Referat

Embed Size (px)

DESCRIPTION

referat

Citation preview

REFERATPerbandingan Pemberian Oral Misoprostol dan Injeksi Methylergometrine terhadap Perdarahan Post Partum

Pembimbingdr. Daliman, Sp.OG, KFM. Disusun oleh :Fitri YuliantiG1A212113Tessa Septian AG1A212114

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONALSMF ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGANRSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJOPURWOKERTO2014REFERAT

Perbandingan Pemberian Oral Misoprostol dan Injeksi Methylergometrine terhadap Perdarahan Post Partum

Disusun oleh :Fitri YuliantiG1A212113Tessa Septian AG1A212114

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat di Kepaniteraan Klinik SMF Ilmu Kebidanan dan Penyakit KandunganRSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disetujui dan disahkanPada tanggal 2014Pembimbing,

dr. Daliman, Sp.OG, KFM.

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangSetiap tahun diperkirakan 536.000 wanita di dunia meninggal sebagai akibat komplikasi yang timbul dari kehamilan dan persalinan, sehingga diperkirakan terdapat angka kematian maternal sebesar 450 per 100.000 kelahiran hidup (WHO, 2010). World Health Organization(WHO) memperkirakan sejumlah 150.000 wanita meninggal dunia setiap tahunnya karena perdarahan postpartum.. Menurut WHO tahun 2011 Angka Kematian Ibu (AKI) di negara-negara Asia Tenggara seperti Malaysia (29/100.000 kelahiran hidup), Thailand (48/100.000 KH), Vietnam (59/100.000 KH), serta Singapore (3/100.000 KH). Dibandingkan dengan negara-negara maju, angkanya sangat jauh berbeda seperti Australia (7/100.000 KH) dan Jepang (5/100.000 KH) (WHO, 2011). Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2012 (SDKI 2012), angka kematian ibu (AKI) di Indonesia sebesar 359 kematian per 100.000 kelahiran hidup. Sedangkan target yang ingin dicapai sesuai tujuan MDGS ke-5, pada tahun 2015 AKI turun menjadi 102 kematian per 100.000 kelahiran hidup, yaitu mengurangi kematian maternal 75% dari tahun 1990 sampai dengan (Direktorat Bina Kesehatan Anak, 2012). Indonesia kini menjadi salah satu dari 13 negara dengan angka kematian ibu tertinggi di dunia. Menurut WHO (2010) sekita 287.000 ibu meninggal karena komplikasi kehamilan dan kelahiran anak, seperti perdarahan 28%, preeklampsi/eklampsi 24%, infeksi 11%, dan penyebab tidak langsung (trauma obstetri) 5%. Dan sebagian besar kasus kematian ibu didunia terjadi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia (WHO, 2011).Berdasarkan data profil Dinas Kesehatan Banyumas, pada tahun 2010 angka kematian ibu sebanyak 35 per 100.000 kelahiran hidup. Berdasarkan hasil studi pendahuluan di Rumah Sakit Umum Margono Soekardjo Purwokerto diperoleh bahwa jumlah kasus persalinan selama kurun waktu 1 Januari 2008- 31 Desember 2011 sebanyak 4252 kasus. Sebanyak 387 (9,1%) mengalami perdarahan post partum karena retensio plasenta, 218 (5,1%) mengalami atonia uteri, 225 (5,2%) perdarahan karena laserasi jalan lahir, 215 (5,05%) perdarahan karena retensio sisa plasenta, 46 (1,08%) perdarahan karena ruptur uteri, 52 (1,2%) inversio uteri dan 39 orang (0,9%) meninggal. Sebanyak 401 (9,4%) mengalami plasenta praevia, 436 (10,3%) preeklamsi berat, dan426 (10,0%) solusio placenta, sebanyak 1807 (42, 5%) kasus persalinan terjadi dengan normal. Salah satu yang menyumbang kematian terbanyak dari perdarahan post partum adalah kejadian atonia uteri.Menurut Ahonen et al.(2010) faktor-faktor yang dapat menyebabkan perdarahan post partum yaitu atona uteri, retensio plasenta dan laserasi jalan lahir. Atonia uteri dapat terjadi pada kasus overdistensi uterus seperti hidramnion, gemelli, persalinan lama, induksi oksitosin, multiparitas, dan retensio plasenta. Ahonen et al. (2010) juga menyebutkan bahwa berdasarkan pada studi dilakukan terhadap 154.311 kasus persalinan terjadi 666 kasus perdarahan postpartumyang disebabkan oleh retensio placenta, persalinan kala II lama, plasenta akreta, laserasi jalan lahir, ruptur uterus, tindakan vakum ekstraksi, makrosomia, hipertensi dalam kehamilan, induksi dan augmentasi persalinan denganoksitosin. Selain penyebab tersebut Ahonen et al. (2010) juga mengatakan bahwa faktor riwayat perdarahan postpartum, obesitas, paritas tinggi, intrauterin fetal death(IUFD), ras Asia, persalinan presipitatus, pembedahan endometriosis dan riwayat persalinan sesar sebelumnya menjadi penyebab terjadinya perdarahan postpartum (Ahonen, 2010). Menurut Anderson and Etches (2007) manajemen aktif kala III merupakan strategi pencegahan pendarahan post partum. Setiap ibu melahirkan harus mendapatkan penanganan aktif kala III (active management of the third stage of labour). Manajemen aktif kala III adalah sebuah tindakan yang bertujuan untuk mempercepat lahirnya plasenta dengan meningkatkan kontraksi uterus sehingga menurunkan kejadian perdarahan post partum karena atona uteri (Anderson et al., 2007). Banyaknya kasus perdarahan post partum menjadi alasan banyak peneliti mencari alternatif penggunaan misoprostol sebagai agen potensial yang dapat menurunkan kejadian perdarahan post partum. Uterotonika yang berfungsi merangsang kontraksi otot miometrium merupakan upaya pencegahan dan penghentian terhadap kejadian perdarahan postpartum terutama karena atona uteri. Pemakaian uterotonika yang direkomendasikan oleh Society of Obstetricians and Gynaecologist of Canada (SOGC) Clinical Practise Guideinea dalah oksitosin dan metilergometrin. Hasil penelitian Sanghvi et al. (2010) menyebutkan bahwa misoprostol juga efektif dalam penanganan kasus perdarahan post partum (Sanghvi et al., 2010).

