Upload
ferio-joelian-chandra
View
36
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
Teori Deontologi
Teori deontologi adalah konsep moral yang menitikberatkan pada kewajiban. Konsep ini
menyiratkan adanya pembedaan di antara sekian kewajiban yang hadir bersamaan. Satu
persoalan kadang terlihat baik dari satu sudut pandang tetapi buruk dari sudut pandang yang lain.
Penilaian baik dan buruk tidak semata-mata bertolak dari nilai kebaikan dan keburukan begitu
saja (David McNaughton). Baik dan buruk dinilai berdasarkan konteks terjadinya suatu
perbuatan. Bisa saja perbuatan A benar berdasarkan prinsip-prinsip umum yang diterima oleh
masyarakat, tetapi konteksnya menyebabkan perbuatan itu terlihat buruk dan berdampak
negative manakala dilakukan.
Deontologi berasal dari kata Yunani, deon yang berarti “sesuatu yang harus” (David
McNaughton). Teori ini diperkenalkan oleh Immanuel Kant (1724 – 1804). Tulisan-tulisan Kant
tentang moral dapat ditemukan dalam karya-karyanya, antara lainGroundwork of the Metaphisics
of Moral (1785), Critique of Practical Reason (1788), dan The Metaphisycs of moral
(1797). Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti yang sesungguhnya hanyalah kehendak
yang baik. Hal-hal yang lain seperti kekayaan, intelegensia, kesehatan, kekuasaan dan
sebagainya disebut sebagai kebaikan yang terbatas, yang baru memiliki arti manakala ia dipakai
oleh kehendak baik manusia (Bertens, 254). Kant menolak pandangan moral kaum utilitarianism
yang mengedapankan tujuan yang ingin dicapai sebagai landasan moral dari suatu perbuatan.
Bagi Kant, suatu perbuatan dinilai baik manakala dilakukan atas dasar kewajiban, yang
disebutnya sebagai perbuatan berdasarkan legalitas, tidak penting untuk tujuan apa perbuatan itu
dilakukan. Ajaran ini menekankan bahwa seharusnya kita melakukan “kewajiban” karena itu
merupakan “kewajiban” kita, dan untuk itu alasan (reason) tidak diperlukan sehingga perbuatan
itu dilakukan.
Suatu perbuatan tidak bisa dinilai baik manakala hanya didasarkan pada alasan tertentu.
Kant menekankan bahwa kalaupun reason diapakai dalam suatu perbuatan maka alasan itu harus
bisa diterapkan pada semua perbuatan dan bukan alasan yangnon-universalizable (Onora
O’neill). Alasan itu mengharuskan seseorang melakukan suatu perbuatan begitu saja, tanpa
syarat, dan oleh Kant disebut sebagai Categorical imperative. Imperatif kategoris menjadi
prinsip bagi kewajiban manusia. Imperatif kategoris menjiwai semua perbuatan etis, baik
terhadap diri sendiri maupun dalam relasi sosial. Misalnya, orang tua mempunyai kewajiban
terhadap anaknya, anak terhadap orang tuanya; individu terhadap kelompok sosialnya, dan
sebaliknya juga ada kewajiban dari kelompok sosial terhadap individu. Semua itu harus
dilakukan sebagai suatu “kewajiban”.
Kant juga menyimpulkan adanya otonomi kehendak. Kalau hukum moral difahami
sebagai imperatif kategoris, maka dalam bertindak secara moral kehendak harus otonom
(Bertens, 256). Otonomi kehendak ini mengisyaratkan adanya otonomi individu dalam
menentukan suatu perbuatan, yang tentu saja perbuatan itu tetap berdasarkan pada prinsip-prinsip
“kewajiban”. Otonomi yang dimaksud oleh Kant tidak bersifat subyektif, tetapi bahwa manusia
memiliki kebebasan yang tunduk pada kewajiban yang bersifat imperatif. Sepanjang kebebasan
tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip kewajiban, maka kebebasan tersebut dapat dibenarkan
secara moral. (Kita akan menemukan penjelasan tentang otonomi kehendak ini secara lebih jelas
pada saat membahas dilema etis dalam euthanasia).
Pemikiran etika Kant mendapat banyak kritikan. Jika penilaian suatu perbuatan hanya
dilakukan berdasarkan kewajiban semata-mata, maka seseorang bisa saja bertindak dengan
mengabaikan “secara moral” hati nuraninya secara serta merta, karena ia harus tunduk pada
prinsip kewajiban. Perbuatan yang dilakukan atas prinsip “kewajiban demi kewajiban” juga
dapat berarti seseorang harus bertindak secara membuta sesuai dengan aturan yang ketat, tanpa
mengkaji konsekuensi langsung yang akan terjadi dari perbuatan tersebut dalam keadaan khusus,
bahkan juga tanpa mempertimbangkan akibat jangka panjangnya (Henry Hazlitt, 178-9). Alasan
lain untuk menyalahkan Kant adalah bahwa dia melihat dengan kecurigaan yang mendalam pada
semua kecenderungan alamiah (baca: reason), karena dia berasumsi bahwa semua itu adalah
keinginan akan kesenangan yang sempit. Bertrand Russell bahkan mengkritik Kant lewat satire :
"Kant tidak pernah lelah untuk mencaci maki pandangan bahwa kebaikan itu terdiri atas
kesenangan, atau atas sesuatu apapun kecuali keutamaan. Dan keutamaan mengandung makna
bertindak sebagaimana yang diperintahkan hukum moral,karena hal itu adalah apa yang
diperintahkan hukum moral. Tindakan benar yang dilakukan karena motif yang lain tidak dapat
dianggap sebagai bajik. ...(Dan Russell berkesimpulan bahwa jika Kant) mempercayai apa yang
dia pikir percayai, dia tidak memandang sorga sebagai tempat yang di situ kebahagiaan adalah
kebahagiaan, namun sebagai tempat yang di situ mereka memiliki kesempatan yang tidak pernah
berakhir untuk melakukan keramahan pada orang yang tidak mereka senangi" (Henry Hazlitt ,
178-9).
Kritik Russell di atas menunjukkan bahwa melakukan kewajiban tidak serta merta
menunjukkan suatu perbuatan yang sesuai dengan moral. Dalam situasi tertentu, kewajiban bisa
bertentangan dengan tuntutan moral, terlebih jika kewajiban itu merupakan kewajiaban yang
berdasarkan pada hukum yang bersifat relatif.
Bibliografi
David McNaughton, Deontological ethics, dalam Routledge Encyclopedia of Philosophy,
Version 1.0, London: Routledge
Henry Hazlitt, Dasar-dasar Moralitas, terj. Cuk Ananta Wijaya, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2003, h. 178-9.
K. Bertens, Etika, Jakarta, Gramedia, cet. Ke-8, 2004
Onora O’neill, Kantian Ethics, dalam Routledge Encyclopedia of Philosophy, Version
1.0, London: Routledge