31
REFERAT SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS oleh : Muhammad Fiki Fauzan

Referat SLE

Embed Size (px)

Citation preview

REFERATSYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS

oleh :Muhammad Fiki Fauzan

Latar Belakang

Meskipun istilah "lupus eritematosus" diperkenalkan dalam dunia kedokteran pada abad ke-19 untuk menggambarkan lesi kulit, butuh waktu hampir 100 tahun untuk mengetahui bahwa penyakit ini merupakan penyakit sistemik dan tidak ada keterkaitan dengan organ namunn hal itu disebabkan oleh respon autoimun.

Heterogenitas klinis penyakit ini membentuk 11 kriteria (Tabel 2), dibutuhkan untuk 4 kriteria untuk diagnosis formal systemic lupus erythematosus (SLE / LES) .2 Pada sebagian besar pasien terdapat keterlibatan organ vital dan jaringan seperti otak, darah, dan ginjal dan sebagian besar dari mereka adalah wanita usia subur

Prevalensi berkisar antara 20 sampai 150 kasus per 100.000 penduduk, dengan prevalensi tertinggi dilaporkan di Brazil. Di Amerika Serikat, orang-orang keturunan Afrika dan Asia, dibandingkan dengan orang-orang dari ras lain, cenderung memiliki peningkatan prevalensi LES yang lebih besar. Tingkat kelangsungan hidup dalam 10 tahun penyakit ini sekitar 70%

Prevalensi LES di Indonesia belum diketahui secara pasti, namun akhir-akhir ini Lupus mendapat perhatian lebih karena temuan kasusnya meningkat dan tingginya angka kematian pasien yang dirawat di ruangan. Dari 3025 pasien baru reumatik di Poliklinik Reumatik RS Hasan Sadikin sepanjang 2003-2005, 6.4% diantaranya adalah pasien Lupus. Delapan dari 32 kasus Lupus yang dirawat di bangsal Penyakit Dalam mengalami kematian baik yang terkait langsung Lupusnya seperti nefritis dan keterlibatan susunan saraf pusat maupun karena penyakit penyerta seperti infeksi dengan sepsis.

Lupus Eritematosus Sistemik (selanjutnya disingkat sebagai LES) merupakan penyakit autoimun multisistem yang berat, dimana tubuh membentuk berbagai jenis antibodi, termasuk antibodi terhadap antigen nuklear (ANAs), sehingga menyebabkan kerusakan berbagai organ. Manifestasi klinisnya tergantung organ mana yang terkena. Dengan demikian tampilan klinis LES sangat bervariasi baik berat-ringannnya maupun gejala dan tandanya.

Etiologi

1. Genetik4,5,6,7

Beberapa peneliti menemukan adanya hubungan antara penyakit LES dengan gen Human Leukocyte Antigen (HLA) seperti DR2, DR3 dari Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II. Individu dengan gen HLA DR2 dan DR3 mempunyai risiko relatif menderita penyakit LES 2-3 kali lebih besar daripada yang mempunyai gen HLA DR4 dan HLA DR5. Peneliti lain menemukan bahwa penderita penyakit LES yang mempunyai epitop antigen HLA-DR2 cenderung membentuk autoantibodi anti-dsDNA, sedangkan penderita yang mempunyai epitop HLA-DR3 cenderung membentuk autoantibodi anti-Ro/SS-A dan anti-La/SS-B. Penderita penyakit LES dengan epitop-epitop HLA-DR4 dan HLA-DR5 memproduksi autoantibodi anti-Sm dan anti-RNP.

Etiologi-2 2.  Defisiensi komplemen12,13

Pada penderita penyakit LES sering ditemukan defisiensi komplemen C3 dan atau C4, yaitu pada penderita penyakit LES dengan manifestasi ginjal. Defisiensi komplemen C3 dan atau C4 jarang ditemukan pada penderita penyakit LES dengan manifestasi pada kulit dan susunan saraf pusat. Individu yang mengalami defek pada komponen-komponen komplemennya, seperti Clq, Clr, Cls mempunyai predisposisi menderita penyakit LES dan nefritis lupus. Defisiensi komplemen C3 akan menyebabkan kepekaan terhadap infeksi meningkat, keadaan ini merupakan predisposisi untuk timbulnya penyakit kompleks imun. Penyakit kompleks imun selain disebabkan karena defisiensi C3, juga dapat disebabkan karena defisiensi komplemen C2 dan C4 yang terletak pada MHC kelas II yang bertugas mengawasi interaksi sel-sel imunokompeten yaitu sel Th dan sel B. Komplemen berperan dalam sistem pertahanan tubuh, antara lain melalui proses opsonisasi, untuk memudahkan eliminasi kompleks imun oleh sel karier atau makrofag. Kompleks imun akan diikat oleh reseptor komplemen (Complement receptor = C-R) yang terdapat pada permukaan sel karier atau sel makrofag. Pada defisiensi komplemen, eliminasi kompleks imun terhambat, sehingga jumlah kompleks imun menjadi berlebihan dan berada dalam sirkulasi lebih lama.

