Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
Ketentuan Pidana
Pasal 113
(1) Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komerial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum.
Maria Madalina, S.H., M.Hum.
Ayub Torry Satriyo Kusumo, S.H., M.H.
Cetakan I November 2019
viii+145 hlm.; 14,5 cm x 20,5 cm
ISBN: 978-602-492-036-4
Penulis:
Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum.
Maria Madalina, S.H., M.Hum.
Ayub Torry Satriyo Kusumo, S.H., M.H.
Layout:
Eko Taufi q
Gambar Cover:
freepik.com
Desain Cover:
Akanta Muhammad
Penerbit:
CV. ABSOLUTE MEDIA
Krapyak Kulon RT 03 No. 100,
Panggungharjo Sewon Bantul Yogyakarta
Email: [email protected]
Telp: 087839515741 / 082227208293
Website: www.penerbitabsolutemedia.com
v
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan syukur alhamdulillah, maka penulis
hantarkan buku ini. Laporan penelitian ini merupakan penelitian
tahun ke-2 yang dibiayai oleh Kementerian Riset, Teknologi,
dan Pendidikan Tinggi (kini Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan) tahun 2019. Adapun tahun ke-1 sudah dilaksanakan
pada tahun 2018 yang lalu. Pada asasnya penelitian ini diperlukan
oleh karena diperlukan data-data yang terkait dengan persepsi
dan afisitas para pemangku kepentingan terkait dengan elemen-
elemen kepariwisataan. Kesimpulan yang dapat dihaturkan bahwa
model kebijakan kepariwisataan berbasis pluralisme lokal untuk
mewujudkan Negara Kesejahteraan (Welfare State) membutuhkan 3
(tiga) elemen dasar yaitu pemberdayaan pemerintahan daerah dan
kebudayana lokal, interaksi pemangku kepentingan, dan inisiasi
hukum kepariwisataan.
Dalam penyelesaian penelitian ini sempat tersendat-sendar
jelang akhir masa riset karena salah satu anggota, yaitu Bapak
Handoyo Leksono, SH., M.H., jatuh sakit dan kemudian
meninggal dunia. Rencana dan desaian pembagian kerja harus
disusun ulang. Namun pelan-pelan dapat diatasi dengan baik
dan Atas diselesaikannya penelitian maka dihaturkan terimakasih
kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pemerintah
Kabupaten Buleleng, Kabupaten Tabanan, dan Kabupaten Badung
vi BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
di Provisi Bali, Pemerintah Kota Surakarta, dan Pemerintah Kota
Batu Malang Jawa Timur. Penelitian ini diharapkan memberikan
sumbangsih konkrit untuk kebijakan kepariwisataan di daerah-
daerah tersebut.
Surakarta, 16 November 2019
vii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................... v
DAFTAR ISI ....................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN ................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................... 5
A. Teori Desentralisasi dan Otonomi Daerah ..................... 5
1. Pengertian dan Bentuk Desentralisasi ....................... 5
2. Perbedaan Desentralisasi dan Dekonsentrasi ............ 10
3. Perspektif Desentralisasi ........................................... 13
4. Kritik terhadap Desentralisasi................................... 20
B. Pariwisata dan Pemerintahan Daerah ............................. 25
BAB III METODE PENELITIAN ..................................... 29
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...... 31
A. Hukum dan Kebijakan Publik ....................................... 31
B. Kebijakan Kepariwisataan di Bali ................................... 42
1. Profil wisata provinsi Bali ......................................... 42
2. Kearifan Lokal Bali ................................................... 47
C. Kepariwisataan di Kota Surakarta .................................. 93
D. Model Pengembangan Kebijakan Kepariwisataan Berbasis
Pluralisme Lokal untuk Mewujudkan Negara Kesejahteraan
(Welfare State) ............................................................... 97
viii BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
1. Pemberdayaan Pemerintahan Daerah dan Kebudayaan
Lokal ........................................................................ 98
2. Interaksi Pemangku Kepentingan ............................. 110
3. Inisiasi Hukum Kepariwisataan ............................... 126
BAB V PENUTUP ........................................................... 129
A. Kesimpulan ................................................................... 129
B. Saran ............................................................................. 129
DAFTAR PUSTAKA .......................................................... 131
1
BAB I
PENDAHULUAN
Penelitian ini adalah penelitian tahun ke-2. Penelitian tahun ke-1
telah mengidentifikasi faktor-faktor pembangun model kebijakan
kepariwisataan berbasis pluralisme lokal untuk mewujudkan negara
kesejahteraan (welfare state) yaitu (a) Dukungan peraturan dan
kelembagaan yang memihak masyarakat lokal; (b) Daya tarik alam,
daya tarik budaya dan daya tarik buatan adalah tiga komponen
pembentuk produk wisata, dimana ketiganya dapat dikombinasikan
satu dengan yang lainnya; (c) Karakter kebijakan berbasis integrasi
dan karakteristik budaya; (d)) Desa wisata sebagai produk wisata
alternatif disajikan untuk menjawab kejenuhan yang dialami
wisatawan dalam mengkonsumsi produk wisata.1 Penelitian lanjutan
diperlukan oleh karena diperlukan data-data yang terkait dengan
persepsi dan afisitas para pemangku kepentingan terkait dengan
elemen-elemen tersebut. Penelitian terbaru mengkonfirmasi bahwa
elemen-elemen kepariwisataan berkembang pesat2, memiliki
dampak regional3, memberikan pengaruh positif terhadap jalinan
1Isharyanto, Maria Madalina, dan Handoyo Leksono, “Model Kebijakan Kepariwisataan
Berbasis Pluralisme Lokal Untuk Mewujudkan Negara Kesejahteraan (Welfare State)” (Kementerian
Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, 2018).2Donald Getz dan Stephen J.Page, “Progress and prospects for event tourism research,”
Tourism Management 52 (2016).3Eugenia Panfiluk, “Impact of a Tourist Event of a Regional Range on the Development of
Tourism,” Procedia - Social and Behavioral Sciences 213 (2015): 1020–27.
2 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
kebudayaan4, berhubungan dengan gaya hidup5 dan prestise
pribadi6, dan berurusan dengan ideologi.7 Pluralisme lokal dalam
kebijakan kepariwisataan sendiri bermanfaat untuk kepentingan
pendidikan8, kepentingan ekonomi9, kepentingan pemerintahan10,
serta kepentingan pembangunan dan rekreasi.11
Urgensi penelitian ini semakin nampak jika melakukan studi
komparasi. Di negara-negara Eropa dan Amerika Latin di mana
pariwisata telah menjadi sektor yang terkelola, ada korelasi negatif
antara pengembangan pariwisata dan pertumbuhan ekonomi.12
Selain itu, telah ditunjukkan di beberapa negara atau wilayah
yang faktor-faktor seperti tingkat profesionalisme pariwisata
(diukur sebagai proporsi pendapatan pariwisata dalam produk
domestik bruto negara itu [PDB]) bersama dengan bentuk negara
4Han Chen dan Imran Rahman, “Cultural tourism: An analysis of engagement, cultural
contact, memorable tourism experience and destination loyalty,” Tourism Management Perspectives 26 (2018): 153–63.
5Sanda Renko dan Kristina Buar, “How Changing Lifestyles Impact The Development Of
Some Special Interests Of Tourism: The Case Of Spa Tourism In Croatia,” International Journal of Management Cases 5 (2008): 101–10.
6Wong Simon Chak-keung dan Liu Gloria Jing, “Will parental influences affect career
choice?: Evidence from hospitality and tourism management students in China,” International Journal of Contemporary Hospitality Management 22, no. 1 (2010): 82–101.
7Sarbini Mbah Ben, Filsafat Pariwisata: Sebuiah Kajian Filsafat Praktis (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2018).8Huei-Ming Chiao, Yu-Li Chen, dan Wei-Hsin Huang, “Examining the usability of an
online virtual tour-guiding platform for cultural tourism education,” Journal of Hospitality, Leisure, Sport & Tourism Education 23 (2018): 29–38.
9Marie-Louise Mangion dkk., “Measuring the Effect of Subsidization on Tourism Demand
and Destination Competitiveness through the AIDS Model: An Evidence-Based Approach to
Tourism Policymaking,” Tourism Economics 18, no. 6 (2012): 1251–72.10C. M. Hall, Tourism planning. Policies, processes and relationships (London: Pearson Prentice
Hall, 2008).11C. M. Hall, Tourism and politics. Policy, power and place (Chichester: John Wiley & Son,
1998).12S. Malik dkk., “Tourism, economic growth and current account deficit in Pakistan:
Evidence from co‐integration and causal analysis,” European Journal of Economics, Finance and Administrative Sciences 22 (2010): 21–31.
3Pendahuluan
(kepuauan atau tidak), kekayaan, ukuran, dan lokasi geografis,
mempengaruhi hubungan antara pengembangan pariwisata dan
pertumbuhan ekonomi.13 Dalam studi empiris yang dilakukan di
Taiwan, Kim, Chen, dan Jang menyelidiki interaksi antara jumlah
wisatawan yang mengunjungi Taiwan dan PDB dan berpendapat
bahwa ada hubungan kausal antara pengembangan pariwisata
dan pertumbuhan ekonomi.14 Di antara studi tentang pengaruh
faktor ekonomi pada pengembangan pariwisata, Ramesh dan Thea
Sinclair menunjukkan bahwa nilai tukar dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya mempengaruhi pilihan wisatawan yang masuk.15
Yap menguji pengaruh nilai tukar terhadap jumlah wisatawan dan
menemukan bahwa fluktuasi mata uang mempengaruhi pariwisata
di beberapa negara, seperti Malaysia dan Selandia Baru.16
Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk (1) menguji
elemen-elemen pembangun model kebijakan kepariwisataan
berbasis pluralisme lokal untuk mewujudkan negara kesejahteraan
(welfare state); dan (2) finalisasi konstruksi model kebijakan
kepariwisataan berbasis pluralisme lokal untuk mewujudkan negara
kesejahteraan (welfare state).
13T.N. Sequeira dan C. Campos, “International tourism and economic growth: A panel
data approach” (Fondazione Eni Enrico Mattei Nota di Lavoro, 2005).14H.J. Kim, M.H. Chen, dan S.C. Jang, “Tourism expansion and economic development:
The case of Taiwan,” Tourism Management 27, no. 5 (2006): 925–33.15D. Ramesh dan M. Thea Sinclair, “Market shares analysis the case of French tourism
demand,” Annals of Tourism Research 30, no. 4 (2003): 927–941.16G. Yap, “An examination of the effects of exchange rates on Australia’s inbound
tourism growth: A multivariate conditional volatility approach,” International Journal of
Business Studies 20, no. 1 (2012): 111–32.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Desentralisasi dan Otonomi Daerah
1. Penger an dan Bentuk Desentralisasi
Munculnya desentralisasi di seluruh dunia telah menimbulkan
pertanyaan apakah desentralisasi telah memainkan beberapa peran
penting dalam mendorong pemerintahan yang bertanggung jawab.17
Ketika konsep tata kelola berkembang, begitu pula pemikiran
tentang alasan, tujuan, dan bentuk desentralisasi.18 Desentralisasi
sekarang mencakup tidak hanya transfer kekuasaan, wewenang,
dan tanggung jawab dalam pemerintahan19, tetapi juga pembagian
wewenang dan sumber daya untuk membentuk kebijakan publik
dalam masyarakat.20
Kata “desentralisasi” berarti pengalihan kekuasaan dan
wewenang dari pemerintah pusat ke unit lokal atau daerah
untuk memenuhi permintaan masyarakat.21 Desentralisasi telah
17Verena Thomas, Joys Eggins, dan Evangelia Papoutsaki, “Relational Accountability in
Indigenizing Visual Research for Participatory Communicatio,” SAGE Open, 2016, https://doi.
org/10.1177/2158244015626493.18Kathleen O’Neill, “Decentralization as an Electoral Strategy,” Comparative Political Studies
36, no. 9 (2003): 1068–91; Kathleen O’Neill, Decentralizing The State: Elections, Parties, and Local Power in the Andes (New York: Cambridge University Pres, 2005).
19Duco Bannink dan Ringo Ossewaarde, “Decentralization: New Modes of Governance and
Administrative Responsibility,” Administration & Society 44, no. 5 (2012): 595–624.20Nicholas Sphina, “Decentralisation and political participation: An empirical analysis in
Western and Eastern Europe,” International Political Science Review 35, no. 4 (2014): 448–462.21E. Kojo Sakyi, J. Koku Awoonor‐Williams, dan Francis A. Adzei, “Barriers to implementing
health sector administrative decentralisation in Ghana,” Journal of Health Organization and
6 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
didefinisikan oleh berbagai sarjana administrasi publik sebagai
pemindahan otoritas dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi
ke delegasi pengambilan keputusan yang lebih rendah.22 Selain itu,
desentralisasi didefinisikan sebagai penempatan otoritas dengan
tanggung jawab, memungkinkan sejumlah besar tindakan yang
harus diambil.23 Lebih jauh lagi, ada pemindahan fungsi dari pusat
ke pinggiran, suatu modus operasi yang melibatkan partisipasi orang
yang lebih luas dalam seluruh jajaran pengambilan keputusan,
mulai dari perumusan rencana hingga implementasi.24 Definisi
desentralisasi lainnya adalah pengalihan tanggung jawab untuk
merencanakan, mengelola, meningkatkan, dan mengalokasikan
sumber daya dari pemerintah pusat ke otoritas publik yang bersifat
semi-otonom, wilayah perusahaan yang luas di wilayahnya, otoritas
fungsional, organisasi swasta atau lembaga swadaya masyarakat.25
Mengingat banyak makna soal “desentralisasi”, Leonard
menegaskan bahwa tipologi tunggal secara universal atasi konsep
tersebut adalah mustahil.26 Karenanya tulisan ini memandang
Management 25, no. 4 (2011): 400–419.22Jun Koo dan Byoung Joon Kim, “Two faces of decentralization in South Korea,” Asian
Education and Development Studies 7, no. 3 (2018): 291–302.23Antonio Davila, Mahendra Gupta, dan Richard J. Palmer, “Internal Controls,
Decentralization, and Performance,” dalam Performance Measurement and Management Control: The Relevance of Performance Measurement and Management Control Research (Studies in Managerial and Financial Accounting, Vol. 33), ed. oleh Marc J. Epstein, Frank H. M. Verbeeten, dan Sally K.
Widener (Bingley, UK: Emerald Publishing Limited, 2018), 39–64.24Eric E. Otenyo dan Nancy S. Lind, “Part III: Managing Institutions through Planning and
Decentralization,” dalam Comparative Public Administration (Research in Public Policy Analysis and Management, Vol. 15), ed. oleh Eric E. Otenyo dan Nancy S. Lind (Bingley, UK: Emerald Group
Publishing Limited, 2006).25Ida Bagus Putu Purbadharmaja dkk., “The implications of fiscal decentralization and
budget governance on economic capacity and community welfare,” Foresight 222, no. 2 (2019):
227–49.26Leonard David, “Analyzing the Organisational Requirements for Serving the Rural
Poor,” dalam Institutions of Rural Development for the Poor, ed. oleh David Leonard dan Dale Rogers
Marshal (Berkeley: Institute of International Studies, 1982).
7Tinjauan Pustaka
“desentralisasi” sebagai proses melalui mana pemerintah pusat
mentransfer kekuasaan, fungsi, tanggung jawab dan keuangan, atau
kekuasaan pengambilan keputusan kepada entitas lain dari pusat
ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah, atau membubarkan
badan-badan negara pusat, atau sektor swasta.27 Asumsi utamanya
penguatan institusi lokal, administrasi lokal dan peningkatan
pelayanan publik.28
Desentralisasi dapat didefinisikan sebagai pengalihan
tanggung jawab untuk perencanaan, manajemen dan pengelolaan
sumber daya dan alokasi dana dari pemerintah pusat dan lembaga-
lembaganya kepada: (a) sebuah unit lapangan kementerian
pemerintah pusat, (b) unit di bawah pemerintah pusat atau
tingkat pemerintahan, (c) otoritas publik yang semiotonom atau
perusahaan, (d) daerah, otoritas regional atau fungsional, atau
(e) organisasi swasta atau nonpemerintah (NGOs).29 Menurut
Rigss, desentralisasi mengandung dua pengertian. Pertama,
delegation, yaitu penyerahan tanggung jawab kepada bawahan
untuk mengambil keputusan berdasarkan kasus yang dihadapi,
tetapi wewenang pengawasan melekat kepada pemerintah pusat.
Kedua, devolution, di mana seluruh tanggung jawab untuk kegiatan
tertentu diserahkan kepada penerima wewenang.30
Pakar lain mengatakan terdapat empat bentuk desentralisasi
yang dapat dibedakan oleh tingkat otoritas dan kekuasaan,
27Yasin Olum, “Participatory Budgeting in Decentralized Local Governments in
Uganda,” The Uganda Journal of Management and Public Policy Studies 1, no. 1 (2010): 98–119.28Arun Agrawal dan Jesse Ribot, “Accountability in Decentralization: A Framework with
South Asian and West African Cases,” The Journal of Developing Areas 33, no. 4 (1999): 473–502.29D.A. Rondinelli, “Government Decentralization in Comparative Perspective: Theory
and Practice in Developing Countries,” International Review of Administrative Sciences 47, no. 2
(1980): 133–45.30Fred W. Riggs, Administrasi Negara Berkembang: Teori Masyarakat Prismatis (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996).
8 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
atau ruang lingkup fungsinya. Bentuk yang pertama adalah
dekonsentrasi (deconcentration), merupakan pelimpahan tanggung
jawab pemerintah pusat kepada daerah.31 Dekonsentrasi melibatkan
transfer fungsi dalam hirarki pemerintah pusat melalui pergeseran
beban kerja dari departemen di pusat kepada petugas lapangan,
atau pergeseran tanggung jawab kepada unit-unit administrasi lokal
yang merupakan bagian dari struktur pemerintah pusat.32 Hal ini
dapat beroperasi pada skala yang berbeda-beda dan derajat yang
berbeda pula. Misalnya, dekonsentrasi mungkin tidak benar-benar
meningkatkan input (aspirasi) lokal dalam pengambilan keputusan
karena hanya memungkinkan pada proses administrasi yang akan
dilakukan di tingkat lokal.33
Bentuk kedua dari desentralisasi adalah delegasi (delegation),
menyangkut pendelegasian kepada organisasi semi otonom.34
Delegasi menyangkut pelimpahan kewenangan kepada daerah
atau lembaga fungsional, organisasi parastatal (misalnya: bank,
penerbangan, kereta api, stasiun televisi, dan layanan telepon)
atau unit pelaksana proyek khusus yang sering beroperasi secara
bebas (independen) dari peraturan pemerintah pusat mengenai
rekrutmen personel, kontrak, penganggaran, pengadaan, dan
hal-hal lain, serta bertindak selaku agen untuk negara dalam
menjalankan fungsi yang ditentukan dengan tanggung jawab utama
tetap kepada pemerintah pusat.35 Singkatnya, bentuk ini merupakan
31Satyajit Singh, “Decentralizing Water Services in India: The Politics of Institutional
Reforms,” Asian Survey 54, no. 4 (2014): 674–99.32Dennis A. Rondinelli, “Implementing Decentralization Programmes In Asia: A
Comparative Analysis,” Public Administration and Development 3, no. 3 (1983): 181–207.33Richard Seymour dan Sarah Turner, “Otonomi Daerah: Indonesia’s Decentralisation
Experiment,” New Zealand Journal of Asian Studies 4, no. 2 (2002): 33–51.34Kurt Steiner, Ellis S. Krauss, dan Scott C. Flanagan, Political Opposition and Local Politics
in Japan (New Jersey: Princeton University Press, 1980).35Rondinelli, op.cit., hal. 189.
9Tinjauan Pustaka
pendelegasian pengambilan keputusan dan otoritas manajemen
untuk fungsi-fungsi khusus untuk organisasi yang tidak berada di
bawah kontrol langsung dari pemerintah pusat. Organisasi otoritas
ini bisa didelegasikan kepada perusahaan publik atau unit pelaksana
proyek tertentu.36 Ketiga, devolusi (devolution), menyangkut
pengalihan fungsi atau otoritas pengambilan keputusan kepada
pemerintah daerah yang tergabung secara hukum, seperti negara,
provinsi, kabupaten atau kota.37 Devolusi adalah penciptaan atau
penguatan finansial atau hukum kepada pemerintah daerah,
merupakan kegiatan substansial di luar kontrol langsung dari
pemerintah pusat.38 Dalam devolusi, unit pemerintah lokal otonom
dan mandiri, dan status hukum mereka membuat pemerintah
daerah terpisah dan atau berbeda dari pemerintah pusat. Biasanya,
pemerintah daerah memiliki batas-batas geografis yang jelas dan
diakui secara hukum di mana mereka melaksanakan kewenangan
eksklusif untuk melakukan secara tegas fungsi yang telah diberikan
atau disediakan. Pemerintah daerah memiliki kewenangan
pengelolaan atau undang-undang untuk meningkatkan pendapatan
dan membuat pembelanjaan daerah.39 Terakhir, transfer to non-government institutions atau privatisasi (privatization), merupakan
pergeseran tanggung jawab untuk kegiatan dari sektor publik
kepada organisasi swasta atau quasi public yang bukan bagian dari
struktur pemerintah.40
36Miles Kahler, ed., Networked Politics: Agency, Power, and Governance (Ithaca, NY: Cornell
University Press, 2009).37Ibid.38Mo Qiao, Siying Ding, dan Yongzheng Liu, “Fiscal decentralization and government size:
The role of democracy,” European Journal of Political Economy 59 (2019).39Dennis A. Rondinelli, John R. Nellis, dan G. Shabbir Cheema, Decentralization, Territorial
Power and the State: A Critical Response (London: Sage Publications, 1990), hal. 24-25.40Dennis A. Rondinelli, “Implementing Decentralization Programmes In Asia: A
Comparative Analysis,” hal. 189.
10 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
Desentralisasi dalam arti sempit (devolution) akan berkatan
dengan dua hal.41 Pertama, adanya subdivisi teritori dari suatu
negara yang mempunyai ukuran otonomi. Subdivisi teritori ini
memiliki self governing melalui lembaga politik yang memiliki
akar dalam wilayah sesuai dengan batas yurisdiksinya. Wilayah
ini diadministrasikan oleh agen-agen pemerintah di atasnya tetapi
diatur oleh lembaga yang dibentuk secara politik di wilayah
tersebut. Kedua, lembaga-lembaga tersebut akan direkrut secara
demokratis sehingga berbagai keputusan akan diambil berdasarkan
prosedur demokrasi.
Smith juga mengatakan bahwa desentralisasi mencakup
beberapa elemen. Pertama, desentralisasi memerlukan pembatasan
area, yang biasa didasarkan pada tiga hal yaitu pola spasial
kehidupan sosial dan ekonomi, rasa identitas politik, dan efisiensi
pelayanan publik yang bisa dilaksanakan. Kedua, desentralisasi
meliputi pula pendelegasian wewenang baik itu kewenangan politik
maupun kewenangan birokratik.42
2. Perbedaan Desentralisasi dan Dekonsentrasi
Menurut Mawhood, secara konseptual desentralisasi dan
dekonsentrasi merupakan sistem yang jelas perbedaannya.43 Tabel
berikut ini memberikan perbedaan konsep antara dekonsentrasi
dan desentralisasi.44
41Brian C. Smith, Decentralization: The Territorial Dimension of the State (London: Unwin
Hyman, 1985), hal. 18.
42Ibid., hal. 8-12.43Philip Mawhood, “Decentralization: the Concept and the Practice,” dalam Local
Government in The Third World: The Experience of Tropical Africa, ed. oleh Philip Mawhood (Chicester,
New York, Brisbane, Toronto, and Singapore: John Wiley & Sons, 1983).44Ibid.
11Tinjauan Pustaka
Jika dicermati lebih mendalam, perbedaan antara desentralisasi
dan dekonsentrasi terletak pada penekanan politik dan administrasi.
Persoalan politik menyangkut sumber, penggunaan, dan
akuntabilitas kekuasaan, sedangkan persoalan administrasi lebih
kepada mekanisme distribusi atau pembagian kewenangan
(urusan).45 Politik di dalam desentralisasi bermakna pembagian
sebagian kekuasaan pemerintahan oleh kelompok-kelompok
yang berkuasa di tingkat pusat kepada kelompok-kelompok lain
di tingkat lokal.46 Setiap kelompok memiliki otoritas yang relatif
otonom, tidak terikat dengan kepentingan pusat. Di tingkat lokal,
kekuasaan (politik) digunakan oleh penguasa perwakilan (birokrat
dan politisi) untuk menentukan dan melaksanakan kebijakan
45M. Syareza L. Tobing dan Bambang P. S. Brodjonegoro, “Faktor Politik dalam Alokasi Dana
Antarpemerintah Indonesia,” Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia 13, no. 2 (2013): 143–58.46Bambang P. S. Brodjonegoro dan Jorge Martinez-Vazquez, “An Analysis of Indonesia’s
Transfer System: Re-cent Performance and Future Prospect,” dalam ReformingIntergovernmental Fiscal Relations and The Rebu-ilding of Indonesia: The ”Big Bang” Program andIts Economic Consequences, ed. oleh James Alm, Jorge Martinez-Vazquez, dan Sri Mulyani Indrawati (Cheltenham,
UK: Edward Elgar, 2004).
12 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
publik.47 Akuntabilitas penggunaan kekuasaan di tingkat lokal
tentu saja ditujukan lebih kepada kepentingan-kepentingan lokal
daripada kepentingan-kepentingan di tingkat pusat.48 Keputusan
yang diambil oleh pemerintah tingkat pusat untuk membiayai
kegiatan atau proyek daerah ikut melibatkan penigkatan pajak
dan/atau pengu-rangan dari pengeluaran yang dapat dikeluar
kan atas nama pemerintah pusat. Keputusan-keputusan tersebut
membebani pemerinta pusat secara langsung dan ditanggung
dengan berkurangnya modal politik pemerintah pusat yang hasilnya
dapat dilihat dari berkurangnya suara yang bisa didapatnya tanpa
didapatkan keuntungan langsung maupun tidak langsung oleh
pemerintah tingkat pusat sendiri.49 Secara konsisten ditemukannya
faktor politik sebagai penentu yang penting dalam alokasi dana
antarpemerintah daerah harus ditanggapi dengan perhatian
khusus oleh kalangan ekonom, ahli keuangan publik, dan penentu
kebijakan. Hal ini berarti terdapat kekurangan dalam mekanisme
penentuan dana alokasi yang harus diperbaiki.50
Desentralisasi telah menjadi kebijakan strategis untuk
restrukturisasi pemerintahan di banyak negara berkembang.51
Tujuan desentralisasi adalah merancang ulang sistem pemerintahan
sedemikian rupa sehingga dapat memberikan layanan secara
47Francesca Gregorini dan Emilio Longoni, “Inequality, Political Systems and Public
Spending” (University of Milano-Bicocca, 2009).48G. Alperovich, “The Economics of Choicein the Allocation of Intergovernmental Grants
toLocal Authorities,” Public Choice 44 (1984): 285–296.49Philip J. Grossman, “A Political Theory of Intergovernmental Grants,” Public Choice 78,
no. 3–4 (1994): 295–303.50M. Syareza L. Tobing dan Bambang P. S. Brodjonegoro, “Faktor Politik dalam Alokasi
Dana Antarpemerintah Indonesia.”51Norman Furniss, “The Practical Significance of Decentralization,” The Journal of Politics
36, no. 4 (1974): 958–82.
13Tinjauan Pustaka
efisien dan efektif kepada warga negara.52 Namun, kegagalan
untuk memperhitungkan beberapa prasyarat telah menyebabkan
kegagalan yang mencolok.53 Sebelum membahas pra-kondisi ini,
penting untuk menggarisbawahi fakta bahwa ada kesalahpahaman
tentang apa arti desentralisasi.54
3. Perspek f Desentralisasi
Ada tiga perspektif mengenai manfaat desentralisasi, yaitu:
(i) pandangan developmentalis, (ii) pandangan demokratisasi,
dan (iii) sentralisasi. Para penganut pandangan developmentalis55,
termasuk para donor pembangunan arus utama, mendukung
pelaksanaan desentralisasi karena akan: mendekatkan pemerintah
kepada rakyat56; meningkatkan layanan; mendidik menjadi warga
negara penuh57; memfasilitasi partisipasi lokal terutama masyarakat
miskin dan dengan demikian memungkinkan pemerintah untuk
lebih memahami kebutuhan masyarakat58; meningkatkan desain
kebijakan publik59; mengurangi konflik dengan membantu orang
52Christopher Bjork, “Local Responses to Decentralization Policy in Indonesia,” Comparative Education Review 47, no. 2 (2003): 184–216.
53Kent Eaton, “Risky Business: Decentralization from above in Chile and Uruguay,”
Comparative Politics 37, no. 1 (2004): 1–22.54Yasin Olum, “Decentralisation in developing countries: preconditions for successful
implementation,” Commonwealth Journal of Local Governance 15 (2014).55Richard C. Schragger, “Decentralization and Development,” Virginia Law Review 96,
no. 8 (2010): 1837–1910.56Andrew D. Selee, “Democracy Close to Home: Citizen Participation and Local
Governance,” Georgetown Journal of International Affairs 3, no. 1 (2002): 95–102.57Tulia G. Falleti, “A Sequential Theory of Decentralization: Latin American Cases in
Comparative Perspective,” The American Political Science Review 99, no. 3 (2005): 327–46.58Yasheng Huang dan Yumin Sheng, “Political Decentralization and Inflation: Sub-National
Evidence from China,” British Journal of Political Science 39, no. 2 (2009): 389–412.59Kai Ostwald, Yuhki Tajima, dan Krislert Samphantharak, “Indonesia’s Decentralization
Experiment: Motivations, Successes, and Unintended Consequences,” Journal of Southeast Asian Economies 33 (2016): 139–56.
14 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
menerima keputusan pemerintah; mengintegrasikan masyarakat
secara sosial60; dan membuat ekonomi lokal lebih sejahtera dan
lebih adil.61
Para penganut pandangan demokratisasi62 berpendapat bahwa
desentralisasi: meningkatkan masukan warga yang lebih besar
dalam pemerintahan dengan memperkuat elit lokal63; membuka
jalan bagi partisipasi rakyat dalam membuat keputusan tentang
desain dan implementasi kebijakan64; dan menghasilkan tingkat
responsif, kejujuran, legitimasi, dan toleransi pemerintah yang
lebih tinggi di antara warga negara65 karena pejabat lokal memiliki
pengetahuan yang lebih baik tentang kondisi lokal daripada pejabat
pemerintah pusat66 dan dengan demikian berada pada posisi yang
lebih baik untuk menanggapi selera dan preferensi lokal.67
60Glenn D. Wrigh dkk., “Decentralization can help reduce deforestation when user groups
engage with local government,” Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America 113, no. 52 (2016): 14958–63.
61Ulrich Hange dan Dietmar Wellisch, “The Benefit of Fiscal Decentralization,” FinanzArchiv / Public Finance Analysis 55, no. 3 (1998): 315–27.
62Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara memberikaan kesempatan kepada rakyat
untuk ikut serta dalam masalah-masalah pokok yang mengenai kehidupannya, termasuk dalam
menilai kebijaksanaan negara.Artinya negara demokrasi adalah negara yang diselengga-rakan
berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat. Apabila ditinjau dari sudut organisasi ia berarti
suatu pengorganisasian negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atas persetujuan rakyat
karena kedaulatan berada di tangan rakyat. Lihat: Moh. Mahfud M.D., Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 1993), hal. 19; Mukti Fajar, Tipe Negara Hukum (Malang:
Bayumedia Publishing, 2005), hal 40; Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden dalam Negara Hukum Demokrasi (Bandung: Yrama Media, 2007), hal. 27.
63David Lublin, “Dispersing Authority or Deepening Divisions? Decentralization and
Ethnoregional Party Success,” The Journal of Politics 74, no. 4 (2012): 1079–93.64A. M. M. Shawkat Ali, “Decentralization for Development: Experiment in Local
Government Administration in Bangladesh,” Asian Survey 27, no. 7 (1987): 787–99.65Jan H. Pierskalla, “Splitting the Difference? The Politics of District Creation in Indonesia,”
Comparative Politics 48, no. 2 (2016): 249–68. 66Andrés Rodríguez-Pose dan Roberto Ezcurra, “Does decentralization matter for regional
disparities? A cross-country analysis,” Journal of Economic Geography 10, no. 5 (2010): 619–44.67Shahid Javed Burki, E. Perry Guillermo, dan William Dillinger, Beyond the Centre:
Decentralizing the State (Washington D.C: World Bank, 1999), hal. 22.
