen MJ, Wood SJ, Webb DG.
Acute effect of 40% oxygen supplementation
in adults with cyanotic congenital heart
disease. Heart 2004; 90: 1073–74.
11. Patel P. Brain protection-the clinical reality.
Anestesiologia 2007; 30 (Supl 1): 101–7.
12. Bisri T. Dasar-Dasar Neuroanestesi. Bandung:
Saga Olahcitra; 2011.
13. Turner JM. Some general consideration in
neuroanesthesia. Dalam: Matta BF, Menon
DK. Turner JM. penyunting. Textbook of
neuroanesthesia and critical Care. London:
Greenwich Medical Media LTD; 2000, 171–9.
14. Puspitasari F, Harimurti GM. Hyperviscosity
in cyanotic congenital heart disease. Review
article. Jurnal Kardiologi Indonesia 2010; 31(1): 41–7.
15. Hill L, Gwinnutt C. Cerebral blood flow and intracranial pressure. Update in Anesthesia
2007.
16. Sakabe T, Bendo A. Anesthetic management of
head trauma. Dalam: Newfield P, Cottrell JE.
prnyunting. Handbook of neuroanesthesia.
Edisi ke–4. Philadelphia: Lippincott Williams
& Wilkins; 2007, 91–110.
17. Tomiyama Y, Brian JE, Todd MM. Plasma
viscosity and cerebral blood flow. Am J
Physiol Heart Circ Phisiol 2000; 279 (4):
1949–54.
18. Rose SS, Shah AA, Hoover DR, Saidi P.
Cyanotic congenital heart disease with
symptomatic erythrocytosis. J Gen Intern Med
2007; 22 (12): 1775–77.
19. De Filippis AP, LawK, Curtin S, Eckman JR.
Blood is thicker than water: the management of
hyperviscosity in adults with cyanotic
congenital heart disease. Cardiol Rev 2007; 15
(1): 31–4.
20. Diriger MN, Scalfani MT, Videen TO, Dhar R,
Powers WJ. Effect of mannitol on cerebral
blood volume in patients with head injury. Neurosurgery 2012; 70 (5): 1215–8.
177
Mannitol untuk Hipertensi Intrakranial pada Cedera Otak Traumatik:
apakah masih diperlukan?
Dewi Yulianti Bisri
Bagian Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RS. Hasan Sadikin–Bandung
Abstrak
Angka kejadian cedera otak traumatika (COT) masih cukup tinggi berkisar 1,4 juta pertahun dengan angka
kematian 15–20%. Peningkatan tekanan intrakranial (TIK) sangat sering terjadi setelah COT yang dihubungkan
dengan angka mortalitas dan morbiditas. Terapi hipertensi intrakranial harus dimulai bila tekanan intrakranial 20 mmHg atau lebih, karena makin tinggi kenaikan tekanan intrakranial makin tinggi mortalitas. Komplikasi
peningkatan TIK adalah terjadinya iskemia dan herniasi otak. Pada guideline terapi hipertensi intrakranial
dikenal first-tier therapy dan second-tier therapy. First-tier therapy adalah drenase cairan serebrospinalis,
hiperventilasi sedang mencapai PaCO2 30–35 mmHg, dan pemberian osmotik diuretik mannitol. Mannitol
mampu menurunkan volume otak dan TIK, mengurangi viskositas darah, meningkatkan aliran darah otak,
sehingga akan memperbaiki pasokan oksigen. Peningkatan deformabilitas eritrosit akan membantu menurunkan
TIK. Akan tetapi, Cochrane systematic review menemukan tidak cukup data untuk membuat rekomendasi
penggunaan mannitol untuk pengelolaan pasien cedera otak traumatik.Terapi diuretik dengan mannitol 0,25–1
g/kg diinfuskan dalam waktu lebih dari 10 menit sampai 20 menit dan diulang setiap 3–6 jam. Osmolaritas
plasma harus dipantau dan tidak boleh lebih dari 320 mOsm/L. Efek akan dimulai pada menit ke 15–30 setelah
pemberian dan menetap 90 menit sampai 6 jam. Simpulannya adalah karena dari guideline Brain Trauma Foundation yang menyebutkan bahwa mannitol digunakan untuk first-tier therapy, maka pada pekerjaan sehari-
hari dalam mengelola pasien cedera kepala berat dengan hipertensi intrakranial kita tetap memberikan terapi
mannitol.
Kata kunci: cedera otak traumatik, hipertensi intrakranial, mannitol, osmotik diuretik.
JNI 2013;2(3): 177–87
Mannitol for Intracranial Hypertension in Traumatic Brain Injury: is it still needed?
Abstract
The incidence of traumatic brain injury (TBI) remains high, about 1.4 million per year with a mortality rate of
15–20%. Increased intracranial pressure (ICP) is very common after TBI. Increased ICP is associated with
incidence of mortality and morbidity. Intracranial hypertension therapy should be initiated when the ICP is 20
mmHg or more, as higher increase in ICP will increase mortality. Complications of elevated ICP include brain
ischemia and brain herniation. Intracranial hypertension treatment guidelines include first-tier and second-tier
therapy. First-tier therapy is cerebrospinal fluid drainage, hyperventilation, achieving PaCO2 30–35 mmHg, and
osmotic diuretic: mannitol administration. Mannitol can reduce brain volume and ICP, reduce blood viscosity, improve cerebral blood flow, therefore improving the supply of oxygen. Increased erythrocyte deformability will
help to reduce ICP. However, the Cochrane systematic review found insufficient data to make recommendations
on the use of mannitol for the management of TBI patients. Diuretic therapy with mannitol 0.25 to 1g/kg
infused in just over 10 minutes to 20 minutes and repeated every 3–6 hours. Plasma osmolarity should be
monitored and should not be more than 320 mOsm/L. Effect will begin 15–30 minutes after administration and
settled 90 minutes to 6 hours. Brain Trauma Foundation guidelines states that mannitol is used as first-tier
therapy, therefore we administer manitol as part of management of patients with severe head injury with
intracranial hypertension.
Keywords: intracranial hypertension, mannitol, osmotic diuretic, traumatic brain injury
JNI 2013;2(3): 177–87
178 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
I. Pendahuluan
Angka kejadian cedera otak traumatik (COT) masih
cukup tinggi berkisar 1,4 juta pertahun dengan
angka kematian 15–20% pada populasi usia 5–35
tahun dan 1% pada dewasa muda. Di United
Kingdom setiap tahunnya hampir mendekati 1,4
juta orang mengalami cedera otak traumatik.
Sekitar 3500 pasien yang mengalami cedera otak
traumatik dilakukan perawatan di ruang perawatan
intensif (intensive care unit/ICU), dengan angka
kematian 23% pada cedera kepala traumatik berat
yang telah dilakukan resusitasi.1
Peningkatan tekanan intrakranial (TIK) sangat
sering terjadi setelah terjadinya cedera otak
traumatik yang erat dihubungkan dengan angka
mortalitas dan morbiditas. Pada periode setelah
terjadinya cedera otak traumatik dapat terjadi
hipertensi intrakranial, hipotensi sistemik, hipoksia,
hiperpireksia, hipokapnia dan hipoglikemia dimana
parameter ini dapat digunakan sebagai prediksi
memburuknya outcome setelah terjadinya cedera
otak traumatik.1-4
Salah satu kunci terapi untuk penatalaksanaan
edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial (hipertensi intrakranial) adalah terapi hiperosmolar.
Terapi hiperosmoler terutama diindikasikan untuk
hipertensi intrakranial akut. Larutan hiperosmoler
yang digunakan untuk terapi hipertensi intrakranial
adalah mannitol dan hipertonik salin. Mannitol 20%
merupakan suatu osmotik diuretik yang sering
digunakan sebagai terapi hipertensi intrakranial,
namun adanya beberapa data yang menunjukkan
nilai signifikan terhadap kerugian yang ditimbulkan
oleh pemberian mannitol maka direkomendasikan
penggunaan hipertonik salin sebagai pilihan lain.1-5
Kompartemen intrakranial setelah cedera terdiri
dari otak, cairan serebrospinal, darah dan dalam
kasus tertentu, lesi massa patologik. Volume dalam
tulang tengkorak yang kaku ini menghasilkan suatu
tekanan, yaitu tekanan intrakranial. Pentingnya
pengukuran TIK pada pasien cedera kepala berat
sangat ditekankan. Pertama, merupakan alat pantau
untuk identifikasi dini penambahan lesi massa pada
pasien yang paralisis dan disedasi, dimana
pemeriksaan neurologik dibatasi pada ukuran dan
respons pupil. Kedua, dapat mengukur tekanan
perfusi otak (cerebral perfusion pressure/CPP) dari rumus CPP=MAP–TIK. Walaupun banyak protokol
klinis ditujukan pada target CPP, tapi ada bukti
yang menunjukkan bahwa TIK merupakan faktor
independen untuk outcome. Sejumlah penelitian
retrospektif telah mengidentifkasi TIK 20–25
mmHg sebagai suatu faktor pemisahan antara
pasien dengan kemungkinan outcome baik atau
buruk. Nilai ini secara empirik sebagai satu ambang
patologik dan usaha tindakan harus dilakukan untuk menurunkan TIK dibawah limit ini.1-5
Iskemia serebral adalah faktor cedera sekunder
yang paling penting yang mempengaruhi outcome
setelah COT dan untuk mencegah hal tersebut,
pemeliharaan CPP menjadi pengelolaan sentral
pasien COT. Bukti pertama bahwa
mempertahankan CPP diatas target adalah
menguntungkan berasal dari penelitian Rosner dkk,
yang menunjukkan perbaikan bila CPP
dipertahankan >70 mmHg. Walaupun penelitian ini
bukan randomized clinical trial (RCT), tapi menimbulkan perubahan paradigma dalam
pengelolaan COT dan 70 mmHg telah diadopsi
sebagai target CPP pada Brain Trauma Foundation
(BTF) guidelines yang pertama yang dipublikasikan
tahun 1996.Walaupun peningkatan CPP merupakan
jalan yang berguna untuk meningkatkan pasokan
oksigen ke otak, tetapi tetap sesuatu yang harus
diperhitungkan.1
Hilangnya autoregulasi vaskuler pada otak yang
cedera adalah keadaan yang umum terjadi pada
COT dan menyebabkan disosiasi antara aliran darah
otak (cerebral blood flow/CBF) dan keperluan metabolik. Dalam keadaan ini, peningkatan CPP
dapat menimbulkan penambahan diameter
pembuluh darah, meningkatkan volume darah otak
(cerebral blood volume/CBV) dan TIK.
Peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler
serebral dapat menimbulkan edema vasogenik,
yang juga akan meningkatkan TIK. Suatu
pendekatan alternatif adalah Protokol Lund, yang
menyarankan mengurangi target CPP ke level 50
mmHg untuk menghindari iskemia tapi juga tidak
menimbulkan cedera lebih lanjut. Lebih jauh lagi, menaikkan MAP dengan cairan dan inotrop untuk
mempertahankan CPP dihubungkan dengan
komplikasi kardiorespirasi. Target CPP 70 mmHg
dibandingkan dengan 50 mmHg menunjukkan
meningkatnya asupan cairan, inotropik, dan
penggunaan monitoring invasif dan 5 kali
terjadinya komplikasi ARDS. Jelas ada
keseimbangan antara perbaikan pasokan oksigen
ke otak dan menghindari komplikasi dari kenaikan
MAP. Situasi menjadi sulit dengan adanya
kenyataan bahwa setelah COT ada heterogenitas
metabolik dalam otak yang telah cedera, dimana beberapa daerah mungkin iskemia pada nilai CPP
dimana secara umum mencukupi. Baru-baru ini,
pada BTF guideline 2007 target CPP adalah 60
mmHg, jangan kurang dari 50 mmHg karena ada
resiko iskemia otak, tapi jangan lebih dari 70
mmHg karena ada resiko terjadinya ARDS. 1
Tekanan intrakranial dan CPP harus dikendalikan
melalui sejumlah cara, termasuk mengurangi
179 Mannitol untuk Hipertensi Intrakranial pada Cedera Otak
Traumatik: apakah masih diperlukan?
keperluan metabolik dengan menggunakan sedasi, hiperventilasi, terapi hiperosmoler, hipotermia, dan
pembedahan.
II. Patofisiologi Hipertensi Intrakranial
Cedera kepala merupakan penyebab utama
kematian dan kecacatan pada kelompok usia muda.
Angka terbesar kejadian cedera kepala disebabkan
oleh kecelakaan lalu lintas. Cedera kepala atau
cedera otak merupakan trauma yang paling serius
dan mengancam jiwa. Oleh karena itu, diperlukan
terapi yang cepat dan tepat untuk mendapatkan
outcome yang baik. Kerusakan otak pascatrauma ditentukan oleh kombinasi cedera primer dan
cedera sekunder.2,4,6
Cedera primer adalah cedera yang terjadi ketika
terjadinya trauma. Cedera primer merupakan
kerusakan yang diakibatkan oleh trauma mekanik
langsung dan aselerasi-deselerasi pada tulang
kepala yang dapat menimbulkan fraktur tulang
kepala, robekan difus, robeknya pembuluh darah
atau kerusakan neuron, akson, dendrit dan lesi
intrakranial pada jaringan otak. Cedera primer
akibat kekuatan mekanik pada tulang kepala dan
otak pada saat trauma, menyebabkan terjadinya cedera otak fokal atau difus. Cedera otak difus
dibagi atas dua kategori yaitu brain concussion dan
diffuse axonal injury (DAI). Brain concussion
adalah hilangnya kesadaran yang berakhir < 6 jam,
sedangkan DAI adalah koma traumatika yang
berakhir > 6 jam. Cedera otak fokal ada beberapa
tipe yaitu brain contusion, Epidural hematoma,
Subdural hematoma, intraserebral hematoma.
Cedera primer sudah terjadi ketika pasien dilihat
oleh tenaga medis/paramedis, karena itu cedera
primer tidak dapat dikurangi. 2,4,6
Sebaliknya dari cedera otak primer, cedera otak
sekunder berkembang sepanjang waktu dalam
menit, jam, atau hari dari cedera primer yang
mungkin terjadi pada periode perioperatif, sehingga
menimbulkan kerusakan pada jaringan saraf.
Penyebab cedera sekunder dapat sistemik atau
intrakranial. Pencetus umum dari cedera sekunder
adalah hipoksia serebral dan iskemia. Penyebab
sistemik adalah hipoksemia, hiperkapnia, arterial
hipotensi, anemia, hipoglikemia, hiponatremia, dan
imbalans osmotik, hipertemia, sepsis, koagulopati,
hipertensi. Cedera sekunder khas dengan adanya kaskade kompleks dari perubahan molekuler dan
biokimia yang membawa ke arah neuroinflamasi,
edema otak, dan kematian sel otak yang lambat.
Hipoksia dan hipotensi merangsang dan
mengekalkan iskemia serebral serta cedera
reperfusi, merupakan prediktor independen
terjadinya efek buruk setelah cedera kepala. Cedera
sekunder disebabkan oleh hal-hal berikut: a)
disfungsi respirasi (hipoksemia, hiperkapnia), b) ketidakstabilan kardiovaskuler (hipotensi, curah
jantung yang rendah), c) peningkatan tekanan
intrakranial, serta d) kekacauan biokimia. 2,4,6
Peningkatan TIK >20 mmHg memegang peranan
utama untuk perburukan status neurologik melalui
gangguan perfusi otak. Dalam usaha mengurangi
intensitas dan lama peningkatan TIK, infus
mannitol telah direkomendasikan sebagai first-line
agent selama bertahun-tahun. Meningkatnya
ketertarikan penggunaan larutan salin hipertonik
pada setting klinis, merupakan tantangan bagi penggunaan mannitol. Efektivitas mannitol
terhadap mortalitas belum jelas, sebagaimana
diketahui dari review Cochrane. Menariknya, ada
keterbatasan penelitian RCT yang membandingkan
mannitol dan salin hipertonik tentang
kemampuannya menurunkan TIK. Pada beberapa
penelitian, volume infus tidak ekuimolar antara 2
cara pengobatan. Disebabkan karena besarnya
pengerutan otak bergantung pada besarnya gradien
antara plasma dan kompartemen jaringan otak,
maka perbandingan tentang efektivitas mannitol
dan salin hipertonik dalam mengurangi TIK sulit diinterpretasi. Masalah ini di alamatkan pada 2
penelitian crossover RCT, yang menunjukkan lebih
efektif pada TIK setelah infus salin hipertonik
dibanding mannitol. Pada 2 penelitian, laporan
lebih lama waktu berlangsungnya penurunan TIK
setelah salin hipertonik dibanding mannitol, akan
tetapi, kombinasi salin hipertonik dengan larutan
HES 6% atau dengan larutan dextran 6%.7,8
Herniasi transtentorial (HTT) adalah suatu
sindroma klinis yang terdiri dari dilatasi pupil dan
penurunan level kesadaran. Pada pasien dengan pemantauan TIK, HTT kebanyakan terjadi pada
pasien dengan peningkatan TIK, akan tetapi, dapat
juga terjadi pada pasien dengan TIK normal atau
rendah. HTT dapat juga didefinisikan secara
anatomi atau radiologik sebagai protrusi lobus
temporal medial melalui tentorium serebri, dengan
akibat penekanan batang otak, saraf kranial, dan
struktur pembuluh darah intrakranial utama. Kedua
sindroma HTT (tanpa atau dengan kenaikan TIK)
dan peningkatan TIK akut yang terus menerus
adalah satu emergensi medis yang memerlukan
tindakan segera dan efektif. Mortalitas akibat TTH adalah tinggi, tapi terapi medikal dan bedah yang
agresif dapat menyelamatkan nyawa dan pemulihan
neurologik yang berarti. Pengelolaan medikal pada
pemulihan TTH dan terapi peningkatan TIK telah
ditujukan pada beberapa intervensi termasuk
hiperventilasi, penekanan metabolik, posisi pasien,
dan obat hiperosmoler. Tujuan intervensi ini untuk
menurunkan volume isi ruangan intrakranial
termasuk CSF, darah, dan air otak dengan variasi
180 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
mekanisme untuk mengakomodasi lesi patologik. Obat hiperosmoler merupakan cara terapi utama
dalam pengelolaan peningkatan TIK dan TTH.
Obat hiperosmoler seperti mannitol dan salin
hipertonik meningkatkan osmolaritas serum tapi
dikeluarkan dari otak karena adanya sawar darah
otak, menimbulkan perbedaan osmotik, dan air
didorong keluar dan mengurangi volume otak.9
Walaupun muncul bukti bahwa HS aman dan
efektif untuk terapi TTH, mekanisme kerja yang
mendasarinya masih perlu dijelaskan. Tambahan
pertanyaan sekitar peran diuresis dalam pengelolaan TIK dengan cairan hipertonik,
mengarah kepada pertimbangan tentang
penggunaan terapi hipertonik, mannitol dan HS,
pada pasien dengan fungsi ginjal yang baik.9
III. Brain Trauma Foundation Guideline untuk
Pengelolaan Hipertensi Intrakranial
Hipertensi intrakranial terkait erat dengan angka
mortalitas sehingga berbagai cara dilakukan untuk
menurunkan hipertensi intrakranial, mulai tindakan
medis hingga dengan menggunakan obat-obatan.
Suatu penelitian retrospektif telah mengemukakan
bahwa apabila tekanan intrakranial >20–25 mmHg merupakan faktor yang akan mempengaruhi baik
buruknya outcome pasien. 1-5
Hipertensi intrakranial setelah cedera kepala berat
(CKB) terjadi pada 50–64% pasien yang koma
akibat CKB. Setelah evakuasi hematoma
intrakranial, hipertensi intrakranial masih terjadi
pada 50–70% pasien. Kejadian hipertensi
intrakranial lebih besar setelah evakuasi hematoma
intraserebral (71%) dibandingkan dengan setelah
evakuasi hematoma epidural (39%). Hubungan
antara beratnya hipertensi intrakranial dengan outcome yang buruk adalah bila TIK <15 mmHg
77% outcome baik, bila TIK >15 mmHg hanya
43%. Bila TIK <25 mmHg mortalitas 15%, dan bila
TIK >25 mmHg, mortalitas 69%. TIK 0–20
mortalitas 19%. TIK 21–40 mortalitas 28%, TIK
41–80 mortalitas 79%.6
Terapi hipertensi intrakranial harus dimulai bila
tekanan intrakranial 20 mmHg atau lebih, karena
makin tinggi kenaikan tekanan intrakranial makin
tinggi mortalitas. Komplikasi peningkatan tekanan
intrakranial adalah terjadinya iskemia otak
(CPP=MAP–TIK) dan herniasi otak. Pada guideline terapi hipertensi intrakranial dikenal first-tier
therapy dan second-tier therapy. First-tier therapy
dan second-tier therapy dilakukan setelah
dilakukan penguasaan jalan nafas dan tekanan
darah, lalu terapi dilanjutkan untuk mengendalikan
hipertensi intrakranial. Pengelolaan hipertensi
intrakranial merupakan suatu hal yang krusial
karena tekanan perfusi otak (cerebral perfusion pressure/CPP) langsung berhubungan dengan dua
unsur yaitu tekanan darah rata-rata dan tekanan
intrakranial.4
Pada tahun 1996 Brain Trauma Foundation (BTF)
mempublikasikan guidelines bahwa CPP
dipertahankan pada tekanan >70 mmHg, dengan
target untuk meningkatkan penghantaran oksigen
menuju otak. Pada BTF guideline tahun 2007,
target CPP adalah 50–70 mmHg. Tidak boleh <50
mmHg karena ada bahaya iskemia otak, tapi tidak
boleh >70 mmHg karena ada ancaman terjadinya acute respiratory distress syndrome (ARDS).4-5
Berbagai manuver dan obat digunakan untuk
menurunkan tekanan intrakranial. Sebagai contoh,
pemberian diuretik, hiperventilasi, pengendalian
tekanan darah sistemik digunakan untuk
mengurangi edema serebral dan brain bulk, dengan
demikian menurunkan tekanan intrakranial. Pada
pasien dengan hipertensi intrakranial harus
dilakukan hal-hal berikut:4
Pasang monitor TIK
Pertahankan Tekanan Perfusi Otak 50–70 mmHg.
