10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hakikat Pembelajaran Matematika
1. Belajar
Manusia merupakan makhluk yang selalu ingin tahu. Siswono (2008: 2)
menyebutkan bahwa manusia adalah makhluk yang pandai bertanya, bahkan
dia mempertanyakan dirinya sendiri, keberadaannya, dan dunia seluruhnya.
Menurut Moller, Huet, & Harvey (2009: 6), “Learning is fundamentally
abaout change-change in attitudes, behavior, belief, capabilities, mental
models, skill, or a combination of these‖. Pernyataan tersebut bermakna
belajar pada dasarnya merupakan perubahan dalam sikap, prilaku, keyakinan,
kemampuan, model mental, keterampilan, atau kombinasi semua. Belajar
merupakan usaha yang di lakukan tiap individu untuk mencari tahu hal yang
belum diketahuinya sehingga memperoleh suatu perubahan tingkah laku baik
dalam bentuk pengetahuan, keterampilan maupun sikap dan nilai yang positif
sebagai pengalaman sampai akhir hayatnya.
Sugihartono (2007: 74) mendefinisikan belajar sebagai suatu proses
memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam wujud perubahan tingkah
laku dan kemampuan berinteraksi yang relatif permanen atau menetap karena
adanya interaksi individu dengan lingkungannya.
11
Ambrose et al (2010: 3) bahwa: “Learning is a process that leads to
change, wich occurs as a result of experience and increases the potensial for
improved performance and future learning‖. Pernyataan tersebut bermakna
belajar adalah proses untuk mendorong perubahan, yang terjadi sebagai hasil
dari pengalaman dan peningkatan potensi untuk meningkatkan kinerja dan
pembelajaran masa depan.
Selanjutnya menurut Darsono (2000: 32) menyatakan bahwa suatu
kegiatan yang melibatkan individu secara keseluruhan, baik fisik maupun
psikis, untuk mencapai suatu tujuan. Menurut Watkins, Carnell, & Lodge
(2007: 72) menyatakan bahwa:
Learning is a constructive process that occurs best when the learner is
actively engaged in creating her or his own knowledge and understanding
by connecting what is being learned with prior knowledge and experience.
Pernyataan tersebut bermakna bahwa belajar merupakan proses
konstruktif yang terjadi ketika siswa secara aktif terlibat dalam menciptakan
pengetahuannya sendiri dan memahami dengan menghubungkan apa yang
sedang dipelajari dengan pengetahuan dan pengalaman sebelumnya.
Berdasarkan pendapat yang telah dipaparkan sebelumnya yang di
maksud belajar dalam penelitian ini adalah proses perubahan tingkah laku,
sikap, kemampuan yang terjadi ketika siswa terlibat dalam membangun
pengetahuannya sendiri dengan menghubungkan pengalaman sebelumnya
dengan serangkaian kegiatan untuk mencapai suatu tujuan.
12
2. Pembelajaran
Pembelajaran ditinjau dari paham konstruktivisme menurut Sugihartono
(2007: 114) merupakan pembentukan lingkungan belajar yang dapat
membantu siswa untuk membangun konsep-konsep atau prinsip-prinsip siswa
berdasarkan kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi. Menurut
Wena (2009: 52) tujuan akhir dari pembelajaran adalah menghasilkan siswa
yang memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam pemecahan masalah yang
dihadapi kelak di masyarakat. Hal ini sejalan dengan pandangan Polya (1960:
4) yang mengatakan bahwa poin utama dalam pembelajaran matematika
adalah untuk mengembangkan taktik dalam pemecahan masalah.
Menurut Sagala (2009: 61) menyatakan bahwa pembelajaran adalah
membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar
yang merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan. Menurut Hammond
& Brabsford (2015: 103) : “A major role of instruction is to build studentss
storehouse of experience do that they can build their cognitive capacity‖.
Pernyataan tersebut bermakna peran utama dari pembelajaran adalah
untuk membangun gudang pengalaman siswa sehingga mereka dapat
membangun kapasitas kognitif mereka. Gudang pengalaman disini maksudnya
adalah pengalaman sebelumnya dari siswa sehingga siswa mendapatkan tugas
maka dari pengalaman sebelumnya siswa dpat mengerjakannya.
Hamalik (2006: 239) pembelajaran merupakan suatu kombinasi yang
tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material fasilitas, perlengkapan dan
prosedur yang saling mempengaruhi tercapainya suatu tujuan. Selanjutnya
13
Nitko & Brookhart (2011: 18) menyebutkan bahwa aktifitas pembelajaran
melibatkan tiga hal penting, yaitu: 1) Deciding what students are to learn. 2)
Carrying out the actual instruction. 3) Evaluating the learning.
Aktifitas pertama meliputi bagaimana cara guru memikirkan agar siswa
paham dengan apa yang telah diajarkan. Aktifitas kedua, guru menyediakan
kondisi dan aktifitas bagi siswa untuk belajar. Aktifitas ketiga yaitu
mengevaluasi apakah pembelajaran yang berangsung menggunakan penilaian
sumatif.
Berbagai pengertian pembelajaran yang diuraikan sebelumnya dapat
disimpulkan bahwa yang di maksud dalam penelitian ini pembelajaran
merupakan pembentukan lingkungan belajar yang memfasilitasi siswa untuk
membangun konsep dan prinsip berdasar kemampuannya sendiri dengan
tujuan akhirnya yaitu kemampuan memecahkan masalah melalui proses
komunikasi dua arah yaitu antara guru dengan siswa.
3. Matematika
Alberta (2007: 11) mendefinisikan matematika sebagai suatu ilmu
tentang pengenalan dan deskripsi pola bilangan dan non-bilangan. Selain itu,
ia juga menambahkan bahwa:
Mathematics is one way to describe interconnectedness in a holistic
worldview. Mathematics is used to describe and explain relationships
among numbers, sets, shapes, objects and concepts. The search for possible
relationships involves collecting and analyzing data and describing
relationships visually, symbolically, orally or in written form.
Maksud dari pernyataan di atas adalah matematika merupakan salah satu
cara untuk mendeskripsikan hubungan-hubungan dalam dunia ini. Matematika
14
digunakan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan hubungan antara bilangan,
himpunan, bentuk, objek, dan konsep. Termasuk juga penelusuran hubungan
mengenai pengumpulan, analisis data dan mendeskripsikannya secara visual,
simbolik, lisan ataupun dengan tulisan.
