Upload
duongnguyet
View
213
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Motivasi Belajar
1. Pengertian Motivasi Belajar
Menurut Hellriegel dan Slocum (Khodijah, 2014) motivasi
merupakan kekuatan yang mendorong seseorang melakukan sesuatu untuk
mencapai tujuan, kekuatan ini dirangsang oleh adanya berbagai macam
kebutuhan, seperti (1) keinginan yang hendak dipenuhi, (2) tingkah laku,
(3) tujuan, dan (4) umpan balik. Sejalan dengan Hellriegel & Slocum
(Khodijah, 2014), Iskandar (Suardana & Simarmata, 2013) menyatakan
bahwa motivasi belajar adalah daya penggerak dari dalam diri individu
untuk melakukan kegiatan belajar untuk menambah pengetahuan dan
keterampilan serta pengalaman
Menurut Sardiman (2014) motivasi belajar adalah keseluruhan
daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan, menjamin
kelangsungan dan memberikan arah kegiatan belajar, sehingga diharapkan
tujuan dapat tercapai. Sedangkan menurut Prawira (2014) motivasi belajar
adalah segala sesuatu yang ditujukan untuk mendorong atau memberikan
semangat kepada seseorang yang melakukan kegiatan belajar agar menjadi
lebih giat lagi dalam belajarnya untuk memperoleh prestasi yang lebih
baik lagi.
Berdasarkan pemaparan beberapa ahli di atas maka dapat
disimpulkan bahwa motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak di
17
dalam diri siswa yang menimbulkan, menjamin kelangsungan dan
memberikan arah kegiatan belajar, sehingga diharapkan tujuan dapat
tercapai
2. Indikator – Indikator Motivasi Belajar
Uno (2016) mengungkapkan beberapa indikator motivasi belajar
yang dapat dijabarkan dibawah ini:
a. Adanya hasrat dan keinginan berhasil. Berdasarkan KBBI (2017)
hasrat dan keinginan berhasil adalah keinginan atau harapan yang kuat
dalam diri individu untuk dapat mencapai maksud atau tujuannya.
b. Adanya dorongan dan kebutuhan untuk belajar. Dorongan dan
kebutuhan untuk belajar merupakan kebutuhan untuk berbuat sesuatu
demi kegiatan belajar itu sendiri yang mengandung suatu kegembiraan
bagi dirinya, kebutuhan untuk menyenangkan hati orang lain,
kebutuhan untuk mencapai suatu hasil belajar, dan kebutuhan untuk
mengatasi kesulitan dalam belajar (Nasution, 1995)
c. Adanya harapan dan cita-cita masa depan. Hurlock (1979),
mengartikan harapan dan cita-cita sebagai keinginan meraih sesuatu
yang lebih tinggi dari keadaan saat ini.
d. Adanya penghargaan dalam belajar. Bentuk-bentuk penghargaan yang
dapat dirasakan oleh para siswa dapat berupa rasa berkompeten di
sekolah, kepuasan, keberhasilan dalam melaksanakan tugas atau rasa
bangga karena telah melakukan pekerjaan dengan baik, pujian dari
18
guru dan nilai yang bagus, objek (benda), saran, atau mampu untuk
mengerjakan aktivitas yang lain (Schunk, 2012).
e. Adanya kegiatan yang menarik dalam belajar. Kegiatan yang menarik
dalam belajar ditandai dengan adanya lingkungan yang tidak membuat
tegang, aman, lingkungan belajar yang kondusif, tidak membuat ragu
siswa untuk melakukan sesuatu, menggunakan semua indera, dan
siswa terlihat antusias dalam beraktivitas (Jauhar, 2011).
f. Lingkungan belajar terdiri dari dua yaitu lingkungan sosial dan
nonsosial. Lingkungan belajar sosial adalah orang-orang disekitar
siswa yang dapat berpengaruh dalam kegiatan belajarnya sedangkan
lingkungan belajar nonsosial adalah fasilitas-fasilitas yang mendukung
siswa belajar seperti gedung sekolah dan letaknya, rumah tinggal dan
letaknya, alat-alat belajar, keadaan cuaca, dan waktu belajar yang
digunakan siswa. Kedua lingkungan ini harus saling mendukung
sehingga tercipta suatu lingkungan yang nyaman bagi siswa untuk
belajar (Syah, 2013).
Sardiman (2014) mengemukakan beberapa ciri yang menunjukkan
seorang individu memiliki motivasi belajar yang tinggi. Ciri-ciri dari
setiap individu yang memiliki motivasi belajar tinggi, yaitu:
a. Tekun menghadapi tugas (dapat bekerja terus menerus dalam waktu
yang lama, tidak pernah berhenti sebelum selesai)
b. Ulet menghadapi kesulitan (tidak mudah putus asa)
c. Menunjukkan minat terhadap bermacam-macam masalah
19
d. Lebih senang bekerja mandiri
e. Cepat bosan pada tugas-tugas yang rutin (diulang-ulang)
f. Dapat mempertahankan pendapatnya (jika sudah yakin akan sesuatu)
g. Tidak mudah melepaskan hal yang sudah diyakininya
h. Senang mencari dan memecahkan masalah soal-soal
Selanjutnya Schunk, Meece, dan Pintrich (2012) memaparkan ciri-
ciri seseorang yang memiliki motivasi belajar yang tinggi yaitu:
a. Kebebasan pemilihan tugas atau aktivitas yang sesuai pada minat
siswa akan mengindikasikan dimana letak motivasi siswa tersebut
untuk mengerjakan suatu tugas atau aktivitas
b. Siswa yang memiliki motivasi belajar yang tinggi akan memiliki usaha
yang tinggi pula terutama pada tugas-tugas yang sulit
c. Siswa yang memiliki motivasi belajar yang tinggi akan dapat bekerja
dalam waktu yang lama terutama pada saat menghadapi suatu
rintangan atau halangan
d. Bagaimana siswa memilih, berusaha dan tekun dalam meningkatkan
prestasi belajar mengindikasikan motivasi belajar yang tinggi.
Berdasarkan pemaparan indikator dan ciri di atas maka dapat
disimpulkan bahwa individu yang memiliki motivasi belajar tinggi memiliki
hasrat dan keinginan berhasil untuk belajar, dorongan dan kebutuhan untuk
belajar, harapan dan cita-cita masa depan, penghargaan dalam belajar,
kegiatan yang menarik dalam belajar, dan memiliki lingkungan belajar yang
kondusif, tekun menghadapi tugas, ulet menghadapi kesulitan, menunjukkan
20
minat terhadap bermacam-macam masalah, lebih senang bekerja mandiri,
cepat bosan pada tugas-tugas yang rutin, dapat mempertahankan pendapatnya,
tidak mudah melepaskan hal yang sudah diyakininya, senang mencari dan
memecahkan masalah soal-soal, kebebasan pemilihan tugas atau aktivitas
yang sesuai pada minat siswa, memiliki usaha tinggi terutama pada tugas yang
sulit, dapat bekerja dalam waktu lama terutama ketika menghadapi rintangan
dan halangan, dan adanya usaha, ketekunan, dan pemilihan untuk
meningkatkan prestasi belajar.
