28
UJI BIOAVAILABILITAS DAN BIOEKIVALEN OBAT I. TUJUAN Setelah mengikuti percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu untuk: 1. Menentukan status bioekivalensi dari suatu produk obat yang diuji 2. Merancang penelitian uji bioavailabilitas dan bioekivalensi suatu produk obat II. PRINSIP a. Bioavaibilitas Relatif Bioavailibitas suatu produk obat dibandingkan dengan produk standar BA relatif : [AUC] A / [AUC] B x dose B / dose A b. Bioavaibbilitas Absolut Bioavaibilitas suatu produk obat dibandingkan dengan bioavaibilitas secara intravena BA absolut = F= [AUC] PO / [AUC] IV x dose iv / dose po III. TEORI DASAR Perkembangan terakhir dalam proses pengembangan dan pemasaran obat banyak disesuaikan dengan perubahan sikap dari dokter, pejabat pemerintah, dan masyarakat terhadap obat. Pada 10-20 tahun yang lalu industri-

Uji Bioavailabilitas Dan Bioekivalen Obat

Embed Size (px)

DESCRIPTION

BA dan BE

Citation preview

UJI BIOAVAILABILITAS DAN BIOEKIVALEN OBATI. TUJUANSetelah mengikuti percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu untuk:1. Menentukan status bioekivalensi dari suatu produk obat yang diuji2. Merancang penelitian uji bioavailabilitas dan bioekivalensi suatu produk obat

II. PRINSIPa. Bioavaibilitas Relatif Bioavailibitas suatu produk obat dibandingkan dengan produk standar BArelatif : [AUC]A / [AUC]B x doseB / doseAb. Bioavaibbilitas AbsolutBioavaibilitas suatu produk obat dibandingkan dengan bioavaibilitas secara intravena

BAabsolut = F= [AUC]PO / [AUC]IV x doseiv / dosepo

III. TEORI DASARPerkembangan terakhir dalam proses pengembangan dan pemasaran obat banyak disesuaikan dengan perubahan sikap dari dokter, pejabat pemerintah, dan masyarakat terhadap obat. Pada 10-20 tahun yang lalu industri-industri farmasi banyak menekankan pada penemuan-penemuan obat baru, dan peta kefarmasian pada saat itu ditandai dengan cepatnya suatu molekul obat baru ditemukan. Obat-obat yang beredar tersebut harus telah mendapat pengakuan uji bioavailabilitas/bioekivalensi oleh instansi setempat. Di Indonesia, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) melalui Peraturan Kepala BPOM-RI, 29 Maret 2005, tentang: Pedoman Uji BE dan Peraturan Kepala BPOM-RI, 18 juli 2005 tentang: Tata Laksana Uji Bioekivalensi, mewajibkan uji bioavailabilitas/bioekivalensi (BA/BE) terhadap obat copy yang beredar. Udjianto menjelaskan, penerapan uji BA/BE merupakan bagian dari fungsi Badan POM.Menurut BPOM RI, pada produk-produk tertentu bioavailabilitas dapat ditunjukan dengan fakta yang diperoleh in vitro yang dilakukan dalam lingkungan seperti in vivo yang sering disebut sebagai disolusi terbanding. Obat-obat ini bioavailabilitasnya terutama bergantung pada obat yang berada dalam keadaan terlarut. Laju disolusi obat dari produk obat tersebut diukur in vitro. Data laju disolusi in vitro harus berhubungan dengan data bioavailabilitas in vivo untuk obat tersebut (Shargel et.al, 2005).Secara umum uji disolusi dirancang sebagai alat untuk mengoptimalkan suatu formulasi baru atau sebagai kontrol kualitas memonitor keseragaman dan reproduksibilitas produksi antar batch. Untuk tujuan penelitian uji disolusi merupakan suatu pengujian yang relatif sensitif untuk membandingkan keakuratan suatu formulasi sehingga data dapat dikorelasikan ke kondisi in vivo (Abdou, 1989).Uji disolusi terbanding dilakukan sebagai uji pendahuluan untuk mengetahui pengaruh dari proses formulasi dan fabrikasi terhadap profil disolusi dalam memperkirakan bioavailabilitas dan bioekivalensi antara produk uji dan pembanding. Untuk produk-produk tertentu, uji disolusi terbanding dilakukan sebagai pengganti uji ekivalensi in vivo sehingga apabila suatu produk telah lolos uji disolusi terbanding ini, produk tersebut sudah dianggap ekivalen dengan produk pembandingnya. (Shargel et.al, 2005; BPOM RI, 2004).Uji disolusi in vitro dianjurkan bahwa potensi dan karakteristik disolusi in vitro dari produk obat uji dan pembanding dipastikan dahulu sebelum dilakukan uji BE. Hasilnya dilaporkan sebagai profil persen obat yang terlarut dalam waktu, nomor batch kedua produk harus dicantumkan, demikian juga tanggal kadarluarsa produk pembanding. Kandungan zat aktif antara kedua produk tidak boleh berbeda lebih dari 5%. Jika potensi produk pembanding menyimpang > 5% dari kandungan 100% yang tercantum dalam lebel, perbedaan ini dapat digunakan kemudian koreksi dosis pada perhitungan parameter biovailabilitas pada studi BE. Uji BA/BE sangat penting untuk menjamim efikasi dan keamanan obat copy. Lewat studi ini dapat meyakinkan dokter dan masyarakat bahwa obat copy yang diproduksi di Indonesia memiliki mutu yang baik dan harganya kompetitif.Menyadari ketatnya persaingan ini, pemerintah dan gabungan pengusaha farmasi Indonesia ( GPFI ) bergegas berbenah. BPOM, disamping telah memberlakukan current Good Manufacturing Practice (cGMP), juga menetapkan uji bioavailabilitas/bioekivalensi (BA/BE) terhadap obat copy yang beredar. Lewat Peraturan Kepala BPOM-RI, 29 Maret 2005, tentang: Pedoman Uji BE dan Peraturan Kepala BPOM-RI, 18 Juli 2005 tentang: Tata Laksana Uji Bioekivalensi, uji BE menjadi prasyarat registrasi obat.