Soedjadi (2007: 9) mendefiniskan matematika sebagai ilmu yang
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Memiliki objek kajian yang abstrak yang hanya ada dalam pikiran
b. Bertumpu pada kesepakatan (lebih bertumpu pada aksioma formal)
c. Berpola pikir deduktif
d. Konsisten dalam sistemnya
e. Memiliki/menggunakan simbol yang “kosong” dari arti
f. Memperhatikan semesta pembicaraan
Selanjutnya Van de Walle, Karp, & Bay-William (2013: 13)
mengemukakan bahwa: ―Mathematics is the science of concepts and
processes that have a pattern of regularity and logical order‖. Matematika
merupakan ilmu dari konsep dan proses yang memiliki pola umum dan
susunan logika. Matematika tidak hanya sekedar penerapan keterampilan
numerasi dasar semata, melainkan matematika juga merupakan kendaraan
utama untuk mengembangkan kemampuan berpikir logis dan keterampilan
kognitif bagi manusia (Muijs & Reynolds, 2008: 333).
Berdasarkan beberapa definisi matematika yang telah diuraikan
sebelumnya maka disimpulkan bahwa matematika merupakan sebuah ilmu
yang tidak hanya mempelajari pola bilangan saja, melainkan sebuah ilmu yang
mempelajari tentang pola-pola dan hubungan-hubungan dalam dunia ini dari
yang bersifat konkret hingga abstrak yang dapat dideskripsikan secara
15
simbolik, visual, lisan, ataupun tulisan yang dapat meningkatkan keterampilan
kognitif dan berpikir logis seorang individu.
4. Pembelajaran Matematika
Pembelajaran merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian
perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung
dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu (Russeffendi, 1991:
261). Dalam pembelajaran, guru bertindak sebagai fasilitator yaitu guru
berperan dalam memberikan pelayanan untuk memudahkan siswa dalam
kegiatan proses pembelajaran. Jadi pembelajaran tidak berpusat pada guru,
siswa harus aktif sebagai pelaku utama (Wina 2006: 23).
Menurut Russeffendi (1991: 261) matematika adalah ilmu tentang
struktur yang terorganisasi, matematika terbentuk sebagai hasil pemikiran
manusia yang berhubungan dengan ide, proses dan penalaran. Matematika
yang dalam bahasa latin mathematica berasal dari bahasa Yunani
mathematike, yang berarti “relating to learning” mempunyai akar kata
mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu. Kata mathematike berhubungan
erat dengan sebuah kata lain yang serupa, yaitu mathemain yang berarti
belajar (Suherman, 2003 : 55).
Lebih lanjut Menurut Suherman (2003: 57) belajar matematika bagi para
siswa merupakan pembentukan pola pikir dalam pemahaman suatu pengertian
maupun dalam penalaran suatu hubungan di antara pengertian-pengertian itu.
Menurut BSNP (2006: 146), mata pelajaran Matematika pada satuan
16
pendidikan tingkat dasar dan menengah meliputi aspek-aspek: Logika,
Aljabar, Geometri, Trigonometri, Kalkulus, Statistika dan Peluang.
Berdasarkan definisi-definisi dan uraian-uraian sebelumnya maka dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dalam penelitian ini pembelajaran
matematika merupakan serangkaian kegiatan siswa dalam rangka
pembentukan pola pikir, pemahaman, pengetahuan, sikap, keterampilan dan
lainnya tentang matematika yang dibimbing oleh guru dalam suasana edukatif
untuk mencapai tujuan tertentu.
MTs Assalafiyyah Mlangi adalah sekolah yang menerapkan Kurikulum
KTSP dalam proses pembelajarannya. Dalam Kurikulum KTSP pada mata
pelajaran matematika, terdapat beberapa Standar Kompetensi (SK) maupun
Kompetensi Dasar (KD) yang harus tercapai (2006: 350).
Tabel 1. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
Bangun Ruang Sisi Datar
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
5. Memahami sifat-sifat kubus,
balok, prisma, limas, dan
bagian-bagiannya, serta
menentukan ukurannya
5.1 Mengidentifikasi sifat-sifat kubus, balok,
prisma dan limas serta bagian-bagiannya
5.2 Membuat jaring-jaring kubus, balok,
prisma dan limas
5.3 Menghitung luas permukaan dan volume
kubus, balok, prisma dan Limas
17
B. Pendekatan Kontekstual
Definisi teori pembelajaran kontekstual menurut CORD (1999: 1) adalah
sebagai berikut:
Contextual learning occurs only when students (learners) process new
information or knowledge in such a way that it makes sense to them in their
own frames of reference (their own inner worlds of memory, experience, and
response). This approach to learning and teaching assumes that the mind
naturally seeks meaning in context—that is, in relation to the person’s current
environment—and that it does so by searching for relationships that make
sense and appear useful.
Maksud dari uraian di atas adalah pembelajaran kontekstual terjadi apabila
siswa mampu memproses informasi atau pengetahuan baru yang didapatkannya
kemudian mengaitkan dan menemukan hubungan yang membuat pembelajaran
menjadi lebih bermakna.
Selanjutnya juga menambahkan bahwa, pembelajaran kontekstual
merupakan sebuah sistem yang merangsang otak untuk menyusun pola-pola yang
mewujudkan makna dengan menghubungkan muatan akademik dengan konteks
dari kehidupan sehari-hari siswa (Johnson, 2012: 58). Jadi, pendekatan
pembelajaran kontekstual adalah suatu pendekatan pembelajaran yang dapat
membantu guru dalam meningkatkan kemampuan siswa dalam mempelajari suatu
konsep tertentu dengan mengaitkan setiap materi pembelajaran dengan
lingkungan dan kehidupan sehari-hari siswa sehingga mereka dapat
menghubungkan antara pengetahuan yang mereka miliki dengan penerapannya
dalam keseharian mereka.
18
Johnson (2012: 65-66) mengatakan bahwa untuk mencapai tujuan
pembelajaran kontekstual, sistem pembelajaran haruslah sesuai dengan delapan
komponen yaitu
Making a meaningful conection, doing significant work, self-regulated learning,
collaborating, critical and creative thinking, nurturing the individual, reaching
high standards, using authentic assessments.
