BAB I
PENDAHULUAN
Telinga mempunyai bagian-bagian kecil dan cukup rumit, sehingga untuk
memahami penyakit telinga, diperlukan pemahaman akan prinsip dasar anatomi,
embriologi dan fisiologi yang kemudian dikaitkan dengan pemeriksaan fisis. Baik
tidak menggunakan alat serta dengan menggunakan alat.1
Indra pendengaran terjadi ketika gelombang suara masuk ke struktur
eksternal telinga, melewati telinga tengah menuju telinga dalam dan menstimulasi
sel reseptor spesifik di telinga dalam yang mencetuskan potensial aksi yang
selanjutnya dibawa ke otak.2
Pemeriksaan pendengaran dapat mengetahui dan mendiagnosis lokus
patologis dan penyakit-penyakit telinga. Pasien dengan penyakit berbeda pada
daerah yang sama (misalnya ketulian dan Syndrome Meniere keduanya
melibatkan koklearis) hal ini menimbulkan hasil pendengaran yang berbeda dan
akan memberikan temuan audiometrik yang berbeda pula.1
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI TELINGA3
Telinga terdiri dari telinga luar (Auris Eksterna), telinga tengah (Auris
Media) dan telinga dalam (Auris Interna).
Gambar 1.4
TELINGA LUAR (AURIS EKSTERNA)3
Telinga luar terdiri atas daun telinga ( Aurikula) dan liang telinga (Meatus
Akustikus Eksterna).
Daun Telinga ( Aurikula)
Aurikula mempunyai kerangka dari tulang rawan yang dilapisi oleh kulit.
Di bagian anterior dari aurikula, kulit tersebut melekat pada epikondrium
2
sedangkan dibagian posterior kulit melekat secara longgar. Bagian aurikula yang
tidak mempunyai tulang rawan adalah lobulus.3
Gambar 2.5
Liang Telinga ( Meatus Akustikus Eksterna )3
MAE merupakan saluran langsung yang menuju ke telinga tengah dan
berakhir di membran timpani. MAE mempunyai diameter 0,5 cm dan panjang 2,5-
3 cm. MAE merupakan saluran yang tidak lurus, tetapi berbelok dari arah postero-
superior di bagian luar kearah antero-inferior. Selain itu ada penyempitan dibagian
tengah yang disebut dengan ismus. Dinding MAE sepertiga lateral dibentuk oleh
tulang rawan aurikula yang disebut pars kartilagenus. Bagian ini bersifat elastis
dan dilapisi kulit yang melekat erat pada perikondrium. Kulit pada bagian ini
mengandung jaringan subkutan, folikel rambut, kelenjer lemak (glandula sebasea)
dan kelenjar serumen (glandula serumenosa).3
Dinding MAE dua pertiga bagian medial dibentuk oleh tulang dan disebut
pars osseus. Kulit yang meliputi bagian ini sangat tipis dan melekat erat pada
periosteum. Pada bagian ini tidak didapatkan folikel rambut ataupun kelenjar.
3
Dengan demikian dapat dimengerti jika serumen dan furunkel hanya dapat
ditemukan di sepertiga bagian lateral MAE.
Pada daerah telinga dijumpai adanya berbagai saraf sensorik yang merupakan
cabang dari N.X , N.V (N.aurikuler temporalis), N.VII, N.IX dan cabang-cabang
dari N. servikalis 2 dan servikalis 3 (N.aurikula magnus). Aliran getah bening dari
MAE dan aurikula menuju ke kelenjer-kelenjer getah bening di daerah parotis,
retro-aurikuler dan kelenjer di daerah servikal. 3
TELINGA TENGAH ( AURIS MEDIA) 3
Merupakan ruangan yang berisi udara dan terletak di tulang temporal.
Auris media terdiri dari :
a. Kavum timpani
b. Tuba eustachius
c. Mastoid yang terdiri dari antrum dan selula mastoid.
