23
STRATEGI UNTUK MELAKUKAN TURNAROUND PADA PUBLIC SERVICE Pelajaran dari sektor privat? Tjahjanulin Domai Abstraks Pembuat kebijakan nasional dan manajer pelayanan lokal berusaha menemukan strategi untuk memperbaiki kinerja organisasi publik yang gagal. Meski begitu, penelitian akademis tentang turnaround public service bisa dijadikan panduan. Beberapa usaha substansial telah dilakukan untuk mencegah menurunnya sektor privat. Model proses turnaround (berputar) ini diciptakan dari literatur, dan bukti tentang efektivitas beberapa strategi turnaround akan dibahas. Bukti sektor privat menunjukkan bahwa rekoveri dari kegagalan memiliki keterkaitan dengan strategi retrenchment, repositioning, dan reorganization. Feasibilitas dan dampak strategi ini dalam sektor publik akan dievaluasi lebih jauh, dan pertanyaan penelitian tentang turnaround pada public service akan dijawab lebih lanjut. Kata kunci: turnaround organisasi; sektor publik dan privat; strategi public service. PENDAHULUAN Kebutuhan akan kinerja tinggi dalam organisasi publik adalah sebuah tema sentral dan rekuren dalam kebijakan pemerintah dan penelitian akademis (Boyne, Farrell, Law, Powell dan Walker, 2003; Pollitt dan Bouckaert, 2000). Dalam 20 tahun terakhir, program reformasi sektor publik yang berhubungan dengan manajemen publik baru telah banyak dilakukan (Ferlie, McLaughlin, dan Osborne, 2002). Meski ada reformasi, atau mungkin karena reformasi tersebut, perhatian banyak diberikan pada kegagalan organisasi sektor publik (Goodsell, 1994; Meier dan Bohte, 2003). Contoh, pemerintah federal memperkenalkan No Child Left Behind Act, yang menjelaskan kegagalan dalam sekolah dan memberikan sangsi kepada pelaku (Nash, 2002). Pemerintah UK merasakan rendahnya kinerja organisasi publik seperti rumah sakit, sekolah, dan departemen pelayanan sosial (Audit Commission, 2002). Pemerintah dalam negara tersebut berusaha menemukan cara untuk menghasilkan turnaround organisasi, menghilangkan kesenjangan pelayanan antar kelompok klien, dan membawa yang terbelakang menuju standar pelayanan yang pernah dicapai oleh leader.

STRATEGI UNTUK MELAKUKAN · Web viewStrategi in adalah retrenchment (mendivestasi aset dan memotong biaya), repositioning (bergerak menuju pasar atau pelayanan baru), dan reorganization

  • Upload
    others

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

STRATEGI UNTUK MELAKUKAN TURNAROUND PADA PUBLIC SERVICE

Pelajaran dari sektor privat?

Tjahjanulin Domai

Abstraks

Pembuat kebijakan nasional dan manajer pelayanan lokal berusaha menemukan strategi untuk memperbaiki kinerja organisasi publik yang gagal. Meski begitu, penelitian akademis tentang turnaround public service bisa dijadikan panduan. Beberapa usaha substansial telah dilakukan untuk mencegah menurunnya sektor privat. Model proses turnaround (berputar) ini diciptakan dari literatur, dan bukti tentang efektivitas beberapa strategi turnaround akan dibahas. Bukti sektor privat menunjukkan bahwa rekoveri dari kegagalan memiliki keterkaitan dengan strategi retrenchment, repositioning, dan reorganization. Feasibilitas dan dampak strategi ini dalam sektor publik akan dievaluasi lebih jauh, dan pertanyaan penelitian tentang turnaround pada public service akan dijawab lebih lanjut.

Kata kunci: turnaround organisasi; sektor publik dan privat; strategi public service.

(Strategi Untuk Melakukan Turnaround pada Public Service)18

PENDAHULUAN

Kebutuhan akan kinerja tinggi dalam organisasi publik adalah sebuah tema sentral dan rekuren dalam kebijakan pemerintah dan penelitian akademis (Boyne, Farrell, Law, Powell dan Walker, 2003; Pollitt dan Bouckaert, 2000). Dalam 20 tahun terakhir, program reformasi sektor publik yang berhubungan dengan manajemen publik baru telah banyak dilakukan (Ferlie, McLaughlin, dan Osborne, 2002). Meski ada reformasi, atau mungkin karena reformasi tersebut, perhatian banyak diberikan pada kegagalan organisasi sektor publik (Goodsell, 1994; Meier dan Bohte, 2003). Contoh, pemerintah federal memperkenalkan No Child Left Behind Act, yang menjelaskan kegagalan dalam sekolah dan memberikan sangsi kepada pelaku (Nash, 2002). Pemerintah UK merasakan rendahnya kinerja organisasi publik seperti rumah sakit, sekolah, dan departemen pelayanan sosial (Audit Commission, 2002). Pemerintah dalam negara tersebut berusaha menemukan cara untuk menghasilkan turnaround organisasi, menghilangkan kesenjangan pelayanan antar kelompok klien, dan membawa yang terbelakang menuju standar pelayanan yang pernah dicapai oleh leader.

Meski begitu, usaha untuk menghasilkan turnaround pada public service dilakukan tanpa teori komprehensif atau bukti kuat. Penelitian tentang topik kinerja organisasi dalam sektor publik sering dibatasi pada jumlah dan kualitas (Boyne, 2003a), sehingga tidak heran bahwa tindak lanjut dari buruknya organisasi kurang mendapat perhatian akademis. Andil dalam subyek ini banyak berasal dari praktisi daripada peneliti (Borins, 1998; Moore, 1995). Sebaliknya, ada tradisi lama untuk tulisan akademis tentang turnaround di sektor privat. Studi sebelumnya dilakukan di pertengahan 1970-an, dan persoalan yang dibahas tetap menjadi subyek analisis konseptual dan empiris (Barker, Patterson dan Mueller, 2001; Bruton, Ahlstrom dan Wan, 2003; Ketchen, 1998). Dalam mempelajari turnaround pada public service, tidak perlu mencermati literatur baru karena penelitian tentang ini sudah banyak dilakukan, begitu juga dengan konteks dan jurnal tentang manajemen publik.

1. Tujuan Artikel

Tujuan artikel ini adalah menemukan pelajaran yang dapat diambil dari sejumlah tulisan tentang rekoveri organisasi dalam sektor privat. Wawasan apa yang bisa diciptakan penelitian supaya kita tahu cara menganalisa dan melakukan turnaround pada public service?

Penting untuk disadari bahwa manajemen publik dan privat secara signifikan telah berbeda. Contohnya, organisasi publik umumnya lebih birokratik, manajer publik kurang punya wewenang terkait misi dan personel organisasi, dan staff dalam organisasi publik jarang termotivasi oleh insentif finansial (Nutt dan Backoff, 1993; Perry dan Rainey, 1988; Ring dan Perry, 1985; Wilson, 1989). Perbedaan tersebut berarti bahwa rekoveri dari kegagalan bisa sulit dicapai dalam sektor publik daripada sektor privat, khususnya jika turnaround membutuhkan fleksibilitas organisasi, otonomi manajerial, dan reward moneter untuk perubahan dalam perilaku dan kinerja. Lebih jauh, kadar kepublikan organisasi (Bozeman, 1987) menjadi moderator penting bagi relevansi teori dan bukti sektor privat dengan turnaround pada public service. Persoalan ini, karena itu, perlu didalami pada beberapa point relevan, khususnya dalam analisis proses turnaround dan strategi turnaround.

2. Sistematika Artikel

Dalam bagian pertama dari artikel, karakteristik umum dari studi turnaround dalam organisasi privat akan dideskripsikan secara ringkas. Bagian kedua artikel menjelaskan konsep turnaround organisasi dalam detail, menunjukkan sebuah model proses turnaround dalam sektor privat, dan mengevaluasi apakah model ini cocok dalam sektor publik. Dalam bagian ketiga, akan dijelaskan tiga strategi turnaround yang digunakan oleh perusahaan privat, dan bukti empiris validitasnya akan dievaluasi. Strategi in adalah retrenchment (mendivestasi aset dan memotong biaya), repositioning (bergerak menuju pasar atau pelayanan baru), dan reorganization (merubah leadership dan susunan manajemen dari organisasi). Feasibilitas dan efektivitas potensial dari strategi dalam sektor publik akan dinilai lebih lanjut. Terakhir, implikasi teori dan praktek administrasi publik akan didiskusikan lebih lanjut.