• Terapi First-tier: drenase ventrikel (bila tersedia), mannitol 0,25–1 g/kg (dapat diulang
bila osmolaritas serum <320 mOsm/L dan pasien euvolemik), hiperventilasi untuk
mencapai PaCO2 30–35 mmHg.
• Terapi Second-tier: Hiperventilasi untuk mencapai PaCO2 <30 mmHg (dianjurkan
dipasang monitor SJO2, AVDO2, dan atau
CBF), dosis tinggi barbiturat, hipotermia,
terapi hipertensif, kraniektomi dekompresif.
Drenase cairan serebrospinal dilakukan apabila
diperlukan. Penarikan cairan serebrospinal
dilakukan sebanyak 3-5cc, dilakukan dengan
lambat, dan penarikan cairan serebrospinal secara
cepat tidak direkomendasikan. Tindakan
hiperventilasi harus dilakukan dengan pemasangan monitor endTidal CO2. Hiperventilasi yang
direkomendasikan adalah hiperventilasi sedang
dengan tujuan mencapai PaCO2 30-35 mmHg.
Hiperventilasi profilaksis sekarang sudah tidak
direkomendasikan lagi pada guideline tersebut pada
24 jam pertama setelah terjadinya cedera otak
traumatika. Tujuan dilakukannya hiperventilasi
pada keadaan hipertensi intrakranial adalah
menurunkan TIK dan memperbaiki CPP. Mannitol
dianggap terapi hiperosmolar standard dan
merupakan suatu rekomendasi untuk terapi first tier
sebagai first line hiperosmolar. 4
Pemberian dosis tinggi barbiturat dapat dilakukan
sebagai terapi hipertensi intrakranial. Dosis tinggi
181 Mannitol untuk Hipertensi Intrakranial pada Cedera Otak
Traumatik: apakah masih diperlukan?
barbiturat sering juga disebut sebagai koma barbiturat. Pemberian barbiturat bertujuan memblok
efluks K, Na, dan kalsium, pembentukan radikal
bebas, menghambat terjadinya kejang dan
menurunkan tekanan intrakranial. Untuk
melakukam pemberian dosis tinggi barbiturat dapat
dilakukan dengan cara:
• Eisenberg Pentobarbital Protocol: Loading dose pentobarbital 10 mg dalam 10 menit atau
5 mg/kg/jam untuk 3 jam, dan dosis rumatan 1
mg/kg/jam.
• Thiopental: loading dose 10–20 mg/kg bolus perlahan-lahan dilanjutkan dengan 3–5
mg/kg/jam.
• Thiopental: loading dose 5–11 mg/kg dilanjutkan dengan 4–6 mg/kg/jam.
• Pentobarbital dosis awal 10 mg/kg berikan dalam waktu 30 menit dilanjutkan dengan
bolus 5 mg/kg/jam selama 3 jam dan
kemudian infus 1–3 mg/kg/jam.
• Propofol: loading dose 1–2 mg/kg dilanjutkan dengan 2–10 mg/kg/jam.
Perlu diperhatikan dalam pemberian propofol, dapat menimbulkan propofol infusion syndrome.2
Sindroma infus propofol sangat jarang terjadi, akan
tetapi, merupakan sindroma yang mematikan akibat
dari metabolik asidosis, miokardiopati akut, dan
miopati skelet akibat pemberian infus propofol
yang lama (>48 jam) dosis besar (>5 mg/kg/jam).
Hal ini disebabkan karena kegagalan metabolisme
asam lemak bebas (free fatty acid/FFA) sekunder
dari inhibisi masuknya FFA ke mitokondria dan
tempat khusus pada rantai respirasi. 2,10
Hipotermia yang dianjurkan menurunkan suhu hingga 35OC untuk mengurangi hipertensi
intrakranial. Hipotermia harus dilakukan sesegera
mungkin, bertolak belakang dengan rewarming
yang harus dilakukan secara lambat. Hipotermia
bertujuan untuk menurunkan laju metabolisme dan
selanjutnya pengosongan energi; mengurangi
pelepasan neurotransmitter eksitotoksik; mencegah
kerusakan sawar darah-otak dan selanjutnya
mengurangi pembentukan edema serebral;
mengurangi produksi radikal oksigen bebas akibat
gangguan fungsi mitokondria dan aktivasi sel-sel
inflamasi termasuk mikroglia, reaksi anti-inflamasi lain; penekanan jalur kematian sel tertentu atau
mekanisme upregulation kelangsungan hidup sel. 2,4,11
Dekompresif kraniektomi merupakan terapi
alternatif lain yang dapat dilakukan pada pasien
dengan keadaan edema otak difus untuk
memaksimalkan terapi secara medikasi. Menurunkan salah satu isi dari pada kepala untuk
menurunkan tekanan intrakranial. Secara luas dapat
dilakukan kraniektomi bilateral frontotemporal,
duratomi dan duraplasti mungkin dapat dilakukan.
Dekompresi kraniektomi dapat menurunkan
tekanan intrakranial, namun tidak menjamin
outcome neurologik. 2,4
IV. Osmotik Diuretik
Penurunan tekanan intrakranial yang cepat dapat
dicapai dengan pemberian diuretik. Dua macam
diuretik yang umum digunakan yaitu osmotik diuretik mannitol dan loop diuretik furosemid.
Terapi hiperosmoler digunakan untuk terapi pasien
dengan edema serebral dan hipertensi intrakranial.
Larutan ini digunakan untuk terapi hipertensi
intrakranial melalui penambahan volume plasma
dengan optimalisasi hematokrit, viskositas darah,
volume darah serebral, dan adanya perbedaan
osmolaritas dapat menarik air dari jaringan otak ke
dalam pembuluh darah otak sehingga akan
mengurangi volume total otak.
Osmolaritas normal pada serum adalah 290
mOsm/L dan perbedaan osmotik sawar darah otak yang normal adalah 3 mOsm/L. Perbedaan ini
dipertahankan oleh sawar darah otak. Peningkatan
osmolaritas darah sebanyak 10 mOsm/L akan
memindahkan air sebanyak 100–500 mL dari
jaringan otak. Osmolaritas serum harus
dipertahankan antara 300–315 mOsm/L.
Osmolaritas di bawah 300 mOsm/L tidak akan
efektif, tetapi di atas 320 mOsm/L dapat terjadi
disfungsi renal dan neurologis. Bila osmolaritas
serum meningkat lebih dari 320 mOsm/L, semua
cairan hipertonik harus dihentikan dan bila perlu beri 2% dextrose–0,45% NaCl secara hati-hati
untuk menurunkan osmolaritas serum dan
menurunkan komplikasi hiperosmotik.4,6
Terapi hiperosmoler merupakan kunci intervensi
untuk pengelolaan edema serebral dan peningkatan
TIK setelah COT. Terutama indikasi untuk
peningkatan TIK secara akut karena terapi
hiperosmoler mempunyai efek yang cepat.
Mannitol, suatu osmotik diuretik, mempunyai efek
penambahan volume plasma dan memperbaiki
reologi darah disebabkan penurunan hematokrit.
Mannitol juga sebagai osmotic gradient antara plasma dan sel otak dan mengurangi edema otak
otak dengan menarik air di daerah dengan sawar
darah otak intact ke dalam intravaskular.
Pengulangan pemberian mannitol merupakan
masalah karena osmolaritas serum > 320 mOsm/L
dihubungkan adanya efek samping renal dan
neurologik. Kemungkinan komplikasi lainnya
182 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
adanya pengosongan volume intravaskuler, hipotensi, hiperkalemia, dan kemungkinan rebound
peningkatan TIK. 1
Obat hipertonik harus diberikan secara hati-hati
pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler. Pada
pasien ini, peningkatan selintas volume
intravaskuler dapat memicu gagal jantung kiri.
Furosemid mungkin lebih baik untuk mengurangi
tekanan intrakranial pada pasien ini. Penggunaan mannitol jangka panjang dapat menyebabkan
dehidrasi, gangguan elektrolit, hiperosmolalitas,
dan gangguan fungsi ginjal. Hal ini terutama bila
serum osmolalitas meningkat diatas 320
mOsm/liter. 6
4.2 Mannitol
Mannitol digunakan oleh bedah saraf sejak tahun
1960an berkisar 3 dekade hingga saat ini. Mannitol
sangat luas digunakan untuk mengontrol hipertensi
intrakranial pada cedera otak traumatik. Mannitol
efektif untuk mengontrol hipertensi intrakranial
dengan dosis 0,25–1 gr/kgbb. Mannitol dosis
tunggal memiliki keuntungan karena sangat efektif
bila digunakan pada prosedur diagnostik (CT-scan)
atau untuk intervensi (pengangkatan tumor otak). Mannitol juga dapat digunakan dalam jangka waktu
lama sebagai terapi mengendalikan hipertensi
intrakranial. 5
Mannitol diberikan secara bolus intravena dengan
dosis 0,25–1 gr/kg BB. Bekerja dalam waktu 10–15
menit dan efektif kira-kira selama 2 jam. Mannitol
tidak menembus sawar darah-otak yang intact. Dengan peningkatan osmolalitas darah relatif
terhadap otak, mannitol menarik air dari jaringan
otak ke dalam darah. Bila sawar darah-otak rusak,
mannitol dapat memasuki otak dan menyebabkan
rebound kenaikan tekanan intrakranial sebab ada
suatu perbedaan osmotik yang terbalik dimana
osmolaritas jaringan otak lebih tinggi dibanding
plasma sehingga air akan masuk ke dalam jaringan
otak. Akumulasi mannitol dalam otak terjadi pada
dosis besar dan pengulangan pemberian. 6,12,13
Mannitol dapat menyebabkan vasodilatasi, yang
bergantung besarnya dosis dan kecepatan
pemberian. Vasodilatasi akibat mannitol dapat
menyebabkan peningkatan volume darah otak dan
tekanan intrakranial secara selintas yang simultan
dengan penurunan tekanan darah sistemik. Karena
mannitol pertama-tama dapat meningkatkan
tekanan intrakranial, maka harus diberikan secara
perlahan (infus 20 menit) dan dilakukan bersama dengan manuver yang menurunkan volume
intrakranial (misalnya hiperventilasi).6
Mannitol telah digunakan secara luas dan
direkomendasikan dalam guideline cedera otak,
akan tetapi, ada beberapa efek buruk yang
dihubungkan dengan pemberian mannitol yaitu hipovolemia dan hipotensi. Bukti yang muncul
mendukung bahwa salin hipertonik mempunyai
keuntungan yang sebanding dengan mannitol dalam
mengurangi TIK dengan beberapa efek samping.
Hetastarch (HS) telah dievaluasi dalam penelitian
eksperimental dan setting klinis, termasuk COT,
stroke iskemik, dan ICH. Kemungkinan komplikasi
dari terapi HS adalah edema paru, aritmia jantung,
hipotensi, koagulopati, hemolisis dan rebound
kenaikan TIK. Salah satu penelitian dari
Neuroscience Critical Care Unit (NCCU) telah melaporkan keberhasilan terapi TTH pada 55
pasien yang diberikan bolus salin 23,4% 30–60 cc.