Semua ruangan yang berbentuk auris media dilapisi mukosa dan epitel
selapis kubis yang sama dengan mukosa kavum nasi dan nasofaring. Selain itu
mukosa auris media merupakan kelanjutan mukosa nasofaring dan mukosa tuba
eustachius. Secara klinis hal ini mempermudah keradangan pada nasofaring dapat
meluas ke kavum timpani sehingga menimbulkan keradangan.3
Kavum Timpani
Kavum timpani merupakan merupakan bagian terpenting dari auris media,
mengingat banyaknya struktur di dalamnya yaitu tulang, otot, ligament, saraf dan
pembuluh darah. Kavum timpani dapat dibayangkan sebagai kotak dengan
dinding enam dan dindingnya berbatasan dengan organ terpenting. Pada kavum
timpani terdapat: 3
Osikula yang terdiri atas:
a. Maleus yaitu dengan bagian-bagiannya yaitu kaput, kolum,
prosessus brevis, prosessus longus dan manubrium malei. Kaput
4
malei mengisi epitimpanum sedangkan bagian lain mengisi
mesotimpanum.
b. Inkus, terdiri atas kaput, psoseus brevis dan prosesus longus.
Sebagian besar bagian inkus mengisi epitimpanum dan hanya
sebagian dari prosessus longus yang mengisi mesotimpanum.
c. Stapes terdiri atas kaput, kolum, krus anterior, krus posterior dan
basis.
Muskuli terdiri atas M.tensor timpani yang mempunyai fungsi
meregangkan membran timpani dan M. stapedius yang mempunyai
fungsi atas pergerakan stapes.
Ligamen mempunyai fungsi mempertahankan posisi osikula di dalam
kavum timpani.
Saraf yang berada dalam kavum timpani N.korda timpani saraf ini
merupakan cabang dari pars vertikalis N.VII (N. fasialis).
Gambar 3 Dinding Lateral , Parien membranaceus, rongga telinga, Cavitas Tympani;
dilihat dari medial6
Tuba Eustachius
Tuba eustchius merupakan saluran yang menghubungkan kavum timpani
dengan nasofaring, berbentuk terompet, panjang 37 mm. Tuba eustachius dari
kavum timpani menuju nasofaring terletak dengan posisi infero-antero-medial
sehingga ada perbedaan ketinggian antara muara pada kavum timpani dengan
muara pada nasofaring sekitar 15 mm.3
5
Pada bayi tuba eustachius terletak lebih horizontal, lebih pendek dan lebih
lebar sehingga mudah terjadi keradangan telinga tengah. Muara pada kavum
timpani selalu terbuka, sedangkan muara pada nasofaring selalu tertutup dan baru
terbuka bila ada kontraksi M.levator dan M. tensor velipalatini yaitu pada waktu
menguap dan menelan. Fungsi tuba eustachius antara lain adalah untuk menjaga
agar tekanan di dalam kavum timpani sama dengan tekanan udara luar (1 atm) dan
untuk menjadi ventilasi udara di dalam kavum timapani.2
Mastoid
Dalam kaintannya dengan penyakit telinga tengah, terrdapat 2 hal penting
yang perlu dipelajari tentang mastoid, yaitu topografi dan pneumatisasi mastoid. 2
Topografi mastoid
Dinding anterior mastoid merupakan dinding posterior kavum
timpani dan meatus akustikus eksterna. Antrum mastoid dan kavum
timpani dihubungkan lewat aditus ad antrum. Dinding atas antrum
mastoid disebut tegmen antri, merupakan dinding tipis seperti juga
pada tegmen timpani dan merupakan batas antara mastoid dengan
fossa kranii media. Dinding posterior dan medial merupakan dinding
tulang tipis membatasi mastoid dengan sinus sigmoid. Keadaan ini
menyebabkan suatu keradangan mastoid dapat meluas ke
endokranium dan kesinus sigmoid sehingga dapat menimbulkan suatu
keradangan di otak maupun tromboplebitis.
.
Pneumatisasi mastoid
Proses Pneumatisasi mastoid di dalam prosesus mastoid terjadi
setelah bayi lahir. Berdasarkan pertumbuhan dan bentuknya dikenal 4
jenis pneumatisasi, yaitu (a) Infantil, selula yang terjadi akibat terjadi
pneumatisasi sangat sedikit jumlahnya. Akibatnya bagian korteks di
prosesus mastoid menjadi sangat tebal sehingga jika terjadi perluasan
abses lebih mudah ke endokranium. (b) Normal, selula yang meluas
6
sedemikian rupa sehingga hampir meliputi seluruh prosesus mastoid.