Etiologi-3

3.  Hormon 10,11.

Pada individu normal, testosteron berfungsi mensupresi sistem imuns sedangkan estrogen memperkuat sistem imun. Predominan lupus pada wanita dibandingkan pria memperlihatkan adanya pengaruh hormon seks dalam patogenesis lupus. Pada percobaan di tikus dengan pemberian testosteron mengurangi lupus-like syndrome dan pemberian estrogen memperberat penyakit. 

4.  Lingkungan 8,9

            Pengaruh fisik (sinar matahari), infeksi (bakteri, virus, protozoa), dan obat-obatan dapat mencetuskan atau memperberat penyakit autoimun. Mekanismenya dapat melalui aktivasi sel B poliklonal atau dengan meningkatkan ekspresi MHC kelas I atau II. 

Etiologi-4 5. Obat-obatan14,15,16,17,21,23

Beberapa macam obat telah diketahui menyebabkan timbulnya gejala klinik yang menyerupai penyakit LES ini.  Obat-obatan yang telah disepakati berhubungan erat dengan kejadian lupus ini diantaranya : Carbamazepine, Chlorpromazine, Diphenylhydantoin, Ethosuximide, Hydralazine, Isoniazid, Methyldopa, Penicillamine, Procainamide, Quinidine, dan Sulfasalazine. Obat-obat tersebut diduga dapat bereaksi dengan antigen DNA atau histon dan menyebabkan antigen-antigen tersebut menjadi lebih imunogenik.

6.  Stres14,15,16,17,21,23

            Stres mempengaruhi respon imun dan sistem saraf pusat. Sistem imun seperti halnya sistem yang mempertahankan homeostasis tubuh lainnya, terintegrasi dalam proses-proses fisiologis lain dan dimodifikasi oleh otak.  Faktor-faktor lain seperti usia, neoplasia, gizi dapat berpengaruh terhadap penyakit autoimun. Diduga faktor-faktor tersebut dapat menimbulkan aktivasi poliklonal sel B.

Patogenesis

LES disebabkan oleh interaksi antara gen yang dicurigai berperan pada LES dan faktor lingkungan yang menghasilkan respon imun abnormal. Respon tersebut terdiri dari hiperaktivitas sel T helper sehingga terjadi hiperaktivitas sel B juga. Terjadi gangguan mekanisme downregulating yang menimbulkan respon imun abnormal antara lain produksi autoantibodi yang beberapa diantaranya membentuk kompleks imun, dan depositnya dijaringan menimbulkan kerusakan.

Untuk mempermudah kita dalam mengingat kriteria diagnosis LES dari ACR dibuat singkatan DOPAMIN RASH yaitu:

D iscoid rash, Oral ulcers, Photosensitivity, Arthritis, Malar rash, Immnunologic disorder, Neurologic disorder, Renal disorder, Antinuclear antibody, Serositis, Hematologic disorder.

ARA Criteria for diagnosis of Systemic Lupus Erythematosus

criterion definition

malar rash fixed erythema, flap or raised, over the mainandevidence

Autoantibodies in SLE• ANA

• Seen in 95% of SLE• Not specific for SLE• Seen in many

inflammatory, infectious, and neoplastic diseases

• Seen in 5% to 15% of normal persons

Autoantibodies in SLE

• Anti-ds DNA• Seen in 60% of patients with SLE• Highly specific for SLE• Low titer rarely seen in other inflammatory

conditions• Strongest clinical association is with nephritis

• Anti-Sm (Smith)• Seen in 10% to 30% of SLE patients• Highly specific for SLE

Non Farmakologis19,22

1.   Edukasi Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat LES merupakan

penyakit  yang kronis. Penderita perlu dibekali informasi yang cukup tentang berbagai macam manifestasi klinis yang dapat terjadi, tingkat keparahan penyakit yang berbeda-beda sehingga penderita dapat memahami dan mengurangi rasa cemas yang berlebihan. Pada wanita usia reproduktif sangat penting diberikan pemahaman bahwa bila akan hamil maka sebaiknya kehamilan direncanakan saat penyakit sedang remisi, sehingga dapat mengurangi kejadian flare up dan risiko kelainan pada janin maupun penderita selama hamil.

