Upload
ds-putri-nastiti
View
444
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
bab 2
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Pemphigus vulgaris adalah salah satu bentuk bulos dermatosis yang
bersifat kronis, disertai dengan adanya proses akantolisis dan terbentuknya bula
pada epidermis (Murtiastutik et al, 2011). Kata pemphigus diambil dari bahasa
Yunani pemphix yang artinya gelembung atau lepuh. Pemfigus dikelompokkan
dalam penyakit bulosa kronis, yang pertama kali diidentifikasi oleh Wichman
pada tahun 1971 (Zeina, 2008). Istilah pemfigus berarti kelompok penyakit bula
autoimun pada kulit dan membran mukosa dengan karakteristik secara histologis
berupa adanya bula intraepidermal disebabkan oleh akantolisis (terpisahnya ikatan
antara sel epidermis) dan secara imunopatologis adanya IgG in vivo maupun
sirkulasi yang secara langsung melawan permukaan sel-sel keratinosit (Stanley,
2012).
Pemfigus dulunya digunakan untuk menyebut semua jenis penyakit
erupsi bula di kulit, tetapi dengan berkembangnya tes diagnostic, penyakit bulosa
pun diklasifikasikan dengan lebih tepat (Zeina, 2011). Pada tahun 1964, penelitian
menunjukkan adanya anti-skin antibodies yang ditemukan pada pasien-pasien
pemfigus yang diketahui dari pengecatan imunofloresensi tak langsung. Sejak itu,
dengan adanya perkembangan teknik imunofloresensi imunologis, antigen yang
menyebabkan penyakit ini pun berhasil diidentifikasi. Perkembangan medis ini
tidak hanya memberikan pengetahuan baru dalam memahami patogenesis
4
5
pemfigus tetapi juga mengarahkan pada perkembangan protein rekombinan , yang
diperlukan dalam tes ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) untuk
diagnosis pemfigus (Chan, 2002).
2.2 Etiologi
Pemfigus vulgaris mengenai semua ras dan jenis kelamin dengan
perbandingan yang sama. Penyakit ini banyak terjadi pada usia paruh baya dan
jarang terjadi pada anak-anak. Tetapi di India, pasien pemfigus vulgaris lebih
banyak terjadi pada usia muda. Ras Yahudi, terutama Yahudi Ashkenazi memiliki
kerentanan terhadap pemfigus vulgaris. Di Afrika Selatan, pemfigus vulgaris lebih
banyak terjadi pada populasi India daripada warga kulit hitam dan kaukasia.
Kasus pemfigus lebih jarang ditemukan di negara-negara barat (Wojnarowska dan
Venning, 2010).
Predisposisi pemfigus terkait dengan faktor genetik. Anggota keluarga
generasi pertama dari penderita pemfigus lebih rentan terhadap penyakit ini
daripada kelompok kontrol dan memiliki antibodi antidesmoglein sirkulasi yang
lebih tinggi. Genotip MHC kelas II tertentu sering ditemukan pada pasien
pemfigus vulgaris dari semua ras. Alela subtype HLA-DRB1 0402 dan DRB1
0503 memberi risiko terjadinya pemfigus dan menyebabkan adanya perubahan
struktural pada ikatan peptide, berpengaruh pada presentasi antigen dan
pengenalan oleh sel T. Di Inggris dan India, pasien dengan haplotip desmoglein
tertentu juga memiliki risiko pemfigus vulgaris dan hal ini tampaknya menambah
efek yang diakibatkan oleh HLA-DR. Kerentanan juga dapat disebabkan
6
pengkodean immunoglobulin oleh gen atau oleh gen dalam pemrosesan pada
antigen HLA kelas I (Wojnarowska dan Venning, 2010).
Terdapat beberapa klasifikasi pemfigus yang dapat dilihat dalam gambar
berikut ini :
Gambar 2.1 Klasifikasi Pemfigus
Sumber : Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 8th Edition
Identifikasi target antigen spesifik untuk autoantibodi pada penyakit bula
autoimun melibatkan penelitian mengenai berbagai komponen desmosome dan
kompleks adhesi yang menghubungkan dermis-epidermis. Pemfigus dapat terjadi
pada pasien yang memiliki berbagai jenis gangguan lainnya yang
dikarakteristikkan dengan gangguan iminologis tertentu. Timoma atau miastenia
7
gravis dilaporkan terdapat pada beberapa pasien pemfigus. Pemfigus juga dapat
terjadi pada pasien lupus eritematosus. Pemfigus dilaporkan terjadi pada pasien
dengan penyakit limfoproliferatif seperti tumor Castleman. DNA virus terdeteksi
pada beberapa biopsy kulit atau sel mononuclear dari sampel darah perifer pasien
pemfigus dan dapat muncul bersamaan dengan infeksi HIV. Penelitian
epidemiologis pada pasien pemfigus vulgaris di Iran menunjukkan adanya
korelasi positif dengan penggunaan kontrasepsi oral dan paparan pestisida serta
kemungkinan efek protektif dari kebiasaan merokok terhadap kejadian pemfigus
vulgaris (Wojnarowska dan Venning, 2010).
