39
10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hakikat Pembelajaran Matematika 1. Belajar Manusia merupakan makhluk yang selalu ingin tahu. Siswono (2008: 2) menyebutkan bahwa manusia adalah makhluk yang pandai bertanya, bahkan dia mempertanyakan dirinya sendiri, keberadaannya, dan dunia seluruhnya. Menurut Moller, Huet, & Harvey (2009: 6), “Learning is fundamentally abaout change-change in attitudes, behavior, belief, capabilities, mental models, skill, or a combination of these. Pernyataan tersebut bermakna belajar pada dasarnya merupakan perubahan dalam sikap, prilaku, keyakinan, kemampuan, model mental, keterampilan, atau kombinasi semua. Belajar merupakan usaha yang di lakukan tiap individu untuk mencari tahu hal yang belum diketahuinya sehingga memperoleh suatu perubahan tingkah laku baik dalam bentuk pengetahuan, keterampilan maupun sikap dan nilai yang positif sebagai pengalaman sampai akhir hayatnya. Sugihartono (2007: 74) mendefinisikan belajar sebagai suatu proses memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam wujud perubahan tingkah laku dan kemampuan berinteraksi yang relatif permanen atau menetap karena adanya interaksi individu dengan lingkungannya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/259/2/BAB II.pdf · yang tidak hanya mempelajari pola bilangan saja, ... diskusi mereka

Embed Size (px)

Citation preview

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hakikat Pembelajaran Matematika

1. Belajar

Manusia merupakan makhluk yang selalu ingin tahu. Siswono (2008: 2)

menyebutkan bahwa manusia adalah makhluk yang pandai bertanya, bahkan

dia mempertanyakan dirinya sendiri, keberadaannya, dan dunia seluruhnya.

Menurut Moller, Huet, & Harvey (2009: 6), “Learning is fundamentally

abaout change-change in attitudes, behavior, belief, capabilities, mental

models, skill, or a combination of these‖. Pernyataan tersebut bermakna

belajar pada dasarnya merupakan perubahan dalam sikap, prilaku, keyakinan,

kemampuan, model mental, keterampilan, atau kombinasi semua. Belajar

merupakan usaha yang di lakukan tiap individu untuk mencari tahu hal yang

belum diketahuinya sehingga memperoleh suatu perubahan tingkah laku baik

dalam bentuk pengetahuan, keterampilan maupun sikap dan nilai yang positif

sebagai pengalaman sampai akhir hayatnya.

Sugihartono (2007: 74) mendefinisikan belajar sebagai suatu proses

memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam wujud perubahan tingkah

laku dan kemampuan berinteraksi yang relatif permanen atau menetap karena

adanya interaksi individu dengan lingkungannya.

11

Ambrose et al (2010: 3) bahwa: “Learning is a process that leads to

change, wich occurs as a result of experience and increases the potensial for

improved performance and future learning‖. Pernyataan tersebut bermakna

belajar adalah proses untuk mendorong perubahan, yang terjadi sebagai hasil

dari pengalaman dan peningkatan potensi untuk meningkatkan kinerja dan

pembelajaran masa depan.

Selanjutnya menurut Darsono (2000: 32) menyatakan bahwa suatu

kegiatan yang melibatkan individu secara keseluruhan, baik fisik maupun

psikis, untuk mencapai suatu tujuan. Menurut Watkins, Carnell, & Lodge

(2007: 72) menyatakan bahwa:

Learning is a constructive process that occurs best when the learner is

actively engaged in creating her or his own knowledge and understanding

by connecting what is being learned with prior knowledge and experience.

Pernyataan tersebut bermakna bahwa belajar merupakan proses

konstruktif yang terjadi ketika siswa secara aktif terlibat dalam menciptakan

pengetahuannya sendiri dan memahami dengan menghubungkan apa yang

sedang dipelajari dengan pengetahuan dan pengalaman sebelumnya.

Berdasarkan pendapat yang telah dipaparkan sebelumnya yang di

maksud belajar dalam penelitian ini adalah proses perubahan tingkah laku,

sikap, kemampuan yang terjadi ketika siswa terlibat dalam membangun

pengetahuannya sendiri dengan menghubungkan pengalaman sebelumnya

dengan serangkaian kegiatan untuk mencapai suatu tujuan.

12

2. Pembelajaran

Pembelajaran ditinjau dari paham konstruktivisme menurut Sugihartono

(2007: 114) merupakan pembentukan lingkungan belajar yang dapat

membantu siswa untuk membangun konsep-konsep atau prinsip-prinsip siswa

berdasarkan kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi. Menurut

Wena (2009: 52) tujuan akhir dari pembelajaran adalah menghasilkan siswa

yang memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam pemecahan masalah yang

dihadapi kelak di masyarakat. Hal ini sejalan dengan pandangan Polya (1960:

4) yang mengatakan bahwa poin utama dalam pembelajaran matematika

adalah untuk mengembangkan taktik dalam pemecahan masalah.

Menurut Sagala (2009: 61) menyatakan bahwa pembelajaran adalah

membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar

yang merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan. Menurut Hammond

& Brabsford (2015: 103) : “A major role of instruction is to build studentss

storehouse of experience do that they can build their cognitive capacity‖.

Pernyataan tersebut bermakna peran utama dari pembelajaran adalah

untuk membangun gudang pengalaman siswa sehingga mereka dapat

membangun kapasitas kognitif mereka. Gudang pengalaman disini maksudnya

adalah pengalaman sebelumnya dari siswa sehingga siswa mendapatkan tugas

maka dari pengalaman sebelumnya siswa dpat mengerjakannya.

Hamalik (2006: 239) pembelajaran merupakan suatu kombinasi yang

tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material fasilitas, perlengkapan dan

prosedur yang saling mempengaruhi tercapainya suatu tujuan. Selanjutnya

13

Nitko & Brookhart (2011: 18) menyebutkan bahwa aktifitas pembelajaran

melibatkan tiga hal penting, yaitu: 1) Deciding what students are to learn. 2)

Carrying out the actual instruction. 3) Evaluating the learning.

Aktifitas pertama meliputi bagaimana cara guru memikirkan agar siswa

paham dengan apa yang telah diajarkan. Aktifitas kedua, guru menyediakan

kondisi dan aktifitas bagi siswa untuk belajar. Aktifitas ketiga yaitu

mengevaluasi apakah pembelajaran yang berangsung menggunakan penilaian

sumatif.

Berbagai pengertian pembelajaran yang diuraikan sebelumnya dapat

disimpulkan bahwa yang di maksud dalam penelitian ini pembelajaran

merupakan pembentukan lingkungan belajar yang memfasilitasi siswa untuk

membangun konsep dan prinsip berdasar kemampuannya sendiri dengan

tujuan akhirnya yaitu kemampuan memecahkan masalah melalui proses

komunikasi dua arah yaitu antara guru dengan siswa.

