7
UJI BIOAVABILITAS DAN BIOEKIVALENSI OBAT I. TUJUAN Tujuan dari percobaan ini adalah: 1. Menentukan status bioekivalensi dari suatu produk obat yang diuji. 2. Merancang uji bioavabilitas dan bioekivalensi suatu produk obat. II. PRINSIP Prinsip pada percobaan kali ini adalah : 1. Bioavabilitas adalah suatu ketersediaan hayati atau suatu pengukuran laju dan jumlah obat yang mencapai sirkulasi umum ( persentase obat yang diabsorbsi tubuh dari suatu dosis yang diberikan dan tersedia, untuk melakukan efek terapeutisnya). 2. Bioekivalensi adalah sediaan yang laju dan jumlah absorpsinya tidak berbeda secara bermakna apabila diberikan dalam dosis dan kondisi percobaan yang sama (suatu proses dengan innovator produk yang telah dipasarkan dan memiliki data valid tentang etikasi dan keamanannya).

teori bioekivalen

Embed Size (px)

DESCRIPTION

bioekivalen

Citation preview

Page 1: teori bioekivalen

UJI BIOAVABILITAS DAN BIOEKIVALENSI OBAT

I. TUJUAN

Tujuan dari percobaan ini adalah:

1. Menentukan status bioekivalensi dari suatu produk obat yang diuji.

2. Merancang uji bioavabilitas dan bioekivalensi suatu produk obat.

II. PRINSIP

Prinsip pada percobaan kali ini adalah :

1. Bioavabilitas adalah suatu ketersediaan hayati atau suatu pengukuran laju

dan jumlah obat yang mencapai sirkulasi umum (persentase obat yang

diabsorbsi tubuh dari suatu dosis yang diberikan dan tersedia, untuk

melakukan efek terapeutisnya).

2. Bioekivalensi adalah sediaan yang laju dan jumlah absorpsinya tidak

berbeda secara bermakna apabila diberikan dalam dosis dan kondisi

percobaan yang sama (suatu proses dengan innovator produk yang telah

dipasarkan dan memiliki data valid tentang etikasi dan keamanannya).

III. TEORI DASAR

Pada saat ini banyak produk obat dengan bahan aktif yang sama

diproduksi dan dipasarkan oleh perusahaan yang berbeda. Obat yang dipasarkan

tersebut dapat berupa produk inovator, yaitu produk yang dipatenkan oleh pabrik

penemu,dan ada pula produk obat copy, yaitu produk yang mengandung zat aktif

yang sama dan telah memenuhi standar kesetaraan/ekivalensi dengan produk

inovator. Hasil penelitian biofarmasi telah membuktikan bahwa metode

pembuatan dan formulasi yang berbeda dari produk-produk yang berbeda tetapi

mengandung zat aktif yang sama menyebabkan profil bioavailabilitas

(ketersediaan hayati) obat berbeda dan menghasilkan kualitas efek farmakologis

Page 2: teori bioekivalen

yang berbeda pula (Aiche dan Devissaguiet, 1993). Hal ini menunjukkan bahwa

konsep ekivalensi obat menjadi penting untuk menjamin mutu suatu obat.

Ekivalensi obat dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, diantaranya:

(1) ekivalensi farmasetik, yaitu kesetaraan antara produk obat dengan bentuk

sediaan yang sama yang memiliki zat aktif yang sama dalam dosis yang

sama;

(2) ekivalensi biologis (bioekivalen), jika produk-produk obat tersebut

memiliki ekivalensi farmasetik dan pada pemberian dosis yang sama akan

menghasilkan bioavailabilitas yang sebanding; dan

(3) ekivalensi terapeutik, jika keduanya memiliki ekivalensi farmasetik dan

pada pemberian dosis yang sama akan menghasilkan efikasi klinik dan

keamanan yang sama (BPOM, 2004).

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penelitian bioekivalensi agar hasil

yang diperoleh dapat digunakan antara lain adalah:

a. Subyek, yang meliputi penetapan kriteria inklusi dan ekslusi pada saat seleksi

subyek penelitian, perlakuan awal yang perlu dilakukan terhadap subyek

sebelum uji bioekivalensi dilaksanakan

b. Rancangan, antara lain berapa jumlah subyek yang akan diguna-kan, jenis

kelamin, dan rancangan penelitian

c. Perlakuan yang akan diberikan, yang meliputi dosis obat yang digunakan,

cara pemberian, rancangan pengambilan sampel seperti sampel apa yang akan

dikumpulkan (darah, plasma, atau urin) dan'waktu pengambilan sampel

Evaluasi hasil yang diperoleh, antara lain uji statistic yang akan digunakan

dan penetapan definisi dari bioekivalen sebelum uji dimulai (Udin, dkk.

2003).

Parameter farmakokinetik yang digunakan untuk evaluasi status

bioekivalen suatu produk adalah:

a. AUC (area under the curve of concentration-time relationship, luas area

dibawah kurva hubungan konsentrasi dan waktu)

b. Cmaks (konsentrasi maksimum)

c. Tmaks (waktu untuk mencapai konsentrasi maksimum) (Sunoko, 2004).

