Upload
nur-ul-fatiha
View
44
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
referat
Citation preview
Referat bayi dengan infeksi HIV
Cover
Isi kandungan
Pendahuluan
Epidemiologi
Etiologi cara penularan
Manifestasi klinis
Diagnosis infeksi hiv pada anak
Pemeriksaan laboratorium
Penatalaksanaan
Prognosis
Kesimpulan
Daftar pustaka
Pendahuluan
Infeksi HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome)
pertama kali dilaporkan di Amerika pada tahun 1981 pada orang dewasa homoseksual, sedangkan
pada anak tahun 1983. Enam tahun kemudian (1989), AIDS sudah merupakan penyakit yang
mengancam kesehatan anak di Amerika. Di seluruh dunia, AIDS menyebabkan kematian pada lebih
dari 8,000 orang setiap hari saat ini, yang berarti 1 orang setiap 10 detik. Karena itu infeksi HIV
dianggap sebagai penyebab kematian tertinggi akibat satu jenis agen infeksius.
Sejak dimulainya epidemi HIV, AIDS telah mematikan lebih dari 25 juta orang; lebih dari 14 juta
anak kehilangan salah satu atau kedua orang tuanya akibat AIDS. Setiap tahun diperkirakan 3 juta
orang meninggal karena AIDS; 500,000 diantaranya adalah anak di bawah umur 15 tahun. Setiap
tahun pula terjadi infeksi baru pada 5 juta orang terutama di negara terbelakang dan berkembang;
700,000 diantaranya terjadi pada anak-anak. Dengan angka transmisi sebesar ini maka dari 37.8 juta
orang pengidap infeksi HIV/AIDS pada tahun 2005, terdapat 2.1 juta anak-anak di bawah 15 tahun.
Infeksi HIV adalah penyakit yang diakibatkan oleh infeksi virus HIV (Human Immunodeficiency
Virus). AIDS adalah penyakit yang menunjukkan adanya sindrom defisiensi imun selular sebagai
akibat infeksi HIV.
Epidemiologi
Cara paling efisien dan efektif untuk menanggulangi infeksi HIV pada anak secara universal adalah
dengan mengurangi penularan dari ibu ke anaknya (mother-to-child transmission (MTCT). Namun
demikian setiap hari terjadi 1800 infeksi baru pada anak umur kurang dari 15 tahun, 90% nya di
negara berkembang atau terbelakang dan melalui penularan dari ibu ke anaknya. Upaya pencegahan
transmisi HIV pada anak menurut WHO dilakukan melalui 4 strategi, yaitu mencegah penularan HIV
pada wanita usia subur, mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada wanita HIV, mencegah
penularan HIV dari ibu HIV hamil ke anak yang akan dilahirkannya dan memberikan dukungan,
layanan dan perawatan berkesinambungan bagi pengidap HIV. Pemberian obat Anti Retroviral (ARV)
untuk anak dan bayi yang terinfeksi karenanya menjadi satu jalan untuk menanggulangi pandemi HIV
pada anak di samping upaya untuk mencegah penularan infeksi HIV pada anak dan bayi.
Di RSCM hingga tahun 2006 terdapat 150 pasien terinfeksi HIV/AIDS pada anak < 15 tahun, dan 100
anak yang terpapar HIV tetapi tidak tertulari. Pada orang dewasa sampai dengan September 2005
terdapat 8,169 pengidap infeksi HIV. Penderita pria lebih banyak 3 kali lipat dari wanita. Sebagian
besar pengidap usia dewasa ini adalah pada usia subur. Dengan kemampuan reproduksi penderita
dewasa, akan lahir anak-anak yang mungkin tertular HIV. Bila tidak dilakukan intervensi, dari setiap
100 wanita dewasa pengidap HIV yang hamil dan melahirkan, sebanyak 40-45 anak-anak ini akan
tertulari.
ETIOLOGI
Penyebab penyakit AIDS adalah HIV yaitu virus yang tergolong ke dalam keluarga retrovirus
subkelompok lentivirus, seperti virus Visna pada biri-biri, sapi, dan feline serta Simian
Immunodeficiency Virus (SIV). Lentivirus mampu menyebabkan efek sitopatik yang singkat dan
infeksi laten dalam jangka panjang, juga menyebabkan penyakit progresif dan fatal termasuk wasting
syndrom dan degenerasi susunan saraf pusat.
Virus ini pertama kali ditemukan oleh Montagnier dari Perancis pada tahun 1983 dan oleh Gallo dari
Amerika pada tahun 1984. Terdapat 2 tipe HIV yang sangat mirip, yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang
walaupun berbeda struktur genomik dan antigenesitasnya akan tetapi manifestasi klinisnya tidak dapat
dibedakan. Kedua tipe HIV tersebut diketahui membentuk antibodi yang dapat saling bereaksi silang.
Secara epidemiologis, HIV-l terdapat pada AIDS di Afrika Tengah, Haiti, Eropa Barat dan
Amerika; sedangkan HIV-2 prevalensinya lebih rendah dan terdapat secara endemis di Afrika Barat.
Secara sporadis HIV-2 juga ditemukan di Inggris, beberapa negara Eropa, Brazil, dan baru-baru ini di
Amerika.
Dinamakan retrovirus karena virus ini mempunyai kemampuan dapat membentuk DNA dari RNA
sebab mempunyai enzim transkiptase reversi. Enzim ini dapat menggunakan RNA virus sebagai
template untuk membentuk DNA, yang kemudian berintegrasi ke dalam kromosom pejamu dan
selanjutnya bekerja sebagai dasar untuk proses replikasi HIV.
Struktur HIV
HIV mempunyai inti (nukleoid) berbentuk silindris dan eksentrik, mengandung 2 rangkaian genom
RNA diploid, dengan masing-masing rangkaian memiliki enzim transkriptase reversi (RT), dan
integrase. Selain itu di dalam inti juga terdapat enzim protease yang tidak melekat pada rangkaian
RNA. Partikel yang membentuk inti silindris ini adalah protein kapsid (P24); yang menutupi
komponen nukleoid tersebut sehingga membentuk struktur nukleokapsid. Protein matriks p17
merupakan bagian dalam sampul virus HIV (lihat Gambar 32-1). Bagian paling luar adalah lapisan
membran fosfolipid yang berasal dari membran plasma sel pejamu. Pada membran permukaan virion
terdapat tonjolan yang terdiri atas molekul glikoprotein (gp120) dengan bagian transmembran yang
merupakan gp4l yang keduanya dibentuk oleh virus.