3. Matematika

Alberta (2007: 11) mendefinisikan matematika sebagai suatu ilmu

tentang pengenalan dan deskripsi pola bilangan dan non-bilangan. Selain itu,

ia juga menambahkan bahwa:

Mathematics is one way to describe interconnectedness in a holistic

worldview. Mathematics is used to describe and explain relationships

among numbers, sets, shapes, objects and concepts. The search for possible

relationships involves collecting and analyzing data and describing

relationships visually, symbolically, orally or in written form.

Maksud dari pernyataan di atas adalah matematika merupakan salah satu

cara untuk mendeskripsikan hubungan-hubungan dalam dunia ini. Matematika

14

digunakan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan hubungan antara bilangan,

himpunan, bentuk, objek, dan konsep. Termasuk juga penelusuran hubungan

mengenai pengumpulan, analisis data dan mendeskripsikannya secara visual,

simbolik, lisan ataupun dengan tulisan.

Soedjadi (2007: 9) mendefiniskan matematika sebagai ilmu yang

memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Memiliki objek kajian yang abstrak yang hanya ada dalam pikiran

b. Bertumpu pada kesepakatan (lebih bertumpu pada aksioma formal)

c. Berpola pikir deduktif

d. Konsisten dalam sistemnya

e. Memiliki/menggunakan simbol yang “kosong” dari arti

f. Memperhatikan semesta pembicaraan

Selanjutnya Van de Walle, Karp, & Bay-William (2013: 13)

mengemukakan bahwa: ―Mathematics is the science of concepts and

processes that have a pattern of regularity and logical order‖. Matematika

merupakan ilmu dari konsep dan proses yang memiliki pola umum dan

susunan logika. Matematika tidak hanya sekedar penerapan keterampilan

numerasi dasar semata, melainkan matematika juga merupakan kendaraan

utama untuk mengembangkan kemampuan berpikir logis dan keterampilan

kognitif bagi manusia (Muijs & Reynolds, 2008: 333).

Berdasarkan beberapa definisi matematika yang telah diuraikan

sebelumnya maka disimpulkan bahwa matematika merupakan sebuah ilmu

yang tidak hanya mempelajari pola bilangan saja, melainkan sebuah ilmu yang

mempelajari tentang pola-pola dan hubungan-hubungan dalam dunia ini dari

yang bersifat konkret hingga abstrak yang dapat dideskripsikan secara

15

simbolik, visual, lisan, ataupun tulisan yang dapat meningkatkan keterampilan

kognitif dan berpikir logis seorang individu.

4. Pembelajaran Matematika

Pembelajaran merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian

perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung

dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu (Russeffendi, 1991:

261). Dalam pembelajaran, guru bertindak sebagai fasilitator yaitu guru

berperan dalam memberikan pelayanan untuk memudahkan siswa dalam

kegiatan proses pembelajaran. Jadi pembelajaran tidak berpusat pada guru,

siswa harus aktif sebagai pelaku utama (Wina 2006: 23).

Menurut Russeffendi (1991: 261) matematika adalah ilmu tentang

struktur yang terorganisasi, matematika terbentuk sebagai hasil pemikiran

manusia yang berhubungan dengan ide, proses dan penalaran. Matematika

yang dalam bahasa latin mathematica berasal dari bahasa Yunani

mathematike, yang berarti “relating to learning” mempunyai akar kata

mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu. Kata mathematike berhubungan

erat dengan sebuah kata lain yang serupa, yaitu mathemain yang berarti

belajar (Suherman, 2003 : 55).

Lebih lanjut Menurut Suherman (2003: 57) belajar matematika bagi para

siswa merupakan pembentukan pola pikir dalam pemahaman suatu pengertian

maupun dalam penalaran suatu hubungan di antara pengertian-pengertian itu.

Menurut BSNP (2006: 146), mata pelajaran Matematika pada satuan

16

pendidikan tingkat dasar dan menengah meliputi aspek-aspek: Logika,

Aljabar, Geometri, Trigonometri, Kalkulus, Statistika dan Peluang.

Berdasarkan definisi-definisi dan uraian-uraian sebelumnya maka dapat

disimpulkan bahwa yang dimaksud dalam penelitian ini pembelajaran

matematika merupakan serangkaian kegiatan siswa dalam rangka

pembentukan pola pikir, pemahaman, pengetahuan, sikap, keterampilan dan

lainnya tentang matematika yang dibimbing oleh guru dalam suasana edukatif

untuk mencapai tujuan tertentu.

MTs Assalafiyyah Mlangi adalah sekolah yang menerapkan Kurikulum

KTSP dalam proses pembelajarannya. Dalam Kurikulum KTSP pada mata

pelajaran matematika, terdapat beberapa Standar Kompetensi (SK) maupun

Kompetensi Dasar (KD) yang harus tercapai (2006: 350).

Tabel 1. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar

Bangun Ruang Sisi Datar

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar

5. Memahami sifat-sifat kubus,

balok, prisma, limas, dan

bagian-bagiannya, serta

menentukan ukurannya

5.1 Mengidentifikasi sifat-sifat kubus, balok,

prisma dan limas serta bagian-bagiannya

5.2 Membuat jaring-jaring kubus, balok,

prisma dan limas

5.3 Menghitung luas permukaan dan volume

kubus, balok, prisma dan Limas

17

B. Pendekatan Kontekstual

Definisi teori pembelajaran kontekstual menurut CORD (1999: 1) adalah

sebagai berikut:

Contextual learning occurs only when students (learners) process new

information or knowledge in such a way that it makes sense to them in their

own frames of reference (their own inner worlds of memory, experience, and

response). This approach to learning and teaching assumes that the mind

naturally seeks meaning in context—that is, in relation to the person’s current

environment—and that it does so by searching for relationships that make

sense and appear useful.

Maksud dari uraian di atas adalah pembelajaran kontekstual terjadi apabila

siswa mampu memproses informasi atau pengetahuan baru yang didapatkannya

kemudian mengaitkan dan menemukan hubungan yang membuat pembelajaran

menjadi lebih bermakna.

Selanjutnya juga menambahkan bahwa, pembelajaran kontekstual

merupakan sebuah sistem yang merangsang otak untuk menyusun pola-pola yang

mewujudkan makna dengan menghubungkan muatan akademik dengan konteks

dari kehidupan sehari-hari siswa (Johnson, 2012: 58). Jadi, pendekatan

pembelajaran kontekstual adalah suatu pendekatan pembelajaran yang dapat

membantu guru dalam meningkatkan kemampuan siswa dalam mempelajari suatu

konsep tertentu dengan mengaitkan setiap materi pembelajaran dengan

lingkungan dan kehidupan sehari-hari siswa sehingga mereka dapat

menghubungkan antara pengetahuan yang mereka miliki dengan penerapannya

dalam keseharian mereka.

