TUGAS
KOMUNIKASI PEMBANGUNAN(Analisis Teori Groupthink Irving Janis)
OLEH
I K B A RG2C114044
JURUSAN ADMINISTRASI PEMBANGUNAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kelompok merupakan kumpulan dua orang atau lebih yang
berinteraksi dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya, dan
dibentuk bersama berdasarkan pada interest atau tujuan yang
sama. Perilaku kelompok merupakan respon-respon anggota
kelompok terhadap struktur sosial kelompok dan norma yang
diadopsinya. Perilaku kolektif merupakan tindakan seseorang
oleh karena pada saat yang sama berada pada tempat dan
berperilaku yang sama pula.
Bermula dari karya Victims of Groupthink: a Psycological
Study of Foreign Decision and Fiascoes, Irving Janis (1972)
menggunakan istilah groupthink untuk menunjukan suatu model
berfikir sekelompok orang yang bersifat kohesif. Dia
mendefinisikannya sebagai suatu mode berpikir yang diterapkan
oleh orang-orang ketika mereka terlibat secara mendalam
didalam suatu kelompok yang kohesif dimana para anggotanya
ingin mencapai kebulatan sehingga menghilangkan motivasi
mereka untuk menilai secara realistis rangkaian tindakan
alternative lainnya. Groupthink terjadi apabila kepaduannya
tinggi dan kecenderungan untuk mencapai konsensus dalam
kelompok-kelompok yang memiliki ikatan erat sehingga
mengakibatkan mereka mengambil keputusan-keputusan yang
inferior. Kelompok-kelompok seringkali tidak mendiskusikan
semua pilihan yang tersedia. Pemecahan-pemecahan seringkali
tidak dikaji. Kelompok-kelompok sangat selektif dalam
menangani informasi.
Istilah ini menunjuk sebuah situasi apabila sebuah kelompok
mengambil keputusan yang salah karena adanya tekanan
kelompok yang mengakibatkan turunnya efisiensi mental,
berkurangya pengujian realitas, dan pertimbangan moral.
Kelompok-kelompok yang dipengaruhi oleh groupthink akan
mengabaikan alternative-alternatif lain dan cenderung
mengambil tindakan-tindakan irasional dan mendehumanisasi
kelompok-kelompok yang lain. Suatu kelompok sangat rentan
terhadap groupthink, terutama apabila para anggotanya memiliki
latar belakang yang seragam, terisolasi dari opini-opini luar, dan
apabila tidak ada mekanisme pengambilan keputusan yang jelas.
Apakah ciri sebuah kelompok terkena groupthink? Menurut
Janis, setidaknya terdapat beberapa gejala: (a) Ilusi kekebalan,
yang merupakan optimisme yang berlebihan bahwa
kelompoknya tidak akan terkalahkan; (b) Rasionalisasi kolektif
atas tindakan yang diputuskan dengan cara membenarkan hal-
hal yang salah seakan-akan masuk akal; (c) Keyakinan akan
superioritas moral kelompok; (d) Stereotip terhadap kelompok
luar sebagai jahat, lemah, bodoh, dll; (e) Tekanan-tekanan
langsung pada anggota-anggota kelompok yang berbeda
pendapat; (f) Sensor diri terhadap penyimpangan dari konsensus
kelompok dan berusaha meminimumkan keragu-raguan mereka;
(g) Ilusi bahwa semua anggota bersepakat dan bersuara bulat;
(h) Munculnya pembela-pembela keputusan (mindguards) atas
inisiatif sendiri untuk melindungi kelompok dan pemimpin
kelompok dari pendapat yang merugikan dan informasi yang tak
diinginkan.
Untuk itu, penulis akan membahas lebih jauh bagaimana
groupthink menurut Irving Janis, bagaimana penerapan
groupthink di Indonesia terhadap pembangunan dan kebijakan
publik, serta kritik terhadap groupthink.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Biografi dari Irving Janis
Irving Janis lahir di Buffalo, New York, pada tahun 1918. Ia
belajar di Universitas Chicago dan melanjutkan untuk menerima
gelar doktor dari Universitas Columbia pada tahun 1948. Dia
menyelesaikan studi postdoctoral-nya di New York psikoanalitik
Institute. Antara 1943 dan 1945, Janis bertugas di Cabang Riset
Angkatan Darat, mempelajari moral personil militer. Pada tahun
1947 ia bergabung dengan fakultas Universitas Yale dan tetap di
Departemen Psikologi di sana sampai pensiun empat dekade
kemudian. Dia juga seorang profesor psikologi di University of
California, Berkeley.
Janis memfokuskan sebagian besar karirnya pada mempelajari
pengambilan keputusan, khususnya di bidang tindakan
kebiasaan menantang seperti merokok dan diet. Ia meneliti
dinamika kelompok, yang mengkhususkan diri di daerah yang
disebutnya "groupthink," yang menjelaskan bagaimana
kelompok-kelompok orang yang mampu mencapai kompromi
atau konsensus melalui kesesuaian, tanpa benar-benar
menganalisis ide-ide atau konsep. Dia mengungkapkan tekanan
hubungan sebaya harus sesuai dan bagaimana dinamika ini
membatasi batas-batas kemampuan kognitif kolektif kelompok,
sehingga stagnan, orisinal, dan di kali, merusak ide.
