134
METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Bawaan sumber daya fisik seperti kekayaan sumber daya alam (natural resource endowment), sumber daya manusia dan sumber daya buatan manusia tidak lagi mencukupi untuk menjelaskan terjadinya perbedaan hasil-hasil pembangunan di berbagai wilayah di Indonesia. Diperlukan pengetahuan mengenai keterkaitan berbagai konsep sumber daya fisik dan non-fisik untuk menjelaskan perbedaan tersebut. Sesungguhnya, modal pembangunan tidak hanya mencakup modal yang bersifat material seperti natural capital, real capital, human capital, financial capital dan foreign capital, namun juga modal yang bersifat non-material seperti social capital (modal sosial) (Bourdieu, 1980;1986, Gylvason, 2002). Modal sosial tidak terlepas dari modal ekonomi (economic capital) dan modal budaya (cultural capital) namun juga bukan merupakan bagian daripadanya. Modal sosial tertambat (embedded) dalam struktur sosial masyarakat yang bersifat mikro (individu), meso (institusi sosial) maupun makro (stratifikasi sosial) sehingga mempengaruhi rasionalitas individu dalam setiap tindakannya. Kecenderungan individu untuk memaksimalkan keuntungan selalu dibatasi oleh norma-norma sosial dalam masyarakat (Bourdieu, 1986; Lawang, 2005). Beugelsdijk dan Smulders (2003), menggambarkan fungsi utilitas individu sebagai kombinasi kepuasan dari upaya untuk menghasilkan barang konsumsi dan kepuasan yang dihasilkan saat membangun interaksi sosial. Semua pihak yang berinteraksi diasumsikan memiliki kekuatan yang sama sehingga fungsi utilitas individu tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut: u = U(c,s) U c , U s > 0, dimana c adalah usaha untuk menghasilkan barang konsumsi dan s adalah usaha untuk membangun interaksi sosial melalui partisipasi dalam jaringan kerja sosial sedangkan U c dan U s berturut-turut adalah marginal utility dari barang konsumsi dan interaksi sosial. Keterbatasan individu dalam penguasaan dan pemilikan sumber daya yang harus dialokasikan untuk tujuan ekonomi dan sosial akan teratasi apabila

Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

  • Upload
    leque

  • View
    228

  • Download
    4

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

METODOLOGI PENELITIAN

Kerangka Pemikiran

Bawaan sumber daya fisik seperti kekayaan sumber daya alam (natural

resource endowment), sumber daya manusia dan sumber daya buatan manusia

tidak lagi mencukupi untuk menjelaskan terjadinya perbedaan hasil-hasil

pembangunan di berbagai wilayah di Indonesia. Diperlukan pengetahuan

mengenai keterkaitan berbagai konsep sumber daya fisik dan non-fisik untuk

menjelaskan perbedaan tersebut. Sesungguhnya, modal pembangunan tidak hanya

mencakup modal yang bersifat material seperti natural capital, real capital,

human capital, financial capital dan foreign capital, namun juga modal yang

bersifat non-material seperti social capital (modal sosial) (Bourdieu, 1980;1986,

Gylvason, 2002).

Modal sosial tidak terlepas dari modal ekonomi (economic capital) dan

modal budaya (cultural capital) namun juga bukan merupakan bagian

daripadanya. Modal sosial tertambat (embedded) dalam struktur sosial masyarakat

yang bersifat mikro (individu), meso (institusi sosial) maupun makro (stratifikasi

sosial) sehingga mempengaruhi rasionalitas individu dalam setiap tindakannya.

Kecenderungan individu untuk memaksimalkan keuntungan selalu dibatasi oleh

norma-norma sosial dalam masyarakat (Bourdieu, 1986; Lawang, 2005).

Beugelsdijk dan Smulders (2003), menggambarkan fungsi utilitas

individu sebagai kombinasi kepuasan dari upaya untuk menghasilkan barang

konsumsi dan kepuasan yang dihasilkan saat membangun interaksi sosial. Semua

pihak yang berinteraksi diasumsikan memiliki kekuatan yang sama sehingga

fungsi utilitas individu tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut:

u = U(c,s) Uc, Us > 0,

dimana c adalah usaha untuk menghasilkan barang konsumsi dan s adalah usaha

untuk membangun interaksi sosial melalui partisipasi dalam jaringan kerja sosial

sedangkan Uc dan Us berturut-turut adalah marginal utility dari barang konsumsi

dan interaksi sosial.

Keterbatasan individu dalam penguasaan dan pemilikan sumber daya

yang harus dialokasikan untuk tujuan ekonomi dan sosial akan teratasi apabila

Page 2: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

43

individu tersebut mampu membangun jaringan kerja ekonomi dan sosial.

Jaringan kerja sosial merupakan sumber modal sosial yang dibedakan atas modal

sosial mengikat (Bonding social capital, f) dan modal sosial menyambung

(bridging social capital, v). Masing-masing jaringan kerja memiliki interaksi

sosial yang spesifik sehingga dalam keadaan keseimbangan keduanya akan

bersifat substitutif dan saling melengkapi yang dapat dinyatakan sebagai berikut:

s = S (ƒ,ν), Sƒ , S ν > 0,

ƒ(ν) menyatakan intensitas partisipasi dalam jaringan kerja f (untuk intensitas

partisipasi dalam jaringan kerja v tertentu) yang diukur dari curahan waktu untuk

masing-masing jaringan kerja. Diasumsikan fungsi tersebut merupakan constant

elasticity of substitution function.

Insting manusia untuk berkumpul dan berinteraksi secara intensif (face-

to-face relationship) akan menimbulkan eksternalitas bagi dirinya maupun

kelompoknya. Eksternalitas positif dari interaksi sosial tersebut dinyatakan

sebagai modal sosial yang dapat memberi pengaruh positif dan negatif terhadap

pembangunan. Pengaruh positif akan terjadi apabila interaksi yang terbangun

mampu menekan perilaku negatif (rent-seeking dan oportunistik) dan memperkuat

sistem kontrol sehingga mengurangi biaya transaksi. Sebaliknya pengaruh negatif

disebabkan oleh adanya trade-off sumber daya untuk aktivitas ekonomi dan sosial.

Sumber daya yang dibutuhkan untuk membangun modal sosial akan mengurangi

ketersediaan sumber daya untuk aktivitas ekonomi.

Individu harus memutuskan seberapa besar dia melakukan konsumsi

yang dibatasi oleh pendapatannya dan seberapa besar dia dapat membangun

modal sosial melalui interaksi sosial. Pilihannya dibatasi oleh waktu maupun

dana yang dimilikinya.

c = ( n0 – ƒ – ν ) w + x, ............................................(1)

dimana n0 adalah total waktu yang tersedia untuk bekerja dan berinteraksi sosial, ƒ

dan ν adalah waktu yang tercurah untuk berinteraksi sosial dalam jaringan kerja

yang bersifat bonding (ƒ) maupun bridging (ν), w adalah upah individu dan x

adalah transfer yang bisa bernilai positif maupun negatif dan dapat dinyatakan

sebagai selisih dari manfaat aktual perilaku rent-seeking dan biaya yang harus

Page 3: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

44

ditanggungnya. Persamaan ini menunjukkan bahwa terdapat trade off antara

konsumsi material dan interaksi sosial yang dapat menghambat aktivitas ekonomi.

Untuk membahas dampak potensial modal sosial yang bersifat positif

terhadap ekonomi maka diasumsikan bahwa interaksi sosial pada jaringan kerja

tertentu mempengaruhi derajat perilaku oportunistik. Partisipasi dalam jaringan

kerja yang terbuka akan menghindari perilaku rent-seeking seperti korupsi,

pemerasan, sikap tidak bertanggung jawab dan tidak dipercaya. Secara ringkas

tujuan individu adalah memaksimalkan utilitasnya dan dapat dinyatakan sebagai

berikut:

Memaksimalkan: u = U(c,s) .............................................(2)

dengan kendala: s = S (ƒ,ν)

c = ( 1 – ƒ – ν - z ) w + ( 1- ν ) [ B(z) w D z w( )− −

− ]

dimana z adalah waktu yang tercurah untuk perilaku rent-seeking. B(z) w_

adalah

manfaat (benefit) yang diharapkan dari perilaku rent-seeking sedangkan w_

adalah

upah rata-rata. Individu yang tidak memiliki bridging social capital, v, akan

berpeluang dimanfaatkan oleh individu lain sehingga manfaat aktual yang

dimilikinya sebesar (1-v) B (z) w_

, sedangkan (1-v) D (z) w_

adalah kerugian

(damaged) yang ditimbulkan oleh perilaku rent-seeking.

First-order condition untuk maksimisasi dapat dinyatakan sebagai berikut:

(1-ν) Bz (z) w_

= w ..............................................................(3)

1 4

5

v

f

fc

s

s f v wD z B zS f v w

S f vU c S f vU c S f v w

_( , ) ( ) ( ) .............................................( )( , )

( , )( , ( , )) ......................................................( )( , ( , ))

⎡ ⎤⎢ ⎥

= − −⎢ ⎥⎢ ⎥⎢ ⎥⎣ ⎦

=

Persamaan (3) menunjukkan kondisi untuk optimal rent seeking yang

menyatakan bahwa tambahan manfaat dari rent-seeking harus sama dengan

marginal opportunity cost. Persamaan (4) menentukan trade off optimal antara

dua tipe interaksi jaringan kerja, dimana sisi kiri menunjukkan jumlah waktu

maksimum yang dicurahkan untuk membangun bridging sosial capital akan sama

Page 4: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

45

dengan partisipasinya sedangkan sisi kanan menunjukkan bonding social capital.

Menghabiskan waktu dengan teman akan memiliki biaya yang lebih rendah

dibandingkan dengan menghabiskan waktu dengan jaringan kerja yang lebih luas

apabila kerugian yang disebabkan oleh rent-seeking sangat tinggi. Persamaan (5)

menentukan trade off optimal antara konsumsi material dan interaksi sosial dalam

jaringan kerja yang bersifat bonding.

Modal sosial bukan merupakan modal yang tersedia tanpa usaha dan

bersifat statis. Oleh karena itu harus diciptakan dan selalu dipelihara. Usaha

untuk menjaga kelangsungan modal sosial sangat dipengaruhi oleh atmosfir

politik dan dapat dilakukan dengan cara membangun interaksi dan kerjasama.

Poulsen dan Svendsen (2003) menganalisis akses kerjasama dalam one-shot

prisoner’s dilemma game di suatu wilayah dimana individu yang selalu

berinteraksi dengan lainnya secara acak akan berhadapan dengan dua pilihan yaitu

bekerjasama (Cooperative atau C) atau tidak bekerjasama (Defect atau D).

Ganjaran dari permainan dilema tahanan digambarkan dalam Tabel 6 berikut:

Tabel 6 Ganjaran (Payoff ) bagi Pelaku dalam Permainan Dilema Tahanan

Strategi Pelaku Bekerjasama (C) Tidak Bekerjasama (D)

Bekerjasama (C) 1,1 b,a Tidak Bekerjasama (D) a,b 0,0

dimana a > 1 dan b < 0. Jika individu hanya memaksimalkan ganjaran untuk

dirinya maka pilihan yang diambil adalah (D) dan hasil akhirnya adalah masing-

masing individu tidak memperoleh manfaat. Ada tiga kelompok norma sosial

yang bersifat tertambat (embedded) dalam preferensi individu. Pertama, norma

sosial resiprokal (R) yaitu perilaku individu yang sangat tergantung dari apa yang

dilakukan oleh individu lain. Apabila orang lain memilih untuk bekerjasama (C)

maka ia akan bekerjasama (C), sebaliknya jika pihak lain memilih untuk defect

(D) maka ia juga akan melakukan hal yang sama (D). Individu yang melakukan

resiprokal ini tidak selalu memaksimalkan penghasilannya. Kedua, selfish (S)

yaitu individu yang selalu memilih untuk defect (D). Individu yang bersifat

selfish tidak pernah percaya pada orang lain, tidak pernah memberi, tidak

tersenyum walaupun saat memperoleh pertolongan. Terakhir, altruism (A)

Page 5: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

46

dimana individu yang mengikuti norma ini selalu memilih untuk bekerjasama (C).

Tipe altruism akan selalu memperlakukan orang lain seperti apa dia ingin

diperlakukan. Ganjaran (Payoff) dapat digambarkan melalui matriks berikut:

Tabel 7 Ganjaran bagi Pelaku Berdasarkan Norma Altruism, Resiprokal dan

Selfish

Strategi berdasarkan Norma Sosial

Altruism Resiprokal Selfish

Altruism 1 1 b

Resiprokal 1 1 0

Selfish a 0 0

Orang yang altruism akan dapat memaksimumkan ganjaran hanya bila

bertemu orang yang bersifat altruism atau resiprokal tetapi tereksploitasi oleh

orang yang bersifat selfish. Orang yang bersifat selfish tidak akan memperoleh

ganjaran bila bertemu orang resiprokal atau sesama selfish. Sedangkan individu

yang resiprokal akan selalu diuntungkan. Peluang individu yang altruism

memperoleh ganjaran sama dengan individu yang resiprokal, namun peluang

altruism untuk dieksploitasi berbeda dengan resiprokal. Peluang selfish

memperoleh ganjaran lebih kecil, yaitu hanya jika bertemu orang yang bersifat

altruism.

Svendsen dan Svendsen (2004) menyatakan bahwa modal sosial

meningkatkan sistem kontrol terhadap perilaku-perilaku oportunistik,

pembonceng (free rider) dan pencari rente (rent seeking). Individu memang

cenderung berperilaku oportunistik, mementingkan diri sendiri dan hanya akan

berusaha untuk mewujudkan tujuan bersama apabila tujuan-tujuan individunya

terpenuhi. Kecenderungan tersebut akan mampu ditekan apabila terbangun modal

sosial yang kuat karena sistem kontrol yang terbangun dari modal sosial tersebut

akan meningkatkan tambahan biaya untuk berperilaku oportunistik (MCsc)

sehingga tambahan manfaat yang diperolehnya (MB) tidak lagi memadai seperti

dijelaskan pada Gambar 7. Oleh karena itu, besar kecilnya jumlah individu yang

berperilaku oportunistik seringkali dijadikan sebagai indikator kuat lemahnya

modal sosial masyarakat.

Page 6: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

47

Modal sosial yang terbangun dari adanya rasa saling percaya, jaringan

kerja dan norma yang kondusif akan mengurangi biaya kontak, kontrak dan

kontrol sehingga dapat meniadakan biaya transaksi yang tinggi. Selanjutnya, rasa

saling percaya juga memudahkan terbangunnya jaringan kerja yang efisien dan

memberi manfaat pada proses produktif dalam pembangunan ekonomi wilayah.

Interaksi sosial yang didasari oleh rasa percaya yang kuat akan memiliki nilai

ekonomi dan sekaligus menjadi alat peredam konflik.

Kemampuan modal sosial dalam meredam konflik menambah arti penting

modal sosial bagi pembangunan di Indonesia mengingat keberagaman etnis dan

budaya yang ada berpotensi menjadi sumber-sumber konflik. Saat ini, masyarakat

cenderung hanya memiliki mekanisme penyelesaian konflik seperti perangkat

hukum dan aturan-aturan yang menjamin adanya perlakuan yang adil terhadap

semua kelompok (Narayan dan Pritchett, 1999). Sesungguhnya strategi terbaik

adalah menghindari terjadinya konflik dengan cara membangun rasa percaya

melalui interaksi sosial (weak ties) dalam ruang-ruang publik (public space)

seperti taman kota yang aman, sarana transportasi umum yang berkualitas,

fasilitas olah raga dan rekreasi.

Interaksi dalam setiap aktivitas sosial mendorong masyarakat untuk

memiliki ikatan sosial antar kelompok (weak ties) sehingga terjadi keseimbangan

dengan ikatan yang terbangun dalam keluarga (strong ties). Kedua ikatan tersebut

(weak ties dan strong ties) berperan penting dalam upaya membangun rasa

MCsc

MC

MB

Opportunism

Rp/Unit

A

Sumber: Svendsen dan Svendsen, 2004

Gambar 7 Peran Modal Sosial dalam Menekan Perilaku Oportunistik

Page 7: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

48

percaya dan stabilitas sosial ekonomi. Frijters, Bezemer dan Dulleck (2003)

membangun model yang mempertimbangkan pentingnya ikatan-ikatan (weak ties

dan strong ties) sebagai sumber terbangunnya relational capital (RC) dalam suatu

proses produktif. Model tersebut dinyatakan sebagai berikut:

rct t t t t ty y A H H RC K( , , , )= − ...........................................(6)

dimana ty adalah produksi yang terjual di pasar pada waktu t; tH adalah

angkatan kerja; rct tH H− adalah input tenaga kerja bersih yang digunakan untuk

produksi; rctH adalah tenaga kerja yang tercurah untuk menghasilkan RCt

(relational capital); At adalah parameter teknologi sedangkan Kt adalah kapital

fisik. ty adalah fungsi yang bersifat constant return to scale. Perekonomian

terdiri dari sejumlah individu sehingga dimungkinkan untuk mengaggregatkan

model tersebut menjadi model pertumbuhan ekonomi makro standar sebagai

berikut:

rct t t t t ty y A f H H RC K( ( , ), )= − .....................................(7)

dimana rct t t tA f H H RC( , )− adalah kombinasi input yang terdiri dari At adalah

produktivitas dari kombinasi tenaga kerja dan jumlah kontak. Masing-masing

individu dan rumah tangga menentukan jumlah tenaga kerja dan kapital pisik dan

investasi dalam RC dengan mengalokasikan tenaga kerja sejumlah rctH .

Sejalan dengan pemikiran tersebut, Beugelsdijk dan Smulders (2003)

melakukan koreksi terhadap tenaga kerja efektif (H) yang dinyatakan sebagai

berikut:

H = N [(1-v)(1-ζB)-f-z] h, ............................................................(8)

dimana N adalah jumlah pelaku dalam pertumbuhan ekonomi, h adalah

tenaga kerja berkualitas yang tersedia, (1-v-f-z) h adalah tenaga kerja efektif yang

tersedia pada tingkat upah w, sedangkan (1-ζB(z))h adalah tenaga kerja yang

tercurah untuk aktivitas rent seeking. Perkembangan penelitian modal sosial

ternyata masih memiliki berbagai keterbatasan. Paling tidak ada tiga keterbatasan

utama yang masih menjadi perdebatan, yaitu: (1) keterbatasan yang berkaitan

dengan analisis keterkaitan antara modal sosial dengan indikator hasil-hasil

pembangunan ekonomi wilayah seperti indeks pembangunan manusia (IPM),

indeks kemiskinan (IKM) dan keadilan sosial (equity); (2) keterbatasan yang

Page 8: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

49

berkaitan dengan analisis penentuan indikator modal sosial yang dominan, dan (3)

keterbatasan mengenai arah hubungan modal sosial dan kesejahteraan, baik pada

tingkat mikro maupun makro.

Perdebatan pandangan mengenai keterkaitan antara indikator modal sosial

dan indikator pembangunan ekonomi menjadi landasan utama penelitian ini.

Hubungan saling mempengaruhi antar indikator modal sosial dengan

kesejahteraan rumah tangga dan pembangunan menyebabkan penggunaan analisis

ordinary least square (OLS) tidak lagi memadai karena akan menghasilkan

penduga parameter yang bias dan bersifat spurious.

Penelitian ini juga mengembangkan pemikiran mengenai investasi

bersama yang seharusnya dilakukan oleh semua pelaku pembangunan dalam

membangun modal sosial. Pemikiran tersebut didasarkan pada kekhawatiran akan

terjadinya proses pelemahan modal sosial yang disebabkan oleh ketiadaan insentif

untuk melakukan pemeliharaan hubungan ataupun jaringan kerja antar individu,

individu dengan pemerintah daerah atau antar pemerintah kabupaten dan provinsi.

Kerangka pemikiran yang dikembangkan tersebut dijelaskan pada Gambar 8.

Hipotesis

Berdasarkan berbagai kajian mengenai modal sosial dan pembangunan

ekonomi wilayah serta kerangka pemikiran penelitian yang telah dibangun maka

dapat dinyatakan hipotesis penelitian sebagai berikut:

1. Komponen modal sosial yang dominan dan memberi kontribusi terbesar

adalah rasa percaya.

2. a. Modal sosial menyambung (bridging social capital) berpengaruh positif

terhadap PDRB, sebaliknya modal sosial mengikat (bonding social

capital) berpengaruh negatif terhadap PDRB.

b. Terdapat hubungan saling mempengaruhi (keterkaitan) antara modal

sosial dengan kesejahteraan rumah tangga, pembangunan ekonomi

wilayah (IPM), kemiskinan (IKM), output (PDRB), pertumbuhan

ekonomi wilayah (Laju PDRB) dan total faktor produktivitas (TFP).

3. Strategi terbaik bagi pemerintah kabupaten, provinsi dan masyarakat dalam

upaya merevitalisasi modal sosial adalah bekerjasama (cooperative).

Page 9: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

50

Analisis Two Stage Least Square

Gambar 8 Kerangka Pemikiran Analisis Modal Sosial

Tujuan

Pembangunan Ekonomi Wilayah

Meningkatkan Akses Masyarakat

Meningkatkan Pendapatan

Menekan Kesenjangan

Modal Sosial

General Trust Thin Trust Thick Trust Kepercayaan thp inst.

Formal/informal

Indeks Kepadatan jaringan kerja

Indeks Partisipasi Jumlah Teman

Bantuan Uang dan Fisik

Perilaku Free Rider

STRATEGI

T R U S T

N E T W O R K

N O R M

Analisis Game

Analisis Kualitatif dan Kuantitatif

P E M K A B

P E M P R O v

M A S Y A R A K A T

Analisis Model Persamaan Struktural

Pendapatan RT

IPM IKM Rasio Gini Laju

PDRB PDRB

perkapita TFP

Bonding social capital

Bridging social capital

Pekerjaan Akses

pendidikan, kesehatan, rasa aman

Partisipasi Menekan free

rider, rent-seeking dan inequality

Page 10: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

51

Metode Penentuan Daerah Penelitian Penentuan Provinsi Bali sebagai daerah penelitian dilakukan secara

sengaja (purposive) dengan mempertimbangkan indikator pertumbuhan maupun

pembangunan ekonomi wilayah dan indikator kultural. Saat ini, Bali menghadapi

dilema yang mengarah pada konflik kepentingan antara pelestarian budaya

(kelompok inward looking) dan peningkatan keterbukaan (kelompok outward

looking) dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli Daerah melalui sektor

pariwisata.

Penentuan kabupaten juga dilakukan secara sengaja (purposive) melalui

beberapa pertimbangan indikator sosial dan ekonomi wilayah. Berdasarkan

pertimbangan tersebut maka ditentukan Kabupaten Jembrana, Kabupaten Badung,

Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Karangasem sebagai daerah penelitian. Dua

kecamatan di masing-masing kabupaten dipilih melalui stratifikasi berdasarkan

lokasi kecamatan terhadap ibukota kabupaten yaitu kecamatan yang memiliki

lokasi terdekat dan terjauh. Penentuan lokasi desa juga didasarkan pada lokasi

terdekat dan terjauh dari ibukota kecamatan.

Faktor jarak terhadap pusat pemerintahan kabupaten dan kecamatan

dipertimbangkan sesuai dengan tujuan untuk memperoleh gambaran modal sosial

dalam masyarakat yang belum berkembang dan masyarakat maju. Selain itu,

pendekatan ini juga dilakukan untuk memberikan gambaran modal sosial dalam

kelompok masyarakat seperti masyarakat yang memiliki mata pencaharian di

sektor pertanian dan pariwisata sebagai sektor dominan di Bali.

Metode Penentuan Responden

Responden yang diteliti adalah kepala rumah tangga yang bertempat

tinggal di desa penelitian, anggota subak, anggota Himpunan Pramuwisata

Indonesia (HPI), serta anggota Asita (Asosiasi Perjalanan Wisata) dan PHRI

(Pengusaha Hotel dan Restoran Indonesia). Rumah tangga dipilih secara acak

dari masing-masing desa penelitian yang telah ditetapkan. Jumlah responden

ditentukan melalui kuota sebanyak 25 orang pada masing-masing desa dengan

pertimbangan homogenitas populasi.

Page 11: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

52

Berdasarkan metode stratified random sampling yang digunakan, maka

responden dapat dikelompokkan atas:

(1) responden yang bertempat tinggal jauh dari pusat pemerintahan (pusat

kota) umumnya merupakan daerah perdesaan.

(2) responden yang bertempat tinggal dekat dengan pusat pemerintahan

(pusat kota) umumnya merupakan daerah perkotaan.

Proses penentuan daerah penelitian dan pengambilan responden dalam penelitian

ini digambarkan pada Gambar 9.

Unit analisis pada tingkat meso adalah institusi sosial seperti organisasi

pertanian (Subak), pariwisata (HPI, Asita dan PHRI) dan organisasi adat (Banjar

Adat). Masing-masing dua kelompok subak ditentukan secara acak di wilayah

maju (Kabupaten Badung dan Gianyar) dan wilayah belum berkembang

(Kabupaten Jembrana dan Karangasem), sedangkan organisasi kepariwisataan

hanya ada di tingkat provinsi. Informasi dikumpulkan dari masing-masing

anggota subak dan anggota HPI, Asita dan PHRI yang ditentukan secara acak

proposional sebesar lima persen dari jumlah anggota masing-masing kelompok.

Gambar 9 Kerangka Pemilihan Sampel (sampling frame)

Provinsi Bali 8 Kabupaten dan 1 Kota

Kabupaten Jembrana, Badung, Gianyar , Karangasem

2 Kecamatan di masing-masing kabupaten dan 2 desa di masing-

masing kecamatan

Purposive Sampling

Stratified Sampling

400 responden

Random Sampling

Jarak dari pusat kabupaten dan kecamatan

Page 12: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

53

Metode Pengumpulan dan Pengukuran Data

Data yang dikumpulkan dan dianalisis dalam penelitian ini mencakup data

primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan selama bulan Maret hingga

September 2005. Selain itu, dikumpulkan pula informasi dari responden kunci

yang ditentukan secara purposive sesuai dengan informasi yang ingin diperoleh

seperti Bendesa, Bendesa Adat, Klian Subak, Penyuluh Pertanian serta Pakar.

Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data primer mengenai

komponen modal sosial di tingkat individu dan kelompok adalah kuisioner yang

terbagi atas 5 kelompok pertanyaan, yaitu: (1) pertanyaan mengenai kelompok

dan jaringan kerja; (2) rasa percaya dan solidaritas; (3) kegiatan bersama dan

kerjasama; (4) informasi dan komunikasi, dan (5) pendapatan rumah tangga.

Pengukuran Indikator (Peubah Manifes) Modal Sosial di Tingkat Mikro

Identifikasi modal sosial di tingkat mikro dilakukan dengan analisis

kualitatif dan kuantitatif terhadap respons yang diberikan oleh responden melalui

jawaban kuisioner. Unit analisis adalah rumah tangga. Analisis kualitatif

dilakukan terhadap data yang bersifat nominal dan ordinal seperti tingkat

pendidikan, kesehatan, rasa percaya (trust), kesediaan memberi bantuan.

Sedangkan analisis kuantitatif dilakukan untuk data yang bersifat interval dan

rasio seperti besarnya keluarga, pengeluaran rumah tangga, indeks partisipasi,

indeks heterogenitas, kepadatan organisasi, jumlah teman dan tingkat kontribusi

anggota.

Modal sosial dalam penelitian ini merupakan variabel laten endogen yang

ditentukan oleh variabel laten eksogen. Komponen modal sosial yang merupakan

variabel laten eksogen adalah jaringan kerja, rasa percaya dan norma. Variabel

laten eksogen tersebut akan diukur melalui berbagai indikator (peubah manifes)

yang berbeda beda di tingkat mikro, meso dan makro. Tabel 8 menggambarkan

peubah manifes dari variabel laten eksogen, notasi yang digunakan dalam

pembahasan selanjutnya, serta pertanyaan dalam kuisioner yang digunakan untuk

mengukur masing-masing peubah manifes tersebut di tingkat mikro.

Page 13: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

54

Pengukuran modal sosial berkaitan erat dengan pengukuran tentang sikap

seseorang terhadap orang lain atau kelembagaan yang ada dalam masyarakat

dimana dia berada. Kesalahan dalam penetapan indikator seringkali menimbulkan

bias yang mempengaruhi hasil analisis data. Oleh karenanya, penelitian ini

mencoba menekan adanya bias-bias yang mungkin muncul dalam pengumpulan

data dan penetapan indikator dengan cara melakukan konfirmasi ulang terhadap

jawaban yang diberikan oleh responden.

Tabel 8 Definisi Variabel Modal Sosial di Tingkat Mikro serta Pertanyaan dalam

Kuisioner

Variabel Definisi Notasi dalam Persamaan Pertanyaan dalam

Kuisioner*

Rasa percaya (Trust)

Persentase responden yang menyatakan mereka percaya pada sesama etnis (thick trust), etnis lain (thin trust), pengelola pemerintah, pekerja profesional (respons alternatif: mereka tidak mempercayai tetangga)

Aware (Kesadaran berhati-hati) GN Trust (Rasa Percaya) DT (Dinamika Rasa Percaya) TAE (Thick Trust) TBE (Thin Trust) PEMKAB (Trust terhadap

pemerintah kabupaten) PEMPROP (Trust terhadap

pemerintah provinsi ) POLISI (Trust terhadap polisi ) GURU (Trust terhadap Guru)

2.1 2.2A 2.4 2.3J 2.3I 2.3D

2.3E

2.3F 2.3G

Jaringan kerja (Network)

Rata-rata keanggotaan dalam berbagai organisasi formal dan informal, lokal dan regional yang diikuti

DN (Kepadatan jaringan kerja) SEXP(Pengeluaran sosial) EMPL (Jumlah anggota

keluarga yang bekerja) FRIEND (Jumlah teman)

1.1 5.4 5.6

1.24; 1.28

Norma Altruism

(Norm)

Persentase responden yang menyatakan bahwa akan selalu membantu kegiatan yang bermanfaat bagi banyak orang walau tidak menguntungkan diri sendiri (respons alternatif : tidak membantu atau hanya memikirkan diri sendiri)

HN (Kesediaan saling Bantu) BNTFSK (kemudahan

memperoleh Bantuan Fisik)

CC (Kemudahan menitipkan anak)

CHL (Jumlah anak yang sekolah)

FR (Jumlah free rider)

2.2C, D; 2.5 2.6

1.27 1.28 2.2 B

Disarikan dari Putnam (1993), Grootaert et al. (2004) (cetak biru) dan pemikiran peneliti. * Lampiran 1

Di tingkat mikro, rasa percaya diukur melalui indikator (peubah manifes)

rasa percaya sosial (general trust atau GN Trust ), kesadaran untuk bersikap hati-

hati (aware), dinamika trust (DT) dan Partisipasi dalam setiap kegiatan

Page 14: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

55

(PARTSP). Jaringan kerja diukur melalui peubah manifes kepadatan jaringan

kerja (NW), pengeluaran sosial (SEXP) dan jumlah teman yang diajak berkeluh

kesah (FRIEND). Norma diukur melalui peubah manifes kesediaan menjaga

anak-anak tetangga, kerabat maupun teman (CC), jumlah orang yang bersikap

sebagai free rider (FR) dan kesediaan membantu secara fisik (BNTFSK).

Indikator (Peubah Manifes) Modal Sosial di Tingkat Meso

Modal sosial di tingkat meso mengukur rasa percaya antar anggota

maupun rasa percaya anggota terhadap pemimpinnya, kepatuhan pada norma-

norma bersama serta ikatan-ikatan antar kelompok yang memberi manfaat bagi

anggota kelompok yang bersangkutan.

Tabel 9 Definisi Variabel Modal Sosial di Tingkat Meso serta Pertanyaan dalam

Kuisioner

Variabel Definisi Notasi dalam Persamaan

Pertanyaan dalam

Kuisioner*

Rasa percaya (Trust)

Rasa percaya organisasi tertentu terhadap organisasi lain Rasa percaya terhadap pemimpin kelompok

DN

LEADERSP

1.15

1.16

Jaringan Kerja (Network)

Hubungan dengan organisasi sejenis di wilayah yang sama

Hubungan dengan organisasi sejenis di wilayah lain

Hubungan dengan organisasi lain di wilayah yang sama

Hubungan dengan organisasi lain di wilayah lain

Bonding1

Bonding2

Bridg1

Bridg2

1.17

1.18

1.19

1.20

Kepatuhan anggota terhadap Norma (Norm)

Kesediaan membayar dana kelompok untuk setiap aktivitas Kesediaan membayar dana awal

DANAKEL

DANAWL

1.21

1.22

Disarikan dari Grootaert et al. (2004); Miguel, et al. (2002); Brata (2004) (cetak biru) dan dikembangkan berdasarkan pemikiran peneliti. * Kuisioner tersedia pada Lampiran 1

Page 15: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

56

Rasa percaya diukur melalui indikator (peubah manifes) kepadatan

jaringan kerja dan kepemimpinan, jaringan kerja diukur dari keterkaitan

organisasi dengan organisasi lain sedangkan norma diukur berdasarkan kesediaan

menanggung pembiayaan organisasi. Pengukuran modal sosial di tingkat meso

lebih mencerminkan karakteristik kelompok yang dalam penelitian ini dibedakan

atas tiga kelompok sebagai unit analisis, yaitu: (1) Komunitas Subak; (2)

Komunitas Pariwisata dan (3) Komunitas Desa Pakraman. Secara rinci,

pengukuran peubah manifes di tingkat meso disajikan pada Tabel 9.

Indikator (Peubah Manifes) Modal Sosial di Tingkat Makro

Pengukuran indikator modal sosial di tingkat makro sedikit berbeda

dengan pengukuran indikator modal sosial di tingkat mikro dan meso, karena

menggunakan data panel dari seluruh kabupaten dan kota di Bali selama jangka

waktu lima tahun sejak tahun 1999 hingga tahun 2004. Indikator-indikator yang

digunakan pada penelitian ini, didasarkan atas indikator yang telah digunakan oleh

peneliti terdahulu (Putnam, 1993; Collier, 1998, Knack dan Keefer, 1997). Data

sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Biro Pusat Statistik, Dinas

Pariwisata, Dinas Kebudayaan, Biro Ekonomi dan Bappeda mencakup Data Bali

Membangun, Kabupaten Dalam Angka, PODES, pola konsumsi dan distribusi

pendapatan serta SUSENAS.

Pada tingkat makro, modal sosial dibedakan pula atas bonding social

capital (modal sosial mengikat) dan bridging social capital (modal sosial

menyambung). Modal sosial yang berdasarkan ikatan yang mengikat (bonding)

terbangun dalam organisasi yang memiliki homogenitas tinggi dalam

keanggotaannya yaitu desa pakraman. Semakin banyak jumlah desa pakraman

per-1000 penduduk menunjukkan adanya interaksi yang semakin intensif yang

membangun bonding social capital (SCbnd). Sebaliknya, indikator yang

menggambarkan terbangunnya bridging social capital (SCbrd) adalah jumlah

organisasi lain per-1000 penduduk.

Komponen modal sosial yang dipertimbangkan dalam analisis di tingkat

makro ini adalah rasa percaya (trust), norma (norm) dan jaringan kerja (network).

Rasa saling percaya akan menjadi landasan yang kuat untuk membangun

Page 16: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

57

kerjasama sehingga peluang terjadinya konflik dalam kerjasama tersebut menjadi

semakin kecil.

Tabel 10 Variabel Laten dan Indikator (Peubah Manifes) Modal Sosial

Tingkat/Unit Analisis Variabel Laten Indikator (Peubah Manifes) Mikro / Rumah Tangga Rasa Percaya (Trust)

Jaringan Kerja (Network) Norma (Norm)

1. Rasa Percaya (Fukuyama, Miguel et al.)

1.1 Rasa percaya umum 1.2 Rasa kehati-hatian 1.3 Thick trust 1.4 Thin trust

2. Jaringan kerja (Putnam, Grootaert, Brata)

2.1 Kepadatan jaringan kerja 2.2 Partisipasi 2.3 Jumlah teman 2.4 Dinamika partisipasi

3. Norma 3.1 Kesediaan membantu fisik,

uang dan perhatian 3.2 Jumlah free rider

Meso / Kelompok Rasa percaya (Trust) Jaringan Kerja (Network)

Norma (Norm)

1. Rasa Percaya (Miguel et al.; Brata) 1.1 Kepadatan jaringan kerja 1.2 Leadership

2. Jaringan kerja (Coleman,Putnam) 2.1 Keterkaitan antar organisasi

sejenis (Bonding) 2.2 Keterkaitan dengan

organisasi lain (Bridging) 3. Norma

3.1 Kepatuhan membayar iuran kelompok

3.2 Kesediaan membayar dana awal

Makro / Wilayah Rasa percaya (Trust) Jaringan Kerja (Network)

Norma (Norm)

1. Rasa Percaya (Collier) 1.1 jumlah konflik 1.2 jumlah desa adat 1.3 Kepadatan penduduk

2. Jaringan kerja (Putnam) 2.1 Jumlah organisasi pemuda 2.2 Jumlah organisasi seni dan

olah raga 2.3 Jumlah organisasi wanita

3. Norma 3.1 jumlah organisasi sosial

Sumber : Disarikan dari penelitian terdahulu dan kerangka pemikiran peneliti Nama dalam ( ) adalah peneliti terdahulu yang telah menggunakan variabel tersebut

Page 17: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

58

Di Bali, frekwensi kegiatan bersama (collective action) masih sangat

tinggi terutama berkaitan dengan aktivitas desa dan banjar pakraman seperti

membersihkan lingkungan rumah, tempat peribadatan (pura) dan upacara adat

serta keagamaan. Namun demikian, kegiatan bersama saja tidak cukup menjadi

indikasi terbangunnya rasa percaya karena kegiatan bersama tersebut didasari oleh

adanya sanksi sosial yang kuat. Proksi rasa percaya antar masyarakat yang lebih

memadai untuk kondisi di Bali adalah adanya konflik antar masyarakat yang

diselesaikan di lembaga formal. Indikator norma diproksi dari jumlah lembaga

sosial formal dan informal yang ada di suatu wilayah sedangkan jaringan kerja

diproksi dari jumlah organisasi profesi di wilayah tersebut.

