Upload
gaara-rahman
View
1.020
Download
213
Embed Size (px)
Citation preview
MANAJEMEN PENGKAJIAN LUKA
e-book PENGKAJIAN LUKA pertama di INDONESIA Page 1
E-BOOK PENGKAJIAN LUKA PERTAMA
DI INDONESIA
MANAJEMEN
PENGKAJIAN LUKA Saldy Yusuf, S.Kep.Ns.ETN
Wound Care Specialist
Dipresentasekan dalam Seminar Nasional Keperawatan dan Workshop Perawatan Luka ”‘an evidence approach for wound
healing” Makassar, 21-22 Maret 2009
MANAJEMEN PENGKAJIAN LUKA
e-book PENGKAJIAN LUKA pertama di INDONESIA Page 2
MANAJEMEN PENGKAJIAN LUKA
Saldy Yusuf, S.Kep.Ns.ETN. Enterostomal Therapy Nurse
A. PENDAHULUAN.
Pengkajian merupakan bagian esensial dalam proses perawatan luka. Dalam
Perawatan Luka Pengkajian bersifat ongoing yakni berjalan Secara simultan
bersamaan dengan proses perawatan luka itu sendiri.
Pada dasarnya ada dua tujuan utama dalam pengkajian luka:
1. Memberikan infromasi dasar tentang status luka, sehingga proses
penyembuhan luka dapat dimonitor.
2. Memastikan apakah pemilihan balutan sudah tepat dalam perawatan luka.
!
The optimal healing of the individual with a wound or potential
wound is promoted by a collaborative and interdisciplinary
approach to wound management
(Standard 1, Standards for Wound Management AWMA)
B. TIPE LUKA.
1. Luka akut.
� Secara sederhana luka akut dapat didefinisikan sebagai luka bedah yang
sembuh melalui primary intention healing. (Keryln Carville).
� Biasanya luka trauma. Dapat berbentuk irisan, abrasi, laserasi, luka bakar
atau luka traumatic lainnya. Luka akut biasanya berespon terhadap
perawatan dan sembuh tanpa komplikasi. (Carol Dealay).
2. Luka kronis.
� Luka kronis terjadi manakala proses penyembuhan luka tidak sesuai
dengan jangka waktu yang diharapkan serta sembuh dengan disertai
adanya komplikasi. (Keryln Carville).
MANAJEMEN PENGKAJIAN LUKA
e-book PENGKAJIAN LUKA pertama di
� Luka yang membutuhkan waktu lama atau merupakan kekambuhan dari
luka sebelumnya (Fowler, 1990).
LUKA AKUT
C. TIPE PENYEMBUHAN
1. Primary Intention Healing.
Terjadi manakala kehilangan jaringan minimal dan tepi luka dapat direkatkan
kembali dengan jahitan (suture), klip (clips) atau plester (tape).
2. Delayed Primary Intention Healing.
Terjadi apabila luka terinfeksi atau mengandung benda asing
dan memerlukan intensive cleaning
3. Secondary Intention Healing.
Proses penyembuhan tertunda dan memerlukan proses granulasi, kontraksi dan
epitelisasi, disertai dengan adanya scar.
MANAJEMEN PENGKAJIAN LUKA
pertama di INDONESIA
Luka yang membutuhkan waktu lama atau merupakan kekambuhan dari
luka sebelumnya (Fowler, 1990). Contoh; pressure ulcer dan leg ulcer.
LUKA AKUT LUKA KRONIK
PE PENYEMBUHAN
Primary Intention Healing.
Terjadi manakala kehilangan jaringan minimal dan tepi luka dapat direkatkan
kembali dengan jahitan (suture), klip (clips) atau plester (tape).
Delayed Primary Intention Healing.
Terjadi apabila luka terinfeksi atau mengandung benda asing
intensive cleaning sebelum penutupan 3-5 hari kemudian.
Secondary Intention Healing.
Proses penyembuhan tertunda dan memerlukan proses granulasi, kontraksi dan
isasi, disertai dengan adanya scar.
Page 3
Luka yang membutuhkan waktu lama atau merupakan kekambuhan dari
Contoh; pressure ulcer dan leg ulcer.
LUKA KRONIK
Terjadi manakala kehilangan jaringan minimal dan tepi luka dapat direkatkan
Terjadi apabila luka terinfeksi atau mengandung benda asing (foreign body)
5 hari kemudian.