Sepanjang karirnya, Janis menulis sejumlah artikel dan laporan
pemerintah dan beberapa buku termasuk Groupthink: Studi
Psikologis Keputusan Kebijakan dan fiascoes dan Keputusan
Krusial: Kepemimpinan dalam Pembuatan Kebijakan dan
Manajemen Krisis. Dia bekerja dengan Carl Hovland untuk
penelitian teori sikap dan menjelajahi bidang psikologi yang
berkaitan dengan persuasi. Janis diakui selama bertahun-
prestasinya selama bertahun-tahun dengan penghargaan seperti
Sosial-Psikologis Prize dari Asosiasi Amerika untuk Kemajuan Ilmu
Pengetahuan di 1967, Distinguished Kontribusi Scientific Award
dari American Psychological Association pada tahun 1981, dan
Society of Experimental Social psikologi Distinguished Scientist
Award pada tahun 1991.
Janis dan Marjorie Graham menikah pada tahun 1939, dan
mereka mengangkat dua anak perempuan. Janis meninggal
akibat kanker paru-paru pada tahun 1990.
2.2 Latar belakang Lahirnya Teori
Groupthink adalah jenis pemikiran yang ditunjukkan oleh
anggota kelompok yang berusaha untuk meminimalkan konflik
dan mencapai konsensus tanpa pengujian secara kritis, analisis
yang tepat, dan mengevaluasi ide-ide dari luar kelompok.
Kreativitas individu, keunikan, dan cara berpikir yang independen
menjadi hilang karena mengejar kekompakan kelompok. Dalam
kasus groupthink, anggota kelompok menghindari untuk
megutarakan sudut pandang pribadi di luar zona konsensus
berpikir kelompoknya.
Motif ini dilakukan anggota kelompok agar tidak terlihat
bodoh, atau keinginan untuk menghindari konflik dengan
anggota lain dalam kelompok. Groupthink dapat menyebabkan
suatu kelompok membuat keputusan secara tergesa-gesa dan
membuat keputusan yang tidak rasional. Dalam groupthink,
pendapat individu disisihkan karena dikhawatirkan dapat
mengganggu keseimbangan kelompok.
Teori Pemikiran Kelompok (Groupthink) lahir dari penelitian
panjang Irvin L Janis. Melalui karya ’Victims of Groupthink : A
Psychological Study of Foreign Decisions and Fiascoes (1972)’,
Janis menggunakan istilah groupthink untuk menunjukkan suatu
mode berpikir sekelompok orang yang sifatnya kohesif (terpadu),
ketika usaha-usaha keras yang dilakukan anggota-anggota
kelompok untuk mencapai kata mufakat (kebulatan suara) telah
mengesampingkan motivasinya untuk menilai alternatif-alternatif
tindakan secara realistis. Dari sinilah groupthink dapat
didefinisikan sebagai satu situasi dalam proses pengambilan
keputusan yang menunjukkan tumbuhnya kemerosotan efisiensi
mental, pengujian realitas, dan penilaian moral yang disebabkan
oleh tekanan-tekanan kelompok
Groupthink meninggalkan cara berpikir individual dan
menekankan pada proses kelompok. Sehingga pengkajian atas
fenomena kelompok lebih spesifik terletak pada proses
pembuatan keputusan yang kurang baik, serta besar
kemungkinannya akan menghasilkan keputusan yang buruk
dengan akibat yang sangat merugikan kelompok. Selanjutnya
diperjelas oleh Janis, bahwa kelompok yang sangat kompak
(cohesiveness) dimungkinkan terlalu banyak menyimpan atau
menginvestasikan energi untuk memelihara niat baik dalam
kelompk ini, sehingga mengorbankan proses keputusan yang
baik dari proses tersebut
2.3 Penyebab Groupthink
Menurut Janis, kohesi kelompok hanya akan menimbulkan
groupthink jika salah satu dari berikut dua kondisi anteseden
hadir, yaitu :
* Structural errors in the organization: insulation of the group,
lack of tradition of impartial leadership, lack of norms requiring
methodological procedures, homogeneity of social background
and ideology.
* Provocation situational context: high stress from external
threats, failure recently, the excessive difficulty in decision-
making task, moral dilemmas
Dalam bahasa yang lebih mudah, suatu kelompok sangat
rentan terhadap groupthink apabila ;
Dalam struktur organisasi
Anggota dari suatu kelompok memiliki latar belakang dan
pengalaman yang berdekatan.
Komunikasi dalam suatu kelompok yang memiliki kesatuan
visi dan efektif adalah komunikasi yang hasilnya sesuai dengan
harapan para pesertanya. Walaupun dalam kenyataanya tidak
pernah ada manusia yang persis sama. Namun, kesamaan dalam
hal-hal tertentu, misalnya ras (suku) mendorong orang untuk
saling tertarik dan pada gilirannya karena kesamaan tersebut
komunikasi dalam kelompok menjadi lebih padu.
Janis (1982) mencatat bahwa kurangnya ''perbedaan
dalam latar belakang sosial dan ideologi di antara para anggota
kelompok kohesif akan memudahkan bagi mereka untuk setuju
pada apa pun proposal yang diajukan oleh pemimpin ".
Suatu kelompok tersebut terisolasi dari opini-opini dunia luar.
Hal tersebut dapat terjadi jika kelompok jauh dari pengaruh
kelompok lain atau dapat juga dengan sengaja menjauhkan diri
dari kelompok luar. Isolasi dalam kelompok mengacu pada
kemampuan kelompok untuk tidak terpengaruh oleh dunia luar.