Pada Tabel 10 disajikan secara rinci keterkaitan antara variabel laten dan

indikator (peubah manifes) yang digunakan pada berbagai tingkat analisis.

Variabel laten yang digunakan dalam penelitian ini meliputi rasa percaya (trust),

jaringan kerja (network) dan norma (norm) dengan indikator (peubah manifes)

yang berbeda-beda di masing-masing tingkat (unit) analisis. Beberapa indikator

(peubah manifes) merupakan indikator pada penelitian terdahulu, sedangkan

sebagian lainnya disarikan dari berbagai pustaka modal sosial dan hanya

digunakan dalam penelitian ini.

Metode Analisis Data

Uji Beda Rataan Indikator Modal sosial

Di Wilayah Maju dan Wilayah Belum Berkembang

Data primer dianalisis dengan menggunakan analisis non-parametrik agar

dapat dideskripsikan secara terinci mengenai hubungan antar masing-masing

indikator yang membangun variabel rasa percaya, jaringan kerja dan norma.

Hipotesis tentang hubungan antar indikator tersebut diuji berdasarkan nilai

korelasi Spearman. Selain itu, dilakukan pula uji beda dua sampel yang tidak

berhubungan untuk mengetahui apakah dua populasi memiliki sifat-sifat yang

identik. Adapun hipotesis yang diuji dapat dirumuskan sebagai berikut:

0

1

M BB

M BB

H

H

:

:

μ μ

μ μ

=

Page 18: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

59

dimana: Mμ = rata-rata populasi di wilayah maju

BBμ = rata-rata populasi di wilayah belum berkembang Hipotesis awal (H0) menyatakan bahwa rata-rata populasi di wilayah

belum berkembang identik dengan rata-rata populasi di wilayah maju sedangkan

hipotesis alternatifnya adalah rata-rata populasi di daerah belum berkembang tidak

identik dengan rata-rata populasi di wilayah maju. Hipotesis tersebut digunakan

untuk masing-masing indikator modal sosial yang diamati.

Dasar pengambilan keputusan:

Jika probabilitas lebih besar dari (>) α, maka H0 diterima

Jika probabilitas lebih kecil dari (<) α, maka tidak terdapat cukup bukti untuk

menerima H0.

Metode analisis data disesuaikan dengan tujuan penelitian yang

diinginkan dan sifat data yang diperoleh. Alur pemikiran penelitian yang

mengaitkan antara tujuan penelitian, jenis data yang diperlukan, sumber data,

metode analisis serta proses pengolahan datanya dijabarkan secara rinci pada

Gambar 10.

Analisis terhadap seluruh variabel secara bersama-sama dilakukan

melalui uji nilai tengah multi variate (peubah ganda). Pengujian yang digunakan

adalah statistik T2 Hotelling yang tersedia dalam program SPSS. Analisis ini

bertujuan menguji hipotesa berikut:

H0: Semua indikator modal sosial di wilayah berkembang sama dengan

wilayah maju (μ = μ0)

H1: Setidak-tidaknya ada satu indikator modal sosial yang berbeda antara

wilayah maju dan wilayah belum berkembang (μ ≠ μ0)

Kriteria pengambilan keputusan adalah:

Jika probabilitas lebih besar dari (>)α, terima H0.

Jika probabilitas lebih kecil dari (<)α, tidak terdapat cukup bukti untuk

menerima H0.

Page 19: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

60

Gambar 10 Alur Pemikiran dan Proses Penelitian Modal Sosial di Bali

Metode Analisis

Kajian dan Pembahasan

Output analisis

Mempelajari Modal Sosial dan

Mengetahui Keterkaitannya

dengan Kesejahteraan

Rumah Tangga, Pertumbuhan,

Kemiskinan dan Pembangunan

ekonomi wilayah serta menganalisis

strategi pelaku dalam

pembangunan modal sosial

Mengidentifikasi

faktor-faktor dominan modal sosial di tingkat

mikro dan meso

Menganalisis

keterkaitan modal sosial dan pendapatan

rumah tangga

Menganalisis keterkaitan modal

sosial dan pertumbuhan,

kemiskinan serta pembangunan

ekonomi wilayah

Tujuan Khusus Tujuan Umum

Data primer dan Sekunder

Data Panel

Data primer

400 responden di 4 Kabupaten Jembrana,

Badung, Gianyar, Karangasem dan 3

kelompok komunitas Subak, Banjar, HPI,

PHRI dan Asita

400 responden di 4 Kabupaten Jembrana, Badung, Gianyar dan

Karangasem

Data Panel dari 8 kabupaten dan 1 kota

tahun 1999 – 2004 meliputi PDRB, PAD, pertumbuhan output, Tenaga kerja, modal fisik dan data sosial

kependudukan

Jenis Data Sumber Data

Structural Equation

Model

Two Stage Least Square

Two Stage Least Square

Sintesis mengenai

keterkaitan modal sosial

dengan kesejahteraan

dan pembangunan

ekonomi wilayah serta

kajian komparatif terhadap

teori-teori dan hasil penelitian terdahulu

Analisis strategi pemerintah provinsi,

kabupaten dan masyarakat dalam revitalisasi modal

sosial

Data Primer dan Sekunder

Data Pengeluaran sosial masyarakat,

bantuan pemda untuk aktivitas sosial

Extensive Game

Indikator modal sosial yang nyata di tingkat mikro

dan meso

Hubungan saling mempengaruhi antara modal

sosial di tingkat mikro dengan kesejahteraan rumah tangga

Hubungan saling mempengaruhi antara modal

sosial di tingkat makro dengan

indikator pembangunan

ekonomi wilayah

Strategi terbaik menguatkan modal sosial

tingkat meso di Bali

Page 20: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

61

Identifikasi Faktor-Faktor Dominan Modal Sosial:

Pendekatan Pemodelan Persamaan Struktural (Structural Equation Modelling)

Untuk mengetahui signifikansi indikator yang membangun modal sosial

digunakan analisis pemodelan persamaan struktural (structural equation

modelling atau SEM). SEM adalah analisis yang sangat umum dan merupakan

teknis analisis ragam ganda (multivariate) yang sangat kuat (powerful). Asumsi

yang diterapkan sangat fleksibel dan menggunakan analisis faktor penegasan

(confirmatory factor analysis atau CFA) untuk mengurangi kesalahan yang

disebabkan oleh pengukuran. SEM memungkinkan untuk mengatasi masalah

autokorelasi pada data rangkai waktu (time series), data yang tidak terdistribusi

secara normal maupun data yang tidak lengkap. Selain itu, SEM memungkinkan

untuk mengukur dampak langsung maupun tidak langsung. Model SEM secara

statistik dapat dinyatakan sebagai: DATA = MODEL + GALAT.

Analisis ini dapat menggambarkan bagaimana indeks modal sosial

terbentuk dari beberapa indikator atau membangun gugus indikator baru yang

lebih tepat karena adanya sifat mengelompok dari gugus yang dibangun semula.

SEM sudah digunakan secara luas dalam mengukur perilaku. SEM juga dikenal

dengan nama model struktur ragam bersama (covariance structur models) karena

menggambarkan struktur kovarian antar variabel yang dipandang sebagai

kombinasi dari analisis faktor dan regresi. Penggunaan SEM sebagai alat analisis

data kuantitatif bertujuan melihat hubungan antara modal sosial dengan trust,

network dan norm melalui variabel yang diamati seperti rasa percaya antar etnis

(thick trust), rasa percaya terhadap etnis lain (thin trust), kepadatan organisasi

(network density), partisipasi serta norma saling bantu (altruisme).

Ukuran goodness of fit (GoF) model dapat dilihat dari nilai Chi-square,

goodness of fit index (GFI), adjusted goodness-of-fit index (AGFI), root mean

square residual (RMSR or RMR), standardize root mean square residual,

standardized RMR (SRMR), centrality index (CI), noncentrality index, relative

non-centrality index, comparative fit index, incremental fit index dan normed fit

index. Beberapa peneliti menyatakan bahwa ukuran GoF tersebut tidak mutlak

harus dipenuhi secara total. Terpenuhinya beberapa kriteria saja sudah cukup

Page 21: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

62

untuk memutuskan apakah model tersebut cocok atau tidak cocok. Kriteria

statistik dari kebaikan model sangat sensitif dengan ukuran sampel dan seluruh

GoF merupakan beberapa fungsi dari Chi-square dan derajat bebas. Sebagian

besar indeks kecocokan tersebut tidak hanya mempertimbangkan kebaikan model

namun juga kesederhanaannya. RMSE adalah ukuran goodness of fit yang harus

diperhatikan apabila tujuan permodelan untuk melakukan pendugaan

(approximations). Nilai RMSE harus memiliki nilai yang relatif kecil (<0.05).

Model memiliki kecocokan yang sempurna apabila indeks kebaikan (GFI) sama

dengan satu. Namun Hair et al. (1998) dan Bollen (1989) menyatakan bahwa

model dapat diterima bila P-value >0.05 dengan RMSE 0 08.≤ .

Terdapat beberapa kriteria yang berkembang berkaitan dengan efek dari

masing-masing variabel laten terhadap indikator (peubah manifes), salah satunya

adalah kriteria Kline (1998) yang menyatakan bahwa ada dua kategori untuk

mengukur efek variabel laten terhadap indikator (peubah manifes). Kategori

pertama dibedakan atas (1) <0.2 tidak nyata ; (2) 0.2 – 0.5 kecil; (3) 0.5 – 0.8

sedang dan (4) >0.8 besar. Kategori kedua mendefinisikan efek atas tiga

kelompok yaitu (1) <0.1 kecil; (2) mendekati 0.3 dikategorikan sebagai medium

dan (3) mendekati 0.5 dikategorikan besar. Ukuran kecocokan model ditentukan

dari p-value nilai Chi-square, Goodness of Fit Index (GFI), adjusted goodness-of-

fit index (AGFI), root mean square residual (RMSR atau RMR) dan standardized

root mean square residual (SRMR).

Salah satu program SEM yang popular adalah Linear Structural Relation

(LISREL) yang diperkenalkan oleh Jöreskog dikembangkan awal tahun 1970-an

merupakan program yang sangat berguna untuk menentukan model persamaan

struktural dan multilevel data pengamatan yang bersifat lintang waktu (cross-

section). Model LISREL dibangun dalam tiga persamaan matriks yaitu (1) model

pengukuran variabel laten eksogen x = λxξ + δ; (2) model pengukuran variabel

laten endogen y = λyη + ε, dan (3) model persamaan struktural η = Вη + Гξ +ζ,

dimana :

η = vector galat dari peubah laten endogenus m x 1 ξ = vector galat dari peubah laten eksogenus n x 1 ζ = vector galat bagi persamaan struktural berukuran m x 1 В = matriks koefisien dari η berukuran m x m Г = matriks koefisien dari ξ berukuran m x n

Page 22: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

63

BONDING2

DANAKEL

BRIDG1

BRIDG2

BONDING1

Trust ξ1

Network ξ2

Norm ξ3

Modal Sosial

LEADERSHIP

DN

(2)

γ

γ

e-DN

DANAAWL

e-LEADERSP

e-BONDING1

e-BONDING2

e-BRIDG1

e-BRIDG2

e-DANAAWL

e-DANAKEL

λ

λ

ε

x = vektor indikator peubah laten eksogenus q x 1 y = vektor indikator peubah laten eksogenus p x 1 λx = matriks koefisien regresi (loading) x terhadap ξ berukuran q x n λy = matriks koefisien regresi (loading) y terhadap η berukuran p x m δ = vektor galat pengukuran dari x berukuran q x 1 ε = vektor galat pengukuran dari y berukuran p x 1 e = error

Gambar 11 Model Persamaan Struktural Modal Sosial di Tingkat Mikro (1) dan Meso (2)

Signifikansi dari model LISREL terletak pada terintegrasinya model

pengukuran analisis faktor dan model persamaan struktural ekonometrik.

Jöreskog dan Sörbom (1999) memperkenalkan dua indeks kecocokan suatu model

yaitu Goodness of Fit Index (GFI) dan adjusted goodness of fit index (AGFI) yang

menggambarkan tingkat kompleksitas dari model. Indeks lain adalah Tucker

Lewis Index (TLI) yang lebih dikenal sebagai Non-Normed Fit Index atau NNFI

(1)

SC ε

Trust

Norm

Network

e-AWARE

e-GNTRUST

e-DT

e-PARTSP

e-CC

e-FR

e-BNTFSK

e-NW

e-SEXP

e-FRIEND

λ

λ

λ

γ

AWARE

GNTRUST

DT

PARTSP

CC

FR

BNTFSK

NW

SEXP

FRIEND

Page 23: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

64

dan Normed Fit Index (NFI). Hasil simulasi menunjukkan bahwa indeks sangat

dipengaruhi oleh besarnya sampel.

Hipotesis dapat dinyatakan sebagai berikut :

H0: Model Cocok (model sudah sesuai dengan data empiris)

H1: Model Tidak Cocok (model belum sesuai dengan data empiris)

Kriteria penerimaan hipotesis nol:

Apabila nilai p-value lebih besar dari 0.05 maka terima H0 atau dikatakan

model telah cocok (tidak cukup bukti untuk menolak H0) sedangkan jika p-value

kurang dari 0.05 maka tolak H0 atau model tidak cocok (tidak terdapat kesesuaian

antara model dan data).

Analisis Keterkaitan antara Modal Sosial dan Kesejahteraan:

Pendekatan di Tingkat Mikro dan Makro

Analisis Keterkaitan antara Modal Sosial dan Kesejahteraan Rumah Tangga Ibanez et al. (2002), mengembangkan model analisis modal sosial

individu i di wilayah j yang dinyatakan dengan SCij ditentukan oleh karakteristik

individu, karakteristik rumah tangga atau komunitas, gugus dari kontrol wilayah,

gugus dari kontrol etnis ETij dan faktor galat, εij. Menurutnya, modal sosial dapat

diukur melalui dua cara yaitu (1) keanggotaan dalam kelembagaan formal dan

informal dan (2) melalui pengukuran interdependensi informal yang berdasarkan

pada keterlibatan individu dalam aktivitas bersama. Analisis modal sosial dalam

penelitian ini memodifikasi model Ibanez, yang secara matematis dapat

dinyatakan sebagai berikut :

0 1 2 3ij ij ij ij ijsexp tmn inc wilβ β β β ε= + + + + ................................(9)

dimana: sexpij = modal sosial individu i di wilayah j yang diproksi dari pengeluaran

sosial

tmnij = jumlah teman individu ke i di wilayah ke j.

incij = tingkat pendapatan rumah tangga dari individu ke i di wilayah ke j.

wilij = variabel dummy dari wilayah. 0 untuk wilayah belum berkembang dan 1 untuk wilayah maju.

εij = sisaan (error term)

Page 24: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

65

Modal sosial individu yang menetap di suatu wilayah ditentukan oleh

luasnya jaringan kerja informal yang dibangunnya, besarnya pendapatan rumah

tangganya serta karakteristik wilayah dimana dia menetap. Luasnya jaringan

kerja informal yang umumnya memiliki keanggotaan yang lebih heterogen,

memberi peluang yang lebih besar untuk memperoleh informasi yang lebih

beragam. Pendapatan menjadi faktor penting yang dipertimbangkan dalam

menganalisis modal sosial mengingat pembentukan jaringan kerja dan asosiasi

seringkali memerlukan biaya dalam konteks membutuhkan waktu dan sumber

daya lainnya. Oleh karenanya, individu atau rumah tangga dengan pendapatan

yang lebih tinggi akan mencurahkan sumber daya lebih banyak dalam

pembentukan jaringan kerja agar pembentukan tersebut menjadi lebih mudah.

Indeks modal sosial dihitung berdasarkan pada indeks kepercayaan,

indeks altruisme, indeks kepadatan organisasi dan indeks partisipasi dalam

pengambilan keputusan. Penghitungan indeks dilakukan dengan cara sebagai

berikut :

Indeks modal sosial = nilai teramati nilai terendahnilai tertinggi nilai terendah

( )( )

Dampak modal sosial terhadap kesejahteraan di tingkat mikro (rumah

tangga) dianalisis menggunakan model reduced form seperti yang digunakan oleh

Grootaert (1999) dengan beberapa modifikasi. Model analisis yang digunakan

tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut:

0 1 2 3 4ij ij ij ij ijexpinc S emp nw partα α α α α ε= + + + + + ............................(10)

dimana : incij = pendapatan rumah tangga ke i di wilayah j

sexpij = pengeluaran sosial rumah tangga ke i di wilayah j

empk = jumlah anggota yang bekerja dari rumah tangga i di wilayah j

nwij = kepadatan jaringan kerja

partij = partisipasi dalam pengambilan keputusan kelompok

ε = error term

Analisis peran modal sosial terhadap kesejahteraan individu maupun

rumah tangga berkaitan erat dengan peran modal sosial dalam menciptakan

peluang untuk meningkatkan pendapatan dan memperbaiki dimensi kesejahteraan

Page 25: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

66

seperti kesehatan dan pendidikan. Analisis ini dapat dilakukan dengan

mengasumsikan bahwa modal sosial adalah salah satu modal yang dimiliki

individu atau rumah tangga selain aset fisik seperti tanah, rumah, dan sawah.

Modal sosial pada persamaan (10) diproksi dengan menggunakan pengeluaran

sosial.

Asumsi lain yang perlu diperhatikan secara hati-hati adalah asumsi

bahwa modal sosial merupakan limpahan aset yang bersifat eksogen, yaitu aset

yang menentukan pendapatan dan konsumsi, padahal sebaliknya, pendapatan juga

menentukan modal sosial. Dalam terminologi ekonometrika, modal sosial

dikatakan sebagai faktor endogen sehingga estimasi menggunakan Ordinary Least

Squares (OLS) akan menghasilkan koefisien penduga yang bias. Pemecahan

masalah endogenitas ini dilakukan dengan menggunakan penduga variabel

instrumen yaitu variabel yang menentukan modal sosial tetapi tidak menentukan

kesejahteraan (tidak ditentukan oleh kesejahteraan rumah tangga). Model yang

menggunakan penduga variabel instrumen tersebut kemudian dianalisis dengan

Two Stage Least Square (TSLS).

Analisis Keterkaitan antara Modal Sosial dan Pertumbuhan, Kemiskinan, Pembangunan Ekonomi Wilayah dan Total Factor Productivity

Peran modal sosial dalam kinerja perekonomian dianalisis melalui model

pertumbuhan dengan memasukkan modal sosial sebagai salah satu input dalam

proses produksi. Dalam menganalisis peran modal sosial ini, diasumsikan bahwa

modal sosial adalah benar-benar merupakan modal (Grootaert, 1999) yang bila

tidak dilakukan reinvestasi akan mengarah pada kerusakan dan memperburuk

kinerja ekonomi.

Berdasarkan pada hasil penelitian Glaeser et al. (2001), dapat ditunjukkan

bahwa individu yang melakukan investasi dalam sumber daya manusia untuk

meningkatkan kapabilitasnya juga melakukan investasi dalam modal sosial.

Pernyatakan tersebut berimplikasi bahwa pertumbuhan ekonomi yang diukur

melalui tambahan output akan dicapai bila terjadi pula peningkatan dalam stok

modal sosial.

Page 26: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

67

Penelitian ini menggunakan pola pikir pertumbuhan standar. Pertumbuhan

ekonomi dijelaskan oleh sejumlah variabel ekonomi penting seperti initial level of

income serta proksi untuk modal fisik dan manusia. Model yang dibangun dapat

dinyatakan sebagai berikut:

Yt = F (Kt, HCt, At, SCt) ....................................................................(11)

dimana : Kt, HCt, SCt berturut-turut adalah kapital fisik, modal manusia dan

modal sosial sedangkan At adalah faktor produktivitas pengelolaan ekonomi

pemerintahan yang diukur dari laju PDRB. Ht mencakup tingkat pendidikan dari

angkatan kerja.

Model yang dibangun dalam penelitian ini dikembangkan berdasarkan

pada teori pertumbuhan baru (New Growth Theory) yang dikombinasikan dengan

model Heliwel dan Putnam (2000), Knack dan Keefer (1997) serta Beugeldijk dan

Smulder (2003). Variabel terikat (dependent variable) tidak saja meliputi

indikator pertumbuhan tetapi juga indikator pembangunan ekonomi dan

kemiskinan (IPM dan IKM). Sedikit berbeda dengan model pertumbuhan, maka

model pembangunan ekonomi yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan

atas pertimbangan adanya keterkaitan (sifat simultan) antar modal sosial dan

indikator hasil-hasil pembangunan.

Indikator atau variabel bebas ditentukan dengan berbagai pertimbangan

dari hasil penelitian terdahulu. Putnam (1993) berpendapat bahwa pemerintahan

dengan rasa saling percaya yang lebih baik akan mampu menyediakan jasa-jasa

yang lebih efektif bagi masyarakatnya. Knack dan Keefer (1997) menyatakan

bahwa masyarakat yang saling percaya tidak saja mampu memperoleh insentif

untuk melakukan inovasi dan mengakumulasi modal fisik namun juga modal

manusia. Pendapat Beugeldijk dan Smulder (2003) juga menjadi salah satu

pertimbangan sehingga variabel bebas dalam model penelitian ini meliputi juga

jaringan kerja yang bersifat mengikat (bonding) maupun menyambung (bridging),

net enrollment ratio selain indikator rasa percaya dan norma.

Keberhasilan pembangunan ekonomi tidak hanya mempertimbangkan

ketersediaan faktor fisik (HCt) namun juga faktor non-fisik seperti modal sosial

(SCt) dan keadaan yang berkeadilan (Eqt) yang sangat bergantung pada distribusi

Page 27: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

68

pendapatan penduduknya. Total faktor produktivitas (At) juga seringkali memberi

pengaruh yang nyata terhadap indikator pertumbuhan dan pembangunan. Kondisi

sumber daya alam di Bali relatif homogen di setiap kabupaten sehingga

ketersediaan faktor fisik yang dipertimbangkan hanyalah ketersediaan tenaga

kerja. Secara rinci, spesifikasi model yang digunakan adalah sebagai berikut:

12

13

Y F Eq HC A SCjt jt jt jt jtSD

Eq E PdGKjt jt

HC Hjt

( , , , )........................................................( )( )

( )......................................................................................( )

(

=

=

= 14

15

NERSD NERSMP NERSMA YK jtjt jt jt

SC S Tr Nm Nw Yjt jt jt jt jt

, , , )..............................( )

( , , , )................................................................( )=

dimana :

Yjt(sd) : Output pada sustainable development (IPM, IKM, PDRB, PAD) Eqjt : Indeks Equity diproksi dari gini ratio HCjt : Sumber daya manusia diproksi berdasarkan jumlah tenaga kerja

berkualitas Ajt : Produktivitas pengelolaan pemerintahan diukur berdasarkan total

factor productivity (TFP) PdGkjt : Jumlah KK Miskin NER SDjt : Rasio pendaftaran neto (Net enrollment ratio) tingkat SD NER SMPjt : Rasio pendaftaran neto (Net enrollment ratio) tingkat SMP NER SMAjt : Rasio pendaftaran neto (Net enrollment ratio)tingkat SMA SCjt : Modal sosial yang diproksi dari persentase etnis non-Bali SCbndjt : Bonding social capital diproksi dari jumlah desa adat per-1000

penduduk SCbrdjt : Bridging social capital diproksi dari etnis non-Bali per-1000

penduduk Trjt : Rasa saling percaya diproksi dari jumlah kasus (konflik) per-1000

penduduk Nmjt : Norma saling bantu diproksi dari jumlah organisasi sosial per-

1000 penduduk Nwjt : Jaringan kerja diproksi dari jumlah organisasi profesi per-1000

penduduk PADjt : Pendapatan Asli Daerah Ykjt : PDRB per kapita j : Wilayah ke j t : Tahun ke t

Keadilan adalah keadaan yang bersifat normatif. Dalam konteks

penelitian ini, keadilan diartikan sebagai suatu keadaan dimana tidak terdapat

kesenjangan pendapatan yang tinggi antar golongan. Keadaan ideal yang

Page 28: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

69

diharapkan adalah tercapainya angka gini ratio yang semakin rendah. Keadilan

dipengaruhi oleh jumlah penduduk miskin atau semakin sedikit jumlah penduduk

miskin maka semakin rendah gini ratio.

Sumber daya manusia ditunjukkan oleh jumlah tenaga kerja berkualitas

yang ketersediaannya sangat dipengaruhi oleh besarnya penduduk usia produktif

yang masih bersekolah (net enrollment ratio atau NER). Semakin tinggi NER

menunjukkan bahwa semakin kecil jumlah penduduk usia sekolah yang bekerja.

Hal tersebut berarti pula bahwa tenaga kerja yang tersedia adalah tenaga kerja usia

produktif yang sudah menyelesaikan sekolahnya atau paling tidak menamatkan

sekolah lanjutan atas sehingga dapat dinyatakan bahwa semakin tinggi NER

semakin tinggi kualitas sumber daya manusia di wilayah tersebut.

Modal sosial adalah faktor produksi yang sebelumnya tidak

dipertimbangkan dalam model-model pertumbuhan ekonomi maupun model

pembangunan ekonomi wilayah. Dalam penelitian ini, modal sosial diproksi dari

jumlah etnis lain yang ada dalam suatu komunitas lokal. Adanya perbedaan etnis

akan membangun modal sosial yang mampu menciptakan keuntungan-keuntungan

ekonomi dalam proses produktif (Beugeldijk dan Smulder, 2003) sebaliknya

homogenitas dalam suatu kelompok atau komunitas hanya akan membangun

inward looking yang bersifat negatif misalnya selalu menyalahkan orang lain atau

kelompok lain atas kegagalan atau ketidaknyamanan yang terjadi (Grootaert

(1999); Dwipayana (2005)). Narayan dan Pritchet (1999)1 menyatakan masyarakat

yang heterogenous akan lebih mampu membangun sistem kontrol dan

menghindari perang saudara (civil war).

Indikator keberhasilan pembangunan yang digunakan adalah Indeks

Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) yang

merupakan suatu indeks komposit mencakup tiga bidang mendasar dari proses

pembangunan manusia terdiri atas usia hidup (longetivity), pengetahuan

(knowledge), dan standar hidup layak (decent living). Secara umum, metode

penghitungan IPM yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan

metode yang digunakan the United Nations Development Programme (UNDP)

maupun Badan Pusat Statistik (BPS). 1 Lihat Narayan dan Pritchett (1999) Cents and Sociability: Household Income and Social Capital in Rural Tanzania

Page 29: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

70

Usia hidup diukur melalui indikator angka harapan hidup waktu lahir

(life expectancy birth) yang mencakup data rata-rata anak yang dilahirkan hidup

dan rata-rata anak yang masih hidup per wanita usia 15–49 tahun. Badan Pusat

Statistik (BPS) menggunakan data tiga hingga empat tahun sebelum survei yang

diperoleh dari dua sumber data yaitu Sensus Penduduk, Survei Penduduk antar

Sensus dan Survei Sosial Ekonomi Nasional.

Pengetahuan diukur menggunakan angka melek huruf (literacy rate)

penduduk 15 tahun ke atas dan rata-rata lama sekolah (mean years of schooling).

BPS mengganti rata-rata lama sekolah dengan indikator partisipasi sekolah dasar,

menengah dan tinggi. Angka melek huruf diperoleh dari kemampuan membaca

dan menulis. Komponen terakhir adalah standar hidup layak yang diukur dari

PDRB riil per-kapita yang telah disesuaikan. Angka maksimum dan minimum

masing-masing indikator disesuaikan dengan standar global dari UNDP seperti

tercantum pada Tabel 11.

Tabel 11 Nilai Minimum dan Maksimum Indikator Komponen IPM

Indikator (1)

Nilai Maksimum(2)

Nilai Minimum (3)

Angka Harapan Hidup (thn) 85 25

Angka Melek Huruf (thn) 100 0

Rata-rata lama sekolah (thn) 15 0

Konsumsi per kapita yang disesuaikan (Rp)

1 332 720 900 000

Sumber : UNDP dan BPS, 2003

Analisis Strategi Revitalisasi Modal Sosial:

Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten dan Masyarakat

Memfungsikan kembali modal sosial dalam masyarakat tidak dapat

dilakukan melalui aggregasi modal sosial individu maupun rumah tangga

walaupun keputusan investasi dalam modal sosial ditentukan oleh individu.

Modal sosial di tingkat meso akan terbangun bila kelompok-kelompok dalam

masyarakat saling berhubungan. Ada tiga kelompok pengambil keputusan dalam

membangun modal sosial di tingkat meso yang memiliki hirarki vertikal yaitu

Page 30: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

71

pemerintahan provinsi (pemprov), pemerintahan kabupaten/kota (pemkab) dan

masyarakat (swasta) itu sendiri. Hirarki vertikal seringkali memberi dampak

negatif terhadap modal sosial bila hubungan yang terbangun bersifat substitusi,

namun sebaliknya bila hubungan yang terbangun bersifat komplemen maka

hirarki vertikal akan menguatkan modal sosial tersebut. Hubungan antara

pemerintah dan masyarakat dalam merevitalisasi modal sosial bukanlah hubungan

searah melainkan hubungan dua arah yang saling menguatkan (mutually

reinforcing relations). Sifat komplemen memungkinkan terbangunnya hubungan

yang saling menguntungkan melalui proses difusi pengetahuan dan rasa saling

percaya. Rasa percaya inilah yang menjadi komponen utama penguatan modal

sosial di tingkat meso.

Strategi masing-masing pemain dalam proses memfungsikan kembali

modal sosial dapat berupa sikap altruisme (A atau selalu mementingkan

kesejahteraan pihak lain), resiprokal (R atau mementingkan pihak lain bila pihak

lain juga melakukan hal yang sama), dan selfish (S atau sikap yang selalu

mementingkan diri sendiri). Masing-masing pihak memiliki kewenangan untuk

memutuskan norma sosial yang akan dipilih antara sifat altruism, resiprokal atau

egois (selfish). Interaksi antar pengambil keputusan ini akan mempengaruhi

investasi modal sosial yang bersifat penting bagi perkembangan ekonomi wilayah.

Pay-off masing masing pemain diukur dari biaya investasi yang harus

dikeluarkan untuk membangun modal sosial baik melalui pendidikan, kesehatan,

maupun untuk membangun jaringan kerja. Apabila pemain bersifat altruisme

maka biaya tersebut ditanggung sendiri, sebaliknya jika bersifat selfish maka tidak

mau menanggung biaya sama sekali sedangkan bersifat resiprokal berarti pay-off

ditanggung dan dirasakan bersama. Melalui diagram pohon (tree diagram) dapat

dijelaskan seperti pada Gambar 12.

Analisis peran ini akan menggunakan Extensive Norm-game yang

merupakan perluasan dari tiga pemain dalam prisonner’s dilemma game (Axelrod

1997). Untuk analisis norm-game, asumsi rasionalitas yang merupakan asumsi

standar dalam game theory, diabaikan. Analisis ini termasuk dalam co-operative

games dimana masing-masing pemain mengetahui strategi yang dimiliki pemain

Page 31: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

72

lainnya. Pemilihan strategi oleh masing-masing pemain bergantung pada harapan

dan tingkat rasa saling percaya yang dimilikinya.

Berdasarkan ganjaran optimum yang ingin dicapai maka dapat ditentukan

keseimbangan yang dikenal dengan nama Nash Equilibrium yaitu sekelompok

strategi, satu untuk setiap pelaku (pemain) sedemikian sehingga tidak ada pemain

yang memiliki insentif untuk mengubah strategi secara sepihak. Pemain berada

dalam keseimbangan (equilibrium) jika perubahan strategi yang dilakukan oleh

salah satu dari mereka mengarahkannya pada ganjaran yang lebih buruk

dibandingkan dengan mempertahankan strategi sebelumnya.

Gambar 12 Interaksi antar Stake Holder dalam Pembangunan Modal Sosial

Secara rinci, Extensive Norm-game dalam penelitian ini akan

dikembangkan dengan tiga pelaku dan dua strategi, yaitu bekerjasama

(cooperative) atau tidak bekerjasama (non-cooperative). Bekerjasama

membangun modal sosial di Bali akan memberi keuntungan berupa terciptanya

keadaan yang aman sehingga masyarakat maupun pemerintah dapat melaksanakan

proses produksinya dengan baik. Sebaliknya keputusan untuk tidak bekerjasama

akan melemahkan sistem kontrol dan memungkinkan terjadi keadaan yang tidak

aman untuk melakukan proses produktif.

Selama ini masyarakat, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota telah

melakukan investasi modal sosial namun terkesan tanpa koordinasi sehingga

masyarakat di Kabupaten Badung, Gianyar dan Kota Denpasar memperoleh

Analisis Game antara pemerintah kabupaten dan masyarakat

Analisis Game antara pemerintah kabupaten dan provinsi

Pemprov

Pemprov

A

R

S Pemprov

A Masyarakat

Masyarakat

Masyarakat

R

S

P E M K A B

Page 32: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

73

bantuan yang lebih tinggi dibandingkan kabupaten lainnya. Kesenjangan ini

tentunya akan berpengaruh terhadap kemampuan masyarakat membangun modal

sosialnya. Secara sederhana, interaksi dua pemain (masyarakat dan pemkab)

dalam membangun modal sosial digambarkan pada Tabel 12.

Tabel 12 Ganjaran Pemerintah Kabupaten dan Masyarakat Berdasarkan Alokasi

Bantuan Dana Sosial untuk Masing Masing Desa Adat di Bali, Tahun 2005

Pemerintah Kabupaten Masyarakat

Bekerjasama

Tidak Bekerjasama

Bekerjasama

Jembrana (18979.23 ; 347.870) Karangasem (37000 ; 83100) Badung (56097.07 ; 516.540) Gianyar (34440.31 ; 233.90)

Jembrana (630 ; 347.870) Karangasem (1850 ; 83100) Badung (11900 ; 516.540) Gianyar (3192 ; 233.90)

Tidak Bekerjasama

Jembrana (18979.23 ; 99.045) Karangasem (37000 ; 81) Badung (56097.07 ; 190.059) Gianyar (34440.31 ; 114.157)

Jembrana (630 ; 99.045) Karangasem ( 1850 ; 81) Badung (11900 ; 190.059) Gianyar ( 3192 ; 114.157)

Sumber: Data Primer 2005 dan Data Bali Membangun, 2005 Cetak Biru adalah ganjaran (payoff ) pemerintah kabupaten Masyarakat dan pemerintah kabupaten (pemkab) atau provinsi (pemprov)

masing-masing hanya memiliki dua strategi yaitu bekerjasama (C) atau tidak

bekerjasama (NC) dengan ganjaran tertentu. Apabila pemkab memilih bermain

dengan strategi X2 (NC) maka masyarakat akan berespons dengan strategi Y2

(NC). Hal tersebut akan menyebabkan kedua pemain berada dalam kondisi Nash

Equilibrium dimana masing-masing pemain tidak memiliki insentif untuk

merubah strategi permainannya.

Penilaian ganjaran dapat dilakukan secara endogen dan eksogen.

Ganjaran yang ditentukan secara endogen sangat bergantung pada perilaku

masing-masing pihak, dimana ganjaran satu pihak akan dipengaruhi oleh ganjaran

pihak lawan. Ganjaran (payoff) pada kasus membangun modal sosial ditentukan

secara eksogen berdasarkan pada biaya sosial yang dikeluarkan serta penerimaan

masing-masing pihak. Keputusan masing-masing pihak untuk membangun

kerjasama berarti bersedia menanggung biaya sosial yang diperlukan dalam

Page 33: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

74

membangun interaksi tersebut. Keputusan masing-masing pemain untuk bersikap

altruism akan memberikan tambahan pendapatan, sebaliknya keputusan untuk

tidak bekerjasama (selfish) akan menyebabkan ketiadaan informasi yang simetris

dan timbunya rasa saling mencurigai sehingga menghambat terbangunnya modal

sosial serta berkembangnya konflik sehingga menimbulkan rasa ketidaknyaman

yang akhirnya menekan aktivitas ekonomi wilayah maupun rumah tangga.

Page 34: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

KINERJA PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI DI PROVINSI BALI Provinsi Bali terdiri atas delapan kabupaten dan satu kota, merupakan

salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki luas wilayah relatif kecil yaitu

hanya 0.29 persen dari seluruh luas wilayah Indonesia. Luas wilayah masing-

masing kabupaten dan kota yang ada di Provinsi Bali berturut-turut adalah

Kabupaten Buleleng dengan luas terbesar yaitu 1365.88 km2 atau 24.25 persen

dari luas provinsi, diikuti oleh Jembrana 841.80 km2 (14.94 %); Tabanan 839.30

km2 (14.90%) dan Karangasem 839.54 km2 (14.90%), sedangkan wilayah lainnya

adalah Kabupaten Badung 418.52 km2, Gianyar 368 km2, Klungkung 315 km2,

Bangli 520.81 km2 dan Kota Denpasar 123.98 km2; dengan luas total kelima

wilayah tersebut sebesar 31.01 persen dari luas provinsi.

Sebagai daerah tujuan wisata, Provinsi Bali menghadapi ancaman

berkaitan dengan dampak negatif dari akulturasi budaya yang dibawa oleh

wisatawan luar negeri. Upaya menekan dampak negatif tersebut sesungguhnya

dapat dilakukan sejak awal dengan memetakan terlebih dahulu keadaan sosial

budaya saat ini dan perubahan yang telah terjadi. Pemetaan tersebut diharapkan

dapat menjadi dasar pertimbangan dalam penetapan kebijakan pembangunan dan

memberi arah yang jelas terhadap tujuan pembangunan yang ingin dicapai di masa

yang akan datang. Karakteristik sosial budaya serta norma masyarakat tentunya

tidak terlepas dari pengaruh berbagai faktor seperti letak geografis, topografis

serta sejarah terbangunnya masyarakat tersebut.

Bali Utara dan Bali Selatan dipisahkan oleh pegunungan yang

membentang di tengah-tengah Pulau, memanjang dari barat ke timur.