Ada beberapa efek buruk yang dihubungkan dengan
terapi ini. Beberapa penelitian membuktikan
keunggulan HS dibandingkan mannitol, tetapi
penelitian klinis yang dirancang dengan baik untuk
membandingkan mannitol dan HS pada pasien
dengan krisis TIK belum pernah dilakukan. 8,12,13
Mannitol bekerja dalam mengendalikan hipertensi
intrakranial yaitu dengan cara meningkatkan CPP
sebesar 18% dan penurunkan hipertensi intrakranial
sebesar 22% tanpa ada gangguan hemodinamik. 12
Mannitol menimbulkan perubahan reologi darah
dan peningkatan curah jantung, yang berguna untuk
memperbaiki oksigenasi otak dan menimbulkan
vasokontriksi arteri serebral dan sebagai
konsekuensinya akan menyebabkan penurunan
volume darah otak dan tekanan intrakranial. Selain
itu, mannitol juga dapat menimbulkan dehidrasi sedang setelah terapi hiperosmoler dengan tujuan
memperbaiki edema otak, pada dehidrasi yang berat
dapat menimbulkan keadaan hiperosmolar dan
gangguan pada ginjal. Mannitol mampu
menurunkan produksi cairan serebrospinal hingga
50% melalui Monro-Kellie serta dapat menurunkan
tekanan intrakranial dalam jangka waktu yang
lama. 12
Tabel 1. Osmolaritas dan dosis mannitol
Larutan Osmolaritas Dosis
Mannitol 15%
Mannitol 20%
1150
1400
0,5–2 gr/kg
0,25–1/2 gr/kg Dikutip dari: Castillo LB 14
Mannitol diberikan secara infus selama 15–20
menit. Selama pemberian infus mannitol terjadi
penurunan serum natrium, kalium, klorida,
bikarbonat, hemoglobin, hematokrit dan terjadi peningkatan osmolaritas serum, perubahan ini
terjadi lebih banyak sesuai dengan besarnya dosis
mannitol. 6
Osmolaritas normal pada serum 290 mOsm/lt dan
normal BBB osmotic gradient adalah 3 mOsm/L.
Gradient ini dipertahankan oleh BBB. Peningkatan
183 Mannitol untuk Hipertensi Intrakranial pada Cedera Otak
Traumatik: apakah masih diperlukan?
osmolaritas darah sebanyak 10 mOsm/L akan memindahkan air sebanyak 100–500 mL dari
jaringan otak. Serum osmolaritas harus
dipertahankan antara 300–315mOsm/L. Apabila
nilai osmolaritas kurang dari 300 mOsm/L tidak
akan efektif, akan tetapi apabila nilai osmolaritas
lebih dari 315 mOsm/L akan terjadi disfungsi renal
dan neurologis. 6
Suatu penelitian yang dilakukan pada hewan coba
anjing menunjukkan bahwa bila mannitol diberikan
dengan kecepatan 2 mL/kgbb/menit dengan dosis: 1
gr/kg terjadi peningkatan osmolaritas sebesar 40 mOsm/L, 0,75 gr/kg terjadi peningkatan 32
mOsm/L, 0,5 gr/kg terjadi peningkatan 21
mOsm/L, 0,25 gr/kg terjadi peningkatan 10
mOsm/L.
Efek mannitol yang lain adalah mengurangi
viskositas darah yang akan menimbulkan refleks
vasokonstriksi dan menurunkan TIK. Autoregulasi
viskositas ini tergantung pada intaknya
autoregulasi. Viskositas yang berkurang akan
mengakibatkan darah menjadi lebih encer dan
pengeluaran CO2 dari jaringan otak menjadi lebih
mudah. Mannitol yang bersifat osmotik diuretik mampu mengurangi produksi dari liquor cerebro
spinal (LCS). Pada daerah cedera otak, BBB
menjadi rusak, mannitol akan masuk sambil
membawa air dan meningkatkan edema otak. Efek
ini kemungkinan kecil terjadi dan lambat, akan
tetapi menjadi masalah pada pengulangan dosis
mannitol. 6,12,13
Mannitol merupakan obat terpilih dalam osmoterapi
untuk cedera otak sejak tahun 1960-an. Merupakan
obat yang mudah disiapkan dan digunakan, larutan
stabil, inert, tidak dimetabolisme, bebas melalui ginjal tanpa di reabsorpsi, dan rendah dalam
toksisitas. Efek mannitol pada SSP telah diuraikan
dengan baik, tapi mekanismenya masih belum
dimengerti dengan lengkap. Pemberian cepat
mannitol 15–20% menimbulkan efek yang sama
cepat, mencapai maksimum intensitas setelah 30–
45 menit, dan kembali ke nilai dasar setelah 2–12
jam. Osmolaritas meningkat 15–25 mOsm/L.
Koefisien refleksi sawar darah otak adalah 0,9.
Efek sistemik dan serebral ini disebabkan karena
mekanisme sirkulasi, diuretik, dan reologik.12-14
Pada infus akut 15–20% mannitol meningkatkan curah jantung dan filling pressure, dan secara cepat
tapi sementara meningkatkan tekanan arteri dan
CPP. Curah jantung meningkat 30%, meningkatkan
CBF. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
mannitol secara kuat mempengaruhi resistensi
vaskuler sistemik disebabkan efek reologiknya. Ini
meningkatkan transpor oksigen di level sistemik
dan serebral.14
Mannitol adalah scavenger radikal bebas dan mempunyai efek mikrosirkulasi yang kuat,
meningkatkan aliran darah kapiler. Efek-efek ini
telah diuraikan untuk sirkulasi serebral, dan selintas
serta berdasarkan pada peningkatan volume kapiler,
satu gambaran yang membedakan mannitol dari
molekul osmotik aktif lainnya, seperti urea dan
gliserol, yang sudah tidak digunakan lagi di klinis.14
Mannitol mengurangi TIK. Meskipun demikian,
diketahui adanya efek dual dan paradoksikal,
terutama bila ada kerusakan BBB yang nyata. Pada
konteks ini, ada resiko tinggi yang ekstrem dari suatu paradoksikal “reverse” gradient osmotik,
yang kemudian membawa ke arah peningkatan TIK
yang lambat. Satu penelitian klinis, mannitol
menimbulkan penurunan TIK 25%. Penelitian
klinis dan eksperimental menunjukkan bahwa
setelah pemberian mannitol 15%, tekanan
intrakranial menurun 5 mmHg. Pada manusia, CPP
umumnya membaik setelah pemberian mannitol.
Osmolaritas dan kadar natrium yang tinggi
mengurangi efek ini. Air ditarik dari daerah yang
normal dan iskemia. Akan tetapi, laporan klinis
menunjukkan bahwa pengulangan dosis mannitol pada pasien dengan sawar darah otak rusak dapat
menimbulkan reverse osmotic gradient dan
peningkatan TIK, dan disebut paradoxical reverse
osmotic gradient. Selanjutnya, dalam beberapa
situasi klinis, terutama bila terdapat deviasi midline,
penggunaan mannitol yang tidak terkendali akan
memperburuk deviasi disebabkan peningkatan
dalam transhemispheric pressure gradient. Hal ini
sekunder terhadap penurunan tekanan intrakranial
yang lebih besar di hemisfer yang sehat dibanding
daerah abnormal. Fenomena ini terutama terlihat pada penyakit fokal dan tidak mengubah TIK rata-
rata.12-14
Mannitol digunakan untuk mengelola hipertensi
intrakranial dengan autoregulasi yang masih utuh
dan pola hipoperfusi. Juga untuk mengelola
emergensi bedah saraf dengan massa intraserebral
yang dapat dievakuasi, dimana operasi
direncanakan akan segera dilakukan.14 Keuntungan
mannitol untuk menurunkan TIK membawa kearah
penggunaannya yang luas dalam bedah saraf sejak
tahun 1960-an. Efek klasiknya adalah efek
hiperosmotik mannitol menyebabkan pengambilan air dari otak yang edematus, akan tetapi,
mekanisme ini telah dipertanyakan berdasarkan
beberapa pengamatan berikut:
a) TIK turun sebelum terjadi penurunan
kandungan air pada substantia alba otak.
b) Ketika TIK turun secara maksimal, tidak ada
perubahan yang nyata pada kandungan air di
substansia alba.
184 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
c) TIK tetap tinggi walaupun ada pengurangan air di substansia alba dengan pemberian
albumin intravena.
Segera setelah pemberian mannitol, ada sedikit
peningkatan air di substansia alba diikuti dengan
penurunan secara bertahap dengan nilai terendah
terjadi setelah 60 menit dan levelnya secara nyata
lebih kurang daripada sebelum infus mannitol
(p<0,025). Pencatatan TIK secara simultan menunjukkan bahwa TIK turun 84% pada 11 menit
(ketika kandungan air pada substantia alba tidak
menurun). Pada 19 menit saat TIK pada titik
terendah, air pada substansia alba hanya hilang
33%. TIK kemudian naik pada menit ke 20 seraya
kandungan air pada substansia alba menurun
sampai <40%. TIK terus naik dan kandungan air
substansia alba terus menurun mencapai nilai
minimum pada 60 menit. 15
Banyak hipotesis untuk menerangkan mekanisme
penurunan TIK oleh mannitol. Salah satunya adalah
perubahan hemodinamik serebral akibat mannitol.
Mannitol telah terbukti dapat meningkatkan CPP
dan tekanan mikrosirkulasi. Penelitian oleh
Kirkpatrick dkk., mannitol meningkatkan CPP 18%
dan menurunkan TIK 21% tanpa mempengaruhi
tekanan darah arterial. Aliran velositas arteri serebri
media meningkat 15,6% dan maksimum pada akhir
infus dan kemudian menurun. Ada berbagai kemungkinan untuk menerangkan peningkatan
CBF: 1) meningkat karena meningkatnya CPP, 2)
vasodilatasi serebral, 3) perbaikan reologi yang
meningkatkan aliran. Diluar ini, reologi memegang
peran utama disebabkan karena turunnya resistensi
vaskular serebral secara nyata sekali mannitol
diinfuskan maka CBF akan meningkat, sebab itu
CPP sendiri tidak dapat menerangkan peningkatan
CBF. Bila vasodilatasi serebral merupakan
mekanisme utama dalam peningkatan CBF, maka
kemudian mannitol akan menyebabkan peningkatan TIK yang tidak selalu terlihat. Karena itu efek
utama mannitol mungkin mengurangi viskositas
yang menyebabkan peningkatan CBF dan pasokan
oksigen otak. Mekanisme autoregulasi yang intact
menyebabkan vasokonstriksi dengan penurunan
CBV dan TIK. Rosner dkk., menemukan bahwa
efek serebrovaskular mannitol lebih dalam pada
CPP yang lebih rendah dengan kemungkinan
reaktivitas vasokonstriksi yang lebih besar. Pada
CPP yang lebih rendah, ada substansial vasodilatasi
sebelum mannitol yang menyebabkan pemberian
mannitol lebih efektif menurunkan TIK melalui autoregulasi vasokonstriksi.15
Beberapa penelitian membandingkan efisiensi
mannitol dengan salin hipertonik untuk
menurunkan TIK. Banyak penelitian eksperimental
telah menemukan bahwa larutan salin hipertonik
ekuivalen dengan mannitol dalam menurunkan TIK. Freshman membandingkan 250 mL saline
7,5% dengan 250 mL mannitol 20% pada biri-biri,
keduanya menyebabkan penurunan TIK yang sama.