Anggota-anggota dalam sebuah kelompok berkomunikasi begitu
sering sehingga mereka menjadi kebal dan tidak peduli dengan
apa yang terjadi di luar kelompok mereka. Memang pada
kenyataannya, mereka mungkin akan membahas isu-isu yang
terjadi di dunia luar, namun para anggota terisolasi dari
pengaruhnya.
Dan, apabila tidak ada aturan mengenai kejelasan dalam
pengambilan keputusan kelompok.
Jika dalam suatu kelompok tidak ada sistem yang
mengatur perihal bagaimana keputusan dibuat, maka akibatnya
keputusan yang akan diambil menjadi keputusan yang masih
mentah tanpa mempertimbangkan dan mengevaluasi ide-ide
lain.
Dalam konteks situasional:
Stres tinggi dari faktor eksternal,
Akhir kondisi anteseden groupthink berkaitan dengan
penekanan pada kelompok. Yaitu, internal dan eksternal pada
kelompok stres dapat menimbulkan groupthink. Ketika para
pembuat keputusan di bawah tekanan besar, maka kekuatan
kelompok akan cenderung terganggu.
Contohnya, dosen memberikan tugas pada kelompok A
yang sangat sulit hanya dalam tempo satu minggu. Dan tugas
tersebut berpengaruh 40% dari nilai akhir. Namun, dalam
kenyataannya kelompok A menjadi bekerja di bawah tekanan
karena tuntutan tugas tersebut. Walhasil apapun idenya asalkan
dapat menyelesaikan tugas ini tepat waktu akan diambil tanpa
menimbang metode pengerjaannya dan cara-cara yang benar.
· kegagalan
· kesulitan yang berlebihan pada pengambilan keputusan,
· dilemma moral.
2.4 Gejala Groupthink
Janis (1982) mengamati tentang gejala-geajala dari
groupthink. Tanda-tanda atau gejala bagi kelompok yang
mengalami groupthink, diantaranya :
a. Kelompok Overtimation
Sebuah kelompok overtimation termasuk pada perilaku orang-
orang yang menunjukkan kelompok percaya. Dua gejala
spesifik ada dalam kategori ini Ilusi Kekebalan dan Percaya
Pada Moralitas Yang Melekat Pada Kelompok.
Illusion of invulnerability (Anggapan bahwa kelompok
kebal)
Kelompok yakin bahwa pengambilan keputusannya tidak
perlu dipertanyakan, yang menciptakan optimisme
berlebihan dan dorongan untuk mengambil risiko yang
ekstrim. Suatu sikap dimana segala sesuatu akan
berlangsung baik karena merasa dalam kelompok yang
khusus.
Belief in inherent group (Percaya Pada Moralitas Yang
Melekat)
Percaya pada moralitas yang melekat dalam kelompok
yang sedang terpengaruh groupthink, para anggota akan
secara otomatis mengasumsikan bahwa pandangan
mereka selalu benar. Hal ini membuat para angota
cenderung mengabaikan konsekuensi-konsekuensi moral
dan etika dari keputusan-keputusan yang mereka buat.
b. Closed-minded
Ketika sebuah kelompok close-minded atau tertutup, maka
kelompok akan mengabaikan pengaruh luar pada kelompok.
Kedua gejala dibahas oleh Janis dalam kategori ini adalah
Stereotip Rasionalisasi Outgroups dan kolektif Outgroups
Stereotype.
Rasionalisasi Kolektif
Suatu cara bepikir yang menolak setiap pandangan yang
berbeda tanpa mengevaluasinya secara memadai dan
menyeluruh. Usaha-usaha ini akan mendorong kelompok untuk
mengabaikan peringatan-peringatan yang apabila tidak
diabaikan kemungkinan akan mendorong mereka untuk
mempertimbangkan kembali asumsi-asumsi mereka, sebelum
mereka memutuskan untuk berkomitmen kembali ke keputusan-
keputusan kebijaksanaan semula.
Out-Group Stereotype
Membuat asumsi-asumsi sederhana dan belum tentu benar
mengena orang-orang yang bukan anggota kelompok. Sikap
outgroup selalu ditandai dengan suatu kelainan yang berwujud
antagonis atau antipati.
c. Pressures Toward Uniformity
Tekanan terhadap keseragaman pengaruhnya dapat
sangat besar untuk beberapa kelompok. Janis percaya bahwa
kelompok yang selalu bersama dapat menetapkan diri mereka
menjadi kelompok yang menganut groupthink. Keempat gejala
pada kategori ini adalah Self Cencorship, Ilusi Kebulatan Suara,
Self Appointed Mindguards, dan Direct Pressure on Dissenters.
Self Cencorship
Individu-individu dalam kelompok menekan setiap
keraguan-keraguan yang mereka rasakan mengenai pemikiran
kelompok. Para anggota cenderung menghilangkan
penyimpangan dari konsensus, dan berusaha meminimumkan
signifikasi dari keraguan-keraguan mereka dan argumen-
argumen yang bertentangan.
Illusion of Unanimity
Para anggota kelompok memiliki pemahaman yang salah
mengenai kelompok, yaitu mereka menganggap kelompok
sebagai unanimous (semua anggota memiliki pandangan yang
sama). Karena adanya self cencorship, para anggota membagi
keyakinan bahwa ada unanimous dalam pertimbangan-
pertimbangan mereka; tidak memberikan suara dianggap
konsensus.