Berdasarkan perbedaan topografis, Bali dapat dibagi atas wilayah datar (0-2%)

seluas 106 775 hektar, bergelombang (diatas 2-15%) seluas 124051 hektar, curam

(diatas 15-40%) seluas 171932 hektar dan sangat curam (di atas 40%) seluas

160908 hektar (Profile Daerah Bali, 2003).

Letak geografis dan topografis wilayah berkaitan erat dengan mata

pencaharian utama penduduk yang menetap di wilayah tersebut. Sebagian besar

perdesaan dan perkotaan di Bali terletak di dataran dengan topografis datar.

Keberagaman lokasi perdesaan dan perkotaan menyebabkan mata pencaharian

Page 35: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

76

masyarakat menjadi sangat beragam sesuai dengan potensi sosial, ekonomi dan

budaya wilayahnya. Mata pencaharian utama penduduk di Bali adalah pegawai

negeri sipil, petani, penyedia jasa pariwisata, nelayan, pedagang, maupun pekerja

seni.

Meskipun Bali dikenal mancanegara karena kepariwisataannya tetapi

sektor pertanian masih merupakan sektor andalan bagi sebagian besar masyarakat.

Hal ini disebabkan oleh (1) tingginya nilai sosial lahan yang membatasi pemilik

lahan untuk menjual seluruh lahannya; (2) keterikatan dan tanggung jawab yang

tinggi terhadap keberadaan sanggah1 yang berada di desa asal; dan (3) sanksi

moral bagi individu yang menjual lahan warisan. Bagi masyarakat di Bali, lahan

pertanian merupakan warisan turun temurun yang harus dijaga karena memiliki

nilai-nilai religius. Selain itu, tingginya produktivitas lahan menjadi alasan lain

yang menyebabkan masih berperannya sektor pertanian. Keberhasilan

pembangunan pertanian di Bali tidak terlepas dari peran subak serta tersedianya

prasana dan sarana transportasi yang memudahkan proses pemasaran produk

pertanian (Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, 1999).

Sebesar 79.45 persen desa di Provinsi Bali masih menjadikan pertanian

tanaman pangan sebagai sumber mata pencaharian utama dan hanya 9.18 persen

desa bergantung pada aktivitas jasa pariwisata yang terkonsentrasi di Kota

Denpasar dan Kabupaten Badung. Perbedaan mata pencaharian utama masing-

masing desa, cenderung mendorong munculnya ketimpangan pendapatan antar

golongan masyarakat maupun antar wilayah kabupaten/kota sebagai contoh

kesenjangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di berbagai kabupaten (Kabupaten

Badung, Gianyar dan Kota Denpasar dibandingkan dengan Kabupaten Bangli,

Karangasem dan Jembrana) (Gambar 13).

Berdasarkan data Tabel Input-Output Bali tahun 1998, backward effect

sektor pariwisata di Bali memang relatif tinggi terutama kemampuannya

menyerap produk-produk pertanian dan industri makanan minuman, namun di sisi

lain terjadi kebocoran wilayah (regional leakages) yang tinggi pula. Upaya

penyediaan komoditas pendukung kepariwisataan tersebut belum maksimal,

ditunjukkan dari banyaknya produk pertanian yang dihasilkan di luar wilayah

1 Tempat persembahyangan keluarga batih yang beragama Hindu

Page 36: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

77

Provinsi Bali terutama Provinsi Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat ataupun

impor luar negeri (Dinas Perdagangan Provinsi Bali, 2004). Salah satu penyebab

rendahnya penyerapan hasil-hasil pertanian Bali di sektor pariwisata adalah

rendahnya mutu produk dan kurangnya diversifikasi produk pertanian di Bali.

Badung

Bangli

Denpasar

Jembrana

TabananGianyar

Klungkung KarangasemBuleleng0

10203040506070

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00

% Desa/Kota dengan Mata Pencaharian Pertanian

Kon

trib

usi P

AD

(%)

Jembrana Tabanan Badung Gianyar KlungkungBangli Karangasem Buleleng Denpasar

Gambar 13a Kontribusi PAD dan Persentase Perdesaan/Perkotaan dengan Mata Pencaharian Pertanian, Tahun 2004

Jembrana

TabananBadung

GianyarKlungkung

Bangli

Karangasem

Buleleng

Denpasar020

4060

80100

0 5 10 15 20 25 30 35 40

Jumlah Perkotaan per 100 km2 Luas Wilayah

Jum

lah

KK

Mis

kin

per

1000

Pen

dudu

k

Jembrana Tabanan Badung Gianyar KlungkungBangli Karangasem Buleleng Denpasar

Sumber: Statistik Potensi Desa Provinsi Bali, 2003; Bali Membangun 2005

Gambar 13b Banyaknya Perkotaan dan Jumlah Kemiskinan di Bali,

Tahun 2004 Transformasi struktur perekonomian Bali ternyata tidak disertai dengan

transformasi struktur ketenagakerjaan. Oleh karenanya terdapat ketimpangan

struktur ketenagakerjaan. Sektor kepariwisataan tidak mampu menyerap seluruh

tenaga kerja sektor pertanian karena karakteristik tenaga kerja yang dibutuhkan di

sektor kepariwisataan sangat berbeda dengan karakteristik tenaga kerja pertanian.

Page 37: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

78

Norma dan budaya yang berkembang di sektor pertanian sangat terkait dengan

ajaran Agama Hindu sedangkan di sektor pariwisata berkaitan dengan nilai-nilai

global dan relatif kurang menyerap nilai-nilai tradisional sebagai salah satu

keunikan Bali. Hal tersebut menjadi satu faktor penghambat berjalannya proses

transformasi ketenagakerjaan. Akhirnya, pengembangan kawasan wisata di

daerah pertanian mendorong terjadinya pengangguran dan mempercepat proses

pemiskinan bagi kelompok-kelompok tertentu.

Berbeda dengan wilayah kabupaten, Kota Denpasar tidak lagi memiliki

kawasan perdesaan dan seluruh wilayahnya merupakan perkotaan padahal

wilayah kabupaten lain masih didominasi oleh wilayah perdesaan dengan mata

pencaharian utama di sektor pertanian. Masyarakat di Kota Denpasar memiliki

mata pencaharian yang lebih beragam seperti pedagang besar dan eceran, jasa

pariwisata maupun industri pengolahan. Perbedaan mata pencaharian tidak saja

mempengaruhi kondisi ekonomi tetapi juga kehidupan sosial, kehidupan

berorganisasi dan berkelompok dari masing-masing masyarakat di Bali.

Karakteristik Sosial

Karakteristik sosial menekankan pada kehidupan sosial masyarakat yang

mencakup aktivitas masyarakat dalam organisasi sosial kemasyarakatan,

kelompok profesi, kelompok seni dan olah raga yang tumbuh dan berkembang di

Bali. Karakteristik sosial ini berkaitan erat dengan berkembangnya modal sosial

dan berpengaruh pula pada proses pembangunan ekonomi wilayah. Beberapa

organisasi sosial kemasyarakatan yang tumbuh dan berkembang di Bali adalah

desa adat, subak, subak abian serta sekaa (sekehe) kesenian dan olah raga.

Kelompok-kelompok yang tumbuh dan berkembang dalam suatu

masyarakat menjadi wadah untuk berinteraksi bagi anggota masyarakat. Interaksi

yang intensif dan berulang-ulang tersebut dapat menekan terjadinya Prisonner’s

dilemma (dilema tahanan) yaitu keadaan saling mencurigai yang mengarah pada

pengambilan keputusan-keputusan yang merugikan semua pihak. Oleh karena

itu, pembahasan kelompok menjadi penting dalam analisis modal sosial, terutama

dalam kaitannya dengan pengukuran modal sosial masyarakat yang mencakup

keterlibatan masyarakat dalam kelompok tersebut.

Page 38: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

79

Di Bali terdapat perbedaan bentuk dan fungsi antara desa dinas dan desa

pakraman yang kemudian terbagi dalam struktur yang lebih kecil yaitu banjar

dinas dan banjar pakraman. Desa dan banjar dinas berkaitan dengan semua

aktivitas administrasi kependudukan sedangkan desa dan banjar pakraman

berkaitan dengan kegiatan keagamaan. Luasan wilayah desa atau banjar dinas

dapat saja tidak sama dengan desa dan banjar pakraman. Desa dan banjar

pakraman juga seringkali dikenal dengan sebutan desa dan banjar adat.

Desa pakraman memiliki ciri-ciri sebuah desa dan berperan seperti

sepasang suami-istri dengan desa dinas. Desa pakraman terdiri atas satu atau

beberapa banjar pakraman. Pimpinan desa pakraman dikenal dengan nama

bendesa adat dan dipilih oleh krama desa pakraman. Kekuasaan tertinggi berada

pada sangkep (paum, parum)2. Perbedaan mendasar antara desa dinas dan desa

pakraman adalah anggota desa pakraman merupakan penyungsung (anggota) pura

kahyangan tiga yang sama, sedangkan anggota desa dinas tidak memiliki

keterikatan tersebut. Keterikatan dalam desa/banjar pakraman umumnya terjadi

karena garis keturunan patrilineal, walaupun tidak menutup kemungkinan adanya

keanggotaan desa pakraman yang disebabkan oleh tempat domisili (krama

tamiu).

Desa pakraman telah dibangun sejak jaman Bali Kuna, tepatnya sejak

kedatangan Mahayogi Markandya Purana yang diperkirakan terjadi pada abad ke-

8. Kata keraman dalam Prasasti Bwahan tahun 916 Çaka3 diartikan sebagai

kelompok masyarakat yang mendiami suatu wilayah tertentu. Pola kehidupan

masyarakat yang disebut pakraman ini lebih dimantapkan oleh Mpu Kuturan yaitu

seorang rohaniawan yang juga ahli tatanegara. Mpu Kuturan menata kehidupan

masyarakat dalam desa pakraman dan memperkenalkan kelompok-kelompok

yang lebih kecil sesuai dengan profesinya seperti banjar, subak maupun sekaa-

sekaa lainnya. Desa ataupun banjar pakraman berperan dalam membina umat

Hindu terkait dengan aktivitas (upakara-upakara) adat dan keagamaan.

Dalam pemahaman modal sosial, interaksi intensif antar individu dalam

desa/banjar pakraman akan membangun modal sosial mengikat (bonding social

capital) karena desa/banjar pakraman merupakan kelompok yang homogen 2 Rapat anggota desa pakraman 3 Tahun Çaka berbeda 79 tahun dari tahun Masehi.

Page 39: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

80

ditinjau dari nilai dan norma yang dianutnya. Semakin banyak waktu yang

tercurah untuk membangun modal sosial dalam desa adat (bonding social capital)

akan mengurangi kesempatan untuk membangun modal sosial dengan kelompok

lain yaitu modal sosial menyambung (bridging social capital).

Jumlah Desa Dinas dan Desa Pakraman Tahun 2004

Tabanan

Badung

Gianyar

BangliKarangasem

Buleleng

Denpasar Jembrana

Klungkung

050

100150200250300350400

0 20 40 60 80 100 120 140 160Jumlah Desa Dinas

Jum

lah

Des

a Pa

kram

an

Jembrana Tabanan Badung Gianyar Klungkung Bangli Karangasem Buleleng Denpasar

Sumber: Data Bali Membangun, 2005

Gambar 14 Jumlah Desa Dinas dan Desa Pakraman di Bali, Tahun 2004

Organisasi lain yang juga berkembang di Bali, khususnya dalam

masyarakat pertanian adalah subak. Keberadaan subak sangat bergantung pada

ketersediaan lahan pertanian. Subak dibedakan atas subak di lahan sawah dan

tegalan. Organisasi subak yang telah dikenal secara luas adalah subak yang ada di

lahan sawah, sedangkan subak di tegalan (lahan kering) dikenal dengan nama

subak abian, namun kedua organisasi tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu

meningkatkan hasil pertanian.

Nilai-nilai dalam subak telah diakui keefektifannya dalam mengelola

sumber daya air untuk aktivitas pertanian. Anggota subak adalah petani yang

mengolah lahan pertanian dalam satu aliran pengairan. Nilai-nilai bersama

(collectivism) mengikat anggota subak dengan tujuan bersama yaitu memelihara

kelestarian sistem pengairan tersebut. Permasalahan ataupun konflik yang terjadi

antar anggota subak ini diselesaikan sesuai dengan awig-awig maupun sima yang

berlaku. Jumlah organisasi subak terbesar ada di Kabupaten Gianyar (515 subak),

Page 40: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

81

sedangkan Kabupaten Tabanan, yang dikenal sebagai ”lumbung padi” di Bali,

hanya memiliki 278 organisasi subak.

Tingginya jumlah subak dapat mendorong terbangunnya interaksi yang

intensif antar petani sehingga terjadi arus informasi yang lebih merata. Terdapat

kecenderungan bahwa semakin tinggi jumlah subak (per 1000 ha lahan sawah),

maka semakin tinggi tingkat produktivitas lahan sawah, kecuali di wilayah

Kabupaten Buleleng (Bali Utara) yang memiliki tingkat kesuburan lahan sawah

relatif lebih rendah dibandingkan dengan kabupaten lain yang berada di Bali

Selatan.

Jembrana

Tabanan

Badung

Denpasar

Gianyar

Klungkung

Bangli

Karangasem

Buleleng50

51

52

53

54

55

56

57

58

59

60

61

0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 16.00 18.00

Jumlah Subak per 1000 Ha Lahan Sawah

Prod

uktiv

itas

Laha

n Sa

wah

Jembrana Tabanan Badung Denpasar Gianyar Klungkung Bangli Karangasem Buleleng

Sumber: Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, 2005

Gambar 15 Jumlah Subak per 1000 Ha Lahan sawah dan Produktivitas di Kabupaten/Kota di Bali, Tahun 2004

Selain subak, organisasi yang masih aktif di Bali khususnya di perdesaan

adalah sekaa yaitu kelompok orang yang memiliki aktivitas bersama, baik bersifat

temporer maupun permanen, seperti sekaa tari, sekaa gong dan sekaa gaguritan

serta banyak lainnya yang memiliki aktivitas kesenian; sekaa nyamuh, sekaa

semal, sekaa nandur, sekaa nampah yang bersifat sosial produktif berkaitan

dengan aktivitas menjaga kelestarian lingkungan. Aktivitas sekaa di bidang

budaya dan kesenian bersifat formal sehingga memperoleh bantuan dana dari

pemerintah melalui Dinas Kebudayaan sebaliknya dengan sekaa yang bersifat

informal dimana sebagian besar anggota sekaa ini merupakan anggota dadia4.

4 Tempat persembahyangan bersama dalam lingkup keluarga besar.

Page 41: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

82

Jumlah Organisasi per 1000 Penduduk di Bali, 2004

0

1

2

3

4

5

Jembrana Tabanan Badung Gianyar Klungkung Bangli KarangAsem

Buleleng KotaDenpasar

Tipe organisasi di masing-masing Kabupaten/kota

Jum

lah

per 1

000

pend

uduk

Total Organisasi Sosial per 1000 penduduk Jumlah Desa Adat Per 1000 penduduk

Sumber: Data Bali Membangun, 2005

Gambar 16 Jumlah Organisasi Sosial dan Desa Pakraman per 1000 penduduk di Bali, Tahun 2004

Pada umumnya, sekaa yang bersifat formal memperoleh pembinaan dari

pemerintah kabupaten maupun provinsi. Kelompok kesenian paling banyak

berkembang di Kabupaten Gianyar, daerah kesenian dan kebudayaan paling

terkenal di Bali, sedangkan kelompok olah raga berkembang pesat di dua

kabupaten yaitu Tabanan dan Buleleng. Kabupaten Jembrana merupakan wilayah

dengan organisasi seni per 1000 penduduk yang terendah (0.83) sedangkan Kota

Denpasar merupakan wilayah dengan jumlah organisasi kepemudaan (Karang

Taruna) yang paling rendah. Secara umum, kepadatan organisasi di Denpasar

adalah yang terkecil. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh banyak masyarakat

yang berstatus pendatang dari kabupaten maupun provinsi lain yang telah terikat

dengan organisasi di wilayah asalnya. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil

penelitian Knack dan Keefer (1997) di 29 negara-negara Eropa yang menyatakan

bahwa migrasi merupakan faktor yang berpengaruh terhadap modal sosial

terutama kepadatan organisasinya. Modal sosial di wilayah yang didominasi

pendatang (migran) relatif lebih lemah.

Bali tidak terlepas pula dari masalah kesejahteraan sosial masyarakatnya.

Pertumbuhan PDRB yang relatif tinggi ternyata disertai dengan peningkatan

masalah sosial seperti penyalahgunaan narkoba, pekerja seks komersial, tuna

wisma serta kriminalitas. Terbatasnya kemampuan pemerintah untuk

Page 42: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

83

menanggulangi masalah sosial tersebut menyebabkan masalah sosial terus

menerus bertambah dari tahun ke tahun. Selama kurun waktu lima tahun sejak

tahun 1999 hingga 2003, pertambahan jumlah keluarga miskin cukup signifikan

yaitu 147.24 persen sedangkan pertumbuhan penduduk sebesar 10.92 persen dan

pertumbuhan PDRB sebesar 124 persen (Data Bali Membangun, 2004).

Jembrana

TabananBangli

Buleleng

Badung Gianyar

Klungkung

Karangasem

Kota Denpasar0102030405060708090

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

Pengeluaran untuk Jasa Publik (%)

Jum

lah

KK

Mis

kin

per 1

000

Pend

uduk

Jembrana Tabanan Badung Gianyar KlungkungBangli Karang Asem Buleleng Kota Denpasar

Sumber: Bali dalam Angka dan Bali Membangun, 2004

Gambar 17 Persentase Pengeluaran untuk Jasa Publik dan Jumlah KK Miskin per Kabupaten di Bali, Tahun 2004

Kemiskinan adalah fenomena yang terjadi di setiap wilayah. Grootaert

(1999) menyatakan bahwa peluang terjadinya kemiskinan dapat ditekan melalui

modal sosial terutama adanya jaringan kerja yang kuat antar masyarakat.

Terbangunnya jaringan kerja meningkatkan akses seseorang terhadap lembaga-

lembaga keuangan baik formal maupun informal dan juga meningkatkan akses

terhadap fasilitas pendidikan dan kesehatan yang akhirnya memutus rantai

kemiskinan melalui peningkatan kualitas hidup. Bagaimanapun, jaringan kerja

yang efektif akan mampu mengatasi kemiskinan apabila terbangun rasa percaya

dan norma yang kuat.

Collier (1998) menyatakan padatnya penduduk di suatu wilayah akan

meningkatkan interaksi antar mereka sehingga terbangun modal sosial yang kuat.

Sebaliknya, rendahnya interaksi dapat melemahkan fungsi sistem kontrol sosial

masyarakat. Namun kenyataan di Kota Denpasar bertentangan dengan pendapat

Collier. Kota Denpasar memiliki kepadatan penduduk tertinggi di Bali namun

Page 43: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

84

disertai pula oleh tingginya angka kriminalitas per 1000 penduduk yang

menunjukkan lemahnya sistem kontrol. Jumlah tindakan kriminalitas tertinggi

adalah pencurian diikuti dengan penganiayaan termasuk pencurian benda-benda

yang disakralkan oleh umat Hindu. Hal ini mungkin ada kaitannya dengan hasil

penelitian Knack dan Keefer (1997).

Badung

Buleleng

Kota Denpasar

Jembrana TabananGianyar Klungkung

Bangli

Karang Asem0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

4

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5

Organisasi Sosial per 1000 Penduduk

Jum

lah

Kon

flik

per 1

000

Pend

uduk

Jembrana Tabanan Badung Gianyar Klungkung Bangli Karang Asem Buleleng Kota Denpasar

Sumber: Data Bali Membangun, 2005

Gambar 18 Jumlah Konflik dan Organisasi Sosial per 1000 Penduduk di Bali,

Tahun 2004 Indikator lain yang dapat menunjukkan modal sosial di suatu wilayah

adalah kuantitas konflik yang terjadi di wilayah tersebut. Konflik yang

diselesaikan melalui lembaga formal seperti pengadilan menunjukkan bahwa

peran sosial pemimpin masyarakat mulai melemah. Di Bali, konflik tidak hanya

terjadi antar masyarakat namun juga antara masyarakat dengan pemerintah, antar

banjar adat, antar partai politik maupun antar kelompok etnis. Hingga tahun 2007,

ada kecenderungan peningkatan jumlah konflik dan kriminalitas seperti terjadinya

dua kali pemboman tahun 2002 dan 2004 dan konflik antar kelompok agama yang

berbeda bahkan ada konflik antar desa adat yang memuncak sehingga terjadi

pengrusakan rumah pada saat hari raya Nyepi tahun 2005 - 2007.

Sesungguhnya sistem keamanan lingkungan di Bali tidak saja dilakukan

oleh pemerintah tetapi juga dilakukan oleh desa pakraman yang dikenal dengan

istilah pecalang. Keikutsertaan desa pakraman menjaga keamanan di Bali melalui

keberadaan pecalang tersebut diharapkan dapat meningkatkan sistem kontrol

Page 44: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

85

terhadap seluruh aktivitas penduduk. Hubungan antara jumlah desa pakraman dan

jumlah konflik yang terjadi di seluruh kabupaten/kota di Bali Tahun 2004

disajikan pada Gambar 19. Ada kecenderungan bahwa semakin tinggi jumlah

desa pakraman semakin rendah jumlah konflik yang terjadi. Selama ini,

pembentukan desa pakraman memang didasarkan atas keberadaan pura

Khayangan Tiga yang pada umumnya lebih banyak terdapat di kabupaten-

kabupaten yang belum berkembang di bandingkan dengan wilayah yang telah

berkembang.

Jumlah Desa Pakraman dan Jumlah Konflik

JembranaTabananBadung Gianyar

Klungkung

Bangli

Karangasem

Buleleng

Denpasar

0200400600800

100012001400160018002000

0 50 100 150 200 250 300 350 400

Jumlah Desa Pakraman

Jum

lah

Kon

flik

Jembrana Tabanan Badung Gianyar Klungkung Bangli Karangasem Buleleng Denpasar

Gambar 19 Jumlah Desa Pakraman dan Jumlah Konflik di Bali Tahun 2004

Karakteristik Ekonomi

Kinerja perekonomian digambarkan melalui karakteristik ekonomi

wilayah yang telah dicapai hingga tahun 2004, meliputi Pendapatan Asli Daerah,

Dana Perimbangan, Pendapatan Domestik Regional Bruto Belanja Pemerintah

untuk Pelayanan Publik khususnya modal pembangunan. Kinerja pemerintah juga

digambarkan oleh rataan pendapatan penduduk serta persentase pendapatan yang

dapat dinikmati oleh 40 persen penduduk berpendapatan terendah, 40 persen

penduduk pendapatan menengah serta 20 persen penduduk berpendapatan

tertinggi.

Page 45: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

86

Sumber pembiayaan pembangunan Provinsi Bali adalah pendapatan asli

daerah (PAD) yang terdiri atas pajak, retribusi dan pendapatan perusahaan daerah.

Kontribusi PAD provinsi terhadap penerimaan daerah relatif lebih tinggi

dibandingkan dengan kontribusi PAD kabupaten. Kontribusi PAD terhadap

penerimaan kabupaten yang tertinggi terjadi di Kabupaten Badung sedangkan

terendah di Kabupaten Bangli. Hal ini berkaitan erat dengan sumber penerimaan

pajak. Kabupaten Badung, Gianyar dan Kota Denpasar memperoleh penerimaan

dari pajak hotel dan restoran yaitu aktivitas yang sangat berkaitan dengan

perkembangan jasa kepariwisataan. Sebaliknya dengan kabupaten-kabupaten lain

yang lebih mengandalkan sektor primer seperti pertanian, perikanan dan

perkebunan.

Tabel 13 Karakteristik Ekonomi Wilayah Bali, 2004

Kabupaten/Kota Kontribusi PAD (%)

Pengeluaran (000 Rp)

Persentase Pengeluaran Jasa

Publik (%) Jembrana 4.70 237 008 548 31.39

Tabanan 13.60 363 824 562 29.05

Badung 57.90 652 953 580 62.65

Gianyar 16.65 353 748 753 70.75

Klungkung 6.47 199 019 168 81.30

Bangli 4.06 202 700 708 68.32

Karangasem 7.80 282 930 390 76.99

Buleleng 5.64 372 711 068 84.96

Denpasar 26.00 397 450 647 32.51

Bali 69.39 840 372 564 51.70 Sumber: Bali dalam Angka, 2005 Pengeluaran pemerintah yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat

adalah pengeluaran untuk pelayanan publik. Kabupaten Jembrana, Tabanan dan

Kota Denpasar hanya mengalokasikan sejumlah kecil penerimaannya untuk

pelayanan publik dan lainnya untuk biaya pegawai padahal sesungguhnya

diharapkan bahwa belanja pelayanan publik seharusnya dapat lebih ditingkatkan

dari keadaan sekarang. Ketersediaan jasa pelayanan publik yang memadai akan

menjadi salah satu indikator terbangunnya modal sosial yang kuat seperti

dinyatakan Putnam (1995).

Page 46: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

87

Karakteristik Kesejahteraan

Karakteristik kesejahteraan masyarakat diukur dari indikator tingkat

pendapatan dan distribusi pendapatan di masing-masing wilayah penelitian.

Masyarakat di Kabupaten Karangasem memiliki rataan pendapatan terendah

dibandingkan dengan ketiga kabupaten lainnya selama lima tahun terakhir.

Sebaliknya Kabupaten Badung selalu memiliki rataan pendapatan tertinggi tidak

saja dibandingkan dengan ketiga kabupaten yang merupakan wilayah penelitian

tetapi juga di Bali. Tingginya rataan pendapatan masyarakat di Kabupaten

Badung berkaitan dengan produk jasa yang dihasilkan oleh sebagian besar

masyarakat mengingat Kabupaten Badung memang telah terkenal di seluruh

mancanegara sebagai daerah tujuan wisata yang paling diminati di Bali maupun di

Indonesia.

Gini Ratio di Wilayah Penelitian

0

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

0.3

0.35

0.4

1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004Tahun

Gin

i Rat

io

Jembrana Tabanan Badung Denpasar GianyarBangli Klungkung Buleleng Karangasem

Sumber: BPS, 2005

Gambar 20 Gini Ratio Kabupaten/Kota di Bali, Tahun 2005

Seluruh kabupaten di Provinsi Bali memiliki distribusi pendapatan yang

relatif merata. Kabupaten Badung, sebagai kabupaten terkaya dengan rataan

pendapatan penduduk tertinggi ternyata memiliki tingkat pemerataan yang

terendah. Dengan kata lain, 40 persen penduduk berpenghasilan terendah di

Kabupaten Badung menikmati persentase terkecil dari jumlah pendapatan yang

ada. Keadaan tersebut menjadi ironis mengingat Kabupaten Badung memiliki

bawaan sumber daya alam dan sumber daya fisik buatan manusia yang relatif

Page 47: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

88

berlimpah. Adanya kesenjangan yang tinggi antar golongan masyarakat

penghasilan rendah, sedang dan tinggi menunjukkan bahwa telah terjadi

pengelolaan pemerintahan dan pembangunan yang bias pada daerah, kelompok

dan golongan tertentu.

Salah satu faktor yang menyebabkan kesenjangan pendapatan adalah

perbedaan jenis mata pencaharian penduduk. Pendapatan penduduk yang memiliki

mata pencaharian di sektor pertanian relatif lebih rendah dibandingkan dengan

sektor jasa mengingat nilai produk pertanian memang lebih rendah. Selain itu,

sebagian besar petani di Bali hanya mengusahakan tanaman pangan, hortikultura

dan perkebunan secara tradisional. Di sisi lain, keterkaitan pertanian tanaman

pangan dengan pariwisata relatif lemah akibat rendahnya kualitas produk

pertanian yang dihasilkan masyarakat sehingga tidak mampu memenuhi standar

kualitas yang disyaratkan oleh sektor pariwisata.

Karakteristik Spesifik Wilayah Penelitian

Wilayah penelitian dikelompokkan atas: (1) wilayah yang belum

berkembang dan (2) wilayah maju, didasarkan atas karakteristik ekonomi yang

telah dicapai, namun masing-masing kabupaten tetap memiliki karakteristik

spesifik yang berbeda dengan kabupaten lainnya. Karakteristik spesifik tersebut

berkaitan erat dengan keadaan geografis, topografis maupun lokasinya terhadap

pusat pemerintahan

Kabupaten Jembrana

Daerah penelitian di Kabupaten Jembrana meliputi kecamatan Mendoyo

dan Kecamatan Negara. Dua desa di Kecamatan Negara yang dipilih sebagai desa

penelitian dalah Dauh Waru dan Sangkar Agung sedangkan dua desa lainnya di

Kecamatan Mendoyo adalah Yeh Embang dan Yeh Embang Kangin. Secara

geografis, kondisi wilayah penelitian di Kabupaten Jembrana seluruhnya

merupakan dataran rendah, dimana dua desa terletak di daerah pantai sedangkan

dua desa lainnya bukan pantai.

Mata pencaharian utama penduduk Kabupaten Jembrana sebagian besar di sektor

pertanian. Oleh karena itu, organisasi yang dominan di kabupaten ini adalah

organisasi tradisional subak. Jumlah subak di Kecamatan Negara sebanyak 37

Page 48: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

89

dengan jumlah anggota 4608 orang sedangkan di Kecamatan Mendoyo 17 subak

dengan anggota sejumlah 3819. Komoditi yang dihasilkan sangat beragam sesuai

dengan ketersediaan air. Secara umum, petani menanami lahannya sebanyak satu

hingga dua kali setahun kemudian menyelinginya dengan sayur-sayuran atau

palawija. Namun di beberapa tempat di desa Yeh Embang dan Yeh Embang

Kangin hanya menanam padi satu hingga dua kali setahun dan setelah itu

dibiarkan bero.

Tabel 14 Karakteristik Wilayah Penelitian di Kabupaten Jembrana, 2005

Karakteristik

Kecamatan Desa

Kondisi Daerah

Letak Desa (km)

Jumlah penduduk

(org)

Jumlah Rumah Tangga

(KK)

Total area (km2)

jarak dari Ibukota

Kecamatan

Dauh Waru Dataran rendah

Bukan pantai

6920 1752 10.76 0 Negara

Sangkaragung Dataran rendah

Bukan pantai

4227 1058 5.27 5

Yeh Embang Dataran rendah

pantai 6775 1787 35.49 3 Mendoyo

Yeh Embang Kangin

Dataran rendah

pantai 3665 1004 45.79 5

Sumber: Monografi Desa, 2004; Hasil wawancara dengan Bendesa, 2005

Kebijakan pertanian dilakukan pemerintah kabupaten melalui Dinas

Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (Dinas Perkutut). Ada dua kebijakan yang

ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan dan direspons positif oleh petani yaitu

kebijakan penetapan harga dasar dan kebijakan penanaman tanaman alternatif

(beras ketan) yang memiliki nilai jual lebih tinggi. Selain itu, juga diberlakukan

kebijakan bebas biaya pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat di Kabupaten

Jembrana. Bagaimanapun, kebijakan-kebijakan populer yang ditetapkan

pemerintah tersebut ditujukan untuk meningkatkan rasa percaya masyarakat

terhadap para penyelenggara pemerintahan di tingkat kabupaten.

Di daerah penelitian, fasilitas publik yang tersedia untuk masyarakat

perdesaan maupun perkotaan meliputi prasarana dan sarana transportasi yang

memadai hingga seluruh desa dapat dicapai dengan moda transportasi mobil dan

motor, prasarana dan sarana kesehatan seperti puskesmas terdapat di Dauh Waru

sedangkan puskesmas pembantu terdapat di Sangkar Agung dan Yeh Embang.

Page 49: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

90

Kantor pos terdapat di Dauh Waru, penerangan dengan listrik sudah tersedia di

seluruh desa, sedangkan media informasi (radio, televisi, surat kabar) dan

telekomunikasi juga telah tersedia di seluruh daerah penelitian.

Partisipasi masyarakat dalam setiap aktivitas bersama masih tinggi karena

takut menanggung sanksi sosial dan sanksi adat yang dikenakan apabila tidak

berpartisipasi. Aktivitas bersama yang rutin dilakukan adalah ayahan yaitu

kegiatan untuk menjaga kelestarian saluran irigasi dan ketersediaan air pertanian.

Selain itu, gotong royong untuk menjaga kebersihan lingkungan juga rutin

diadakan, sedangkan partisipasi terhadap keluarga yang mengalami musibah

kematian dilakukan melalui peturunan5 berupa sumbangan beras, kelapa dan di

beberapa tempat berupa upakara untuk pembakaran mayat.

Kabupaten Badung Kabupaten Badung adalah kabupaten dengan PAD dan PDRB tertinggi di

Bali. Berbeda dengan kabupaten lainnya, tiga wilayah kecamatan dipilih untuk

menjadi sampel karena karakteristik geografis, topografis, demografis dan sosial

ekonomi Kabupaten Badung sangat bervariasi yaitu Kecamatan Kuta Selatan,

Kuta dan Petang. Dua kecamatan pertama merupakan dataran rendah yang

terletak di daerah pantai sedangkan kecamatan terakhir merupakan dataran tinggi

dan terletak di daerah pegunungan. Karakteristik geografis dan topografis

kecamatan yang berada di daerah pantai memang relatif sama namun mata

pencaharian utama masyarakat di Kecamatan Kuta adalah jasa pariwisata

sedangkan masyarakat di Kecamatan Kuta Selatan selain di sektor jasa juga

sebagai nelayan.

Berdasarkan data SUSENAS tahun 2002 dan 2003, jumlah penduduk yang

memiliki lapangan usaha utama pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan dan

peternakan meningkat 8.70 persen, sedangkan lapangan usaha lain menunjukkan

penurunan, kecuali keuangan, asuransi, usaha persewaan bangunan. Tingkat

partisipasi angkatan kerja (TPAK) juga mengalami penurunan dari 66.31 persen

menjadi 64.67 persen. Hal ini berkaitan dengan terjadinya tragedi bom pertama

yang sempat melumpuhkan perekonomian Bali pada Oktober 2002. Penurunan

5 Peturunan adalah sumbangan wajib bagi setiap rumah tangga di Bali

Page 50: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

91

TPAK diikuti oleh meningkatnya jumlah perkara kejahatan ataupun pelanggaran

yang dilaporkan pada tahun 2003 sebesar 131.97 persen dibandingkan tahun 2002.

Di antara ketiga kecamatan sampel, Kecamatan Kuta Selatan memiliki

wilayah terluas dengan jumlah penduduk terpadat. Desa dan kelurahan yang

menjadi sampel ditentukan sesuai dengan kriteria lokasi dari ibukota kabupaten

dan kecamatan, yaitu Kelurahan Jimbaran (Kuta Selatan), Legian (Kuta) serta

Desa Pelaga (Petang). Seperti halnya kepadatan di tingkat kecamatan, kepadatan

penduduk di desa/Kelurahan juga tertinggi di Kelurahan Jimbaran dibandingkan

dengan Legian dan Pelaga.

Tabel 15 Karakteristik Wilayah Penelitian di Kabupaten Badung, 2005

Karakteristik

Kecamatan Desa/Kelurahan

Kondisi Daerah

Letak Desa (km)

Jumlah penduduk

(Org)

Jumlah Rumah Tangga

(KK)

Total area (km2)

jarak dari Ibukota

Kabupaten

Kuta Legian Dataran rendah

pantai 3329 766 3.05 9.6

Kuta Selatan

Jimbaran Dataran rendah

pantai 19268 3791 20.5 18.3

Petang Pelaga Dataran Tinggi

Bukan pantai

5083 1061 39.25 30

Sumber: Monografi Desa, 2004 ; Hasil wawancara dengan Bendesa, 2005

Seluruh wilayah penelitian dapat dijangkau karena memiliki sarana

transportasi yang memadai untuk moda transportasi motor dan mobil. Kondisi

jalan dalam keadaan baik dengan fasilitas penerangan listrik di semua desa.

Fasilitas telekomunikasi dan media informasi seperti telepon, surat kabar, radio

serta televisi tersedia bagi masyarakat. Fasilitas kesehatan seperti puskesmas

telah terbangun di setiap desa/kelurahan.

Kelembagaan tradisional6 yang bertujuan untuk saling tolong menolong

masih terjaga dengan baik. Kegiatan bersama (collective action) wajib diikuti

oleh semua kepala keluarga. Kompensasi ketidakhadiran dikenakan dalam bentuk

6 Kelembagaan tradisional yang masih terjaga seperti sekaa resik, gotong royong dan paktu. Sekaa resik adalah kelompok untuk membersihkan lingkungan di pura atau tempat-tempat persembahyangan sedangkan gotong royong adalah aktivitas bersama yang dilakukan masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan di tempat umum atau saat melakukan aktivitas pembangunan sarana publik. Paktus adalah aktivtas untuk saling membantu pada saat salah seorang anggota masyarakat mengalami musibah kematian.

Page 51: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

92

denda uang. Kelembagaan modern juga berkembang pesat seperti lembaga

keuangan desa yang dikenal dengan Lembaga Perkreditan Desa (LPD).

Perkembangan yang pesat terutama terjadi pada pemilikan sisi aset organisasi.

Jumlah LPD di Kecamatan Kuta Selatan, Kuta dan Petang berturut-turut masing-

masing 9 (sembilan), 6 (enam) dan 15 (lima belas) unit, dengan modal hampir

seratus kali lebih besar dibandingkan LPD di kabupaten lain. Hal ini disebabkan

oleh modal awal yang lebih besar dan kinerja unit simpan pinjam yang lebih

efisien. Secara umum, kondisi sosial ekonomi Kelurahan Jimbaran merupakan

yang terbaik dibandingkan dengan wilayah penelitian lainnya.

Kabupaten Gianyar

Kabupaten Gianyar memiliki jumlah penduduk 375631 jiwa, terdiri atas

188499 laki-laki dan 187132 perempuan, dengan jumlah penduduk laki-laki dan

perempuan yang berimbang di setiap desa/kelurahan yang dipertegas dengan

angka sex ratio berkisar antara 95.50 hingga 107.60 pada tahun 2003. Sebaran

penduduk antar desa/kelurahan dan kecamatan mengalami ketimpangan dengan

kecamatan terpadat adalah Kecamatan Gianyar (1427 jiwa per Km2) sedangkan

Kecamatan Payangan hanya 460 jiwa per Km2.