Siklus hidup HIV
Siklus hidup HIV dimulai ketika virion HIV melekatkan diri pada sel pejamu. Perlekatan ini dimulai
dari interaksi antara kompleks env yang terdiri dari 3 pasang molekul gp120 dan molekul
transmembran gp 41 yang merupakan molekul trimerik membran virion dengan membran sel target.
Pertama-tama terbentuk ikatan antara satu subunit gp 120 dengan molekul CD4 sel pejamu.
Perlekatan ini menginduksi perubahan konformasional (membran virion melekuk agar gp120 kedua
dapat ikut melekat) yang memicu perlekatan gp120 kedua pada koreseptor kemokin (CXCR4, CCR5).
Ikatan dengan koreseptor ini selanjutnya menginduksi perubahan konformasional pada gp41 (semula
berada di lapisan lebih dalam membran virion) untuk mengekspos komponen hidrofobiknya sampai
ke lapisan membran pejamu, (karena mampu bergerak seperti ini maka gp41 dinamakan peptida fusi)
dan kemudian menyisipkan diri ke membran sel pejamu dan memudahkan terjadinya fusi membran
sel HIV dengan membran sel pejamu dan sel inti HIV dapat masuk ke dalam sitoplasma sel pejamu
(lihat Gambar 32-3).
Di dalam sel pejamu bagian inti nukleoprotein keluar, enzim di dalam kompleks nukeoprotein
ini menjadi aktif. Genom RNA HIV ditranskripsi menjadi DNA oleh enzim transkriptase reversi (RT=
Reverse Transcriptase). DNA HIV yang terbentuk kemudian masuk ke nukleus sel pejamu melalui
bantuan enzim integrase. Integrasi diperkuat bila pada saat yang sama DNA pejamu bereplikasi
karena terstimulasi oleh antigen atau bakteri superantigen. DNA virus HIV yang sudah berintegrasi ke
dalam DNA sel pejamu dinamakan DNA provirus. DNA provirus ini dapat dormant, atau tidak aktif
mentranskripsi sampai berbulan-bulan atau bertahun-tahun tanpa adanya protein baru atau virion.
Transkripsi gen proviral DNA yang sudah terintegrasi diatur oleh:
LTR , bergerak ke arah hulu dari gen struktur virus
Sitokin/stimulus fisiologis terhadap sel T dan makrofag lain untuk memperkuat transkripsi.
LTR mengandung urutan sinyal poliadenilasi berupa promotor berturutan dalam bentuk kotak TATA
dan tempat ikatan/binding untuk 2 faktor transkripsi pejamu (NF-kB dan SP1). Awal transkripsi gen
HIV dalam sel T terkait dengan pengaktivan sel T secara fisiologis oleh antigen atau sitokin lain.
Sebagai contoh, aktivator poliklonal sel T seperti fitohemaglutinin, IL-2, TNF dan limfotoksin akan
menstimulasi ekspresi gen HIV dalam sel T yang terinfeksi. Selain itu IL-1, IL-3, IL-6, TNF,
limfotoksin, IFN-γ dan GM-CSF merangsang ekspresi gen HIV dan replikasi virus dalam sel monosit
dan makrofag yang terinfeksi. Fenomena ini menunjukkan bahwa sel T yang terinfeksi HIV secara
laten dapat tetap memberi respons normal terhadap mikroba lain. Replikasi sel T mungkin menjadi
pemicu berakhirnya infeksi laten dan dimulainya produksi virus. Infeksi multipel yang dialami
penderita HIV akan menstimulasi produksi HIV untuk selanjutnya menginfeksi sel lainnya
Meskipun tampaknya replikasi virus HIV mudah dan terdapat sinyal optimal untuk memulai
transkripsi, hanya sedikit saja molekul mRNA HIV yang benar-benar disintesis. Hal itu terjadi karena
transkripsi gen HIV oleh enzim polimerase RNA mamalia tidak efisien dan kompleks polimer
biasanya berhenti ditranskripsi sebelum mRNA lengkap.
Protein Tat terikat pada mRNA yang baru mulai dibentuk, bukan pada DNA virus. Keterikatan ini
meningkatkan proses polimerase RNA hingga beberapa ratus kali lipat, dan mendorong
diselesaikannya transkripsi dengan hasil akhir RNA messenger(mRNA) HIV yang fungsional.
mRNA yang mengkode aneka protein HIV berasal dari transkrip helai tunggal genom lengkap yang
telah melalui proses penyambungan yang berbeda-beda. Ekspresi gen HIV dapat dibagi ke dalam
stadium awal saat gen regulator dibentuk dan stadium akhir dimana gen struktur diekspresikan dan
helai tunggal genom lengkap dibuat.
Protein Rev, Tat, Nev adalah produk awal gen yang dicetak oleh mRNA yang tersambung sempurna
dan dikeluarkan dari nukleus dan diterjemahkan menjadi protein di sitoplasma segera sesudah infeksi
satu sel.
Produk akhir gen termasuk env, gag, dan pol yang mengkode komponen struktur virus dan
diterjemahkan dari RNA tunggal yang sudah maupun belum tersambung. Protein Rev memulai
penukaran dari ekspresi awal menjadi gen akhir dengan cara mempromosikan ekspor RNA ke luar inti
sel. RNA ini yang belum tersambung sempurna akan dikeluarkan dari inti. Produk gen pol adalah
protein prekursor yang dipotong secara berurutan untuk membentuk enzim transkriptase riversi,
protease, ribonuklease dan integrase. Gen gag mengkode protein berukuran 55-D. Protein ini
selanjutnya dipotong oleh enzim proteolitik menjadi polipeptida p24, p17, dan p15. Ketiga polipeptida
ini adalah protein inti yang diperlukan untuk membentuk partikel infeksius virus. Gen env
memproduksi terutama glikoprotein 160-kD yang selanjutnya dipotong oleh protease sel di retikulum
endoplasma menjadi protein gp 120 dan gp 41 yang diperlukan untuk menempelnya HIV pada sel.