15Tinjauan Pustaka
Pemberdayaan komunitas juga menjadi isu penting.68 Dalam
pengalaman China, desentralisasi diperlukan untuk mengubah gaya
sentralistis negara sembari tetap mempertahankan otoritarianisme.69
Telah lama pula bertahan dalam literatur bahwa desentralisasi akan
mendorong eksperimentasi kebijakan dan inovasi.70 Di negara
berkembang, desentralisasi diharapkan membantu pemerataan
infrastruktur.71 Desentralisasi juga diharapkan memberikan
kebaikan dalam tata kelola fiskal.72
Kaum sentralis berpendapat bahwa desentralisasi mengalihkan
konflik sosial, sumber daya, dan tanggung jawab ke tingkat
lokal di mana terdapat ketimpangan politik yang lebih besar.73
Namun, mereka mencatat bahwa desentralisasi memperkuat
hubungan subordinasi dan penghancuran kekuatan relatif aktor
di daerah.74 Selain itu, mereka berpendapat bahwa korupsi dan
klientelisme lebih lazim di tingkat lokal75, membuat partisipasi tidak
menarik bagi banyak warga serta membuat partisipasi itu sendiri
68Tatchalerm Sudhipongpracha dan Achakorn Wongpredee, “Decentralizing decentralized
governance: community empowerment and coproduction of municipal public works in Northeast
Thailand,” Community Development Journal 51, no. 2 (2016): 302–19; Laurie S. Ramiro dkk.,
“Community participation in local health boards in a decentralized setting: cases from the
Philippines,” Health Policy and Planning 16, no. 2 (2001): 61–69.69Xiangming Chen dan Xiaoyuan Gao, “China’s Urban Housing Development in the Shift
from Redistribution to Decentralization,” Social Problems 40, no. 2 (1993): 266–83.70Brian E. Adams, “Decentralization and Policy Experimentation in Education: the
Consequences of Enhancing Local Autonomy in California,” Publius: The Journal of Federalism,
2019, https://doi.org/10.1093/publius/pjz006.71Pranab Bardhan dan Dilip Mookherjee, “Decentralisation and Accountability in
Infrastructure Delivery in Developing Countries,” The Economic Journal 116, no. 508 (2006): 101–7.72Charles R. Hankla, “When is Fiscal Decentralization Good for Governance?,”
Publius: The Journal of Federalism 39, no. 4 (2009): 632–50.73Bonnie M. Meguid, “Multi-Level Elections and Party Fortunes: The Electoral Impact of
Decentralization in Western Europe,” Comparative Politics 47, no. 4 (2015): 379–98.74Dawn Brancati, “Decentralization: Fueling the Fire or Dampening the Flames of Ethnic
Conflict and Secessionism?,” International Organization 60, no. 3 (2006): 651–85.75Craig Jeffrey, “Caste, Class, and Clientelism: A Political Economy of Everyday Corruption
in Rural North India,” Economic Geography 78, no. 1 (2002): 22–41; María Pilar García-Guadilla
16 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
tidak demokratis.76 Akhirnya, pandangan ini mencatat bahwa
desentralisasi merusak pembangunan karena pemerintah daerah
secara teknis kurang mampu daripada pemerintah pusat oleh karena
negara kehilangan kapasitas regulasi dan kontrol fiskal.77 Dalam
pengalaman Prancis, keinginan memberikan desentralisasi ternyata
cenderung memberikan dampak ekonomi belaka dibandingkan
keinginan mengembangkan pelayanan publik.78 Argentina, Brazil,
Meksiko, dan Spanyol, alih-alih stabil, kebijakan desentralisasi
malah mengobarkan konflik intrapemerintah.79 Desentralisasi
juga tak menyediakan instrument yang tepat dalam pengawasan,
misalnya alokasi dana bagi kaum miskin.80
Secara praktis istilah otonomi acapkali dicampuradukkan
dengan desentralisasi.81 Padahal keduanya memilki makna
tersendiri. Istilah otonomi lebih cenderung pada “political ascpect” sedangkan desentralisasi berkaitan dengan “administrative aspect.”82 Dalam konteks hukum ketatanegaraan, otonomi daerah
bukan sekedar pemencaran penyelenggaraan pemerintahan
untuk mencapai sangkil dan mangkus, tetapi sebuah tatanan
dan Carlos Pérez, “Democracy, Decentralization, and Clientelism: New Relationships and Old
Practices,” Latin American Perspectives 29, no. 5 (2002): 90–109.76Sebastian G. Kessing, Kai A. Konrad, dan Christos Kotsogiannis, “Foreign Direct
Investment and the Dark Side of Decentralization,” Economic Policy 22, no. 49 (2007): 57–70.77Rémy Prud’homme, “The Dangers of Decentralization,” The World Bank Research Observer
10, no. 2 (1995): 201–20; A. James Heins, “State and Local Response to Fiscal Decentralization,”
The American Economic Review 61, no. 2 (1971): 449–55.78Jean Rocchi, “France: Decentralization and Dissension,” Journal of Communication 28,
no. 3 (1978): 73–74.79Alfred P. Montero, “After Decentralization: Patterns of Intergovernmental Conflict in
Argentina, Brazil, Spain, and Mexico,” Publius: The Journal of Federalism 31, no. 4 (2011): 43–64.80Martin Ravallion, “Monitoring Targeting Performance When Decentralized Allocations
to the Poor Are Unobserved,” The World Bank Economic Review 14, no. 2 (2000): 331–45.81Enny Nurbaningsih, Problematika Pembentukan Peratuan Daerah: Aktualisasi Wewenang
Mengatur dalam Era Otonomi Luas (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2019), hal. 45.82Ibid., hal. 46.
17Tinjauan Pustaka
ketatanegaraan (staatsrechtelijk) yang berkaitan dengan dasar-dasar
negara dan susunan organisasi negara yaitu demokrasi dan negara
berdasarkan hukum.83 Tanpa otonomi sebagai asas penyelenggaraan
pemerintahan tidak mungkin tercipta tatanan berdasarkan
demokrasi dan negara berdasarkan hukum.84 Ada dua unsur yang
terkait dengan pemberian otonomi yaitu pertama, pemberian tugas
yang harus diselesaikan oleh daerah. Kedua, pemberian kewenangan
untuk memikirkan dan menetapkan cara-cara penyelesaian tugas
tersebut.85 Secara fundamental analisis kebijakan publik tidak
lepas dari sistem politik yang dianut negara yang bersangkutan.86
Bahkan kebijakan publik dapat dikatakan sebagai suatu tindakan
pemerintah dalam merealisasikan sistem poltik yang dianutnya
dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.87 Semua keputusan yang
diambil pemerintah mulai dari pusat sampai ke daerah-daerah
akan diwarnai oleh kepentingan sistem politik tersebut.88 Dengan
kata lain, sistem politik menjadi dasar utama didalam menyusun
dan menentukan kebijakan-kebijakan yang dikehendaki.89
Menurut Rondinelli, Nellis dan Cheema, desentralisasi
merupakan sebuah harapan yang akan mengurangi kelebihan beban
dan kemacetan administrasi dan komunikasi dalam pemerintahan.
83Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah (Yogyakarta: Penerbit Pusat Studi
Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII, 2001), hal. 24.84Bagir Manan, “Hubungan Antara Pusat Dan Daerah Menurut Asas Desentralisasi
Berdasarkan UUD 1945” (Diseertasi Ilmu Hukum, Universitas Padjadjaran, 1990).85Ateng Syafrudin, “Pasang Surut Otonomi Daerah,” (Pidato Dies Natalis Universitas
Parahiyangan Bandung, 1983).86Hiroo H. Advani, “Public Policy,” National Law School of India Review 21, no. 2 (2009):
55–63. 87Alice Woolley, “Legitimating Public Policy,” The University of Toronto Law Journal 58,
no. 2 (2008): 153–84.88Will Barrett, “Gambling and Public Policy,” Public Affairs Quarterly 14, no. 1 (2000):
57–71.89Lawrence M. Mead, “Teaching Public Policy: Linking Policy and Politics,” Journal of Public
Affairs Education 19, no. 3 (2013): 389–403.
18 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
Desain desentralisasi diperkirakan akan meningkatkan respon
pemerintah kepada masyarakat dan meningkatkan kuantitas dan
kualitas layanan yang disediakan.90 Desentralisasi sering dibenarkan
sebagai cara untuk mengelola pembangunan ekonomi nasional
lebih efektif dan efisien, termasuk penentuan transfer dana
antarpemerintah.91 Desentralisasi sering dilihat sebagai cara untuk
meningkatkan kemampuan para pejabat pemerintah pusat untuk
memperoleh informasi yang lebih baik tentang kondisi lokal atau
regional, untuk merencanakan program lokal yang lebih responsif
dan bereaksi lebih cepat terhadap masalah.
Namun, desentralisasi juga menjadi perdebatan, ketika pada
kenyataannya, desentralisasi hanya sebagai kebutuhan pragmatis
tertentu. Seymour dan Turner merangkum realita tersebut dari
berbagai hasil studi beberapa ilmuan di berbagai negara.92 Kebijakan
desentralisasi dijalankan karena beberapa politisi negara meyakini
penurunan kekuatan jangka pendek mereka bisa meningkatkan
popularitas jangka panjang mereka. Kedua, mereka terpaksa
untuk melakukannya, seperti yang terjadi di Brazil di mana,
pada tahun 1980, gubernur yang mengontrol jalur karir politisi
nasional, menggunakan pengaruhnya, menuntut agar pemerintah
menjadi lebih terdesentralisasi.93 Selain itu, keputusan untuk
90Dennis A. Rondinelli, John R. Nellis, dan G. Shabbir Cheema, Decentralization, Territorial Power and the State: A Critical Response, hal. 9-10.
91Pada umumnya, Bahl (1999) membagi sistem alokasi dana oleh pemerintah di
dunia menjadi dua metode. Metode yang pertama bersifat ad hoc di mana penentuan alokasi
dana dilakukan setiap tahun atau alokasi pemerintahdaerah yang dilakukan dengan negosiasi sebagai
bagian dari formulasi anggaran pemerintah pusat, sehingga membuka banyak kesempatanbagi politisi
untuk melakukan manipulasi demi keuntungan pribadi. Sebaliknya, metode kedua menggunakan
formula yang sudah ditetapkan setiap tahunnya. Lihat: R. Bahl, “Implementation Rules for Fiscal
Decentralization,” International Studies Program Working Paper 99, no. 1 (1999).92Seymour dan Turner, op.cit., hal. 34-35.93Antônio Carlos de Medeiros, “The Politics of Decentralization in Brazil,” European Review
of Latin American and Caribbean Studies / Revista Europea de Estudios 57 (1994): 7–27.
19Tinjauan Pustaka
mendesentralisasikan terkait dengan berbagai macam bentuk
tekanan, termasuk tekanan dari pemberi pinjaman internasional,
seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF).94
Perdebatan tersebut bahkan terus berlanjut antara teori neo-
Marxis dan neo-liberal.95 Namun, meskipun sudut pandang teoritis
yang berbeda, kebanyakan penulis setuju bahwa desentralisasi,
sebagaimana telah dialami di negara berkembang sampai saat
ini, belum tentu memfasilitasi adanya “pembangunan” atau
menghasilkan demokrasi.96 Bahkan, sebagian literatur yang
mengevaluasi desentralisasi sebagai kisah sukses, cukup langka
ditemukan.97 Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa
desentralisasi telah benar-benar mengurangi kualitas pelayanan
dalam beberapa kasus, menciptakan disparitas antar daerah, dan
dapat meningkatkan korupsi.98 Sebuah studi yang dilakukan oleh
Blair (dalam Seymour & Turner, 2002) di enam negara (Bolivia,
Honduras, India, Mali, Filipina, dan Ukraina) menemukan bahwa
meskipun otonomi yang besar dimiliki pemerintah daerah, namun,
gagal untuk membantu mengentaskan kemiskinan.99
Desentralisasi telah menjadi buah bibir yang terkait dengan
Reformasi Sektor Publik di negara-negara berkembang dan
94Clemens Fuest dan George R. Zodrow, ed., “Critical Issues in Taxation and Development”
(Cambridge, MA: MIT Press, 2013).95Dennis A. Rondinelli, John R. Nellis, dan G. Shabbir Cheema, Decentralization, Territorial
Power and the State: A Critical Response.96Lucas I. González, “Political Power, Fiscal Crises, and Decentralization in Latin America:
Federal Countries in Comparative Perspective (And Some Contrasts with Unitary Cases),” Publius 38, no. 2 (2008): 211–47.
97Amy C. Offner, “Decentralization Reborn,” dalam Sorting Out the Mixed Economy: The Rise and Fall of Welfare and Developmental States in the Americas, vol. 16 (New Jersey: Princeton
University Press, 2019).98Seymour & Turner, op.cit., hal. 35. Baca juga Benjamin Neudorfer dan Natascha S.
Neudorfer, “Decentralization and Political Corruption: Disaggregating Regional Authority,” Publius: The Journal of Federalism 45, no. 1 (2015): 24–50.
99Ibid.
20 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
negara-negara yang mengalami transisi demokrasi. Dalam bidang
desentralisasi, pembangunan dibahas dalam kaitannya dengan
beragam masalah seperti demokrasi, reformasi politik, partisipasi,
pemberdayaan, pengembangan pedesaan, pengembangan fiskal
dan ekonomi, akuntabilitas, dan pengembangan kapasitas. Namun
terlepas dari kemunculannya sebagai istilah di mana-mana yang
multidisplin, sifat, praktik, dan manfaat desentralisasi tetap tidak
jelas. Apa yang menjadi jelas selama tiga atau empat dekade
terakhir adalah bahwa desentralisasi lebih dari sekadar sementara
dan didorong oleh kecurangan yang dikembangkan oleh para ahli
teori pembangunan untuk mempromosikan agenda penelitian yang
berorientasi akademis. Dalam bidang pembangunan internasional,
desentralisasi, betapapun longgarnya definisi, telah ada bersama
kita selama setidaknya 40 tahun dan minat terhadapnya tidak
menunjukkan tanda-tanda akan berkurang dalam waktu dekat.100
4. Kri k terhadap Desentralisasi
Meskipun desentralisasi sangat populer dipakai oleh negara
maju ataupun berkembang, baik untuk meningkatkan efisiensi,
efektivitas pemerintahan maupun demokratisasi, di beberapa
kasus desentralisasi hanya dipakai sebagai aksesoris.101 Di banyak
kasus, desentralisasi tidak diadopsi untuk merespons tekanan dari
bawah, tetapi hanya sebagai saluran ide/kepentingan pemerintah
nasional.102 Dalam konteks ini desentralisasi hanya dipakai oleh para
100Christopher J. Rees dan Farhad Hossain, “Perspectives on Decentralization and Local
Governance in Developing and Transitional Countries,” International Journal of Public Administration
33, no. 12–13 (2010): 581–87.101Charles Hankla dan William Downs, “Decentralisation, Governance and the Structure of
Local Political Institutions: Lessons for Reform?,” Local Government Studies 36, no. 6 (2010): 759–83.102Monika Köppl Turyna dkk., “The effects of fiscal decentralisation on the strength of
political budget cycles in local expenditure,” Local Government Studies 42, no. 5 (2016): 785–820.
21Tinjauan Pustaka
politisi untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan.103 Di
negara-negara Afrika, kebijakan desentralisasi malah mendorong
konflik.104
Pada masa awal pertumbuhan desentralisasi, sejumlah
penulis sudah mengantisipasi bahwa masalah akan muncul ketika
desentralisasi dilaksanakan dalam organisasi sektor publik. Sebagai
contoh, pada tingkat metodologis, Fesler mengidentifikasi defisiensi
linguistik, mensural, dan diferensial yang akan menghambat upaya
peneliti untuk memajukan diskusi desentralisasi dari umum ke
presisi.105 Pada tingkat yang lebih praktis, Kaufman mengantisipasi
bahwa desentralisasi akan memberikan otoritas lokal setidaknya
otoritas terbatas atas personil lokal dan jabatan lokal tetapi dengan
harga tertentu.106 Dalam hal apa yang biasa disebut Dunia Ketiga,
desentralisasi dipandang oleh banyak orang sebagai “... strategi
organisasi yang sangat terpusat, birokratis, hierarkis, dominan sejak
kemerdekaan dalam administrasi Dunia Ketiga”107 sehingga dapat
direformasi dengan menyerahkan wewenang dan sumber daya ke
unit-unit lokal. Didorong oleh kegiatan lembaga internasional,
program desentralisasi diluncurkan di seluruh negara di Afrika, Asia,
dan Amerika Latin, sehingga memastikan bahwa desentralisasi akan
menjadi “salah satu gerakan terluas, dan sebagian besar menjadi
103Kathleen O’Neill, Decentralizing The State: Elections, Parties, and Local Power in the Andes.104James Manor, “Decentralisation in Africa: A pathway out of poverty and conflict? Edited
by Gordon Crawford and Christof Hartmann,” African Affairs 109, no. 434 (2010): 165–66.105James W. Fesler, “Approaches to the understanding of decentralization,” The Journal of
Politics 27, no. 3 (1965): 536–66.106Herbert Kaufman, “Administrative Decentralization and Political Power,” Public
Administration Review 29, no. 1 (1969): 3–15.107James S. Wunsch, “Institutional analysis and decentralization: Developing an analytical
framework for effective third world administrative reform,” Public Administration and Development 11, no. 5 (1991): 431–51.
22 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
masalah kebijakan yang diperdebatkan, di dunia pembangunan.”108
Diberikan keragaman pemerintah, lembaga, dan akademisi yang
terhubung satu sama lain dengan desentralisasi, tingkat konsensus
ini cukup luar biasa.
Mempopulerkan desentralisasi sejak 1970 dan seterusnya
bertepatan dengan proses internasionalisasi yang lebih luas di bawah
panji-panji globalisasi.109 Sebagai contoh, selama masa ini, dunia
usaha menjadi semakin terlibat dengan strategi merger dan akuisisi
yang dirancang untuk menciptakan perusahaan transnasional besar.
Sementara desentralisasi sebelumnya telah menghasilkan perhatian
dalam literatur bisnis dan manajemen klasik,110 meningkatnya
tingkat internasionalisasi bisnis menyebabkan kesadaran
umum bahwa perusahaan-perusahaan internasional besar yang
tersentralisasi tidak dapat disusun dan dikelola dengan cara-
cara tradisional.111 Pembentukan the United Nations Center on
Transnational Corporations (UNTC) pada tahun 1974 merupakan
pengakuan formal atas dampak politik, ekonomi, sosial dan hukum
dalam pembangunan internasional yang dihasilkan dari kegiatan
organisasi-organisasi transnasional.
Politik di dalam dekonsentrasi dimaknai dalam konteks
pembagian kekuasaan di antara sesama kelompok-kelompok yang
berkuasa di area yang berbeda. Struktur politik pada dasarnya
mewakili kepentingan-kepentingan penguasa-penguasa pusat
108Jean-Paul Faguet, “Does decentralization increase government responsiveness to local
needs?: Evidence from Bolivia,” Journal of Public Economics 88, no. 3–4 (2004): 867–93. 109M. Fernanda Astiz, Alexander W. Wiseman, dan David P. Baker, “Slouching towards
decentralization: Consequences of globalization for curricular control in national education systems,”
Comparative Education Review 46, no. 1 (2002): 66–88.110G.P. Lauter, “Sociological-Cultural and Legal Factors Impeding Decentralization of
Authority in Developing Countries,” The Academy of Management Journal 12, no. 3 (1969): 367–78.111Jeffrey D. Ford dan John W. Slocum, Jr., “Size, Technology, Environment and the
Structure of Organizations,” The Academy of Management Review 2, no. 4 (1977): 561–75.
23Tinjauan Pustaka
dan tergantung pada dukungan mereka.112 Pengguna kekuasaan
yang membuat kebijakan-kebijakan formal adalah perangkat
pemerintahan yang ditunjuk secara terpusat.113
Di dalam praktik, kekacauan pemerintahan dapat teijadi
dari persoalan kekaburan pemakaian sistem dekonsentrasi dan
desentralisasi.114 Menurut Mawhood, power sharing di dalam
pemerintahan sangat kompleks dan terdiri atas lembaga dan
struktur yang tidak sederhana. Kompleksitas ini terkadang
mengaburkan praktik, baik desentralisasi maupun dekonsentrasi.
Terkadang praktik sistem dekonsentrasi dirancang dan diberi label
desentralisasi. Demikian juga struktur desentralisasi sering kali
dikikis secara perlahan dengan menerapkan lebih banyak kontrol
selain membatasi penggunaan sumber daya lokal. Kekaburan atau
kebingungan penggunaan sistem dekonsentrasi dan desentralisasi
ini merupakan persoalan klasik di banyak negara.
Melalui pembentukan daerah otonom, akan terjadi transfer of political power untuk tujuan politik maupun administratif.115
Kebijakan desentralisasi yang melahirkan otonomi daerah adalah
salah satu bentuk implementasi dari kebijakan.116 Otonomi daerah
dalam konteks ekonomi bermakna sebagai perluasan kesempatan
bagi masyarakat dan pemerintah daerah untuk mengejar
112Danny van Assche dan Guido Dierickx, “The decentralisation of city government and
the restoration of political trust,” Local Government Studies 32, no. 1 (2007): 25–47.113Jong Soo Lee, “The politics of decentralisation in Korea,” Journal Local Government
Studies 22, no. 3 (1996): 60–71.114Jenny Collingridge, “The appeal of decentralization,” Local Government Studies 12, no.
3 (1986): 9–17.115Sadu Wasistiono, “Desentralisasi, Demokrasi, dan Pembentukan Good Governance,”
dalam Desentralisasi dan Otonomi Daerah, ed. oleh Syamsuddin Haris (Jakarta: AIPI, LIPI, dan
Partnership for Governance Reform, 2005); Medhi Krongkaew, “The Political Economy Of
Decentralization In Thailand,” Southeast Asian Affairs, 1995, 343–61.116Steven Teles dan Matthew Kaliner, “The Public Policy of Skepticism,” Perspectives on
Politics 2, no. 1 (2004): 39–53.
24 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
kesejahteraan dan memajukan dirinya.117 Ini akan secara signifikan
mengurangi beban pemerintah pusat dan pada saat yang sama
menciptakan iklim yang kompetitif diantara daerah-daerah untuk
secara kreatif menemukan cara baru dalam mengelolah potensi
ekonomi yang dimilikinya.118 Otonomi daerah dalam konteks
sosial bermakna sebagai peluang yang diberikan kepada pemerintah
daerah untuk mengembangkan kualitas masyrakatnya dan berbagi
tanggungjawab dengan pemerintah pusat dalam meningkatkan
pelayanan di bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial
lainnya.119
Kecemasan tinggi terhadap desentralisasi adalah korupsi.
Jangkauan desentralisasi, menurut Lecuna dalam studi terhadap
100 negara, mempengaruhi tingkat korupsi.120 China bahkan
mempertanyakan desentralisasi manakala kebijakan tersebut
mempertinggi kasus korupsi.121 Di Amerika Serikat, persangkaan
keterlibatan korporasi swasta dan actor lainnya menjadi faktor
yang mempertanyakan kebijakan desentralisasi fiskal.122 Hal
semacam ini menjadi tidak mengherankan tatkala dijumpai
realitas bahwa struktur desentralisasi yang kuat pun menghasilkan
117Edmund J. Malesky dan Francis E. Hutchinson, “Varieties of Disappointment: Why
Has Decentralization Not Delivered on Its Promises in Southeast Asia?,” Journal of Southeast Asian Economies 38, no. 2 (2016): 125–38.
118Andrés Rodríguez-Pose dan Roberto Ezcurra, “Does decentralization matter for regional
disparities? A cross-country analysis.”119Thomas B. Pepinsky dan Maria M. Wihardja, “Decentralization and Economic
Performance in Indonesia,” Journal of East Asian Studies 11, no. 3 (2011): 337–71.120Antonio Lecuna, “Corruption and Size Decentralization,” Journal of Applied Economics
15, no. 1 (2012): 139–68. 121Kilkon Ko dan Hui Zhi, “Fiscal Decentralization: guilty of aggravating corruption in
China?,” Journal of Contemporary China 22, no. 79 (2013): 35–55.122Jongmin Shon dan Yoon Kyoung Cho, “Fiscal Decentralization and Government
Corruption: Evidence from U.S. States,” Public Integrity, 2019, https://doi.org/10.1080/109999
22.2019.1566427.
25Tinjauan Pustaka
keterpusatan ekonomi dan politik.123 Ukuran korupsi terhadap
desentralisasi terutama terjadi di negara-negara berkembang dengan
penampakkan pada integritas layanan publik.124 Hal seperti ini
bahkan dapat terjadi sebagai warisan sejarah.125
B. Pariwisata dan Pemerintahan Daerah
Munculnya pariwisata massal pada pertengahan tahun 1900
secara dramatis meningkatkan potensi peristiwa untuk memengaruhi
perkembangan sosial dan ekonomi di sebagian besar wilayah.126
Sampai hari ini, penilaian ekonomi ex-post telah mendominasi
wacana evaluasi even-even kepariwisataan. Selanjutnya, kerangka
kerja yang digunakan untuk memutuskan manfaat peristiwa
dalam konteks kebijakan memiliki parameter ekonomi yang
ditargetkan secara berlainan.127 Memang, dimasukkannya nilai-nilai
sosial ke dalam pembuatan kebijakan tercermin dari perubahan
sikap pada tahun 1990-an ketika otoritas lokal mulai menerima
sesuatu yang positif sebagai tujuan formal dalam intervensi sektor
123Nathan Schneider, “Decentralization: an incomplete ambition,” Journal of Cultural Economy 12, no. 4 (2019): 265–85.
124Ernita T. Joaquin, “Decentralization and Corruption : The Bumpy Road to Public Sector
Integrity in Developing Countries,” Public Integrity 6, no. 3 (2014): 207–19; Daniel Treisman,
“Explaining Fiscal Decentralisation: Geography, Colonial History, Economic Development and
Political Institutions,” Commonwealth & Comparative Politics 44, no. 3 (2006): 289–332; Daniel
Treisman, “The causes of corruption: a cross-national study,” Journal of Public Economics 76, no. 3
(2000): 399–457; B.S. Ghuman dan Ranjeet Singh, “Decentralization and delivery of public services
in Asia,” Policy and Society 32, no. 1 (2013): 7–21.125Leigh A. Gardner, “Decentralization And Corruption In Historical Perspective: Evidence
From Tax Collection In British Colonial Africa,” Economic History of Developing Regions 25, no. 2
(2010): 213–36.126Getz, Donald, “Policy for Sustainable and Responsible Festivals and Events :
Institutionalization of a New Paradigm,” Journal of Policy Research in Tourism, Leisure, and Events 1,
no. 1 (2009): 61–78; L. Dwyer dkk., “A framework for assessing ‘tangible’ and ‘intangible’ impacts
of events and conventions,” Event Management 6, no. 3 (2000): 175–91.127Wood, E., “Measuring the economic and social impacts of local authority events,”
International Journal of Public Sector Management 18, no. 1 (2005): 37–53.
26 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
publik.128 Kebijakan kepariwisataan sendiri bertumpu kepada
kemampuan pemerintahan dan kemudian tergantung kepada
dinamika governance yang mewadahi.129 Mengingat kepariwisataan
memiliki tujuan dan determinasi, maka “Decisions related to goal- determination and the selection of methods to achieve the goal are referred to as policies.”130
Kepariwisataan sendiri mulai memperoleh sorotan. Dikatakan
oleh Freya Higgins-Desbiolles, bahwa “Despite three decades discussing pathways to sustainable tourism, tourism authorities continue to promote tourism growth despite the ecological and social limits of living on a finite planet.”131 Sebagai sebuah gagasan global,
“suistanable tourism” telah memasuki tahapan generasi kedua,
yang diikuti “with new and complex multi-disciplinary research areas exploring major holistic issues and opportunities.”132 Dalam konteks
ini, kemudian makin perlu dipertimbangkan untuk mengusung isu
pluralisme lokal dalam keberlanjutan kebijakan kepariwisataan.133
Sehubungan dengan hal ini, pemerintahan daerah “has significant responsibilities in relation to the provision and management of tourism assets and infrastructure, in land use planning, in economic
128Tazim Jamal dan Blanca Alejandra Camargo, “Tourism governance and policy: Whither
justice?,” Tourism Management Perspectives 25 (2018): 205–8.129Marion Joppe, “Tourism policy and governance: Quo vadis?,” Tourism Management
Perspectives 25 (2018): 201–4.130Freya Higgins-Desbiolles, “Sustainable tourism: Sustaining tourism or something more?,”
Tourism Management Perspectives 25 (2018): 157–60.131Bernard Lane, “Will sustainable tourism research be sustainable in the future? An opinion
piece,” Tourism Management Perspectives 25 (2018): 161–64.132Dredge, Dianne, “Policy for Sustainable and Responsible Festivals and
Events:Institutionalisation of a new Paradigm a Response,” Journal of Policy Research in Tourism, Leisure, and Events 2, no. 1 (2010): 1–13.
133D. Dredge, “Local destination planning and policy,” dalam Tourism Policy and Planning,
ed. oleh D. Dredge dan J. Jenkins (Milton, Australia: John Wiley & Son, 2007).
27Tinjauan Pustaka
development and in health and public safety.”134 Dengan demikian,
kebijakan pariwisata haruslah memberi kemanfaatan kepada
kekuatan-kekuatan komunitas.135 Oleh sebab itu, seperti dalam
kasus Filipina, ada harapan bahwa kebijakan kepariwisataan akan
memberikan insentif kepada komunitas di tingkat lokal.136 Semua
diperlukan supaya lahir inovasi yang beranjak dari asumsi-asumsi
dasar yang menjemukan.137
Dalam konteks pluralism lokal berbasis kebudayaan, belajar
dari kasus Italia, maka peranan pemerintahan daerah menjadi
penting. Dengan demikian, bukan saja manfaat, akan tetapi
dampak kepariwisataan juga akan terkelola.138 Dari sisi relasi,
maka kepariwisataan berbasis pluralisme lokal akan menyebabkan
“Resident-tourist interactions have been marked by a transitory nature, unbalanced relationships, lack of spontaneity, and constraints that are imposed by time and space.”139 Sementara dalam ranah
akademik, kebijakan kepariwisataan yang mengandalkan kekuatan
kebudayaan lokal akan senantiasa menarik perhatian untuk
134Xianghong Feng, “Who Benefits?: Tourism Development in Fenghuang County, China,”
Human Organization 67, no. 2 (2008): 207–20. 135Carl Milos R., “Exhausted Incentives and Weakening Commitment: The Case of
Community-Based Tourism in Pamilacan, Bohol, Philippines,” Philippine Quarterly of Culture and Society 42, no. 1/2 (2014): 16–40.
136Moscardo Gianna, “Sustainable Tourism Innovation: Challenging Basic Assumptions,”
Tourism and Hospitality Research 8, no. 1 (2008): 4–13.137Silvia Angeloni, “Cultural Tourism And Well-Being Of The Local Population In Italy,”
Theoretical and Empirical Researches in Urban Management 8, no. 3 (2013): 17–31.138Tek Dangi, “Exploring the Intersections of Emotional Solidarity and Ethic of Care: An
Analysis of Their Synergistic Contributions to Sustainable Community Tourism Development,”
Sustainability 10, no. 8 (2018).139Mao-Ying Wu dan Philip L. Pearce, “Tourism research in and about Tibet: Employing a
system for reviewing regional tourism studies,” Tourism and Hospitality Research 12, no. 2 (2012):
59–72.
28 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
dilakukan pengkajian.140 Pemeliharaan warisan-warisan kultural
memang menjadi salah satu kekuatan kepariwisataan di negara-
negara Asia.
140Huibin, Xing, Azizan Marzuki, dan Arman Abdul Razak, “Conceptualizing A Sustainable
Development Model For Cultural Heritage Tourism In Asia,” Theoretical and Empirical Researches in Urban Management 8, no. 1 (2013): 51–66.
29
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan dengan metode penelitian sosio-legal, di
mana hukum adalah gejala sosial dan gejala sosial yang bernama
hukum ini senantiasa berinteraksi dengan gejala sosial yang lain
untuk menghasilkan data deskriptif. Cara memperoleh data
dilakukan dengan pembacaan pustaka primer, indepth-interview,
dan diskusi kelompok terarah. Lokasi penelitian di Kota Surakarta,
Kabupaten Bangkalan, dan Provinsi Bali. Penelitian ini menyasar
publikasi di jurnal internasional bereputasi dan naskah kebijakan
(public policy academic draft).
Tahapan-tahapan penelitian dapat digambarkan sebagai
berikut:
31
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hukum dan Kebijakan Publik
Hukum dan kebijakan publik diibaratkan sebagai dua sisi
keping mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Memahami makna
ini dapat ditinjau dari sisi definisi keduanya. Menurut Kraft dan
Furlong kebijakan publik adalah “A course of government action (or inaction) taken in response to social problems. Social problems are conditions the public widely perceives to be unacceptable and therefore requiring intervention.”141
Relasi hukum dan kebijakan publik tersebut dapat
mengkonfirmasikan permasalahan sosial membutuhkan kebijakan
publik sebagai wujud nyata intervensi pemerintah untuk
memecahkan permasalahan sosial, baik berupa tindakan maupun
tidak bertindaknya pemerintah namun untuk mengintervensinya
pemerintah membutuhkan hukum sebagai instrumen guna
melindungi hasil kesepakatan kebijakan yang telah diputuskan
bersama yang juga cerminan untuk melindungi kepentingan
manusia dari berbagai permasalahan sosial dimana hukum dalam
pelaksanaannya dapat dipaksakan selain itu juga hukum sebagai
legitimasi pemerintah untuk melaksanakan kebijakannya dalam
rangka mengatasi permasalahan sosial yang terjadi. Dikarenakan
hukum ini untuk mengatur kehidupan sosial maka keterlibatan
141Riant Nugroho, Metode Penelitian Kebijakan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), 5.
32 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
berbagai pihak dalam proses pembentukkannya merupakan suatu
hal yang mutlak.142
Guna menghasilkan produk hukum yang berkualitas
diperlukan data, informasi, argumentasi, metodologi bahkan
sampai kepada alternatif-alternatif yang tersedia berikut konsekuensi
alternatifnya dalam konteks ini formulasi kebijakan publik
memliki peran penting dalam mendesain produk hukum yang
berkualitas karena formulasi kebijakan publik memiliki metode
untuk memenuhi keperluan tersebut yang nantinya berguna bagi
pengambil keputusan untuk menyusun kriteria dari alternatif-
alternatif yang tersedia seperti menentukan segala kemungkinan
yang terjadi, penerimaan secara politik, biaya, keuntungan dan
lainnya.143
Perkembangan studi kebijakan publik semakin kuat sebagai
akibat terjadinya perubahan lingkungan birokrasi publik.144
Meningkatnya rasionalitas masyarakat sebagai akibat dari
keberhasilan pembangunan sosial ekonomi, telah memunculkan
berbagai tantangan baru bagi birokrasi publik.145 Salah satunya
adalah semakin besarnya tuntutan akan kualitas kebijakan yang lebih
baik. Ini mendorong munculnya minat untuk mempelajari studi
kebijakan publik. Keinginan untuk mewujudkan otonomi daerah
yang kuat juga mendorong perlunya perubahan orientasi pejabat
birokrasi di daerah dan peningkatan kemampuan mereka dalam
142Syarif Budiman, “Analisis Hubungan Antara Hukum Dan Kebijakan Publik: Studi
Pembentukan Uu No. 14 Tahun 2008,” Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum 11, no. 2 (2017): 109–19.143Muchsin dan Fadillah Putra, Hukum dan Kebijakan Publik-Analisis atas Praktek Hukum
dan Kebijakan Publik dalam Pembangunan Sektor Perekonomian di Indonesia (Malang: Universitas
Sunan Giri Surabaya dan Averroes Press, 2002).144Mohammad Thahir Haning, “Reformasi Birokrasi di Indonesia: Tinjauan Dari Perspektif
Administrasi Publik,” Jurnal Analisis Kebijakan dan Pelayanan Publik 4, no. 1 (2018).145Rosalina Ginting dan Titik Haryati, “Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia,” Jurnal
Ilmiah Civis 1, no. 2 (2011).