Proses penyembuhan tertunda dan memerlukan proses granulasi, kontraksi dan
MANAJEMEN PENGKAJIAN LUKA
e-book PENGKAJIAN LUKA pertama di
Primary Intention
A. KEHILANGAN JARINGAN.
1. Superficial Thickness.
� Kedalaman luka hanya melibatkan epidermis.
� Luka ini ditandai masih utuhnya epidermis namun terjadi
perubahan warna lainnya.
� Tidak disertai adanya eksudat.
2. Partial Thickness.
� Kedalaman luka melibatkan epidermis dan dermis.
� Kulit sekitar kadang erythema dan kadang menimbulkan nyeri, panas dan
edema.
� Eksudat minimal hingga sedang.
3. Full Thickness.
� Kedalaman luka melibatkan epidermis, dermis, dan jaringan sub cutan.
� Dapat melibatkan otot, tendon dan tulang.
� Kadang disertai dengan eksudat yang sangat banyak.
MANAJEMEN PENGKAJIAN LUKA
pertama di INDONESIA
Delayed Primary
Intention
Secondary Intention
KEHILANGAN JARINGAN.
Superficial Thickness.
Kedalaman luka hanya melibatkan epidermis.
Luka ini ditandai masih utuhnya epidermis namun terjadi
perubahan warna lainnya.
Tidak disertai adanya eksudat.
Kedalaman luka melibatkan epidermis dan dermis.
Kulit sekitar kadang erythema dan kadang menimbulkan nyeri, panas dan
Eksudat minimal hingga sedang.
Kedalaman luka melibatkan epidermis, dermis, dan jaringan sub cutan.
Dapat melibatkan otot, tendon dan tulang.
Kadang disertai dengan eksudat yang sangat banyak.
Page 4
Secondary Intention
Luka ini ditandai masih utuhnya epidermis namun terjadi erythema atau
Kulit sekitar kadang erythema dan kadang menimbulkan nyeri, panas dan
Kedalaman luka melibatkan epidermis, dermis, dan jaringan sub cutan.
MANAJEMEN PENGKAJIAN LUKA
e-book PENGKAJIAN LUKA pertama di INDONESIA Page 5
Superficial Thickness. Partial Thickness. Full Thickness.
A. PENAMPILAN KLINIS.
1. Necrotic atau hitam.
Tujuan : Rehydrate and Debridemen.
Contoh : Surgical, Larval, Mechanical, Enzymatic, atau Chemical.
2. Sloughy atau kuning.
Tujuan : Manajemen eksudat dan Lunakkan (deslough).
Contoh : Hydrogel atau madu.
3. Granulating atau merah.
Tujuan : Pertahankan dan control terjadinya hipergranulasi.
Contoh : Alginates.
4. Epitelisasi atau pink.
Tujuan : Lindungi dan cegah dari cedera.
Contoh : Minimalkan manipulasi pada luka, lindungi dengan film.
MANAJEMEN PENGKAJIAN LUKA
e-book PENGKAJIAN LUKA pertama di INDONESIA Page 6
NEKROTIK SLOUGH
GRANULASI EPITELISASI
B. LOKASI LUKA.
Luka pada daerah lipatan cenderung aktif bergerak dan tertarik sehingga
memperlambat proses penyembuhan akibat sel-sel yang telah beregenerasi dan
bermigrasi trauma. Contohnya luka pada lutut, siku, dan telapak kaki. Begitu juga
dengan area yang sering tertekan atau daerah penonjolan tulang seperti pada
daerah sacrum. Selain itu proses penyembuhan luka sangat bergantung pada baik
tidaknya vascularisasi daerah yang terkena.
C. PENGUKURAN LUKA.
Secara garis besar ada 4 parameter yang digunakan dalam pengukuran luka, yaitu;
panjang, lebar, kedalaman, dan diameter.
MANAJEMEN PENGKAJIAN LUKA
e-book PENGKAJIAN LUKA pertama di INDONESIA Page 7
Pengukuran luas luka merupakan bagian terpenting dari pengkajian luka,
pengukuran luka juga sabagai alat evaluasi kemajuan proses penyembuhan.
Agar pengukuran menjadi lebih akurat maka sebaiknya titik pada tepi luka
pengukuran ditandai sehingga pengukuran tetap konsisten.