Bioavailabilitas terbagi menjadi 2, yaitu:a. Bioavailabilitas absolut: bioavaibilitas zat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik dari suatu sediaan obat dibandingkan dengan bioavaibiltas zat aktif tersebut dengan pemberian intra vena. Bioavailabilitas absolut dapat diukur dengan membandingkan AUC produk yang bersangkutan setelah pemberian oral dan IV. Pengukuran dapat dilakukan sepanjang Vd dan K tidak tergantung pada rute pemberian. Availabililitas absolut dengan menggunakan data plasma dapat ditentukan sebagai berikut :

b. Bioavailabilitas relatif: bioavaibilitas zat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik dari suatu sediaan obat dibandingakan dengan bentuk sediaan lain selain intra vena. Availabilitas relatif dari dua produk obat yang diberikan pada dosis dan rute pemberian yang sama dapat diperoleh dengan persamaan berikut :

Dimana produk obat B sebagai standar pembanding yang telah diketahui. Fraksi tersebut dapat dikalikan 100 untuk memberi prosen availabilitas relatif. Jika dosis yang diberikan berbeda, suatu koreksi untuk dosis dibuat seperti dalam persamaan berikut :

Penilaian ketersediaan hayati / bioavaibilitas pada sukarelawan dapat dilakukan denganbeberapa metode, yaitu metode dengan menggunakan data darah, data urin dandata farmakologis atau klinis. Data darah atau data urin lazim digunakan untukmenilai ketersediaan hayati sediaan obat yang metode analisis zat berkhasiatnyatelah diketahui cara dan validitasnya. Jika cara dengan validitas analisis belum diketahui, dapat digunakan data farmakologi dengan syarat efek farmakologi yangtimbul dapat diukur secara kuantitatif.

IV. ALAT & BAHAN1. Alata. Komputerb. Perangkat Lunak Microsoft Excel1. 2. Bahana. Soal Tugas Praktikum Uji Bioekivalensi Diktat Penuntun Praktikum Biofarmasetik-Farmasetik, Volume 2. Laboratorium Farmakokinetik Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran 2013

V. PROSEDURData pengamatan yang didapatkan dari asisten praktikum berisikan data kadar obat terhadap waktu diolah kedalam microsoft office excel. Kemudian dibuat kurva grafik uji bioavailabilitasnya sehingga dapat di hitung bioavaibilitas dari suatu suspensi sediaan oral yang akan di bandingkan dengan sediaan intravena.