2.3 Epidemiologi
2.3.1 Insidensi
Secara global, insidensi pemfigus vulgaris tercatat sebanyak 0.5-3.2
kasus per 100.000 populasi. Kejadian pemfigus vulgaris mewakili 70% dari
seluruh kasus pemfigus dan merupakan penyakit bula autoimun yang tersering di
negara-negara timur, seperti India, Malaysia, China, dan Timur Tengah
(Wojnarowska dan Venning, 2010). Insidensi PV meningkat pada populasi
keturunan Yahudi Ashkenazi dan Mediterania, kecenderungan familial ini
merupakan faktor predisposisi genetik pada kejadian pemfigus vulgaris (Zeina,
2011). Predominansi etnis ini tidak ada dalam kasus pemfigus foliaseus (PF).
Karena itu, di area dimana terdapat dominasi kelompok keturunan Yahudi, Timur
Tengah, dan Mediterania, rasio PV : PF cenderung lebih tinggi. Sebagai contoh, di
New York, Los Angeles, dan Kroasia, rasio PV : PF sebesar 5 : 1, di Iran 12:1,
sedangkan di Finlandia hanya 0.5 : 0.1, dan di Singapura 2:1. Insidensi pemfigus
8
vulgaris bervariasi berdasarkan lokasi. Di Jerussalem, insidensi PV diperkirakan
1,6 kasus per 100.000 populasi per tahun dan di Iran 10 kasus per 100.000
populasi, Finlandia jauh lebih rendah 0,76 kasus per per juta populasi. Di Prancis
dan Jerman, 1 kasus per juta populasi per tahun (Stanley, 2012).
2.3.2 Mortalitas dan Morbidias
Pemfigus vulgarisadalah penyakit mukokutaneus autoimun yang
berpotensi mengancam jiwa dengan mortalitas sebesar 5-15%. Mortalitas pasien
pemfigus vulgaris tiga kali lebih tinggi daripada populasi pada umumnya,
Komplikasi sekunder terkait dengan penggunaan kortikosteroid dosis tinggi.
Morbiditas dan mortalitas terkait dengan luas lesi, dosis maksimum steroid
sistemik yang diperlukan untuk induksi remisi, dan adaya penyakit penyerta.
Prognosis semakin buruk pada pasien dengan pemfigus vulgaris ekstensif dan
pasien usia tua. Pemfigus vulgaris melibatkan lesi pada jaringan mukosa pada 50-
70% pasien. Hal ini menyebabkan terbatasnya asupan nutrisi karena disfagia. Bula
dan erosi akibat bula yang pecah bersifat nyeri sehingga membatasi aktivitas
penderita (Zeina, 2011).
2.4 Patofisiologi
2.4.1 Struktur Desmosom
Penting untuk terlebih dahulu memahami fungsi desmosom untuk dapat
selanjutnya memahami patofisiologi pemfigus vulgaris. Desmosom (atau maculae
adherens) merupakan organel yang bertanggung jawab terhadap perlekatan
antarsel pada keratinosit. Bagian ekstraselulernya, yaitu desmoglea, tersusun dari
9
glikoprotein perlekatan transmembran yang merupakan bagian dari cadherin,
meliputi desmoglein dan desmocollin. Bagian intraseluler, plak desmosomal,
memiliki dua kelompok protein. Kelompok pertama adalah kelompok plakin
(desmoplakin, envoplakin, periplakin, plectin), yang berikatan pada filamen
sitokeratin). Kelompok kedua adalah plakoglobin dan plakofilin, yang berikatan
pada area intraseluler cadherin. Antibodi pemfigus berikatan dengan antigen pada
desmosom dan menyebabkan akantolisis (Chan, 2002).
Gambar berikut ini menunjukkan ilustrasi komponen molekuler pada
keratinosit yang terdiri dari desmosom, desmoplakin, Dsg1, Dsg3, N. amino
terminal, plakoglobin, plakophilin.