1. Two dimensional assessment.
Pengukuran superficial pada luka dapat menggunakan penggaris/mistar dengan
mengukur panjang x lebar. Untuk mengukur lingkaran luka dapat
menggunakan plastic transparan yang diletakkan diatas luka kemudian
dilakukan tracing mengikuti tepi luka. Yang perlu diperhatikan adalah
menjaga jangan sampai alat ukur menjadi contaminated agent.
2. Three dimensional assessment.
Pada luka yang dalam, partial dan full thickeness atau adanya sinus dan/atau
undemining sebaiknya menggunakan pengkajian tiga dimensi. Pengukuran
diarahkan untuk mengetahui panjang, lebar dan kedalaman.
Panjang merupakan jarak terjauh pada arah head to toe, lebar merupakan jarak
terjauh antara sisi kiri dan kanan, sedangkan kedalaman merupakan jarak
terjauh antara bantalan luka dan permukaan kulit.
Untuk mengukur kedalaman luka dapat menggunakan kapas lidi kemudian
diletakkan pada bantalan luka dan pada batas dengan permukaan kulit ditandai
dengan ibu jari pemeriksa.
Ada juga metode menggunakan cairan steril. Dimana cairan steril dituangkan
diatas luka hingga rata dengan kulit sekitar kemudian diaspirasi lalu diukur
volume cairan tersebut. Yang perlu diperhatikan cairan yang digunakan tidak
menimbulkan trauma dan ‘wound-friendly’ pada luka. Metode ini juga tidak
cocok pada luka dengan fistula.
MANAJEMEN PENGKAJIAN LUKA
e-book PENGKAJIAN LUKA pertama di INDONESIA Page 8
Two dimensional assessment. Three dimensional assessment.
Seiring dengan kemajuan teknologi, maka saat ini telah berkembang banyak
metode untuk pengukuran luka, antara lain:
1. Photografy (baik itu kamera konventional, polaroid atapun digital).
2. Wound Tracing.
Menggunakan plastik transparan dan spidol transparan, kemudian diletakkan
diatas luka lalu tepi luka digambar (dijiplak).
3. Stereophotogrammetry (SPG).
Kombinasi kamera video dan software. Luka direkam kemudian didownload
ke komputer. Dengan menggunakan bantuan software luas permukaan luka
dapat dikalkulasi.
4. Wound Molds.
Alginate diletakkan pada permukaan luka, bila telah menebal maka ditmbang
beratnya. Hasil dari pengukuran berat alginate dapat menggambarkan status
penyembuhan luka.
! We can’t manage something that we can’t measure.
15 cm
16 cm
12
6
16 cm 3 cm
MANAJEMEN PENGKAJIAN LUKA
e-book PENGKAJIAN LUKA pertama di INDONESIA Page 9
D. EXUDATE.
Para ahli menggambarkan eksudat sebagai “sesuatu yang keluar dari luka”, “cairan
luka”, “drainase luka” dan “kelebihan cairan normal tubuh”. Bahkan pada masa
mesir kuno eksudat didefinisikan sebagai “wound balsm”.
Produksi eksudat dimulai sesaat setelah luka terjadi sebagai akibat adanya
vasodilatasi pada fase inflamasi yang difasilitasi oleh mediator infalamasi seperti
histamine dan bradikinin.
Pada luka akut sifat eksudat serous dan merupakan bagian normal dalam proses
penyembuhan luka akut. Namun apabila luka berubah menjadi kronis dan sulit
sembuh maka jenis eksudat berubah dan banyak mengandung proteolytic enzim
dan komponen-komponen lainnya yang tidak terdapat pada luka akut.
1. Adapun komposisi eksudat dan fungsinya.
Komponen Fungsi
Fibrin Pembekuan
Platelets Pembekuan
PMN Imunitas, produksi growth factor
Macrhophages Imunitas, produksi growth factor
Lymphocytes Imunitas
Microorganisme Faktor eksogen
Plasma protein Mempertahankan tekanan osmotic, imunitas,
dan media transport makromolekul.
Asam laktat Produk sisa dari metabolisme seluler dan
mengindikasikan adanya hypoxia
biokimiawi.