33Hasil Penelitian dan Pembahasan
perumusan dan perencanaan kebijakan dan program pembangunan.
Karena itu, berkembangnya minat untuk mengembangkan studi
kebijakan publik sebenarnya merupakan hasil interaksi dari kedua
perubahan di atas, yaitu paradigma dan lingkungan administasi
negara. Pergeseran paradigma dan lingkungan administrasi negara
telah mendorong para pakar dan praktisi administrasi negara untuk
mempertanyakan kembali relevansi teori dan prinsip-prinsip yang
selama ini mereka kembangkan dalam studi administrasi negara.
Itu semua memiliki kontribusi yang besar terhadap perkembangan
studi kebijakan publik.
Istilah kebijakan seringkali penggunaannya saling
dipertukarkan dengan istilah tujuan (goals), program, keputusan,
Undang-Undang. ketentuan-ketentuan, usulan-usulan dan
rancangan-rancangan besar.146 Kebijakan pada intinya adalah
sebagai pedoman untuk bertindak. Pedoman ini boleh jadi amat
sederhana atau kompleks, bersifat umum maupun khusus. Sejalan
dengan makna kebijakan yang dikemukakan oleh United Nation
tersebut di atas, Fredrick memberikan pengertian kebijakan, yaitu
serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau
pemerintah dalam satu lingkungan tertentu dengan menunjukkan
hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap
pelaksanaaan usulan kebijakan tersebut dalam rangka mencapai
tujuan tertentu.147
Kebijakan publik merupakan sebuah proses yang terus
menerus, karena itu yang paling penting adalah siklus kebijakan.
Siklus kebijakan meliputi formulasi, implementasi dan evaluasi
146Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijaksanaan Dari Formulasi ke Implementasi kebijaksanaan Negara (Jakarta: Bumi Aksara, 1997).
147M. Irfan Islamy, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaaan Negara (Jakarta: Bumi Aksara,
1998).
34 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
kebijakan.148 Kebijakan yang telah diformulasikan atau dirumuskan
bermaksud untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam konteks ini
dapat dimengerti, bahwa kebijakan tidak akan sukses, jika dalam
pelaksanaannya tidak ada kaitannya dengan tujuan yang telah
ditetapkan. Seringkali ada anggapan setelah kebijakan disahkan
oleh pihak yang berwenang dengan sendirinya kebijakan itu akan
dilaksanakan, dan hasil-hasilnya pun akan mendekati seperti
yang diharapkan oleh pembuat kebijakan tersebut. Dalam proses
kebijakan publik yang akan diterapkan, melalui proses/tahapan
yang cukup panjang.
Beberapa pakar menjelaskan bahwa proses perumusan
kebijakan publik selalu dan harus memperhatikan beberapa
karakteristik penting agar dapat mencapai sasaran kebijakan yang
dituangkan dalam tahapan implementasi kebijakan. Misalnya,
dijelaskan oleh O�Jones (1996) bahwa ada empat varian kelompok
kepentingan bila dilihat atas interest dan akses serta kebutuhan
masyarakat pada perumusan kebijakan publik, yaitu (a) kelompok
kepentingan yang terorganisasi dengan baik dengan akses yang
mapan, (b) kelompok kepentingan yang terorganisasi dengan baik
tanpa akses yang mapan, (c) kelompok kepentingan yang tidak
terorganisasi dengan baik tetapi memiliki akses yang mapan, dan (d)
kelompok kepentingan yang tidak terorganisasi sekaligus juga tidak
memiliki akses yang mapan. Berbagai peraturan dirumuskan oleh
pimpinan maupun eksekutif yang ditindaklanjuti oleh birokrasi
terkait bekerjasama dengan masyarakat (stakeholders). Konsepsi itu
memberikan petunjuk bahwa kegagalan implementasi kebijakan
merupakan bagian dari tugas dan tanggung jawab jajaran birokrasi.
Untuk kepentingan proses implementasi kebijakan publik yang
selalu direspon oleh masyarakat secara positif, para perumus
148Wayne Parsons, Public Policy (Cheltenham: Edward Elgar, 1997).
35Hasil Penelitian dan Pembahasan
kebijakan harus senantiasa melakukan negosiasi secara langsung
dengan masyarakat yang terkena dampak suatu kebijakan.149
Pandangan itu mengingatkan atas konsep “policy environment”
yang diungkapkan oleh Dye, sehingga perlu hati-hati dalam
implementasinya karena antara perumusan kebijakan dan
implementasinya tidak dapat dipisahkan. Disamping itu setiap
perumusan kebijakan yang baik harus terkandung nuansa
implementasi dan tolok ukur keberhasilannya, sehingga kebijakan
yang telah dirumuskan dan diwujudkan dalam bentuk program
harus selalu bertujuan dapat diimplmentasikan.150
Penelitian ini harus dipahami sebagai analisis kebijakan
publik, yang dalam hal ini adalah pariwisata. Penciptaan dan
promosi kebijakan publik terkait erat dengan peran yang
dimainkan oleh pemerintah. Tidak ada kesepakatan konsensus
mengenai konsep kebijakan publik. Beberapa penulis memahami
kebijakan publik sebagai fenomena politik yang longgar151, yang
lain sebagai instrumen politik152 dan penulis lain mendefinisikan
kebijakan berdasarkan pada pemangku kepentingan.153 Wilson
mengkategorikan pengertian kebijakan publik termasuk tindakan-
tindakan pemerintah yang berhasil maupun mengalami kegagalan.154
Para ahli mendefinisikan kebijakan publik sebagai bagian dari
aktivitas pemerintah yakni program yang dirumuskan oleh para
aktor selaku pengambil keputusan untuk menyelesaikan masalah
149M. Irfan Islamy, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaaan Negara.150M. Irfan Islamy.151T. Dye, Understanding Public Policy (Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1992)., 2.152J. E. Anderson, Public policy making (New York, NY: CBS College Publishing, 1984).3.153W. I. Jenkins, Policy analysis: Apolitical and organizational perspective (London: Robertson,
1978)., 15.154Lihat dalam Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Penyusunan
Model-Model Implementasi Kebijakan Publik, V (Jakarta: Bumi Aksara, 2016), 13.
36 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
publik.155 Menurut Laswell dan Kaplan kebijakan publik merupakan
program yang diproyeksikan dengan tujuan-tujuan tertentu,
nilai-nilai tertentu, dan praktik-praktik tertentu.156 Sedangkan
Easton mendefinisikan kebijakan publik sebagai akibat aktivitas
pemerintah.157 Disisi lain, Anderson berpandangan bahwa kebijakan
publik merupakan tindakan para aktor dalam menangani suatu
masalah.158 Lester dan Steward mendefinisikan kebijakan publik
sebagai proses atau pola aktivitas pemerintah maupun keputusan
yang diranang untuk menangani masalah publik.159 Selanjutnya,
Peters mendefinisikan kebijakan publik sebagai sejumlah aktivitas
pemerintah yang secara langsung maupun melalui perantara
memiliki pengaruh terhadap kehidupan masyarakat luas.160
Jenkins mendefinisikan kebijakan publik sebagai serangkaian
keputusan yang diambil oleh aktor politik atau sekumpulan aktor
dalam menentukan tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut dalam
berbagai situasi, secara prinsip memiliki kaitan dengan kekuasaan
dan kekuatan para aktor dalam mencapai tujuan tersebut. kebijakan
publik merupakan bagian dari pemerintah, dan merupakan
keputusan yang dirumuskan oleh pemerintah untuk mencapai
tujuan.161 Howlett dan M.Ramesh mendefinisikan kebijakan
155B. Adhikari dan J. Lovett, “Institutions and collective action: Does heterogeneity matter in
community-based resource management?,” Journal of Development Studies 42, no. 3 (2006): 426–445;
Katja Arzt, “The dynamic infl uences of institutions and designprinciples on the outcomes of a local
agricultural–environmental decision-making process” (Conference on the Human Dimensions of
Global Environmental Change, Amsterdam, 2007).156Laswell, Harold dan Abraham Kaplan, Power and Society (New Heaven: Yale University
Press, 1970), 71.157Easton, David, A System Analysis of Political Life (New York: Willey, 1965), 212.158Anderson, James, Public Policy Making (Boston: Houghton Mifflin, 2000), 4.159James P. Lesters dan Joseph Steward Jr., Public Policy : An Evolutionary Approach
(Belmonth: Wadsworth, 2000).160Guy Peters, American Public Policy (New Jersey: Chatam House, 1993), 4.161Jenkins Smith, Democratic Politics and Policy Analysis (California : Wadsworth: Inc.Hall,
1990).
37Hasil Penelitian dan Pembahasan
publik sebagai fenomena yang kompleks mencakup pelbagai
keputusan oleh beberapa individu dan organisasi.162 Berbagai
definisi tentang kebijakan publik yang telah diuraikan menunjukan
bahwa aktor menjadi kunci utama dalam kebijakan publik karena
kewenangannya dalam merumuskan, mengimplementasi dan
mengevaluasi kebijakan publik.
Wahab melanjutkan bahwa sebuah kebijakan publik
memiliki empat karakter sebagai berikut. Pertama, kebijakan
publik merupakan tindakan yang sengaja dilakukan dan mengarah
kepada tujuan tertentu. Kedua, kebijakan pada hakekatnya terdiri
dari tindakan-tindakan yang saling terkait dan berpola. Ketiga,
kebijakan adalah realitas tindakan pemerintah dalam bidang-bidang
tertentu. Keempat, kebijakan publik mungkin berbentuk positif,
mungkin berbentuk negatif.163
Fenna mengusulkan klasifikasi kebijakan publik berdasarkan
tema dan tujuan yang menjadi arah kebijakan.164 Penulis ini
menyoroti (i) kebijakan yang terkait dengan produksi, yang
difokuskan pada peningkatan aktivitas ekonomi dan standar
hidup penduduk; (ii) kebijakan yang terkait dengan distribusi
kekayaan dan peluang akses; (iii) kebijakan yang berkaitan dengan
konsumsi barang, jasa dan sumber daya dengan hubungan yang erat
dengan lingkungan; (iv) kebijakan yang terkait dengan identitas
dan kewarganegaraan dan akhirnya, (v) kebijakan reflektif yang
menjelaskan proses pelaksanaan kebijakan dan peraturan dan
kendali mereka.
162Michael Howlett dan M. Ramesh, Studying Public Policy : Policy Cycles and Policy Subsystem
(Oxford: Oxford University Press, 1995).163Ibid., 23.164A Fenna, Australian public policy (Sydney: Pearson Education Australia, 2004).
38 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
Analisis yang disajikan akan lebih dekat dengan jenis kebijakan
pertama. Umumnya, ketika menjelaskan komponen kebijakan
publik, sebagian besar penulis sepakat tentang menekankan
peran lembaga pemerintah, keberadaan tujuan dan masalah,
konteks atau lingkungan di mana kebijakan dikembangkan, aktor,
penciptaan instrumen dan efeknya.165 Disiplin yang muncul dari
studi kebijakan publik dicirikan oleh pertentangan antara teori
dan penelitian.166 Meskipun ada banyak teori provokatif dan
berpotensi penting, penelitian empiris yang sistematis untuk
menguji mereka sebagian besar masih kurang.167 Banyak peneliti
terdahulu fokus mengkaji aspek kebijakan pariwisata terkait dengan
Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPARDA)
di Indonesia tetapi tidak lagi relevan dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.168 Selanjutnya,
beberapa peneliti terdahulu fokus mengkaji komunikasi, sumber
daya, sikap dan disposisi pelaksana serta struktur birokrasi dari
implementasi kebijakan kepariwisataan.169 Selain itu, penelitian
165Lihat Anderson, Public policy making.; M. Considine, Making public policy: Institutions, actors, strategies (Cambridge: Polity Press, 2005)., Dye, Understanding Public Policy.; C. M. Hall,
Tourism planning. Policies, processes and relationships (London: Pearson Prentice Hall, 2008).166John Jerrim dan Robert de Vries, “The limitations of quantitative social science for
informing public policy,” Evidence & Policy: A Journal of Research, Debate and Practice 13, no. 1
(2017): 117–33.167Hadyn Ingram, “Clusters and gaps in hospitality and tourism academic research,”
International Journal of Contemporary Hospitality Management 8, no. 7 (1996): 91–95; Patricio
Aroca, Juan Gabriel Bilda, dan Serena Volo, “Tourism statistics: Correcting data inadequacy,” Tourism Economics 23, no. 1 (2017): 99–112.
168Lihat misalnya Basri, “Kajian Empiris Pelaksanaan Rencana Induk Pengembangan
Pariwisata Daerah Kalimantan Barat” (Tesis Magister Administrasi Publik, Universitas Gajah Mada,
2012). Baca juga Basri; Y. Habibuw, “Implementasi Kebijakan Program Pengembangan Pariwisata
Daerah: Studi Kasus RIPP di Mojokerto” (Tesis Magister Administrasi Publik, Universitas Gajah
Mada, 1997); A. Kadir, “Analisis Implementasi Kebijakan Pengembangan Pariwisata Daerah” (Tesis
Magister Administrasi Publik, Universitas Gajah Mada, 1996).169Lihat misalnya E. Mouw, “Implementasi Kebijakan Pengembangan Pariwisata Bahari
di Kabupaten Halmahera Barat” (Tesis Magister Administrasi Publik, Universitas Gajah Mada,
39Hasil Penelitian dan Pembahasan
kepariwisataan menyinggung isu ekonomi170, kegiatan pariwisata171,
organisasi penyelenggara pariwisata172, peran serta masyarakat173,
dan pariwisata berkelanjutan.174
Dilihat dari sudut alasan professional, maka penelitian
kebijakan publik dimaksudkan untuk menerapkan pengetahuan
ilmiah di bidang kebijakan guna memecahkan masalah sosial
sehari-hari.175 Menurut Dunn176, analisis kebijakan bermula ketika
politik praktis harus dilengkapi dengan pengetahuan agar dapat
memecahkan masalah publik, India barangkali merupakan asal
muasal tradisi ini, ketika Kautilya sebagai penasihat kerajaan
2012); R. Veriani, “Implementasi Pengembangan Kebijakan Pariwisata Kebumen” (Tesis Magister
Administrasi Publik, Universitas Gajah Mada, 2009). 170Lihat misalnya William Haydock, “The ‘Civilising’ Effect of a ‘Balanced’ night time
ecpnomy for ‘better people’: Class and the Cospmopoilitan Limit in the Consumption and
Regulation of Alcohol in Bournermout,” Journal of Policy Research in Tourism, Leisure, and Events 6, no. 2 (2014): 172–85.
171O’Sullivan Diane, Pickernell David, dan Senyard, Julienne, “Public Sector Evaluation
of Festivals and Special Events,” Journal of Policy Research in Tourism, Leisure and Events 1, no. 1
(2009): 19–36. Baca juga Getz, Donald, “Policy for Sustainable and Responsible Festivals and
Events : Institutionalization of a New Paradigm.”172Yaghmour, Samer dan Scott, Noel, “Inter-Organizational Collaboration Characteristics
and Outcomes : A Case Study of The Jeddah Festival,” Journal of Policy Research in Tourism, Leisure, and Events 1, no. 2 (2009): 115–30; Theodoraki, Eleni, “Organisational Communication on the
Impacts of the Athens 2004 Olympic Games,” Journal of Policy Research in Tourism, Leisure, and Events 1, no. 2 (2009): 141–55; Smith, Andrew, “Spreading The Positive Effects of Major Events to
Peripheral Areas,” Journal of Policy Research in Tourism, Leisure and Events 1, no. 2 (2009): 231–46.173Roberts, Ken, “Can Employment Policies Improve a Society’s Leisure ?.,” Journal of Policy
Research in Tourism, Leisure, and Events 2, no. 1 (2010): 82–87; Doherty, Alison, “The Volunteer
Legacy of A major Sport Event,” Journal of Policy Research in Tourism, Leisure, and Events 2, no. 1
(2010): 185–207; Saayman, Melville, “The Socio-Economic Impact of an Urban Park : The Case
of Wilderness National Park,” Journal of Policy Research in Tourism, Leisure and Events 1, no. 3
(2010): 247–64.174Hall, Michael C., “Innovation and Tourism Policy in Australia and New Zealand : Never
the Twain Shall Meet ?,” Journal of Policy Research in Tourism, Leisure, and Events 1, no. 1 (2009): 2–8;
Dredge, Dianne, “Policy for Sustainable and Responsible Festivals and Events:Institutionalisation
of a new Paradigm a Response.”175Solichin Abdul Wahab, op.cit., 37.176Dunn, William, Public Policy Analysis : An Introduction (New Jersey: Pearson Education,
2004).
40 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
Mauyan di India Utara, menulis Arthashastra sekitar tahun 300
SM yang antara lain berisi tuntunan pembuatan kebijakan.
Sedangkan di Eropa, Plato (427- 327 SM) menjadi penasihat
penguasa Sisilia, Aristoteles (384-322 SM) mengajar Alexander
Agung hingga Nichollo Machiavelli (1469-1527) yang menjadi
konsultan pribadi sejumlah bangsawan di Italia kuno. Analisis
kebijakan mulai memeroleh tempat yang terhormat di abad
pertengahan ketika munculnya profesi spesialis kebijakan. Ketika
birokrasi muncul, profesi mereka dikenal sebagai pegawai negeri.
Seiring perkembangannya, munculnya statistik membuat analisis
kebijakan berkembang ketika advis dapat dikuantifikasi. Di
Inggris-London Manchester muncul the statistical society.177 Pada
tahun 1910, A. Lawrence Lowell dalam pidatonya mengemukakan
perlunya pendekatan empiris dalam studi politik. Pada tahun 1930
di Inggris, presiden Roosevelt mendorong perkembangan ilmu
kebijakan termasuk di dalamnya analisis kebijakan. Pada abad
ke-20, Amerika mempunyai sebuah lembaga riset kebijakan Rand Corporation. Pada masa kini, analisis kebijakan menempati posisi
khas dalam administrasi negara.178
Kebijakan publik memiliki beberapa tahapan, diantaranya
tahap isu kebijakan, perumusan kebijakan, implementasi
kebijakan, dan evaluasi kebijakan.179 Selanjutnya, Nugroho
berpendapat bahwa isu kebijakan terdiri atas masalah dan tujuan,
yang berarti kebijakan publik dapat berorientasi pada kehidupan
publik, dan dapat pula berorientasi pada tujuan yang hendak
177P.C.A. Synmann, “Public policy in Anglo-Americal law,” Comparative and International Law Journal of Southern Africa `19, no. 2 (1986): 220–35.
178Lihat dalam Peter Eisinger, The rise of the entrepreneurial state: State and local economic development policy in the United States (Madison: University of Wisconsin Press, 1988).
179Riant Nugroho, Public Policy (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 114.
41Hasil Penelitian dan Pembahasan
dicapai pada kehidupan publik180. Isu kebijakan menggerakan
pemerintah untuk merumuskan kebijakan publik dalam rangka
menyelesaikan masalah.181 Setelah dirumuskan, kebijakan publik
tersebut dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun masyarakat.182
Setelah itu, proses perumusan, pelaksanaan dievaluasi untuk
menilai apakah telah dirumuskan dan diimplemetasikan dengan
baik sesuai dengan tujuan yang ditentukan sebagai pertimbangan
dilakukannya revisi kebijakan atau diberhentikan.183 Pandangan
Nugroho memberikan gambaran tentang kompleksitas dalam
setiap proses yang mana membutuhkan kerjasama pelbagai aktor
dalam setiap tahapan baik perumusan, implementasi dan evaluasi
kebijakan untuk menyelesaikan masalah publik melalui kebijakan
yang tepat.184
Perumusan kebijakan merupakan merupakan salah satu tahap
yang penting dalam pembentukan kebijakan publik.185 Formulasi
kebijakan akan berkaitan dengan beberapa hal yaitu cara bagaimana
suatu masalah, terutama masalah publik memperoleh perhatian
dari para pembuat kebijakan, cara bagaimana merumuskan usulan-
180Ibid., 115-116.181Devid Thacher dan Martin Rein, “Managing Value Conflict in Public Policy,” Governance
17, no. 4 (2004): 457–86; Howard Cosmo, “The Policy Cycle: A Model of Post-Machiavellian Policy
Making?,” Australian Journal of Public Administration 64, no. 3 (2005): 3–13; Johann Höchtl, Peter
Parycek, dan Ralph Schöllhammer, “Big data in the policy cycle: Policy decision making in the digital
era,” Journal of Organizational Computing and Electronic Commerce 26, no. 1–2 (2016): 147–69.182Veronica Vecchi, Manuela Brusoni, dan Elio Borgonovi, “Public Authorities for
Entrepreneurship: A management approach to execute competitiveness policies,” Public Management Review 16, no. 2 (2014): 256–73.
183Keston K. Perry, “The Dynamics of Industrial Development in a Resource-Rich
Developing Society: A Political Economy Analysis,” Journal of Developing Societies 34, no. 3 (2018):
264–96.184Ibid.185Antik Bintari dan Landrikus Hartarto Sampe Pandiangan, “Formulasi Kebijakan
Pemerintah Tentang Pembentukan Badan Usaha Milik Daerah (Bumd) Perseroan Terbatas (Pt) Mass
Rapid Transit (Mrt) Jakarta Di Provinsi Dki Jakarta,” Jurnal Ilmu Pemerintahan 2, no. 2 (2016): 221.
42 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
usulan untuk menganggapi masalah tertentu yang timbul, cara
bagaimana memilih salah satu alternatif untuk mengatasi masalah
publik.186
B. Kebijakan Kepariwisataan di Bali
1. Profil wisata provinsi Bali
Provinsi Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang
wilayahnya tidak lebih dari 5.634,40 km² atau 5.634,40 ha dengan
panjang pantai mencapai 529 km. Komposisi pulau terdiri dari satu
pulau utama dan beberapa pulau-pulau kecil di sekitarnya seperti
pulau Menjangan (ujung timur) di kabupaten Jembrana, di sebelah
selatan Pulau Serangan (telah direklamasi) di Kota Denpasar,
Pulau Nusa Lembongan, Pulau Nusa Ceningan, dan disebelah
tenggara terdapat pulau yang paling besar adalah Pulau Nusa Penida
masuk wilayah Kabupaten Klungkung. Wilayah terluas dimiliki
Kabupaten Buleleng seluas 1.365,88 km² atau hampir setengah
luas pulau Bali dari ujung timur sampai ke ujung barat pulau Bali.
Kabupaten atau pemerintahan kota terkecil adalah Pemerintah Kota
Denpasar seluas 123,98 km² sebagai Ibu Kota Pemerintah Provinsi
Bali. Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Tabanan memiliki luas
yang hampir sama, hanya saja sebagian besar Kabupaten Jembrana
terdiri dari Hutan Taman Nasional Bali Barat (TNBB). Untuk
fungsi lahan kedua kabupaten ini memiliki fungsi yang serupa
yaitu lahan pertanian dan perkebunan, bahkan Kabupaten Tabanan
dikenal sebagai lumbung beras Pulau Bali. Tidak jauh berbeda
dengan Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Tabanan, Kabupaten
Klungkung, Bangli dan Karangasem memiliki kesamaan fungsi
186Dunn, William N., Pengantar Analisis Kebijakan Publik (Yogyakarta: Gadjah Mada
University, 2003), 26.
43Hasil Penelitian dan Pembahasan
lahan, yaitu pertanian dan perkebunan. Meskipun keseluruhan
kabupaten/kota di Bali bersentuhan dengan sektor pariwisata
hanya Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Badung yang sangat
mengandalkan sektor pariwisata sebagai basis perekonomiannya,
disamping sektor pertanian dan perkebunan.
Pulau Bali sangat kaya akan keindahan alam dengan budaya
dan adat istiadat, masyarakat Bali dengan budaya agrarisnya kental
dengan kehidupan sosial yang harmoni karena hubungan yang
serasi antara manusia dan alam, Tuhan, dan sesamanya. Konsep
industri pariwisata mengedepankan nilai-nilai pemenuhan barang
dan jasa beserta layanan secara profesional dan proposional. Industri
pariwisata di Bali selain mendahulukan nilai-nilai kapitalis juga
memberikan nuansa sentuhan-sentuhan budaya di dalam setia
atraksinya. Konsep pariwisata yang diagung-agungkan di Bali
sebagai pariwisata dunia atau pariwisata global, yang mana lebih
mengedepankan nilai-nilai ekonomi liberal persaingan bebas, dan
persaingan modal antar korporasi.
Desa Bali yang semula sebagian besar masyarakatnya
hidup di sektor pertanian dan berpegang kuat pada adat yang
diwariskan dari generasi ke generasi tanpa banyak perubahan
tradisi masyarakat pedesaan, kini cenderungmakin individualistik
di dalam keanekaragaman profesi nonagraris dan lebih erat dalam
kaitannya sektor jasa. Peran adatpun biasanya hanya menonjol
pada kegiatan seremonial atau upacara yang tidak memiliki
kekuatan untuk mengontrol perilaku masyarakat perkotaan.
Budaya hedonisme telah merasuki generasi muda dalam sikap dan
perilaku keseharian. Hal ini tercermin dalam cara pandang, cara
sikap, dan perilaku sosial keseharian. Keengganan generasi muda
dalam menggunakan bahasa ibu (bahasa Bali) serta gaya berpakaian
44 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
yang terkesan mengikuti pola gaya westernisasi merupakan salah
satu indikatorperubahan yang terjadi di generasi muda.
Indentitas dan kekhasan masing-masing desa semakin lama
semakin pudar. Desa dan Kota yang semula hidup dengan segala
perbedaan atau kebhinekaannya dalam struktur dan stratifikasi
masyarakat yang awalnya desa dikenal cenderung homogen dan
masyarakat kota cenderung heterogen, kini secara administratif
dan birokratis, cenderung makin seragam karena campur tangan
negara. Kehadiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa yang menghendaki kesamaan dalam bentuk
dan susunan pemerintahan desa di seluruh Indonesia adalah pemicu
pertama kali dimulainya penyeragaman kegiatan pembangunan di
pedesaan secara nasional.
Masyarakat Bali yang tradisional dan penghidupan bersifat
agraris tampak sebagai satu kesatuan yang utuh, kepentingan
bersama lebih diutamakan dibandingkan kepentingan kelompok
dan individu sebagai warga masyarakat. Warga masyarakat satu
dengan yang lainnya terikat berdasarkan ikatan solidaritas mekanis
dan dalam masyarakat demikian, dunia kehidupan masih menyatu.
Jika terjadi suatu perselisihan antar warga, masyarakat berusaha
menyelesaikannya secara musyawarah mufakat (konsensus)
berdasarkan pada asas kepatutan melalui lembaga-lembaga desa
adat (sangkepan/hasil atau sidang rapat desa). penyelesaian
perselisihan secara musyawarah mufakat dalam forum sangkepan
tersebut berfungsi untuk mengembalikan masyarakat ke dalam
suasana kehidupan yang rukun dan damai (harmonis). Suasana
kehidupan harmonis, pada masyarakat tradisional yang tersebut,
kini tampaknya telah berubah karena pengaruh modernisasi,
industrialisasi dan lebih-lebih lagi setelah masyarakat mengalami
proses globalisasi. Kehidupan nonagraris dan globalisasi tersebut
45Hasil Penelitian dan Pembahasan
telah mengubah masyarakt homogen menjadi masyarakat majemuk
(plural) yang di dalamnya terdapat suasana kehidupan yang
heterogen dengan bermacam kepentingan.
Di Bali pada umumnya, proses globalisasi telah dirasakan
jauh sebelum masyarakat Indonesia lainnya mengalami hal
tersebut. Salah satu penyebab terjadinya proses globalisasi lebih
awal di daerah ini adalah karena perkembangan pariwisata yang
telah berlangsung sejak lama. Suasana demikian, mencerminkan
diferensiasi dalam berbagai bidang antara lain dalam pekerjaan,
profesi, pendidikan dan kepentingan. Kemajemukan masyarakat
dapat juga dilihat dari tumbuhnya berbagai kelompok dan
hubungan sosial baru yang timbul sebagai tuntutan kehidupan
dunia modern. Kelompok-kelompok sosial baru tersebut umumnya
menganut nilai dan norma serta kebiasaan yan berbeda dengan
nilai, norma, serta kebiasaan masyarakat tradisional. Kelompok-
kelompok tersebut, juga mempunyai kepentingan yang berbeda-
beda dan sering kali juga bertentangan. Dalam suasana demikian,
masyarakat tidak lagi digambarkan sebagai suatu kesatuan yang
utuh melainkan terdiri dari bagian-bagian dan justru bagian-bagian
inilah yang lebih menonjol dari masyarakat secara keseluruhan.
Solidaritas mekanis yang semula menjadi daya pengikat dalam
masyarakat digantikan oleh ikatan solidaritas organis yang lebih
menonjolkan ikatan dalam kelompok dan kepentingan kelompok
masing-masing lebih diutamakan dibandingkan masyarakat secara
keseluruhan. Orientasi nilai warga masyarakat dalam pergaulan
antar antar sesamapun tampak mengalami pergeseran dari nilai
kebersamaan ke nilai individual dan komersial. Kondisi demikian
memberi peluang untuk timbulnya persaingan dan konflik. Banyak
hal yang muncul sbagai sumber konflik dewasa ini antara lain:
tanah, status sosial (prestige), jabatan dan peluang kerja, penguasaan
46 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
aset-aset ekonomi dan lain sebagainya. Sumber konflik yang paling
menonjol dewasa ini adalah, perbatasan wilayah, tanah, baik tanah
milik perorangan, milik kolektif, milik pura/milik desa adat dan
tak terkecuali tanah untuk penguburan.
Proses globalisasi telah membuka masyarakat Bali, termasuk
masyarakat pedesaan ke dalam pergaulan luas pada pergaulan
dunia. Hal ini ternyata telah menimbulkan banyak tantangan bagi
masyarakat adat, termasuk lembaga-lembaga adatnya terutama
dalam menjalankan fungsinya. Tantangan yang dihadapi tersebut
antara lain telah terjadinya perubahan nilai orientasi warga
masyarakat dalam bersikap dan bertindak, keefektifan awig-awig
(norma atau aturan adat) sebagai alat kontrol sosial berkurang,
keputusan-keputusan yang diambil dalam penyelesaian konflik di
masyarakat yang dahulu umunya ditaati kini tidak jarang diabaikan
karena dipandang tidak memuaskan bagi sebagian kelompok
masyarakat.
Sekarang sedang terjadi kemunduran tradisi, norma-norma,
dan hukum, serta tatanan kehidupan yang telah mapan pada
taraf yang cukup fenomenal. Manusia mengalami perkembangan
menakjubkan dalam bidang material, tetapi bersamaan dengan
itu juga mengalami perkembangan yang terbatas dalam bidang
moral. Kontradiksi kehidupan sosial tidak dapat dihindari karena
modernisasi dan industrialisasi telah menjadi kekuatan penting
yang memaksa penyesuaian nilai-nilai dan norma-norma dalam
masyarakat. Malahan masyarakat global dewasa ini tengah menuju
ke arah sebuah dunia dengan tingkat kompleksitas kehidupan
yang semakin tinggi, bersamanya membawa berbagai kontradiksi
kehidupan, baik sosial dan kebudayaan maupun agama.
47Hasil Penelitian dan Pembahasan
2. Kearifan Lokal Bali
Dalam perkembangannya kapitalisme pariwisata tidak
mementingkan nilai, makna dan fungsi pertunjukan tarian di
hadapan para wisatawan. Tarian hanyalah sebuah atraksi seni atas
keindahan dan nilai estetika, seperti layaknya konsep pembangunan
pariwisata berkelanjutan maka pariwisata juga memiliki dua muka
yang menyatu, seperti memiliki dua arah yaitu pengaruh positif dan
pengaruh negatif. Dalam falsafah masyarakat Bali dikenal yaitu Rhua Bhineda (Dua yang berbeda). Jika pariwisata dikelola dengan baik
dan berkelanjutan maka akan menghasilkan manfaat optimal bagi
rakyat lokal, paling tidak bagi masyarakat adat sekitarnya maupun
pelaku pariwisata lainnya. Jika dikelola dengan serampangan dan
tidak terorganisir secara rapi, maka masyarakat lokal dan adat
hanya mendapatkan ekses-ekses negatif, perubahan nilai-nilai sosial
budaya yang destruktif. Kerusakan ataupun penurunan moral
atas imbas pariwisata terhadap masyarakat lokal (adat) akan susah
dikembalikan. Inilah yang disebut dengan taksu atau nilai magis
pariwisata budaya yang menghasilkan atraksi-atraksi pertunjukan
seni dan budaya dipandu latar keindahan alam Bali. Seyogianya
pariwisata budaya yang berkelanjutan mempertahankan aspek-
aspek local geneus atau kearifan lokal sebagai roh terhadap daya
tarik pariwisata itu sendiri. Pariwisata budaya bukan hanya dilihat
hal atau pertunjukan yang tampak pada kasat mata saja. Namun
lebih pada pertimbangan kenapa nilai-nilai kearifan lokal menjiwai
pelaksanaan sikap dan perilaku masyarakat dalam kaitannya dalam
interaksi sosial kesehariannya.
Setiap nilai-nilai kearifan lokal memiliki makna terhadap
sebab musabab kejadian atau momentum kenapa hal ikhwal
itu dilaksanakan. Misalnya kehidupan pertanian masyarakat
Bali mengajarkan konsep, keseimbangan dan kesucian terhadap
48 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
alam yang terdiri dari unsur tanah, air, udara, matahari dan
nikroorganisme. Hal ini merupakan salah satu konsep Tri Hita Karana karena terdapat menjaga keseimbangan alam harus serasi,
selaras, dan berkesinambungan dari generasi ke generasi berikutnya.
Keseimbangan dalam interaksi sosial terhadap pemilik lahan
pertanian antara satu petani dengan petani lainnya dilakukan
dengan sistem subak. Subak merupakan bagian dari kearifan lokal
masyarakat Bali untuk menjaga pendistribusian air antara satu
lahan dengan lahan lainnya secara adil dan dan merata. Konsepsi
pekerjaan bertani merupakan Yadnya yaitu kepatuhan atau
kewajiban manusia bekerja dan mengolah alam sekaligus menjaga
alam ini sebagai titipan Tuhan.