VI. SOAL

1. Hitunglah BA absolut (F) suatu sediaan obat berupa suspense oral konsentrasi zat aktif 50 mg/ml. apabila dibandingkan dgn i.v konsentrasi zat aktif 100 mg/ml dmn dosis yg diberikan u/ suspense oral adalah 2 sendok teh sedangkan dosis i.v 2ml. data kadar obat sbb:t (jam)kadar (g/ml)

suspensi orali.v

0,52,755,31

16,244,62

1,58,54,02

29,813,5

37,432,65

45,62,01

63,191,16

81,910,66

2. Nyatakan status BE dari ketiga sediaan kapsul uji (A,B,C) thdp sediaan standar sukarelawanAUCF kapsul C

kapsul ABCstd

114,119,19,615,861

220,22010,61956

31917,514,619,376

413,220,313,118,471

513,517,310,417,260

617,917,48,316,550

712,417,214,517,981

815,816,911,417,565

rata-rata F65

standar deviasi10

standar deviasi rataan3,65310047

t(dk=7)1,895

CLI (+)71,96123517

CLI (-)58,11598439

3. Sebutkan dan jelaskan scr lengkap faktor2 yg mempengaruhi BA suatu obat/ produk obat! Faktor fisiologis tubuh, seperti struktur saluran cerna, mekanisme absorpsi obat, luas permukaan tempat absorpsi, kecepatan pengosongan lambung, pergerakan usus, metabolisme Faktor fisikokimia obat, seperti konstanta disosiasi dan kelarutan dalam lemak, kelarutan, ukuran partikel Formulasi, seperti penggunaan eksipien

VII. HASIL DAN JAWABAN PEMBAHASAN1. Hitunglah bioavaibilitas (F) suatu sediaan obat berupa suspensi oral (konsentrasi zat aktif 50mg/ml) apabila dibandingkan dengan sediaan injeksi intravena (konsentrasi zat aktif 100mg/ml), dimana dosis yang diberikan untuk suspensi oral adalah 2 sendok teh sedangkan dosis injeksi iv= 2ml. Data kadar obat sebagai berikut:Soal nomor 1 menjelaskan mengenai bioavaibilitas absolute suatu obat. Bioavailabilitas absolute merupakan bioavaibilitas zat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik dari suatu sediaan obat dibandingkan dengan bioavaibiltas zat aktif tersebut dengan pemberian intra vena. Bioavailabilitas absolut dapat diukur dengan membandingkan AUC produk yang bersangkutan setelah pemberian oral dan IV. Pengukuran dapat dilakukan sepanjang Vd dan K tidak tergantung pada rute pemberian. Availabililitas absolut dengan menggunakan data plasma dapat ditentukan sebagai berikut :

TKadar (g/ mL)

suspensi oralIv

006,13494

0,52,755,31

16,244,62

1,58,54,02

29,813,5

37,432,65

45,62,01

63,191,16

81,910,66

Jawab :T(jam)KadarAUC POAUC IVLn IVLn PO

suspensi orali.v

006,1349380,68752,861235

0,52,755,312,24752,48251,6695921,011601

16,244,623,6852,161,5303951,83098

1,58,54,024,57751,881,3912822,140066

29,813,58,623,0751,2527632,283402

37,432,656,5152,330,974562,005526

45,62,018,793,170,6981351,722767

63,191,165,11,820,148421,160021

81,910,66-0,415520,647103

TOTAL40,222519,77873

AUC 0-87,1268656722,374101

AUC TOTAL47,3493656722,15284

DOSIS500200

BA ABSOLUT85,49581146

2. Nyatakan status bioekivalensi dari kapsul uji terhadap sediaan standar dengan data sebagai berikut:sukarelawanAUC

kapsul ABCstd

114,119,19,615,8

220,22010,619

31917,514,619,3

413,220,313,118,4

513,517,310,417,2

617,917,48,316,5

712,417,214,517,9

815,816,911,417,5

Jawab:Kapsul A :sukarelawanAUCF=(AUC A/ AUC STD)*100

kapsul Akapsul STD

114,115,889,24050633

220,219106,3157895

31919,398,44559585

413,218,471,73913043

513,517,278,48837209

617,916,5108,4848485

712,417,969,27374302

815,817,590,28571429

Rata- rata 89,0342125

Standar deviasi14,9665048

Standar deviasi rataan5,291458517

t (dk=7)1,895

CLI (+)99,06152639

CLI (-)79,00689861

Note : kriteria BE = 80- 125%KESIMPULAN :Kapsul A tidak ekuivalen dengan standar karena CLI (-) yang diperoleh kurang dari 80% . Sehingga perlu dilakukan penambahan sampel lagi dan diuji kembali. Dapat digunakan sampel sebanyak 24.