DESKRIPSI DAN ANALISIS ARTIKEL

1. Penelitian Tentang Turnaround Dalam Sektor Privat

Meskipun ada literatur tentang turnaround dalam sektor privat, banyak dari ini berisi preskripsi normatif dan cerita kesuksesan organisasi. Ada banyak “cookbooks” dan artikel dalam jurnal praktisioner yang memberikan saran bagi eksekutif tentang cara menyelamatkan perusahaan yang berada dalam kondisi stress. Sumber ini memberikan bukti yang sedikit serius tentang efektivitas strategi turnaround yang berbeda. Sumber ini jarang didasarkan pada perbandingan antara perusahaan yang melakukan rekoveri dan yang tetap gagal, sehingga sulit memberitahukan apakah preskripsi memiliki validitas karena ini juga digunakan dalam perusahaan yang bangkrut.

Proses pencarian berikut digunakan untuk mengidentifikasi studi yang berisi bukti yang lebih sistematik:

A. Survey literatur dibatasi pada artikel jurnal sebagai kontrol kualitas kasar (dengan asumsi bahwa tulisan yang direview oleh rekan cenderung lulus dari kriteria minimum akademis).

B. Pencarian keywords dalam judul atau abstrak bisa dilakukan dalam database Web of Knowledge (http://www.wok. mimas.ac.uk) yang berisi content dari jurnal ilmu sosial terkenal di dunia dari tahun 1980 sampai seterusnya. Ini meliputi publikasi ekonomi, manajemen, ilmu politik, administrasi publik, dan sosiologi. Keywords yang digunakan adalah turnaround, recovery, rejuvenation, dan renewal. Artikel jurnal lainnya perlu diketahui dengan melakukan snowballing dari sumber yang ada dalam pencarian web.

C. Artikel yang dicari dengan proses ini kemudian dipilih untuk dianalisis jika berisi bukti empiris tentang efektivitas strategi turnaround dan jika ini berisi upaya turnaround yang sukses dan tidak sukses. Kriteria ini mengabaikan penelitian di satu organisasi saja (tidak ada studi longitudinal tentang beberapa upaya turnaround dalam organisasi yang sama).

Proses pencarian ini menghasilkan 21 studi komparatif tentang kesuksesan dan kegagalan strategi turnaround pada dua atau lebih organisasi dalam sektor privat (Tabel 1). Tidak ada studi yang membandingkan sukses dan tidaknya strategi turnaround di dalam sektor publik. Beberapa cerita sukses turnaround pada public service ditemukan lewat pencarian literatur, dan ini bisa diperlihatkan dalam analisis efektivitas strategi berbeda di bagian ketiga artikel.

Tabel 1

Ringkasan Bukti Turnaround

Studi empiris tentang turnaround dalam sektor privat lebih bersifat kuantitatif daripada kualitatif. Sekitar 17 studi menemukan sampel organisasi menengah sampai besar (N = 32-260) dalam sebuah situasi turnaround, mengikuti perubahan dalam kinerja di setiap waktu, dan melakukan evaluasi statistik apakah strategi berbeda bisa sukses atau gagal. Metodologi yang sama digunakan oleh empat studi yang memeriksa strategi turnaround dalam sampel kecil antara 2 dan 9 organisasi gagal dan mengambil kesimpulan berbasis interpretasi kualitatif daripada uji statistik formal. Akibat dari pembaruan metode kuantitatif dan kualitatif adalah bahwa sulit menggunakan teknik meta-analitik konvensional kepada studi turnaround. Jumlah studi bisa dikatakan masih terlalu sedikit untuk menghasilkan perbandingan hasil menurut industri, periode atau ukuran organisasi. Meski begitu, perlu diperhatikan bahwa semua studi berusaha mengontrol karakteristik eksternal (yaitu industri, lokasi geografi) dan internal (yaitu ukuran, umur) dari perusahaan yang dianalisis. Kesimpulannya, karena itu, berupa efek strategi turnaround ketika beberapa variabel berlaku konstan. Ini bisa diketahui lewat interpretasi atau seleksi sampel dalam studi kualitatif (Barr, Stimpert dan Huff, 1992, untuk menganalisa kinerja relatif dari dua perusahaan kereta api dalam wilayah geografi sama dan pasar niche).

Salah satu karakteristik akhir dari studi adalah bahwa 17 dari 21 studi dilakukan di United States. Ada kemungkinan bahwa strategi turnaround berbeda bekerja dalam konteks nasional, politik, dan budaya berbeda (Bruton dkk, 2003). Jika begitu, relevansi pola bukti dengan organisasi publik bisa lebih besar di United States daripada di lain tempat.

2. Model Proses Turnaround

Tidak ada model proses turnaround di dalam sektor publik. Studi kasus tentang turnaround yang sukses adalah akun historis deskriptif tentang kejadian dan aksi yang berhubungan dengan peningkatan dalam kinerja public service (Contino dan Lorusso, 1982; Decker dan Paulson, 1988; Stephens, 1988). Studi ini memberikan beberapa hint tentang tahapan atau elemen rekoveri. Tujuan dari bagian artikel ini adalah menghasilkan sebuah model generik tentang proses turnaround dari penelitian sektor privat dan mengevaluasi apakah model ini bisa digunakan di dalam organisasi publik.

Literatur tentang penurunan organisasi dan rekoveri dalam sektor privat berisi banyak model implisit proses turnaround. Model ini menunjukkan bahwa proses ini diawali dengan sebuah penurunan dalam kinerja, diikuti dengan rekognisi sebuah krisis, pencarian dan seleksi sebuah strategi baru, dan hasil yang berupa rekoveri atau kebangkrutan, yang ditentukan oleh sukses atau gagalnya strategi (McKiernan, 2002; Pearce dan Robbins, 1993). Model generik dari proses turnaround bisa disaring dari beberapa model tahapan penurunan dan rekoveri dalam organisasi privat (Chowdhury, 2002). Model ini, yang berisi setidaknya tujuh tahap terpisah, ditunjukkan di Gambar 1. Model ini adalah penyederhanaan dari sebuah proses yang di dalam organisasi terlihat kacau dan kompleks. Banyak dari tahapan ini terjadi pada waktu yang sama, dan beberapa di antaranya dipendekkan untuk sementara, sedangkan lainnya diperpanjang. Lebih jauh, tahapan ini bisa berkaitan lewat loop feedback, dan dampaknya terhadap kinerja cenderung interaktif, bukan terpisah (Arogyaswamy, Barker, dan Yasai-Ardekani, 1995). Ini adalah sebuah kerangka konseptual yang berguna untuk mengidentifikasi tahapan penting dalam proses penurunan dan rekoveri. Sifat setiap tahapan dalam model, dan relevansinya dengan organisasi publik, perlu didiskusikan.

3. Awal Penurunan

Penurunan kinerja dalam organisasi privat biasanya berhubungan dengan “kurangnya kesesuaian” antara sebuah organisasi dan lingkungannya (Weitzel dan Jonsonn, 1989). Perubahan dalam kondisi eksternal, seperti perubahan dalam kebutuhan konsumen atau penggunaan teknologi baru dari perusahaan

(PerformanceTime (1)(2)(3)(4)5(a)(6)7(b) continued failureCorrective section and recoveryTurnaround (7a)Turnaround situationSearch for new strategies5(b) so ‘escape’ strategy foundSelection of new strategy Implementation of new strategy 7(c) terminal decline)

Gambar 1. Tahap-Tahap Turnaround Organisasi

rival, bisa membuat sebuah perusahaan kehilangan pendapatan dan segmen pasar. Bahkan dalam lingkungan stabil sekali pun, sebuah organisasi bisa menjadi tidak efisien atau tidak efektif karena leadership yang buruk atau kurangnya perhatian kepada kebutuhan konsumen. Awal penurunan dalam organisasi publik memiliki sumber internal dan eksternal yang sama (Durham dan Smith, 1982; McCurdy, 1991). Meski begitu, dalam sektor publik, kejutan eksternal yang mendestabilkan kinerja cenderung bersifat politik sekaligus ekonomi. Perubahan dalam disposisi ideologi kelompok penguasa di level federal atau negara bagian menimbulkan imposisi tujuan dan prioritas baru ke pihak service provider. Light (1997) menggambarkan cara empat “pasang reformasi” disiramkan ke organisasi publik, dan menyisakan beberapa kebangkitan kebutuhan yang kontradiktif. Persoalan kebijakan bisa naik dan turun, dan organisasi yang lambat meresponnya dianggap berkinerja buruk (Carmines dan Stimson, 1989). Sumber penurunan internal bisa berbeda antara sektor publik dan privat. Contoh, organisasi publik bisa cenderung bermasalah dengan kemacetan birokratik dan red tape (Boyne, 2002; H. Rainey dan Bozeman, 2000). Lebih jauh, Downs (1967) berpendapat bahwa “siklus hidup” birokrasi publik ditunjukkan oleh sebuah hubungan positif antara umur dan perilaku konservatif, yang menunjukkan bahwa “liability of oldness” bisa lebih menonjol dalam sektor publik daripada sektor privat.