Membuat koneksi yang bermakna, melakukan pekerjaan yang signifikan,
pembelajaran mandiri, bekerja sama, berpikir kritis dan kreatif, memelihara
individu, mencapai standar yang tinggi, menggunakan penilaian otentik. Menurut
Sanjaya (2006: 254) terdapat lima karakteristik penting dalam proses
pembelajaran yang menggunakan pendekatan kontekstual diantaranya:
1. Mengaktifan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh peserta didik (activing
knowledge)
2. Memperoleh pengetahuan baru (acquiring knowledge)
3. Memahami pengetahuan (understanding knowledge)
4. Menerapkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge)
5. Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan
pengetahuan tersebut
Pendekatan kontekstual mempunyai 7 prinsip utama dalam pembelajaran
yaitu konstruktivisme (constructivism), penemuan (inquiry), bertanya
(questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling),
refleksi (reflection), dan penilaian yang sebenarnya (authentic assessment)
(Rusman, 2012: 193-199). Ketujuh prinsip utama dalam pendekatan kontekstual
di atas, maka langkah-langkah pembelajaran kontekstual dapat dilakukan dengan
cara (Supinah, 2008: 28-29):
19
a. Menyampaikan tujuan, pokok-pokok materi pelajaran , dan melakukan
apersepsi.
b. Menyampaikan permasalahan yang berkaitan dengan materi yang akan
dipelajari.
c. Membagi siswa dalam kelompok-kelompok kecil dengan kemampuan yang
merata.
d. Siswa bekerja dalam kelompok untuk mendiskusikan permasalahan dan materi
yang sedang dipelajari dan masing-masing kelompok mempresentasikan hasil
diskusi mereka.
e. Mengadakan refleksi terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru
diterima.
f. Memberikan penguatan, tes, ataupun kesimpulan.
Beradasarkan uraian sebelumnya, dalam penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa pembelajaran dengan pendekatan kontekstual adalah suatu pembelajaran
yang mengaitkan materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa
kemudian membimbing siswa untuk dapat menemukan dan memahami konsep
materi yang dipelajari dengan menggunakan tujuh prinsip utama yaitu
konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiry),
masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi
(reflection), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment).
20
C. Kemampuan Pemecahan Masalah
1. Pengertian Kemampuan Pemecahan Masalah
Pemecahan masalah merupakan aktivitas yang sangat penting dalam
pembelajaran matematika, menurut suherman, dkk bahwa suatu masalah
biasanya memuat situasi yang dapat mendorong seseorang untuk
menyelesaikannya. Masalah dalam matematika adalah suatu persoalan yang ia
sendiri mampu menyelesaikan tanpa menggunakan cara, dan prosedur yang
rutin.
Untuk menyelesaikan masalah seseorang harus menguasai hal-hal yang
telah dipelajari sebelumnya dan kemudian menggunakan dalam situasi baru.
Karena itu masalah yang disajikan kepada peserta didik harus sesuai dengan
kemampuan dan kesiapannya serta proses penyelesaiannya tidak dapat dengan
prosedur rutin. Cara melaksanakan kegiatan mengajar dalam penyelesaian
masalah ini, siswa diberi pertanyaaan-pertanyaan dari yang mudah ke yang
sulit berurutan secara hirarki. Salah satu fungsi pembelajaran matematika
adalah untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah.
Kemampuan pemecahan masalah matematika siswa ditekankan pada
berfikir tentang cara menyelesaikan masalah dan memproses informasi
matematika. Menurut Kennedy (Abdurrahman, 2012: 205) menyarankan
empat langkah proses pemecahan masalah yaitu: “memahami masalah,
merancang pemecahan masalah, melaksanakan pemecahan masalah dan
memeriksa kembali”.
21
Menurut Polya dalam Herman Hudojo (2003: 87), menyelesaikan
masalah didefinisikan sebagai usaha mencari jalan keluar dari kesulitan,
mencapai suatu tujuan yang tidak dengan segera dapat dicapai. Karena itu
pemecahan masalah merupakan suatu aktifitas tingkat tinggi. Krulik & Rudnik
(1995: 4) mengemukakan bahwa pemecahan masalah merupakan proses di
mana individu menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman
yang telah diperoleh untuk nenyelesaian masalah pada situati yang tidak
dikenalnya.
Jadi dari uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, dalam penelitian ini
dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah adalah suatu daya
atau kemampuan individu untuk menggunakan pengetahuan, keterampilan dan
pemahamannya dalam rangka menemukan solusi dari suatu masalah.
2. Komponen-Komponen Kemampuan Pemecahan Masalah
Menurut Glass & Holyoak (Jacob, 2010: 06) mengungkapkan empat
komponen dasar dalam menyelesaikan masalah adalah:
a. Tujuan atau deskripsi yang merupakan suatu solusi terhadap masalah
b. Deskripsi objek-objek yang relevan untuk mencapai suatu solusi sebagai
sumber yang dapat digunakan dan setiap perpaduan atau pertantangan
yang dapat tercakup
c. Himpunan operasi atau tindakan yang diambil untuk membantu mencapai
solusi.
d. Himpunan pembatas yang tidak harus dilanggar dalam pemecahan
masalah.
22
Dengan demikian, komponen-komponen tersebut, jelaslah bahwa dalam
suatu penyelesaian masalah itu mencakup adanya informasi keterangan yang
jelas untuk menyelesaikan masalah matematika, tujuan yang ingin dicapai, dan
tindakan yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan, agar penyelesaian
masalah berjalan dengan baik sesuai dengan yang diharapkan.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Pemecahan Masalah
Menurut Siswono (2008: 35) faktor yang mempengaruhi kemampuan
pemecahan masalah, yaitu:
a. Pengalaman Awal
Pengalaman terhadap tugas-tugas menyelesaikan soal cerita atau soal
aplikasi. Pengalaman awal seperti ketakutan (pobia) terhadap matematika
dapat menghambat kemampuan siswa dalam memecahkan masalah.
b. Latar Belakang Matematika
Kemampuan siswa terhadap konsep-konsep matematika yang
berbeda-beda tingkatnya dapat memicu perbedaan kemampuan siswa
dalam memecahkan masalah.
c. Keinginan dan Motivasi
Dorongan yang kuat dari dalam diri (internal), seperti menumbuhkan
keyakinan saya “BISA” maupun eksternal, seperti diberikan soal-soal yang
menarik, menantang, kontekstual dapat mempengaruhi hasil pemecahan
masalah.
23
d. Struktur Masalah
Struktur masalah yang diberikan kepada siswa (pemecahan
masalah), seperti format secara verbal atau gambar, kompleksitas (tingkat
kesulitan soal), konteks (latar belakang cerita atau tema), bahasa soal,
maupun pola masalah satu dengan masalah yang lain dapat mengganggu
kemampuan siswa dalam memecahkan masalah.
Siswono (2008: 36) juga menyebutkan bahwa dalam memecahkan
masalah perlu keterampilan-keterampilan yang harus dimiliki, yaitu: (1)
keterampilan empiris (perhitungan, pengukuran); (2) keterampilan aplikatif
untuk menghadapi situasi yang umum (seting terjadi); (3) keterampilan
berpikir untuk bekerja pada suatu situasi yang tidak biasa (unfamiliar).