Akibatnya bagian korteks di prosesus mastoid menjadi sangat tipis dan
abses mudah pecah keluar sehingga timbul fistel di retroaurikuler. (c)
Hiperpneumatisasi, selula yang terjadi tidak hanya terbatas pada
prosesus mastoid saja, akan tetapi meluas sampai os zigomatikum dan
bahkan sampai pada apeks piramidalis. (d) Sklerotik, berbentuk seperti
pneumatisasi tipe infantil. Tipe sklerotik ini terjadi akibat adanya
keradangan kronik dalam kavum timpani dan kavum mastoid .
TELINGA DALAM (AURIS INTERNA) 3
Auris interna disebut juga labirin. Di dalamnya terdapat dua alat yang
saling berdekatan yaitu organ status (alat imbang) dan organ aditus (alat dengar).
Keduanya berbentuk tabung yang masing-masing berisi endolimf dan perilimf.
Cairan endolimf keluar melalui duktus endolimfatikus sedangkan cairan perilimfe
berhubungan dengan liquor serebrospinalis melalui duktus perilimfatikus. Hal ini
berkibat bahwa melalui jalur tersebut, keradangan dalam kavum timpani dapat
menjalar ke dalam endokranium.
Organ Status
Terdiri atas 3 semisirkularis yaitu kanalis semisirkularis horizontal, kanalis
semisirkularis vertikal posterior (inferior) dan kanalis semisirkularis vertikal
anterior (superior). Alat keseimbangan inilah yang membuat seseorang menjadi
sadar akan posisi tubuhnya dalam suatu ruangan. Jika alat ini terganggu akan
keluhan pusing atau vertigo.
Organ Aditus
Alat pendengaran terdiri dari koklea yang berbentuk rumah siput dengan
dua setengah lingkaran yang akan mengubah getaran suara dari sistem konduksi
menjadi sistem saraf. Jika alat ini terganggu akan timbul keluhan kurang
pendengaran atau tuli.
7
Gambar 3. 7
B. FISIOLOGI PENDENGARAN
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke
koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga
tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran
melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas
membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang diamplifikasi ini akan
diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada
skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membrana Reissner yang
mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran
basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsangan mekanik yang
menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion
terbuka dan terjadi pengelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini
menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan
neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada
saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks
pendegaran (area 39 - 40) di lobus temporalis.8
C. JENIS KETULIAN8
8
Tuli dibagi atas tuli konduktif, tuli sensorineural (sensorineural deafness)
serta tuli campur (mixed deafness).
1. Tuli konduktif
Pada tuli konduktif terdapat gangguan hantaran suara, disebabkan
oleh kelainan atau penyakit di telinga luar atau di telinga tengah.
2. Tuli sensorineural
Pada tuli sensorineural (perseptif) kelainan terdapat pada koklea
(telinga dalam), nervus VIII atau di pusat pendegaran.
3. Tuli campur
Tuli campur disebabkan oleh kombinasi tuli konduktif dan tuli
sensorineural. Tuli campur dapat merupakan satu penyakit, misalnya
telinga tengah dengan komplikasi ke telinga dalam atau merupakan dua
penyakit yang berlainan, misalnya tumor nervus VIII (tuli saraf) dengan
radang telinga tengah (tuli konduktif).
D. AUDIOLOGI
Audiologi adalah ilmu pendengaran yang meliputi pula evaluasi
pendengaran dan rehabilitasi individu dengan masalah komunikasi sehubungan
dengan gangguan pendengaran, ada dua alasan untuk melakukan evaluasi : (1)
untuk diagnosis lokasi dan jenis penyakit dan (2) untuk menilai dampak gangguan
pendengaran terhadap proses belajar, interaksi sosial dan pekerjaan8.
Audiologi medik di bagi atas : audiologi dasar dan audiologi khusus.