Sama halnya dengan kabupaten lainnya, wilayah penelitian di Kabupaten

Gianyar dapat dijangkau dengan moda transportasi mobil dan motor karena

kondisi jalan dalam keadaan sedang hingga baik. Sarana telekomunikasi tersedia

di semua wilayah penelitian walaupun terkonsentrasi di Kelurahan Gianyar.

Demikian pula dengan fasilitas listrik, radio, televisi dan surat kabar. Fasilitas

kesehatan tersedia di puskesmas maupun puskesmas pembantu untuk seluruh

masyarakat. Fasilitas pelayanan pos terdapat di seluruh kecamatan namun di

Kecamatan Payangan hanya tersedia 1 kantor pos pembantu berbeda dengan

Kecamatan Ubud, Sukawati dan Gianyar.

Kelembagaan gotong royong (bentuk collective action) masih terpelihara

terutama untuk menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal, kantor maupun

lokasi persembahyangan bersama. Norma saling bantu tetap terbangun dalam

ikatan banjar maupun banjar adat terutama terutama saat adanya kematian serta

Page 52: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

93

pengabenan seperti ngejot7, arisan, paktus8 dimana masing-masing anggota

(krama) mengeluarkan beras, kelapa, gula serta uang sesuai dengan kesepakatan

mereka. Besaran yang disepakati oleh masing-masing desa ataupun banjar

berbeda-beda disesuaikan dengan keadaan ekonomi anggotanya. Sekaa dalam

bidang kesenian berkembang pesat demikian pula sekaa resik, subak dan subak

abian.

Tabel 16 Karakteristik Wilayah Penelitian di Kabupaten Gianyar, 2005

Karakteristik

Kecamatan Desa

Kondisi Daerah

Letak Desa (km)

Jumlah penduduk

(Org)

Jumlah Rumah Tangga

(KK)

Total area (km2)

jarak dari Ibukota

Kecamatan

Gianyar Gianyar Dataran rendah

pantai 9929 2339 2.07 0

Petak kaja

Dataran Tinggi

Bukan pantai

5183 790 3.25 10

Payangan Melinggih Kelod

Dataran rendah

Bukan pantai

2708 1008 4.02 2.5

Buahan kaja

Dataran Tinggi

Bukan pantai

3776 865 10.75 7

Sumber: Hasil Wawancara dengan Bendesa/Lurah, 2005

Seperti halnya di Kabupaten Badung, sektor perdagangan, hotel dan

restoran memberi kontribusi terbesar terhadap PDRB Kabupaten Gianyar. PDRB

per kapita di Kecamatan Payangan (Rp 6685439.05) ternyata lebih besar

dibandingkan dengan Kecamatan Gianyar (Rp 5827791.25). Selain itu,

Kecamatan Payangan memiliki pertumbuhan PDRB tertinggi dibandingkan

kecamatan lainnya. Lapangan usaha penduduk terkonsentrasi pada industri

pengolahan makanan dan minuman (33.22 persen) diikuti dengan pertanian,

kehutanan, perkebunan, perikanan serta perdagangan besar, eceran dan rumah

makan.

Permodalan masyarakat dibantu oleh lembaga-lembaga keuangan formal

dan non-formal. Salah satu kembaga keuangan formal yang dimiliki oleh desa

adalah Lembaga Perkreditan Desa (LPD) yang terdapat hampir di setiap desa

dengan sumber dana dari APBD pemerintah kabupaten. Jumlah LPD di

Kecamatan Gianyar 39 unit sedangkan di Payangan 40 unit. Selain LPD, 7 Menyampaikan makanan berupa nasi, beragam jajanan, buah dan lauk 8 iuran beras, kelapa dan uang saat ada kematian

Page 53: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

94

pendanaan masyarakat juga difasilitasi oleh KUD, Bank Pembangunan Daerah,

Bank Rakyat Indonesia dan lembaga perbankan swasta lainnya.

Jumlah kriminalitas yang dilaporkan terbanyak terjadi di Kecamatan

Gianyar. Sebagai ibukota kabupaten, Kecamatan Gianyar semakin rentan

terhadap tindak kriminalitas terutama penganiayaan, pencurian dan penggelapan.

Jumlah keluarga prasejahtera di Kecamatan Gianyar lebih besar dibandingkan

Kecamatan Payangan walaupun bukan jumlah tertinggi. Secara umum,

ketersediaan fasilitas pelayanan publik terlengkap terdapat di Kecamatan Gianyar

dan sebaliknya terdapat di Kecamatan Payangan.

Kabupaten Karangasem Kabupaten Karangasem adalah Kabupaten di ujung timur Pulau Bali.

Kondisi ekonomi wilayah memiliki kesamaan dengan Kabupaten Jembrana yang

didominasi oleh sektor pertanian. Sebagian besar penduduk memiliki pekerjaan

utama di sektor pertanian sehingga kontribusi pendapatan terbesar berasal dari

sekot pertanian. Berbeda dengan kabupaten lain, jumlah penduduk yang memiliki

mata pencaharian di sektor pertanian berkurang 31.18 persen pada tahun 2003,

sedangkan di sektor industri dan perdagangan naik masing masing sebesar 8.63

persen dan 10.75 persen. Fakta tersebut menunjukkan adanya transformasi

ketenagakerjaan dari sektor primer ke sektor sekunder (industri) dan tersier (jasa

perdagangan).

Tabel 17 Karakteristik Wilayah Penelitian di Kabupaten Karangasem, 2005

Karakteristik

Kecamatan Desa

Kondisi Daerah

Letak Desa (km)

Jumlah penduduk

(Org)

Jumlah Rumah Tangga

(KK)

Total area (km2)

jarak dari Ibukota

Kecamatan

Manggis Manggis Dataran rendah

pantai 5911 1187 9.85 0

Nyuh Tebel

Dataran rendah

pantai 6416 1502 4.65 7

Bebandem Bebandem Dataran tinggi

Bukan pantai

8110 1933 15 0

Sibetan Dataran Tinggi

Bukan pantai

8269 1838 11.25 3

Sumber: Hasil Wawancara dengan Bendesa, 2005

Page 54: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

95

Sebagai kabupaten termiskin di Bali, Kabupaten Karangasem memang

memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi terendah yang diikuti pula oleh tingkat

pembangunan ekonomi9 yang rendah. Rendahnya indikator kesejahteraan tersebut

ternyata tidak disertai dengan buruknya indikator distribusi pendapatan yang

ditunjukkan oleh indikator gini ratio yang rendah, artinya tidak terdapat

kesenjangan pendapatan yang lebar. Sayangnya, pemerataan tersebut terjadi pada

standar hidup yang rendah atau dengan pernyataan lain, di Kabupaten

Karangasem terjadi pemerataan keadaan kemiskinan.

Bantuan pemerintah kabupaten untuk pembangunan masing-masing desa

pakraman sebesar 7.5 juta rupiah sedangkan bantuan pemerintah provinsi 25 juta

rupiah per tahun. Bantuan tersebut sebagian besar digunakan untuk membiayai

upakara10 dalam persembahyangan bersama yang dilakukan setiap 7 bulan sekali

ataupun setahun sekali. Selain itu, bantuan tersebut juga dialokasikan untuk

pembangunan fisik. Sayangnya, hanya sebagian kecil yang digunakan untuk

investasi di bidang sosial seperti membangun rasa saling percaya antar anggota,

membangun jaringan kerja antar desa adat dalam suatu wilayah maupun

melakukan revisi terhadap norma-norma yang kurang relevan dalam kehidupan

masa kini ataupun antisipasi terhadap kehidupan di masa yang akan datang.

Aktivitas kelompok masih terbina melalui kegiatan bulan bakti oleh banjar dinas,

kematian dan pengabenan oleh banjar adat. Partisipasi masyarakat masih tetap

tinggi walaupun sanksi uang (bakatan) yang dikenakan sangat kecil hanya sebesar

Rp 500 ,- per sekali ketidakhadiran.

Tingginya partisipasi masyarakat di Bali memang diakui oleh banyak

pihak berkaitan dengan sanksi sosialnya. Hal ini juga terjadi di Kabupaten

Karangasem. Masyarakat merasa sangat ketakutan apabila dikenai sanksi sosial

seperti kesepekang, dikucilkan oleh masyarakat atau diperlakukan tidak wajar

ketika melaksanakan upacara adat dan keagamaan.

Prasarana dan sarana transportasi di Kabupaten Karangasem dalam kondisi

sedang hingga baik sehingga dapat dilalui oleh mobil dan motor ke seluruh desa.

Bebandem adalah desa dengan fasilitas publik terlengkap dimana tersedia sebuah

9Indikator pembangunan ekonomi yang rendah ditunjukkan oleh IPM rendah, IKM tinggi, tingkat kemiskinan tinggi serta pendapatan per-kapita rendah. 10 Alat-alat yang diperlukan dalam upacara adat

Page 55: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

96

puskesmas, satu kantor pos serta pelanggan media cetak dan listrik terbanyak. Di

Desa Manggis dan Nyuh Tebel terdapat puskesmas pembantu sedangkan di

Sibetan belum terbangun. Di kedua kecamatan tidak terdapat lahan sawah yang

beririgasi teknis dan sebagian besar lahan kering merupakan perkebunan, kecuali

di Bebandem terdapat lahan hutan negara seluas 1 055 000 Ha.

Jumlah kepala keluarga (KK) yang tergolong Pra KS dan KS I masing-

masing sebesar 14 047 KK dan 16 432 KK. Jumlah ini lebih terkonsentrasi di

Kecamatan Karangasem, Abang dan Bebandem sedangkan di Kecamatan

Manggis relatif rendah. Selama ini, bantuan untuk KK miskin (Pra KS maupun

KS I) berupa beras 20 kg serta kemudahan memperoleh jaminan kesehatan dengan

menggunakan kartu askes.

Wilayah Belum berkembang Dua kabupaten yaitu Kabupaten Jembrana dan Karangasem termasuk

wilayah belum berkembang. Kriteria utama yang digunakan dalam

pengelompokan tersebut adalah pendapatan asli daerah (PAD) dan pendapatan

domestik regional bruto (PDRB). Karakteristik lain adalah kontribusi sektor

pertanian dalam pendapatan regional serta jumlah masyarakat yang bekerja di

sektor pertanian.

Berdasarkan hasil penelitian karakteristik responden di wilayah belum

berkembang menunjukkan bahwa telah tersedia sarana komunikasi seperti kantor

pos yang dapat dicapai rata-rata dalam jangka waktu 15 - 30 menit perjalanan

dari tempat tinggal mereka. Hal tersebut menunjukkan bahwa sarana untuk

berkomunikasi melalui media surat hanya tersedia di tempat-tempat tertentu saja.

Sarana komunikasi lain seperti telepon tersedia pada jarak yang relatif lebih dekat,

dapat dicapai dalam waktu kurang dari 15 menit.

Rataan frekwensi responden membaca koran hanya sekali dalam

seminggu. Frekwensi responden menonton televisi lebih tinggi dibandingkan

dengan memperoleh informasi dari radio. Mereka menonton televisi setiap hari

dan mendengar radio hanya beberapa kali dalam seminggu. Sebagian besar

responden menyatakan bahwa tidak terdapat dinamika yang berarti dalam

komunikasi, dengan kata lain komunikasi tetap sama dibandingkan dengan

Page 56: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

97

keadaan lima tahun sebelumnya, sedangkan sarana transportasi selalu dalam

keadaan baik sepanjang waktu.

Wilayah Maju Dua kabupaten lainnya yaitu Kabupaten Badung dan Gianyar temasuk

dalam kelompok wilayah maju. Kedua wilayah tersebut memiliki pendapatan asli

daerah (PAD) dan pendapatan regional domestik bruto (PDRB) yang tinggi.

Tingginya pendapatan tersebut disebabkan oleh tingginya nilai produk yang

dihasilkan yaitu produk jasa pariwisata. Jumlah sarana akomodasi bagi wisatawan

relatif lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lain di Bali.

Hasil penelitian mengenai karakteristik responden di wilayah maju

menunjukkan bahwa responden rata-rata harus menempuh 15–30 menit perjalanan

untuk mencapai kantor pos. Hal tersebut menunjukkan bahwa pelayanan publik

untuk aktivitas membangun jaringan kerja dan komunikasi melalui surat sama

dengan di wilayah belum berkembang yaitu hanya tersedia di tempat tertentu saja.

Sarana komunikasi melalui telepon dapat dicapai dalam jarak kurang dari 15

menit. Sarana informasi melalui media cetak tersedia di setiap desa dengan

jumlah terbatas dan frekwensi responden membacanya relatif tinggi yaitu

beberapa kali dalam seminggu. Frekwensi responden menonton televisi lebih

tinggi dibandingkan dengan mendengarkan radio maupun membaca koran.

Dinamika komunikasi menuju kekeadaan yang lebih baik dan sarana prasarana

transportasi baik sepanjang waktu.

Uji beda rataan dari dua sampel yang bebas menunjukkan bahwa terdapat

perbedaan yang nyata antara karakteristik responden di wilayah belum

berkembang dan wilayah maju kecuali pada ketersediaan kantor pos. Uji

signifikansi dilakukan pada taraf kepercayaan 95 persen. Responden di wilayah

maju memiliki frekwensi yang lebih tinggi dalam membaca koran, mendengarkan

radio maupun menonton televisi. Ketersediaan sarana telekomunikasi lebih baik

dan interaksi ke daerah lainpun lebih tinggi. Hasil analisis deskriptif tersebut

menunjukkan bahwa akses dan dinamika masyarakat di wilayah maju lebih baik

dibandingkan dengan wilayah belum berkembang.

Page 57: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

98

Tingginya mobilitas responden di wilayah maju merupakan akibat dari: (1)

jenis mata pencaharian. Pekerjaan di sektor non-pertanian membutuhkan interaksi

yang lebih intensif dengan daerah lainnya yang mengharuskan responden untuk

memiliki mobilitas yang tinggi; (2) migrasi. Responden di wilayah maju sebagian

besar merupakan penduduk pendatang yang berasal dari wilayah yang belum

berkembang. Kewajiban terhadap organisasi adat dan keluarga membuat mereka

harus tetap menjaga interaksi dengan daerah asal.

Hasil analisis deskriptif mengenai karakteristik masyarakat di wilayah

maju dan belum berkembang menunjukkan pula bahwa proses pembangunan di

Bali mengalami bias pada daerah tertentu yaitu pembangunan yang cenderung

lebih mengutamakan daerah berbasis pariwisata dibandingkan dengan daerah

pertanian. Keadaan tersebut sangat memprihatinkan mengingat Bali termasuk

daerah subur dan terkenal karena kekuatan budaya di bidang pertanian.

Tabel 18 Independent Samples Test Sarana Informasi dan Komunikasi

di Wilayah Belum Berkembang dan Wilayah Maju, 2005

df Sig. (2-tailed) Perbedaan Rataan

Jarak ke pos 347 .107 0.11

Frekwensi baca koran 344 .000 1.15

Frekwensi dengar radio 348 .001 0.55

Frekwensi nonton tv 348 .000 0.13

Sarana komunikasi 348 .000 0.65

Dinamika Komunikasi 346 .039 0.14

Dinamika Sarana transportasi

346 .000 0.24

Interaksi ke daerah lain 344 .000 -0.51

Sumber: Data Primer, 2005 Masyarakat di daerah maju, menyatakan bahwa komunikasi dalam lima

tahun terakhir tetap sama sedangkan masyarakat di wilayah belum berkembang

semakin baik. Di daerah maju, kondisi prasarana transportasi selama lima tahun

terakhir tetap sama, selalu dalam keadaan baik sedangkan di wilayah belum

berkembang tetap buruk, hanya dapat dilalui sewaktu-waktu. Hal tersebut

menunjukkan bahwa pembangunan di wilayah belum berkembang mengalami

kelambatan dibandingkan dengan pembangunan wilayah maju di Bali.

Page 58: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

KARAKTERISTIK MODAL SOSIAL DI EMPAT KABUPATEN DI BALI: Rasa Percaya (Trust), Jaringan Kerja (Network) dan Norma (Norm)

Tingginya stok modal sosial masyarakat dicirikan oleh adanya rasa

percaya, tingginya kepadatan jaringan kerja, ikatan masyarakat yang kuat,

pertukaran informasi, tingginya frekwensi kegiatan bersama, serta kepatuhan

terhadap norma bersama untuk mewujudkan harapan bersama dan menghindari

sifat oportunistik individu. Modal sosial mendorong terjadinya suatu proses

pembangunan yang beretika dan bermoral yang bertujuan mencapai

keseimbangan melalui distribusi hasil-hasil pembangunan yang merata dan

berkelanjutan. Selain indikator tersebut, tingginya partisipasi masyarakat pada

setiap kegiatan bersama, tingkat toleransi, tingkat heterogenitas etnis dan tingkat

kriminalitas juga merupakan indikator modal sosial dalam suatu masyarakat

(Stone, 2001).

Saat ini di Indonesia, terdapat indikasi terjadinya pelemahan modal sosial

masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya peningkatan intensitas dan frekwensi

kerusuhan antar warga masyarakat dalam satu wilayah baik antar etnis, suku,

agama maupun antara masyarakat dan aparat pemerintahan, rendahnya partisipasi

masyarakat terutama dalam pemeliharaan hasil-hasil pembangunan dan

munculnya penolakan-penolakan terhadap kebijakan pemerintah. Dharmawan

(2002) menyatakan bahwa reformasi di Indonesia memang diikuti oleh

pemiskinan rasa percaya yang mengganggu stabilitas ekonomi.

Membangun rasa percaya membutuhkan biaya dan waktu namun

menghancurkannya dapat dilakukan dalam waktu yang singkat. Paling tidak ada

dua cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan rasa percaya, yaitu: (1)

membangun interaksi intensif yang berulang-ulang; dan (2) memahami dengan

baik wakil–wakil (representasi) populasi di suatu wilayah, insentif yang mereka

terima serta latar belakang populasi tersebut. Sebaliknya, melemahnya rasa

percaya masyarakat akan terjadi apabila kemauan baik untuk melakukan kegiatan

bersama semakin menipis dan masyarakat memiliki kecenderungan bertindak

asosial.

Berita media cetak di Bali (Bali Post, Nusa dan DenPost) edisi April

hingga Oktober 2006, menunjukkan berbagai indikator melemahnya modal sosial.

Page 59: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

100

Salah satunya adalah reaksi penolakan terhadap berbagai kebijakan pemerintah di

Kabupaten Jembrana, Gianyar, Bangli dan Karangasem hingga tingkat desa.

Indikasi melemahnya rasa percaya antar kelompok juga ditunjukkan melalui

tindakan pengeroyokan masyarakat terhadap anggota satuan polisi pamong praja,

melemahnya koalisi antar partai, perusakan rumah warga oleh kelompok lainya,

bentrokan antar warga masyarakat, perusakan sarana-sarana pelayanan publik.

Melemahnya rasa percaya yang diikuti pula oleh melemahnya jaringan

kerja ditunjukkan melalui penurunan partisipasi dalam aktivitas bersama,

kesediaan saling tolong menolong serta berkurangnya peran pimpinan kelompok

dan teman, terutama dalam penyebaran informasi (Majalah Hindu Raditya, 1988).

Selain itu, aturan-aturan yang rigid (kaku) dalam desa pakraman tidak mampu lagi

menekan terjadinya pelanggaran dan pembangkangan terhadap aturan adat.

Ketidaktaatan masyarakat terhadap aturan adat dan agama serta melemahnya

kontrol masyarakat terhadap orang lain ditunjukkan oleh meningkatnya kasus

bunuh diri, pencurian pratima (benda-benda keagamaan yang disakralkan) serta

konflik antar warna (kasta) yang disertai dengan pelanggaran hak pada hari raya

Nyepi, pada saat umat seharusnya mampu menekan hawa nafsunya (Bali Post,

Maret 2007 mengenai konflik di Desa Tusan, Klungkung). Konflik-konflik antar

kelompok terus terjadi pada empat tahun terakhir ini.

Secara keseluruhan, bab ini mencoba untuk menggambarkan setiap

komponen modal sosial di Bali secara spesifik. Pembahasan dilakukan terhadap:

(1) modal sosial individu yang bertempat tinggal di perdesaan dan perkotaan,

pengelompokkan yang didasarkan pada jarak tempat tinggal ke ibu kota

kabupaten dan kecamatan, serta ketersediaan fasilitas pelayanan publik; dan (2)

modal sosial individu yang berada di wilayah belum berkembang dan wilayah

maju. Pembahasan mengenai pembentukan modal sosial tidak terlepas dari

pemahaman mengenai struktur sosial masyarakat. Struktur sosial pada tulisan ini

merujuk pada organisasi sosial dan hubungan sosial antar aktor dalam organisasi

tersebut. Bourdieu (1986) menyatakan bahwa terdapat keeratan hubungan antara

tindakan sosial seseorang dengan hasil ekonomi yang diperoleh. Pemikiran

tersebut menjadi dasar pemaparan struktur sosial di Bali sebelum membahas

mengenai komponen modal sosial.

Page 60: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

101

Struktur Sosial dalam Pembentukan Modal Sosial di Bali Struktur sosial masyarakat di Bali sangat beragam dan dapat dibedakan

atas struktur sosial tradisional dan modern. Struktur sosial tradisional berkaitan

erat dengan perkembangan Agama Hindu di Bali dan aktivitas masyarakat

pertanian di perdesaan sedangkan struktur sosial modern terkait dengan jenis

pekerjaan dan hobi (kesenangan) yang berkembang pesat di perkotaan.

Berdasarkan proses pembentukannya, struktur sosial tradisional dikelompokkan

sebagai struktur sosial objektif yang diterima begitu saja dari satu generasi

sebelumnya melalui sosialisasi. Struktur sosial modern seringkali muncul dari

interaksi sosial antar subyek karena adanya makna (meaning) bersama, maupun

karena penghargaan sosial atau penghargaan ekonomi yang diperoleh (Lawang,

2005).

Struktur sosial tradisional yang ada saat ini sesungguhnya dibangun oleh

Mpu Kuturan saat pertama kali datang ke Bali dengan tujuan untuk menyebarkan

Agama Hindu1. Oleh karena itu, keanggotaannya relatif lebih homogen terutama

ditinjau dari sisi agama yang dianut anggotanya. Struktur sosial tradisional

dibangun berdasarkan sistem kasta (Catur Warga) dan tingkatan hidup manusia

(Catur Asrama). Sistem kasta mengelompokkan masyarakat berdasarkan

statusnya seperti pemuka agama (brahmana), pelaksana pemerintahan (ksatria),

pedagang (waisya) dan kelompok buruh (sudera). Saat ini, struktur sosial tersebut

semakin samar karena adanya penyimpangan pemahaman mengenai kasta yang

lebih banyak diartikan sebagai klan. Struktur sosial di Bali juga dibedakan atas

kelompok usia, yaitu (1) Brahmacarya (usia sekolah), (2) Grahasta (usia kerja),

(3) Wanaprasta (usia menyepi untuk mendekatkan diri dengan Tuhan), dan (4)

Moksa (saat jiwa (atman) bersatu dengan pencipta-Nya). Setiap individu akan

melewati setiap tahapan tersebut sehingga organisasi sosial yang diikutinya pun

disesuaikan dengan kelompok usianya.

Kentalnya pengaruh agama dalam struktur sosial tradisional memang

menyebabkan hubungan sosial kemasyarakatan yang relatif kaku (rigid) sehingga

1 Mpu Kuturan melakukan perjalanan suci ke Bali bersama beberapa pengikutnya. Sepanjang perjalanan tersebut terjadi interaksi dengan penduduk asli sehingga terjadi perkawinan yang kemudian berkembang menjadi berbagai kelompok masyarakat yang membangun struktur sosial di Bali (Ardhana, 1994; Couteau, 1995).

Page 61: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

102

seringkali dinyatakan sebagai struktur sosial yang kurang mampu menyesuaikan

dengan tuntutan zaman. Kekakuan tersebut mengakibatkan terjadinya benturan-

benturan antara kebutuhan sosial dan kebutuhan ekonomi. Sesungguhnya

dikotomi tersebut tidak perlu terjadi karena dalam Agama Hindu sendiri sudah

diatur melalui ajaran Catur Asrama, dimana setiap manusia melalui beberapa

tingkatan dalam proses kehidupannya, sehingga tujuan yang ingin dicapai pada

masing-masing tahapan tidak berbenturan.

Berdasarkan luasan cakupannya, struktur sosial di Bali dibedakan atas

keluarga batih, dadia (mikro), banjar pakraman dan desa pakraman (meso) dan

makro (kelompok masyarakat dalam wilayah kabupaten). Rigiditas dalam

hubungan dalam struktur sosial tradisional mendorong terbentuknya modal sosial

yang mengikat (bonding social capital) terutama yang dilandasi oleh rasa percaya

antar sesama kelompok yang kuat. Narayan dan Pritchett (1999) dan Grootaert

(2001), menyatakan bahwa modal sosial yang berkembang di suatu wilayah

memang ditentukan oleh derajat homogenitas antar anggota masyarakatnya.

Ditinjau dari sisi agama dan etnis, derajat homogenitas dalam struktur sosial

tradisional di Bali tergolong tinggi, karena hampir seluruh anggota berasal dari

etnis dan agama yang sama. Namun sesungguhnya, modal sosial tersebut

terbangun pula dalam derajat heterogenitas yang tinggi ditinjau dari sisi kasta

(warna). Secara umum, hubungan antar kasta memiliki struktur yang horisontal

namun di beberapa wilayah, kasta Brahmana dan Ksatria masih dianggap sebagai

kasta yang memiliki derajat lebih tinggi dibandingkan dua kasta lainnya. Saat ini,

modernisasi seringkali menimbulkan benturan-benturan antar kasta tersebut.

Keterikatan masyarakat dalam suatu organisasi tradisional (seperti banjar

pakraman atau desa pakraman dan subak) tampaknya lebih disebabkan oleh

ketaatan terhadap agama serta sanksi sosial daripada kuatnya rasa percaya sosial

dalam masyarakat tersebut. Hal ini harus diantisipasi karena dapat menjadi

sumber terbangunnya konflik laten. Organisasi yang tidak dibangun atas rasa

saling percaya melainkan hanya norma-norma, akan tumbuh menjadi organisasi

yang memiliki fondasi yang lemah untuk dapat dikelompokkan sebagai modal

sosial dan berperan dalam mengatasi konflik-konflik yang mungkin timbul di

masa yang akan datang, apalagi sanksi-sanksi yang disepakati tidak diterapkan

Page 62: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

103

secara konsisten terhadap semua pihak. Knight (1992) dalam Pretty dan Ward

(2001) menyatakan bahwa masyarakat dapat saja terorganisasi dengan baik

(memiliki kelembagaan yang kuat dan mekanisme resiprokal) tanpa didasarkan

atas rasa percaya, melainkan rasa takut dan kekuatan namun akan mendorong

terwujudnya eksploitasi antar golongan.

Struktur sosial modern berkembang dalam masyarakat di Bali seiring

dengan berkembangnya berbagai mata pencaharian dan kebutuhan akan

pengakuan masyarakat terhadap profesi tertentu yang mendorong seseorang untuk

berkumpul dan membentuk organisasi formal (Fukuyama, 1999). Struktur sosial

modern tentunya harus mampu menjadi komplemen dari struktur sosial tradisional

yang telah terbangun, bukan menjadi pesaing yang dapat meniadakan nilai-nilai

tradisional yang arif dan bijak (indigenous knowledge).

Struktur sosial modern tidak saja bersifat horisontal namun juga bersifat

vertikal. Struktur sosial yang bersifat vertikal seringkali kurang mampu

membangun rasa percaya dan kerjasama dibandingkan dengan struktur sosial yang

bersifat horisontal karena keanggotaan dalam jaringan kerja vertikal memiliki

tujuan yang sangat beragam. Sebaliknya, jaringan kerja horisontal, umumnya

terbentuk karena adanya tujuan dan kepentingan yang bersifat resiprositas.

Jaringan kerja horisontal di Bali meliputi kelompok seni, kelompok olah raga,

kelompok arisan tetangga dan yang sejenisnya.

Aldridge et al. (2002) menyatakan bahwa struktur sosial dipengaruhi oleh

berbagai faktor, salah satunya adalah migrasi atau mobilitas penduduk. Migrasi di

Bali tidak saja dilakukan oleh penduduk antar kabupaten di Bali, namun juga oleh

masyarakat dari luar Pulau Bali seperti Pulau Jawa dan Madura, Pulau Lombok

dan lain sebagainya. Wilayah-wilayah yang menjadi pusat pengembangan

pariwisata merupakan daerah tujuan migrasi seperti terjadi di Sanur, Kuta dan

Nusa Dua yang dikenal sebagai segitiga emas pengembangan pariwisata di Bali.

Keterbukaan suatu wilayah akan meningkatkan heterogenitas.

Narayan dan Pritchett (1999) juga menyatakan bahwa menjaga

keheterogenan masyarakat dapat menghindari terjadinya perang saudara (civil

war) di suatu wilayah. Grootaert (2001) dan Dwipayana (2005) mempertegas

dengan menyatakan bahwa derajat homogenitas dalam kelompok akan

Page 63: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

104

menentukan cara pandang masyarakat terhadap masalah yang dihadapinya.

Masyarakat yang homogen akan memiliki inward looking yang kurang

bermanfaat bagi pembangunan dan outward looking yang selalu memandang

dunia luar sebagai penyebab kehancuran, kerusakan dan ketidakberhasilan dalam

membangun diri sendiri.

Modal Sosial di Empat Wilayah Kabupaten di Bali:

Jembrana, Badung, Gianyar dan Karangasem

Pandangan Putnam (1993), Fukuyama (2000) dan Grootaert (2002)

menjadi dasar rujukan utama dalam kajian ini. Bali memiliki karakteristik yang

unik yaitu perpaduan antara daerah wisata dan daerah pelestarian budaya. Di satu

sisi, pemerintah mendorong pembangunan berbagai sarana pariwisata untuk

menarik jumlah wisatawan yang tinggi namun di sisi lain pemerintah tetap

menginginkan pelestarian seni dan budaya masyarakat (Ajeg Bali). Dua hal yang

bersifat saling bertentangan, karena seni dan budaya sangat dipengaruhi oleh

intensitas interaksi antar individu, kecuali masyarakat Bali memiliki rasa percaya

yang tinggi terhadap orang lain sekaligus memiliki norma yang kuat untuk

membentengi dirinya dari kebudayaan luar.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat (83.35

persen) di Bali menyatakan selalu berhati-hati terhadap orang lain dan hanya

16.65 persen menyatakan bahwa mereka percaya dan tidak perlu berhati-hati

terhadap orang lain. Perjalanan sejarah masyarakat Bali menunjukkan bahwa

sikap kehati-hatian orang Bali telah terjadi sejak dahulu yang ditunjukkan oleh

adanya komunitas penduduk asli yang hingga kini bersifat tertutup seperti

masyarakat di Trunyan dan Tenganan. Kalaupun terjadi peleburan antara

komunitas penduduk asli dengan pendatang, maka hal tersebut hanya terjadi

dalam jumlah yang relatif kecil dan sanksi dari peleburan tersebut umumnya

berupa hilangnya hak dalam kelompok.

Rasa Percaya (Trust), Jaringan kerja (Network) dan Norma (Norm) Individu di Perkotaan dan Perdesaan Rasa percaya boleh jadi bersifat sangat individual (Erikson, 1950; Allport,

1961; Cattell, 1965; Rosenberg, 1956; 1957 dalam Delhey dan Newton, 2002),

Page 64: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

105

namun mungkin juga merupakan karakteristik suatu sistem sosial (Putnam, 2000).

Rasa percaya sosial merupakan bagian dari karakteristik individu, yang mencakup

optimisme, keyakinan pada kerjasama, bahwasanya individu dapat menerima

perbedaan dan hidup bersama dengan penuh kedamaian. Namun ada keraguan

terhadap hubungan antara rasa percaya dan interaksi antar individu: penyebab

ataukah akibat? Apakah rasa percaya yang tumbuh antar individu mendorong

individu-individu tersebut untuk berinteraksi dan melakukan aktivitas bersama

ataukah interaksi yang menyebabkan tumbuhnya rasa percaya? Ambiguitas

tersebut tidak akan menimbulkan masalah bila kedua komponen memperoleh

perhatian yang sebanding dalam upaya membangun modal sosial.

Hasil analisis non-parametrik menunjukkan adanya perbedaan yang nyata

antara sikap kehati-hatian masyarakat perkotaan dan perdesaan di Bali.

Masyarakat perdesaan memiliki sikap kehati-hatian yang lebih tinggi

dibandingkan dengan masyarakat perkotaan. Rataan indikator rasa percaya juga

menunjukkan bahwa rasa percaya masyarakat di perdesaan terhadap etnis lain

relatif rendah dibandingkan dengan rasa percaya masyarakat perkotaan. Sikap

kehati-hatian dan rendahnya rasa percaya terhadap etnis lain tersebut dapat

mempengaruhi interaksi sosial yang seharusnya terbangun. Rasa percaya

masyarakat perkotaan menyebabkan mereka lebih terbuka terhadap orang lain

sehingga akses menjadi lebih luas. Keadaan ini mempertegas pendapat Fukuyama

(1995), yang menyatakan rasa percaya (trust) akan meningkatkan kekuatan dan

daya saing ekonomi serta memungkinkan terjadinya proses pertukaran tanpa rasa

takut akan terjadinya kecurangan (Levi, 1996).

Terdapat perbedaan yang nyata antara dinamika rasa percaya yang

dirasakan oleh masyarakat perdesaan dan perkotaan. Individu yang menetap di

perdesaan menyatakan bahwa rasa percaya yang mereka miliki saat ini sama saja

dengan rasa percaya pada tahun-tahun sebelumnya, sedangkan individu yang

menetap di perkotaan menyatakan bahwa rasa percaya yang mereka miliki saat ini

semakin buruk dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya. Dampak berbagai

krisis kurang dirasakan oleh masyarakat perdesaan sebaliknya krisis ekonomi dan

gangguan keamanan menjadi alasan utama mengapa rasa percaya masyarakat

perkotaan semakin buruk.

Page 65: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

106

Jembrana

BadungGianyar

Karangasem

0

5

10

15

20

25

30

0 5 10 15 20

% masyarakat perdesaan yang menyatakan percaya thp orang lain

% m

asya

raka

t per

kota

an y

ang

men

yata

kan

perc

aya

thp

oran

g la

in

Jembrana Badung Gianyar Karangasem

Sumber : data primer, 2005 % responden yang menjawab “sebagian besar orang dapat dipercaya” untuk pertanyaan ” Secara umum apakah sebagian besar orang dapat dipercaya?”

Gambar 21 Pemetaan Wilayah Berdasarkan Persentase Masyarakat Perdesaan dan Perkotaan yang Memiliki Rasa Percaya terhadap Orang Lain di Bali, Tahun 2005

Komponen lain dari modal sosial yang diamati dalam penelitian ini adalah

jaringan kerja formal dan informal. Jaringan kerja informal ditunjukkan oleh

jumlah teman dekat yang dipercayai untuk berkeluh kesah maupun dimintai

pendapat dan pandangannya mengenai berbagai hal. Setiap individu di perkotaan

memiliki jumlah teman yang lebih banyak dibandingkan dengan yang di

perdesaan. Jumlah teman dapat menjadi jaringan sosial yang memberi jaminan

bahwa ada orang lain yang setiap saat bersedia membantu.

Jaringan kerja formal merupakan jaringan kerja dalam organisasi.

Ketergantungan masyarakat perkotaan di Bali terhadap satu organisasi, tidak

nampak dalam kehidupan bermasyarakatnya yang ditunjukkan oleh beragam jenis

organisasi terpenting bagi kehidupannya, seperti: banjar pakraman, subak, PKK,

pengajian, kelompok agama, posyandu, olah raga, arisan maupun organisasi

modern yang bergerak dalam profesi tertentu. Sebaliknya, sebagian besar

masyarakat perdesaan menyatakan bahwa organisasi tradisional subak dan banjar

pakraman merupakan kelompok terpenting yang berkaitan langsung dengan

tingkat kesejahteraannya.

Keragaman organisasi yang tumbuh dan berkembang dalam suatu wilayah

berkaitan dengan kemampuan serta keahlian yang dimiliki oleh anggota

masyarakat di wilayah tersebut. Misalnya di Bali, perkembangan kelompok olah

Page 66: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

107

raga tidak sepesat kelompok seni. Kelompok seni berkembang pesat di

Kabupaten Badung dan Gianyar serta wilayah-wilayah kota di Kabupaten

Karangasem. Fenomena tersebut dapat dipahami mengingat perkembangan seni

sangat memerlukan bakat dan ketrampilan untuk menekuninya.

Tabel 19 Keanggotaan Masyarakat dalam Berbagai Organisasi di Bali, 2005

Kabupaten Kelompok

Sosial (%) Kelompok Olah Raga

(%)

Kelompok Seni (%)

Kelompok Profesi (%)

Jembrana Desa 0 0 0 100.00 Kota 6.25 0 0 93.75 Badung Desa 13.16 0 5.26 81.58 Kota 48.00 0 16.00 36.00 Gianyar Desa 75.00 0 16.67 8.33 Kota 51.11 0 4.44 44.45 Karangasem Desa 0 0 0 100.00 Kota 36.36 0 22.73 40.91

Sumber : data primer, 2005 Ada kecenderungan berkembangnya kelompok-kelompok kesenian

berkaitan dengan perkembangan pariwisata seperti di Kabupaten Badung dan

Gianyar serta di perkotaan Kabupaten Karangasem. Seni adalah pekerjaan yang

memancar dari hati, tidak berkembang bila hanya mengandalkan ketekunan.

Masyarakat akan mampu membangun dan meningkatkan ekspresi keseniannya ke

tingkat yang lebih tinggi apabila kebutuhan pokoknya (sandang, pangan dan

papan) telah terpenuhi. Oleh karenanya, peluang berkembangnya kesenian akan

semakin tinggi di wilayah maju dimana tingkat penghasilan dan kesejahteraannya

relatif lebih tinggi. Namun hal tersebut tidak sepenuhnya benar, karena seringkali

terjadi sebaliknya, tingginya nilai jual produk seni mendorong masyarakat untuk

semakin giat mengembangkan keseniannya.