4. Indikator Kemampuan Pemecahan Masalah
Beberapa indikator kemampuan pemecahan masalah matematika
menurut NCTM (1989: 209) adalah sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi unsur-unsur yang diketahui, yang ditanyakan, dan
kecukupan unsur yang diperlukan
b. Merumuskan masalah matematika atau menyusun model matematika
c. Menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan
masalah baru) dalam atau di luar matematika
d. Menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal
e. Menggunakan matematika secara bermakna.
24
Menurut Sumarmo (2000: 8)menyatakan bahwa indikator kemampuan
pemecahan masalah adalah sebagi berikut:
1) Mengidentifikasikan kecukupan data untuk pemecahan masalah
2) Membuat model matematik dari suatu situasi atau masalah sehari-hari dan
menyelesaikannya
3) Memilih dan menerapkan strategi untuk menyelesaikan masalah
matematika atau di luar matematika
4) Menjelaskan atau menginterpretasi hasil sesuai permasalahan asal serta
memeriksa kebenaran hasill atau jawaban
5) Menerapkan matematika secara bermakna.
Menurut Efendi, dkk (2007: 20) indikator yang menunjukan pemecahan
masalah matematika adalah:
a) Menunjukan pemahaman masalah.
b) Merancang strategi pemecahan masalah.
c) Melaksanakan stategi pemecahan masalah.
d) Memeriksa kebenaran jawaban.
Menurut BSNP (2006: 140) ada empat indikator kemampuan pemecahan
masalah yaitu
(1) Memahami masalah;
(2) Merancang model matematika;
(3) Menyelesaikan masalah, dan
(4) Menafsirkan solusinya.
25
Indikator yang digunakan adalah menurut BSNP, pada proses
pemecahan masalah pada penelitian ini meliputi 4 tahap yaitu (1) memahami
masalah, (2) merancang model matematika, dan (3) menyelesaikan masalah,
(4) menafsirka solusinya .
5. Langkah-langkah Pemecahan Masalah
Menurut Polya (1973: 6-14), terdapat empat langkah dalam
memecahkan masalah, yaitu:
a. Memahami Masalah (Understand the Problem)
Pada langkah ini, siswa diharapkan dapat memahami permasalahan
yang dihadapi. Kegiatan yang dilakukan siswa pada langkah ini, meliputi
menuliskan bagian penting, hal yang tidak diketahui, data yang diketahui,
dan syarat pada masalah. Selain itu, siswa juga menuliskannya dalam
notasi matematika. Jika terdapat gambar terkait dengan masalah, siswa
diharapkan dapat menggambarkannya.
b. Merencanakan Penyelesaian Masalah (Devising a Plan)
Tahap ini dilaksanakan setelah siswa memahami masalah yang
dihadapi. Pada tahap ini, siswa menyusun strategi atau rencana yang dapat
digunakan untuk menyelesaikan masalah. Dalam merencanakan masalah,
dibutuhkan pengalaman dan pengetahuan yang telah didapat siswa.
c. Menyelesaikan Masalah Sesuai Rencana (Carrying Out the Plan)
Pada tahap ini, siswa harus menyusun rincian yang sesuai dengan
garis besar rencana yang telah dibuat pada tahap sebelumnya. Siswa harus
menguji rincian tersebut satu persatu hingga tidak terdapat kesalahan.
26
d. Memeriksa Kembali (Looking Back)
Pada tahap ini, siswa memeriksa kembali keseluruhan penyelesaian
untuk menghindari kesalahan pada fase penting dalam langkah
penyelesaian. Siswa mempertimbangkan kembali dan menguji kembali
hasil penyelesaian dan langkah-langkahnya. Setelah memeriksa hasil dan
setiap langkah penyelesaian, siswa dapat meyakini bahwa hasil
penyelesaian yang didapat merupakan penyelesaian yang benar.
Pada penelitian ini, langkah-langkah pemecahan masalah yang
digunakan adalah langkah-langkah pemecahan masalah menurut Polya, yaitu
memahami masalah, merencanakan penyelesaian masalah, menyelesaikan
masalah sesuai rencana, dan memeriksa kembali, dimana dalam langkah
memeriksa kembali terdapat langkah menafsirkan solusi yang diperoleh.
D. Perangkat Pembelajaran Matematika dan Penyajiannya
1. Pengertian Lembar Kerja Siswa
Menurut Depdiknas (2007: 26), Lembar Kerja Siswa (LKS) merupakan
lembaran-lembaran yang berisi petunjuk atau langkah kerja untuk
menyelesaikan suatu tugas yang harus dikerjakan siswa. Prastowo (2011:
204), LKS merupakan suatu bahan ajar cetak berupa lembar-lembar kerta yang
berisi materi, ringkasan, dan petunjuk-petunjuk pelaksanaan tugas
pembelajaran yang harus dikerjakan oleh siswa, yang mengacu pada
kompetensi dasar yang harus dicapai oleh siswa. Berdasarkan pengertian-
pengertian tersebut, disimpulkan bahwa LKS adalah bahan ajar berupa
lembaran kertas yang berisi petunjuk atau langkah kerja untuk melaksanakan
27
tugas pembelajaran yang harus dikerjakan siswa mengacu pada kompetensi
dasar yang harus dicapai siswa untuk memudahkan siswa melakukan proses
belajar.
Purwanto & Ida Melati S. (2004: 427-428) menyatakan bahwa LKS
harus mengamanatkan kepada peserta didik untuk aktif dan kreatif
memikirkan aplikasi atau penerapan dari isi materi. LKS yang baik juga
mendorong pelajar untuk ingin belajar terus melalui bahan-bahan rujukan
yang harus dan perlu dibaca lebih lanjut. Misalnya, mendorong peserta didik
untuk membaca artikel surat kabar, internet atau buku yang lain. Selain itu,
LKS harus dikembangkan dan ditulis dengan memperhatikan prinsip-prinsip
bahwa: cakupan materinya cukup memadai, urutan materinya tersaji secara
sistematis, dan isinya harus sesuai dengan tujuan pembelajaran.
Berdasarkan uraian sebelumnya, dalam penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa LKS merupakan lembaran-lembaran yang berisi petunjuk belajar atau
langkah-langkah kegiatan belajar bagi siswa untuk menemukan/memperoleh
pengetahuan dari materi yang sedang dipelajari. Materi dalam LKS disusun
sedemikian rupa sehingga dengan mempelajari materi tersebut tujuan-tujuan
pembelajaran yang telah dirumuskan dapat tercapai. Materi pembelajaran itu
disusun langkah demi langkah secara teratur dan sistematik sehingga siswa
dapat mengikutinya dengan mudah. LKS juga disertai dengan
pertanyaan/latihan dan biasanya melampirkan jawaban yang benar.