18

Johnson (2012: 65-66) mengatakan bahwa untuk mencapai tujuan

pembelajaran kontekstual, sistem pembelajaran haruslah sesuai dengan delapan

komponen yaitu

Making a meaningful conection, doing significant work, self-regulated learning,

collaborating, critical and creative thinking, nurturing the individual, reaching

high standards, using authentic assessments.

Membuat koneksi yang bermakna, melakukan pekerjaan yang signifikan,

pembelajaran mandiri, bekerja sama, berpikir kritis dan kreatif, memelihara

individu, mencapai standar yang tinggi, menggunakan penilaian otentik. Menurut

Sanjaya (2006: 254) terdapat lima karakteristik penting dalam proses

pembelajaran yang menggunakan pendekatan kontekstual diantaranya:

1. Mengaktifan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh peserta didik (activing

knowledge)

2. Memperoleh pengetahuan baru (acquiring knowledge)

3. Memahami pengetahuan (understanding knowledge)

4. Menerapkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge)

5. Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan

pengetahuan tersebut

Pendekatan kontekstual mempunyai 7 prinsip utama dalam pembelajaran

yaitu konstruktivisme (constructivism), penemuan (inquiry), bertanya

(questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling),

refleksi (reflection), dan penilaian yang sebenarnya (authentic assessment)

(Rusman, 2012: 193-199). Ketujuh prinsip utama dalam pendekatan kontekstual

di atas, maka langkah-langkah pembelajaran kontekstual dapat dilakukan dengan

cara (Supinah, 2008: 28-29):

19

a. Menyampaikan tujuan, pokok-pokok materi pelajaran , dan melakukan

apersepsi.

b. Menyampaikan permasalahan yang berkaitan dengan materi yang akan

dipelajari.

c. Membagi siswa dalam kelompok-kelompok kecil dengan kemampuan yang

merata.

d. Siswa bekerja dalam kelompok untuk mendiskusikan permasalahan dan materi

yang sedang dipelajari dan masing-masing kelompok mempresentasikan hasil

diskusi mereka.

e. Mengadakan refleksi terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru

diterima.

f. Memberikan penguatan, tes, ataupun kesimpulan.

Beradasarkan uraian sebelumnya, dalam penelitian ini dapat disimpulkan

bahwa pembelajaran dengan pendekatan kontekstual adalah suatu pembelajaran

yang mengaitkan materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa

kemudian membimbing siswa untuk dapat menemukan dan memahami konsep

materi yang dipelajari dengan menggunakan tujuh prinsip utama yaitu

konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiry),

masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi

(reflection), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment).

20

C. Kemampuan Pemecahan Masalah

1. Pengertian Kemampuan Pemecahan Masalah

Pemecahan masalah merupakan aktivitas yang sangat penting dalam

pembelajaran matematika, menurut suherman, dkk bahwa suatu masalah

biasanya memuat situasi yang dapat mendorong seseorang untuk

menyelesaikannya. Masalah dalam matematika adalah suatu persoalan yang ia

sendiri mampu menyelesaikan tanpa menggunakan cara, dan prosedur yang

rutin.

Untuk menyelesaikan masalah seseorang harus menguasai hal-hal yang

telah dipelajari sebelumnya dan kemudian menggunakan dalam situasi baru.

Karena itu masalah yang disajikan kepada peserta didik harus sesuai dengan

kemampuan dan kesiapannya serta proses penyelesaiannya tidak dapat dengan

prosedur rutin. Cara melaksanakan kegiatan mengajar dalam penyelesaian

masalah ini, siswa diberi pertanyaaan-pertanyaan dari yang mudah ke yang

sulit berurutan secara hirarki. Salah satu fungsi pembelajaran matematika

adalah untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah.

Kemampuan pemecahan masalah matematika siswa ditekankan pada

berfikir tentang cara menyelesaikan masalah dan memproses informasi

matematika. Menurut Kennedy (Abdurrahman, 2012: 205) menyarankan

empat langkah proses pemecahan masalah yaitu: “memahami masalah,

merancang pemecahan masalah, melaksanakan pemecahan masalah dan

memeriksa kembali”.

21

Menurut Polya dalam Herman Hudojo (2003: 87), menyelesaikan

masalah didefinisikan sebagai usaha mencari jalan keluar dari kesulitan,

mencapai suatu tujuan yang tidak dengan segera dapat dicapai. Karena itu

pemecahan masalah merupakan suatu aktifitas tingkat tinggi. Krulik & Rudnik

(1995: 4) mengemukakan bahwa pemecahan masalah merupakan proses di

mana individu menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman

yang telah diperoleh untuk nenyelesaian masalah pada situati yang tidak

dikenalnya.

Jadi dari uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, dalam penelitian ini

dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah adalah suatu daya

atau kemampuan individu untuk menggunakan pengetahuan, keterampilan dan

pemahamannya dalam rangka menemukan solusi dari suatu masalah.

2. Komponen-Komponen Kemampuan Pemecahan Masalah

Menurut Glass & Holyoak (Jacob, 2010: 06) mengungkapkan empat

komponen dasar dalam menyelesaikan masalah adalah:

a. Tujuan atau deskripsi yang merupakan suatu solusi terhadap masalah

b. Deskripsi objek-objek yang relevan untuk mencapai suatu solusi sebagai

sumber yang dapat digunakan dan setiap perpaduan atau pertantangan

yang dapat tercakup

c. Himpunan operasi atau tindakan yang diambil untuk membantu mencapai

solusi.

d. Himpunan pembatas yang tidak harus dilanggar dalam pemecahan

masalah.

22

Dengan demikian, komponen-komponen tersebut, jelaslah bahwa dalam

suatu penyelesaian masalah itu mencakup adanya informasi keterangan yang

jelas untuk menyelesaikan masalah matematika, tujuan yang ingin dicapai, dan

tindakan yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan, agar penyelesaian

masalah berjalan dengan baik sesuai dengan yang diharapkan.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Pemecahan Masalah

Menurut Siswono (2008: 35) faktor yang mempengaruhi kemampuan

pemecahan masalah, yaitu:

a. Pengalaman Awal

Pengalaman terhadap tugas-tugas menyelesaikan soal cerita atau soal

aplikasi. Pengalaman awal seperti ketakutan (pobia) terhadap matematika

dapat menghambat kemampuan siswa dalam memecahkan masalah.

b. Latar Belakang Matematika

Kemampuan siswa terhadap konsep-konsep matematika yang

berbeda-beda tingkatnya dapat memicu perbedaan kemampuan siswa

dalam memecahkan masalah.

c. Keinginan dan Motivasi

Dorongan yang kuat dari dalam diri (internal), seperti menumbuhkan

keyakinan saya “BISA” maupun eksternal, seperti diberikan soal-soal yang

menarik, menantang, kontekstual dapat mempengaruhi hasil pemecahan

masalah.