Pada penelitian ini peneliti akan menggunakan indikator motivasi
belajar yang dikemukakan oleh Uno (2016) yaitu : adanya hasrat dan
keinginan berhasil untuk berhasil, adanya dorongan dan kebutuhan untuk
belajar, adanya harapan dan cita-cita masa depan, adanya penghargaan dalam
belajar, adanya kegiatan yang menarik dalam belajar, dan adanya lingkungan
belajar yang kondusif. Indikator ini dipilih karena lebih lengkap untuk
mengungkap permasalahan motivasi belajar subjek dan lebih sesuai dengan
permasalahan yang sedang dihadapi di lapangan.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar
Menurut Dimyati (Kompri, 2015) faktor-faktor yang
mempengaruhi motivasi belajar siswa dapat dilihat sebagai berikut:
a. Cita-cita atau aspirasi siswa
Cita-cita akan memperkuat motivasi belajar intrinsik maupun
ekstrinsik. Siswa yang tidak atau belum memiliki cita-cita cenderung tidak
memiliki motivasi belajar yang optimal dikarenakan tidak adanya
21
kejelasan tujuan yang akan diraihnya, padahal cita-cita atau tujuan itu
sendiri merupakan perangsang munculnya motivasi belajar dalam diri
siswa (Mc.Donal dalam Sardiman, 2014).
b. Kemampuan siswa
Secara singkat dapat dikatakan bahwa kemampuan akan
memperkuat motivasi siswa untuk untuk melakukan tugas-tugas
perkembangan. Siswa yang memiliki kemampuan akan suatu tugas akan
lebih termotivasi melakukannya dibandingkan siswa yang tidak memiliki
kemampuan akan suatu tugas.
c. Kondisi siswa
Kondisi siswa yang meliputi jasmani dan rohani mempengaruhi
motivasi belajar siswa. Seorang siswa yang sakit akan mengganggu
perhatian belajar, sebaliknya seorang siswa yang sehat akan mudah
memusatkan perhatian belajar.
d. Kondisi lingkungan siswa
Lingkungan siswa dapat berupa alam, lingkungan tempat tinggal,
pergaulan teman sebaya dan kehidupan bermasyrakat. Kondisi lingkungan
yang sehat lingkungan yang aman, tertib dan indah akan meningkatkan
semangat motivasi belajar yang lebih kuat dari para siswa.
e. Unsur-unsur dinamis dalam belajar dan pembelajaran
Lingkungan siswa yang berupa lingkungan alam, lingkungan
tempat tinggal dan pergaulan juga lingkungan, budaya siswa yang berupa
22
surat kabar, majalah, radio, televisi dan film semakin menjangkau siswa
kesemua lingkungan, tersebut mendinamiskan motivasi belajar.
f. Upaya guru dalam membelajarkan siswa
Upaya guru membelajarkan siswa terjadi di sekolah dan di luar
sekolah. Guru yang berkompeten dan memiliki jiwa pendidik akan terus
berusaha mengkondisikan dan membimbing siswa-siswinya agar
termotivasi dalam kegiatan belajar.
Menurut Syah (dalam Puspitasari, 2012) faktor-faktor yang
mempengaruhi motivasi belajar adalah :
a. Guru
Guru berperan penting dalam mempengaruhi motivasi belajar
siswa melalui metode pengajaran yang digunakan dalam menyampaikan
materi pelajaran. Guru juga harus bisa menyesuaikan efektivitas suatu
metode mengajar dengan mata pelajaran tertentu. Pada pelajaran tertentu
guru harus menggunakan metode mengajar yang sesuai dengan materi
yang akan disampaikan karena hal ini sangat berpengaruh terhadap salah
satu tujuan dari belajar itu sendiri.
b. Orang tua dan keluarga
Tidak hanya guru di sekolah, orang tua atau keluarga di rumah juga
berperan dalam mendorong, membimbing, dan mengarahkan anak untuk
belajar. Oleh karena itu orang tua dan keluarga harus bisa membimbing,
membantu dan mengarahkan anak dalam mengatasi kesulitan-kesulitan
yang kemungkinan dihadapi dalam belajar. Saat merasa dapat memahami
23
komponen-komponen dalam pelajaran, anak akan termotivasi untuk
belajar.
c. Masyarakat dan lingkungan
Masyarakat dan lingkungan berpengaruh terhadap motivasi belajar
pada anak masa sekolah. Lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap
motivasi belajar adalah pengaruh dari teman sepermainan. Seorang anak
yang rajin melakukan kegiatan belajar secara rutin akan mempengaruhi
dan mendorong anak lain untuk melakukan kegiatan yang sama.
4. Teknik-teknik Untuk Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa
a. Model pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement
Divisions (STAD) (Risdiawati, 2012). Penelitian ini merupakan
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang ditempuh dalam dua siklus.
Subjek penelitian adalah siswa kelas XI IPS 4 SMA Negeri 1 Imogiri
yang berjumlah 32 siswa. Instrumen yang digunakan untuk mengukur
hasil belajar siswa berupa tes tertulis dalam bentuk soal uraian,
instrumen untuk mengetahui motivasi belajar siswa berupa lembar
observasi, serta instrumen angket yang digunakan untuk mengetahui
respon siswa terhadap peningkatan motivasi belajar. Tujuan penelitian
ini adalah mengetahui peningkatan hasil belajar dan motivasi belajar
akuntansi, serta mengetahui respon para siswa terhadap implementasi
STAD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif
tipe STAD dapat meningkatkan hasil belajar siswa, pada siklus I
terdapat 5 siswa yang belum mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal
24
(KKM), pada siklus II meningkat sejumlah 100% siswa telah
mencapai KKM. Pembelajaran kooperatif tipe STAD juga dapat
meningkatkan motivasi belajar siswa, persentase motivasi belajar
siswa dari siklus I sebesar 67% meningkat menjadi 86,5% pada siklus
II dan berada pada rentang skor sangat tinggi. Hasil respon siswa
terhadap pelaksanaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD
untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa juga mendapat
respon positi dari siswa, hal ini dibuktikan dari hasil distribusi angket
pada siklus I ke siklus II mengalami peningkatan sebesar 13%.
b. Metode pembelajaran Teaching Game Team (Purwanto, 2011).
Metode pembelajaran Teaching Game Team merupakan salah satu
alternatif untuk meningkatkan proses pembelajaran siswa. Dalam
metode pembelajaran ini, siswa bekerja dalam kelompok kecil, saling
membantu dalam belajar dan mengadopsi pembelajaran mandiri siswa
dengan saling bertanya antara kelompok secara bergantian. Penelitian
ini bertujuan untuk menganalisa peningkatan motivasi dan hasil
belajar siswa kelas XI IPA SMA SMART Ekselensia Indonesia pada
kompetensi sistem koordinasi setelah dilakukan metode Teaching
Game Team. Data dianalisa secara kualitatif dengan metode deskriptif
analitis dan secara kuantitatif dengan Korelasi Bivariate Pearson.
Pengamatan dilakukan terhadap 17 siswa yang sebelumnya dilakukan
analisis terhadap kondisi kemampuan pembelajaran sistem koordinasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan metode Teaching
25
Game Team dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa
yang terlihat dari ketuntasan 100% pada 3 siklus pembelajaran.
c. Metode pembelajaran kooperatif teknik Think Pair Share (Kurniawan
& Istianingrum, 2012). Penelitian ini dilaksanakan dalam bentuk
kolaboratif yang dilaksanakan selama dua siklus. Pengumpulan data
dalam penelitian ini dilakukan dengan observasi, angket, dan
wawancara. Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif
dan analisis kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan dengan
mereduksi data, menyajikan data dan menarik kesimpulan, sedangkan
analisis kuantitatif dilakukan dengan membandingkan perolehan skor
Motivasi Belajar Akuntansi dengan skor maksimum kemudian
dipersentasekan. Disimpulkan bahwa Penerapan Metode Pembelajaran
Kooperatif Teknik Think Pair Share (TPS) dapat meningkatkan
Motivasi Belajar Akuntansi Kompetensi Dasar Menghitung Mutasi
Dana Kas Kecil siswa kelas X Akuntansi 2 SMK Negeri 7 Yogyakarta
tahun ajaran 2011/2012 yang dibuktikan dengan adanya peningkatan
persentase skor Motivasi Belajar Akuntansi sebesar 16,28% dari
sebelum penerapan Pembelajaran Kooperatif Teknik Think Pair Share
(TPS) sebesar 53,31% meningkat menjadi 69,60% di siklus 1.