Glucosa Sumber energi
Wound debris/dead cells Tidak ada
Proteolytic enzymes Degradasi protein
MANAJEMEN PENGKAJIAN LUKA
e-book PENGKAJIAN LUKA pertama di INDONESIA Page 10
2. Jenis Eksudat.
Type Colour Consistency
Serous Clear Thin, watery
Fibrinous Cloudy Thin
Serosanguinous Clear, pink Thin, watery
Sanguinous Red Thin, watery
Seropurulent Yellow, cream cofee Thicker, cream
Purulent Yellow, grey, green Thick
Haemopurulent Dark, blood-stained Viscous, sticky
Haemorrhagic Red Thick
3. Volume eksudat.
Untuk mengetahui volume eksudat maka salah satu tools yang dapat
digunakan adalah “wound exudates continuum” yang dikembangkan oleh
Gray (2005). Parameter tools ini adalah volume dan vikositas eksudat yang
dapat mengindikasikan proses penyembuhan berlangsung normal atau tidak.
Vicositas
High
5
Medium
3
Low
1
v
ol
u
m
e
High
5
Medium
3
Low
1
MANAJEMEN PENGKAJIAN LUKA
e-book PENGKAJIAN LUKA pertama di INDONESIA Page 11
Contoh:
Apabila pada hari pertama didapatkan volume skor 3 (medium) dan vikositas
1 (low) maka total skor eksudatnya 4. Pada hari ketiga didapatkan volume
skor 5 (high) dan vikositasnya skor 3 (medium) sehingga total skor menjadi 8.
Hal ini menunjukkan luka bertambah buruk dan memerlukan re-evaluasi
termasuk penentuan dressing yang tepat.
4. Konsistensi (consistency) eksudat.
Konsistensi Kemungkinan penyebab
High viscosity
(Kental kadang melengket)
� Tinggi protein akibat dari inflamasi
atau infeksi.
� Jaringan nekrotik.
� Enteric fistula.
� Residu dari beberapa dressing.
Low viscosity
(encer dan cair)
� Rendah protein akibat dari venous
atau cardiac disease dan malnutrisi.
� Urinary atau limfatik fistula.
5. Bau (odour) eksudat.
Adanya bau pada eksudat kemungkinan disebabkan oleh:
� Pertumbuhan bakteri atau infeksi.
� Jaringan nekrotik.
� Sinus/enteric atau urinary fistula.
Secara quantitative, salah satu tools yang dapat digunakan untuk
menggambarkan bau eksudat adalah TELER Indikator.
MANAJEMEN PENGKAJIAN LUKA
e-book PENGKAJIAN LUKA pertama di INDONESIA Page 12
TELER Indikator untuk quantifikasi bau (Browne et al. 2004).
Kode Bau
5 Tidak ada bau
4 Bau tercium saat balutan dibuka
3 Bau tercium walaupun balutan belum dibuka
2 Bau tercium dengan jarak satu lengan dari
pasien.
1 Bau tercium didalam kamar.
0 Bau tercium diluar kamar.
! Pada saat mengganti balutan, penting untuk membaca eksudat. Warna,
konsistensi, bau dan volume eksudat merupakan tanda baca yang perlu
diperhatikan.
E. KULIT SEKITAR LUKA.
Pengkajian kulit sekitar luka merupakan bagian integral dari pengkajian luka.
Parameter yang dapat digunakan untuk mengkaji kulit sekitar luka adalah sebagai
berikut:
Warna Erythema atau pucat pucat
Tekstur Lembab, kering, macerasi
Temperature Hangat atau dingin
Integritas Maserasi, excoriasi, erosi, papula,
pustule, lesi, dll
Vaskularisasi capillary refill, terutama daerah tungkai.
MANAJEMEN PENGKAJIAN LUKA
e-book PENGKAJIAN LUKA pertama di INDONESIA Page 13
Pengkajian tepi luka juga diperhatikan untuk mengetahui epitelisasi dan kontraksi
luka.
Pengkajian kulit sekitar luka dapat memberikan panduan dalam mengevaluasi
penggunaan balutan sebelumnya. Seperti maserasi pada kulit sekitar luka dapat
terjadi sebagai akibat kontaknya kulit sekitar luka dengan eksudat atau akibat dari
penggunaan balutan yang terlalu lembab secara tidak tepat.
F. NYERI.
Nyeri merupakan tanda vital kelima, namun nyeri pada luka kadang tidak dikaji
dan tidak diintervensi secara adekuat. Padahal nyeri luka dapat mengindikasikan
adanya infeksi atau bertambah buruknya proses penyembuhan luka. Oleh karena
itu nyeri harus dikaji secara teratur dengan menggunakan skala pengkajian nyeri
yang valid (Reddy et al, 2003).
Penyebab nyeri perlu untuk diketahui, apakah berhubungan dengan penyakit,
pembedahan, trauma, infeksi atau benda asing. Apakah nyerinya local atau general
dan apakah nyerinya berkaitan dengan pergantian balutan atau produk.