Page 3: teori bioekivalen

Dalam praktek, Cmaks dan Tmaks diperoleh dari konsentrasi maksimum

hasil pengukuran konsentrasi dalam sampel yang diperoleh dan waktu tercapainya

konsentrasi maksimum tersebut. Perlu diperhatikan dalam penetapan Tmaks

bahwa pada daerah puncak kurva hubungan konsentrasi dan waktu profil kurva

relatif mendatar sehingga dengan adanya variabilitas metode penetapan kadar

yang digunakan maka nilai Tmaks yang diperoleh mungkin bukan merupakan

Tmaks yang sebenarnya. Tidak optimalnya frekuensi pengambilan sampel dapat

menyebabkan penetapan nilai Tmaks yang tidak akurat (Hosiana, dkk, 2000).

Bioavailabilitas suatu obat adalah laju dan jumlah relatif obat yang

mencapai sirkulasi umum tubuh (sistem peredaran darah). Laju relatif obat yang

mencapai sistem peredaran darah (laju absorbsi) dapat ditentukan dari konstanta

laju absorbsi, sedangkan jumlah relatif obat yang terabsorbsi dapat ditentukan dari

availabilitas absolut atau availabilitas relatif. Manfaat dari biavailabilitas

diantaranya adalah dapat diketahui waktu yang dibutuhkan suatu obat agar dapat

memberikan efek terapi dan seberapa banyak obat tersebut dapat terserap oleh

tubuh (Sulastri, 2006).

Dasar untuk menentukan bioavailabilitas suatu obat terlebih dahulu harus

diketahui profil disolusinya. Disolusi tablet ialah jumlah atau persen zat aktif dari

sediaan padat yang larut pada waktu tertentu dalam kondisi baku. Kondisi yang

dimaksud misalnya, dalam suhu, kecepatan, pengadukan, dan komposisi media

tertentu. Uji disolusi merupakan suatu metode fisika kimia yang penting sebagai

parameter dalam pengembangan produk dan pengendalian mutu sediaan obat yang

didasarkan pada pengukuran kecepatan pelepasan dan melarut zat aktif dari

sediaannya. Uji disolusi digunakan untuk uji bioavailabilitas secara in vitro,

karena hasil uji disolusi berkorelasi dengan ketersediaan hayati obat dalam tubuh

(Sunoko, 2004).

Bioavalabilitas absolut merupakan rasio ketersediaan zat aktif dalam

sirkulasi sistemik suatu sediaan obat terhadap pemberian i.v. parenteral.

Bioavailabilitas absolut jika diberikan pada dosis yang berbeda, membutuhkan

suatu koreksi, sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut :

Page 4: teori bioekivalen

Bioavailabilitas absolut sama dengan F. Di mana F adalah fraksi obat yang

terabsorpsi. Oleh karena tidak semua zat aktif tersedia dalam pemberian i.v., maka

timbulah pengertian bioavailabilitas relatif.

Bioavailabilitas relatif merupakan rasio ketersediaan dalam sistemik suatu

produk obat dibandingkan dengan standar dengan jenis zat aktif dan rute

pemberian yang sama. Bioavailabilitas relatif jika diberikan pada dosis yang

berbeda membutuhkan suatu koreksi, sehingga persamaan adalah sebagai berikut:

(Shargel, 1985).

Nilai FABS antara 0-100%, sedangkan FREL dapat lebih dari 100 % (Sunoko, 2004).

Uji Bioekivalensi (BE) merupakan data ekivalensi untuk melihat

kesetaraan sifat dan kerja obat didalam tubuh suatu obat “copy” dibandingkan

dengan obat innovator sebagai pembanding. Dua produk obat disebut bioekivalen

jika keduanya mempunyai bioekivalensi farmaseutik dan alternatif farmaseutik

dan pada pemberian dengan dosis yang sama akan menghasilkan bioavailabilitas

yang sebanding sehingga efek dalam efikasi maupun keamanan akan sama

(BPOM, 2004).

Uji bioavailabilitas dan bioekivalensi (BA/BE) mensyaratkan pelaksanaan

sesuai dengan pedoman praktek laboratorium yang benar (Good Laboratory

Practice) dan pedoman cara uji klinik yang baik (Good Clinical Practice). Setiap

laboratorium pengujian, untuk menyusun proposal uji BA/BE diharuskan

melakukan penelitian dan kajian pustaka, karena dalam pedoman uji bioekivalensi

tidak menentukan produk yang harus diuji maupun inovator atau komparatornya

demikian pula dengan metode yang digunakan (BPOM, 2004).

Page 5: teori bioekivalen

Uji BA-BE umumnya menggunakan matriks darah dan pengukuran kadar

obat dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT), sedangkan urin dapat

digunakan apabila kadar obat yang utuh dalam urin lebih besar dari 40%.

(Shargel, 2005).

DAFTAR PUSTAKA

Abdou, A.M. 1989. Dissolution, Bioavailability &. Bioequivalence. Easton, Pennsylvania: Mack Publishing Company.

Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2005. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Indonesia No. HK 00.05.3.1818 Tentang Pedoman Uji Bioekivalensi. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Raini, M., Daroham M., dan Pudji L. 2010. Uji Disolusi dan Penetapan Kadar Tablet Loratadin Inovator dan Generik Bermerek. Media Litbang Kesehatan. 20(2) : 59-64.

Rusdiana, T., Y. W Wardhana dan I. Sopyan. 2013. Penuntun Praktikum Biofarmasetik- Farmakokinetik, Vol 2. Jatinangor: Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran.