22
LARVA REVOLVE SEBAGAI ALAT PENENTU WAKTU KEMATIAN PADA PEMBUSUKAN POST MORTEM LARVA REVOLVE SEBAGAI ALAT PENENTU WAKTU KEMATIAN PADA PEMBUSUKAN POST MORTEM Abcharina Rachmatina, Athira Sarah Maulyta, Carissa Ruly, Devita Prima Nurmasari, Febrian Naufaldi, Vania Salsabila Kamil* Bendrong Moediarso ** *Dokter Muda Fakultas Kedokteran Universitas Jember, RSUD Dr. Soetomo, Surabaya ** Departemen Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, RSUD Dr. Soetomo, Surabaya Abstract: Tanatologi adalah cabang ilmu yang dibutuhkan oleh dokter terutama yang dari forensik. Tanatologi berguna untuk menentukan apakah seseorang sudah mati, berapa lama ia telah mati, dan membedakan perubahan selama ante-mortem dan post-mortem. Studi forensik entomologi dapat diartikan sebagai studi yang memanfaatkan pengetahuan tentang serangga bagi kepentingan medikokriminal. Studi ini digunakan pada jenazah yang telah mengalami pembusukan lanjut, sebab sulit terlihat tanda-tanda pasca kematiannya serta mengeluarkan bau busuk yang menarik bagi serangga di sekitarnya. Menentukan lama kematian adalah hal yang sangat penting, baik kriminal ataupun tidak. Pada semua kasus kematian, merupakan hal yang penting bagi keluarga korban untuk mengetahui kapan korban meninggal. Pada kasus kriminal hal ini terkait dengan proses penyidikan, oleh karena penyidik lebih terarah dan

Referat for 3 July 2015

Embed Size (px)

DESCRIPTION

bu

Citation preview

LARVA REVOLVE SEBAGAI ALAT PENENTU WAKTU KEMATIAN PADA PEMBUSUKAN POST MORTEMLARVA REVOLVE SEBAGAI ALAT PENENTU WAKTU KEMATIAN PADA PEMBUSUKAN POST MORTEM

Abcharina Rachmatina, Athira Sarah Maulyta, Carissa Ruly, Devita Prima Nurmasari, Febrian Naufaldi, Vania Salsabila Kamil*Bendrong Moediarso **

*Dokter Muda Fakultas Kedokteran Universitas Jember, RSUD Dr. Soetomo, Surabaya** Departemen Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, RSUD Dr. Soetomo, Surabaya

Abstract:Tanatologi adalah cabang ilmu yang dibutuhkan oleh dokter terutama yang dari forensik. Tanatologi berguna untuk menentukan apakah seseorang sudah mati, berapa lama ia telah mati, dan membedakan perubahan selama ante-mortem dan post-mortem. Studi forensik entomologi dapat diartikan sebagai studi yang memanfaatkan pengetahuan tentang serangga bagi kepentingan medikokriminal. Studi ini digunakan pada jenazah yang telah mengalami pembusukan lanjut, sebab sulit terlihat tanda-tanda pasca kematiannya serta mengeluarkan bau busuk yang menarik bagi serangga di sekitarnya.Menentukan lama kematian adalah hal yang sangat penting, baik kriminal ataupun tidak. Pada semua kasus kematian, merupakan hal yang penting bagi keluarga korban untuk mengetahui kapan korban meninggal. Pada kasus kriminal hal ini terkait dengan proses penyidikan, oleh karena penyidik lebih terarah dan selektif dalam melakukan pemeriksaan terhadap para tersangka dan pelaku tindak pidana.Tujuan artikel ini adalah untuk menerapkan Larva Revolver sebagai alat praktis untuk menentukan waktu kematian berdasarkan temuan siklus hidup larva.Larva Revolver adalah sebuah roda terdiri dari dua lingkaran; satu luar mewakili waktu dan satu bagian dalam terdapat komponen dari sikhlus hidup larva. Terdapat faktor lain yang dapat mengganggu penerapan Larva revolve yaitu, temperatur, nutrisi, kelembapan, ketinggian, lokasi jenazah yang dapat mempengaruhi perkembangan dari siklus hidup larva.Setelah beberapa percobaan aplikasi kasus, Larva Revolve terbukti dapat digunakan alat praktis dalam menentukan saat kematian.Keyword: thanatology, entomology, time of death, larva cycle, tool, Larva Revolve