Audiologi dasar adalah pengetahuan mengenai nada murni, bising,
gangguan pendengaran, serta cara pemeriksaannya. Pemeriksaan pendengaran
dilakukan dengan: (1) tes penala, (2) tes berbisik, (3) tes audiometri nada murni.
9
Audiologi khusus diperlukan untuk membedakan tuli sensorineural koklea
dengan retrokoklea, audiometrik obyektif, tes tuli anorganik, auduilogi anak,
audiologi industri.8
1. Tes Berbisik
Pemeriksaan ini bersifat semi-kuantitatif menetukan derajat
ketulian secara kasar. Hal yang perlu diperhatikan ialah ruangan cukup
tenang, dengan panjang minimal 6 meter. Pada nilai normal tes berbisik :
5/6 – 6/6.8
Persyaratan yang perlu diingat dalam melakukan tes ini ialah :9
1. Ruangan tes. Salah satu sisi atau sudut menyudut ruangan
harus ada jarak sebesar 6 meter. Ruangan harus bebas dari
kebisingan. Untuk menghindari gema ruangan dapat ditaruh
kayu di dalamnya.
2. Pemeriksa. Sebagai sumber bunyiharus mengucapkan kata-
kata dengan mengucapkan ucapan kata-kata sesudah ekspirasi
normal. Kata – kata yang dibisikkan terdiri dari 2 suku kata
(bysillabic) yang terdiri dari kata sehari – hari. setiap suku kata
ducapakan dengan tekanan yang sama dan di antara dua suku
kata bysillabic “ gajah mada P.B.List” karena telah ditera
keseimbangannya phonemnya dalam bahasa Indonesia.
3. Penderita. Telinga yang akan dites dihadapkan kepada
pemeriksa dan telinga yang tidak sedang dites harus ditutup
dengan kapas atau oleh tangan si penderita sendiri. Penderita
tidak boleh melihat gerakan mulut penderita.
Cara Pemeriksaan
Sebelum melakukan pemeriksaan penderira harus di beri instruksi yang
jelas misalnya anda akan dibisikkan kata – kata dan setiap kata yang
10
didengar harus diulangi dengan suara keras. Kemudian dilakukan tes
sebagai berikut :
a. mula – mula penderita pada jarak 6 meter dibisiki beberapa kata
bysillabic. Bila tidak menyahut penderita maju 1 meter (5 meter dari
penderita) dan tes dimulai lagi. Bila masih belum menyahut pemeriksa
maju 1 meter, dan demikian seterusnya sampai penderita dapat
mengulangi 8 kata- kata dari 10 kata – kata yang dibisikkan. Jarak di
mana dapat menyahut 8 dari 10 kata diucapkan disebut jarak
pendengaran.
b. Cara pemeriksaan yang sama dilakukan untuk telinga lain samapai
ditemukan satu jarak pendengaran.
Evaluasi Tes
a. 6 meter : normal
b. 5 meter : dalam batar normal
c. 4 meter : tuli ringan
d. 3-2 meter : tuli sedang
e. 1 meter atau kurang : tuli berat
2. Tes Penala
Satu perangkat penala yang memberikan skala pendengaran dari
frekuensi rendah hingga tinggi akan memudahkan survei kepekaan
pendengaran. Perangkat yang lazim untuk mengambil beberapa sampel
nada c dari skala musik, yaitu 128,256,512,1024,2048,4096, dan 8192 Hz.
Hz adalah singkatan dari Hertz yang merupakan istilah kontemporer “dari
siklus per detik” sebagai satuan frekuensi. Semakin tinggi frekuensi,
makin tinggi pula nadanya. Dengan membatasi survei pada frekuensi
bicara, maka frekuensi 512, 1024, dan 2048 Hz biasanya memadai.1
11
Penala dipegang pada tangkainya, dan salah satu tangan garpu tala
dipukul pada permukaan yang berpegas seperti punggung tangan atau siku.