Kapsul B:SukarelawanAUC Kapsul BAUC Kapsul StandarF=(AUC B/ AUC STD)*100

119,1115,8120,9493671

22019105,2631579

317,519,390,67357513

420,318,4110,326087

517,317,2100,5813953

617,416,5105,4545455

717,217,996,08938547

816,917,596,57142857

Rata-rata103,2386177

Standar deviasi9,512518225

Standar deviasi rataan3,363183072

t (dk = 7)1,895

CLI (+)109,6118497

CLI (-)96,86538582

Note : kriteria BE = 80- 125%KESIMPULAN :Kapsul B ekuivalen dengan standar karena nilai CLI yang diperoleh memenuhi kriteria BE (80-125%)

Kapsul C :SukarelawanAUCF kapsul CF=(AUC C/ AUC STD)*100

ABCStd

114,119,19,615,861

220,22010,61956

31917,514,619,376

413,220,313,118,471

513,517,310,417,260

617,917,48,316,550

712,417,214,517,981

815,816,911,417,565

rata-rata F65

standar deviasi10

standar deviasi rataan3,65310047

t(dk=7)1,895

CLI (+)71,96123517

CLI (-)58,11598439

Note : kriteria BE = 80- 125%KESIMPULAN :Kapsul C tidak ekuivalen dengan standar karena nilai CLI yang diperoleh tidak memenuhi kriteria BE (80- 125%)Nomor 3Biovailabilitas obat sangat bergantung pada 2 faktor :1. faktor obat 2. faktor pengguna obat.Terdapat kemungkinan obat yang sama diberikan pada orang yang sama, dalam keadan berbeda, memberikan kurva dosis-respon yang berbeda.Faktor obat : Kelarutan obat, Ukuran partikel, Bentuk fisik obat, Dosage form, Teknik formulasi, Excipient Faktor Pengguna : Umur, berat badan, luas permukaan tubuh, Waktu dan cara obat diberikan, Kecepatan pengosongan lambung, Gangguan hepar dan ginjal, Interaksi obat lainUKURAN PARTIKEL Kecepatan disolusi obat berbanding lurus dengan luas permukaan yang kontak dengan cairan. Semakin kecil partikel, semakin luas permukaan obat, semakin mudah larut. Dengan memperkecil ukuran partikel, dosis obat yang diberikan dapat diperkecil pula, sehingga signifikan dari segi ekonomis. Terdapat hubungan linier antara kecepatan absorpsi obat dengan logaritma luas permukaan. Sebagai contoh, pemberian 500 mg griseofulvin bentuk mikro memberikan kadar plasma yang sama dengan 1 g griseofulvin bentuk serbuk.Bahan-bahan obat yang memberikan perbedaan absorpsi antara bentuk halus dan tidak halus antara lain, acetosal, barbiturate, calciferol, chloramphenicol, digoxin, griseofulvin, hydroxyprogesterone acetate, nitrofurantoine, spironolactone, sulfadiazine, sulfamethoxine, sulfathiazole, sulfasoxazole, tetracycline, tolbutamide