Komponen ketiga dari modal sosial yang diamati dalam penelitian ini

adalah norma saling bantu. Kehidupan sosial masyarakat tradisional di Bali

dibatasi oleh norma-norma yang tersusun dalam suatu aturan adat (awig-awig)

tertulis maupun tidak tertulis. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak terdapat

perbedaan yang nyata antara sikap saling bantu di perdesaan maupun di

perkotaan.

Page 67: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

108

Pemetaan Wilayah Berdasarkan Kepadatan Organisasi Sosial

Jembrana

Badung

Karangasem

Gianyar

0

10

20

30

40

50

60

0 10 20 30 40 50 60 70 80

Kepadatan Organisasi di Perdesaan

Kepa

data

n O

rgan

isas

i di

Perk

otaa

n

Jembrana Badung Gianyar Karangasem

Pemetaan Wilayah Berdasarkan Kepadatan Organisasi Profesi

Gianyar

Jembrana

Badung

Karangasem

0

20

40

60

80

100

0 20 40 60 80 100 120

Kepadatan Organisasi di Perdesaan

Kepa

data

n O

rgan

isas

i di

Perk

otaa

n

Jembrana Badung Gianyar Karangasem

Sumber: Data Primer, 2005

Gambar 22 Pemetaan Wilayah Berdasarkan Kepadatan Jaringan Kerja Profesi dan Jaringan Kerja Sosial di Bali, Tahun 2005

Bantuan fisik dan keuangan mudah diperoleh dalam masyarakat perdesaan

maupun perkotaan. Perbedaan yang nyata terdapat pada indikator kemudahan

menitipkan anak dan rumah, terutama saat orang tua atau pemilik rumah harus

bertugas ke luar kota. Demikian pula dengan indikator pembonceng (free rider)

yang menunjukkan adanya individu asosial yang memanfaatkan orang lain demi

keuntungan sendiri. Menitipkan anak lebih mudah di perkotaan dibandingkan

dengan di perdesaan. Hal ini mungkin berkaitan dengan sikap kehati-hatian

masyarakat perkotaan yang lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat

perdesaan.

Pemetaan Wilayah Berdasarkan

Kesediaan Memberi Bantuan Fisik

Jembrana

Badung

GianyarKarangasem

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

84 86 88 90 92 94 96 98 100 102

% Masyarakat Perdesaan yang bersedia memberi bantuan fisik

% M

asya

raka

t per

kota

an y

ang

bers

edia

mem

beri

bant

uan

fisik

Jembrana Badung Gianyar Karangasem

Pemetaan Wilayah Berdasarkan Kesediaan Memberi Bantuan Uang

BadungJembrana

GianyarKarangasem

0

5

10

15

20

25

30

35

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

%Masyarakat perdesaan yang bersedia memberi bantuan uang

%M

asya

raka

t Per

kota

an y

ang

bers

edia

mem

beri

bant

uan

uang

Jembrana Badung Gianyar Karangasem

(a) (b)

Page 68: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

109

Pemetaan Wilayah Berdasarkan Jumlah Free rider

Jembrana

Badung Gianyar

Karangasem

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

0 10 20 30 40 50 60

% Masyarakat Perdesaan yang menyatakan ada free rider %

Mas

yara

kat P

erko

taan

yan

g m

enya

taka

n ad

a fr

ee ri

der

Jembrana Badung Gianyar Karangasem

Sumber: data primer, 2005

(c)

Gambar 23 Pemetaan Wilayah Berdasarkan Indikator Free Rider di Bali, Tahun 2005

Nilai korelasi spearman menunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif

yang kuat antara kesediaan individu membantu secara fisik, menitipkan anak,

partisipasi dalam organisasi, kepadatan jaringan kerja serta rasa percaya dengan

jumlah pembonceng (free rider) yang ada di wilayah tersebut artinya semakin

banyak jumlah pembonceng (free rider) dapat memperlemah norma saling bantu

baik secara fisik, kemungkinan menitipkan anak pada tetangga, melemahkan rasa

percaya, menurunkan kepadatan jaringan kerja maupun partisipasi dalam

organisasi. Korelasi antara bantuan fisik dan jumlah pembonceng (free rider)

ditunjukkan dalam Gambar 24.

Korelasi antara Bantuan Fisik dan Adanya Free Rider

020406080

100

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17Jml yang merasa ada Free Rider (%)

jml y

ang

bers

edia

mem

ban

tu (

%)

Bantuan Fisik (%)

Linear (Bantuan Fisik(%))

Sumber: analisis data primer, 2005 Gambar 24 Korelasi Bantuan Fisik dan Jumlah Free Rider di Bali, Tahun 2005

Page 69: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

110

Pembonceng adalah fenomena yang melemahkan partisipasi, rasa percaya

dan reciprocal norm. Oleh karena itu, pihak berwenang seperti pemerintah, swasta

maupun pemimpin masyarakat harus dapat menetapkan kebijakan untuk menekan

tumbuhnya pembonceng dalam masyarakat. Beberapa penelitian terdahulu

menyatakan bahwa adanya pembonceng dapat diatasi melalui penetapan iuran-

iuran wajib seperti compulsary contribution maupun pengenaan pajak oleh

pemerintah. Saat ini, sanksi yang diberlakukan bagi anggota masyarakat yang

tidak berpartisipasi dalam organisasi terutama dalam organisasi tradisional di Bali

adalah sanksi moral. Sanksi moral yang berkaitan dengan hubungan manusia

dangan penciptanya memang masih relevan dan efektif bagi masyarakat di Bali

saat ini, namun perkembangan teknologi dan kemajuan peradaban harus mulai

dipertimbangkan agar faktor-faktor yang dapat menghancurkan modal sosial di

Bali dapat dihindarkan. Nominal denda yang ditetapkan relatif kecil berkisar Rp

500 hingga Rp 1000 untuk setiap ketidakhadiran dalam aktivitas bersama.

Rendahnya sanksi tersebut mungkin menjadi salah satu alasan berkembangnya

perilaku pembonceng di Bali.

Tabel 20 Uji Beda Rataan Indikator Modal Sosial Individu di Perdesaan dan

Perkotaan di Empat Kabupaten, 2005

Indikator Modal Sosial Desa Kota P-Value (Mann-Whitney)

Pendapatan Rumah Tangga (000 Rp/bln)

922. 012 2087.533 0.000

Rasa Percaya (GN Trust) 2.30 2.75 0.573 Kehati-hatian (Aware) 1.95 1.91 0.005 Kepadatan jaringan kerja (DN) 3.27 3.13 0.000 Jumlah Teman (Friend) 3.15 3.52 0.018 Partisipasi (PARTS) 2.47 2.20 0.000 Pengeluaran Sosial (000 Rp/bln) (SEXP)

142.870 151.011 0.000

Menitipkan anak (CC) 1.33 1.46 0.026 Pembonceng (Free Rider atau FR) 3.90 3.81 0.000 Memberi Bantuan Fisik 1.93 1.91 0.114 Memberi Bantuan Uang 2.99 2.88 0.365

Sumber : Analisis Data Primer, 2005 Lokasi tempat tinggal juga dipertimbangkan sebagai faktor yang

mempengaruhi terbangunnya modal sosial individu. Hasil analisis non-

parametrik menggunakan uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa kesejahteraan

rumah tangga, jumlah teman, pengeluaran sosial dan kemudahan menitipkan anak

Page 70: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

111

di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan. Sebaliknya, sikap

kehati-hatian, kepadatan jaringan kerja, partisipasi masyarakat perdesaan dan

jumlah pembonceng lebih tinggi di perdesaan dibandingkan dengan di perkotaan,

sedangkan rasa percaya sosial (general trust atau GN Trust), kemudahan memberi

bantuan fisik dan uang tidak berbeda nyata. Rasa Percaya (Trust), Jaringan kerja (Network) dan Norma (Norm) Individu di Wilayah Belum Berkembang dan Wilayah Maju Sebagian besar indikator modal sosial merupakan sikap seseorang atau

kelompok orang terhadap orang atau objek tertentu seperti rasa percaya, tolong

menolong, kesetiakawanan, rasa aman, dan jaringan kerja. Rasa percaya,

kesediaan menjalin jaringan kerja dan mematuhi norma yang berlaku merupakan

respons terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan.

Penelitian ini mencoba mengukur modal sosial sebagai variabel laten

(variabel konsepsional) melalui variabel terukur (indikator) rasa percaya, jaringan

kerja dan norma. Pretty dan Ward (2001), menyatakan bahwa rasa percaya adalah

pabrik yang menghasilkan kerjasama. Fukuyama (1995) mendefinisikan rasa

percaya sebagai harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran dan perilaku

kooperatif yang muncul dalam sebuah komunitas yang didasarkan pada norma-

norma yang dianut bersama oleh anggota komunitas tersebut. Salah satu upaya

membangun rasa percaya dapat dilakukan melalui aktivitas yang bersifat

resiprokal yang memungkinkan terjadinya pertukaran.

DeFilippis (2001), menyatakan bahwa pembangunan ekonomi tidak

sekedar membutuhkan adanya koneksi atau ikatan-ikatan (bonding maupun

bridging capital) namun lebih pada tingkat partisipasi anggota yang terlibat dalam

ikatan-ikatan tersebut. Ketiadaan partisipasi dalam suatu jaringan kerja sosial

yang kuat, tidak saja mengurangi bahkan dapat meniadakan rasa percaya sehingga

modal sosialpun kurang terbangun (Coleman, 1990). Semakin banyak ikatan akan

menunjukkan stok modal sosial yang semakin baik. Namun demikian, ikatan-

ikatan tersebut harus selalu dapat diperbaharui untuk menyesuaikan dengan

kemajuan teknologi dan tuntutan zaman. Selain itu, ikatan-ikatan tersebut akan

semakin baik apabila hubungan yang terbangun didalamnya merupakan ikatan

yang bersifat dua arah, bukan searah.

Page 71: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

112

Pada beberapa kasus, ketiadaan ikatan atau keterisolasian seseorang atau

suatu komunitas memang memberikan manfaat namun sebagian besar

keterisolasian menyebabkan terhambatnya proses pembangunan dan proses

peningkatan kesejahteraan individu dan wilayah. Lin (2001), menyatakan bahwa

faktor utama yang mempengaruhi luasnya jaringan kerja dan tingkat rasa percaya

seseorang adalah adanya kelompok sosial, budaya dan agama.

Indikator rasa percaya adalah jawaban dari pertanyaan ”seberapa besar

seseorang mempercayai orang lain yang berasal dari etnis yang sama (thick trust)

dan etnis lain (thin trust)”(Gambetta, 1998; Fukuyama (1995) dalam Pretty dan

Ward, 2001). Indikator sikap kehati-hatian diukur dari rataan terhadap jawaban

pertanyaan ”apakah kita dapat percaya terhadap orang lain ataukah kita harus

selalu berhati-hati”. Pemetaan terhadap hasil pengukuran kedua indikator tersebut

ditunjukkan pada Gambar 25.

Pemetaan Wilayah Berdasarkan Sikap Kehati-hatian dan Rasa percaya (General Trust)

Wilayah Maju

Wilayah Belum Berkembang

2.2

2.3

2.4

2.5

2.6

2.7

2.8

1.8186 1.8187 1.8188 1.8189 1.819 1.8191 1.8192 1.8193 1.8194

Sikap Kehati-hatian

Ras

a Pe

rcay

a (G

ener

al

Trus

t)

Wilayah Belum Berkembang Wilayah Maju

Gambar 25 Pemetaan Wilayah Berdasarkan Sikap Kehati-hatian dan Rasa Percaya di Bali, Tahun 2005

Indikator-indikator tersebut merupakan indikator yang digunakan oleh

Putnam (1993) maupun Grootaert (1999) dalam penelitian modal sosial

sebelumnya. Hasil uji beda rataan berbagai indikator modal sosial di wilayah

belum berkembang dan wilayah maju menunjukkan bahwa indikator rasa percaya,

kepadatan organisasi dan norma saling bantu berbeda secara nyata di kedua

wilayah tersebut. Hasil analisis ini mendukung hasil analisis Putnam (1993),

Fukuyama (1995) dan Grootaert (1999). Rasa percaya masyarakat di wilayah

Page 72: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

113

maju lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah belum berkembang, demikian

pula dengan kesediaan menjaga anak. Tingginya rasa percaya dan sikap saling

bantu merupakan indikasi kuatnya modal sosial. Namun kepadatan organisasi di

wilayah belum berkembang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah maju

(sejalan dengan Knack dan Keefer, 1997).

Tabel 21 Uji Beda Rataan Indikator Modal Sosial Individu di Wilayah

Belum berkembang dan Wilayah Maju di Bali, 2005

Indikator Wilayah Maju Wilayah Belum Berkembang

P-Value (Mann-Whitney)

Rasa Percaya 2.76 2.30 0.00 Kemudahan Menitipkan anak (Norma saling bantu)

1.46 1.33 0.09

Kepadatan jaringan kerja (Network Density)

3.13 3.27 .000

Sumber : Analisis Data Primer, 2005

Rasa Percaya dan Dinamikanya

Di Bali terdapat lembaga adat yang hingga saat ini memiliki peran untuk

menjaga budaya Bali dan mengikat kuat anggotanya melalui penerapan sanksi

moral. Eksistensi lembaga adat (desa/banjar pakraman) ini tetap terjaga

mengingat fungsi yang dijalankannya berhubungan erat dengan aktivitas

keagamaan. Tingginya frekwensi aktivitas yang dilakukan menyebabkan

tingginya intensitas interaksi antar individu dari etnis yang sama dan mengurangi

intensitas interaksi dengan etnis lain. Hasil analisis menunjukkan bahwa rasa

percaya antar sesama etnis (thick trust) lebih tinggi dibandingkan dengan rasa

percaya terhadap etnis lain (thin trust). Uji beda dua sampel yang independent

menunjukkan bahwa thick trust di wilayah belum berkembang lebih kuat

dibandingkan dengan di wilayah maju, sedangkan thin trust tidak berbeda nyata.

Terdapat hubungan nyata yang negatif antara rasa percaya terhadap

sesama etnis (thick trust) dengan rasa percaya terhadap etnis lain (thin trust)

artinya semakin kuat rasa percaya terhadap sesama etnis cenderung diikuti oleh

melemahnya rasa percaya terhadap etnis lain. Lemahnya rasa percaya terhadap

etnis lain (thin trust) harus diwaspadai mengingat dampaknya terhadap kerukunan

antar etnis, kelompok maupun golongan yang cenderung semakin heterogen di

Page 73: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

114

Bali. Rendahnya thin trust akan berpengaruh terhadap interaksi antar kelompok

masyarakat lokal dengan kelompok masyarakat pendatang, wisatawan maupun

pencari kerja. Rendahnya thin trust cenderung akan mengurangi pula sikap

keterbukaan (openness behaviour) yang merupakan salah satu komponen penting

dalam pengembangan kepariwisataan Bali.

2.59

7.18

21.5

55.

751.

72

1.44

1.44

20.4

0

18.3

91.

44 0.29

0.29

10.9

22.

870.

86

0.29

2.01

0.29 0.

29

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

Thic

k Tr

ust

Sangatrendah

rendah sedang tinggi sangattinggi

Thin Trust

Level Thick dan Thin Trust Masyarakat di Bali, 2005

Sangat rendah

Rendah

Sedang

Tinggi

Sangat Tinggi

Gambar 26 Keterkaitan antara Rasa Percaya Individu terhadap Individu

Sesama Etnis maupun Beda Etnis di Bali, Tahun 2005

Ada kemungkinan rendahnya thin trust masyarakat di Bali disebabkan

oleh rendahnya intensitas interaksi antar penduduk lokal dengan pendatang karena

sesungguhnya masyarakat Bali merupakan masyarakat yang sangat toleran,

mudah beradaptasi dengan sistem yang terbuka (Artadi (1993) dalam Robinson

(1995)). Seperti telah diketahui secara luas, padatnya aktivitas dalam desa/banjar

pakraman dapat menjadi penyebab rendahnya intensitas interaksi antar penduduk

lokal dan pendatang. Selain itu, beragam pengalaman baik dan buruk yang

pernah dialami masyarakat Bali akan membentuk sikap dan rasa percaya mereka.

Tabel 22 Hasil Analisis Beda Rataan (Uji Mann-Whitney) Rasa Percaya Di Bali,

Tahun 2005

Indikator Wilayah Belum Berkembang

Wilayah Maju

P-Value (Mann-Whitney)

Rasa Percaya (General Trust) 2.30 2.76 .000 Rasa Percaya antar Sesama Etnis (Thick Trust)

3.32 3.13 .063

Rasa Percaya Terhadap Kinerja Polisi 3.00 2.49 .000 Sumber : Analisis Data Primer, 2005

Page 74: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

115

Rasa percaya masyarakat di wilayah belum berkembang dan di wilayah

maju terhadap kinerja aparat keamanan juga berbeda nyata. Masyarakat di

wilayah belum berkembang memiliki rasa percaya yang lebih tinggi terhadap

aparat keamanan (polisi) dibandingkan dengan masyarakat di wilayah belum

berkembang. Kinerja aparat adalah faktor utama yang dapat membangun rasa

percaya masyarakat. Masyarakat akan memiliki rasa percaya yang tinggi kepada

aparat apabila kinerjanya baik dan bersih, yang dicerminkan dari kemampuannya

mewujudkan keamanan dan ketenteraman bagi masyarakat.

Rasa percaya bersifat dinamis yang dinamikanya dipengaruhi oleh faktor-

faktor intensitas interaksi, kebudayaan, pengalaman dan institusi (Azwar, 2005).

Masyarakat mengakui bahwa rasa percaya mereka bersifat dinamis tidak statis.

Sebanyak 59.41 persen masyarakat di wilayah maju menyatakan bahwa rasa

percaya mereka telah berubah dalam lima tahun terakhir, 30 persen menyatakan

rasa percaya mereka semakin baik sedangkan 29.41 persen merasakan rasa

percaya yang semakin melemah. Sebaliknya di wilayah belum berkembang,

sebagian besar masyarakat (63.01 persen) menyatakan tidak terjadi perubahan

rasa percaya. Hanya 19.18 persen merasakan adanya perubahan ke arah yang

semakin baik, sedangkan sisanya (17.81 persen) menyatakan rasa percaya yang

semakin memburuk.

Di wilayah belum berkembang, norma-norma kebersamaan masih

mengikat kuat sehingga mampu menjadi benteng pertahanan yang menahan

masuknya berbagai nilai-nilai baru yang tidak dikehendaki bersama. Secara

30 29.4140.59

19.18 17.81

63.01

0

20

40

60

80

Pers

enta

se J

ml

Mas

y

Maju Belum Berkembang

WilayahSu mb e r : D a t a P r i me r , 2 0 0 5

S e ma k i n Kua t

S e ma k i n Le ma h

Te t a p

Gambar 27 Dinamika Rasa Percaya dan Lokasi Tempat Tinggal, Tahun 2005

Page 75: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

116

umum, di Bali dikenal konsep menyamabraya yang masih berakar kuat dalam

kehidupan masyarakat. Konsep tersebut menyiratkan bahwa keluarga tidak hanya

berarti keluarga batih tetapi juga tetangga maupun anggota banjar lainnya.

Menyamabraya berarti saling bantu dalam menghadapi masalah yang bersifat

material maupun non material. Kekuatan norma tersebut tentunya harus dilandasi

oleh sikap saling percaya dan bersifat resiprokal. Rasa percaya tidak saja

memelihara keberlangsungan norma-norma yang mengandung nilai kearifan

namun juga mendasari keputusan seseorang untuk bergabung dalam suatu

kelompok maupun sebaliknya memisahkan diri dari kelompok yang telah diikuti

sebelumnya.

29.4124.71 21.5723.57

49.0251.71

0.0010.0020.0030.0040.0050.0060.00

Semakin Baik Semakin Buruk Tetap

Dinamika Rasa Percaya

Dinamika Rasa Percaya berdasarkan Tingkat Kehati-Hatian Masyarakat

Dapat Dipercaya Perlu Hati-Hati

Gambar 28 Dinamika Rasa Percaya Berdasarkan Tingkat Kehati-hatian Masyarakat di Bali, Tahun 2005

Suatu kelompok atau komunitas yang masing-masing anggotanya

memiliki rasa percaya yang tinggi dikatakan kaya akan modal sosial. Ahli

sosiologi, antropologi dan ilmu politik menyatakan bahwa rasa percaya memiliki

peran penting berkaitan dengan pelaksanaan aktivitas bersama (colective action).

Kuat lemahnya modal sosial dalam suatu masyarakat dapat diukur melalui tinggi

rendahnya tingkat rasa percaya antar masyarakat yang juga tergambarkan melalui

partisipasi masing-masing anggota dalam aktivitas bersama dan intensitas

kegiatan tersebut. Oleh karena itu, seringkali pula dikatakan bahwa rasa percaya

atau modal sosial adalah barang publik (public good), setiap anggota memiliki

kesempatan memanfaatkannya namun seringkali merasa tidak berkewajiban untuk

Page 76: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

117

memeliharanya. Salah satu upaya untuk menjaga modal sosial adalah melalui

sikap tolong menolong antar anggota masyarakat.

Semua masyarakat yang memiliki rasa percaya tinggi bersedia

memberikan bantuan namun hanya 23.53 persen selalu membantu, 47.36 persen

menyatakan hampir selalu membantu dan 29.11 persen menyatakan kadang-

kadang membantu. Sebaliknya, ada sebagian kecil masyarakat yang memiliki

kepercayaan rendah atau kelompok masyarakat yang selalu berhati-hati

menyatakan jarang bahkan tidak pernah membantu orang lain (2.26 persen) dan

sisanya selalu memberi bantuan pada orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa

secara tidak langsung, masyarakat di Bali selalu berupaya untuk menjaga

hubungannya dengan pihak lain dengan cara selalu bersikap saling bantu

membantu (menyamabraya). Menjaga hubungan sosial tersebut dalam pengertian

lain berarti menjaga modal sosial dalam masyarakat. Sikap hati-hati yang mereka

miliki tidak mengurangi sikap saling bantu. Sikap tolong-menolong masyarakat di

Bali lebih bersifat resiprokal yang terpelihara karena adanya kepercayaan

terhadap norma yang dikenal dengan hukum karma (karma pahala)1.

Keterkaitan Indikator Kemudahan Memperoleh Bantuan Fisik dan Sikap Kehati-hatian

Wilayah Maju

Wilayah Belum Berkembang

1.91

1.915

1.92

1.925

1.93

1.935

1.94

1.8186 1.8187 1.8188 1.8189 1.819 1.8191 1.8192 1.8193 1.8194

Sikap Kehati-hatian

Kes

edia

an M

embe

ri B

antu

an F

isik

Wilayah Belum Berkembang Wilayah Maju

Gambar 29 Kesediaan Membantu Orang Lain Berdasarkan Tingkat Kehati-hatian

Masyarakat di Bali, Tahun 2005

1 Dikenal dengan Karma Pala, diyakini bahwa setiap perbuatan akan membuahkan hasil

Page 77: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

118

Jaringan Kerja dan Partisipasi Kepadatan jaringan kerja masyarakat adalah jumlah organisasi yang ada

dalam suatu masyarakat dimana seseorang terlibat di dalamnya. Rataan kepadatan

jaringan kerja tertinggi terdapat di Kabupaten Gianyar sedangkan yang terendah

di Kabupaten Jembrana. Sedikitnya ada dua organisasi yang diikuti oleh

masyarakat di Kabupaten Jembrana dan Karangasem (banjar pakraman dan

subak), sedangkan di Kabupaten Badung dan Gianyar ada sejumlah anggota

masyarakat yang hanya ikut dalam satu organisasi saja, yaitu banjar pakraman.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepadatan jaringan kerja masyarakat di

Bali relatif rendah (3.19) jika dibandingkan dengan hasil penelitian Grootaert

(1999) di tiga provinsi lainnya yaitu Jambi (3.7), Jawa Tengah (6.0) dan Nusa

Tenggara Timur (6.5).

Di Bali, kepadatan jaringan kerja di wilayah belum berkembang hanya

3.27 sedangkan di wilayah maju lebih rendah yaitu 3.13. Hasil penelitian

menunjukkan pula bahwa organisasi yang terpenting bagi sebagian besar

masyarakat di Bali adalah banjar pakraman. Tidak terdapat hubungan antara rasa

percaya dan kepadatan jaringan kerja. Kedua hasil penelitian tersebut

mempertegas bahwa keikutsertaan masyarakat dalam suatu organisasi bukan

didasarkan atas rasa percaya. Kenyataannya, keikutsertaan seseorang dalam

organisasi banjar/desa pakraman memang bukan didasarkan atas rasa percaya

terhadap pemimpin atau anggota lain dalam organisasi tersebut melainkan

keharusan (sanksi adat).

Keterkaitan Kepadatan Jaringan Kerja dan Partisipasi

Wilayah Belum Berkembang

Wilayah Maju

2.55

2.6

2.65

2.7

2.75

2.8

3.14 3.16 3.18 3.2 3.22 3.24 3.26 3.28 3.3 3.32 3.34

Kepadatan Jaringan Kerja

Part

isip

asi

Wilayah Belum Berkembang Wilayah Maju

Gambar 30 Pemetaan Wilayah Berdasarkan Tingkat Partisipasi Masyarakat dan

Kepadatan jaringan kerja di Bali, Tahun 2005

Page 78: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

119

Hasil penelitian menunjukkan pula bahwa rasa percaya tidak berkaitan

dengan partisipasi dalam pengambilan keputusan. Masyarakat yang memiliki

tingkat rasa percaya yang rendah maupun tinggi tetap saja memberi partisipasi

dalam setiap pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kelompok. Hal ini

ditunjukkan oleh jumlah masyarakat yang berpartisipasi aktif dalam setiap

aktivitas kelompok baik pada tingkat rasa percaya rendah maupun tinggi. Analisis

ini memang masih dilakukan secara umum tanpa melakukan pengelompokan,

sehingga hasil yang diperoleh mungkin saja belum dapat menggambarkan

spesifikasi karakteristik wilayah atau kelompok.

7.84

56.86

23.53

11.76 11.74

51.89

25.38

10.98

0.00

10.00

20.00

30.0040.00

50.00

60.00

% J

ml M

asya

raka

t ya

ng B

erpa

rtis

ipas

i

Tinggi Rendah

Rasa percaya

Pemimpin sangat aktif kadang-kadang aktif tidak berpartisipasi

Gambar 31 Keterkaitan Rasa percaya dan Partisipasi Masyarakat di Bali, Tahun 2005

Norma dan Awig-Awig Ketaatan pada norma-norma yang berlaku dalam organisasi banjar

pakraman mendorong setiap anggota untuk memberikan kontribusi sesuai dengan

ketetapan yang telah disepakati. Norma yang bersifat resiprokal menjadi alasan

lain yang mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam setiap kegiatan

banjar pakraman. Pengeluaran untuk kegiatan sosial merupakan indikator lain

yang digunakan untuk memproksi modal sosial dalam penelitian ini. Hasil

analisis menunjukkan terdapat korelasi yang nyata antara pengeluaran sosial

dengan kepadatan jaringan kerja, partisipasi serta jumlah pembonceng (free

rider). Di wilayah belum berkembang, semakin tinggi pengeluaran sosial

berkorelasi positif dengan kepadatan jaringan kerja, berkorelasi negatif dengan

Page 79: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

120

partisipasi dan jumlah pembonceng artinya semakin tinggi kepadatan jaringan

kerja seseorang, maka semakin banyak pengeluaran yang harus dikeluarkan.

Penduduk di wilayah belum berkembang sebagian besar merupakan

petani, pedagang kecil dan pengusaha industri rumah tangga. Anggota

masyarakatnya dibedakan atas anggota aktif dan tidak aktif. Umumnya, anggota

tidak aktif adalah penduduk asli yang melakukan migrasi ke wilayah lain namun

tetap terikat dengan keberadaan tempat pemujaan leluhurnya. Kewajiban anggota

tidak aktif untuk berpartisipasi dalam kegiatan bersama dapat diganti dengan

denda (dedosan). Oleh karena itu, mereka umumnya harus menanggung lebih

banyak pengeluaran sosial, sehingga besarnya pengeluaran sosial akan berkorelasi

dengan rendahnya partisipasi fisik. Namun demikian, dedosan dapat menjadi

media yang mendorong munculnya individu-individu yang bersikap sebagai

pembonceng, terutama bila besarnya denda relatif kecil dan dapat dilakukan tanpa

alasan yang kuat.

Di wilayah maju, pengeluaran sosial memiliki korelasi positif yang nyata

dengan partisipasi dan berkorelasi negatif dengan kepadatan jaringan kerja dan

jumlah pembonceng. Semakin tinggi partisipasi semakin tinggi pengeluaran

sosial. Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa ada perbedaan dalam pemahaman

mengenai partisipasi di wilayah maju dan belum berkembang. Berbeda dengan

wilayah belum berkembang, partisipasi di wilayah maju diukur pada nilai nominal

yang dikeluarkan oleh setiap anggota masyarakat. Pada umumnya, pimpinan

kelompok di wilayah maju adalah individu yang telah memiliki kemapanan

finansial sedangkan pimpinan kelompok di wilayah belum berkembang adalah

individu yang memiliki curahan waktu lebih besar.

Simpulan Akhir Bab Pembahasan bab ini menekankan pada analisis komponen modal sosial

seperti rasa percaya, jaringan kerja dan norma. Indeks rasa percaya individu di

empat kabupaten di Bali berada dalam kategori rendah. Hal ini ditunjukkan oleh

sikap kehati-hatian yang tinggi terhadap individu lainnya. Persentase individu

yang menyatakan percaya terhadap individu lain hanya 16. 38 persen. Hal

tersebut berada dibawah Cina (59.63 %), Jepang (37.59 %), Korea Selatan (33.57

Page 80: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

121

%), India (31.15 %) bahkan Afrika Selatan (26.63 %). Kepadatan jaringan kerja

individu dalam kategori sedang (3.19) namun lebih rendah dibandingkan

kepadatan jaringan kerja individu di Jambi (3.7), Jawa Tengah (6.0) maupun Nusa

Tenggara Timur (6.5) yang dihasilkan dari penelitian Grootaert (1999). Norma

saling bantu berada dalam kategori tinggi. Komponen norma merupakan

indikator yang belum diamati oleh peneliti lainnya. Analisis deskriptif

menunjukkan bahwa modal sosial individu di wilayah belum berkembang lebih

rendah dan berbeda nyata dibandingkan dengan modal sosial di wilayah maju.

Page 81: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

IDENTIFIKASI FAKTOR DOMINAN MODAL SOSIAL DI EMPAT KABUPATEN DI BALI:

Pendekatan Pemodelan Persamaan Struktural (Structural Equation Modelling)

Pada bab sebelumnya telah ditunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang

nyata antara tingkat rasa percaya, kepadatan jaringan kerja dan norma saling bantu

masyarakat di wilayah belum berkembang dan wilayah maju. Hasil analisis

tersebut sesuai dengan pendapat Knack dan Keefer (1997) yang menyatakan

bahwa modal sosial memang sangat bervariasi dan berbeda-beda antar wilayah

demikian pula dengan dampaknya. Oleh karenanya, keterkaitan modal sosial

tidak dapat diberlakukan secara umum dan menjadi blue print bagi seluruh

wilayah. Peranan modal sosial, khususnya rasa percaya, akan lebih dirasakan oleh

masyarakat di wilayah-wilayah miskin (Rothstein, 2004).

Bab ini mencoba melakukan kajian empiris terhadap komponen dominan

yang membangun modal sosial di Bali. Secara rinci struktur bab ini

menggambarkan hal-hal sebagai berikut: (1) penentuan indikator modal sosial

dominan di tingkat individu (tingkat mikro) yang bertempat tinggal di wilayah

belum berkembang (undeveloped) dan wilayah maju (developed region), serta (2)

penentuan indikator modal sosial dominan di tingkat kelompok (tingkat meso)

terutama pada komunitas pertanian (subak), banjar/desa pakraman dan

kepariwisataan (PHRI, Asita dan HPI). Pengelompokan tersebut dilakukan

dengan pertimbangan bahwa keragaman karakteristik antar berbagai komunitas

maupun antar wilayah akan berpengaruh terhadap modal sosial.

Seperti telah dinyatakan dalam bab metodologi penelitian, indikator

kebaikan model yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai chi square, root

mean square residual (RMSE) dan adjusted goodness of fit index (AGFI). Hasil

analisis komponen dominan modal sosial yang dibangun berdasarkan model

umum untuk Bali, menunjukkan bahwa model tersebut cukup valid (nilai RMSE

lebih kecil dari 0.08 dan nilai AGFI lebih besar dari 0.8). Namun, nilai chi square

nyata (lebih kecil dari 0.05) menunjukkan model kurang fit (kurang sesuai)

dengan data empiris. Kekurangsesuaian model dengan data membutuhkan sikap

kehati-hatian dalam pengambilan kesimpulan mengenai kontribusi masing-masing

variabel tersebut. Salah satu penyebab kekurangsesuaian model dengan data

Page 82: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

123

empiris adalah keragaman karakteristik sosial ekonomi di wilayah penelitian

sehingga nilai masing-masing indikator akan cenderung saling meniadakan.

Berdasarkan model umum tersebut, rasa percaya ternyata merupakan satu-

satunya variabel yang nyata. Secara umum, Putnam (1995) dan Fukuyama (1999)

memang menyatakan bahwa rasa percaya adalah bagian terpenting dari modal

masyarakat untuk berdemokrasi secara sehat. Di Bali, seluruh indikator (peubah

manifes) rasa percaya memberi pengaruh nyata kecuali thin trust. Hasil analisis

ini menunjukkan bahwa semakin kuat rasa percaya pada sesama etnis (thick trust),

rasa percaya pada pengelola pemerintahan, rasa percaya pada penyelenggara

keamanan dan rasa percaya pada penyelenggara pendidikan, akan memperkuat

variabel laten rasa percaya dan akhirnya memperkuat modal sosial.

Komponen Modal Sosial di Tingkat Mikro:

Modal Sosial Individu di Wilayah Belum Berkembang dan Wilayah Maju

Uji signifikansi terhadap pengaruh indikator modal sosial secara

keseluruhan dilakukan dengan analisis peubah ganda (analisis multivariate).

Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai T2 Hotelling nyata (F = 1421.688,

probabilitas = 0.000) yang berarti secara keseluruhan, nilai indikator modal sosial

di wilayah maju lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan wilayah

belum berkembang. Putnam (1993), Beugelsdijk dan van Schaik (2003) dan Iyer

et al. (2005) memang menyatakan bahwa modal sosial bervariasi, sesuai dengan

letak geografis, tingkat pendapatan rumah tangga maupun keragaman etnisnya.

Untuk memperoleh gambaran yang lebih rinci mengenai komponen

dominan modal sosial kemudian dilakukan analisis SEM di masing-masing

wilayah belum berkembang dan wilayah maju melalui dua tahap yaitu: (1)

menentukan kontribusi masing-masing indikator (peubah manifes) terhadap

variabel laten eksogen (rasa percaya, jaringan kerja dan norma); (2) menentukan

kontribusi variabel laten eksogen terhadap variabel laten endogen (modal sosial).

Hasilnya adalah sebagai berikut:

Page 83: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

124

Modal Sosial Individu di Wilayah Belum Berkembang

Wilayah belum berkembang dalam penelitian ini meliputi Kabupaten

Jembrana dan Karangasem yang terletak masing-masing di ujung barat dan timur

Provinsi Bali. Hasil analisis SEM menunjukkan bahwa P-value 0.11671 (lebih

besar dari 0.05) adalah tidak nyata, artinya ada kesesuaian model dengan data

empiris (model fit). Nilai Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) 0.821 lebih

besar dari 0.8 sehingga model dianggap cukup baik untuk menggambarkan

keterkaitan antar variabel laten dan indikatornya (peubah manifes). Modal sosial

di wilayah belum berkembang ditentukan secara nyata oleh variabel rasa percaya,

jaringan kerja dan norma. Norma merupakan variabel yang memberi kontribusi

paling dominan.

Variabel rasa percaya ditentukan secara nyata oleh indikator rasa percaya

sosial (general trust), dinamika rasa percaya dan partisipasi. Kontribusi terbesar

untuk variabel laten rasa percaya berasal dari partisipasi artinya semakin tinggi

rasa percaya ditunjukkan oleh semakin tingginya partisipasi individu dalam

organisasi. Pertimbangan memasukkan partisipasi ke dalam variabel laten rasa

percaya didasarkan pendapat Azwar (2005), yang menyatakan bahwa sikap

seseorang tidak cukup jika dinilai hanya melalui penanyaan langsung namun juga

harus disertai dengan observasi terhadap perilaku. Partisipasi adalah perilaku

yang dapat diobservasi berkaitan dengan pernyataan tentang rasa percaya

seseorang. Individu yang memiliki rasa percaya yang tinggi terhadap pimpinan

maupun lembaga tertentu akan berpartisipasi dalam setiap aktivitas bersama.

Semua indikator (peubah manifes) jaringan kerja memberi kontribusi yang

nyata terhadap variabel laten jaringan kerja (network). Namun, kontribusi

terbesar berasal dari indikator jumlah teman. Semakin tinggi kepadatan jaringan

kerja, semakin banyak teman dan semakin tinggi pengeluaran untuk kegiatan

sosial akan menguatkan jaringan kerja individu tersebut. .

Variabel laten norma ditentukan secara nyata oleh indikator jumlah

pembonceng (free rider), kemudahan menitipkan anak oleh tetangga, dan

kesediaan memberi bantuan fisik. Semakin berkurangnya perilaku free rider,

semakin mudah menitipkan anak pada tetangga serta memperoleh bantuan fisik

Page 84: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

125

maka semakin kuat norma individu. Indikator dominan yang memberi kontribusi

terbesar adalah kemudahan menitipkan anak.