Selanjutnya dari siklus 1 ke siklus 2 juga terjadi peningkatan sebesar
11,47% atau diperoleh skor sebesar 81,07%. Selain itu berdasarkan
angket yang didistribusikan kepada siswa dapat disimpulkan pula
bahwa terjadi peningkatan skor Motivasi Belajar Akuntansi siswa
26
sebesar 4,18% dari skor siklus 1 sebesar 70,86% ke siklus 2 sebesar
75,04%. Dengan cross check yang dilakukan melalui wawancara
diperoleh pula hasil bahwa sebagian besar data yang diperoleh
konsisten dengan data observasi dan data angket.
d. Pelatihan goal setting (Lutfianawati, Nugraha, & Rachmahana, 2014).
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pelatihan goal
setting pada motivasi belajar bahasa Inggris siswa. Subjek dalam
penelitian ini adalah 26 siswa kelas XIIA SMK “X” Sleman, yang
dibagi menjadi 13 siswa sebagai kelompok eksperimen dan 13 siswa
sebagai kelompok kontrol. Pengumpulan data dilakukan dengan
menggunakan skala motivasi belajar bahasa Inggris, wawancara dan
observasi. Rancangan penelitian yang digunakan adalah pre-post
control group design. Analisis penelitian yang digunakan adalah
analisis kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif dengan
menggunakan uji Mann-Whitney untuk mengetahui motivasi belajar
bahasa inggris siswa setelah diberi pelatihan goal setting. Analisis
kualitatif dilakukan berdasarkan observasi, wawancara dan lembar
kerja. Hasil penelitian yaitu pada pre test dan post test motivasi belajar
bahasa Inggris menunjukkan ada peningkatan setelah diberi pelatihan
dengan nilai Z= 4.359, P=0.000, P<0,05. Pada pre test dan follow up
motivasi belajar bahasa Inggris menunjukkan ada peningkatan setelah
dua minggu diberi pelatihan dengan nilai Z= -2.500, P=0.012, P<0,05.
Kesimpulan penelitian ini adalah pelatihan goal setting dapat
27
meningkatkan motivasi belajar bahasa Inggris siswa kelas XII SMK
“X”.
Berdasarkan beberapa teknik untuk meningkatkan motivasi belajar
yang telah dikemukakan oleh beberapa peneliti di atas, peneliti mencoba
untuk meneliti pelatihan goal setting bagi siswa SMA. Pelatihan goal
setting untuk meningkatkan motivasi belajar pernah diteliti sebelumnya
menggunakan subjek siswa SMK, namun dalam penelitian ini peneliti
mencoba melakukan intervensi pelatihan goal setting bagi siswa SMA.
Harapannya dengan pelatihan goal setting, siswa mampu mempunyai
tujuan belajar, membuat tujuan belajar maupun karir di masa depan
sehingga mampu menumbuhkan motivasi belajar yang tinggi untuk
mencapai tujuannya.
B. Pelatihan Goal setting
1. Pengertian Pelatihan Goal Setting
Penelitian ini akan membahas mengenai pelatihan goal setting.
Pelatihan itu sendiri memiliki pengertian sebagai salah satu usaha untuk
mengajarkan pengetahuan, keterampilan dan sikap untuk melaksanakan
suatu pekerjaan yang berhubungan dengan tugas tertentu (Troelove dalam
Kholidah & Alsa, 2012). Johnson dan Johnson (Lutfianawati, 2014) juga
menyatakan bahwa metode pelatihan adalah metode yang berdasarkan
pada komponen experiential learning, yaitu bahwa perilaku manusia
terbentuk berdasarkan hasil pengalaman yang terlebih dahulu dimodifikasi
28
untuk menambah efektivitas. Sehingga semakin lama perilaku menjadi
suatu kebiasaan dan berjalan dengan otomatis, individu semakin berusaha
memodifikasi perilaku yang sesuai dengan situasinya. Metode pelatihan
ini nantinya akan digunakan untuk mengaplikasikan teori goal setting
menjadi sebuah rangkaian kegiatan yang runtut dan sistematis, inovatif,
serta menarik sehingga manfaat dari teori goal setting dapat tersalurkan
dengan efektif.
Menurut Weinberg (Rahayu & Mulyana, 2015) pelatihan goal
setting adalah pelatihan yang mengajarkan seorang siswa suatu
kemampuan untuk merancang atau menetapkan suatu tujuan dengan baik
agar tujuannya dapat dicapai. Menurut Locke (Yearta, Maitlis, dan Briner,
1995) goal setting adalah sebuah teori kognitif dengan dasar pemikiran
bahwa setiap orang memiliki suatu keinginan untuk mencapai hasil
spesifik atau tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Dasar pemikiran
utama dari teori goal setting adalah mendorong seseorang untuk mengejar
tujuannya yang spesifik dan sulit akan menghasilkan performa yang lebih
baik daripada mendorong mereka untuk mengejar sebuah tujuan spesifik
tapi mudah atau untuk mempermudah mereka melakukan yang terbaik
(Locke & Latham dalam Kleingeld & Arends, 2011).
Sebuah tujuan dapat memotivasi orang untuk mengembangkan
strategi yang akan memungkinkan mereka untuk tampil di tingkat tujuan
yang diperlukan (Lunenburg, 2011). Agar tujuannya dapat tercapai dengan
baik, maka diperlukan sebuah kemauan untuk usaha. Usaha yang paling
29
maksimal akan terjadi ketika tugas yang dihadapi memiliki kesulitan yang
tinggi, dan usaha yang paling rendah terjadi ketika tugas yang dihadapi
adalah tugas yang sangat mudah maupun sangat sulit (Locke & Latham,
2002).
Goal setting memengaruhi proses belajar dengan cara
mengarahkan perhatian dan tindakan, memobilisasi pengarahan usaha,
memperpanjang lamanya pengerahan usaha (persistensi), dan memotivasi
individu untuk mengembangkan strategi yang relevan untuk mencapai
tujuannya (Robbin dalam Lutfianawati, Nugraha, & Rachmahana, 2014).
Berdasarkan pengertian-pengertian pelatihan goal setting di atas
maka dapat disimpulkan bahwa pelatihan goal setting adalah pelatihan
yang mengajarkan seorang siswa mengenai suatu kemampuan untuk
merancang atau menetapkan suatu tujuan dengan baik agar tujuannya
dapat dicapai.
2. Komponen Utama dalam Pelatihan Goal setting
Pelatihan goal setting ini disusun berdasarkan pada teori Locke, dkk.