B. Tujuan PenulisanMengetahui perbandimgan efektivitas pemberian misoprostol oral, oksitosin dan metilergometrin injeksi untuk pencegahan perdarahan postpartum.

BAB IIISI

WHO mendefinisikan perdarahan post partumsebagai perdarahan yang melebihi 500 ml dalam 24 jam setelah bayi lahir. Perdarahan dapat terjadi segera setelah bayi lahir, selama pelepasan dan setelah plasenta lahir. Berdasarkan waktu terjadinya perdarahan post partum dapat dibedakan menjadi 2, yaitu perdarahan post partum primer (terjadi dalam 24 jam setelah bayi lahir) dan perdarahan post partum sekunder (terjadi setelah 24 jam setelah bayi lahir) (Leduc et al., 2009). Misoprostol, suatu analog PGE1, telah dipelajari secara luas untuk kegunaannya dalam manajemen aktif kala III persalinan.Obat ini dapat diberikan secara oral, sublingual, vagina dan dubur. Misoprostol tidak memerlukan kondisi penyimpanan khusus dan dapat disimpan pada suhu kamar dan memiliki umur simpan beberapa tahun. Dibandingkan dengan prostaglandin lainnya dapat diberikan secara aman pada wanita dengan asma dan preeklampsia (Godberlg et al., 2001).Sediaan uterotonika yang terjangkau dan termostabil untuk profilaksis rutin persalinan kala III mungkin memiliki manfaat yang cukup besar dalam pencegahan perdarahan pospartum dan mengurangi morbiditas dan kematian ibu di negara-negara berkembang (Decherney et al., 2003).Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengkaji efektifitas pemberian misoprostol untuk mencegah kejadian perdarahan post partum. Beberapa diantaranya adalah penelitian yang dilakukan Patil et al (2013), di india; Meena (2013) ; Gulmezoglu et al. (2001); Walraven et al. (2005); Enakpene et al. (2007); Winikoff et al. (2010); Blum et al. (2010); Minoo et al. (2014); Lokugamage et al.,(2001); Widmar et al. (2010); Singh et al. (2009); dan Mansouri et al.(2011). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Patil et al (2013), dalam penelitian Randomized Clinical Trial yang dilakukan di kartanaka, India terhadap 200 ibu hamil dengan tujuan untuk membandingkan insidensi perdarahan pospartum pada kelompok penggunaan misoprostol oral dengan dosis 600mcg dibandingkan kelompok methylergometrine intravena dengan dosis 0,2mg . Menunjukkan bahwa methylergomethrin lebih efektif menurunkan insidensi kejadian PPH jika dibandingkan dengan misoprostol, tetapi tidak berbeda signifikan dalam volume kehilangan darah, lama kala III, kebutuhan oksitosin dan tranfusi darah. Menurut penelitian Patil et al. (2013), insidensi perdarahan post partum pada kelompok pengguna misoprostol hanya sebesar 9 % sedangkan kelompok methylergometrin adalah 6%, dengan rata-rata kehilangan darah lebih dari 500 ml. Tidak dilaporkan adanya perdarahan post partum berat, yaitu kehilangan darah lebih dari 1000 ml, dari kedua kelompok tersebut. Dan secara statistik tidak berbeda secara signifikan (Patil et al., 2013). Patil et al. (2013), juga mengemukakan bahwa misoprostol tidak seefektif methylergometrine pada primigravida, karena rata-rata volume kehilangan darah pada subkelompok primigravida dengan penggunaan misoprostol sebanyak 208 ml sedangkan pada kelompok methylergometrin sebanyak 142 ml, dan secara statisitik berbeda secara signifikan (Patil et al., 2013).Penelitian Randomized Clinical Trial yang dilakukan Meena 2013 di Rajahstan India, yang melibatkan 510 wanita dalam kehamilan untuk membandingkan efikasi misoprostol oral 600mcg, oksitosin IM 10 IU, dan methylergometrine intravena 0,2mg. Hasil dari penelitian didapatkan bahwa methylergometrine lebih unggul dibandingkan kedua obat lainya dengan durasi terendah kala III persalinan, jumlah terendah kehilangan darah dan tingkat terendah kejadian perdarahan post partum. Kebutuhan oksitosin tambahan dan transfusi darah yang tertinggi adalah kelompok misoprostol oral dibandingkan dengan semua obat lain yang digunakan Meena menyimpulkan bahwa Methylergometrine memiliki profil obat uterotonika terbaik di antara obat yang digunakan, dan dapat digunakan untuk manajemen aktif kala III persalinan. Misoprostol oral mengakibatkan kehilangan darah yang lebih tinggi dibandingkan dengan obat