Yadnya melalui upacara keagamaan terkadang dirusak
oleh unsur gengsi dan kehormatan. Banyak upacara keagamaan
dilakukan dengan menjual aset ekonomi atau warisan dari para
leluhurnya. Demi rasa gengsi dan ingin dipandang terhormat di
dalam tatanan masyarakat sebuah keluarga terkadang menanggung
utang atau kehilangan aset untuk bekerja. Yadnya merupakan
upacara keagamaan yang sebagian orang Bali dikatakan sebagai
beban misalnya upacaara Ngaben atau pembakaran mayat, di dalam
upacara Ngaben dapat menghabiskan untuk pelaksanaan kegiatan
tersebut hingga puluhan juta hingga ratusan juta bahkan miliaran
rupiah. Pada akhirnya masyarakat mencari dan membuat konsensus
bersama atas konsep Yadnya ini. Ngaben lazimnya pada saat ini
bilamana tidak mampu dilakukan oleh sebuah keluarga sendiri
maka akan dikoordinir desa adar dengan sistem Ngaben massal.
Secara waktu, energi, dan pembiayaan tentunya lebih murah dan
terasa ringan bagi semuanya.
Konsepsi dharma atau Yadnya yang didasari oleh falsafah kerja
adalah karunia Tuhan oleh karena itu pendapatan yang diperoleh
49Hasil Penelitian dan Pembahasan
adalah milik Tuhan. Manusia hanya memanfaatkannya sebatas
yang dia butuhkan. Selebihnya adalah milik Tuhan yang harus
dibagikan kembali ke masyarakat dalam bentuk Yadnya. Berbagai
bentuk Yadnya itu meliputi pertama, Manusa Yadnya (Yadnya untuk kemanusiaan, aktivitas atau kegiatan sosail yang terjadi
di dalam dinamika desa adat). Kedua, dewa Yadnya merupakan
kegiatan-kegiatan spiritual ataupun upacara keagamaan dalam
rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Ketiga, Bhuta Yadnya
yakni, Yadnya untuk upacara keagamaan yang bersifat Bhuta dalam
rangka keseimbangan dengan kekuatan negatif yang ada di alam
ini. Keempat, Pitra Yadnya merupakan Yadnya untuk para leluhur
dengan segala dimensinya sebagai rasa hormat terhadap apa yang
telah dirintis dan diberikan kepada generasi penerusnya. Kelima,
Resi Yadnya merupakan Yadnya kepada para pemimpin keagamaan.
Filosofi Tri Hita Karana merupakan filosofi yang paling hakiki
dari kehidupan komunal masyarakat Bali, yang paling dihayati
dan diimplementasikan dalam usaha dan kegiatan pariwisata.
Masyarakat Bali merupakan masyarakat komunal yang semua
aspek kehidupan diwarnai dan dijiwai dengan konsep Tri Hita Karana menekankan pada keserasian dan keseimbangan konsep
manusia terhadap alam, manusia terhadap sesamanya, manusia
terhadao Tuhannya. Cerminan dari filosofi ini terlihat ketika
mereka (masyarakat adat Bali) dengan memberikan sesaji untuk
keselamatan dan kelancaran dalam melakukan pekerjaan.
a. Desa Pakraman
1) Selayang pandang Desa Pakraman
Dalam masyarakat tradisional di Bali desa adat
terhimpun dalam wadah yang disebut Desa Pakraman
misalnya, menurut Sukarma pengaruh modernisasi
50 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
tampak melalui pergeseran epsitemologi sosial yaitu
dari ‘yang baik adalah yang benar’ ke ‘yang benar adalah
yang baik’. Masyarakat tradisional beranggapan, ‘apa
yang baik menurut mereka’, ‘itulah yang benar bagi
mereka’ (kebenaran tidak dapat mendahului kebaikan).
Sebaliknya masyarakat modern beranggapan, ‘apa
yang benar menurut mereka’, ‘itulah yang baik bagi
mereka’ (kebaikan tidak dapat mendahului kebenaran).
Ukuran kebenaran adalah akal dan rasio sehingga yang
benar adalah yang masuk akal, dan/atau yang logis.
Sebaliknya, yang tidak masuk akal, tidak logis, dan
irasional adalah yang salah. Artinya masyarakat modern
lebih mengedepankan rasionalitas daripada moralitas,
sedangkan masyarakat tradisional lebih mengutamakan
moralitas daripada rasionalitas. Walaupun ini buka soal
pilihan, tetapi dapat diduga di antara rasionalitas dan
moralitas ini Desa Pakraman mengalami anomali dan
kebingungan berkepanjangan. Kebingungan rasionalitas
mengakibatkan ketersesatan moralitas sehingga Desa
Pakraman mengalami kesulitan mewujudkan sukerta tata parhyangan , pawongan, dan palemahan.
Desa Pakraman sebagaimana diatur dalam
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 03 Tahun 2001
setidak-tidaknya dibentuk oleh beberapa unsur pokok,
yaitu kesatuan masyarakat hukum adat, mempunyai
satu-kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup
menurut Hindu, ikatan Kahyangan Tiga (Kahyangan
Desa), mempunyai wilayah dan harta kekayaan sendiri,
dan berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Di
dalam unsur ini hendak menegaskan bahwa sistem sosial
51Hasil Penelitian dan Pembahasan
masyarakat adat Bali bercorak Hindu dan ini menjadi
semacam indentitas Desa Pakraman. Aktivitas sosial-
religius masyarakat adat yang dijiwai oleh agama Hindu
dimanifestasikan dalam bentuk pemujaan kepada Ida
Shang Hyang Widhi melalui Kahyangan Tiga. Demikian
juga substansi awig-awig Desa Pakraman dijiwai oleh
agama Hindu, yaitu penjabaran dari falsafah Tri Hita
Karana. Parhyangan mengatur kegiatan manusia
melakukan hubungan dengan Tuhan, pawongan
mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dalam
kegiatan sosial, dan palemahan berupa perwujudan
hubungan manusia dengan alam yang menjadi tempat
permukiman dan sumber kehidupan masyarakat.
Ini berarti Desa Pakraman merupakan satu
kesatuan harmonis dari tiga gatra, yaitu krama desa
sebagai gatra pawongan membutuhkan ruang untuk
melaksanakan aktivitasnya, berupa kewajiban hidup
di wilayah Desa Pakraman, yaitu gatra palemahan. Selain kesejahteraan juga manusia memiliki kerinduan
religius sehingga memerlukan hubungan khusus
dengan Tuhan, yaitu gatra parhyangan. Kenyataannya,
manusia adalah bagian dari alam yang berpartisipasi
membentuk watak alam dan sebaliknya, juga alam
turut serta membangun karakter manusia. Demikian
juga untuk melangsungkan kehidupannya, manusia
tergantung pada lingkungannya, baik lingkungan
alam tempat tinggalnya maupun lingkungan sosial
tempat tempat menjalankan kehidupan sosial.
Dengan demikian, manusi amemengaruhi, bahkan
mengubah lingkungannya, karena itu antara krama
52 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
desa dan lingkungan desanya terdapat satu jalinan saling
memengaruhi. Krama desa sebagai makhluk sosila
membutuhkan jalinan komunikasi harmonis untuk
memenuhi kebutuhan dan kepentingan bersama dalam
suasana aman dan nyaman.
Bali sebagai pulau yang mana di setiap tempat,
memiliki budaya dan alam saling berpautan erat,
tempat tinggal sebuha masyarakat mapan dan harmonis
secara berkala digairahkan ritus-ritus mempesona.
Alamnya menyajikan keindahan Bali dalam warna gaib
tridatu dan kilauan sunset dewata nawa sanga yang
menggetarkan rasa-agama-budhi. Budaya Bali yang
diwarnai pernak-pernik upacara Yadnya menawarkan
keramahan orang Bali khas bhakti dalam tatanan dan
tuntutan santun sarat pesona melalui jalinan tattwa-susila-acara. Perpaduan harmonis antara kelimpahan
upacara keagamaan, kesenian, dan pemandangan
hijau menggambarkan cari khas kebudayaan Bali.
Melimpahnya kegiatan ritual dan seni orang Bali
menurut Mead dan Bateson (Picard, 2006) patut dilihat
sebagai gejala yang harus dibahas dalam kerangka
psikologis-kulturalis. Dalam pandangan mereka bahwa
kebudayaan Bali menjadi semacam sistem pengatur
dorongan-dorongan naluri yang menimbulkan sejenis
skizofrenia-kultural. Dalam setiap ucapan dan tindakan
masyarakat pastinya memiliki makna dan fungsi dalam
setiap pemujaan terhadap dewa dan para roh leluhur.
Ini sebabnya dalam komunitas adat, seperti
Desa Pakraman bahwa bagian masa lalu dan simbol
merupakan sarana untuk menangani ruang dan
53Hasil Penelitian dan Pembahasan
waktu dengan memasukkan segala pengalaman dalam
keberlanjutan masa lalu, masa kini, dama masa depan
distrukturkan oleh praktik-praktik sossial yang sedang
berlangsung. Agama sebagai inti dari sistem nilai yang
dipraktikkan menjadi norma dalam dunia sosial,
karena itu kekuasaan Tri Murti yang secaera teologis
dipahami sebagai konsepsi kehadiran, sedangkan secara
kontekstual menjadi siklus strukturisasi, destrukturisasi,
dan restrukturisasi tatana nilai dalam kosmologi adat.
Menurut tindakan ini bukan rangkaian kumpulan
interaksi dan nalar, tetapi konsistensi monitoring perilaku
dan konteksnya yang ditujukan pada keteraturan dan
keseimbangan sosial. Oleh karena itu, Sukarma (Sarad
No. 109 Mei 2009) menegaskan bahwa tatanan nilai
dalam komunitas adat selalu dalam proses perubahan
sehingga tradisi tidak sepenuhnya statis. Artinya,
generasi baru harus menemukan ulang tradisinya ketika
mengambil alih warisan budaya dari pendahulunya
karena pewarisan nilai dalam suatu komunitas tidak
dimungkinkan tanpa proses pembelajaran. Pengalaman
belajar inilah upaya merangkai masa lalu, masa kini,
dan masa depan agar Desa Pakraman senantiasa selaras
dengan nilai-nilai Hindu.
Istilah Desa Pakraman mulai dipergunakan sejak
dikeluarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor
3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Sebelumnya,
lebih dikenal dengan desa adat sesuai Peraturan Daerah
Nomor 6 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi,
dan Peranan Desa Adar sebagai Kesatuan Masyarakat
Hukum Adat dalam Provinsi Daerah Tingkat I Bali.
54 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
Wayan Surpha menyebut, sebagai desa dresta, desa
adat merupakan kesatuan masyarakat hukum adat
di Provinsi Daerah Tingkat I Bali yang mempunyai
satu kesatuian tradisi dan tata krama pergaulan hidup
masyarakat umat Hindu secara turun-temurun dalam
ikatan Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa) yang
mempunyai wilayah tertentu, harta kekayaan sendiri,
dan berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
Desa adat menampakkan dirinya sebagai suatu
organisasi kemasyarakatan dan sekaligus merupakan
suatu organisasi pemerintahan yang berdiri sendiri di
bawah kecamatan dan kota/kabupaten di Bali. Desa
adat adalah desa yang otonom sehingga mempunyai
kewenangan untuk mengurus dan menyelenggarakan
kehidupan rumah tangganya sendiri. Dalam
perkembangan lebih lanjut otonomi itu hanya bersifat
sosial religius dan sosila kemasyarakatan. Desa adat
memiliki struktur kepengurusan yang pada umunya
disebut dulu atau padulan dan berfungsi untuk
membantu tercapainya kepentingan para anggotanya
secara maksimal, terutama sekali menyangkut kebutuhan
dasar sebagai manusia (terpenuhinya kebutuhan hidup
termasuk rasa aman dan nyaman).
Desa adat secara yuridis mendapat pengyoman
dan landasan hukum yang kuat bukan saja dari
Pancasila dan Pasal 18 UUD 1945 tetapi juga dari Pasal
29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan
negara berdasarkan Ketuhana Yang Maka Esa dan
negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agama masing-masing dan untuk
55Hasil Penelitian dan Pembahasan
beribadat menurut agama dan kepercayannya itu.
Tempat pelembagaan ajaran-ajaran agama Hindu dalam
adat istiadatnya inilah yang disebut desa adat.
Dalam perkembangannya desa Bali mengandung
dua fungsi, dinas dan adat untuk membedakannya
dengan desa dinas yang diberi tugas-tugas khusus
dalam bidang pemerintahan umum oleh penguasa
yang berwenang sejak zaman pemerintahan Belanda,
pemerintahan militer Jepang, sampai pemerintahan
Republik Indonesia. Sedangkan desa adar lebih banyak
menekankan urusan upacara keagamaan, seremoni
ritual yang bersifat religiusitas, persembahyangan desa.
pada proses selanjutnya setelah terjadi perubahan dan
tata sikap warga desa adat maka akhirnya muncul
perbaikan pada Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun
1986 tentang Kedudukan, Fungsi, dan Peranana Desa
Adat sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam
Provinsi Daerah Tingkat I Bali kemudian dianggap
tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman sehingga
pada tahun 2001 diganti menjadi Peraturan Daerah
Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa
Pakraman.
Desa Pakraman sebagai Kesatuan Masyarakat
Hukum Adata Mengenai kesatuan masyarakat hukum
adat, Van Hollenhoven menjelaskan untuk mengetahui
hukum, maka yang perlu diselidiki adalah pada waktu
dan bilamana serta di daerah mana sifat dan susunan
badan-badan persekutuan hukum di mana orang-orang
dikuasai oleh hukum dalam kehidupan sehari-hari.
56 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
Sementara Soepomo mengemukakan penguraian
tentang badan-badan persekutuan itu harus tidak
didasarkan atau sesuatu yang dogmatik, melainkan
harus didasarkan atas kehidupan yang nyata dari
masyarakat yang bersangkutan. Dari pendapat-
pendapat ini memperlihatkan bahwa masyarakat yang
mengembangkan hukum adat ini adalah persekutuan
hukum adat (Adatrechts Gemeenschapen).
Persekutaun hukum atau masyarakat hukum
ini didefinisikan sebagai orang-orang yang terikat
sebagai suatu kesatuan dalam susunan yang teratur,
yang menempati suatu wilayah tertentu, kesatuan
ini bersifat abadi, memiliki pimpinan, serta memiliki
kekayaan sendiri, baik yang berwujud maupun
tidak berwujud. Persekutuan-persekutuan hukum di
Indonesia awalnya menurut Soepomo dapat dibagi
menjadi dua golongan menurut dasar susunannya, yaitu
berdasarkan pertalian suatu keturunan (genealogi) dan
berdasarkan lingkungan daerah (teritorial).
Soepomo menambahkan lagi susunan yang
didasarkan atas genealogi-teritorial. Desa Pakraman
yang ada di Bali, berdasarkan persyaratan sebagai
kesatuan masyarakat hukum adat sudah memenuhi
unsur-unsurnya. Desa Pakraman memiliki anggota
kelompok yang terdiri dari orang-orang yang terikat
sebagai suatu kesatuan dalam susunan yang teratur,
Anggota kelompok disebut krama, pengurus kelompok
disebut prajuru.
Dengan demikian, Desa Pakraman menempati
suatu wilayah tertentu yang disebut wewidangan
57Hasil Penelitian dan Pembahasan
dengan batas-batas wilayah yang sudah mereka
tentukan. Kesatuan yang dibuat ini bersifat abadi dan
mereka memiliki aturan yang tertuang dalam awig-awig
(aturan) Desa Pakraman. Desa Pakraman juga memiliki
kekayaan sendiri, yang disebut catu atau pelaba. Berdasar
dasar susunannya, Desa Pakraman merupakan kesatuan
masyarakat hukum adat yang berdasarkan lingkungan
daerah (teritorial). Menuru Soepomo, “orang-orang
yang bersama bertempat tinggal di suatu desa(di Jawa
dan Bali) atau di suatu marga (Palembang) merupakan
suatu golongan yang mempunyai tata susunan ke dalam
dan bertindak sebagai kesatuan terhadap dunia luar.
Jika ditelaah lebih dalam lagi, Desa Pakraman
memiliki kelompok-kelompok kecil yang berdasarkan
pertalian suatu keturunan (genealogis). Mereka
membentuk kelompok yang disebut dadia. Ada juga
kelompok-kelompok yang didasarkan atas kesamaan
fungsional. Mereka membentuk kelompok yang
disebut subak karena memiliki kesamaan fungsi di
bidang pertanian. Des adat dengan sistem lingkungan
terkecilnya disebut banjar. Banjar adalah lembaga
masyarakat umat Hindu sepenuhnya berdasarkan
keagamaan dan adat. Secara nyata dasar keagamaan
itu dapat dilihat pada Kahyangan Tiga dan upacara-
upacara agama yang berlangsung di desa adat seperti
upacara Tawur Kesanga, Usabha Desa dan lain-lain,
agama Hindu menjiwai dan meresapi segala kegiatan
Krama Desa.
Desa adat yang kemudian disesuaikan menjadi
Desa Pakraman merupakan suatu kesatuan masyarakat
58 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
sosial religius yang bersifat otonom, berhak mengurus
rumah tangganya sendiri. Hak ini selanjutnya disebut
sebagai hak tradisional hukum adat yang diakui dan
dihormati negara sepetti diatur dalam Pasal 18B UUD
NRI 1945, “Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukuim adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarajat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
undang-undang”.
Pengejawantahan Desa Pakraman termasuk
dalam kesatuan masyarakat hukum adat sudah terjawab
dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 31/
PUU-V/2007 (Kasus Pembentukan Kota Tual) dan
Putusan Nomor 6/PUU-VI/2008 (Kasus pemindahan
ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan dari Banggai
ke Selatan). MK telah merumuskan kriteria atau tolok
ukur terpenuhinya ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD
NRI 1945 sebagai berikut:
(a) Kesatuan masyarakat hukuma adat dapat
dikatakan masih hidup jika secara de facto mengandung unsur-unsur antara lain ada
masyarakat yang warganya memiliki perasaan
kelompok; ada pranata pemerintahan adat, ada
harta kekayaan atau benda-benda adat dan adanya
perangkat norma hukum adat.
(b) Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-
hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip negara
59Hasil Penelitian dan Pembahasan
kesatuan apabila kesatuan masyarakat hukum
adat tersebut tidak menggangu eksistensi Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagai sebuah
kesatuan politik dalam arti, keberadaannya tidak
mengancam kedaulatan dan integritas Negara
Kesatuan Republik Indonesia, substansi norma
hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan.
(c) Kesatuan masyarakat hukum adat dan hak
tradisionalnya sesuai dengan perkembangan
masyarakat jika keberadaannya telah diakui
berdasarkan undang-undang (umum maupun
sektoral termasuk Perda), substansi hak-hak
tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh
wagra kesatuan masyarakat hukum adat yang
bersangkutan maupun masyarakat yang lebih
luas serta tidak bertentangan dengan Hak Asasi
Manusia.
Dari penjelasan ini, Desa Pakraman telah
memenuhi unsur-unsur yang ditentukan dalam Pasal
18B ayat (2) UUD NR 1945. Karena itu, negara
mengakui dan menghormati keberadaannya beserta
hak-hak tradisionalnya yang disebut otonomi desa.
dalam pelaksanaan hak-hak tradisionalnya, Desa
Pakraman dilengkapi kekuasaan mengatur kehidupan
warganya. Kekuasaan itu di antaranya: (1) kekuasaan
untuk menetapkan aturan-aturan untuk menjaga
kehidupan organisasi secara tertib dan tenteram.
Kekuasaan ini diselenggarakan bersama dalam suatu
rapat desa (paruman atau sangkep desa); (2) kekuasaan
60 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
untuk menyelenggarakan kehidupan organisasi
yang bersifat sosial-religius; (3) kekuasaan untuk
menyelesaikan sengketa-sengketa yang menunjukkan
adanya pertentangan kepentingan antara warga desa
atau berupa tindakan yang menyimpang dari aturan
yang telah ditetapkan yang berupa tindakan yang
menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan yang
dapat dinilai sebagai perbuatan yang mengganggu
kehidupan bermasyarakat, baik melalui perdamaian
maupun dengan memberikan sanksi adat.
Pengaturan tentang desa adat bisa ditemukan
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Pasal 1 ayat (12) menyatakan
desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya
disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat. Berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat
setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam Pasal 2 ayat (9) dinyatakan negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup
dan sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa juga memuat tentang desa adat. Pasal 96
menyatakan Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,
dan Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan penataan
kesatuan masyarakat hukum adat dan dapat ditetapkan
61Hasil Penelitian dan Pembahasan
menjadi desa adat. Pasal 97 memuat tentang penetapan
desa adat sebagaimana dimaksud Psal 96 memenuhi
syarat: Pertama, kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak tradisionalnya secara nyata masih hidup,
baik yang bersifat genealogis maupun fungsional.
Kedua, kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak
tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan
masyarakat; dan Ketiga, kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun
2001 tentang Desa Pakraman yang diubah menjadi
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003
dengan jelas mendefinisikan Desa Pakraman adalah
kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali
yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama
pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun
temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan
desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta
kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah
tangganya sendiri. Dari definisi ini sudah ditegaskan
Desa Pakraman merupakan suatu kesatuan masyarakat
sosial religius yang bersifat otonom, berhak mengurus
rumah tangganya sendiri. Dalam mekanisme kehidupan
Desa Pakraman, warga memiliki hak antara lain hak
untuk memilih pimpinan adat, ikut dalam rapat
(sankep/parum) adat, ikut serta dalam Pemerintahan
Desa Pakraman bersama, dan berhak dipilih sebagai
prajuru (pengurus) adat. Kewajibannya melaksanakan
ayahan (tugas) adat dan tunduk serta taat kepada
62 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
peraturan yang berlaku bagi warga Desa Pakraman,
yakni awig-awig (aturan) baik tertulis maupun tidak
tertulis, paswara dan sima yang berlaku.
Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor
3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman yang diubah
menjadi Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3
Tahun 2003 tentang Desa Pakraman disebutkan
bahwa Desa Pakraman di Provinsi Bali yang tumbuh
dan berkembang sepanjang sejarah selama berabad-
abad, yang memiliki otonomi asli mengatur rumah
tangganya sendiri, telah memberikan kontribusi yang
sangat berharga terhadap kelangsungan kehidupan
masyarakat dan pembangunan. Desa Pakraman sebagai
kesatuan masyarakat hukum adat yang dijiwai oleh
ajaran agama Hindu dan nilai-nilai budaya yang hidup
di Bali sangat besar peranannya dalam bidang agama
dan sosial budaya sehingga perlu diayomi, dilestarikan,
dan diberdayakan.
Dalam Pasal 1 angka 4 Peraturan Daerah Provinsi
Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman, Desa
Pakraman didefinisikan sebagai kesatuan masyarakat
hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu
kesatuan tradisi dan tata krama. Pergaulan hidup
masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam
ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang
mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri
yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
63Hasil Penelitian dan Pembahasan
2) Majelis Desa Pakraman
Desa Pakraman sebagai wilayah yang otonom
tidak selamanya berada dalam posisi “sendiri”. Sejak
27 Februari 2004 terbentuk Majelis Desa Pakraman
(MDP). Kehadiran MDP membawa angin baru bagi
kehidupan Desa Pakraman di Bali. Sebelum adanya
MDP, Desa Pakraman seolah-olah “yatim piatu”, tanpa
“orangtua” untuk diajak menimbang rasa dalam suka
dan duka. Jika ada Desa Pakraman memiliki masalah,
mereka menjadikan bupati sebagai tempat mengadu.
Padahal secara struktural bupati dan pemerintah
kabupaten tidak dapat disebut atasan Desa Pakraman.
Setelah terbentuknya MDP di Bali, ada wadah
bagi Desa Pakraman untuk bertukar pikiran dalam
merancang masa depan Desa Pakraman yang lebih baik,
meningkatkan kualitas prajuru, merumuskan awig-awig dan perarem serta menyelesaikan permasalahan yang
muncul di Desa Pakraman.
MDP sebagai satu-satunya organisasi tempat
berhimpunnya Desa Pakraman memiliki peran strategis
dalam usaha meningkatkan kualitas Desa Pakraman
baik dalam hubungan dengan parhyangan, pawongan,
maupun palemahan. MDP memiliki tingkatan yang
mulai dari kecamatan dengan nama Majelis Desa
Pakraman yang mpembentukannya melalui Paruman
Alit. Di tingkat kabupaten/kota ada Majelis Desa
Pakraman yang pembentukannya melalui Paruman
Madya. Di tingkat provinsi ada Majelis Utama Desa
Pakraman yang pembentukannya melalui Paruman
Agung.
64 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
MDP memiliki peran strategis dalam menjawab
tantangan dan permasalahan yang berkaitan dengan
Desa Pakraman. Pertama, memperkuat kelembagaan
Desa Pakraman melalui kerja sama dengan pemerintah
Provinsi Bali dan pemerintah kabupaten/kota dalam
usaha melestarikan agama Hindu sebagai jiwa Desa
Pakraman dan jiwa Bali. Kedua, sebagai media
komunikasi antar krama desa dan antar Desa Pakraman
berdasarkan spirit Bali mawacara. Ketiga, menjadi filter
terhadap pengaruh yang datang dari berbagai arah di
luar Desa Pakraman.
Untuk itu perlu adanya prosedur tetap (protap)
kerja sama Desa Pakraman yang dapat dijadikan
panduan bagi lembaga pemerintah maupun swasta,
parpol, LSM dan organisasi lain dalam menjalin kontak
dengan Desa Pakraman. Selanjutnya secara proaktif
membangun komunikasi dan hubungan baik dengan
organisasi lain di luar Desa Pakraman dalam usaha
mewujudkan kedamaian di Bali (Bali Shanti).
Dalam Pasal 16 ayat (1) Perda No. 3 Tahun 2001
tentang Desa Pakraman, MDP mempunyai tugas
mengayomi adat istiadat, memberikan saran, usul,
dan pendapat kepada berbagai pihak baik perorangan,
kelompok/lembaga termasuk pemerintah tentang
masalah adat, melaksanakan tiap keputusan-keputusan
paruman dengan aturan-aturan yang ditetapkan,
membantu penyuratan awig-awig, dan melaksanakan
penyuluhan adat istiadat secara menyeluruh. Ayat
(2) menyatakan tentang kewenangan MDP, antara
lain merumuskan berbagai hal yang menyangkut
65Hasil Penelitian dan Pembahasan
masalah-masalah adat dan agama untuk kepentingan
Desa Pakraman, sebagai penengah dalam kasus-kasus
adat yang tidak dapat diselesaikan di tingkat desa, dan
membantu penyelenggaraan upacara keagamaan di
kecamatan, kabupaten/kota, dan provinsi.
Sebelum ada MDP, pada tahun 1968, terbentuk
Badan Musyawarah Desa Adat (Desa Pakraman) sebagai
wadah untuk mengkoordinasikan pembinaan desa
adat. Lembaga ini selanjutnya dikuatkan legalitasnya
melalui SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
Bali Nomor 18/Kesra.II/c/19/1979 tentang Majelis
Pembina Lembaga Adat (MPLA) MPLA memiliki
tugas memberi pertimbangan, saran, usul mengenai
permasalahan adat kepada pemerintah daerah baik
diminta maupun tidak, dalam rangka pelaksanaan
kebijakan pemerintah daerah. MPLA juga mengadakan
pembinaan pembuatan awig-awig dan pembinaan adat
istiadat secara menyeluruh di dalam segala aspeknya.
3) Awig-Awig (Peraturan) Desa Pakraman
Awig-awig merupakan tata dalam hidup
bermasyarakat. Masyarakat sendiri ditandai oleh
beberapa ciri, seperti adanya interaksi, ikatan, pola
tingkah laku yang khas dalam semua aspek kehidupan
yang bersifat mantap dan berkelanjutan, serta danya
rasa identitas terhadap kelompok di mana individu yang
bersangkutan menjadi anggotanya. Dalam kehidupan
bermasyarakat, manusia akan senantiasa berhadapan
dengan kekuatan-kekuatan manusia lainnya, sehingga
diperlukan adanya norma-norma dan aturan-aturan
66 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
yang menentukan tindakan mana yang boleh dan mana
yang tidak boleh dilakukan.
Dalam kehidupan masyarakat adat Bali yang
diwadahi oleh Desa Pakraman, norma-norma tersebut
lazim disebut dengan istilah awig-awig, sima, dresta, perarem, dan istilah-istilah lainnya. Secara umum yang
dimaksud dengan awig-awig adalah patokan-patokan
tingkah laku, baik tertulis maupun tidak tertulis yang
dibuat oleh masyarakat yang bersangkutan, berdasarkan
rasa keadilan dan kepatutan yang hidup dalam
masyarakat, dalam hubungan antara krama (anggota
Desa Pakraman) dengan Tuhan, antara sesama krama,
maupun antara krama dengan lingkungannya.
Dengan pengertian demikian, menjadi jelas
bahwa semua Desa Pakraman mempunyai awig-awig, walaupun mungkin bentuknya ada yang belum
tertulis. Belakangan, terutama sejak tahun 1969, ada
kecenderungan Desa Pakraman menuliskan awig-awig-nya dalam bentuk dan sistematika yang seragam.
Tujuannya adalah agar prajuju desa adat dan generasi
mendatang dapat lebih mudah mengetahui isi awig-
awig desanya. Awig-awig yang dijadikan pegangan
oleh prajuru Desa Pakraman dalam mengemban
kewajibannya, dibuat sesuai dengan situasi dan kondisi
objektif masing-masing Desa Pakraman. Hal ini yang
menyebabkan adanya perbedaan antara awig-awig Desa
Pakraman yang satu dengan yang lainnya walaupun
secara geografis letaknya berdekatan. Perbedaan ini
dianggap normal dan lumrah sesuai dengan dengan
asas desa mawacara. Awig-awig secara proporsional
67Hasil Penelitian dan Pembahasan
berisi aturan-aturan yang bertujuan menjaga atau
mewujudkan keseimbangan hubungan antara manusia
dengan Ida Sanghyang Widi Wasa /Tuhan Yang Maha
Esa (aspek parhyangan), keseimbangan hubungan
antara manusia dengan manusia, (aspek pawongan),
dan keseimbangan hubungan manusia dengan alam
lingkungan (aspek palemahan).
Landasan Awig-awig Desa Pakraman mulai
dikenal masyarakat Bali sejak tahun 1986 setelah
keluarnya Peraturan Daerah Tingkat I Provinsi Bali
Nomor 6 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi,
dan Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan Masyarakat
Hukum Adat dalam Provinsi Daerah Tingkat I Bali.
Sebelum lahirnya Perda ini, dipkaia istilah bermacam-
macam, di antaranya pangeling-eling, paswara, geguat, awig, perarem, gama, dresta, cara, tunggul, kerta, palakerta dan sima. Dalam Bab IV Peraturan Daerah
Tingkat I Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 1986 tentang
Kedudukan, Fungsi dan Peranan Desa Adat sebagai
Kesatuan Masyarakat.
Hukum Adat dalam Provinsi Dasrah Tingkat I
Bali disebutkan tentang Awig-awig Desa Adat antara
lain: Setiap Desa Adat agar memiliki awig-awig tertulis,
Awig-awig Desa Adat tidak boleh bertentangan dengan
Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku, Awig-awig Desa
Adat dibuat dan disahkan oleh krama Desa Adat ,
Awig-awig Desa Adat dicatatkan di Kantor Bupati/
Walikotamadya, Kepala Daerah Tingkat II yang
bersangkutan. Sanksi yang diatur dalam awig-awig
68 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
Desa Adat tidak boleh bertentangan dengan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku dan rasa keadilan
dalam masyarakat.
Dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 disebutkan
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
undang-undang”. Apa yang disebutkan sebagai
syarat untuk mendapat pengakuan negara tentu harus
dipenuhi oleh Desa Pakraman termasuk awig-awig
yang dimiliki. Pengakuan terhadap kesatuan masyarakat
hukum adat ini mengandung empat konsekuensi.
Pertama, suatu kesatuan masyarakat diakui sebagai
sautu kesatuan masyarakat hukum sehingga dapat
bertindak sebagai subjek hukum yang berbeda dengan
anggota-anggotanya. Kedua, terhadap kesatuan
masyarakat hukum adat dapat diletakkan hak dan
kewajiban serta dapat melakukan tindakan hukum
sebagai satu kesatuan. Ketiga, pada saat pengakuan
terhadap kesatuan masyarakat hukum adat, maka
dengan sendirinya negara mengakui sistem hukum
yang membentuk dan menjadikan kesatuan masyarakat
adat itu sebagai kesatuan hukum. Keempat, pengakuan
terhadap kesatuan masyarakat hukum adat juga dengan
sendirinya berarti pengakuan terhadap struktur dan
tata pemerintahan yang dibentuk berdasarkan norma
hukum tata negara adat setempat.
69Hasil Penelitian dan Pembahasan
Awig-awig Desa Pakraman sebagai bagian yang
tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Hindu
di Bali memiliki korelasi yang sangat kuat dengan
konsep Tri Hita Karana. Tri Hita Karana merupakan
tiga hubungan yang harmoni yang harus dijalankan
manusia untuk mencapai kesempurnaan. Hubungan
itu terdiri dari hubungan manusia dengan Tuhan yang
diwujudkan dalam bentuk bhakti. Hubungan manusia
dengan manusia yan diwujudkan dalam bentuk
tresna. Hubungan manusia dengan lingkungan yang
diwujudkan dalam bentuk asih (sih).
Keseimbangan dalam melaksanakan bhakti,
tresna, dan sih ini diwujudkan dalam perilaku sehari-
hari. Karena itulah awig-awig menjadi konsep Tri
Hita Karana ini sebagai landasan filosofisnya. Dengan
mengusung konsep ini karma diharapkan berperilaku
sesuai dengan ajaran agama Hindu, di antaranya tat twan asi (aku adalah kamu), persaudaraan, keharmonisa,
dan antikekerasan dalam hidup bersama.
Masyarakat Desa Pakraman selalu berusaha
bersikap seimbang terhadap alam sekitarnya. Hal
ini didasarkan oleh kesadaran bahwa alam semesta
merupakan sebuah kompleksitas unsur-unsur yang
satu sama lain terkait dan membentuk suatu sistem
kesemestaan. Dari sini ditemukan bahwa nilai dasar
kehidupan adat di Bali adalah nilai keseimbangan.
