View
7
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
ه ٱلرحمن ٱلرحيم بسم ٱلل
Pemikiran Hukum Islam ‘Ali> Jum‘ah
Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender
Penulis:
Ahmad Musabiq Habibie, MA.
Pustakapedia
Indonesia
Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah
Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender
©2020, Ahmad Musabiq Habibie Hak cipta dilindungi undang-undang
Penulis : Ahmad Musabiq Habibie, MA
ISBN : 978-623-7641-27-8
Cetakan ke-I, Februari 2020
Diterbitkan oleh:
Pustakapedia (CV Pustakapedia Indonesia) Jl. Kertamukti No.80 Pisangan Ciputat Timur, Tangerang Selatan 15419 Email: penerbitpustakapedia@gmail.com Website: http://pustakapedia.com
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan
dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari Penulis
v |Pengantar Penulis
بسم هللا الرحمن الرحيم
PENGANTAR PENULIS
Puji syukur kehadirat Ilahi Rabbi atas segala limpahan
rahmat, taufik, dan inayah-Nya sehingga kepenulisan buku ini
telah selesai dengan sebagaimana mestinya. Buku ini merupakan
hasil penelitian penulis untuk menyelesaikan jenjang pendidikan
Magister Pengkajian Islam di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dengan konsentrasi Syariah.
Salawat serta salam penulis haturkan kepada junjungan
dan panutan umat manusia, Nabi Muhammad SAW beserta
keluarga dan para sahabat beliau yang telah memberikan suri
teladan, menuntun kita kepada jalan kebenaran, dan mengajarkan
kita arti penting pengorbanan dalam berdakwah. Semoga
keteladanan beliau selalu menjadi inspirasi langkah kita semua.
Amin.
Penyelesaian buku ini disusun melalui serangkaian
upaya penelitian dan kajian yang cukup serius. Penyelesaian buku
ini tidak akan terealisasi tanpa adanya bantuan dan jasa-jasa dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
dukungan baik moril maupun materil dalam menyelesaikan
penelitian ini.
Pertama, kepada Prof. Dr. Amany Lubis, MA. selaku
rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Jamhari, MA.
selaku Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Dr. Hamka Hasan, Lc, MA. selaku Wakil Direktur, Prof.
Dr. Didin Saepudin, MA. selaku Ketua Jurusan Program Doktor,
Arif Zamhari, M. AG, PH. D. selaku Ketua Jurusan Program
Magister, Dr. Asmawi, M.Ag. selaku Sekretaris Program Studi
Doktor, Dr. Imam Sujoko, MA. Selaku Sekretaris Program
Magister, seluruh staf, pustakawan-pustakawati dan seluruh
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
vi Pengantar Penulis
civitas akademika Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Kedua, Prof. Dr. Huzaemah T. Yanggo, MA. selaku
dosen pembimbing penulis. Teriring salam takzim dan salam
hormat serta terima kasih yang tiada terkira penulis haturkan
karena telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran,
serta memberikan masukan-masukan dan ilmu-ilmu berharga di
setiap pertemuan bimbingan dengan penuh kesabaran. Merupakan
kebahagiaan tersendiri sekaligus kebanggaan dan kesyukuran bisa
menjadi salah satu anak didik terkhusus mahasiswa bimbingan
beliau yang notabene telah sejak lama penulis kagumi karena
ketawadukan, kedalaman ilmu dan keakraban yang begitu hangat.
Semoga Allah selalu menjaga beliau, memberikan kesehatan dan
umur yang panjang agar bisa terus menebarkan limpahan
keberkahan dan sumbangsih keilmuan yang begitu bermanfaat.
Amin.
Ketiga, para dosen pengajar dan penguji Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan ilmu dari awal hingga akhir perkuliahan, diantaranya
adalah Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., Prof. Dr. Atho Mudzhar,
MSPD., Prof. Dr. Iik Arifin Mansurnoor, MA., Prof. Dr. Yunasril
Ali, MA., Prof. Dr. Salman Harun, MA., Prof. Dr. Quraish
Shihab, MA., Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Faqih, MA., Prof. Dr.
Zaitunah Subhan, MA., Prof. Dr (HC). dr. MK. Tadjudin, Sp. And
(alm), Prof. Dr. Drs. KH Muhammad Amin Suma, BA, SH, MA,
MM.,Prof. Dr. Oman Fathurrahman, M.Hum., Prof. Dr. Ahmad
Rodoni, MA., Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag., M. Si., Dr. Yusuf
Rahman, MA., Dr. Usep Abdul Matin, Ph.D., Dr. Fuad Jabali,
MA., Dr. Kusmana, MA., Dr. Asrorun Niam Sholeh, MA., Asep
Saepudin Jahar, MA. Ph. D., Dr. JM Muslimin, MA., Dr. Khalid
Al-Kaf, MA., Dr. Yuli Yasin, MA., Rosita Tandos, MA,
MCom.Dev, Ph.D, Dr. Kamarusdiana, MH., serta para dosen dan
tenaga pengajar lainnya yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.
Jaza>kum Allah Ah}san al-jaza>’. Keempat, para sahabat dan teman-teman seperjuangan
penulis khususnya Ikfil Chasan, Rizki Fauzi Iskandar, Arif
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
vii |Pengantar Penulis
Chaniago, Muhammad Reza al-Habsyi, Muhammad Nurul Hadi,
Waki’ al-Tsaqofi, Wildan Munawwar, Dedi Saiful Anwar, Navida
Syafaati, Radtria al-Kaf, Ahsana Fitria, Devi Mustika Sari, Suci
Eryz Meryzka, dan teman seperjuangan lainnya. Begitu pula
teman-teman kakak senior dan adik yunior Jehan Mayazanie,
Mahmud Masri<, Muhammad Kamal, Agus Saipullah, Mutia
Mikhazali, Achmad Zulfikar Fawzi, Muhammad Subki Al-Faqih
dan lain-lain. Tak lupa pula, teman-teman Kosan 69 tempat
tinggal penulis selama di Ciputat yaitu, Rais Hadi Iskandar, Ivan
Habibullah, Rahmatullah, Zaimul Asror, Ach. Wildan al-Faizi,
Rijal Fikri, Akhyar Riyanda, Pak Tabiin, Pak Ali, Pak Hafidz.
Sahabat-sahabat Oraganisasi Ikatan Alumni Al-Azhar Indonesia
yaitu Tuan Guru Bajang Zainul Majdi, Pak Muchlis Hanafi, Pak
Willy Octaviano, Pak Sayyid Zuhdi, Azka Muharram, Hendi
Arfyansyah, Misbahul Munir, Naela Madhiya, Zahwa Shihab,
Maulidatul Hidfdhiyah, Nadyatul Hujaj dan lainnya. Begitu juga
Sahabat Rehlata, Muhammad Itho Athoilah, Rubie Hazinoto,
Barik Azka, Riza Adzkia, Muhammad Minanullah, dan lainnya.
Sahabat-sahabat Ikamasuta Jakarta, Gravart Jakarta serta
keluarga serta organisasi keluarga lainnya. Terima kasih atas doa
dan dukungan selama ini, semoga diberi kemudahan dalam setiap
langkah untuk mencapai kesuksesan. Jaza>kum Allah Ahsan al-Jaza>’.
Terakhir, yang paling khusus tentunya kedua orang tua
abah Drs. Ahmad Imron, MM. dan ibunda Munasifah, S,Ag.
M.Pd.I. serta adik-adik, Arvin Bayazid Habibie, Rafif Ahmad
Zaidan Habibie dan Ahsin Sakataka Habibie. Tak terhitung lagi
limpahan kebahagiaan dan ucapan terima kasih kepada mereka,
terutama abah dan bunda yang selalu memberikan semangat dan
dukungan tanpa henti, curahan doa yang tiada putus, dan
bimbingan yang tak pernah selesai. Dari mereka, penulis
mendapat pengalaman dan pelajaran yang sangat berharga. Tak
lupa pula seluruh keluarga besar, kakek nenek, paman serta bibi,
juga sepupu-sepupu semuanya. Kalianlah anugerah terindah dan
kebahagiaan serta sahabat yang tak pernah tergantikan. Semoga
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
viii Pengantar Penulis
Allah selalu menjaga kalian, memberikan kesehatan dan usia yang
panjang, memberikan limpahan rahmat dan keberkahan,
memberikan ampunan dosa, memberikan limpahan rezeki yang
halal. Amiin Ya Rabb.
Akhirnya, tiada kata yang pantas selain lantunan doa
nan tulus. Semoga Allah membalas pahala nan tulus bagi mereka
yang telah memberikan konstibusi besar kepada penulis. Jaza>kum Allah Ahsan al-Jaza >’. Penulis juga menyadari bahwa penelitian
ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis
mengharapkan kritik dan saran konstruktif kepada para pembaca
semua agar tesis ini menjadi lebih baik. Semoga tulisan sederhana
ini bermanfaat bagi para pembaca semua dan dapat memberikan
sumbangsih dalam pengembangan keilmuan yang berkaitan
secara khusus dan diskursus keislaman pada umumnya. Kepada
Allah lah kita memohon perlindungan dan pertolongan serta
ampunan dari segala khilaf dan salah.
Ciputat, 3 Januari 2020/ 7 Jumadal Awwal
1441 H
Ahmad Musabiq Habibie, Lc. MA.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
ix |Pengantar Penulis
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB - LATIN
Tesis ini menggunakan pedoman transliterasi Arab –
Latin ALA-LC Romanization Tables, berikut penjelasannya:
A. Daftar huruf Arab dan transliterasinya dengan huruf Latin sebagai
berikut:
Initial Name Romanization Initial Name Romanization
}T}a>’ T ط Alif A ا
}Z}a>’ Z ظ Ba>’ B ب
‘ Ayn‘ ع Ta>’ T ت
Ghayn Gh غ Tha>’ Th ث
Fa>’ F ف Jim J ج
Qa>f Q ق }H{a>’ H ح
Ka>f K ك Kha>’ Kh خ
La>m L ل Da>l D د
Mi>m M م Dha>l Dh ذ
Nu>n N ن Ra>’ R ر
Wa>w W و Za>y Z ز
’<Ha>, Ta ة،ه Si>n S س
Marbu>t}ah
H, T
’ Hamzah ء Shi>n Sh ش
Ya>’ Y ي }S}a>d S ص
}D}a>d D ض
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
x Pengantar Penulis
B. Vokal
1. Vokal Tunggal
Tanda Nama Huruf Latin Nama
Fath}ah A A
D{amah U U
Kasrah I I
2. Vokal Rangkap atau Diftong
Tanda Nama Gabungan
Huruf
Nama
Fath}ah dan Ya>’ Ay A dan I ا ... ي
Fath{ah dan ا ... و
Wa>w
Aw A dan U
C. Vokal Panjang
Tanda Nama Gabungan
Huruf
Nama
Fath}ah dan Alif a> A dan garis ىآ
atas
Kasrah dan Ya> ’ i> I dan garis ىي
atas
D{amah dan ىو
Wa>w
u> U dan garis
atas
D. Ta>’ Marbu>t{ah
Transliterasi ta>’ marbu>t}ah (ة) di akhir kata, bila dimatikan
ditulis h. Apabila dalam bentuk kata benda majemuk (mud}a>f wa
mud{a>f ilayh) dilambangkan dengan huruf t.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
xi |Pengantar Penulis
Contoh:
Wiza>rat al-Tarbiyah : وزارة الرتبية Mar’ah : مرأة
E. Kata Sandang Alif + La>m
Contoh:
al-Shams : الشمش al-H{adi>th : احلديث
F. Pengecualian Transliterasi
Ketentuan transliterasi tidak berlaku pada kata – kata
Arab yang telah lazim digunakan dan diserap ke dalam bahasa
Indonesia, seperti : Allah, salat, zakat dan lain sebagainya,
kecuali dihadirkan dalam konteks aslinya dan dengan
pertimbangan konsistensi dalam penulisan.
xii |Daftar Isi
DAFTAR ISI
PENGANTAR PENULIS ........................................................................... v
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................. ix
DAFTAR ISI .............................................................................................. xii
BAGIAN SATU ......................................................................................... 1
PROLOG
BAGIAN DUA ........................................................................................... 27
PRINSIP KESETARAAN GENDER DAN HUKUM ISLAM A. Diskursus Gender dan Feminisme ........................................................ 27
1. Pengertian Gender ........................................................................... 27
2. Diskursus dan Perkembangan Gerakan Feminisme ........................ 34
3. Gender Perspektif Historis ............................................................. 42
B. Refleksi Hukum Islam Atas Wacana Gender ....................................... 46
1. Prinsip Kesetaraan Gender dalam Epistimologi Hukum Islam ...... 48
2. Mas}lah}ah dalam Metodologi Hukum Islam .................................... 52
C. Konstruksi Wacana Gender dan Otoritas Pemikiran
Keagamaan; Studi Komparatif Argumen Tradisionalis dan
Kontekstualis ....................................................................................... 57
BAGIAN TIGA .......................................................................................... 71
KARAKTERISTIK PEMIKIRAN HUKUM ISLAM ‘ALI< JUM‘AH A. Sketsa Kehidupan ‘Ali< Jum‘ah ............................................................ 71
1. Profil ‘Ali< Jum‘ah ........................................................................... 71
2. Karya Ilmiah dan Gagasan ‘Ali< Jum‘ah .......................................... 73
B. Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ............................ 78
1. Interferensi Sosio-Politik Mesir dan Intelektual ‘Ali< Jum‘ah ........ 78
2. Usu>l al-Fiqh dan Realitas Sosial Perspektif ‘Ali< Jum‘ah .............. 91
a. Pembaharuan Usu>l al-Fiqh Ke Arah Yang Ideal ...................... 91
b. Idra>k al-Wa>qi>’ dalam Teori Ifta>’ ............................................... 100
3. Kedudukan Perempuan Perspektif Pemikiran ‘Ali< Jum‘ah
dan Distingsi dibanding Pemikir Lain ............................................ 108
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
xiii | Daftar Isi
BAGIAN EMPAT ...................................................................................... 117
ANALISIS PEMIKIRAN HUKUM ISLAM ‘ALI< JUM‘AHTENTANG WACANA GENDER
A. Ekslusifitas H{ija>b (Cadar) .................................................................... 117
1. Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah Tentang Ekslusifitas
H{ija>b (Cadar) ................................................................................... 117
2. Relevansi Pemikiran ‘Ali< Jum‘ah dengan Aspek Gender ............... 127
B. Khita>n Perempuan ................................................................................ 134
1. Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah Tentang Khita>n
Perempuan ....................................................................................... 134
2. Relevansi Pemikiran ‘Ali< Jum‘ah dengan Aspek Gender ............... 140
C. Kepemimpinan Perempuan (Hak & Kontestasi Perempuan
dalam Politik) ....................................................................................... 146
1. Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah Tentang
Kepemimpinan Perempuan dalam Politik ...................................... 146
2. Relevansi Pemikiran ‘Ali< Jum‘ah dengan Aspek Gender ............. 155
D. Konsep Keadilan 2:1 dalam Pembagian Warisan ................................ 162
1. Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah Tentang Konsep
Keadilan Pembagian Warisan ........................................................ 162
2. Relevansi Pemikiran ‘Ali< Jum‘ah dengan Aspek Gender ............... 176
E. Kepemimpinan Perempuan Dalam Shalat ........................................... 185
1. Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah Kepemimpinan
Perempuan dalam Shalat ................................................................. 185
2. Relevansi Pemikiran ‘Ali< Jum‘ah dengan Aspek Gender ............... 191
BAGIAN LIMA .................................................................................... 199
EPILOG
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 202
GLOSARIUM ....................................................................................... 211
INDEKS ................................................................................................ 219
BIOGRAFI PENULIS ........................................................................... 223
1 |P r o l o g
BAGIAN SATU
PROLOG -----------------------------
Perkembangan dan perubahan sosial sudah tentu menimbulkan
sebuah permasalahan baru dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan
nas}s} tidak akan pernah bertambah, sehingga muncul adagium masyhur
dikalangan para sarjana hukum Islam "al-nus}u>s mutana>hiyah, wa al-waqa>’i‘ ghayru mutana>hiyah".
1 Dalam kondisi seperti ini, jelas
kompleksitas permasalahan baru yang terus berkembang dalam
kehidupan manusia tidak ditemukan secara eksplisit hukumnya dalam
Al-Qur’an ataupun hadis, disisi lain Islam dituntut harus selalu mampu
dalam memenuhi hajat kebutuhan manusia.
Hukum Islam dengan sifatnya yang universal diyakini dapat
memberikan problem solving terhadap fenomena-fenomena baru yang
dihadapi masyarakat.2 Para sarjana dari intern muslim maupun outsider
memberikan pengakuan terhadap urgensitas hukum Islam dalam
menentukan gerak langkah dan mengarahkan pemikiran umat Islam.
A<bid Al-Ja>biri> misalnya, menyatakan bahwa hukum Islam satu-
satunya disiplin ilmu yang dianggap representatif untuk
mengartikulasikan karakter peradaban Islam dengan segudang
kekayaan khazanah intelektual.3 Pengakuan tersebut tentunya
berdasarkan pada kuantitas dan kualitas perhatian umat Islam terhadap
fiqh. Dari segi kuantitas, hal tersebut dapat dilihat dari dominasi
kekayaan khazanah intelektual Islam. Bahkan sebagaimana
diungkapkan Khalid M. Abou El-Fadl bahwa hukum Islam
memainkan peran sentral dalam Islam hingga banyak kalangan muslim
1Jala>l al-Di<n Al-Su>yut>{{i, Ta>isi<r al-Ijtiha>d, (Makkah: Maktabah al-
Tija>riyah, 1982), 22. 2Muhamm{ad Iqbal, The Reconstruction of Religion Thought in Islam,
(New Delhi: Kitab Bhavan, 1974), 148. 3Muhammad A<bid al-Ja>biri<, Takwi<nul ‘Aqli> li al-‘Arabi<. (Beirut:
Markaz Dirasah al-Wahdah al-Arabiyyah: 1990), 58.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
2 | P r o l o g
meyakini bahwa tanpa hukum Islam agama Islam tidak ada.4 Hal
senada juga diakui kalangan para outsider, Joseph Schacht misalnya, Ia
menyebut bahwa hukum Islam sebagai ikhtisar dari pemikiran Islam,
manifestasi way of life Islam yang sangat khas bahkan merupakan inti
dari saripati Islam itu sendiri.5 Begitu pula J.N.D Anderson, Ia
mempercayai akan kedudukan sentral hukum Islam dalam masyarakat
muslim. Hukum Islam menurutnya, kebal terhadap segala perubahan.
Karena selain mencakup bidang-bidang yang pure hukum, hukum
Islam juga mencakup keseluruhan aspek dalam segala lini kehidupan
manusia.6
Dalam kebanyakan literatur klasik kata hukum Islam tidak
ditemukan, namun yang sering digunakan adalah syariat Islam, hukum shara‘, fiqh syariat atau shara‘. Sebagaimana ‘Ali< Jum‘ah memberikan
pengertian hukum shar‘i> menurut ulama us}u>l al-fiqh sebagai khita>b
(tuntutan) Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf yang
berupa perintah atau pilihan. Sementara ulama fiqh, hukum syar‘i
didefinisikan sebagai akibat atau pengaruh khita>b (tuntutan) Allah
yang terwujud dalam perintah atau pilihan.7 Pendapat senada juga
diungkapkan oleh Abd al-Waha>b Khalla>f, Muhammad Abu> Zahra> dan
Wahbah al-Zuhayli<.8
4Khalid M. Abou El-Fadl, Speaking In God’s Name: Islamic Law,
Authority and Women (Oxford: Oneworld Publication, 2003), 1. 5Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, (London: Oxford at
the Clarendon Press,1971), h. 1. 6J.N.D. Anderson, Islamic Law In The Modern World (New York
University Press: 1959), 23. 7‘Ali< Jum‘ah, Al-Hukm Al-Shar‘i> ‘Inda Al-Us}u>liyyin, (Kairo: Da>r al-
Salam, 2013), 45. 8Terdapat tambahan taq{ri>r atau ketetapan dalam definisi hukum shar‘i<
sebagaimana diungkapkan Abd al-Waha>b Khalla>f, Muhammad Abu> Zahra> dan
Wah}bah Al-Zuhayli< >. Sehingga definisi hukum shar‘i ialah khita>b (tuntutan)
Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf yang berupa perintah,
pilihan atau ketetapan. Berbeda dengan Abd Waha>b al-Kh}ala>f, Wah}bah Al-
Zuhayli<, ‘Ali< Jum‘ah yang mengklasifikasikan pengertian berdasarkan ulama
us}u>l al-fiqh dan ulama fiqh, sementara tidak demikian dengan Abu> Zahra.
Dalam penjelasannya seraya menyetir ibn Ha>jib, Abu> Zahra menyebutkan
bahwa pengertian hukum shar‘i > ini merupakan buah dari pemahaman terhadap
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
3 | P r o l o g
Lalu dalam perkembangan hukum Islam yang melibatkan
pengaruh barat, bahwa yang dimaksud term Islamic law secara
harfiyah disebut hukum Islam. Sebagaimana diungkapakan Joseph
Schact, bahwa hukum Islam yaitu keseluruhan perangkat perintah
kitab Allah yang mencakup peraturan-peraturan kehidupan muslim
dalam segala aspeknya.9 Arti hukum Islam ini juga senada dengan
kebanyakan para sarjana hukum muslim sebagaimana diungkapkan
Mahmu>d Shaltu>t yang dikutip oleh Amir Syarifudin bahwa syariat
menurut para ahli ialah hukum-hukum dan aturan-aturan yang
ditetapkan Allah untuk hamba-Nya untuk diikuti dalam hubungannya
dengan Allah dan hubungannya dengan sesama manusia. Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa hukum Islam adalah hukum
berdasarkan wahyu Allah begitu pula hukum Islam mencakup hukum
shara‘ dan juga mencakup hukum fiqh karena arti shara‘ dan fiqh
tercantum didalamnya.10
Dalam artian ini, hukum Islam lebih mendekat kepada arti
syariat Islam bukan fiqh yang telah dikembangkan oleh fuqaha> yang
hanya dalam situasi dan kondisi tertentu.11
Artinya keabsahan hukum
Islam dalam merespon setiap perkembangan ruang dan waktu
sangatlah elastis juga universal dalam mencakup umat sejagad raya.12
Dalam periodesasi historisnya, perkembangan hukum Islam
amatlah dinamis sejak awal konsepsi hingga saat ini. Mayoritas para
us}u>l al-fiqh dan fiqh. Jika us}u>l al-fiqh berhubungan dengan metodologi dan
sumber-sumber hukum, sementara fiqh terfokuskan pada hasil konklusi
hukum berdasarkan apa yang telah digambarkan oleh us}u>l fiqh. Abd al-
Wahha>b Khalla>f, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh (Kairo: Maktabah al-Da‘wah al-
Isla>miyyah, 1956), 100. Lihat: Wahbah al-Zuh}ayli, Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi> (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1986), 37-41. Lihat: Muh}ammad Abu Zahra>, Us}u>l al-Fiqh, (Kairo: Da>r al-Fikr al-‘Arabi >, 1958), 26.
9Joseph Schact, An Introduction to Islamic Law, 1.
10Muhammad Ismail Syah, et al., Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi
Aksara 1992), 17. 11
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana 2011), 8. 12
M. Quraish Shihab, Membumikan al Qur’an (Jakarta : Mizan,1996.),
23.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
4 | P r o l o g
penulis Ta>ri<kh Tashri<, hampir sepakat membagi periodesasi sejarah
hukum Islam dalam enam periode: 13
Periode awal, masa kenabian atau dapat disebut pula masa
turunnya nas}s}. Periode kedua, masa Khulafa> al-Ra>shidi<n dimana pada
era ini transmisi nas}s} dan masa ijtiha>d dalam permasalahan terjadi.
Periode ketiga, Era yang diawali dari akhir Khulafa>’ al-Ra>shidi<n.
Periode keempat, periode dari tahun 101 H hingga tahun 310 H atau
sekitar abad ke-8 M hingga abad ke-10 M. Periode kelima, periodesasi
masa dari pertengahan abad ke-5 H atau abad ke-11 M hingga jatuhnya
Baghdad pada tahun 656 H/1258 M. Dan terakhir periode yang dimulai
dari runtuhnya Baghdad sampai saat ini.
Lebih lanjut, dari perpektif historis dalam perkembangannya,
hukum Islam sebagian besar dibentuk oleh aktivitas ijtihad. Produk-
produk ijtihad telah diakui sepanjang masa dan telah membentuk
tatanan hidup masyarakat Islam, begitu juga hasil ijtihad telah
membentuk sejarah umat Islam disamping ajaran yang secara tegas
terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah. Sebagai kegiatan intelektual
yang tidak boleh lepas dari tuntunan wahyu, ijtihad memerlukan
seperangkat kaidah atau metode. Yang mana metode inilah yang
kemudian dikenal sebagai usu>l al-fiqh. Meskipun usu>l al-fiqh sebagai
satu disiplin ilmu baru tersusun secara sistematis pada abad 2 H.14
Dan
hal tersebut ditandai dengan kemunculan karya monumental al-Sh>afi‘<i>,
al-Risa>lah.15
Pada gilirannya, terbentuknya sekte-sekte mazhab atas insiatif
para ahli sarjana hukum pula turut menegaskan universalitas hukum
Islam sebagai suatu manifiestasi dari kekuatan dinamika dan
13
‘Ali< Jum‘ah, Ta>ri>kh Us}u>l al-Fiqh, (Kairo: Da>r al-Muq{attam Li al-
Nashr Wa Al-Taw>zi>’, 2014), 15. 14
Lihat : Satria Efendi M. Zein, Kata Pengantar, dalam M. Baqir al-
Shadr dan Murtadha Muthahari dalam Pengantar Usu>l Fiqh dan Usu>l Fiqh Perbandingan (Jakarta : Pustaka Hidayah, 1993), 11.
15Dalam bukunya al-Risa>lah, al-Sha>fi>‘i> telah berhasil merumuskan
metode penggalian hukum yang kemudian dikenal dengan usu>l al-fiqh,
disebut pula bahwa al- al-Sha>fi>‘i > ialah seorang arsitek usu>l al-fiqh. Wael B.
Hallaq ‚Was al-Sha>fi >‘i > the Master Architect of Islamic Jurisprudence‛ dalam
International Journal of Middle East Studies, Vol. 25, No. 4 (Nov, 1993), 587
diakses pada 28 Desember 2018. https://www.jstor.org/stable/164536.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
5 | P r o l o g
kreatifitas dalam perjalanannya. Begitu pula dalam kemunculannya
memiliki ragam dan corak tersendiri sesuai dengan latar belakang
sosio-kultural juga politik di mana mazhab hukum tersebut tumbuh.
Tetapi dengan terjadinya kristalisasi 4 mazhab Sunni> di sekitar abad
ke-3 H/9 M, hukum Islam lambat laun dianggap hukum ilahi yang
tidak dapat diubah dan bersifat menyeluruh sehingga hak untuk
berijtihad mulai dibatasi dan pada saatnya dinyatakan tertutup.16
Bahkan muncul gagasan bahwa hanya ulama-ulama terdahululah yang
hanya berhak untuk melakukan ijtihad. Baru pada abad ke-19 beberapa
orang golongan menganjurkan dibukanya kembali pintu ijtihad.17
Oleh
karenanya, ijtihad tidaklah harus berhenti. Ijtihad seyogyannya
mengikuti dinamika zamannya.18
16
Bahkan menurut J.N.D Anderson sebagaimana dikutip oleh Atho
Mudzhar, syariat Islam pada abad ke-9 dan ke-10 dianggap sebagai hukum
ilahi yang tidak boleh diubah dan tidak membutuhkan tambahan-tambahan
atau perubahan-perubahan. Dengan tercapainya finalitas perkembangan
sistematisasi hukum Islam di tangan Sha>fi>‘i> Schacht sepakat dengan pendapat
kebanyakan orientalis sebelumnya tentang tertutupnya pintu ijtihad (insida>d bab al-ijtiha>d) Lihat: Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia, INIS; Jakarta, 1993), 1. Bandingkan: J.N.D Anderson, Islamic Law In The Modern World (New Yok University Press: 1959), 1.
17Menurut Wael B. Hallaq sekitar akhir abad ke-9, aktivitas ijtihad
diasumsikan oleh banyak sarjana modern telah berhenti dengan persetujuan
para ahli hukum Muslim sendiri. Proses ini menjadi paradigma baru yang
dikenal sebagai " insida>d fi@ al-ba>b al-ijtiha>d (penutupan pintu Ijtihad)‛.
Usaha untuk membuka kembali pintu ijtihad baru terdengar pada abad ke-19
yang dipelopori oleh Muhammad Abduh. Lihat: Wael B Hallaq, ‚Was the
gate of ijtihad closed?‛, dalam International Journal of Middle East Studies,
vol. 16, no. 1 (Maret, 1984), 3. Lihat: Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: INIS, 1993), 1.
18Meskipun demikian, Ahmad Hasan tegas menganggap bahwasannya
al-Sha>fi‘>i< adalah orang yang bertanggung jawab atas tertutupnya pintu
ijtihad. Karena atas karya fenomenalnya -al-Umm{- dengan ditetapkan syarat-
syarat ijtihad yang dirasa sangat sulit dipenuhi untuk menjadi seorang
mujtahid. Ahmad Hasan The Early Development of Isamic Juriprudence –
bagian terakhir- (Islambad: Central Institut of Islamic Research, 1988).
Berbeda dengan Fazlur Rahman, bahwa tidak ada seorangpun yang dituduh
telah menutup ijtihad. Yang terang adalah memegang ijtihad telah mengalami
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
6 | P r o l o g
Peranan ijtiha>d menurut Ibrahim Hosen pada garis besamya
dapat dibagi menjadi tiga segi, yaitu : pertama, ijtiha>d dilakukan untuk
mengeluarkan hukum dari z}a>hir nas}s} manakala persoalan itu dapat
dimasukan kedalam lingkungan nas}s}. Cara ini dilakukan setelah
memeriksa tentang keadaan nas itu, 'a>m-kah ia atau kh}a>s, mutlaq-kah
atau muqayyad, na>sikh}-kah atau mansu>kh}, dan hal-hal lain lagi yang
bersangkutan dengan lafaz (kata). Kedua, ijtihād dilakukan untuk
mengeluarkan hukum yang tersirat dari jiwa dan semangat nas}s} dengan
memeriksa lebih dahulu apakah yang menjadi ‘illat bagi hukum nas}s}
itu: ‘illat mans}u>s}ah ataukah mustanbat}ah, ‘illat qas}i>rah ataukah
muta'addiyah, dan sebagainya. Cara ini dikenal dengan q}iya>s. Ketiga,
ijtihad dilaksanakan untuk mengeluarkan hukum dari kaidah-kaidah
umum yang diambil dari dalil-dalil yang tersebar dan terdapat didalam
Al-Qur’an ataupun hadis. Cara ini terkenal dengan istis{ha>b, mas}a>lih mursalah, sadd al-dhara>’i‘, istihsa>n dan lain sebagainya. Dari ketiga
segi ini teranglah bahwa ijtiha>d tidak akan dipergunakan manakala
terdapat nass}} yang s}ari>h}.19
Perbedaan metode dalam berijtiha>d menghasilkan hasil ijtiha>d
yang berbeda, perbedaan metode ijtiha>d yang menghasilkan perbedaan
pendapat hukum dapat ditelusuri hingga imam empat mazhab yang
paling populer. Perbedaannya bukan hanya dilihat dari segi dalil, tetapi
dari segi manhaj atau metodologi istinba>t} ah}ka>m. 20
Yaitu sebuah
metode yang merupakan logika dan alur berpikir untuk menghasilkan
hukum fiqh dari sumber-sumber Al-Qur’an dan sunnah. Abu> Hani>fah
misalnya, selain bersumber kepada Al-Qur’an dan hadis, Ia juga
menggunakan ijma>’, qiya>s, istihsa>n dan ‘urf, yang karena itulah
mazhab Hanafi> terkenal dengan sebutan mazhab ahl al-ra’yi>.
stagnasi dalam perjalanannya. Lihat: A. Qadri Aziziy, Reformasi Bermadzhab. (Bandung: penerbit teraju, 2003), 4.