lain dan karena itu harus digunakan hanya dalam pengaturan sumber daya rendah di mana obat lain tidak tersedia (Meena, 2013). Penelitian secara acak yang dilakukan Gulmezoglu et al. (2001), di rumah sakit multi center pada 18.459 pasien menunjukkan bahwa 10 IU oksitosin diberikan secara parenteral ( intravena atau intramuskular ) secara signifikan lebih baik daripada 600mcg misoprostol oral dalam pencegahan kehilangan darah 500 ml dan 1000 ml. Kebutuhan transfusi darah lebih sedikit pada kelompok misoprostol, hal ini menunjukkan bahwa efek misoprostol mungkin lebih besar pada kehilangan volume darah yang lebih besar (Gulmezoglu et al,. 2001). Penelitian Walraven et al. (2005), di Gambian juga menunjukkan bahwa efek misoprostol lebih jelas untuk perdarahan postpartum yang serius (kehilangan darah 750 ml atau 1000ml), tetapi hasil penelitian mereka tidak cukup kuat. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa, untuk kehilangan darah lebih dari 250 ml, misoprostol sama efektifnya dengan methylergometrine (Walraven et al., 2005). Beberapa studi menujukan hasil yang berbeda bahwa misoprostol oral adalah lebih efektif dibandingkan oksitosin, dan methylergometrin dalam terapi perdarahan post partum, seperti studi yang dilakukan Enakpene et al. (2007) pada 864 ibu hamil dengan Randomized Clinical Trial, menunjukan bahwa misoprostol oral (191ml) lebih efektif dalam menurunkan kehilangan darah pada kala III dibandingkan methylergometrin IM (246ml), walaupun beberapa subjek pada kelompok misoprostol durasi kala tiga lebih dari 15 menit dan pada pelepasan plasenta ada yang dilakukan manual (Enakpene et al., 2007).Penelitian Randomized Clinical Trial yang dilakukan oleh Winikoff et al. 2010, Blum et al. 2010, menguji efektifitas misoprostol dalam penanganan perdarahan post partum, keduanya membandingkan sublingual misoprostol dengan dosis 800 mg dengan oksitosin intravena 40 IU ( Winikoff et al., 2010; Blum et al., 2010). Pada penelitian Winikoff et al. 2010, yang melibatkan 978 wanita yang didiagnosis dengan PPH, profilaksis oksitosin tidak diberikan. Hasil penelitian menunjukkan oksitosin iv lebih efektif dibandingkan misoprostol sublingual dalam mengendalikan perdarahan dalam waktu 20 menit (96% vs 90% wanita) dan mencegah kehilangan darah lebih dari 300 mL atau lebih (17% vs 30%) (Winikoff et al,. 2010). Penelitian yang dilakukan Blum et al., 2010, melibatkan 809 wanita yang didiagnosis dengan PPH, semuanya diberi profilaksis oksitosin (IV atau IM) 20. Hasil penelitian menunjukkan misoprostol adalah non-inferior dengan oksitosin dalam mengontrol perdarahan aktif dalam waktu 20 menit (90% vs 89%) dan mencegah kehilangan darah lebih dari 300 mL atau lebih (31% vs 34%) (Blum et al., 2010). Penelitian Double Blind Randomized Clinicall Trial yang dilakukan Minoo et al. 2014, di Bandar Abbas Iran, yang melibatkan 400 ibu hamil, membandingkan penggunaan oksitosin 20 IU dan misoprostol oral 400mcg. Hasil dari penelitian menunjukkan jumlah kehilangan darah lebih tinggi pada kelompok oksitosin dibandingkan dengan kelompok misoprostol. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam penurunan hematokrit dan hemoglobin antara kedua kelompok. Meskipun tidak ada perbedaan yang signifikan dalam kebutuhan untuk transfusi antara kedua kelompok, pasien dalam kelompok oksitosin memiliki kebutuhan yang lebih besar untuk oksitosin tambahan. Minoo et al. 2014 menyatakan, bahwa penggunaan misoprostol lebih efektif untuk mengurangi jumlah kehilangan darah, sehingga menghindari PPH. Misoprostol lebih efektif dari segi biaya dan mudah dikelola dan oleh karena itu dapat dipertimbangkan untuk digunakan di daerah sumber daya yang rendah ketika oksitosin tidak tersedia (Minoo et al,. 