23

d. Struktur Masalah

Struktur masalah yang diberikan kepada siswa (pemecahan

masalah), seperti format secara verbal atau gambar, kompleksitas (tingkat

kesulitan soal), konteks (latar belakang cerita atau tema), bahasa soal,

maupun pola masalah satu dengan masalah yang lain dapat mengganggu

kemampuan siswa dalam memecahkan masalah.

Siswono (2008: 36) juga menyebutkan bahwa dalam memecahkan

masalah perlu keterampilan-keterampilan yang harus dimiliki, yaitu: (1)

keterampilan empiris (perhitungan, pengukuran); (2) keterampilan aplikatif

untuk menghadapi situasi yang umum (seting terjadi); (3) keterampilan

berpikir untuk bekerja pada suatu situasi yang tidak biasa (unfamiliar).

4. Indikator Kemampuan Pemecahan Masalah

Beberapa indikator kemampuan pemecahan masalah matematika

menurut NCTM (1989: 209) adalah sebagai berikut:

a. Mengidentifikasi unsur-unsur yang diketahui, yang ditanyakan, dan

kecukupan unsur yang diperlukan

b. Merumuskan masalah matematika atau menyusun model matematika

c. Menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan

masalah baru) dalam atau di luar matematika

d. Menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal

e. Menggunakan matematika secara bermakna.

24

Menurut Sumarmo (2000: 8)menyatakan bahwa indikator kemampuan

pemecahan masalah adalah sebagi berikut:

1) Mengidentifikasikan kecukupan data untuk pemecahan masalah

2) Membuat model matematik dari suatu situasi atau masalah sehari-hari dan

menyelesaikannya

3) Memilih dan menerapkan strategi untuk menyelesaikan masalah

matematika atau di luar matematika

4) Menjelaskan atau menginterpretasi hasil sesuai permasalahan asal serta

memeriksa kebenaran hasill atau jawaban

5) Menerapkan matematika secara bermakna.

Menurut Efendi, dkk (2007: 20) indikator yang menunjukan pemecahan

masalah matematika adalah:

a) Menunjukan pemahaman masalah.

b) Merancang strategi pemecahan masalah.

c) Melaksanakan stategi pemecahan masalah.

d) Memeriksa kebenaran jawaban.

Menurut BSNP (2006: 140) ada empat indikator kemampuan pemecahan

masalah yaitu

(1) Memahami masalah;

(2) Merancang model matematika;

(3) Menyelesaikan masalah, dan

(4) Menafsirkan solusinya.

25

Indikator yang digunakan adalah menurut BSNP, pada proses

pemecahan masalah pada penelitian ini meliputi 4 tahap yaitu (1) memahami

masalah, (2) merancang model matematika, dan (3) menyelesaikan masalah,

(4) menafsirka solusinya .

5. Langkah-langkah Pemecahan Masalah

Menurut Polya (1973: 6-14), terdapat empat langkah dalam

memecahkan masalah, yaitu:

a. Memahami Masalah (Understand the Problem)

Pada langkah ini, siswa diharapkan dapat memahami permasalahan

yang dihadapi. Kegiatan yang dilakukan siswa pada langkah ini, meliputi

menuliskan bagian penting, hal yang tidak diketahui, data yang diketahui,

dan syarat pada masalah. Selain itu, siswa juga menuliskannya dalam

notasi matematika. Jika terdapat gambar terkait dengan masalah, siswa

diharapkan dapat menggambarkannya.

b. Merencanakan Penyelesaian Masalah (Devising a Plan)

Tahap ini dilaksanakan setelah siswa memahami masalah yang

dihadapi. Pada tahap ini, siswa menyusun strategi atau rencana yang dapat

digunakan untuk menyelesaikan masalah. Dalam merencanakan masalah,

dibutuhkan pengalaman dan pengetahuan yang telah didapat siswa.

c. Menyelesaikan Masalah Sesuai Rencana (Carrying Out the Plan)

Pada tahap ini, siswa harus menyusun rincian yang sesuai dengan

garis besar rencana yang telah dibuat pada tahap sebelumnya. Siswa harus

menguji rincian tersebut satu persatu hingga tidak terdapat kesalahan.

26

d. Memeriksa Kembali (Looking Back)

Pada tahap ini, siswa memeriksa kembali keseluruhan penyelesaian

untuk menghindari kesalahan pada fase penting dalam langkah

penyelesaian. Siswa mempertimbangkan kembali dan menguji kembali

hasil penyelesaian dan langkah-langkahnya. Setelah memeriksa hasil dan

setiap langkah penyelesaian, siswa dapat meyakini bahwa hasil

penyelesaian yang didapat merupakan penyelesaian yang benar.

Pada penelitian ini, langkah-langkah pemecahan masalah yang

digunakan adalah langkah-langkah pemecahan masalah menurut Polya, yaitu

memahami masalah, merencanakan penyelesaian masalah, menyelesaikan

masalah sesuai rencana, dan memeriksa kembali, dimana dalam langkah

memeriksa kembali terdapat langkah menafsirkan solusi yang diperoleh.

D. Perangkat Pembelajaran Matematika dan Penyajiannya

1. Pengertian Lembar Kerja Siswa

Menurut Depdiknas (2007: 26), Lembar Kerja Siswa (LKS) merupakan

lembaran-lembaran yang berisi petunjuk atau langkah kerja untuk

menyelesaikan suatu tugas yang harus dikerjakan siswa. Prastowo (2011:

204), LKS merupakan suatu bahan ajar cetak berupa lembar-lembar kerta yang

berisi materi, ringkasan, dan petunjuk-petunjuk pelaksanaan tugas

pembelajaran yang harus dikerjakan oleh siswa, yang mengacu pada

kompetensi dasar yang harus dicapai oleh siswa. Berdasarkan pengertian-

pengertian tersebut, disimpulkan bahwa LKS adalah bahan ajar berupa

lembaran kertas yang berisi petunjuk atau langkah kerja untuk melaksanakan

27

tugas pembelajaran yang harus dikerjakan siswa mengacu pada kompetensi

dasar yang harus dicapai siswa untuk memudahkan siswa melakukan proses

belajar.

Purwanto & Ida Melati S. (2004: 427-428) menyatakan bahwa LKS

harus mengamanatkan kepada peserta didik untuk aktif dan kreatif

memikirkan aplikasi atau penerapan dari isi materi. LKS yang baik juga

mendorong pelajar untuk ingin belajar terus melalui bahan-bahan rujukan

yang harus dan perlu dibaca lebih lanjut. Misalnya, mendorong peserta didik

untuk membaca artikel surat kabar, internet atau buku yang lain. Selain itu,

LKS harus dikembangkan dan ditulis dengan memperhatikan prinsip-prinsip

bahwa: cakupan materinya cukup memadai, urutan materinya tersaji secara

sistematis, dan isinya harus sesuai dengan tujuan pembelajaran.