Sesudah transkripsi oleh berbagai gen virus, protein virus dibentuk di sitoplasma pejamu. Seluruh
partikel infeksius kemudian disusun dalam satu kompleks nukleoprotein, termasuk gag dan pol yang
diperlukan untuk integrase siklus berikutnya.
Kompleks nukleoprotein ini kemudian dibungkus dengan 1 membran pembungkus dan dilepaskan
dari sel pejamu melalui proses ”budding” dari membran plasma. Kecepatan produksi virus dapat
sangat tinggi dan menyebabkan kematian sel pejamu.
PERJALANAN PENYAKIT
Perkembangan penyakit AIDS tergantung dari kemampuan virus HIV untuk menghancurkan sistem
imun pejamu dan ketidakmampuan sistem imun untuk menghancurkan HIV.
Tahap-tahap dan patogenesis infeksi HIV
Penyakit HIV dimulai dengan infeksi akut yang tidak dapat diatasi sempurna oleh respons imun
adaptif, dan berlanjut menjadi infeksi jaringan limfoid perifer yang kronik dan progresif. Perjalanan
penyakit HIV dapat diikuti dengan memeriksa jumlah virus di plasma dan jumlah sel T CD4 + dalam
darah. Infeksi primer HIV pada fetus dan neonatus terjadi pada situasi sistim imun imatur, sehingga
penjelasan berikut merupakan ilustrasi patogenesis yang khas dapat diikuti pada orang dewasa.
Infeksi primer terjadi bila virion HIV dalam darah, semen, atau cairan tubuh lainnya dari seseorang
masuk ke dalam sel orang lain melalui fusi yang diperantarai oleh reseptor gp120 atau gp41.
Tergantung dari tempat masuknya virus, sel T CD4+ dan monosit di darah, atau sel T CD4+ dan
makrofag di jaringan mukosa merupakan sel yang pertama terkena. Sel dendrit di epitel tempat
masuknya virus akan menangkap virus kemudian bermigrasi ke kelenjar getah bening. Sel dendrit
mengekspresikan protein yang berperan dalam pengikatan envelope HIV, sehingga sel dendrit
berperan besar dalam penyebaran HIV ke jaringan limfoid. Di jaringan limfoid, sel dendrit dapat
menularkan HIV ke sel T CD4+ melalui kontak langsung antar sel.
Beberapa hari setelah paparan pertama dengan HIV, replikasi virus dalam jumlah banyak dapat
dideteksi di kelenjar getah bening. Replikasi ini menyebabkan viremia disertai dengan sindrom HIV
akut (gejala dan tanda nonspesifik seperti infeksi virus lainnya). Virus menyebar ke seluruh tubuh dan
menginfeksi sel T subset CD4 atau T helper, makrofag, dan sel dendrit di jaringan limfoid perifer.
Setelah penyebaran infeksi HIV, terjadi respons imun adaptif baik humoral maupun selular terhadap
antigen virus. Respons imun dapat mengontrol sebagian dari infeksi dan produksi virus, yang
menyebabkan berkurangnya viremia dalam 12 minggu setelah paparan pertama.
Setelah infeksi akut, terjadilah fase kedua dimana kelenjar getah bening dan limpa menjadi
tempat replikasi HIV dan destruksi sel. Pada tahap ini, sistem imun masih kompeten mengatasi infeksi
mikroba oportunistik dan belum muncul manifestasi klinis infeksi HIV, sehingga fase ini disebut juga
masa laten klinis (clinical latency period). Pada fase ini jumlah virus rendah dan sebagian besar sel T
perifer tidak mengandung HIV. Kendati demikian, penghancuran sel T CD4+ dalam jaringan limfoid
terus berlangsung dan jumlah sel T CD4+ yang bersirkulasi semakin berkurang. Lebih dari 90% sel T
yang berjumlah 1012 terdapat dalam jaringan limfoid, dan HIV diperkirakan menghancurkan 1-2 x 109
sel T CD4+ per hari. Pada awal penyakit, tubuh dapat menggantikan sel T CD4+ yang hancur dengan
yang baru. Namun setelah beberapa tahun, siklus infeksi virus, kematian sel T, dan infeksi baru
berjalan terus sehingga akhirnya menyebabkan penurunan jumlah sel T CD4+ di jaringan limfoid dan
sirkulasi.
Pada fase kronik progresif, pasien rentan terhadap infeksi lain, dan respons imun terhadap
infeksi tersebut akan menstimulasi produksi HIV dan destruksi jaringan limfoid. Transkripsi gen HIV
dapat ditingkatkan oleh stimulus yang mengaktivasi sel T, seperti antigen dan sitokin. Sitokin
(misalnya TNF) yang diproduksi sistem imun alamiah sebagai respons terhadap infeksi mikroba,
sangat efektif untuk memacu produksi HIV. Jadi, pada saat sistem imun berusaha menghancurkan
mikroba lain, terjadi pula kerusakan terhadap sistem imun oleh HIV.
Penyakit HIV berjalan terus ke fase akhir dan letal yang disebut AIDS dimana terjadi destruksi
seluruh jaringan limfoid perifer, jumlah sel T CD4+ dalam darah kurang dari 200 sel/mm3, dan
viremia HIV meningkat drastis. Pasien AIDS menderita infeksi oportunistik, neoplasma, kaheksia
(HIV wasting syndrome), gagal ginjal (nefropati HIV), dan degenerasi susunan saraf pusat
(ensefalopati HIV).
Manifestasi klinis infeksi HIV.