2014).Studi yang dilakukan Minoo et al. 2014 menunjukkan penurunan yang signifikan dalam perdarahan saat misoprostol digunakan untuk mencegah Perdarahan Post Partum dibandingkan dengan pengobatan oksitosin. Studi ini sejalan dengan Penelitian yang dilakukan oleh Lokugamage et al. yang melaporkan keunggulan misoprostol dibandingkan syntometrine dalam mengelola PPH. Mereka menggunakan syntometrine intramuskular (5 iu oksitosin dan 500 mcg ergometrine maleat) ditambah Syntocinon (10 iu oksitosin yang diencerkan dalam 500 mL saline normal) infus intravena dibandingkan 800 mcg misoprostol rektal. Lokugamage et al. menggunakan misoprostol untuk pengobatan PPP. Bagaimanapun, penelitian ini menggunakan single blind, dan penilaianya subjektif berdasarkan respon,dan, karena itu, rentan terhadap bias (Lokugamage et al., 2001).Widmar et al. 2010, melaporkan hasil yang berbeda. Mereka melaporkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara 600 mcg misoprostol sublingual dan plasebo pada pasien yang berada di bawah pengobatan rutin untuk perbaikan kontraksi uterus. Hasilnya berbeda dikarenakan pada studi ini efektivitas misoprostol dilihat pada pasien-pasien perdarahan post partum yang resisten penggunaan oksitosin (Widmer et al, 2010). Penelitian Double-Blind Randomized Clinical Trial yang dilakukan Singh et al. 2009, yang melibatkan 300 wanita dalam kehamilan untuk membandingkan efikasi dan efek samping misoprostol sublingual 400 mcg, misoprostol sublingula 600mcg, oksitosin intravena 5 IU, dan methylergometrine intravena 200mcg dalam manajemen aktif kala III persalinan. Didapatkan hasil bahwa misoprostol sublingual 600 mcg lebih efektif daripada misoprostol 400 mcg, oksitosin intravena, dan methylergometrine intravena untuk manajemen aktif kala tiga. Dengan hasil pasien yang menerima misoprostol sublingual 600 mcg memiliki volume kehilangan darah yang terendah (96 mL), diikuti oleh misoprostol 400 mcg (126mL), oksitosin (154 mL), dan methylergometrine (223mL). Durasi rata-rata terpendek kala III persalinan (5,74 menit) adalah misoprostol 600 mcg, sementara methylergometrine memiliki terpanjang (6,83 menit). Efek samping yang diamati adalah pireksia pada kelompok misoprostol, dan peningkatan tekanan darah pada kelompok methylergometrine. Tingkat hemoglobin 24 jam postpartum adalah serupa antar kelompok (Singh et al., 2009).Penelitian Randomized Clinical Trial yang dilakukan Mansouri et al. pada tahun 2011 yang membandingkan penggunaan misoprostor perectal 600 mcg dibandingkan dengan misoprostol oral 600 mcg untuk manajemen aktif kala III persalinan, mereka melaporkan bahwa misoprostol oral dikaitkan dengan signifikansi kehilangan darah yang lebih banyak dari misoprostol perectal; dilaporkaan juga efek samping seperti menggigil dan demam secara signifikan lebih diamati dalam kelompok oral daripada kelompok rektal (Mansouri et al., 2011).Efek samping yang dicatat dikaitkan dengan penggunaan misoprostol diantaranya adalah:1. Perubahan suhu: Menggigil, menggigil dan / atau demam semua umumnya terkait dengan penggunaan misoprostol. Menggigil telah dilaporkan pada 37-47% wanita dengan prnggunaan 800 mg sublingual misoprostol, demam pada 22-44%, dan hiperpireksia (> 40 derajat Celcius) pada 1-14% (Blum et al., 2010; Winikoff et al., 2010; Maughan et al., 2006).Efek samping menggigil dan demam lebih umum terjadi pada pasien yang diberikan 600mcg misoprostol dibandingkan dengan 400mcg. Tingkatan menggigil rata-rata hanya terjadi pada tingkatan moderate saja. Tak satu pun dari wanita dengan suhu lebih dari 40 C. Tidak ada peningkatan efek samping yang parah dan efek samping lainnya dengan 600mcg misoprostol. Dosis hingga mencapai 800mcg telah digunakan untuk tujuan aborsi tanpa efek samping besar. Mengingat efek samping dari percobaan yang telah dilakukan WHO, penulis menyarankan bahwa dosis lebih besar dari 600mcg peroral tidak harus diuji untuk pencegahan postpartum hemorrhage. Berdasarkan penelitian tersebut, menunjukkan bahwa 600mcg misoprostol oral berkhasiat dengan tingkat keamanan yang baik(Pisake et al.,1999).2. Gastrointestinal efek: Mual terjadi pada 10-15% wanita yang diberi 800 mg misoprostol sublingual dan muntah pada sekitar 5%. Tambahan anti emetik dapat digunakan jika diperlukan, tetapi seringnya tidak ada tindakan yang diperlukan kecuali untuk mengembalikan stabilitas hemodinamik pasien. Diare juga dapat terjadi pada sekitar 1% dari perempuan, umumnya tidak berlanjut lebih dari satu hari (Winikoff et al., 2010; Blum et al., 2010).