Tabel 23 Variabel Laten dan Signifikansi Masing-Masing Indikator

terhadap Variabel Laten Modal Sosial di Wilayah Belum Berkembang di Bali, 2005

Variabel laten Indikator Koefisien t-hit

Rasa Percaya*

(0.402)

1. Aware (kesadaran untuk bersikap percaya – kehati-hatian)

2. General trust

3. Dinamika trust

4. Partisipasi

-0.081

0.2330

-0.176

0.741

-1.128

3.015*

-2.371*

3.640*

Norma*

(0.454)

1. Titip anak

2. Jumlah free rider

3. Bantuan fisik

0.399

-0.376

0.264

3.018*

-2.497*

3.353*

Jaringan Kerja*

(0.431)

1. Kepadatan jaringan kerja

2. Pengeluaran sosial

3. Jumlah teman

0.295

0.263

0.306

2.918*

2.295*

3.353* Sumber : Hasil analisis data primer, 2005 * nyata pada tingkat 5 persen

Ketiga variabel laten memberi kontribusi yang nyata dan positif terhadap

pembentukan modal sosial. Hasil tersebut menunjukkan bahwa membangun atau

menguatkan modal sosial di wilayah belum berkembang tidak dapat dilakukan

hanya melalui perbaikan salah satu komponen saja karena ketiganya memberi

kontribusi yang nyata. Penguatan modal sosial harus dilakukan melalui

peningkatan rasa percaya, peningkatan partisipasi, menekan peluang munculnya

individu yang bersikap sebagai pembonceng, menjaga keberlangsungan norma

saling memberi bantuan fisik dan memperluas jaringan kerja (kehidupan

berorganisasi).

Norma merupakan variabel laten eksogen yang memberi konrtibusi paling

dominan terhadap variabel laten endogen modal sosial. Hasil tersebut

menunjukkan bahwa norma masih mengikat kuat terhadap kehidupan sosial

masyarakat di wilayah belum berkembang. Perubahan norma yang kecil saja akan

berdampak besar terhadap perubahan modal sosial. Oleh karena itu, upaya

Page 85: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

126

terpenting menjaga modal sosial dapat dilakukan melalui penguatan norma saling

bantu dan tidak memanfaatkan orang lain demi kepentingan pribadi (menekan

adanya pembonceng).

Modal Sosial Individu di Wilayah Maju Wilayah maju dalam penelitian ini adalah kabupaten Kabupaten Badung

dan Kabupaten Gianyar. Hasil analisis persamaan struktural (SEM) menunjukkan

bahwa model yang dibangun memiliki nilai p (P-Value) yang lebih besar dari 0.05

yang menunjukkan bahwa model modal sosial yang dibangun memiliki

kesesuaian dengan data, valid dan dapat diterima. Demikian pula dengan nilai

RMSE yang lebih kecil dari 0.08 dan nilai AGFI lebih besar dari 0.8 yaitu 0.942.

Berdasarkan kriteria kecocokan model, dapat dinyatakan bahwa secara statistik,

model persamaan struktural yang diperoleh memiliki validitas yang tinggi.

Tabel 24 Variabel Laten dan Signifikansi Masing-Masing Indikator

di Wilayah Maju di Bali, 2005

Variabel laten Indikator Koefisien t-hit

Rasa Percaya*

(0.453)

1. Aware (kesadaran untuk bersikap percaya – kehati-hatian)

2. General trust

3. Dinamika trust

4. Partisipasi

0.448

0.477

0.245

0.253

4.383*

4.509*

3.024*

2.997*

Norma

(0.104)

1. Titip anak

2. Jumlah free rider

3. Bantuan fisik

0.027

-0.549

0.733

0.403

-7.238*

6.248*

Jaringan Kerja

(-0.101)

1. Kepadatan jaringan kerja

2. Pengeluaran sosial

3. Jumlah teman

0.363

-0.532

-0.254

5.160*

-5.409*

-4.001* Sumber : Hasil analisis data primer, 2005 * nyata pada tingkat 5 persen

Variabel laten rasa percaya menjadi satu-satunya komponen dominan

modal sosial yang memberi kontribusi nyata di wilayah maju. Variabel rasa

percaya tersebut ditentukan secara nyata oleh indikator (peubah manifes) sikap

kehati-hatian (aware), rasa percaya umum (general trust), dinamika rasa percaya

dan partisipasi.

Page 86: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

127

Hasil analisis tahap kedua menunjukkan bahwa ada keterkaitan yang kuat

dan positif antara rasa percaya dan jaringan kerja (0.914), sebaliknya dengan

norma. Jaringan kerja memiliki keterkaitan negatif yang kuat dengan norma yaitu

-0.90, artinya semakin kuat norma yang berlaku akan membatasi masyarakat Bali

yang ada di wilayah maju untuk membangun jaringan kerja.

Berbeda dengan wilayah belum berkembang, membangun maupun

menguatkan modal sosial di wilayah maju hanya efisien bila dilakukan melalui

upaya memperkuat rasa percaya (trust). Upaya tersebut ditentukan secara

dominan oleh rasa percaya sosial (general trust) sehingga harus memperoleh

perhatian terbesar. Selain itu, sikap kehati-hatian, partisipasi dan dinamika rasa

percaya juga dapat memperkuat rasa percaya masyarakat (Tabel 24).

Komponen Modal Sosial di Tingkat Meso: Modal Sosial Kelompok Tradisional dan Modern

Berdasarkan sistem pengelolaannya, organisasi kemasyarakatan di Bali

dibedakan atas organisasi tradisional dan modern sedangkan berdasarkan proses

pembentukannya dibedakan atas organisasi formal dan non-formal. Pada

umumnya, organisasi non-formal terbentuk dari adanya hubungan keluarga

maupun kekerabatan. Sebaliknya, organisasi formal memiliki karakteristik

anggota yang sangat beragam sesuai dengan jenis dan tujuan organisasi (Gambar

32).

Masyarakat di Bali, terikat dalam organisasi tradisional formal maupun

non-formal seperti sekaa, dadia, subak dan desa/banjar adat. Sekaa dan dadia

merupakan organisasi tradisional non-formal karena keanggotaannya tidak

mengikat dan umumnya tidak memiliki awig-awig tertulis, sedangkan subak dan

desa/banjar adat adalah organisasi tradisional formal yang keanggotaannya

mengikat serta memiliki awig-awig tertulis maupun tidak tertulis. Anggota sekaa

umumnya bersifat temporal dan memiliki hubungan kekerabatan yang kuat dan

terbentuk sesuai dengan tujuan aktivitasnya seperti sekaa manyi, sekaa nandur,

sekaa gong, sekaa suling dan lainnya. Dadia adalah kelompok keluarga (extended

family) yang memiliki hubungan patrilineal. Jumlah anggota sekaa dan dadia

umumnya lebih kecil dibandingkan dengan subak dan desa/banjar adat. Ikatan

Page 87: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

128

yang terbangun antar anggota sekaa maupun dadia didasarkan atas rasa

kebersamaan dan resiprositas. Setiap anggota dalam kelompok tradisional tidak

akan bersikap ragu-ragu untuk memberikan bantuan kepada anggota lainnya

karena adanya rasa percaya (trust), bahwa kelak, pada saat yang diperlukan,

anggota lain pasti akan mengulurkan tangan untuk membantu mereka (hukum

karma).

Sumber : Data Primer, 2005

Gambar 32 Klasifikasi organisasi di Bali berdasarkan proses pembentukan dan

Sistem pengelolaannya, 2005

Organisasi sosial tradisional yang mengkoordinasikan segala kegiatan

administratif masyarakat dikenal dengan nama banjar. Khusus untuk masyarakat

yang beragama Hindu, organisasi sosial yang mengordinasikan segala aktivitas

berkaitan dengan kegiatan sosial dan keagamaan disebut banjar pakraman. Setiap

anggota masyarakat yang beragama Hindu memiliki kewajiban yang sama dalam

banjar pakraman.

Sesuai dengan pembentukannya, anggota organisasi tradisional umumnya

merupakan penduduk yang telah menetap lama sehingga memiliki kehidupan

bertetangga dan keluarga (extended family) yang lebih erat. Mereka umumnya

mengelola tanah warisan yang telah berlangsung secara turun temurun.

Sebaliknya, anggota organisasi modern sebagian besar merupakan kelompok

Formal

Klub olah raga, arisan, dan hobbi

Organisasi Profesi, Institusi Pemerintahan

Sekaa dan Dadia Kelompok adat dan Subak

Non-Formal

Modern

Tradisional

Page 88: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

129

pendatang di kota atau daerah-daerah yang menjadi pusat pengembangan sarana

kepariwisataan.

Iyer et al. (2005) menyatakan bahwa perbedaan karakteristik wilayah atau

komunitas berkaitan erat dengan modal sosial yang terbangun. Masyarakat di

wilayah tertentu mampu membangun modal sosial menyambung (bridging social

capital) yang kuat sedangkan masyarakat di wilayah lain akan lebih mampu

membangun modal sosial mengikat (bonding social capital). Individu tertentu

hanya percaya terhadap individu-individu yang telah dikenal sejak lama (strong

thin trust), sedangkan individu lain mudah mempercayai orang yang baru

dikenalnya (strong thick trust).

Kekentalan hubungan dalam suatu jaringan kerja apabila tidak disertai

dengan kekentalan antar kelompok dalam suatu wilayah, akan memudahkan

terjadinya penolakan-penolakan atau penghancuran terhadap orang-orang yang

ada di luar kelompok tersebut. Hal tersebut akan meningkatkan frekwensi

pergesekan-pergesekan antar kelompok seperti perkelahian antar banjar adat,

kelompok masyarakat, dan penolakan-penolakan terhadap berbagai kebijakan

lembaga eksekutif dan legislatif yang ditetapkan di suatu wilayah.

Organisasi non-formal dan tradisional umumnya menerapkan sanksi moral

sedangkan organisasi formal modern tidak mengenal sanksi moral. Proses

pembentukan organisasi formal modern lebih disebabkan oleh desakan kebutuhan

ekonomi daripada sosial. Oleh karena itu, organisasi modern seringkali tidak

mampu mengikat anggotanya secara emosional namun lebih pada rasionalitas

keinginan-keinginan pribadi (individual interest).

Modal Sosial dalam Subak Struktur masyarakat Bali sedang mengalami perubahan secara gradual.

Masyarakat agraris berubah dan bermigrasi ke kota menjadi masyarakat

pariwisata. Komposisi etnis penduduk menjadi berubah, kasta dan wargapun

menjadi alat untuk mencapai tujuan politis. Perubahan-perubahan tersebut

menyebabkan fungsi-fungsi sosial kelembagaan tradisional menjadi berkurang.

Kerjasama dan rasa aman yang merupakan produk dari terjaganya kelembagaan

Page 89: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

130

tradisional menjadi barang langka dan membutuhkan biaya tinggi untuk

memperolehnya.

Saat kontribusi sektor pariwisata melemah yang disebabkan oleh faktor

internal maupun eksternal, masyarakat mulai mempertimbangkan untuk kembali

memfungsikan sektor pertanian seperti menjadi buruh tani. Namun bias

pembangunan yang selama ini cenderung memihak sektor pariwisata

menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan dalam luasan yang besar dan secara

otomatis telanjur meniadakan organisasi subak yang keberadaannya berkaitan erat

dengan ketersediaan lahan pertanian di banyak daerah di Bali.

Subak adalah organisasi pengelola air untuk aktivitas pertanian yang telah

terbangun sejak dahulu dan hingga saat ini masih berperan penting dalam

keberhasilan usaha pertanian di Bali. Selama ini, tidak ada sistem kontrak formal

yang dilakukan oleh masing-masing anggota subak. Pembagian air dilakukan

dengan landasan sikap saling percaya antar anggota subak sesuai dengan aturan

yang telah ditentukan turun-temurun. Norma-norma dalam subak disepakati serta

ditaati oleh para anggota.

Keanggotaan subak bukan disebabkan oleh lokasi tempat tinggal tetapi

lokasi lahan sawah yang dikelolanya. Oleh karena itu, seringkali anggota subak

tidak saling bertetangga, bahkan mereka bertempat tinggal dalam wilayah desa

administratif maupun desa adat yang berbeda. Oleh karenanya, interaksi antar

anggota subak hanya terjadi saat-saat proses produksi maupun upacara

keagamaan. Rendahnya kuantitas interaksi tersebut dapat menjadi salah satu

faktor yang mempengaruhi modal sosial dalam komunitas subak. Namun hasil

analisis non-parametrik menunjukkan bahwa perbedaan lokasi tempat tinggal

tidak menyebabkan anggota subak memiliki rasa percaya (trust) yang rendah

terhadap sesamanya. Thick trust anggota subak lebih tinggi dibandingkan dengan

thin trust-nya. Rasa percaya secara umum, memiliki hubungan positif yang nyata

dengan partisipasi anggota terhadap organisasinya. Implikasinya, peningkatan

rasa percaya cenderung akan diikuti dengan meningkatnya partisipasi dalam

organisasi tersebut. Dinamika partisipasi anggota subak-pun menunjukkan bahwa

terdapat hubungan yang nyata antara dinamika partisipasi dengan thick trust

anggota.

Page 90: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

131

Pada tingkat kepercayaan 80 persen dapat disimpulkan bahwa terdapat

hubungan negatif yang nyata antara rasa percaya dengan jumlah pembonceng

(free rider) artinya semakin banyak jumlah anggota yang bersikap sebagai

pembonceng cenderung akan melemahkan rasa percaya antar anggota. Di sisi

lain, dapat disimpulkan pula bahwa terdapat hubungan negatif yang nyata antara

jumlah anggota yang bersikap sebagai pembonceng dengan kesediaan anggota

memberi bantuan fisik terhadap orang lain artinya, semakin tinggi jumlah

pembonceng cenderung akan memperkecil kesediaan anggota memberi bantuan

fisik terhadap sesamanya. Hal tersebut menunjukkan bahwa anggota subak

cenderung bersikap resiprokal dibandingkan dengan altruisme.

Variabel laten modal sosial kelompok subak terdiri dari variabel laten rasa

percaya (trust), jaringan kerja (network) dan norma (norm). Namun berbeda

dengan indikator teramati dalam modal sosial individu, indikator teramati dalam

modal sosial kelompok adalah kepadatan jaringan kerja, kepemimpinan,

keterkaitan dengan organisasi lain yang memiliki tujuan sama dalam satu wilayah

(bonding 1) dan wilayah lain (bonding 2), keterkaitan dengan organisasi lain yang

memiliki tujuan berbeda dalam suatu wilayah (bridg 1) dan wilayah lain (bridg 2),

apresiasi terhadap dana kelompok maupun dana awal yang harus ditanggung

anggota tersebut.

Nilai Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) model adalah 0.914

menunjukkan bahwa model modal sosial subak dapat digunakan untuk

menggambarkan hubungan antar variabel laten endogen, variabel laten eksogen

dan indikator yang teramati (peubah manifes). Namun, nilai chi-square nyata dan

RMSE lebih besar dari 0.08 menunjukkan bahwa model tidak fit (kurang sesuai)

dengan data yang menuntut peneliti untuk berhati-hati dalam mengambil

kesimpulan.

Hasil analisis SEM menunjukkan bahwa variabel laten rasa percaya tidak

memberi kontribusi yang nyata terhadap variabel modal sosial. Sebaliknya

variabel laten jaringan kerja (network) dan norma (norm) memberi kontribusi

yang nyata. Sebagian besar indikator jaringan kerja memiliki tanda yang negatif,

kecuali indikator keterkaitan organisasi subak dengan organisasi lain yang

memiliki tujuan yang berbeda di wilayah lain (Bridg 2), namun indikator tersebut

Page 91: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

132

tidak nyata. Implikasinya, jaringan kerja subak akan semakin baik apabila

anggota subak mengurangi interaksinya dengan organisasi lain, yang sejenis

(sesama subak) maupun organisasi yang tidak sejenis, yang ada di satu wilayah

maupun wilayah lain.

Tabel 25 Variabel Laten dan Signifikansi Masing-Masing Indikator terhadap

Variabel Laten Modal Sosial dalam Komunitas Subak di Bali, 2005

Variabel laten Indikator Koefisien t-hit

Rasa Percaya

(0.078)

1. Kepadatan jaringan kerja (DN)

2. Leadership

0.346

0.893

4.534*

7.768*

Jaringan Kerja*

(0.580)

1. Bonding (1)

2. Bonding(2)

3. Bridging(1)

4. Bridging (2)

-0.109

-3.881

-0.075

0.044

-4.162*

-44.596*

-2.861*

1.705

Norma*

(0.216)

1. Dana Kelompok

2. Dana Awal

0.827

-1.187

8.430*

-8.871*

Sumber : Hasil analisis data primer, 2005 *nyata pada tingkat 5 persen

Variabel laten norma memberi pengaruh nyata dan positif. Indikator

kesediaan menanggung dana untuk aktivitas kelompok berpengaruh positif,

sedangkan indikator dana awal berpengaruh negatif. Subak adalah organisasi

yang tidak berorientasi ekonomi melainkan berorientasi keberlanjutan

ketersediaan air untuk produksi padi di lahan sawah. Sebagian norma bersifat

tidak tertulis dan sebagian lainnya sudah tertulis. Semakin kuat norma yang

mengikat anggota maka semakin besar partisipasi anggota pada setiap aktivitas

kelompok yang berkaitan dengan penyediaan upakara untuk menjaga keselamatan

dan keberhasilan usaha pertanian mereka. Hal tersebut tentunya berdampak pada

semakin tinggi biaya-biaya yang harus ditanggung oleh anggota. Kesediaan

anggota memberi kontribusi pada setiap kegiatan bersama yang dilaksanakan oleh

organisasi dapat menjadi indikator kuatnya rasa memiliki dan tanggung jawab

anggota terhadap keberlangsungan organisasi. Saat ini, pemerintah menyediakan

berbagai bantuan dana yang berkaitan dengan keikutsertaan subak dalam lomba

subak. Campur tangan pemerintah yang besar tersebut berpeluang mengurangi

Page 92: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

133

rasa memiliki anggota subak, yang akhirnya dapat melemahkan kontrol sosial

anggota subak terhadap keberadaan organisasi subak tersebut.

Dalam komunitas subak, upaya membangun modal sosial dapat dilakukan

melalui penguatan jaringan kerja dan norma dimana kontribusi jaringan kerja

lebih besar dibandingkan dengan norma. Hasil penelitian ini mengindikasikan

bahwa modal sosial subak dapat ditingkatkan melalui jaringan kerja dan

penguatan norma-norma tradisional yang memiliki kearifan dan melibatkan

seluruh anggota. Modal Sosial dalam Organisasi Kepariwisataan Komunitas pariwisata terdiri dari beberapa kelompok yang dibedakan atas

lapangan pekerjaannya yaitu kelompok pramuwisata (HPI), pemilik hotel dan

restoran (PHRI) serta pemilik biro perjalanan wisata (Asita). Ketiga kelompok

tersebut memiliki karakteristik yang relatif sama yaitu merupakan organisasi yang

dikelola secara modern dan bersifat formal. Seluruh anggotanya memiliki

pekerjaan di sektor pariwisata dengan standar kualitas pendidikan formal yang

lebih tinggi dibandingkan dengan anggota subak.

Analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif

yang nyata antara thick trust dan thin trust. Korelasi tersebut menunjukkan bahwa

semakin tinggi rasa percaya terhadap orang yang dikenal, maka semakin tinggi

pula rasa percaya terhadap orang yang tidak dikenal. Hasil analisis indikator

norma menunjukkan bahwa kesediaan memberi bantuan fisik berkorelasi nyata

dan negatif dengan jumlah pembonceng (free rider). Semakin banyak jumlah

individu yang bersikap sebagai pembonceng maka semakin lemah norma saling

bantu sehingga mengurangi kesediaan individu untuk memberi bantuan fisik

kepada individu lainnya.

Kesejahteraan berkorelasi nyata dan positif dengan pengeluaran sosial dan

sikap kehati-hatian, namun berkorelasi negatif dengan thick trust dan thin trust.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kesejahteraan

seseorang maka semakin besar pengeluaran sosial yang harus ditanggungnya dan

semakin besar sikap kehati-hatiannya. Selanjutnya, semakin tinggi tingkat

kesejahteraan individu, semakin rendah rasa percaya terhadap individu lain.

Page 93: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

134

Berdasarkan kriteria kebaikan model maka model struktural modal sosial

untuk komunitas pariwisata merupakan model yang valid karena sebagian besar

kriteria kebaikan model dipenuhi seperti nilai chi-square tidak nyata (P>0.05),

nilai AGFI adalah 0.804 dan RMSE kurang dari 0.08.

Modal sosial dipengaruhi secara nyata hanya oleh variabel rasa percaya

sedangkan jaringan kerja dan norma tidak nyata. Membangun atau menguatkan

modal sosial dalam komunitas pariwisata hanya dapat dilakukan melalui

peningkatan rasa percaya antar individu maupun kelompok yang terlibat dalam

aktivitas kepariwisataan tersebut. Selanjutnya, membangun rasa percaya

sebaiknya dilakukan melalui peningkatan kepadatan jaringan kerja masing-masing

anggota sehingga dapat diharapkan terjadi interaksi yang semakin intensif yang

sangat berguna untuk membangun rasa saling mempercayai atau menghilangkan

rasa saling mencurigai.

Tabel 26 Variabel Laten dan Signifikansi Masing-Masing Indikator

terhadap Variabel Laten Modal Sosial dalam Komunitas Pariwisata di Bali, 2005

Variabel laten Indikator Koefisien t-hit

Rasa Percaya* (0.522)

1. Kepadatan jaringan kerja (DN)

2. Leadership

2.672 0.081

12.732* 1.369

Jaringan Kerja (0.291)

1. Bonding (1) 2. Bonding(2) 3. Bridging(1) 4. Bridging (2)

0.158 0.503 0.917 0.265

1.215 3.026* 3.398* 1.992*

Norma (0.479

1. Dana Kelompok 2. Dana Awal

0.438 -0.183

1.250 -1.183

Sumber : Hasil analisis data primer, 2005 *nyata pada tingkat 5 persen

Selain itu, interaksi yang intensif dapat pula terjadi jika frekwensi kegiatan

bersama semakin ditingkatkan yang sekaligus dapat berfungsi sebagai media

interaksi untuk membangun rasa percaya. Ada hubungan yang tidak dapat

dijelaskan secara sederhana antara rasa percaya dan kerjasama. Rasa percaya

adalah pabrik yang menghasilkan kerjasama, selanjutnya kerjasama akan

memungkinkan rasa percaya menjadi semakin kuat atau sebaliknya, melemah.

Sektor pariwisata adalah sektor jasa yang harus dikelola dengan biaya promosi

yang tinggi. Upaya promosi tidak lepas dari rasa percaya yang harus dibangun

Page 94: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

135

artinya membangun rasa percaya di sektor pariwisata selain akan menguatkan

modal sosial juga akan menjadi upaya penting untuk mempromosikan

kepariwisataan Bali.

Penguatan modal sosial dalam komunitas pariwisata akan menyebabkan

semakin menguatnya rasa percaya. Rasa percaya tersebut akan melandasi

terbangunnya kerjasama sehingga jaringan kerja pariwisata tersebut menjadi

semakin luas. Kerjasama formal yang berlandaskan atas rasa percaya tersebut

sangat berperan dalam pengembangan usaha kepariwisataan terutama menekan

biaya-biaya transaksi dan biaya komunikasi. Hasil analisis sekali lagi

menekankan bahwa sektor pariwisata adalah sektor yang harus mengutamakan

kerjasama antar individu dalam satu organisasi maupun antar organisasi.

Kebutuhan akan jaringan kerja yang luas menunjukkan bahwa sektor pariwisata di

Bali tidak dapat berdiri sendiri.

Modal Sosial dalam Banjar/ Desa Pakraman

Proses modernisasi telah terjadi di Bali. Namun dalam deras arus

modernisasi tersebut, masyarakat Bali tetap memiliki keyakinan religi yang relatif

kuat walaupun kehidupan dan nilai-nilai tradisional semakin berubah. Masyarakat

di Bali semakin heterogen tidak saja dalam hal sistem kepercayaan tradisional dan

sistem kekerabatannya namun juga dalam agama dan budaya yang berpengaruh

terhadap pola pikir dan pola perilakunya. Bali, sebagai tujuan wisata internasional,

menghadapi berbagai tantangan dan cobaan yang bersifat internal maupun

eksternal yang merupakan konsekwensi logis dari majunya pariwisata dan proses

global. Salah satu upaya untuk menghadapi ancaman eksternal dilakukan melalui

pemberdayaan desa adat.

Desa adat atau desa pakraman adalah lembaga desa yang bergerak di

bidang sosial budaya dan keagamaan. Sangat sulit untuk membedakan antara

kegiatan budaya dan keagamaan di Bali karena telah menyatu ibarat kain dengan

motif-motifnya yang saling memperindah keberadaannya. Masyarakat desa di

Bali yang terintegrasi dalam proses modernisasi akan mengalami ancaman dalam

kekompakan sosial dan kelestarian lembaga-lembaga adatnya akibat adanya

monetisasi (Couteau, 1995). Modal sosial diharapkan dapat melindungi

Page 95: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

136

masyarakat di Bali, perdesaan maupun perkotaan, dari ancaman disintegrasi

tersebut.

Model persamaan struktural modal sosial dalam komunitas desa adat

memiliki beberapa kriteria kebaikan model yaitu nilai chi-square yang tidak nyata

(>0.5), RMSE lebih kecil dari 0.08 dan nilai AGFI lebih besar dari 0.8. Nilai chi-

square yang tidak nyata menunjukkan bahwa ada kesesuaian antara model dan

data sehingga model dapat diterima dan valid digunakan sebagai dasar

pengambilan keputusan.

Tabel 27 Variabel Laten dan Signifikansi Masing-Masing Indikator

terhadap Variabel Laten Modal Sosial dalam Komunitas Banjar/Desa Pakraman di Bali, 2005

Variabel laten Indikator Koefisien t-hit

Rasa Percaya* (0.380)

1. Kepadatan jaringan kerja (DN)

2. Leadership

1.101

0.230

1.586

1.368

Jaringan Kerja* (0.391)

1. Bonding (1)

2. Bonding(2)

3. Bridging(1)

4. Bridging (2)

0.867

0.267

0.600

0.294

4.233*

2.608*

3.492*

2.454*

Norma (0.073)

1. Dana Kelompok

2. Dana Awal

0.232

-0.717

1.745*

-1.794* Sumber : Hasil analisis data primer, 2005 *nyata pada tingkat 5 persen Hasil analisis menunjukkan bahwa modal sosial dipengaruhi secara nyata

oleh variabel rasa percaya dan jaringan kerja. Rasa Percaya memberi kontribusi

nyata terhadap variabel laten endogen modal sosial namun tidak ada indikator

yang dapat menjelaskan secara nyata bagaimana rasa percaya tersebut dibangun.

Berbeda halnya dengan kontribusi variabel laten eksogenus jaringan kerja yang

memiliki nilai lebih besar dan juga nyata. Membangun Jaringan kerja dapat

dilakukan dengan membangun hubungan baik terhadap semua organisasi yang ada

dalam wilayah yang sama maupun di luar wilayah.

Hasil analisis SEM menunjukkan bahwa indikator dari variabel laten rasa

percaya adalah kepadatan jaringan kerja dan pola kepemimpinan namun kedua

indikator tersebut tidak signififan. Selanjutnya, seluruh indikator dari variabel

Page 96: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

137

laten jaringan kerja memiliki kontribusi nyata yang meliputi interaksi antar

organisasi desa adat dalam satu wilayah (bonding 1) maupun wilayah lain

(bonding 2) serta interaksi antar organisasi yang berbeda tujuan di wilayah yang

sama (bridging 1) maupun berbeda (bridging 2). Pada tingkat kepercayaan yang

lebih rendah, seluruh indikator dari variabel norma juga berpengaruh nyata.

Simpulan Akhir Bab Modal sosial tertambat pada struktur sosial yang terbangun dalam suatu

masyarakat. Oleh karena itu, komponen dominan modal sosial berbeda-beda

sesuai dengan karakteristik struktur sosial ekonominya (Putnam (1993),

Beugelsdijk dan van Schaik (2003), dan Iyer et al. (2005)). Di Bali, komponen

dominan modal sosial di wilayah maju adalah rasa percaya sedangkan komponen

modal sosial di wilayah belum berkembang adalah rasa percaya, jaringan kerja,

dan norma yang kontribusinya sangat dominan.

Komponen dominan modal sosial dalam organisasi modern (komunitas

pariwisata) adalah rasa percaya. Jaringan kerja merupakan komponen yang

memberi kontribusi paling dominan terhadap modal sosial dalam organisasi

tradisional (komunitas subak dan komunitas banjar pakraman). Selain jaringan

kerja, komponen modal sosial yang memberi kontribusi nyata dalam komunitas

subak adalah norma sedangkan dalam komunitas banjar pakraman adalah rasa

percaya.

Hasil analisis komponen dominan modal sosial tersebut menunjukkan

bahwa membangun modal sosial individu di suatu wilayah maupun membangun

modal sosial kelompok dalam suatu komunitas tidak dapat dilakukan melalui

suatu pola yang sama. Ketertambatan modal sosial dengan struktur sosialnya

harus menjadi pertimbangan utama.

Page 97: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

ANALISIS PERAN MODAL SOSIAL DAN KETERKAITANNYA DENGAN INDIKATOR KESEJAHTERAAN:

Analisis di Tingkat Mikro dan Makro

Pemahaman pembangunan ekonomi seringkali diartikan sama dengan

pertumbuhan ekonomi padahal keduanya merupakan hal yang berbeda. PDRB,

PAD serta laju PDRB merupakan indikator pertumbuhan ekonomi wilayah

sedangkan indikator pembangunan ekonomi wilayah selain mencakup indikator

pertumbuhan ekonomi juga mempertimbangkan indikator sosial dan kelembagaan

termasuk distribusi kesejahteraan. Seringkali, tingginya pertumbuhan ekonomi

diikuti oleh terjadinya peningkatan ketimpangan pendapatan antar wilayah

maupun antar kelompok masyarakat yang keduanya dapat menjadi pemicu konflik

dan ketidakamanan.

Pembangunan di Bali sejak dulu dijiwai oleh agama Hindu yang diperkaya

oleh kebhinekaan nilai-nilai budaya seluruh daerah di Indonesia. Interaksi yang

terbangun antara penduduk lokal dan pendatang, tidak saja memberi dampak pada

kehidupan ekonomi namun juga perubahan kehidupan sosial. Bali sesungguhnya

telah mengalami pengaruh luar sejak jaman Kerajaan Majapahit. Salah satu bukti

adanya pengaruh luar tersebut adalah pengelompokan masyarakat berdasarkan

kasta. Ardhana (1994) menyatakan bahwa kelompok Bali asli (Bali Aga) tidak

mengenal istilah kasta, artinya kelompok masyarakat Bali yang berkembang saat

ini dan terikat dalam sistem kasta bukanlah penduduk asli Bali. Menurutnya

kekawin Jawa, Nagarakrtagama, menguatkan fakta bahwa kebudayaan Jawa

sangat mendominasi Bali sejak abad ke 14. Pengembangan kebudayaan Jawa di

Bali dimulai sejak adanya pusat-pusat kerajaan di setiap kabupaten yang

menyerupai galaksi mengelilingi Bali kecuali di Kabupaten Jembrana. Pusat

Galaksi tersebut terdapat di Klungkung (Artadi, 1993).

Pengaruh negara asing juga telah terjadi sejak masuknya pedagang

Portugis tahun 1586 yang kemudian diikuti oleh misi Belanda tahun 1597.

Hubungan yang terbangun lebih bersifat hubungan penjualan orang-orang Bali

sebagai budak yang didorong oleh tekanan masalah sosial bukan masalah

ekonomi. Kerajaan Karangasem adalah kerajaan pertama yang meminta

pertolongan pihak luar terutama untuk meningkatkan kekuatannya agar mampu

Page 98: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

139

memperluas kekuasaannya di Lombok. Upaya ini diikuti oleh Kerajaan

Klungkung dan Badung. Perjanjian yang mereka tandatangani menyetujui bahwa

kerajaan-kerajaan tersebut berada di bawah kekuasaan Belanda dan saat itu

menjadi pertanda mulai masuknya pengaruh budaya asing di Bali (Couteau,

1995).

Interaksi dalam perdagangan juga mendorong masuknya pengaruh budaya

daerah lain dalam budaya masyarakat di Bali saat ini, terutama dalam hal

pembangunan pemukiman serta tatacara berbusana. Pitana (1994) menyatakan

bahwa perubahan dan dinamika merupakan suatu yang hakiki dalam masyarakat

dan kebudayaan tak terkecuali perubahan dalam masyarakat Bali. Perubahan

memang seringkali menimbulkan rasa kekhawatiran terhadap kelestarian

kebudayaan Bali namun tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan membawa nilai-

nilai positif yang dapat meningkatkan kesejahteraan manusia.

Perubahan dalam suatu masyarakat tidak saja meliputi perubahan nilai-

nilai, norma-norma dan pola-pola perilaku sosial tetapi juga susunan kelembagaan

masyarakat dan struktur sosial (Artadi, 1993). Perubahan bukan merupakan suatu

masalah apabila membawa kebaikan bagi semua pihak, sebaliknya akan menjadi

masalah jika perubahan tersebut hanya menguntungkan kelompok tertentu dan

merugikan kelompok lain, membangun satu sektor melalui peniadaaan sektor lain,

atau memajukan satu wilayah dengan cara mencuci sumber daya daerah lain

(backwash). Menurut Sujana (1994), proses industrialisasi di Bali telah

menghasilkan manusia-manusia Bali yang majemuk, sangat berambisi menguasai

status, materi dan uang. Pada bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa

komponen modal sosial yang dominan di Bali sangat beragam sesuai dengan

karakteristik wilayah dan komunitasnya. Bab ini ditujukan untuk menganalisis

keterkaitan modal sosial dan pembangunan ekonomi wilayah. Hasil analisis

diharapkan dapat menjawab apakah modal sosial berperan terhadap kesejahteraan

masyarakat dan pembangunan ekonomi di Bali dan sebaliknya apakah

kesejahteraan masyarakat dan pembangunan ekonomi berperan dalam

pembangunan modal sosial. Analisis keterkaitan di tingkat mikro didasarkan atas

data modal sosial di empat kabupaten yaitu Kabupaten Jembrana, Kabupaten

Page 99: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

140

Karangasem, Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar, sedangkan analisis di

tingkat makro didasarkan atas data panel dari seluruh kabupaten/kota di Bali.

Struktur Perekonomian Bali

Perkembangan pesat di sektor pariwisata menyebabkan terjadinya loncatan

dari sektor primer ke sektor tersier dalam perekonomian Bali. Transformasi

sektoral tersebut dapat dilihat dari dominasi kontribusi sektor perdagangan, hotel

dan restoran menggantikan dominasi sektor pertanian dalam produk regional

domestik bruto (PDRB) Provinsi Bali. Sesungguhnya, perkembangan

kepariwisataan di Bali sangat didukung oleh sektor pertanian mengingat icon

kepariwisataan di Bali adalah pariwisata budaya dengan keindahan alam termasuk

pemandangan lahan sawah dan terasering yang dibangun oleh masyarakat

pertanian di perdesaan. Sayangnya, perkembangan kepariwisataan diduga

menjadi penyebab terjadinya alih fungsi lahan produktif ke penggunaan non-

produktif yang secara tidak langsung mengancam keberadaan sektor pertanian dan

menghilangkan beberapa kelembagaan pertanian yang sudah mapan seperti subak

(rata-rata 1675 ha/tahun lahan sawah yang terkonversi pada periode tahun 1999 –

2004).

Hampir seluruh usaha pertanian di Bali merupakan usaha pertanian

tradisional (berupa usahatani padi dan palawija, vanili, cengkeh, kopi serta

tanaman hortikultura), tidak ada perkebunan besar, baik milik negara (BUMN)

maupun swasta. Posisi tawar petani lemah dan upaya pemerintah provinsi

maupun kabupaten untuk memperkuat posisi tawar ini belum optimal. Luasan

lahan pertanian yang diusahakan oleh rumah tangga petani relatif sempit.

Sebaliknya, sektor pariwisata adalah sektor modern yang pengelolaannya

dilakukan secara profesional. Perkembangan pesat di sektor pariwisata telah

menjadi faktor penarik bagi tenaga kerja produktif yang berada di sektor pertanian

dan mendorong sebagian petani untuk menjual lahan mereka, pindah berusaha di

sektor jasa karena bekerja di sektor pertanian tidak lagi menarik.

Berbeda dengan peran pemerintah di sektor pertanian, peran pemerintah

dalam memperkuat kepariwisataan relatif lebih besar. Pada saat kontribusi sektor

perdagangan, hotel dan restoran melemah dan berada pada keadaan paling

Page 100: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

141

tertekan di tahun 2003, pertumbuhan sektor ini turun hingga mencapai angka 0.46

yang disebabkan oleh terjadinya keadaan tidak aman (ledakan bom) pada Oktober

2002, pemerintah terus menerus menggiatkan aktivitas promosi ke berbagai pasar

wisata di dalam dan luar negeri. Sebagai daerah tujuan wisata nasional dan

internasional, gangguan keamanan memang sangat mempengaruhi jumlah

kunjungan wisata dan lama tinggal wisatawan di Bali.

05

101520253035

1996* 1997* 1998* 1999* 2000* 2001* 2002* 2003* 2004**

Pertumbuhan PDRB PertanianPertumbuhan PDRB Perdagangan, Hotel dan restoranDistribusi persentase PDRB PertanianDistribusi persentase PDRB Perdagangan, Hotel dan Restoran

Sumber: Data Bali Membangun Tahun 1999 – 2004 ∗ Berdasarkan harga konstan 1993 ** Berdasarkan harga konstan tahun 2000

Gambar 33 Perkembangan Pertumbuhan dan Kontribusi Sektoral terhadap PDRB Bali Tahun 1996 – 2004

Salah satu kebijakan pemerintah dalam menciptakan keamanan dilakukan

dengan melibatkan organisasi tradisional seperti desa pakraman dengan harapan

dapat meningkatkan kontrol terhadap lingkungannya. Sistem kontrol yang

dikembangkan mengadopsi aturan dan norma dalam desa pakraman tersebut

yang sebagian besar dijiwai Agama Hindu. Aturan dan norma-norma yang

mengatur tata cara berperilaku dan melaksanakan aktivitas sosial dan keagamaan

tersebut memang tidak bersifat kaku (rigid) karena masyarakat Bali mengenal

adanya desa, kala, patra1. Fleksibilitas tersebut merupakan salah satu faktor yang

mendukung upaya untuk mewujudkan kerukunan antar etnis dan pemeluk agama

yang berdomisili di Bali. Kerjasama dan kerukunan antar umat akan mewujudkan

1 Bersifat lokal dan sangat berbeda dari desa satu ke desa lainnya

Page 101: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

142

kondisi yang kondusif bagi perkembangan kepariwisataan yang selama ini

merupakan sektor andalan dalam perekonomian di Bali.