19Ibrahim Hosen, Fikih Perbandingan, Masalah Pernikahan (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2003), 15-16. 20
Secara bahasa, kata ‚istinba>t }‛ berasal dari kata istanbat}a-yastanb}itu-istinba>t}an yang berarti al-istikhra>j (mengeluarkan). Dalam pengertian ini,
kalimat istanbat}a al-faqi>h berarti mengeluarkan fikih (hukum) yang
tersembunyi dengan ijtihad dan pemahaman. Lihat: Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab ,vol 6, (Kairo: Da>r al-Ma‘a>rif, tt), 4325.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
7 | P r o l o g
Sedangkan Imam Ma>lik, menggunakan ‘amal ahl al-Madi>nah. qawl s}aha>bi>, khabar aha>d, maslah}ah mursalah, sadd al-dhara>’i‘ >, istis}ha>b. shar‘ man qablana>, selain sumber yang digunakan oleh Abu> Hani>fah.
Oleh karenanya mazhab Ma>liki> dikenal dengan ahl al-hadi>th.
Sementara al-Sha>fi‘i >, hanya menggunakan empat sumber, Al-Qur'an,
al-sunnah, ijma>', dan qiya>s. Adapun al-Sha>fi>‘i> dikenal sebagai sintesa
antara dua faksi ahl al-ra’yi dan ahl al-hadi>th, walaupun lebih
cenderung pada ahl al-hadi>th. Sedangkan metode yang digunakan oleh
Ah}mad bin H}anbal bersumberkan pada Al-Qur’an, Sunah, fatwa para
sahabat nabi hadi>th mursal, hadith d{a'i>f dan qiya>s. Adapun Ah}mad ibn
H}anbal juga dimasukan dalam faksi ahl-hadi>th karena Ia seorang
muhadith di samping itu juga Ia sebagai mujtahid mustaqil, di mana
pola istinba>t}-nya lebih dekat pada metodologi gurunya, al-Sha>fi>‘i<.21
Dengan demikian, pemikiran dan metodologi istinba>t} ah}ka>m yang berbeda dari setiap mujtahid sangat mempengaruhi objek hukum
yang dihasilkan. Dan perbedaan tersebut menunjukkan dinamika
hukum Islam yang keberadaannya dapat menciptakan kehidupan yang
dinamis sesuai perkembangan zaman. Menurut Al-Qara>d}a>wi<,22
ijtihad
merupakan sebuah urgensitas bagi manusia untuk mengantisipasi
fenomena-fenomena yang muncul sebagai akibat sifat evolusioner
kehidupan manusia, begitu pula kondisi masyarakatnya yang
senantiasa mengalami evolusioner seiring berkembangnya zaman.
Kedudukan manusia sebagai khalifah Tuhan dituntut untuk berfikir,
21
Muhammad ‘Ali> al-Says, Nash’ah al-Fiqh al-Ijtiha>di> (Kairo: Majma‘
al-Buhu>th al-Islamiyah, 1970), 10. Muhammad Harfin Zuhdi, ‚Karakteristik
Pemikiran Hukum Islam‛ dalam Jurnal Ahkam Vol. XIV, No.2 (Juli, 2014),
174. 22
Menurut Al-Qara>d}a>wi<, ada 2 bentuk ijtihad yang dibutuhkan saat
ini, yaitu : 1. Ijtiha>d intiqa >’i yaitu menyeleksi pendapat-pendapat ahli fiqh
yang relevan dalam masalah tertentu, seperti yang terdapat dalam kitab-kitab
fiqh klasik. Lalu memilih mana yang paling kuat dalilnya diantara pendapat-
pendpat yang ada dan relevan untuk diterapkan saat ini. 2. Ijtiha>d insha>i yaitu
menarik klonkusi dalam sebuah problematika yang tidak dilakukan oleh para
ulama fiqh terdahulu. Yu>suf al-Qara>d}a>wi<, al-Ijtiha>d fi< al-Shari<‘ah al-Isla<miyah Ma‘a Naz}a>ra>t Tahli@li@yah Fi@ Ijtiha>d al-Mua>s}ir. (Kairo : Maktabah Wahbah,
1987), 69.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
8 | P r o l o g
tetapi juga konteks berfikir ini masih dalam batasan-batasan frame
bingkai Islam, yaitu senantiasa relevan dengan nas}s} shar‘i<.23
Hal senada juga diungkapakan Al-Zuhaylī, bahwa permasalahan
kontemporer saat ini menyimpan banyak persoalan hukum yang belum
dijelaskan oleh ulama terdahulu. Maka menurutnya perlu adanya
gerakan pembaharuan dalam ijtihad. Karena tujuan dari adanya
pembaharuan, untuk membuktikan bahwa sifat elastisitas hukum
Islam selalu dapat merespon seiring berkembangnya zaman namun
tidak bertentangan dengan nas}s} shar‘i<.24
Dari pemaparan diatas, sangat menarik untuk mengkaji
bagaimana dialektika hukum Islam berhubungan dengan realita sosial
di mana hukum Islam itu senantiasa berkembang. Oleh karenanya,
diperlukan berbagai upaya signifikan dari para sarjana hukum Islam
untuk memberikan jawaban hukum guna menghilangkan
kesimpangsiuran akan suatu kasus yang senantiasa berkembang di
tengah masyarakat; baik karena tidak adanya penjelasan secara rinci
dalam sumber pokok hukum Islam atau memang tidak adanya nas}s}
yang mengatur akan hal itu atau karena ketidaktahuan seseorang akan
suatu hukum pada sebuah permasalahan.
Diantara isu-isu terkait perkembangan zaman kontemporer yang
hampir selalu menjadi perdebatan adalah isu-isu berkaitan dengan
gender. Diskursus seputar gender berkaitan dengan hak perempuan
memang telah muncul semenjak lama dan menjadi sesuatu yang sangat
urgen didunia manapun begitu semua lapisan masyarakat tak
terkecuali masyarakat muslim. Sebagaimana diungkapkan Nasarudin
Umar, bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan hingga saat ini masih
menyimpan beberapa masalah, baik dari segi substansi kejadian
maupun peran yang diemban dalam masyarakat. Perbedaan anatomi
biologis antara keduanya cukup jelas. Akan tetapi efek yang
ditimbulkan akibat perbedaan itu menimbulkan perdebatan, karena
ternyata perbedaan jenis kelamin secara biologis (seks) melahirkan
seperangkat konsep budaya. Interpretasi budaya terhadap perrbedaan
23
Yu>suf al-Qara>d}a>wi<, Fiqh Tajdi<d al-Sh}ahwah al-Isla>miyah, (Kairo:
Muassasah al-Risalah,1996), 40. 24
Wahbah Al-Zuhaylī, Al-Qur’an dan Paradigma Peradaban, terj. M.
Thahir, cet. 1 (Yogyakarta: Dinamika, 1996), 240.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
9 | P r o l o g
jenis kelamin ini yang disebut gender.25
Demikian pula telah sekian
lama hukum yang disebut hukum alam menjustifikasi bahwa
perempuan hanyalah sebagai suatu komunitas kelompok tingkat dua
secara sosial begitu pula hegemonitas mereka selalu menjaga
kelestarian dalam keluarga.26
Sejumlah respon dan jawaban yang telah diberikan hingga ini,
dapat dikatakan belum cukup menuntaskan masalah yang ada. Bahkan
dalam banyak kasus, justru memicu ketidakpuasan. Terlebih isu ini
dianggap sebagian kalangan semakin kompleks apabila kesetaraan
gender didekati dengan pemaparan final doktrin-doktrin keagamaan
saja. Hilary Charlesworth dan Christine Chinkin menegaskan bahwa
terdapat dua tantangan utama dalam wacana kesetaraan gender di era
modern ini, ialah ekstremisme agama dan globalisasi ekonomi.27
Howland menambahkan, bahwa fundamentalisme agama meredam
ironi misognis paling akut terhadap wacana kesetaraan gender dengan
berlindung pada doktrin-doktrin agama secara literal bias gender.28
Sejatinya permasalahan gender tidak dipersoalkan apabila turut pula
mempertimbangkan hal-hal lain seperti aspek-aspek sosial budaya
ataupun sensitifitas gender yang belakangan ini terus berkembang.
Dalam relasi laki-laki dengan perempuan, pada dasarnya prinsip
Al-Qur’an justru menunjukkan paradigma yang egaliter. Menurut ‘Ali<
Jum‘ah, Islam memuliakan wanita sebagai manusia sama halnya
dengan laki-laki dalam takli<f (pembebanan hukum) menjalankan
syariat, hanya saja dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan
karakteristik wanita yang membedakan dari laki-laki. Sebagaimana Al-
Qur’an juga membebankan umat Muhammad baik itu pria maupun
25
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender; Perspektif Al-Qur’an
(Jakarta: Paramadina, 1999), 1. 26
Masnun Tahir, ‚Perempuan dalam Bingkai Hak Asasi Manusia‛,
dalam jurnal Musawa, Vol. 15, No. 1, (Januari 2016) diakses pada 17
Desember 2018. 27
Hilary Charlesworth dan Christine Chinkin, The Boundaries of International Law: The Feminist Analysis (Manchester: Manchester Univ
Press, Juris Publishing, 2000), 249. 28
Courtney W. Howland, ‚Women And Religion Fundamentalism‛,
Columbia Journal Transnational Law, Vol. 35, (1997), h. 271.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
10 | P r o l o g
wanita untuk memikul tanggung jawab dalam meluruskan
masyarakat.29
Ungkapan senada diamini al-Qara>d}a>wi< 30
juga
diungkapkan oleh Mahmu>d Shaltu>t.31
Bahkan menurut Ashgar Ali
Engineer, bahwa Al-Qur’anlah yang paling pertama memberikan hak
wanita yang belum pernah didapat pada perangkat aturan manapun.32
Karen Amstrong dalam Islam: A Short History berpendapat
bahwa dominasi laki-laki akan pengaruh budaya patriarki dengan
menyatakan bahwa kaum perempuan pada zaman nabi tampaknya
tidak pernah merasakan Islam sebagai agama penindas, walaupun
kemudian, sebagaimana terjadi dalam Kristen juga, kaum laki-laki
membajak agamanya dan membawanya ke jalur yang sesuai dengan
semangat patriarki yang berkembang saat itu.33
Komentar Karen
Amstrong tersebut membenarkan akan sebagian besar pandangan
sarjana feminis muslim.34
Menurut sebagian mereka, perlakuan
terhadap perempuan belum pernah sebaik ketika Muhamad memulai
dakwahnya. Masa-masa tersebut merupakan masa kehidupan yang
ideal bagi perempuan karena adanya kebebasan bagi perempuan yang
dijamin oleh nabi. Harga diri perempuan diangkat dan emansipasi
kaum perempuan diberikan. Melalui risalahnya, Muhammad telah
mendorong para pengikutnya untuk senantiasa menghormati
29
‘Ali< Jum‘ah, Qada>ya> Marah Fi< Al-Fiqh al-Isla>mi<, (Kairo: Nahdet
Misr 2008), 3. 30
Yu>suf al-Qara>d}a>wi<, Min Hady al-Isla>m: Fata>wa> Mu'as}irah, (al-
Mansurah: Da>r al-Wafa>' li T{aba>‘ah wa al-Tawzi<', 1994), Vol. ke-. II, 255. 31
Mahmu>d Shaltu>t, al-Isla>m Aq{i@datun wa Shari@atun (Beirut: Da>r al-
Nafa>is, 1989), 227. 32
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung
Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 50. 33
Karen Amstrong, Islam: A Short History (New York: Modern
Library, 2002), h. 16. Diungkapkan pula hal senada oleh David S. Power
bahwa kebebasan perempuan sangat terasa diberbagai bidang pada masa
permulaan Islam, yang pada gilirannya perlahan mulai berangsur-angsur
hilang. David S. Power, Studies In Qur'an and Haidth, The Formation of the Islamic Law of Inheritance (Berkeley: University of California Press, 1986),
xii. 34
Abdullah Saeed, Interpreting The Qur’an: Towards A Contemporary Approach (New York: Routledge, 2006), 116-119.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
11 | P r o l o g
perempuan, memenuhi hak-hak asasinya, serta mendorong partisipasi
mareka dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.35
Menurut Ausaf Ali, secara garis besar kontroversi perbincangan
mengenai hak perempuan yang telah berkembang di negara
bermasyarakat muslim dapat diidentifikasi pada dua golongan,
diantaranya:
Pertama, golongan konservatif, yaitu mereka yang membatasi
hak-hak perempuan yang hanya pada tataran urusan domestik saja.
Dalam hal ini, secara substansial kelompok ini memahami teks
keagamaan hanya secara teksual tanpa memahami kontekstual secara
komprehensif sehingga paradigma yang timbul adalah penolakan
terhadap kesetaraan. Maka yang terjadi perempuan hanya dianggap
sebelah mata juga bersifat stereotip.
Kedua, golongan progresif, berbanding balik dengan golongan
pertama, kelompok progresif ini lebih mengakui perempuan pada
ruang-ruang publik. Kelompok ini lebih menjunjung akan kesetaraan
dan dapat diklasifikasi sebagai golongan antagonis yang mempunyai
daya kritik akan tekstualitas Al-Qur’an yang patriarkis, juga lebih
melihat bahwa pada kebanyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an menarik
benang merah akan kesetaraaan. Sebagaimana telah dipaparkan di atas,
kelompok kebalikan dari kelompok pertama, kelompok ini meyakini
bahwa posisi laki-laki dan perempuan tidak dibedakan, mereka yang
beriman dan bertakwa adalah setara dihadapan tuhan.36
Dan salah satu dari sekian banyak ulama berpengaruh dalam
dunia Islam yang memperbincangkan tentang isu-isu perempuan dan
relasi gender dari perspektif hukum Islam ialah ‘Ali< Jum‘ah. Ia
merupakan ulama beraliran tradisional namun moderat dalam
merespon persoalan-persoalan yang bersifat kekinian sehingga
35
Norhidayat, Citra Perempuan dalam Perspektif Tafsir Sufi, (Jakarta:
Cakrawala Budaya, 2017), h. 5. Baca: Syafiq Hasyim, Bebas dari Patriarkisme Islam (Depok: Kata Kita, 2010), 92.
36Ausaf Ali, Modern Muslim Thought, vol. 1 (Karachi: Royal Book
Company, 2000), 4.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
12 | P r o l o g
pemikiran-pemikirannya banyak digandrungi oleh para intelektual
muslim di negara-negara Islam.37
Mengomentari peran ‘Ali< Jum‘ah dalam dunia muslim saat ini,
John L. Esposito dalam The Future of Islam mengungkapkan, bahwa
‘Ali< Jum‘ah merupakan representasi dari wajah Islam modern yang
mampu menjawab tantangan maupun problematika kontemporer
dengan ekstraksi hukum Islam yang sesuai dengan perkembangan
zaman. Bahkan sebagaimana diungkapkan oleh Ibra>hi<m Najm yang
menulis biografi khusus tentang ‘Ali< Jum‘ah dalam The Epistemology of Excellence: A Journey into the Life and Thoughts of the Grand Mufti of Egypt mengatakan bahwa pengaruh intelektualitas ‘Ali<
Jum‘ah tidak sebatas di dunia muslim namun juga pemikiran-
pemikirannya mendapat perhatian khusus kaum intelektual non-
muslim di dunia kontemporer saat ini.38
37
Secara beruntun pada tahun 2009 & 2010, ‘Ali< Jum‘ah menduduki
peringkat ke-10 sebagai tokoh yang paling berpengaruh didalam dunia Islam
kontemporer. Selain itu, pengaruh intelektual ‘Ali< Jum‘ah banyak dirujuk di
pusat-pusat lembaga hukum Islam terkemuka di dunia muslim saat ini. Lihat:
The Most Influential Muslim-2009 & The Most Influential Muslim-2010. Jordan : The Royal Islamic Strategic Studies Centre, cet. 1 & 2, 46 & 40.
Diakses pada 17 Desember 2018. Lebih dari itu, sebagaimana pernah dimuat
dalam U.S. News & World Report dan The National bahwa ‘Ali< Jum‘ah
adalah salah satu ahli hukum Islam internasional yang paling dihormati.
Lihat: Jay Tolson "Finding the Voices of Moderate Islam". US News & World
Report (Washington, D.C: 2 April 2008). Juga lihat: Al-Hashemi, Bushra
Alkaf & Rym Ghaza. "Grand Mufti calls for dialogue about the internet".
(Abu Dhabi, 21 : The National Newspaper, 21 February 2012). 38
John L. Esposito -seorang profesor Universitas Georgetown dan
penulis terkenal tentang Islam- memberikan penjelasan tentang sejumlah
tantangan utama yang dihadapi umat Islam di zaman modern, juga menyoroti
pandangan para pemikir Muslim kontemporer, termasuk ‘Ali< Jum‘ah.
Esposito melihat bahwa ‘Ali< Jum‘ah sebagai simbol tokoh wajah Islam
moderat yang mampu menegaskan pesan Islam yang membumi sesuai
perkembangan zaman. Hal yang mengesankan bagi sejumlah pengamat barat,
bahwa ‘Ali< Jum‘ah selalu menekankan pentingnya dialog dalam membangun
perdamaian dan keharmonisan di Mesir bahkan di seluruh dunia. Sebagaimana
keterlibatannya dalam sejumlah proyek amal di bawah naungan organisasi
kesejahteraan sosialnya seperti Mis}r al-Kha>ir. Selain itu, pengaruh ketokohan
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
13 | P r o l o g
Selain itu, tak kalah menarik bagi penulis dari sosok ‘Ali< Jum‘ah
karena Ia merupakan grand mufti Republik Arab Mesir 2003 hingga
2013. Berbagai jabatan dan keanggotaan bertaraf nasional dan
internasional Ia duduki. Akan tetapi satu hal yang tak pernah
terlewatkan dari ‘Ali< Jum‘ah adalah dalam bidang usu>l fiqh. Ilmu ini
telah mengalir dalam darahnya sebagai akademisi tulen. Terbukti
hampir kebanyakan dari karya-karyanya bertemakan usu>l al-fiqh.
Penguasaannya terhadap literatur fiqh dan usu>l al-fiqh ini telah
membentuk pribadinya sebagai sosok yang moderat.
Sebagaimana dipaparkan penulis diatas, kajian ini hendak
menelusuri pemahaman hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah akan isu-isu gender
kontemporer. Maka masalah pokok yang akan dikaji adalah
sebagaimana berikut: Pertama, Formulasi pemikiran hukum Islam
yang ditawarkan ‘Ali< Jum‘ah. Kedua, Kontestasi ‘Ali< Jum‘ah
dibandingkan ulama kontemporer lainnya. Ketiga, Konstruksi gender
dan problematika wacana kesetaraan gender kontemporer. Keempat, Kontekstualisasi pemikiran hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah terhadap isu
gender kontemporer. Kelima, Konteks sosial hukum yang terjadi pada
‘Ali< Jum‘ah dalam mengeluarkan ijtihadnya. Keenam, Relevansi
produk hukum yang diungkapkan oleh ‘Ali< Jum‘ah dengan aspek
gender.
Berdasarkan hal tersebut, kajian ini secara garis besar dapat
dirangkum sebuah kalimat yang dapat mewakili keseluruhan
substansi permasalahan yang sebelumnya telah disinggung, yaitu:
"Bagaimana pemikiran hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah merespon wacana
kesetaraan gender?‛
Rumusan mayor ini selanjutnya dijabarkan dalam dua
pertanyaan minor, yaitu: Pertama, Bagaimana metode dan posisi
pemikiran hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah? Kedua, Bagaimana relevansi
‘Ali< Jum‘ah sebagai simbol wajah Islam moderat dianggap Barat seharusnya
diikuti oleh kaum muslim didunia saat ini, hal itu sebagaimana pernah
diterbitkan di The Times pada Juni 2007, dalam artikel yang menyatakan
‚Must now follow Dr. Gomaa’s lead, and use the podium to denounce the radicals who have clouded so many of them.‛ Lihat: Ibra>hi<m Najm, The Epistemology of Excellence: A Journey into the Life and Thoughts of the Grand Mufti of Egypt (Beirut: InnoVatio Publishing, 2012), 1.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
14 | P r o l o g
pemikiran hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah dengan aspek kesetaraan
gender?
Berdasarkan perumusan masalah yang dipaparkan di atas, agar
tidak melebar terlalu jauh serta lebih terfokus pada masalah. Maka
penulis membatasi kajian ini pada cara pengambilan hukum yang
digunakan oleh ‘Ali< Jum‘ah beserta hal-hal yang melatarbelakangi
pendapatnya tersebut. Mengingat pula banyaknya persoalan yang
dibahas ‘Ali< Jum‘ah berkaitan dengan tema gender, dibatasi pula objek
kajian ini hanya pada ekslusifitas h{ija>b (cadar), khita>n perempuan,
kepemimpinan perempuan (hak & kontestasi perempuan dalam
politik), konsep keadilan 2:1 dalam pembagian warisan dan
kepemimpinan perempuan dalam shalat. Penulis memilih 5 objek
kajian berkaitan perempuan diatas, karena persoalan tersebut
seringkali menjadi topik perbincangan utama dalam masyarakat dan
dianggap selalu up to date untuk dibahas karena seringkali diulang
pembahasannya merespon fenomena realitas. Terkhusus di Indonesia
sendiri –dimana penulis berdialog dengan konteks-, kelima 5 topik
tersebut sering kembali diangkat dan diperdebatkan oleh organisasi-
organisasi masyarakat di Indonesia. Seperti cadar, kepenulisan
penelitian ini berbarengan dengan munculnya fenomena yang memicu
kontroversi dalam masyarakat seputar perdebatan cadar, hal ini
merujuk pernyataan yang dilayangkan oleh menteri agama Republik
Indonesia tahun 2019-2024 terkait larangan cadar ditengah
masyarakat. Setahun sebelumnya, cadar juga menjadi fenomena yang
memicu kontroversi, hal tersebut berkaitan dengan larangan bercadar
bagi mahasiswi yang kuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ini
berdasarkan Surat Rektor No. B-1301/Un02/R/AK.00.3/02/2018
tentang Pembinaan Mahasiswi Bercadar. Selajutnya, berkaitan dengan
khita>n perempuan, dunia Internasional sedang tren dengan pelarangan
khita>n perempuan bahkan beberapa negara mengeluarkan Undang-
Undang tentang pelarangan khita>n perempuan. Selanjutnya, dalam
dunia modern saat ini beberapa negara melahirkan seorang pemimpin
dari kalangan perempuan yang dalam hal ini menurut sebagian ulama
tidak sesuai dengan kodratnya dan terakhir munculnya fenomena
beberapa perempuan menjadi imam shalat bagi laki-laki. Demikian
pula pembatasan secara temporal terkait pendapat-pendapat yang
dikeluarkan oleh ‘Ali< Jum‘ah, penelitian ini dibatasi pada periode saat
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
15 | P r o l o g
‘Ali< Jum‘ah menjabat sebagai grand mufti Republik Arab Mesir yaitu
pada tahun 2003-2013.
Kajian ini secara teoritis diharapkan dapat memperkaya
khazanah pengetahuan Islam khususnya pemikiran hukum Islam dalam
memahami permasalahan hukum Islam kontemporer juga dapat
memberikan solusi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam
kontekstual modern. Sedangkan secara praktis, hasil kajian ini
diharapkan dapat dimanfaatkan oleh para sarjana hukum Islam atau
akademisi pada umumnya untuk menganalisa hukum pada suatu
permasalahan agar berjalan sesuai tuntunan zaman.
Sejauh pengamatan penulis, dalam penelusuran terkait
penelitian yang secara khusus membahas tentang pemikiran hukum
Islam cukuplah banyak; baik pemikiran hukum maupun metodologinya
karena gagasan tentang pembaharuan pemikiran hukum Islam akan
terus menjadi wacana dan sebagai topik pembicaraan yang sangat
hangat dari waktu ke waktu. Agar lebih terarah, maka penelitian ini
difokuskan pada penelitian terdahulu yang dikelompokkan menjadi
tiga bagian. Pertama, penelitian mengenai relevansi hukum Islam
dengan permasalahan perempuan kontemporer. Kedua, penelitian
mengenai metode isitnbat hukum berkaitan dengan permasalahan
perempuan yang dilakukan oleh tokoh dan ulama tertentu. Ketiga, penelitian terdahulu yang memfokuskan ketokohan ‘Ali< Jum'ah dan
karyanya sebagai objek kajian.
Bagian Pertama, penelitian mengenai relevansi hukum Islam
dengan wacana kesetaraan gender yang dapat diidentifikasi antara lain:
Ami<ra Mashou>r dalam Islamic Law and Gender Equality:
Could There Be a Common Ground?39
. Makalah ini berpendapat
bahwa memburuknya hak-hak perempuan di banyak negara Islam tidak
ada hubungannya dengan sifat Islam mereka tetapi dengan sifat
patriarki mereka. Hukum Islam memperkenalkan sejumlah hak
revolusioner kepada perempuan pada saat wahyu; Oleh karena itu,
semangat Al-Qur'an menunjuk pada persamaan akhir antara kedua
39
Amira Mashour, ‚Islamic Law and Gender Equality: Could There Be
a Common Ground?‛, Human Rights Quarterly, Vol. 27, No. 2 (May, 2009),
562-596. Diakses pada 20 desember 2018.
https://www.jstor.org/stable/20069797
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
16 | P r o l o g
jenis kelamin dalam proses bertahap, mirip dengan kasus perbudakan.
Karena Al-Qur'an sangat menekankan pada hak untuk mencari
keadilan dan kewajiban untuk melakukan keadilan, dan karena tujuan
pertama dari syariah adalah untuk menjaga keadilan dan membela
kesejahteraan publik, semua cara untuk mencapai keadilan dan
kesejahteraan publik adalah bersifat Islami. Sifat dinamis dari ajaran
Islam, karakter yang berkembang dari syariah, semangat Islam
terhadap hak-hak perempuan, prinsip-prinsip keadilan dan
kesejahteraan publik, dan esensial dari feminis ijtihad tidak
meninggalkan ruang untuk keraguan bahwa kesamaan dapat
ditemukan antara hukum Islam dan kesetaraan gender. Makalah
menggunakan kerangka teoritis perbandingan dengan hukum yang
diterapkan di Mesir dan Tunisia dalam upaya menunjukkan hubungan
antara teks, yurisprudensi, dan peran ljtihad dalam menanggapi
perubahan sosial.
Dari penuturan penulis mengungkapkan bukti bahwa
yurispuredensi Islam tentang peranan perempuan selalu menjadi
wacana hangat dan selayaknya bahwa golongan perempuan
mendapatkan posisinya secara profesional dalam ruang publik.
Makalah ini berusaha untuk membahas apakah mungkin ada kesamaan
antara menerapkan hukum Islam dan kesetaraan gender melalui
pemeriksaan putusan syariah tekstual mengenai beberapa kasus seperti
poligami, perceraian dan lain-lainnya. Sedangkan tesis ini mencoba
untuk menganalisanya dari sudut fiqh bersandar pada pemikiran ‘Ali<
Jum‘ah.
Jurnal karya Muzdalifah Muhammadun dengan judul Fiqh Dan
Permasalahan Perempuan Kontemporer.40 Tulisan ini berupaya
mengungkap isu-isu perempuan kontemporer dengan membuka
dinding fiqh perempuan yang bias gender. Muzdalifah Muhammadun menjelaskan, bahwa permasalahan paling asas yang berkaitan dengan
perempuan ialah bertahannya patriarki dalam kehidupan masyarakat
saat ini, yang pada suatu tingka tertentu, sejalan dengan sebagian
besar latar belakang buku-buku fiqh klasik. Dilain sisi, modernisasi
40
Muzdalifah Muhammadun, Fiqh Dan Permasalahan Perempuan
Kontemprer. Jurnal Al-Maiyyah, Vol. 8 No. 1 Januari-Juni 2015 STAIN
Parepare. Diakses pada 13 Desember 2018.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
17 | P r o l o g
telah ikut andil memberikan kesempatan yang sepadan untuk
pendidikan antara pria dan wanita, kemudian memberikan kesadaran
baru tentang hak dan kewajiban mereka sebagai manusia. Ketika
mereka mencoba membongkar belenggu dari implikasi perbudakan-
budaya bagi perempuan, dengan cara yang sama, bias gender dalam
buku-buku fiqh akan terungkap. Pada dasarnya, adanya batasan
normatif yang terdapat pada hukum Islam, bila diteslusuri kembali,
terdapat tatara sosiologis. Maka secara logis, konteks sosiologis akan
terus mengalami perubahan dengan seiring perubahan ruang dan waktu
dan melampaui batas ruang budaya itu sendiri. Maka, jikalau konsep
keadilan dalam Al-Qur’an di blow up dengan mengisolasikan ‘status quo’ pada konsep-konsep lain, niscaya Al-Qur’an begitu fleksibel
dalam mengakomodir keberagaman budaya dibumi manapun.
Bagian Kedua, penelitian mengenai metode isitinba>t hukum
berkaitan dengan permasalahan perempuan yang dilakukan oleh tokoh
dan ulama tertentu dapat teridentifikasi antara lain:
Muhammad Shah}ru>r dalam Nahwa Usu>l Al-Jadi<dah Li Al-Fiqh
Al-Isla>mi<41
. Dalam buku ini penulis menyajikan pembahasan terkait
isu perempuan dan ketidakadilan terhadap perempuan sepanjang
sejarah Islam. Menurut Sharu>r alasan di balik kebuntuan pentasyriatan
Islam dan motif historis di balik dinamika fluktuasi eksistensi ijtihad
mengakibatkan perempuan kehilangan banyak hak mereka saat ini.
Penulis menyoroti pemahaman ayat-ayat dalam kontekstualisasi pada
permasalahan kontemporer, terutama ayat-ayat terkenal dari Surat al-
Nisa> tentang hak-hak perempuan. Dalam melakukan pembaruan
interpretasi dalam studi Al-Qur’an, Shah}ru>r menggunakan pendekatan
hermeneutika dengan penekanan pada aspek filologi (fiqh al-lughah).
Di mana prinsip yang Ia gunakan adalah keyakinannya kepada anti
sinonimitas (ketidaksamaan) istilah dalam Al-Qur’an. Pendekatan
bahasa yang dilakukan Shah}ru>r dalam mengkaji Al-Qur’an akhirnya
membuat dia menarik suatu kesimpulan bahwa produk hukumnya
sangat tergantung pada konteks sosio-kultural. Shah}ru>r menganggap
perlu adanya reinterpretasi terhadap nas}s}-nas}s} Al-Qur’an dengan
harapan terjadi sinkronisasi nash dengan realitas masyarakat kapanpun
41
Muhammad Shahru>r, Nahwa Us}u>l Al-Jadi<dah Li Al-Fiqh Al-Isla>mi< (Damaskus: Al-Aha>li> Li Al-Tawzi‘, 2008).
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
18 | P r o l o g
dan dimanapun. Fokus Shah}ru>r terhadap nas}s}-nas}s} Al-Qur’an membuat
dia tidak mempercayai al-sunah al-nabawiyyah sebagai sumber hukum
juga. Baginya, Al-Qur’an sudah cukup karena ayat-ayatnya telah
memuat aturan-aturan untuk menjawab realita kehidupan. Untuk
merealisasikan idenya itu Shah}ru>r mengkonsep teori limit (naz}ariya>t al-h}udu>d). Dapat dikatakan Shah}ru>r dalam buku ini menyajikan
pandangan yang berbeda terkait pembahasan isu perempuan
diantaranya warisan pluralisme, perkawinan dan pakaian wanita.