Pendahuluan Penentuan kematian merupakan hal yang penting dalam suatu kasus kriminal. Hal ini bila dikaitkan dengan proses penyidikan, oleh karena penyidik lebih terarah dan selektif dalam melakukan pemeriksaan terhadap para tersangka, pelaku tindak pidana. Pada kasus kriminal dapat ditetapkan kapan waktu kematian, menghilangkan kemungkinan yang tidak sesuai dengan kasus, dan memperkuat atau menyangkal suatu alibi. Hal ini dapat diketahui dari perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuh seseorang yang meninggal dunia (post mortem).Ahli patologi forensik menggunakan beberapa metode yang lazim digunakan dalam membuat perkiraan saat kematian adalah pengukuran penurunan suhu tubuh (argor mortis), interpretasi lebam (livor mortis) dan kaku mayat (rigor mortis), interpretasi proses dekomposisi, pengukuran perubahan kimia pada vitreous, interpretasi isi dan pengosongan lambung. Akan tetapi, parameter medis tersebut sering dipengaruhi oleh banyak variabel lain, yang sampai sekarang masih tidak diketahui dengan pasti, dan parameter medis tersebut dinilai sedikit atau bahkan tidak dapat dipergunakan sama sekali bila lama kematian sudah lebih dari 72 jam. (Henssge et al, 1995). Setelah melewati waktu lebih dari 72 jam, bukti entomologis merupakan bukti yang paling akurat dan merupakan satu satunya metode yang tersedia untuk menentukan lama waktu kematian (Kashyap and Pillai, 1989). Walaupun parameter medis sering digunakan untuk memperkirakan lama kematian yang baru terjadi dalam beberapa jam, dalam keadaan normal serangga selalu tertarik dengan jasad tubuh segera setelah kematian, sehingga serangga juga dapat digunakan dalam memperkirakan waktu awal setelah kematian. (Anderson and Cervenka, 2002).Salah satu serangga yang dipakai dalam studi forensik entomologi adalah lalat dan larvanya. Lalat akan tertarik pada jasad tubuh segera setelah kematian (Anderson and VanLaerhoven, 1996; Erzinclioglu, 1983; Nuorteva, 1977). Lalat yang pertama kali tertarik dengan jasad umumnya adalah blow flies (berukuran besar, agak metalik, sering kali terlihat dekat makanan atau tempat sampah), akan tetapi pada beberapa bagian dari dunia lalat flesh flies yang terlebih dahulu tertarik dengan jasad. Blow flies tergolong pada family Calliphoridae, ordo Diptera. Beberapa penelitian telah dilakukan terhadap blow files dan serangga darat lain pada jenazah yang ditemukan terapung di permukaan air (contoh: Catts, Goff; 1992; Goff, 1993; Hobischak, Anderson, 1999; Smith, 1986).1Penelitian yang menggunakan lalat juga telah dilakukan di Indonesia. Pada 1992, penelitian mengenai peran larva lalat pada mayat dalam menunjang penentuan saat kematian oleh Suriptiastuti dan Hoedojo dari Parasitologi FK Trisakti dan FKUI.3 Daniel Umar dan AM Algozali dari Forensik FK Unair melakukan penelitian dengan tema yang sama, namun pengamatan dilakukan tiga kali, yaitu pada tahun 2000, 2002 dan 2003.6 Penelitian oleh Dian Mayasari dari FK Undip pada 2008, yang belum dipublikasikan, menyimpulkan bahwa panjang larva lalat pada jenazah berkorelasi tinggi dengan lama waktu kematian. Pada tahun 1958, ditemukan 13 spesies dari Calliphoridae dan Sarcophagidae yang ditemukan pada mayat di Washington. Penelitian ini menjadi dasar yang digunakan untuk memperkirakan usia belatung yang didapat pada mayat.Perkembangan dari serangga dapat diperkirakan, analisis dari serangga paling tua yang terdapat pada jasad, disertai dengan pengetahuan mengenai kondisi meteorologis dapat digunakan untuk menentukan berapa lama serangga berkoloni di jasad, sehingga dapat menentukan lama kematian. (Anderson and Cervenka, 2002)Berdasarkan hal tersebut di atas, referat ini diajukan untuk mengetahui bagaimana cara memperkirakan saat kematian korban dengan cepat dan mudah menggunakan sebuah alat praktis yaitu Larva Revolve yang dibuat berdasarkan pertumbuhan dari larva diptera yang merupakan awal dari lalat (blow flies).