Fase penyakit Manifestasi klinis
Penyakit HIV akut Demam, sakit kepala, sakit tenggorokan dengan faringitis,
limfadenopati generalisata, eritema
Masa laten klinis Berkurangnya jumlah sel T CD4+
AIDS Infeksi oportunistik
Protozoa (Pneumocystis carinii, Cryptosporidium)
Bakteri (Toxoplasma, Mycobacterium avium, Nocardia, Salmonella)
Jamur (Candida, Cryptococcus neoformans, Coccidioides immitis,
Histoplasma capsulatum)
Virus (cytomegalovirus, herpes simplex, varicella-zoster)
Tumor
Limfoma (termasuk limfoma sel B yang berhubungan dengan EBV)
Sarkoma Kaposi
Karsinoma servikal
Ensefalopati
Wasting syndrome
Respons imun terhadap HIV
Pada pasien HIV terjadi respons imun humoral dan selular terhadap produk gen HIV. Respons awal
terhadap infeksi HIV serupa dengan pada infeksi virus lainnya dan dapat menghancurkan sebagian
besar virus di dalam darah dan sel T yang bersirkulasi. Kendati demikian, respons imun ini gagal
untuk menghilangkan semua virus, dan selanjutnya infeksi HIV mengalahkan sistem imun pada
sebagian besar individu.
Terdapat 3 karakteristik respons imun terhadap HIV. Pertama, respons imun dapat berbahaya terhadap
pejamu, misalnya dengan menstimulasi uptake virus yang teropsonisasi kepada sel yang tidak
terinfeksi melalui endositosis yang diperantarai Fc reseptor atau melalui eradikasi sel T CD4+ yang
mengekspresi antigen virus oleh sel T sitotoksik CD8+. Kedua, antibodi terhadap HIV merupakan
petanda infeksi HIV yang digunakan secara luas untuk uji tapis tetapi sedikit yang memiliki efek
netralisasi. Ketiga, pembuatan vaksin HIV memerlukan pengetahuan tentang epitop virus yang paling
mungkin menstimulasi imunitas protektif.
Respons imun awal terhadap infeksi HIV mempunyai karakteristik ekspansi masif sel T
sitotoksik CD8+ yang spesifik terhadap protein HIV. Respons antibodi terhadap berbagai antigen HIV
dapat dideteksi dalam 6-9 minggu setelah infeksi, namun hanya sedikit bukti yang menunjukkan
bahwa antibodi mempunyai efek yang bermanfaat untuk mengontrol infeksi. Molekul HIV yang
menimbulkan respons antibodi terbesar adalah glikoprotein envelope, sehingga terdapat titer anti-
gp120 dan anti-gp41 yang tinggi pada sebagian besar pasien HIV. Antibodi anti-envelope merupakan
inhibitor yang buruk terhadap infektivitas virus atau efek sitopatik. Terdapat antibodi netralisasi
dengan titer rendah pada pasien HIV. Antibodi netralisasi ini dapat menginaktivasi HIV in vitro.
Terdapat pula antibodi yang memperantarai ADCC. Semua antibodi ini spesifik terhadap gp120.
Belum ditemukan korelasi antara titer antibodi dengan keadaan klinis. Uji tapis standar untuk HIV
menggunakan imunofluoresensi atau enzyme-linked immunoassay untuk mendeteksi antibodi anti-
HIV pada serum. Setelah dilakukan uji tapis dengan hasil yang positif, sering dilanjutkan dengan
Western blot atau radioimmunoassay untuk mendeteksi antibodi spesifik terhadap protein virus
tertentu.
Mekanisme penghindaran imun oleh HIV
Kegagalan respons imun selular dan humoral untuk mengatasi infeksi HIV disebabkan berbagai
faktor. Karena gangguan dalam hal jumlah dan fungsi sel T CD4+, respons imun tidak mampu
mengeliminasi virus. Selain itu, HIV mempunyai berbagai cara utuk menghindari imunitas tubuh.
HIV mempunyai tingkat mutasi yang sangat tinggi sehingga HIV dapat menghindari deteksi
oleh antibodi atau sel T yang terbentuk. Diperkirakan pada seseorang yang terinfeksi, mutasi
titik (point mutation) pada genom virus dapat terjadi setiap hari. Satu area protein pada
molekul gp120 yang disebut V3 loop mampu mengubah komponen antigeniknya, dan dapat
bervariasi walaupun bahannya diambil dari individu yang sama pada waktu yang berbeda.
Sel terinfeksi HIV dapat menghindari sel T sitotoksik dengan cara down-regulation ekspresi
molekul MHC kelas I. Protein HIV Nef menghambat ekspresi molekul MHC kelas I,
khususnya HLA-A dan HLA-B, dengan cara meningkatkan internalisasi molekul-molekul
tersebut.
Infeksi HIV dapat menghambat imunitas selular. Sel TH2 yang spesifik untuk HIV dan
mikroba lain dapat meningkat secara relatif terhadap sel TH1. Karena sitokin TH2 menghambat
imunitas selular, hasil dari ketidakseimbangan ini adalah disregulasi (disebut juga deviasi
imun) yang meningkatkan kerentanan pejamu terhadap infeksi mikroba intraselular, termasuk
HIV itu sendiri.
CARA PENULARAN
Cara penularan HIV yang paling penting pada anak adalah dari ibu kandungnya yang sudah mengidap
HIV baik saat sebelum dan sesudah kehamilan. Penularan lain yang juga penting adalah dari transfusi
produk darah yang tercemar HIV, kontak seksual dini pada perlakuan salah seksual atau perkosaan
anak oleh penderita HIV, prostitusi anak, dan sebab-sebab lain yang buktinya sangat sedikit.
Meskipun HIV dapat ditemukan pada cairan tubuh pengidap HIV seperti air ludah (saliva) dan air
mata serta urin, namun ciuman, berenang di kolam renang atau kontak sosial seperti pelukan dan
berjabatan tangan, serta dengan barang yang dipergunakan sehari-hari bukanlah merupakan cara
untuk penularan. Oleh karena itu, seorang anak yang terinfeksi HIV tetapi belum memberikan gejala
AIDS tidak perlu dikucilkan dari sekolah atau pergaulan.
Ibu hamil dengan HIV (+)
Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menularkan virus tersebut ke bayi yang dikandungnya. Cara
transmisi ini dinamakan juga transmisi secara vertikal. Transmisi dapat terjadi melalui plasenta
(intrauterin) intrapartum, yaitu pada waktu bayi terpapar dengan darah ibu atau sekret genitalia yang
mengandung HIVselama proses kelahiran, dan post partum melalui ASI. Transmisi dapat terjadi pada
20-50% kasus.