Direct Pressure on Dissenters (Tekanan Langsung Pada
Anggota Yang Menolak)
Para anggota kelompok dibujuk untuk tidak mnentang
pemikiran kelompok. Kepada orang-orang yang membuat
argumen-argumen kuat yang menentang stereotype, ilusi, atau
komitmen kelompok akan disampaikan tantangan berupa sanksi;
anggota yang loyal akan selalu sependapat dengan mayoritas
kelompok
Self appointed Minguards
Mindguards berarti melindungi pemimpin dari gagasan
yang salah. Para angota kelompok melindungi kelompok dari
informasi yang buruk dan mengancam berlangsungnya
dinamika kelompok.
2.5 Asumsi –Asumsi Teori menurut Irving Janis
Irving Janis mendefinisikan groupthink sebagai suatu model
berpikir yang diterapkan oleh orang-orang apabila mereka
terlibat secara mendalam dalam suatu kelompok yang kohesif,
apabila para anggota ingin mencapai unanimity sehingga
menghilangkan motivasi mereka untuk menilai secara realistis
rangkaian tindakan lainnya.
Asumsi-asumsi dalam teori groupthink diantaranya:
1. Terdapat kondisi-kondisi didalam kelompok yang
mempromosikan kosehivitas tinggi,
2. Pemecahan masalah kelompok pada intinya merupakan
proses yang menyatu,
3. Kelompok dan penyatuan keputusan oleh kelompok
seringkali bersifat kompleks.
Dalam hal ini Irving Janis memfokuskan penelitiannya pada
Problem-Solving Group dan task-oriented group. Irving Janis juga
mengembangkan konsep groupthink untuk menjelaskan proses
pengambilan keputusan gangguan yang terjadi pada kelompok
yang anggotanya bekerja sama selama jangka waktu. Penelitian
ke groupthink menyebabkan penerimaan luas dari kekuatan
tekanan teman sebaya. Menurut Janis, ada beberapa elemen
kunci untuk groupthink, termasuk:
Kelompok ini mengembangkan ilusi kekebalan yang
menyebabkan mereka menjadi terlalu optimis tentang potensi
hasil dari tindakan mereka. Anggota kelompok percaya pada
akurasi yang melekat pada keyakinan kelompok atau kebaikan
yang melekat pada kelompok itu sendiri. Seperti contoh dapat
dilihat ketika orang membuat keputusan berdasarkan
patriotisme. Kelompok ini cenderung untuk mengembangkan
pandangan negatif atau stereotip dari orang tidak dalam
kelompok. Kelompok ini memberi tekanan pada orang-orang
yang tidak setuju dengan keputusan-keputusan kelompok.
Kelompok ini menciptakan ilusi bahwa semua orang setuju
dengan kelompok dengan menyensor dissenting keyakinan.
Beberapa anggota kelompok mengambil itu atas diri untuk
menjadi "mindguards" dan keyakinan dissenting benar.
Proses ini dapat menyebabkan kelompok untuk membuat
keputusan berisiko atau tidak bermoral. Namun, dalam situasi
tertentu, groupthink dapat menjadi cara yang efektif dan
produktif berakhir, yang memungkinkan kelompok untuk datang
ke keputusan dalam perilaku yang lebih efisien dan dipercepat
daripada jika mereka tetap terlibat dalam diskusi atau
ketidaksetujuan. Sebagai contoh, sebuah kelompok perencanaan
protes mungkin lebih efektif panggung protes karena groupthink.
Tanpa groupthink, kelompok bisa terjebak dalam argumen tak
berujung atas strategi dan keyakinan. Groupthink telah
dieksplorasi dalam konteks sosial mulai dari bisnis dan politik,
keluarga dan lingkungan pendidikan.
Groupthink akan terjadi apabila cohesiveness tinggi dan
kecenderungan untuk mencari kansensus dalam kelompok-
kelompok yang memiliki ikatan erat akan mengakibatkan mereka
mengambil keputusan-keputusan yang interior. Kelompok-
kelompok sering kali tidak mendiskusikan semua pilihan yang
tersedia. Pemecahan-pemecahan sering kali tidak dikaji, dan
kelompok-kelompok seperti ini, sering sekali sangat selektif
dalam menangani informasi.
Fenomena groupthink akan terjadi apabila sebuah kelompok
mengambil keputusan yang salah karena adanya tekanan
kelompok yang mengakibatkan turunnya efesiensi mental,
berkurangnya pengujian realita, dan pertimbangan moral.
Kelompok-kelompok yang dipengaruhi oleh groupthink akan
cenderung mengabaikan alternatif-alternatif lain dan selalu
mengambil tindakan-tindakan irrasional yang mendehumanisasi
kelompok-kelompok yang lain. Suatu kelompok yang rentan
dengan groupthink terutama para anggota yang memiliki latar
belakang yang seragam, atau apabila kelompok tersebut
terisolasi dari opini-opini luar, serta apabila tidak ada aturan
pengambilan keputusan yang baku dan jelas dalam suatu
kelompok.
2.6 Penerapan Groupthink Di Indonesia Terhadap
Pembangunan Dan Kebijakan Public
Pembangunan dan Kebijakan publik merupakan suatu
pranata penting dalam mengatur kehidupan masyarakat
sekaligus juga mengatur pola relasi antara negara dan
masyarakat. Karena itu, kebijakan publik senantiasa melibatkan
banyak aktor sehingga semua pihak merasa terwakili
kepentingannya. Namun dalam banyak kasus justru seringkali
kepentingan publik malah yang diabaikan. Kebijakan publik
hanyalah mengakomodasi segelintir kepentingan. Dengan
menggunakan hipotesis groupthink sesungguhnya kita dapat
mengambil pelajaran bahwa sebuah kebijakan memang kerap
mengalami proses-proses rumit yang dialami oleh aktor-aktor
yang turut serta dalam perumusan kebijakan tersebut.