Gambar 2.2 Ilustrasi komponen molekuler pada keratinosit
10
Sumber : Rook’s Textbook of Dermatology 8th edition
2.4.2 Antibodi Pemfigus Vulgaris
Antibodi terbanyak pada penyakit pemfigus vulgaris bersifat melawan
Dsg3. Antibodi pemfigus berikatan dengan domain ekstraseluler pada region
amino terminal Desmoglein 3 (Dsg3) yang secara langsung mempengaruhi
cadherin desmosomal. Desmoglein 3 ditemukan pada desmosom dan semua
membran sel keratinosit, terutama bagian bawah epidermis dan paling kuat
diekspresikan pada mukosa bukal serta kulit kepala. Sebaliknya, pola ekspresi
antigen desmoglein 1 (Dsg1) yang banyak dijumpai pada pemfigus foliaseus
banyak ditemukan di epidermis, terutama lapisan atas dan terekspresi dengan
sangat lemah pada mukosa (Wojnarowska dan Venning, 2010). Adanya antibodi
terhadap Dsg1 dn Dsg3 berhubungan dengan manifestasi klinis berupa lesi
mukokutaneus, jika autoantibodi hanya melawan Dsg3, lesi dominan terdapat
pada mukosa. Baik autoimunitas humoral maupun seluler penting dalam
patogenesis lesi kulit. Antibodi dapat mengakibatkan akantolisis, walaupun tanpa
keterlibatan komplemen dan sel-sel radang. IgG1 dan IgG4 autoantibodi terhadap
Dsg3 ditemukan pada pasien PV, tetapi beberapa data penelitian menunjukkan
bahwa IgG4 lah yang bersifat paling patogenik. Plasminogen activator
berhubungan dengan terjadinya akantolisis yang dimediasi antibodi. Sel T yang
terlbat adalah sel CD4 α./β yang mensekresikan Th2-like-cytokine profiles. Sel
Th1 juga terlibat dalam produksi antibodi pada penyakit kronis. IgG ditemukan
baik pada kulit normal maupun sakit. Deposit C3 tampak lebih banyak pada sel-
sel akantolitik (Harman et al, 2002).
11
Terbentuknya bula pada pemfigus vulgaris disebabkan oleh ikatan
autoantibodi IgG di permukaan molekul keratinosit. Antibodi pemfigus vulgaris
ini akan berikatan dengan desmosom keratinosit dan area bebas desmosom pada
membran keratinosit. Ikatan autoantibodi megakibatkan hilangnya perlekatan
antarsel, atau disebut dengan akantolisis (Zeina, 2011).
Antigen PV (130-kD transmembrane desmosomal glycoprotein)
menunjukkan adanya homologi dengan molekul adhesi sel. Banyak penelitian
yang mengindikasikan adanya predisposisi genetik pada pemvigus vulgaris.
Analisis statistik menunjukkan kecenderungan distribusi antigen HLA. Sebagian
besar pasien memiliki fenotip HLA DR4 atau DR8. Adanya fragmen restriksi
HLA-DQ β telah teridentifikasi pada beberapa pasien pemfigus vulgaris (Harman,
et al 2002).
Klasifikasi penyakit imonobulosa intraepidermal secara imunopatologis
dan imunogenetik dapat dilihat dalam tabel berikut ini :
12
Tabel 2.1 Klasifikasi Pemfigus Berdasarkan Target Antigen
Sumber : Chan, 2002
2.4.3 Imunofloresensi
Penemuan imunofloresensi utama pada pemfigus adalah adanya
autoantibodi IgG yang melawan permukaan keratinosit. Autoantibodi ini pertama
ditemukan pada serum pasien dengan imonofloresensi indirek dan kemudian
dengan imunofloresensi direk pada kulit pasien, Diagnosis pemfigus belum dapat
ditegakkan jika hasil imonofloresensi direk negatif. Berdasarkan imunofloresensi
indirek, 80% pasien pemfigus IgG permukaan antiepitelial di sirkulasi. Pasien
13
dengan lokaslisasi dini dan pasien remisi kemungkinan besar akan menunjukkan
hasil negtif pada tes imonoflorsensi indirek (Stanley, 2012)
Gambar 2.3 Imunofloresensi pada pasien PV (IgG di seluruh permukaan
epidermis)
Sumber : Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 8th edition
2.4.4 Antigen Pemfigus
Bukti imunologis dan cloning molekuler menunjukkan bahwa antigen
pemfigus adalah Desmoglein, yang merupakan glikoprotein transmembran pada
desmosom (berperan dalam struktur perlekatan antarsel). Mikroskop
imonoelektron menunjukkan adanya antiden di permukaan keratinosit pada
desmosomal junction. Pasien PV yang secara predominan terserang pada
membran mukosa cenderung hanya memiliki autoantibodi desmoglein 3,
14
sedangkan pasien dengan lesi mukokutaneus memiliki antibodi anti-Dsg3 dan
anti-Dsg1 (Stanley, 2012).