Faktor prediktor penularan adalah stadium infeksi ibu, kadar Limfosit T CD4 dan jumlah virus pada
tubuh ibu, penyakit koinfeksi hepatitis B, CMV atau penyakit menular seksual lain pada ibu, serta
apakah ibu pengguna narkoba suntik sebelumnya dan tidak minum obat ARV selama hamil. Proses
intrapartum yang sulit juga akan meningkatkan transmisi, yaitu lamanya ketuban pecah, persalinan
per vaginam dan dilakukannya prosedur invasif pada bayi. Selain itu prematuritas akan meningkatkan
angka transmisi HIV pada bayi.
HIV dapat diisolasi dari ASI pada ibu yang mengandung HIV di dalam tubuhnya baik dari cairan ASI
maupun sel-sel yang berada dalam cairan ASI (limfosit, epitel duktus laktiferus). Risiko untuk tertular
HIV melalui ASI adalah 11-29%. Bayi yang lahir dari ibu HIV (+) dan mendapat ASI tidak semuanya
tertular HIV, dan hingga kini belum didapatkan jawaban pasti; tetapi diduga IgA yang terlarut
berperan dalam proses pengurangan antigen. WHO menganjurkan untuk negara dengan angka
kematian bayi tinggi dan akses terhadap pengganti air susu ibu rendah, pemberian ASI eksklusif
sebagai pilihan cara nutrisi bagi bayi yang lahir dari ibu HIV (+). Transmisi melalui perawatan ibu ke
bayinya belum pernah dilaporkan.
Transfusi
Penularan dapat terjadi melalui transfusi darah yang mengandung HIV atau produk darah yang berasal
dari donor yang mengandung HIV. Dengan sudah dilakukannya skrining darah donor untuk HIV,
maka transmisi melalui cara ini menjadi jauh berkurang.
Jarum suntik yang tercemar HIV
Penularan melalui cara ini terutama ditemukan pada penyalahguna obat intravena yang menggunakan
jarum suntik bersama. Sekali tertulari, maka seorang pengguna akan dapat menulari pasangannya
melalui hubungan seksual. Untuk mengantisipasi tersebarnya aneka penyakit melalui cara ini, di
banyak negara maju sudah dilakukan program harm reduction bagi pengguna narkoba dengan
membagikan jarum suntik steril pada pemakai.
Hubungan seksual dengan pengidap HIV
Penularan cara ini ditemukan pada anak remaja yang berganti-ganti pasangan seksual, atau korban
perkosaan, atau prostitusi anak. Penderita AIDS yang berumur 20-an mendapat infeksi HIV pada
masa remaja.
FAKTOR RISIKO
Dari cara penularan tersebut di atas maka faktor risiko untuk tertular HIV pada bayi dan anak adalah,
1) bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan biseksual, 2) bayi yang lahir dari ibu dengan pasangan
berganti, 3) bayi yang lahir dari ibu atau pasangannya penyalahguna obat intravena, 4) bayi atau anak
yang mendapat transfusi darah atau produk darah berulang, 5) anak yang terpapar pada infeksi HIV
dari kekerasan seksual (perlakuan salah seksual), dan 6) anak remaja dengan hubungan seksual
berganti-ganti pasangan.
MASA INKUBASI
Masa inkubasi pada orang dewasa berkisar 3 bulan sampai terbentuknya antibodi anti HIV.
Manifestasi klinis infeksi HIV dapat singkat maupun bertahun-tahun kemudian. Khusus pada bayi di
bawah umur 1 tahun, diketahui bahwa viremia sudah dapat dideteksi pada bulan-bulan awal
kehidupan dan tetap terdeteksi hingga usia 1 tahun. Manifestasi klinis infeksi oportunistik sudah dapat
dilihat ketika usia 2 bulan.
GAMBARAN KLINIS
Manifestasi klinis infeksi HIV pada anak bervariasi dari asimtomatis sampai penyakit berat yang
dinamakan AIDS. AIDS pada anak terutama terjadi pada umur muda karena sebagian besar (>80%)
AIDS pada anak akibat transmisi vertikal dari ibu ke anak. Lima puluh persen kasus AIDS anak
berumur < l tahun dan 82% berumur <3 tahun. Meskipun demikian ada juga bayi yang terinfeksi HIV
secara vertikal belum memperlihatkan gejala AIDS pada umur 10 tahun.
Gejala klinis yang terlihat adalah akibat adanya infeksi oleh mikroorganisme yang ada di
lingkungan anak. Oleh karena itu, manifestasinya pun berupa manifestasi nonspesifik berupa gagal
tumbuh, berat badan menurun, anemia, panas berulang, limfadenopati, dan hepatosplenomegali.
Gejala yang menjurus kemungkinan adanya infeksi HIV adalah adanya infeksi oportunistik, yaitu
infeksi dengan kuman, parasit, jamur, atau protozoa yang lazimnya tidak memberikan penyakit pada
anak normal. Karena adanya penurunan fungsi imun, terutama imunitas selular, maka anak akan
menjadi sakit bila terpajan pada organisme tersebut, yang biasanya lebih lama, lebih berat serta sering
berulang. Penyakit tersebut antara lain kandidiasis mulut yang dapat menyebar ke esofagus, radang
paru karena Pneumocystis carinii, radang paru karena mikobakterium atipik, atau toksoplasmosis
otak. Bila anak terserang Mycobacterium tuberculosis, penyakitnya akan berjalan berat dengan
kelainan luas pada paru dan otak. Anak sering juga menderita diare berulang.
Manifestasi klinis lainnya yang sering ditemukan pada anak adalah pneumonia interstisialis limfositik,
yaitu kelainan yang mungkin langsung disebabkan oleh HIV pada jaringan paru. Manifestasi klinisnya
berupa hipoksia, sesak napas, jari tabuh, dan limfadenopati. Secara radiologis terlihat adanya infiltrat
retikulonodular difus bilateral, terkadang dengan adenopati di hilus dan mediastinum.
Manifestasi klinis yang lebih tragis adalah yang dinamakan ensefalopati kronik yang mengakibatkan
hambatan perkembangan atau kemunduran ketrampilan motorik dan daya intelektual, sehingga terjadi
retardasi mental dan motorik. Ensefalopati dapat merupakan manifestasi primer infeksi HIV. Otak
menjadi atrofi dengan pelebaran ventrikel dan kadangkala terdapat kalsifikasi. Antigen HIV dapat
ditemukan pada jaringan susunan saraf pusat atau cairan serebrospinal.