2.   Dukungan sosial dan psikologis. Hal ini bisa berasal dari dokter, keluarga, teman maupun mengikut

sertakan peer group atau support group sesama penderita lupus. Di Indonesia ada 2 organisasi pasien Lupus, yakni care for Lupus SD di Bandung dan Yayasan Lupus Indonesia di Jakarta. Mereka bekerjasama melaksanakan kegiatan edukasi pasien dan masyarakat mengenai lupus. Selain itu merekapun memberikan advokasi dan bantuan finansial untulk pasienyang kurang mampu dalam pengobatan.

3.   Istirahat       Penderita LES sering mengalami fatigue sehingga perlu istirahat

yang cukup, selain perlu dipikirkan penyebab lain seperti hipotiroid, fibromialgia dan depresi.

4.   Tabir surya Pada penderita LES aktifitas penyakit dapat meningkat setelah

terpapar sinar matahari, sehingga dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari yang berlebihan dan menggunakan tabir surya dengan SPF > 30 pada 30-60 menit sebelum terpapar, diulang tiap 4-6 jam.

5.  Monitor ketat       Penderita LES mudah mengalami infeksi sehingga perlu

diwaspadai bila terdapat demam yang tidak jelas penyebabnya. Risiko infeksi juga meningkat sejalan dengan pemberian obat immunosupresi dan kortikosteroid. Risiko kejadian penyakit kejadian kardiovaskuler, osteoporosis dan keganasan juga meningkat pada penderita LES, sehingga perlu pengendalian  faktor risiko seperi merokok, obesitas, dislipidemia dan hipertensi.

Farmakologis 18,20,22

Terapi Imunomodulator

1.  Siklofosfamid Merupakan obat utama pada gangguan sistem organ yang

berat, terutama nefropati lupus. Pengobatan dengan kortikosterod dan siklofosfamid (bolus iv 0,5-1 gram/m2) lebih efektif dibanding hanya kortikosteroid saja, dalam pencegahan sequele ginjal, mempertahankan fungsi ginjal dan menginduksi remisi ginjal. Manifestasi non renal yang efektif dengan siklofosfamid adalah sitopenia, kelainan sistem saraf pusat, perdarahan paru dan vaskulitis.

Pemberian per oral dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB dapat ditingkatkan sampai 2,5-3 mg/kgBB dengan kondisi neutrofil > 1000/mm3 dan leukosit > 3500/mm3. Monitoring jumlah leukosit dievaluasi tiap 2 minggu dan terapi intravena dengan dosis 0,5-1 gram/m2 setiap 1-3 bulan.

2.  Mycophenolate mofetil (MMF) MMF merupakan inhibitor reversibel inosine monophosphate

dehydrogenase, yaitu suatu enzim yang penting untuk sintesis purin. MMF akan mencegah proliferasi sel B dan T serta mengurangi ekspresi molekul adhesi. MMF secara efektif mengurangi proteinuria dan memperbaiki kreatinin serum pada penderita LES dan nefritis yang  resisten terhadap siklofosfamid. Efek samping yang terjadi umumnya adalah leukopenia, nausea dan diare. Kombinasi MMF dan Prednison sama efektifnya dengan pemberian siklosfosfamid oral dan prednison yang dilanjutkan dengan azathioprine dan prednisone. MMF diberikan dengan dosis 500-1000 mg dua kali sehari sampai adanya respons terapi dan dosis obat disesuaikan dengan respons tersebut. Pada penderita LES dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.

3.  Azathioprine Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam nukleat

dan mempengaruhi fungsi imun seluler dan humoral. Pada LES obat ini digunakan sebagai  alternatif siklofosfamid untuk pengobatan lupus nefritis atau sebagai steroid sparing agent untuk manifestasi non renal seperti miositis dan sinovitis yang refrakter. Pemberian mulai dengan dosis 1,5 mg/kgBB/hari, jika perlu dapat dinaikkan dengan interval waktu 8-12 minggu menjadi 2,5-3 mg/kgBB/hari dengan syarat jumlah leukosit > 3500/mm3 dan metrofil > 1000. Jika diberikan bersamaan dengan allopurinol maka dosisnya harus dikurangi menjadi 60-75%. Efek samping yang terjadi lebih kuat dibanding siklofosfamid, yang biasanya terjadi yaitu supresi sumsum tulang dan gangguan gastrointestinal. Azathioprine juga sering dihubungkan dengan hipersensitifitas dengan manifestasi demam, ruam di kulit dan peningkatan serum transaminase. Keluhan biasanya bersifat reversibel dan menghilang setelah obat dihentikan. Oleh karena dimetabolisme di hati dan dieksresikan di ginjal  maka fungsi hati dan ginjal harus diperiksa secara periodik. Obat ini merupakan pilihan imunomodulator pada penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB/hari karena relatif aman.