Krasener telah membuat konsep tentang pengalaman nyeri kronik dalam tiga
model. Nyeri dibagi dalam tiga sub konsep; non siklus, siklus dan nyeri kronik.
1. Nyeri Non Siklus merupakan episode tunggal serangan nyeri, contoh: nyeri
setelah dilakukan debridement.
2. Nyeri Siklus merupakan episode serangan nyeri yang berulang.
Contoh;serangan nyeri setiap penggantian balutan.
3. Nyeri Kronik atau persisten merupakan serangan nyeri tanpa adanya
manipulasi pada luka. Contoh: Pasien merasa lukanya berdenyut-denyut saat
berbaring.
Karena nyeri merupakan pengalaman subyektif seseorang maka yang pelru
dibangun adalah komunikasi dengan pasien seputar responnya terhadap nyeri yang
dialami. Sebagai alat Bantu untuk mengevaluasi tingkat nyeri maka dapat
MANAJEMEN PENGKAJIAN LUKA
e-book PENGKAJIAN LUKA pertama di INDONESIA Page 14
digunakan skala nyeri (0-10) atau skala ekspresi wajah. Hasil dari skala nyeri
tersebut dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan jenis dressing yang
akan digunakan termasuk dosis analgetik yang akan diberikan.
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
0 2 4 6 8 10
Tidak Nyeri Ringan Moderat Nyeri Berat Sangat Berat
Menurut Suriadi (2007), beberapa hal yang perlu dikaji dalam anamnesa antara
lain:
1. Dimana lokasi nyeri?
2. Seperti apa nyeri yang dirasakan?
3. Apa kah ada gejala lain yang menyertai?
4. Pada saat kapan nyeri dirasakan oleh pasien?
5. Apakah nyeri dirasakan terus menerus atau hanya kadang-kadang?
6. Sudah berapa lama nyeri dirasakan?
7. Apakah nyeri mengganggu istirahat pasien?
8. Apakah pasien menggunakan obat saat serangan nyeri?
9. Posisi seperti apa yang dapat mempengaruhi nyeri?
Beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk mengurangi nyeri berhubungan
dengan prosedur pergantian balutan antara lain:
1. Penggunaan cairan pencuci luka yang hangat.
2. Melepaskan balutan dengan hati-hati, atau bilamemungkinakan motivasi
psien untuk melepaskan sendiri. Balutannya.
3. Gunakan 'time out'.
4. Gunakan balutan yang tidak menimbulkan trauma.
5. Evaluasi balutan lama.
6. Rubah frekuensi pergantian balutan.
MANAJEMEN PENGKAJIAN LUKA
e-book PENGKAJIAN LUKA pertama di INDONESIA Page 15
G. WOUND INFECTION (Infeksi Luka).
Infeksi dapat didefinisikan sebaga “pertumbuhan organisme pada luka yang
disertai dengan adanya reaksi jaringan” (westaby, 1985)1. Reaksi jaringan
ditentukan oleh resistensi host terhadap organisme, sedangkan resistensi host
dipengaruhi oleh banyak factor diantaranya status kesehatan, status nutrisi,
pengobatan dan derajat luka jaringan yang terkena.
Keberadaan bakteri pada luka akan mengakibatkan:
1. Kontaminasi.
Jumlah bakteri tidak bertambah dan tidak menimbulkan tanda-tanda klinis.
2. Kolonisasi.
Bakteri melakukan multiplikasi (bertambah banyak) namun jaringan luka
mungkin tidak terpengaruh.
3. Infeksi.
Bakteri mengalami multiplikasi, penyembuhan terhenti dan jaringan luka
rusak (infeksi local). Bakteri dapat menimbulkan masalah pada daerah
sekitar luka (spread infection) atau menyebabkan penyakit infeksi (sistemik
infection).
Kontaminasi Kolonisasi Infeksi lokal Perluasan
infeksi
Infeksi
sistemik
Status waspada Butuh intervensi
Infeksi dapat dirumuskan sebagai berikut:
Infeksi = Jumlah mikroorganisme x Virulensi
Resistensi host.