Secara khusus dilakukan klasifikasi manifestasi klinis ini oleh CDC Amerika Serikat (1994) dan
WHO (tahun 2006). Penggunaan klasifikasi ini untuk membantu dalam menentukan diagnosis,
tatalaksana dan prognosis. Klasifikasi klinis yang mengarahkan ke pengambilan keputusan
dilakukannya pemeriksaan laboratorium dikenal dengan nama AIDS Defining Illness
Klasifikasi klinis menurut CDC adalah N, A, B dan C (AIDS) dengan tambahan prefix E pada semua
anak yang terpapar pada HIV dari orangtuanya. Klasifikasi klinis menurut WHO dapat dilihat pada
tabel berikut.
Tabel 32-2. Klasifikasi WHO mengenai penyakit yang berhubungan dengan HIV
Klasifikasi Stadium klinis WHO
Asimtomatik 1
Ringan 2
Sedang 3
Berat 4
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan assay antibodi dapat mendeteksi antibodi terhadap HIV. Tetapi karena antibodi anti HIV
maternal ditransfer secara pasif selama kehamilan dan dapat dideteksi hingga usia anak 18 bulan,
maka adanya hasil antibodi yang positif pada anak kurang dari 18 bulan tidak serta merta menjadikan
seorang anak pasti terinfeksi HIV. Karenanya diperlukan uji laboratorik yang mampu mendeteksi
virus atau komponennya seperti:
assay untuk mendeteksi DNA HIV dari plasma
assay untuk mendeteksi RNA HIV dari plasma
assay untuk mendeteksi antigen p24 Immune Complex Dissociated (ICD)
Teknologi uji virologi masih dianggap mahal dan kompleks untuk negara berkembang. Real time
PCR(RT-PCR) mampu mendeteksi RNA dan DNA HIV, dan saat ini sudah dipasarkan dengan harga
yang jauh lebih murah dari sebelumnya. Assay ICD p24 yang sudah dikembangkan hingga generasi
keempat masih dapat dipergunakan secara terbatas. Evaluasi dan pemantauan kualitas uji
laboratorium harus terus dilakukan untuk kepastian program. Selain sampel darah lengkap (whole
blood) yang sulit diambil pada bayi kecil, saat ini juga telah dikembangkan di negara tertentu
penggunaan dried blood spots (DBS) pada kertas saring tertentu untuk uji DNA maupun RNA HIV.
Tetapi uji ini belum dipergunakan secara luas, masih terbatas pada penelitian.
Meskipun uji deteksi antibodi tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis definitif HIV pada
anak yang berumur kurang dari 18 bulan, antibodi HIV dapat digunakan untuk mengeksklusi infeksi
HIV, paling dini pada usia 9 sampai 12 bulan pada bayi yang tidak mendapat ASI atau yang sudah
dihentikan pemberian ASI sekurang-kurangnya 6 minggu sebelum dilakukannya uji antibodi.
Dasarnya adalah antibodi maternal akan sudah menghilang dari tubuh anak pada usia 12 bulan.
Pada anak yang berumur lebih dari 18 bulan uji antibodi termasuk uji cepat (rapid test) dapat
digunakan untuk mendiagnosis infeksi HIV sama seperti orang dewasa.
Pemeriksaan laboratorium lain bersifat melengkapi informasi dan membantu dalam penentuan
stadium serta pemilihan obat ARV. Pada pemeriksaan darah tepi dapat dijumpai anemia,
leukositopenia, limfopenia, dan trombositopenia. Hal ini dapat disebabkan oleh efek langsung HIV
pada sel asal, adanya pembentukan autoantibodi terhadap sel asal, atau akibat infeksi oportunistik.
Jumlah limfosit CD4 menurun dan CD8 meningkat sehingga rasio CD4/CD8 menurun. Fungsi sel T
menurun, dapat dilihat dari menurunnya respons proliferatif sel T terhadap antigen atau mitogen.
Secara in vivo, menurunnya fungsi sel T ini dapat pula dilihat dari adanya anergi kulit terhadap
antigen yang menimbulkan hipersensitivitas tipe lambat. Kadar imunoglobulin meningkat secara
poliklonal. Tetapi meskipun terdapat hipergamaglobulinemia, respons antibodi spesifik terhadap
antigen baru, seperti respons terhadap vaksinasi difteri, tetanus, atau hepatitis B menurun.
DIAGNOSIS
Anak yang berumur kurang dari 18 bulan
Diagnosis definitif laboratoris infeksi HIV pada anak yang berumur kurang dari 18 bulan hanya dapat
ditegakkan melalui uji virologik. Hasil yang positif memastikan terdapat infeksi HIV. Tetapi bila
akses untuk uji virologik ini terbatas, WHO menganjurkan untuk dilakukan pada usia 6-8 minggu,
dimana bayi yang tertular in utero, maupun intra partum dapat tercakup.
Uji virologik yang dilakukan pada usia 48 jam dapat mengidentifikasi bayi yang tertular in utero,
tetapi sensitivitasnya masih sekitar 48%. Bila dilakukan pada usia 4 minggu maka sensitivitasnya naik
menjadi 98%.
Satu hasil positif uji virologik pada usia berapa pun dianggap diagnostik pasti. Meskipun demikian
tetap direkomendasikan untuk melakukan uji ulang pada sampel darah yang berbeda. Bila tidak
mungkin dilakukan dua kali maka harus dipastikan kehandalan laboratorium penguji.
Pada anak yang didiagnosis infeksi HIV hanya dengan satu kali pemeriksaan virologik yang positif,
harus dilakukan uji antibodi anti HIV pada usia lebih dari 18 bulan.