Tabel 28 Struktur Perekonomian Bali, Tahun 2004

SEKTOR Tingkat Tenaga kerja (%) Pertumbuhan PDRB* Kontribusi Sektoral (%)*

2002 2004 2002 2004 2002 2004 Pertanian 32.2 37.13 3.67 3.66 22.26 22.07

Pertambangan dan Penggalian

0.5 1.02 2.00 4.38 0.64 0.65

Industri Pengolahan

14.50 10.38 5.00 3.71 9.55 9.58

Listrik, Gas dan Air Bersih

0.1 0.44 16.82 3.76 1.51 1.47

Bangunan 7.9 5.69 4.14 5.09 3.97 3.90

Perdagangan, Hotel dan Restoran

24.2 26.69 -0.08 4.65 30.18 30.63

Pengangkutan dan Komunikasi

5.1 4.69 4.54 5.17 10.80 10.28

Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan

1.2 1.17 3.60 7.97 7.24 7.32

Jasa-jasa 14.3 12.79 2.50 4.02 13.84 14.10

Bali (total) 1715452 (100)

1835165 (100)

3.04 4.62 18423860 juta

19963243 juta

Sumber: Bali dalam Angka, 2005; Data Bali Membangun, 2005 * Berdasarkan harga konstan tahun 2000

Norma yang fleksibel dan bersifat universal2 karena didasarkan atas desa,

kala, patra, ternyata memberi peluang bagi sekelompok kecil masyarakat untuk

melakukan tindakan-tindakan yang mementingkan kelompok atau golongannya.

Dominasi kelompok atau golongan tertentu terhadap kelompok atau golongan lain

seringkali menimbulkan kesenjangan, konflik dan perlawanan dari kelompok

minoritas yang berpeluang menciptakan keadaan yang tidak aman.

Collier (1998) menyatakan bahwa semakin tinggi kepadatan penduduk

maka interaksi sosial semakin intensif karena jarak tidak lagi menjadi penghambat

untuk membangun interaksi tersebut. Aktivitas bersama yang dihasilkan dari

adanya interaksi sosial yang intensif tersebut dapat meningkatkan produktivitas

ekonomi. Sesungguhnya, pendapat Collier tersebut tidak sepenuhnya sesuai di

setiap wilayah karena tingginya kepadatan penduduk seringkali disertai dengan

adanya peningkatan konflik dan kriminalitas. Kepadatan penduduk yang tinggi

2 Adanya komersialisasi Ngaben Ngerit, komersialisasi Banten atau penggunaan tanah Laba Pura.

Page 102: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

143

seharusnya disertai dengan penguatan norma-norma dan penetapan sanksi apabila

norma-norma tersebut tidak dipatuhi. Di Bali, perakitan dan peledakan bom justru

terjadi di daerah pariwisata paling padat di Bali yaitu Denpasar dan Kuta. Hal

tersebut menunjukkan bahwa tingginya kepadatan penduduk di wilayah maju

disertai dengan melemahnya norma dan sanksi sehingga sistem kontrol sosial

masyarakat terhadap aktivitas orang lain semakin melemah dan tidak efektif.

Pendapatan, Pemerataan Pendapatan dan Kemiskinan di Bali

Modal sosial berperan penting dalam upaya mengurangi jumlah

kemiskinan (Woolcock, 2000). Adanya hubungan yang erat antar individu dalam

suatu kelompok masyarakat, yang disebut modal sosial mengikat (bonding social

capital), menjadi aset penting untuk mengatasi risiko terutama ketika terjadinya

goncangan (shock) dalam perekonomian dan sering kali ia menjadi jaminan kredit

dan asuransi bagi si miskin. Sementara semakin banyak jaringan kerja yang

terbina antar wilayah dan antar karakteristik penduduk yang berbeda (modal sosial

menyambung atau bridging social capital) berperan mengurangi ketidakmerataan

distribusi pendapatan (Alesina dan La Ferara, 2000). Menurut Granovetter

(1973), modal sosial menyambung (bridging social capital) yang dibutuhkan

untuk memperbaiki kinerja sosial ekonomi bukan modal sosial mengikat.

Masyarakat dalam suatu komunitas kecil lebih mampu membangun

interaksi dan komunikasi personal yang intensif sehingga dapat memilih individu-

individu yang dapat dipercaya. Norma bersama dan resiprositas yang terbangun

dalam komunitas mendorong terjadinya pengelolaan sumber daya bersama

(common resource ) secara lebih efisien seperti terpeliharanya sistem irigasi dan

tanah desa (Ostrom dalam North, 1990). Norma dapat pula menjadi penghambat

ketika kelompok tersebut mengisolasi anggotanya dari pengaruh eksternal

maupun mengurangi akses individu lainnya untuk masuk dalam kelompok

tertentu seperti terjadi di Italia Selatan (Putnam, 1993). Menurut Knowles (2005),

modal sosial tidak hanya berperan positif dalam pembangunan ekonomi, namun

dapat pula berperan sebagai rem yang membatasi perkembangan teknologi dan

ide-ide baru.

Page 103: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

144

Di Bali, ada indikasi peningkatan jumlah kemiskinan. Hingga tahun 2004,

jumlah keluarga (KK) miskin per 1000 penduduk terus meningkat. Pada periode

tahun 1998 hingga 2001, peningkatan jumlah KK miskin tersebut diikuti dengan

penurunan tingkat penggangguran sedangkan tahun 2002 dan 2004 terjadi

sebaliknya, peningkatan jumlah penduduk miskin diiringi dengan peningkatan

tingkat pengangguran. Hal ini disebabkan karena menurunnya jumlah kedatangan

wisatawan ke Bali sehingga banyak industri pariwisata yang melakukan

pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawannya.

1999

2002

1998

2000

20012003 2004

0

10000

20000

30000

40000

50000

60000

0 1 2 3 4 5

Tingkat Pengangguran di Bali (%)

Jum

lah

pend

uduk

Mis

kin

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004

Sumber: Bali Membangun, 2005

Gambar 34 Tingkat pengangguran dan Jumlah Penduduk Miskin Di Bali Tahun 1998 - 2004

Di sisi lain, pada periode tahun 1998 hingga tahun 2000, angka Gini ratio

terus menerus menurun yang menunjukkan bahwa distribusi pendapatan semakin

baik. Periode tersebut merupakan periode krisis di Indonesia. Pendapatan per

kapita mengalami tekanan dan berada pada kondisi stagnan. Tahun 2001, terjadi

peningkatan pendapatan per kapita yang tajam namun disertai pula dengan

distribusi pendapatan yang semakin memburuk (Gini ratio meningkat tajam).

Pada periode tahun 2001 hingga tahun 2004, saat terjadi peledakan bom di Bali,

pendapatan perkapita kembali stagnan walaupun berada pada tingkat yang lebih

tinggi dibandingkan dengan periode 1998-2000. Distribusi pendapatan tahun

2004 kembali membaik dibandingkan dengan tahun 2001. Keadaan tersebut

Page 104: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

145

mengindikasikan bahwa membaiknya sektor pariwisata di Bali akan menyebabkan

pendapatan per kapita meningkat sebaliknya dstribusi pendapatan memburuk.

Dapat dinyatakan bahwa perbaikan sektor pariwisata hanya dinikmati oleh

kelompok tertentu.

1998

1999

2000

2004

20012002

2003

0.205

0.21

0.215

0.22

0.225

0.23

0.235

0.24

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000

Pendapatan Per Kapita Rp000

Gin

i Rat

io

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004

Sumber: Data Bali Membangun, 2005

Gambar 35 Distribusi Pendapatan Penduduk (Gini Ratio) dan Jumlah Keluarga Miskin di Bali, Tahun 2004

Indeks Pembangunan dan Indeks Kemiskinan Manusia di Bali Indikator keberhasilan pembangunan di suatu wilayah diukur berdasarkan

indeks pembangunan manusia (IPM) yang terdiri atas komponen daya beli, indeks

harapan hidup dan indeks pendidikan. Pada Tabel 29 ditunjukkan bahwa Badung

merupakan kabupaten dengan kinerja ekonomi terbaik di Bali ditinjau dari

kemampuannya mencapai pendapatan asli daerah (PAD) maupun pendapatan per

kapita tertinggi. Namun, indeks pembangunannya lebih rendah dibandingkan

dengan Kabupaten Tabanan dan Kota Denpasar. Tingginya pendapatan wilayah

ternyata tidak serta merta diikuti oleh kemampuan wilayah tersebut mencapai

tingkat pembangunan yang tinggi maupun menekan kemiskinan.

Tingginya angka harapan hidup di Kabupaten Badung merupakan

konsekwensi logis dari tingginya tingkat pendapatan per kapita penduduk. Angka

harapan hidup tersebut diukur berdasarkan dua komponen yaitu rata-rata bayi

yang lahir hidup dan rata-rata anak yang hidup dari ibu yang berusia 15-49 tahun.

Sebaliknya, Kabupaten Karangasem yang memiliki tingkat pendapatan per kapita

Page 105: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

146

terendah juga memiliki angka harapan hidup terendah. Rendahnya angka harapan

hidup dapat disebabkan oleh tekanan faktor kemiskinan yang menyebabkan

rendahnya tingkat kesehatan serta keadaan gizi ibu dan anak di wilayah tersebut.

Tabel 29 Indikator Keberhasilan Pembangunan di Bali, 2004

Kabupaten/

Kota PAD PDRB Per

kapita (Juta Rupiah)

IPM IKM Angka Harapan

Hidup Jembrana 7 949 226 000 6 056.07 71.9 23.5 68.60

Tabanan 33 970 626 324 5 019.78 70.4 16.8 68.30

Badung 114 056 502 993 12 593.26 70.1 15.4 72.85

Gianyar 43 958 660 000 6 763.53 67.7 18.2 68.27

Klungkung 10 276 421 541 6 709.84 64.6 17.9 64.40

Bangli 6 400 114 949 4 910.15 66.7 19.4 69.23

Karangasem 23 228 140 850 3 959.81 59.3 25.7 63.43

Buleleng 19 697 819 000 4 917.03 63.9 17.4 69.37

Denpasar 85 840 426 925 8 964.74 74.9 12 71.03

Sumber : Biro Keuangan Provinsi Bali, 2005; BPS, 2005 Indeks pembangunan manusia mempertimbangkan pula komponen

pengetahuan yang salah satu pengukurannya dilakukan melalui tingkat partisipasi

murni (Net Enrollment atau NER). Pada setiap strata pendidikan (SD, SMP dan

SMU), tingkat partisipasi murni di Kabupaten Badung berada dibawah Kabupaten

Tabanan.

Tabel 30 Tingkat Partisipasi Murni di Provinsi Bali, 2004

Kabupaten/Kota NER-SD NER-SMP NER- SMA

Jembrana 100.05 80.26 35.53

Tabanan 109.81 77.36 40.43

Badung 107.30 69.73 34.57

Gianyar 95.89 75.62 27.17

Klungkung 98.43 62.62 41.40

Bangli 88.73 55.23 17.40

Karangasem 100.85 57.07 29.23

Buleleng 88.83 53.49 31.02

Denpasar 83.15 72.75 50.84

Sumber : Data Bali Membangun, 2005

Page 106: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

147

Ukuran NER memang seringkali bias. Suatu wilayah yang mudah

dijangkau karena prasarana dan sarana transportasi yang memadai,

memungkinkan mobilitas penduduk yang tinggi khususnya untuk mengikuti

pendidikan yang lebih berkualitas di wilayah lain seperti terjadi di Kabupaten

Badung. Rendahnya NER-SMP dan NER-SMA di Kabupaten Badung

dibandingkan Kabupaten Tabanan dan Kota Denpasar, tidak selalu menunjukkan

rendahnya minat masyarakat untuk memperoleh pendidikan. Hal tersebut dapat

disebabkan oleh tingginya minat masyarakat di Kabupaten Badung untuk

bersekolah di sekolah-sekolah menengah yang ada di Kota Denpasar atau di

Kabupaten Tabanan karena mutu proses pendidikannya memang lebih baik

dibandingkan dengan sekolah menengah di Kabupaten Badung, terutama bagi

masyarakat Badung yang memiliki pendapatan tinggi.

Berdasarkan komponen indeks pembangunan manusia dapat diketahui,

bahwa rendahnya indeks pembangunan manusia di Bali disebabkan oleh relatif

rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat. Indeks Pembangunan

Manusia (IPM) di Provinsi Bali tahun 2002 berada pada tingkat yang lebih rendah

dibandingkan dengan tahun 1996, walaupun lebih tinggi dibandingkan dengan

tahun 1999. Penurunan tersebut dapat disebabkan oleh melemahnya daya beli

masyarakat yang ditunjukkan oleh indikator melemahnya pengeluaran riil per

kapita. Berbagai krisis, yang dimulai sejak tahun 1997, menjadi salah satu faktor

yang menyebabkan melemahnya daya beli masyarakat tersebut. Krisis yang

terjadi tidak saja berupa krisis ekonomi, namun juga krisis kepercayaan dan

kepemimpinan sehingga proses pemulihan ekonomi berjalan sangat lambat.

Perbandingan nilai IPM dan IKM dan berbagai komponennya disajikan pada

Tabel 31.

Tahun 1996, konsumsi riil per kapita di Bali mencapai angka tertinggi di

Indonesia namun angka melek huruf yang mampu dicapai hanya 79.4 persen

setingkat diatas Irian Jaya, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Timor

Timur, dan Jawa Timur (Laporan Pembangunan Manusia Indonesia 1996).

Demikian pula dengan rata-rata lama sekolah hanya 6.3 menunjukkan bahwa rata-

rata pendidikan yang dicapai masyarakat hanya setingkat sekolah dasar (SD).

Page 107: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

148

Seperti halnya dengan pembangunan manusia tahun 1996, komponen

pembangunan manusia tahun 1999 di Provinsi Bali mampu mempertahankan daya

beli per kapita yang tinggi (rangking 3 di Indonesia) namun persentase penduduk

yang melek huruf tetap rendah. Rata-rata lama pendidikan hanya 6.8 tahun, relatif

rendah bila dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia. Nilai tertinggi di

Indonesia untuk komponen rata-rata lama pendidikan mencapai 9.7 tahun. Hal

tersebut menunjukkan bahwa hingga tahun 1999, investasi masyarakat di bidang

pendidikan masih relatif rendah yang akan berpengaruh pada kualitas sumber

daya manusia di masa yang akan datang. Windia (2003) menyatakan bahwa

tingginya tingkat pengeluaran masyarakat Bali memang relatif lebih banyak

tercurah untuk kegiatan konsumtif dan upacara keagamaan.

Tabel 31 Komponen Indeks Pembangunan Manusia di Bali, 1996 – 2002

Komponen 1996 1999 2002

IPM 71.0 65.7 67.5

Usia Harapan Hidup (Tahun) 69.7 69.5 70.0

% Melek Huruf 79.4 82.7 84.2

Rata-rata Lama Pendidikan 6.3 6.8 7.6

Pengeluaran Per kapita (ribu rupiah) 609.0 587.9 596.3

IKM 18.5 18.7 17.3

Penduduk yang tidak mencapai usia 40 thn 8.2 11.7 9.5

Angka buta huruf dewasa 21.0 17.3 15.8

Penduduk tanpa akses pada air bersih 36.0 34.2 27.8

Penduduk tanpa akses pada fasilitas sarana kesehatan

4.2 14.9 19.8

Sumber: Indeks Pembangunan Manusia, 1996; Laporan Pembangunan Manusia, 2004

Komponen pengukuran kemiskinan menunjukkan terjadinya peningkatan

persentase penduduk yang tidak mencapai usia 40 pada tahun 1999 dibandingkan

dengan tahun 1996. Keadaan perekonomian yang belum stabil dan diwarnai oleh

krisis ekonomi, berpeluang menjadi faktor penyebab tekanan hidup sehingga

meningkatkan persentase penduduk yang tidak mencapai usia 40 serta

menurunkan usia harapan hidup masyarakat. Komponen lain yang menunjukkan

terjadinya penurunan kualitas hidup adalah meningkatnya jumlah penduduk yang

Page 108: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

149

tidak memiliki akses terhadap kesehatan. Komponen ini menjadi indikator bahwa

kesehatan menjadi barang langka yang hanya bisa diperoleh dengan biaya tinggi.

Masalah kemiskinan bukanlah masalah yang sederhana. Namun,

Pemerintah daerah seringkali menyederhanakan permasalahan tersebut dan

mendefinisikannya sebagai keadaan yang tidak berkecukupan. Sesungguhnya ada

aspek sosial yang melekat dalam kemiskinan tersebut. Aspek sosial yang

berkaitan dengan kemiskinan tersebut meliputi empati, sikap saling bantu,

kemampuan membangun jaringan kerjasama, rasa percaya, yang semuanya

merupakan indikator terbangunnya modal sosial.

Analisis Modal Sosial Tingkat Mikro di Empat Kabupaten

Model yang dikembangkan untuk menganalisis keterkaitan modal sosial di

tingkat rumah tangga (tingkat mikro) dinyatakan seperti pada persamaan (10)

dengan beberapa modifikasi yang disesuaikan dengan keadaan sosial budaya

setempat. Modal sosial diproksi dengan besarnya pengeluaran sosial masing-

masing rumah tangga (sexp). Sementara tingkat kesejahteraan rumah tangga

diproksi dengan besarnya pendapatan (inc) yang diperoleh keluarga.

Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa modal sosial di tingkat mikro

di Bali dipengaruhi secara nyata (berdasarkan uji F) oleh tingkat kesejahteraan

rumah tangga (inc), tingkat kemajuan ekonomi wilayah (wil), dan kepadatan

jaringan kerja (nw). Namun dari ketiga variabel tersebut, hanya tingkat

kesejahteraan rumah tangga (inc) dan tingkat kemajuan ekonomi wilayah (wil)

yang berpengaruh nyata. Semakin tinggi tingkat pendapatan, semakin kuat modal

sosial yang mereka miliki. Meningkatnya pendapatan rumah tangga sebesar satu

rupiah akan meningkatkan modal sosial sebesar 0.04, ceteris paribus. Relatif

rendahnya dampak peningkatan pendapatan rumah tangga terhadap peningkatan

modal sosial tampaknya berkaitan erat dengan kuatnya norma yang berlaku

sehingga semua kegiatan menjadi beban bersama. Dengan kata lain, jumlah

pembonceng relatif rendah.

Tingkat kemajuan ekonomi wilayah memberi kontribusi positif terhadap

pembentukan modal sosial berarti modal sosial di wilayah belum berkembang

lebih rendah dibandingkan dengan modal sosial di wilayah maju. Hal ini

Page 109: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

150

memperkuat hasil analisis deskriptif yang telah dilakukan pada bab sebelumnya

dan sejalan dengan hasil penelitian Putnam (1983) di Italia.

Lebih jauh, tingkat kesejahteraan rumah tangga (inc) dipengaruhi secara

nyata oleh modal sosial (sexp), jumlah anggota keluarga yang bekerja (emp),

partisipasi dalam organisasi terpenting (part) dan kepadatan jaringan kerja (nw).

Namun dari keempat variabel tersebut, hanya tiga variabel yaitu jumlah anggota

keluarga yang bekerja (emp), partisipasi dalam organisasi terpenting (part) dan

modal sosial (sexp) yang berpengaruh nyata. Variabel jumlah anggota keluarga

yang bekerja tampak berpengaruh positif terhadap tingkat kesejahteraan. Semakin

banyak jumlah anggota keluarga yang bekerja maka semakin sejahtera rumah

tangga tersebut. Variabel modal sosial (sexp) ternyata juga berpengaruh positif

terhadap tingkat kesejahteraan rumah tangga. Meningkatnya pengeluaran untuk

modal sosial sebesar satu rupiah akan meningkatkan pendapatan rumah tangga

sebesar 2.366 rupiah, ceteris paribus.

Tabel 32 Hasil Analisis Keterkaitan antara Berbagai Variabel Modal Sosial

dan Pendapatan Rumah Tangga

Koefisien regresi dengan TSLS Variabel Pendapatan (inc) Modal Sosial (sexp)

Konstanta -223092.9

(33847) 136352.7 (186217)

Jumlah anggota rumah tangga yang bekerja (emp) 117195.2**

(64066)

Kepadatan jaringan kerja (nw) 13092.18 (37242)

-3381.959 (55275)

Partisipasi dalam pengambilan keputusan kelompok (part) 419808.9***

(76696)

Modal sosial (sexp) 2.388** (1.277)

Dummy wilayah (wil) 70173.84*** (22439)

Pendapatan (inc) 0.040402*** (0.017)

Sumber: Analisis Data Primer, 2005 Angka dalam ( ) menunjukkan simpangan baku (standard deviation) ***nyata pada 5 persen ** nyata pada 10 persen *nyata pada 20 persen

Hasil analisis pada Tabel 32 menunjukkan adanya sifat saling

mempengaruhi antara modal sosial dan tingkat kesejahteraan rumah tangga

Page 110: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

151

sehingga dapat disimpulkan bahwa pada tingkat mikro, ada keterkaitan yang nyata

antara modal sosial dan kesejahteraan rumah tangga. Hasil penelitian ini

memperkuat hasil penelitian peneliti sebelumnya yang dilakukan secara parsial

seperti hasil penelitian Grootaert (2001) dan Brata (2004) yang menyatakan

bahwa partisipasi menyebabkan akses masyarakat terhadap sumber finansial

menjadi lebih besar sehingga dapat meningkatkan kesejahteraaan.

Analisis Modal Sosial di Tingkat Makro

Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa modal sosial di tingkat

makro tidak hanya memberi dampak positif namun juga negatif. Salah satu

komponen modal sosial di tingkat makro dinyatakan sebagai ketersediaan

organisasi olah raga dan budaya (Putnam, 1993). Modal sosial tertambat dalam

struktur sosial masyarakat. Di Bali, struktur sosial masih relatif kuat dan terjaga

hingga saat ini. Struktur sosial tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah

satunya adalah migrasi penduduk. Struktur sosial yang bersifat terbuka memberi

peluang yang lebih besar bagi individu untuk masuk ke suatu wilayah atau

sebaliknya meninggalkan wilayah tersebut. Oleh karenanya, penelitian ini

menggunakan persentase jumlah pendatang terhadap penduduk lokal sebagai

indikator modal sosial sesuai pendapat Glaeser, et al. (2002), Beugelsdijk dan

Smulders (2003), dan metode pengukuran modal sosial yang diusulkan Australian

Institute of Family Studies (2002). Semakin besar persentase jumlah etnis lain

terhadap penduduk lokal menunjukkan bahwa wilayah tersebut memiliki tingkat

keterbukaan yang tinggi. Keragaman etnis yang tinggi juga menunjukkan telah

terbangunnya modal sosial antar individu dan organisasi yang heterogen.

Collier (1998) menyatakan bahwa modal sosial dapat diproksi dengan

tingkat kepadatan penduduk. Menurutnya, kepadatan penduduk yang tinggi akan

meningkatkan interaksi sosial dan akhirnya menumbuhkan rasa saling percaya.

Wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi akan memiliki modal sosial

masyarakat yang semakin kuat pula. Masyarakat yang memiliki modal sosial

yang kuat dicirikan oleh adanya ikatan yang kuat, kepadatan jaringan kerja yang

tinggi, kerjasama, rasa percaya dan resiprositas serta norma saling berbagi yang

sangat efektif untuk menekan adanya sikap oportunis. Rasa percaya ditentukan

Page 111: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

152

oleh homogenitas, komposisi populasi dan tingkat ketidaksamaan (inequality).

Rasa percaya yang tinggi ditemukan pada wilayah dengan ras dan komposisi

populasi yang homogen serta tingkat inequality yang rendah.

Tabel 33 Karakteristik Sosial Demografi Wilayah Bali, 2004

Kabupaten/Kota Kepadatan

Penduduk Jiwa/km2

% jumlah Etnis non-

Bali3

Jumlah Desa pakraman per

100000 penduduk4

Organisasi Sosial per

100000 penduduk5

Jembrana 263 26.33 25 26

Tabanan 474 4.12 67 23

Badung 853 5.75 34 22

Gianyar 1030 0.92 64 16

Klungkung 540 4.28 60 42

Bangli 403 2.00 91 40

Karangasem 464 4.84 59 20

Buleleng 445 8.01 27 25

Denpasar 3599 16.14 9 15

Sumber : Bali Dalam Angka, 2005 Berbeda dengan pendapat Collier (1998), kepadatan penduduk di berbagai

wilayah kabupaten/kota di Bali ternyata tidak disertai dengan tingginya kepadatan

organisasi. Pesatnya pembangunan berbagai sarana kepariwisataan dan tingginya

tingkat kesejahteraan penduduk di Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar dan

Kota Denpasar menjadi faktor penarik bagi penduduk dari kabupaten atau

provinsi lain untuk melakukan migrasi ke daerah-daerah tersebut sehingga

kepadatan penduduk di Kota Denpasar, Kabupaten Badung dan Kabupaten

Gianyar sebagai daerah tujuan migrasi, mencapai empat hingga sepuluh kali lebih

tinggi dibandingkan dengan kabupaten lainnya (Tabel 33). Namun kepadatan

jaringan kerja di ketiga wilayah tersebut relatif lebih rendah dibandingkan dengan

wilayah lainnya di Bali. Sekali lagi dapat ditunjukkan bahwa kuatnya keterikatan

penduduk dengan daerah asalnya, menghambat terbangunnya jaringan kerja baru

di daerah tujuan migrasi di Bali.

3 Digunakan sebagai indikator mengukur modal sosial (social capital) 4 Merupakan indikator modal sosial mengikat (bonding social capital) 5 Merupakan indikator norma saling bantu

Page 112: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

153

Variabel respons terdiri atas beberapa indikator pembangunan dan

pertumbuhan ekonomi wilayah meliputi indeks pembangunan manusia (IPM),

indeks kemiskinan manusia (IKM), laju pendapatan domestik regional bruto (laju

PDRB), pendapatan domestik regional bruto (PDRB) serta pendapatan asli daerah

(PAD).

Modal Sosial dan Kemiskinan Badan Pusat Statistik (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu

kondisi seseorang yang hanya dapat memenuhi makanannya kurang dari 2100

kalori per kapita per hari. Kemiskinan bersifat sangat majemuk yang meliputi

rendahnya tingkat pendapatan dan sumber daya produktif yang menjamin

kehidupan berkesinambungan, kelaparan dan kekurangan gizi, rendahnya tingkat

kesehatan, keterbatasan dan kurangnya akses kepada pendidikan dan layanan

pokok lainnya, kondisi tidak wajar dan kematian akibat penyakit yang terus

meningkat, kehidupan bergelandang dan tempat tinggal yang tidak memadai,

lingkungan yang tidak aman serta diskriminasi dan keterasingan sosial.

Kemiskinan juga dicirikan oleh rendahnya tingkat partisipasi dalam proses

pengambilan keputusan dan dalam kehidupan sipil, sosial dan budaya.

Seseorang bisa saja memiliki pendapatan yang telah memenuhi kebutuhan

minimum namun bila pendapatan tersebut jauh lebih rendah dari keadaan

masyarakat maka orang tersebut dalam keadaaan miskin. Kemiskinan dapat pula

dibedakan atas gejala ekonomi dan sosial. Gejala ekonomi dari kemiskinan

penduduk ditunjukkan oleh rendahnya pendapatan sedangkan gejala sosial

ditunjukkan oleh tingginya jumlah kekurangan gizi, buta huruf, penyakit,

lingkungan hidup yang kotor, tingginya kematian bayi, rendahnya harapan hidup.

Indikator kemiskinan yang digunakan dalam penelitian ini adalah indeks

kemiskinan manusia (IKM). Analisis keterkaitan modal sosial dan kemiskinan

telah pula mempertimbangkan adanya sifat endogenitas antara kedua variabel

tersebut. Oleh karena itu, metode analisis data yang digunakan sama dengan

analisis keterkaitan modal sosial dan pembangunan yaitu metode two stage least

squares (TSLS). Peluang F-statistik sangat nyata (0.00). Nilai R2 0.5451

menunjukkan bahwa 54.51 persen variasi (keragaman) variabel tak bebas (IKM)

Page 113: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

154

dapat dijelaskan oleh variabel-variabel bebas dalam model, yaitu: pendapatan

wilayah (PAD), tingkat keadilan (Eq), indeks pembangunan manusia (IPM),

modal manusia (HC) dan modal sosial (SC). Secara matematis dapat dinyatakan

sebagai berikut:

IKM = 57.681* - 6.90E-06 PAD + 10.33 Eq – 0.591IPM*** - 1.21E-05 HC** + 0.106 SC

(7.80) (8.36E-06) (11.45) (0.12) (6.56E-06) (0.07)

Keterangan: Angka dalam kurung menunjukkan simpangan baku (standard deviation)

***nyata pada 5 persen, ** nyata pada 10 persen Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa kemiskinan di Bali dipengaruhi

secara nyata oleh tingkat pembangunan (IPM) dan modal manusia (HC). Kedua

variabel tersebut memberi pengaruh yang negatif artinya semakin tinggi tingkat

pembangunan dan semakin banyak jumlah tenaga kerja berkualitas maka jumlah

kemiskinan akan semakin menurun. Meningkatnya indeks pembangunan sebesar

satu satuan akan menurunkan indeks kemiskinan sebesar 0.591 sedangkan

meningkatnya kualitas modal manusia sebesar satu satuan akan menurunkan

indeks kemiskinan 1.21E-05. Pada tingkat kepercayaan yang lebih rendah (85

persen) dapat dinyatakan bahwa modal sosial memberi pengaruh terhadap

keadaan kemiskinan di suatu wilayah (Lampiran 13).

Modal Sosial dan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Pembahasan mengenai keterkaitan modal sosial dengan pertumbuhan

ekonomi wilayah diawali dengan pembahasan mengenai keterkaitan modal sosial

dengan produktifitas faktor total. Selain tenaga kerja dan modal fisik, total factor

productivity (TFP) diyakini memiliki peran yang nyata terhadap pencapaian

pertumbuhan yang tinggi. Harris (2002) dalam Knowles (2005) menyatakan

bahwa ada 13 faktor yang berkaitan dengan TFP mencakup laju pajak marjinal,

laju inflasi, kesenjangan pendapatan, mobilitas tenaga kerja dan ukuran sektor

publik. Namun Denison dalam Hayami (2000) berusaha menguraikan sisaan

(residual) dalam fungsi produksi dan menyatakan bahwa sisaan (residual) dalam

fungsi produksi yang selama ini dipahami sebagai total factor productivity (TFP)

tidak hanya mencakup perubahan teknologi namun juga aspek lain seperti

pendidikan, umur dan jenis kelamin. Berdasarkan pemikiran yang berkembang

Page 114: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

155

mengenai sisaan tersebut, maka pelitian ini mencoba mengembangkan pengertian

TFP tersebut dengan mempertimbangkan indikator modal sosial dalam

penghitungan sisaan fungsi produksi tersebut.

Hasil analisis regresi di Bali menunjukkan bahwa TFP dipengaruhi oleh

modal sosial menyambung (SCbrd), modal sosial mengikat (SCbnd), tingkat

kemajuan ekonomi wilayah (wil), dan kepadatan jaringan kerja (Nw). Dari

keempat variabel tersebut, hanya modal sosial menyambung (SCbrd), modal

sosial mengikat (SCbnd), dan tingkat kemajuan ekonomi wilayah (wil) yang

berpengaruh nyata. Secara matematis, hasil analisis dapat dirumuskan sebagai

berikut:

TFP = -0.11 + 0.008 SCbrd*** + 2.13 SCbnd* + 0.41 wil* -1.69 Nw (R2 =15%) (1.01) (0.032) (1.38) (0.41) (2.58)

Keterangan:

Angka dalam kurung menunjukkan simpangan baku (standard deviation) *** nyata pada 5 persen ** nyata pada 5 ≤ p <10 persen *nyata pada 10 ≤ p <20 persen

Nilai R2 yang relatif kecil (0.15) menunjukkan rendahnya kemampuan

model menjelaskan keragaman TFP. Knowles (2005) menyatakan bahwa faktor-

faktor yang berkaitan dengan TFP memang sebagian besar merupakan indikator

ekonomi bukan indikator sosial. Bagaimanapun, model yang dibangun tersebut

memiliki nilai F yang nyata artinya model cukup valid untuk menjelaskan bahwa

secara bersama-sama variabel sosial yang dipertimbangkan dalam model

berpengaruh nyata terhadap TFP. Bagaimanapun hanya indikator modal sosial

menyambung (bridging social capital atau SCbrd) yang berpengaruh positif dan

nyata terhadap TFP. Semakin kuat interaksi masyarakat etnis Bali dengan non-

Bali (yang dikenal dengan weak ties) dapat meningkatkan TFP.

Keterkaitan modal sosial dengan output (PDRB) dianalisis melalui model

double log terhadap output wilayah (PDRB) maupun output per kapita (PDRB per

kapita). Hasil analisis menunjukkan bahwa output wilayah (PDRB) dipengaruhi

secara nyata oleh variabel modal sosial mengikat (SCbnd), modal sosial

menyambung (Scbrd), kepadatan jaringan kerja (Nw), norma saling bantu (Nm)

dan tingkat kemajuan ekonomi (wil). Sedangkan output (PDRB) per kapita

Page 115: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

156

dipengaruhi secara nyata oleh modal sosial mengikat (SCbnd) dan Jaringan kerja

(Nw). Hasil analisis yang diperoleh dinyatakan pada Tabel 34.

Tabel 34 Hasil Analisis Variabel Modal Sosial terhadap Output dan Output per

kapita di Bali, Tahun 2005 (pendekatan Model Double Log)

Variabel Terikat

Variabel Bebas Output (PDRB) PDRB per kapita

Konstanta 13.83*** (0.91)

5.26*** (0.22)

Total faktor produktivitas (TFP) 0.003 (0.086)

0.05 (0.09)

Pertumbuhan tenaga kerja (PTK) 0.01 (0.107)

Pertumbuhan modal tetap (PMT) 0.121 (0.16)

Modal sosial menyambung (SCbrd) yang didasari oleh thin trust

- 0.387** (0.207)

-0.36 (0.68)

Modal sosial mengikat (SCbnd) yang didasari oleh thick trust

-0.516 (0.377)*

-1.21*** (0.34)

Norma (Nm) 0.469*** (0.21)

Jaringan Kerja (Nw) -0.889** (0.44)

-0.499* (0.38)

Dummy Wilayah (wil) 0.502** (0.29)

Keterangan: Angka dalam kurung menunjukkan simpangan baku (standard deviation) ***nyata pada 5 persen, ** nyata pada 10 persen, *nyata pada 20 persen

Variabel Dummy bernilai 0 untuk wilayah belum berkembang; 1 untuk wilayah maju

Kepadatan jaringan kerja (Nw), modal sosial mengikat (SCbnd) yang

didasari oleh thick trust dan modal sosial menyambung (SCbrd) yang didasari

oleh thin trust, memberi pengaruh yang negatif artinya ada trade off antara tingkat

modal sosial dan tingkat pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Hal ini

sesungguhnya bertentangan dengan konsep modal sosial yang berkembang.

Modal sosial di Bali kelihatannya menjadi suatu anomali namun Beugelsdijk dan

Smulders (2003) menjelaskan bahwa dampak jaringan kerja pada ekonomi dapat

bersifat positif atau negatif tergantung pada dominasi antara dampak negatif

crowding out waktu kerja dan dampak positif berupa proteksi terhadap perilaku

rent-seeking. Di Bali, ada indikasi bahwa ikatan-ikatan dalam organisasi adat

Page 116: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

157

maupun non-adat telah menyebabkan kuatnya dampak crowding out sehingga

terjadi substitusi antara tenaga kerja untuk aktivitas produktif ke aktivitas sosial.

Sanksi moral yang ketat seringkali menyebabkan masyarakat di Bali

memilih untuk mengorbankan waktu kerja efektif mereka. Hal tersebut dilakukan

agar mereka dapat berpartisipasi dalam kegiatan adat. Oleh karenanya, semakin

luas jaringan kerja yang bersifat bonding maupun bridging akan berimplikasi

secara langsung terhadap pengurangan waktu kerja efektif yang akhirnya akan

berdampak terhadap output yang dapat dihasilkan.

Sebaliknya, norma saling bantu memberi pengaruh positif dan nyata.

Norma saling bantu menjadi jaminan sosial yang selalu tersedia saat dibutuhkan.

Kuatnya norma saling bantu tersebut akan menekan perilaku oportunistik seperti

rent-seeker dan free rider (pembonceng). Nilai koefisien determinasi

menunjukkan 65 persen keragaman PDRB dapat dijelaskan oleh variabel-variabel

dalam model.

Hasil analisis terhadap keterkaitan berbagai komponen modal sosial dan

output per kapita (PDRB per kapita) menunjukkan bahwa modal sosial

menyambung (SCbrd) tidak lagi berpengaruh nyata, hanya modal sosial mengikat

(SCbnd) dan kepadatan jaringan kerja (Nw) yang berpengaruh nyata. Namun

demikian, pengaruh variabel modal sosial menyambung (SCbrd), modal sosial

mengikat (SCbnd) maupun kepadatan jaringan kerja (Nw) tetap saja negatif.

Nilai R2 menjadi lebih kecil yaitu 0.53 artinya hanya 53 persen keragaman output

per kapita yang dapat dijelaskan oleh variabel bebas dalam model tersebut.

Hasil analisis keterkaitan modal sosial dengan indikator pertumbuhan

ekonomi wilayah menunjukkan bahwa pertumbuhan PDRB hanya dipengaruhi

secara nyata oleh pengeluaran riil per kapita masyarakat. Semakin tinggi

pengeluaran riil, semakin besar konsumsi sehingga semakin tinggi pertumbuhan

ekonomi di Bali. Variabel lain seperti keadilan (Eq), modal manusia (HC) dan

modal sosial (SC) tidak berpengaruh secara nyata terhadap pertumbuhan tersebut.