Berdasarkan uraian sebelumnya, dalam penelitian ini dapat disimpulkan

bahwa LKS merupakan lembaran-lembaran yang berisi petunjuk belajar atau

langkah-langkah kegiatan belajar bagi siswa untuk menemukan/memperoleh

pengetahuan dari materi yang sedang dipelajari. Materi dalam LKS disusun

sedemikian rupa sehingga dengan mempelajari materi tersebut tujuan-tujuan

pembelajaran yang telah dirumuskan dapat tercapai. Materi pembelajaran itu

disusun langkah demi langkah secara teratur dan sistematik sehingga siswa

dapat mengikutinya dengan mudah. LKS juga disertai dengan

pertanyaan/latihan dan biasanya melampirkan jawaban yang benar.

28

2. Syarat Lembar Kegiatan Siswa yang Baik

Dalam Permendikbud No. 71 tahun 2013 yang mengatur tentang buku

teks pelajaran dan buku panduan guru untuk pendidikan dasar dan menengah,

menyebutkan bahwa suatu buku teks atau bahan ajar (termasuk LKS)

dinyatakan baik dan layak digunakan apabila memenuhi empat aspek kriteria

kelayakan, yaitu kelayakan isi, bahasa, penyajian, dan grafika.

Berikut uraian mengenai kriteria kelayakan buku teks atau bahan ajar

(Muljono, 2007: 21):

a. Kelayakan Isi

Komponen kelayakan isi diuraikan menjadi beberapa subkomponen

atau indikator berikut: 1) kesesuaian dengan SK dan KD mata pelajaran, 2)

kesesuaian dengan perkembangan peserta didik, dan 3) substansi keilmuan

yang meliputi keakuratan dan kemutakhiran materi.

b. Kelayakan Bahasa

Komponen kebahasaan ini diuraikan menjadi beberapa

subkomponen atau indikator berikut: (a) keterbacaan, (b) kesesuaian

dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar, dan (c) logika

berbahasa.

c. Penyajian

Komponen penyajian ini diuraikan menjadi beberapa subkomponen

atau indikator berikut: 1) teknik penyajian materi, 2) pendukung penyajian,

dan 3) ketepatan penyajian dalam pembelajaran.

29

d. Kegrafikan

Komponen kegrafikan ini diuraikan menjadi beberapa subkomponen

atau indikator berikut: 1) ukuran/format buku, 2) desain bagian sampul

yang meliputi tata letak, tipografi, dan ilustrasi, dan 3) desain bagian isi

yang meliputi tata letak, tipografi, dan ilustrasi.

Selain itu, menurut Arsyad (2011: 88-89), LKS merupakan salah satu

media teks berbasis cetakan yang menuntut beberapa elemen yang perlu

diperhatikan pada saat menyusunnya agar menjadi suatu media yang

berkualitas, beberapa elemen tersebut adalah sebagai berikut:

1) Konsistensi

a) Konsistensi format dari halaman ke halaman diusahakan tidak

menggabungkan cetakan huruf dan ukuran huruf.

b) Konsistensi penentuan jarak spasi antara judul dan baris pertama serta

garis samping, antara judul dan teks utama supaya sama.

2) Format

a) Tampilan satu kolom akan lebih sesuai untuk paragraf yang panjang.

Sebaliknya, jika paragraf yang digunakan pendek, lebih baik memakai

tampilan dua kolom.

b) Isi yang berbeda dipisahkan dan dilabel secara visual.

c) Taktik dan strategi pengajaran yang berbeda dipisahkan dan dilabel

secara visual.

30

3) Organisasi

a) Mengupayakan siswa/pembaca untuk mengetahui dimana posisinya

dalam teks secara keseluruhan

b) Teks disusun sedemikian rupa sehingga informasi mudah diperoleh.

c) Kotak-kotak dapat digunakan untuk memisahkan bagian-bagian dari

teks.

4) Daya Tarik

Memperkenalkan setiap bab/bagian baru dengan cara yang berbeda. Ini

diharapkan dapat memotivasi siswa untuk membaca.

5) Ukuran Huruf

a) Ukuran huruf harus sesuai dengan siswa, pesan, dan lingkungannya.

b) Penggunaan huruf kapital untuk seluruh teks harus dihindari agar tidak

menyulitkan proses membaca.

6) Ruang Kosong

a) Memberi kesempatan kepada siswa/pembaca untuk beristirahat pada

titik-titik tertentu dengan menambahkan ruang kosong yang tak berisi

teks atau gambar. Ruang kosong dapat berbentuk: (1) ruangan sekitar

judul; (2) batas tepi (margin); (3) spasi antar kolom; (4) permulaan

paragrap diidentifikasi; dan (5) penyesuaian spasi antar baris atau antar

paragraf,

b) Menyesuaikan spasi antar baris untuk meningkatkan tampilan dan

tingkat keterbacaan.

31

c) Menambahkan spasi antar paragraf untuk meningkatkan tingkat

keterbacaan.

Darmodjo & Jenry Kaligis (1991: 41-46) menyatakan syarat-syarat yang

harus dimiliki dalam menyusun LKS sebagai berikut:

(1) Syarat- syarat Didaktik

Syarat ini mengatur tentang penggunaan LKS yang bersifat universal

yaitu dapat digunakan dengan baik untuk siswa yang lamban atau yang

pandai. LKS yang baik lebih menekankan pada proses untuk menemukan

konsep. LKS yang berkualitas harus memenuhi syarat- syarat didaktik

sebagai berikut:

(a) Mengajak siswa aktif dalam proses pembelajaran

(b) Memberi penekanan pada proses untuk menemukan konsep

(c) Memiliki variasi stimulus melalui berbagai media dan kegiatan siswa

sesuai dengan ciri KTSP

(d) Dapat mengembangkan kemampuan komunikasi sosial, emosional,

moral, dan estetika pada diri siswa

(e) Pengalaman belajar ditentukan oleh tujuan pengembangan pribadi.

(2) Syarat Konstruksi

Syarat-syarat konstruksi ialah syarat-syarat yang berkenaan dengan

penggunaan bahasa, susunan kalimat, kosakata, tingkat kesukaran, dan

kejelasan, yang pada hakekatnya harus tepat guna dalam arti dapat

dimengerti oleh siswa. Syarat-syarat konstruksi tersebut yaitu :

32

(a) Menggunakan bahasa yang sesuai dengan tingkat kedewasaan anak.

(b) Menggunakan struktur kalimat yang jelas.

(c) Memiliki tata urutan pelajaran yang sesuai dengan tingkat kemampuan

siswa.