4. Tindakan Korektif Untuk Mencegah Sebuah Situasi Turnaround

Banyak penurunan kinerja bersifat sementara dan tidak membutuhkan aksi cepat untuk turnaround. Dalam literatur manajemen privat, banyak dikatakan bahwa perusahaan yang terbaik pun bisa mengalami gejolak dalam level kesuksesan komersialnya (Miller, 1994). Ini berarti bahwa periode kegagalan yang pendek adalah prakondisi dari sukses jangka panjang karena ini menghasilkan pembelajaran organisasi, yang selanjutnya mengawali kinerja yang tinggi (Donaldson, 1999; Sitkin, 1992). Karena itu, tahap kedua yang ditunjukkan di Gambar 1 adalah sebuah pelarian diri dari penurunan sementara lewat aksi korektif yang diambil organisasi. Di beberapa kondisi, tindakan tersebut jarang diambil dalam sektor privat, tapi yang sering digunakan adalah menunggu selesainya siklus penurunan dalam sebuah industri (konstruksi). Penelitian yang mempelajari karakteristik organisasi self-correcting yang melibatkan kebutuhan turnaround pada public service jelasnya memiliki arti penting untuk teori dan praktek.

5. Situasi Turnaround

Organisasi yang gagal merespon masalah kinerja lewat aksi korektif, atau yang mengambil aksi yang tidak efektif, cenderung mengalami situasi turnaround. Ini adalah tahap ketiga yang ditunjukkan di Gambar 1. Ini lebih dari sekadar gejolak jangka pendek dalam kesuksesan komersial. Sebuah perusahaan dalam situasi turnaround menghadapi sebuah pilihan antara perubahan stratejik yang menghasilkan rekoveri dan persistensi stratejik yang menghasilkan kegagalan. Persistensi stratejik ini berarti kematian perusahaan, baik lewat takeover oleh perusahaan lain atau kebangkrutan (Slatter, 1984). Sebuah situasi turnaround didefinisikan oleh Hambrick (1985) sebagai “ketika kinerja bisnis secara persisten di bawah beberapa level minimum”. Ini menimbulkan tiga pertanyaan tentang pengukuran situasi turnaround dalam sektor publik. Pertama, apa yang dimaksud kinerja? Kedua, periode apa yang menunjukkan kinerja yang buruk secara persisten? Ketiga, siapa yang mendefinisikan level minimumnya?

Penelitian tentang turnaround dalam sektor privat menjawab pertanyaan pertama dan kedua secara eksplisit dan memberikan jawaban implisit bagi pertanyaan ketiga. Kinerja perusahaan diukur dalam studi empiris turnaround lewat beberapa indikator kesuksesan finansial (yaitu profitabilitas, tingkat return investasi; Winn, 1993). Ukuran ini mengabaikan kriteria kinerja penting dalam sektor privat seperti tanggungjawab sosial korporat, kesejahteraan staff, dan dampaknya terhadap lingkungan. Dalam sektor publik, definisi dan pengukuran kinerja terkesan lebih kompleks. Agensi publik sering memiliki banyak tujuan yang bermuatan politis (H. Rainey, 2003). Stakeholder berbeda sering menggunakan kriteria berbeda untuk kinerja, dan bahkan ketika menggunakan kriteria yang sama, stakeholder cenderung menggunakan bobot berbeda (Boyne, 2003b). Karena itu, untuk mengetahui apakah organisasi publik berada dalam situasi turnaround harus melihat dimensi kinerja yang digunakan (seperti efisiensi, efektivitas, ekuitas) dan persepsi kepentingan relatifnya. Perspektif politik ini menunjukkan bahwa kegagalan public service bisa terjadi ketika stakeholder kunci merasa tidak puas karena keberadaan organisasinya sebagai satu entitas terancam. Bentuk yang kurang ekstrim dari kegagalan adalah ketika kelompok dominan mentoleransi kelanjutan sebuah organisasi tapi memaksakan pergantian leadernya.

Konsep kinerja buruk yang persisten digunakan dalam studi empiris turnaround perusahaan pada waktu 2 sampai 4 tahun (Lohrke dan Bedeian, 1998). Ini tercermin dalam keyakinan bahwa kesuksesan atau kegagalan harus dinilai dalam tahun finansial keseluruhan, bukan berbasis return finasial kuartal (atau periode yang lebih pendek seperti trend mingguan dalam harga pasar saham). Fokus terhadap kinerja tahunan (dan setidaknya 2 tahun dengan hasil buruk) juga dikatakan relevan bagi beberapa organisasi publik. Hasil ujian sekolah biasanya dipublikasikan secara tahunan, sehingga kegagalan persisten dalam sektor pendidikan bisa dinilai selama 2 tahunan (seperti legislasi No Child Left Behind). Apakah ini terbilang lama untuk menilai kinerja buruk masih diperdebatkan (Nash, 2002). Meski begitu, banyak public service, periode yang berisi kegagalan persisten jauh lebih elastis. Contoh, sebuah departemen di rumah sakit yang memiliki tingkat kematian tinggi dalam bedah rutin selama beberapa minggu bisa berada dalam situasi turnaround. Sebuah agensi pelayanan sosial yang gagal melindungi sejumlah anak bisa mengalami kegagalan persisten, baik itu dalam jangka pendek atau jangka panjang. Periodisitas kegagalan persisten dalam sektor publik ditentukan oleh sifat pelayanan yang diberikan dan frekuensi pengumpulan, monitor, dan publikasi data kinerja.

Pertanyaan siapa yang menilai level kinerja yang minimum didiskusikan secara ringkas dalam literatur organisasi privat. Asumsi implisit dalam sejumlah studi kegagalan dan rekoveri perusahaan adalah bahwa leader organisasi berusaha mengidentifikasi sebuah krisis dalam kinerja, baik menurut catatan sebelumnya atau menurut return finansial yang diterima oleh pesaingnya (Short, Palmer dan Stimpert, 1998). Beberapa studi mengetahui peran yang dimainkan institusi pemberi pinjaman dan stakeholder lain dalam mengidentifikasi sebuah situasi turnaround (Arogyaswamy dkk, 1995; Grinyer, Mayes, dan McKIernan, 1988). Penilaian eksternal tentang kegagalan kinerja ini menitikberatkan pada tatanan akuntabilitas yang kompleks. Sukses atau gagal cenderung dinilai oleh lembaga tinggi yang memberikan sumberdaya legal, finansial atau lainnya ke provider jasa.

Prosedur untuk mendefinisikan kegagalan dalam organisasi publik menggunakan campuran formula dan penilaian diskresi. Rejim No Child Left Behind mendefinisikan kegagalan sekolah berdasar perubahan dalam hasil ujian dan gap antara hasil kelompok etnis berbeda. Karena negara bagian bisa memilih tes dan benchmark yang berbeda, sekolah dengan hasil identik bisa gagal di satu negara bagian tapi lulus di negara bagian lain. Pendekatan kepada identifikasi organisasi yang gagal di Inggris lebih didasarkan pada penilaian daripada formula. Kinerja organisasi dalam fungsi seperti pendidikan dan pelayanan sosial dievaluasi oleh inspektorat nasional yang mengunjungi lembaga lokal. Meski inspektorat ini mempertimbangkan hasil indikator kinerja, mereka punya wewenang untuk menentukan penilaian akhirnya (Bache, 2003).