(1981). Menurut Locke, dkk. (1981) komponen-komponen utama goal
setting meliputi sebagai berikut:
a. Clarity (Kejelasan)
Tujuan yang disampaikan harus spesifik sehingga mengarahkan
siswa pada hasil yang lebih tinggi daripada tujuan yang masih bersifat
umum atau samar-samar. Tujuan yang spesifik adalah tujuan yang harus
30
ditentukan dengan batasan yang jelas dan tepat sehingga tidak
menimbulkan multi tafsir agar harapan dan tujuan dapat tercapai.
b. Challenge (tantangan)
Tujuan yang sulit menghadirkan suatu tantangan yang dapat
membangkitkan dorongan untuk mencapai tujuan dalam diri siswa, tetapi
target ini dalam batas masih dapat dicapai (Davis & Newstroom, 1989).
Tujuan harus memiliki tantangan yang sulit untuk memotivasi seseorang
agar meletakkan usaha yang lebih untuk menggapai tujuan karena pada
dasarnya seorang individu akan lebih termotivasi untuk mencoba tujuan
yang sulit daripada tujuan yang mudah (Latham & Locke, 1991).
Meskipun sebuah tujuan yang memotivasi itu adalah tujuan yang sulit,
namun tujuan tersebut haruslah bersifat realistis dalam artian bahwa tujuan
tersebut masih dapat diraih. Penetapan tujuan yang sulit namun masih
dapat dijangkau/realistis berguna untuk meminimalisir kemungkinan gagal
untuk mencapainya (Kanfer & Gaelick dalam Latham & Locke, 1991).
Jika tantangan yang ada pada tujuan tersebut terlalu sulit maka seseorang
akan meninggalkan tujuannya tersebut dan tidak termotivasi untuk
meraihnya (Locke, dkk., 1981).
c. Commitment (komitmen)
Orang akan menunjukkan komitmen mereka jika mereka merasa
bahwa mereka adalah bagian dari pencapaian suatu tujuan. Locke &
Latham (Schunk, dkk., 2012) berpendapat bahwa komitmen dapat
menggambarkan seberapa kuat individu melekat pada tujuan yang
31
dimilikinya, seberapa antusias individu terhadap tujuannya, dan seberapa
teguh individu untuk mencapainya.
d. Feedback (umpan balik)
Isi dari umpan balik harus terfokus pada pengontrolan kemajuan,
menyadari rintangan yang ada, usulan dan solusi. Umpan balik dapat
menyuguhkan standar pengukuran yang jelas untuk menuntun individu
untuk evaluasi diri. Pencantuman pujian dan apresiasi dalam proses umpan
balik akan disajikan sebagai hadiah untuk memotivasi individu supaya
terus melanjutkan kerja kerasnya dalam mengerjakan tugas. Melalui
umpan balik, seorang individu dapat mengetahui seberapa jauh
standar/patokannya sudah terpenuhi (Latham & Locke, 1991).
e. Task Complexity (kerumitan tugas)
Seorang siswa lebih baik diberikan tugas yang sederhana dan
mudah dimengerti daripada diberikan tugas yang terlalu rumit karena hal
ini akan mempengaruhi performa siswa untuk mencapai tujuannya (Locke
& Latham dalam Smith & Hitt, 2005). Untuk tujuan yang memiliki
kerumitan tugas yang tinggi maka harus dipastikan bahwa seseorang tidak
merasa terlalu diliputi oleh hal tersebut. Oleh karena itu, waktu yang
cukup, latihan dan arahan harus diberikan agar berhasil untuk mencapai
target yang telah ditentukan.
Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa
komponen teori goal setting adalah clarity (kejelasan), challenge
(tantangan), feedback (umpan balik), commitment (komitmen), dan task
32
complexity (kerumitan tugas). Komponen teori goal setting ini akan
menjadi dasar untuk menyusun tiap-tiap sesi dalam pelatihan goal setting.
Pelatihan goal setting ini akan diadakan sebanyak tiga kali pertemuan.
a. Hari Pertama
Sesi pertama adalah pembukaan. Dalam sesi ini subjek akan diajak
untuk memperkenalkan diri. Kemudian dilanjutkan dengan ice breaking
pinguin dance. Subjek akan diberi penjelasan oleh trainer mengenai
pelatihan yang akan dilakukan serta diminta untuk mengisi lembar
informed consent yang telah disediakan. Trainer mengajak para subjek
menuliskan permasalahan-permasalahan yang sedang mereka alami saat
itu kemudian subjek merobek-robek kertas tersebut disertai dengan kata-
kata afirmasi positif yang dipandu oleh trainer. Sesi pertama diakhiri
dengan pembagian snack untuk para subjek. Tujuan dari sesi pembukaan
ini adalah untuk mencairkan suasana, menciptakan keramahan antar
subjek dengan trainer dan fasilitator, serta memfokuskan subjek ke dalam
kegiatan pelatihan. Metode yang digunakan dalam sesi ini adalah metode
games dan ceramah, serta audiovisual.
Sesi kedua dalam pelatihan ini bernama “Sesi Ayo wujudkan
mimpimu!” Sesi ini diawali dengan pemutaran video inspiratif mengenai
cita-cita, dilanjutkan dengan tanya jawab tayangan video, penjelasan cita-
cita, tujuan dan harapan hidup yang dilakukan oleh trainer, penulisan
tujuan, harapan dan cita-cita oleh para subjek yang kemudian
digantungkan di pohon impian. Tujuan sesi ini adalah untuk mengajak
33
subjek merefleksi diri mengenai usaha pencapaian cita-cita dan mengajak
subjek menuliskan cita-citanya, harapan akan pelatihan, atau tujuan hidup
subjek. Sesi ini menggunakan metode ceramah, pemberian tugas, dan
audiovisual.
Sesi ketiga adalah sesi “Tujuanku Jelas dan Spesifik”. Sesi ini
disusun berdasarkan komponen clarity (kejelasan). Sedangkan kegiatan
dalam sesi ini disusun berdasarkan modul pelatihan goal setting oleh
Ruspita (2012) dalam penelitiannya yang dimodifikasi oleh peneliti.
Kegiatan dalam sesi ini meliputi penayangan foto tokoh terkenal, mengisi
tujuan spesifik dan langkah-langkah pencapaian tujuan seorang tokoh
tertentu, mengerjakan lembar kerja tujuanku jelas dan spesifik, dan
diakhiri dengan debrief oleh trainer. Subjek diajak untuk belajar dengan
melihat contoh-contoh tujuan-tujuan yang jelas dan spesifik dari seorang
tokoh dan kemudian subjek dipersilahkan untuk membuat langkah-
langkah spesifik terkait dengan tujuan-tujuan dari tokoh tersebut supaya
tujuannya tersebut dapat tercapai. Sesi ini bertujuan agar para subjek dapat
membuat tujuan yang spesifik beserta langkah-langkah yang spesifik
untuk meraih tujuannya. Metode yang digunakan dalam sesi ini adalah
ceramah dan pemberian tugas.
Sesi keempat pada pelatihan ini adalah sesi “Challenge”. Sesi ini
disusun berdasarkan komponen challenge (tantangan). Sedangkan
kegiatan dalam sesi ini disusun berdasarkan modul pelatihan goal setting
Ruspita (2012) dalam penelitiannya yang dimodifikasi oleh peneliti.