Namun, hipotesis groupthink menyisakan beberapa
keberatan yang perlu untuk ditelaah lebih jauh. Saya
berpendapat bahwa, hipotesis groupthink menyederhanakan
sesuatu yang sesungguhnya rumit, sebagai sekadar persoalan
psikologis kelompok semata. Selain itu, dengan menggunakan
data historis, hipotesis ini berambisi menyimpulkan situasi mikro
dan mengklaim menemukan dinamika yang terjadi antar aktor.
Dengan demikian tidak berlebihan kalau Aldag & Fuller menuding
Janis hanya menggunakan bukti-bukti yang mendukung teorinya
saja. Bahkan secara mendasar menurut Littlejohn (1996:300)
hipotesis ini justru tidak menyinggung sama sekali soal
bagaimana sebuah kelompok bisa kohesif.
Sesungguhnya banyak faktor yang bisa dipertimbangkan
daripada sekedar melihat bahwa sebuah kebijakan muncul
karena semata hasil proses-proses mikro dalam kelompok. Hal ini
sama saja dengan mengatakan bahwa setiap kebijakan publik
yang muncul bersifat ahistoris, kedap sosial, dan terlepas dari
determinasi struktural lainnya. Dalam kasus kebijakan ekonomi
di Indonesia, beberapa ahli telah mengintroduksi bahwa
kebijakan-kebijakan yang muncul setidaknya dapat dilihat
melalui beberapa pandangan, kita akan menyimaknya satu
persatu.
Salah satu buku pertama yang ditulis tentang kebijakan
liberalisasi ekonomi di Indonesia berasal dari Richard Robison,
The Rise of Capital (1986). Dia menggunakan argumen
determinasi struktural. Intinya, Robison menyatakan bahwa
negara berada dalam posisi yang sangat kuat karena dalam
sejarah Indonesia kepentingan borjuasi sangatlah lemah dan
terpecah-terpecah. Disaat kelompok borjuasi mulai menguat
pada awal 1980-an, kelompok tersebut mengusung kebijakan
negara yang sentralistis karena berkaitan dengan proteksi
negara terhadap usaha-usaha yang menguntungkan mereka.
Namun kepentingan tersebut bertentangan dengan kepentingan
kapitalisme internasional yang berperan semakin besar dan
menuntut kebijakan yang lebih liberal yang pro pasar. Oleh
karena itu, menurut Robison, munculah kontradiksi sekitar
pertengahan tahun 80-an. Di satu pihak Soeharto perlu
mengakomodasi kepentingan borjuasi domestik, namun dipihak
lain, karena butuh pinjaman luar negeri, maka ia perlu mengikuti
tuntutan Bank Dunia dan berbagai lembaga keuangan
internasional liberal lainnya. Dengan demikian, dengan melihat
kebijakan ekonomi pemerintahan Soeharto pada dekade
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa dalam perebutan
pengaruh untuk formulasi kebijakan dimenangkan oleh
kapitalisme internasional. Tekanan modal global terlalu kuat
untuk dilawan oleh negara maupun oleh borjuasi domestik. Tesis
ini juga didukung oleh Jeffrey Winters (1999) yang menyatakan
bahwa kekuatan modal global sangat kuat mempengaruhi
perubahan kebijakan ekonomi Indonesia ke arah yang lebih
liberal pada era 80-an.
Pendapat lain dikemukakan oleh William Liddle (1996).
Menurut Liddle, formulasi kebijakan yang muncul pada masa
Orde Baru haruslah menempatkan presiden Soeharto dalam
posisi sentral. Dalam menguraikan proses kebijakan, Liddle
menekankan pentingnya peran Soeharto sebagai seorang
politikus ulung yang menggunakan berbagai sumber yang ada
padanya untuk memperbesar kekuasaanya serta mencapai
tujuan yang dianggapnya baik buat Indonesia. Soeharto
menikmati posisi yang relatif otonom karena dia berhasi
mengendalikan berbagai instrumen kekuasaan (paksaan,
bujukan, pertukaran, dan organisasi) demi mencapai tujuan
ganda, yaitu mengendalikan masyarakat serta melanggengkan
dukungan para pengikut utamanya.
Dengan otonomi relatif tersebut Soeharto mengendalikan
proses pembangunan ekonomi. Para pembantu terdekatnya,
para mentri serta kaum ekonom boleh saja mengusulkan ini dan
itu, tapi pada akhirnya Soeharto sendirilah yang
bertanggungjawab terhadap berbagai kebijakan penting yang
dipilih oleh pemerintah Orde Baru. Oleh karena itu, menurut
Liddle, setiap analisis mengenai arah kebijakan Indonesia, seperti
perubahan dari protesionisme menuju pada kebijakan pintu
terbuka, harus diawali dengan pemahaman terhadap kendala
dan peluang yang dihadapi Soeharto dalam mengelola
kekuasaannya. Sinyalemen ini juga sebenarnya diintroduksi oleh
Mulyana (2001:117-118) perihal kuatnya budaya patrimonial
dalam budaya politik di Indonesia yang perlu ditelaah apabila
kita ingin menerapkan hipotesis groupthink.