Tinjauan PustakaTanatologi adalah ilmu yang mempelajari perubahan-perubahan pada tubuh seseorang yang telah meninggal (1). Tanatologi bermanfaat menentukan apakah seseorang benar-benar telah meninggal, menentukan berapa lama seseorang telah meninggal, serta membedakan perubahanante mortemdanpost mortem(1).Stadium kematian dibedakan menjadisomatic deathdancellular death.Somatic death, yaitu pernapasan dan peredaran darah berhenti sehingga terjadi anoksia yang lengkap dan menyeluruh dalam jaringan-jaringan, hal ini menyebabkan proses aerobik dalam sel-sel tubuh berhenti, tetapi proses anaerobik masih berlangsung. Sedangkancellular deathadalah proses metabolisme aerobik dan anaerobik di sel-sel tubuh yang berhenti (1).Somatic deathditandai dengan pergerakan dan sensibilitas menghilang, pernapasan berhenti, serta denyut jantung dan peredaran darah yang berhenti. Sedangkancellular deathditandai dengan penurunan suhu mayat, lebam mayat, kaku mayat, cutis anserina, elastisitas kulit hilang, refleks kornea hilang, kornea keruh, bola mata yang lunak dan berkerut, pupil ireguler atau lonjong, segmentasi pembuluh darah retina, serta pembusukan, mummifikasi, atau adipocere (1).Terdapat 2 fase perubahan post mortem yaitu fase cepat (early) dan fase lambat (late). Perubahan cepat (early) terdiri dari tidak adanya gerakan, jantung tidak berdenyut (henti jantung), paru-paru tidak bergerak (henti nafas), kulit dingin dan turgornya menurun, mata tidak ada reflek pupil dan tidak bergerak, suhu tubuh sama dengan suhu lingkungan lebam mayat (post mortal lividity), lebam mayat. Sedangkan perubahan lambat (late) terdiri dari kaku mayat (post mortal rigidity), pembusukan (decomposition), penyabunan (adipocere), mummifikasi(1).Peristiwa dekomposisi melibatkan berbagai aspek selain faktor biotik, yakni faktor abiotik yang meliputi parameter fisik seperti temperatur, kelembaban, dan lain-lain. Menurut Gennard (2007) dan Goff (2003), tahapan dekomposisi terdiri dari lima tahap antara lain:Tahap1: fresh stage, tahapan dimulai pada saat kematian dan ditandai adanya tanda penggelembungan pada tubuh. Serangga yang pertama kali datang adalah lalat dari famili Calliphoridae dan Sarcophagidae. Lalat betina akan meletakkan telurnya di daerah yang terbuka seperti daerah kepala (mata, hidung, mulut, dan telinga).Tahap 2: bloated stage, merupakan tahapan pembusukan yang sedang dimulai. Gas yang dihasilkan oleh aktivitas metabolisme bakteri anaerob menyebabkan penggelembungan pada pada perut mayat. Selanjutnya suhu internal naik selama tahapan ini sebagai akibat dari aktivitas bakteri pembusuk dan aktivitas metabolime dari larva lalat. Lalat dari famili Calliphoridae sangat tertarik pada mayat selama tahapan ini. Kemudian selama mengembang akibat adanya gas, cairan dalam tubuh terdorong keluar dari lubang-lubang tubuh dan meresap ke dalam tanah. Cairan tersebut tersusun oleh senyawa seperti amonia yang dihasilkan oleh aktivitas metabolisme dari larva lalat sehingga akan menyebabkan tanah di bawah mayat itu untuk menjadi alkali (basa) dan fauna tanah menjadi tertarik untuk menuju ke mayat.Tahap 3: decay stage, tahapan ini ditandai adanya kerusakan kulit dan mengakibatkan gas keluar dari tubuh. Larva lalat membentuk gerombolan yang besar pada mayat. Meskipun beberapa serangga predator, seperti kumbang, tawon, dan semut, pada tahap bloated stage, serangga necrophagous dan predator dapat diamati dalam jumlah besar menjelang tahapan ini berakhir. Pada akhir tahap ini, lalat dari famili Calliphoridae dan Sarcophagidae telah menyelesaikan perkembangan siklusnya dan meninggalkan mayat untuk menjadi pupa. Pada akhir tahap ini, larva lalat akan menghilang dari jaringan tubuh pada mayat.Tahap 4: postdecay stage, pada tahap ini sisa-sisa tubuh seperti kulit, kartilago dan usus sudah mengalami pembusukan. Selanjutnya sisa jaringan tubuh yang masih ada