Perhatikan jangan memukulkan penala pada ujung meja atau benda keras
lainnya karena akan menghasilkan nada berlebihan, yang adakalanya
kedengaran dari jarak yang cukup jauh dari penala dan bahkan dapat
menyebabkan perubahan menetap pada pola getar penala. Penala dipegang
di dekat telinga dan pasien diminta melaporkan saat bunyi tidak lagi
didengar. Sesudah itu garpu dipindahkan dekat telinga pemeriksa dan
dilakukan penghitungan selang waktu antara saat bunyi tidak lagi didengar
pasien dengan saat bunyi tidak lagi didengar pemeriksa. Prosedur ini tidak
saja memberikan estimasi kasar tentang kepekaan pendengaran relatif,
tetapi juga suatu pola kepekaan nada tinggi jika penala tersedia dalam
berbagai frekuensi.1
3. Uji Rinne
Uji rinne membandingkan hantaran tulang dan hantaran udara
pendengaran pasien. Tangkai penala yang bergetar ditempelkan pada
mastoid pasien (hantaran tulang) hingga bunyi tidak lagi terdengar, penala
kemudian dipindahkan didekat telinga sisi yang sama (hantaran udara).
Telinga normal masih akan mendengar penala melalui hantaran udara,
temuan ini disebut rinne positif (HU>HT), pasien dengan gangguan
pendengaran sensorineural juga akan memberi rinne poritif jika
mendengar bunyi penala, sebab gangguan sensorineural seharusnya
mempengaruhi baik hantaran udara maupun hantaran tulang (HU>HT).
Istilah rinne negative dipakai bila pasien tidak dapat mendengar melalui
hantaran udara setelah penala tidak lagi terdengar melalui hantaran tulang
(HU<HT). Interpretasi Uji schwabach diperlihatkan pada tabel 1.1,10,11
Hasil Uji Rinne Status pendengaran Lokus
Positif HU>HT normal/gangguan Tidak ada/ Koklea-
12
sensorineural retrokoklearis
Negative HU<HT Gangguan konduktif Telinga luar/tengah
Tabel 1 Hasil Uji Rinne, Macam Gangguan Pendengaran dan Lokasi Gangguan Telinga
Gambar 4 Tes Rinne
4. Uji Weber
Uji weber adalah yaitu dapat mendengarkan suara sendiri lebih
keras bila satu telinga ditutup. Gagang penala yang bergetar ditempelkan
di tangah dahi dan pasien diminta melapor apakah suara terdengar
ditelinga kiri, kanan atau keduanya.1
Umumnya pasien mendengar bunyi penala pada telinga dengan
konduksi tulang yang lebih baik atau dengan komponen konduktif yang
lebih besar. Jika nada terdengar pada telinga yang dilaporkan lebih buruk,
maka tuli konduktif perlu dicurigai pada telinga tersebut. Jika terdengar
pada telinga yang lebih baik, maka dicurigai tuli sensorineural pada telinga
yang terganggu. Fakta bahwa pasien mengalami lateralisasi pendengaran
pada telinga dengan gangguan konduksi dan bukannya pada telinga yang
lebih baik mungkin terlihat aneh bagi pasien dan kadang-kadang juga
pemeriksa.1,10,11
Uji weber sangat bermanfaat pada kasus-kasus gangguan
unilateral, namun dapat meragukan bila terdapat gangguan konduktif
maupun sensorineural (campuran) atau bila hanya menggunakan penala
13
frekuensi tunggal. Klinisi harus melakukan uji weber bersama uji lainnya
dan tidak boleh diinterpretasikan secara tersendiri.
Gambar 59 Tes Weber
Hasil uji
weber
Status pendengaran Lokus
Tidak ada
laterisasi
Normal Tidak ada
Laterisasi ke
telinga yang
sakit
Tuli konduktif Telinga luar/tengah
Laterisasi ke
telinga yang
sehat
Tuli sensorineural Koklearis/retrokoklearis
Tabel 2. hasil Uji weber, macam gangguan pendengaran dan lokasi gangguan
telinga.