Pandangan terakhir dikemukakan oleh Rizal Mallarangeng
(2002). Tesis Mallarangeng yang utama adalah pentingnya
mempertimbangkan gagasan sebagai variabel dalam proses
perumusan kebijakan. Menurutnya perubahan kebijakan ekonomi
dari sentralisme ke liberalisme tidak bisa dilepaskan dari
dukungan jaringan komunitas epistemik liberal yang tersebar di
kampus-kampus, media massa, lembaga-lembaga penelitian,
dan juga di pemerintahan sendiri. Mereka dipertemukan oleh
keyakinan atau kepercayaan bersama atas kebenaran serta
perlunya penerapan bentuk pengetahuan tertentu, yaitu
pandangan ekonomi yang liberal, pro pasar.
Dengan demikian kita bisa menyimpulkan bahwa proses
formulasi suatu kebijakan merupakan pertemuan dari berbagai
macam faktor yang teramat kompleks. Alih-alih sebagaimana
dikonsepsikan Janis, setidaknya dalam kasus kebijakan
Pembangunan dan ekonomi di Indonesia, dapat dirumuskan yaitu
determinasi struktural, peran otonom individu Soeharto, dan
jaringan gagasan atau komunitas epistemik liberal.
2.7 Kritik Terhadap groupthink menurut Irving Janis
Dalam beberapa hal, hipotesis Janis ini memang
meyakinkan, namun ia tidak terlepas dari kritik. Beberapa kritik
yang diajukan adalah bahwa Janis hanya mengambil bukti-bukti
yang mendukung teorinya saja. Kepaduan kelompok itu sendiri
belum tentu menimbulkan pikiran kelompok (groupthink),
misalnya perkawinan dan keluarga, dapat tetap terpadu atau
kohesif tanpa menimbulkan pikiran kelompok; dengan tetap
membiarkan perbedaan pendapat tanpa mengurangi
keterpaduan itu sendiri. Selain itu Tetlock et.al, juga menyatakan
bahwa dalam banyak kasus ada juga kelompok-kelompok yang
sudah mengikuti prosedur yang baik, namun tetap melakukan
kesalahan, misalnya Presiden Carter dan penasehat-
penasehatnya yang merencanakan pembebasan sandera di Iran
pada tahun 1980. Namun operasi tersebut gagal total dan
Amerika Serikat dipermalukan. Padahal kelompok tersebut telah
mengundang berbagai pendapat dari luar dan memperhitungkan
kemungkinan secara realistik.
Segi Epistemologi
Teori berasal dari Irving Janis disaat Irving Janis meneliti
suatu peristiwa peristiwa besar di Amerika Serikat yang tidak
memberikan suatu kerugian bagi Amerika Serikat baik materi
maupun jiwa rakyat Amerika Serikat dan banyak mengundang
perhatian public , Penelitian ini boleh jadi merupakan suatu
kajian yang didasarkan pada Konstruktivisme saja dimana Janis
tidak pernah dapat menerangkan latar belakang dari pra
groupthink dalam peristiwa yang ditelitinya , Pendekatan yang
digunakann oleh Janis adalah teori kritis yang memiliki
keterikatan moral untuk mengkritik siatus quo dan membangun
masyarakat yang lebih adil.
Segi Ontologi
Teori ini hanya mengkaji bagaimana peristiwa yang diteliti
oleh Janis hanya samapi pada hasil yang akhir dari suatu
terjadinya peristiwa yang diteliti Janis tanpa meyajikan suatu
latar belakang dari terjadinya suatu peristiwa yang meyebabkan
Groupthink, di mana kebijakan-kebijakan yang mempunyai
kualifikasi Groupthink yang diteliti hanyalah pengambilan
keputusan dalam peristiwa peristiwa yang banyak menimbulkan
kritik kritik dari masyarakat
Segi Aksiologi
Teori Groupthink menurut Irvings Janis (1972) adalah istilah
untuk keadaan ketika sebuah kelompok membuat keputusan
yang tidak masuk akal untuk menolak anggapan/ opini publik
yang sudah nyata buktinya, dan memiliki nilai moral. Keputusan
kelompok ini datang dari beberapa individu berpengaruh dalam
kelompok yang irrasional tapi berhasil mempengaruhi kelompok
menjadi keputusan kelompok.
Secara teoritis dampak negatif Teori Groupthink menurut
Irvings Janis adalah
1) Diskusi amat terbatas pada beberapa alternatif keputusan
saja.
2) Pemecahan masalah yang sejak semula sudah cenderung
dipilih, tidak lagi dievaluasi atau dikaji ulang.
3) Alternatif pemecahan masalah yang sejak semula ditolak,
tidak pernah dipertimbangkan kembali.
4) Tidak pernah mencari atau meminta pendapat para ahli
dalam bidangnya.
5) Kalau ada nasehat atau pertimbangan lain, penerimaannya
diseleksi karena ada bias pada pihak anggota.
6) Cenderung tidak melihat adanya kemungkinan-
kemungkinan dari kelompok lain akan melakukan aksi
penentangan, sehingga tidak siap melakukan
antisipasinya.
7) Sasaran kebijakan tidak disurvei dengan lengkap dan
sempurna.