2.4.5 Komplemen
Antibodi pemfigus mengisi komponen komplemen pada permukaan sel
epidermal. Ikatan antibodi dapat mengaktivasi komplemen dengan pelepasan
mediator inflamasi dan pemanggilan sel T yang teraktivasi. Sel T sangat
diperlukan untuk produksi autoantibodi, tetapi perannya dalam patogenesis
pemfigus vulgaris masih belum banyak diteliti. Interleukin 2 adalah aktivator
utama pada T limfosit dan adanya peningkatan reseptor terlarut telah dapat
terdeteksi pada pasien dengan pemfigus vulgaris aktif (Zeina, 2011).
2.4.6 Patofisiologi Akantolisis
Autoantibodi pemfigus merupakan faktor patogenis pada pemfigus
vulgaris. Adanya kejadian pemfigus vulgaris neonatal menunjukkan bahwa IgG
maternal dapat melewati plasenta dan menyebabkan timbulnya penyakit ini,
walaupun sangat jarang terjadi. Secara esensial, neonatal PV diakibatkan oleh
transfer pasif IgG pada fetus. Pada eksperimen, terlihat bahwa IgG mengakibatkan
akantolisis pada lapisan suprabasilar dan granular epidermis. Akantolisis yang
diinduksi antibodi dalam sistem ini tidak dipengaruhi oleh komplemen.
Autoantibodi patologis pada pemfigus adalah antibodi yang secara langsung
melawan desmoglein 1 dan 3. IgG yang terdapat pada ekstraseluler menyebabkan
akantolisis suprabasilar, yang merupakan penemuan histologis tipikal pada lesi
pemfigus vulgaris. Hal ini didukung oleh bukti dari hasil penelitian lebih lanjut
15
yang menunjukkan bahwa autoantibodi dapat secara langsung menyebabkan
hilangnya ikatan keratinosit (Stanley, 2012).
Antibodi antidesmoglein 3 menyebabkan interferensi langsung pada
fungsi desmoglein dalam desmosom, berakibat pada terpecahnya desmosom,
tanpa retraksi keratinosit pada area akantolisis. Inaktivasi desmoglein akibat
antibodi antidesmoglein mengakibatkan timbulnya bula (Stanley, 2012).
Berdasarkan hipotesis kompensasi desmoglein, menerangkan variasi
fenotip klinis pemfigus. Dijelaskan bahwa adanya autoantibodi terhadap
Desmoglein 1 dan Desmoglein 3 menyebabkan timbulnya bula di mukosa dan
epidermis superfisial pada kasus PV mukokutaneus, antidesmoglein 3
bermanifestasi pada PV predominan mukosa, dan antidesmoglein 1
mengakibatkan pemfigus foliaseus dengan manifestasi klinis bula hanya pada
epidermis superfisial (Chan, 2002).
2.5 Gejala Klinis
Pemfigus vulgaris ditandai dengan timbulnya bula lembek, berdinding
tipis, mudah pecah, timbul pada kulit dan mukosa yang tampaknya normal atau
eritematosa. Isi bula mula-mula cairan jernih, dapat menjadi hemoragik atau
seropurulen. Bula yang pecah menimbulkan erosi yang eksudatif, mudah
berdarah, dan sukar menyembuh. Bila sembuh meninggalkan bekas
hiperpigmentasi. Dalam beberapa minggu atau bulan lesi dapat meluas, dimana
didapatkan erosi lebih banyka daripada bula. Pada 60% penderita, lesi mulai
muncul pada mukosa mulut kemudian tempat-tempat lain seperti kepala, muka,
16
leher, ketiak, lipat paha atau daerah kemaluan. Bila lesi luas sering disertai infeksi
sekunder yang menyebabkan bau tidak enak (Murtiastutik et al, 2011).
