7
Siluet Aziz di Kacamataku Aku mempercepat langkahku menuju gerobak sayur Bang Jali di ujung Gang Kelor. Terlihat Ibu-Ibu sudah berjejalan mengerubungi Bang Jali yang dari kejauhan hanya nampak ujung rambutnya . Riuh tawa dan ledek-ledekan Ibu-Ibu menggosip terdengar jelas. Pagi ini aku telat 10 menit dari biasanya, sehabis Subuh tak biasanya Abi memberikan ‘kuliah Subuh’ padaku dan putra-putri kami, Aziz dan Khanza. “Assalamualaikum.“sapaku. Tiba-tiba semuanya hening, beberapa diantaranya saling bersikutan. Astaghfirullah, ada apa ini? Apakah mereka sedang membicarakanku? “Walaikumsalam.”jawab Bu Mila, kemudian diikuti dengan jawaban salam dari Ibu-Ibu yang kini menatapku dari ujung kerudung hingga kaos kaki. Perasaanku sudah tak enak. Sepertinya ada yang sedang ditutupi mereka. Aku cepat-cepat memilih kangkung dan ikan bandeng yang akan aku masak hari ini. Belanjaanku hampir selesai dan tak ada satu patah kata pun keluar dari mulut mereka, bahkan Bu Mila tetanggaku yang paling heboh mengunci mulutnya. Beberapa diantara

Tukang Jaga Sepatu

Embed Size (px)