Nilai keseimbangan ini lalau diwujudkan ke dalam dua
hal. Pertama, selalu berusaha menyesuaikan diri dan
menjalin dengan elemen-elemen alam dan kehidupan
yang berada di sekelilingnya. Kedua, ingin menciptakan
70 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
suasana kedamaian dan ketentraman agar sesama
makhluk dan alam di mana manusia sebagai salah satu
elemen dari alam semesta.
Masyarakat kemudian menjadikan kedua hal
tersebut sebagai asas dalam kehidupan. Nilai dan asas-
asas ini dipersepsikan ke dalam ajaran filsafat Tri Hita
Karana. Tri artinya tiga; Hita artinya baik, senang,
gembira; Karana artinya sebab musabab, sumbernya
sebab. Secara singkat Tri Hita Karana didefinisikan
sebagai tiga hal yang menyebabkan manusia mencapai
kesejahteraan, kebahagiaan, dan kedamaian (I Made
Suastawa Dharmayuda dan I Wayan Koti Cantika,
1991, Filsafat Adat Bali, Upada Sastra, Denpasar, h.6.
33).
Menurut I Gusti Ketut Kaler, unsur Tri Hita
Karana adalah jiwa (atman), tenaga atau kekuatan
(prana), dan badan wadag (sarira). Ketiga unsur
ini kemudian menjadi pola masyarakat Bali, dalam
pembuatan rumah dan desa. Dalam rumah, unsur
atman (Tuhan) ditempatkan di merajan atau sanggah
tempat ibadah sebagai parhyangan rumah. Unsur prana
adalah anggota keluarga sebagai pawongan rumah.
Unsur sarira adalah keseluruhan pekarangan rumah
sebagai palemahan rumah.
Dalam desa, unsur atman berupa Pura Kahyangan
Tiga sebagai parhyangan desa. unsur prana berupa krama
desa sebagai pawongan desa. unsur sarira berupa wilayah
desa sebagai palemahan desa. Awig-awig Desa Pakraman
sebagai pedoman perilaku sudah disusun berdasarfkan
Tri Hita Karana. Hubungan manusia dan Tuhan diatur
71Hasil Penelitian dan Pembahasan
dalam Sukerta Tata Agama (Parhyangan). Hubungana
antara manusia dengan manusia diatur dalam Sukerta
Tata Pawongan. Hubungan antara manusia dengan
lingkungan masyarakat dan lingkungan alam diatur
dalam Sukerta Tata Palemahan.
Tri Hita Karana sebagai landasan filosofis awig-
awig juga terjabarkan dalam falsafah Hindu lainnya
seperti Tri Mandala, Catur Purusa Artha, Desa Kala
Patra, Tat Twam Asi, dan Tri Upasaksi. Awig-awig Desa
Pakraman merupakan patokan tingkah laku baik tertulis
maupun tidak tertulis yang dibuat oleh masyarakat
yang bersangkutan berdasarkan rasa keadilan dan
kepatutan yang hidup dalam masyarakat. Dilihat dari
pengertian ini bisa dipastikan semua Desa Pakraman
memiliki awig-awig. Namun ada yang sudah tertulis
dan ada yang belum tertulis. Majelis Utama Desa
Pakraman (MUDP) mendata di Bali ada 1.488 Desa
Pakraman. Sampai saat ini masih dilakukan inventarisir
beberapa Desa Pakraman yang sudah menyuratkan
awig-awignya dan beberapa yang belum. Sejak tahun
1969 ada kecenderungan Desa Pakraman menuliskan
awig-awignya dalam bentuk dan sistematika yang
seragam. Tujuannya antara lain memberi peluang
kepada prajuru adat dan generasi yang akan datang
untuk lebih memahami isi awig-awig desanya.
Penulisan awig-awig ini dianggap penting atas
dasar pertimbangan bahwa hukum adat dalam bentuk
tidak tertulis yang berupa kebiasaan-kebiasaan sangat
sulit dikenali. Dengan penulisan ini diharapkan
kepastian hukum (rechtzekkerheid) lebih terjamin
72 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
dan penting untuk penemuan hukum (rechtsvinding).
Dengan kepastian hukum, dalam bentuknya yang
tertulis, hukum adat (awig-awig) akan memberi rasa
kepastian dalam bersikap dan bertindak hingga tak
ada keragu-raguan dalam penerapan hukum. Kepastian
hukum ini mencakup masyarakat, pasti bagi prajuru,
dan pasti untuk pemerintah. Dalam hal penemuan
hukum, penulisan hukum adat (awig-awig) untuk
memudahkan dalam hal menemukan, mengetahui,
dan memahami isi ketentuan hukum adat. Dalam
bentuknya yang tertulis akan sangat mudah ditemukan
oleh kalangan petugas hukum dan generasi yang akan
datang. Karena itu, perlu adanya keseragaman dan
penerbitan dalam bentuk dan sistematikanya.
Hal yang tidak terpisahkan dalam penyusunan
awig-awig adalah patokan yang digunakan merupakan
cerminan dari nilai-nilai Pancasila, antara lain mengatur
tentang kewajiban krama dalam kehidupan ber-
Ketuhanan Yang Maha Esa; Pengakuan martabat
yang sama sebagai krama desa; adanya kekompakan
dan kesatuan sebagai pengikat; selalu bermusyawarah
dalam sangkepan atau paruman; adanya unsur suka-
duka dalam kehidupan bermasyarakat serta diikat oleh
kehidupan paras-paros. Sbagai hukum yang tumbuh
dari bawah, scara psikologis awig-awig memiliki
legitimasi yang kuat dalam masyarakat. Awig-awig
diterima dan ditaati di dalam masyarakat yang berada di
wilayah Desa Pakraman yang bersangkutan. Awig-awig
jika dilihat dari fungsinya merupakan alat kontrol sosial
(hukum sebagai sarana kontrol sosial). Hal ini dilihat
73Hasil Penelitian dan Pembahasan
dari asumsi awig-awig mampu mengontrol perilaku
krama desa dan menciptakan kesesuaian dalam perilaku
mereka, baik secara preventif maupun represif.
Awig-awig juga berfungsi sebagai sarana untuk
mengubah masyarakat (social engineering) karena
kemampuannya merespon dan mengantisipasi
perubahan dalam masyarakat. Karena itu awig-awig
harus mengarahkan perubahan masyarakat sesuai
dengan rel yang telah dibakukan dalam awig-awig
tersebut. Dengan adanya awzig-awig memudahkan
tujuan Desa Pakraman yakni kasukertan desa sekala-
niskala (ketertiban, ketentraman, dan kedamaian lahir
batin) di Desa Pakraman. Kasukertan desa tidak saja
berlaku bagi internal Desa Pakraman (krama desa)
melainkan berlaku juga bagi eksternal Desa Pakraman
terutama dengan Desa Pakraman tetangga (pasuwitran
nyatur desa).
Penulisan awig-awig bukanlah perkara mudah,
karena itu memerlukan pemikiran bersama karena
hasilnya akan dipakai bersama. Substansi awig-awig
menjadi hal yang penting untuk dibahas sebelum
menuliskan awig-awig. Jangan sampai menuliskan
awig-awig hanya untuk kepentingan praktis sesaat,
misalnya keperluan lomab Desa Pakraman atau syarat
mendapatkan dana dalam rangka pembentukan
Lembaga Perkreditan Desa (LPD). Jika yang dilakukan
hanya untuk kepentingan sesaat, adakalanya Desa
Pakraman menyalin mentah-mentah awig-awig Desa
Pakraman lain. Hal ini tentu sangat tidak disarankan
karena sunbstansi awig-awig antara lain Desa Pakraman
74 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
dengan Desa Pakraman lain, walaupun secara geografis
berdekatan. Awig-awig hasil salinana atau duplikasi ini
nantinya tidak akan dapat dipergunakan.
Dalam hal substansi, adakalanya ditemukan
norma-norma yang sulit diubah, padahal ada keinginan
untuk mengubah. Kadang tidak semua hukum
adat tidak tertulis (dresta) dapat dituangkan dalam
awig-awig tertulis. Bisa jadi karena kesulitan saat
merumuskannya dalam substansi awig-awig tertulis
atau bisa jadi karena kelupaan. Hal ini jangan sampai
menjadikan penyusunan awig-awig tertulis menjadi
tidak terealisasikan. Dresta yang terlupakan biarkan
tetap berlaku sebagai awig-awig tidak tertulis. Di
kemudian hari, ada kesempatan untuk memasukkannya
dalam perarem pengele sebagai pelengkap awig-awig.
Di sinilah dresta mendapat tempat sehingga menjadi
bagian dari awig-awig tertulis.
Substansi awig-awig besarnya berisi Murdha
Citta, Pamikukuh, Petitis, asas-asas, norma atau kaidah,
dan sanksi. Asas-asas misalnya gotong royong, tolong
menolong, musyawarah mufakat, saling asah saling asih
saling asuh, paras paros, rukun laras patut. Norma/
kaidah dirumuskan dalam bentuk larangan, perintah,
dan kebolehan. Hal-hal yang dilarang, diperintahkan,
dan dibolehkan harus mengacu pada pamikukuh dan
petitis yang telah ditetapkan. Norma-norma yang
berupa perintah dan laranga, rumusannya disertai
sanksi yang jelas. Norma-norma yang berisi kebolehan,
rumusannya tidak disertai sanksi.
75Hasil Penelitian dan Pembahasan
Rumusan norma dalam awig-awig suapaya
bersifat mendidik dalam arti mendidik krama supaya
bersikap dan berperilaku bhakti kepada Ida Sanghyang
Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), tresna kepada
sesama, dan asih terhadap lingkungan. Semua ini
merupakan inti dari Tri Hita Karana. Isi awig-awig di
bagian norma harus bersifat moderat dan fleksibel. Hal
ini bertujuan mengakomodir kebutuhan perkembangan
zaman terutama yang berkaitan dengan kependudukan,
kebersihan lingkungan, kesejahteraan, dan lain
sebagainya.
Umunya awig-awig tertulis hanya memuat pokok-
pokok mengenai kehidupan Desa Pakraman. Aturan
pelaksanaan yang lebih rinci dituangkan dalam bentuk
keputusan rapat desa yang disebut perarem. Perarem
memiliki kekuatan mengikat yang secara substansi
bisa dikelompokkan menjadi tiga, perarem penyahcah awig, perarem ngele/lepas, dan perarem penepas wicara. Perarem penyahcah awig artinya aturan pelaksanaan
dari awig-awig tertulis yang sudah ada. Perarem ngele berupa keputusan paruman yang merupakan
aturan hukum baru yang tidak ada landasannya
dalam awig-awig tertulis. Hal ini biasanya dipakai
untuk mengakomodir kebutuhan hukum baru untuk
mengikuti perkembangan masyarakat. Perarem penepas wicara merupakan keputusan paruman mengenai suatu
wicara (perkara) yang berupa persoalan hukum seperti
sengketa maupun pelanggaran hukum.
Dengan demikian, Tri Hita Karana menyebabkan
kehidupan yang harmonis antara sesama wagra desa
76 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
adat untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagian
hidup merupakan landasan bagi desa adat. Terhadap
adanya kesatuan pandangan dalam kehidupan desa
adat kemudian di Bali, kita mengenal adagium yang
merupakan asas dari kebersamaan, yakni: Salulung Sabyayantaka (sa + luhung + luhung sa + byaya (sa) +
antaka) yang artinya sehidup semati atau dalam istilah
Bali disebut Beriuk Seguluk artinya sehidup senasib dan
sepenanggungan.
Atas dasar asas kebersamaan ini, hendaknya
setiap anggota desa adat merupakan bagian keluarga
besar desa adat termasuk masalah kesejahteraan
warga. Bila desa adat mampu melaksanakan fungsi
dan peranannya, maka tujuan desa adat dalam
mewujudkan desa yang Sukertagama (masyarakat
tenteram karena melaksanakan ajaran agama), Tata
Tenteram Kertaraharja (tenteram dan sejahtera) akan
dapat diwujudkan.
Dalam penelitian ini diambil obyek pengamatan
terhadap wilayah Bali bagian selatan. Bali selatan yang
terdiri dari Kabupaten Badung, Denpasar, Gianyar,
dan Tabanan merupakan salah satu pusat pariwisata di
Provinsi Bali. Secara keseluruhan Bali selatan memiliki
jumlah potensi wisata sebanyak 146 daya tarik wisata
dengan persebaran 36 daya tarik wisata di Kabupten
Badung, 28 daya tarik di Kota Denpasar, 59 daya
tarik di Kabupaten Gianyar, dan 23 daya tarik di
77Hasil Penelitian dan Pembahasan
Kabupaten Tabanan. Perlu dicatat, pengembangan
pariwisata di Provinsi Bali belum merata pada semua
kabupaten, pengembangan pariwisata hanya berpusat
di Kabupaten Badung dan Denpasar. Hal tersebut
menyebabkan perekonomian wilayah tersebut lebih
tinggi dibandingan dengan wilayah lainnya.
Pada Tahun 2015 persentase PDRB sektor
akomodasi makan dan minum di Kabuapten Badung
dan Denpasar lebih besar dibandingakan dengan
Kabupaten Gianyar dan Tabanan yaitu 26.18% dan
23.09 %. Sedangkan Kabupaten Gianyar dan Tabanan
memiliki persentase sebesar 20.48% dan 18.27%.187
Selain itu dari aspek ketersediaan fasilitas akomodasi
makan dan minum, Kabupaten Badung dan Denpasar
memiliki jumlah hotel dan restoran lebih banyak
dibandingkan Kabupaten Gianyar dan Tabanan.
Pada Tahun 2015 Kabupaten Badung memiliki
jumlah hotel berbintang sebanyak 357 dan 491 hotel
non bintang, Kota Denpasar memiliki 65 buah hotel
berbintang dan 251 hotel non bintang, sedangkan
Kabupaten Gianyar memiliki hotel berbintang sebanyak
49 dan 358 hotel non bintang, serta Kabupaten
Tabanan memiliki 6 buah hotel berbintang dan 109
hotel non bintang. Begitu pula pada fasilitas untuk
memenuhi kebutuhan wisatawan seperti restoran,
pada Tahun 2015 Kabupaten Badung dan Denpasar
memiliki jumlah restoran masing-masing 825 dan 449
buah, sedangkan Kabupaten Gianyar dan Tabanan
187Badan Pusat Statistik, “Provinsi Bali dalam Angka 2016” (Bali: Badan Pusat Statistik
Bali, 2016).
78 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
memiliki jumlah restoran masing-masing 504 buah
dan 32 buah.188
Tahun 2015-2018 Pemerintah Daerah
Provinsi Bali melalui Program Bali Mandara Jilid II
mencanangkan pembentukan 100 desa wisata189 yang
tersebar pada 8 kabupaten dan 1 kota. Seratus desa
wisata tersebut penyebarannya masing-masing 22
desa wisata di Kabupaten Buleleng, 6 desa wisata di
Kabupaten Jembrana, 16 desa wisata di Kabupaten
Tabanan, 5 desa wisata di Kabupaten Badung, 15
desa wisata di Kabupaten Gianyar, 10 desa wisata di
Kabupaten Klungkung, 11 desa wisata di Kabupaten
Bangli, 10 desa wisata di Kabupaten Karangasem, dan
5 desa wisata di Kotamadya Denpasar. Desa Wisata
Timbrah adalah salah satu dari 10 desa wisata yang
dikembangkan di Kabupaten Karangasem melalui
Program Bali Mandara Jilid II, sedangkan sembilan
lainnya adalah desa wisata Budekeling, Sibetan,
Tenganan, Prangsari, Iseh, Antiga, Jasri, Besakih, dan
Munti Gunung.190
188Ibid.189Kementerian Pariwisata mendefinisikan desa wisata sebagai: “Suatu wilayah dengan luasan
tertentu dan memiliki potensi keunikan daya tarik wisata yang khas dengan komunitas masyarakatnya
yang mampu menciptakan perpaduan berbagai daya tarik wisata dan fasilitas pendukungnya untuk
menarik kunjungan wisatawan termasuk didalamnya kampung wisata karena keberadaannya di
daerah kota.” Lihat: Direktorat Pengembangan Destinasi Wisata, Pengembangan Desa Wisata (Jakarta:
Kementerian Pariwisata, 2016), 1.190Dewa Putu Oka Prasiasa, “Strategi Pengembangan Dan Pemberdayaan Masyarakat
Desa Wisata Timbrah Kecamatan Karangasem Kabupaten Karangasem” (Seminar Nasional Hasil
Penelitian-Denpasar, Denpasar, Bali: Universitas Udayana, 2017), 103–26.
79Hasil Penelitian dan Pembahasan
b. Kabupaten Badung
1) Profil dan Program
Wilayah Kabupaten Badung terletak pada
posisi 08°14’17”—08°50’57” Lintang Selatan (LS)
dan 115°05’02”—15°15’ 09” Bujur Timur (BT)
membentang di tengah-tengah Pulau Bali. Luas wilayah
Kabupaten Badung adalah 418,52 km2 (7,43% dari
luas Pulau Bali). Bagian Utara Kabupaten Badung
merupakan daerah pegunungan yang berudara sejuk,
berbatasan dengan Kabupaten Buleleng. Wilayah di
bagian Selatan merupakan dataran rendah dengan
pantai berpasir putih dan berbatasan langsung dengan
Samudera Indonesia. Sebelah Timur wilayahnya
berbatasan dengan Kabupaten Gianyar dan Kota
Denpasar. Bagian tengah wilayah Badung merupakan
daerah persawahan. Di sebelah Barat berbatasan dengan
Kabupaten Tabanan. Secara umum Kabupaten Badung
merupakan daerah beriklim tropis yang memiliki
dua musim, yaitu musim kemarau (April–Oktober)
dan musim hujan (November – Maret). Curah
hujannya rata-rata 893,4 – 2.702,6 mm per tahun.
Kemudian suhu udaranya berkisar 25°C – 30°C dengan
kelembapan udara rata-rata mencapai 79%. Secara
administratif, Kabupaten Badung terbagi menjadi
6 ( enam ) wilayah Kecamatan yang terbentang dari
bagian Utara ke Selatan yaitu: Kecamatan Petang,
Abiansemal, Mengwi, Kuta, Kuta Utara, dan Kuta
Selatan. Disamping itu, di wilayah ini juga terdapat 16
Kelurahan, 46 Desa, 369 Banjar Dinas, 164 Lingkungan
8 Banjar Dinas Persiapan dan 8 Lingkungan Persiapan.
80 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
Selain Lembaga Pemerintahan seperti tersebut di atas,
di Kabupaten Badung juga terdapat Lembaga Adat
yang terdiri dari 120 Desa Adat, 523 Banjar dan 523
Sekaa Teruna. Di Kabupaten Badung juga terdapat
1 BPLA Kabupaten dan 6 BPLA Kecamatan serta 1
Widyasabha Kabupaten dan 6 Widyasabha Kecamatan.
Lembaga - lembaga adat ini memiliki peran yang sangat
strategis dalam pembangunan di wilayah Badung pada
khususnya dan Bali pada umumnya.
Sebagaimana lazimnya sebuah lembaga, anggota
masyarakat adat ini terikat dalam suatu aturan adat
yang disebut awig - awig. Keberadaan awig-awig
ini sangat mengikat warganya sehingga umumnya
masyarakat sangat patuh kepada adat. Oleh karena itu,
keberadaan Lembaga Adat ini merupakan sarana yang
sangat ampuh dalam menjaring partisipasi masyarakat.
Banyak program yang dicanangkan pemerintah
berhasil dilaksanakan dengan baik di daerah ini, berkat
keterlibatan dan peran serta lembaga adat yang ada.
Pengembangan wilayah Kabupaten Badung didasarkan
pada potensi dan kendala aspek fisik lingkungannya.
Berdasarkan karakteristik topografi dan kelerengannya,
wilayah kabupaten ini memiliki variasi yang sangat
beragam, yaitu ketinggiannya antara 0 – 3.000 m dpl
dengan kelerengan datar hingga jurang yang curam.
Penataan ruang pada wilayah seperti ini relatif sulit
dibandingkan dengan wilayah yang datar. Kondisi
ini telah mendorong Pemkab Badung untuk bersikap
berhati-hati dan bijaksana dalam merencanakan
pengembangan wilayahnya. Kabupaten Badung dibagi
81Hasil Penelitian dan Pembahasan
menjadi 3 Wilayah Pengembangan yaitu: Badung
Utara, Badung Tengah dan Badung Selatan. Masing-
masing wilayah memiliki perbedaan karakteristik fisik
lingkungan yang mencolok. Wilayah Badung Utara,
merupakan kawasan pegunungan yang subur dengan
hutan dan RTH yang luas, karena itu sesuai untuk
fungsi konservasi lingkungan. Wilayah Badung Tengah,
merupakan kawasan dengan ketinggian dan kesuburan
sedang, karena itu sesuai untuk fungsi transisi antara
fungsi lindung dan budidaya alamiah seperti pertanian.
Wilayah Badung Selatan, merupakan kawasan yang
datar, tidak subur dan pesisir. Karena itu sepenuhnya
sesuai untuk fungsi budidaya yang bersifat terbangun.
Selain kabupaten yang memiliki Pendapatan
Asli Daerah (PAD) tertinggi di Provinsi Bali, di tahun
2013 mencapai 2 triliun rupiah, Kabupaten Badung
juga merupakan kabupaten dengan pertumbuhan
ekonomi tertinggi di Provinsi Bali. Berdasarkan data
di tahun 2013, mampu mencatatkan pertumbuhan
ekonomi sebesar 6,41 persen. Dilihat dari perspektif
ilmu pariwisata, masih banyak dimensi kosong atau
belum terfasilitasi untuk mewujudkan pemerataan
pembangunan di Kabupaten Badung. Badung utara
secara empiris saat ini terlihat masih mempertahankan
sektor pertanian, tetapi jika secara jujur dicermati,
sebagaian generasi muda di Badung Utara pada usia
produktif justru bekerja di luar desa (Badung Selatan,
Denpasar dan Gianyar). Artinya para petani di Badung
Utara saat ini adalah mereka yang sudah berusia rata-
rata di atas 45 tahun atau bahkan sudah lanjut usia
82 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
Dapat dibayangkan keberlanjutan sektor pertanian
di Kabupaten Badung jika fenomena ini tidak segera
dipecahkan. Bukannnya tidak mungkin 10 sampai 25
tahun lagi Badung Utara akan berkembang menjadi
kawasan pariwisata karena sektor pertanian sudah
ditinggalkan sehingga memerlukan sektor real yang
diyakini mampu mensejahterahkan masyarakatnya.
alam rangka menyeimbangkan pembangunan
Badung Selatan, Badung Tengah, dan Badung Utara
maka Pemerintah Kabupaten Badung mengeluarkan
kebijakan yang strategis yang salah satunya adalah
dengan mengembangkan 11 (sebelas) desa-desa wisata
yang ada di wilayah Badung Tengah dan Badung Utara
berdasarkan Perbup (Peraturan Bupati) Badung Nomor
47 Tertanggal 15 September 2010 tentang Penetapan
Kawasan Desa Di Kabupaten Badung dan Surat Edaran
Kadisparda Provinsi Bali Nomor 556/317/I/DISPAR
tentang Pengembangan 100 Desa Wisata 2014-2018.
2) Pemberdayaan Desa Wisata
Upaya pengembangan desa-desa wisata Kabupaten
Badung adalah untuk pemerataan pembangunan
sektor pariwisata agar tidak hanya terfokus di Badung
Selatan (Kuta, Nusa Dua dan sekitarnya) yang sudah
menjadi trade mark pariwisata Bali. Selain itu, masih
kentalnya tradisi nilai budaya lokal dan alam yang
masih asri dipandang sebagai potensi yang layak untuk
pembangunan sektor pariwisata dengan meminimalkan
dampak-dampak negatif. Berdasarkan Surat Edaran
Kadisparda Provinsi Bali Nomor 556/317/I/DISPAR
83Hasil Penelitian dan Pembahasan
tentang Pengembangan 100 Desa Wisata 2014-2018,
dan Peraturan Bupati Badung Nomor 47 Tahun 2010
tentang Penetapan Kawasan Desa Wisata di Kabupaten
Badung maka Kabupaten Badung memiliki 11 (sebelas)
desa wisata terletak di Badung Tengah dan Badung Utara.
Ke-11 desa wisata di kabupaten Badung di atas
tidak ada yang berada di wilayah Badung Selatan.
Keseluruhannya berada di Badung Tengah dan Badung
Utara kecuali desa wisata Munggu yang berada di
perbatasan wilayah Badung Tengah dan Badung Selatan.
Hal tersebut sangat beralasan karena keberadaan
desa wisata merupakan suatu model pembangunan
pariwisata yang berbeda dengan pembangunan
pariwisata di Badung Selatan pada umumnya. Desa
wisata adalah model pembangunan kepariwisataan yang
mengoptimalkan ragam potensi desa, mengedepankan
partisipasi masyarakat lokal, dengan memperhatikan
aspek-aspek pelestarian dan keberlanjutan untuk
kesejahterahaan masyarakatnya. Desa wisata dengan
demikian merupakan suatu bentuk antitesa dari mass
tourism yang sudah sangat berkembang di Badung
Selatan. Sebagai bentuk dari alternative tourism desa
wisata sepatutnya memiliki ciri khas dan karakteristik
berbeda dengan aktifitas pariwisata seperti mass
tourism. Ciri khas yang paling mudah dilihat adalah
jumlah wisatawan yang berskala kecil dan memiliki
minat khusus tertarik dengan keunikan budaya,
keindahan alam dan suasana natural minim rekayasa
atau kehidupan masyarakat lokal yang disaksikan oleh
wisatawan secara apa adanya/tanpa dibuat-buat. Wilayah
84 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
Badung Utara dikenal mengedepankan pembangunan
sektor pertanian, berbeda dengan wilayah Badung
Selatan dapat dikatakan lebih dari 90% mengandalkan
sektor jasa pariwisata. Secara teoritis tidak terlihat
terjadi ketertinggalan di Badung Utara, tetapi jika
dicermati terkesan terjadi kesenjangan pembangunan
ketika dihubungkan dengan faktor-faktor ekonomi
dan kesejahterahaan. Secara singkat dapat disampaikan
pesatnya pembangunan pariwisata di Badung Selatan
tidak sama halnya dengan pembangunan pertanian/
perkebunan di Badung Utara. Artinya, pembangunan
sektor pertanian di Badung Utara masih lambat dan
diperlukan percepatan akselerasi. Kondisi ini disebabkan
oleh banyak faktor seperti masih menggunakan pola
tanam tradisional, belum memaksimalkan diversifikasi
pertanian, petani belum mampu mencukupi kebutuhan
pasar, minimnya minat generasi muda untuk terjun
di sektor pertanian dan belum tercapainya sinergi
antar sektor seperti sektor pariwisata bersama sektor
pertanian. Perkembangan pariwisata di Badung
Selatan seperti Nusa Dua, Kuta, Seminyak bahkan
sekarang sudah mengarah ke Canggu dan Munggu,
begitu pesat memberikan banyak perubahan dan
manfaat bagi masyarakat Kabupaten Badung pada
khususnya dan masyarakat Bali pada umumnya. Tidak
dapat dipungkiri pariwisata telah memberikan warna
dalam kehidupan masyarakat meskipun tidak secara
keseluruhan merasakan dampak langsung dari nilai
ekonomi kepariwisataan. Pembangunan infrastruktur
dengan mengedepankan pendekatan mass tourism
85Hasil Penelitian dan Pembahasan
diyakini sangat mendorong pertumbuhan ekonomi.
Meskipun dalam kenyataannya tidak dapat dipungkiri
terjadi ketimpangan pembangunan antara Badung Utara
dan Badung Selatan. Pemerintah Kabupaten Badung
pada satu dasa warsa terakhir mulai serius menyikapi
permasalahan di atas. Mulai era kepemimpinan Anak
Agung Gde Agung selama dua periode (2005-2010
dan 2010-2015) berupaya menciptakan pemerataan
pembangunan antara Badung Utara dan Badung Selatan.
Langkah nyata yang sudah dilakukan antara lain dengan
sangat berani membuka SMK 1 Badung (Sekolah
Menengah Kejuruan Pertanian) di Petang/Badung
Utara, memberikan bantuan-bantuan secara berlanjut
kepada subak-subak, termasuk pula upaya perpaduan
antara pertanian dan pariwisata dengan mengadakan
festival tahunan yaitu Festival Budaya Pertanian Badung
yang digelar di Jembatan Tukad Bangkung/Badung
Utara, dan upaya untuk mengaktifkan desa-desa wisata
yang berada di Kabupaten Badung. Keberadaan desa
wisata di Kabupaten Badung diharapkan mampu
melestarikan pertanian dengan perpaduan bersama
sektor pariwisata, memberikan manfaat bagi masyarakat
lokal, memberikan kesempatan kerja bagi warga
masyarakat lokal, memberikan varian baru dalam produk
dan atraksi wisata, dan akhirnya mampu memberikan
manfaat ekonomi bagi pembangunan di tingkat desa
dalam rangka mewujudkan kesejahterahaan masyarakat
secara berkelanjutan. Besar pula harapan pada akhirnya
desa wisata dapat memberikan sumbangan bagi
peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten
86 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
Badung dengan perpaduan sektor pariwisata dan sektor
pertanian.
Permasalahannya adalah dari 11 desa wisata
tersebut, belum semuanya menunjukkan aktifitas
kepariwisataan. Dapat dilihat belum optimalnya
pemanfaatan potensi yang dimiliki melalui minimnya
produk dan atraksi wisata kepada wisatawan. Fakta
tersebut tidak terlepas dari pengelolaan, kelembagaan
dan partisipasi masyarakat yang tidak kesemua desa
wisata memiliki pola-pola yang baik. Untungnya, desa-
desa wisata tersebut berada pada lokasi strategis, seperti
memang memiliki daya tarik wisata di desanya, berada
pada jalur-jalur yang harus dilalui ketika wisatawan
menuju daya tarik wisata tertentu dan terutama
memiliki keindahan alam pegunungan memukau
berbeda dengan Badung Selatan yang pada umumnya
pesisir.
c. Kabupaten Tabanan
1) Profil dan Program
Kabupaten Tabanan adalah salah satu kabupaten
dari beberapa kabupaten/kota yang ada di Provinsi
Bali dengan pendapatan asli daerah (PAD) rata-rata
sebesar 15,07% dari total APBD. Hal ini menunjukkan
tingkat ketergantungan sumber-sumber pendanaan
pembangunan kepada pemerintah pusat. Upaya yang
dilakukan Pemerintah Kabupaten Tabanan antara lain
menggalakkan kepariwisataan, dengan harapan mampu
mempercepat laju pembangunan dan meningkatkan
pendapatan asli daerah Kabupaten Tabanan. Kabupaten
87Hasil Penelitian dan Pembahasan
Tabanan, Bali memiliki potensi wisata yang luar biasa
namun belum dikelola secara optimal. Saat ini Tabanan
memiliki 22 objek wisata yang tersebar di sepuluh
kecamatan, yang belum dikelola secara maksimal.
2) Pemberdayaan Desa Wisata
Kebijakan pariwisata yang dikembangkan di
Tabanan menggunakan konsep Pariwisata Kerakyatan
yaitu dengan pengembangan kawasan pariwisata
melibatkan peran masyarakat dalam menjaga dan
mengelola potensi dan wilayah pariwisata tersebut. Hal
itu dikarenakan wilayah di Tabanan merupakan wilayah
yang dijaga keutuhannya secara adat sehingga tidak boleh
berkurang atau rusak terutama ekosistem lingkungannya.
Kedudukan masyarakat sebagai pengelola pariwisata
juga menjadi nilai tambah baik dari segi pendapatan
masyarakat maupun dari segi kemandirian masyarakat
dalam pelaksanaan pembangunan wisata di Tabanan.
Beberapa keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan
pariwisata adalah dengan mengoptimalkan sektor
pariwisata, seperti dengan pelaksanaan festival, promosi
pariwisata, pembangunan Tourism Information Center (TIC), penataan dan pengembangan infrastruktur
pariwisata, pelestarian seni dan budaya, penguatan
peran Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) dan Badan
Usaha Milik Daerah (BUMDA) dalam sektor pariwisata
serta program gerbang pariwisata.
Kebijakan pengelolaan pariwisata Kabupaten
Tabanan menggunakan konsep Nyegara Gunung,
yaitu memadukan potensi pantai dan gunung. Tabanan
88 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
mempunyai panjang pantai yang indahnya hingga 33
Kilometer, hal tersebut didukung dengan bentangan
pemandangan sawah yang menawan sepanjang dataran
rendah menuju puncak, dan pemandangan pegunungan
di dataran perbukitan. Nyegara Gunung mengacu pada
sapta pesona, ditunjang pula dengan tatanan kehidupan
masyarakat melalui penerapan prinsip filosofi Tri Hita
Karana Agama Hindu melengkapi kesempurnaan alam
Tabanan sebagai potensi pariwisata.
Keberadaan desa wisata di Tabanan merupakan
salah satu bentuk program Investasi Hati, dengan
pengertian bahwa Investasi Hati adalah sebuah konsep
pelayanan kepada masyarakat menitik beratkan pada
ketulusan melalui kebijakan-kebijakan pengelolaan
pariwisata yang pro rakyat. Investasi Hati Politik dalam
pengelolaan kepariwisataan dilaksanakan melalui
kebijakan dan program dengan hati/pro rakyat antara
lain Investasi ekonomi dan sosial melahirkan masyarakat
yang sejahtera dan mandiri. Adapun langkah terhadap
investasi hati agama dan budaya dapat menciptakan
kerukunan dan kedamaian dalam perbedaan.