28
2. Syarat Lembar Kegiatan Siswa yang Baik
Dalam Permendikbud No. 71 tahun 2013 yang mengatur tentang buku
teks pelajaran dan buku panduan guru untuk pendidikan dasar dan menengah,
menyebutkan bahwa suatu buku teks atau bahan ajar (termasuk LKS)
dinyatakan baik dan layak digunakan apabila memenuhi empat aspek kriteria
kelayakan, yaitu kelayakan isi, bahasa, penyajian, dan grafika.
Berikut uraian mengenai kriteria kelayakan buku teks atau bahan ajar
(Muljono, 2007: 21):
a. Kelayakan Isi
Komponen kelayakan isi diuraikan menjadi beberapa subkomponen
atau indikator berikut: 1) kesesuaian dengan SK dan KD mata pelajaran, 2)
kesesuaian dengan perkembangan peserta didik, dan 3) substansi keilmuan
yang meliputi keakuratan dan kemutakhiran materi.
b. Kelayakan Bahasa
Komponen kebahasaan ini diuraikan menjadi beberapa
subkomponen atau indikator berikut: (a) keterbacaan, (b) kesesuaian
dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar, dan (c) logika
berbahasa.
c. Penyajian
Komponen penyajian ini diuraikan menjadi beberapa subkomponen
atau indikator berikut: 1) teknik penyajian materi, 2) pendukung penyajian,
dan 3) ketepatan penyajian dalam pembelajaran.
29
d. Kegrafikan
Komponen kegrafikan ini diuraikan menjadi beberapa subkomponen
atau indikator berikut: 1) ukuran/format buku, 2) desain bagian sampul
yang meliputi tata letak, tipografi, dan ilustrasi, dan 3) desain bagian isi
yang meliputi tata letak, tipografi, dan ilustrasi.
Selain itu, menurut Arsyad (2011: 88-89), LKS merupakan salah satu
media teks berbasis cetakan yang menuntut beberapa elemen yang perlu
diperhatikan pada saat menyusunnya agar menjadi suatu media yang
berkualitas, beberapa elemen tersebut adalah sebagai berikut:
1) Konsistensi
a) Konsistensi format dari halaman ke halaman diusahakan tidak
menggabungkan cetakan huruf dan ukuran huruf.
b) Konsistensi penentuan jarak spasi antara judul dan baris pertama serta
garis samping, antara judul dan teks utama supaya sama.
2) Format
a) Tampilan satu kolom akan lebih sesuai untuk paragraf yang panjang.
Sebaliknya, jika paragraf yang digunakan pendek, lebih baik memakai
tampilan dua kolom.
b) Isi yang berbeda dipisahkan dan dilabel secara visual.
c) Taktik dan strategi pengajaran yang berbeda dipisahkan dan dilabel
secara visual.
30
3) Organisasi
a) Mengupayakan siswa/pembaca untuk mengetahui dimana posisinya
dalam teks secara keseluruhan
b) Teks disusun sedemikian rupa sehingga informasi mudah diperoleh.
c) Kotak-kotak dapat digunakan untuk memisahkan bagian-bagian dari
teks.
4) Daya Tarik
Memperkenalkan setiap bab/bagian baru dengan cara yang berbeda. Ini
diharapkan dapat memotivasi siswa untuk membaca.
5) Ukuran Huruf
a) Ukuran huruf harus sesuai dengan siswa, pesan, dan lingkungannya.
b) Penggunaan huruf kapital untuk seluruh teks harus dihindari agar tidak
menyulitkan proses membaca.
6) Ruang Kosong
a) Memberi kesempatan kepada siswa/pembaca untuk beristirahat pada
titik-titik tertentu dengan menambahkan ruang kosong yang tak berisi
teks atau gambar. Ruang kosong dapat berbentuk: (1) ruangan sekitar
judul; (2) batas tepi (margin); (3) spasi antar kolom; (4) permulaan
paragrap diidentifikasi; dan (5) penyesuaian spasi antar baris atau antar
paragraf,
b) Menyesuaikan spasi antar baris untuk meningkatkan tampilan dan
tingkat keterbacaan.
31
c) Menambahkan spasi antar paragraf untuk meningkatkan tingkat
keterbacaan.
Darmodjo & Jenry Kaligis (1991: 41-46) menyatakan syarat-syarat yang
harus dimiliki dalam menyusun LKS sebagai berikut:
(1) Syarat- syarat Didaktik
Syarat ini mengatur tentang penggunaan LKS yang bersifat universal
yaitu dapat digunakan dengan baik untuk siswa yang lamban atau yang
pandai. LKS yang baik lebih menekankan pada proses untuk menemukan
konsep. LKS yang berkualitas harus memenuhi syarat- syarat didaktik
sebagai berikut:
(a) Mengajak siswa aktif dalam proses pembelajaran
(b) Memberi penekanan pada proses untuk menemukan konsep
(c) Memiliki variasi stimulus melalui berbagai media dan kegiatan siswa
sesuai dengan ciri KTSP
(d) Dapat mengembangkan kemampuan komunikasi sosial, emosional,
moral, dan estetika pada diri siswa
(e) Pengalaman belajar ditentukan oleh tujuan pengembangan pribadi.
(2) Syarat Konstruksi
Syarat-syarat konstruksi ialah syarat-syarat yang berkenaan dengan
penggunaan bahasa, susunan kalimat, kosakata, tingkat kesukaran, dan
kejelasan, yang pada hakekatnya harus tepat guna dalam arti dapat
dimengerti oleh siswa. Syarat-syarat konstruksi tersebut yaitu :
32
(a) Menggunakan bahasa yang sesuai dengan tingkat kedewasaan anak.
(b) Menggunakan struktur kalimat yang jelas.
(c) Memiliki tata urutan pelajaran yang sesuai dengan tingkat kemampuan
siswa.
(d) Hindarkan pertanyaan yang terlalu terbuka.
(e) Tidak mengacu pada buku sumber yang di luar kemampuan
keterbacaan siswa.
(f) Menyediakan ruangan yang cukup untuk memberi keleluasaan pada
siswa untuk menulis maupun menggambarkan pada LKS.
(g) Menggunakan kalimat yang sederhana dan pendek.
(h) Menggunakan lebih banyak ilustrasi daripada kata-kata.
(i) Dapat digunakan oleh anak-anak, baik yang lamban maupun yang
cepat.