Sebagaimana dikutip Quraish Shihab42
, Muhammad Shah}ru>r
walaupun seorang cendekiawan yang menampilkan pendapat baru, tapi
karena kelemahannya dalam disiplin ilmu agama maka banyak apa
yang dikemukannya sulit diterima. Sedangkan ‘Ali< Jum'ah telah diakui
banyak kalangan akan kedalaman analisis tentang beberapa bidang
ilmu pengetahuan terutama dalam penyelesaian permasalahan
kontemporer dan kemampuannya dalam mengklarifikasi terhadap
pendapat-pendapat para ulama.43
Saepuloh dalam Fiqh Perempuan dalam Perspektif Yu>suf al-Qara>d}a>wi<<. Penelitian ini mengeksplorasi bagaimana pandangan Yu>suf
al-Qara>d}a>wi< akan fiqh perempuan dengan membandingkan beberapa
pandangan berbagai ulama pemikir hukum Islam, sehingga penelitian
ini mendapatkan jawaban komprehensif. Lebih lanjut, penulis
menjabarkan bahwa Islam sangatlah menjunjung tinggi harkat dan
martabat perempuan, bahkan kemuliaan perempuan diabadikan dalam
sebuah surat Al-Qur'an yang disebut al-nisa’>. Adapun permasalahan perempuan yang diangkat dalam tesis ini
dibatasi hanya pada permaslahan perempuan menjadi anggota
parlemen, perempuan berpergian tanpa mahram dan kedudukan hukum
suara perempuan di hadapan laki-laki. Dalam beberapa permaslahan
tersebut, penulis menyimpulkan bahwa pada permasalahan pertama,
perempuan dapat menjadi anggota parlemen selama dirinya menjaga
adab-adabnya sesuai tuntunan shar‘i>. Tidak dengan bebasnya
berinterkasi dengan laki-laki lain, lalu tidak mengabaikan
42
M. Quraish Shihab, Jilbab, pakaian Wanita Muslimah, (Jakarta:
Lentera Hati, 2005), 118. 43
Usa>mah Sayyid Al-Azhari<, Asa>nid al-Mash}riyi<n, (Kairo: Dār al-
Faqīh, 2011), 539.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
19 | P r o l o g
kewajibannya kepada suami -jikalau telah menikah- serta keluarga
anak-anak dan lingkungannya. Begitu pula dalam berpenampilan selalu
menjaga kesopanan baik itu berpakaian, berjalan, bergerak, dan
berbicara. Permasalahan kedua, perempuan berpergian tanpa mahram.
al-Qara>d}a>wi< membolehkan hal tersebut dikarenakan berpergian pada
zaman saat ini tidaklah sama dengan berpergian pada masa lampau,
banyak kekhawatiran-kekhawatiran timbul dikarenakan kondisi pada
saat itu seperti kebahayaaan melewati padang pasir, lalu juga
hadangan perampok, dan lain sebagainya. Berbeda berpergian pada
saat ini, alat-alat transportasi saat ini telah canggih, angkutan umum
saat banyak menampung penumpang orang, seperti kapal laut, pesawat
terbang, dan bus angkutan umum. Tentu, hal ini dapat menimbulkan
rasa kepercayaan diri dan menghilangkan kekhawatiran terhadap kaum
perempuan, karena ia tidak sendirian dalam berpergian. Permasalahan
ketiga, kebolehan suara perempuan dihadapan laki-laki. Dalam
berkomunikasi dengan pria, haruslah kondisi dimana mendatangkan
mashlahat bagi perempuan, diantaranya transaksi jual-beli,
kesaksiannya didepan pengadilan, belajar mengajar, dan dakwah Islam.
juga beberapa kondisi dilarangnya perempuan untuk berbicara dengan
laki-laki dengan bersikap diantaranya khud}u>’, yaitu suara sexy yang
menyebabkan gairah seksual pria teransang.
Lalu dari ketokohan al-Qara>d}a>wi< sendiri, penulis menyebutkan
dalam merumuskan kompilasi hukum Islam tentang fiqh perempuan,
sehendaknya para cendekiawan muslim saat ini dapat
mempertimbangkan hukum yang diusung oleh al-Qara>d}a>wi<.
Alasannya, dalam mengistinba>t}kan hukum Islam al-Qara>d}a>wi<
senantiasa mempertimbangkan pendekatan manhaj al-wasath}iyyah
dan kemaslahatan dalam menginterpretasikan nas}s} shar‘i secara
tekstual dan kontektual. Sehingga sesuatu yang dihasilkan dari sebuah
hukum tidak cenderung bersikap ekstrim dan ekslusif, begitu juga
dalam penerapannya senantiasa bersikap seimbang dan adil.
Pandangan yang sama terkait spesifik kasus penelitian diatas
juga dinyatakan ‘Ali< Jum‘ah. ‘Ali< Jum‘ah juga membolehkan
perempuan di parlemen dengan pengecualian kepemimpinan pada
tugas seorang presiden karena kepemimpinan negara mencakup
keseluruhan umat muslimin di sebuah negara sebagaimana tidak
bolehnya kepempinan shalat hanya untuk seorang laki-laki. Dan secara
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
20 | P r o l o g
umum, ‘Ali< Jum‘ah dan al-Qara>d}a>wi< sama-sama menjunjung tinggi
hak-hak perempuan diranah publik. Sebagaimana keduanya dikenal
sebagai ulama moderat, pendapat-pendapat yang dikeluarkan keduanya
tidak hanya terikat pada pendapat mazhab tertentu saja namun juga
berpegang pada metode perbandingan mazhab-mazhab terdahulu. Juga
masyhur, keduanya merupakan pendukung kuat golongan tradisional
dan itu dilihat rujukan dari kitab-kitab tura>th yang amat sangat kuat
dalam menentukan fatwa-fatwa. Dalam metode berfatwapun,
pendapat-pendapat yang ditawarkan oleh al-Qara>d}a>wi< pun memliki
kemiripan dibeberapa aspek pendekatan mazhab dengan ‘Ali< Jum‘ah.
Terutama pendapat mazhab digunakan mengikut situasi dan
bergantung kepada maslahat masyarakat.
Distingsi yang menonjol keduanya adalah pengaruh keadaan
sosio-politik yang membentuk pendapat-pendapat yang dikeluarkan
keduanya. Tentu sosio-politik dapat menentukkan peranan yang
penting dalam perubahan hukum. Bahwa al-Qara>d}a>wi< banyak sikap
intelektual dan pemikiran-pemikirannya dipengaruhi oleh H{asan al-
Banna> yang merupakan tokoh pendiri organisasi transnasional Islam
sekaligus partai politik di Mesir yang bernama ‚Ikhwa>n al-Muslimi<n‛.
al-Qara>d}a>wi< meninggalkan Mesir tahun 1961 menuju Qatar. Di Qatar,
al-Qara>d}a>wi< lebih leluasa mengeksplor pemikiran-pemikirannya.
Sebagai salah seorang pengikut Jama’ah Ikhwānal-Muslimi>n, Ia
memiliki aktivitas besar dalam penyebaran dakwah jamaah ini di
Mesir pada saat dia berada di Mesir, dan juga di luar Mesir, khususnya
ketika ia berada di Qatar. Di saat itu, al-Qara>d}a>wi< mempunyai
aktifitas yang besar dan pengaruh yang tidak dapat ditutup-tutupi
terhadap masyarakat di sana. Sedangkan ‘Ali< Jum‘ah hampir setiap
pendapat yang ditelurkan dari pemikirannya keseluruhannya terbentuk
dari adat susasana di Mesir. Selain itu pula, sebelum menjabat sebagai
Grand Mufti republik Arab Mesir hampir setiap umurnya
didedikasikan untuk kelembagaan Al-Azhar baik itu di tingkat
pendidikan formal maupun non-formal juga jabatan di kelembagaan
Al-Azhar.
Bagian ketiga, penelitian terdahulu yang memfokuskan
ketokohan ‘Ali< Jum‘ah dan karyanya sebagai objek kajian dapat
diidentifikasi antara lain:
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
21 | P r o l o g
Ulya Hikmah Sitorus Pane dalam Tesis Studi Analisis Fatwa
‘Ali< Jum‘ah Tentang Nika>h Urfi<’ dalam Kita>b al-Kalim al-T{ayib
Fata>wa> As}riyah44
. Penelitian ini lebih fokus menganalisa fatwa ‘Ali<
Jum‘ah tentang nikah ‘urfi < dalam kita>b al-Kalim al-Ṭayyib Fatāwā
Aṣriyah. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif,
dan jenis penelitian kepustakaan (library research). Secara ringkas,
peneliti merangkum dalam penelitian diantaranya: Pertama, bahwa
pengertian nika>h‘urfi < sebagaimana dalam penelitian ini, yaitu nikah
yang terpenuhi semua rukun dan syarat, akan tetapi tidak tercatat
dalam lembaga pencatatan nikah dan pernikahan ini sah. Pada
realitanya, nika>h ‘urfi< sudah dikenal dalam Islam sebelum adanya
pencatatan secara resmi seperti pada masa sekarang ini, sedangkan
pencatatan bukanlah rukun dan syarat dalam akad pernikahan. Kedua,
fatwa ‘Ali< Jum‘ah menyatakan bahwa nika>h ‘urfi< merupakan nikah
yang lengkap syarat dan rukunnya, nikah ini sah dan telah dilegalisasi
oleh lembaga fatwa Mesir yaitu Dār al-Ifta>’ al-Miṣriyah, melalui fatwa
muftinya ‘Ali< Jum‘ah. Latar belakang lahirnya fatwa ini karena
maraknya praktik nika>h ‘urfi< yang terjadi di tengah masyarakat
disebabkan mahalnya biaya pernikahan, maka dengan adanya fatwa
pernikahan menjadi mudah dan tidak mendapatkan tantangan baik
sanksi pemerintah maupun sanksi sosial. Ketiga, para ulama berbeda
pandangan tentang hukum nika>h ‘urfi<, dalam hal ini ulama klasik
tentunya membolehkan nika>h ‘urfi<, karena masalah pencatatan tidak
ada di zaman sebelumnya, sementara menurut sebagian ulama
kontemporer terdapat perbedaan pendapat, sebagian menghalalkan dan
sebagian lagi mengharamkan dengan melihat kondisi yang berkembang
saat ini.
Wan Mohd Khairul Firdaus dalam Metode Fatwa ‘Ali< Jum‘ah
dalam Kita>b al-Kalim al-T{ayib Fata>wa> As}riyah.45
Penelitian ini lebih
44
Ulya Hikmah Sitorus Pane, Studi Analisis Fatwa ‘Ali< Jum‘ah Tentang Nikah Urfi<’ dalam kita>b al-Kalim al-T{ayib Fata>wa> As}riyah, Tesis
Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Medan Sumatera Utara
(UINSU), Medan, 2016. 45
Wan Mohd Khairul Firdaus, Metode Fatwa ‘Ali< Jum‘ah Al-Kalim Al-Thayib Fatawa Ashriyah. Disertasi dari Universitas Malaya Kuala Lumpur,
2011.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
22 | P r o l o g
fokus pada mekanisme dan langkah-langkah sebelum mengeluarkan
fatwa oleh ‘Ali< Jum‘ah dalam karya kumpulan fatwa-fatwa yaitu Al-
Kalim al-T{ayib Fata>wa> As}riyah. Dalam penelelitian ini Fatwa dibatasi
hanya dalam bidang ibadah dan nikah. Menurut penulis, terdapat
pelbagai penetapan metode berfatwa pada masa kini. Pemilihan ini
haruslah ada dasar kesesuaian metode ini untuk dipraktikkan pada
masa kini. Selain itu, keselarasan ini juga untuk dijadikan landasan
kepada para mufti atau institusi fatwa di seluruh dunia dalam
menyelusuri berbagai-bagai persoalan dan juga satu asas dalam
menjaga kemaslahatan ummah. Walaupun fatwa bukanlah suatu
kewajiban untuk diikuti, namun penerapan metode tersebut seharusnya
dititik beratkan demi mendapatkan hukum yang bersesuaian suasana
kehidupan masyarakat Islam pada hari ini.
Fajar dalam Metode Ijtihad ‘Ali< Jum‘ah dalam Masalah-Masalah
Mua>mala>t Ma>liyah Mua>sh}irah.46
Dalam penelitian ini, penulis
membatasi kasus pada problematika transaksi keuangan kontemporer
yang mengalami perkembangan pesat seiring perkembangan zaman.
Dalam penelitian ini penulis menyajikan tiga komponen pokok
diantaranya pemikiran ‘Ali< Jum'ah tentang transaksi keuangan
kontemporer, metode ijtihad yang digunakan dalam menentukan
hukum serta pandangan umum ‘Ali< Jum'ah terkait ijtihad.
Muhammad Zakir dalam Ijtihad ‘Ali< Jum‘ah Masalah-Masalah
Kontemporer dalam Al-Kalim al-T{ayib Fata>wa> As}riyah.47
Penelitian
ini difokus pada satu buku yang didalamnya memuat mengenai fatwa-
fatwa ‘Ali< Jum‘ah yaitu Kita>b al-Kalim al-T{ayib Fata>wa> As}riyah.
Penelitian dibatasi pada empat kasus yaitu khitan banat, perempuan
pergi haji tanpa mahram, keluarga berencana dan pengembalian
selaput dara. Hasil penelitian ini dapat dapat disimpulkan bahwa
Metode ijtihad yang ditetapkan oleh ‘Ali< Jum‘ah dalam menjawab
permasalahan kekinian adalah pertama ia mencoba melihat metode-
46
Fajar dalam Metode Ijtihad ‘Ali< Jum‘ah dalam Masalah-Masalah
Mua>mala>t Ma>liyah Mua>sh}irah. Tesis dari program pascasarjana Universitas
Islam Sunan Kalijaga, 2019. 47
Muhammad Zakir, Ijtihad Ali> Jum'ah Masalah-Masalah Kontemporer
dalam Al-Kalim al-T{ayib Fata>wa> As}riyah, Tesis dari pascasarjana IAIN Imam
Bonjol Padang, 2014.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
23 | P r o l o g
metode ijtihad yang telah dikembangkan oleh ulama klasik dalam
literatur-literatur yang begitu banyak. Setelah itu Ia melakukan
penyeleksian dan memilih pendapat mana yang terkuat dan cocok
untuk zaman sekarang ini. Kedua apabila tidak terdapat dalam
pembahasan ulama-ulama terdahulu ia melakukan ijtiha>d bi al-ra’yi. Adapun distingsi kajian penelitian-penelitian terdahulu yang
peneliti sebutkan bagian ketiga dengan penelitian ini antara lain
sebagai berikut: Pertama, peneliti ingin memberikan pemahaman
komprehensif tentang metode istinba>t} hukum yang digunakan oleh
‘Ali< Jum‘ah dalam memahami hukum. Sedangkan teridentifikasi
beberapa penelitian diatas kurang komprehensif dalam membahas
metode istinba>t yang digunakan oleh ‘Ali< Jum‘ah. Kedua, peneliti
ingin melihat relevansi dari pemahaman hukum yang diungkapkan oleh
‘Ali< Jum‘ah dengan realita saat ini berkenaan dengan wacana gender
kontemporer. Ketiga, penelitian ini menggunakan lebih dari satu karya
‘Ali< Jum‘ah sebagai sumber utama, sementara penelitian terdahulu
yang peneliti sebutkan diatas hanya terfokus pada satu karya saja dan
kesemuanya hanya menggunakan Al-Kallim al-T{ayib Fata>wa> As}riyah.
Hal ini dimaksudkan juga untuk mengetahui lebih jauh konsistensi ‘Ali<
Jum‘ah dalam tiap karyanya, baik mengenai metode yang
digunakannya maupun mazhab yang dianutnya. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif juga jenis
penelitian ini library research. Sedangkan metode yang digunakan
peneliti yaitu deksriptif-analitik.48
Deskriptif karena merupakan
pemaparan pemikiran hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ketika berhadapan
dengan realitas sosial yang selalu berkembang dan ketika menjawab
pertanyaan-pertanyaan dari masyarakat akan suatu kasus hukum.
Sedangkan analitis, dibutuhkan untuk mengetahui sejauh mana
kevalidan, keabsahan serta kesesuaian pemikirannya itu dengan situasi
48
Metode deskriptif sebagaimana diketahui, dirancang untuk
mengumpulkan informasi tentang keadaan-keadaan nyata sekarang. Dapat
diartikan juga sebagai kegiatan yang meliputi pengumpulan data dalam
rangka menguji hipotesis atau menjawab pertanyaanyang menyangkut
keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari pokok suatu penelitian. Lihat:
Consuelo G. Sevilla et.al., terj. Alimuddin Tuwu, Pengantar Metode Penelitian (Jakarta: UI Press, 2006), 71.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
24 | P r o l o g
dan masalah yang sedang berkembang. Selain itu, metode dalam
penelitian ini juga menggunakan interpretatif 49, yakni menyelami
pemikiran seorang tokoh yang tertuang dalam karya-karyanya guna
menangkap nuansa makna dan pengertian yang dimaksud hingga
tercapai suatu pemahaman yang penulis komprehensif.
Sedangkan pendekatan yang diterapkan ialah pendekatan
gender, pendekatan usu>l fiqh serta pendekatan sosiologis. Pendekatan
kesetaraan gender yang digunakan dalam kajian penelitian ini
sebagaimana digunakan oleh para feminis muslim dan ilmu sosial
selama ini sebagaimana pada umumnya, yaitu teori feminis yang
menjelaskan bahwa semua laki-laki baik perempuan diciptakan
seimbang dan semestinya tidak terjadi penindasan antara satu dengan
lainnya. Pendekatan usu>l al-fiqh digunakan karena persoalan-persoalan
yang dikaji dalam penelitian ini, disamping permasalahan perempuan
juga termasuk persoalan hukum Islam yang perlu dijabarkan dengan
metode istinba>t} hukum. Pendekatan sosiologis digunakan untuk
melihat konteks sosial dan budaya ketika diformulasikan. Karena
bagaimanapun pemikiran adalah hasil dialektika dari antara seseorang
dengan konteks sosial dan objek yang diamati.
Sesuai dengan obyek penelitian, pada dasarnya studi ini
merupakan jenis kajian kepustakaan (library research) yaitu suatu
metode yang dilakukan dengan mengumpulkan data dari buku-buku,
ensiklopedi, majalah dan lain-lain, yang masih ada hubungan erat
dengan tema yang dibahas. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti ini
memerlukan dua data yaitu data primer dan data sekunder.
Adapun sumber primer atau obyek utama dalam penelitian ini
adalah karya ‘Ali< Jum‘ah sendiri terutama yang berkaitan dengan
perempuan kontemporer, diantaranya: Q}ada>ya> al-Mar'ah Fi< Fiqh al-Isla>mi>, Al-Mar'ah Fi< al-Had}arah Al-Isla>miyah; Bayna Nusūs al-Shar‘i> wa Turāth al-Fiqh wa al-Wāqiʻ al-Maʻish, Fata>wa> Al-Mar’ah Al-Muslimah wa Rud<d ‘Ala< Shubha>t Hawla Q{ad}aya> al-Mar’ah, Fata>wa> Al-Nisa>, Al-Mar'ah Ba>ina Insha>f al-Islam wa Shubha>t Al-Akhar. Sedangkan data sekunder yang peneliti gunakan ialah seputar analisis
terhadap pemikiran hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah maupun yang berkaitan
49
Sudarto, Metodologi Penelitian filsafat (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1996), 42.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
25 | P r o l o g
dengan pembaharuan hukum Islam secara umum maupun tulisan ulama
dan penulis lainnya.
Sebagai suatu penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif,
untuk dapat menganalisis dan memberikan gambaran atas pemikiran
hukum ‘Ali< Jum‘ah, maka peneliti melakukan pengumpulan data
dengan analisis isi (content analysis)50
dari sumber primer dan
sekunder.
Selain itu, metode ini juga dipadukan dengan studi
dokumentasi51
yang merupakan metode pengumpulan data yang tidak
langsung ditujukan kepada subjek penelitian. Lebih jelasnya,
pengumpulan data ini dengan mengumpulkan literatur pribadi maupun
resmi berupa bahan-bahan pustaka yang koheren dengan objek
pembahasan.
Dalam menganalis data, metode yang yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teori Miles dan Huberman. Yaitu data collection
(pengumpulan data), lalu dilanjutkan dengan data reduction (mereduksi data) kemudian data displaying (penyajian data) dan
diakhiri dengan conclusion (kesimpulan).52
Kepenulisan buku ini akan ditulis menjadi 5 bagian, dengan
perincian sebagai berikut:
Bagian satu, berupa prolog, yang merupakan kerangka dasar
dalam penelitian ini, terdiri dari; latar belakang, identifikasi,
pembatasan dan perumusan masalah. Selain itu juga memuat
didalamnya tujuan dan manfaat penelitian, penelitian terdahulu yang
50
Analisis isi (content analysis) asal mulanya digunakan dalam ilmu
sosiologi dan politik. Seiring dengan perkembangannya, metode ini dapat
diterapkan untuk menganalisis isi teks apapun, termasuk dokumen-dokumen
hukum semisal catatan undang-undang, peraturan, metode hukum dan
pengambilan keputusan. Lihat: Mark A. H. dan Ronald F. Wright.
‚Systematic Content Analysis of Judicial Opinions,‛California Law Review,
vol. 96, no. I (Feb. 2008), 67, diakses pada 3 Januari 2019. 51
Penelitian kualitatif memiliki beberapa metode pengumpulan data,
diantaranya metode wawancara, documenter, observasi, bahan visual, dan
penelusuran online. Lihat H. M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif (Jakarta: Kencana, 2012), 110-130.
52Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif dan R & D
(Bandung: Alfabeta, 2012), 247.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
26 | P r o l o g
relevan, metodologi penelitian, dan diakhiri dengan sistematika
pembahasan. Bagian satu ini merupakan bentuk kerangka pikir dan
kerangka kerja yang akan dilaksanakan dalam menyelesaikan
penelitian ini.
Bagian dua, membahas tentang prinsip kesetaraan gender dan
hukum Islam yang mencakup: pengertian gender, gender perspektif
historis, gender dalam epistemologi hukum Islam serta wacana gender
dan otoritas pemikiran agama sebagai studi komparatif tokoh
tradisionalis dan kontekstualis.
Bagian tiga, pada bagian ini peneliti menjabarkan tentang sketsa
hidup ‘Ali< Jum‘ah yang mencakup biografi ‘Ali< Jum‘ah, yang dimulai
dari latar belakang keluarga, pendidikan dasar hingga pendidikan
tinggi serta aktifitasnya. Begitupula karya-karya yang pernah ditulis
olehnya serta kontribusi pemikirannya terhadap hukum Islam baik
berupa bentuk karya, fatwa, kelembagaan dan lainnnya. Disamping itu,
dalam bagian ini dijelaskan pula interferensi kondisi sosio-politik serta
interferensi intelektual ‘Ali< Jum‘ah yang melatarbelakangi
pemikirannya. Dan hal tersebut dijabarkan kembali dalam karakteristik
pemikiran hukum Islam serta posisi dan distingsi ‘Ali< Jum‘ah
dibanding pemikir lainnya.
Bagian empat, sebagaimana pembahasan pada bagian
sebelumnya adalah karakteristik pemikiran hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah
yang terdiri dari ijtihad, fatwa serta respon realita sosial kontemporer.
Pada pembahasan bagian ini penulis lebih lebih lanjut mendiskusikan
penerapan teori yang bertujuan untuk melihat penerapan pemikiran
hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah dalam wacana kesetaraan gender yang
meliputi analisis metodologi istinba>t} hukumnya. Disamping itu,
pembahasan dalam bagian ini bertujuan untuk melihat relevansi
pemikiran ‘Ali< Jum‘ah yang telah didiskusikan pada sebelumnya dalam
merespon permasalahan wacana gender yang penulis batasi ekslusifitas
h{ija>b (cadar), khita>n perempuan, kepemimpinan perempuan (hak &
kontestasi perempuan dalam politik), khita>n perempuan, konsep
keadilan 2:1 dalam pembagian warisan dan kepemimpinan perempuan
dalam shalat.
Bagian lima, berupa epilog yang merupakan akhir dari
pembahasan penelitian ini sekaligus penutup yang berisikan
kesimpulan dari temuan-temuan dalam penelitian ini.
27 |Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
BAGIAN DUA
PRINSIP KESETARAAN GENDER DAN HUKUM ISLAM -----------------------------
Diskursus gender merupakan hubungan timbal balik antara satu
pasangan dengan pasangan lainnya, termasuk suami istri. Laki-laki
(suami) dan perempuan (istri) menjalankan fungsi dan perannya
masing-masing. Laki-laki (suami) menjalankan perannya di luar
rumah, sementara perempuan (istri) menjalankan peran domestiknya
dalam rumah. Suami berhak menjadi pemimpin dalam rumah tangga,
sementara istri berada di bawah kepemimpinan suami. Suami
bertanggungajwab mencari nafkah, sementara istri tidak dibebankan
mencari nafkah. Hal ini menjadi perdebatan dikalangan umat Islam
baik dikalangan ulama beraliran tradisionalis sebagai kelompok yang
pro, maupun dikalangan cendekiawan beraliran kontekstualis –yang
selanjutnya penulis sebut diantaranya feminis muslim- sebagai
kelompok yang kontra. Karena itu, pada bab ini akan dipaparkan
tentang diskursus gender dari berbagai perspektif yang meliputi
pembahasan mengenai pengertian gender dan perdebatan argumen
terkait wacana kesetaraan gender. Pembahasan terkait diskursus ini
dibutuhkan untuk memberikan gambaran secara komprehensif tentang
tema gender yang menjadi obyek kajian. Pembahasan ini berperan
sebagai pengantar yang menguatkan pandangan bahwa hukum Islam –
yang menjadi kajian peneliti- tidak hanya didapatkan dengan bertumpu
pada petunjuk tekstual an sich. Di samping otoritas teks, konteks turut
serta memainkan peran yang signifikan dalam menegosiasikan makna.
A. Diskursus Gender dan Feminisme
1. Pengertian Gender
Secara fitrah dan tabiat manusia terdapat perbedaan yang
signifikan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sosial baik
dari segi biologis maupun non biologis. Perbedaan ini melahirkan
pemisahan fungsi dan tanggungjawab antara laki-laki dan
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
28 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
perempuan. Perbedaan inilah yang sering disebut sebagai gender.1
Secara etimologi gender berasal dari bahasa inggris yang berarti jenis
kelamin2. Sedangkan secara terminologi gender yaitu suatu konsep
kultural yang serupa membuat perbedaan dalam hal peran, perilaku,
mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan
yang berkembang dalam masyarakat.3
Masyarakat pada umumnya mengidentifikasi gender dengan
jenis kelamin (seks). Karena ide gender tidak dapat dipisahkan dengan
mudah dari ide tentang jenis kelamin.4 Dalam hal ini, kaum feminis
menggugat pernyataan tersebut. Menurut analisis kaum feminis5,
1Rusdi Zubeir, Gender Dalam Perspektif Islam dalam Jurnal An-Nisa',
Vol. 7, No. 2, (Desember 2012), 103. 2Jhon M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta:
Gramedia, 1993), 265. 3Helen Tierney, (Ed.), Women’s Studies Encyclopedia, (New York:
Green World Press, tt), 153. Lihat: Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender; Perspektif Al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 1999), 79.
4Julia Cleves Mosse, Gender & Pembangunan, (Yogyakarta: Rifka
Annisa Women’s Crisis Centre Pustaka, 1996), 2. 5Perlu dicatat, feminis adalah orangnya, sedangkan feminisme adalah
fahamnya. Gerakan feminisme atau sering juga disebut ruh gerakan wanita
adalah sebuah gerakan sosial dan politik yang terdiri dari sebagian besar
wanita yang memperjuangkan keadilan gender. Demikianlah definisi yang
dikemukakan Sonia E. Alvarez dalam bukunya Engendering Democracy in Brazil: Women’s Movements in Transitions Politics. Lihat: Yanti Muchtar,
‚Gerakan Perempuan Indonesia dan Politik Gender Orde Baru‛, dalam Jurnal
Perempuan Nomor 14, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan), 8. Menurut
Katherine Young, feminisme tidak hanya sekedar sebuah kritik terhadap
sistem patriarki, tetapi juga merupakan pengakuan positif atas kebutuhan
yang sudah terpola sejak dulu dan sebagai masukan bagi kaum perempuan
sebagai sebuah kelompok, dan pada kenyataannya kaum perempuan adalah
sebuah kelompok yang dapat menunjukkan jati dirinya sendiri; yang mampu
berperan dalam lingkungan masyarakat, seperti: pekerjaan, pendidikan dan
kepemimpinan, serta memiliki kebebasan untuk memutuskan pola hidup
mereka sendiri. Garis dasar feminisme ini adalah fondasi bagi solidaritas
perempuan sebagai kelompok. Kaum feminis telah membentuk sebuah partai
politik bersama kelompok-kelompok lain yang tersubordinasikan.5 Lihat:
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
29 | Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
bahwa ketidakadilan gender tersebut muncul karena adanya
kesalahpahaman terhadap konsep gender yang disamakan dengan
konsep seks walaupun gender dan seks secara bahasa memang
mempunyai arti makna jenis kelamin.6
Ann Oakley seorang sosiolog berasal dari Inggris ialah orang
pertama yang memberikan perbedaan istilah seks dan gender.7
Menurutnya, gender adalah perbedaan yang bukan biologis dan bukan
kodrat tuhan. Gender merupakan perbedaan perilaku antara laki-laki
dan perempuan yang diciptakan baik oleh kaum laki-laki atau
perempuan itu sendiri melalui proses sosial dan kultural yang cukup
panjang sehingga melembaga dalam masyarakat.8 Hal senada juga
diungkapkan Hilary M. Lips, mengartikan gender sebagai harapan-
harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan.9 Begitupula Linda
L. Linsey, menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan
seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk dalam
bidang kajian gender.10
Lebih dari sekedar perbedaan laki-laki dan
perempuan dilihat dari konstruksi sosial-budaya, Elaine Showalter
menekankan gender sebagai konsep analisis yang dapat digunakan
untuk menjelaskan sesuatu.11
Menurut Showalter, wacana gender
memang baru mulai ramai pada awal tahun 1977, ketika kelompok
feminis di London tidak lagi memakai isu-isu lama seperti patriarchal atau sexist, tetapi menggantinya dengan wacana gender.
Fadlan Al-Hanif "Islam, Feminisme dan Konsep Kesetaraan Gender Dalam
Al-Qur'an‛ dalam Jurnal Karsa, Vol. 19. No. 2, (2011), 108. 6Kamla Bashin dan Nighat Said Khan, Persoalan Pokok Mengenai
Feminisme Dan Relevansinya (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1995),
5-6. 7Ratna Saptari, Briggte Holzner, Perempuan Kerja dan perubahan
Soial; Sebuah Pengantar Studi Perempuan (Jakarta: Kalyana Mitra, 1997), 89. 8Ann Oakley, Sex, Gender and Society (New York: Yale University
Press, 1972), 2. 9Hilary M. Lips, Sex & Gender; An Introduction (California: My Field
Publsihing Company, 1993), 4. 10
Linda L. Linsey, Gender Roles a Sociological Perspective, (New
Jersey: Prentice Hall, 1990), 2. 11
Elaine Showalter, (ed.), Speaking of Gender, (New York & London:
Routledge, 1989), 3.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
30 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
Lebih rinci mengenai klasifikasi gender dan seks, Siti Musdah
Mulia mengatakan bahwa jenis kelamin laki-laki ditandai dengan
adanya penis, testis, dan sperma, sedangkan perempuan mempunyai
vagina, payudara, ovum, dan rahim.12
Mansour Faqih menambahkan
alat-alat tersebut secara biologis melekat pada jenis perempuan dan
laki-laki selamanya, secara biologis alat tersebut tidak dapat ditukar
dan secara permanen tidak dapat berubah. Karena perbedaan tersebut
bersifat kodrati, atau pemberian tuhan.13
Dengan demikian dalam proses pertumbuhan seorang laki-laki
atau perempuan lebih dominan digunakan istilah gender dibanding
daripada seks. Adapun istilah seks pada umumnya digunakan pada
persoalan reproduksi dan aktivitas seksual. Untuk lebih jelas dapat
dilihat tabel dibawah:14
Tabel Perbedaan Seks dan Gender
No Karakteristik Seks Gender
1 Sumber Pembela Ciptaan Tuhan Manusia
(Masyarakat)
2 Unsur Pembela Biologis Budaya
3 Sifat Kodrat Harkat, Martabat
dan Dapat
Dipertukar
4 Dampak Terciptanya nila-
nilai; Kesempurnaan,
kenikmatan,
kedamaian, dll.
Sehingga
Terciptanya norma-
norma atau
ketentuan tentang
pantas atau tidak
tidak pantas
12
Siti Musdah Mulia, Muslimah Sejati; Menempuh Jalan Islami Meraih Ridha Ilahi (Bandung: Marja, 2011), 65.