6. Pencarian Strategi Baru

Leader sebuah organisasi dalam sebuah situasi turnaround cenderung merekognisi, cepat atau lambat, bahwa wacana aksi baru jelasnya dibutuhkan untuk mencegah penurunan. Manajer senior dalam beberapa organisasi, meski begitu, menunjukkan perilaku yang dideskripsikan sebagai “rigiditas ancaman”: sebuah krisis yang menimbulkan dependensi pada strategi tertentu (Staw, Sanderlands, dan Dutton, 1981). Ini membuat stakeholder yang kuat bisa memasukkan tim eksekutif berbeda yang jelasnya menggunakan strategi baru (Miller, 1994).

Literatur banyak menjelaskan formulasi strategi dalam organisasi privat (Mintzberg, Ahlstrand dan Lampel, 1998). Yang mengejutkan, beberapa model atau konsep dari penelitian tentang proses strategi telah digunakan dalam penelitian empiris tentang turnaround (Shook, 1998). Pencarian strategi turnaround harus analitik atau inkremental dan intuitif? Apakah ini harus sentralis dan sekretif atau desentralis dan partisipatif? Studi tentang turnaround dalam sektor privat menghasilkan sedikit pelajaran bagi peneliti atau praktisi manajemen publik. Hanya satu point penting yang muncul dari literatur perusahaan privat: Aksi harus cepat dilakukan untuk menyelamatkan perusahaan yang gagal, dan perlu waktu yang tepat untuk melakukan itu sebelum mempertimbangkan kesempatan kedua (Hambrick, 1985). Ini menghasilkan proses strategi kompresi yang meniadakan analisis dan partisipasi ekstensif. Dalam sektor publik, lembaga yang bervisi dan berpandangan politis cenderung mendapatkan tekanan untuk secara cepat menghasilkan rencana rekoveri. Organisasi yang tidak tertekan sebaliknya bisa jadi menggunakan prosedur yang lebih analitik dan konsultatif dalam merumuskan sebuah strategi turnaround.

7. Sebuah Strategi Baru ?

Penelitian empiris tentang perusahaan privat berkonsentrasi pada tahapan proses turnaround. Sebagian besar studi menfokuskan pada sifat strategi baru yang digunakan dan dampaknya terhadap kinerja selanjutnya. Strategi yang telah diperiksa, dan efeknya terhadap turnaround, direview dalam section ketiga. Untuk saat ini, yang harus dipertimbangkan adalah bahwa studi empiris turnaround berasumsi bahwa setiap perusahaan gagal bisa kembali kepada jalur kesuksesan komersial. Dengan menggunakan strategi yang tepat, pastinya tidak ada organisasi privat yang kalah.

Asumsi ini ditentang dalam Gambar 1, yang memecah Tahap 5 proses turnaround menjadi dua. Meski tahapan ini berisi diskoveri sebuah strategi baru dan lebih baik, ada kemungkinan bahwa tidak ada strategi escape karena beberapa target tidak dapat dicapai. Menurut Hargrove dan Glidewell (1990), beberapa jabatan dalam sektor publik “masuk ke tingkat ekstrim dimensi yang dianggap tidak memungkinkan”. Dalam hal ini, organisasi dikatakan mengalami penurunan terminal atau tergelincir ke dalam posisi kegagalan permanen. Tulisan Meyer dan Zucker (1989) tentang fenomena tersebut masih diabaikan dalam usaha empiris tentang strategi turnaround. Mereka berpendapat bahwa banyak organisasi masih memiliki kinerja buruk dalam waktu lama, dan tanpa memiliki prospek peningkatan. Ini terjadi karena reformasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan turnaround telah terhambat oleh kelompok yang takut dengan resiko strategi baru. Intinya, kelompok seperti konsumen, suplaier, dan staff lebih suka organisasi yang berkinerja buruk daripada yang berumur pendek. Penggunaan sebuah strategi escape, dengan kata lain, terhambat oleh resistansi terhadap perubahan stratejik. Meyer dan Zucker mengatakan bahwa:

Orang yang dependen terhadap organisasi memiliki beberapa alternatif dan karena itu, bisa mengambil keuntungan dari kinerjanya. Selain itu, semakin kecil alternatif, semakin dependen aktornya, dan karena itu, ada motivasi lebih besar untuk melestarikan organisasi apapun kinerjanya.

Karena organisasi publik cenderung menjadi monopolist daripada organisasi privat, organisasi tersebut sering menggunakan strategi escape yang sulit digunakan dan karena itu menimbulkan kegagalan permanen. Proses turnaround, dengan kata lain, sering berhenti di tahapan ini dalam sektor publik daripada sektor privat. Leader organisasi harus mengenali strategi escape yang harus layak teknis, bukan layak politis.

8. Implementasi Strategi Baru

Beberapa topik di beberapa dekade banyak dibicarakan dalam bentuk buku dan artikel jurnal dalam literatur sektor privat, antara lain manajemen perubahan. Area penelitian ini bisa dibilang besar, tapi terpisah dari literatur implementasi kebijakan dalam sektor publik (Stewart dan Kringas, 2003). Meski begitu, studi turnaround tetap terpisah dari derasnya penelitian manajemen. Implementasi strategi, seperti formulasi strategi, adalah sebuah kotak hitam dalam penelitian tentang turnaround di perusahaan privat yang dituliskan di Tabel 1. Studi empiris menghubungkan strategi turnaround secara langsung dengan kinerja organisasi tanpa mempertimbangkan apakah gaya implementasi berbeda bisa memediasi hubungan antara variabelnya. Perusahaan privat memiliki struktur perintah dan kontrol yang mencegah munculnya deviasi antara strategi yang diinginkan dan yang dijalankan. Cara strategi baru dijalankan adalah sebuah determinan penting dari suksesnya organisasi (H. Rainey, 2003) dan menjadi elemen sentral dari sebuah model valid turnaround pada public service.

9. Hasil Strategi Turnaround

Tahap akhir di Gambar 1 berisi tiga efek strategi turnaround. Yang pertama adalah penurunan terminal yang menimbulkan hilangnya organisasi sebagai entitas (meski beberapa bagiannya hidup dalam satu atau beberapa usaha bisnis). Penurunan terminal bisa terjadi karena sebuah strategi buruk telah dipilih atau karena strategi yang baik dijalankan dengan buruk. Dalam sektor publik, organisasi jarang dihapuskan (Kaufman, 1976). Merger dengan lembaga pemerintah lain, disagregasi menjadi unit kecil, atau privatisasi bisa menunjukkan ketidakpuasan stakeholder besar dengan kinerja baru (Lewis, 2002; Peters dan Hogwood, 1988). Hasil potensial kedua dari proses turnaround adalah persistensi kinerja buruk karena gagalnya strategi baru, tapi kelompok dominan dalam organisasi dan lingkungannya tetap berkeyakinan bahwa sebuah penyelamatan perlu dilakukan. Dalam kasus ini, Tahap 4 atau 6 bisa dilakukan. Strategi baru bisa menciptakan turnaround dalam kinerja organisasi. Beberapa skala waktu dan kriteria untuk menilai kesuksesan turnaround telah digunakan dalam studi perusahaan privat. Umumnya, meski begitu, benchmark relevan digunakan sebagai upaya kembali ke level kesuksesan komersial yang telah dicapai sebelum awal kemerosotan. Ini biasa diukur selama 2 sampai 4 tahun. Seperti halnya penurunan dan kinerja minimum yang menjadi interpretasi politik dalam sektor publik, begitu juga turnaround. Dengan melihat kekuatan politik yang ada, beberapa organisasi hanya membutuhkan sedikit peningkatan kinerja supaya dikatakan sukses, sedangkan lainnya harus menghadapi banyak hambatan

STRATEGI TURNAROUND EFEKTIF: TEORI DAN BUKTI

Dalam section ini, hubungan antara Tahap 5a dan 7 di dalam Gambar 1 akan didiskusikan secara detail. Ini adalah hubungan empiris yang diuji dalam studi turnaround dalam sektor privat: Apa dampak strategi turnaround berbeda terhadap hasil organisasi? Meski skema klasifikasi tunggal strategi turnaround tidak dominan dalam penelitian sektor privat, ada kemungkinan untuk mengemukakan tiga strategi generik yang diperiksa dalam studi empiris turnaround–retrenchment, repositioning dan reorganization. Kategori konseptual ini (atau label yang sama) digunakan dalam sebagian besar studi yang menguji efek pendekatan berbeda kepada turnaround (Hoffman, 1989; Lohrke dan Bedeian, 1998). Interpretasi ini dibutuhkan untuk menyesuaikan variabel dan bukti, sehingga perlu diketahui bahwa penilaian berbeda bisa menimbulkan pola bukti yang sedikit berbeda.