34
Kegiatan dalam sesi ini meliputi Sesi ini berisi kegiatan game lempar bola
impian, yang kemudian dilanjutkan dengan debrief, dan diakhiri dengan
pengisian lembar kerja challenge. Subjek diajak untuk belajar menentukan
tingkat tantangan tujuannya sesuai dengan kemampuannya melalui
permainan lempar bola impian. Subjek dipersilahkan untuk menentukan
sendiri dahulu target jarak lempar bolanya mulai dari yang terdekat hingga
yang terjauh. Setelah masing-masing subjek mengetahui batas
kemampuannya terkait tantangan tujuan yang ada, kemudian trainer
memberikan debrief singkat dengan mengajarkan penentuan tujuan yang
menantang yaitu tujuan yang sulit namun realistis lalu mempersilahkahkan
subjek untuk melakukan praktik game pelemparan bola impian. Sesi ini
bertujuan agar subjek dapat menentukan tujuannya secara realistis yaitu
memiliki tantangan yang sulit namun masih dapat diraih dengan tujuan
agar subjek terus termotivasi untuk mengejar tujuannya dan dapat
memaksimalkan potensi yang ada dalam dirinya secara optimal terutama
dalam bidang pendidikannya. Metode yang digunakan dalam sesi ini
adalah game, diskusi, dan pemberian tugas.
Sesi kelima pada pelatihan ini adalah sesi “Show Your
Commitment”. Sesi ini disusun berdasarkan komponen commitment
(komitmen). Sedangkan kegiatan dalam sesi ini disusun berdasarkan
modul pelatihan goal setting oleh Lutfianawati, Nugraha, dan Rachmahana
(2014) dalam penelitiannya yang dimodifikasi oleh peneliti. Kegiatan
dalam sesi ini meliputi permainan game menara kartu, debrief game oleh
35
trainer, dan pengisian lembar kerja komitmen oleh subjek. Subjek diajak
untuk mengasah komitmennya dengan cara membangun menara setinggi
mungkin dan sekokoh mungkin. Apabila menaranya jatuh, maka subjek
diminta untuk membangunnya lagi hingga batas akhir waktu yang
ditentukan. Subjek harus membangun menaranya meskipun jatuh
berulang-ulang. Sesi ini bertujuan untuk mengoptimalkan komitmen yang
ada pada diri subjek, memberikan pengalaman terhadap subjek dalam
menjaga komitmen, memberikan gambaran arti penting komitmen untuk
keberhasilan pencapaian tujuan. Metode yang digunakan dalam sesi ini
adalah game, diskusi, dan pemberian tugas.
Sesi terakhir pelatihan pada hari pertama adalah sesi penutup. Pada
sesi ini trainer mempersilahkan subjek untuk memberikan kesimpulan
materi yang telah didapatkan. Subjek yang dapat memberikan kesimpulan
mendapatkan poin dari trainer yang dapat ditukarkan pada hari kedua
pelatihan. Sesi ini bertujuan untuk memastikan bahwa subjek benar-benar
memahami materi yang sudah diberikan dan untuk memberikan tugas
rumah bagi para subjek. Metode yang digunakan dalam sesi ini adalah
mengulang dan pemberian tugas.
b. Hari Kedua
Sesi pertama pada pelatihan di hari kedua adalah sesi pembukaan.
Sesi ini berisi ice breaking, flashback materi hari pertama, dan penjelasan
kegiatan pelatihan di hari kedua oleh traine, serta pembagian snack. Sesi
ini bertujuan untuk menjaga ingatan subjek mengenai materi yang telah
36
diberikan pada pertemuan pertama, menciptakan suasana pelatihan yang
positif dan supaya subjek mengetahui kegiatan apa yang akan dilakukan
pada pelatihan pertemuan kedua.. Metode yang digunakan dalam sesi ini
adalah metode ceramah dan mengulang, dan game.
Sesi kedua adalah sesi “Aku bisa Menyelesaikanmu”. Sesi ini
disusun beradasarkan komponen task complexity (kerumitan tugas).
Sedangkan kegiatan dalam sesi ini disusun berdasarkan modul pelatihan
goal setting oleh Ruspita (2012) dalam penelitiannya yang dimodifikasi
oleh peneliti. Kegiatan dalam sesi ini meliputi game menyusun puzzle,
debrief game yang dilakukan oleh trainer, dan pengisian lembar kerja
kerumitan tugas. Subjek diminta untuk menyusun rangkaian puzzle yang
ada mulai dari yang sederhana hingga yang rumit. Subjek dipersilahkan
untuk memilih rangkaian puzzle yang akan diselesaikannya dalam kurun
waktu yang sudah ditetapkan trainer. Jika subjek tidak dapat
menyelesaikannya maka subjek tidak akan mendapatkan poin. Poin dapat
diakumulasikan sesuai dengan jumlah rangkaian puzzle yang berhasi
diselesaikan, semakin rumit puzzle tersebut, maka semakin tinggi poin
yang didapatkan. Sesi ini bertujuan untuk melatih subjek agar dapat
membuat langkah-langkah pencapaian tujuan sesederhana mungkin
sehingga langkah-langkah pencapaiannya dapat mudah dipahami dan
dimengerti. Metode yang digunakan dalam sesi ini adalah game, ceramah,
dan pemberian tugas.
37
Sesi ketiga dari pelatihan ini adalah sesi “Aku Butuh Penilaianmu”.
Sesi ini disusun berdasarkan komponen feedback (umpan balik).
Sedangkan kegiatan dalam sesi ini disusun berdasarkan modul pelatihan
goal setting oleh Ruspita (2012) dalam penelitiannya yang dimodifikasi
oleh peneliti. Kegiatan dalam sesi ini meliputi pemutaran video, debrief
video oleh trainer, dan pengisian lembar kerja umpan balik, pengambilan
kertas harapan, serta pembahasan kertas harapan. Subjek diberikan video
mengenai umpan balik dan kemudian trainer memaparkan nilai-nilai yang
terkandung dalam video tersebut mengenai pentingnya memberikan,
mendengarkan, dan menerima umpan balik. Kemudian subjek
mengaplikasikan informasi yang didapat dari trainer tersebut ke dalam
pengisian lembar kerja umpan balik yang sudah disediakan supaya subjek
betul-betul memahami dan dapat mengerti kegunaan umpan balik dalam
hidupnya. Sesi ini bertujuan untuk melatih subjek agar mampu
memberikan umpan balik bagi dirinya sendiri terkait usaha-usaha yang
ditempuhnya untuk meraih tujuan, menekankan kepada subjek untuk
meminta umpan balik dari orang lain terkait dengan langkah-langkah
usahanya untuk meraih tujuan dan mengajarkan kepada subjek untuk
menerima serta memanfaatkan umpan balik yang sudah didapatkan.
Metode yang digunakan dalam sesi ini adalah ceramah, pemberian tugas,
dan audiovisual.
Sesi keempat dari pelatihan ini adalah sesi “EVALUASI!”. Sesi ini
berisi kegiatan senam sukses yang akan dipimpin oleh fasilitator,
38
dilanjutkan dengan pengisian lembar kerja evaluasi. Lembar evaluasi ini
adalah lembar yang berisi materi lima komponen-komponen utama
penyusun pelatihan goal setting. Sesi ini bertujuan untuk melatih subjek
untuk membuat tujuan berdasarkan materi yang sudah dipelajari dan
memperteguh para subjek mengenai apa yang sudah subjek tuliskan di
lembar kerja pelatihan.
Sesi kelima adalah sesi “Penutup”. Sesi ini berisi kegiatan
merangkum materi sepanjang dua kali pertemuan, pengisian skala
motivasi belajar sebagai post test-nya dilanjutkan dengan pembagian
hadiah. Tujuan sesi ini adalah untuk memastikan subjek mengingat materi
yang sudah diberikan sebanyak dua kali pertemuan dan memberikan
apresiasi kepada para subjek berdasarkan poin yang sudah didapatkan.