13Mansour Fakih, Analisa Gender dan Transformasi Sosial
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 8. 14
Trysakti Handayani dan Sugiarti, Konsep dan Teknik Penelitian Gender (Yogyakarta: UMM Press, 2002), 6.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
31 | Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
menguntungkan
kedua belah pihak
5 Keberlakuan Sepanjang masa dan
tidak dapat berubah
Dapat Berubah
Analisis gender sebagaimana teori sosial lainnya seperti analisis
kelas, analisis kultural dan analisis diskursus adalah analisis yang
mempertanyakan ketidakadilan sosial dari aspek hubungan antara jenis
kelamin. Analisis yang menjadi alat bagi gerakan feminisme sebagai
sebuah teori tugas utama analisis gender adalah member makna,
konsepsi, ideologi dan praktik hubungan antara kaum laki-laki dan
perempuan serta implikasinya terhadap kehidupan sosial yang lebih
luas (sosial, ekonomi, politik, kultural) yang tidak dilihat oleh teori
ataupun analisis sosial lainnya. Dengan kata lain keberadaan analisis
gender merupakan kacamata baru untuk menambah dan melengkapi
analisis sosial lainnya yang telah ada dan bukan menggantikannya.15
Dari penjelasan mengenai diskursus gender sebagaimana
dipaparkan diatas, dapat disimpulkan bahwa makna gender sangat
bervariasi dan para tokoh feminim sepakat dalam memberikan definisi
tentang seks, yakni perbedaan seks adalah perbedaan atas dasar ciri-
ciri biologis dari laki-laki dan perempuan, terutama yang menyangkut
pro-kreasi dan merupakan kodrat. Sedangkan gender dapat
disimpulkan mengutip pernyataan Nasarudin Umar16
merupakan suatu
konsep yang digunkakan untuk mengidentifikasi perbedaan dalam
peran, perilaku, dan lain sebagainya antara laki-laki dan perempuan
15
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), xii-xiii.
16Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender; Perspektif Al-Qur’an
(Jakarta: Paramadina, 1999), 35. Menurutnya, perbedaan laki-laki dan
perempuan sejatinya masih menyimpan sejumlah, baik dari segi substansi
kejadian maupun peran yang diemban dalam mayarakat. Perbedaan anatomi
biologis antara keduanya cukup jelas. Akan tetapi efek yang timbul akibat
perbedaan itu menimbulkan perdebatan karena ternyata jenis kelamin secara
biologis melahirkan seperangkat konsep budaya. Interpretasi budaya terhadap
perbedaan jenis kelamin inilah yang disebut gender.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
32 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
dilihat dari sosial-budaya yang dapat berubah sesuai perkembangan
zaman.
Lebih lanjut, Nasarudin Umar menegaskan bahwa diskursus
gender merupakan konsep yang melihat peran laki-laki dan perempuan
dan sosial dan budaya, tidak dilihat dari jenis kelaminnya. Gender
merupakan analisis yang digunakan dalam menciptakan posisi setara
antara laki- laki dan perempuan untuk mewujudkan tatanan
masyarakat sosial yang lebih egaliter. Jadi bisa dikategotrikan sebagai
perangkat operasional dalam melakukan measure (pengukuran)
terhadap persoalan laki-laki dan perempuan terutama yang terkait
dengan peran dalam masyarakat yang dikonstruksi oleh masyarakat itu
sendiri. Gender bukan hanya ditujukan kepada perempuan semata,
tetapi juga kepada laki-laki. Hanya saja, yang dianggap mengalami
posisi termarginalkan sekarang adalah pihak perempuan, maka
perempuanlah yang lebih ditonjolkan dalam pembahasan untuk
mengejar kesetaraan gender yang telah diraih oleh laki-laki beberapa
tingkat dalam peran sosial.17
Keadilan gender sudah menjadi keharusan zaman. Setidaknya
upaya itu telah dilakukan melalui berbagai diskursus hampir di semua
belahan dunia. Di Indonesia juga telah diupayakan sejak tahun 1978
hingga sekarang yaitu dengan adanya sebuah institusi pemerintah yang
kini bernama KPP & PA. Di berbagai perguruan tinggi seperti pusat-
pusat kajian perempuan atau kajian gender pun tak ketinggalan.18
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan atau Convention on the Elimination
of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) sejak 22
tahun lalu, melalui Undang-undang No. 7 tahun 1984 (UU No.
7/1984). Dalam perjalanan pelaksanaan CEDAW pemerintah Indonesia
menyadari masih kuatnya diskriminasi terhadap perempuan di segala
17
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender; Perspektif Al-Qur’an, 1.
18Zaitunah Subhban, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan
(Jakarta : el-Kahfi, 2008), 1.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
33 | Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
bidang pembangunan. Disksriminasi ini mengancam pencapaian
keadilan dan kesetaraan gender di Indonesia.19
Pada tahun 2000 Presiden RI, Abdurrahman Wahid,
mengeluarkan Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan (Inpres PUG).
Harapannya pembangunan nasional akan mengintegrasikan perspektif
gender sejak proses perencanaan, penyusunan, pelaksanaan,
pemantauan, hingga evaluasi serta pemanfaatan hasil-hasilnya.20
Dari aspek filosifis, Pancasila sebagai falsafah Negara
merupakan landasan filosofis pentingnya UU KKG, terutama Sila
Kedua Pancasila ‚Kemanusiaan yang adil dan beradab‛ dan Sila
Kelima Pancasila ‚Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia‛.
Dalam Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab terkandung makna
bahwa keadilan belaku bagi setiap manusia.
Di sisi lain, pemerintah Indonesia telah menandatangani
dokumen kesepakatan global tentang Sustainable Development Goals
(SDG) atau istilah resmi pemerintah adalah Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (TPB), yang terdiri dari 17 Tujuan (Goal) dan 169
sasaran (target). Dalam TPB tersebut terdapat satu tujuan yaitu untuk:
mencapai kesetaraan gender serta memberdayakan semua perempuan
dan anak perempuan.21
19
Untuk memperkuat payung hukum Pengarusutamaan Gender, maka
tahun 2006 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
(KPPPA) menyusun draft Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang
Pengarusutamaan Gender. Lihat: Situs resmi Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) di
https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/31/1374/3 diakses pada 22
Januari 2020. 20
Masthuriyah Sa'dan, "Pengarusutamaan Gender Dalam Pendidikan
Pesantren: Kajian Feminisme Islam" dalam jurnal Harkat,. No. 2 Vol. 2
(2018), 97. 21
Riant Nugroho, Gender dan Administrasi Publik; Studi tentang Kualitas Kesetaraan Gender dalam Administrasi Publik Indonesia Pasca Reformasi 1998-2002, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 38.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
34 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
Tujuan 5 SDG tentang mencapai kesetaraan gender serta
memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan, memiliki 5
target yaitu:22
- Mengakhiri segala bentuk diskriminasi
- Menghapuskan segala bentuk kekerasan
- Menghapuskan semua praktek-praktek yang membahayakan
- Menyadari dan menghargai pelayanan dan pekerjaan
- Memastikan bahwa semua perempuan dapat berpartisipasi
penuh dalam kehidupan berpolitik, sosial dan ekonomi.
2. Diskursus dan Perkembangan Gerakan Feminisme
Sebagaimana konstruksi gender bersifat sosial-kultural, studi
gender lebih menekankan pada perkembangan aspek maskulinitas dan
feminis seseorang yang merupakan hasil kontsruksi sosial. Secara
tradisional diyakini perbedaan identitas maskulin dan feminin
merupakan suatu bagian yang inherent dalam identitas jenis kelamin
yang kemudian dianggap kodrat. Sehingga perlu dicatat bahwa
diskursus gender tidak semata-mata masalah perbedaan dan
pembedaan antara laki-laki dari perempuan. Lebih jauh dari itu, gender
adalah tentang dominasi dan submisi dalam konteks relasi dan
distribusi kekuasaan.23
Perbedaan inilah yang kerap kali menjadi
menimbulkan perdebatan karena rentan terhadap isu ketertindasan
terhadap perempuan. Seorang feminis, Alison Jaggar dalam bukunya
Gender and Global Justice memberikan penjelasan terhadap
ketertindasan perempuan sebagai berikut:24
1. Perempuan secara histori sebagai kelompok tertindas
22
Lihat: Situs resmi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (KPPPA) di
https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/31/1374/3 diakses pada 22
Januari 2020. 23
Gregory M. Matoesian, Reproducing Rape: Domination Through Talk in The Courtroom, (Chicago: University of Chicago Press, 1993), 13.
Noryamin Aini, ‚Rape and The Problems of Criminological Theories‛ Jurnal
Hukum Islam, Edisi No. 6 Vol. II (Maret, 1995), 8. 24
Gadis Arivia, Feminisme: Sebuah Kata Hati, (Jakarta: Kompas
Media Nusantara, 2006), 4.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
35 | Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
2. Ketertindasan perempuan sangat meluas sampai masyarakat
manapun
3. Ketertindasan adalah bentuk yang paling dalam dan sekaligus
bentuk yang sangat sulit untuk dihilangkan dan dihapuskan
dengan perubahan sosial sebagaimana penghapusan kelas
masyarakat tertentu.
4. Penindasan terhadap perempuan memberikan dampak
kesengsaraan yang sangat dalam dan berat bagi korban baik
secara kualitatif dan kuantitatif walaupun seingkali
kesengsaraan itu tidak tampak karena adanya ketertutupan
baik itu dari pihak pelaku maupun korban.
5. Pemahaman terhadap penindasan perempuan pada dasarnya
memberikan model konseptual untuk dapat memahami bentuk-
bentuk lain penindasan.
Adanya ketidakpihakan pada perempuan diranah publik inilah
kemudian yang menjadi agenda feminis, dimana pusat persoalan yang
menjadi perhatian adalah tuntutan kesetaraan, keadilan dan
penghapusan segala bentuk diskrimniasi terhadap perempuan. Usaha
ini kemudian melahirkan sebuah kesadaran yang khas yaitu kesadaran
feminisme. Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya kelompok
feminis memunculkan beberapa teori seperti teori liberal, teori Marxis-
Sosialis dan teori Radikal yang secara khusus menyoroti kedudukan
perempuan dalam kehidupan masyarakat.25
Feminis berupaya
menggugat kemapanan patriarki dan berbagai bentuk stereotip gender
lainnya yang berkembang luas di masyarakat.26
Menurut Nancy F.
25
Fadlan Al-Hanif "Islam, Feminisme dan Konsep Kesetaraan Gender
Dalam Al-Qur'an‛ dalam Jurnal Karsa, Vol. 19. No. 2, (2011), 106. 26
Seperti halnya Nasaruddin mengkategorikan aliran feminisme
menjadi 3 yaitu diantaranya:
a) Feminisme Liberal, dasar pemikiran kelompok ini adalah semua
laki-laki dan perempuan, diciptakan seimbang dan serasi dan mestinya tidak
terjadi penindasan antara satu dengan lainnya. Secara ontologi keduanya
sama, hak-hak laki-laki dengan sendirinya juga menjadi hak perempuan;
diantara tokoh aliran ini adalah Margaret Fuller (1810-1850), Haried
Martineau (1802-1876) dan Susan Anthony (1820-1906). b) Feminisme
Marxis-Sosialis Aliran ini berupaya menghilangkan struktur kelas dalam
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
36 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
Cott27
ada tiga komponen dalam kajian feminisme. Pertama, tidak ada
perbedaan hak berdasarkan seks yakni menentang hierarkis diantara
jenis kelamin. Kedua, suatu pengakuan dalam masyarakat telah
menjadi konstruksi yang merugikan perempuan. Relasi laki-laki dan
perempuan yang ada sekarang adalah hasil konstruksi sosial, bukan
ditentukan oleh nature (kodrat ilahi). Ketiga, berkaitan dengan
komponen kedua, adanya identitas dan peran gender feminisme
menggugat perbedaan yang mencampuradukkan seks dan gender.
Namun menurut Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan, tidak
mudah untuk merumuskan definisi feminisme oleh dan atau diterapkan
dalam semua waktu dan disemua tempat. Karena feminisme tidak
mendasarkan pada satu grand theory yang tunggal, tetapi lebih
mendasarkan pada realitas kultural dan kenyataan sejarah yang konkrit
dan tingkatan-tingkatan kesadaran, persepsi serta tindakan. Feminisme
pada abad ke-17 dan feminisme pada 1980-an memiliki makna yang
tidak sama. Ia juga dapat diungkapkan secara berbeda-beda di berbagai
masyarakat berdasarkan jenis kelamin dengan melontarkan isu bahwa
perbedaan biologis laki-laki dan perempuan tidak dapat diterima sebagai
dasar superioritas laki-laki diatas perempuan. Ketimpangan keduanya
sesungguhnya lebih disebabkan oleh faktor budaya daripada alam. Aliran ini
menolak anggapan tradisional dan para teolog bahwa status perempuan lebih
rendah daripada laki-laki karena faktor biologis dan latar belakang sejarah.
Aliran ini berkembang di Jerman dan Rusia dengan menampilkan beberpa
tokohnya diantaranya seperti Clara Zetkin (1857-1933) dan Rosa Luxemburg
(1871-1919). c) Feminis Radikal aliran ini menggugat semua term yang
dianggap merugikan perempuan seperti term patriarki yang dinilai merugikan
perempuan karena term ini jelas-jelas menguntungkan laki-laki. Lihat: Valerie
Bryson, Feminist Political Theory: An Introduction, (London: Macmillan,
1992), 140. Caroline Ramazanoglu, Feminism and Contradiction (London:
Routledge, 1989), 12. Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender; Perspektif Al-Qur’an, 35.
27Nunuk P. Muniarti, Getar Gender Perempuan dalam Perspektif
Sosial, Politik, Ekonomi, Hukum dan HAM, (Jakarta: Yayasan Indonesia Tera
IKAPI, 2004) h. 27.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
37 | Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
bagian dunia atau dalam satu negeri, karena diungkapkan perempuan
yang berlainan tingkat pendidikan, kesadaran dan sebagainya.28
Lanjut menurut Kamla dan Nighat, feminisme tetap harus
didefinisikan secara luas dan jelas agar tidak lagi terjadi
kesalahpahaman bahkan ketakutan terhadap feminisme. Dengan
asumsi ini maka keduanya mengajukan definisi yang menurutnya
memiliki pengertian yang lebih luas yaitu suatu kesadaran akan
penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat
ditempat kerja dan dalam keluarga serta tindakan sadar oleh
perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut.29
Mansour Fakih mengatakan bahwa feminisme merupakan
sebuah gerakan perjuangan untuk melakukan transformasi sistem dan
struktur yang tidak adil menuju pada sistem yang lebih adil bagi
perempuan maupun laki-laki. Sebenarnya, hakikat dari gerakan
feminisme ini bukanlah semata-mata memperjuangkan kepentingan
perempuan atau hanya untuk meminimalisir eksploitasi terhadap
perempuan tetapi tujuan feminisme jangka panjang adalah untuk
mewujudkan transformasi sosial kearah terciptanya sistem yang secara
fundamental relatif baru dan lebih baik yang pernah ada sebelumnya.30
Feminisme digunakan sebagai konsep sosial yang digunakan untuk
memahami keadaan yang menempatkan laki-laki lebih dominan dan
superioritas dibanding perempuan. Sebagai ideologi, feminisme adalah
penggabungan doktrin hak-hak yang sama bagi perempuan dan sebuah
ideologi sebagai tujuan transformasi perubahan sosial untuk
meciptakan suatu keadaan yang sama antara laki-laki dan perempuan.31
Jadi gerakan feminisme adalah suatu paham yang
memperjuangkan kebebasan perempuan dari dominasi laki-laki.
Namun secara leksikal pemaknaan feminisme tersebut menjadi keliru
28
Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 40.
29Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan
Kontemporer, 41. 30
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 100.
31Aji Permada,dkk., Islam dan Negosiasi Relasi Gender (Medan:
Perdana Publshing), 97.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
38 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
karena hanya diartikan sebagai sebuah upaya pemberontakkan
perempuan terhadap dominasi laki-laki untuk melawan pranata sosial
dan kodrat. Dengan kata lain, feminisme tidak hanya sebatas sebuah
gerakan akan tetapi lebih dari itu, feminisme adalah sebuah teori
persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam bidang sosial,
ekonomi dan budaya.32
Gerakan feminis mulai muncul ketika masa Stamp Ampf
ditahun 1760 kaum perempuan Amerika terlibat dalam penyebaran
gejolak revolusioner tanpa pandang mereka dari desa atau kota. Pada
tahun 1800 gerakan kesetaraan perempuan mulai berkembang ketika
revolusi sosial dan politik terjadi diberbagai negara. Dalam bidang
pendidikan dan ketenagakerjaan perempuan berangsur sampai tahun
1900. Pada tahun 1970 kampanye tentang hak-hak perempuan semakin
giat dikumandangkan. Pada saat itu sudah banyak kaum perempuan
yang memperoleh pendidikan diperguran tinggi sampai kejenjang
pendidikan tertinggi. Mereka memiliki hak suara dan ikut menduduki
jabatan-jabatan penting dipemerintahan dihampir semua negara yang
mempunyai prosedur pemililhan umum. Kampanye gender sampai pula
ke dunia Islam. Mesir sebagai tempat transformasi sebagai tempat
transformasi eropa merupakan gerbang masuknya kampanye gender
kedunia Islam.33
32
Sugihastuti, Teori dan Apresisasi Sastra (Yogyakarta: Pustaka
belajar, 2002), 140. 33
Gerakan feminis di Barat penyebab utamanya adalah pandangan
meremehkan bahkan membenci perempuan (misogoni), bermacam-macam
anggapan buruk (stereotip) yang dilekatkan kepadanya, serta aneka citra
negatif yang terwujud dalam tata nilai masyarakat, kebudayaan, hukum, dan
politik. Feminisme sebagai filsafat dan gerakan dapat dilacak dalam sejarah
kelahirannya dengan kelahiran Era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh
Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Kata feminisme
diperkenalkan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada
tahun 1837. Feminisme mulai timbul pada abad ke-18 di Eropa, tepatnya di
Perancis yang didorong oleh ideology pencerahan (Aufklarung) yang
menekankan pentingnya peran rasio dalam mencapai kebenaran. Setelah
terjadi revolusi sosial dan politik di Amerika Serikat, perhatian terhadap hak-
hak kaum perempuan mulai mencuat. Gerakan ini pindah ke Amerika dan
berkembang pesat disana sejak publikasi John Stuart Mill, the Subjection of
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
39 | Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
Dalam dunia Islam sendiri, wacana emansipasi wanita terus
digulirkan. Terdapat nama-nama reformis dalam dunia Muslim dinilai
sebagai pelopor pembaharuan mengenai perempuan.34
Diantaranya
sebagaimana menurut Andree Feillard35
ialah Rifa>‘at Ra>fi‘ al-T{ahta>wi<
(1802-1873) seorang pemikir Mesir yang juga diidentifikasi seorang
reformis pertama yang menulis mengenai perempuan dalam bukunya
Takhli@s} al-Ibri@z Fi< Talkhi@s Ba>riz. Dalam bukunya tersebut, al-Taht}a>wi@
menyerukan agar kaum perempuan di dunia Islam secepatnya
diberikan pendidikan sebagai prioritas utama dan diajak berkompromi
Women (1869). Tahun 1882 di Inggris ditetapkan undang-undang yang
menetapkan perempuan berhak memiliki uang yang mereka peroleh.
Feminisme sesungguhnya merupakan sebuah gerakan perempuan yang
bergerak aktif dalam menuntut emansipasi (kesamaan hak) dengan pria dalam
kehidupan sosial.Gerakan feminisme dicanangkan untuk pertama kalinya pada
tahun 1785 oleh Lady Mary Wortley Mantagu dan Marquis de Condorcet di
Middelburg, sebuah kota di Selatan Belanda. Pada kisaran abad 17-21 Masehi,
gerakan ini telah melahirkan tokoh-tokoh feminis yang terkenal seperti
Hillary Rose, Evelyn Fox Keller, Sandra Harding, Donna Haraway dan tokoh-
tokoh feminis lainnya. Diskursus gender dalam agenda feminisme
kontemporer lebih banyak difokuskan pada gerakan dalam memperjuangkan
persamaan hak, partisipasi perempuan dalam dunia kerja, pendidikan maupun
hak reproduksi. Dalam perjalanan sejarah feminisme, Islamlah yang paling
banyak mendapatkan sorotan terkait dengan aturan yang ditetapkan Islam
untuk kaum perempuan. Kadarusman, Agama relasi gender dean feminism,
(Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2005), 21. 34
Sebagaimana dikutip dari Quraish Shihab, pada sekitar awal abad XX
benih perubahan terjadi setelah sekian banyak para cendekiwan Mesir yang
berkunjung dan belajar di Eropa, khususnya Prancis. Dapat dikatakan para
cendekiawan Muslim ini membawa angin perubahan serta pandangan-
pandangan baru yang belum dikenal oleh negara-negara Islam termasuk
Mesir. Sejatinya, hal tersebut ditandai dengan perempuan yang menanggalkan
pakaian tertutup akibat pergaulan mereka dengan perempuan barat khususnya
Perancis yang datang ke Mesir dibawah pimpinan Napoleon (1798-1801),
tetapi ajakan tersebut belum sistematis atas nama ajaran Islam. Quraish
Shihab, Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah, (Jakarta: Lentera Hati, 2004), 113. 35
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan; Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender, Kata Pengantar: Andree Feillard. (Yogyakarta: LKis,
2001), xii.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
40 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
dengan dunia kerja. Kedua, Qa>sim Ami>n, seorang Mesir keturunan
Turki menulis dua buku mengenai pembebasan perempuan yaitu Tahri@r al-Mar’ah dan al-Mar’ah al-Jadi@dah. Qa>sim (1908) meyakini bahwa
suatu bangsa tidak mungkin berkembang tanpa bantuan dari separuh
populasinya yaitu perempuan. Diantara kampanye popular Qa>sim ialah
pelepasan jilbab, meninggalkan poligami yang menurutnya dapat
ditolerir hanya kalau sang istri mandul lalu aktivitas kerja perempuan
dan talak. Kesemuanya dianggap mengandung pandangan baru.36
Reformis ketiga, T{a>hir al-H{add<ad (1935) dapat dikatakan keras
mencoba mendobrak dan menganjurkan reformasi total
keterbelakangan perempuan muslimah Tunisia diantara gagasan al-
Hadda>d harus mendapatkan hak yang sama atas pendidikan, tidak
perlu berjilbab, perempuan mestinya boleh bekerja diluar rumah.
Selain itu, Fatima Mernissi mengungkapkan bahwa
ketidakpatuhan perempuan dianggap begitu menakutkan didunia
muslim karena implikasinya sangat besar. Mereka mengacu pada
bahaya paling ditakuti dalam Islam sebagai suatu psikologi kelompok
individualisme. Masyarakat muslim menolak tuntutan perempuan
untuk mengubah kedudukan mereka. Mayoritas muslim menindas
kecenderungan feminis yang sesungguhnya merupakan sesuatu yang
nyata diseluruh dunia muslim dengan mengutuknya sebgai pengaruh
barat. Ini bukan semata-mata karena masyarakat tersebar takut pada
perempuan melainkan karena takut pada individualisme.
Pemberontakkan kaum dalam situasi sekarang yaitu keterkaitan
integrasi dari tiga fenomena: Tuntutan terhadap perubahan,
terpecahnya masyarakat tradisional dan serangan individualisme Barat
yang kapitalis.37
Menurut Riffat Hassan, diskriminasi dan segala macam bentuk
ketidakadilan gender yang menimpa kaum perempuan dalam
36
Rifa>'ah al-T{aht{a>wi< dan Qa>sim Amin< dianggap sebagai ‚Bapak
reformasi perempuan muslim di Timur Tengah, menentang norma sosial
melalui bukunya yang berjudul ‚The Liberation of Women" Lihat: Philip
Mattar, ed. ‚In Enclyclopedia of the Modern Middle East and North Africa‛
Vol. 2. 2nd ed. (New York: Macmillan Reference USA, 2004). 890-895. 37
Fatima Mernissi dan Riffat Hasan, Equal Before Allah, terj. Tim
LSSPA (Yogyakarta: LSSPA, 2000), 188
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
41 | Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
lingkungan umat Islam berakar dari pemahaman para fuqaha yang
keliru dan bias gender terhadap sumber utama hukum Islam yaitu kitab
suci Al-Qur’an.38
Menanggap hal tersebut, Asghar mengritik kaum
muslim yang cenderung mensakralkan syariah dengan menganggap
bahwa syariah bersifat Ila>hiyah, dan karenanya tidak dapat diubah.
Padahal pada saat ini, ada hal-hal yang tidak sesuai dengan kondisi
zaman, misalnya adanya perbudakan, kesaksian perempuan, poligami,
dan perceraian. Karenanya, menurut Asghar, teori hukum Ila>hiyah ini
tidak lagi dapat dipertahankan.39
Tidak hanya terbatas di negara-negara Timur Tengah tetapi
wacana bias gender juga terus digaungkan para pemikir muslim hampir
diseluruh belahan dunia. Diantaranya juga tokoh-tokoh feminis dari
belahan dunia lainnya seperti Nawa>l Sa’da>wi <, Lati<fah al-Zayya>t dan
Inji< Aflatun dari Mesir, Ali Ashgar Engineer dari India, Riffat Hassan,
Amina Wadud dari Amerika Serikat. Assia Djebar dari Al-Jazair,
Furugh Farrukhzad dari Iran, Huda Namani, Ghadah Samman dan
Hanan Al-Shaykh dari Lebanon, Fawziyah Abu> K}ha>lid dari Saudi
Arabia Wardah Ha>fiz, Mansour Faqih dan Nasarudin Umar dari
Indonesia.40
Sejarah juga mencatat bahwa gerakan feminisme dalam
lingkungan umat Islam juga muncul dalam bentuk pendirian
organisasi-organisasi feminis seperti Egyptian Feminist Union (EFU)
38
Fatima Mernissi dan Riffat Hassan, Equal Before Allah, 39. 39
Ashgar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, Terj. Farid
Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya,
1994, 9. 40
Selain itu, kesadaran ketidakadilan gender digaungkan dalam
berbentuk lainnya seperti karya tulis bentuk puisi, cerita pendek, novel,
artikel maupun kumpulan surat. Sebut saja diantara mereka yang terkenal
ialah Aisyah Taimuriyah, Huda Syarawi, Nabawiyah Musa dan Hifni Nashif
dari Mesir, Zainab Fawwaz dari Lebanon, Rokeyat Sakhwat Hossain dan
Nazar Sajjad Haydar dari India, Raden Ajeng Kartini dari Jawa, Emilie Ruete
dari Zinzibar, Taj al-Salthanah dari Iran dan Fatime Aliye dari Turki. Lebih
lanjut baca: Margot Badron, Feminism dalam John L. Esposito (ed.), The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, (New York: Oxford
University Press, 1995, cet. 2, 19.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
42 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
di Mesir dipimpin oleh Huda Sha‘ra>wi@ (1923) yang memperjuangkan
hak-hak pendidikan, profesi dan politik bagi perempuan, reformasi
hukum keluarga dan regulasi prostitusi, The Turkish Women’s
Federation di Turki dibawah pimpinan Latfie Bekir (1924), The
Association of Revolutionary Women di India oleh Zandukht Shirazi
(1927) dan organisasi-organisasi lainnya.41
3. Gender Perspektif Historis
Berbincang mengenai kontruksi gender, penting untuk melihat
potret historis bagaimana peradaban klasik juga agama-agama pra-
Islam mempersepsikan perempuan. Hal tersebut perlu ditelusuri,
karena dalam wacana kesejarahan\ selalu dipertanyakan antara
kesinambungan dan perubahan. Fakta historis mencatat bahwa banyak
dari bagian sejarah masa lalu yang terus berlanjut bahkan
dilembagakan ulang. Bahkan terdapat perubahan, sisa-sisa dari tradisi,
doktrin dan peradaban lama yang tetap bertahan. Hal yang sama juga
terdapat pada Islam terkait dengan sikap dan perlakuan Islam terhadap
perempuan.42
Islam berperan besar dalam mengangkat harakat dan martabat
perempuan, Al-Qur’an sebagai rujukan prinsip masyarakat Islam,
secara normatif menegaskan konsep kesetaraan status antara laki-laki
dan perempuan.43
Namun dalam kebanyakan literatur ditemukan
bahwa dalam masyarakat pra-Islam kaum perempuan diperlakukan
41
Margot Badron, Feminism dalam John L. Esposito (ed.), The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, (New York: Oxford University
Press, 1995, cet. 2, 20.
42
Noryamin Aini, ‚Gender dalam Diskursus KeIslaman: Relasi Gender
dalam Pandangan Fiqh‛, dalam Jurnal Refleksi, Vol. III, No. 2, (2001), 3.
43
Menurut Ashgar Ali Engineer, konsep kesetaraan mengisyarakatkan
2 hal. Pertama, dalam pengertian umum,berarti penerimaan martabat dua jenis
kelamin dalam ukuran yang setara. Kedua, orang harus mengetahui bahwa
laki-laki dan perempuan mempunyai hak-hak yang setara dalam bidang sosial,
ekonomi dan politik, keduaya harus memiliki hak untuk memilih atau
mengatur harta miliknya tanpa campur tangan yang lain. Ashgar Ali Engineer,
Hak-Hak Perempuan dalam Islam, Terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha
Assegaf, Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya, 1994, 57.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
43 | Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
selayaknya barang dagangan yang hampir tidak mempunyai hak, maka
ajaran Islam secara drastis memperlakukan perempuan sebagai
manusia yang mempunyai hak-hak tertentu sebagaimana layaknya
kaum laki-laki.
Pada masa Yunani Kuno, martabat perempuan begitu amat
rendah. Perempuan dalam kehidupan bangsa Yunani lebih mirip
dengan barang dagangan yang dapat diperjualbelikan. Perempuan tidak
memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan atau sekedar upaya
mencerdaskan diri juga tidak memiliki andil sama sekali dalam
berbagai bidang kehidupan publik.44
Martabat perempuan hanya
dipandang sebagai alat penerus generasi dan semacam pembantu
rumah tangga serta pelepas nafsu seksual lelaki, karena itu perzinaan
sangat merjalela. Hal ini tercermin sebagaimana pendapat Socrates
(470-399 SM) bahwa dua sahabat setia haruslah meminjamkan istrinya
satu sama lain, lalu juga Demosthenes (384-322 SM) berpendapat
bahwa istri hanya berfungsi melahirkan anak, lebih lanjut Aristotales
(384-322 SM) menganggap bahwa perempuan sederajat dengan hamba
sahaya, sedangkan Plato (427-347 SM) menilai bahwa kehormatan
lelaki pada kemampuannya memerintah sedangkan perempuan
menurutnya adalah kemampuannya melakukan pekerjaan-perkerjaan
yang sederhana (hina) sambil terdiam tanpa bicara.45
Tak jauh berbeda dengan Yunani Kuno, bangsa Romawi
menganggap perempuan hanyalah sebagai alat yang dipergunakan
setan untuk menggoda dan merusak hati manusia. Undang-undang
Romawi tidak memberikan sebagian besar hak manusia kepada
perempuan. Laki-laki memiliki kekuasaan mutlak terhadap kaum
perempuan dan boleh menjualnya sebagai budak belian.46
Keadaan
tersebut berlangsung hingga abad ke-6 Masehi. Segala hasil usaha
perempuan menjadi hak milik laki-laki. Pada zaman Kekaisaran
Constantine terjadi sedikit perubahan yaitu dengan diundangkannya
44
Mus}ta}fa> Al-Siba>‘i@, Al-Mar’ah Bai@na Fiqh wa al-Qa>nu>n, (Kairo: Dar
al-Salam, 2010), 13. 45
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan (Jakarta: Lentera Hati,
2005), 102. 46
‘Ali< ‘Abd al-Wa>hid Wa>fi@, Al-Musa>wa> Fi< al-Isla>m (Kairo: Dar al-
Ma’arif, 1983), 11.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
44 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
hak kepemilikan hak kepemilikan terbatas bagi perempuan dengan
catatan bahwa setiap transaksi harus disetujui oleh keluarga ayah atau
suami.47
Walaupun terdapat sedikit perubahan, pada masa Romawi ini
belum menunjukkan tanda-tanda kemajuan. Bahkan cenderung
terpojokkan.