1. Retrenchment

Respon stratejik kepada kegagalan organisasi berupa pengurangan skup atau ukuran organisasi. Dalam sektor privat, emphasisnya adalah mengurangi bagian bisnis yang tidak produktif dan tidak berprofit. Ini bisa mengarahkan sumberdaya investasi ke dalam area yang menghasilkan kinerja tinggi. Menurut Robbins dan Pearce (1992), “Sebagian besar praktisi beranggapan bahwa kita jarang bisa mencapai sebuah turnaround tanpa periode retrenchment terencana”. Strategi turnaround bisa berisi jalan keluar dari pasar dimana perusahaan berkinerja buruk atau ada kontraksi aktivitas dalam sebuah pasar akibat dijualnya aset atau berkurangnya skala operasi, yang tujuannya adalah meningkatkan efisiensi. Dalam sektor publik, ini berupa substitusi kapital untuk pekerja– sebuah strategi yang sering dilakukan dalam pengumpulan sampah lokal untuk mengurangi biaya. Strategi retrenchment sektor publik lainnya adalah melakukan kontrak luar dengan provider pelayanan eksternal yang diharapkan lebih efisien.

Dampak retrenchment terhadap rekoveri telah dianalisis dalam 18 studi empiris turnaround organisasi dalam sektor privat (Tabel 1). Dari studi ini, 12 studi menemukan bahwa divestasi aset dan/atau pengurangan biaya memiliki keterkaitan dengan peningkatan signifikan dalam kinerja perusahaan yang gagal. Sebaliknya, 6 studi tidak menemukan hubungan antara retrenchment dan rekoveri. Penjelasan tentang kesenjangan antara hasil studi berbeda adalah bahwa beberapa studi mempelajari retrenchment sebagai sebuah strategi terpisah, sedangkan lainnya menganggapnya sebagai tahap awal dalam sebuah proses turnaround (Arogyaswamy dkk, 1995). Bukti empiris ini tidak menunjukkan perbedaan antara peran potensial pengurangan dalam skup dan ukuran organisasi. Bukti ini tidak menjelaskan apakah retrenchment mendalam melemahkan kelayakan sebuah strategi repositioning konkuren atau subsequent. Tapi, perlu diketahui bahwa studi tidak menemukan hubungan negatif antara retrenchment dan rekoveri. Terlebih lagi, dampak strategi turnaround ini terlihat netral di beberapa kondisi.

2. Repositioning

Meski retrenchment bisa dipandang sebagai strategi efisiensi, repositioning adalah sebuah strategi entrepreneurial yang menitikberatkan pada pertumbuhan dan inovasi (Schendel dan Patton, 1976). Respon kepada kegagalan ini melibatkan sebuah definisi baru tentang misi dan aktivitas inti dari sebuah organisasi dengan menjadi lebih dominan dalam pasar atau dengan mendiversifikasi menjadi pasar dan produk baru.

Dampak repositioning terhadap turnaround dalam sektor privat diinvestigasi dalam 12 studi empiris. Dua studi menemukan bahwa strategi ini tidak menciptakan perbedaan dengan prospek rekoveri finansial. Dari 10 studi sisanya, 9 studi memberikan bukti bahwa repositioning memiliki dampak positif terhadap kinerja perusahaan, dan 1 studi menemukan bahwa strategi ini memiliki dampak negatif terhadap rekoveri. Meski begitu, studi ini didasarkan pada sebuah ukuran repositioning yang sempit – investasi kapital baru (Schendel dan Patton, 1976). Karena itu, pola umum dari bukti yang ada terkesan konsisten dengan pandangan bahwa repositioning cenderung menghasilkan turnaround daripada stagnasi atau penurunan lebih jauh.

3. Reorganization

Istilah ini digunakan dalam studi turnaround sebagai deskripsi luas berbagai perubahan dalam manajemen internal sebuah organisasi. Tujuan reorganization adalah mendukung strategi retrenchment atau repositioning atau meningkatkan implementasi strategi yang ada tanpa perubahan dalam ukuran atau posisi pasar sebuah perusahaan. Reorganization bisa melibatkan perubahan dalam sistem perencanaan, kondisi desentralisasi, gaya manajemen sumberdaya manusia, atau budaya organisasi. Bentuk reorganization yang sering dijelaskan dalam literatur tentang turnaround sektor privat adalah pergantian chief executive atau tim manajemen senior. Ada pendapat bahwa ini adalah sebuah kondisi yang dibutuhkan untuk tindak lanjut penurunan perusahaan (Mueller dan Barker, 1997). Menurut Slatter (1984), “Manajemen yang ada jarang mampu mengambil aksi drastis yang dibutuhkan untuk menghasilkan sebuah turnaround”. Lebih jauh, penunjukan manajer atas yang baru bisa menjadi sinyal yang penting bahwa organisasi yang gagal menunjukkan keseriusan dalam rekoveri.

Sembilan studi empiris mempelajari dampak reorganization terhadap turnaround dalam sektor privat. Enam dari studi menemukan bahwa strategi ini menghasilkan tindak lanjut terhadap penurunan organisasi. Dua studi tidak menemukan perbedaan, dan satu studi sisanya menunjukkan bahwa strategi ini berdampak negatif kepada turnaround. Perlu diketahui bahwa studi yang terakhir (Barr dkk, 1992) didasarkan pada kondisi perusahaan leadership hanya di dua perusahaan, sehingga studi ini tidak representatif bagi gambaran keseluruhan tentang akibat pendekatan ini kepada turnaround organisasi.

IMPLIKASI BAGI ORGANISASI PUBLIK

Ada dua pertanyaan yang terkait dengan penerapan strategi turnaround di organisasi publik. Apakah penggunaan tersebut dikatakan layak, dan apakah implementasinya dikatakan efektif? Wawasan awal tentang persoalan ini bisa didapatkan dari studi kasus akademis tentang turnaround pada public service dalam organisasi. Teknik pencarian sebelumnya bisa digunakan di sini. Cerita dari praktisi heroik dalam arena turnaround harus diabaikan dari analisis. Prosedur pencarian berisi lima artikel jurnal yang mendeskripsikan cerita sukses turnaround. Basis empiris yang kecil ini didukung oleh tiga studi kasus lainnya (Moore, 1995; G. Rainey dan Rainey, 1986) untuk memberikan sampel total strategi turnaround dalam delapan organisasi publik (semua di United States). Penting untuk diketahui bahwa semua studi ini tidak menggunakan tiga R, yaitu retrenchment, repositioning, dan reorganization, sebagai kerangka konseptual analisis. Karena itu, tidak ada perbedaan menonjol dalam strategi untuk turnaround.

Tabel 2 memperlihatkan bahwa sebuah strategi retrenchment digunakan dalam lima dari delapan organisasi. Ini berisi potongan level input (staff dan perlengkapan) dan pengurangan suplai pelayanan (jumlah perumahan yang disediakan Boston Housing Authority). Karena itu, penyusutan organisasi dan suplai pelayanannya adalah sebuah strategi turnaround yang layak dilakukan di beberapa organisasi publik, meski jika aksi tersebut sering berhadapan dengan resistansi politik dari staff dan klien. Studi kasus ini tidak menggunakan strategi retrenchment sebagai cara exit pasar. Sebagian besar organisasi publik punya kewajiban hukum untuk memberikan pelayanan tertentu dan tidak dapat melepaskan diri dari pasar geografi tertentu (seperti penyediaan pekerjaan sosial dalam area buruk). Karena itu, meski retrenchment dikatakan layak teknis dan politis dalam sektor publik, ada kecenderungan ini berisi set substrategi yang lebih terbatas daripada di dalam sektor privat. Apakah ini memberikan dampak terbatas pada rekoveri masih perlu dijelaskan lebih lanjut.

Tabel 2

Strategies Used in Public service Turnaround Success Stories

Study

Organization

Retrenchment

Repositioning

Reorganization

Contino and Lorusso (1982)

Bureau of Motor Equipment, New York City (NYC), Department of Sanitation

Cut in expenditure on overtime; reduction in overstocking or materials

In-sourcing of manufacture of replacement parts.