39
Berikut adalah bagan alur hubungan komponen teoritis dengan kegiatan
dalam pelatihan goal setting.
Komponen Goal Setting Sesi dalam Pelatihan
Alur Hubungan Komponen Goal Setting dengan sesi dalam pelatihan goal setting.
Clarity
(Kejelasan)
Tujuanku Jelas
dan Spesifik
Challenge
(Tantangan)
Feedback
(Umpan Balik)
Task Complexity
(Kerumitan
Tugas)
Commitment
(Komitmen)
Challenge
Show Your
Commitment
Aku bisa
menyelesaikanmu
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan satu fondasi yang penting bagi kemajuan suatu
bangsa dan kesejahteraan masyarakatnya. Berdasarkan UU Nomor 20 Tahun
2003 pasal 1 pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.
Proses belajar dan mengajar merupakan dua komponen yang ada di
dalam pendidikan. Belajar menurut Syah (2013) adalah tahapan perubahan
seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan
interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif. Sedangkan
mengajar menurut Arifin (Syah, 2013) adalah suatu rangkaian kegiatan
penyampaian bahan pelajaran kepada murid agar dapat menerima, menanggapi,
menguasai, dan mengembangkan bahan pelajaran itu.
Proses belajar mengajar pada akhirnya akan menghasilkan prestasi.
Pelajar yang memiliki prestasi baik adalah harapan bagi semua orangtua, guru dan
masyarakat sebab dengan memiliki prestasi yang baik harapannya para pelajar
sebagai generasi penerus bangsa dapat memiliki masa depan yang lebih sejahtera,
Aku butuh
penilaianmu
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan satu fondasi yang penting bagi kemajuan suatu
bangsa dan kesejahteraan masyarakatnya. Berdasarkan UU Nomor 20 Tahun
2003 pasal 1 pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.
Proses belajar dan mengajar merupakan dua komponen yang ada di
dalam pendidikan. Belajar menurut Syah (2013) adalah tahapan perubahan
seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan
interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif. Sedangkan
mengajar menurut Arifin (Syah, 2013) adalah suatu rangkaian kegiatan
penyampaian bahan pelajaran kepada murid agar dapat menerima, menanggapi,
menguasai, dan mengembangkan bahan pelajaran itu.
Proses belajar mengajar pada akhirnya akan menghasilkan prestasi.
Pelajar yang memiliki prestasi baik adalah harapan bagi semua orangtua, guru dan
masyarakat sebab dengan memiliki prestasi yang baik harapannya para pelajar
sebagai generasi penerus bangsa dapat memiliki masa depan yang lebih sejahtera,
40
C. Pengaruh Pelatihan Goal setting Untuk Meningkatkan Motivasi
Belajar Siswa
Setiap siswa yang menjalani pendidikan formal tidak akan terlepas
dari kegiatan belajar. Oleh karena itu setiap siswa diharapkan dapat
bersemangat, tekun, dan rajin dalam melaksanakan kegiatan belajarnya.
Semangat, ketekunan, maupun perilaku rajin belajar ini hanya dapat
muncul ketika seorang siswa memiliki motivasi belajar. Namun demikian,
tidak semua siswa memiliki motivasi belajar yang tinggi. Motivasi belajar
yang tinggi ini dapat dilihat berdasarkan indikator-indikatornya yaitu :
adanya hasrat dan keinginan berhasil, adanya dorongan dan kebutuhan
untuk belajar, adanya harapan dan cita-cita masa depan, adanya
penghargaan dalam belajar, adanya kegiatan yang menarik dalam belajar,
dan adanya lingkungan belajar yang kondusif (Uno, 2016). Siswa yang
memiliki motivasi belajar rendah tidak memenuhi indikator-indikator
tersebut.
Menurut Sardiman (2014) motivasi belajar adalah keseluruhan
daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan, menjamin
kelangsungan dan memberikan arah kegiatan belajar, sehingga diharapkan
tujuan dapat tercapai. Prawira (2014) juga mengatakan bahwa motivasi
belajar adalah segala sesuatu yang ditujukan untuk mendorong atau
memberikan semangat kepada seseorang yang melakukan kegiatan belajar
agar menjadi lebih giat lagi dalam belajarnya untuk memperoleh prestasi
yang lebih baik lagi. Indikator yang paling menggambarkan keadaan
41
motivasi belajar siswa adalah indikator harapan dan cita-cita masa depan.
Menurut Mc.Donal (Sardiman, 2014) adanya cita-cita atau tujuan di dalam
diri siswa merupakan perangsang munculnya motivasi belajar dalam diri
siswa.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk melatih siswa agar
dapat menetapkan harapan dan cita-cita atau tujuannya adalah melalui
pelatihan goal setting sebab di dalam pelatihan goal setting seorang siswa
akan diajarkan suatu kemampuan untuk merancang atau menetapkan suatu
tujuan dengan baik agar tujuannya dapat dicapai (Weinberg dalam Rahayu
& Mulyana, 2015).
Senada dengan pemaparan di atas bahwa pelatihan goal setting
juga bermanfaat untuk mengarahkan perhatian, mengarahkan usaha,
meningkatkan ketekunan dan berguna untuk meningkatkan motivasi
(Locke, dkk., 1981). Siswa yang dapat membuat tujuannya dengan baik
akan lebih termotivasi untuk meraih tujuannya karena suatu tujuan yang
baik (realistis) adalah motivator yang penting bagi diri siswa untuk meraih
tujuannya (Bandura, 1977).
Bertolak dari penyebutan tujuan sebagai motivator yang penting
bagi diri siswa nampaknya sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Morisano, dkk. (2010) pada 85 siswa yang mengalami kesulitan akademis.
Para siswa yang mengalami kesulitan akademis menunjukkan bahwa
setelah diberikan intervensi goal setting, siswa menunjukkan peningkatan
dalam prestasi akademis dan motivasi belajarnya. Adapun penelitian yang
42
dilakukan oleh Lutfianawati, Nugraha dan Rachmahana (2014)
menunjukkan bahwa pelatihan goal setting dapat meningkatkan motivasi
belajar bahasa inggris pada siswa kelas XII SMK “X” yang didapatkan
dengan menggunakan analisis kualitatif dan kuantitatif.
Adanya penentuan tujuan (goal setting) yang dilatihkan melalui
pelatihan goal setting nampaknya menjadi hal yang sangat penting bagi
diri para siswa untuk meningkatkan motivasi belajarnya. Melalui
penelitiannya, Kativasalampi dkk. (dalam Lutfianawati, Nugraha &
Rachmahana, 2014) menunjukkan bahwa siswa yang memiliki tujuan yang
jelas terhadap pendidikannya cenderung mempunyai minat terhadap
sekolah dan memiliki motivasi belajar yang tinggi sedangkan siswa yang
tidak memiliki tujuan yang jelas terhadap pendidikannya cenderung tidak
mempunyai minat terhadap sekolah dan memiliki motivasi belajar yang
rendah. Penemuan ini diperkuat lagi berdasarkan penelitian Kauffman dan
Husman (2004) yang menemukan adanya pengaruh secara positif antara
persepsi murid tentang bagaimana mereka menetapkan tujuan belajar
untuk masa depan dengan motivasi belajar.