Vialet membandingkan mannitol 20% dengan salin
7,5% pada pasien dengan cedera kepala berat, dia
memberikan 2 mL/kgBB kedua larutan tersebut
untuk menurunkan TIK <25 mmHg. Mereka
menemukan bahwa salin hipertonik lebih baik
dibanding mannitol dalam menurunkan mortalitas.
Suarez menggunakan 30 mL saline 23,4% dan
menemukan sama efektifnya dengan 220 mL mannitol 20%. Mereka menemukan salin 23,4%
efektif sebagai rescue terapi pada pasien dengan
hipertensi intrakranial yang refrakter. Mereka
menganjurkan bahwa mannitol mungkin akan
kehilangan reputasinya oleh salin hipertonik
sebagai osmoterapi di garis depan. Paczynski dalam
review artikelnya tentang osmoterapi menguraikan
bahwa mannitol akan dicabut sebagai obat
osmoterapi ideal.15
Mannitol adalah cairan hipertonik dengan
osmolaritas 1098 mOsm/L. Diuretik merupakan
cara kedua terapi kenaikan tekanan intrakranial
dengan memberikan mannitol dan atau furosemid.
Efek utama mannitol mungkin dengan membuat
suatu perbedaan tekanan osmotik sehingga air
keluar dari intraseluler dan interstitiil dan masuk ke
intravaskuler. Mannitol lebih lambat menurunkan
tekanan intrakranial jika dibandingkan dengan
hiperventilasi. Mannitol dapat menurunkan tekanan intrakranial sebanyak 26% atau lebih dalam waktu
5 menit dan permulaan penurunan tekanan
intrakranial tidak bergantung pada adanya diuresis.
Selama infus mannitol terjadi penurunan serum
natrium, kalium, klorida, bikarbonat, haemoglobin,
hematokrit dan terjadi peningkatan osmolaritas
serum. Perubahan-perubahan ini terjadi lebih
banyak sesuai dengan besarnya dosis mannitol.
Pada pemakaian singkat misalnya di kamar operasi,
perubahan perubahan ini sudah kembali normal
begitu pasien tiba di ruang pemulihan. Pada
penggunaan yang lama, semua jenis osmotik diuretik dapat menyebabkan ketidakseimbangan
elektrolit. 6
Khasiat mannitol yang lain yaitu mengurangi
viskositas darah, yang akan menimbulkan refleks
vasokonstriksi dan menurunkan tekanan
intrakranial. Autoregulasi viskositas ini bergantung
pada autoregulasi. Juga, dengan mengurangi
viskositas darah, darah menjadi lebih encer dan pengeluaran CO2 dari jaringan otak akan lebih baik.
Demikian pula, osmotik diuretik akan mengurangi
volume cairan serebrospinal. Mannitol juga bekerja
sebagai pembersih radikal bebas. Hal ini telah
dipikirkan dalam menyebabkan ischemic brain
185 Mannitol untuk Hipertensi Intrakranial pada Cedera Otak
Traumatik: apakah masih diperlukan?
swelling. Pada daerah cedera otak, sawar darah otak menjadi rusak, mannitol akan masuk sambil
membawa air dan meningkatkan edema otak. Efek
ini kemungkinan kecil terjadi, dan terjadinya
lambat, tetapi akan menjadi masalah pada
pengulangan dosis mannitol.
Mannitol diberikan dalam konsentrasi 20%, dan
dosis bervariasi dari 0,25–1 gr/kgBB. Mannitol
diberikan perlahan-lahan selama 15–25 menit. Pada tekanan intrakranial yang menetap, mannitol dapat
diberikan dengan dosis 0,5 gr/kgBB, kemudian
diulangi bila perlu setiap 4 jam.
Masalah penggunaan Mannitol adalah:
1) Efeknya berkurang pada pengulangan dosis:
Mannitol menembus sawar darah otak yang
intact secara lambat, dan pada sawar darah otak
yang rusak akan lebih mudah menembus. Oleh
karena itu, perbedaan osmotik akan berkurang.
Selanjutnya, osmolaritas intraseluler akan
meningkat sebagai jawaban terhadap meningkatnya osmolaritas ekstraseluler dan
plasma. Dengan demikian, dibutuhkan kenaikan
plasma osmolaritas untuk mempertahankan
perbedaan tersebut.
2) Terjadi asidosis sistemik dan gagal ginjal
disebabkan peningkatan osmolaritas plasma.
Osmolaritas plasma harus diperiksa secara
reguler dan osmolaritas serum dipertahankan di bawah 320 mOsm/L untuk menghindari
komplikasi ini. Umumnya, komplikasi gagal
ginjal terjadi bila osmolaritas 350–360
mOsm/L.
3) Rebound tekanan intrakranial bila mannitol
dihentikan:
Fenomena ini sering didiskusikan, tetapi jarang
menimbulkan masalah klinik. Secara teori, bila
pengobatan mannitol dihentikan, pengurangan tiba-
tiba osmolaritas plasma dan adanya peningkatan
osmolaritas pada cairan di dalam jaringan otak akan
menyebabkan kenaikan tekanan intrakranial. Untuk
menghindari hal ini, mannitol diberikan dalam
dosis 0,25 gr/kg secara perlahan-lahan.6
4.3 NaCl hipertonis
Hipertonik salin pertama digunakan pada tahun
1988 oleh Worthley dkk., dimana salin hipertonik
digunakan pada 2 orang pasien yang tidak berespon
pada terapi mannitol. Sejak itulah hipertonik salin
direkomendasikan sebagai obat pilihan selain
mannitol untuk menurunkan hipertensi intrakranial.
NaCl hipertonik, lebih berguna pada pasien tertentu, misal hipertensi intrakranial refrakter atau
yang memerlukan pemulihan cepat dari volume
intravaskuler dan penurunan tekanan intrakranial. Kerugian utama dari NaCl hipertonik adalah
terjadinya hipernatremia. Pada suatu penelitian
pasien bedah saraf selama operasi elektif tumor
supratentorial, volume yang sama mannitol 20%
dan NaCl 7,5% dapat mengurangi brain bulk dan
tekanan cairan serebrospinal, tapi serum Na
meningkat selama pemberian NaCl hipertonik dan
mencapai puncak 150 meq/L. 6
Tabel 2. Osmolaritas dan dosis hipertonik salin
(HS)
Larutan Osmolaritas Dosis
Salin hipertonik 3%
Salin hipertonik 7,5%
Salin hipertonik 10%
Salin hipertonik 24%
1195
2560
3410
8008
1,4 ml/Kg
1,2 ml/kg
0,9 ml/kg
0,7 ml/kg
Dikutip dari: Castillo LB 14
Dosis pemberian salin hipertonik yang dianjurkan
sesuai dengan konsentrasi yang akan diberikan.
Pemberian 231 mL mannitol 20% dan 100 mL
salin hipertonik 7,45% memiliki nilai yang ekuimolar. Pemberian salin hipertonik hampir sama
dengan mannitol yaitu diberikan secara intravena
secara bolus lebih dari 20 menit. Salin hipertonik
selain digunakan sebagai terapi hipertensi
intrakranial digunakan juga untuk resusitasi pada
pasien syok.
Efek samping yang ditimbulkan oleh salin
hipertonik adalah miolisis pontin, tubular nekrosis akut, hipernatremia, edema pulmonal, rebound
edema serebral, dehidrasi, serta gangguan
koagulasi. Pada saat dilakukannya salin hipertonik
sebagai terapi harus diperhatikan mengenai
osmolaritas plasma dan kadar natrium karena
memiliki efek berbahaya.17
Tabel 3. Osmolitas dan kadar Sodium
Rentang fisiologis
Osmolalitas serum 270–295 mOsm/kg Sodium serum 136–145 mEq/kg
Level yang digunakan bila ada resiko hipertensi intrakranial
Osmolalitas serum 300–320 mOsm/kg Sodium serum 146–155 mEq/kg
Nilai yang berbahaya Osmolalitas serum 320–360 mOsm/kg Sodium serum 155–160 mEq/kg
Dikutip dari: Himmelseher.8
Larutan salin hipertonik dengan peningkatan
konsentrasi telah dimasukkan kembali ke dalam
pengelolaan pasien sejak lebih dari 20 tahun lalu, terutama untuk resusitasi pasien dengan cedera
186 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
berat dan syok perdarahan. Dalam setting eksperimental dan klinis, larutan ini menyebabkan
peningkatkan osmolaritas plasma, dengan efek yang
sebanding dengan mannitol, dan pengurangan
kandungan air sekunder terhadap peningkatan tajam
sodium plasma, suatu efek yang menetap paling
sedikit 18–24 jam. Hal ini disebabkan fakta bahwa
level adekuat dari air intraserebral dan stabilitas
sirkulasi diatur dan dipertahankan oleh hemisfer
yang cedera dan tidak cedera.11 Penggunaan larutan
salin hipertonik dengan peningkatan konsentrasi
yang progresif (3%, 5%, 7,5%, 10% dan 23,5%), osmolaritas akan meningkat secara bertahap,
sehingga memerlukan pemberian dengan volume
yang menurun.16-17
NaCl hipertonik 3% adalah larutan garam yang
memiliki osmolaritas 1026 mOsm/L dengan
kandungan natrium 513 mEq/L dan klorida 513
mEq/L. Larutan NaCl hipertonik mungkin lebih
efektif dalam menurunkan TIK dan mempunyai
efek yang lebih lama daripada mannitol. Pemakaian
NaCl hipertonik (3–7,5%) seperti halnya mannitol,
mempunyai efek osmotik pada otak, dan akan
menurunkan tekanan intrakranial. NaCl hipertonik juga menurunkan produksi cairan serebrospinal,
akan tetapi adanya efek hipernatremia berefek
buruk pada miokardium, ginjal, dan fungsi
fisiologis lainnya. Sebagai tambahan, NaCl
hipertonik memberikan proteksi sawar darah otak
dan menguntungkan untuk melawan respons
inflamasi cedera otak. Seperti halnya mannitol,
NaCl hipertonik mempunyai efek menambah
volume plasma tapi tidak berhubungan dengan efek
sebagai osmotik diuresis. Kerugian NaCl hipertonik
adalah asidosis metabolik non-anion gap, konsentrasi Na serum >160 mmol/L akan
memperburuk outcome, dan belum diketahuinya
dosis optimal (telah digunakan NaCl 3%, 5%, 7,5%
dan 23%). 6,16,17
Penggunaan salin hipertonik meningkat sebagai
alternatif pemberian mannitol. Tersedia padarentan
konsentrasi 1,7%–29,2% membuat sulit mengambil
kesimpulan, berapa dosis optimal dan konsentrasi
berapa yang diperlukan untuk mengendalikan TIK.
Salin hipertonik menimbulkan penurunan edema
serebral dengan memindahkan air keluar sel,
mengurangi tekanan jaringan dan ukuran sel menghasilkan penurunan TIK. Efek yang baik pada
kandungan air otak setelah pemberian salin
hipertonik telah ditunjukkan dengan pengurangan
pergeseran lateral pada serial CT-scan pasien COT.