(d) Hindarkan pertanyaan yang terlalu terbuka.

(e) Tidak mengacu pada buku sumber yang di luar kemampuan

keterbacaan siswa.

(f) Menyediakan ruangan yang cukup untuk memberi keleluasaan pada

siswa untuk menulis maupun menggambarkan pada LKS.

(g) Menggunakan kalimat yang sederhana dan pendek.

(h) Menggunakan lebih banyak ilustrasi daripada kata-kata.

(i) Dapat digunakan oleh anak-anak, baik yang lamban maupun yang

cepat.

(j) Memiliki tujuan yang jelas serta bermanfaat sebagai sumber motivasi.

(k) Mempunyai identitas untuk memudahkan administrasinya.

(3) Syarat Teknis

Syarat ini menekankan penyajian LKS, yaitu berupa tulisan, gambar

dan penampilannya dalam LKS. Syarat teknis penyusunan LKS adalah

sebagai berikut:

(a) Tulisan

(i) Menggunakan huruf cetak dan tidak menggunakan huruf latin atau

romawi.

33

(ii) Menggunakan huruf tebal yang lebih besar untuk topik, bukan

huruf biasa yang diberi garis bawah.

(iii) Menggunakan kalimat pendek, tidak boleh lebih dari 10 kata

dalam satu baris.

(iv) Menggunakan bingkai untuk membedakan kalimat perintah

dengan jawaban siswa.

(v) Mengusahakan agar perbandingan besarnya huruf dengan

besarnya gambar serasi.

(b) Gambar

Gambar yang baik untuk LKS adalah gambar yang dapat

menyampaikan pesan/isi dari gambar tersebut secara efektif kepada

pengguna LKS.

(c) Penampilan

Penampilan LKS yang menarik akan membuat siswa tertarik untuk

belajar menggunakan LKS.

Dalam penelitian ini, acuan yang digunakan dalam pengembangan LKS

yang dinyatakan baik dan layak menurut Muljono apabila memenuhi empat

aspek kriteria kelayakan, yaitu kelayakan isi, bahasa, penyajian, dan grafika.

3. Langkah-langkah Penyusunan Lembar Kerja Siswa

Langkah-langkah Penyusunan Lembar Kegiatan Siswa Depdiknas

(2008: 23-24) menyatakan langkah-langkah yang dilakukan dalam

penyusunan LKS sebagai berikut:

34

a. Melakukan Analisis Kurikulum

Analisis kurikulum dimaksudkan untuk menentukan materi-materi mana

yang akan dikembangkan dalam LKS.

b. Menyusun Peta Kebutuhan LKS

Peta kebutuhan LKS sangat diperlukan guna mengetahui jumlah LKS yang

akan ditulis.

c. Menentukan Tema/Topik LKS

Tema/topik LKS ditentukan atas dasar Kompetensi Dasar (KD) dan

materimateri pokok yang terdapat dalam kurikulum. Satu KD dapat

dijadikan sebagai satu tema/topik LKS.

d. Penulisan LKS

Penulisan LKS dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1) Perumusan KD dan indikator pencapaian kompetensi

Perumusan KD dan indikator pencapaian kompetensi pada suatu LKS

dilakukan dengan berpedoman pada standar isi.

2) Menentukan Alat Penilaian

Penilaian dilakukan berdasarkan pada penguasaan kompetensi.

3) Penyusunan Materi

Materi LKS sangat tergantung pada KD yang akan dicapai. Materi

dapat diambil dari berbagai sumber seperti buku, majalah, internet,

maupun jurnal hasil penelitian.

35

4) Menentukan Struktur LKS

Struktur LKS secara umum adalah sebagai berikut:

i. Judul

ii. Petunjuk belajar

iii. Kompetensi yang akan dicapai

iv. Informasi pendukung

v. Latihan-latihan

vi. Langkah-langkah kegiatan

vii. Penilaian

E. Kriteria Kualitas Perangkat Pembelajaran

Dalam pengembangan produk pendidikan, kualitas dari produk pengembangan

memiliki peranan yang cukup penting dalam dunia pendidikan seperti yang

diungkapkan oleh Nieveen (1999: 126) yaitu “the wide array of educational products

play important roles in education‖. Lebih lanjut, kualitas produk pengembangan

pembelajaran harus memenuhi kriteria valid, praktis dan efektif (Nieveen, 1999: 127-

128). Berikut disajikan aspek-aspek kualitas produk pengembangan menurut Nieveen

(1999: 127).

Tabel 2. Kriteria Validitas, Praktis, dan Efektif Menurut Nieveen

Quality Aspects

Validity Practically Efectiveness

Intended (ideal + formal) Consistensy between Consistensy between

State of the art Intended Perceived Intended Experiential

Internally Consistent Intended Operation Intended Attained

Untuk mengetahui maksud dari representasi dari aspek tersebut dapat dilihat

dari Tabel dibawah ini:

36

Tabel 3. Reprensentasi Aspek Kualitas Menurut Nieveen

Ideal Menggambarkan asumsi, visi dan tujuan dari sebuah dokumen

kurikulum

Formal Menggambarkan contoh konkrit dokumen kurikulum seperti

buku siswa dan petunjuk guru. Kombinasi dari ideal dan formal

disebut intended.

Perceived Interprestasi kurikulum oleh pengguna (khususnya guru)

Operational Menggambarkan proses pembelajaran aktual (curriculum –in

action

atau enacted curriculum)

Experiential Kurikulum menggambarkan pengalaman siswa

Attained Menggambarkan hasil belajar siswa

1. Kevalidan (Validity)

Nieveen (1999: 127) menyatakan bahwa “the component of material

should be based on state of the art knowledge (content validity) and all

component should be consistently linked to each other (construct validity)‖.

Hal tersebut dapat dipahami bahwa kualitas produk dikatakan valid yaitu

dengan melihat dari keterkaitannya, serta mempertimbangkan tujuan dari

pengembangan produk tersebut. Dengan demikian kriteria kevalidan

mencakup validitas isi yaitu kesesuaian komponen-komponen yang melandasi

pembuatan produk, dan validitas konstruk yaitu keterkaitan seluruh komponen

dalam pengembangan produk.

Dalam penelitian ini, Lembar Kerja Siswa dengan pendekatan kontekstual

dikatakan valid jika memenuhi kriteria berikut

(a) Hasil penilaian ahli/praktisi menyatakan bahwa perangkat pembelajaran

lembar kerja siswa didasarkan pada landasan teoritik yang kuat.

37

(b) Hasil penilaian ahli/praktisi menyatakan bahwa komponen perangkat

pembelajaran lembar kerja siswa secara konsisten saling berkaitan.