Berdasarkan penelitian-penelitian mengenai pengaruh pelatihan
goal setting terhadap motivasi belajar yang telah dilakukan oleh beberapa
peneliti di atas dapat disimpulkan bahwa pelatihan goal setting memiliki
pengaruh positif untuk meningkatkan motivasi belajar. Maka dari itu,
berdasarkan penelitian-penelitian di atas dan indikator terkuat yang
muncul, peneliti memutuskan untuk menggunakan intervensi dalam
43
bentuk pelatihan goal setting untuk meningkatkan motivasi belajar siswa.
Pelatihan goal setting untuk meningkatkan motivasi belajar siswa disusun
berdasarkan teori Locke, dkk. (1981) yang menjelaskan mengenai lima
komponen utama teori goal setting yaitu: clarity (kejelasan), challenge
(tantangan), commitment (komitmen), feedback (umpan balik), dan task
complexity (kerumitan tugas). Lima komponen tersebut dijadikan dasar
untuk menyusun pembuatan modul pelatihan. Di bawah ini dijelaskan
mengenai peran komponen-komponen goal setting tersebut dalam
mempengaruhi motivasi belajar siswa.
Komponen pertama dalam pelatihan goal setting ini adalah clarity
(kejelasan). Kejelasan dalam hal ini adalah kejelasan mengenai suatu
tujuan. Artinya tujuan yang disampaikan harus spesifik. Tujuan yang
spesifik atau jelas secara otomatis akan mengarahkan siswa untuk
menyusun rencana dan strategi yang pantas guna membantu dirinya
meraih tujuannya tersebut (Locke, dkk., 1981). Strategi itu dapat berupa
langkah-langkah yang dibutuhkan untuk meraih tujuannya. Apabila siswa
memiliki langkah-langkah yang jelas maka dapat memudahkan siswa
dalam melakukan usaha-usaha pencapaian tujuan secara efektif dan
terarah, siswa menjadi yakin dan mantap dalam melangkah maupun
berusaha dan hal tersebut secara positif dapat meningkatkan motivasi yang
ada dalam diri seorang siswa untuk terus berjuang meraih tujuannya
(Locke & Latham dalam Smitth & Hitt, 2005. Tujuan yang jelas dan
spesifik juga dapat membantu seorang siswa untuk menemukan sisi yang
44
menarik dari aktivitas tugas tersebut (Harackiewicz, Manderlink, &
Sansone, dalam Locke & Latham, 2002). Apabila seorang siswa merasa
tertarik dengan tujuannya, maka akan timbul minat dalam dirinya terhadap
tujuannya tersebut (Syah, 2013). Setelah itu, siswa akan memusatkan
perhatiannya secara lebih mendalam dan berusaha secara intensif sehingga
hal tersebut dapat memunculkan dorongan atau motivasi dalam dirinya
yaitu motivasi belajar untuk meraih tujuannya (Syah, 2013). Menurut
Schunk, dkk. (2012) jika siswa sudah memiliki ketertarikan dan minat
terhadap tujuan belajarnya, hal tersebut akan berdampak positif pada
motivasi dan keefektifan dirinya yang semakin tinggi.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat diketahui bahwa adanya
tujuan yang jelas dan spesifik akan memudahkan siswa untuk merancang
strategi pencapaian tujuan salah satunya berupa langkah-langkah yang
dibutuhkan untuk meraih tujuannya dan meningkatkan ketertarikan siswa
terhadap suatu tugas serta untuk menemukan sisi yang menarik dari
aktivitas tugas tersebut sehingga motivasi belajar siswa akan meningkat.
Oleh karena itu tujuan harus dengan baik ditentukan dengan batasan yang
jelas dan tepat agar motivasi belajar dapat meningkat.
Locke, dkk. (1981) menemukan sebanyak 99 penelitian dari total
110 penelitian yang ada mengatakan bahwa tujuan yang spesifik dan sulit
membuahkan suatu performa yang lebih baik dibandingkan dengan tujuan
yang sedang, mudah, “do your best”, atau tanpa tujuan sama sekali,
sehingga dapat dikatakan terdapat 90% penelitian yang menunjukkan
45
bahwa suatu tujuan yang spesifik dan sulit berpengaruh positif terhadap
usaha seseorang dalam mencapai tujuannya dimana usaha tersebut muncul
karena adanya motivasi di dalam diri siswa yang terangsang karena adanya
tujuan yang spesifik. Berdasarkan pemaparan di atas, maka komponen
clarity diharapkan dapat berguna untuk membantu para siswa untuk
membuat suatu tujuan yang jelas dan spesifik beserta langkah-langkah
pencapaiannya yang jelas dan spesifik sehingga motivasi belajarnya dapat
meningkat.
Komponen yang kedua dalam pelatihan goal setting adalah
Challenge (tantangan). Tujuan yang sulit menghadirkan suatu tantangan
yang dapat membangkitkan dorongan untuk mencapai tujuan dalam diri
siswa, tetapi target ini dalam batas masih dapat dicapai (Davis &
Newstroom, 1989). Terkadang seorang siswa memiliki tujuan belajar yang
terlampau sulit atau terlampau mudah sehingga membuat dirinya tidak
bergairah untuk meraihnya, karena mencapai tujuan yang terlampau sulit
adalah hal yang mustahil untuk diraih, sedangkan untuk mencapai tujuan
yang terlampau mudah tidaklah memerlukan usaha yang berlebih untuk
meraihnya. Tujuan yang paling baik adalah tujuan yang memiliki
tingkatan tantangan yang tinggi dan realistis sehingga dapat
mengoptimalkan potensi dirinya dan meningkatkan motivasi belajarnya.
Maka dari itu, suatu tujuan harus memiliki tantangan yang cukup untuk
memotivasi siswa agar meletakkan usaha lebih untuk menggapai
tujuannya tersebut (Latham & Locke, 1991).
46
Siswa yang menentukan tujuannya dengan tingkat tantangan yang
sulit namun realistis dapat memunculkan perasaan bangga dan puas
dibandingkan jika siswa tidak menentukan tujuan atau menentukan tujuan
dengan tingkat tantangan yang mudah (Latham & Locke, 1991). Perasaan
bangga dan puas tersebut muncul karena seorang siswa berpikir bahwa
tujuan yang menantang tersebut akan menghasilkan lebih banyak
keuntungan bagi dirinya dibandingkan ketika siswa tidak menentukan
suatu tujuan sama sekali atau menentukan tujuan yang mudah untuk diraih
(Locke, dkk., 1981). Adanya perasaan bangga dan puas ini tentunya dapat
meningkatkan keyakinan diri bahwa dirinya mampu untuk meraih
tujuannya (Bandura, 1997). Semakin siswa tersebut merasa yakin dapat
meraih tujuannya, maka semakin tinggi pula motivasi belajar yang dimiliki
untuk meraih tujuannya (Pervin & John dalam Bandura, 1977).
Menurut Latham & Locke (1991) terdapat hubungan yang
konsisten antara kesulitan suatu tujuan dengan usaha yang dilakukan
seorang siswa dimana siswa yang memiliki tujuan sulit akan memiliki
motivasi belajar yang lebih tinggi sehingga usaha yang dilakukannya pun
lebih tinggi daripada siswa yang memiliki tujuan mudah, sedang, atau do
your best goal. Penentuan tujuan yang memiliki tingkatan tantangan sulit
disini haruslah bersifat realistis dengan kata lain masih dapat dicapai. Hal
itu dikarenakan ketika sebuah tujuan itu sulit namun masih dapat dicapai,
maka kemungkinan gagal dalam usaha pencapaiannya dapat diminimalisir
sehingga keyakinan para siswa akan tercapainya tujuan tinggi yang pada
47
akhirnya membuat siswa termotivasi untuk berusaha dan berjuang meraih
tujuannya tersebut (Kanfer & Gaelick dalam Latham & Locke, 1991).