3. Menyusui: Sejumlah kecil misoprostol atau metabolit aktif mungkin muncul dalam ASI. Tidak ada efek samping yang dilaporkan.Pedoman FIGO terhadap penanganan perdarahan post partum. Saat ini hampir 30% kematian ibu di dunia disebabkan oleh perdarahan, terutama perdarahan post partum. Obat-obatan yang direkomendasikan oleh FIGO dalam penanganan post partum yaitu :a. OksitosinOksitosin adalah uterotonika yang paling dianjurkan. Obat ini menstimulasi jaringan otot pada segmen atas uterus, sehingga menyebabkan kontraksi yang ritmis, vasokonstriksi pembuluh darah dan menurunkan aliran darah menuju uterus. Obat ini aman dan merupakan obat pilihan pertama yang paling efektif dalam penanganan perdarahan post partum. Untuk efek yang maksimal, infuse melalui intravena lebih dianjurkan karena menyebabkan aliran yang konstan. Respon terhadap uterus berlangsung 1 jam setelah pemberian IV (FIGO, 2012).b. Ergot alkaloidErgot alkaloid seperti ergometrin, methylergometrin dan sintometrin menyebabkan kontraksi otot polos uterus di segmen atas maupun bawah secara kuat. Dosis yang dianjurkan adalah 0,2 mg secara IM. Dosis ini dapat diulang setiap 2-4 jam, dengan dosis maksimal 5 ampul (1 mg) dalam 24 jam. Ergot alkaloid dikontraindikasikan pada wanita dengan hipertensi, penyakit jantung atau preeklamsia karena dapat menyebabkan hipertensi (FIGO, 2012).c. Misoprostol Penelitian menunjukkan bahwa dosis tunggal misoprostol 800 g (4x tablet 200g) yang diberikan secara sublingual dinyatakan aman dan efektif untuk menangani penanganan post partum yang disebabkan atonia uteri, baik pada wanita yang sebelumnya sudah mendapatkan profilaksis oksitosin maupun tidak mendapatkan profilaksis, selama persalinan kala III. Penelitian lain bahkan menunjukkan bahwa penggunaan misoprostol mengurangi kebutuhan penggunaan intervensi tambahan. Penggunaan misoprostol sebagai terapi pendamping oksitosin tidak dianjurkan karena keuntungan penggunaan misoprostol tidak terbukti lebih baik jika diberikan secara simultan dengan uterotonik lain yang diberikan secara injeksi (FIGO, 2012).Perdarahan post partum terjadi apabila ditemukan kehilangan darah lebih dari 500ml atau 2 gelas setelah persalinan pervaginam atau 1 L setelah persalinan perabdominal (caesarean). Tanda dan gejala yang muncul berupa hipovolemia, yaitu peningkatan denyut nadi, penurunan tekanan darah, pucat, ekstremitas dingin, pengisian kapiler lambat, pusing, mual dan haus. Adapun penanganan yang harus dilakukan yaitu (FIGO, 2012):a. Meminta bantuan dan memasang infuse IV dengan kanul besar, dapat juga disiapkan untuk infuse dua jalur.b. Tempatkan ibu pada tempat datar, buat kakinya lebih tinggi daripada kepala.c. Lakukan pijatan secara halus pada fundus uteri sampai teraba keras dan kontraksi baik. Tindakan ini membantu pengeluaran jendalan darah dan membantu uterus berkontraksi.d. Kosongkan kandung kemih. Ibu bisa buang air kecil sendiri atau dibantu kateter.e. Oksigenasi.f. Beri uterotonika secepat mungkin.1) Oksitosin a) 10 IU IM, ataub) 20-40 IU dalam normal salin IL, 60 tetes per menit. Lanjutkan infus pada botol kedua, 20 IU pada 1L cairan IV, 40 tetes per menit sampai perdarahan berhenti, atau2) Methylergometrin (digunakan jika oksitosin tidak tersedia atau perdarahan tetap berlanjut walau sudah diberi oksitosin). Dosis 0,2mg diberikan secara IM atau perlahan lewat IV. Jika perdarahan masih berlanjut, dosis dapat diulang tiap 2-4 jam. Jangan berikan lebih dari 1mg dalam 24 jam. Hipertensi merupakan kontraindikasi relative terkait risiko stroke dan krisis hipertensi.3) Sintometrin, kombinasi 5 IU oksitosin dan 0,5 mg ergometrin. Diberikan 1 ampul secara IM. Pemberikan secara IV dapat menyebabkan hipotensi.4) Misoprostol (digunakan jika oksitosin tidak tersedia atau administrasi tidak memungkinkan). Diberikan dosis tunggal 800g secara sublingual.Secara umum pemberian dosis misoprostol pada kehamilan trimester pertama, kedua, ketiga serta pada penanganan perdarahan pasca persalinan yang direkomendasikan oleh Weeks A dalam Int J Gynaecology Obstetrics (2007) dijelaskan pada tabel 1. Sedangkan penjelasan secara lebih rinci pada masing-masing manfaatnya di bidang obstetri akan dibahas pada sub bab dibawah ini. Tabel 1. Dosis pemberian misoprostol pada kehamilan trimester 1, 2, 3 dan perdarahan pasca persalinan