Saat ini (2018) terdapat 13 desa wisata di
Kabupaten Tabanan. Target pengembangan akan
dicapai hingga 133 desa wisata. Semua desa wisata itu
diharapkan dapat dapat terintegrasi, dimana Kabupaten
Tabanan tinggal mempromosikan dan mengenalkan
desa secara nasional maupun internasional. Kebijakan
pemberdayaan desa wisata tersebut sebagai penopang
pendapatan asli daerah disamping pendapatan sektor
pariwisata yang saat ini sudah ada dari lokasi daya tarik
89Hasil Penelitian dan Pembahasan
wisata unggulan pariwisata Tabanan mulai dari Pura
Tanah Lot, Ulundanu, Jatiluwih, Kebun Raya Eka
Karya Bali, Alas Kedaton, Museum Subak, Areal Pura
Batukaru, Taman kupu-kupu Bali, TPB Margarana,
dan Air Panas Panatahan.
d. Kabupaten Gianyar
1) Profil dan Program
Kabupaten Gianyar merupakan salah satu dari 9
Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Bali, dengan luas
wilayah 36.800 hektar atau 6,53% dari luas wilayah
Provinsi Bali secara keseluruhan. Kabupaten Gianyar
memiliki 7 Kecamatan yaitu Kecamatan Sukawati,
Kecamatan Blahbatuh, Kecamatan Gianyar, Kecamatan
Tampaksiring, Kecamatan Ubud, Kecamatan
Tegallalang, dan Kecamatan Payangan. Kecamatan
terluas adalah Kecamatan Payangan dan paling kecil
adalah kecamatan Blahbatuh. Jumlah penduduk di
Kabupaten Gianyar tahun 2017 sebanyak 503.900
jiwa yang terdiri dari 254.400 jiwa (50,49%) laki-
laki dan 249.500 jiwa (49,51%) perempuan. Tingkat
pertumbuhan penduduk 0,99% dibandingkan dengan
jumlah penduduk tahun 2016 yang mencapai 499.600
jiwa. Tingkat kepadatan penduduk 1.358 jiwa per
km². Angka harapan hidup masyarakat rata-rata 72,84
per tahun. Diantara 7 Kecamatan maka Kecamatan
Sukawati memiliki penduduk paling banyak yaitu
122.430 (24,30%) dari total penduduk yang ada di
90 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
Kabupaten Gianyar dan yang paling sedikit adalah di
Kecamatan Payangan yaitu 42.860 jiwa (8,50%).191
Kabupaten Gianyar tidak memiliki Sumber Daya
Alam (SDA) yang potensial untuk dikembangkan guna
menopang pembangunan daerah yang berkelanjutan.
Dalam pembangunan bidang ekonomi Kabupaten
Gianyar bertumpu pada sektor unggulan yaitu sektor
pariwisata, sektor industri dan sektor pertanian
dalam arti luas. Sektor pariwisata dikembangkan
dengan memanfaatkan keunggulan budaya dan
pertanian sehingga mampu menjadi penyangga utama
perkembangan perekonomian Kabupaten Gianyar.
Kabupaten Gianyar memiliki 2 (dua) Kawasan
Pariwisata yaitu Kawasan Pariwisata Lebih dan Kawasan
Pariwisata Ubud, dimana Kawasan Pariwisata Ubud
meliputi 3 (tiga) Kecamatan yakni Kecamatan Ubud,
Kecamatan Payangan dan Kecamatan Tegallalang,
sedangkan Kawasan Pariwisata Lebih meliputi
Kecamatan Sukawati, Kecamatan Blahbatuh dan
Kecamatan Gianyar.192
Kabupaten Gianyar memiliki beberapa faktor
yang dapat menunjang pembangunan kepariwisataan.
Faktor-faktor tersebut antara lain: (1) kebudayaan dan
kehidupan masyarakat yang bersumber pada kebudayaan
dan dijiwai oleh agama Hindu yang merupakan daya
tarik kunjungan bagi wisatawan asing ke Kabupaten
Gianyar; (2) keindahan alam, peninggalan sejarah dan
191Pemerintah Kabupaten Gianyar, “Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Kabupaten
Gianyar 2017” (Gianyar: Pemerintah Kabupaten Gianyar, 2018), 5.192Ibid., 6.
91Hasil Penelitian dan Pembahasan
purbakala sebagai objek wisata yang cukup mempesona;
(3) tersedianya fasilitas transportasi dan telekomunikasi
yang memadai; (4) fasilitas lain seperti hotel, home stay, dan restoran yang cukup banyak berkembang di sudut
kota Gianyar.
Salah satu misi pemerintah Kabupaten Gianyar
adalah menumbuhkembangkan budaya masyarakat
yang berbasis nilai-nilai kearifan lokal yang dapat
menumbuhkan relegiusitas, disiplin, kerja keras,
berorientasi pada prestasi dengan meningkatkan
peran desa pakraman, banjar, subak, dan sekaha-
sekaha serta institusi-institusi yang telah ada dalam
menjaga adat, budaya dan agama.193 Proteksi secara
legal formal adalah melalui kebijakan yang tertuang
dalam Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 10
tahun 2013 tentang Kepariwisataan Budaya Kabupaten
Gianyar. Kebijakan ini mengarahkan pengembangan
dan pembangunan pariwisata di Kabupaten Gianyar
yang berpijak pada budaya masyarakatnya. Sebagai
contoh pembangunan hotel di kawasan Kabupaten
Gianyar wajib mengadopsi budaya asli dalam bentuk
arsitekturnya, orang-orang yang bekerja di dalamnya,
serta elemen-elemen budaya asli lainnya.
2) Pemberdayaan Desa Wisata
Komitmen terhadap pariwisata budaya
di Kabupaten Gianyar juga terwujud melalui
pengembangan desa wisata. Saat ini terdapat 9 desa
wisata yang dikembangkan Kabupaten Gianyar dengan
193Ibid., 16.
92 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
berbagai macam potensi wisata budaya yang menjadi
daya tarik di masing-masing desa wisata tersebut. Desa
menjadi jalur utama pariwisata budaya.
Alur utama yang turut mendukung potensi wisata
budaya dimulai dari Desa Batubulan, Desa Celuk,
Desa Singapadu, dan Desa Batuan yang terkonsentrasi
di Kecamatan Sukawati. Desa Mas, Desa Peliatan,
dan Desa Ubud terkonsentrasi di Kecamatan Ubud.
Desa Sebatu terkonsentrasi di kecamatan Tegallalang,
dan Desa Tampaksiring terkonsentrasi di Kecamatan
Tampaksiring. Jalur wisata yang telah disebutkan di
atas, masyarakatnya mempunyai aktivitas tersendiri
sesuai dengan keahlian dan keterampilan yang mereka
miliki. Tari Barong terkonsentrasi di Desa Batuan
dan Desa Singapadu. Seni kerajinan perak terletak
di Desa Celuk, seni ukir kayu terkonsentrasi di Desa
Batubulan, seni lukis terdapat di Desa Mas dan Desa
Ubud, sedangkan seni kerajinan kayu terdapat di
Desa Sebatu, Desa Tegallalang, Desa Tampaksiring,
dan Desa Peliatan. Sementara itu seni kerajinan yang
mengacu pada tradisi terfokus di daerah tertentu.
Hal itu disebabkan tidak semua perajin mampu
membuatnya, karena masih harus memperhatikan
hal-hal yang sifatnya sacral, sedangkan seni kerajinan
yang bentuknya mengacu pada benda sakral tetapi
sudah dibuat untuk kepentingan pariwisata, terdapat
di Desa Pakuduwi, Tegallalang, Singapadu, Guang,
dan Desa Puaya. Desa Pakuduwi merupakan tempat
berkumpulnya para seniman dan berkembangnya
seni kerajinan kayu yang mengambil objek garuda.
93Hasil Penelitian dan Pembahasan
Desa Singapadu dan Desa Puaya merupakan tempat
pembuatan Barong, baik untuk kebutuhan dalam seni
pertunjukan ritual dan wisata maupun sebagai benda
seni kerajinan.
C. Kepariwisataan di Kota Surakarta
Secara ringkas, berdasarkan wawancara dengan narasumber,
pengembangan kepariwisataan di Kota Surakarta memperoleh
tantangan sebagai berikut. Pada tanggal 22 September 2019,
Malaysia Airline terbang perdana dari Solo ke Kuala Lumpur.
Jawa Tengah dalam pandangan Malaysia adalah salah satu potensi
pariwisata di Indonesia. Investasi Malaysia di Jawa Tengah
mencapai US$ 320 juta. Kemudian 700 warga Malaysia belajar di
Jawa Tengah, dan wisatawan dari negeri jiran itu terbanyak di Jawa
Tengah yaitu 66.000 orang.
Sebuah group konsultan kehumasan yang berbasis di Kuala
Lumpur juga menyambangi Solo. Mereka ingin tahu apa saja
yang bisa disajikan di Solo untuk ditawarkan kepada orang-orang
Malaysia. Para konsultan itu menyempatkan jalan-jalan ke berbagai
sudut Kota Solo. Mereka ke Pasar Klewer, Kampung Batik Kauman,
Kampung Batik Laweyan, Keraton, Pura, dan tak lupa thengkleng.
Mereka terkesan kepada batik Solo karena bagus-bagus dan murah.
Tentang thengkleng dan aneka kulier Solo, mereka mengakui
kelezatannya.
Konsultan kehumasan itu mempunyai target ganda.
Membantu perusahaan-perusahaan Malaysia berjualan di Soloraya,
sekaligus mencari celah destinasi wisata di Soloraya yang bisa
disodorkan kepada agen-agen perjalanan di Malaysia. Setelah
terbang perdana langsung, pasar umrah pun mereka dapatkan.
Biro umrah banyak yang menggeser penerbangan menyesuaiakan
94 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
dengan penerbangan Malaysia Airlines. Sampai saat ini Malaysia
pintar menggarap 2 pasar yang relatif matang: umrah dan rumah
sakit.
Pengelola pariwisata di Soloraya masih bergerak sendiri-
sendiri. Soloraya mungkin perlu belajar dari Banyuwangi yang
belakangan banyak menggelar promosi gila-gilaan. Sebenarnya
Soloraya mempunyai potensi yang luar biasa. Wisata budaya,
pusat kuliner, pusat batik, dan paduan pemandangan alam. Hanya
memerlukan polesan akhir untuk menjadi destinasi wisata yang
menawan. Era digital membuat pengelola destinasi wisata bisa
membidik pasar internasional melalui fasilitas media sosial atau
jejering digital lain. Pendek kata, kita bisa menjemput pelancong
asing melalui media sosial dan jejaring mobil. Kampus semestinya
juga turun ke gelanggang membantu mengisi kekosongan
kreativitas pengelolaan destinasi ini.
Perubahan lingkungan dengan tingkat ketidakpastian
yang tinggi menjadikan pihak birokrasi pemerintah dan organisasi
publik untuk selalu dituntut berada pada kondisi yang unggul.
Kondisi yang unggul ini berarti bagaimana birokrasi pemerintah
dan organisasi publik mampu mengantisipasi perubahan-
perubahan yang berskala besar dengan bekerja secara inovatif
dan proaktif melalui tindakan dan upaya-upaya yang bersifat
strategis. Sistem informasi pariwisata Surakarta dikembangkan
untuk dapat memenuhi kebutuhan para pengguna yang akan
mengunjungi kota Surakarta. Pengguna adalah semua orang
yang terlibat sebagai pemakai sistem informasi pariwisata yang
dapat menggunakan sistem informasi pariwisata ini untuk
mencari dan memilih segala macam informasi pariwisata
di Surakarta, misalnya tentang objek wisata, hotel, restoran,
95Hasil Penelitian dan Pembahasan
biro wisata, toko oleh-oleh, money changer, dan station
(bandara, terminal, stasiun kereta api).
Melihat peran sektor pariwisata yang cukup besar bagi
Pemerintah Kota Surakarta dalam perekonomian maka sektor ini
merupakan salah satu sektor yang penting untuk dikembangkan.
Dalam pengembangan sektor pariwisata tentunya tak bisa terlepas
dari investasi. Dengan adanya kekayaan sosial budaya, diharapkan
dapat menarik minat para investor untuk menginvestasikan modal
mereka pada sektor pariwisata. Guna mengembangkan sektor
pariwisata maka perlu disusun skema pariwisata untuk dapat
melakukan pemetaan terhadap kondisi daerah tujuan wisata yang
dikenal dengan 5A, yaitu Accessibility, Accommodation, Attraction, Activities dan Amenities juga dapat dijadikan pertimbangan bagi
para investor sebelum melakukan investasi tersebut.
Pluralisme lokal di Kota Surakarta antara lain terwujud dalam
asimilasi kebudayaan antara Jawa dan Tionghoa. empat tinggal
orang Tionghoa di Surakarta tersebar di berbagai daerah antara
lain di Kampung Balong, Kelurahan Sudiroprajan, Coyudan,
Kelurahan Kemlayan, dan sekitar jalan utama Slamet Riyadi.
Diantara Coyudan dan Slamet Riyadi, Kampung Balong adalah
suatu perkampungan yang memang sengaja digunakan sebagai
tempat tinggal dan menetap orang Tionghoa. Daerah tempat
tinggal etnis Tionghoa Surakarta menjadi satu dengan penduduk
sekitar yang notabene adalah orang Jawa, baik di Kampung
Balong ataupun Coyudan, secara tidak langsung etnis Tionghoa
di Surakarta diwajibkan untuk menjalin relasi sosial dengan
masyarakat Jawa, etnis Tionghoa tidak akan memungkinkan
jika memilih untuk tetap mengeksklusifkan golongannya sendiri
di tengah masyarakat mayoritas yang didominasi oleh orang-orang
Jawa.
96 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
nteraksi antar etnis yang melibatkan masyarakat Tionghoa
dengan Jawa di Surakarta membawa pada suatu proses
pembauran. Pembauran terjadi dalam berbagai bidang
kehidupan, salah satunya adalah pembauran kebudayaan.
Pembauran kebudayaan yang terjadi antara masyarakat Tionghoa
dan Jawa melalui seni pertunjukkan Barongsai. Sehingga
banyak memunculka perkumpulan seni pertunjukkan Barongsai
di Surakarta.Dengan adanya wadah untuk mengembangkan
dan melatih bakat dalam bidang seni pertunjukkan Barongsai,
sekaligus juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana interaksi antara
etnis Tionghoa dengan warga pribumi. Dapat dilihat dengan
adanya partisipasi orang Jawa yang masuk dan bergabung dalam
kelompok dan ikut memainkan seni pertunjukkan Barongsai.
Mayoritas pemain Barongsai adalah orang-orang Jawa.
Sedangkan dalam perayaan hari besar tercipta dalam perayaan
imlek dan juga cap go meh. Para warga etnis Tionghoa di Indonesia
khususnya di Surakarta masih merayakan hari besar yang berkaitan
dengan peri kehidupan etnis Tionghoa, meskipun tata cara dan
pelaksanaan mengalami perubahan akibat dari pembauran
dengan masyarakat asli (mayoritas). Perayaan tahun baru Imlek
juga disebut sebagai pesta musim semi (Cung Jie/Ch’ung Chieh)
di Tiongkok, namun karena di Indonesia tidak ada musim semi
maka warga Tionghoa diIndonesia biasa menyebut dengan Hari
Raya Imlek. Hari Raya Imlek dirayakan pada tanggal 1 penanggalan
Imlek yang biasa jatuh tempo pada sekitar akhir Januari sampai
awal Februari pada penanggalan Masehi.
Perayaan Hari Raya imlek adalah bukti bahwa telah terjadinya
permbauran kebudayaan Tionghoa, tata cara yang dilakukan dalam
melaksanakan perayaan tersebut hampir sama dengan tata cara yang
dilakukan oleh masyarakat Jawa yaitu dengan melakukan kirab
97Hasil Penelitian dan Pembahasan
dan diakhiri dengan rebutan tumpeng. Kebudayaan Tionghoa
dapat dijadikan modal untuk menciptakan sebuah asimilasi
total dan penghargaan atas identitas Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang multikultural sesuai dengan semboyan Bhinneka
Tunggal Ika.
D. Model Pengembangan Kebijakan Kepariwisataan
Berbasis Pluralisme Lokal untuk Mewujudkan Negara
Kesejahteraan (Welfare State)
Model pengembangan kebijakan kepariwisataan bebasis
pluralism lokal untuk mewujudkan negara kesejahteraan (welfare state) melibatkan 3 (elemen) penting, yaitu pemberdayaan
pemerintahan daerah dan kebudayaan lokal, interaksi pemangku
kepentingan, dan pengembangan hukum kepariwisataan. Jika
divisualisasikan maka model itu akan nampak sebagai berikut:
98 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
1. Pemberdayaan Pemerintahan Daerah dan Kebudayaan
Lokal
Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah ialah
hubungan kerja atau berkaitan tugas atau pertalian antara perangkat
pemerintah pusat dan perangkat pemerintah daerah baik berupa
hubungan vertikal, horizontal maupun diagonal.194 Hubungan
vertikal biasanya merupakan hubungan atas-bawah secara timbal
balik, sedangkan hubungan horizontal yaitu hubungan antar
pejabat/unit/instansi yang setingkat dan arahnya menyamping.
Adapun hubungan diagonal adalah hubungan yang menyilang
dari atas ke bawah secara timbal balik antara dua unit yang berbeda
induk.
Setiap undang-undang desentralisasi memuat mengenai
ketentuan-ketentuan tentang hubungan antara pemerintah pusat
dan daerah, misalnya dalam hal penyerahan urusan, pertanggung-
jawaban, pengesahan peraturan-peraturan daerah, dan sebagainya.195
Untuk kejelasan tentang bagaimana melaksanakan hubungan
dikeluarkan peraturan-peraturan pemerintah, peraturan menteri,
instruksi presiden, instruksi-instruksi menteri maupun surat-
surat pernyataan bersama antar beberapa menteri. Golongan
secara garis besar maka hubungan antara pemerintah pusat dan
daerah ini akan mencakup hal-hal yang menyangkut hubungan,
kewenangan, pengawasan, keuangan, koordinasi dan pembinaan.196
Adanya hubungan ini disebabkan oleh adanya dua pihak, yaitu
194Robin Hambleton, Paul Hoggett, dan Frank Tolan, “The decentralisation of public
services: A research agenda,” Local Government Studies 15, no. 1 (1999): 39–56.195Colin Bryson dkk., “Decentralisation of collective bargaining: Local authority opt outs,”
Local Government Studies 19, no. 4 (1993): 558–83.196Jan B.D. Simonis, “Decentralisation in the Netherlands: An analysis of administrative
differentiation,” Local Government Studies 21, no. 1 (1995): 31–45.
99Hasil Penelitian dan Pembahasan
pihak pemerintah pusat dan pihak pemerintah daerah.197 Adanya
pemerintah daerah ini dimungkinkan sebagai akibat sistem
pemerintahan yang didesentralisasikan.198 Di samping itu, badan-
badang publik dalam desentralisasi teritorial adalah badan politik.
Artinya badan-badan publik yang terbentuk seperti pemerintah
provinsi, pemerintah kabupatenlkota dan desa adalah badan politik,
yaitu badan publik yang pengisiannya dilakukan secara politik
(melalui pemilu) dan mempunyai wewenang dalam pembuatan
kebijakan yang bersifat politik misal membuat peraturan daerah
(fungsi legislasi).199
Pembagian kekuasaan yang bersifat kewilayahan (territotial division of power) menurut Friederich mengandung arti pembagian
kekuasaan menurut tingkatan pemerintahan.200 Tingkatan
tersebut dibedakan antara kekuasaan pemerintahan atas dan
pemerintahbawah dalam hubungan antara pemerintah federal
dan negara bagian dalam negara federal (federal states), atau antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi dalam negara
kesatuan (unitary state).201
Elemen desentralisasi melahirkan pemerintahan lokal
(local government). Secara implisit sebenarnya ada perbedaan
197Kojo Oduro, “Fiscal decentralization and local finance in developing countries,” Local Government Studies 44, no. 6 (2018): 899–901.
198Yong Fan dkk., “Decentralised governance and empowerment of county governments
in China: betting on the weak or the strong?,” Local Government Studies 44, no. 5 (2018): 670–96.199Isharyanto, Maria Madalina, dan Handoyo Leksono, “Model Kebijakan Kepariwisataan
Berbasis Pluralisme Lokal Untuk Mewujudkan Negara Kesejahteraan (Welfare State)” (Kementerian
Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, 2018). 200John Alder dan Keith Syrett, Constitutional and Administrative Law (London: Macmillan
Publishers Limited, 2017), hal. 147.201Teresa Smith, “Literature Review Decentralization and Community,” The British Journal
of Social Work 19, no. 2 (1989): 137–48; Ernesto Carrillo, “Local Government and Strategies for
Decentralization in the ‘State of the Autonomies,’” Publius 27, no. 4 (1997): 39–63; Kai Ostwald,
“Federalism without Decentralization: Power Consolidation in Malaysia,” Journal of Southeast Asian Economies 34, no. 3 (2017): 488–506.
100 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
antara local government dalam negara dengan sistem federal dan
negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, menurut Hans Atlov,
sebagaimana dikutip oleh Hoessein, “the power held local and regional organs have been received from above, and can be withdrawn trough new legislation, without any need for consent from the communes or provinces concerned.”202 Dalam negara federal, kata Hoessein,
kewenangan pemerintah federal justru berasal dari negara bagian
yang dirumuskan di dalam konstitusi federal, sehingga kewenangan
daerah otonom juga berasal dari negara bagian dari pemerintah
federal dan dirumuskan dalam undang-undang negara bagian.203
Dalam sebuah artikel yang lain, Hoessein menegaskan bahwa,
local government merupakan sebuah konsep yang mengandung
tiga pengertian. Pertama, pemerintah lokal yang dipertukarkan
dengan local authority. Kedua, mengacu pemerintahan lokal yang
dilakukan oleh pemerintah lokal. Arti kedua ini lebih mengacu
pada fungsi. Dalam menentukan fungsi yang menjadi kewenangan
pemerintahan daerah terdapat dua prinsip yang lazim digunakan
yaitu ultra vires doctrine yang menunjukkan bahwa pemerintah
daerah dapat bertindak pada hal-hal tertentu atau memberikan
hal-hal tertentu saja. Kemudian yang kedua, general competence atau open arrangement, kebalikan dari pertama tadi, dalam hal ini
pemerintah daerah harus melakukan apa saja yang dipandang perlu
dalam memenuhi kebutuhan daerah sebagaimana ditentukan oleh
para pengambil keputusan di daerah itu. Ketiga, bermakna sebagai
daerah otonom yang pembentukannya secara simultan merupakan
kelahiran status otonomi berdasarkan aspirasi dan kondisi obyektif
202Bhenjamin Hoessein, “Pergeseran Paradigma Otonomi Daerah dalam rangka Reformasi
Administrasi Publik di Indonesia” (Makalah Seminar Reformasi Hubungan Pusat dan Daerah
Menuju Indonesia Baru, 27 Maret 1999).203Ibid.
101Hasil Penelitian dan Pembahasan
masyarakat di wilayah tertentu sebagai bagian sebuah wilayah
nasional.204
Beberapa hal yang pelru dipertimbangkan dalam distribusi
wewenang menurut Diana Conyers205 adalah pertama, menyangkut
aktivitas fungsional apa yang perlu diberikan desentralisasi.
Komponen ini menyangkut keseluruhan fungsi, kecuali fungsi
yang penting bagi kesatuan nasional, beberapa kategori fungsi
atau hanya fungsi tunggal saja. Kedua, kekuasaan apa saja yang
perlu dilekatkan dalam aktvitas desentralisasi seperti (i) kekuasaan
dalam pembuatan kebijakan (dibagi lagi dalam kekuasaan
mengatur dan mengurus); (ii) kekuasaan keuangan (berkaitan
dengan penerimaan dan pengeluaran); dan (iii) kekuasaan di
bidang kepegawaian (kekuasaan dalam menentukan prasyarat,
penetapan, penunjukkan, pemindahan, pengawasan, dan
penegakan disiplin). Ketiga, menyangkut desentralisasi pada
tingkat tertentu yang menyangkut tiga tingkatan yaitu tingkatan
wilayah, tingkatan distrik, dan tingkatan desa. Keempat, berkenaan
dengan kepada siapa distribusi fungsi diberikan. Ada dua pilihan
yaitu kepada badan fungsional khusus yang biasa menjalankan
satu fungsi saja (specialized functional agency) dan kepada badan
berbasis wilayah yang menjalankan beragam fungsi (multi-purpose territorially agency). Kelima, menyangkut cara fungsi atau wewenang
desentralisasi. Dalam hal ini terdapat dua cara yaitu legislasi dan
delegasi administrasi. Cara legislasi dapat dibagi lagi menjadi
constitutional legislation (seperti yang terjadi di negara federal) dan
ordinary legislation (seperti yang terjadi pada negara kesatuan).
204Bhenjamin Hoessein, “Otonomi Tak Sekali Jadi,” Majalah Tempo, 28 Oktober 2001.205Diana Conyers, “Decentralization and Development: A Framework For Analysis,”
Community Development Journal 21, no. 2 (1986): 100.
102 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
Pemahaman pembagian kewenangan pemerintahan tersebut
merupakan bagian tidak terpisahkan dari konsep pembagian
kekuasaan.206 Jika merujuk pada sidang-sidang BPUPK dapat
diketahui bahwa UUD 1945 telah mengadopsi pembagian
kekuasaan yang tidak menekankan pada pemisahan kekuasaan
dalam penyelenggaraan pemerintahan.207
Menurut Soewargono, sebagaimana dikutip Moh. Mahfud
MD, dimensi filosofis, formulasi dan implementasi dari
pemerintahan daerah Indonesia yang berlandaskan negara kesatuan
dengan asas desentralisasi harus berorientasi pada; Pertama, Realisasi
dan implementasi demokrasi; Kedua, Realisasi kemandirian secara
nasional dan mengembangkan sensivitas kemandirian daerah;
Ketiga, Membiasakan daerah untuk membiasakan diri dalarn
menangani permasalahan dan kepentingannya sendiri; Keempat, Menyiapkan political schooling untuk masyarakat; Kelima,
Menyediakan saluran bagi aspirasi dan partisipasi daerah; Keenam,
Membangun efisiensi dan efektifitas pemerintahan didaerahnya
masing-masing sesuai tugas dan wewenang.208
Ditilik dari sudut perundang-undangan di daerah-daerah
negara kesatuan dengan desentralisasi itu, terlihat adanya
pelimpahan wewenang perundang-undangan (dalam arti luas), yang
dapat dibagi menjadi dua macarn yaitu: a). Pelimpahan wewenang
perundang-undangan sehingga pemerintah daerah dapat membuat
peraturan daerah atas inisiatif dan menurut garis kebijakannya
sendiri (otonomi). b). Pelimpahan wewenang perundang-
undangan untuk membuat peraturan daerah menurut garis
206Robert C. Calvo, “Issues and Problems in Decentralization,” The Clearing House 46,
no. 9 (1972): 549–52; Henry J. Schmandt, “Municipal Decentralization: An Overview,” Public Administration Review 32 (1972): 571–88.
207Ismail Sunny, Pembagian Kekuasaan Negara (Jakarta: Aksara Baru, 1985), hal 44.208Moh. Mahfud M.D., Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1998).
103Hasil Penelitian dan Pembahasan
kebijakan dari pemerintah pusat (medebewind).209 Dibandingkan
dengan perundang-undangan dalam rangka dekonsentrasi, pada
dekonsentrasi pelimpahan wewenang perundang-undangan itu
dibekukan oleh pemerintah pusat kepada alat administrasi atau
organ pusat yang lebih rendah (yang berada di daerah), sedangkan
pada desentralisasi pelimpahan wewenang itu ditujukan kepada alat
administrasi daerah atau organ daerah secara langsung.210
Secara esensial, dalam penyelenggaraan desentralisasi terdapat
2 (dua) elemen penting yang saling berkaitan, yaitu pembentukan
daerah otonom dan penyerahan kekuasaan secara hukum dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan
menangani urusan pemerintahan tertentu yang diserahkan.211 Dalam
rangka mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, Pemerintah Daerah
diberikan hak untuk menetapkan peraturan daerah dan produk
hukum daerah lainnya.212
Sebagai Negara hukum, maka hukum harus dipahami dan
dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem. Sebagai sebuah sistem
hukum, hukum terdiri dari elemen-eleman (1) kelembagaan
(institutional), (2) kaedah aturan (instrumental), (3) perilaku
subyek hukum yang menyandang hak dan kewajiban yang
ditentukan oleh norma aturan itu (elemen subyektif dan kultural).213
Ketiga elemen sistem hukum tersebut mencakup (a) kegiatan
perbuatan hukum (law making), (b) kegiatan pelaksanaan hukum
209M. Solly Lubis, Asas-Asas Hukum Tata Negara (Bandung: Alumni, 1980).210Ibid.211Hari Sabarno, Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa (Jakarta: Sinar
Grafika, 2007).212Eka N.A.M. Sihombing, “Problematika Penyusunan Program Pembentukan Peraturan
Daerah,” Jurnal Legislasi Indonesia 13, no. 3 (2016): 285–96.213Wahiduddin Adams, Penguatan Integrasi Peraturan Daerah Dalam Kesatuan Sistem Hukum
Nasional (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2016).
104 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
atau penerapan hukum (law administration), (c) kegiatan peradilan
atas pelanggaran hukum (law adjudicating) atau yang biasa disebut
dengan penegakan hukum dalam arti sempit (law enforcement). Selain kegiatan-kegiatan tersebut di atas, terdapat kegiatan lain
yang sering dilupakan yaitu (d) pemasyarakatan dan pendidikan
hukum (law socialization and law education) secara luas dan juga
meliputi (e) pengelolaan informasi hukum (law information management).214 Kedua kegiatan tersebut merupakan kegiata
penunjang yang semakin penting kontribusinya dalam sistem
hukum nasional.215 Hukum berperan cukup besar dalam penataan
kehidupan masyarakat, sehingga dapat dikatakan bahwa hukum
dianggap sebagai instrumen pengatur yang sah dalam negara
hukum.216 Dengan peran hukum dalam masyarakat, hukum
mempunyai kekuatan untuk memaksa.217 Mengenai keberadaan
hukum di tengah masyarakat, Mochtar Kusumaatmadja,
menyatakan bahwa tujuan utama adanya hukum adalah jaminan
ketertiban, keadilan, dan kepastian.218 Dengan demikian, hukum
adalah sebuah sistem yang mempunyai ciri dan karakteristik yang
menjadi penggerak dan pengatur kehidupan masyarakat.219
Hukum memuat sistem politik dan juga sistem bernegara,
dan menjadi satu kesatuan alat pengatur sistem yang sah. Karena
214Esmi Warasih, Pemberdayaan Masyarakat dalam Mewujudkan Tujuan Hukum: Proses Penegakan Hukum dan Keadilan (Semarang: Universitas Diponegoro, 2001).
215Jimly Asshiddiqie, Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Pembangunan Hukum Nasional (Jakarta: Mahkamah Konstitusi, 2005).
216Anthon F. Sutatnto, Kritik Teks Hukum: Ulasan dan Komentar Singkat terhadap Wacana Hukum Langitan (Jakarta: Zaman, 2010).
217Carel E. Smith, Karakter Normatif Ilmu Hukum: Hukum sebagai Penilain, trans. oleh Arief
Sidharta (Bandung: Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahiyangan, 2010).218Mochtar kusumaatmadja, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional
(Bandung: Bina Cipta, 1986).219Anthon F. Sutatnto, Filsafat dan Teori Hukum: Dinamika Tafsir Pemikiran Hukum di
Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2019).
105Hasil Penelitian dan Pembahasan
sifat-sifatnya di atas, hukum dianggap sebagai alat pengatur, hukum
dapat melakukan perubahan sosial. Sehingga dapat dikatakan
bahwa hukum berperan sebagai alat rekayasa sosial (law as tool of social engeneering), yang menempatkan peraturan perundang-
undangan pada posisi yang penting dalam mengatur tata kehidupan
masyarakat.220 Menurut Mochtar Kusumaatmadja, pendayagunaan
hukum sebagai sarana untuk merekayasa masyarakat menurut
skenario kebijakan pemerintah (eksekutif ) amatlah diperlukan
oleh Negara-negara industri maju yang telah mapan.221 Negara-
negara maju memiliki mekanisme hukum yang telah “jalan” untuk
mengakomodasi perubahan-perubahan dalam masyarakatnya,
sedangkan Negara-negara sedang berkembang tidaklah demikian.222
Padahal harapan-harapan dan keinginan masyarakat-masyarakat
di Negara sedang berkembang akan terwujudnya perubahan-
perubahan yang membawa perbaikan taraf hidup amatlah
besarnya.223 Melebihi harapan-harapan yang diserukan oleh
masyarakat di negara-negara yang telah maju.224
Pembentukan peraturan daerah (perda) merupakan wujud
kewenangan yang diberikan kepada pemerintahan daerah dalam
rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan
serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran
220Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan (Bandung:
Alumni, 2004).221Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarkat dan Pembinaan Hukum Nasional (Bandung:
Binacipta, 1976).222Keishun Suzuki, “Legal enforcement against illegal imitation in developing countries,”
Journal of Economics 116, no. 3 (2015): 247–70.223Kevin E. Davis dan Michael J. Trebilcock, “Legal Reforms and Development,” Third
World Quarterly 22, no. 1 (2001): 21–36.224Donald T. Campbell, “Legal Reforms as Experiments,” Journal of Legal Education 23,
no. 1 (1970): 217–39.
106 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.225
Secara kontekstual pada prinsipnya, kebijakan otonomi daerah
dilakukan dengan mendesentralisasikan kewenangan-kewenangan
yang selama ini tersentralisasi di pemerintah pusat. Dalam proses
desentralisasi itu, kekuasaan pemerintah pusat dialihkan dari
tingkat pusat ke pemerintahan daerah sebagaimana mestinya,
sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah
kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi
semula arus kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah
ke tingkat pusat, maka diidealkan bahwa sejak diterapkannya
kebijakan otonomi daerah itu, arus dinamika kekuasaan akan
bergerak sebaliknya, yaitu dari pusat ke daerah.226
Peraturan Daerah menjadi salah satu alat dalam melakukan
transformasi sosial dan demokrasi sebagai perwujudan
masyarakat daerah yang mampu menjawab perubahan yang
cepat dan tantangan pada era otonomi dan globalisasi saat
ini serta terciptanya good local governance sebagai bagian dari
pembangunan yang berkesinambungan di daerah.227 Atas dasar itu
pembentukan peraturan daerah harus dilakukan secara taat asas.
Agar pembentukan perda lebih terarah dan terkoordinasi, secara
formal telah ditetapkan serangkaian proses yang harus dilalui
yang meliputi proses perencanaan, proses penyusunan, proses
pembahasan, proses penetapan dan pengundangan. Salah satu yang
225Pasal 13 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan menyebutkan bahwa: “Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas
pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi.”226Ria Casmi Arrsa, “Restorasi Politik Legislasi Pembentukan Peraturan Daerah Berbasis
Riset,” Jurnal Rechtvinding 2, no. 3 (2013): 397–415.227Siti Masitah, “Urgensi Prolegda dalam Pembentukan Peraturan Daerah,” Jurnal Legislasi
Indonesia 11, no. 4 (2014): 427.