DESCRIPTION

cerpen

Citation preview

Siluet Aziz di KacamatakuAku mempercepat langkahku menuju gerobak sayur Bang Jali di ujung Gang Kelor. Terlihat Ibu-Ibu sudah berjejalan mengerubungi Bang Jali yang dari kejauhan hanya nampak ujung rambutnya . Riuh tawa dan ledek-ledekan Ibu-Ibu menggosip terdengar jelas. Pagi ini aku telat 10 menit dari biasanya, sehabis Subuh tak biasanya Abi memberikan kuliah Subuh padaku dan putra-putri kami, Aziz dan Khanza.Assalamualaikum.sapaku. Tiba-tiba semuanya hening, beberapa diantaranya saling bersikutan. Astaghfirullah, ada apa ini? Apakah mereka sedang membicarakanku?Walaikumsalam.jawab Bu Mila, kemudian diikuti dengan jawaban salam dari Ibu-Ibu yang kini menatapku dari ujung kerudung hingga kaos kaki.Perasaanku sudah tak enak. Sepertinya ada yang sedang ditutupi mereka. Aku cepat-cepat memilih kangkung dan ikan bandeng yang akan aku masak hari ini. Belanjaanku hampir selesai dan tak ada satu patah kata pun keluar dari mulut mereka, bahkan Bu Mila tetanggaku yang paling heboh mengunci mulutnya. Beberapa diantara mereka ku dapati mencuri-curi pandang memperhatikanku. Hatiku tergelitik ingin bertanya. Ah tapi sudahlah. Toh, selama aku belanja disini aku lebih memilih menjadi pendengar tanpa mengomentari apapun gosip yang dibicarakan. Aku ingat betul kata Abi, ucpakanlah perkataan yang baik atau diam.Bu Nisa buru-buru amat. Bu Mila membuka suara ketika aku selesai membayar semua belanjaanku.Iya, Bu. Cucian di rumah lagi banyak.Sini ngobrol dulu. Bu Nisa jangan marah ya. Saya mending ngomong langsung daripada ngomongin dibelakang. sambung Bu Mila dengan semangat 45. Benar saja dugaanku, pasti ada yang ditutupi.Kata Rian anak saya, si Aziz anak Ibu kemarin jagain sandal pas solat jumat, Bu. Emang uang jajannya kurang ya, Bu sampai anak nyari sampingan gitu. kata Bu Mila dengan gaya seperti host infotaiment di tv. Ahh.. kini ku tahu benar apa yang mereka sembunyikan padaku.Aziz belum cerita, Bu. Mungkin hanya membantu saja, namanya juga anak-anak.Wah,ternyata Ibunya sendiri belum tahu. Kalo Rian sih dikasih 30 ribu sehari jadi gak perlu tuh nyari-nyari sampingan kaya gitu. Bu Mila sudah mulai mengeluarkan tanduknya. Aku jelas tahu kemana pembicaraan ini mengalir. Tak mau semuanya menjadi keruh, aku memilih untuk pamit pulang. Segumpal rasa sesak berjejal dihatiku. Darah pun terasa mendidih di ubun-ubun.***Tapi Abi, Ummi gak setuju Aziz jaga sandal di masjid pas solat Jumat. Malam ini, aku menyidang Aziz perihal ucapan Bu Mila tadi pagi. Aku merasa malu sampai dibilang seperti itu sama tetangga. Jelas semua tetangga tahu, bisnis herbal dan alat kesehatan suamiku 3 tahun terakhir ini berkembang pesat. Itu juga yang membuat tetangga di sekitar rumah iri terhadap keluargaku, terutama Bu Mila. Dan menurutku, uang jajan Aziz juga tidak kurang. Lima ribu sehari untuk jajan anak SMP kelas 1. Ongkos pun gratis, karena Aziz biasa membawa sepeda ke sekolah.Kaya Rian dong. Sholat ya sholat.Rian tuh gak pernah solat. Baru kemaren dia solat dianter sama bapaknya.Jangan suudzhon.Kalo dari kemarin Rian solat, harusnya berita ini nyampe ke Ummi juga dari kemarin.Jadi kamu udah sering jaga sandal di masjid? Ya ampun, Aziz buat apa sih? nadaku mulai meninggi.Udah dua bulan terakhir, mi. Tadinya Aziz cuma mau bantuin Bang Iwan merbot masjid. Soalnya kalo Jumat, Bang Iwan sudah sibuk urus perlengakapan solat Jumat jadi penitipan sendalnya keteteran. Gak tau nya, banyak juga jamaah yang ngasih tips buat nitipin sendalnya, mi. Lumayan, Aziz mau belajar punya uang sendiri.Yaudah, Aziz boleh lanjutin. Tapi ingat, sholatnya harus tetep khusyuk dan gak ngeganggu pelajaran. Harus belajar tanggung jawab! tiba-tiba Abi yang sedari tadi diam, memberi keputusan. Aku menghela nafas. Tapi Ummi gak setuju, Bi, batinku.***Aku agak ragu melangkahkan kakiku pagi ini untuk belanja. Aku masih kepikiran ucapan Bu Mila kemarin, juga tentang keputusan Abi semalam. Dari kejauhan sudah terdengar reriuhan Ibu-Ibu yang mengerumuni gerobak sayur Bang Jali.Eh, Bu Nisa. sapa Bu Laras ramah. Aku tersenyum lega, sepertinya topik pergunjingan pagi ini bukan lagi tentangku.Bu Mila kemana, Bu. Gak kelihatan? tanyaku. Ibu-Ibu sontak saling melirik satu sama lain. Ada apa lagi?Dia lagi kena masalah. Tapi beritanya masih simpang siur, sih. Nanti Bu Nisa juga tahu sendiri. jawaban Bu Laras membuatku penasaran. Ada apa dengan Bu Mila? Sepertinya hidupnya baik-baik saja. Walaupun suaminya buruh pabrik namun mampu menunjang kebutuhan Bu Mila yang high itu. Atau jangan-jangan debt collector yang kemarin sempat datang itu. Ah, sudah sudah, tak baik menduga-duga.Aku cepat-cepat memilih bayam dan jagung kemudian pamit meninggalkan Ibu- Ibu yang masih sibuk bergunjing. ***Malam ini tidak setegang malam kemarin. Walaupun masih berat menerima keputusan Abi tentang Aziz, toh aku wajib menurutinya. Karena jelas, kodrat istri menuruti suami. Aziz pun tak melalaikan kewajiban sholat dan sekolahnya. Justru ia belajar tanggung jawab dan mendapat pengalaman.Aziz, Rian masuk sekolah gak hari ini? aku tergelitik penasaran dengan kabar Bu Mila.Jadi Ibu udah tau juga? Aku menyiritkan dahi mendengar ucapan Aziz.Kemarin malam, Rian ketangkep di warnet kampung sebrang. Penggerebekan miras dan narkoba dari polsek. aku tecengang hampir tak percaya.Kamu tau dari mana?Dari koran tadi pagi, Bu. jawabnya yakin.Koran? Tumben Abi beli koran, Ummi mau lihat dong. pintaku. Aziz terdiam hanya menunduk, tak juga ia turuti permintaanku. Matanya sesekali menatapku ketakutan, kemudian ia memelukku.Maafin, Aziz, Ummi. Aziz sebelum sekolah bareng Bang Samin jualan koran. Ummi jangan marah ya. lirih Aziz.Aku tersenyum seraya mengusap kepalanya, Ummi bolehin Aziz, tapi jangan rusak kepercayaan Ummi dan Abi. Jangan tinggalkan kewajiban sholat dan sekolahmu.Aziz janji. Makasih Ummi. katanya riang sembari mencium tanganku.Boleh jadi sesuatu yang kita lihat buruk namun sebenarnya baik, begitupun sebaliknya. Ini hanya tentang kacamata mana yang kita kenakan. Dan Aziz? Siluetnya dulu nampak kabur namun kini tak ada kata selain syukur karena ku telah memilikinya.