Sumber : Weeks A, Faundes A. Misoprostol in obstetrics and gynecology. Int J Gynaecol Obstet, 2007.

Mekanisme misoprostol dalam meningkatkan kontraksi uterus adalah dengan mengubah permeabilitas membran sel di miometrium uterus sehingga meningkatkan kalsium intraseluler. Misoprostol juga memacu pembentukan gap junction di miometrium, dan memfasilitasi transmisi sinyal di miometrium. Misoprostol juga akan mengupregulasi pengaktifan dari reseptor oxytocin di membran cell miometrium, sehingga menstimulasi phospolipase C, yang bekerja dengan meningkatkan produksi inositol triphospat. Inositol triphosfat berfungsi membatu keluarnya kalsium intraseluler melalui retikulum sarkoplasma. Kalsium intraseluler yang keluar akan berikatan dengan calmodulin untuk membentuk calcium calmodulin complex, yang akan mengaktivasi MLCK (Myosin Light Chained Kinase. MLCK inilah yang akan menginisiasi kontraksi otot polos di miometrium uterus (Mattison, 2012).Mekanisme Methylergometrine golongan ergot alkaloid adalah melalui stimulasi ke reseptor sentral dopamine, menyebabkan kontraksi di miometrium uterus, dan menyebabkan vasokontriksi. Mekanisme kedua obat terhadap miometrium uterus dapat dilihat pada gambar 1 (Mattison, 2012).

Gambar 1. Mekanisme kerja Prostalglandin dan methylergometrin di miometrium uterus (Sumber : Mattison, 2012)

Prostaglandin adalah stimulan miometrium yang efektif dan telah digunakan untuk mengobati perdarahan postpartum selama bertahun-tahun. Karena keprihatinan akan keamanan, biaya dan efek samping prostaglandin, mereka tidak mempertimbangkan pengobatan profilaksis, sampai efek uterotonika misoprostol diakui. Misoprostol adalah obat yang murah, mudah disimpan, dan secara sistematis dapat diserap per oralserta dapat melintasi membran mukosa, sehingga sudah diperhitungkan ini dapat menjadi pengganti yang lebih baik untuk obat suntik. Berikut ini adalah tabel yang membandingkan berbagai rute pemberian misoprostol dilihat dari onset dan lamanya reaksi (Weeks, 2007).Tabel 2. Rute pemberian misoprostol

Penggunaan peroral memiliki serapan yang tercepat tetapi memiliki durasi kerja yang terpendek. Rute perektal memiliki serapan lambat tetapi durasi kerja yang berkepanjangan. Rute Bukal dan sublingual memiliki asupan yang cepat, dan jangka waktu aksi yang lama dan total bioavailabilitas terbesar. WHO menyimpulkan bahwa rute yang paling baik adalah rute sublingual.Meskipun pertimbangan WHO pada tahun 2009 menyimpulkan bahwa sublingual adalah rute yang paling baik, ada kemungkinan pasien meludahkannya jika dia tidak menyukai rasanya. Pemberian peroral lebih cepat daripada melalui vagina & perrektal karena efeknya akan terdeteksi dalam sirkulasi dalam waktu 2 menit setelah dicerna. Obat ini dimetabolisme di hati, sehingga dosisnya harus diperhatikan terutama pada pasien dengan gangguan hati, tetapi tidak perlu takut pada pasien dengan gangguan ginjal. Obat ini tidak menginduksi sistem enzim hati dan tidak memiliki interaksi dengan obat lain (Weeks, 2007).Bioavalibilitas untuk masing-masing cara pemberian berbeda sehingga dosis yang tepat harus dengan cara pemberian yang tepat (Weeks, 2007). Gambar 2. Kisaran dosis misoprostolSumber: Misoprostol Dosage Guidelines for Obstetrics and Ginaecology, Oktober 2005

Misoprostol merupakan stimulator kontraksi uterus pada kehamilan lanjut yang sangat kuat dan dapat menyebabkan kematian janin serta ruptur uterus jika digunakan dalam dosis yang tinggi.Oleh karena itu, pemakaiannya harus mengikuti dosis yang dianjurkan dan tidak melebihi dosis tersebut. (Gambar 3) Misoprostol dapat diberikan secara oral, dibawah lidah (sublingual), vaginal atau rektal. Dosis maksimum yang dapat ditoleransi hingga 2.200 mg selama 12 jam. Efek samping yang paling umum adalah mual, muntah, diare, sakit perut (kram), menggigil, dan demam. Obat ini tidak menyebabkan bronkospasme dan hipertensi (Patil et al., 2013).

BAB IIIKESIMPULAN

1. Perdarahan post partumsebagai perdarahan yang melebihi 500 ml dalam 24 jam setelah bayi lahir. (Leduc et al., 2009).2. Menurut FIGO - ICM definisi manajemen persalinan aktif kala IIImeliputi, penggunaan uterotonika segera setelah janin lahir, penegangan tali pusat terkendali dan masase fundus segera setelah plasenta lahir.3. Menunjukkan bahwa methylergomethrin lebih efektif menurunkan insidensi kejadian PPH jika dibandingkan dengan misoprostol, tetapi tidak berbeda signifikan dalam volume kehilangan darah, lama kala III, kebutuhan oksitosin dan tranfusi darah (Patil et al., 2013).4. Misoprostol oral mengakibatkan kehilangan darah yang lebih tinggi dibandingkan dengan obat uterotonika lain dan karena itu harus digunakan hanya dalam pengaturan sumber daya rendah di mana obat lain tidak tersedia (Meena, 2013). 5. Tidak pernah dilaporkan efek samping berat maupun kematian pada ibu hamil yang menggunakan misoprostol, efek samping yang di laporkan terkait perubahan suhu, efek gastrointestinal, dan kandungan dalam air susu.