Pertumbuhan PDRB = 1.325385 + 1.013045Eq + 0.007921Yk*** - 7.76E-7HC - 0.01920 SC

(1.92) (10.45) (0.003) (4.5E-6) (0.02) Keterangan:

Angka dalam kurung menunjukkan simpangan baku (standard deviation) ***nyata pada 5 persen

Page 117: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

158

Modal Sosial dan Pembangunan Wilayah

Dua model dikembangkan untuk mengetahui peran modal sosial terhadap

pembangunan wilayah (IPM). Model pertama mempertimbangkan PAD sebagai

indikator kesejahteraan wilayah sedangkan model kedua mempertimbangkan

pendapatan per kapita (Yk) sebagai indikator kesejahteraan wilayah. Perbedaan

tersebut dilakukan dengan pertimbangan bahwa PAD adalah manfaat

produktivitas pengelolaan yang dinikmati oleh komunitas sedangkan pendapatan

per kapita merupakan manfaat produktivitas pengelolaan yang dirasakan oleh

individual.

Hasil analisis menggunakan metode two stage least square pada program

SAS menunjukkan bahwa modal sosial di Bali memberi kontribusi yang positif

dan nyata terhadap tingkat pembangunan. Variabel keadilan (Eq), sumber daya

manusia (HC) dan modal sosial (SC), hanya mampu menggambarkan 12 - 13

persen dari variasi pembangunan di Bali. Kecilnya nilai R2 umumnya disebabkan

oleh jenis data panel yang digunakan dan menunjukkan bahwa masih banyak

faktor lain yang mempengaruhi pencapaian tingkat pembangunan manusia.

Secara terinci, hasil analisis dinyatakan pada Tabel 35.

Model pertama mempertimbangkan PAD sebagai salah satu faktor yang

mempengaruhi modal sosial. Hasil analisis regresi model pertama menunjukkan

bahwa tingkat pembangunan dipengaruhi secara nyata oleh modal sosial (SC) dan

tingkat keadilan (Eq) di wilayah tersebut. Sumber daya manusia (HC) ternyata

tidak berpengaruh secara nyata terhadap pembangunan di suatu wilayah. Semakin

tinggi tingkat keadilan dan modal sosial maka semakin tinggi pembangunan

ekonomi di Bali.

Sebesar 69 persen variasi modal sosial dapat dijelaskan oleh rasa percaya

(Tr), norma (Nm), jaringan kerja (Nw) dan pendapatan wilayah (PAD). Keempat

variabel tersebut memberi pengaruh nyata. Variabel rasa percaya (Tr), kepadatan

jaringan kerja (Nw) dan pendapatan wilayah (PAD) memberi pengaruh negatif

sedangkan norma saling bantu (Nm) berpengaruh positif. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa semakin kuat rasa percaya, yang ditunjukkan oleh semakin

Page 118: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

159

rendahnya jumlah konflik, akan menyebabkan semakin kuatnya modal sosial di

Bali.

Tabel 35 Hasil Analisis Keterkaitan Modal Sosial dan Pembangunan Wilayah

di Bali, Tahun 2005

Variabel Model 1 Model 2 Variabel Terikat Variabel Terikat IPM SC IPM SC

Konstanta -4.79E12*** (7.79)

13.41*** (2.98)

61.36*** (7.79)

13.28*** (4.39)

Tingkat keadilan (Eq) 1.87E13** (39.47)

8.31** (39.43)

Sumber daya manusia (HC) 344731 (0.00)

7.76E-6 (0.0.00)

Modal Sosial (SC) 4.01E10*** (0.097)

0.22*** (0.096)

Rasa percaya sesama etnis (Tr)

-13.71*** (5.82)

-21.26*** (7.05)

Norma (Nm) 268.95*** (61.73)

166.33*** (66.24)

Jaringan Kerja (Nw) -17.93*** (12.91)

2.31 (13.71)

Pendapatan wilayah (PAD) -0.00006*** (0.00)

Pendapatan per kapita (Yk) -105E-14 (1.49E-12)

Keterangan: Angka dalam kurung menunjukkan simpangan baku (standard deviation)

***nyata pada 5 persen, ** nyata pada 10 persen, *nyata pada 20 persen

Hasil analisis mengindikasikan bahwa semakin tinggi PAD maka semakin

lemah modal sosial. Dampak penurunan modal sosial akibat meningkatnya PAD

tersebut relatif kecil yaitu 0.00006. Namun hal tersebut tidak dapat diabaikan.

Penurunan modal sosial di wilayah-wilayah kaya dan maju berkaitan erat dengan

semakin banyaknya public space yang diprivatisasi sehingga mengurangi fasilitas

untuk berinteraksi seperti disewakannya banjar menjadi tempat berdagang, taman

kota menjadi mal dan ruko, privatisasi pantai oleh pemilik hotel, ketiadaan sarana

transportasi yang memadai, dan berkurangnya fasilitas olah raga. Menurut

Narayan (1999), public space merupakan tempat melakukan aktivitas sosial yang

mendorong masyarakat untuk memiliki weak ties. Beberapa faktor penyebab

yang mendorong terjadinya pengalihan public space tersebut adalah: (1)

rendahnya komitmen pemerintah yang ditunjukkan pula oleh rendahnya alokasi

Page 119: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

160

pendapatan daerah yang digunakan untuk pembangunan sosial dan budaya

(4.55%); (2) tingginya biaya imbangan (opportunity cost) untuk membangun

public space.

Jaringan kerja (Nw) juga memberi kontribusi yang negatif terhadap modal

sosial di suatu wilayah. Semakin banyak jaringan kerja per 1000 penduduk berarti

interaksi sosial penduduk semakin intensif. Hal tersebut dapat meningkatkan

sistem kontrol masyarakat sehingga wilayah tersebut menjadi semakin ekslusif,

semakin sulit bagi pendatang untuk menetap di daerah tersebut. Dampak negatif

tersebut berupa menguatnya modal sosial mengikat relatif terhadap modal sosial

menyambung.

Semakin tinggi tingkat kesejahteraan masyarakat yang menetap di suatu

wilayah di Bali semakin kuat hambatan bagi pendatang untuk menetap di wilayah

tersebut. Hambatan tersebut berupa tingginya biaya hidup, ketatnya seleksi

administrasi dan sebagainya. Data menunjukkan bahwa keterbukaan wilayah

belum berkembang memang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah maju yang

ditunjukkan oleh tingginya persentase etnis non-bali terhadap etnis bali di wilayah

belum berkembang seperti Kabupaten Jembrana dan Karangasem.

Berbeda dengan variabel rasa percaya antar etnis (Tr), jaringan kerja (Nw)

dan pendapatan wilayah (PAD), variabel norma (Nm) memberi kontribusi yang

positif terhadap modal sosial. Semakin kuat rasa saling bantu yang ditunjukkan

oleh semakin banyaknya organisasi sosial akan meningkatkan modal sosial.

Organisasi sosial umumnya memiliki satu tujuan yang sama (collective goals)

yaitu membantu golongan yang lemah dan miskin tanpa membedakan usia,

golongan, kasta, jenis kelamin, agama maupun suku. Oleh karena itu, norma

saling bantu yang kuat tidak saja membangun rasa percaya yang semakin kuat

namun juga menjadi jaminan sosial. Berbeda dengan model 1, pendapatan riil per

kapita (Yk) pada model 2 tidak berpengaruh nyata terhadap modal sosial. Modal

sosial hanya dipengaruhi secara nyata oleh rasa percaya (Tr) dan norma (Nm).

Kedua model menunjukkan hasil yang relatif sama, yaitu bahwa pembangunan

dipengaruhi secara nyata hanya oleh modal sosial (SC) dan distribusi pendapatan

(Eq). Konsistensi hasil tersebut menggambarkan bahwa modal sosial berpengaruh

secara positif dan nyata terhadap pembangunan. Kontribusi tenaga kerja (HC)

Page 120: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

161

yang tidak nyata dapat disebabkan oleh pemilihan variabel instrumen maupun

pengukuran yang kurang sesuai.

Simpulan Akhir Bab Di tingkat mikro, modal sosial berkaitan secara positif dan nyata, dengan

pendapatan rumah tangga. Semakin sejahtera rumah tangga semakin besar

kemampuannya untuk membangun modal sosial. Sesuai dengan Putnam (1993),

modal sosial dapat menjadi jaminan sosial bahwa seseorang akan memberi

bantuan saat dibutuhkan sehingga modal sosial yang kuat menunjukkan besarnya

peluang individu untuk memperoleh keuntungan yang tinggi pula. Menurut

Bourdieu (1986), modal sosial juga mampu menjelaskan mengapa modal ekonomi

(economi capital) dan modal budaya (cultural capital) yang sama dapat

menghasilkan keuntungan yang berbeda. Modal sosial individu di wilayah maju

lebih tinggi dibandingkan dengan modal sosial individu di wilayah belum

berkembang

Di tingkat makro, modal sosial di Bali memiliki keterkaitan nyata dengan

indeks pembangunan manusia (IPM). Modal sosial yang kuat akan mendorong

tercapainya pembangunan manusia yang lebih tinggi (sesuai dengan hasil

penelitian Sabatini, 2005). Namun modal sosial tidak berkaitan dengan

kemiskinan maupun pertumbuhan ekonomi wilayah (pertumbuhan PDRB).

Modal sosial yang dibedakan atas modal sosial mengikat (bonding social capital)

dan modal sosial menyambung (bridging social capital) hanya memiliki

hubungan searah dengan output wilayah (PDRB) maupun output per kapita. Hasil

analisis menunjukkan bahwa modal sosial mengikat (bonding social capital),

modal sosial menyambung (bridging social capital) dan kepadatan jaringan kerja

(Nw) memberi kontribusi negatif terhadap output wilayah maupun output per

kapita. Hal ini tidak sepenuhnya bertentangan dengan pendapat Putnam (1993)

maupun Beugelsdijk dan Smulder (2003) namun juga tidak sepenuhnya

mendukung. Menurut Putnam (1993), modal sosial menyambung (bridging social

capital) memang seharusnya memberi kontribusi positif terhadap pertumbuhan

ekonomi wilayah sebaliknya modal sosial mengikat (bonding social capital)

menekan pertumbuhan ekonomi wilayah. Namun, Beugelsdijk dan Smulder

Page 121: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

162

(2003) serta Bartolini dan Bonati (2004) meyakini bahwa kontribusi negatif modal

sosial menyambung (bridging social capital) terhadap pertumbuhan ekonomi

wilayah dapat terjadi disebabkan oleh besarnya dampak crowding out waktu kerja

melebihi dampak positif yang berasal dari pengurangan biaya transaksi dan biaya

pengawasan terhadap perilaku rent-seeking. Bagaimanapun, hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa modal sosial menyambung (bridging social capital)

berpengaruh positif terhadap total faktor produktivitas (TFP).

Page 122: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

STRATEGI REVITALISASI MODAL SOSIAL DI EMPAT KABUPATEN DI BALI

Modal Sosial: Dasar Penentuan Strategi

Dale dan Onyx (2005) menyatakan bahwa keterkaitan pembangunan

ekonomi wilayah dan modal sosial sulit untuk dipahami. Namun demikian, peran

modal sosial dalam pertumbuhan dan pembangunan ekonomi dapat dijelaskan

melalui beberapa mekanisme. Modal sosial memfasilitasi terjadinya proses adopsi

yang lebih cepat dan juga menekan biaya-biaya transaksi dalam proses produksi.

Penggunaan modal sosial yang tepat akan meningkatkan akses setiap orang untuk

memperoleh pengetahuan, pendidikan, kesehatan, rasa aman dan lapangan kerja

sehingga lebih sejahtera.

Hasil analisis terdahulu menunjukkan bahwa rasa percaya masyarakat di

Bali berada dalam kategori relatif lemah dibandingkan beberapa negara lainnya di

dunia, kepadatan organisasi pada kategori sedang dan norma pada kategori kuat.

Di Bali, modal sosial mengikat (bonding social capital) dan modal sosial

menyambung (bridging social capital) memberi pengaruh negatif terhadap

pertumbuhan (PDRB). Modal sosial mengikat (bonding social capital) yang

berlandaskan atas rasa percaya terhadap sesama etnis (thick trust), berbeda nyata

dan lebih kuat dibandingkan dengan modal sosial menyambung (bridging social

capital) yang berlandaskan atas rasa percaya terhadap etnis lain (thin trust).

Perbedaan tersebut perlu memperoleh perhatian mengingat kuatnya ikatan

bonding tidak selalu memiliki dampak yang positif terhadap pertumbuhan dan

pembangunan ekonomi wilayah (Iyer et al, 2005).

Rendahnya rasa percaya terhadap etnis lain (thin trust) akan menimbulkan

sifat saling mencurigai dan berpotensi menimbulkan konflik antar etnis padahal

konflik-konflik yang bersifat potensial maupun laten, harus dihindari mengingat

Bali sebagai daerah tujuan wisata yang memerlukan keamanan dan kenyamanan.

Oleh karenanya, keseimbangan antara thick trust dan thin trust tersebut harus

terus dijaga. Alesina dan La Ferrara (2000), menyatakan bahwa melemahnya rasa

percaya dapat disebabkan oleh pengalaman yang menimbulkan traumatis. Indeks

dari berbagai komponen modal sosial ditunjukkan pada Tabel 36.

Page 123: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

164

Tabel 36 Indeks Rasa Percaya, Kepadatan Jaringan Kerja dan Norma

di Empat kabupaten di Bali, Tahun 2005

Komponen Nilai paling diharapkan

Nilai tidak diharapkan

Rata-Rata Indeks

Rasa Percaya individu 2 1 1.16 0.16

1. Bonding (Thick Trust) 5 1 3.21 0.55

2. Bridging (Thin Trust) 5 1 1.81 0.16

3. Pemerintah kabupaten 5 1 2.48 0.37

4. Pemerintah provinsi 5 1 2.27 0.32

5. Polisi 5 1 2.71 0.43

6. Guru 5 1 3.35 0.59

Kepadatan Jaringan Kerja individu

7 1 3.19 0.37

1. Jumlah Teman 4 1 3.51 0.84

2. Partisipasi 4 1 2.68 0.56

Norm individu 5 1 4.09 0.77

1. Titip anak 4 1 3.60 0.95

2. Free rider 5 1 3.85 0.71

Sumber : Analisis Data Primer, 2005

Di antara berbagai profesi yang ada, profesi guru memperoleh rasa percaya

tertinggi dari masyarakat Bali. Secara umum, rasa percaya terhadap semua

profesi berada pada kategori sedang. Rasa percaya masyarakat terhadap kinerja

pegawai provinsi memiliki indeks terendah sedangkan rasa percaya terhadap

kinerja pegawai kabupaten setingkat lebih tinggi. Rendahnya rasa percaya

tersebut dapat menjadi faktor penghambat bagi upaya peningkatan partisipasi

masyarakat dalam program-program pembangunan.

Partisipasi anggota masyarakat di Bali dalam kegiatan bersama berada

pada kategori sedang. Demikian pula kepadatan jaringan kerja (organisasi)

masyarakatnya. Partisipasi merupakan faktor penting dalam proses difusi

informasi dan kelekatan sosial. Indikator-indikator tersebut dan tingginya indeks

jumlah teman dekat menunjukkan bahwa intensitas hubungan sosial di Bali relatif

kuat.

Norma yang masih mengikat kuat dalam masyarakat Bali adalah norma

saling memberi bantu fisik terutama saat adanya kegiatan adat. Selain itu, gotong

royong untuk menjaga lingkungan masih sering dilakukan. Menitipkan anak dan

Page 124: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

165

rumah pada tetangga, relatif masih mudah dilakukan. Namun demikian, hal yang

tidak diharapkan sudah mulai tumbuh dalam masyarakat yaitu adanya individu

individu yang bersikap sebagai pembonceng (free rider). Indeks free rider di Bali

termasuk kategori tinggi. Sebagian besar masyarakat merasa ada yang telah

memanfaatkan kebaikan yang mereka berikan pada pihak lain. Dengan kata lain,

sudah mulai tumbuh jiwa asosial dalam masyarakat Bali. Salah satu faktor yang

dapat diduga menyebabkan hal tersebut adalah lemahnya sanksi yang dikenakan

terhadap anggota dalam suatu organisasi yang melalaikan tugasnya. Sanksi moral

yang dahulu sangat efektif karena malu dan takut bila dikucilkan, saat ini mulai

melemah. Menurunnya keefektifan sanksi moral disebabkan oleh munculnya

alternatif untuk menghindari sanksi tersebut seperti berdomisili pada dua desa

pakraman maupun membeli ayahan1. Gejala tumbuhnya pembonceng tersebut

seharusnya ditekan sejak awal, jika tidak, akan memberi dampak negatif terhadap

keberadaan modal sosial masyarakat.

Pada bab sebelumnya telah ditunjukkan pula bahwa rasa percaya, yang

menjadi dasar untuk membangun kerjasama, merupakan faktor yang memberi

kontribusi nyata terhadap variabel modal sosial dan pertumbuhan ekonomi di

Bali. Namun hasil analisis menunjukkan pula bahwa indeks rasa percaya

masyarakat terhadap etnis lain, pegawai pemerintah provinsi maupun kabupaten,

relatif rendah. Oleh karenanya, diperlukan suatu sikap politik yang mampu

menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat terutama berkaitan

dengan upaya-upaya meningkatkan investasi di bidang sosial (revitalisasi modal

sosial), terutama dalam rangka pemberdayaan masyarakat.

Berkaitan dengan upaya membangun modal sosial, muncul pertanyaan

mengenai strategi apakah yang harus dipilih oleh masyarakat dan pemerintah di

Bali untuk merevitalisasi modal sosial? Bekerjasama ataukah tidak bekerjasama?

Bekerjasama seringkali merupakan hasil dari terbangunnya rasa percaya.

Williamson (1988) dalam Casson dan Godley (2000), menyatakan bahwa rasa

percaya tidak dapat ditumbuhkan oleh salah satu sumber saja. Seringkali rasa

saling percaya tumbuh berdasarkan hubungan yang setara antara masyarakat dan

pemerintahnya. Oleh karenanya, keputusan untuk bekerjasama berarti semua 1 Ayahan adalah kewajiban masyarakat untuk memberi bantuan fisik maupun finansial kepada tetangga atau kelompok pada saat dilaksanakan kegiatan adat.

Page 125: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

166

pihak harus membangun kesetaraan dan menanggung biaya sosial secara

bersama-sama. Berapa besar ganjaran (payoff) yang diperoleh setiap aktor atau

stakeholder pembangunan di Bali jika mereka memilih strategi bekerjasama atau

tidak bekerjasama? Apakah strategi tersebut dapat menghasilkan suatu keadaan

keseimbangan Nash (Nash Equilibrium) yaitu keadaan dimana tidak ada peluang

bagi masing-masing pihak untuk mengubah strateginya karena strategi yang telah

dipilih merupakan strategi terbaik?

Strategi Membangun Modal Sosial:

Bekerjasama (cooperative) atau Tidak Bekerjasama (non-cooperative)

Bekerjasama adalah salah satu cara untuk menguatkan modal sosial.

Kerjasama sesungguhnya telah mencakup ketiga komponen dalam modal sosial

yaitu rasa percaya, jaringan kerja dan norma. Namun membangun kerjasama

untuk memelihara dan menguatkan modal sosial yang merupakan common pool

resources membutuhkan kemauan politis (political will) yang besar. Sekelompok

orang tidak akan dapat membangun kerjasama jika tidak ada organisasi yang

mewadahi mereka. Prasyarat terbangunnya organisasi adalah adanya rasa percaya

dan norma yaitu aturan yang mengatur cara mereka berperilaku dalam organisasi

tersebut.

Membangun dan menguatkan modal sosial di Bali tidak hanya dapat

dilakukan oleh masyarakat saja. Paling tidak, ada tiga aktor (player) yang terlibat

dalam upaya penguatan modal sosial di Bali yaitu pemerintah kabupaten,

pemerintah provinsi dan masyarakat. Secara teoritis, Schubick (1995)

menyatakan bahwa bekerjasama hanya akan menguntungkan apabila memenuhi

kriteria berikut:

ν (S∪T) ≥ ν (S) + ν(T) ;

dimana:

ν = adalah fungsi karakteristik (characteristic function) yang diformulasikan oleh John von Neuman.

ν (S∪T) = manfaat yang diperoleh apabila bekerjasama ν (S) = manfaat yang diperoleh individu S bila memutuskan bekerja sendiri ν(T) = manfaat yang diperoleh individu T bila memutuskan bekerja sendiri S,T = aktor yang terlibat dalam interaksi

Page 126: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

167

Perilaku setiap aktor dalam suatu organisasi dapat digambarkan dengan

baik oleh Axelrod (1984) melalui Teori Permainan (Game Theory). Permainan

(Game) adalah suatu situasi strategis dimana terdapat keterkaitan antar dua atau

lebih aktor yang membuat keputusan. Masing-masing aktor memperoleh

penghargaan (reward) atas keputusannya. Nilai dari penghargaan (reward) yang

diperoleh tergantung pada keputusan yang dibuat oleh pihak lain (Kimbrough,

2002).

Analisis permainan ini menjadi penting, mengingat perilaku ekonomi

masyarakat di Bali masih terikat kuat pada norma-norma bersama (collective

norms). Sebagai contoh keterikatan masyarakat dengan daerah asalnya karena

adanya sanggah kemulan1. Seringkali masyarakat di Bali mengorbankan waktu

kerja agar dapat berpartisipasi dalam kegiatan bersama (collective action) yang

berkaitan dengan adat dan agama di daerah asalnya. Keputusan rumah tangga dan

individu dalam membentuk kelompok dan berorganisasi pun masih dipengaruhi

oleh struktur sosial tradisional (sistem kasta). Batasan-batasan norma tersebut

menyebabkan keputusan masyarakat dan individu tidak hanya didasarkan oleh

rasionalitas. Perilaku pemain tidak lagi mengarah pada sikap altruism namun

menuju sikap yang resiprokal karena sikap tersebut menghindarkan mereka dari

tindakan tereksploitasi oleh pihak lain (pembonceng).

Tabel 37 Bantuan Dana per Tahun untuk Desa Pakraman

di Empat Kabupaten di Bali, Tahun 2004

Pengeluaran

Sosial Jembrana Badung Gianyar Karangasem

Provinsi 25 000 000 25 000 000 25 000 000 25 000 000

Kabupaten 10 000 000*) 100 000 000 12 000 000 10 000 000

Masyarakat per 100 pddk

9 904 400 19 005 900 11 415 700 8 100 000

Sumber : Data Primer, 2005 *) bukan bantuan rutin, nominalnya bergantung pada kebutuhan desa pakraman

1 Tempat masyarakat Hindu Bali memuja Tuhan dan leluhurnya.

Page 127: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

168

Selama ini, pemerintah kabupaten dan provinsi melakukan investasi sosial

yang bertujuan untuk memelihara dan menjaga keberlangsungan aktivitas sosial

dalam organisasi sekaa, desa pakraman dan subak. Besarnya investasi sosial

tersebut ditetapkan secara eksogen berdasarkan kemampuan keuangan pemerintah

bukan berdasarkan hasil kajian teoritis terhadap optimasi biaya sosial yang

dibutuhkan (Tabel 37). Kabupaten yang memiliki PAD tinggi memberikan dana

operasional yang tinggi pula kepada masing-masing desa pakraman dan

organisasi lain yang ada di wilayahnya, sebaliknya kabupaten yang memiliki PAD

rendah memberi bantuan jauh lebih rendah, sesuai dengan kemampuannya.

Hingga saat ini, ada kecenderungan bahwa sebagian besar dana tersebut

digunakan untuk biaya operasional dan pemeliharaan bangunan fisik (tempat

persembahyangan bersama) sedangkan investasi sosial untuk membangun dan

menguatkan modal sosial melalui aktivitas bersama relatif diabaikan.

Proksi yang digunakan sebagai ukuran keterlibatan masyarakat,

pemerintah kabupaten dan provinsi dalam membangun modal sosial dalah

besarnya kontribusi masing-masing pihak dalam aktivitas sosial yang dinyatakan

dengan istilah pengeluaran sosial (social expenditure). Semakin tinggi

pengeluaran sosial berarti semakin tinggi investasi yang dialokasikan untuk

aktivitas sosial sehingga dapat diharapkan bahwa semakin tinggi pula stok modal

sosial dalam kelompok tersebut. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka dapat

ditentukan besarnya ganjaran (payoff) dari modal sosial di masing masing

kabupaten. Ganjaran masing-masing aktor dalam analisis permainan untuk

membangun modal sosial di Bali ditunjukkan pada Tabel 12 (Bab Metodologi

Penelitian).

Sesungguhnya terdapat beberapa strategi yang dapat dipilih oleh masing-

masing aktor yang berperan dalam proses pembangunan modal sosial, yaitu

bersikap altruism, resiprokal ataupun selfish. Namun dalam penelitian ini, ketiga

sikap tersebut dikelompokkan atas dua strategi, yaitu: (1) tidak bekerjasama; dan

(2) bekerjasama. Memilih bekerjasama berarti aktor harus bersedia saling bantu

dalam membangun modal sosial dengan cara (1) pemerintah provinsi dan

kabupaten memfasilitasi terbangunnya modal sosial seperti penyediaan fasilitas

fisik dan bantuan dana; (2) masyarakat menjaga hubungan sosialnya dengan

Page 128: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

169

menjaga norma saling bantu dan interaksi (silahturahim) dengan sesamanya.

Ketiga aktor yakni pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan masyarakat

harus mengeluarkan sejumlah uang untuk membangun modal sosial karena modal

sosial tidak akan terbangun secara sepihak.

Modal sosial yang tidak terjaga dan terpelihara akan menyebabkan adanya

situasi dan kondisi tidak aman yang menekan produktivitas kerja masyarakat di

semua sektor perekonomian, terutama sektor kepariwisataan sebagai sektor

dominan di Bali. Ketidakamanan akan berakibat pada menurunnya jumlah

wisatawan dan lama tinggal wisatawan di Bali. Apabila pemerintah kabupaten

dan masyarakat bekerjasama, maka ganjarannya akan berupa peningkatan

pendapatan rumah tangga dan regional. Sebaliknya, keputusan masyarakat untuk

tidak bekerjasama berarti bertindak selfish atau masing-masing individu tidak

membangun modal sosialnya yang berimplikasi pada rendahnya pengeluaran

untuk aktivitas sosial masyarakat. Keputusan untuk tidak bekerjasama memang

akan melemahkan pengawasan terhadap orang lain sehingga memungkinkan

munculnya berbagai konflik yang memicu rasa ketidakamanan dan situasi yang

tidak kondusif untuk melaksanakan aktivitas produktif. Situasi yang tidak

kondusif tersebut akan menyebabkan hilangnya sebagian pendapatan masyarakat

karena menekan perkembangan industri pariwisata seperti turunnya kunjungan

wisata dan semakin pendeknya length of stay wisatawan.

Analisis terhadap upaya membangun modal sosial di Bali dilakukan

melalui extensive game analysis, yang memiliki karakteristik sebagai berikut: (1)

ada pemain-pemain dalam permainan (player), (2) masing-masing pemain

bergerak sesuai dengan informasi yang dimilikinya (strategy), dan (3) ganjaran

(payoff) yang diterima oleh masing-masing pemain untuk setiap kombinasi

gerakan-gerakan yang dipilih oleh para pemain (Anwar, 2002). Penentuan

pemerintah kabupaten sebagai aktor utama disesuaikan dengan pertimbangan

adanya kebijakan otonomi daerah yang memberi otonomi kepada pemerintah

kabupaten untuk bertindak sebagai penentu kebijakan. Setiap keputusan yang

diambil oleh masing-masing aktor dapat dinyatakan sebagai berikut:

Page 129: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

170

Bekerjasama (cooperative), Jika B Sexp

ijij ji Tidak Bekerjasama (non-cooperative), jika B< Sexpδ

⎧ ⎫= ⎨ ⎬⎩ ⎭

dimana: ijδ = keputusan yang diambil oleh aktor i terhadap aktor j

B = keuntungan (benefit) yang diterima dari interaksi sosial yang terbangun Sexp = biaya sosial (social expenditure) yang harus ditanggung oleh aktor i,j = aktor dalam interaksi sosial Analisis permainan dilakukan melalui Program Gambit. Hasil analisis

tersebut dibagi dalam dua kelompok yaitu: (1) permainan yang menganalisis

interaksi antara pemerintah kabupaten dan masyarakat, dan (2) permainan yang

menganalisis interaksi antara pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi.

Hasil analisis permainan menunjukkan bahwa terdapat dua keseimbangan Nash

(Multiple Nash Equilibria) dalam setiap interaksi antara pemerintah kabupaten

dan masyarakat, dan antara pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi. Nash

Equilibrium adalah keadaan dimana setiap peserta dalam permainan memilih

strategi terbaik bilamana strategi pihak lain diketahui (Anwar, 2002). Secara lebih

spesifik dapat dinyatakan bahwa Nash Equilibrium adalah suatu keseimbangan

dimana setiap pemain tidak dapat lagi mengubah strategi permainannya dengan

tujuan untuk meningkatkan keuntungannya.

Gambar 36 Ganjaran bagi Pemerintah dan Masyarakat Kabupaten Jembrana

dalam Membangun Modal Sosial Tahun 2005

Adanya dua keseimbangan Nash ( Nash Equilibrium) yang terjadi dalam

setiap interaksi yang dianalisis menunjukkan bahwa interaksi antar aktor

pembangunan di wilayah berkembang dan wilayah maju tidak berbeda dan akan

Page 130: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

171

menghasilkan outcome yang sama, yaitu Dua Nash Equilibrium. Keseimbangan

tersebut tercapai apabila pemerintah kabupaten memilih strategi untuk

bekerjasama, baik dengan masyarakat maupun dengan pemerintah provinsi.

Demikian pula halnya dengan strategi masyarakat dan pemerintah provinsi, yaitu

bekerjasama dengan pemerintah kabupaten. Pilihan untuk bekerjasama memiliki

konsekwensi menanggung bersama-sama biaya untuk membangun modal sosial.

Apabila pemerintah Kabupaten Jembrana memilih untuk bekerjasama

dengan masyarakat maka ganjaran yang diperoleh sebesar Rp 1 879.23 juta per

tahun dan masyarakat memperoleh rataan peningkatan pendapatan riil sebesar Rp

3 478 700 per kapita per tahun. Rataan biaya sosial yang dikeluarkan oleh

masyarakat adalah sebesar Rp 99 044 per bulan untuk membangun modal sosial

individu. Pihak pemerintah kabupaten harus mengalokasikan dana sebesar Rp

630 juta rupiah per tahun untuk investasi modal sosial yang merupakan biaya

untuk membangun atau memelihara prasarana dan sarana yang dapat digunakan

untuk melakukan aktivitas bersama.

Gambar 37 Ganjaran bagi Pemerintah dan Masyarakat Kabupaten Badung dalam

Membangun Modal Sosial Tahun 2005

Strategi pemerintah daerah Kabupaten Badung untuk bekerjasama dengan

masyarakatnya dalam membangun modal sosial juga menghasilkan ganjaran yang

berupa rataan peningkatan pendapatan wilayah sebesar Rp 56 097 juta per tahun,

dan rataan peningkatan pendapatan riil bagi masyarakat sebesar Rp 6 198 480 per

kapita per tahun atau Rp 516 540 per kapita per bulan.

Page 131: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

172

Gambar 38 Ganjaran bagi Pemerintah dan Masyarakat Kabupaten Gianyar dalam

Membangun Modal Sosial Tahun 2005 Keseimbangan Nash dalam interaksi antara pemerintah daerah (pemda) di

Kabupaten Gianyar dan masyarakat juga berjumlah dua yaitu bila pemda

bekerjasama dan masyarakat juga bekerjasama. Ganjaran untuk pemda Gianyar

berupa rataan peningkatan pendapatan wilayah (PDRB) sebesar Rp 34 440.31 juta

per tahun sedangkan ganjaran bagi masyarakat berupa rataan peningkatan

pendapatan rumah tangga sebesar Rp 233 930 per bulan .

Gambar 39 Ganjaran bagi Pemerintah dan Masyarakat Kabupaten Karangasem

dalam Membangun Modal Sosial Tahun 2005 Sama halnya dengan pemerintah daerah (pemda) lainnya, strategi dominan

bagi pemda Karangasem adalah melakukan kerjasama dengan menyediakan

fasilitas bagi masyarakat untuk berinteraksi dalam kelompok dengan cara

melakukan investasi modal sosial. Strategi tersebut akan memberikan ganjaran

sebesar Rp 37 000 juta per tahun kepada pemerintah daerah dan rataan

peningkatan pendapatan rumah tangga sebesar Rp 83 100 per bulan.

Page 132: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

173

Secara umum, dapat dinyatakan bahwa keputusan pemerintah kabupaten

untuk bekerjasama dengan masyarakatnya dalam membangun dan menguatkan

modal sosial akan memberikan tambahan pendapatan bagi wilayah danrumah

tangga. Tambahan pendapatan yang diperoleh jauh melebihi tambahan pendapatan

masing-masing pihak apabila memilih strategi tidak bekerjasama (non-

cooperative) sesuai dengan Schubick (1995).

Analisis permainan antara pemerintah kabupaten dan provinsi

dikelompokkan atas: (1) pemerintah kabupaten di wilayah maju (Badung) dengan

pemerintah provinsi; (2) pemerintah kabupaten di wilayah belum berkembang

(Karangasem) dengan pemerintah provinsi. Hasil analisis menunjukkan hal yang

sama dengan hasil analisis permainan antar pemerintah kabupaten dan

masyarakat. Strategi terbaik yang harus dilakukan oleh pemerintah kabupaten di

wilayah belum berkembang dan di wilayah maju terhadap pemerintah provinsi

adalah bekerjasama. Demikian pula sebaliknya, pemerintah provinsi harus

mengambil kebijakan-kebijakan yang mampu membangun kerjasama dengan

pemerintah kabupaten.

Gambar 40 Ganjaran bagi Pemerintah kabupaten di Wilayah Maju dan Pemerintah

Provinsi Bali dalam Membangun Modal Sosial Tahun 2005 Secara keseluruhan, hasil analisis game menunjukkan bahwa kerjasama

adalah strategi terbaik yang harus dipilih oleh masyarakat, pemerintah kabupaten

maupun provinsi. Implikasi hasil penelitian ini menunjukkan krusialnya upaya

untuk menekan egoisme regional yang tumbuh seiring dengan penetapan

kebijakan otonomi daerah sejak 2001. Kebijakan-kebijakan kabupaten yang

bersifat mementingkan wilayah sendiri dan bersikap non-cooperative sudah

seharusnya dihentikan. Demikian pula dengan kebijakan pemerintah Provinsi

Page 133: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

174

Bali yang bersifat bias kepada wilayah atau pusat-pusat pengembangan pariwisata

sebaiknya ditiadakan lagi.

Gambar 41 Ganjaran Pemerintah kabupaten di Wilayah Belum Berkembang dan

Pemerintah Provinsi Bali dalam Membangun Modal Sosial Tahun 2005

Hasil penelitian ini juga mendukung pendapat Coleman (1988) yang

menekankan pentingnya struktur yang bersifat tertutup (closure) untuk

mengefektifkan norma. Struktur sosial yang bersifat closure dapat dibangun

melalui organisasi-organisasi yang bersifat antar wilayah. Organisasi tersebut

tidak hanya melibatkan partisipasi masyarakat namun juga para eksekutif dan

legislatif. Dengan demikian, norma di satu kabupaten tidak akan bertentangan

dengan norma di kabupaten lainnya. Bentuk closure yang dimaksud adalah

sebagai digambarkan pada Gambar 42 berikut:

(a) (b)

Gambar 42 Perbedaan antara struktur sosial yang bersifat non-closure (a) dan struktur sosial yang bersifat Closure (b)

Organisasi Bj

Masyarakat A Masyarakat B

Organisasi Ai

Pemerintah kabupaten A

Pemerintah kabupaten B

Masyarakat A Masyarakat B

Organisasi Ai Organisasi Bj

Pemerintah kabupaten A

Pemerintah kabupaten B

Page 134: Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan antara Modal Sosial dan

175

Kegiatan bersama lebih mudah diorganisasikan di wilayah yang relatif

homogen. Namun di sisi lain, heterogenitas merupakan alat peredam terjadinya

pemberontakan antar masyarakat sipil (perang saudara) dengan pemerintah karena

keragaman etnis akan menumbuhkan sistem kontrol yang baik antar etnis tersebut.

Oleh karena itu, keragaman etnis tidak harus dihindari melainkan harus

dipertahankan melalui kebijakan-kebijakan yang inklusif dan berkeadilan.

Simpulan Akhir Bab Modal sosial merupakan modal yang terbangun dari interaksi sosial. Oleh

karenanya, seringkali terjadi konflik kepentingan antar individu yang terlibat di

dalam interaksi tersebut yang penyelesaiannya hanya dapat dilakukan melalui

interaksi yang berulang-ulang. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat dua

keseimbangan Nash dalam setiap interaksi yang dibangun antara masyarakat dan

pemerintah kabupaten, yaitu (1) pada saat pemerintah kabupaten memutuskan

untuk memilih strategi bekerjasama (cooperative) dan masyarakat merespons

dengan memilih strategi bekerjasama (cooperative) pula, dan (2) saat pemerintah

kabupaten memutuskan untuk tidak bekerja sama (non-cooperative) yang

direspons oleh masyarakat dengan sikap non-cooperative pula. Namun ganjaran

tertinggi hanya akan dicapai apabila semua pihak memilih strategi untuk

bekerjasama. Hal yang sama juga terjadi pada interaksi antara pemerintah

kabupaten dan pemerintah provinsi. Singkatnya, adanya biaya sosial yang harus

bersedia ditanggung oleh masing-masing aktor dalam strategi bekerjasama

ternyata jauh lebih rendah daripada manfaat sosial. Apalagi jika diperhitungkan

pemanfaatan ruang sosial yang menyertainya yang menambah suburnya

demokratisasi.