Gambar 2.4 Bula mudah pecah pada kulit yang tampak normal
Sumber : Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology, 6th
Edition
17
Gambar 2.5 Erosi pada Membran mukosa (bibir dan dinding esophagus)
Sumber : American Association of Family Physician, 2013
Gambar 2.6 Erosi Mudah Berdarah dan Sukar Menyembuh
Sumber : Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology, 6th
Edition
2.6 Diagnosis dan Differential Diagnosis
Cara pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis pemfigus vulgaris :
1. Tidak adanya adhesi pada epidermis, dengan :
18
a. Nikolsky Sign : penekanan datau penggosokan pada lesi menyebabkan
terbentuknya lesi, epidermis terlepas, dan tampak seperti kertas basah.
b. Bullae spread phenomenon : bula ditekan isinya tampak menjauhi
tekanan
2. Tzanck test: bahan diambil dari dasar bula, dicat dengan giemsa tampak sel
akantolitik atau sel tzanck
3. Biopsi bahan diambil dari dasar bula yang baru timbul, kecil, dan utuh. Dicari
adanya bula intraepidemal.
4. Pemeriksaan laboratorium yang tidak spesifik :
Leukositosis
Eosinofilia
Serum protein rendah
Gangguan elektrolit
Anemia
Peningkatan laju endap darah
(Murtiastutik, 2011)
5. Pemeriksaan imunofloresensi direk dan indirek. Autoantibodi ditemukan pada
serum pasien dengan imonofloresensi indirek dan kemudian dengan
imunofloresensi direk pada kulit pasien. Pemeriksaan dengan ELISA memberikan
hasil yang lebih sensitive dan spesifik daripada imunofloresensi (dapat
19
membedakan pemfigus vulgaris dan pemfigus foliaseus. DIbandingkan dengan
imunofolresensi, pemeriksaan ELISA juga memiliki korelasi lebih baik dengan
aktivitas penyakit (Stanley, 2012).
Diagnosis banding untuk pemfigus vulgaris dapat meliputi semua
penyakit bulosa didapat (acgquired). Dpat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 2.2 Diagnosis Banding Pamfigus Vulgaris
Sumber : Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 8th edition
Gambar 2.7 Pemfigus Foliaseus
20
Sumber : Mayo Clinic, 2012
Gambar 2.8 Pemfigus Vegetans
Sumber : Mayo Clinic, 2012
Gambar 2.9 Pemfigoid bulosa
21
Sumber : Mayo Clinic, 2012
Gambar 2.10 Epidermolysis Bullosa Acquisita (EBA)
Sumber : Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology, 6th
Edition
Gambar 2.11 Dermatitis Herpetiformis
Sumber : Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology, 6th
Edition
22
Gambar 2.12 Linear IgA Dermatosis
Sumber : Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology, 6th
Edition
Gambar 2.13 Pemfigoid Gestasionis
Sumber : Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology, 6th
Edition
2.7 Terapi Pemfigus Vulgaris
Penatalaksanaan pemfigus vulgaris terutama pada fase akut, harus di
bawah pengawasan yang ketat untuk menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit.
Terapi antimikroba sistemik diperlukan untuk pasien dengan infeksi sekunder.
Untuk terapi topikal, dilakukan kompres dengan Aluminium Diasetat 5%, perak
nitrat 0.005%, atau solusio kalium permanganate 0,01% pada area yang terkena
setiap 4 jam. Hal ini diperlukan untuk melepaskan debris kulit dari area bula dan
23
mengurangi risiko infeksi sekunder. Kortikosteroid dosis tinggi diperlukan untuk
mengontrol kondisi pasien. Dosis harus diturunkan perlahan-lahan ketika sudah
terjadi stabilisasi hingga mencapai dosis terendah untuk memelihara remisi.
Prednisolon atau prednisone oral dapat digunakan sebagai pilihan terapi.
Tambahan obat-obatan imunosupresif seperti Azathioprine atau Cyclophosphamid
digunakan apabila pasien tidak dapat menoleransi kortikosteroid dosis minimum
untuk menjaga kondisi remisi. Efek imunosupresif muncul perlahan-lahan dan
biasanya tidak terdeteksi sampai 4-6 minggu setelah dosis awal. Kortikosteroid
harus sudah dihentikan sebelum penghentian terapi imunosupresif (World Health
Organization, 2013).
Penatalaksanaan penderita Pemfigus Vulgaris berdasarkan Pedoman
Diagnosis dan Terapi RSUD dr.Soetomo adalah sebagai berikut :
1. Penanganan lesi luas diperlukan rawat inap untuk pengobatan dan perawatan
yang tepat.