2. Kepraktisan (Practicality)

Nieveen (1999: 127) menyatakan bahwa “A second characteristic of high

quality materials is that teachers (and other experts) consider the materials to

be usable and that it is easy for teacher and students to use the materials in

away that is largely compatible with the developers’intention‖. Hal tersebut

dapat dimaknai bahwa kepraktisan produk pengembangan ditentukan dari

pendapat guru yang menyatakan bahwa produk yang dihasilkan dapat

digunakan dan produk mudah digunakan oleh guru dan siswa sesuai dengan

maksud pengembang.

Dengan demikian dalam penelitian ini, lembar kerja siswa yang

dikembangkan dikatakan praktis jika memenuhi kriteria:

a. Para ahli dan guru menyatakan perangkat pembelajaran lembar kerja siswa

yang dikembangkan dapat diterapkan.

b. Secara nyata di lapangan, guru dan siswa sebagai pengguna menyatakan

perangkat pembelajaran lembar kerja siswa yang dikembangkan dapat

diterapkan.

3. Keefektifan (Effectiveness)

Nieveen (1999:127) menyatakan bahwa “A third characteristic of high

quality materials is that students appreciate the learning program and that

desired learning takes place. With such effective materials, consistency exists

between the intended and experiential curriculum and the intended and the

38

attained curriculum‖. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keefektifan

produk pengembangan (dalam penelitian ini model pembelajaran) ditinjau dari

konsistensi antara rancangan/tujuan dengan pengalaman dan hasil belajar yang

dicapai siswa. Pengalaman siswa ditentukan melalui apresiasi siswa terhadap

pembelajaran matematika, selajutnya hasil belajar siswa dapat ditentukan

melalui hasil tes.

Perangkat lembar kerja siswa dikatakan efektif jika memenuhi indikator:

a. Apresiasi siswa terhadap pembelajaran matematika.

b. Ketercapaian kompetensi oleh siswa secara klasikal atau individual.

F. Lembar Kerja Siswa (LKS) dengan Pendekatan Kontekstual

Lembar Kerja Siswa (LKS) dengan pendekatan kontekstual adalah

lembaran-lembaran yang berisi petunjuk belajar atau langkah-langkah kegiatan

belajar bagi siswa untuk menemukan/memperoleh pengetahuan dari materi yang

sedang dipelajari menggunakan konsep pembelajaran yang menekankan pada

keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan siswa secara

nyata, sehingga para siswa mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi

hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari. Melalui proses penerapan kompetensi

hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari, siswa akan merasakan pentingnya

belajar, dan mereka memperoleh makna yang mendalam terhadap apa yang

dipelajarinya. LKS dengan pendekatan kontekstual memungkinkan proses belajar

yang tenang dan menyenangkan, karena pembelajaran yang dilakukan secara

alamiah, sehingga siswa dapat mempraktekkan secara langsung apa yang

dipelajarinya.

39

G. Model Pengembangan

Menurut Borg & Gall (1989: 624), educational research and development is

a process used to develop and validate educational product. Atau dapat diartikan

bahwa penelitian pengembangan pendidikan adalah sebuah proses yang

digunakan untuk mengembangkan dan memvalidasi produk pendidikan. Hasil dari

penelitian pengembangan tidak hanya pengembangan sebuah produk yang sudah

ada melainkan juga untuk menemukan pengetahuan atau jawaban atas

permasalahan praktis. Metode penelitian dan pengembangan juga didefinisikan

sebagai suatu metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk

tertentu, dan menguji keefektifan produk tersebut (Sugiyono, 2011: 297).

Selanjutnya, Penelitian Pengembangan juga diartikan sebagai suatu proses atau

langkah-langkah untuk mengembangkan suatu produk baru atau

menyempurnakan produk yang telah ada yang dapat dipertanggungjawabkan

(Sujadi, 2003: 164).

Berdasarkan pendapat beberapa ahli sebelumnya, dapat dipahami bahwa

yang dimaksud dalam penelitian pengembangan ini adalah suatu proses kajian

sistematik untuk mengembangkan dan memvalidasi produk yang digunakan

dalam pendidikan. Produk yang dikembangkan/dihasilkan antara lain berupa

bahan pelatihan untuk guru, materi ajar, media pembelajaran, soal-soal, dan

sistem pengelolaan dalam pembelajaran. Ada beberapa model penelitian

pengembangan dalam bidang pendidikan, antara lain diuraikan sebagai berikut:

40

1. Model Sugiyono

Menurut Sugiyono (2011: 298), langkah-langkah penelitian dan

pengembangan ada sepuluh langkah sebagai berikut:

a. Potensi dan masalah,

b. Pengumpulan data,

c. Desain produk,

d. Validasi desain,

e. Revisi desain,

f. Ujicoba produk,

g. Revisi produk,

h. Ujicoba pemakaian,

i. Revisi produk, dan

j. Produksi massal.

Adapun gambar langkah-langkah penelitiannya seperti ditunjukkan pada

gambar berikut.

Gambar 1. Langkah-langkah penggunaan metode Research and

Development (R&D) menurut Sugiyono

41

2. Model Borg & Gall

Menurut Borg dan Gall (1989: 783-795), pendekatan research and

development (R & D) dalam pendidikan meliputi sepuluh langkah, sebagai

berikut:

a. Studi Pendahuluan (Research and Information Collecting)

b. Perencanaan Penelitian (Planning)

c. Pengembangan desain (Develop Preliminary of Product)

d. Uji coba lapangan awal (Preliminary Field Testing)

e. Merevisi hasil uji coba (Main Product Revision)

f. Uji coba lapangan (Main Field Test)

g. Penyempurnaan produk hasil uji lapangan (Operational Product Revision)

h. Uji pelaksanaan lapangan (Operational Field Testing)

i. Penyempurnaan produk akhir (Final product revision)

j. Diseminasi dan implementasi

Adapun gambar langkah-langkah penelitiannya seperti ditunjukkan pada

gambar berikut.

Gambar 2. Langkah-langkah penggunaan metode Research and

Development (R&D) menurut Borg and Gall

42

3. Model Thiagarajan

Model pengembangan pembelajaran Thiagarajan yang dikenal dengan

model 4-D dilakukan melalui 4 tahap (Thiagarajan, 1974: 6), antara lain:

a. pendefinisian (define),

b. perancangan (design),

c. pengembangan (develop),

d. dan penyebaran (disseminate).

Adapun gambar langkah-langkah penelitiannya seperti ditunjukkan pada

gambar berikut:

Gambar 3. Langkah-langkah penggunaan metode Research and

Development (R&D) model Thiagarajan

43

4. Model Dick & Carey

Model pengembangan Dick & Carey terdiri dari 10 komponen.