4.   Leflunomide (Arava) Leflunomide merupakan suatu inhibitor de novo sintesis pyrimidin yang disetujui pada

pengobatan rheumatoid arthritis. Beberapa penelitian telah melaporkan keuntungan pada pasien LES yang pada mulanya diberikan karena ketergantungan steroid. Pemberian dimulai dengan loading dosis 100 mg/hari untuk 3 hari kemudian diikuti dengan 20 mg/hari. 

5.   Methotrexate

Methotrexate diberikan dengan dosis 15-20 mg peroral satu kali seminggu, dan terbukti efektif terutama untuk keluhan kulit dan sendi. Efek samping yang biasa terjadi adalah peningkatan serum transaminase, gangguan gastrointestinal, infeksi dan oral ulcer, sehingga perlu dimonitor ketat fungsi hati dan ginjal.  Pada penderita LES dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.

6.   Siklosporin  Pemberian siklosporin dosis 2,5-5 mg/kgBB/hari pada umumnya dapat ditoleransi dan

menimbulkan perbaikan yang nyata terhadap proteinuria, sitopenia, parameter imunologi (C3, C4, anti-ds DNA) dan aktifitas penyakit. Jika kreatinin meningkat lebih dari 30% atau timbul hipertensi maka dosisnya  harus disesuaikan efek samping yang sering terjadi adalah hipertensi, hiperplasia gusi, hipertrikhosis, dan peningkatan kreatinin serum. Siklosporin terutama bermanfaat  untuk nefritis membranosa dan untuk sindroma nefrotik yang refrakter, sehingga monitoring tekanan darah dan fungsi  ginjal harus dilakukan secara rutin. Siklosporin A dapat diberikan pada penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan dengan dosis 2 mg/kgBB/hari karena relatif aman.  

Agen Biologis

1.      Aktivasi sel T, interaksi sel T dan sel B, deplesi sel B Perkembangan terapi terakhir telah memusatkan perhatian terhadap fungsi sel B dalam

mengambil autoAg dan mempresentasikannya melalui immunoglobulin spesifik terhadap sel T di permukaan sel, selanjutnya mempengaruhi respons imun dependen sel T. Anti CD 20 adalah suatu antibodi monoklonal yang melawan reseptor CD 20 yang  dipresentasikan limfosit B.

2.   Anti CD 20 Anti CD 20 (Rituximab; Rituxan) memiliki pontensi terapi untuk LES yang refrakter. Beberapa

penelitian memberikan keberhasilan terapi pada manifestasi lupus refrakter seperti sistem saraf pusat, vaskulitis dan gangguan hematologi.

3.   LJP 394       LJP 394 (Abetimus sodium; Riquent) telah didisain untuk mencegah rekurensi flare renal

pada pasien nefritis dengan cara mengurangi antibody terhadap ds-DNA melalui toleransi spesifik antigen secara selektif. Substansi ini merupakan suatu senyawa sintetik yang terdiri dari rangkaian deoksiribonukleotida yang terikat pada rantai trietilen glikol.

4.   Anti B lymphocyte stimulator Stimulator limfosit B (BlyS) merupakan bagian dari sitokin TNF (tumor necrosis factor), yang

mempresentasikan sel B. LymphoStatB merupakan antibod monoklonal  terhadap BlyS.5.   Sitokin inhibitor

Meskipun telah ada penelitian yang menunjukkan penurunan sekresi TNF alfa dan meliorasi leukopenia, proteinuria dan deposisi imun kompleks pada binatang percobaan, namun tidak ada studi klinis agen anti TNF yang diberikan pada penderita LES.

6.   Anti malaria       Obat anti malaria yang digunakan pada LES adalah hidroksiklorokuin,

klorokuin, dan quinakrin. Digunakan untuk keluhan konstitusional, manifestasi di kulit, musculoskeletal dan serositis. Kombinasi obat antimalaria memiliki efek sinergis dan digunakan bila penggunaan satu macam obat tidak efektif. Hidroksiklotokuin (200–400 mg/hari) dan  Quinakrin (100 mg/hari) sebagai steroid sparing agent memiliki efek samping yang ringan dan reversibel, yaitu perubahan warna kulit menjadi kekuningan.