BAB IVDISKUSI

1. Pemberian misoprostol dapat diberikan melalui oral, rektal, vagina, rute pemberian manakah yang paling efektif mencegah perdarahan postpartum?Penggunaan peroral memiliki serapan yang tercepat tetapi memiliki durasi kerja yang terpendek. Rute perektal memiliki serapan lambat tetapi durasi kerja yang berkepanjangan. Rute Bukal dan sublingual memiliki asupan yang cepat, dan jangka waktu aksi yang lama dan total bioavailabilitas terbesar. WHO menyimpulkan bahwa rute yang paling baik adalah rute sublingual.Penelitian Randomized Clinical Trial yang dilakukan Mansouri et al. pada tahun 2011 juga mendukung hal tersebut, yang membandingkan penggunaan misoprostor perectal 600 mcg dibandingkan dengan misoprostol oral 600 mcg untuk manajemen aktif kala III persalinan, mereka melaporkan bahwa misoprostol oral dikaitkan dengan signifikansi kehilangan darah yang lebih banyak dari misoprostol perectal; dilaporkaan juga efek samping seperti menggigil dan demam secara signifikan lebih diamati dalam kelompok oral daripada kelompok rektal (Mansouri, 2011).

2. Pemberian misoprostol dapat menjadi alternatif dalam mengurangi kejadian perdarahan post partum, bagaimana mekanismenya?Berdasarkan berbagai penelitian mekanisme pasti misoprostol belum diketahui namun diperkirakan Pada organ reproduksi wanita, prostaglandin E1 merangsang kontraksi uterus. Sensitivitas uterus meningkat dengan bertambahnya usia kehamilan. Pada serviks, misoprostol menyebabkan peningkatan aktivitas kolagenase dan mengubah komposisi proteoglikan sehingga menyebabkan pelembutan dan penipisan serviks (Mattison, 2012).Mekanisme misoprostol dalam meningkatkan kontraksi uterus adalah dengan mengubah permeabilitas membran sel di miometrium uterus sehingga meningkatkan kalsium intraseluler. Misoprostol juga memacu pembentukan gap junction di miometrium, dan memfasilitasi transmisi sinyal di miometrium. Misoprostol juga akan mengupregulasi pengaktifan dari reseptor oxytocin di membran cell miometrium, sehingga menstimulasi phospolipase C, yang bekerja dengan meningkatkan produksi inositol triphospat. Inositol triphosfat berfungsi membatu keluarnya kalsium intraseluler melalui retikulum sarkoplasma. Kalsium intraseluler yang keluar akan berikatan dengan calmodulin untuk membentuk calcium calmodulin complex, yang akan mengaktivasi MLCK (Myosin Light Chained Kinase. MLCK inilah yang akan menginisiasi kontraksi otot polos di miometrium uterus (Mattison, 2012).3. Adakah kontraindikasi dalam penggunaan misoprostol maupun methylergometrine?Kontraindikasi penggunaan misoprostol adalah jika pasien memiliki alergi terhadap obat golongan prostalglandin, dan gangguan hati. Sedangkan Kontraindikasi pemberian methylergometrin diantaranya (Cunningham, 2012):a. Preeklamsia atau riwayat hipertensib. Sepsisc. Penyakit hatid. Penyakit ginjale. Penyakit pembuluh darah seperti arteritis sifilitika, arteriosklerosis, penyakit pembuluh darah koroner, tromboflebitis dan sindroma Raynaud.4. Dosis misoprostol yang aman yang digunakan untuk terapi perdarahan post partum berapa ? Pernahkah ada efek samping berat yang menyebabkan morbiditas atau mortalitas terkait penggunaan misoprostol? Penelitian yang dilakukan Singh et al. 2009, yang melibatkan 300 wanita dalam kehamilan untuk membandingkan efikasi dan efek samping misoprostol sublingual 400 mcg, misoprostol sublingula 600mcg, oksitosin intravena 5 IU, dan methylergometrine intravena 200mcg dalam manajemen aktif kala III persalinan. Didapatkan hasil bahwa misoprostol sublingual 600 mcg lebih efektif daripada misoprostol 400 mcg, oksitosin intravena, dan methylergometrine intravena untuk manajemen aktif kala tiga. Dengan hasil pasien yang menerima misoprostol sublingual 600 mcg memiliki volume kehilangan darah yang terendah (96 mL), Durasi rata-rata terpendek kala III persalinan (5,74 menit) (Singh et al., 2009).Hal ini mendukung yang direkomendasikan oleh Weeks A dalam Int J Gynaecology Obstetrics (2007) dijelaskan pada tabel 2. Dosis pemberian misoprostol pada kehamilan trimester 1, 2, 3 dan perdarahan pasca persalinan.Tidak pernah dilaporkan efek samping berat maupun kematian pada ibu hamil yang menggunakan misoprostol, efek samping yang di laporkan terkait perubahan suhu, gastrointestinal efek, dan kandungan dalam air susu.