MANAJEMEN PENGKAJIAN LUKA
e-book PENGKAJIAN LUKA pertama di INDONESIA Page 16
Menurut Dense P. Nix, secara klinis, tanda dan gejala adanya infeksi pada luka kronis
adalah sbb:
H. PSYCHOLOGICAL IMPLICATION (Implikasi Psikologis).
Beberapa study menunjukkan bahwa pasien dengan luka kronis mengalami
penurunan kualtias hidup (quality of life). Beberapa faktor yang mempengaruhi
antara lain frekuensi pergantian balutan yang terlalu sering sehingga mengganggu
ADL, perasaan lemah dan lelah akibat gangguan pola tidur, keterbatasan gerak,
nyeri, bau eksduat, dan infeksi luka.
Oleh Karena itu perlu untuk diketahui harapan (expectancy) dari pasien terkait
dengan proses penyembuhannya. Sebagai contoh seorang gadis dengan luka bakar
pada wajah kecemasannya bukan pada proses penyembuhan lukanya tapi terlebih
pada penampilan tubuhnya (body image).
� Slough baru/bertambah.
� Kelebihan drainage, perubahan warna dan konsistensi.
� Kurangnya jaringan granulasi.
� Kemerahan, hangat sekitar luka.
� Peningkatan kadar glukosa pada pasien diabetes.
� Nyeri atau tenderness.
� Bau yang tidak seperti biasanya.
� Peningkatan ukuran luka atau bertambahnya area yang rusak.
MANAJEMEN PENGKAJIAN LUKA
e-book PENGKAJIAN LUKA pertama di INDONESIA Page 17
REFERENSI:
1. Carville. Wound Care Manual 3rd ed.St. Osborne Park: Silver Chain
Foundation;1998.p.43-51.
2. Suriadi. Manajemen Luka. Penerbit STIKEP Muhammadiyah. Pontianak.2007.p.204-
211.
3. Dense P Nix. Patient Assessment and Evaluation of Healing in: Bryant (editor). Acute &
Chronic Wounds, Current Management Concepts 3rd ed.St. Louis: Mosby;2007. p.130-
144.
4. Dealay. The care Of Wounds. A gudie for nurses.Blackwell Publishing Ltd: 2005. p.56-
71.
5. Members Of Expert Working Group. Principles of best practice. Wound Infection in
Clinical Practice: an international consensus. WCET Journal 2008;28 (4):5-14
6. Wolrd Union Of Wound Healing Societies (WUWHS). Principles of best practice:
Wound Exudate anf the role of dressing. A consensus document. London:MEP Ltd.
2007.
7. Kathryn Vowden, Peter Vowden. Wound Bed Preparation. [cited 2009 Feb 13];
Available from URL: http://www.worldwidewounds.com/woundbedpreparation.html
8. Richard White & Keith F Cutting. Modern exudate management: a review of wound
treatments [cited 2009 Feb 13]; Available from URL:
http://www.worldwidewounds.com/2007/November/Thomas-Fram-Phillips/Thomas-
Fram-Phillips-Compression-WRAP.html
9. Helen Hollinworth. Pain at wound dressing-related procedure: a template for assessment.
Available from:www.worldwidewounds.com/2005/august/Hollinworth/Framework-
Assessing-Pain-Wound-Dressing-Related.html
10. ABC of Wound healing: Wound Assessment. Available from:
student.bmj.com/issues/06/03/education/98.php
MANAJEMEN PENGKAJIAN LUKA
e-book PENGKAJIAN LUKA pertama di INDONESIA Page 18
TENTANG PENULIS
Saldy Yusuf, S.Kep.Ns.ETN. lahir di Makassar 26 Oktober 1978. Pendidikan
Keperawatan di mulai di Akper Depkes Tidung Makassar (2000), S 1 Keperawatan
PSIK-FK UNHAS (Tahun 2007). Tahun 2008 mendapatkan beasiswa dari World
Council Of Enterostomal Therapy Nursing (WCETN) untuk mengikuti Indonesian
Enterostomal Therapy Nursing Education Programme (IndoETNEP). Selain sebagai
Khalifah di muka bumi, saat ini penulis memiliki pekerjaan sampingan sebagai Ketua
Prodi D III Keperawatan STIKes Bina Bangsa Majene dan aktif sebagai dosen tamu di
beberapa Perguruan Tinggi, pembicara dalam beberapa Seminar Nasional, dan trainer
dalam bidang luka, stoma, dan continence care. Penulis juga aktif sebagai Ketua DPC
PPNI Kabupaten Majene, Pengurus InETNA, dan anggota WCETN.
Korespondensi:
e-mail : [email protected]
weblog :www.saldyusuf.blogpost.com
Hp : 081355032553