Sama halnya dengan Yunani dan Romawi kuno, peradaban Cina
menganggap perempuan layaknya sumber air racun yang mengalir
merusak kebahagian. Laki-laki berhak mengubur istrinya yang hidup,
dan apabila istrinya mati mereka berhak mendapat warisan dari istri
yang ditinggal. Di India, perempuan tidak berhak hidup jika ditinggal
oleh suaminya. Akan tetapi harus dibakar bersama suaminya yang
mati. Dalam masyarakat Arab pra-Islam sudah menjadi tradisi bahwa
kaum perempuan diperlakukan secara tidak berprikemanusiaan, bagi
mereka perempuan adalah sumber aib, fitnah dan malapetaka komunal.
Akibatnya mereka dihinakan, dilecehkan bahkan dibunuh tanpa
undang-undang yang melindunginya.48
Kalaupun dibiarkan hidup
dibiarkan hiudp, bayi-bayi perempuan ini ditukarkan layaknya sapi dan
kuda. Kaum wanita diperlakukan sebagai objek tidak memiliki hak dan
sering disiksa. Bila suami mereka memperlakukan dengan tidak benar,
tidak ada sesatu apapun yang bisa mereka lakukan. Jika mereka berasal
dari keluarga yang sangat kuat, mereka mungkin beruntung dan
mendapatkan sedikit keuntungan dari keluarga mereka. Adat dan
tradisi tersebut telah tersebar luas ditanah arab pra-Islam. Bahkan Al-
Qur’an menyebutkan bahwa bangsa arab pra-Islam telah terbiasa
menguburkan anak perempuan mereka hidup-hidup.49
Dalam tradisi
arab pra-Islam adalah hal lumrah jika bayi perempuan yang tidak
berdosa dan sangat butuh kasih sayang dikubur hidup-hidup sebagai
refleksi kegusaran khususnya Bani< Asa}d dan Bani< Tami<m.50
47
Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2005),
296. 48
Abu> Sari Muhamad ‘Abd al-Ha>di, Wa A<shiru>hunna Bi al-Ma’ru>f (Kairo: Maktabah al-Turath al-Islami, 1988), 4.
49Qs. al-Nah}l (16): 58 dan Qs. al-Takwi>r (81): 9.
50Hasan Ibra>hi<m Hasan, Ta>ri<kh} al-Isla>mi< Wa al-Dini al-Tha>qa>fi< wa al-
Ijti<ma’i< (Kairo: Maktabah al-Nahd{ah al-Mis{riyah, 1979), 65. Husa>in
Muhammad Yu>su>f mengatakan bahwa seorang perempuan pada masa
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
45 | Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
Pada dasarnya pandangan buruk terhadap perempuan tidak
hanya muncul dalam wacana sosial budaya sebagaimana diatas, tetapi
lebih jauh lagi merembes kedalam wacana ajaran dan norma
keagamaan. Dalam konteks agama Samawi, sejarah tentang kehidupan
dan peran wanita telah tertuang dalam kitab perjanjian lama yang
diyakini sebagai kitab suci bagi kaum Yahudi. Kitab perjanjian lama
menempatkan wanita sebagai sumber utama dari kesalahan. Hal itu
terkisahkan dalam bentuk cerita atau kisah-kisah yang diyakini
kebenarannya. Sebagaimana kisah Hawa51
yang menjadi penyebab
dikeluarkannya Adam dari surga karena telah merayu adam untuk
ikutserta memakan buah khuldi setelah sebelumnya dia terpesona oleh
rayuan iblis.52
Sementara kaum Nasrani dengan perjanjian baru yang diyakini
sebagai kitab suci Nasrani meyakini akan kebenaran posisi wanita
sebagaimana tertera dalam perjanjian lama. Mereka meyakini bahwa
wanita merupakan penyebab utama menjauhnya laki-laki dari tuhan.
Mereka meyakini bahwa satu-satunya jalan menuju tuhan yaitu dengan
menjauhkan diri dari wanita. Mereka meyakini bahwa Isa As yang
jahiliyah dapat diwariskan sebagaimana harta warisan. Apabila suami
meninggal dunia, maka anak yang bukan dari istri yang ditinggalkan (anak
tiri) dapat mewarisi ibu tiri menjadi istri, bahkan boleh juga keluarga
dekatnya yang mewarisi tersebut sebagai istri tanpa mahar (maskawin) atau
menikahinya dengan orang lain, tapi maharnya diambil oleh keluarga dekat
tersebut. Apabila dia ingin membiarkannya, maka dia tidak mempedulikan
dengan status tidak janda dan tidak menikah sampai dia menebus dirinya
sendiri dari harta warisan suaminya yang meninggal atau dibiarkannya sampai
meninggal, lalu dia mewarisi hartanya. Husa>in Muhammad Yu>su>f, Ahda>f al-Usrah al-Isla>m (Kairo: Da>r al-I’tis}am, 1977), 24.
51Menurut ajaran kaum Yahudi bahwa wanita adalah laknat atau
kutukan. Wanita menurut ajaran Yahudi penyebab diturunkan Adam dari
surga ke bumi. Pada kondisi tertentu wanita diperjualbelikan oleh ayahnya,
dan ayah mempunyai hak preogratif dalam menentukkan perkawinan dengan
laki-laki dikehendaki oleh ayahnya. 52
As‘ad al-Sahamra>ni@, al-Mar’ah fi@ al-Ta>ri@kh wa al-Shari@‘ah (Beirut:
Dar al-Nafais, 1989), 43.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
46 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
terbunuh dalam keadaan tersalib diutus kebumi untuk menembus dosa-
dosa adam yang disebabkan Hawa.53
Islam datang menentang ajaran ajaran yang diyakini oleh kaum
Yahudi dan Nasrani yang menghegemoni kaum wanita. Islam
menjawab bahwa peristiwa keluarnya Adam dan \Hawa dari surga
adalah atas tipu daya yang dilakukan oleh iblis semata tanpa mencari
justifikasi kepada Adam dan Hawa. Hal itu dapat dilihat dari bahasa
Al-Qur’an yang sama sekali tidak menyebut Adam atau Hawa,
melainkan dengan menggunakan gaya bahasa umum (baca: d{omi<r huma>).
54
Sebagaimana dipaparkan diatas, harus diakui bahwa Islam hadir
menyejarah dalam konteks masyarakat yang sangat patriakis dan tidak
berpihak pada perempuan. Islam memang secara literal tidak
merombak secara total-formal isu-isu misoginis dalam relasi gender.
Namun semangat nilai-nilai Islam memartabatkan perempuan sangat
tampak jelas. Dalam hal ini Islam memperkenalkan niilai-nilai dan
paradigma baru dalam menyikapi dan memperlakukan perempuan
bahkan cara pandang ini tergolong sangat radikal pada zamannya
untuk menentang hegemoni tradisi dan ideologi pra-Arab Islam yang
melecehkan perempuan.
B. Refleksi Hukum Islam Atas Wacana Gender
Pada dasarnya, Islam memberikan perlindungan kepada
perempuan dengan cara memberikan hak-haknya sebagaimana
diberikannya kepada laki-laki dan menghapus diskriminasi antara laki-
laki dan perempuan dalam memenuhi hak-haknya karena derajat
perempuan sama dengan hak laki-laki disisi Allah SWT kecuali hal-hal
yang bersifat fungsi utama yaitu sesuai dengan kodrat masing-
masing.55
Islam telah berperan dalam mengangkat harkat dan martabat
perempuan, sedangkan dalam masyarakat pra-Islam sebagaimana telah
53
‘Abd al-Muta‘a>li Muhamad Al-Jabari@, al-Mar’ah fi al-Tas}awwur al-Islami@ (Kairo: Maktabah Wahbah, 1994), 159.
54As’ad al-Sahamra>ni@, al-Mar’ah fi@ al-Ta>ri@kh wa al-Shari@‘ah, 103.
55Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemprer, (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2010), 139.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
47 | Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
dipaparkan sebelumnya bahwa kaum perempuan pra-Islam
diperlakukan sebagai ‘barang’ yang hampir tidak pernah mempunyai
hak. Walaupun istilah gender bukan dari istilah dari Islam, namun
masalah gender telah menjadi masalah Islam juga. Alasannya masalah
gender masih banyak dijumpai dalam pemahaman Islam. Bahkan Islam
masih sering dituding sebagai salah satu institusi yang melenggangkan
ketimpangan dan ketidakadilan gender.
Nasaruddin Umar berusaha memberi warna baru melalui
pendekatan analisis etimologi, hermeneutika dan menggunakan sejarah
untuk meneliti banyak kata-kata dalam Al-Qur’an. Menurutnya,
didapati dalam Al-Qur’an tidak ditemukan kata yang persis sepadan
dengan istilah gender. Akan tetapi, jika yang dimaksud gender disini
adalah istilah yang dipergunakan untuk menunjukkan perbedaan peran
antara laki-laki dan perempuan, maka terdapat beberapa istilah dan
ayat-ayat di dalam Al-Qur’an yang dapat dihubungkan dengan istilah
tersebut. Nasaruddin Umar melihat bahwa setiap kata dalam Al-
Qur’an tidak hanya mempunyai makna literal, Ia mencoba
menggunakan pendekatan hermeneutika, dan semantik dalam
mengulas ayat-ayat yang berbicara tentang status dan peran laki-laki
dan perempuan. Didapati kata kunci untuk mengetahuinya ialah istilah
yang sering digunakan untuk menyebut laki-laki dan perempuan,
seperti kata al-rija>l dan al-nisa<, al-zakr dan al-untha>, al-mar’/al-imru
dan al-mar’ah, al-zawj (suami), al-zawjah (istri), al-ab (Ayah), al-umm
(Ibu), kata sifat yag disandarkan pada bentuk muzakkar dan mu’anath,
atau kata ganti (d}ami>r).56
Sebagai contoh oleh Nasaruddin Umar mengulas pada kata al-rija>l dan an-nisa, al-zakr dan al-untha>. Seperti istilah yang umum
untuk laki-laki adalah al-rajul yang terulang sebanyak 57 kali, al-zakr yang terulang sebanyak 15 kali, dan untuk perempuan Al-Qur’an
menggunakan beberapa istilah seperti imra’ah yang terulang sebanyak
26 kali dalam berbagi bentuk, yang masing-masing istilah tersebut
mempunyai penekanan tersendiri.57
56
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an, 173-201
57Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-
Qur’an, 268-290
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
48 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
1. Prinsip Kesetaraan Gender dalam Epistimologi Hukum Islam
Al-Qur’an mengakui adanya perbedaan antara laki-laki dan
perempuan tetapi perbedaan tersebut bukanlah pembedaan yang
menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lainnya. Perbedaan
tersebut dimaksudkan untuk mendukung misi pokok Al-Qur’an yaitu
terciptanya hubungan harmonis yang didasari rasa kasih sayang
dilingkungan keluarga. Hal tersebut merupakan cikal bakal terwujud
komunitas ideal dalam suatu negeri yang damai penuh ampunan tuhan.
Ini semua dapat terwujud manakala ada pola keseimbangan dan
keserasian antara keduanya (laki-laki dan perempuan).58
Kalaupun ada
perbedaan adalah akibat fungsi dan tugas-tugas utama yang
dibebankan kepada masing-masing jenis kelamin sehingga perbedaan
yang ada tidak mengakibatkan yang satu merasa memiliki kelebihan
atas yang lain, melainkan mereka saling melengkapi dan saling bantu
membantu.59
Al-Qur’an sebagai rujukan prinsip masyarakat Islam, secara
normatif menegaskan konsep kesetaraan status antara laki-laki dan
perempuan.60
Juga memperkenalkan konsep relasi gender yang
mengacu pada ayat-ayat Al-Qur’an secara substantif sekaligus menjadi
tujuan umum (maqa>s}id shari<‘ah\). Dalam hubungan antar jenis kelamin
atau prinsip gender dalam Islam ditegaskan dalam Qs. Al-Ah}za>b (33):
35:
58
Badriyah Fayumi dkk, Keadilan dan Kesetaraan Jender Perspektif Islam, (Jakarta: Tim pemberdayaan Perempuan Bidang Agama RI, 2001), 73.
59Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2010), 83. 60
Bagi Ashgar Ali Engineer, konsep kesetaraan mengisyrakatkan 2 hal.
Pertama, dalam pengertian kesetaraan secara umum berarti penerimaan
martabat kedua jenis kelamin dalam ukuran yang setara. Kedua, orang harus
mengetahui bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak-hak yang setara
dalam bidang ekonomi sosial dan politik, dan keduanya harus memiliki atau
mengatur harta miliknya tanpa campur tangan orang lain.keduanya harus
setara dalam tanggung jawab sebagaimana dalam hal kebebasan. Lihat: Ali
Ashgar Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, 57.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
49 | Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
إم ادقين ن ال اهتات والص
ق
اهتين وال
ق
منات وال
ؤم منين وال
ؤم سلمات وال
م سلمين وال
قين تصد
م اشعات وال
خ
اشعين وال
خ
ابرات وال ابرين والص ات والص
ادق والص
ائ ائمين والص ات والصق
تصد م اكرين وال
ات والذ
حافظ
م وال وجهم رم
محافظين ف
مات وال
جرا عظيما وأ
فرة
م مغ هم
هم ل
عد الل
اكرات أ
ثيرا والذ
ه ك
الل
‚Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar‛.
Ayat diatas menunjukkan bahwa status laki-laki dan perempuan
adalah sama dihadapan Allah sebagai hamba yang dibebankan takli>f didunia ini. Selain itu pula, sebagaimana studi yang dilakukan
Nasaruddin Umar terhadap Al-Qur’an menunjukkan adanya kesetaraan
gender. Ia menemukan lima variabel yang mendukung pendapatnya,
yakni: 1) Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba. Hal ini
bisa dilihat misalnya dalam Qs. al-Hujurāt (49): 13 dan al-Nah}l (16):
97; 2) Laki-laki dan perempuan sebagai khalifah di bumi. Hal ini
terlihat dalam Qs. al-Baq}arah (2): 30 dan al-An‘ām (6): 165; 3) Laki-
laki dan perempuan menerima perjanjian primordial seperti terlihat
dalam Qs. al-’A‘rāf (7): 172; 4) Adam dan Hawa terlibat secara aktif
dalam drama kosmis. Kejelasan ini terlihat dalam Qs. al-Baqarah (2):
35 dan 187, Qs. al-’A‘rāf (7): 20, 22, dan 23; dan 5) Laki-laki dan
perempuan berpotensi meraih prestasi seperti yang terlihat dalam Qs.
Āli Imrān (3): 195, Qs. al-Nisā(4): 124, Qs. al-Nahl (16): 97, dan Qs.
al-Mu’min (40): 40.61
61
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an, 248-269. Yūsuf Al-Qarad}āwi> menyimpulkan dari ayat-ayat al-Quran
bahwa wanita memiliki kedudukan, hidup, berakal, dan berpikir seperti pria.
Wanita diberi beban (taklīf) seperti pria. Segala kebaikannya akan dibalas,
baik di dunia maupun di akhirat, seperti halnya pria. Seruan al-Quran tertuju
kepada pria dan wanita. Meskipun demikian secara biologis (kodrati) wanita
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
50 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
Selanjutnya prinsip kesetaraan gender dalam tinjauan hadis.
Sebagai sumber kedua hukum Islam, seluruh ajaran hadis nabi SAW
juga ditujukan untuk semua umat Islam baik laki-laki maupun
perempuan. Sebagaimana wasiat nabi terhadap kaum muslimin secara
umum untuk berbuat baik pada perempuan di akhir kehidupannya, dan
hal itu saat pada haji Wada>’62
. Lalu perintah nabi untuk berlemah
lembut pada perempuan karena hal tersbut merupapkan bagian dari
iman pada Allah dan hari kiamat.63
Dan lain sebagainya hadis
berkaitan perintah lemah lembut kepada perempuan.
Beberapa ayat dan hadis diatas menjelaskan bahwa laki-laki dan
perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam
menjalankan peran khalifah dan hamba Allah. Adapun mengenai peran
dan pria tidak semua sama, ada perbedaan di antara keduanya dalam hal-hal
tertentu. Lihat Yūsuf Al-Qarad}āwi>, Khuthāb wa Muhādarāt al-Qarādāwi> ‘an al-Mar’at, Alih bahasa oleh Tiar Anwar Bachtiar dengan judul ‚Qarad}a>wi>
Bicara Soal Wanita‛, Bandung: Arasy, 2003, 90-92. Lihat juga Muhammad
Qutub, Islam the Misunderstood Religion, Alih bahasa oleh Fungky Kusnaedi
Timur dengan judul ‚Islam Agama Pembebas‛, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001), 208-210. يرا62
سـاء خ
ىا بالن واستىصم
ال
أ
Artinya: Ingatlah, berbuat baiklah kepada wanita. Lihat : Al-Tirmi<dhi,
Ja>mi’ Al-Tirmi<dhi>. No. 1163, Muslim dalam S}ah}i>h Muslim, No. 1091.
Bukh{a>ri<, S}ah}i>h Bukha>ri< No. 1091. 63
Hadis yang diriwayatkan Abu> Hurayrah:
من خ ـــئ م
يـــراء ف
ســـاء خ
ـــىا بالن ىصم
ء واست م جـــا
ـــؤ نم
ـــو
خـــر ف
يـــىي
منم بـــام وال
ـــؤ ـــان نم
ـــن مـــن مـــن ن
لق
م ــ
ــئن
ء ف م عــو
، أ
ــل ضــ الأ
ــ
ش عــىء وإن أ ،
ــىا ضــل استىصم
ء ف عــى
أ ــم نــ
تــهم ل
رك
ء وإن هم
ســر
ــهم ك قيمم
يراساء خ
بالن
Artinya: Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, janganlah ia menganggu tetangganya, dan berbuat baiklah kepada wanita. Sebab, mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Jika engkau meluruskannya, maka engkau mematahkannya dan jika engkau biarkan, maka akan tetap bengkok. Oleh karena itu, berbuat baiklah kepada wanita. Lihat: Muslim dalam S}ah}i>h Muslim, No. 60. Bukh{a>ri< dalam S}ah}i>h Bukha>ri< No. 5185.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
51 | Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
sosial perempuan dalam masyarakat tidak ditemukan ayat atau hadis
yang melarang kaum perempuan yang aktif didalamnya.64
Menurut Must{afa> al-Siba>‘I < seorang ahli hukum Islam
mempunyai visi dan misi Islam dalam mengangkat martabat
perempuan. Menurutnya, prinsip dasar dalam dasar ajaran Islam
terkait masalah gender harus dicermamti dengan sinergis.65
1. Islam membawa ajaran korektif dan emansipatoris terhadap
eksistensi diri perempuan dalam kehidupan pribadi dan publik.
Disini Islam meralat tepatnya meluruskan banyak penyimpangan
konsep teologis terdahulu yang menuduh perempuan sebagai
akar dosa primodal pengusiran manusia dari surga.
2. Islam mendudukan perempuan setara dengan laki-laki dalam
masalah substansi dan eksistensi kemanusiaan.
3. Islam sangat menghormati kaum perempuan sebagai anak, istri,
ibu, saudara, kerabat, tetangga dan juga sahabat. Sebagai
kelanjutannya Islam mengharamkan tradisi yang merestui
pembunuhan bayi perempuan.
4. Islam memberikan hak-hak kodrati yng bersifat personal, sosial
politik pada perempuan, mendudukan kewajiban yang setara
bagi kaum laki-laki dan perempuan.
5. Islam mengatur norma relasi martial dengan cara meletakkan
tanggungjawab kewajiban laki-laki dan perempuan, serta hak
masing-masing individual secara adil dan proposional.
6. Islam menentang perkawinan tanpa batas jumlah istri. Dalam
kasus ini, Islam membatasi jumlah istri dalam kasus poligami
dengan syarat dan ketentuan yang berlaku dan dibenarkan
syariat. Poligami adalah pintu darurat yang dikecualikan, hanya
sebatas untuk misi kemanusian kepentingan perempuan.
7. Islam menempatkan perempuan yang belum dewasa dibawah
pengawasan walinya. Namun inti perwalian dan pengawasan
tersebut bukan dalam arti penguasaan dan pemaksaan. Tetapi ia
sebagai wujud tanggungjawab moral sosial orangtua, penjagaan
64
Zaitunah Subhan, Rekonstruksi Pemahaman Jender Dalam Islam: Agenda Sosio-Kultural dan Politik Perempuan, (Jakarta: El-\Kahfi, 2002), ixx.
65Mus}ta}fa> Al-Siba>‘i@, Al-Mar’ah Bai@na Fiqh wa al-Qa>nu>n, (Kairo: Dar
al-Salam, 2010), 25-29.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
52 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
pengasuhan dan kepedulian wali untuk pengembangan potensi
diri dan soial-ekonomi untuk kebaikan anak-anak.
2. Mas}lah}ah dalam Metodologi Hukum Islam
Para ulama sepakat bahwa Al-Qur’an dan hadis menjadi sumber
utama hukum Islam. Berkaitan dengan prinsip kesetaraan gender
tinjauan kedua sumber utama hukum Islam sebagaimana dipaparkan
diatas, keduanya memiliki visi dalam menjunjung prinsip universal
dari pesan moral yang dapat dijadikan prinsip dalam berbagai aspek
kehidupan.
Namun dalam realitanya, dengan perkembangan Islam yang luas
dan melampaui kurun waktu tertentu, konteks permasalahan
senantiasa tumbuh dan tak pernah terhenti, sedangkan nas}s} shara‘ sangat terbatas. Fiqh sebagai hasil ijtiha>d seorang ulama atau mujtahid
dalam istinba>t} hukum dari sumber baik Al-Qur’an maupun hadis
menghasilkan hukum yang berbeda dari satu masa ke masa yang
berbeda, meskipun mengambil dari sumber teks ayat maupun matan
hadis yang sama. Tak terkecuali berkaitan dengan konteks wacana
gender yang selalu berkembang dan selalu menjadi perdebatan. Adanya
relevansi antara teks dan konteks tersebut membawa implikasi bahwa
norma hukum Islam telah mengalami objektivikasi melalui aplikasi
mas}lah}ah ke dalam struktur sosial.
Pada dasarnya syariat Islam merupakan syariat mas}lah}ah.
Norma hukum yang dikandung nas}s} pasti dapat mewujudkan
mas}lah}ah, sehingga tidak ada mas}lah}ah di luar petunjuk al-nass, dan
karena itu tidak ada pertentangan antara \mas}lah}ah dan nas}s}. Karena
itulah, shara‘ memberikan kepada manusia berpikir dengan jalan
hukum yang dapat membantu memcahkan solusi dalam permaslahan.
Salah satu metode yang dikembangkan ulama usu>l al-fiqh dalam
istinba>t hukum dari nas}s}, yaitu mas}lah}ah.
Secara etimologis, mas}lah}ah identik dengan al-khayr (kebajikan), al-naf‘ (kebermanfaatan), al-husn (kebaikan).
66 Sedangkan
mas}lah}ah secara terminologis shar‘i>, yaitu memelihara dan
66
Jama>l al-Di>n Muhammad ibn Mukarram ibn Manzu>r al-Ifri>qi<, Lisa>n al-‘Arab, Vol. II, (Riya>d}: Da>r ‘Ala>m al-Kutub, 2003), 348.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
53 | Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
mewujudkan tujuan shara‘ yang berupa memelihara agama, jiwa, akal
budi, keturunan, kehormatan, dan harta kekayaan. Setiap sesuatu yang
dapat menjamin dan melindungi eksistensi keenam hal tersebut
dikualifikasi sebagai mas}lah}ah. Sebaliknya, setiap sesuatu yang dapat
mengganggu dan merusak keenam hal tersebut dinilai sebagai
mafsadah, maka mencegah dan menghilangkan sesuatu yang demikian
dikualifikasi sebagai mas}lah}ah. Hal seupa juga didefiniskan ‘Izz al-Di>n
Ibn Abd al-Sala>m, bahwa mas}lah}ah merupakan upaya untuk
mewujudkan kemaslahatan dan menolak keusakan.67
Dalam arti shar‘i>,
mas}lah}ah adalah sebab yang membawa kepada tujuan syariat, baik
yang menyangkut ibadah maupun muamalah.68
Diakui bahwa
mas}lah}ah merupakan tujuan yang dikehendaki oleh al-Sha>ri>‘ dalam
hukum-hukum yang ditetapkan-Nya melalui nus}u>s} berupa Al-Qur’an
dan hadis.
Esensi mas}lah}ah itu adalah segala sesuatu yang berkontribusi
bagi perwujudan dan pemeliharaan al-d}aru>riyya>t, al-ha>jiyya>t, dan al-tah}si>niyya>t, sehingga mas}lah}ah bertingkat-tingkat bobotnya. Pada
dasarnya, mas}lah}ah yang tidak ditegaskan oleh nas}s} terbuka
kemungkinan untuk berubah dan berkembang, dan ini merupakan
sesuatu yang rasional dan riil.69
Sebagaimana diungkapkan al-Ghaza<li>,
berdasarkan tingkatan prioritasnya, kemaslahatan dibagi menjadi tiga
klasifikasi, yaitu:
Pertama, al-mas}lahah al-d}aru>riyah yaitu kemaslahatan pokok
(primer) yang harus terpenuhi. Jika kemaslahatan pada tingkatan
pertama ini tidak terpenuhi, maka akan menimbulkan kerusakan besar
67
‘Izz al-Di>n Ibn Abd al-Sala>m, Qawa>‘id al-Ah}ka>m Fi>> Mas}a>lih al-Ana>m (Kairo: Maktabah al-Kuliyat Al-Azhariyah, 1994), Vol. ke-1, 11.
68Abu> Ha>mid Muhammad al-Ghaza>li<, Al-Mus}t}asfa> min ‘Ilm al-Usu>l,
Tahqi>q wa ta‘lî>q Muhammad Sulaima>n al-Ashq}ar, Vol. I, (Beirut: Mu’assasah
al-Risa>lah, 1997), 416 - 417. Lihat juga Najm al-Di>n al-Tu>fi<, Sharh al-Arba‘i>n al-Nawawiyyah, 19, lampiran dalam Mustafâ Zaid, al-Mas}lah}ah Fi> al-Tashri>‘ al-Isla>mii> wa Najm al-Dîn al-Tu>fi>, (Beirut.: Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, 1964 M),
211. 69
Sa‘i>d Ramad}a>n al-Bu>t}i. D}awa>bit al-Mas}lahah Fi> al-Shari>‘ah al-Isla>miyyah, (Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah wa al-Da>r al-Muttahidah, 2000\),
69.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
54 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
bagi kehidupan manusia. Yang termasuk dalam kategori tingkatan ini,
yakni terpeliharanya atau terjaganya lima tujuan hukum Islam
(maqa>s}id al-shari>‘ah al-khamsah), yaitu memelihara agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta.70
Dalam perspektif HAM (Hak Asasi Manusia),
memelihara kehormatan diri dapat dikategorikan sebagai kemaslahatan
primer (al-mas}lah}ah al-d}aru>riyah) dalam rangka menghargai hak
kebebasan manusia selama tidak merugikan dirinya sendiri dan orang
lain, seperti hak untuk hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan
keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak
atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan dan
hak turut serta dalam pemerintahan.
Selanjutnya tingkatan yang kedua, yakni al-mas}lah}ah al-ha>jiyah
yaitu kemaslahatan sekunder. Jika kemaslahatan pada tingkatan kedua
ini tidak terpenuhi, maka dapat menimbulkan kesukaran atas
terwujudnya tingkatan kemaslahatan pertama atau primer (al-mas}lah}ah al-daruriyah).
Ketiga, al-mas}lah}ah al-tahsi>niyah yaitu kemaslahatan yang
bersifat tersier (pelengkap). Ketika kemaslahatan pada tingkatan ini
terpenuhi, membuat kenyanmanan bagi terwujudnya kemaslahatan
primer (d}aru>riyah) dan sekunder (h}ajiyah).71
Pada dasarnya dari ketiga kategori diatas, pemeliharaan prinsip
dasar (al-usu>l al-sittah) yang berada pada level al-d}aru>riyyah
merupakan level terkuat dan tertinggi dari al-mas}lah}ah. Keenam
tujuan/prinsip dasar mencakup: memelihara agama, memelihara jiwa,
memelihara akal pikiran, memelihara keturunan, memelihara
kehormatan, dan memelihara harta kekayaan.72
70
Abu> Hâmid Muhammad al-Ghaz>li<, Al-Mus}t}asfa> min ‘Ilm al-Usu>l; Tahqi>q wa Ta‘lî>q Muhammad Sulaimân al-Ashqar, Vol. I, (Beirut:
Mu’assasah al-Risa>lah, 1997), 416. 71
Asmawi, ‚Teori Maslahat dan Relevansiya dengan Perundang-
undangan Pidana Khusus di Indonesia‛, 43. Disertasi Sekolah Pascarasarjana
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2009. 72
Shiha>b al-Di<n al-Qara>fî<, Sharh Tanqi>h al-Fusu>l Fi> Ikhtis}a>r al-Mahsu>l fi> al-Usûl, (Kairo: al-Matba‘ah al-Khairiyyah,t.t) sebagaimana dikutip oleh
‘Abd al-‘Azi>z ibn ‘Abd al-Rahma>n ibn ‘Ali ibn Rabi>‘ah, ‘Ilm Maqa>sid al-Sha>ri‘, (Riya>d: Maktabah al-Malik Fahd al-Wat{aniyyah, 2002), 63.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
55 | Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
Model aplikasi mas}lah}ah dalam pengembangan hukum Islam
dapat dilakukan dalam kerangka interaksikognitif yang berorientasi
mas}lah}ah terhadap nus}u>s} (al-ta‘a>mul al-maslahi> ma‘a al-nus}u>s}) yang
mencakup dua langkah. Pertama, interpretasi al-nusûs yang
berorientasi al-mas}lah}ah (al-fahm wa al-tafsi>r al-mas}lah}i li al-nus}u>s{)
dan kedua, implementasi nus}u>s} yang berorientasi pada mas}lah}ah (al-tat}bi>q{ al-mas}lah}i> li al-nus}u>s}), yang notabenenya menyingkirkan
interaksi-kognitif yang mengasumsikan adanya kontradiksi nus}u>s} dengan mas}lah}ah, dan juga menggusur interaksi-kognitif yang
mengasumsikan adanya nas}s} yang nihil akan al-mas}lah}ah.73
Di samping itu, mas}lah}ah dapat ditemukan dan diaplikasikan
melalui tiga cara. Petama, melalui penerapan analisis jalb al-mana>fi‘ wa daru al-mafa>sid. Kedua, melalui penerapan dalil shara‘ sekunder
seperti al-qiya>s, al-mas}lah}ah al-mursalah, sadd al-dhari>‘ah, dan al-‘urf. Ketiga, melalui penerapan al-qawa>‘id al-fiqhiyyah (Islamic legal
maxims). Dalam konteks ini, upaya mengkualifikasi sesuatu sebagai
al-mas}lah}ah harus mengacu kepada parameter nas}s} yang berupa garis-
garis besar haluan nas}s} sehingga terhindar dari kesimpulan hukum
yang kontradiktif dengan nas}s}.74
Substansi mas}lah}ah itu mencakup dua unsur yang padu dan
holistik, yakni jalb al-mana>fi>‘ wa dar’ al-mafa>sid yang mengandung
arti ‚mewujudkan sesuatu yang bermanfaat atau yang mem bawa
kemanfaatan, dan mencegah serta meng hilangkan sesuatu yang
negatif-destruktif atau yang membawa kerusakan, di mana hal ini
semua tetap dalam kerangka spirit nus}u>s}. Dalam hal ini, perlu
dipertimbangkan segi yang menyangkut kepentingan individual (al-mas}lah}ah al-khass{ah) dan kepentingan umum/masyarakat luas (al-mas}lah}ah al-‘a>mmah), dan prioritas diberikan kepada kepentingan
masyarakat luas.
Selain itu, adanya korelasi yang nyata antara al-mas}lah}ah dan
dalil-dalil atau sumber sumber sekunder hukum Islam, seperti qiya>s, al-mas}lah}ah al-mursalah, al-istihsa>n, sadd al-dhari>‘ah, dan al-‘urf.
73
Ah{mad al-Raysu>ni dan Muhammad Jama>l Barut, Al-Ijtiha>d: al-Nas}s{, wa al-Wa>qi>‘, wa al-Mas{lah}ah, (Dimaskus: Da>r al-Fikr, 2002), 50.