Diagnosis infeksi HIV pada bayi yang mendapat ASI
Bila seorang bayi yang terpapar infeksi HIV mendapat ASI, ia akan terus berisiko tertulari HIV
selama masa pemberian ASI; karenanya uji virologik negatif pada bayi yang terus mendapat ASI
tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi HIV. Dianjurkan uji virologik dilakukan setelah bayi tidak
lagi mendapat ASI selama minimal 6 minggu. Bila saat itu bayi sudah berumur 9-18 bulan saat
pemberian ASI dihentikan, uji antibodi dapat dilakukan sebelum uji virologik, karena secara praktis
uji antibodi jauh lebih murah. Bila hasil uji antibodi positif, maka pemeriksaan uji virologik
diperlukan untuk mendiagnosis pasti, meskipun waktu yang pasti anak-anak membuat antibodi anti
HIV pada yang terinfeksi post partum belum diketahui.
Bayi dan anak yang terpapar HIV dan memiliki gejala klinis
Bila uji virologik tidak dapat dilakukan tetapi ada tempat yang mampu memeriksa, semua bayi kurang
dari 12 bulan yang terpapar HIV dan menunjukkan gejala dan tanda infeksi HIV harus dirujuk untuk
uji virologik. Hasil yang positif pada stadium apapun menunjukkan positif infeksi HIV.
Bayi dan anak yang terpapar HIV asimtomatik
Pada usia 12 bulan, sebagian besar bayi yang terpapar HIV sudah tidak lagi memiliki antibodi
maternal. Hasil uji antibodi yang positif pada usia ini dapat dianggap indikasi tertular (94.5%
seroreversi pada usia 12 bulan; Spesifisitas 96%) dan harus diulang pada usia 18 bulan.
Diagnosis infeksi HIV setelah ibu atau bayi mendapat Anti Retroviral (ARV) untuk program
pencegahan
(PMTCT=Prevention of Mother To Child Transmission)
Secara umum waktu pendeteksian tidak berbeda, assay DNA dapat mulai diperiksa pada usia 48 jam.
Pemakaian ARV pada ibu dan bayinya untuk PMTCT tidak akan mempengaruhi hasilnya. DNA HIV
akan tetap terdeteksi pada sel mononuklear darah tepi anak yang terinfeksi HIV dan sudah mendapat
ARV meskipun hasil assay RNA HIVnya tidak terdeteksi.
Sampai saat ini belum ada data pasti apakah sensitivitas RNA HIV atau assay antigen ICD p24
dipengaruhi oleh profilaksis ARV pada ibu dan bayi. WHO menyatakan bahwa pemeriksaan RNA
tidak berbeda dengan DNA, dalam hal sensitivitas dan spesifisitas, pada bayi yang lahir mendapat
ARV.
Diagnosis infeksi bila ibu minum ARV
Belum diketahui apakah pemakaian ARV pada ibu yang menyusui bayinya dapat mempengaruhi
deteksi RNA HIV atau p24 pada bayi, meskipun sudah dibuktikan uji DNA HIV tidak terpengaruh.
Anak yang berumur lebih dari 18 bulan
Diagnosis definitif infeksi HIV pada anak yang berumur lebih dari 18 bulan (apakah paparannya
diketahui atau tidak) dapat menggunakan uji antibodi, sesuai proses diagnosis pada orang dewasa.
Konfirmasi hasil yang positif harus mengikuti algoritme standar nasional, paling tidak menggunakan
reagen uji antibodi yang berbeda.
Diagnosis klinis presumtif infeksi HIV
Tidak ada algoritme diagnosis klinis tunggal yang terbukti sangat sensitif atau spesifik untuk
mendiagnosis HIV. Akurasi diagnosis berdasarkan algoritme klinis jarang yang mencapai sensitifitas
70% dan bervariasi menurut umur; bahkan tidak dapat diandalkan unutk mendiagnosis infeksi HIV
pada bayi yang berumur kurang dari 12 bulan. Uji antibodi anti HIV (dapat berupa rapid test) dan
peningkatan akses untuk uji virologik dini dapat membantu dokter membuat algoritme diagnostik
yang lebih baik. Dalam situasi sulit diperbolehkan menggunakan dasar klinis untuk memulai
pengobatan ARV pada anak kurang dari 18 bulan dan terpapar HIV yang berada dalam kondisi sakit
berat. Penegakan diagnosis berdasarkan gejala klinis yang dikombinasikan dengan pemeriksaan CD4
atau parameter lain saat ini belum terbukti sebagai alat diagnosis infeksi HIV.
Anak yang berumur kurang dari 18 bulan
Untuk bayi dan anak berumur kurang dari 18 bulan yang berada di tempat dimana uji virologik tidak
mungkin dilakukan, terdapat gejala yang sugestif infeksi HIV, diagnosis presumtif ineksi HIV secara
klinis dapat dibuat. Diagnosis infeksi ini dapat menjadi dasar untuk menilai apakah diperlukan
pemberian ARV segera.
Anak yang berumur lebih dari 18 bulan
Pada anak yang berumur lebih dari 18 bulan dengan gejala dan tanda sugestif infeksi HIV, dapat
digunakan pemeriksaan antibodi untuk menegakkan diagnosis. Diagnosis presumtif pada kondisi ini
tidak dianjurkan karena pemeriksaan antibodi saja dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis.
Beberapa kondisi seperti pneumonia pneumositis, kandidiasis esofagus, meningitis kriptokokus jarang
terjadi pada anak yang tidak terinfeksi HIV. Karenanya kondisi klinis seperti ini menjadi faktor
penentu untuk pemeriksaan antibodi anti HIV.
PENGOBATAN
Tatalaksana pada penderita HIV atau yang terpapar HIV harus lengkap, meliputi pemantauan tumbuh
kembang, nutrisi, imunisasi, tatalaksana medikamentosa, tatalaksana psikologis dan penanganan sisi
social yang akan berperan dalam kepatuhan program pemantauan dan terapi. Pemberian imunisasi
harus mempertimbangkan situasi klinis, status imunologis serta panduan yang berlaku. Panduan
imunisasi WHO berkenaan dengan anak pengidap HIV adalah, selama asimtomatik, semua jenis
vaksin dapat diberikan, termasuk vaksin hidup. Tetapi bila simtomatik, maka pemberian vaksin polio
oral dan BCG sebaiknya dihindari.