New direction; new senior management team; more performance management; more staff participation

G. Rainey and Rainey (1986)

Social Security Administration (Bureau of Retirement and Survivals Insurance)

New director; change in formal organizational structure; more staff participation

Holzer (1988)

Solid waste collection, NYC Department of Sanitation

Reduction in staffing

More performance management; more staff participation

Decker and Paulson (1988)

Jacksonville Electric Authority

Efficiency savings (source unspecified)

New chief executive; more performance management

Stephens (1988)

Alabama Division of Rehabilitation and Crippled Children Service

New secretary of transportation; new senior management team; change in formal organization structure; more strategic planning

Poister (1988)

Pennsylvania Department of Transportation

Reduction in staffing

Change in balance of activities; better stakeholder management

New chief executive; new senior management team; decentralization

Moore (1995)

(a) Boston Housing Authority

(b) Houston Police Department

Reduction in housing stock

Change in mission; better stakeholder management

Change in mission; better stakeholder Management

New chief of police; decentralization of budgeting; more strategic planning

Repositioning dilakukan oleh empat organisasi yang ada dalam Tabel 2. Dalam tiga kasus tersebut, fokus strategi repositioning adalah pada perubahan prioritas organisasi dalam sebuah pasar. Contoh, Boston Housing Authority berusaha menarik lebih banyak penyewa yang sudah bekerja, dan Houston Police Department berusaha lebih responsif kepada kebutuhan kelompok minoritas (Moore, 1995). Satu organisasi, yaitu Bureau of Motor Equipment di New York City, menggunakan strategi repositioning dengan memperluas cakupan operasi: Dihadapkan dengan suplaier komponen kendaraan yang tidak layak dan mahal, biro melakukan kontrak untuk fungsi ini dan mulai membuat komponennya sendiri (Contino dan Lorusso, 1982). Tidak ada organisasi di dalam studi kasus yang menggunakan strategi repositioning yang lebih radikal dengan bergerak ke pasar yang sepenuhnya baru. Ketiadaan organisasi ini mencerminkan batasan pada otonomi organisasi publik – batasan hukum menyulitkan otoritas jalan raya untuk menyediakan rumah sakit atau otoritas distrik sekolah untuk membangun perumahan rakyat, dan batasan geografi yang menghambat entry pasar oleh pihak negara bagian atau lokalitas ke dalam wilayah di dekatnya (Wechsler dan Backoff, 1986). Karena itu, seperti retrenchment, repositioning cenderung berisi set strategi sempit dalam sektor publik daripada sektor privat, dan bisa memiliki dampak yang kecil terhadap turnaround.

Strategi turnaround yang paling populer dalam studi kasus sektor publik adalah reorganizaton. Delapan cerita sukses ini berisi dua bentuk perubahan organisasi. Luas atau tidaknya strategi rekoveri bisa mencerminkan batasan penggunaan retrenchment dan repositioning. Dengan tidak adanya kebebasan untuk keluar dari pasar yang sulit atau memasuki pasar yang menjanjikan, maka strategi default dalam sektor publik adalah reorganization (Boyne dan Walker, 2004). Strategi turnaround pada enam studi kasus berisi pengangkatan manajer atas yang baru, dan bentuk reorganization dalam tiga kasus disertai dengan pergantian tim manajemen senior keseluruhan. Strategi reorganization lain yang sering digunakan adalah sistem manajemen kinerja baru (kejelasan target yang lebih besar dan memonitor kemajuan ke arah itu) dan desentralisasi kekuasaan. Emphasis pada reorganization saja, meski begitu, tidak cukup menghasilkan turnaround: Mungkin, strategi ini malah bisa berjalan baik ketika digabungkan dengan retrenchment dan/atau repositioning. Efek interaktif dari strategi turnaround belum banyak dibicarakan dalam cerita sukses public service.

Bukti dari studi kasus tentang turnaround pada public service menunjukkan bahwa tiga R ini dikatakan layak dalam sektor publik, tapi strategi yang paling banyak digunakan adalah reorganization di kalangan internal. Semua peneliti studi kasus ini berkesimpulan bahwa strategi yang dideskripsikan bisa dikatakan sukses, tapi masih sulit menilai apakah interpretasinya valid – tidak ada perbandingan dengan upaya turnaround yang tidak sukses. Yang bisa dikatakan adalah bahwa bukti dari cerita sukses public service bisa dikatakan sebanding dengan bukti organisasi privat. Penelitian tentang sektor publik dikatakan konsisten dengan, tapi tidak secara langsung mendukung, pandangan bahwa retrenchment, repositioning, dan reorganization cenderung menimbulkan turnaround. Ada pendapat bahwa dampak strategi ini pada rekoveri public service dari kegagalan sepertinya perlu diselidiki lebih jauh.

KESIMPULAN

Kinerja sektor publik di ekonomi maju seperti United Kingdom dan United States terganggu oleh kegagalan organisasi. Meski jika public service secara umum dikatakan membaik, beberapa kelompok klien dan area geografi tertentu masih menerima deal yang kasar. Karena itu, penting untuk memahami proses turnaround organisasi dan menemukan strategi yang bisa menghasilkan hasil bagus. Persoalan ini, meski begitu, tidak tercantum dalam agenda peneliti administrasi publik. Dalam artikel ini, upaya awal dilakukan untuk menindaklanjuti defisiensi yang ada dengan mereview studi turnaround di sektor privat dan mengambil pelajaran tentang penelitian akademis dan praktek manajemen.

Batasan utama dari penelitian ini adalah bahwa model proses turnaround dan tipologi strategi turnaround dapat dihasilkan dari literatur sektor privat. Model proses ini berisi tujuh tahap, dari awal penurunan sampai rekoveri atau kegagalan. Tipologi ini berisi tiga strategi turnaround: retrenchment, repositioning, dan reorganization. Model dan tipologi yang ada masih perlu diperbaiki dan dikembangkan untuk diterapkan dalam organisasi publik, sekaligus menghasilkan platform untuk penelitian lebih jauh. Persoalan penelitian yang patut ditindaklanjuti adalah karakteristik tahapan proses turnaround dalam sektor publik (seperti, Mengapa penurunan ini terjadi? Bagaimana strategi rekoveri bisa diformulasikan?), variasi dalam tahapan antar konteks institusi (seperti pelayanan dan level pemerintah berbeda), kadar strategi turnaround, dan hubungan antara gaya implementasi strategi dan rekoveri dari kegagalan. Untuk secara sistematik menginvestigasi pertanyaan ini, kita perlu menindaklanjutinya dari kasus tunggal menuju studi N besar yang berisi upaya turnaround yang sukses dan tidak sukses. Ini akan mendukung bukti statistik baru bahwa manajemen lebih mengurusi kinerja public service (Meier dan O’Toole, 2001, 2002; O’Toole dan Meier, 2003) dan menunjukkan apakah dan bagaimana manajemen bisa membuat perbedaan dalam konteks turnaround organisasi.

Implikasi besarnya bagi manajer publik adalah bahwa ada strategi turnaround yang bukan hanya feasible tapi juga memiliki beberapa prospek kesuksesan. Kombinasi retrenchment, repositioning, dan reorganization cenderung menimbulkan rekoveri daripada kegagalan yang berlanjut. Penting untuk tidak menggunakan bukti ini secara lebih jauh. Bentuk strategi apa yang harus digunakan, bagaimana ini digabungkan dan diimplementasikan, dan dalam kondisi apa ini bisa menjadi pertanyaan besar tentang turnaround pada public service yang harus segera dijawab.

IMPLIKASI STRATEGI TURNAROUND DI INDONESIA DALAM PELAYANAN PUBLIK

1. Konsep Turnaround

Dalam literatur manajemen strategik istilah Turn-around disebut juga sebagai “retrenchment” atau strategi reorganisasi (David F. A, 2006).

Lebih lanjut dikatakan bahwa retrenchment terjadi ketika suatu organisasi mengelompokkan ulang melalui pengurangan aset dan biaya untuk membalikan penjualan dan laba yang menurun.

Retrenchment didesain untuk memperkuat kompetensi dasar organisasi yang unik. Selama retrenchment, penyusunan strategi bekerja dengan sumber daya yang terbatas dan menghadapi tekanan dari pemegang saham, karyawan dan media.