Evaluasi Tes Weber 9
Bila terjadi laterisasi ke kanan maka ada beberapa kemungkinan :
14
1. Telinga kanan tuli konduktif, kiri normal
2. Telinga kanan tuli konduktif, kiri tuli sensorineural
3. Telinga kanan normal, kiri tuli sensorineural
4. Kedua telinga tuli konduktif, kanan lebih berat
5. Kedua telinga tuli sensorineural, kiri lebih berat
5. Uji Schwabach
Uji schwabach membandingkan hantaran tulang pasien dengan
pemeriksa. Pasien diminta melaporkan saat penala bergetar yang
ditempelkan pada mastoidnya tidak lagi dapat didengar. Pada saat itu,
pemeriksa memindahkan penala ke mastoidnya sendiri dan menghitung
beberapa lama (dalam detik) ia masih dapat mendengar bunyi.1,8,10
Uji schwabach dikatakan normal bila hantaran tulang pasien dan
pemeriksa hampir sama. Uji schwabach memanjang atau meningkat bila
hantara tulang pasien lebih lama dibandingkan pemeriksa, misalnya pada
kasus gangguan pendengaran konduktif. Jika telinga pemeriksa masih
dapat mendengar penala setelah pasien tidak lagi mendengarnya, maka
dikatan schwabach memendek. Interpretasi Uji Schwabach diperlihatkan
pada tabel 3.1
Hasil uji
schwabach
Status pendengaran Lokus
Normal Normal Tidak ada
Memanjang Tuli konduktif Telinga luar/tengah
Memendek Tuli sensorineural Koklearis/retrokoklearis
Tabel 3 hasil Uji Schwabach, macam gangguan pendengaran dan lokasi
gangguan telinga.
6. Uji Bing
15
Uji bing adalah aplikasi dari apa yang disebut oklusi, dimana
penala terdengar lebih keras bila telinga normal di tutup. Bila liang telinga
ditutup dan dibuka bergantian saat penala yang bergetar ditempelkan pada
mastoid, maka telinga normal akan menangkap bunyi yang mengeras dan
melemah (Bing positif). Hasil serupa akan didapat pada gangguan
pendengaran sensorineural, namun pada pasien dengan perubahan
mekanisme konduktif seperti penderita otitis media atau otosklerosis, tidak
menyadari adanya perubahan kekerasan bunyi tersebut (Bing negatif).1
7. Audiometri Nada Murni 8
Pada pemeriksaan audiometri nada murni diperlukan alat
audiometer untuk membuat audiogram. Bagian dari audiometer tombol
pengatur intensitas bunyi, tombol pengatur frekuensi, headphone untuk
memeriksa AC (hantaran udara), bone conductor untuk memeriksa BC
(hantaran tulang).
Terdapat ambang dengar menurut konduksi udara (AC) dan
menurut konduksi tulang (BC). Bila ambang dengar ini dihubung-
hubungkan dengan garis, baik AC maupun BC, maka akan didapatkan
audiogram. Dari audiogram dapat diketahui jenis dan derajat ketulian.
Untuk pemeriksaan audiogram, dipakai grafik AC, yaitu dibuat
dengan garis lurus penuh (Intensitas yang diperiksa antara 125-8000 Hz)
dan grafik BC yaitu dibuat dengan garis putus-putus (Intensitas yang
diperiksa : 250-4000 Hz).
Untuk telinga kiri dipakai warna biru, sedangkan untuk telinga
kanan, warna merah.
16
Gambar 6
Audiogram Telinga8
Dari audiogram dapat dilihat apakah pendengaran normal (N) atau
tuli. Jenis ketulian, tuli konduktif, tuli sensorineural atau tuli campur.
Derajat ketulian dihitung dengan menggunakan indeks Fletcher
yaitu :
Ambang dengar (AD) = AD 500 Hz + AD 1000 Hz + AD 2000 Hz
3
Menurut kepustakaan terbaru frekuensi 4000 Hz berperan pentin g
untuk pendengaran , sehingga perlu turut diperhitungkan, sehingga derajat
ketulian dihitung dengan menambahkan ambang dengar 4000 Hz dengan
ketiga amabang dengar di atas, kemudian dibagi 4.
Ambang dengar (AD) = AD 500 Hz + AD 1000 Hz + AD 2000 Hz +
AD 4000 Hz
4
Pada interpretasi audiogram harus ditulis (a) telinga yang mana, (b)
apa jenis ketuliannya, (c) bagaimana derajat ketuliannya, misalnya :
telinga kiri tuli campur sedang.