akan mengering. Indikator pada tahap ini adalah hadirnya kumbang dan berkurangnya dominansi lalat di dalam tubuh mayat.Tahap 5: skeletal stage, pada tahap ini hanya tersisa tulang belulang dan rambut. Tahapan ini tidak jelas serangga apa saja yang hadir. Pada kasus tertentu, kumbang dari famili Nitidulidae terkadang ditemukan. Tubuh mayat sudah mengalami akhir dari dekomposisi.Beberapa cara menentukan saat kematian adalah dengan memperhatikan penurunan suhu mayat, lebam mayat, kaku mayat, pembusukan, serta hal-hal lain yang ditemukan baik pada pemeriksaan di tempat kejadian maupun pada waktu melakukan otopsi misalnya larva lalat (1,2). Cara menentukan waktu kematian dengan lebam, rigor, suhu sering dipengaruhi oleh banyak variabel lain, yang sampai sekarang masih tidak diketahui dengan pasti, dan parameter medis tersebut dinilai sedikit atau bahkan tidak dapat dipergunakan sama sekali bila lama kematian sudah lebih dari 72 jam. Setelah melewati waktu lebih dari 72 jam, bukti entomologis merupakan bukti yang paling akurat dan merupakan satu satunya metode yang tersedia untuk menentukan lama waktu kematian. Walaupun cara menentukan kematian dengan lebam, rigor dan suhu digunakan untuk memperkirakan lama kematian yang baru terjadi dalam beberapa jam, dalam keadaan normal serangga selalu tertarik dengan jasad tubuh segera setelah kematian, sehingga serangga juga dapat digunakan dalam memperkirakan waktu awal setelah kematian. (Anderson and Cervenka, 2002).Entomologi adalah ilmu yang mempelajari tentang vector, kelainan dan penyakit yang disebabkan oleh arthropoda. ( Parasitologo Kedokteran : 1998 ). Entomologi forensik merupakan salah satu cabang dari sains forensik yang memberikan informasi mengenai seranggayang digunakan untuk menarik kesimpulan ketika melakukan investigasi yang berhubungan dengan kasus-kasus hukumyang berkaitan dengan dengan manusia atau satwa (Gaensslen, 2009; Gennard, 2007).Pada lingkungan yang sesuai serangga akan membentuk koloni pada jasad tubuh beberapa saat setelah kematian. Perkembangan serangga seiring dengan waktu dapat digunakan untuk menentukan waktu kematian dengan tepat.. Dengan mengidentifikasi tahap-tahap perkembangan serangga atau arthropoda dan dengan menganalisis data untuk interpretasi suatu serangga dapat memberikan bukti yang signifikan dalam kasus kematian dimana tubuh manusia atau mayat telah dinvasi oleh serangga. Sehingga dapat ditentukan periode invasi mayat oleh serangga dengan memperhatikan tahap-tahap perkembangan serangga yang berbeda seperti telur, larva, pupa, dan dewasa untuk memperkirakan waktu sejak kematian atau Post Mortem Interval (PMI) berdasarkan perkembangan jumlah dan ekologi dari spesies serangga tertentu yang ditemukan pada mayat.4,5,6 Dalam kasus entomologi forensik, lalat merupakan invertebrata primer yang mendekomposisi komponen organik pada hewan termasuk juga mayat manusia. Pada saat lalat mengambil materi organik yang ada di dalam tubuh mayat, maka lalat tersebut akan memindahkan telur yang akan berkembang menjadi larva dan pupa. (7). Serangga merupakan hewan berdarah dingin, sehingga temperatur tubuhnya dipengaruhi oleh suhu sekitar lingkungan. Ketika suhu lingkungan meningkat, laju pertumbuhan serangga lebih cepat, sedangkan ketika suhu lingkungan menurun, laju pertumbuhan serangga menjadi lebih lambat. Selain itu terdapat faktor lain yang dapat mempengaruhi siklus perkembangan larva yaitu, nutrisi, kelembapan, dan lain lain. Akan tetapi dari semua faktor diatas yang paling berpengaruh adalah temperatur (Anderson and Cervenka, 2002)Serangga yang tertarik pada mayat, secara umum dapat dikategorikan menjadi empat kelompok yaitu spesies necrofagus, parasit dan predator yang memakan spesies necrofagus, spesies omnifora, dan spesies lainnya. Spesies necrofagus merupakan spesies yang biasanya memakan jaringan tubuh mayat yang termasuk