2.8 Contoh Kasus groupthink
Kajian groupthink menemukan fakta menarik bahwa banyak
peristiwa penting yang berdampak luas disebabkan oleh
keputusan sekelompok kecil orang, yang mengabaikan informasi
dari luar mereka. Beberapa contoh kasus groupthink akan
penulis paparkan di bawah ini, diantaranya:
Keputusan AS menyerang Irak, banyak ditentang oleh negara
lain dan bahkan sebahagian warga negaranya sendiri,
meskipun dengan alasan adanya senjata pemusnah massal
dan terorisme. Buktinya, dalam pemilu sela di AS dalam
beberapa hari ini, partai Republik yang merupakan partainya
pemerintahan Bush, kalah dari partai Demokrat. Di antara
sebab kekalahan itu adalah karena masalah kebijakan
pemerintah AS (yang dikuasai partai Republik) menyerang
Irak (Reuter, 8/11). Akan tetapi buktinya keputusan itu telah
dilaksanakan juga, dan media massa juga ikut membentuk
pandangan masyarakat dengan memberitakan alasan-alasan
yang membolehkan serangan tersebut. Para anggota
kelompok yang tergabung dalam groupthink tersebut tidak
pernah dan bahkan pantang menyalahkan pihak pemrakarsa
gagasan serangan tersebut.
Meledaknya pesawat ruang angkasa Challenger. Padahal
salah satu mekaniknya sudah faham kalau ada yang tidak
beres dengan pesawat tersebut, sebelum diadakan
peluncuran. Tetapi karena kepala mekanik sudah mengatakan
bahwa pesawat dalam kondisi siap luncur, maka para anggota
mekanik harus menjalankan tugasnya. Akhirnya, pesawat itu
meledak diangkasa yang menewaskan seluruh awaknya.
Namun para mekanik tetap membela kelompoknya dengan
alasan bahwa suatu kecelakaan lumrah saja terjadi. Jadi tidak
ada pihak yang salah. Namun tentunya, pengakuan mereka
dianggap demikian oleh masyarakat sejauh media massa
memberitakannya sesuai dengan alasan seluruh mekanik
tersebut.
Misalnya dalam peristiwa Pearl Harbour (1941), keputusan
fatal diambil karena mengabaikan informasi penting intelejen
sebelumnya.Minggu-minggu menjelang penyerangan Pearl
Harbour di bulan Desember 1941 yang menyebabkan Amerika
Serikat terlibat Perang Dunia II, komandan-komandan militer
di Hawaii sebetulnya telah menerima laporan intelejen
tentang persiapan Jepang untuk menyerang Amerika Serikat
di suatu tempat di Pasifik. Akan tetapi para komandan
memutuskan untuk mengabaikan informasi itu. Akibatnya,
Pearl Harbour sama sekali tidak siap untuk diserang. Tanda
bahaya tidak dibunyikan sebelum bom-bom mulai meledak.
Walhasil, perang mengakibatkan 18 kapal tenggelam, 170
pesawat udara hancur dan 3700 orang meninggal.
Transisi Kepemimpinan PDIP oleh Gun Gun Heryanto. PDIP
sangat identik dengan Megawati yang mewarisi kekuatan
referen (referent power) dari Soekarno. Hingga kini, arus
utama politik PDIP masih dalam pengendalian Mega yang
diposisikan tak hanya sekedar ketua umum dalam pengertian
formal organisasional, melainkan juga representasi basis
ideologis. Faktor Mega masih sangat menentukan orientasi
PDIP saat ini maupun ke depan, terlebih jika Mega masih
memosisikan dirinya sebagai figur sentral sekaligus
pengambil kebijakan utama di partai ini. Ada tiga kondisi
menonjol yang mendorong kuatnya gejala groupthink di PDIP.
Pertama, faktor kohesivitas kelompok. Ciri yang paling identik
dari bangunan kepartaian PDIP selama ini adalah semangat
kebersamaan (esprit the corps) yang menonjol dalam loyalitas
terhadap Mega. Kohesi sesungguhnya positif karena dapat
menjadi perekat agar kelompok tetap utuh. Namun kelompok
yang sangat kohesif atau berlebihan juga akan melahirkan
keseragaman berpikir dan berprilaku yang rentan terhadap
batasan afiliatif (affiliative constraints). Menurut Dennis
Gouran dalam tulisannya The Signs of Cognitive, Affiliative
and Egosentric Constraints (1998) batasan afiliatif berarti
bawa anggota kelompok lebih memilih untuk menahan diri
daripada mengambil resiko ditolak. Pengaruh Megawati di
PDIP sangat dominan dan struktur kepartaian berada dalam
afiliasi terhadap pengaruh itu. Kita melihat misalnya, dalam
beberapakali konggres Megawati tampil menjadi Ketua Umum
nyaris tanpa kompetitor. Jika pun ada orang atau kelompok
yang berkeinginan berkompetisi dengan Mega maka secara
umum kader menganggapnya sebagai penyimpang, sehingga
menjadi salah satu potensi konflik. Kedua, faktor struktural
berbentuk minimnya kepemimpinan imparsial (lack of
impartial leadership) dan kurangnya prosedur pengambilan
keputusan (lack of decision making procedures). Dalam tradisi
politik di PDIP, ketaatan kader terhadap Mega, tak cukup
memberi ruang bagi munculnya pemimpinan alternatif. Nyaris
tidak ada figur di luar Mega yang mampu memerankan diri
sebagai pengontrol dan dapat mengembangkan dialektika
serta kritisisme. Situasi ini dengan sendirinya memandatkan
banyak prosedur pengambilan keputusan pada Mega atau
orang terdekat Mega, sehingga PDIP tumbuh bergantung pada
sosok Mega dan cukup kerepotan menemukan formula alih
generasi. Ketiga, tekanan terhadap kelompok baik dari
internal maupun eksternal. PDIP dalam sejarahnya memang
rentan terhadap konflik. Faktor Mega hingga kini masih
dianggap formula ampuh dalam mengatasi berbagai konflik
internal sekaligus figur yang dapat menjadi katalisator
kesadaran kelompok bersama (shared group conciousness) di
PDIP. Faktor ini dengan sendirinya telah memapankan
rasionalisasi kolektif yang ditandai dengan minimnya
partisipasi rasional kader dalam keputusan akhir partai,
terutama menyangkut jabatan ketua umum mereka. Dampak
lain dari gejala groupthink selain rasionalisasi kolektif
biasanya adalah ilusi mengenai ketidakrentanan partai
terhadap permasalahan yang berkembang, menguatnya ilusi
kebulatan suara, tekanan untuk mencapai keseragaman dan
tekanan terhadap para penyimpang. Hal yang harus
diwaspadai dari gejala groupthink ini adalah ketertutupan
pikiran para kader atas situasi dinamis yang sesungguhnya
menjadi masalah kekinian PDIP.