Mekanisme bagaimana hidroksiklorokuin mencegah kerusakan organ belum jelas. Hidroksiklorokuin menurunkan kadar lipid dan kemungkinan anti trombotik. Yang perlu diperhatikan adalah efek samping pada mata meskipun relatif aman bila digunakan pada dois rendah (< 6,5 mg/kgBB/hari). Namun demikian rekomendasi saat ini adalah melakukan pemeriksaan mata sebelum mulai pengobatan dan setiap 6 – 12 bulan kemudian. Antimalaria jarang sekali menyebabkan kelainan kongenital pada  janin.  Oleh karena itu direkomendasaikan untuk diberikan juga pada penderita nefropati lupus yang hamil dan dapat diberikan sampai masa menyusui.  Kejadian IUGR juga berkurang dengan pemberian hidroksiklorokuin.

Hormon Seks Bromokriptin yang secara selektif menghambat hipofise

anterior untuk mensekresi prolaktin terbukti bermanfaat mengurangi aktifitas penyakit LES. Dehidroepiandrosteron (DHEA) bermanfaat untuk LES dengan aktifitas ringan sampai sedang. Danazole (sintetik steroid) dengan dosis 400-1200 mg/hari bermanfaatuntuk mengontrol sitopenia autoimun terutama trombositopeni dan anemia hemolitik. Estrogen replacement therapy (ERT) dapat dipertimbangkan pada pasien-pasien LES yang mengalami menopause, namun masih terdapat perdebatan mengenai kemampuan kontraseptif oral atau ERT dalam menimbulkan flare LES. Untuk itu terapi ini harus ditunda pada pasien dengan riwayat trombosis.

Kortikosteroid Kortikosteroid efektif untuk menangani berbagai macam

manifestasi klinis LES. Sediaan topikal atau intralesi digunakan untuk lesi kulit, sediaan intra artikular digunakan untuk artritis, sedangkan sediaan oral atau parenteral untuk kelainan sistemik. Pemberian per oral dosisnya bervariasi dari 5-30 mg prednison (metilprednisolon) per hari secara tunggal atau dosis terbagi, efektif untuk mengobati keluhan konstitusional, kelainan kulit, arthritis dan serositis. Seringkali kortikosteroid diberikan bersamaan dengan antimalaria atau imunomodulator dengan tujuan untuk mendapatkan induksi yang cepat kemudian diturunkan dosisnya. Adanya keterlibatan organ penting seperti nefritis, cerebritis, kelainan hematologi atau vaskulitis sistemik, umumnya memerlukan prednison dosis tinggi (1-2 mg/kgBB/hari). Kortikosteroid parenteral juga dapat digunakan pada keadaan yang sangat berat, mengancam jiwa, dengan dosis metilprednisolon bolus 1000 mg selama 3 hari berturut-turut.

NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory Drug) NSAID digunakan untuk mengatasi keluhan nyeri

muskuloskeletal, pleuritis, perikarditis dan sakit kepala. Efek samping NSAID pada ginjal, hati, sistem saraf pusat harus dibedakan dengan aktifitas lupus yang menghebat. Adanya proteinuria yang baru timbul atau perburukan fungsi ginjal dapat disebabkan oleh aktifitas LES atau efek NSAID. NSAID juga dapat menyebabkan meningitis aseptik, sakit kepala, psikosis dan gangguan kognitif, meningkatkan serum transaminase secara reversibel. Gangguan gastrointestinal merupakan efek samping paling sering ditimbulkan oleh inhibitor COX non-selektif. Inhibitor COX-2 selektif lebih sedikit efek sampingnya pada gastrointestinal. Pada penderita LES dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan karena dapat mengakibatkan kelainan kongenital dan dieksresikan dalam air susu.

Immunoglobulin Intravena Immunoglobulin intravena (IV Ig) adalah

imunomodulator dengan mekanisme kerja yang luas, meliputi blokade reseptor Fc, regulasi komplemen dan sel T. Tidak seperti immunosupresan, IV Ig tidak mempunyai efek meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut memberikan perbaikan pada trombositopeni, artritis, nefritis, demam, manifestasi kulit dan parameter immunologis. Efek samping yang terjadi adalah demam, mialgia, sakit kepala dan artralgia, serta kadang meningitis aseptik. Kontraindikasi diberikan pada penderita LES dengan defisiensi IgA.