74‘Abd al-Waha>b Khalla>f, Mas}a>dir al-Tashri>‘ Fi> Ma La> Nas}s}a Fî>hi>,
(Kuwait: Da>r al-Qalam, 1972), 47, 71, 145.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
56 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
Korelasi al-mas}lah}ah dengan al-qiya>s terletak pada adanya aplikasi
mas}lah}ah sehubungan dengan rasionalisasi dan identifikasi ‘illat (al-ta‘li>l), teknik identifikasi ‘illat (masa>lik al-’illat), dan persyaratan
‘illat. Korelasi antara al-mas}lah}ah dan al-mas}lah}ah al-mursalah terletak pada titik temu bahwa secara organis, al-mas}lah}ah al-mursalah merupakan salah satu varian al-mas}lah}ah yang nota bene
elan vital, muara, sekaligus hulu dari penerapan hukum Islam. Korelasi
antara al-mas}lah}ah dan al-istihsa>n terletak pada titik temu bahwa
secara epistemologis, al-istihsa>n itu harus punya sanad al-istihsa>n, dan
sanad al-Istihsân itu sesungguhnya berhulu dan bermuara pada al-mas}lah}ah. Korelasi antara al-mas}lah}ah dan sadd al-dhari>‘ah
ditunjukkan oleh kenyataan bahwa kehadiran al-mas}lah}ah dalam
aplikasi dalil sadd al-dhari>‘ah merupakan suatu keniscayaan. Korelasi
antara al-mas}lah}ah dan al-‘urf ditunjukkan oleh kenyataan bahwa
mas}lah}ah menjadi faktor yang ikut menentukan validitas al-‘urf, sehingga dalam kondisi ketiadaan nas{s} yang mendukung suatu al-‘urf, faktor mas}lah}ah menentukan validitas al-‘urf itu.
75
Dari berbagai uraian penjelasan di atas dapat dipahami bahwa
mas}lah}ah merupakan suatu hal yang menjadi tujuan pokok penetapan
hukum Islam, yakni guna mewujudkan kemaslahatan dan menolak
kemafsadatan bagi umat manusia. Selain itu, klasifikasi atau
kategorisasi mas}lah}ah dalam implementasinya sebagai sumber
penetapan hukum Islam memiliki berbagai karakter antara yang dapat
dan tidak dapat dijadikan sebagai landasan penetapan hukum. Di
samping itu, setiap mas}lah}ah juga memiliki tingkatan prioritas ketika
dijadikan sebagai landasan penetapan hukum.
75
Selegngkapnya dapat dilihat: Muhammad Abu> Zahra, Usu>l al-Fiqh,
(Beirut: Da>r al-Fikr al- ‘Arabi>, t.th.), 241, 274, 288; Mus}tafa> Ahmad al-
Zarqa>’, al-Is}tisla>h wa al-Maslahah al-Mursalah Fi al-Shari>‘ah al-Isla>miyyah wa Usu>l Fiqhiyah, (Damaskus: Da>r al-Qalam, 1988), 39; Jala>l al-Dî >n ‘Abd al-
Rahman, al-Masâlih al-Mursalah wa Maka>natuha> Fi> al-Tashrî>‘, (t.tp.: Dâr al-
Kita>b al-Jâmi‘i>, 1983 M), 14; ‘Abd al-Waha>b Khalla>f, ‘Ilm ‘Us}u>l al-Fiqh, (Kuwait: al-Da>r al-Kuwaytiyyah, 1968), 80, 84 dan 89; Ahmad Muhammad
al-‘Ulaimi, Usu>l al-Fiqh: Asa>siyya>t wa Maba>di>, (Beirut: Da>r Ibn Hazm,
2001), 118; Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), 19, 25-31 dan 47-62.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
57 | Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
Memahami posisi perempuan dalam Islam tetap mengacu
kepada sumber-sumber Islam yang utama, yakni Al-Qur’an dan
sunnah. Hanya saja pemahaman terhadap kedua sumber tersebut tidak
semata didasarkan pemaknaan tekstual, melainkan memperhatikan
juga segi kontekstualnya, baik konteks makro berupa tradisi arab dan
kondisi sosio-politik dan sosio-historis ketika itu maupun konteks
mikro dalam wujud asba>b al-nuzu>l dan asba>b al-wuru>d. Pemaknaan
non-literal terhadap teks-teks suci agama dalam Al-Qur’an dan sunah
mengacu pada tujuan hakikat syariat atau yang lazim disebut maqa>s}id shari‘<ah. Tujuan hakikat syariat Islam adalah mewujudkan
kemaslahatan manusia melalui perlindungan terhadap lima hak dasar
hak manusia (al-kulliya>t al-khamsah) hak hidup (hifz} al-nafs) hak
kebebasan beragama (hifz} al-di>n), hak beropini dan berekspresi (hifz al-aql) hak reproduksi (hifz al-nasl) dan hak properti (hifz al-ma>l) \menuju kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan batin, baik dunia dan
akhirat. Adanya relevansi antara teks dan konteks tersebut membawa
implikasi bahwa norma hukum Islam telah mengalami objektivikasi
melalui aplikasi mas}lah}ah ke dalam struktur sosial.
C. Konstruksi Wacana Gender dan Otoritas Pemikiran Keagamaan;
Studi Komparatif Tekstualis dan Kontekstualis
Tema keperempuanan dan relasi gender selalu menjadi
perbincangan yang marak dan tema ini selalu menarik untuk dibahas.
Seolah pembahasan tentang gender tidak ada habisnya. Bahwa Islam
hadir antara lain sebagai upaya mengangkat harkat martabat
perempuan namun tidak berarti perjuangan mewujudkan kesetaraan
gender telah usai.76
Menurut Husein Muhammad, penelitian akan
berbagai sumber otoritas pemikiran keagamaan sepenuhnya
menyimpulkan bahwa pengertian tentang adanya perbedaan antara
seks dan gender belum dapat diterima. Mayoritas besar ulama tetap
memandang bahwa laki-laki menempati posisi superior diatas
perempuan. Laki-laki lebih unggul daripada perempuan.77
76
Mus}ta}fa> al-Siba>’i@, Al-Mar’ah Bai@na Fiqh wa al-Qa>nu>n, (Kairo: Dar
al-Salam, 2010), 9. 77
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan; Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender (Yogyakarta: LKis, 2001), 8.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
58 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
Fiqh sebagai hasil ijtihad seorang ulama atau mujtahid dalam
mengambil istinba>t hukum dari sumbernya baik Al-Qur'an maupun
hadis. Dengan menggunakan pisau bedah usu>l al-fiqh, yaitu dengan
pendekatan penalaran baya>ni<, ta‘li>li>, maupun istis}la>hi> akan
menghasilkan hukum yang berbeda antara satu ulama dengan ulama
yang lain, dari satu masa ke masa yang berbeda, meskipun mengambil
dari sumber teks ayat maupun matan hadis yang sama. Hal itu terletak
pada subjektivitas penafsir, latar belakang pendidikan, lingkungan
yang melingkupinya, serta kondisi yang ada pada teks itu sendiri yang
bersifat z}anniyah atau multitafsir.
Para feminis muslim menggugat berbagai sistem patriarki dan
berupaya mentransformasi konstruksi gender menjadi lebih egaliter.
Bahkan mayoritas feminis secara terang-terangan menggugat kitab-
kitab fiqh klasik. Karena pada dasarnya, gerakan feminisme muslim
ada karena meliputi kesadaran perempuan akan pembatasan atas
dirinya karena gender, penolakan perempuan terhadap ketidakadilan
dan berusaha membangun sistem gender yang lebih adil, yang
melibatkan peran baru perempuan dan hubungan lebih optimal di
antara laki-laki dan perempuan. Bentuk pemikiran feminis muncul
dalam masyarakat muslim yang mengalami modernisasi,
pengembangan kota, pembentukan negara modern, kolonialisasi dan
imperialisasi. gerakan kemerdekaan nasional, peperangan dan agresi
serta demokratisasi.78
.
Namun dilain sisi, sebagian ulama berafiliasi tradisonalis tidak
menyetujui feminisme yang menjustifikasi bahwa mujtahid dalam
mengistinba>tkan hukum- dianggap mengekalkan ketidakadilan gender.
Menurut Huzaemah Y. Tanggo, bahwa feminis muslim secara sepihak
mencap fiqh klasik bias gender dan hanya bermaksud mengekalkan
dominasi laki-laki atau penindasan perempuan. Mereka misalnya,
menolak konsep penciptaan Hawa dari nabi Adam, konsep
kepemimpinan rumah tangga bagi laki-laki, hukum kesaksian 1:2 (satu
laki-laki, dua perempuan), hukum kewarisan, kewajiban berjilbab,
78
Margot Badran, Feminism dalam John L Esposito (ed.),
Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World, Vol. 2, (Oxford:
Oxford University Press, 1995), 19-20.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
59 | Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
poligami dan sebagainya.79
Sebaliknya mereka justru membolehkan
perempuan menjadi imam shalat yang terdiri dari laki-laki dan
perempuan. Mereka membolehkan pula wanita memberikan khutbah
jum’at.
Untuk menjustifikasi penafsiran, mereka menggunakan metode
historis-sosiologis untuk memahami nas}s}-nass} Al-Qur’an dan al-
sunnah. Metode ini mengasumsikan bahwa kondisi sosial masyarakat
merupakan ibu kandung yang melahirkan berbagai peraturan.
Tegasnya, kondisi masyarakat adalah sumber hukum. Lahirnya hukum
pasti tidak terlepas dari kondisi suatu masyarakat dalam konteks ruang
(tempat) dan waktu (fase sejarah) tertentu. Sehingga jika konteks
sosial berubah, maka peraturan dan hukum berubah. Dalam hal ini,
para feminis memandang telah terjadi perubahan konteks sosial yang
melahirkan hukum-hukum Islam seperti diatas. Karenanya bagi mereka
hukum-hukum harus ditafsirkan ulang agar sesuai dan relevan dengan
masyarakat modern saat ini. 80
Dalam hal ini, penulis akan mengungkapkan perdebatan
argumen para tokoh muslim terkait wacana kesetaraan gender. Yang
penulis bagi dua antara pandangan tektstual dan konstekstual.
Selengkapnya sebagaimana berikut:
1. Tokoh Kontekstualis
Khalid M. Abou El-Fadl dalam Inside The Gender Jihad
memandang setidaknya ada 2 hal yang menjadi perhatian kajian
gender; Pertama, Struktur Patriarki dalam gender. Kedua,
Ketidakadilan gender yang menyertai budaya patriarki dalam
masyarakat.81
Dalam kehidupan nyata, kedudukan perempuan dan laki-
laki masih menyisakan banyak problem sebab ditemukan ketimpangan
79
Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemprer, (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2010), 108. 80
Ardika Fitrhrotul Aini, ‚Konstruksi Sosial Gender Dalam Teks
Klasik Di Pesantren‛ dalam jurnal Palastren, Vol. 7, No. 2, (Desember, 2014),
295-300. 81
Arfan Muammar dkk, Bias Gender dalam Penafsiran al-Qur’an;
Memahami Pemikiran Nas}r Ha>mid Abu> Zay>d (Yogyakarta: Diva Press 2012),
213.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
60 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
diberbagai ranah kehidupan sosial, budaya hingga politik yang laki-laki
lebih banyak diuntungkan sementara pihak perempuan selalu dinomor
duakan. Sebenarnya perbedaan gender tidak menjadi masalah krusial
jika tidak melahirkan struktur ketidakadilan gender. Akan tetapi pada
realitanya, perbedaan gender justru melahirkan struktur ketidakadilan
dalam berbagai bentuk diantaranya: dominasi marginalisasi dan
diskriminasi yang secara ontologis merupakan modus utama kekerasan
terhadap perempuan.82
Masyarakat Islam dalam hal ini kaum laki-laki dan perempuan
gagal menyadari sisi negatif struktur patriarki tersebut. Mereka kurang
peka dengan kenyataan bahwa patriaki adalah kelaliman dan secara
moral menyerang keadaan masyarakat. Sebagai sebuah institusi,
patriarkhi telah telah berimplikasi dan berkonsekuensi negatif.
Pertama, menghapuskan peran perrempuan sebagai agen tuhan, artinya
patriarki telah memarjinalkan perempuan. Kedua, secara signifikan
menghilangkan potensi sebagai makhluk yang benar-benar pasrah
kepada tuhan.83
Hal ini disebabkan karena baik itu aspek budaya hukum dan
interpretasi agama masih belum banyak memberikan dukungan bahkan
seringkali pemahaman agama terkesan larut dalam arus bias gender.
Agama acapkali menjadi justifikasi kebenaran atas pelenggangan
budaya patriaki yang meletakkan dominasi laki-laki atas perempuan
yang didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an yang dinilai cenderung
kondusif dan mengukuhkan superioritas laki-laki terhadap perempuan.
Hal ini akhirnya mendesak kalangan ulama, intelektual dan para
aktivis untuk mendekonstruksi pemahaman atas gender dan bagaimana
agama memandang permasalahan ini, apakah agama menjustifikasi
konstruksi sosial dan ini menciptakan sikap mental yang membenci
kaum perempuan (konsep misogini)84
atau terdapat kesalahan
82
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, 12. 83
Amina Wadud, Al-Qur’an menurut Perempuan; Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semngat Keadilan, 191
84Praktik misigoni telah dimulai pada abad ke-8 SM dizaman Yunani
dan makin mengental di abad pertengahan. Praktik ini telah merugikan
peradaban manusia. Pada waktu lalu, perempuan telah dibakar hidup-hidup
karena dituduh sebagai perempuan sihir, dirajam, dicambuk, diperkosa,
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
61 | Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
penafsiran yang justru dijustifikasi sebagai sebuah kebenaran yang
sifatnya kodrati oleh masyarakat.85
Khalid M. Abou El-Fadl menyatakan bahwa adanya asumsi
berbasis iman dan penetapan yang merendahkan perempuan sebagai
akibat penetapan hukum yang dilakukan dengan ceroboh dan tidak
bertanggung jawab. Sejalan dengan Khalid, Mernissi memandang
secara tura>th secara negatif. Ia percaya bahwa model masa lalu tidak
lagi aktual buat konteks modern. Oleh Karena itu, Ia meyakini bahwa
persoalan yang dihadapi masyarakt sekarang sangat kompleks. Dalam
hal ini, Ia menyalahkan struktur sosial yang telah menyengsarakan
nasib perempuan. Struktur sosial ini termasuk doktrin ajaran agama
yang menjadi fondasi penting masyarakat. Mernissi tidak sepenuhnya
percaya pada sekelompok elit pemikir –kaum tradisionalis- yang turut
membicarakan soal perempuan. Bahkan Ia menganggap diskusi-diskusi
terkait tura>th sebagai omong kosong.86
Mernissi mengungkapkan bahwa agama harus dipahami secara
progresif untuk memahami realitas sosial dan kekuatan-kekuatannya,
karena agama telah dijadikan sebagai pembenar kekerasan.
Menghindari hal-hal yang primitif dan irasional adalah cara untuk
menghilangkan penindasan politk dan kekerasan. Menurutnya, bahwa
campur aduknya antara yang profan dan yang sakral, antara Allah dan
kepala negara, antara Al-Qur'an dan fantasi-fantasi imam harus
didekonstruksi.87
Mernissi menggugat penafsiran terhadap ayat-ayat al- Qur'an
seperti dalam Qs. al-Ahza>b (33): 53, yang oleh para ulama dijadikan
dasar lembaga h}ija>b. Berdasarkan pemahaman ini terjadi pemisahan,
bahwa hanya laki-laki yang boleh memasuki sektor publik. Sedangkan
perempuan hanya berperan domestik. Menurut Mernissi penafsiran
dipukul dan dibunuh hanya karena mereka perempuan. Sali Susiana, Perda Diskriminatif dan Kekerasan Terhadap Perempuan (Jakarta: Pusat Pengkajian,
Pengolahan data dan informasi SEKJEN DPR RI, 2011), 76. 85
Zaitunah Subhan, Rekonstruksi Pemahaman Gender dalam Islam, vi. 86
A. Lutfi Assyaukanie, ‚Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab
Kontemporer‛, dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, vol. 1, no. 1(Juli-
Desember, 1998), 86-87. 87
Fatima Mernissi dan Riffat Hassan, Equal Before Allah, 204
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
62 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
semacam ini harus dibongkar dengan mengembalikan makna
berdasarkan konteks historisnya. Pemahaman yang demikian ini,
nampaknya dipengaruhi oleh pemikiran Qa>sim Ami<n, yang
menurutnya penutupan wajah dengan cadar dan pengucilan perempuan
dengan h}ija>b dari masyarakat bukan merupakan sejarah Islam, tetapi
merupakan konstruksi sosial dari masyarakat patriarkhi, karena tidak
satu pun dalam naş yang tegas menyebutkannya.88
Hal yang demikian, terlihat bahwa Mernissi berusaha
membangun kembali penafsiran dengan menghubungkan konteks
sosialnya. Mernissi berusaha menelusuri khazanah keilmuan, baik
berupa penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an, hadis- hadis misoginis yang
dimuat dalam S}ahi>h al-Bukh}a>ri> dan S}ahi>h Muslim ataupun karya-karya
lain seperti Ta>rikh al- T}abari>, sharah S}ahi>h al-Bukha>ri> yaitu Fath al-Ba>ri>, Si>rah ibn Hisha>m dan lain-lain. Dengan menganalisis terhadap
proses penafsirannya, maka nampak jelas metode yang digunakan
adalah historis-sosiologis, dengan menggunakan analisis hermeneutik,
atau lebih tepatnya disebut dengan pendekatan heurmeneutik hadis.
Pengertian yang demikian ini didasarkan atas usahanya yang keras
untuk membongkar hadis-hadis yang bernuansa misoginis.89
Amina Wadud menjelaskan bahwa kekeliru penafsiran terhadap
ayat-ayat Al-Qur'an tentang perempuan lantar ditafsirkan oleh kaum
pría, bukan ditafsirkan oleh kaum perempuan itu sendiri. Akibatnya,
penafsiran yang dibuat hanya berdasarkan persepsi, pengalaman, dan
pikiran kaum pria saja Akibat lebih lanjutnya adalah terjadinya
kekeliruan penafsiran yang menyebabkan perempuan dalam posisi
lemah, rendah, serta kurang dalam berbagai bidang dibanding kaum
laki-laki. Hal jelas bertentangan dengan tujuan yang ada di dalam Al-
Qur’an yang mengajak seluruh umat manusia untuk berlomba-lom
88
Fatima Mernissi dan Rifat Hasan, Equal Before Allah, 23 89
Menurut Zygmant Bauman, Hermeneutik berkaitan dengan upaya
menjelaskan dan menelusui pesan dan pengertian dasar dari seboah ucapan
atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang dan kostradiksi, sehingga
menimbulkan keraguan dan kebingungan bagi pendengar atau pembaca, lihat:
Komaruddin Hidayat, Memahami Basa Agama Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996), 126. Dalam gagasan Islam liberal dikenal dengan
pendekatan Hermeneutik Post Modern, dengan memahami seluruh proses.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
63 | Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
meraih sejumlah prinsip-prinsip kemanusiaan; keadilan persamaan,
keharmonisan, tanggung jawab moral, kesadaran spiritual, dan
perkembangan, tanpa membedakan laki-laki atau perempuan.90
Jika kita perhatikan uraian di atas, baik berdasarkan pandangan
dari Amina Wadud dan para kritikus sebelumnya maka pandangan
yang menginterpretasikan bahwa Islam menganggap perempuan itu
lemah, tidak cerdas, tidak layak menjadi pemimpin, derajat perempuan
di bawah tingkatan laki-laki, dan pandangan-pandangan lain yang
meminggirkan perempuan pada dasarnya karena kesalahan dalam
menginterpretasikan teks-teks agama yang bersifat diskriminatif.
Amina Wadud sebagai pemikir Islam kontemporer
menyumbangkan gagasan agar dalam menginterpretasikan ayat-ayat
Al-Qur'an tidak keliru, maka perlu dengan dua cara, yaitu membaca
dan menafsirkan yang dibentuk oleh sikap, pengalaman, ingatan, dan
perspektif bahasa masing-masing pembaca, yakni prioritas teks. Untuk
memperoleh kesimpulan makna, Amina Wadud juga berpendapat
perlunya penafsiran hermeneutik, di samping menggunakan metode
kajian holistik yang induktif, yang dipahami dengan turunnya ayat-
ayat al- Qur'an.91
Sumber-sumber ketidakadilan terhadap perempuan dalam
masyarakat Islam tidak berasal dari ajaran dasar agama, tetapi lebih
pada salah tafsir terhadap agama seperti yang diperlihatkan para ulama
besar Islam selama berabad-abad. Menurut Amina Wadud, tantangan
yang dihadapi penafsir agama saat ini adalah bagaimana memahami
implikasi dari pernyataan Al-Qur’an sewaktu diturunkan. Yang harus
diperhatikan adalah bagaimana menangkap subtansi dari setiap ayat-
ayat Al-Qur’an. Umat Islam kemudian harus membuat aplikasi praktis
dari ayat-ayat tersebut sesuai dengan kondisi dan situasi kekinian
mereka, dengan tetap bertanggung teguh pada subtansi ajarannya.92
Usaha interpretasi atas Al-Qur’an -termasuk hadis-, sebagaimana
diucapkan Etin Anwar dalam Gender and Self In Islam, adalah gugusan
90
Amina Wadud, Wanita di dalam Al-Qur'an,125-127. 91
Amina Wadud, Wanita di dalam Al-Qur'an, 24 92
Amina Wadud, Wanita di dalam Al-Qur’an, 5.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
64 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
pemisahan tentang penjelasan yang bersifat kondisional dan partikular
menuju pesan-pesan universal.93
Nas}r Ha>mid Abu> Zayd menambahkan perlunya pula pembacaan
kritis atas teks-teks keagamaan, baik teks primer maupun teks
sekunder. Pembacaan kritis perlu dikembangkan, sebab teks
keagamaan adalah pusat dari sebuah perbincangan pengetahuan
keagamaan disatu pihak dan keberadaannya sebagai teks juga
berkaitan dengan kondisi budayanya dipihak yang berbeda.94
Pemikiran yang dikemukakan para pemikir diatas, seperti Khalid
M. Abou El-Fadl, Nas}r Ha>mid Abu> Zayd, Amina Wadud, serta
pemikir-pemikir lainnya yang sejalan dapat dijadikan acuan dan
pertimbangan dalam menafsirkan ulang dalil-dalil agama (Al-Qur’an
dan hadis) yang dianggap sebagai ayat patriarkal dan hadis-hadis
misoginis. Dengan ini, pandangan yang memarginalkan kaum
perempuan lambat laun akan berkurang. Reinterpretasi seperti ini turut
menghiasi dinamika misi utama syariat Islam.
2. Argumen Tokoh Tekstualis
Berbeda halnya dengan tokoh kontekstual yang menghendaki
adanya transformasi pemahaman terhadap argumentasi teologis dan
pendapat para ulama fiqh klasik terkait kesetaraan gender, para tokoh
tektualis beranggapan bahwa argumen feminisme tidak dapat
sepenuhnya diterima. Para feminis muslim, menggunakan metode
historis-sosiologis khas kaum modernis untuk memahami nas}s}-nas}s} shar‘a. Mereka menjadikan fakta masyarakat sebagai dalil shar'i< yang
menjadi landasan penetapan hukum.
Para tokoh tekstualis umumnya berpendapat bahwa realitas
sosial pada saat suatu ayat hukum turun, atau ketika suatu hukum
disimpulkan dari ayat atau hadis oleh seorang mujtahid, adalah fakta
yang kepadanya hukum diterapkan, bukan fakta yang darinya hukum
dilahirkan, Jadi sebenarnya ada perbedaan tegas antara wahyu sebagai
sumber hukum dengan realitas masyarakat sebagai objek penerapan
93
Etin Anwar, Gender and Self In Islam (Canada\: Routledge, 2006),
142. 94
Nas}r Ha>mid Abu> Zayd, Dawa>ir al-Kha>wf: Qira>’ah Fi< Kh}ita>b al-Mar’ah (Beirut: al-Markaz al-Thaqa>fi< al-Arabi>, 2000), 18.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
65 | Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
hukum. Karena itu, hukum Islam tidak perlu ditafsir ulang sebab
selama man‘at al-hukmi (fakta yang menjadi obiek penerapan hukum)
di masa sekarang sama dengan masa nabi dan sahabat, hukum tertentu
untuk satu masalah tertentu tidaklah akan berbeda. Jika ada man’at al-hukmi di zaman sekarang yang tidak terdapat pada masa sebelumnya,
yang harus dilakukan adalah ijtihad untuk menggali hukum baru bagi
masalah baru, bukan mengubah hukum yang ada agar sesuai dengan
realitas baru. Jadi pembatalan dan penggantian hukum seperti yang
dilakukan para feminis muslim itu hakikatnya bukanlah ijtiha>d,
melainkan suatu kelancangan terhadap hukum Allah SWT, sebab
man’at al-hukmi yang ada sebenarnya tidak berubah.95
Perkembangan Islam yang amat luas dan melampaui kurun
waktu tertentu, maka dengan sendirinya literatur fiqh banyak
dipersoalkan masyarakat, terutama oleh kaum perempuan yang hidup
dalam lingkup masyarakat tersebut. Keberatan mereka terhadap kitab
fiqh karena masyarakat telah berubah, dengan demikian berapa ajaran
fiqh itu tidak relevan lagi untuk diterapkan. Tidak dapat dipungkiri
bahwa adanya distorsi dalam substansi hukum dan sejarah dalam
perjalan perkembangan Islam. Namun disamping itu, dalam literatur-
literatur sejarah betapa besar usaha para ulama terdahulu dalam
mengembangkan pemahaman keIslaman. Inilah yang menjadi pijakan
tokoh tradisionalis.
Sebagaimana disebutkan diatas, penganut tradisionalis
mengungkapkan argumen-argumen lain dalam penolakan ide
feminisme yang menuntut pemahaman transformasi argumentasi
teologis dan pendapat para ulama fiqh klasik, diantaranya sebagai
berikut ini:96
Pertama, feminisme sebenarnya terlahir dalam konteks sosio-
historis khas di negara-negara barat terutama pada abad 19-20 M
ketika wanita tertindas oleh sistem masyarakat liberal kapitalistik
yang cenderung eksploitatif. Maka dari itu mentransfer ide ini ke
95
Muhammad Thalib, 17 Alasan Membenarkan Wanita Menjadi Pemimpin dan Analisnya, (Bandung: Bait Salam, 2001), 19.
96Mohammad Nawir, ‚Kajian Tentang Hadis-Hadis Relasi Kesetaraan
Gender Dalam Fatwa MUI‛ (Tesis UIN Sekolah Pascasarjana, UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, 2016), 118.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
66 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
tengah umat Islam, yang memiliki sejarah dan nilai yang unik, jelas
merupakan generalisasi sosiologis yang terlalu dipaksakan dan tidak
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Klaim bahwa wawasan
sosiologis bersifat universal, mengandung kepongahan yang dapat
mengakibatkan dilema serius bagi para sosiolog. Robert M. Marsh
menandaskan: sosiologi telah dikembangkan di sebuah sudut kecil
dunia, dan dengan demikian, amat terbatas sebagai suatu skema
universal.97
Kedua, feminisme bersifat sekularistik, yakni terlahir dari
aqidah pemisahan agama dari kehidupan. Hal ini nampak jelas tatkala
feminisme memberikan solusi-solusi terhadap problem yang ada, yang
tak bersandar pada satu pun dalil shar‘i<. Jadi, para feminis telah
memposisikan diri sebagai menjadi musyar'i (sang pembuat hukum),
bukan Allah. Adapun para feminis muslim yang mencoba
membenarkan ide-ide feminisme dengan dalil-dalil shar'i<,
sesungguhnya tidak benar-benar menjadikan dalil sha>r‘i sebagai
tumpuan ide feminism. Sebenarnya, yang mereka lakukan adalah
mengambil asumsi asumsi feminisme apa adanya, lalu mencari-cari
ayat atau hadis untuk membenarkannya. Kalau ternyata ada ayat atau
hadis yang tidak sesuai dengan konsep kesetaraan gender yang mereka
anut secara fanatik, maka ayat atau hadis itu harus diubah maknanya
sedemikian rupa agar tunduk kepada konsep kesetaraan gender.
Ketika tidak sesuai dengan konsep tersebut, seperti hukum waris
2:1 (dua bagian perempuan setara dengan satu bagian laki-laki),
memperkosa ayat atau hadis tersebut agar sesuai dengan selera
mereka. Ini artinya, sebenarnya ide feminismelah yang menjadi
standar, bukan ayat atau hadis itu sendiri. Andaikata ayat atau hadis
yang menjadi standar, níscaya mereka akan tunduk kepada makna yang
terkandung dalam ayat atau hadis apa adanya, serta tidak akan
melakukan berbagai reinterpretasi yang malah menghasilkan pendapat-
pendapat rusak seperti yang telah disebutkan di atas.
Ketiga, para feminis muslim gagal memahami kehendak Syari'at
Islam dalam masalah hak dan kewajiban bagi lelaki dan perempuan.
97
Robert M. Marsh, Comparative Sociology (New York: Brace and
World, 1957), 19.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
67 | Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
Mereka menganggap bahwa kesetaraan lelaki dan perempuan, otomatis
menyebabkan kesetaraan hak- hak antara laki-laki dan perempuan. Ini
keliru. Karena, cara berpikir demikian adalah cara berpikir logika
(mantiqi>) yang tidak berlandaskan pada dalil shar'i> manapun. Selain itu
fakta syari'at Islam menunjukkan bahwa kedua ide itu (yaitu
kesetaraan kedudukan dengan kesetaraan hak) tidaklah beralasan sebab
akibat yang bersifat pasti (absolut) seperti dipaham feaminis muslim,
yakni kesetaraan kedudukan lelaki dan iapuan, pasti menghasilkan
kesamaan hak dan kewajiban di ntara keduanya. Memang benar, Islam
memandang bahwa laki-laki dan perempuan itu setara, dan bahwa
Allah secara umum memberikan hak dan kewajiban yang sama antara
laki-laki dan parempuan.98
Maka, Islam memberikan beban hukum (takli>f shar‘i>) yang sama
antara laki-laki dan perempuan dalam hal wajibnya shalat, puasa,
zakat, haji, amar ma'ruf nahi munkar, dan sebagainya Ini ketentuan
secara umum namun Islam menetapkan adanya takhs}i>s} (pengkhususan)
dari hukum-hukum yang bersifat umum, jika memang terdapat dalil-
dalil shar'i< yang mengkhususkan suatu hukum untuk laki-laki saja atau
antuk perempuan saja. Dan takhs}i>s harus proposional, yakni hanya
boleh ada pada masalah yang telah dijelaskan oleh dalil shar'i<. Kaidah
usu>l al-fiqh menetapkan : العاا نبقى ااىبعمااىبعىلوااربواا لهبقااصيبيل اا بال اا"" .
Lafaz umum tetap dalam keumumannya selama tidak ada dalil yang
mengkhususkannya.99
Dengan demikian, dapat diterima apabila Islam mengkhususkan
hukum-hukum kehamilan, kelahiran dan penyusuan hanya untuk
perempuan, bukan lelaki, karena memang terdapat dalil-dalil shar'i>
untuk itu. Dapat dibenarkan bila Islam mengkhususkan pakaian
perempuan yang berbeda dengan laki-laki, karena terdapat dalil-dalil
yang menunjukkan pengkhususan ini begitu selain itu. Pengkhususan
inilah yang diingkari oleh para feminis, padahal pengkhususan ini
semata berdasarkan dalil shar'i> dari Al-Qur’an dan sunnah, bukan
mengikuti hawa nafsu para mufassir atau mujtahid, yang dicap oleh
98
Muhammad Thalib, 17 Alasan Membenarkan Wanita Menjadi Pemimpin dan Analisnya, 41.
99Taqi> al-Di<n al-Nabha>ni>, Muq{oddimah Dustu>r, 235
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
68 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
kaum feminis sebagai laki-laki yang terkena bias gender dalam
penafsirannya terhadap Al-Qur'an dan al-sunnah. Selain itu pula,
pengkhususan hukum sama sekali tidak bermakna adanya penghinaan
salah satu pihak oleh pihak lain, atau adanya dominasi dari satu pihak
kepada pihak lain, sebagaimana biasa dikampanyekan feminisme.