didalamnya yakni Ordo Diptera dengan family Caliiphoridae dan Sarcophagidae. famili Calliphoridae terdiri atas banyak jenis, umumya berukuran sedang sampai besar, dengan warna hijau, abu-abu, perak mengkilat atau abdomen gelap. Biasanya lalat ini berkembangbiak di bahan yang cair atau semi cair yang berasal dari hewan, termasuk daging, ikan, daging busuk, bangkai, sampah penyembelihan, sampah ikan, sampah dan tanah mengandung kotoran hewan. Beberapa jenis juga berkembang biak di tinja dan sampah hewan lainnya bertelur pada luka hewan dan manusia7. Di Indonesia, lalat hijau umumnya ditemukan di daerah pemukiman, yakni Chrysomya Megacephala. Lalat jantan berukuran panjang 8 mm, mempunyai mata merah besar. Ketika populasinya tinggi, lalat ini akan memasuki dapur, meskipun tidak sesering lalat rumah. Lalat ini banyak terlihat di pasar ikan dan daging yang berdekatan dengan kakus.Selain family Calliphoridae, Ordo Necrofagus juga terdiri dari family Sarcophagidaeatau disebut dengan lalat daging. Lalat ini berwarna abu-abu tua, berukuran sedang sampai besar, kira-kira 6-14 mm panjangnya. Lalat ini mempunyai tiga garis gelap pada bagian dorsal toraks, dan perutnya mempunyai corak seperti papan catur. Lalat ini bersifat viviparus dan mengeluarkan larva hidup pada tempat perkembangbiakannya seperti daging, bangkai, kotoran dan sayur- sayuran yang sedang membusuk. Tahap larva makan berlangsung beberapa hari, kemudian keluar dari tempat makanya untuk populasi di daerah yang lebih kering. Siklus hidup lalat ini berlangsung 2-4 hari. Lalat ini umum ditemukan di pasar dan warung terbuka, pada daging, sampah dan kotoran, tetapi jarang memasuki rumah. Spesies Omnifora misalnya semut, tawon, dan beberapa kumbang yang memakan jaringan tubuh mayat serta serangga tertentu. Dalam Jumlah besar mereka dapat menurunkan waktu pembusukan, dengan memakan spesies necrofag. Serta spesies lainnya meliputi Acari pada famili Acaridae, Lardoglyphidae, Winterschmidtiidae, yang memakan jamur yang tumbuh pada mayat. Dan juga berhubungan dengan Gamasida dan Actinedida, termasuk Macrochelidae, Parasitidae, Parholaspidae, Cheyletidae dan Raphignathidae, yang memakan kelompok Acarine dan Nematoda.Spesies necrofagus merupakan spesies terbanyak dan yang paling signifikan untuk memperkirakan waktu kematian selama stadium awal pembusukan. Jenis serangga yang pertama mendatangi mayat adalah Calliphoridae. Lalat ini mendatangi mayat dengan hanya melalui bau walaupun dari jarak jauh sekitar beberapa menit sehingga beberapa jam setelah kematian. Tetapi blow flies tidak mendatangi mayat yang sudah mengalami mumifikasi dan pengeringan. Lalat jantan dan betina memerlukan makanan protein sebelum ovari dan testes berkembang; dan oogenesis dan spermatogenesis terjadi. Jenis Calliphoridae berkembang dimulai dari telur melalui instar stages 1, instar stages 2, instar stages 3, pupa, dan dewasa. Lalat yang terbang akan hinggap pada mayat dan menetaskan sampai 300 telur dan sampai 3000 untuk sepanjang hidupnya. Stadium pertama larva akan ditetaskan dari telur. Pada stadium ini larva sangat rentan dan mudah mengalami kekeringan. Larva tidak dapat keluar dari kulit yang membungkusnya, sehingga mereka bergantung pada cairan protein sebagai asupan makanan; karena itu lalat betina akan menaruh telur pada tempat yang memudahkan akses makanan bagi telur. Luka merupakan sumber protein yang sangat baik, terutama darah, sehingga luka luka merupakan tempat bertelur yang paling pertama. Apabila pada jasad tidak ada luka, lalat betina akan menaruh telur di dekat orificium atau pada lapisan mukosa dikarenakan jaringan tersebut lembab dan lebih mudah dipenetrasi bila dibandingkan dengan epidermis normal. Daerah wajah umumnya dikolonisasi lebih dahulu, kemudian daerah genital, hal ini disebabkan karena daerah genital hampir selalu ditutupi oleh pakaian. Pada kasus kasus