Retrenchment dapat melibatkan penjualan tanah dan gedung untuk meningkatkan kas, memotong lini produk, menutup bisnis yang labanya sangat tipis, menutup pabrik yang tua dan kuno, mengotomasi proses, mengurangi jumlah karyawan dan menetapkan sistem kontrol pengeluaran. Sebagai contoh: Lord & Taylor, devisi May Department Stores, menutup 32 dari 86 tokonya di tahun 2003 dan memecat 3.700 karyawan sebagai bagian dari strategi retrenchment. Penutupan toko mewakili 19 persen dari penjualan divisi dan 3 persen dari penjualan korporasi Gateway Computer Company menggunakan strategi retrenchment untuk menutup dua pabrik dan 80 tokonya di tahun 2003 untuk bertahan terhadap Dell Computer, pesaingnya.

2. Repositioning

Memposisikan kembali dalam menentukan keinginan dan kebutuhan konsumen. Kesalahan yang fatal adalah mengasumsikan perusahaan tahu benar apa keinginan dan ekspektasi konsumen.

Hasil riset dan studi menentukan perbedaan yang besar antara definisi pelayanan dan peringkat tingkat kepentingan berbagai aktivitas menurut konsumen dengan bagaimana produsen mengartikan makna pelayanan tersebut.

Banyak perusahaan yang berhasil karena bisa memperkecil kesenjangan antara apa yang dilihat konsumen dengan apa yang dipikirkan oleh produsen dari suatu pelayanan yang baik.

Apa yang diyakini konsumen sebagai pelayanan yang baik seharusnya lebih penting ketimbang apa yang diinginkan oleh produsen.

3. Reorganization

Bentuk reorganization yang sering dijelaskan dalam literatur tentang turn-around sektor privat adalah pergantian chief executive atau tim manajemen senior. Tujuan reorganization adalah mendukung strategi retrenchment dan reposition. Reorganization bisa melibatkan perubahan dalam sistem perencanaan, kondisi desentralisasi, gaya manajemen, sumberdaya manusia atau budaya organisasi.

4. Berdasarkan hasil riset dan studi tentang ketiga strategi tersebut. Implikasi bagi organisasi publik dalam pelayanan publik di Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut:

Pertama, disadari bahwa manajemen publik dan privat secara signifikan berbeda. Contohnya organisasi publik umumnya lebih birokratik, manajer publik kurang punya wewenang terkait misi dan personal organisasi. Staf dalam organisasi publik jarang termotivasi oleh insentif finansial. Berdasarkan perbedaan tersebut berarti bahwa rekoveri dari kegagalan bisa sulit dicapai dalam organisasi publik daripada organisasi privat, khususnya jika strategi turn-around membutuhkan fleksibilitas organisasi, otonomi manajerial, dan reward moneter untuk perubahan dalam perilaku dan kinerja.

Di Indonesia penjualan aset negara ataupun penutupan suatu Usaha Negara/ Daerah, Lembaga Negara, Badan, Dinas, Kantor dan Unit Pelaksanaan Teknis tidak otomatis dapat dilaksanakan. Hal ini berkaitan dengan pendirian dan pembentukannya ada yang berdasarkan undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan Presiden, keputusan Menteri, dan berdasarkan juga pada peraturan daerah atau keputusan Gubernur, Bupati dan Walikota.

Contoh penjualan aset negara seperti PLN, TELKOM, PT. INDOSAT, PT. PERTAMINA, harus mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat dan di daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk perusahaan Daerah (PDAM, PD. Pasar).

Kedua, public service di Indonesia sangat beragam yang pada umumnya bersifat monopoli, seperti pelayanan administrasi (KTP, Kartu Keluarga), pelayanan jasa (pendidikan dasar, kesehatan masyarakat) dan barang (PDAM) yang semuanya dikelola oleh pemerintah baik pemerintah pusat atau pemerintah daerah, sehingga untuk membuat, memadukan persepsi sesuai dengan kehendak pasar, komitmen atau masyarakat pada umumnya sangat sulit, termasuk juga katerbatasan kemampuan pemerintah dalam memberikan pelayanan. Namun ada usaha pemerintah dalam memberikan dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat melalui Citizen Charater.

Ketiga, dari ketiga strategi turnaround yang memungkinkan pengaruh yang besar terhadap organisasi publik dalam public service adalah strategi reorganisasi. Hal ini nampak dalam usaha pemerintah dalam meningkatkan kinerja public service, yaitu pemerintah telah melakukan reorganisasi institusinya melalui Surat Edaran Menteri Dalam Negeri tahun 1997 No. 503/125/PUOD, tentang pembentukan pelayanan terpadu satu atap termasuk juga Industri Mengeri Dalam Negeri No. 25 tahun 1998 tentang Pelayanan Terpadu Satu atap. Kemudian pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 24 tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.

DAFTAR PUSTAKA

Arogyaswamy, K., Barker, V., & Yasai-Ardekani, M. (1995). Firm turnarounds: An integrative two-stage model. Journal of Management Studies, 32,493-525.

Audit Commission. (2002). A force for change: Central government intervention in failing local government services. London: HMSO.

Bache, I. (2003). Not everything that matters is measurable and not everything that is measurable matters: How and why local education authorities “fail”. Local Government Studies, 29(4), 76-94.

Barker, V., & Mone, M. (1994). Retrenchment: Cause of turnaround or consequence of decline? Strategic Management Journal, 15, 395-405.

Barker, V, Mone, M., Mueller, G., & Freeman, S. (1998). Does it add up? An empirical study of the value of downsizing for firm turnaround. In D. Ketchen (Ed.), Turnaround research: Past accomplishments and future challenges (pp. 57-82). London: JAI.

Barker, V., Patterson, R, & Mueller, G. (2001). Organizational causes and strategic consequences of the extent of top management team replacement during turnaround attempts. Journal of Management Studies, 38,235-269.

Barr, P, Stimpert, J., & Huff, A. (1992). Cognitive change, strategic action and organizational renewal. Strategic Management Journal, 13, 15-36.

Borins, S. (1998). Innovating with integrity. Washington, DC: Georgetown University Press.

Boyne, G. A. (2002). Public and private management: What’s the difference? Journal of Management Studies, 39,97-122.

Boyne, G. A. (2003a). Sources of public service improvement: A critical review and research agenda. Journal of Public Administration Research and Theory, 13, 367-394.

Boyne, G. A. (2003b). What is public service improvement? Public Administration, 81, 211 - 228.

Boyne, G. A., Farrell, C., Law, J., Powell, M., & Walker, R. (2003). Evaluating public management reforms: Principles and practice. Buckingham, UK: Open University Press.

Boyne, G. A., & Walker, R. (2004). Strategy content and public service organizations. Journal of Public Administration Research and Theory, 14, 231-252.

Bozeman, B. (1987). All organizations are public. San Francisco: Jossey-Bass.

Bruton, G., Ahlstrom, D., & Wan, J. (2003). Turnaround in east Asian firms: Evidence from ethnic overseas Chinese communities. Strategic Management Journal, 24, 519-540.

Bruton, G., & Wan, J. (1994). Operating turnarounds and high technology firms. Journal of High Technology Management Research, 5, 261-278.

Carmines, E., & Stimson, J. (1989). Issue evolution. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Chowdhury, S. (2002). Turnaround: A stage theory perspective. Canadian Journal of Administrative Sciences, 19, 249-266.

Chowdbury, S., & Lang, J. (1994). Turnaround actions, contingency influences and profitability: The case for slack and capital intensity. Canadian Journal of Administrative Sciences, 11 205-213.

Chowdhury, S., & Lang, J. (1996). Turnaround in small firms: An assessment of efficiency strategies. Journal of Business Research, 46, 169-178.

Contino, R., & Lorusso, R. (1982). The theory z turnaround of a public agency. Public Administration Review, 42, 56-72.

Dawley, D., Hoffman, J., & Lamont, B. (2002). Choice situation, refocusing and post bankruptcy performance. Journal of Management, 28, 695-717.

Decker, J., & Paulson, S. (1988). Performance improvement in a public utility. Public Productivity Review, 11 (3), 51-65.

Donaldson, L. (1999). Performance driven organizational change. London: Sage.

Downs, A. (1967). Inside bureaucracy. Boston: Little, Brown.