KELARUTAN OBAT Pengaruh daya larut obat bergantung pada sifat kimia (atau modifikasi kimiawi obat) dan sifat fisika (atau modifikasi fisik obat). Modifikasi Kimiawi Obat a. Pembentukan Garam Obat yang terionisasi lebih mudah dalam air dari[pada bentuk tidak terionisasi. Pembentukan garam ini terutama penting dalam hal zat aktif berada dalam saluran cerna, kelarutan modifikasi sewaktu transit di dalam saluran cerna, karena perbedaan pH lambung dan usus.Peningkatan kecepatan pelarutan obat dalam bentuk garam berlaku untuk obat-obat berikut : penicilline, barbiturate, tolbutamide, tetracycline, acetosal, dextromethorphane, asam salisilat, phenytoine, quinidine, vitamin-vitamin larut aie, sulfa, quinineb. Pembentukan EsterDaya larut dan kecepatan melarut obat dapat dimodifikasi dengan membentuk ester. Secara umum, pembentukan ester memperlambat kelarutan obat. Beberapa keuntungan bentuk ester, antara lain :1. Menghindarkan degradasi obat di lambung. Ester dari erythromycin (misalnya erythromycine succinat) memungkinkan obat tidak rusak pada suasana asam di lambung. Ini merupakan semacam pro-drug, dalam suasana lebih basa di usus, terjadi hidrolisis erythromycine ethylsuccinat.2. Memperlama masa kerja obatMisalnya esterifikasi dari hormon steroid.3. Menutupi rasa obat yang tidak enakContohnya adalah ester dari kloramfenikol. Kloramfenikol palmitat dan Kloramfenikol stearat dihidrolisis di usus halus untuk melepaskan kloramfenikol.Modifikasi Bentuk Fisik Obata. Bentuk Kristal atau Amorf Bentuk amorf tidak mempunyai struktur tertentu, terdapat ketidakteraturan dalam tiga dimensinya. Secara umum, amorf lebih mudah larut daripada bentuk kristalnya. Misalnya Novobiocin, kelarutan bentuk amorf 10 x dari bentuk Kristal.b. Pengaruh PolimorfismeFenomena polimorfisme terjadi jika suatu zat menghablur dalam berbagai bentuk Kristal yang berbeda, akibat suhu, teakanan, dan kondisi penyimpanan. Polimorfisme terjadi antara lain pada steroid, sulanilamida, barbiturat, kloramfenikol. Kloramfenikol palmitat terdapat dalam bentuk polimorf A, B, C, dan amorf. Tetapi hanya bentuk polimorf B dan bentuk amorf yang dapat dihidrolisis oleh usus.c. Bentuk Solven dan HidratSewaktu pembentukan Kristal, cairan-pelarut dapat membentuk ikatan stabil dengan obat, disebut solvat. Jika pelarutnya dalah air, ikatan ini disebut hidrat. Bentuk hidrat memiliki sifat-sifat yang berbeda dengan bentuk anhidrat, terutama kecepatan disolusi. Ampisilina anhidrat lebih mudah larut daripada Ampisilian trihidrat.FAKTOR FISIKA KIMIA LAINa. pKa dan Derajat IonisasiObat berupa larutan dalam air dapat diklasifikasi menjadi 3 kategori, yaitu :Elektrolit kuat ; seluruhnya berupa ion (contoh : Na, K, Cl)Non elektrolit ; tidak terdisosiasi (contoh : gula, steroid)Elektrolit lemah ; campuran bentuk ion & molekulKonsentrasi relatif bentuk ion/molekul bergantung pada pKa obat dan pH lingkungan. Kebanyakan obat dalam bentuk asam lemah atau basa lemah, yang terabsorpsi secara difusi aktif, sehingga hanya bentuk molekul (tidak terionisasi) yang terabsorpsi. Akibatnya perbandingan ion/molekul sangat menentukan absorpsi. Konsentrasi ion dari obat berupa asam lemah (misal asetosal) meningkat dengan peningkatan pH media air. Sebaliknya Konsentrasi molekul dari obat berupa asam lemah (misal alkaloid)meningkat dengan apeningkatan pH media air. Sehingga asam lemah lebih banyak diabsorpsi pada suasana asam (di lambung, pH 1-3), sedangkan basa lemah lebih banyak diabsorpsi di usus (pH 6-8).b. Koefisien Partisi Lemak-AirKoefisien partisi menunjukkan rasio konsentrasi obat dalam 2 cairan yang tidak bercampur. Koefisien partisi merupakan indeks dari solubilitas komparatif suatu zat dalam 2 solven. Koefisien partisi lemak-air digunakan sebgai indikator penumpukan obat di dalam lemak tubuh. Normal lemak dalam tubuh adalah 10-25%, pada keadaan obesitas dapat menjadi 50% atau lebih. Pada penderita obesitas, obat dengan daya larut lemak tinggi akan menumpuk pada lemak-tubuh dalam jumlah besardan menjadi depo di mana obat dilepaskan secara