2. Topikal :
a. Lesi Basah : kompres garam faali (NaCl0.9%)
b. Lesi Kering : talcum Acidum Salicylicum 2%.
3. Sistemik :
a. Antibiotik: bila timbul infeksi sekunder, dengan sebelumnya
dilakukan:
pemeriksaan gram
24
kultur dan tes sensitivitas
Antibiotik spectrum luas 7-10 hari
b. Kortikosteroid : merupakan obat pilihan untuk pemfigus vulgaris,
diberikan Dexamethasone atau sejenisnya. Dosis : bila keras dapat
diberikan 3-4 mg Dexamethasone/hari. Bila setelah beberapa hari tidak
timbul bula baru, dosis dapat diturunkan pelan-pelan dan diberi tambahan
Azathioprine untuk mencegah relaps, sampai dengan dosis terandah yang
tidak menimbulkan bula baru.
c. Imunosupresan : Untuk mengurangi dosis kortikosteroid dapat
diberikan Azathioprine (Imuran) 1-2 mg/kgBB/hari selama 2-3 kali 1
tablet.
2.8 Prognosis
Derajat keparahan perjalanan penyakit pemfigus vulgaris bervariasi,
tetapi mayoritas pasien meninggal sebelum penghentian terapi steroid. Terapi
kortikosteroid sendiri telah dapat mengurangi angka mortalitas sebesar 5-15%.
Pemfigus vulgaris yang yang tidak mendapatkan terapi adekuat akan berakibat
fatal karena penderita rentan terhadap infeksi serta gangguan yang muncul akibat
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sebagian besar kasus kematian terjadi
pada tahun-tahun awal munculnya gejala, dan jika pasien dapat bertahan lebih dari
5 tahun, prognosisny akan lebih baik. Pemfigus vulgaris pada stadium awal akan
lebih mudah dikontrol daripada yang sudah bermanifestasi luas, tingkat mortalitas
akan meningkat apabila terjadi keterlamabatan terapi (Zeina, 2011).
25
Morbiditas dan mortalitas terkait dengan luasnya lesi, dosis
kortikosteroid maksimum yang diperlukan untuk menginduksi remisi, dan adanya
penyakit penyerta. Prognosis akan cenderung lebih buruk pada pasien berusia
lanjut dan yang disertai penyakit lain. Prognosis akan lebih baik jika terjadi pada
anak-anak. Pada sebagian kecil kasus pemfigus vulgaris,dilaporkan terjadi transisi
menjadi pemfigus foliaseus (Zeina, 2011).
2.9 Komplikasi
Infeksi sekunder, baik yang bersifat sistemik maupun terlokalisasi pada
kulit dapat terjadi karena penggunaan imunosupresan dan adanya erosi multipel.
Infeksi kutaneus dapat memperlambat penyembuhan luka dan meningkatkan
risiko timbulnya jaringan parut. Terapi imunosupresan jangka panjang dapat
berakibat pada infeksi dan keganasan sekunder ( seperti Kaposi Sarkoma), karena
adanya gangguan imunitas. Retardasi pertumbuhan dilaporkan terjadi pad aanak-
anak yang mendapatkan terapi kortikosteroid dan imunosupresan sistemik.
Supresi sumsum tulang dilaporkan terjadi pada pasien yang mendapatkan terapi
imunosupresan. Peningkatan insidensi leukemia dan limfoma juga dilaporkan
terjadi pada imunosupresan jangka panjang. Gangguan respon imun yang
disebabkan oleh kortikosterod dan agen imunosupresif lainnya dapat
mengakibatkan penyebaran infeksi secara luas. Kortikosteroid menekan tanda-
tanda infeksi sehingga berakibat terjadinya septicemia. Osteoporosis dan
insufisiensi adrenal dilaporkan terjadi setelah penggunaan kortikosteroid jangka
panjang (Zeina, 2011)
26
2.10 Edukasi
Pasien dan keluarganya harus diberikan edukasi mengenai :
Meminimalisasi kemungkinan terjadinya trauma pad akulit karena kulit
pasien sangat rapuh akibat penyakitnya sendiri maupun efek samping dari
steroid sistemik dan topikal.
Pemahaman bahwa penyakit yang diderita adalah penyakit yang bersifat
kronis.
Terapi yang diberikan dosis obat, efek samping, dan gejala toksisitas
obat sehingga jika terjadi dapat segera menghubungi dokter.
Perawatan luka yang adekuat.