(j) Memiliki tujuan yang jelas serta bermanfaat sebagai sumber motivasi.
(k) Mempunyai identitas untuk memudahkan administrasinya.
(3) Syarat Teknis
Syarat ini menekankan penyajian LKS, yaitu berupa tulisan, gambar
dan penampilannya dalam LKS. Syarat teknis penyusunan LKS adalah
sebagai berikut:
(a) Tulisan
(i) Menggunakan huruf cetak dan tidak menggunakan huruf latin atau
romawi.
33
(ii) Menggunakan huruf tebal yang lebih besar untuk topik, bukan
huruf biasa yang diberi garis bawah.
(iii) Menggunakan kalimat pendek, tidak boleh lebih dari 10 kata
dalam satu baris.
(iv) Menggunakan bingkai untuk membedakan kalimat perintah
dengan jawaban siswa.
(v) Mengusahakan agar perbandingan besarnya huruf dengan
besarnya gambar serasi.
(b) Gambar
Gambar yang baik untuk LKS adalah gambar yang dapat
menyampaikan pesan/isi dari gambar tersebut secara efektif kepada
pengguna LKS.
(c) Penampilan
Penampilan LKS yang menarik akan membuat siswa tertarik untuk
belajar menggunakan LKS.
Dalam penelitian ini, acuan yang digunakan dalam pengembangan LKS
yang dinyatakan baik dan layak menurut Muljono apabila memenuhi empat
aspek kriteria kelayakan, yaitu kelayakan isi, bahasa, penyajian, dan grafika.
3. Langkah-langkah Penyusunan Lembar Kerja Siswa
Langkah-langkah Penyusunan Lembar Kegiatan Siswa Depdiknas
(2008: 23-24) menyatakan langkah-langkah yang dilakukan dalam
penyusunan LKS sebagai berikut:
34
a. Melakukan Analisis Kurikulum
Analisis kurikulum dimaksudkan untuk menentukan materi-materi mana
yang akan dikembangkan dalam LKS.
b. Menyusun Peta Kebutuhan LKS
Peta kebutuhan LKS sangat diperlukan guna mengetahui jumlah LKS yang
akan ditulis.
c. Menentukan Tema/Topik LKS
Tema/topik LKS ditentukan atas dasar Kompetensi Dasar (KD) dan
materimateri pokok yang terdapat dalam kurikulum. Satu KD dapat
dijadikan sebagai satu tema/topik LKS.
d. Penulisan LKS
Penulisan LKS dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Perumusan KD dan indikator pencapaian kompetensi
Perumusan KD dan indikator pencapaian kompetensi pada suatu LKS
dilakukan dengan berpedoman pada standar isi.
2) Menentukan Alat Penilaian
Penilaian dilakukan berdasarkan pada penguasaan kompetensi.
3) Penyusunan Materi
Materi LKS sangat tergantung pada KD yang akan dicapai. Materi
dapat diambil dari berbagai sumber seperti buku, majalah, internet,
maupun jurnal hasil penelitian.
35
4) Menentukan Struktur LKS
Struktur LKS secara umum adalah sebagai berikut:
i. Judul
ii. Petunjuk belajar
iii. Kompetensi yang akan dicapai
iv. Informasi pendukung
v. Latihan-latihan
vi. Langkah-langkah kegiatan
vii. Penilaian
E. Kriteria Kualitas Perangkat Pembelajaran
Dalam pengembangan produk pendidikan, kualitas dari produk pengembangan
memiliki peranan yang cukup penting dalam dunia pendidikan seperti yang
diungkapkan oleh Nieveen (1999: 126) yaitu “the wide array of educational products
play important roles in education‖. Lebih lanjut, kualitas produk pengembangan
pembelajaran harus memenuhi kriteria valid, praktis dan efektif (Nieveen, 1999: 127-
128). Berikut disajikan aspek-aspek kualitas produk pengembangan menurut Nieveen
(1999: 127).
Tabel 2. Kriteria Validitas, Praktis, dan Efektif Menurut Nieveen
Quality Aspects
Validity Practically Efectiveness
Intended (ideal + formal) Consistensy between Consistensy between
State of the art Intended Perceived Intended Experiential
Internally Consistent Intended Operation Intended Attained
Untuk mengetahui maksud dari representasi dari aspek tersebut dapat dilihat
dari Tabel dibawah ini:
36
Tabel 3. Reprensentasi Aspek Kualitas Menurut Nieveen
Ideal Menggambarkan asumsi, visi dan tujuan dari sebuah dokumen
kurikulum
Formal Menggambarkan contoh konkrit dokumen kurikulum seperti
buku siswa dan petunjuk guru. Kombinasi dari ideal dan formal
disebut intended.
Perceived Interprestasi kurikulum oleh pengguna (khususnya guru)
Operational Menggambarkan proses pembelajaran aktual (curriculum –in
action
atau enacted curriculum)
Experiential Kurikulum menggambarkan pengalaman siswa
Attained Menggambarkan hasil belajar siswa
1. Kevalidan (Validity)
Nieveen (1999: 127) menyatakan bahwa “the component of material
should be based on state of the art knowledge (content validity) and all
component should be consistently linked to each other (construct validity)‖.
Hal tersebut dapat dipahami bahwa kualitas produk dikatakan valid yaitu
dengan melihat dari keterkaitannya, serta mempertimbangkan tujuan dari
pengembangan produk tersebut. Dengan demikian kriteria kevalidan
mencakup validitas isi yaitu kesesuaian komponen-komponen yang melandasi
pembuatan produk, dan validitas konstruk yaitu keterkaitan seluruh komponen
dalam pengembangan produk.
Dalam penelitian ini, Lembar Kerja Siswa dengan pendekatan kontekstual
dikatakan valid jika memenuhi kriteria berikut
(a) Hasil penilaian ahli/praktisi menyatakan bahwa perangkat pembelajaran
lembar kerja siswa didasarkan pada landasan teoritik yang kuat.
37
(b) Hasil penilaian ahli/praktisi menyatakan bahwa komponen perangkat
pembelajaran lembar kerja siswa secara konsisten saling berkaitan.
2. Kepraktisan (Practicality)
Nieveen (1999: 127) menyatakan bahwa “A second characteristic of high
quality materials is that teachers (and other experts) consider the materials to
be usable and that it is easy for teacher and students to use the materials in
away that is largely compatible with the developers’intention‖. Hal tersebut
dapat dimaknai bahwa kepraktisan produk pengembangan ditentukan dari
pendapat guru yang menyatakan bahwa produk yang dihasilkan dapat
digunakan dan produk mudah digunakan oleh guru dan siswa sesuai dengan
maksud pengembang.