Komponen challenge ini diharapkan dapat berguna untuk membantu siswa
dalam menentukan tujuannya dengan baik, yaitu tujuan yang memiliki
tingkat tantangan yang tinggi namun masih dapat dicapai sehingga
membuat motivasi belajarnya dapat meningkat.
Komponen ketiga penyusun pelatihan goal setting adalah
commitment (komitmen). Seorang siswa akan menunjukkan komitmen
mereka jika siswa merasa bahwa siswa merupakan bagian dari pencapaian
suatu tujuan. Locke & Latham (Schunk, dkk., 2012) berpendapat bahwa
komitmen dapat menggambarkan seberapa kuat individu melekat pada
tujuan yang dimilikinya, seberapa antusias individu terhadap tujuannya,
dan seberapa teguh individu untuk mencapainya. Jika seorang siswa
memiliki ketertarikan yang tinggi, antusiasme yang tinggi, serta keteguhan
diri dalam pencapaian tujuan maka siswa akan bersemangat untuk meraih
tujuannya. Munculnya semangat ini tentunya akan menjadi sebuah
pendorong bagi para siswa untuk melakukan segala usaha-usaha yang
berkaitan dengan pencapaian tujuannya agar tujuannya tersebut dapat
tercapai (Latham & Locke, 1991). Dorongan-dorongan ini terus meningkat
seiring tingginya komitmen siswa hingga menyebabkan munculnya
motivasi yang ada dalam diri siswa yaitu motivasi belajarnya untuk
berbuat dan berusaha terus menerus guna meraih tujuannya (Sardiman,
2014). Berbeda dengan siswa yang memiliki komtimen yang rendah, siswa
48
yang memiliki komitmen rendah tidak akan terdorong untuk melakukan
hal-hal maupun usaha untuk meraih tujuan yang telah ditentukan yang
berarti tidak ada pula kemunculan motivasi belajar dalam dirinya (Latham
& Locke, 1991). Berdasarkan pemaparan mengenai komponen komitmen
tersebut, maka diharapkan para siswa dapat memiliki komitmen yang
tinggi sehingga motivasi belajar siswa pun dapat meningkat untuk meraih
tujuan belajarnya.
Komponen keempat penyusun pelatihan goal setting adalah
feedback (umpan balik). Isi dari umpan balik harus terfokus pada
pengontrolan kemajuan, menyadari rintangan yang ada, usulan dan solusi.
Umpan balik bisa memberikan standar pengukuran yang jelas guna
menuntun para siswa untuk evaluasi diri. Melalui umpan balik, seorang
siswa dapat mengetahui seberapa jauh standar atau patokannya sudah
terpenuhi (Latham & Locke, 1991).
Menurut Schunk dkk. (2012) ketika standar patokannya sudah
terpenuhi, maka akan memunculkan perasaan positif dalam diri siswa.
Perasaan positif tersebut dapat menjadi suatu pendorong terkait dengan
usaha-usaha yang sedang dilakukan dalam pencapaian tujuan (Latham &
Locke, 1991). Seorang siswa yang memiliki perasaan positif setelah
diberikan umpan balik yang tepat tentang usaha pencapaian tujuan akan
mengalami peningkatan pada keefektifan diri, motivasi, dan
keterampilannya (Anderws & Debus dalam Schunk, dkk., 2012). Perasaan
positif tersebut membuat motivasi belajar siswa meningkat yang berguna
49
untuk memberikan sumber energi bagi siswa agar dapat menentukan
tujuan perbaikan guna mendapatkan performa yang lebih baik agar tujuan
belajarnya dapat tercapai (Latham & Locke, 1991). Pemberian umpan
balik terkait usaha-usaha pencapaian tujuannya dapat berupa pujian,
pemberian informasi mengenai langkah-langkah pencapaian tujuan, usulan
atau solusi (Schunk, dkk., 2012). Komponen umpan balik diharapkan
dapat membantu para siswa untuk meningkatkan motivasi belajarnya
melalui umpan balik yang diberikan oleh orang lain atau dirinya sendiri.
Komponen kelima adalah task complexity (kerumitan tugas).
Seorang siswa akan lebih baik jika diberikan tugas yang simpel dan jelas
daripada diberikan tugas yang terlalu rumit karena hal ini akan
mempengaruhi usaha siswa untuk mencapai tujuannya (Locke & Latham
dalam Smith & Hitt, 2005). Tujuan-tujuan yang sulit atau menantang
seringkali akan dibarengi dengan adanya kerumitan tugas yang tinggi
(Locke, dkk., 1981). Maka dari itu, untuk membuat siswa terdorong untuk
meraih tujuan-tujuannya, kerumitan tugasnya harus dibuat sesederhana
mungkin dan semudah mungkin untuk dapat dimengerti dan dipahami
(Latham & Locke, 1991). Tugas yang terlampau rumit membuat siswa
menjadi tidak tertarik untuk mengerjakannya sehingga tidak timbul
motivasi belajar yang ada pada dirinya, sedangkan tugas yang sederhana,
mudah dipahami dapat membuat siswa menjadi lebih antusias untuk
mengerjakannya sehingga motivasi belajar dan keefektifan dirinya dalam
belajar meningkat (Schunk, dkk., 2012). Maka dari itu tingkat kerumitan
50
suatu tugas akan sangat berpengaruh terhadap motivasi belajar siswa
dimana tugas yang sederhana dan mudah dipahami dapat membuat siswa
antusias mengerjakannya sehingga motivasi belajarnya dapat meningkat.
Komponen kelima ini diharapkan dapat membantu siswa dalam
menentukan tujuannya dengan tugas-tugas pencapaian yang sederhana dan
mudah dipahami sehingga akan menyebabkan motivasi belajarnya
meningkat.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pelatihan goal setting berpengaruh terhadap motivasi belajar siswa.
Harapannya motivasi belajar siswa dapat meningkat dengan adanya
pelatihan goal setting. Adanya pengaruh antara pelatihan goal setting
terhadap motivasi belajar siswa ini didukung oleh pelbagai penelitian yaitu
penelitian yang dilakukan oleh Morisano, dkk. (2010) pada 85 siswa yang
mengalami kesulitan akademis menunjukkan bahwa setelah diberikan
intervensi goal setting, siswa menunjukkan peningkatan dalam prestasi
akademis dan motivasi belajarnya. Kemudian penelitian Lutfianawati,
Nugraha dan Rachmahana (2014) menunjukkan bahwa pelatihan goal
setting dapat meningkatkan motivasi belajar bahasa inggris pada siswa
kelas XII SMK “X” yang didapatkan dengan menggunakan analisis
kualitatif dan kuantitatif. Kesimpulannya, pelatihan goal setting
merupakan sebiuah pelatihan yang secara signifikan dapat meningkatkan
motivasi belajar para siswa.
51
D. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan
tingkat motivasi belajar pada siswa setelah diberikan pelatihan goal setting
dibandingkan dengan tingkat motivasi belajar pada siswa sebelum
diberikan pelatihan goal setting. Tingkat motivasi belajar siswa setelah
diberikan pelatihan goal setting lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat
motivasi belajar siswa sebelum diberikan pelatihan goal setting.