Kampanye tersebut logis bagi feminisme, karena feminisme
beranggapan bahwa kemuliaan dan kehinaan lelaki ataupun wanita
mutlak ditentukan oleh kesetaraan kesetaraan hak dan kewajiban yang
berarti tolok ukurnya adalah kuantitas pelaksanaan suatu aktivitas,
bukan kualitasnya. llusi ini timbul karena paham materialistik yang
inheren dalam ideologi kapitalisme dan sosialisme.
Selanjutnya, sebagai upaya untuk mengimplementasikan pesan-
pesan teks Al-Qur’an dan hadis dalam sebuah rumusan hukum yang
bersifat praktis-praktis juga terbentuk wacana fiqh.100
Arti fiqh
dipandang sudut leksikologi arab berarti pemahaman dan pengetahuan
tentang sesuatu. Dari segi terminologi, fiqh adalah pemahaman dan
penafsiran secara kultural terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-
hadis rasul yang dikembangkan oleh ulama-ulama fiqh semenjak abad
ke-2. Diantara para ulama fiqh tersebut ialah Abu> Hani<fah, Imam
Ma>lik, al-Sha>fi'i< dan Ah}mad Bin H}anbal yang pada masa
perkembangan selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan 4 imam
mazhab. 101
Keempat imam mazhab tersbut tidak pernah
memproklamirkan karya-karyanya sebagai mazhab abadi yang harus
dipertahankan sepanjang sejarah. Hanya kalangan murid diantara
mereka memperjuangkan karya-karya imam tersebut sehingga dianut
dalam masyarakat. Bahkan untuk alasan keseragaman dan kepastian
hukum, kalangan penguasa menetapkan salah satu mazhab sebagai
mazhab resmi pemerintah atau negara. Sehingga fiqh yang disusun dan
dikenal di dalam masyarakat yang dominan pada laki-laki tentunya
akan melahirkan fiqh bercorak patriarki.
100
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an, 265; dan lihat juga: Nasaruddin Umar, Bias Jender dalam Penafsiran Kitab Suci , 29.
101Mesraini, Diskursus Gender Dalam Hukum Islam, dalam Jurnal
Mizan Vol. 2 No. 1 2018, 7.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
69 | Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
Setelah Islam berkembang luas dan melampui kurun waktu
tertentu, maka dengan sendirinya kitab-kitab tersebut banyak
dipersoalkan orang, terutama oleh kaum perempuan yang hidup luar
lingkup masyarakat tersebut. Keberatan mereka terhadap kitab-kitab
fiqh karena masyarakat telah berubah, dengan demikian beberapa
ajaran itu tidak relevan lagi untuk diterapkan. Kalau dahulu hak-hak
istimewa banyak diberikan kepada laki-laki mungkin dapat
dibenarkan, karena tanggung jawab mereka lebih besar, tetapi
dibeberapa dalam kurun waktu terakhir peranan perempuan dalam
masyarakat banyak mengalami kemajuan. Para feminis muslim, seperti
Fatima Mernissi dan Rifat Hasan secara terang-terangan menggugat
kitab-kitab fiqh klasik. 102
Pembicaraan tentang fiqh dan bias gendernya dianggap penting,
berangkat dari kenyataan dimasyarakat bahwa dalil-dalil agama yang
telah dikemas ke dalam bentuk fiqh masih sering dijadikan dalih untuk
menolak kesetaraan gender. Dalil-dalil agama pula yang dijadikan
alasan untuk mempetahankan status-quo perempuan. Bahkan dijadikan
pula sebagai referensi untuk melanggengkan pembagian kerja
berdasarkan jenis kelamin. Seakan kaum lelaki ditakdirkan untuk
berkiprah diwilayah publik sedangkan kaum perempuan diwilayah
domestik. Pemahaman agama yang yang mengadap ke alam bawah
sadar perempuan yang berlangsung sedemikian lama ini, melahirkan
kesan seolah perempuan memang tidak pantas sejajar dengan laki-
laki.103
Dengan melihat aspek diatas, sangat wajar apabila keberadaan
fiqh menjadi sasaran kritik. Fiqh adalah produk masa lalu disaat
perspektif gender memang belum popular. Perspektif gender
merupakan produk modernitas. Maka perlunya rekonstruksi fiqh
kembali sebagai fiqh yang memiliki perspektif keadilan gender. Fiqh
sebagai hasil ijtihad manusia tak lepas akan kekurangan dan kelebihan.
Begitupula hasil ijtihad fiqh sangat tergantung pada konsep perubahan
zaman, waktu dan tempat.
102
Fatima Mernissi, Beyond The Veil Male-Female Dinamics In Modern Muslim Society (Indiana: Indiana University Press, 1987), 49.
103Nasaruddin Umar, Paradigma Baru Teologi Perempuan, (Jakarta:
Fikahati Aneska, 2000), 9.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
70 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam
Pada dasarnya dalam rangka menjawab problematika hukum
yang senantiasa dinamis, para pakar hukum Islam kontemporer
melakukan upaya guna mewujudkan prinsip kemaslahatan hukum
Islam. Dan hal itu termanifiestasi untuk melakukan pengkajian dan
pengembangan terhadap metodologi hukum Islam klasik yang sudah
dirumuskan oleh para ulama fiqh terdahulu. Diantara tokoh yang
memiliki kecenderungan corak ini antara lain ‘Abd al-Waha>b Kh}alla>f
yang mencoba mereformulasi tiga metode hukum Islam klasik, yakni
qiya>s, istis}la>h dan istih}sa>n menjadi teori hukum yang lebih sensitif
terhadap perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat
Selanjutnya, H{asan al-Tura>bi< yang merekonstruksi dua metode hukum
Islam klasik, yakni qiya>s menjadi qiyas wa>si' (qiyas ekspansif) dan
istis}h}a>b menjadi istis}h}a>b wa>si’ (istis}h}a>b ekspansif). H{asan al-Tura>bi<
berpendapat bahwa kedua metode klasik tersebut) terlalu sempit untuk
dijadikan sebagai metode hukum Islam dalam menjawab problematika.
Dan tokoh-tokoh lainnya seperti Yu>suf al-Qarad}a>wi<, Wahbah al-
Zuhayli>, dan lain sebagainya termasuk ‘Ali< Jum‘ah yang menjadi
pembahasan tokoh dalam penelitian ini –yang akan penulis paparkan
lebih detail pada bab setelah ini-.
71 |Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
BAGIAN TIGA
KARAKTERISTIK PEMIKIRAN HUKUM ISLAM ‘ALI < JUM‘AH
-----------------------------
Dalam mengkaji pemikiran seorang tokoh pentingnya
memperhatikan kondisi dan lingkungan tokoh tersebut dibesarkan.
Karena interferensi kondisi dan lingkungan itulah pada umumnya
menjadi background lahirnya frame gagasannya. Ibn Khaldu>n dalam
Muq{oddimah mengungkapkan, ‚al-rajul ibn bi<a‘tihi>‛ (seseorang adalah
anak zaman lingkungannya).1 Ungkapan Ibn Khaldu>n tersebut
tampaknya relevan apabila penulis jadikan pijakan dalam menelusuri
sosok ‘Ali< Jum‘ah dari sudut sosio-kultural, lingkungan pendidikan
dan kondisi politik yang melatarbelakangi ‘Ali< Jum‘ah dalam
membentuk ide-ide pemikirannya.
A. Sketsa Kehidupan ‘Ali< Jum‘ah
1. Profil ‘Ali< Jum‘ah
Nama lengkapnya ialah Abu> Uba>dah Nu>r Al-Di<n ‘Ali< ibn
Jum‘ah ibn Muhammad ibn ‘Abd al-Wah>ab ibn Sa>lim ibn Sulai<ma>n,
Al-Azhari< Al-Sha>fi>‘i> al-Ash‘ari>.2 Ia lebih masyhur dikalangan umat
muslim hari ini dengan nama ‘Ali< Jum‘ah.3 ‘Ali< Jum‘ah dilahirkan
Bani< Suwayf pada Senin, 3 Maret 1952 M/ 7 Jumadil Akhir 1371 H .4
‘Ali< Jum‘ah merupakan anak tunggal hasil pernikahan ayahnya
Jum‘ah ibn ‘Abd al-Waha>b bersama Fath}iah Hanim binti ‘Ali< ibn ‘Ai<d
1‘Abd Al-Rahman Ibn K>{haldu>n, Muqadimah Ibn Kh}aldu>n (Alexandria:
Dar Ibn Khaldun, t.t), 30. 2Usa>mah al-Sayyid al-Azhari<, Asa>ni<d al-Mis}riyi<n, (Kairo: Da>r al-
Faqi<h, 2011), 539. 3‘Ali< Jum‘ah, Al-Baya>n: Lima> Yashgal al-Adha>n (Kairo: Da>r al-
Muqatam, 2005), 8. 4‘Ali< Jum‘ah, Al-Kalim al-T{ayib Fata>wa> As}riyah, (Kairo: Da>r al-
Sala>m, 2010), Vol. ke-2, 417.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
72 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
ibn Sa>lim Al-Jundi al-Hamawi<.5 Dibesarkan dalam lingkungan
keluarga terhormat, ‘Ali< Jum‘ah tumbuh mewarisi nilai-nilai keilmuan
dan keagamaan yang kuat dari seorang ayah yang merupakan seorang
praktisi juga guru besar dalam bidang shari‘ah dan hukum di
Universitas Kairo, begitupula ibunya yang dikenal sangat religius. Dari
faktor didikan keluarga yang terhormat ini banyak mempengaruhi
kepribadian ‘Ali< Jum‘ah sehingga tumbuh dengan nilai penuh moral,
termasuk dalam menjaga kehormatan dan ketekunannya menimba
ilmu. Semenjak kecil ‘Ali< Jum‘ah telah terbiasa dengan kecintaan
membaca buku, hal itu dilihat dari lingkungan keluarga dengan
banyaknya buku di perpustakaan ayahnya, bahkan hingga saat ini
banyak dari warisan buku ayahnya masih tersimpan dengan baik di
perpustakaan ‘Ali< Jum‘ah .6
Pada usia 10 tahun, ‘Ali< Jum‘ah telah menghafal Al-Qur’an dan
mengkhatamkan hafalannya tersebut dihadapan para gurunya.
Sekalipun tidak menimba ilmu agama dan tidak mendapatkan
pendidikan agama secara khusus, namun ‘Ali< Jum‘ah mendapat
anugerah kecerdasan yang luar biasa sejak remaja dengan menghafal
banyak kitab-kitab ilmu keislaman dan memahaminya dengan baik.
Diantaranya : T{uh{fat al-At}fa>l, Alfiyah Ibn Ma>lik, Ahra>biyah (ilmu
mawaris), Matan Abi> Shuja>', Al-Manz}u>mah al-Baiqu>niyah bahkan Ia
mampu mempelajari kutub al-Sitta dan Fiqh Ma>liki< semenjak lulus
dari bangku setingkat SMA dan lain sebagainya.7
‘Ali< Jum‘ah mendapat gelar Bachelor of Commerce dari
Universitas ‘Ai<n Shams pada tahun 1973. Tak puas dengan gelar
sarjana tersebut, ‘Ali< Jum‘ah kembali menamatkan gelar sarjana dari
Fakultas Dira>sa>t al-Isla>miyah wa al-‘Arabiyah di Universitas Al-Azhar
pada tahun 1979. Di Universitas Al-Azhar pula, Ia menyelesaikan
pendidikan master di bidang Shari<‘ah wa al-Qa>nu>n dengan spesialis
usu>l al-fiqh pada tahun 1985 dan meraih predikat cumlaude. Dan pada
5‘Ali< Jum‘ah, Al-Kalim al-T{ayib Fata>wa> As}riyah, Vol. ke-2 418.
6Ibra>hi<m Najm, The Epistemology of Excellence: A Journey into the
Life and Thoughts of the Grand Mufti of Egypt (Beirut: InnoVatio
Publishing, 2012), 3. 7Ibra>hi<m Najm, The Epistemology of Excellence, 4.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
73 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
tahun 1988, Ia memperoleh gelar doktoral dari universitas yang sama
dengan predikat summa cumlaude.8
Selain perjalanan keilmuan yang didapatnya secara formal dalam
bidang syariah, ‘Ali< Jum‘ah juga banyak menimba ilmu secara
informal pada beberapa lembaga dan guru yang mumpuni dalam
bidangnya. Hal ini turut pula mempengaruhi perjalanan intelektual
‘Ali< Jum‘ah dalam disiplin ilmu agama. Bahkan karena ketekunannya,
Ia memiliki sanad tertinggi dalam ilmu syariah yang bersambung ke
ulama-ulama terkemuka bahkan Ia memiliki sanad fiqh al-Sha>fi>‘i> yang
bersambung ke Muhammad ibn Idri<s al-Sha>fi>‘i>< dan bersambung ke
Imam Ma>li<k ibn Anas lalu Na>fi‘ dari Ibn ‘Umar hingga sampai kepada
Nabi SAW. Diantara guru-gurunya ialah Abd Alla>h ibn Siddi<q al-
Ghuma>ri<, Abd al-Fatta>h Abu> Guddah, Muḥamamd Abu> al-Nu>r Zuhay<r,
Ja>d al-rabi Ramaḍān Jum‘ah, Ja>d al-Haq{ ‘Ali> Ja>d al-Haq, Abd al-Jali<l
al-Q}aransha>wi< al-Māliki, Abd al-Azīz al-Zayy>at, Muhammad Ismāil
al-Hamda>ni<, Aḥmad Muḥammad Mursī al-Naqshabandi<, Yasin al-
Fadani, Al-Ḥusa>ini Yūsuf al-Sheikh, Ibrāhīm Abū al- Khasyāb,
Muḥammad al-Hafiẓ al-Tijani, Muḥammad Maḥmud Fargali, Al-
Sayyid Ṣalih 'Awaḍ, Ismail al-Zai<n al-Yamani< al- al-Sha>fi>‘i> <,
Muhammad Alwi< al-Ma>liki<, ‘Awaḍ al-Zuba>idi, al Makki<, Ṣa>lih al-
Ja'fari<, Aḥmad Ḥama>dah al-Sha>fi‘i< al-Naqsyabandi<, I<sa> Abduh
Ibrāhīm, Yahya> Uwa>is, Ali Luth{fi<, Sami Madku>r, Hamdi Abd al-
Rahman, Husei>n Nawāwi, Al-Jaziri, Uthma>wi<, Fathi< Muḥammad ‘Ali<
dan Dāud Mansi.9
2. Karya-Karya Dan Gagasan ‘A<li Jum‘ah
Semenjak usia dini semua pikiran dan waktu ‘Ali< Jum‘ah
dicurahkan dalam hal keilmuan. Kehausan akan ilmu membuatnya
memiliki pengetahuan yang luas. Sehingga tak ayal, Ia merupakan
seorang penulis sekaligus akademisi yang produktif, banyak karya-
karyanya menjadi rujukan para cendekiawan muslim saat ini maupun
8Zareena Grewal, Islam Is a Foreign Country: American Muslims and
the Global Crisis of Authority (New York: University Press, 2010), 191. 9Usa>mah al-Sayyid al-Azhari<, Asa>ni<d al-Mis}riyi<n, (Kairo: Da>r al-
Faqi<h, 2011), 539.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
74 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
lembaga-lembaga riset internasional. ‘Ali< Jum‘ah telah menulis lebih
dari 80 karya buku ilmiah yang mencakup banyak disiplin ilmu Islam\.10
Selain karyanya yang berupa buku, banyak pula tulisan-tulisan yang Ia
tuangkan dalam bentuk artikel, jurnal, tahqiq, bahkan Ia banyak
menulis dalam kolom mingguan di surat kabar Mesir membahas
masalah-masalah kontemporer.
Diantara karya-karyanya, antara lain: Us}u>l al-Fiq{h wa Ala>q{athu bi al-Falsafah Isla>miyah, A<liya>t al-Ijtiha>d, A<thar Dhihab al-Mahal fi< al-Hukm, al-Baya>n, al-Hukm al-Shar‘i<, al-Ijma>’ ‘inda al-Usu>liyyi<n, al-Ima>m al-Shafi’i wa Madrasatuhu al-Fiqhiyyah, al-Ima>m al-Buk{ha>ri<, al-Kalim al-Tayyib , Maba>hith al-Amr ‘inda al-Usu>liyyin, al-Madkhal ila> Dira>sah al-Mazha>hib al-Fiqhiyyah, al-Must{alah al-Usu>li wa al-T{atbi<q ‘ala Ta’ri<f al-Qiya>s, al-Nad{zhariya>t al-Usu>liyyah wa Madkhal li Dira>sah ‘Ilm al-Usu>l, Qadiyah Tajdi<d Usu>l al-Fiqh, al-Qiya>s ‘inda al-Usu>liyyin, al-Ru’yah wa Hujiyyatuha al-Usu>liyyah, Taqyi<d al-Muba>h, al-Ṭarīq ilá al-turāth al-Islāmī: Muqadimāt Maʻrifīyah wa-Madākhil al-Manhajīyah. al-Dīn wa-al-ḥayāh: Al-Fatāwa> al-ʻAṣrīyah al-Yawmiyah. al-Nask{h ʻinda al-Uṣūlīyīn, al-Kāmin fī al-H{aḍārah al-Islāmīyah, al-Mar'ah fī al-Hạdārah al-Islāmīyah: Bai<na Nusūs al-Sharʻa wa Turāth al-Fiqh wa-al-Wāqiʻ al-Maʻīsh. al-Ṭarīq ilā Allāh, al-Nabī ṣalla Allāh ʻalai<hi wa-Sallam dan lainnya. Karya ‘Ali< Jum‘ah
dalam bahasa inggris, diantaranya: Environmentalism an Islamic
perspective, The Truth of Islam and Misconceptions about Islam, In
search For A common Word, Responding from the Tradition,
Methodology of Moral Discipline in the Prophetic Tradition dan
Environnement Franch.
Sebagai seorang praktisi hukum Islam dan guru besar dalam
bidang usu>l al-fiqh, sebagian besar karya ‘Ali< Jum‘ah bertemakan usu>l
al-fiqh.11
Tentu hal ini turut merekam pelbagai refleksi pemikiran ‘Ali<
10
Ibra>hi<m Najm, The Epistemology of Excellence: A Journey into the Life and Thoughts of the Grand Mufti of Egypt, 128. Dalam website resmi
‘Ali< Jum‘ah www.draligomaa.com diakses pada 1 Agustus 2019, tercatat ‘Ali<
Jum‘ah telah menuangkan 89 karya dalam bentuk buku. 11
Sebagaimana diungkapkan Ibra>hi<m Najm, ‘Ali< Jum‘ah telah
mengeluarkan 12 buku untuk membahas berbagai masalah yang berkaitan
dengan ilmu Usūl al-Fiqh. Lihat: Ibra>hi<m Najm, The Epistemology of
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
75 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
Jum‘ah dalam hukum Islam. Hal tersebut turut pula membentuk
pemikiran ‘Ali< Jum‘ah dalam mengeluarkan fatwa dalam berbagai
kasus dan masalah. Menurutnya, teks apapun bentuknya (Al-Qur’an
maupun hadis) merupakan bagian dari bahasa. Bahasa merupakan
budaya, dan budaya tidak lepas dari unsur manusia. Memang telah
diketahui bersama, bahwa teks shara‘ merupakan hal yang suci dan
agung, akan tetapi ketika teks yang suci itu sampai kepada manusia,
maka akal manusia akan mengalami proses terhadap teks, dan proses
hasil pencernaan itu disebut pemahaman. Sebagaimana gajah
dihadapkan kepada beberapa orang buta, kemudian mereka disuruh
agar mendeskripsikannya, niscaya hasil deskrpsi masing-masing tentu
berbeda, tergantung bagian mana yang disentuh dan bagaimana cara
menyentuhnya.
Yang ditekankan ‘Ali< Jum‘ah disini ialah teks lahir dan muncul
dihadapan manusia agar dipahami sehingga mereka dapat menangkap
maksud tuhan yang terdapat pada teks. Setelah mereka paham, mereka
mengaplikasikannya dalam kehidupan. Hanya saja masalahnya bukan
terletak pada teks, tetapi bagaimana pemahaman manusia terhadap
teks. Sehingga banyak kaum muslimin saat ini paham tentang halal
haram akan tetapi tak tahu darimana asal muasal halal-haram tersebut.
Sehingga problematika yang dihadapi umat Islam adalah entah
disengaja atau tidak telah jauh dari metodologi yang telah digariskan
Allah dan Rasul sehingga banyak fenomena mengarah pada
konservatif-tekstualis bahkan radikal.
Dalam bukunya Responding from Tradition, ‘Ali< Jum‘ah
mengapresiasi kebebasan beragama di beberapa negara barat termasuk
umat muslim yang hidup didalamnya. Meskipun agama dan politik
perspektif Islam berbeda dengan perspektif barat, ‘Ali< Jum‘ah
mengakui bahwa sekularisme pada faktanya telah berhasil membangun
stigma pluralistik yang mempunyai sisi sejalan dengan nilai-nilai
Islam. Kebebasan dalam beragama mengekspresikan kepercayaan
Excellence: A Journey into the Life and Thoughts of the Grand Mufti of Egypt, 127. ‘Ali< Jum‘ah dipandang sebagai guru besar usu>l al-fiqh. Bahkan
dunia internasional mengakuinya sebagai seorang ahli hukum Islam yang
terpandang. Lihat: Asthana, N. C. & Anjali Nirmal. Urban Terrorism: Myths and Realities. (Jaipur: Pointer Publishers, 2009), 117.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
76 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
secara terbuka mengisyaratkan bahwa barat tidak lagi dideskripsikan
sebagai da>r al-harb atau da>r al-kufr.12 Selain itu, masalah perempuan
turut menjadi perhatian ‘Ali< Jum‘ah dalam kajian yang Ia tuangkan
karya karyanya –sebagaimana yang menjadi kajian dalam penelitian
ini-. Ia menyatakan bahwa pria dan wanita dapat menikmati hak
politik yang sama dalam Islam termasuk menjadi pemimpin.13
Dan tak
jarang pula, ‘Ali< Jum‘ah mengeluarkan fatwa-fatwa dan pernyataan
yang banyak berdampak besar bagi publik baik melalui media cetak,
media elektronik, sosial media seperti chanel youtube maupun siaran
televisi di Mesir.
‘Ali< Jum‘ah dipandang sebagai tokoh yang mempunyai
konstribusi terhadap Mesir khususnya, dan dunia Islam modern pada
umumnya. Puncaknya ialah ketika publik mengenalnya sebagai grand
mufti< Republik Arab Mesir periode 2003-2013. Sejak ia ditunjuk
sebagai grand mufti> pada tahun 2003, ‘Ali< Jum‘ah telah melakukan
beberapa terobosan baru bagi lembaga fatwa Da>r Ifta> di Mesir seperti
memodernisasi proses pengeluaran fatwa di Mesir salah satunya
menjadikan teknologi dan sains sebagai sarana. Masyarakat Mesir
dapat mengajukan permintaan fatwa pada suatu permaslahan melalui
surel website Da>r al-Ifta>. Lebih dari itu, fatwa yang dikeluarkan oleh
Da>r Ifta dapat menjangkau ke seluruh dunia dengan terjemahan fatwa
ke berbagai bahasa.14
Sebelum menjadi mufti, Ia merupakan guru besar
12
Ibra>hi<m Najm, The Epistemology of Excellence: A Journey into the Life and Thoughts of the Grand Mufti of Egypt, 90.
13Issandr El Amrani, ‚Mufti not against women presidents after all?‛
artikel diakses pada 1 Agustus 2019 dari
https://web.archive.org/web/20070510023418/http://arabist.net/archives/2007
/02/04/mufti-not-against-women-presidents-after-all/ 14
Da>r al-Ifta> al Mas}riyah merupakan lembaga\ penelitian hukum Islam
yang bertanggung jawab untuk mengeluarkan otoritas keputusan agama resmi
di Mesir. Pada mulanya, lembaga fatwa Mesir tersebut merupakan salah satu
lembaga yang berada di bawah naungan departemen kehakiman seperti mufti
agung Republik Arab Mesir selalu diminta pendapatnya tentang vonis mati
dan sebagainya. The Most Influential Muslim-2018. (Amman: The Royal
Islamic Strategic Studies Centre, 2018) 64-65. Diakses di http://www.rissc.jo
pada 9 Juni 2019.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
77 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
dalam bidang usu>l al-fiqh di universitas Al-Azhar. Selain keaktifan
mengajar di universitas, Ia juga memberikan kajian ilmu (talaqqi) bagi
para penuntut ilmu yang datang dari seluruh penjuru dunia di masjid
Al-Azhar. Di masjid Al-Azhar ini pula, Ia memberikan berbagai materi
disiplin ilmu Islam seperti aqi<dah, tafsi<r, hadi<th, ta>ri>kh Islam dan lain
sebagainya.15
Selain itu Ia turut pula menjadi penasehat kajian timur
tengah di Universitas Harvard di Kairo. Dewan pembina mata kuliah
studi Islam dan Bahasa Arab di Universitas Oxford di Timur Tengah
dan menjadi dosen terbang diberbagai universitas baik dalam negeri
maupun luar negeri.
Mengomentari pendekatan modern dalam wacana keagamaan
‘Ali< Jum‘ah, Esposito mendeskripsikan ‘Ali< Jum‘ah akan usahanya
membangkitkan pemikiran Islam yang mampu menjawab tantangan
maupun problem pasca modernitas dengan metolodogi yang bijakn
dalam mengekstraksikan hukum dan fatwa.16
Selain itu banyak lagi sumbangsih yang diberikan ‘Ali< Jum‘ah
terhadap masyarakat muslim melalui keilmuwannya juga berbagai
jabatan dan keanggotan bertaraf nasional maupun internasional telah
Ia emban, antara lain: 17
1. Anggota Majma‘ al-Buhu>th al-Isla>miyah tahun 2004-2013.
2. Penasehat menteri wakaf Republik Arab Mesir semenjak
1998 hingga 2003.
3. Anggota Dewan pengawas Shari<’ah di International Islamic
Bank For Investment and Development di Kairo sejak 1990.
4. Penasehat Akademik di International Institute of Islamic
Thought juga direktur kantor cabang Kairo sejak 1992
hingga 2003.
5. Ketua Dewan Pengawas Shari<’ah di United Bank Of Egypt
sejak tahun 1997 hingga 2003.
6. Anggota Penasehat Shari<’ah untuk Agricultural Development
Bank sejak tahun 1997 sehingga 2003.
15
Gabriele Maranci, Studying Islam in Practice (New York: Routledge,
2013), 54. 16
John J. Donahue and John L. Esposito, Islam in Transition, 4. 17
‘Ali< Jum‘ah, Al-Kalim al-T{ayib: Fata>wa> As}riyah, 417-422
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
78 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
7. Anggota Dewan Pengawas Bank Timur Tengah dalam
Muamalat Islam sejak tahun 1997 hingga tahun 2003.
8. Wakil Direktur Markaz Sa>lih Abd Alla>h Ka>mil Centre untuk
bidang Ekonomi, Universitas al-Azhar sejak tahun 1993
hingga 1996.
9. Ketua Komite Fiqh di Majlis al-A‘la> li Shu’u>n al-Isla>miyah
sejak tahun 1996 sehingga sekarang.
10. Anggota Fatwa Al-Azhar al-Sharif tahun 1995-1997
11. Ketua dewan direksi al-Jam’iyyah al-Kh}airiyyah Li al-Khidmah al-Thaqa>fah wa al-Ijtima>’iyyah di Kairo sejak
tahun 1997.
12. Penasehat Umum untuk Masjid al-Azhar sejak tahun 2000.
13. Ketua Dewan Pengawas Mis}r al-Kh}ai<r Foundation
14. Sekjen Dewan Ulama Senior Al-Azhar Al-Sahri<f
15. Anggota Dewan Fatwa untuk Amerika Utara.
16. Anggota Majlis Permusyawaratan Tertinggi pada lembaga
Tabah di Abu Dhabi.
17. Anggota Muktamar Fiqh Islam di India
18. Anggota Majma‘fiqh dalam muktamar Islam di Jeddah
19. Anggota Muktamar Internasional Ahl al-Sunnah di
Chechnya.
Turut pula selama perjalanan karirnya ‘Ali< Jum‘ah dianugerahi
beberapa penghargaan, diantaranya: Ia mendapat gelar doctor honoris
causa dari Liverpool University dan Bani Suef University, gelar
kehormatan the Order of Al Istiqlal (Independence) of the First Degree
dari Raja Abdullah II Yordania, gelar star of Quds dari presiden
palestina, Abbas Mahmu>d, gelar penghargaan Egyptian Army Shield
oleh menteri pertahanan Mesir, Abd al-Fatta>h al-Si>si,> dsb.18
B. Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah
1. Interferensi Sosio-Politik & Intelektual ‘Ali< Jum‘ah di Mesir
Kultur akademik di Mesir pada dasarnya telah cukup lama
memberikan peluang dalam kebebasan berfikir. Namun kebebasan
18
Lihat: www.draligomaa.com diakses pada 4 Agustus 2019 terkait
berbagai penghargaan yang dianugerahi pada ‘Ali> Jum‘ah.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
79 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
berfikir tentunya bukan berarti tanpa batasan, sebab selain tumbuh
sikap pluralistik juga masih banyak pemikir konservatif dan
tradisionalis yang sulit diajak kompromi dalam melihat perkembangan
dan realitas yang dihadapi oleh masyarakat Islam termasuk di Mesir
dimana saat ini ‘Ali< Jum‘ah tumbuh dan berkembang sebagai da’i,
tokoh dan pemikir Islam kontemporer. Tentu saja hal ini turut
membentuk pola pemikiran ‘Ali< Jum‘ah terkait hukum Islam.
Diawali pada abad XX yang dapat disebut pula sebagai zaman
liberal (liberal age) di Mesir. Dengan berkembangnya paham liberal di
Mesir, lahirlah apa yang disebut al-nahd{ah yaitu kebangkitan berkaitan
berbagai aspek terkhusus kebangkitan politik dan budaya yang
mendominasi Mesir. Hal tersebut dapat dilihat dari usaha
penterjemahan peradaban Eropa. Secara garis besar ada tiga
kecenderungan terkait hal tersebut. Pertama, The Islamic Trend
(Kecenderungan pada Islam) yang diwakili Rashi@d Rid}a> (1865-1908)
dan H{asan Al-Banna> (1906-1949). Kedua, The Sytentic Trend yaitu
kecenderungan yang berusaha memadukan antara Islam dan
kebudayaan barat, yang diwakili oleh Muhammad Abduh (1849-1905)
dan Qa>sim Ami<n (1865-1908) dan Ali Abd Ra>ziq (1888-1966). Ketiga,
The Rational Scientific and Liberal Trend yaitu kecenderungan
rasional ilmiah dan pemikiran bebas dalam kelompok ini diantaranya
Lut}fi< al-Sayyid.19
Dari tahun 1920 di Mesir berkembang liberalisme dan budaya
barat dianggap sebagai sarana kompetisi. Pada periode ini, banyak
penulis memberikan kontribusi penting bagi modernisasi Mesir.20
Dalam perjalanan kondisi iklim keagamaan dan ritual yang dijalankan
masyarakat Mesir, dengan ditandai saat Mesir dibawah cengkraman
kolonial Inggris, pada masa itu menjamurnya berbagai gerakan akan
semangat reformasi agama yang diperkasai Muhammad Abduh dan
Jama>l al-Di<n al-Afgha>ni<. Sebagaimana menurut Muhammad Abduh,
hukum-hukum kemasyarakatan sangatlah perlu diperbaharui dan
19
Ibra>hi@m Abu> Rabi@, ‚Islam Liberalism In The Middle East Viable‛
dalam Hamdard Islamicus, Vol XII, No 4, (1989), 24. 20
Mukhammad Zamzami, ‚Rekonstruksi Nalar Fikih dalam Perspektif
Studi Islam‛ dalam jurnal Al-Q{a>nu>n, Vol. 11, No.2, (Desember, 2008), 263.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
80 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
disesuaikan dengan tuntutan zaman yang berubah. Dengan demikian,
taklid kepada ulama tidak diperlukan, karena hanya membuat
kemunduran bagi umat Islam.21
Gerakan reformasi agama tersebut merespon kondisi keagamaan
dan ritual yang dijalankan masyarakat Mesir dari berbagai bentuk
ritual bid‘ah dan kh{ura>fa>t berkembang pesat diseluruh penjuru Mesir.