Salin hipertonik memperbaiki CBF, dan secara
tidak langsung TIK, dengan menurunkan volume
sel endotel, meningkatkan diameter lumen kapiler,
dan mengurangi ukuran eritrosit sehingga akan
memperbaiki reologi darah.
Selanjutnya, salin hipertonik mempunyai keuntungan dalam mengendalikan TIK yang
refrakter terhadap mannitol. Keuntungan lain dari
salin hipertonik yang melebihi mannitol adalah
efektif sebagai volume ekspander tanpa
hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal.1
V. Apakah Mannitol masih perlu digunakan
dalam terapi hipertensi intrakranial?
Berbagai penelitian dilakukan untuk dapat
menunjukan keuntungan dan kerugian pemberian
mannitol dan salin hipertonik. Penelitian pemberian
larutan hiperosmotik ini dilakukan pada pasien ataupun hewan coba dengan cedera otak traumatika
ataupun pada tumor otak. The Brain Trauma
Foundation tahun 1997 Evidence base guideline
untuk terapi hipertensi intrakranial dengan
menggunakan mannitol 0,25–1 gr/kg sebagai dosis
efektif.
Miski dkk., melakukan penelitian yang
membandingkan mannitol 20% dengan salin
hipertonik 23,4% dengan kontrol NaCl 0,9%. Hasil
salin hipertonik lebih efektif dalam menurunkan
hipertensi intrakranial. Task pada tahun 1999 yang
merupkan gabungan dari The Brain Trauma Foundation guideline, the American Association of
Neurological Surgeons dan Join Section in
Neurotrauma and Critical Care menganjurkan
menggunakan mannitol pada hipertensi intrakranial.
Pada tahun 2008 Francony dkk., melakukan
penelitian pada manusia yang mengalami cedera
otak traumatika berat dan stroke. Pada penelitian ini
dibandingkan pemberian mannitol 20% dengan
salin hipertonik 7,45%. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa mannitol lebih menurunkan
TIK, lebih mengontrol TIK dibandingkan dengan salin hipertonik.
Battison dkk. di tahun 2005 membandingkan
pemberian mannitol 20% dan salin hipertonik 3%
pada pasien dengan cedera otak traumatik berat
dengan menggunakan parameter penurunan tekanan
intrakranial dan kontrol tekanan intrakranial.
Penelitian ini menunjukan hasil tidak berbeda
nyata. Bhardwaj A melakukan penelitian pada
cedera kepala berat yang diberikan mannitol 20%
dan salin hipertonik 3% menunjukan hasil
hipernatremia dan kejadian miolisis pontin pada
salin hipertonik 3%. Murphy dkk., melakukan suatu penelitian yang membandingkan antara
pemberian mannitol dan salin hipertonik
menimbulkan rebound edema cerebri.
VI. Simpulan
Berdasarkan The Brain Trauma Foundation
mannitol tetap digunakan sebagai terapi utama
187 Mannitol untuk Hipertensi Intrakranial pada Cedera Otak
Traumatik: apakah masih diperlukan?
dalam pengelolaan hipertensi intrakranial, tetapi salin hipertonik dapat digunakan sebagai obat
pilihan atau alternatif pada hipertensi intrakranial
yang menetap setelah pemberian mannitol.
Setelah operasi pengangkatan space-occupying
lessions (SOL) obat yang paling banyak digunakan
untuk menurunkan tekanan intrakranial adalah
mannitol. Hampir 83% RS pusat di US
menggunakan osmotik diuretik pada lebih dari 50%
pasien dengan cedera kepala berat. Satu penelitian
di UK menunjukkan bahwa semua pusat bedah
saraf menggunakan mannitol untuk pasien dengan kenaikkan TIK. Sejumlah penelitian gagal
menunjukkan efektifitas mannitol dalam
menurunkan mortalitas pada cedera kepala. Akan
tetapi, efektifitas mannitol untuk cedera kepala
pada kondisi kritis sudah pasti tanpa membutuhkan
penelitian RCT lagi.
Daftar Pustaka
1. Helmy A, Vizcaychipi M, Gupta AK. Traumatic brain injury: intensive care management. Br J Anaesth 2007; 99:32–42
2. Tolani K, Bendo AA, Sakabe T. Anesthetic management of head trauma. Dalam: Niewfield P, Cottrell JE, penyunting. Handbook of Neuroanesthesia, edisi ke-5. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;2012,98–114.
3. Manoach S, Labaze GI, Charchaflieh JG.
Traumatic brain injury, stroke, and brain death. Dalam: Niewfield P, Cottrell JE, penyunting. Handbook of Neuroanesthesia, edisi ke-5. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;2012,418–36.
4. Bendo AA. Perioperative management of adult patient with severe head injury. Dalam: Cottrell JE, Young WL, penyunting. Cottrell and Young’s Neuroanesthesia. Philadelphia: Mosby Elsevier;2010,317–25.
5. Bullock MR, Povlishock JT. Journal of Neurotrauma 2007; vol 24, supp 1.
6. Bisri T. Pengelolaan Neuroanestesia dan Critical Care: Cedera Otak Traumatik. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran;2012,143–66,187–208.
7. Francony G, Fauvage B, Falcon D, Canet C,
Dilou H, Lavagne P, dkk. Equimolar doses of mannitol and hypertonic saline in the treatment
of increased intracranial pressure. Crit Care Med. 2008;36:795–800.
8. Seppelt I. Intracranial hypertension after
traumatic brain injury. Indian J Crit Care Med. 2004;8(2):120–26.
9. Hirsch KG, Spock T, Koenig MA, Geocadin
RG. Treatment of elevated intracranial pressure with hyperosmolar therapy in patients with renal failure. Neurocrit Care. 2012;17:388–94
10. Davies NJH, Cashman JN. Lee’s synopsis of
anesthesia, edisi ke-13. United Kingdom: Elsevier Butterworth Heinemann;2006:161
11. Polderman KH. Mechanisms of action,
physiological effect, and complication of hypothermia. Crit Care Med 2009;37(S):186–202.
12. Wakai A, Roberts IG, Schierhout G. Mannitol for acute traumatic brain injury (Review). The Cochrane Library 2008, Issue 4
13. Myburgh JA, Lewis SB. Mannitol for resuscitation in acute head injury: effects on cerebral perfusion and osmolality. Critical Care and Resuscitation 2000;2:14–18
14. Castillo LB, Bugedo GA, Paranhos JL. Mannitol or hypertonic saline for intracranial hypertension? A point of view. Crit Care Resusc 2009;11:151–54
15. Wani AA, Ramzan AU, Nizami F, Malik NK, Kirmani AR, Bhatt AR, Singh S. Controversy in use of mannitol in head injury. Indian Journal of Neurotrauma (IJNT) 2008;5(1):11–13
16. Himmelseher S. Hypertonic saline solutions for treatment of intracranial hypertension. Current Opinion in Anaesthesiology. 2007;20:414–26
17. Kamel H, Navi BB, Nakagawa K, Hemphill III JC, Ko NU. Hypertonic saline versus mannitol for the treatment of elevated intracranial pressure: a meta-analysis of randomized clinical trials. Crit Care Med. 2011; 39:554–59
18. Mortazavi MM, Romeo AK, Deep A,
Griessenauer CJ, Shoja MAM, Tubbs RS, Fisher W. Hypertonic saline for treating raised intracranial pressure: literature review with
meta-analysis. J Neurosurg. 2012;116:210–21.
188
Barbiturat dan Obat Pelumpuh Otot: Masih Bermanfaat untuk Menangani Hipertensi
Intrakranial?
M. Sofyan Harahap
Bagian Anestesiologi dan Perawatan Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
RSUP. Dr. Kariadi Semarang
Abstrak
Hipertensi intrakranial dapat menyebabkan cedera otak sekunder dan meningkatkan morbiditas serta mortalitas.
Untuk mempertahankan tekanan intrakranial agar senantiasa dalam batas normal, maka cairan serebrospinal dan darah mempunyai kemampuan untuk mengurangi volume intrakranial sampai 30%. Hipertensi intrakranial
didefinisikan sebagai tekanan intrakranial di atas 20 mmHg yang menetap lebih dari 20 menit pada dewasa.
Pada otak yang sedang mengalami proses patologis, autoregulasi akan terganggu dan interaksi antara tekanan
arteri rata-rata (mean arterial pressure/MAP) dan aliran darah otak sangat bergantung pada derajat kerusakan
yang ada. Perubahan MAP akan mengakibatkan perubahan aliran darah otak (ADO) walaupun MAP masih pada
rentang normal. Pengelolaan hipertensi intrakranial terdiri dari terapi umum yaitu optimalisasi drenase vena
serebral, pengelolaan jalan nafas, sedasi dan analgesia, mengatasi demam, mengelola hipertensi, anemia dan
mencegah kejang. Terapi spesifik adalah pemberian sedasi dan paralisis, terapi hiperosmolar, hiperventilasi,
koma barbiturat, hipotermia dan pemberian steroid (hanya untuk tumor otak). Tiopental menurunkan ADO dan
metabolisme otak yang setara dengan keadaan isoelektrik pada rekaman electro encephalo graphy (EEG).
Pelumpuh otot menghambat kontraksi otot sehingga akan mengurangi kebutuhan energi, mengurangi produksi
CO2, memperbaiki perfusi otak, dan mempertahankan TIK
Kata kunci: barbiturat, hipertensi intrakranial, tekanan arteri rata-rata
JNI 2013;2(3):188–93
Barbiturates and Neuromuscular Blocking Agent: Still Valuable to Treat Intracranial
Hypertension?
Abstract
Intracranial hypertension may cause secondary brain injury and have the potential to increase morbidity and
mortality. In keeping the intracranial pressure within normal limit, cerebrospinal liquor and also the blood have
the ability to reduce intracranial volume to 30%. Intracranial hypertension is defined as intracranial pressure
above 20 mmHg for more than 20 min in adult patients. During the pathological process caused by various
aetiologies, autoregulation process is impaired and interaction between mean arterial pressure (MAP) and
cerebral blood flow will depend on the severity of impairement. Meaning that changes of mean arterial pressure within normal autoregulation range will influence the cerebral blood flow accordingly. Management of
Intracranial hypertension consist of general and specific approaches. General approach includes optimal cerebral
venous drainage, airway management, sedation and analgesia, fever, anemia and hypertension treatment and
seizure prevention. Specific approach includes paralysis and sedation, hyperosmolar therapy, hyperventilation,
barbiturate coma, hypothermia and steroid for tumor cases only. Tiopental decreases CBF and cerebral
metabolism which is equivalent to an isoelectric electro encephalo graphy (EEG). Muscle relaxant prevents
muscle contraction therefore reducing energy consumption, CO2 production, improve cerebral perfusion, and
maintain ICP.
Keywords: barbiturate, intracranial hypertension, mean arterial pressure
JNI 2013;2(3):188–93
189 Barbiturat dan Obat Pelumpuh Otot: Masih Bermanfaat
untuk Menangani Hipertensi Intrakranial ?