Dengan demikian dalam penelitian ini, lembar kerja siswa yang
dikembangkan dikatakan praktis jika memenuhi kriteria:
a. Para ahli dan guru menyatakan perangkat pembelajaran lembar kerja siswa
yang dikembangkan dapat diterapkan.
b. Secara nyata di lapangan, guru dan siswa sebagai pengguna menyatakan
perangkat pembelajaran lembar kerja siswa yang dikembangkan dapat
diterapkan.
3. Keefektifan (Effectiveness)
Nieveen (1999:127) menyatakan bahwa “A third characteristic of high
quality materials is that students appreciate the learning program and that
desired learning takes place. With such effective materials, consistency exists
between the intended and experiential curriculum and the intended and the
38
attained curriculum‖. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keefektifan
produk pengembangan (dalam penelitian ini model pembelajaran) ditinjau dari
konsistensi antara rancangan/tujuan dengan pengalaman dan hasil belajar yang
dicapai siswa. Pengalaman siswa ditentukan melalui apresiasi siswa terhadap
pembelajaran matematika, selajutnya hasil belajar siswa dapat ditentukan
melalui hasil tes.
Perangkat lembar kerja siswa dikatakan efektif jika memenuhi indikator:
a. Apresiasi siswa terhadap pembelajaran matematika.
b. Ketercapaian kompetensi oleh siswa secara klasikal atau individual.
F. Lembar Kerja Siswa (LKS) dengan Pendekatan Kontekstual
Lembar Kerja Siswa (LKS) dengan pendekatan kontekstual adalah
lembaran-lembaran yang berisi petunjuk belajar atau langkah-langkah kegiatan
belajar bagi siswa untuk menemukan/memperoleh pengetahuan dari materi yang
sedang dipelajari menggunakan konsep pembelajaran yang menekankan pada
keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan siswa secara
nyata, sehingga para siswa mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi
hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari. Melalui proses penerapan kompetensi
hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari, siswa akan merasakan pentingnya
belajar, dan mereka memperoleh makna yang mendalam terhadap apa yang
dipelajarinya. LKS dengan pendekatan kontekstual memungkinkan proses belajar
yang tenang dan menyenangkan, karena pembelajaran yang dilakukan secara
alamiah, sehingga siswa dapat mempraktekkan secara langsung apa yang
dipelajarinya.
39
G. Model Pengembangan
Menurut Borg & Gall (1989: 624), educational research and development is
a process used to develop and validate educational product. Atau dapat diartikan
bahwa penelitian pengembangan pendidikan adalah sebuah proses yang
digunakan untuk mengembangkan dan memvalidasi produk pendidikan. Hasil dari
penelitian pengembangan tidak hanya pengembangan sebuah produk yang sudah
ada melainkan juga untuk menemukan pengetahuan atau jawaban atas
permasalahan praktis. Metode penelitian dan pengembangan juga didefinisikan
sebagai suatu metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk
tertentu, dan menguji keefektifan produk tersebut (Sugiyono, 2011: 297).
Selanjutnya, Penelitian Pengembangan juga diartikan sebagai suatu proses atau
langkah-langkah untuk mengembangkan suatu produk baru atau
menyempurnakan produk yang telah ada yang dapat dipertanggungjawabkan
(Sujadi, 2003: 164).
Berdasarkan pendapat beberapa ahli sebelumnya, dapat dipahami bahwa
yang dimaksud dalam penelitian pengembangan ini adalah suatu proses kajian
sistematik untuk mengembangkan dan memvalidasi produk yang digunakan
dalam pendidikan. Produk yang dikembangkan/dihasilkan antara lain berupa
bahan pelatihan untuk guru, materi ajar, media pembelajaran, soal-soal, dan
sistem pengelolaan dalam pembelajaran. Ada beberapa model penelitian
pengembangan dalam bidang pendidikan, antara lain diuraikan sebagai berikut:
40
1. Model Sugiyono
Menurut Sugiyono (2011: 298), langkah-langkah penelitian dan
pengembangan ada sepuluh langkah sebagai berikut:
a. Potensi dan masalah,
b. Pengumpulan data,
c. Desain produk,
d. Validasi desain,
e. Revisi desain,
f. Ujicoba produk,
g. Revisi produk,
h. Ujicoba pemakaian,
i. Revisi produk, dan
j. Produksi massal.
Adapun gambar langkah-langkah penelitiannya seperti ditunjukkan pada
gambar berikut.
Gambar 1. Langkah-langkah penggunaan metode Research and
Development (R&D) menurut Sugiyono
41
2. Model Borg & Gall
Menurut Borg dan Gall (1989: 783-795), pendekatan research and
development (R & D) dalam pendidikan meliputi sepuluh langkah, sebagai
berikut:
a. Studi Pendahuluan (Research and Information Collecting)
b. Perencanaan Penelitian (Planning)
c. Pengembangan desain (Develop Preliminary of Product)
d. Uji coba lapangan awal (Preliminary Field Testing)
e. Merevisi hasil uji coba (Main Product Revision)
f. Uji coba lapangan (Main Field Test)
g. Penyempurnaan produk hasil uji lapangan (Operational Product Revision)
h. Uji pelaksanaan lapangan (Operational Field Testing)
i. Penyempurnaan produk akhir (Final product revision)
j. Diseminasi dan implementasi
Adapun gambar langkah-langkah penelitiannya seperti ditunjukkan pada
gambar berikut.
Gambar 2. Langkah-langkah penggunaan metode Research and
Development (R&D) menurut Borg and Gall
42
3. Model Thiagarajan
Model pengembangan pembelajaran Thiagarajan yang dikenal dengan
model 4-D dilakukan melalui 4 tahap (Thiagarajan, 1974: 6), antara lain:
a. pendefinisian (define),
b. perancangan (design),
c. pengembangan (develop),
d. dan penyebaran (disseminate).
Adapun gambar langkah-langkah penelitiannya seperti ditunjukkan pada
gambar berikut:
Gambar 3. Langkah-langkah penggunaan metode Research and
Development (R&D) model Thiagarajan
43
4. Model Dick & Carey
Model pengembangan Dick & Carey terdiri dari 10 komponen.