Babak akhir kasus Century oleh Dosen Komunikasi Politik di
UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif The Political Literacy
Institute. Hiruk-pikuk kasus Century memasuki babak akhir
yang menentukan. Sejak Desember hingga puncaknya awal
Maret nanti, berbagai isu utama maupun penggembira
seputar skandal bailout Bank Century bergulir bak bola panas
sekaligus menjadi magnitude perbincangan, mulai dari
Senayan hingga jalanan. Ibarat tim sepak bola yang
menerapkan total football, para anggota Pansus Bank Century
lincah bergerak, menyerang, melakukan penetrasi dan
manuver di berbagai lini. Publik yang di luar gelanggang pun
termangu, berharap, sesekali bersorak karena seolah para
pemain hampir sampai di gawang dan menuai skor
kemenangan. Jika pada akhirnya mereka teriak “it’s just the
political game”,maka tak berlebihan jika kita mengategorikan
mereka hanya para pesolek yang sedang membangun citra
politik semata-mata. Sebaliknya jika mereka konsisten
membangun koalisi kebenaran dan membuka tuntas skandal
Century hingga ke akarnya, mereka layak dapat bintang dan
tak segan kita rekomendasikan sebagai figurfigur pemimpin
bermartabat yang layak meneruskan alih generasi
kepemimpinan nasional di masa mendatang.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Groupthink terjadi manakala ada semacam konvergenitas
pikiran, rasa, visi, dan nilai-nilai di dalam sebuah kelompok
menjadi sebuah entitas kepentingan kelompok, dan orang-
orang yg berada dalam kelompok itu dilihat tidak sebagai
individu, tetapi sebagai representasi dari kelompoknya.
Apa yang dipikirkan, dirasa, dan dilakukan adalah
kesepakatan satu kelompok. Tidak sedikit keputusan-
keputusan yang dibuat secara groupthink itu yang
berlawanan dengan hati nurani anggotanya, maupun orang
lain di luarnya. Namun mengingat itu kepentingan
kelompok, maka mau tidak mau semua anggota kelompok
harus kompak mengikuti arah yang sama agar tercapai
suatu kesepakatan bersama.
Teori bermanfaat mungkin hanya untuk menganalisa
sebagian saja dari setiap hasil keputusan yang
menghasilkan kegagalan atau peristiwa yang merugikan
baik materi maupun jiwa , Teori juga bias dijadikan early
warning dalam setiap kelompok dalam mengambil
keputusan dimana pentingnya suatu masukan masukan
yang baik dan teruji dalam mengambil keputusan agar
tidak berakibat fatal.
dalam konteks formulasi kebijakan di Indonesia -- perlu
dikedepankan. Hal ini untuk menunjukan bahwa perspektif
kecenderungan kelompok kecil sebagai penentu kebijakan,
sebagaimana yang ditawarkan Janis, mendapatkan
tantangan berat, mengingat sebenarnya dalam proses-
proses tersebut amatlah kompleks. Disisi lain, persepektif
struktural maupun kultural dapat mereduksi kelemahan-
kelemahan internal yang terkandung dalam hipotesis
groupthink Janis.
3.2 Saran
Agar mahasiswa sering dilatih dalam pemahaman teori,
sehingga dalam berpandangan ada acuan dan indikator yang
jelas, sehingga gugurlah istilah “Kesesatan Paradigma”.
DAFTAR PUSTAKA
Goldberg, Alvin. Dan Larson Carl. Komunikasi Kelompok: Proses-Proses Diskusi dan Penerapannya. Edisi Terjemahan. Depok : UI Press, 2006.
https://afrilwibisono.wordpress.com/2015/05/10/analisa-groupthink/
http://duniadandia.blogspot.com/201 5 /0 5 /teori-groupthink-irving- janis.html
http://komunikasimedia.blogspot.co m/201 5 /0 5 /kritik-terhadap-teori- groupthink-dalam.html
Handayani, Susaningtyas dan kawan-kawan. 2007. Resume Tugas Mata Kuliah Teori Komunikasi Kontemporer. Bandung.
Janis, Irving, 1972, Victims of Groupthink: a Psycological Study of Foreign Decision and Fiascoes,