pemerkosaan benda benda seperti darah dan semen akan menarik perhatian lalat dengan cepat.Setelah melewati waktu waktu tertentu, dipengaruhi oleh suhu dan jenis spesies, larva stadium 1 akan melepas kutikula dan mulutnya, dan memasuki instar stage 2 atau larva stadium 2. Larva stadium 2 berukuran lebih besar, lebih bisa bertahan hidup, dan dapat mempenetrasi kulit dengan mengeluarkan enzim proteolitik dan menggunakan mulutnya yang lebih kuat. Stadium ini adalah waktu bagi larva untuk makan kemudian berkembang memasuki instar stages 3, meninggalkan kutikula dan mulut yang dipakai selama stadium 2. Larva stadium tiga memiliki siklus hidup yang lebih panjang dari larva stadium satu dan dua, dan akan bertumbuh menjadi 7-8 kali ukuran awal. Pada instar stage 3 larva menjadi banyak makan dan berkumpul sebagai satu masa yang besar sehingga dapat menghasilkan panas yang signifikan. Kumpulan larva ini dapat menghabiskan banyak jaringan dalam waktu yang singkat. Pada stadium ini bagian penyimpanan makanan yang terletak di foregut dapat terlihat dengan warna hitam dan bentuk oval pada jaringan translusent dari belatung.Setelah periode makan yang intensif, instar stage 3 akan memasuki stadium nonfeeding stage atau wandering stage. Pada stadium ini tidak ditemukan perubahan fisik, walaupun terjadi perubahan fisiologis pada organ internal, tetapi dapat ditemukan perubahan sikap yang signifikan. Ketika larva memasuki nonfeeding stage, larva akan menjauh dari sumber makanan dan mencari tempat yang sesuai untuk menjadi pupa. Tempat itu antara lain adalah tanah disekitar, karpet, rambut, atau baju dari jasad. Larva mungkin akan mengubur diri beberapa sentimeter didalam tanah atau merangkak bermeter meter untuk mendapatkan tempat yang cocok untuk menjadi pupa. Pada stadium ini disebut dengan prepupa. Pada akhir stadium ini larva akan memendek dan menjadi translusen. Pupasi akan dimulai sejak belatung prepupa mulai berkontraksi. Belatung tidak akan mengelupaskan kutikula yang tumbuh pada instar stage 3, akan tetapi kutikula tersebut akan menghilang sedikit demi sedikit dan serangga akan mensekresikan sejumlah substansi kedalam kutikula yang akan membuat warna pupa menjadi keras dan berwarna hitam untuk membentuk puparium. Bagian yang disebut dengan pupa adalah serangga yang hidup, dengan bagian kantung pupa yang mengalami pengerasan atau puparium yang berguna sebagai struktur nonvital yang membungkus serangga. (Erzinclioglu, 1996; Fraenkel and Bhaskaran, 1973). Akan tetapi pada umumnya yang dianggap sebagai pupa adalah bagian puparium dan serangga yang hidup dalamnya, sedangkan kantung pupa yang ditinggalkan setelah lalat terbang disebut sebagai kantung pupa. Didalam kantung pupa yang mengalami pengerasan, serangga bermetamorfosis atau berubah menjadi lalat dewasa. Pada masa ini, jaringan jaringan imatur akan rusak dan akan digantikan dengan jaringan yang matur. Setelah selesai lalat dewasa akan merobek ujung kantung pupa dengan memperbesar dan mengkontraksikan ptilinum (kantung yang berisi darah yang terdapat pada kepala). Bagian ujung dari kantung pupa atau operkulum akan robek dan membelah menjadi dua bagian. Lalat dewasa yang baru akan meninggalkan kantung pupa dan robekan operkulum sebagai bukti bahwa sudah melewati siklus dengan sempurna. Lalat yang baru keluar dari pupa tidak memiliki warna biru metalik atau kehijauan seperti pada lalat dewasa. Sayap dari lalat baru keluar terlipat lipat, dengan kaki yang tinggi, kurus, dan lemah; badan berwarna abu abu; dan bagian kepala belum terbentuk sempurna karena adanya ptilinum yang belum mengalami retraksi. Pada stadium ini lalat sangat mudah dimangsa, dan walaupun tidak dapat terbang lalat tersebut dapat berlari dengan cepat dan akan bersembunyi hingga sayapnya kering dan dapat terbang. Setelah itu tubuh lalat akan terlihat berwarna hijau metalik ( Erzinclioglu, 1996)