I. Pendahuluan
Hipertensi intrakranial dapat disebabkan oleh
kelainan pada sistem saraf pusat atau karena
kelainan sistemik. Hipertensi intrakranial
merupakan masalah penting karena dapat
menyebabkan cedera otak sekunder, dan
menyebabkan peningkatan morbiditas dan
mortalitas.
Rongga tengkorak adalah suatu tempat yang
volumenya tetap dan terdiri dari 85% jaringan otak,
10% cairan serebrospinal dan 5% darah. Monro Kelly menyebutkan hipotesisnya bahwa isi rongga
tengkorak (60% air dan 40% padat) selalu dalam
keadaan tetap dan tidak dapat diperkecil/dikurangi,
sehingga peningkatan salah satu komponen di
dalamnya walaupun kecil, akan mengakibatkan
peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Tekanan
intrakranial normal adalah 0–10 mmHg, dan jika
tekanan intrakranial di atas 20 mmHg disebut
hipertensi intrakranial. Peningkatan TIK ini terjadi
pada 15%–40% penderita cedera kepala berat (GCS
< 8). 1,2
Strategi pengelolaan meliputi hal yang mendasar mengikuti kaidah resusitasi Airway, Breathing,
Circulaton (resusitasi ABC), dan dilanjutkan
dengan beberapa metode terapi baik yang bertujuan
mengurangi peningkatan TIK atau mencegah
peningkatan lebih lanjut.1
Peranan dokter spesialis anestesi dalam mengelola
TIK khususnya selama anestesi berlangsung dan
dalam terapi intensif adalah sangat penting,
sehingga perlu dipahami beberapa pengaruh obat
anestesi terhadap kondisi tersebut.
II. Patofisiologi
Cedera otak primer adalah cedera yang dapat
disebabkan oleh trauma pada jaringan otak, atau
merupakan akibat iskemia pada otak dengan kausa
yang sangat bervariasi dari suatu kelainan ringan
sampai yang ireversibel. Cedera otak sekunder
adalah akibat dari respons biokimia dan seluler
setelah terjadinya cedera primer, hal ini dapat
diperberat dengan adanya kelainan sistemik,
terutama hipoksia dan hipotensi. Setelah trauma
akan terjadi rangkaian kejadian yang akan berujung
pada edema otak difus. Kerusakan ini meliputi
hilangnya “autoregulasi” pembuluh darah otak, ruptur sawar otak, edema intraseluar (cytotoxic) dan
edema ekstraseluler (vasogenic) serta lesi iskemia
otak. 3
Untuk mempertahankan tekanan intrakranial agar
selalu ada dalam batas normal, sangat tergantung
pada kemampuan mempertahankan volume
intrakranial. Jika terjadi penambahan volume dari
satu komponen intrakranial maka harus ada
komponen lain yang berkurang volumenya jika
tidak ingin terjadi kenaikan tekanan intrakranial.
Sekitar 30% kemampuan untuk mengurangi volume
intrakranial ada pada cairan serebrospinal (liquor
cerebro spinal, LCS) dan darah, sehingga saat
terjadi kenaikan tekanan intrakranial maka LCS
dapat bergeser ke ruang lain. Jika mekanisme
kompensasi ini telah habis digunakan semua, maka
akan terjadi kenaikan tekanan intrakranial, gambar 1.3
Tekanan intrakranial yang tinggi pada gilirannya
akan menurunkan perfusi jaringan dan dapat
merusak sel karena iskemia, selanjutnya dapat
terjadi kematian otak. 3
Gambar1. Hubungan antara volume dan tekanan
Intrakranial.
Dikutip dari Castillo 7
Nilai normal TIK masih berbeda diantara beberapa
penulis, dan bervariasi sesuai usia, angka 8–10
mmHg dianggap masih normal untuk bayi, dan
nilai dibawah 15 mmHg normal untuk anak lebih
besar dan dewasa. Hipertensi intrakranial didefinisikan jika TIK diatas 20 mmHg dan
menetap lebih dari 20 menit pada dewasa.3 Jika
tekanan intrakranial melebihi 30 mmHg, maka
aliran darah otak (ADO) akan sangat menurun
bersamaan dengan makin beratnya iskemia dan
terjadi edema otak yang makin parah, hal ini akan
semakin meningkatkan tekanan intrakranial.
III. Interaksi antara TIK dan Aliran Darah
Otak (ADO)
Perfusi jaringan otak sangat tergantung pada
tekanan perfusi otak (cerebral perfusion pressure/ CPP), yang merupakan hasil pengurangan antara
tekanan arteri rata-rata (mean arterial
pressure/MAP) dengan tekanan intrakranial
(intracranial pressure/ICP), jadi CPP=MAP–ICP.
190 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
Aliran darah otak diatur melalui proses autoregulasi, sehingga ADO dipertahankan pada
aliran yang konstan walaupun terjadi perubahan
MAP, dan pada otak sehat autoregulasi berjalan
baik maka ADO tetap konstan pada perubahan
MAP antara 50–150 mmHg. Namun pada otak
yang sedang mengalami proses patologis,
autoregulasi akan terganggu dan interaksi antara
MAP dan ADO sangat bergantung pada derajat
kerusakan yang ada. Pada daerah dengan
autoregulasi yang terganggu, perubahan MAP akan
mengakibatkan perubahan ADO walaupun MAP masih pada rentang normal, sehingga dikatakan
ADO secara pasif mengikuti perubahan MAP yang
terjadi. 3,4
Pada saat MAP berada dalam rentang normal (50–
150 mmHg), autoregulasi otak juga akan
mempengaruhi repons TIK terhadap perubahan
MAP, sedangkan bila autoregulasi normal
penurunan MAP akan mengakibatkan dilatasi
pembuluh darah otak sehingga ADO tidak berubah.
Namun vasodilatasi ini akan meningkatkan TIK,
yang dalam waktu lama akan mengakibatkan
penurunan tekanan perfusi otak. Demikian pula jika terjadi peningkatan MAP maka akan diikuti
vasokonstriksi pembuluh serebral sehingga TIK
menurun. 4
IV. Efek beberapa Obat Anestesia terhadap
TIK
Barbiturat
Tiopental menurunkan ADO dan metabolisme otak
yang setara dengan keadaan isoelektrik pada
rekaman electro encephalo graphy (EEG). Secara
umum barbiturat menurunkan tekanan intrakranial
dengan menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen (sampai 50%) dan efek pada tonus
pembuluh darah, oleh karena laju metabolisme
mempunyai kaitan dengan aliran darah otak dan
volume darah otak (VDO), maka penurunan
metabolisme juga akan menurunkan ADO dan
VDO. Efek barbiturat pada sistem saraf pusat
adalah terjadi vasokonstriksi arteri serebral normal,
membuang radikal bebas, stabilisasi membran,
menurunkan CPP, dan antikonvulsan. 5
Pelumpuh Otot
Pelumpuh otot menghambat kontraksi otot sehingga
akan mengurangi kebutuhan energi, mengurangi produksi CO2, memperbaiki perfusi otak, dan
mempertahankan TIK. Pelumpuh otot non
depolarisasi pankuronium dan vekuronium tidak
mempengaruhi ADO, laju metabolisme terhadap
oksigen dan tekanan intrakranial. Pankuronium
meningkatkan tekanan darah dan laju nadi,
sehingga tidak menguntungkan pada penderita hipertensi. Vekuronium tidak menyebabkan
pelepasan histamin dan tidak meningkatkan tekanan
darah dan laju nadi. Atrakurium mempunyai efek
terhadap ADO, CMRO2 atau TIK. Metabolitnya
(laudanosin) dapat melalui sawar otak dan dapat
menyebabkan kejang, namun kadar laudanosin
dalam darah setelah pemberian dosis klinis terbukti
tidak memberi efek buruk (kejang). Dosis besar
atrakurium dapat menyebabkan pelepasan histamin,
namun potensi tersebut jauh lebih kecil dibanding
dengan d-tubokurarin.6 Cisatrakurium suatu pelumpuh otot baru tipe intermediate acting
menghasilkan dan melepas lebih sedikit laudanosin
dan histamin dibanding atrakurium.
Data yang mendukung penggunaan pelumpuh otot
dalam mengendalikan tekanan intrakranial, masih
sangat sedikit. Belum ada penelitian prospektif acak
dengan kontrol yang membandingkan antara pasien
yang mendapat pelumpuh otot dengan plasebo,
terhadap pengendalian tekanan intrakranial
dibanding dengan terapi lain. Rekomendasinya
adalah penggunaan pelumpuh otot diindikasikan
pada keadaan untuk memfasilitasi ventilasi mekanik, pengendalian tekanan intrakranial dan
untuk mengatasi spasme otot serta untuk
menurunkan konsumsi oksigen bila cara/terapi lain
mengalami kegagalan. Rekomendasi untuk jenis
pelumpuh otot yang digunakan adalah
pankuronium, untuk mayoritas kasus di ICU,
namun jika ada kelainan jantung dapat dipilih
pelumpuh otot lain, sedangkan atrakurium dan
sisatrakurium direkomendasikan untuk pasien
dengan gangguan fungsi ginjal dan hepar.6
Kerugian atau efek yang tidak diinginkan dari pelumpuh otot adalah adanya pelepasan histamin
yang menimbulkan hipotensi dan takikardi,
sedangkan metabolit atrakurium yaitu laudanosin
menyebabkan efek eksitatori pada susunan saraf
pusat.
V. Pengelolaan Hipertensi Intrakranial.
Penyebab HI sangat bervariasi (tabel.1) yang dapat
terjadi secara tunggal ataupun kombinasi. 4 Sebelum
mengatasi hipertensi intrakranial yang refrakter,
beberapa hal yang secara umum dan spesifik dapat
meminimalkan atau mengurangi hipertensi
intrakranial. Terapi umum dilaksanakan secara bersamaan dengan terapi spesifik.
Terapi Umum
Optimalkan aliran vena serebral, atasi gagal nafas,
sedasi dan analgesia, atasi demam, pengendalian
hipertensi, anemia, dan pencegahan kejang.
191 Barbiturat dan Obat Pelumpuh Otot: Masih Bermanfaat
untuk Menangani Hipertensi Intrakranial ?
Terapi Spesifik
Sedasi dan paralisis: Paralisis untuk pasien bedah
saraf bukanlah hal rutin yang harus selalu
dilakukan, namun adanya agitasi, batuk, gelisah
dapat menyebabkan peningkatan TIK yang
semuanya dapat dicegah dengan sedasi dan
pelumpuh otot non depolarisasi yang tepat.
Sedangkan yang dapat digunakan adalah sedasi
dengan morfin dan golongan benzodiasepin dan
vekuronium atau cisatrakurium sebagai pelumpuh
otot. 7
Koma barbiturat: Koma barbiturat hanya dilakukan pada penderita dengan hipertensi intrakranial
refrakter, karena ada beberapa komplikasi yang
dapat terjadi akibat barbiturat dosis tinggi,
disamping itu terjadi hambatan untuk menilai
fungsi neurologis. Barbiturat digunakan untuk
menekan metabolisme otak seperti yang telah
dijelaskan di atas, walaupun ada kontroversi karena
masih sedikit penelitian tentang hasil akhir klinis
pada penggunaan koma barbiturat.