DAFTAR PUSTAKA

Ahonen J, Stefanovic V, Lassila R. Management of post-partum haemorrhage. Acta Anaesthesiol Scand. 2010 Nov;54(10):1164-78.Anderson J, Etches D, Smith D. Postpartum haemorrhage. In Damos JR, Eisinger SH, eds. Advanced Life Support in Obstetrics (ALSO)provider course manual. Kansas: American Academy of Family Physicians, 2000:115Anderson JM. 2007. Prevention and Management of Postpartum Hemorrhage. American Academy of Family Physicians. Vol. 75:875-82Blum J, Winikoff B, Raghavan S, Dabash R, Ramadan MC, Dilbaz B, et al. Treatment of post-partum haemorrhage with sublin-gual misoprostol versus oxytocin in women receiving prophylactic oxytocin: a double-blind, randomised, non-inferiority trial.Lancet 2010;375:217-23.Enakpene, I. O. Morhason-Bello, E. O. Enakpene, A. O. Arowojolu, and A. O. Omigbodun, Oral misoprostol for the prevention of primary post-partum hemorrhage during third stage of labor,Journal of Obstetrics and Gynaecology Research, vol. 33, no. 6, pp. 810817, 2007.Cunningham, Garry. 2012. Obstrerti Williams. Alih bahasa: Huriawati Hartono. Jakarta. EGCDecherney AH dan Lauren Nathan. 2003. Curren Obstyetric and Gynecologic Diagnosis and treatment, 9th edition. The McGraw-Hill Companies. Inc. Depkes RI. 2008. Asuhan Persalinan Normal. JakartaGulmezoglu AM, Villar J. Ngoc, Piaggio G, Carroli G, Adetoro L, Abdel-Aleem H et al. WHO multicenter randomized trial of misoprostol in the management of third stage of labor. Lancet 2001; 358:689-695.Goldberg AB, Greenberg MB, dan Darney PD. 2001.Misoprostol and pregnancy.N Engl J Med. Vol.344:38-47Leduc D, Senikas V, Lalonde AB, Ballerman C, Biringer A, Delaney M, Duperron L, Girard I, Jones D, Lee LS, Shepherd D, Wilson K. Active management of the third stage of labour: prevention and treatment of postpartum hemorrhage. J Obstet Gynaecol Can. 2009 Oct;31(10):980-93.Lokugamage AU, Sullivan KR, Niculescu I, Tigere P, Onyangunga F, et al. A random-ized study comparing rectally administered misoprostol versus Syntometrine combined with an oxytocin infusion for the cessation of primary post partum hemorrhage. ActaObstetGynecolScand 2001;80:835-839.Pisake, Hofmeyr J, Gulmezoglu AM, Pinol A, Villra J. Misoprostol dose-related shivering and pyrexia in the third stage of labor. British Journal of Obstet & Gynecol 1999;106:304-308.M. Widmer, J. Blum, G. J. Hofmeyr et al., Misoprostol as an adjunct to standard uterotonics for treatment of post-partum haemorrhage: a multicentre, double-blind randomised trial,The Lancet, vol. 375, no. 9728, pp. 18081813, 2010.Mansouri HA and Alsahly N. Rectal versus oral misoprostol for active management of third stage of labor: a randomized controlled trial. Arch. Gynecol. Obstet. (2011) 283: 935-9.Mattison, Donald. 2012. Clinical Pharmachology During Pregnancy. UK : Oxford, Academic Press.Maughan KL, Heim SW, Galazka SS. Preventing postpartum hemorrhage: managing the third stage of labor. Am Fam Physician. 2006 Mar 15;73(6):1025-8.Meena Banwari Lal. Use of Oral Misoprostol, Intramuscular Oxytocin and Intravenous Methergin in Prevention of Postpartum Haemorrhage. Nepal Journal of Obstetrics and Gynaecology.2013. Vol 8 No. 1: 34-36Minoo Rajaei,Samieh Karimi,Zohreh Shahboodaghi,Hamidreza Mahboobi,Tahereh Khorgoei,andFarzam Rajaei. Safety and Efficacy of Misoprostol versus Oxytocin for the Prevention of Postpartum Hemorrhage. Journal of Pregnancy Volume2014(2014), 4Patil, Neelamma B., Shobhana S. Patted. A Randomized Controlled Trial Of Oral Misoprostol vs Injection Methylergometrine for Prevention of Post Partum Hemorrhage. International Journal of Reproduction, Contraception, Obstretrics, and Gynecology. 2013 2(3): 296-303. Sanghvi,NasratullahAnsari,NdolaJ.V.Prata,HannahGibson,AftabT.Ehsan,JeffreyM.Smith.PreventionofpostpartumhemorrhageathomebirthinAfghanistan.InternationalJournalofGynecologyandObstetrics108(2010)27628Singh G,Radhakrishnan G,Guleria K. Comparison of sublingual misoprostol, intravenous oxytocin, and intravenous methylergometrine in active management of the third stage of labor. Int J Gynaecol Obstet.2009 Nov;107(2):130-4Walraven G, Blum J, Dampha Y, Sowe M, Morison L. et al. Misoprostol in the management of third stage of labor in home delivery setting in rural Gambia: a randomized controlled trial. Br J Obstet & Gynaecol 2005;112:1-7.Winikoff B, Dabash R, Durocher J, Darwish E, Ngoc NTN, Len W, et al. Treatment of post-partum haemorrhage with sublin-gual misoprostol versus oxytocin in women not exposed to oxytocin during labour: a double-blind, randomised, non-inferiority trial. Lancet 2010;375:210-16.Weeks A, Faundes A. Misoprostol in obstetrics and gynecology. Int J Gynaecol Obstet, 2007.