Lalat dewasa yang terbang merupakan tanda forensik yang signifikan karena mengindikasikan bahwa siklus dari lalat blow flies telah lengkap terjadi pada jasad. Lalat yang dapat terbang tidak dapat digunakan sebagai identifikasi karena tidak bisa dibedakan antara lalat yang baru datang atau sudah berkembang, tetapi lalat yang baru saja keluar dari pupa dan belum dapat terbang dapat digunakan untuk memperkirakan waktu kematian. Ditemukannya pupa yang kosong juga mengindikasikan bahwa siklus dari lalat pada jasad telah lengkap.

Gambar 7. Hipotesis perkembangan lalat (blow fly)17

Cara PembuatanLarvae Revolver dibuat dalam bentuk cetak dimulai dengan pembuatan 2 lingkaran, yaitu lingkaran luar dan dalam, menggunakan program computer Microsoft Word. Diameter masing-masing dibuat sesuai kebutuhan dengan lingkaran luar > lingkaran dalam. Lingkaran luar merupakan komponen waktu sedangkan lingkaran dalam merupakan komponen siklus hidup larva. Lingkaran luar dan dalam dibagi menjadi 24 juring sama besar (sudut 15oC) dengan tiap juring menggambarkan satuan waktu 1 hari. Selain itu terdapat 6 juring lain yang menggambarkan masing-masing siklus hidup larva berurutan searah jarum jam yaitu egg, larva I, larva II, larva III, post-feeding larva III, dan puparium.