Efek lain dari pemberian barbiturat dosis besar
adalah terjadinya gangguan hemodinamik, depresi
sistem imun atau leukopenia, sehingga harus dihindari over dosis barbiturat. Target pemberian
barbiturat adalah terjadinya burst suppression pada
gelombang EEG. Berdasarkan penelitian
eksperimental, depresi metabolik otak akan
menunjukkan grafik plateu/menetap, setelah
pemberian barbiturat mencapai burst suppression
pada EEG, sehingga penambahan lebih lanjut
barbiturat tidak akan menurunkan metabolisme
oksigen otak dan ADO lebih lanjut, tetapi justru
akan menurunkan tekanan darah arterial dan curah
jantung. 6,8
Untuk terapi hipertensi intrakranial akibat cedera
otak traumatik pada pasien pediatri, belum ada
panduan maupun standar, yang ada adalah opsi:
“barbiturat dosis tinggi dapat dipertimbangkan
untuk pasien dengan trauma kepala berat disertai
hipertensi intrakranial refrakter, dan keadaan
hemodinamik stabil”, jika akan diberikan barbiturat
dosis tinggi maka diperlukan monitor hemodinamik
yang baik dan menjaga fungsi kardiovaskuler. 9
Dosis yang digunakan ada beberapa macam:
menurut Brain Trauma Foundation (BTF) tahun
2000, pentobarbital 10 mg/kgBB dilanjutkan 5 mg/kgBB/jam selama tiga jam. Dosis rumatan 1–2
mg/kg/jam, sampai EEG menunjukkan supresi
gelombang. Dosis menurut Norsby dan Nesbakken:
dosis awal 10–20 mg/kgBB, rumatan: 3–5
mg/kg/jam, dosis diturunkan jika tekanan darah
menurun atau TIK ≤ 25 mmHg. 9
Walaupun penelitian penggunaan rutin barbiturat pada penderita yang tidak terseleksi belum
menunjukkan hasil yang konsisten untuk
menurunkan morbiditas dan mortalitas pascacedera
otak, namun suatu penelitian multi pusat lain
tentang penggunaan koma barbiturat pada penderita
dengan hipertensi intrakranial refrakter
menunjukkan kemampuan mengendalikan TIK dua
kali lebih besar. 7
Tabel 1. Penyebab Hipertensi Intrakranial (HI)
Intrakranial
(primer)
Tumor, trauma (SDH, EDH, kontusio)
Perdarahan intraserebral non trauma Stroke iskemik, hidrosefalus Hipertensi intrakranial idiopatik/benigna
Lain-lain (pseudotumor, pneumosefalus, abses)
Ekstrakranial
(sekunder)
Obstruksi jalan nafas, hipoksia, hiperkarbia Hipertensi (batuk, nyeri), hipotensi Postur tubuh, hiperpireksia,
kejang, obat-obat.
Pascaoperasi Lesi massa (hematoma, edema)
Vasodilatasi, gangguan aliran LCS
Dikutip dari: Castillo 7
VI. Beberapa studi klinik tentang Barbiturat
Penelitian pada 27 anak dengan cedera otak berat
dengan tekanan intrakranial 30 mmHg, dan tidak
respons dengan terapi lain menunjukkan bahwa 14
anak (52%) dapat diturunkan TIK nya menjadi 20
mmHg dengan pemberian barbiturat, 6 anak (22%)
meninggal dalam 48 jam setelah terapi dan 7 anak
tetap dengan TIK 35 mmHg, tiga dari 7 anak ini
dapat sembuh dengan baik. Tidak ada kesimpulan
penting yang dapat diambil dari penelitian ini yang
berhubungan dengan kemampuan menurunkan TIK dari pentobarbital dengan luaran neurologis, karena
hal tersebut tidak dilaporkan. 9 Penelitian hipertensi
intrakranial buatan pada hewan coba, kemudian
dibandingkan terapi antara hiperventilasi saja
dibanding hiperventilasi dan barbiturat
menunjukkan bahwa terjadi penurunan TIK dan
ADO secara bermakna pada kelompok hewan yang
mendapat hiperventilasi saja, penambahan
barbiturat selain dengan hiperventilasi
menunjukkan penurunan lebih lanjut dari ADO
namun tidak terjadi penurunan lebih lanjut TIK
192 Jurnal Neuroanestesia Indonesia
dibandingkan dengan kelompok dengan hiperventilasi saja. Tekanan perfusi serebral tetap
normal pada semua kelompok, walaupun terjadi
penurunan ADO. Kesimpulan dari penelitian ini
menunjukkan bahwa pemberian barbiturat pada
model hewan coba dengan hipertensi intrakranial,
tidak efektif untuk menurunkan TIK, dibanding
hiperventilasi saja. 10
Penelitian selama 10 tahun pada 92 pasien koma
atau semi koma dengan GCS kurang dari 7 dengan
peningkatan TIK karena edema otak sekunder
akibat cedera/trauma, menunjukkan bahwa terapi koma barbiturat menghasilkan Glasgow Outcome
Score (GOS) yang baik (GOS 4–5) pada 27,5%
penderita setelah 3 bulan, dibandingkan 5,8% pada
kelompok kontrol (tanpa terapi koma barbiturat).
One year survival rate adalah 35,9% pada
kelompok barbiturat dan 12,5% pada kelompok
kontrol (tabel 3). Sehingga disimpulkan bahwa
terapi koma barbiturat adalah efektif untuk pasien
dengan peningkatan TIK, untuk mendapatkan
angka survival dan GOS yang baik, khususnya pada
pasien usia muda. (37,1±14,9). 11
Tabel 2. Skor GOS 3 bulan setelah cedera
Outcome Grup BCT (%)
Grup kontrol (%)
Jumlah kasus 40 52
Skor GOS 1 25 (62,5) 43 (82,7) 2 1 (2,5) 2 (3,8) 3 3 (7,5) 4 (7,7) 4 3 (7,5) 2 (3,8) 5 8 (20) 1 (1,9) Mean skor GOS (SD)
2,2±1,7* 1,4 ±0,9
Good outcome (GOS4,5)
11/40 (27,5)* 3/52 (5,8)
*p<0,01, BCT: Barbiturate Coma Group
Dikutip dari: Kim YL11
Pada penelitian ini disebutkan bahwa komplikasi
tersering dari penggunaan metode koma barbiturat
adalah hipotensi, sehingga diperlukan stabilitas
hemodinamik sebelum diputuskan untuk
melakukan koma barbiturat (tabel 4).10
Penggunaan barbiturat dalam anestesi bedah saraf
masih mempunyai tempat bahkan sebagai proteksi
otak (brain protection). Barbiturat masih
merupakan “standar emas” dengan melalui berbagai
mekanisme yang telah banyak diteliti.
Tabel 3. Kejadian Komplikasi akibat Koma
Barbiturat
Komplikasi BCT
groups (%)
Control
group (%)
P-value
Hipernatremi 33 (82,5) 36 (69,2) 0,145 Hipocalcemia 20 (50) 24 (46,2) 0,714 Hipotensi 17 (42,5) 10 (19,2) 0,296 Azotemia 14 (35) 13 (25) 0,296 Hipokalemia 14 (35) 11 (21,2) 0,139
Pneumonia 12 (30) 12 (23) 0,453 Disfungsi hepal 1 (2,5) 0 (0) 0,435 Keterangan: BCT: Barbiturate Coma Group
Dikutip dari: Louis PT 10
Prinsip proteksi otak khususnya pada kasus cedera
dimulai dengan metode dasar yaitu pengelolaan
airway, breathing dan circulation, kemudian
melalui mekanisme pengaturan ADO yang
bertujuan mengendalikan TIK digunakan golongan
barbiturat. Penggunaan barbiturat sebagai proteksi
otak dapat diberikan selama anestesi atau sebagai
sedasi di ICU dengan dosis yang tidak sebesar dosis
pada koma barbiturat. 11
VII. Simpulan
Tekanan intrakranial normal adalah 0–10 mmHg, dan tekanan intrakranial yang menetap di atas 20
mmHg, lebih dari 20 menit pada dewasa disebut
hipertensi intrakranial. Hipertensi intrakranial (HI)
terjadi pada 15%–40% penderita cedera kepala
berat (GCS ≤8).
Jika tekanan intrakranial melebihi 30 mmHg, maka
ADO akan sangat menurun bersamaan dengan
makin buruknya iskemia dan terjadi edema otak
yang makin parah, hal ini akan makin
meningkatkan tekanan intrakranial.
Barbiturat dan pelumpuh otot masih digunakan dalam pengelolaan hipertensi intrakranial,
walaupun efek samping masing-masing yang dapat
timbul dan memperburuk keadaan penderita dengan
cedera kepala berat, sehingga diperlukan
kewaspadaan dan monitor yang sesuai.
Mengatasi masalah hipertensi intakranial tidak
hanya dengan menggunakan barbiturat dan
pelumpuh otot, namun harus sudah dimulai sejak
awal dengan memperhatikan prinsip-prinsip
proteksi otak.
Daftar Pustaka
1. Hodgkinson V, Mahajan RP. The management
of raised intracranial pressure. Bulletin The
Royal College of Anesthetist 2000,May: 27–
31.
193 Barbiturat dan Obat Pelumpuh Otot: Masih Bermanfaat
untuk Menangani Hipertensi Intrakranial ?
2. Turner JM. Intracranial pressure. Dalam: Matta BF, Menon DK, Turner JM, penyunting.
Textbook of Neuroanesthesia and Critical
Care. London: GMM;2000,53–5.
3. Giugno K, Maia TR. Treatment of intracranial
hypertension. J Pediatr 2003;79 (4): 288–94.
4. Castillo LR, Gopinath S, Robertson CS.
Management of intracranial hypertension.
Neurol Clin 2008;26(2):522–26.
5. Hickey R. Effect of anesthesia on cerebral and
spinal cord physiology. Dalam: Cottrell JE, Newfield P, penyunting. Handbook of
Neuroanesthesia. Philadelphia: Lippincot
Williams Wilkins,2007:31–3.
6. Sakabe T, Nakakimura K. Dalam: Cottrell JE,
Smith DS, penyunting. Anesthesia and
Neurosurgery. Missouri: Mosby,2001:131–7.
7. Cotenceau V, Petit L, Masson F, Guehl D,
Asselineau J. The use of bispectral index to
monitor barbiturate coma in severe brain
injured patients with refractory intracranial
hypertension. Anest Analg 2008;107(5):1676–
8.
8. Society of critical care medicine and world
federation of pediatric intensive and critical
care society. The use of barbiturate in the
control of intracranial hypertension in severe
pediatric traumatic brain injury. Pediatr Crit
Care Med 2003;3(4).Suppl:49–50.
9. Louis PT, Goddard-Finegold J, Fishman MA,
Griggs JR, Stein F, Laurent JP. Barbiturate and
hyperventilation during intracranial
hypertension. Crit Care Medicine.1993;21(8):
120–4.
10. Kim YL, Park SW, Nam TK, Park YS, Min BK, Hwang SN. The effect of barbiturate coma
therapy for paients with severe intracranial
hypertension: a 10-year experience. J Korean
Neurosurg Soc.2008;44; 141–3.
11. Menon G, Nair S, Bhattachrya RN. Cerebral
protection-current concept. Indian Journal of
Neurotrauma. 2005;2(2):71–2.