107Hasil Penelitian dan Pembahasan
harus mendapatkan perhatian khusus oleh organ pembentuk perda
adalah proses perencanaan, pada proses ini sangat membutuhkan
kajian mendalam, apakah suatu pemecahan permasalahan di daerah
harus diatur dengan perda atau cukup dengan bentuk produk
hukum daerah lainnya. 228
Dalam proses perencanaan ini pula dapat diketahui bagaimana
landasan keberlakuan suatu perda baik secara filosofis, sosiologis
maupun yuridis yang biasanya dituangkan dalam suatu penjelasan
atau keterangan atau Naskah akademik229, yang untuk selanjutnya
dimuat dalam Program Legislasi Daerah/Program Pembentukan
Peraturan Daerah.230 Program Pembentukan Peraturan Daerah.
Walaupun tahapan maupun mekanisme penyusunan program
pembentukan peraturan daerah telah ditetapkan dalam berbagai
peraturan perundang-undangan231, namun dalam praktiknya,
timbul berbagai permasalahan.
228Taufik H. Simatupang, “Peran Perancang Peraturan Perundang-Undangan Kantor
Wilayah Kementerian Hukum dan Ham Dalam Rangka Harmonisasi Peraturan Daerah,” Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum 11, no. 1 (2017): 12–25.
229Lebih lanjut dapat dilihat dalam Pasal 56 dan Pasal 63 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.230Berdasarkan Ketentuan Pasal 403 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah: “Semua ketentuan mengenai program legislasi daerah dan badan legislasi daerah yang sudah
ada sebelum Undang-Undang ini berlaku harus dibaca dan dimaknai sebagai program pembentukan
Perda dan badan pembentukan Perda, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang
ini”. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tidak diketemukan definisi dari
Program Pembentukan Peraturan Daerah, dengan demikian definisi Program Pembentukan Perda
harus merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyebutkan bahwa: “Program Legislasi
Daerah yang selanjutnya disebut Prolegda adalah instrumen perencanaan program pembentukan
Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang disusun secara terencana,
terpadu, dan sistematis.”231Pengaturan mengenai Tata cara penyusunan Prolegda/Program Pembentukan Perda
dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan atas Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.
108 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
Ketentuan UUD 1945 sebagai hukum dasar peraturan
perundang-undangan232 mengatur tentang kewenangan daerah
untuk menetapkan perda dalam rangka penyelenggaraan otonomi
daerah, dalam Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa
pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan.233 Lebih lanjut Pasal 18 ayat (6)
menegaskan pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan
daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi
dan tugas pembantuan.234
Berlakunya prinsip otonomi dalam negara Indonesia yang
membagi kewenangan antara pusat dan daerah diharapkan segala
urusan baik yang bersifat wajib ataupun pilihan dapat dilaksanakan
sesuai dengan kewenangan masing-masing yang diberikan oleh
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah. Kewenangan daerah dalam pelaksanaan otonomi ini
telah diisyaratakan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah di dalam penjelasan umum
disebutkan bahwa daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai otonomi berwenang mengatur dan mengurus
232Dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan disebutkan bahwa : Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan “hukum dasar” adalah norma dasar bagi Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan yang merupakan sumber hukum bagi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di
bawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.233Setiap Pemerintahan daerah Provinsi, daerah kabupaten/kota itu mengatur dan megurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Dapat ditafsirkan
bahwa basis otonomi itu ditetapkan bukan hanya di tingkat kabupaten dan kota, tetapi juga di
tingkat provinsi. Dengan demikian struktur pemerintahan berdasarkan ketentuan ini terdiri atas
tiga tingkatan yang masing-masing mempunyai otonominya sendiri-sendiri, yaitu pemerintah pusat,
provinsi dan kabupaten/kota. Lihat Jimly Asshiddiqie, Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jakarta: Sinar Grafika, 2009).
234Ibid.
109Hasil Penelitian dan Pembahasan
Daerahnya sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakatnya
sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan hukum nasional dan
kepentingan umum.235
Kedudukan yang strategis dari perda dalam menjalankan
urusan pemerintahan dapat menjadi baik jika pembentukan
perda tersebut dilakukan dengan baik dan menjadi bumerang jika
dilakukan dengan tidak baik.236 Selain mempunyai kedudukan
strategis dan berbagai fungsi, peraturan daerah juga memunyai
materi muatan tersendiri, menurut Soehino materi yang dapat
diatur dalam Peraturan Daerah meliputi237:
Pertama, Materi-materi atau hal-hal yang memberi beban
kepada penduduk, misalnya pajak daerah dan retribusi daerah.
Kedua, Materi-materi atau hal-hal yang mengurangi kebebasan
penduduk, misalnya mengadakan larangan-larangan dan
kewajiban-kewajiban yang biasanya disertai dengan ancaman atau
sanksi pidana. Ketiga, Materi-materi atau hal-hal yang membatasi
hak-hak penduduk, misalnya penetapan garis sepadan. Keempat, Materi-materi atau hal-hal yang telah ditentukan dalam peraturan
perundangundangan yang sedrajat dan tingkatannya lebih tinggi,
harus diatur dengan peraturan daerah.
Pembentukan peraturan daerah merupakan manifestasi
kewenangan yang diserahkan kepada pemerintah daerah dalam
rangka pelaksanaan otonomi daerah untuk menjalankan hak
dan kewajibannya.238 Dalam pembentukannya telah ditetapkan
235Lihat penjelasan UU Nomor 23 Tahun 2014236Rudy Hendra Pakpahan, “Pengujian Perda Oleh Lembaga Eksekutif dan Yudikatif” (Tesis
Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2015).237Soehino, Hukum Tata Negara, Penyusunan dan Penetapan Peraturan Daerah (Yogyakarta:
Liberty, 1997).238Eka N.A.M. Sihombing, “Menggagas Peraturan Daerah Aspiratif,” dalam Paradigma
Kebijakan Hukum Reformasi, ed. oleh M. Solly Lubis (Jakarta: Sofmedia, 2010).
110 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
serangkaian asas meliputi kejelasan tujuan, kelembagaan atau organ
pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi muatan,
dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan
rumusan serta keterbukaan.239 Di samping itu juga, tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.240 Semua parameter tersebut tentunya bertujuan agar konsep
otonomi daerah berjalan pada jalur yang telah ditetapkan, semakin
mendekatkan pelayanan pemerintah daerah kepada masyarakat
dan yang terpenting tidak mengancam Negara Kesatuan Republik
Indonesia.241
2. Interaksi Pemangku Kepen ngan
Proses kebijakan kepariwisataan berbasis pluralism lokal,
dipandang sebagai proses tuntut-menutut dan dukung-mendukung
gagasan kebijakan yang harus difikirkan oleh pejabat pemerintah.
Dalam konteks ini, peran pengambil kebijakan keputusan
dibayangkan hanya sebatas merespon tuntutan dan dukungan yang
disampaikan oleh masyarakat. Dalam proses ini institusi-institusi
politik yang ada telah menyediakan arena untuk mengagregasikan
berbagai kepentingan yang ada dalam masyarakat.
Penentuan daftar skala prioritas, tawar-menawar antara
berbagai fihak yang terkait bisa dilakukan secara mandiri oleh
masyarakat dengan mengacu pada aturan main dan prosedur yang
ada. Adanya kapasitas kelembagaan inilah yang memungkinkan
berbagai benturan berbagai kepentingan masyarakat bisa diatasi.
Masyarakat sendiri menyadari betapa pentingnya menghormati
239Ibid.240Ibid.241Ibid.
111Hasil Penelitian dan Pembahasan
prosedur-prosedur yang telah ada untuk memungkinkan proses
kebijakan publik bisa berlangsung dan mengenai sasaran.
Dalam situasi yang demikian ini maka mereka yang tidak
sepakat dengan isi kebijakan akan bersedia mematuhi keputusan
kebijakan. Ini berarti berjalannya kebijakan tidak lagi harus
mengandalkan legalitas keputusan pemerintah, melainkan justru
legitimasi proses pengambilan kebijakan. Kalau dalam model
yang disebutkan dalam pembahasan sebelumnya disebutkan
bahwa pengambilan kebijakan bersifat pro-aktif yang didominasi
pejabat negara ujung-ujungnya mengandalkan legalitas perundang-
undangan, dalam model ini diasumsikan bahwa peran pro-aktif
masyarakat dan tegaknya lembaga-lembaga kemasyarakatan
(termasuk hukum) menjadikan pengambil kebijakan tidak haus
legalitas. Dalam nuansa ini, kebijakan disadari betul tidak identik
dengan produk legislasi. Kebijakan tidak harus dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan.
Menurut penulis, kebijakan kepawisataan pada dasarnya
bukan proses birokratik ataupun proses politik belaka, namun
juga proses belajar. Poin ini penting untuk kedepankan karena
metatapun tenaga ahli telah bekerja sekuat tenaga untuk kesuksesan
kebijakan, nuansa trial and error dalam proses kebijakan tidak
akan hilang. Kebijakan publik adalah proses eksperimentasi nasib
sejumlah orang, kalau bukan nasib komunitas secara keseluruhan.
Oleh karena itu, redisain kebijakan merupakan elemen penting.
Sejalan dengan kerangka berfikir tersebut di atas, public hearing
merupakan proses kunci bagi kelangsungan proses kebijakan.
Dalam setiap masyarakat akan dijumpai suatu perbedaan
antara pola-pola perilaku berlaku dalam masyarakat dengan
112 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
pola-pola perilaku yang dikehendaki oleh kaidah-kaidah hukum.242
Kaidah-kaidah hukum diciptakan oleh masyarakat dengan
tujuan untuk menciptakan situasi tertentu yang dikehendaki
oleh masyarakat yang bersangkutan.243 Sementara itu kehidupan
masyarakat sendiri selalu mengalami perubahan, dan mengingat
hukum juga dibuat manusia berdasar kebutuhan-kebutuhannya,
maka biasanya hukum baru terpikir setelah kebutuhan itu ada, jadi
akibatnya hukum selalu ketinggalan.244 Namun demikian, apabila
ilmu hukum berusaha pula berinteraksi dengan ilmu lain yang
selalu melihat keajegan-keajegan maka sangat mungkin berbagai
prediksi dan spekulasi dapat dilakukan, sehingga hukum dapat
menyongsong perubahan, bukan sekedar mengikuti perubahan.
Hukum juga merupakan fenomena sosial yang terejawantahkan
dalam perilaku manusia atau lebih tepatnya perilaku sosial. 245
Pembicaraan tentang hal tersebut sebenamya menunjukkan
bahwa ketika nilai yang ada dalam masyarakat terangkat secara
konkrit menjadi hukum, maka ia tidak netral lagi. Siapa yang
membuat, mewakili kepentingan manakah ia, merupakan
persoalan dalam proses pembentukan hukum yang akhirnya
mencerminkan bahwa hukum itu sendiri sebenamya tidak steril
dari kepentingan-kepentingan yang melingkarinya.246 Dalam
hal ini hukum merupakan sebuah diskursus yang tiada akhir
menuju kesempurnaan hidup manusia sebagai addresat dari
242Grace Juanita, “Pengaruh Kaidah Bukan Hukum Dalam Pembentukan Kaidah Hukum,”
Pro Justisia 25, no. 2 (2007). 243Suadamara Ananda, “Tentang Kaidah Hukum,” Pro Justisia 26, no. 1 (2008).244Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar (Yogyak: Liberty, 2004).245Salman Lutham, “Penegakan Hukum dalam Konteks Sosiologi,” Jurnal Hukum Ius Quia
Iustum 7, no. 4 (1997).246Urbanus Ura Weruin, “Logika, Penalaran, dan Argumentasi Hukum,” Jurnal Konstitusi
14, no. 2 (2017).
113Hasil Penelitian dan Pembahasan
hukum.247 Melihat hukum dengan pandangan yang demikian
berarti pembicaraan tentang hukum tidak akan terhenti ketika apa
yang dinamakan nilai atau konsep dalam masyarakat atau bangsa
atau negara tentang sisi kehidupan manusia telah terwujud secara
konkrit dalam suatu undang-undang atau peraturan, akan tetapi
pembicaraan itu akan terus berlangsung pasca undang-undang itu
terbentuk dan diundangkan. 248
Secara normatif pembicaraan tentang hukum akan selesai
setelah diundangkannya suatu peraturan, padahal persoalannya
tidak sampai di situ saja.249 Siapa yang diuntungkan dan peraturan
itu, bagaimana pelaksanaannya, apa tanggapan masyarakat
mengenai peraturan itu, apakah mempengaruhi individu dalam
kehidupan masyarakat dan sebagainya.250 Ini merupakan pertanyaan
yang tak bisa dijawab hanya dengan menggunakan pendekatan
normatif belaka.251 Memang harus diakui bahwa pengambilan
keputusan hukum (decision-making) bukan sekedar persoalan
penalaran induksi, deduksi, atau analogi. Tetapi tuntutan agar
setiap putusan dapat dinalar secara akal sehat dan logis,
selalu merupakan sebuah keharusan yang tak dapat ditawar.252
Bahkan keharusan tersebut, bukan sesuatu yang dituntut “setelah”
menghadirkan fakta-fakta dalam proses hukum melainkan inheren
247Satjipto Rahardjo, “Hukum Itu Tidak Steril,” Suara Pembaruan, 31 Agustus 1989.248Aaluddin Awaluddin, “Konsepsi Negara Demokrasi yang Berdasarkan Hukum,”
Academica 2, no. 1 (2010).249Zaenal Arifin Muchtar, Judicial review di Mahkamah Agung RI: tiga dekade pengujian
peraturan perundang-undangan (Jakarta: Rajawali Press, 2009).250I Dewa Gede Atmaja dan I Nyoman Putu Budiartha, Teori-Teori Hukum (Malang: Setara
Press, 2018).251David N. Schiff, “Hukum Sebagai Fenomena Sosial,” dalam Pendekatan Sosiologis Terhadap
Hukum, ed. oleh Adam Podgorecki dan Christopher J. Whelan (Jakarta: Bina Aksaea, 1997).252Tommy Hendra Purwaka, “Penafsiran, Penalaran, dan Argumentasi Hukum yang
Rasional,” Masalah-Masalah Hukum 40, no. 2 (2011).
114 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
dalam proses hukum itu sendiri.253 ”That a body of rules exists, even in the form of a written constitution, does not abolish judicial discretion, since thejudge might not apply them, nor does it prevent the decisive influence of nonlegal considerations, such as the community’s collective conscience.”254
Persoalan ini akan semakin rumit mengingat nilai-nilai yang
ada dalam masyarakat terus berubah seiring dengan perkembangan
zaman.255 Hukum yang ada sebagai perwujudan dan nilai-nilai yang
ada pada masa lalu akan out of date yang menyebabkan tak akan
mampu menghadapi perubahan sosial itu.256 Persoalan yang timbul
tidak.alasan berhenti hanya dengan mengganti undang-undang
yang ada untuk mengakomodasi pergeseran nilai dan perubahan
sosial hukum (baik institusi, pranata maupun penegak hukumnya)
hanya akan menjadi tukang jahit, tambal sulam.257 Perubahan sosial
yang terjadi di masyarakat tidak dapat diakomodasi dengan undang-
undang saja, akan tetapi hukum (ahli hukum) secara teoritis hams
dapat menjelaskan fenomena yang terjadi. Penjelasan secara teoritis
inilah yang terkadang sulit dilakukan karena masih melekatnya
alam pikiran dogmatis dan positivistis yang mengembalikan segala
sesuatunya hanya pada peraturan atau undang-undang.258
Hukum ada karena ia diciptakan, ia tidak jatuh dari langit
begitu saja (taken for granted). Dengan kata lain, hukum ada sebagai
253Mohamad Fajrul Falaakh, Akar-Akar Mafia Peradilan di Indonesia (Jakarta: Komisi
Hukum Nasional, 2009).254Thomas Halper, “Logic in Judicial Reasoning,” Indiana Law Journal 44, no. 1 (1998).255M. Syamsudin, “Hukum pada Masyarakat Tradisional dan Kemungkinan
Pengembangannya Bagi Hukum Indonesia Modern,” Jurnal Hukum 4, no. 7 (1997).256Frans Simangunsong, “Hukum Adat Dalam Perkembangan: Paradigma Sentralisme
Hukum Dan Paradigma Pluralisme Hukum,” Ratu Adil 3, no. 2 (2014).257Agus Raharjo, “Fenomena Chaos Dalam Kehidupan Hukum Indonesia,” Jurnal
Madamabi 9, no. 2 (2007).258Arifin, “Implementasi Pendidikan Hukum dalam Konteks Budaya Sekolah di Era Global,”
Syiar Hukum 11, no. 3 (2009).
115Hasil Penelitian dan Pembahasan
karya manusia yang mengkonstruksi nilainilai yang ada dalam
masyarakat.259 Sebagai sebuah proses konstruksi, keberadannya
tidak lepas dari berbagai peristiwa atau kenyataan sosial yang tidak
berdiri sendiri-sendiri, akan tetapi saling berhubungan satu sama
lain.260 Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa hukum adalah
karya manusia yang berupa norma-norma berisikan petunjuk-
petunjuk tingkah laku. Ia merupakan pencerminan dari kehendak
manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat itu dibinda dan
kemana harus diarahkan. Oleh karena itu pertamatama hukum itu
mengandung rekaman dari ide-ide yang dipilih oleh masyarakat
tempat hukum itu diciptakan. Ide-ide ini adalah ide mengenai
keadilan.261
Cita atau ide tentang keadilan ini jangan dikacaukan dengan
cita atau ide keadilan oleh kaum skolastik (dengan tokohnya
Thomas Aquinas, St. Bonaventura, St. Augustinus yang tergabung
dalam mazhab hukum alam) yang mengidealkan keadilan sebagai
keadilan tuhan saja. Keadilan di sini adalah keadilan dalam koridor
hukum ciptaan manusia.262 Seiring dengan perkembangan hukum
modern untuk mengakomodasi kepentingan kaum kapitalis
yang merebak sejak munculnya negara modern (dengan gerakan
modernisme sebagai motor penggeraknya), masyarakat juga
menginginkan peraturan-peraturan yang dapat menjamin kepastian
dan kegunaan dalam hubungan mereka satu sama lain. Dengan
demikian maka nilai dasar dari hukurn adalah sebagaimana telah
diintrodusir oleh Gustav Radbruch, yaitu keadilan, kegunaan
259Rosmidah, “Pengakuan Hukum Terhadap Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan
Hambatan Implementasinya,” Inovatif 2, no. 4 (2010).260Habib Adjie, “Filsafat Ilmu-Ilmu Hukum,” Pro Justisia 24, no. 4 (2006).261Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006).262Mexsasai Indra, “Konsepsi Kedaulatan Rakyat Dalam Cita Hukum Pancasila,” Jurnal
Selat 1, no. 2 (2014).
116 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
dan kepastian.263 Meskipun ketiganya merupakan nilai dasar
dari hukum, akan tetapi seringkali di antara ketiganya itu terjadi
ketegangan. Persoalan mana yang perlu didahulukan, atau
dimenangkan dalam ketegangan itu, merupakan persoalan yang
cukup rumit, akan tetapi untuk hukum pidana, nilai keadilanlah
yang didahulukan.264
Pencarian untuk menemukan ketiga cita hukum tersebut
sampai sekarang terus dilakukan baik yang terwujud dalam ruang-
ruang peradilan (dalam lingkup criminal justice system) maupun
di ruang lain yang memberikan kemungkinan muncul dan
didapatkan cita hukum hukum itu. Banyak persoalan berkaitan
dengan masalah hukum dapat dijawab dengan memuaskan apabila
kita mempelajari hukum sebagai suatu fenomena sosial yang
berwujud perilaku manusia sebagaimana dikatakan oleh Timasheff,
“umumnya, norma-norma hukum secara nyata akan menentukan
perilaku manusia di dalam masyarakat.”265
Studi tentang hukum sebagai fenomena sosial tidak hanya
studi tentang bagaimana perilaku individu-individu dalam
merasakan, mengetahui dan memahami hukum, akan tetapi
dipelajari pula bagaimana pandangan dan persepsi masyarakat dan
individu terhadap hukum.266 Selain itu juga dipelajari apa tujuan
aturan-aturan hukum digunakan dan dimanipulasi oleh individu-
individu, atau dengan kata lain mengapa aturan-aturan hukum
itu menjadi bagian dari kehidupan sosial masyarakat yang pada
263Bambang Hermoyo, “Peranan Filsafat Hukum Dalam Mewujudkan Keadilan,” Wacana Hukum 9, no. 2 (2010).
264Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2002).265David N. Schiff, “Hukum Sebagai Fenomena Sosial,” 256.266R. Arry Mth. Soekowathy, “Fungsi dan Relevansi Filsafat Hukum bagi Rasa Keadilan
dalam Hukum Positif,” Jurnal Filsafat 13, no. 3 (2003).
117Hasil Penelitian dan Pembahasan
tingkatan sederhana hukum itu menjadi aturan sosial.267 Studi
hukum dengan menggunakan pendekatan normatif-dogmatis tak
dapat menjangkau gambaran tersebut di atas karena pendekatan
normatif-dogmatis pada hakekatnya menganggap apa yang
tercantum dalam peraturan hukum sebagai deskripsi dari keadaan
yang sebenarnya.268
Dari hal tersebut terlihat bahwa bekerjanya hukum itu
merupakan suatu proses sosial dan lebih khusus lagi adalah proses
interaksi antara orang-orang yang mengajukan permintaan dan
penawaran. Lebih spesifik lagi orang-orang tersebut adalah para
aktor dalam ruang pengadilan serta masyarakat yang bertindak
selaku pengawas, pengontrol dan juga korban. Proses sosial
merupakan pengaruh timbal balik antara berbagai aspek dalam
kehidupan manusia. Dalam proses sosial tersebut, interaksi sosial
merupakan bentuk utamanya. Dalam interaksi sosial mengandung
makna tentang kontak secara timbal balik atau interstimulasi dan
respon individu-individu dan kelompok-kelompok. Kontak pada
dasarnya merupakan aksi dari individu-individu atau kelompok
dan mempunyai makna bagi pelakunya, yang kemudian ditangkap
oleh individu atau kelompok lain. Charles P. Loomis sebagaimana
dikutip oleh Soleman B. Taneko mencantumkan beberapa ciri
penting dari interaksi sosial, yaitu (i) Jumlah pelaku lebih dari
seseorang, bisa dua atau lebih; (ii) Adanya komunikasi antara para
pelaku dengan menggunakan simbol-simbol; (iii) Adanya suatu
dimensi waktu yang meliputi masa lampau, kini dan akan datang,
yang menentukan sifat dari aksi yang sedang berlangsung; dan (iv)
267David N. Schiff, “Hukum Sebagai Fenomena Sosial,” 269.268Hermansyah, “Refleksi Eksistensialisme Dalam Ilmu Hukum (Suatu Upaya Humanisasi
Terhadap Teori Ilmu Hukum),” Jurnal Varia Bina Civika, no. 75 (2009).
118 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
Adanya tujuan-tujuan tertentu, terlepas dari sama atau tidak sama
dengan yang diperkirakan oleh para pengamat.269
Interaksi sosial tidak saja mempunyai korelasi dengan
norma-norma, akan tetapi juga dengan status, dalam arti bahwa
status memberi bentuk atau pola interaksi. Status dikonsepsikan
sebagai posisi seseorang atau sekelompok orang dalam suatu
kelompok sehubungan dengan orang lain dan kelompok itu.
Status merekomendasikan perbedaan martabat, yang merupakan
pengakuan interpersonal yang selalu meliputi paling sedikit satu
individu, yaitu siapa yang menuntut dan individu lainnya, yaitu
siapa yang menghormati tuntutan itu.270
Keteraturan dan kekacauan kini dipandang sebagai dua
kekuatan yang saling berhubungan, yang satu mengandung yang
lain, yang satu mengisi yang lain. Melenyapkan kekacauan berarti
melenyapkan daya perubahan dan kreativitas. Chaos menurut
Serres muncul secara spontan di dalam keberaturan, sementara
keberaturan itu sendiri muncul di tengah-tengah kekacauan.
Kita harus menyingkirkan ketakutan terhadap kekacauan yang
menyebabkan kita terperangkap di dalam kerangka pikiran yang
serba beraturan.271
Charles Stamford merupakan salah satu pemikir tentang
pengembangan teori chaos dalam hukum. Ia mengemukakan
teori sekaligus kritik terhadap teori-teori hukum yang dibangun
berdasarkan konsep sistem (sistemik) atau keteraturan. Menurutnya,
tidak selalu teori hukum itu didasarkan kepada teori sistem
(mengenai) hukum, karena pada dasarnya hubungan-hubungan
269Soleman B. Taneko, Struktur dan Proses Sosial, Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993).270Soleman B. Taneko, 131.271Agus Raharjo, “Fenomena Chaos Dalam Kehidupan Hukum Indonesia,” 154.
119Hasil Penelitian dan Pembahasan
yang terjadi dalam masyarakat menunjukkan adanya hubungan
yang tidak simetris (asymmetries). Inilah ciri khas dari sekalian
hubungan sosial, hubungan-hubungan sosial itu dipersepsikan
secara berbeda oleh para pihak. Dengan demikian apa yang
dipermukaan tampak sebagai tertib, teratur, jelas, pasti, sebenarnya
penuh dengan ketidakpastian.272 Keteraturan dan kekacauan kini
dipandang sebagai 2 (dua) kekuatan yang saling berhubungan,
yang satu mengandung yang lain, yang satu mengisi yang lain.
Melenyapkan kekacauan berarti melenyapkan daya perubahan dan
kreativitas. Chaos menurut Serres muncul secara spontan di dalam
keberaturan, sementara keberaturan itu sendiri muncul di tengah-
tengah kekacauan. Kita harus menyingkirkan ketakutan terhadap
kekacauan yang menyebabkan kita terperangkap di dalam kerangka
pikiran yang serba beraturan.273
Selama ini pendekatan budaya kita adalah pendekatan budaya
keamanan, stabilitas, keberaturan (order), keseragaman (uniformity), persatuan dan kesatuan (unity). Kita ingin memaksakan
keseragaman menjadi sebuah kesatuan, dinamisitas menjadi
sebuah stabilitas, heterogentias menjadi sebuah homogentias,
keanekaragaman menjadi sebuah keseragaman. Sikap yang
melihat perubahan (change), ketidakpastian (indeterminacy), dan
ketidakberaturan (disorder) sebagai sesuatu yang menakutkan
sudah masanya untuk ditinggalkan.274 Cara-cara pengendalian
dengan pendekatan keseragaman, keberaturan, kesatuan total tidak
dapat dipertahankan lagi. Cara pengendalian organisasi seperti ini
272Charles Stamford, The Disorder of Law, A Critique of Legal Theory (Oxford: Basil Blackwell,
1989).273Amir Syarifudin dan Indah Febriani, “Sistem Hukum dan Teori Hukum Chaos,”
Hasanudin Law Review 1, no. 2 (2015).274Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu kajian filosofis dan Sosiologis (Jakarta: Chandra
Pratama, 1996).
120 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
telah menyimpang, dan semakin lama kita berpegang pada cara
tersebut, makin jauh kita bergeser dari peluang perkembangan yang
menakjubkan. Sebaiknya organisasi apapun dapat dikendalikan di
tengah perubahan dan ketidakpastian, bila kita mau belajar dari
prinsip chaos.275
Stamford sendiri bertolak dari basis sosial dari hukum yang
penuh dengan hubungan yang bersifat asimetris. Inilah ciri-ciri
khas dari sekalian hubungan sosial; hubungan-hubungan sosial itu
dipersepsikan secara berbeda oleh para pihak. Dengan demikian
apa yang dipermukaan tampak sebagai tertib, teratur, jelas, pasti,
sebenarnya penuh dengan ketidakpastian. Ketidakteraturan dan
ketidakpastian disebabkan hubungan-hubungan dalam masyarakat
bertumpu pada hubungan antar kekuatan (power relation).276
Hubungan kekuatan ini tidak tercermin dalam hubungan formal
dalam masyarakat. Maka terdapat kesenjangan antara hubungan
formal dan hubungan nyata yang didasarkan pada kekuatan. Inilah
yang menyebabkan ketidakteraturan itu.277
Relasi chaos dalam sistem hukum di atas dapat digambarkan
sebagai berikut:
275Wens Alexander Bojangan, “Perspektif Dalam Membangun Sistem Hukum Yang Progresif
Sebagai Salah Satu Ilmu Pengetahuan Hukum,” Jurnal Hukum Unsrat 23, no. 8 (2017).276Dwi Ratna Indri Hapsari, “Hukum dalam Mendorong Dinamika Pembangunan
Perekonomian Nasional Ditinjau dari Prinsip Ekonomi Kerakyatan,” Legality 26, no. 2 (2018).277Satjipto Rahardjo, “Rekonstruksi Pemikiran Hukum Di Era Reformasi” (Makalah pada
Seminar Nasional Menggugat Pemikiran Hukum Positivistik di Era Reformasi, 22 Juli 2000).
121Hasil Penelitian dan Pembahasan
Ketegangan antara keteraturan dan kekacauan di atas
dipicu oleh perubahan sosial. Manusia sebagai makhluk pemikir,
dikaruniai kecerdasan senantiasa bersifat dinamis dan berusaha
mencari cara yang lebih modern, lebih cepat dan mudah dalam
memenuhi kebutuhan kehidupannya. Perkembangan kecerdasan
dan daya pikir manusia memacu hingga ke batas kemajuan zaman,
teknologi-teknologi canggih menjadi jawaban atas hasrat manusia
yang selalu penasaran.278 Teknologi ini tentu saja mengakibatkan
perubahan pada kehidupan manusia, baik itu perubahan pola
hidup, perubahan perilaku, perubahan cara pandang serta
pemahaman berfikir.279 Manusia dalam kehidupan sosialnya pun
terus beradaptasi menyesuaikan dengan modernisasi. Dalam bidang
ekonomi pun kegiatan ekonomi dapat menjangkau berbagai
278Muhamad Ngafifi, “Kemajuan Teknologi dan Pola Hidup Manusia dalam Perspektif
Sosial Budaya,” Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi 2, no. 1 (2014).279Nanang Martono, Sosiologi perubahan sosial: perspektif klasik, modern, postmodern, dan
postkolonial (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012).
122 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
belahan dunia. Dikenalnya teknologi dalam dunia perbankan
mengakibatkan dana dapat dipindah dengan mudah.280
Masyarakat merupakan komponen penting yang menikmati
dan menerima dampak pembangunan itu sendiri.281 Dalam
perencanaan pembangunan hendaknya memperhatikan dan
mengakomodasi masukan-masukan dari masyarakat.282 Pemahaman
mengenai perubahan adalah prasyarat untuk memahami struktur.
Orang yang memandang masyarakat sebagai sistem yang berada
dalam keseimbangan dan yang mencoba menganalisis aspek
struktural dari sistem atau masyarakat itu akan mengakui bahwa
keseimbangan (equilibrium) hanya dapat dipertahankan melalui
perubahan tertentu di dalam sistem tersebut.283 Perubahan ini
terjadi sebagai tanggapan atas kekuatan eksternal yang menimpa
sistem itu. Karena itu, baik perubahan internal maupun eksternal,
diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan.284
Pada tatanan hukum, norma-norma yang ada diciptakan
secara sengaja untuk menegakkan suatu jenis ketertiban tertentu
dalam masyarakat dan hukum menjadi cermin dari kehendak
manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat itu dibina dan
ke mana harus diarahkan.285 Hukum dalam konteks sebagai alat
pengatur berfungsi sebagai pembagi dan pendistribusian serta alat
280Thomas Satriya, “Dunia Manusia-Teknologi Dalam Revolusi Industri Keempat,” Jurnal Filsafat 2, no. 4 (2018).
281Susetiawan, D.C. Mulyono, dan Muh. Yunan Roniardian, “Penguatan Peran Warga
Masyarakat dalam Perencanaan, Penganggaran, dan Evaluasi Hasil Pembangunan Desa,” Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat 4, no. 1 (2018).
282Suriyati Hasan, “Sistem Perencanaan Pembangunan dalam Penataan Hukum Nasional,”
Meraja Journal 1, no. 3 (2018).283Rima Puspitasari, “Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Sosial,” Lembaran
Masyarakat 2, no. 1 (2016).284Ellya Rosana, “Modernisasi dalam Perspektif Perubahan Sosial,” Al-Adyan 10, no. 1
(2015).285Ellya Rosana.
123Hasil Penelitian dan Pembahasan
kontrol bagi usaha penguasaan dan pemanfaatan sumber daya-
sumber daya yang ada dalam masyarakat.286
Pada awalnya hukum dikonstruksikan sebagai alat kontrol
bagi masyarakatnya, terutama apabila mekanisme-mekanisme
kontrol sosial lainnya tidak dapat berfungsi dengan baik.287 Hukum
sebagai salah satu perangkat kerja sistem sosial, harus mampu
mengakomodir kebutuhan dan kepentingan serta mampu
memberikan pelayanan yang berkeadilan bagi masyarakatnya.288
Hukum harus mampu mengintegrasikan semua kepentingan dan
sumber daya yang ada dalam masyarakat, sehingga dapat tercipta
adanya ketertiban, keamanan dan perdamaian (social order) dalam
kehidupan masyarakat.289
Hukum dalam fungsinya yang bersifat mengintegrasikan
kepentingan-kepentingan anggota masyarakat dilakukan dengan
jalan mengatur.290 Hukum tidak hanya memperhatikan hubungan
tersebut dari aspek ketertibannya saja, akan tetapi juga hukum
harus mampu menentukan ukuran-ukuran atau parameter-
parameter tertentu yang sering dalam ilmu hukum disebut dengan
nilai keadilan, bahkan ada orang yang berpandangan bahwa hukum
tidak dapat dipisahkan dan harus digabungkan dengan dengan
keadilan supaya hukum sungguh-sungguh mempunyai makna
sebagai hukum.291 Dalam perkembangannya pada saat ini hukum
286Maharidawan Putra, “Hukum Dan Perubahan Sosial (Tinjauan Terhadap Modernisasi
Dari Aspek Kemajuan Teknologi),” Morality 4, no. 1 (2018).287Ashadi L. Diab, “Peranan Hukum Sebagai Social Control, Social Engineering Dan Social
Welfare,” Jurnal Al-‘Adl 7, no. 2 (2014).288Lilik Haryadi dan Suteki, “Implementasi Nilai Keadilan Sosial Oleh Hakim Dalam
Perkara Lanjar Sriyanto Dari Perspektif Pancasila Dan Kode Etik Profesi Hakim,” Jurnal Law Reform 13, no. 2 (2017).
289Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif (Jakarta: Penerbit Kompas, 2006).290Suteki, Desain Hukum di Ruang Sosial (Yogyakarta: Thafa Media, 2013).291Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah (Yogyakarta: Kanisius, 1995).
124 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
tidak saja dikunstruksikan sebagai alat kontrol sosial, akan tetapi
hukum juga dikunstruksikan sebagai alat perubahan sosial (a tool of social enginering), konsepsi yang melihat bahwa hukum sebagai
sistem yang memiliki komponen substantif (kaidah-kaidah) dan
komponen struktural serta kultural (peraturan-peraturan dan
kebiasaan-kebiasaan atau tradisi) memberikan fungsi hukum secara
langsung dan aktif sebagai a tool of social engineering yang dapat
memaksakan perubahan masyarakat.292
Menurut Farley (1990: 626) dalam Sztompka perubahan
sosial merupakan perubahan kepada pola perilaku, hubungan sosial,
lembaga, dan struktur sosial pada waktu tertentu. Ini menunjukkan
bahwa dalam masyarakat terjadi perubahan interaksi antara satu
dengan yang lain ketika mereka melakukan tindakan dan perbuatan
atas apa yang dilakukan.293 Sejalan dengan itu, menurut Gillin
dan Gillin dalam Leibo, mengatakan bahwa perubahan sosial
merupakan perubahan yang terjadi pada kehidupan manusia
yang diterima, berorientasi kepada perubahan kondisi geografis,
kebudayaan, materiil, komposisi penduduk, ideologi, maupun
difusi dalam penemuan-penemuan hal baru.294 Selain itu, Adam
Smith juga menyatakan perubahan akan terjadi berkaitan dengan
perekonomian masyarakat yang mengalami pergantian.295
Hukum diharapkan memiliki peran yang optimal untuk
mendorong dan menjadi alat rekayasa terjadinya perubahan-
perubahan sosial sesuai yang diinginkan dan dicita-citakan oleh
292Nila Sastrawaty, “Hukum sebagai Integrasi Sosial: Pertimbangan Nilai ‘Keperawanan’
dalam Perkosaan,” Al Daulah 1, no. 1 (2012).293Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial (Jakarta: Prenada Media, 1993), 5.294Jefta Leibo, Sosiologi Pedesaan: Desa Kita Sebuah Potret Perubahan dalam Kesinambungan,
Mencari Suatu Strategi Pembangunan Masyarakat Desa Berparadigma Ganda (Jakarta: Penerbit Andi,
1996), 53.295James Midgley, Pembangunan Sosial Perspektif Pembangunan dalam Kesejahteraan Sosial
(Jakarta: Departemen Agama, 2005), 62.
125Hasil Penelitian dan Pembahasan
masyarakatnya.296 Dalam kontek ini tentu hukum tidak dapat
terpisah dan jauh dari kehidupan masyarakatnya, sesuai dengan
apa yang menjadi inti pemikiran sociological jurisprudence, yaitu
bahwa hukum yang baik hendaknya harus sesuai dengan hukum
yang hidup dalam masyarakat.297
Hukum berasal dari masyarakat dan hidup serta berproses di
dalam masyarakat, maka pembaharuan hukum dalam kontek untuk
melakukan perubahan masyarakat tidak mungkin dilepaskan secara
mutlak dari masyarakatnya sebagai satu kesatuan sistem sosial.298
Mengaitkan secara sistematis antara hukum dan pembangunan
berarti meningkatkan pula intensitas pertukaran antara hukum dan
politik. Posisi hukum sebagai sarana untuk melakukan perubahan
atau rekayasa sosial menjadi semakin besar, dalam kontek ini,
maka hubungan ketegangan antara kemandirian asas, doktrin, dan
institusi hukum berhadapan dengan politik menjadi lebih intensif.299
Peranan hukum dalam pembangunan dapat kita katakan
sebagai satu instrumen untuk menjamin bahwa perubahan sosial
yang terjadi akan berjalan secara teratur. Perubahan sosial yang
teratur melalui prosedur hukum, baik dalam bentuk peraturan
perundang-undangan atau keputusan badan-badan peradilan
akan lebih baik daripada perubahan yang tidak teratur, lebih-
lebih melalui cara-cara kekerasan, perubahan maupun ketertiban
296Syamsuddin Pasamai, Sosiologi dan Sosiologi Hukum (Makassar: PT. Umitoha Ukhuwah
Grafika, 2011).297Marsudi Dedi Putra, “Kontribusi Aliran Sociological Jurisprudenceterhadap Pembangunan
Sistem Hukum Indonesia,” Likhitaprajna 16, no. 2 (2017).298Muhammad Rusydianta, “Dinamika Hukum Dan Ekonomi Dalam Realitas Sosial Di
Indonesia (Studi Kritis Terhadap Kebijakan Hukum Ekonomi Di Indonesia),” Jurnal Rechtsvinding
6, no. 3 (2017).299Ilham Yuli Isdiyanto, “Problematika Teori Hukum, Konstruksi Hukum dan Kesadaran
Sosial,” Jurnal Hukum Novelty 9, no. 1 (2018).
126 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
(keteraturan) merupakan tujuan kembar dari masyarakat yang
sedang mengalami perubahan.300
3. Inisiasi Hukum Kepariwisataan
Untuk menumbuhkan kesadaran kepariwisataan dan
pluralisme lokal, maka di lingkungan Fakultas Hukum, perlu
dilembagakan hukum kepariwisataan. Menurut pelacakan penulis,
Univeristas Warmadhewa di Bali adalah satu-satunya universitas
yang menjadikan hukum kepariwisataan sebagai matakuliah wajib
baik untuk tingkat sarjana maupun magister. Dewasa ini dengan
arus informasi dan media sosial menjadikan obyek-obyek wisata
mulai diketahui masyarakat luas. Hal tersebut memunculkan opini
publik yang muncul dalam media sosial seperti Facebook, Twitter,
Instragram maupun website.
D. Marimba Ahmad (Hasbullah, 2006: 32), mengungkapkan
bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar
oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si
terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Pendapat
serupa dikemukakan oleh Poerbakawatja dan Harahap
(Sugihartono, 2007: 3) yang menyatakan bahwa pendidikan
merupakan usaha secara sengaja dari orang dewasa untuk
meningkatkan kedewasaan yang selalu diartikan sebagai kemampuan
untuk bertanggung jawab terhadap segala perbuatannya. Dalam
Undang-Undang No 20 tahun 2003, arti dari pendidikan itu
adalah usaha sadar dan terencana untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa,
300Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum (Semarang: Refika Aditama, 2007).
127Hasil Penelitian dan Pembahasan
dan Negara. Hal mendukung terdapat dalam Undang-Undang
disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dalam interaksi pendidikan (interaksi antar komponen
pendidikan) dapat mencakup di samping apa yang dilakukan
pendidik dan apa yang dilakukan peserta didik, juga isi dalam
interaksi (isi pendidikan), alat-alat yang dipakai dalam interaksi
(alat pendidikan) dan suatu tempat dimana terjadi pendidikan
(lingkungan pendidikan) yang disebut terakhir adalah lingkungan
pendidikan, mencakup lingkungan fisik, sosial dan budaya. Dengan
definisi pendidikan serta keterkaitan dan keikutsertaan masyarakat
akan menjadi kajian untuk menjalankan pendidikan. Harapan
bahwa pendidikan Indonensia sendiri akan membentuk stigma di
mana masyarakat perlu diarahakan dan dididik untuk mencapai
pembangunan serta kemajuan dalam bidang ekonomi, sosial dan
politik.
Dalam penyusunan kurikulum hukum kepariwisataan
hendaknya melibatkan pemangku kepentingan terkait. Standar
Nasional Pendidikan Tinggi (SN-DIKTI), sebagaimana diatur
dalam Permenristekdikti Nomor 44 Tahun 2015 Pasal 1,
menyatakan kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai capaian pembelajaran lulusan, bahan kajian, proses, dan
penilaian yang digunaka sebagai pedoman penyelenggaran program
studi. Kurikulum Pendidikan Tinggi merupakan amanah institusi
yang harus senantiasa diperbaharui sesuai dengan perkembangan
128 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
kebutuhan dan IPTEK yang dituangkandalamCapaian
Pembelajaran.
Perguruan tinggi dalam menyusun atau mengembangkan
kurikulum, wajibmengacupada KKNI dan Standar Nasional
Pendidikan Tinggi. Tantangan yang dihadapi oleh perguruan
tinggi dalam pengembangan kurikulum di era Revolusi Industri
4.0 adalah menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan literasi
baru meliputi literasi data, literasi teknologi, dan literasi manusia
yang berakhlak mulia berdasarkan pemahaman keyakinan agama.
Perguruan tinggi perlu melakukan reorientasi pengembangan
kurikulum yang mampu menjawab tantangan tersebut, termasuk
dalam pengembangan hukum kepariwisataan.
129
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal
sebagai berikut:
1. Model kebijakan kepariwisataan berbasis pluralisme diperlukan
karena elemen-elemen kepariwisataan yang berkembang pesat,
memiliki dampak regional, memberikan pengaruh positif
terhadap jalinan kebudayaan, berhubungan dengan gaya
hidup, dan prestise pribadi, dan berurusan dengan ideologi.
Pluralisme lokal dalam kebijakan kepariwisataan sendiri
bermanfaat untuk kepentingan pendidikan, kepentingan
ekonomi, kepentingan pemerintahan, serta kepentingan
pembangunan dan rekreasi.
2. Model kebijakan kepariwisataan berbasis pluralisme lokal
bertumpu kepada 3 (tiga) elemen yaitu pemberdayaan
pemerintahan daerah dan kebudayaan lokal, interaksi
pemangku kepentingan, dan iniasiasi hukum kepariwisataan.
B. Saran
1. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat hendaknya
meninjau kembali Undang-Undang Kepariwisataan untuk
penguatan akomodasi pluralisme lokal dalam rangka
mendukung tujuan elemen-elemen kepariwisataan.
130 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
2. Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
hendaknya merancang dan menetapkan Peraturan Daerah
tentang Kepariwisataan Berbasis Pluralisme Lokal dalam
rangka pencapaian negara kesejahteraan.
131
DAFTAR PUSTAKA
Aaluddin Awaluddin. “Konsepsi Negara Demokrasi yang
Berdasarkan Hukum.” Academica 2, no. 1 (2010).
Achmad Ali. Menguak Tabir Hukum (Suatu kajian filosofis dan Sosiologis. Jakarta: Chandra Pratama, 1996.
Adhikari, B., dan J. Lovett. “Institutions and collective action:
Does heterogeneity matter in community-based resource
management?” Journal of Development Studies 42, no. 3
(2006): 426–445.
Agus Raharjo. “Fenomena Chaos Dalam Kehidupan Hukum
Indonesia.” Jurnal Madamabi 9, no. 2 (2007).
Amir Syarifudin, dan Indah Febriani. “Sistem Hukum dan Teori
Hukum Chaos.” Hasanudin Law Review 1, no. 2 (2015).
Anderson, J. E. Public policy making. New York, NY: CBS College
Publishing, 1984.
Anderson, James. Public Policy Making. Boston: Houghton Mifflin,
2000.
Arifin. “Implementasi Pendidikan Hukum dalam Konteks Budaya
Sekolah di Era Global.” Syiar Hukum 11, no. 3 (2009).
Arzt, Katja. “The dynamic infl uences of institutions and
designprinciples on the outcomes of a local agricultural–
environmental decision-making process.” Amsterdam, 2007.
Ashadi L. Diab. “Peranan Hukum Sebagai Social Control, Social
Engineering Dan Social Welfare.” Jurnal Al-‘Adl 7, no. 2
(2014).
132 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
Badan Pusat Statistik. “Provinsi Bali dalam Angka 2016.” Bali:
Badan Pusat Statistik Bali, 2016.
Bambang Hermoyo. “Peranan Filsafat Hukum Dalam Mewujudkan
Keadilan.” Wacana Hukum 9, no. 2 (2010).
Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana.
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.
Basri. “Kajian Empiris Pelaksanaan Rencana Induk Pengembangan
Pariwisata Daerah Kalimantan Barat.” Tesis Magister
Administrasi Publik, Universitas Gajah Mada, 2012.
Bernard Lane. “Will sustainable tourism research be sustainable
in the future? An opinion piece.” Tourism Management Perspectives 25 (2018): 161–64.
Bintari, Antik, dan Landrikus Hartarto Sampe Pandiangan.
“Formulasi Kebijakan Pemerintah Tentang Pembentukan
Badan Usaha Milik Daerah (Bumd) Perseroan Terbatas (Pt)
Mass Rapid Transit (Mrt) Jakarta Di Provinsi Dki Jakarta.”
Jurnal Ilmu Pemerintahan 2, no. 2 (2016): 220–38.
Charles Stamford. The Disorder of Law, A Critique of Legal Theory. Oxford: Basil Blackwell, 1989.
Chen, Han, dan Imran Rahman. “Cultural tourism: An analysis of
engagement, cultural contact, memorable tourism experience
and destination loyalty.” Tourism Management Perspectives 26
(2018): 153–63.
Considine, M. Making public policy: Institutions, actors, strategies. Cambridge: Polity Press, 2005.
Cosmo, Howard. “The Policy Cycle: A Model of Post-Machiavellian
Policy Making?” Australian Journal of Public Administration
64, no. 3 (2005): 3–13.
133Daftar Pustaka
Dangi, Tek. “Exploring the Intersections of Emotional Solidarity and
Ethic of Care: An Analysis of Their Synergistic Contributions
to Sustainable Community Tourism Development.”
Sustainability 10, no. 8 (2018).
David N. Schiff. “Hukum Sebagai Fenomena Sosial.” Dalam
Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum, disunting oleh Adam
Podgorecki dan Christopher J. Whelan. Jakarta: Bina Aksaea,
1997.
Dewa Putu Oka Prasiasa. “Strategi Pengembangan Dan
Pemberdayaan Masyarakat Desa Wisata Timbrah Kecamatan
Karangasem Kabupaten Karangasem,” 103–26. Denpasar,
Bali: Universitas Udayana, 2017.
Diane, O’Sullivan, Pickernell David, dan Senyard, Julienne. “Public
Sector Evaluation of Festivals and Special Events.” Journal of Policy Research in Tourism, Leisure and Events 1, no. 1 (2009).
Direktorat Pengembangan Destinasi Wisata. Pengembangan Desa Wisata. Jakarta: Kementerian Pariwisata, 2016.
Doherty, Alison. “The Volunteer Legacy of A major Sport Event.”
Journal of Policy Research in Tourism, Leisure, and Events 2,
no. 1 (2010): 185–207.
Dredge, D. “Local destination planning and policy.” Dalam Tourism Policy and Planning, disunting oleh D. Dredge dan J. Jenkins.
Milton, Australia: John Wiley & Son, 2007.
Dredge, Dianne. “Policy for Sustainable and Responsible Festivals
and Events:Institutionalisation of a new Paradigm a
Response.” Journal of Policy Research in Tourism, Leisure, and Events 2, no. 1 (2010): 1–13.
Dunn, William. Public Policy Analysis : An Introduction. New Jersey:
Pearson Education, 2004.
134 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
Dunn, William N. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta:
Gadjah Mada University, 2003.
Dwi Ratna Indri Hapsari. “Hukum dalam Mendorong Dinamika
Pembangunan Perekonomian Nasional Ditinjau dari Prinsip
Ekonomi Kerakyatan.” Legality 26, no. 2 (2018).
Dwyer, L., R. Mellor, N. Mistilis, dan T. Mules. “A framework
for assessing ‘tangible’ and ‘intangible’ impacts of events and
conventions.” Event Management 6, no. 3 (2000): 175–91.
Dye, T. Understanding Public Policy. Englewood Cliffs: Prentice-
Hall, 1992.
Easton, David. A System Analysis of Political Life. New York: Willey,
1965.
Eisinger, Peter. The rise of the entrepreneurial state: State and local economic development policy in the United States. Madison:
University of Wisconsin Press, 1988.
Ellya Rosana. “Modernisasi dalam Perspektif Perubahan Sosial.”
Al-Adyan 10, no. 1 (2015).
Fenna, A. Australian public policy. Sydney: Pearson Education
Australia, 2004.
Frans Simangunsong. “Hukum Adat Dalam Perkembangan:
Paradigma Sentralisme Hukum Dan Paradigma Pluralisme
Hukum.” Ratu Adil 3, no. 2 (2014).
Getz, Donald. “Policy for Sustainable and Responsible Festivals and
Events : Institutionalization of a New Paradigm.” Journal of Policy Research in Tourism, Leisure, and Events 1, no. 1 (2009):
61–78.
Getz, Donald, dan Stephen J.Page. “Progress and prospects for
event tourism research.” Tourism Management 52 (2016).
135Daftar Pustaka
Gianna, Moscardo. “Sustainable Tourism Innovation: Challenging
Basic Assumptions.” Tourism and Hospitality Research 8, no.
1 (2008): 4–13.
Grace Juanita. “Pengaruh Kaidah Bukan Hukum Dalam
Pembentukan Kaidah Hukum.” Pro Justisia 25, no. 2 (2007).
Guy Peters. American Public Policy. New Jersey: Chatam House,
1993.
Habib Adjie. “Filsafat Ilmu-Ilmu Hukum.” Pro Justisia 24, no. 4
(2006).
Habibuw, Y. “Implementasi Kebijakan Program Pengembangan
Pariwisata Daerah: Studi Kasus RIPP di Mojokerto.” Tesis
Magister Administrasi Publik, Universitas Gajah Mada, 1997.
Hall, C. M. Tourism and politics. Policy, power and place. Chichester:
John Wiley & Son, 1998.
———. Tourism planning. Policies, processes and relationships. London: Pearson Prentice Hall, 2008.
———. Tourism planning. Policies, processes and relationships. London: Pearson Prentice Hall, 2008.
Hall, Michael C. “Innovation and Tourism Policy in Australia and
New Zealand : Never the Twain Shall Meet ?” Journal of Policy Research in Tourism, Leisure, and Events 1, no. 1 (2009): 2–8.
Haydock, William. “The ‘Civilising’ Effect of a ‘Balanced’ night time
ecpnomy for ‘better people’: Class and the Cospmopoilitan
Limit in the Consumption and Regulation of Alcohol in
Bournermout.” Journal of Policy Research in Tourism, Leisure, and Events 6, no. 2 (2014): 172–85.
Hermansyah. “Refleksi Eksistensialisme Dalam Ilmu Hukum
(Suatu Upaya Humanisasi Terhadap Teori Ilmu Hukum).”
Jurnal Varia Bina Civika, no. 75 (2009).
136 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
Higgins-Desbiolles, Freya. “Sustainable tourism: Sustaining tourism
or something more?” Tourism Management Perspectives 25
(2018): 157–60.
Huei-Ming Chiao, Yu-Li Chen, dan Wei-Hsin Huang. “Examining
the usability of an online virtual tour-guiding platform for
cultural tourism education.” Journal of Hospitality, Leisure, Sport & Tourism Education 23 (2018): 29–38.
Huibin, Xing, Azizan Marzuki, dan Arman Abdul Razak.
“Conceptualizing A Sustainable Development Model For
Cultural Heritage Tourism In Asia.” Theoretical and Empirical Researches in Urban Management 8, no. 1 (2013): 51–66.
I Dewa Gede Atmaja, dan I Nyoman Putu Budiartha. Teori-Teori Hukum. Malang: Setara Press, 2018.
Ilham Yuli Isdiyanto. “Problematika Teori Hukum, Konstruksi
Hukum dan Kesadaran Sosial.” Jurnal Hukum Novelty 9,
no. 1 (2018).
Ingram, Hadyn. “Clusters and gaps in hospitality and tourism
academic research.” International Journal of Contemporary Hospitality Management 8, no. 7 (1996): 91–95.
Isharyanto, Maria Madalina, dan Handoyo Leksono. “Model
Kebijakan Kepariwisataan Berbasis Pluralisme Lokal Untuk
Mewujudkan Negara Kesejahteraan (Welfare State).”
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, 2018.
Jamal, Tazim, dan Blanca Alejandra Camargo. “Tourism governance
and policy: Whither justice?” Tourism Management Perspectives 25 (2018): 205–8.
James Midgley. Pembangunan Sosial Perspektif Pembangunan dalam Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Departemen Agama, 2005.
137Daftar Pustaka
James P. Lesters, dan Joseph Steward Jr. Public Policy : An Evolutionary Approach. Belmonth: Wadsworth, 2000.
Jefta Leibo. Sosiologi Pedesaan: Desa Kita Sebuah Potret Perubahan dalam Kesinambungan, Mencari Suatu Strategi Pembangunan Masyarakat Desa Berparadigma Ganda. Jakarta: Penerbit
Andi, 1996.
Jenkins Smith. Democratic Politics and Policy Analysis. California :
Wadsworth: Inc.Hall, 1990.
Jenkins, W. I. Policy analysis: Apolitical and organizational perspective. London: Robertson, 1978.
Jerrim, John, dan Robert de Vries. “The limitations of quantitative
social science for informing public policy.” Evidence & Policy: A Journal of Research, Debate and Practice 13, no. 1 (2017):
117–33.
Johann Höchtl, Peter Parycek, dan Ralph Schöllhammer. “Big data
in the policy cycle: Policy decision making in the digital era.”
Journal of Organizational Computing and Electronic Commerce 26, no. 1–2 (2016): 147–69.
Joppe, Marion. “Tourism policy and governance: Quo vadis?”
Tourism Management Perspectives 25 (2018): 201–4.
Kadir, A. “Analisis Implementasi Kebijakan Pengembangan
Pariwisata Daerah.” Tesis Magister Administrasi Publik,
Universitas Gajah Mada, 1996.
Keston K. Perry. “The Dynamics of Industrial Development in
a Resource-Rich Developing Society: A Political Economy
Analysis.” Journal of Developing Societies 34, no. 3 (2018):
264–96.
138 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
Kim, H.J., M.H. Chen, dan S.C. Jang. “Tourism expansion
and economic development: The case of Taiwan.” Tourism Management 27, no. 5 (2006): 925–33.
Laswell, Harold, dan Abraham Kaplan. Power and Society. New
Heaven: Yale University Press, 1970.
Lilik Haryadi, dan Suteki. “Implementasi Nilai Keadilan Sosial
Oleh Hakim Dalam Perkara Lanjar Sriyanto Dari Perspektif
Pancasila Dan Kode Etik Profesi Hakim.” Jurnal Law Reform
13, no. 2 (2017).
M. Irfan Islamy. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaaan Negara.
Jakarta: Bumi Aksara, 1998.
M. Syamsudin. “Hukum pada Masyarakat Tradisional dan
Kemungkinan Pengembangannya Bagi Hukum Indonesia
Modern.” Jurnal Hukum 4, no. 7 (1997).
Maharidawan Putra. “Hukum Dan Perubahan Sosial (Tinjauan
Terhadap Modernisasi Dari Aspek Kemajuan Teknologi).”
Morality 4, no. 1 (2018).
Malik, S., I.S. Chaudhry, M.R. Sheikh, dan F.S. Farooqi. “Tourism,
economic growth and current account deficit in Pakistan:
Evidence from co‐integration and causal analysis.” European Journal of Economics, Finance and Administrative Sciences 22
(2010): 21–31.
Marie-Louise Mangion, Chris Cooper, Isabel Cortés-Jimenez, dan
Ramesh Durbarry. “Measuring the Effect of Subsidization
on Tourism Demand and Destination Competitiveness
through the AIDS Model: An Evidence-Based Approach to
Tourism Policymaking.” Tourism Economics 18, no. 6 (2012):
1251–72.
139Daftar Pustaka
Marsudi Dedi Putra. “Kontribusi Aliran Sociological
Jurisprudenceterhadap Pembangunan Sistem Hukum
Indonesia.” Likhitaprajna 16, no. 2 (2017).
Mexsasai Indra. “Konsepsi Kedaulatan Rakyat Dalam Cita Hukum
Pancasila.” Jurnal Selat 1, no. 2 (2014).
Michael, Howlett, dan M. Ramesh. Studying Public Policy : Policy Cycles and Policy Subsystem. Oxford: Oxford University Press,
1995.
Mohamad Fajrul Falaakh. Akar-Akar Mafia Peradilan di Indonesia.
Jakarta: Komisi Hukum Nasional, 2009.
Mohammad Thahir Haning. “Reformasi Birokrasi di Indonesia:
Tinjauan Dari Perspektif Administrasi Publik.” Jurnal Analisis Kebijakan dan Pelayanan Publik 4, no. 1 (2018).
Mouw, E. “Implementasi Kebijakan Pengembangan Pariwisata
Bahari di Kabupaten Halmahera Barat.” Tesis Magister
Administrasi Publik, Universitas Gajah Mada, 2012.
Muchsin, dan Fadillah Putra. Hukum dan Kebijakan Publik-Analisis atas Praktek Hukum dan Kebijakan Publik dalam Pembangunan Sektor Perekonomian di Indonesia. Malang:
Universitas Sunan Giri Surabaya dan Averroes Press, 2002.
Muhamad Ngafifi. “Kemajuan Teknologi dan Pola Hidup Manusia
dalam Perspektif Sosial Budaya.” Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi 2, no. 1 (2014).
Muhammad Rusydianta. “Dinamika Hukum Dan Ekonomi Dalam
Realitas Sosial Di Indonesia (Studi Kritis Terhadap Kebijakan
Hukum Ekonomi Di Indonesia).” Jurnal Rechtsvinding 6,
no. 3 (2017).
140 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
Nanang Martono. Sosiologi perubahan sosial: perspektif klasik, modern, postmodern, dan postkolonial. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2012.
Nila Sastrawaty. “Hukum sebagai Integrasi Sosial: Pertimbangan
Nilai ‘Keperawanan’ dalam Perkosaan.” Al Daulah 1, no. 1
(2012).
Panfiluk, Eugenia. “Impact of a Tourist Event of a Regional Range
on the Development of Tourism.” Procedia - Social and Behavioral Sciences 213 (2015): 1020–27.
Patricio Aroca, Juan Gabriel Bilda, dan Serena Volo. “Tourism
statistics: Correcting data inadequacy.” Tourism Economics 23, no. 1 (2017): 99–112.
Pemerintah Kabupaten Gianyar. “Laporan Kinerja Instansi
Pemerintah Kabupaten Gianyar 2017.” Gianyar: Pemerintah
Kabupaten Gianyar, 2018.
Piotr Sztompka. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada Media,
1993.
R. Arry Mth. Soekowathy. “Fungsi dan Relevansi Filsafat Hukum
bagi Rasa Keadilan dalam Hukum Positif.” Jurnal Filsafat 13,
no. 3 (2003).
R., Carl Milos. “Exhausted Incentives and Weakening Commitment:
The Case of Community-Based Tourism in Pamilacan, Bohol,
Philippines.” Philippine Quarterly of Culture and Society 42,
no. 1/2 (2014): 16–40.
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti,
2006.
Ramesh, D., dan M. Thea Sinclair. “Market shares analysis the case
of French tourism demand.” Annals of Tourism Research 30,
no. 4 (2003): 927–941.
141Daftar Pustaka
Renko, Sanda, dan Kristina Buar. “How Changing Lifestyles
Impact The Development Of Some Special Interests Of
Tourism: The Case Of Spa Tourism In Croatia.” International Journal of Management Cases 5 (2008): 101–10.
Riant Nugroho. Metode Penelitian Kebijakan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2013.
———. Public Policy. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Rima Puspitasari. “Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan
Sosial.” Lembaran Masyarakat 2, no. 1 (2016).
Roberts, Ken. “Can Employment Policies Improve a Society’s
Leisure ?.” Journal of Policy Research in Tourism, Leisure, and Events 2, no. 1 (2010): 82–87.
Rosalina Ginting, dan Titik Haryati. “Reformasi Birokrasi Publik
di Indonesia.” Jurnal Ilmiah Civis 1, no. 2 (2011).
Rosmidah. “Pengakuan Hukum Terhadap Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat dan Hambatan Implementasinya.” Inovatif 2,
no. 4 (2010).
Saayman, Melville. “The Socio-Economic Impact of an Urban
Park : The Case of Wilderness National Park.” Journal of Policy Research in Tourism, Leisure and Events 1, no. 3 (2010):
247–64.
Saifullah. Refleksi Sosiologi Hukum. Semarang: Refika Aditama,
2007.
Salman Lutham. “Penegakan Hukum dalam Konteks Sosiologi.”
Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 7, no. 4 (1997).
Sarbini Mbah Ben. Filsafat Pariwisata: Sebuiah Kajian Filsafat Praktis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2018.
Satjipto Rahardjo. “Hukum Itu Tidak Steril.” Suara Pembaruan,
31 Agustus 1989.
142 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
———. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Penerbit Kompas,
2006.
———. “Rekonstruksi Pemikiran Hukum Di Era Reformasi.”
Makalah pada Seminar Nasional Menggugat Pemikiran
Hukum Positivistik di Era Reformasi, Semarang, 22 Juli
2000.
Sequeira, T.N., dan C. Campos. “International tourism and
economic growth: A panel data approach.” Fondazione Eni
Enrico Mattei Nota di Lavoro, 2005.
Silvia Angeloni. “Cultural Tourism And Well-Being Of The Local
Population In Italy.” Theoretical and Empirical Researches in Urban Management 8, no. 3 (2013): 17–31.
Simon Chak-keung, Wong, dan Liu Gloria Jing. “Will parental
influences affect career choice?: Evidence from hospitality
and tourism management students in China.” International Journal of Contemporary Hospitality Management 22, no. 1
(2010): 82–101.
Smith, Andrew. “Spreading The Positive Effects of Major Events to
Peripheral Areas.” Journal of Policy Research in Tourism, Leisure and Events 1, no. 2 (2009): 231–46.
Soleman B. Taneko. Struktur dan Proses Sosial, Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993.
Solichin Abdul Wahab. Analisis Kebijaksanaan Dari Formulasi ke Implementasi kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara,
1997.
Suadamara Ananda. “Tentang Kaidah Hukum.” Pro Justisia 26,
no. 1 (2008).
Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Yogyak: Liberty, 2004.
143Daftar Pustaka
Suriyati Hasan. “Sistem Perencanaan Pembangunan dalam
Penataan Hukum Nasional.” Meraja Journal 1, no. 3 (2018).
Susetiawan, D.C. Mulyono, dan Muh. Yunan Roniardian.
“Penguatan Peran Warga Masyarakat dalam Perencanaan,
Penganggaran, dan Evaluasi Hasil Pembangunan Desa.”
Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat 4, no. 1 (2018).
Suteki. Desain Hukum di Ruang Sosial. Yogyakarta: Thafa Media,
2013.
Syamsuddin Pasamai. Sosiologi dan Sosiologi Hukum. Makassar: PT.
Umitoha Ukhuwah Grafika, 2011.
Syarif Budiman. “Analisis Hubungan Antara Hukum Dan
Kebijakan Publik: Studi Pembentukan Uu No. 14 Tahun
2008.” Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum 11, no. 2 (2017):
109–19.
Synmann, P.C.A. “Public policy in Anglo-Americal law.”
Comparative and International Law Journal of Southern Africa
`19, no. 2 (1986): 220–35.
Thacher, Devid, dan Martin Rein. “Managing Value Conflict in
Public Policy.” Governance 17, no. 4 (2004): 457–86.
Theo Huijbers. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta:
Kanisius, 1995.
Theodoraki, Eleni. “Organisational Communication on the
Impacts of the Athens 2004 Olympic Games.” Journal of Policy Research in Tourism, Leisure, and Events 1, no. 2 (2009):
141–55.
Thomas Halper. “Logic in Judicial Reasoning.” Indiana Law Journal 44, no. 1 (1998).
Thomas Satriya. “Dunia Manusia-Teknologi Dalam Revolusi
Industri Keempat.” Jurnal Filsafat 2, no. 4 (2018).
144 BAHAN AJAR HUKUM KEPARIWISATAAN DAN PLURALISME LOKAL
Tommy Hendra Purwaka. “Penafsiran, Penalaran, dan Argumentasi
Hukum yang Rasional.” Masalah-Masalah Hukum 40, no. 2
(2011).
Urbanus Ura Weruin. “Logika, Penalaran, dan Argumentasi
Hukum.” Jurnal Konstitusi 14, no. 2 (2017).
Vecchi, Veronica, Manuela Brusoni, dan Elio Borgonovi. “Public
Authorities for Entrepreneurship: A management approach to
execute competitiveness policies.” Public Management Review
16, no. 2 (2014): 256–73.
Veriani, R. “Implementasi Pengembangan Kebijakan Pariwisata
Kebumen.” Tesis Magister Administrasi Publik, Universitas
Gajah Mada, 2009.
Wahab, Solichin Abdul. Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Penyusunan Model-Model Implementasi Kebijakan Publik. V.
Jakarta: Bumi Aksara, 2016.
Wayne Parsons. Public Policy. Cheltenham: Edward Elgar, 1997.
Wens Alexander Bojangan. “Perspektif Dalam Membangun Sistem
Hukum Yang Progresif Sebagai Salah Satu Ilmu Pengetahuan
Hukum.” Jurnal Hukum Unsrat 23, no. 8 (2017).
Wood, E. “Measuring the economic and social impacts of local
authority events.” International Journal of Public Sector Management 18, no. 1 (2005): 37–53.
Wu, Mao-Ying, dan Philip L. Pearce. “Tourism research in and
about Tibet: Employing a system for reviewing regional
tourism studies.” Tourism and Hospitality Research 12, no. 2
(2012): 59–72.
Xianghong Feng. “Who Benefits?: Tourism Development in
Fenghuang County, China.” Human Organization 67, no. 2
(2008): 207–20.
145Daftar Pustaka
Yaghmour, Samer, dan Scott, Noel. “Inter-Organizational
Collaboration Characteristics and Outcomes : A Case Study
of The Jeddah Festival.” Journal of Policy Research in Tourism, Leisure, and Events 1, no. 2 (2009): 115–30.
Yap, G. “An examination of the effects of exchange rates
on Australia’s inbound tourism growth: A multivariate
conditional volatility approach.” International Journal of Business Studies 20, no. 1 (2012): 111–32.
Zaenal Arifin Muchtar. Judicial review di Mahkamah Agung RI: tiga dekade pengujian peraturan perundang-undangan. Jakarta:
Rajawali Press, 2009.