17
Dalam menetukan derajat ketulian, yang dihitung hanya ambang
dengar hantaran udaranya (AC) saja.
Derajat ketulian ISO :
0 – 25 dB : normal
>25 - 40 dB : tuli ringan
>40 - 55 dB : tuli sedang >55 - 70 dB : tuli sedang berat
>70 - 90 dB : tuli berat
> 90 dB : tuli sangat berat
18
Gambar 78.
Contoh gambar audiogram
8. Audiometri Impedans8
Pada pemeriksaan ini diperiksa kelenturan membran timpani dengan
tekanan tertentu meatus akustukus eksterna.
Didapatkan isitilah :
a. Timpanometri yaitu untuk mengetahui keadaan dalam kavum
timpani. Misalnya, ada cairan, gangguan rangkaian tulang
pendengaran (ossicular chain), kekakuan membrane timpani dan
membrane timpani yang sangat lentur.
19
b. Fungsi tuba eustachius (eustachius tube function), untuk
mengetahui tuba eustachius terbuka atau tertutup.
c. Refleks stapedius muncul pada rangsangan 70-80 dB di atas
ambang dengar.
Pada lesi di koklea, ambang rangsang refleks stapedius menurun,
sedangkan pada lesi retrikoklea, ambang itu naik.
Grafik 1 Hasil Timpanometri
Tipe A : normal
Tipe B : terdapat cairan di telinga tengah
Tipe C : terdapat gangguan fungsi tuba eustachius
Tipe AD : terdapat gangguan rangkaian tulang pendengaran
Tipe As : terdapat kekakuan pada tulang pendengaran
(Otosklerosis)
20
BAB III
KESIMPULAN
Audiologi adalah ilmu pendengaran yang meliputi pula evaluasi
pendengaran dan rehabilitasi individu dengan masalah komunikasi sehubungan
dengan gangguan pendengaran.
Audiologi khusus diperlukan untuk membedakan tuli sensorineural koklea
dengan retrokoklea, audiometri obyektif, tes tuli anorganik, auduilogi anak,
audiologi industri.
Fungsi dari tes-tes pendengaran tersebut berfungsi untuk mengetahui
apakah penderita tuli atau tidak, mengetahui tingkat ketulian penderita serta dapat
mengetahui interpretasi dari suatu gangguan pendengaran.
Tuli dibagi atas tuli konduktif, tuli sensorineural (sensorineural deafness)
serta tuli campur (mixed deafness).
Macam-macam tes pendengaran: tes berbisik, tes penala, tes rinne, tes
weber, tes bing, tes schawabach, tes audiomteri.
21
DAFTRA PUSTAKA
1. Higler Adams B. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta. Penerbit
EGC.1997
2. Elizabeth J. Corwin. Buku saku patofisiologi. Edisi 3. Jakarta. EGC. 2009
3. Herawati S, Rukmini S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok. Jakarta. Penerbit EGC.
4. http://yuhardika.blogspot.com/2013/08/anatomi-fisiologi-telinga.html
5. http://aagungwidhiutami.blogspot.com/2013/07/anatomi-fisiologi-
telinga.html
6. Putz, R. Atlas Anatomi Sobota Kepala, Leher, Ekstremitas Atas. Jilid 1.
Edisi 22. Jakarta : EGC, 2006.
7. http://josephinewidya.wordpress.com/2013/11/14/anatomi-telinga/
8. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher.
Edisi 6. Jakarta : balai Penerbit Fk. UI, 2010
9. Koordinator Clinical Skill lab FK. Unhas. Panduan Mahasiswa Clinical
Skill Lab (CSL) IV. Makassar : FK.unhas, 2012
10. Swartz Mark H. Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta. Penerbit EGC. 1995.
11. Satyanegara. Ilmu Bedah Saraf. Edisi 4. Jakarta. Penerbit PT Gramedia
Pusaka Utama. 2010.
22
BAGIAN ILMU TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
TES-TES PENDENGARAN
DISUSUN OLEH:
HARDIANSYAH, S. Ked. NENO ARISMAYANTI, S. Ked
Pembimbing :dr. YUNIDA ANDRIANI, Sp.THT, Mkes
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2014
23
REFERAT
September, 2014