Komponen pengembangan menurut W. Dick & L. Carey (2001: 2-3) ini

meliputi:

a. Assess needs to identify goals atau mengidentifikasi tujuan pembelajaran

b. Conduct instructional analysis atau menetapkan analisis pembelajaran

c. Analyze learners and contexts atau analisis keterampilan dasar dan

karakteristik siswa

d. Write performance objectives atau merumuskan tujuan pembelajaran

khusus

e. Develop assessment instruments atau mengembangkan instrument

penilaian

f. Develop instructional strategy atau mengembangkan sebuah strategi

pembelajaran

g. Develop and select instructional material atau mengembangkan dan

memilih materi pembelajaran

h. Design and conduct formative evaluation of instruction atau merancang

dan melakukan penilaian formatif pembelajaran

i. Revise instruction atau merevisi pembelajaran

j. Design and conduct summative evaluation atau merancang dan melakukan

evaluasi sumatif

Model pengembangan menurut Dick & Carey digambarkan sebagai

berikut:

44

Gambar 4. Langkah-langkah penggunaan Metode Research and

Development (R&D) menurut Dick & Carey

5. Model Reiser & Dempsey

Model pengembangan bahan ajar menurut Reiser & Dempsey (2007: 11)

Secara rinci dapat diuraikan sebagai berikut.

a. Analysis (Analisa).

b. Design (Disain/Perancangan).

c. Development (Pengembangan)

d. Implementation (Implementasi/Eksekusi)

e. Evaluation (Evaluasi/Umpan Balik)

Model pengembangan menurut Reiser & Dempsey digambarkan sebagai

berikut:

45

Gambar 5. Langkah-langkah penggunaan Metode Research and

Development (R&D) menurut Reiser & Dempsey

Dalam penelitian ini, acuan yang digunakan dalam pengembangan LKS

yaitu model Reiser and dempsey yang melalui 5 tahap yaitu (1) Analisis

(Analyze). (2) Desain/Perancangan (Design). (3) Pengembangan

(Development). (4) Implementasi/Eksekusi (Implementation) (5)

Evaluasi/Umpan Balik (Evaluation).

H. Penelitian yang Relevan

Berdasarkan jurnal riset pendidikan matematika pada penelitian yang

dilakukan oleh Siwi Khomsiatun (2015: 92-106) dalam jurnalnya yang berjudul

“Pengembangan Perangkat Pembelajaran Dengan Penemuan Terbimbing Untuk

Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Perangkat” menunjukkan bahwa

produk yang dikembangkan pada penelitian ini memenuhi kriteria valid” dengan

skor 293 dan didasarkan pada landasan teoritik yang kuat. Kualitas kepraktisan

produk yang dikembangkan menunjukkan skor 62 sehingga LKS termasuk dalam

46

kategori praktis. Sedangkan untuk kriteria keefektifan penggunaan LKS

menunjukkan persentase 70% dengan kriteria efektif.

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Hengkang Bara Saputro (2012:

10) dengan penelitiannya yang berjudul “Pengembangan Lembar Kegiatan Siswa

LKS untuk siswa SMP Kelas IX Semester 1 pada Materi Statistika Menggunakan

Pendekatan Kontekstual” menunjukkan bahwa produk yang dikembangkan pada

penelitian ini memenuhi kriteria sangat valid dengan skor rata-rata 4.17. Kualitas

kepraktisan produk yang dikembangkan menunjukkan nilai rata-rata 3.38 yang

memenuhi kriteria praktis. Sedangkan untuk kriteria keefektifan penggunaan LKS

menunjukkan persentase 96,87% dengan kriteria sangat efektif.

Selajutnya pada penilitian yang dilakukan oleh Arif Hidayatul Khusna

(2016: 353-377) dalam jurnalnya yang berjudul “Pengembangan Lembar Kerja

Siswa Pokok Bahasan Barisan dan Deret untuk siswa SMA” menunjukkan bahwa

LKS yang telah dikembangkan dinyatakan sangat valid dengan persenase

kevalidan sebesar 85,75% berdasarkan penilaian dari validator ahli dan validator

praktisi. Kemudian memiliki tingkat kepraktisan sebesar 85,6% berdasarkan

penilaian subjek uji coba dan dinyatakan efektif berdasarkan hasil tes soal

evaluasi setelah digunakannya LKS dalam kegiatan pembelajaran.

Berdasarkan pada penelitian di atas menunjukkan bahwa bahan ajar dan

perangkat pembelajaran yang dikembangkan menggunakan pendekatan

kontekstual mampu memenuhi kriteria valid, praktis dan efektif dalam

penggunaanya pada kegiatan pembelajaran.

47

I. Kerangka Berfikir

Kemampuan pemecahan masalah merupakan kemampuan yang penting dan

diharapkan dimiliki oleh siswa. Kemampuan ini dianggap penting karena akan

membekali siswa dengan kemampuan berpikir yang dibutuhkan dalam

menghadapi berbagai macam masalah dan bertahan hidup dalam keadaan yang

selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif. Namun, fakta di lapangan

menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah yang dimiliki siswa masih

rendah.

Materi Kubus dan Balok penting untuk dipelajari karena merupakan

prasyarat untuk mempelajari materi berikutnya. Pembelajaran Kubus dan Balok

akan berhasil jika siswa mampu berperan aktif dalam membangun pemahamannya

sendiri. Sehingga perlu adanya pengembangan bahan ajar yang mampu

memfasilitasi siswa untuk berperan aktif dalam memcahkan masalah sendiri.

Perangkat pembelajaran tersebut adalah Lembar Kerja Siwa (LKS) dengan

pendekatan kontekstual. Lembar kerja siswa mempunyai banyak manfaat yaitu

mudah dipelajari baik di sekolah maupun di rumah sehingga dapat di pelajari

kapan saja. Untuk itu, LKS yang akan dikembangkan harus sesuai dengan

karakteristik, lingkungan sosial siswa, serta dapat mengaktifkan siswa selama

proses pembelajaran. Sehingga siswa dapa meningkatkan kemampuan pemecahan

masalah dan meingkatkan prestasi belajar matematika. Berikut diagram kerangka

berfikir:

48

Gambar 6. Alur kerangka berfikir

J. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang dipaparkan pada Bab I, dapat

dijabarkan dalam beberapa pertanyaan penelitian. Penjabaran meliputi beberapa

hal sebagai berikut.

1. Bagaimanakah pengembangan perangkat pembelajaran Lembar Kerja Siswa

(LKS) menggunakan pendekatan kontekstual untuk meningkatkan

kemampuan pemecahan masalah pada pokok bahasan Kubus dan Balok kelas

VIII MTs Assalafiyyah?

2. Seberapa kualitas perangkat pembelajaran Lembar Kerja Siswa (LKS)

matematika menggunakan pendekatan kontekstual untuk meningkatkan

kemampuan pemecahan masalah pada pokok bahasan Kubus dan Balok kelas

VIII MTs Assalafiyyah berdasarkan aspek kevalidan, kepraktisan dan

keefektifan?