Durham, J., & Smith, H. (1982). Toward a general theory of organizational deterioration. Administration & Society, 14, 373-400.

Evans, J., & Green, C. (2000). Marketing strategy, constituent influence, and resource allocation: An application of the miles and snow typology to closely held firms in Chapter 11 bankruptcy. Journal of Business Research, 50, 225-23 1.

Ferlie, E., McLaughlin, K., & Osborne, S. (Eds.). (2002). The new public management: Current trends and future prospects. London: Routledge.

Goodsell, C. (1994). The case for bureaucracy. Chatham, NJ: Chatham House.

Grinyer, P., Mayes, D., & McKiernan, P. (1988). Sharpbenders. Oxford, UK: Basil Blackwell.

Hambrick, D. (1985). Turnaround strategies. In W. Guth (Ed.), Handbook of business strategy (pp. 3-32). Boston: Warren, Gorham and Lamont.

Hambrick, D., & Schecter, S. (1983). Turnaround strategies for mature industrial-product business units. Academy of Management Journal, 26, 231-248.

Hargrove, E., & Glidewell, J. (Eds.). (1990). Impossible jobs in public management. Lawrence: University Press of Kansas.

Harker, M., & Sharma, B. (1999). Leadership and the company turnaround process. Leadership and Organizational Development Journals, 31 (6), 36-47.

Hoffman, R. (1989). Strategies of corporate turnaround: What do we know about them? Journal of General Management, 14, 46-66.

Holzer, M. (1988). Productivity in, garbage out: Sanitation gains in New York. Public Productivity Review, 11 (3), 37-50.

Kaufman, H. (1976). Are government organizations immortal ? Washington, DC: Brookings Institution.

Ketchen, D. (Ed.). (1998). Turnaround research: Past accomplishments and future challenges. London: JAI.

Lewis, D. (2002).The politics of agency termination: Confronting the myth of agency mortality. Journal of Politics, 64, 89-107.

Light, R (1997). The tides of reform. New Haven, CM Yale University Press.

Lohrke, F., & Bedeian, A. (1998). Managerial responses to declining performance: Turnaround investment strategies and critical contingencies. In D. Ketchen (Ed.), Turnaround research: Past accomplished and future challenges (pp. 3-20). London: JAI.

McCurdy, H. (199 1). Organizational decline: NASA and the life cycle of bureaus. Public Administration Review, 51, 308-315.

McKiernan, P. (2002). Turnarounds. In D. Faulkner & A. Campbell (Eds.), The Oxford handbook of strategy (pp. 267-318). Oxford, UK: Oxford University Press.

Meier, K., & Bohte, J. (2003). Not with a bang, but a whimper: Explaining organizational failures. Administration & Society, 35, 1-18.

Meier, K., & O’Toole, L. (200 1). Managerial strategies and behavior in networks: A model with evidence from U.S. public education. Journal of Public Administration Research and Theory, 11, 271-293.

Meier, K., & O’Toole, L. (2002). Public management and organizational performance: The effect of managerial quality. Journal of Policy Analysis and Management, 21,629-643.

Meyer, M., & Zucker, L. (1989). Permanently failing organizations. London: Sage.

Miller, D. (1994). What happens after success: The perils of excellence. Journal of Management Studies, 31, 325-358.

Mintzberg, H., Ahlstrand, B., & Lampel, J. (1998). Strategy safari. London: Prentice Hall.

Moore, M. (1995). Creating public value. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Mueller, G., & Barker, V. (1997). Upper echelons and board characteristics of turnaround and nonturnaround declining firms. Journal of Business Research, 39, 119-134.

Nash, D. (2002). Improving No Child Left Behind: Achieving excellence and equity in partnership with the states. Rutgers Law Review, 55, 239-270.

Nutt, P, & Backoff, R. (1993). Organizational publicness and its implications for strategic management. Journal of Public Administration Research and Theory, 3, 209-23 1.

O’Neill, H. (1986a). An analysis of the turnaround strategy in commercial banking. Journal of Management Studies, 23,165-188.

O’Neill, H. (1986b). Turnaround and recovery: What strategy do you need? Long Range Planning, 19 (l), 80-88.

O’Toole, L., & Meier, K. (2003). Plus ca change: Public management, personnel stability and organizational performance. Journal of Public Administration Research and Theory, 13, 42-64.

Pant, L. (1991). An investigation of industry and firm structural characteristics in corporate turnaround. Journal of Management Studies, 28,623-643.

Pearce, J., & Robbins, K. (1993). Toward improved theory and research on business turnaround. Journal of Management, 19, 613-636.

Pearce, J., & Robbins, K. (1994a). Entrepreneurial recovery strategies of small market share manufacturers. Journal of Business Venturing, 9, 91-108.

Pearce, J., & Robbins, K. (1994b). Retrenchment remains the foundation of business turnaround. Strategic Management Journal, 15, 407-417.

Perry, J., & Rainey, H. (1988). The public-private distinction in organization theory: A critique and research strategy. Academy of Management Review, 13, 182-201.

Peters, B. G., & Hogwood, B. (1988).The death of immortality: Births, deaths and metamorphoses in the U.S. federal bureaucracy, 1933-1982. American Review of Public Administration, 18,119-133.

Poister, T. (1988). Success stories in revitalizing public agencies. Public Productivity Review, 11 (3), 27-36.

Pollitt, C., & Bouckaert, G. (2000). Public management reform. Oxford, UK: Oxford University Press.

Rainey, G., & Rainey, H. (1986). Breaching the hierarchical imperative: The modularization of the social security claims process. In D. Calista (Ed.), Bureaucratic and governmental reform (pp. 171-195). London: JAI.

Rainey, H. (2003). Understanding and managing public organizations (3rd ed-). San Francisco: Jossey-Bass.

Rainey, H., & Bozeman, B. (2000). Comparing public and private organizations: Empirical research and the power of the a priori. Journal of Public Administration Research and Theory, 10, 447-469.

Ring, P, & Perry, J. (1985). Strategic management in public and private organizations: Implications of distinctive contexts and constraints. Academy of Management Review, 10, 276286.

Robbins, K., & Pearce, J. (1992). Turnaround: Retrenchment and recovery. Strategic Management Journal, 13, 287-309.

Schendel, D., & Patton, G. (1976). Corporate stagnation and turnaround. Journal of Economics and Business, 28, 236-24 1.

Shook, C. (1998). Turning around turnaround research: The value of process in advancing knowledge. In D. Ketchen (Ed.), Turnaround research: Past accomplishments and future challenges (pp. 261-280). London: JAI.

Short, J., Palmer, T, & Stimpert, L. (1998). Getting back on track: Performance referents affecting the turnaround process. In D. Ketchen (Ed.), Turnaround research: Past accomplishments and future challenges (pp. 153-176). London: JAI.

Sitkin, S. (1992). Learning through failure: The strategy of small losses. In B. Staw & L. Cummings (Eds.), Research in organizational behavior (Vol. 14, pp. 73-98). London: JAI.

Slatter, S. (1984). Corporate recovery. Harmondsworth, UK: Penguin.

Staw, B., Sanderlands, L., & Dutton, J. (1981). Threat rigidity effects in organizational behavior: A multilevel analysis. Administrative Science Quarterly, 26,501-524.

Stephens, J. (1988). Turnaround at the Alabama Rehabilitation Agency. Public Productivity Review, 11 (3),67-84.

Stewart, J., & Kringas, P. (2003). Change management-strategy and values in six agencies from the Australian public service. Public Administration Review, 63, 675-688.

Stopford, L, & Baden-Fuller, C. (1990). Corporate rejuvenation. Journal of Management Studies, 27, 399-415.

Sudarsanam, S., & Lai, J. (2001). Corporate financial distress and turnaround strategies: An empirical analysis. British Journal of Management, 12, 183-200.

Thietart, R. (1988). Success strategies for business that reform poorly. Interfaces, 18,32-45.

Wechsler, B., & Backoff, R. (1986). Policy making and administration in state agencies: Strategic management approaches. Public Administration Review, 46, 321-327.

Weitzel, W., & Jonsonn, E. (1989). Decline in organizations: A literature integration and extension. Administrative Science Quarterly, 34, 91-109.

Wilson, J. (1989). Bureaucracy. New York: Basic Books.

Winn, J. (1993). Performance measures for corporate decline and turnaround. Journal of General Management, 19, 48-63.