Pengobatan medikamentosa mencakupi pemberian obat-obat profilaksis infeksi oportunistik yang
tingkat morbiditas dan mortalitasnya tinggi. Riset yang luas telah dilakukan dan menunjukkan
kesimpulan rekomendasi pemberian kotrimoksasol pada penderita HIV yang berusia kurang dari 12
bulan dan siapapun yang memiliki kadar CD4 < 15% hingga dipastikan bahaya infeksi pneumonia
akibat parasit Pneumocystis jiroveci dihindari. Pemberian Isoniazid (INH) sebagai profilaksis
penyakit TBC pada penderita HIV masih diperdebatkan. Kalangan yang setuju berpendapat langkah
ini bermanfaat untuk menghindari penyakit TBC yang berat, dan harus dibuktikan dengan metode
diagnosis yang handal. Kalangan yang menolak menganggap bahwa di negara endemis TBC,
kemungkinan infeksi TBC natural sudah terjadi. Langkah diagnosis perlu dilakukan untuk
menetapkan kasus mana yang memerlukan pengobatan dan yang tidak.
Obat profilaksis lain adalah preparat nistatin untuk antikandida, pirimetamin untuk toksoplasma,
preparat sulfa untuk malaria, dan obat lain yang diberikan sesuai kondisi klinis yang ditemukan pada
penderita. Untuk ini banyak panduan yang cukup baik dijadikan bahan bacaan.
Pengobatan penting adalah pemberian antiretrovirus atau ARV. Riset mengenai obat ARV terjadi
sangat pesat, meskipun belum ada yang mampu mengeradikasi virus dalam bentuk DNA proviral
pada stadium dorman di sel CD4 memori. Pengobatan infeksi HIV dan AIDS sekarang menggunakan
paling tidak 3 kelas anti virus, dengan sasaran molekul virus dimana tidak ada homolog manusia.
Obat pertama ditemukan pada tahun 1990, yaitu Azidothymidine (AZT) suatu analog nukleosid
deoksitimidin yang bekerja pada tahap penghambatan kerja enzim transkriptase riversi. Bila obat ini
digunakan sendiri, secara bermakna dapat mengurangi kadar RNA HIV plasma selama beberapa
bulan atau tahun. Biasanya progresivitas penyakti HIV tidak dipengaruhi oleh pemakaian AZT,
karena pada jangka panjang virus HIV berevolusi membentuk mutan yang resisten terhadap obat.
Prinsip dasar dalam pemberian ARV adalah bahwa ARV sampai saat ini bukan untuk
menyembuhkan; bila digunakan dengan benar berhubungan dengan perbaikan kualitas hidup
penderita.Tujuan pengobatan yang ingin dicapai adalah (1) memperpanjang usia hidup anak yang
terinfeksi, (2) mencapai tumbuh dan kembang yang optimal, (3) menjaga, menguatkan dan
memperbaiki sistim imun dan mengurangi infeksi oportunistik, (4) menekan replikasi virus HIV dan
mencegah progresifitas penyakit, (5) mengurangi morbiditas anak-anak dan meningkatkan kualitas
hidupnya.
Hingga saat ini sudah terdapat lebih kurang 20 jenis obat ARV. Obat-obat ini pada dasarnya terdiri
dari 5 jenis berdasarkan tempat kerjanya, yaitu NRTI (Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor),
NNRTI (Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor), PI (protease Inhibitor), Fusion Inhibitor,
dan Anti-Integrase. Pemakaian kombinasi NRTI dengan NNRTI dan PI ini saat ini dikenal sebagai
Highly Active Anti Retroviral Therapy (HAART). Penamaan ini didasarkan atas peningkatan survival,
pengurangan kemungkinan infeksi oportunistik dan komplikasi lain, perbaikan pertumbuhan dan
fugnsi neurokognitif dan peningkatan kualitas hidup penderita HIV.
Virus HIV dalam darah diproduksi oleh sel T CD4+ yang terinfeksi dan sebagian kecil oleh sel lain
yang terinfeksi. Terapi obat dikembangkan untuk menghambat semua produksi HIV yang terdeteksi
untuk beberapa tahun. Penurunan viremia sebagai efek pemberian ARV dibagi dalam 3 fase. Fase
pertama adalah penurunan jumlah virus dalam plasma secara cepat dengan waktu paruh kurang dari 1
hari. Penurunan ini menunjukkan bahwa virus diproduksi oleh sel yang hanya hidup sebentar (short-
lived) yaitu sel T CD4+ yang merupakan reservoir utama (93 – 97% dari seluruh sel T) dan sumber
virus.
Fase kedua penurunan HIV plasma dengan waktu paruh 2 minggu menyebabkan jumlah virus dalam
plasma berkurang hingga di bawah ambang deteksi. Hal ini menunjukkan berkurangnya reservoir
virus dalam makrofag.
Fase ketiga yang sangat lambat menunjukkan terdapat penyimpanan virus di sel T memori yang
terinfeksi secara laten. Karena masa hidup yang panjang dari sel memori, diperlukan berpuluh-puluh
tahun untuk menghilangkan reservoir virus ini.
PROGNOSIS
Prognosis anak-anak pengidap HIV berbeda-beda sesuai stadium klinis dan terutama persentase CD4
yang dimiliki sebelum mulai terapi ARV. Secara umum tercapainya stadium ADIS pada anak lebih
cepat pada orang dewasa. Bila pada orang dewasa ada sejumlah pengidap HIV yang dapat tetap sehat
dengan hitung CD4 tetap normal bertahun-tahun lamanya, maka pada anak belum didapatkan studi
kohort dengan hasil yang sebanding. Tetapi memang ditemukan anak-anak yang hingga usia paling
tidak 8 tahun tidak memilki gejala infeksi HIV dan hitung CD4nya normal, meskipun HIV seropositif.
Studi awal menunjukkan bahwa pada anak-anak yang tetap sehat memiliki produksi antibodi lebih
baik dan aktivitas sel Limfosit sitotoksik terhadap HIV yang lebih baik. Tetapi lebih banyak anak-
anak terinfeksi HIV yang sebelum usia 1 tahun pun sudah memerlukan terapi ARV. Dengan
perkembangan riset obat ARV pada anak dan keberhasilan pencegahan transmisi dari ibu pengidap
HIV ke anaknya, diharapkan angka keberhasilan hidup anak pengidap HIV lebih tinggi di masa yang
akan datang.