Komponen pengembangan menurut W. Dick & L. Carey (2001: 2-3) ini
meliputi:
a. Assess needs to identify goals atau mengidentifikasi tujuan pembelajaran
b. Conduct instructional analysis atau menetapkan analisis pembelajaran
c. Analyze learners and contexts atau analisis keterampilan dasar dan
karakteristik siswa
d. Write performance objectives atau merumuskan tujuan pembelajaran
khusus
e. Develop assessment instruments atau mengembangkan instrument
penilaian
f. Develop instructional strategy atau mengembangkan sebuah strategi
pembelajaran
g. Develop and select instructional material atau mengembangkan dan
memilih materi pembelajaran
h. Design and conduct formative evaluation of instruction atau merancang
dan melakukan penilaian formatif pembelajaran
i. Revise instruction atau merevisi pembelajaran
j. Design and conduct summative evaluation atau merancang dan melakukan
evaluasi sumatif
Model pengembangan menurut Dick & Carey digambarkan sebagai
berikut:
44
Gambar 4. Langkah-langkah penggunaan Metode Research and
Development (R&D) menurut Dick & Carey
5. Model Reiser & Dempsey
Model pengembangan bahan ajar menurut Reiser & Dempsey (2007: 11)
Secara rinci dapat diuraikan sebagai berikut.
a. Analysis (Analisa).
b. Design (Disain/Perancangan).
c. Development (Pengembangan)
d. Implementation (Implementasi/Eksekusi)
e. Evaluation (Evaluasi/Umpan Balik)
Model pengembangan menurut Reiser & Dempsey digambarkan sebagai
berikut:
45
Gambar 5. Langkah-langkah penggunaan Metode Research and
Development (R&D) menurut Reiser & Dempsey
Dalam penelitian ini, acuan yang digunakan dalam pengembangan LKS
yaitu model Reiser and dempsey yang melalui 5 tahap yaitu (1) Analisis
(Analyze). (2) Desain/Perancangan (Design). (3) Pengembangan
(Development). (4) Implementasi/Eksekusi (Implementation) (5)
Evaluasi/Umpan Balik (Evaluation).
H. Penelitian yang Relevan
Berdasarkan jurnal riset pendidikan matematika pada penelitian yang
dilakukan oleh Siwi Khomsiatun (2015: 92-106) dalam jurnalnya yang berjudul
“Pengembangan Perangkat Pembelajaran Dengan Penemuan Terbimbing Untuk
Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Perangkat” menunjukkan bahwa
produk yang dikembangkan pada penelitian ini memenuhi kriteria valid” dengan
skor 293 dan didasarkan pada landasan teoritik yang kuat. Kualitas kepraktisan
produk yang dikembangkan menunjukkan skor 62 sehingga LKS termasuk dalam
46
kategori praktis. Sedangkan untuk kriteria keefektifan penggunaan LKS
menunjukkan persentase 70% dengan kriteria efektif.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Hengkang Bara Saputro (2012:
10) dengan penelitiannya yang berjudul “Pengembangan Lembar Kegiatan Siswa
LKS untuk siswa SMP Kelas IX Semester 1 pada Materi Statistika Menggunakan
Pendekatan Kontekstual” menunjukkan bahwa produk yang dikembangkan pada
penelitian ini memenuhi kriteria sangat valid dengan skor rata-rata 4.17. Kualitas
kepraktisan produk yang dikembangkan menunjukkan nilai rata-rata 3.38 yang
memenuhi kriteria praktis. Sedangkan untuk kriteria keefektifan penggunaan LKS
menunjukkan persentase 96,87% dengan kriteria sangat efektif.
Selajutnya pada penilitian yang dilakukan oleh Arif Hidayatul Khusna
(2016: 353-377) dalam jurnalnya yang berjudul “Pengembangan Lembar Kerja
Siswa Pokok Bahasan Barisan dan Deret untuk siswa SMA” menunjukkan bahwa
LKS yang telah dikembangkan dinyatakan sangat valid dengan persenase
kevalidan sebesar 85,75% berdasarkan penilaian dari validator ahli dan validator
praktisi. Kemudian memiliki tingkat kepraktisan sebesar 85,6% berdasarkan
penilaian subjek uji coba dan dinyatakan efektif berdasarkan hasil tes soal
evaluasi setelah digunakannya LKS dalam kegiatan pembelajaran.
Berdasarkan pada penelitian di atas menunjukkan bahwa bahan ajar dan
perangkat pembelajaran yang dikembangkan menggunakan pendekatan
kontekstual mampu memenuhi kriteria valid, praktis dan efektif dalam
penggunaanya pada kegiatan pembelajaran.
47
I. Kerangka Berfikir
Kemampuan pemecahan masalah merupakan kemampuan yang penting dan
diharapkan dimiliki oleh siswa. Kemampuan ini dianggap penting karena akan
membekali siswa dengan kemampuan berpikir yang dibutuhkan dalam
menghadapi berbagai macam masalah dan bertahan hidup dalam keadaan yang
selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif. Namun, fakta di lapangan
menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah yang dimiliki siswa masih
rendah.
Materi Kubus dan Balok penting untuk dipelajari karena merupakan
prasyarat untuk mempelajari materi berikutnya. Pembelajaran Kubus dan Balok
akan berhasil jika siswa mampu berperan aktif dalam membangun pemahamannya
sendiri. Sehingga perlu adanya pengembangan bahan ajar yang mampu
memfasilitasi siswa untuk berperan aktif dalam memcahkan masalah sendiri.
Perangkat pembelajaran tersebut adalah Lembar Kerja Siwa (LKS) dengan
pendekatan kontekstual. Lembar kerja siswa mempunyai banyak manfaat yaitu
mudah dipelajari baik di sekolah maupun di rumah sehingga dapat di pelajari
kapan saja. Untuk itu, LKS yang akan dikembangkan harus sesuai dengan
karakteristik, lingkungan sosial siswa, serta dapat mengaktifkan siswa selama
proses pembelajaran. Sehingga siswa dapa meningkatkan kemampuan pemecahan
masalah dan meingkatkan prestasi belajar matematika. Berikut diagram kerangka
berfikir:
48
Gambar 6. Alur kerangka berfikir
J. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang dipaparkan pada Bab I, dapat
dijabarkan dalam beberapa pertanyaan penelitian. Penjabaran meliputi beberapa
hal sebagai berikut.
1. Bagaimanakah pengembangan perangkat pembelajaran Lembar Kerja Siswa
(LKS) menggunakan pendekatan kontekstual untuk meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah pada pokok bahasan Kubus dan Balok kelas
VIII MTs Assalafiyyah?
2. Seberapa kualitas perangkat pembelajaran Lembar Kerja Siswa (LKS)
matematika menggunakan pendekatan kontekstual untuk meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah pada pokok bahasan Kubus dan Balok kelas
VIII MTs Assalafiyyah berdasarkan aspek kevalidan, kepraktisan dan
keefektifan?