perlahan. Pada pemberian barbiturate, pelepasan obat diperlama dari depo, menyebabkan kondisi hang-over.TEKNIK FORMULASIFaktor-faktor manufaktur (pembuatan obat) dapat mengurangi bioavailabilitas obat, diantaranya :1. Peningkatan kompresi (tekanan) pada waktu pembuatan meningkatkan kekerasan tablet. Hal ini menyebabkan waktu disolusi dan disintegrasi menjadi lebih lama.2. Penambahan jumlah bahan pengikat pada formula tablet atau granul akan meningkatkan kekerasan tablet, mengakibatkan perpanjangan waktu disintegrasi dan disolusi3. Peningkatan jumlah pelincir (lubricant) pada formula tablet akan mengurangi sifat hidrofilik tablet sehingga sulit terbasahi (wetted). Hal ini memperpanjang waktu disintegrasi dan disolusi4. Granul yang keras dengan waktu kompresi yang cepat serta kekuatan yang tinggi akan menyebbakan peningkatan suhu kompresi, sehingga obat yang berbentuk kristal mikro akan membentuk agregat yang lebih besar.EXCIPIENTObat jarang diberikan tunggal dalam bahan aktif. Biasanya dibuat dalam bentuk sediaan tertentu yang membutuhkan bahan-bahan tambahan (excipients). Obat harus dilepaskan (liberated) dari bentuk bentuk sediaannya sebelum mengalami disolusi, sehingga excipients dapat mengakibatkan perubahan disolusi dan absorpsi obat.Contoh kasus pengaruh excipient pada bioavailabilitas terjadi pada tahun 1971 di Australia. Banyak pasien yang mengkonsumsi tablet fenitoin memperlihatkan gejala keracunan, meskipun kadar fenitoin tablet tersebut tepat. Ternyata bahan pengisi pada formula tablet tersebut menggunakan laktosa, sebelumnya kalsium sulfat. Penggantian Laktosa menyebabkan peningkatan bioavailabilitas sehingga terjadi efek toksis.Zat-zat aktif permukaan (seperti tween dan span) atau zat hidrofil yang mudah larut dalam air (polivinil pirolidon, carbowax), dapat meningkatkan kecepatan disolusi tablet. Sebaliknya, zat-zat hidrofob yang digunakan sebagai lubricant (misal magnesium stearat) dapat menghambat disolusi. Kini lebih umum digunakan aerosol sebagai lubricant karena tidak menghambat disolusiZat pengikat (pada tablet) dan zat pengental (pada suspensi), seperti gom dan gelatin umumnya juga memperlambat disolusi. Sebaliknya zat penghancur seperti amilum justru mempercepat disolusi. Pemilihan basis suppositoria juga mempengaruhi kecepatan absorpsi obat. Kini lebih umum basis sintetis dibandingkan oleum cacao. Tetapi bberapa obat sukar dilepaskan dari basis ini. Sehingga indometasin dan kloralhidrat lebih baik dibuat dalam basis carbowax, sedangkan aminofilin dalam basis oleum cacao.BENTUK SEDIAANKecepatan disolusi sangat dipengaruhi oleh bentuk sediaan obat. Kecepatan disolusi dari berbagai sediaan oral menurun dengan urutan berikut : Larutan < suspensi < emulsi < serbuk < kapsul < tablet < film coated (salut film) < dragee (salut gula) < enteric coated (salut selaput) < sustained release/retard. Dapat dilihat bahwa tablet, meskipun murah dan praktis, lebih rendah efektivitasnya dibandingkan sediaan cair, serbuk, dan kapsul.

VIII. KESIMPULAN

Kapsul A tidak ekuivalen dengan standar karena CLI (-) yang diperoleh kurang dari 80% . Sehingga perlu dilakukan penambahan sampel lagi dan diuji kembali. Dapat digunakan sampel sebanyak 24. Kapsul B ekuivalen dengan standar karena nilai CLI yang diperoleh memenuhi kriteria BE (80-125%). Kapsul C tidak ekuivalen dengan standar karena nilai CLI yang diperoleh tidak memenuhi kriteria BE (80- 125%)

IX. DAFTAR PUSTAKABadan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI). 2004. Pedoman Uji Bioekivalensi. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan RI.Firda.2009. Ketersediaan hayati. http : www. repository.usu.ac.id ( Diakses pada tanggal 30 November 2013).Joenoes, N. Z. 2006. Ars Prescibendi Resep yang Rasional. Edisi Ke-3. Surabaya: Airlangga University Press.Lachman, L., H. A. Lieberman, dan L.K. Kanig. 2007. Teori dan Praktek Farmasi Industri 2. Edisi Ke-3. Jakarta: UI Press.Shargel, L. dan B.C. Andrew. 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Surabaya: Airlangga University Press.