Cara PenggunaanPemeriksaan mayat untuk mengumpulkan data Larvae Revolver adalah dipastikan dahulu bahwa korban sudah meninggal dan lebih dari 24 jam. Karena apabila kurang dari 24 jam maka belum ada siklus larva yang muncul pada pemeriksaan. Terdapat faktor lain yang dapat mempengaruhi penerapan Larva Revolver yaitu, temperatur, nutrisi, kelembapan yang dapat mempengaruhi perkembangan dari siklus hidup larva.

Contoh Kasus

Kesimpulan dan SaranBeberapa metode yang lazim digunakan dalam membuat perkiraan saat kematian adalah pengukuran penurunan suhu tubuh (argor mortis), interpretasi lebam (livor mortis), kaku mayat (rigor mortis), interpretasi proses dekomposisi, pengukuran perubahan kimia pada vitreous, interpretasi isi dan pengosongan lambung. Akan tetapi, parameter medis tersebut sering dipengaruhi oleh banyak variabel lain dan parameter medis tersebut dinilai sedikit atau bahkan tidak dapat dipergunakan sama sekali bila lama kematian sudah lebih dari 72 jam. Setelah melewati waktu lebih dari 72 jam, bukti entomologis merupakan bukti yang paling akurat. Salah satu serangga yang dipakai dalam studi forensik entomologi adalah lalat dan larvanya.Setelah melalui percobaan pengaplikasian Larva Revolve pada beberapa kasus, Larva Revolve terbukti dapat digunakan untuk menentukan waktu kematian secara efesien pada jenazah yang sudah mengalami pembusukan post mortem. Dengan keterbatasan akan adanya beberapa syarat pengguanaan yang harus dipenuhi, diperlukan penelitian dan penyempurnaan lebih lanjut agar penentuan saat kematian menjadi lebih baik, cepat, dan tepat.Ucapan Terima KasihPada kesempatan ini penulisinginmenyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepadaKetua Departemen Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas AirlanggaSurabaya, Kepala InstalasiDepartemen Forensik dan Medikolegal RSUD Dr. Soetomo Surabaya, KoordinatorPendidikanDepartemen Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas AirlanggaSurabaya, StafDepartemen Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas AirlanggaSurabaya,Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas AirlanggaSurabaya,Dosen pembimbing kelompokyang telah membimbing. Daftar Pustaka 1. Hariadi Apuranto, Mutahal. Tanatologi. Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Edisi Ketujuh. Surabaya: Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga; 2010. page 11526.2. Abdul Munim Idries. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi pertama. Binarupa Aksara. Hal. 54-773. Jagmahender S. Sharma BR. Forensic Entomology : A Supplement to Forensic Death Investigation. India; 2008; p 26-31.4. Martin H. Amoret B. Forensic Entomology [online]. Cited on 2012, November 30. Available from : http://www.scienceinschool.org5. Cedric KS. Insect Activity. In : Changes After Death. New York; Oxford University Press; 1997; page 20-30.6. Gail SA. Forensic Entomology : The Use of Insects in Death Investigation[online]. Cited on 2012, November 30. Available from : http://www.sfu.ca/forensicentomology_files.xml7. Goff ML. A Fly for the Prosecution: How Insect Evidence Helps Solve Crimes. 1996.8. Jason HB. Forensic Entomology : Insects in Legal Investigation [online].Cited on 2012, November 30. Available from :http:///www.forensicentomology.com9. The Amateur Entomologistss Society London. Forenis Entomology : Insect at the secens of crime [online]. Cited on 2012, November 30. Available from :http://www.amenstoc.org10. Grassberger M. Relter C. Forensic Entomology : Post-Mortem Interval(PMI) Estimation Using Insect Development Data. Institute of Forensic Medicine University of Vienna; 2004 [online]. Cited on 2012, November 30. Available from : http://www.univle.ac.at