Ajaran tasawuf yang terkontaminasi kian memicu berseraknya ritual
aneh bahkan ditengah masyarakat. Menghadapi realita masyarakat
kala itu terpecah menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama berpendapat, hendaknya masyarakat Mesir
berkiblat kepada peradaban barat melepaskan diri dari segala ikatan
dan peraturan, bahkan pemikiran Islam. Kelompok kedua berpendapat
memperbaiki keadaan kaum muslimin dengan cara mengembalikan
mereka kepada ajaran Islam yang benar, bersih dari khurafat, bid‘ah
dan anggapan-anggapan yang keliru. Selain itu, juga dengan
merevitalisasi ajaran-ajaran Islam sehingga relevan dengan roda
kehidupan masa kini. Kelompok ini juga mencoba membuka diri
dengan peradaban asing selama tidak bertentangan dengan Islam.
Disaat bersamaan, munculpula gerakan -yang disebut beberapa
pengamat- salafisme di Mesir yang turut menekankan Islam otentik
lepas dari segala macam tradisi. Gerakan ini diperkasai oleh Rashi<d
Rid{a> yang dalam perjalanannya berkembang menjadi gerakan
pemikiran pembaruan ijtihad dalam Islam sebagaimana di Mesir
berkembangnya Ikhwa>n al-Muslimi>n oleh Hasan Al-Banna> dan
wahabisme yang dinisbatkan pada Muhammad ibn ‘Abd al-Waha>b di
Arab Saudi. Tak dapat dipungkiri bahwa terdapat korelasi antara
munculnya dua gerakan ini dengan dakwah reformasi keagamaan di
Mesir. 22
21
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, 61-62.
22Muh. Khamdan, ‚Rethinking Deradikalisasi: Konstruksi Bina Damai
Penanganan Terorisme‛ dalam jurnal Addin, Vol. 9, No. 1, Februari 2015,
185.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
81 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
Menyoroti gerakan reformasi terpenting di Mesir, Ikhwa>n al-
Muslimi>n yang didirikan H{asan Al-Banna>23
>, menurut Raymond Beker,
elaborasi Islam dengan sosial di Mesir terbukti merupakan warisan
ikhwa>n al-muslimi<n yang paling berpengaruh bagi kehidupan
masyarakat Mesir modern. Hal tersebut ditandai dengan radikalisme
yang merupakan suatu identitas ‘Islam politik’.24
Mulai tahun 1950-an, ideologi dari Ikhwa>n al-Muslimi<n
berkembang ke arah yang lebih radikal, mereka menolak setiap
pemerintah berbasis non-syariah dianggap tidak sah secara hukum.25
Radikalisme agama sebenarnya muncul dari tekanan-tekanan yang
mereka rasakan seperti hukuman mati dan pengasingan yang
menimbulkan ketidaksetujuan di kalangan militan Islam. Dengan
23
Dalam rangka menekankan identitas politik sosial dan politik Islam
dan untuk mengadaptasi prinsip Islam terhadap kebutuhan masyarakat
modern, organisasi Ikhwa>n al-Muslimi>n muncul sebagai pandangan berbeda
mengenai dua persoalan kunci strategi politik serta penerapan syariat Islam.
Sebagaimana pendiri Ikhwa>n al-Muslimi>n, Hasan Al-Banna menyebarkan
pemurnian prinsip-prinsip Islam dan seruan kembali pada Al-Qur’an dan
kesalehan Islam. Ikhwa>n al-Muslimi>n juga muncul merespon pemikiran
politik Mesir yang sejak awal abad XIX selalu didominasi pertentangan
antara golongan nasionalis sekuler dan golongan Islam tradisional. Golongan
berpendidikan barat berpendirian bahwa sistem politik Barat harus diterapkan
di Mesir guna memajukan masyarakat Islam di masa mendatang. Golongan
Islam tradisionalis yang mayoritas ulama menganggap dirinya selama ini
sebagai penasehat pemerintah dalam aspek yang sangat luas termasuk
kebijakan politik, tidak memiiki kesiapan baik pemikiran maupun sikap dalam
menerima sistem politik barat. Kondisi demikian membuat penguasa dan
intelektual berpendidikan barat menganggap ulama sebagai kendala
modernisasi bahkan penyebab keterbelakangan dalam bidang politik, sosial
dan ekonomi. Lihat : Deniel Crecelius, ‚The Course of Secularization In
Modern Egypt‛ dalam John Esposito, Islam and Development: Religion and Sociopolitical Change (Syracuse: Syracuse University Press, 1980), 51
24Raymond Beker, Mesir dalam John Esposito (Ed), Ensiklopedi
Oxford Dunia Islam Modern, (Bandung: Mizan, 2002), Vol. ke- IV, 55. 25
Nathan J. Brown, ‚The Egyptian Muslim Brotherhood: Islamist
Participation in a Closing Political Environment‛, dalam The Carnegie Middle East Center (Beirut No. 19 March 2010), 6.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
82 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
sangat cepat akhirnya gerakan ini muncul dengan pandangan yang
berbeda mengenai dua persoalan strategi kunci politik dan perumusan
serta penerapan syariat Islam.26
Pada tahun 1967, ikhwa>n al-muslimi<n mengalami kekalahan
dahsyat disebabkan oleh dominasi rezim sekuler yang terus mengusung
kampanye kembalinya Islam dengan menghidupkan semangat kesatuan
dan persatuan bangsa. Bruce K. Rutherford menyatakan bahwa
pemikir Muslim seperti Yu>suf al-Qarada>wi<, Ta>riq al-Bis}ri<, Kama>l Abu>
al-Majd, dan Muhammad Sa>lim al-'Awa> telah mengembangkan rincian
hukum dan doktrinal negara liberal Islam, membentuk pemikiran
politik dan hukum yang dapat disebut ‘konstitusionalisme Islam’. 27
Menyoroti gerakan radikal di Mesir dalam beberapa tahun
terakhir, Usa>mah Sayyid al-Azhari< mengatakan bahwa saat ini umat
muslim menghadapi problematika yang sangat signifikan. Pemikiran
radikal yang semula hanya sebuah pemikiran berevolusi menjadi
sebuah organisasi, kelompok, dan aksi-aksi dilapangan. Bahkan dari
pemikiran radikal lahirlah generasi kedua dan ketiga yang telah
mengalami perkembangan pemikiran dan cara argumentasi hingga
pada akhirnya melahirkan kelompok-kelompok yang melakukan aksi
teror kemasyarakatan bahkan hingga pembunuhan.28
Usa>mah lebih
lanjut, Hakimiyah merupakan persoalan utama yang menjadi pijakan
kelompok radikal saat ini baik itu kelompok yang ada di Mesir yaitu
26
Tariq Ramadhan, ‚Hubungan antara Eropa dan Kelompok Islamis‛
dalam John Esposito et al, Dialektika Peradaban Modernisme Politik dan Budaya Di Akhir Abad ke-20 (Yogyakarta: Qalam, 2010), 187.
27Konstitusional Islam dimaksudkan bahwa negara sipil yang
diperintah oleh Islam dalam berarti bahwa hukum itu sah hanya jika sesuai
dengan prinsip-prinsip Syariah. Jika demokrasi, yang didalamnya terdapat
konsultasi atau syura merupakan seperangkat institusi yang membatasi
negara, menegakkan hukum, dan memungkinkan partisipasi publik dalam
politik, maka konstitusionalisme Islam sepenuhnya kompatibel dengan
demokrasi. Lihat: Bruce K. Rutherford, Egypt after Mubarak: Liberalism, Islam, and Democracy in the Arab World (New Jerse: Princeton University
Press, 2008), 319-320. 28
Usa>mah al-Sayyid al-Azhari<, Al-Haq al-Mubi<n Fi< al-Radd Ala> Man Tala>ba Bi al-Di@n (Abu Dhabi: Dar a-Faqih, 2015), 8.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
83 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
ikhwa>n al-muslimi<n juga berkembangnya pergerakan-pergerakan
organisasi cabang dan sempalannya.29
Islamisme telah lama terpinggirkan semenjak rezim Jama>l ‘Abd
al-Nas}r, Anwar Sa>da>t hingga pecahnya revolusi Mesir pada tahun
2011. Gerakan Islamis mulai meraih simpati setelah turunnnya rezim
Muba>rak. Bagaimanapun selama kurun ini gerakan Islamis tumbuh dan
berkembang. Pada kasus ikhwa>n al-muslimi<n, mereka mendapatkan
dukungan dan popularitas yang tinggi sehingga mampu mengambil
alih suara yang signifikan pasca revolusi 2011.30
29
Ideologi ekstremis ini tentu dipandang sebagai momok terpenting
yang membagi dunia menjadi dua pihak yang bertikai, dunia Barat dan dunia
Muslim, yang dibutuhkan adalah seluruh komunitas ulama Muslim, yang
mengadvokasi pandangan yang seimbang dan implementasi yang tepat dari
doktrin Islam - untuk mencoba dan menginstal kembali harmoni antara dua
kutub dunia yang sedang sakit ini. Menurut mantan grand sheikh Al-Azhar,
Ja>d al-Haq, bahwa mereka yang menggunakan kekerasan terhadap negara
bukan Muslim karena mereka menyerang komunitas Muslim. Dalam sebuah
pernyataan yang dibuat untuk memesan bagi pemerintah, ia kemudian
menamai mereka sebagai orang-orang Khawarij, dan merekomendasikan
hukuman sesuai Al-Quran. Pernyataan-pernyataan ini merujuk pada
kelompok-kelompok Islamis yang melakukan kampanye militan untuk
menjatuhkan pemerintah, yaitu Al-Jama>'ah Al-Isla>miyyah, Jiha>d Islam, dan
Vanguard of Conquest. Secara signifikan, Ikhwanul Muslimin, meskipun
dilarang, tidak membenarkan perubahan kekerasan dan karenanya tidak
dicakup oleh kecaman Al-Azhar. Lihat: Usa>mah al-Sayyid al-Azhari<, Al-Haq al-Mubi<n Fi< al-Radd Ala> Man Tala>ba Bi al-Di@n (Abu Dhabi: Dar a-Faqih,
2015), 9-10. 30
Dilihat dari pemilihan parlemen pertama Mesir setelah jatuhnya
Hosni Muba>rak, popularitas dan kekuatan organisasi Partai Ikhwan al-
Muslimin dan al-Huriyah wa al-Ada>lah yang memenangkan 77 dari 156 kursi
parlemen yang diperebutkan dalam putaran pemilihan pertama. Anehnya, itu
juga mengungkapkan kekuatan aliansi Salafi yang tak terduga, didominasi
oleh partai al-Nu>r, yang mengamankan 33 kursi. Sangat tidak nyaman bagi
orang Mesir sekuler dan pemerintah Barat, partai-partai Islam sekarang
mendominasi panggung politik Mesir.
Lihat: Jonathan Brown, ‚Salafis and Salaf In Egypt‛, dalam jurnal
Middle East The Carniege Papers, (Dec, 2011), 17.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
84 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
Secara historis memang tidak dapat dipungkiri bahwa Mesir
sebelum masa pemerintahan Husni< Muba>rak, tepatnya pada
pemerintahan Presiden Anwar Sada>t tahun 1970-an, gerakan
Islamisme tumbuh subur. Gerakan ini muncul disebabkan rezim Sadat
yang dengan jelas mengarahkan Mesir menuju liberalisasi politik.31
Meski demikian, gerakan Islamisme belum dapat berkembang
dengan baik. Pada tahun 1981, Presiden Sadat dibunuh oleh kelompok
Islamis radikal takfi@r wa al-hijra, yang kemudian digantikan oleh Sufi<
Abu> Ta>lib sebagai presiden. Tanpa proses yang lama, Sufi< Abu> Ta>lib
digantikan oleh presiden resmi H{usni> Muba>rak yang kala itu menjabat
sebagai wakil Presiden Sada>t. Lantas pada masa kepemimpinan H{usni>
Muba>rak ini, menguatlah aktivisme Islam di kalangan kaum muda
yang disebabkan pemberian panggung politik oleh H{usni>< Muba>rak bagi
kelompok Islamis untuk tumbuh dan berkembang.32
Dengan meningkatnya daya tarik Islamisme di Mesir pada saat
rezim H{usni> Muba>rak berkuasa, Muba>rak terus berusaha
memproyeksikan kepemerintahannya sebagai legalitas yang sah secara
agama. Sebagaimana diungkapkan oleh Rif‘at Sa‘i<d, seorang politisi
intelektual dan sekuler Mesir yang terkemuka, menurutnya,
pemerintah disatu sisi berperang melawan kaum Islamis, sementara di
sisi lain mereka memproklamirkan legalitas Islam secara sah diakui
daripada yang lain. Untuk mendapatkan legalitas Islam tersebut,
pemerintah telah mentransfer segala hal berkaitan administrasif
kepada Al-Azhar sebagai lembaga pendidikan tertinggi muslim
terkemuka. Dalam menerima begitu banyak modal politik, Al-Azhar
dapat dikatakan memiliki kekuatan yang cukup untuk bertindak
sebagai kekuatan ketiga dalam ruang antara pemerintah dan oposisi
Islam.33
31
Quintan Wiktorowicz, ‚Gerakan Sosial Islam: Teori, Pendekatan dan Studi Kasus‛, terj.Tim Penerjemah Paramadina (Yogyakarta: Gading
Publishing, 2012), 156 32
Quintan Wiktorowicz, ‚Gerakan Sosial Islam: Teori, Pendekatan dan Studi Kasus‛, terj.Tim Penerjemah Paramadina (Yogyakarta: Gading
Publishing, 2012), 145-146. 33
Steven Barraclough ‚Al-Azhar: Between the Government and the
Islamists‛ dalam Middle East Journal, Vol. 52, No. 2 (Spring, 1998), 236.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
85 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
Dalam iklim yang dihadapi Mesir seperti ini, ‘Ali< Jum‘ah
merepresentatifkan sebagai cendekiawan pemikiran moderat sekaligus
kritikus pemikiran ekstremisme dalam ranah intelektualitas muslim.
Selain karena afiliasi yang begitu erat dengan Al-Azhar yang terkenal
sebagai institut keilmuan Islam yang representatif juga sebagai kiblat
Islam moderat umat muslim.34
Selain itu beberapa tokoh cendekiawan
34
Al-Azhar yang merupakan lembaga dan perguruan tinggi tertua di
dunia membawa bendera moderasi Islam dan mencoba mengambil bagian
dalam panggung publik seiring munculnya Islam radikal. Dalam konteks
ideologi yang saat ini muncul dipermukaan publik gerakan Islam liberal dan
gerakan Islam radikal, al-Azhar mampu menghadirkan wajahnya sebagai
poros gerakan Islam moderat. Salah satu agenda utamanya adalah
memperbaiki citra Islam di dunia internasional sembari membuktikan bahwa
Islam adalah rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ’a>lamin). Garis-garis
moderatisme yang dimaksud adalah: Pertama, memastikan bahwa paham
Islam moderat tak akan melanggar atau melampaui garis-garis primer (al-thawa>bit). Kedua, membumikan toleransi. Ketiga, membangun dialog antar-
agama. Al-Azhar dan para tokoh-tokohnya adalah bagian dari gagasan
melawan para ekstremis dengan perspektif keagamaan moderat. Bahkan
pemerintah Mesir sendiri menetapkan Al-Azhar sebagai simbol legimitasi
Islam bagi negara Mesir. Hal tersebut dikukuhkan oleh H{usni< Muba>rak sejak
dilantik sebagai presiden tahun 1981. Pada saat-saat maraknya trend
Islamisme di Mesir, al-Azhar menjadi benteng terdepan dalam menghadapi
kaum Islamis tersebut seperti Al-Jama>‘a al-Islami<ya, Ikhwa>n al-Muslimi<n dan
lainnya. Dalam hal ini Al-Azhar membentengi ideologi keagamaan terlebih
ideologi politik seperti kampanye hukum al-Qur’an, Jihad, dsb sebagai slogan
yang bertujuan mencapai kekuasaan politik kepemerintahan Mesir. Selain itu,
Al-Azhar juga sebagai garda dalam memerangi kaum sekularis yang pada
tahun 1993 marak. Hal tersebut ditandai dengan peraturan pemerintah
memperbolehkan pelepasan hijab di sekolah-sekolah formal maupun non-
formal di Mesir. Lihat: Steven Barraclough, ‚Al-Azhar: Between the
Government and the Islamists‛ dalam Middle East Journal, Vol. 52, No. 2
(Spring, 1998), 236-249. https://www.jstor.org/stable/4329188. Diakses pada
29 Mei 2019. Karim Alrawi, "Goodbye to the Enlightenment," dalam Index on Censorship 23, nos. 1 and 2 (1994), 115.
Secara manhaj (metode) Al-Azhar menegakan paham ahlu al-sunah wa
al-jama’ah dalam konteks akidah dengan mengajarkan paham Asy’ariyah
sebagai paham akidah yang diikuti oleh banyak pengikut oleh kaum muslimin
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
86 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
muslim juga banyak mempengaruhi perkembangan intelektualitasnya.
Diantaranya Abd Alla>h ibn Siddi<q al-Ghuma>ri<, Abd al-Fatta>h Abu>
Guddah, Muḥammad Abu> al-Nu>r Zuhaiyr, Ja>d al-rabi Ramaḍān
Jum‘ah, Ja>d al-Haq{ Ali> Ja>d al-Haq, Abd al-Jali<l al-Q}aransha>wi< al-
Māliki dan lain sebagainya.
‘Ali< Jum‘ah yang berafiliasi Al-Azhar dan merupakan
cendekiawan senior Al-Azhar35
dikenal sebagai tokoh yang populer
dikalangan masyarakat Mesir bahkan dunia Islam sebagai seorang
mufti semenjak Ia selalu muncul di media cetak maupun elektronik
seperti siaran-siaran televisi, channel youtube dan lain sebagainya.
Puncaknya adalah pernyataan-pernyatannya yang dianggap
kontroversial berkaitan dengan Revolusi Mesir pada 25 Januari 2011.
Karena beberapa pernyataannya menyebabkan mundurnya presiden
Mesir, H{usni> Muba>rak pada 11 Februari 2011. Ia memperingatkan
Muba>rak, jabatannya yang pada saat itu Ia emban, akan lebih berakibat
pada potensi pertumpahan darah dan kekacauan dalam masyarakat
Mesir. Akan tetapi disatu sisi, Ia memperingatkan massa yang
memprotes Muba>rak bahwa demonstrasi yang mereka lakukan dapat
merusak keberlangsungan kehidupan bernegara, terlebih apabila
berpotensi menghilangkan nyawa satu sama lain, dan itu tidak
diperbolehkan (haram) dari sudut pandang hukum Islam.36
Pernyataan
tersebut berbanding balik ketika Revolusi Mesir ke-2 pada 3 Juli 2013
atau dikenal dengan sebutan ‚The 2013 Egyptian coup d'état‛37, Ia
di dunia. Dalam bidang fiqh, Al-Azhar mengajarkan Fiqih ‘Ala Madha>hib al-Arba‘ah (Fiqh Mazhab) yaitu Hanafiyah, Malikiyah, Shafiiyah dan Hanabilah.
Selain itu, Al-Azhar tidak mengingkari adanya ijtihad individu atau golongan seperti Ibad}iyah, Zhahiriyah, Imamiyah dan Zaidiyah. Lihat: ‘Ali< Jum‘ah,
Mutashadidu>n; Manh}ajuhum wa Muna>q{ashat Aha{mm Q{ad{a>yahum (Kairo:
Dar al-Muqatam, 2011), xxi. 35
Jonathan Brown, ‚Salafis and Salaf In Egypt‛, 17. 36
Pernyataan ini disampaikan ‘Ali< Jum‘ah melalui saluran youtube
berjudul ‚Fatwa> ‘Ali< Jum‘ah bi khus}us tad{ha>hara>ti yau>m al-jum‘ah‛
https://www.youtube.com/watch?v=7leQwsEB0&list=FLHfyNVWjX2twX7I
cYPOURZA&index=32 diakses pada 24 Juli 2019. 37
Kudeta Mesir 2013 berlangsung pada 3 Juli 2013. Panglima tentara
Mesir saat itu, Abd al-Fata>h al-Si<si< memimpin koalisi yang didukung oleh
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
87 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
menyatakan dukungan penuh terhadap kudeta presiden sah
Muhammad Mursi dan mendorong militer yang dipimpin Abd al-
Fatta>h al-Si>si> untuk menindak mereka yang memprotes kudeta.38
Hal
ini tentu menimbulkan reaksi berbagai kalangan, termasuk protes
Yu>suf al-Qara>d}awi> terhadap ‘Ali< Jum‘ah. Bahkan al-Qara>dawi< mencap
‘Ali< Jum‘ah sebagai budak militer dan mereka yang berkuasa untuk
melakukan kudeta pemerintah yang sah.39
‘Ali< Jum‘ah menyatakan bahwa Mesir adalah masyarakat yang
sangat religius, oleh karenanya, Islam akan mendapat tempat dalam
tatanan politik yang demokratis. Namun, Ia meyakinkan umat Islam
bahwa pada dasarnya hukum Islam menjamin kebebasan hati nurani,
ekspresi dan persamaan hak setiap warga negara. Berkaitan dengan
undang-undang Republik Arab Mesir, ‘Ali< Jum‘ah menyatakan bahwa
Islam adalah agama resmi negara dan bahwa undang-undang
didasarkan pada prinsip-prinsip hukum Islam serta menjamin
lawan politik pemerintah Mohamed El-Baradei, Grand Sheikh Al Azhar
Ahmed al-T{ayib, Ortodoks Koptik Paus Tawadros II untuk menjatuhkan
Presiden Mesir, Mohamed Morsi dari kekuasaannya dan menangguhkan
konstitusi Mesir tahun 2012. Langkah itu dilakukan setelah ultimatum militer
bagi pemerintah yang tidak berhasil menyelesaikan konflik dengan para
demonstran secara nasional yang terus meluas. Militer menangkap Mursi dan
para pemimpin Ikhwan al-Muslimin. Lihat: Ben Wedeman "Coup topples
Egypt's Morsy; deposed president under house arrest'" dalam CNN, 4 July
2013. https://edition.cnn.com/2013/07/03/world/meast/egypt-protests diakses
pada 25 Juli 2019. 38
"Sheikh Ali Gomaa, former mufti of Egypt, cancels London visit for
fear of prosecution". Dalam Middle East Monitor. https://www.middleeastmonitor.com/20140205-sheikh-ali-gomaa-former-
mufti-of-egypt-cancels-london-visit-for-fear-of-prosecution/ diakses pada 25
Juli 2019. 39
David Schenker, ‚Qara>d{awi< and the Struggle for Sunni Islam‛ dalam
The Washington Institute pada 16 oktober 2013. Diakses dari
https://www.washingtoninstitute.org/policy-analysis/view/qaradawi-and-the-
struggle-for-sunni-Islam pada 5 Agustus 2019.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
88 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
kewarganegaraan penuh di depan hukum kepada masyarakat Mesir
tanpa memandang agama, ras atau kepercayaan.40
Sebagai seorang sarjana muslim, ‘Ali< Jum‘ah intens memberikan
kritikan dan argumen terhadap para sarjana lain begitu pula dalam
kapasitasnya sebagai cendekiawan moderat, ‘Ali< Jum‘ah menjadi
banyak rujukan sebagai perdamaian antar agama banyak tulisan dan
pendapatnya dimuat baik itu di Mesir sendiri maupun dunia Islam
lainnya bahkan non-Islam sekalipun.41
Dalam buku The Future of Islam, John L. Esposito mengungkapkan bahwa ‘Ali< Jum‘ah
merupakan salah satu pemikir Islam kontemporer juga sebagai simbol
pragmatis kebenaran Islam menghadapi tantangan zaman modern.42
Selain itu, ‘Ali< Jum‘ah dikenal pula sebagai guru tasawuf yang
dihormati.43
Semenjak tahun 2001, ‘Ali< Jum‘ah seringkali
menyampaikan serangkaian kuliah umum berkaitan tasawuf yang
mana dari kuliah-kuliahnya tersebut dimodifkasi menjadi sebuah buku
dengan judul The Path to God (al-T{arīq ila> Allah). Ia mengungkapkan
40
‘Ali< Jum‘ah, "In Egypt's Democracy, Room for Islam" dalam The New York Time, 1 April 2017.
https://www.nytimes.com/2011/04/02/opinion/02gomaa.html?_r=1 diakses
pada 25 Juli 2019. 41
Dikutip dari majalah The Atlantic Monthly, ‘Ali< Jum‘ah mengambil
sikap yang sangat jelas menentang interpretasi ekstrimis tentang Islam dan
menobatkannya ulama paling anti-ekstremis di arus utama Islam Sunni.‚ juga
beberapa juga tulisan artikel tentang ekstrimisme seperti artikel yang berjudul
‚Terorism Has Not Religion‛ diakses dari http://theamericanmuslim.org pada
26 Juni 2019. 42
Ibra>hi<m Najm, The Epistemology of Excellence: A Journey into the Life and Thoughts of the Grand Mufti of Egypt, 119.
43Mesir dikenal sangat kental akan sufistik. Tasawuf dalam kehidupan
keagamaan Mesir sangat berarti dan sulit untuk dihindari. Tak terkecuali Al-
Azhar tersendiri. Meskipun al-Azhar bukan monolitik, identitasnya telah
terkait dengan tasawuf. Melalui Grand Sheikh al-Azhar, Ahmad al-T{ayyeb,
yang merupakan seorang sheikh sufi turun-temurun dari nasabnya
menyatakan dukungannya untuk pembentukan liga Sufi dunia; begitupula
cendekiawan senior al-Azhar ‘Ali< Jum‘ah juga merupakan seorang guru sufi
yang sangat dihormati. Lihat: Jonathan Brown, ‚Salafis and Salaf In Egypt‛,
dalam jurnal Middle East The Carniege Papers, (Dec, 2011), 17.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
89 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
pentingnya memahami esensi ibadah, yaitu kehadiran hati, yang
tanpanya ibadah akan berubah menjadi ritual belaka dan hampa.
Kehampaan yang kosong ini mengubah ritual menjadi sekadar
penampilan dan simbol tanpa makna di hadapan Allah.44
Menurut ‘Ali< Jum‘ah juga, sufisme diperlukan untuk perbaikan
moral yang tepat dan penciptaan hati yang murni dan manusia beradab
yang bekerja untuk mengembangkan dan membangun masyarakat yang
bermartabat dan tidak menimbulkan kerusakan. Sufisme pula turut
ikut andil dalam mendekonstruksi ideologi teroris yang fenomenal saat
ini. ‘Ali< Jum‘ah percaya bahwa puritanisme dan pembacaan ekstremis
yang dilakukan oleh kaum radikal mewakili penyimpangan bagi Islam
tradisional Mesir.
Setelah pensiun dari jabatannya sebagai mufti, Ia terus
menghidupkan tradisi kajian-kajian pembelajaran informal di Masjid
Al-Azhar atau yang terkenal dengan sebutan talaqqi. Hal tersebut Ia
lakukan semenjak tahun 1998, dengan sering menghadirkan sesi tanya
jawab keagamaan setelah rangkaian ibadah shalat Jum’at di Masjid
Sultan Hasan, di mana ‘Ali< Jum‘ah selalu menyampaikan pesan
moderat dan menentang mereka yang memutarbalikkan ajaran Islam
tanpa pengetahuan yang komprehensif. Dan ini membuatnya sangat
populer di kalangan masyarakat yang tidak nyaman dengan
ekstremisme. Di sisi lain, hal ini pula membuatnya sangat deras
kecaman dari mereka yang berseberangan dengan ‘Ali< Jum‘ah, terlebih
berkaitan dengan politik bahkan ‘Ali< Jum‘ah juga dijadikan target oleh
kelompok Islamis ekstremis. Bahkan sempat lolos dari upaya
pembunuhan terhadap hidupnya di luar masjid di Kairo.45
Mengomentari tipikal ekstrimis kontemporer, ‘Ali< Jum‘ah
mengkritisi kesalahan paradigma mereka dalam bersikap merumuskan
hukum. Dalam karya al-Mustashadidu>n46, ‘Ali< Jumah mengungkapkan
44
Ibra>hi<m Najm, The Epistemology of Excellence: A Journey into the Life and Thoughts of the Grand Mufti of Egypt, 121.
45The Most Influential Muslim-2018. (Amman: The Royal Islamic
Strategic Studies Centre, 2018), 64-65. Diakses di http://www.rissc.jo pada 9
Juni 2019. 46
‘Ali< Jum‘ah, Mutashadidu>n; Manh}ajuhum wa Muna>q{ashat Aha{mm Q{ad{a>yahum, 4-6.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
90 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
bahwa kaum ekstrimis sering mengkampanyekan nalar black conspiration (konspirasi hitam). Hal ini diaplikasikan seolah mereka
dihinggapi adanya black conspiration terhadap mereka dari masyarakat
sekitar. Sebagaimana seakan semua negara dunia membenci Islam,
upaya ini direalisasikan melalui tiga sayap aliran perusak, yaitu
zionisme (yahudi), kaum misionaris dan kaum sekuler dan itu
membuat mereka berapi-api untuk menjadi musuh bagi mereka orang-
orang disekitar mereka. Selain itu, kaum ekstrimis selalu menonjolkan
kesombongan dan ujub. Implikasinya mereka meremehkan berbagai
pendapat yang bertentangan dengan mereka. Sesuatu yang z{anni< (belum pasti) bisa berubah menjadi sesuatu yang qat }‘I < dalam
pandangan mereka.
Senantiasa menentang segala bentuk bentuk pembaharuan dalam
agama dengan alasan bahwa setiap yang baru adalah bid‘ah dan setiap
bid‘ah adalah itu sesat dan setiap kesesatan itu masuk neraka.
Sehingga mereka hanya hanya mengamati kulit luar saja mereka sulit
melepaskan hawa nafsu ketika berintraksi dengan nas}s}-nas}s} Al-Qur’an
maupun sunnah. 47
Secara garis besar ‘Ali< Jum‘ah menganggap bahwa kaum
ekstrimis sangat sulit untuk menerima pemikiran atau pemahaman
yang sehat. Mereka hanya percaya pada sebuah kelompok kecil yang
mereka anggap sesuai dengan kehendak pemikiran mereka. Hal ini
dapat berimplikasi tidak akan pernah dapat menerima pesan
pengetahuan apapun dari masyarakat lain.
Perdebatan ini setidaknya menggambarkan bahwa ‘Ali< Jum‘ah
merupakan seorang tokoh intelektual muslim yang ada saat ini. Dalam
hal orientasi metodologis dan tipologis pemikiran, ‘Ali< Jum‘ah
berpegang pada kedudukan sunni< dan ‘Ash‘ari< dalam mazhab teologis.
Dalam kaitannya fiqh -meskipun ‘Ali< Jum‘ah memiliki kecenderungan
khusus terhadap mazhab al-Sha>fi'i<, namun dalam banyak fatwa-
fatwanya ‘Ali< Jum‘ah sering mengakomodir lintas mazhab pemikiran,
dan mempertimbangkan maslahat dari masing-masing pendapat setiap
mazhab. Bahkan tak segan pula ‘Ali< Jum‘ah mengambil pendapat
47
‘Ali< Jum‘ah, Mutashadidu>n; Manh}ajuhum wa Muna>q{ashat Aha{mm Q{ad{a>yahum, 7.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
91 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
mazhab selain Sha>fi>‘i>< sesuai kebutuhan realita yang lebih maslahat.
Sehingga hukum-hukum yang dihasilkan dari fatwa-fatwanya terkesan
adaptable dengan realita.
2. Usu>l al-Fiqh dan Realitas Sosial Kontemporer
a. Pembaharuan Usu>l al-Fiqh Ke Arah Yang Ideal
Us}u>l al-fiqh merupakan pondasi utama dalam bangunan hukum
Islam. Sebagaimana menurut ‘Ali< Jum‘ah, us}u>l al-fiqh dikategorikan
sebagai ilmu alat yang berfungsi sebagai sebuah metodologi dalam
rangka memahami nas}s} shar‘i < dan tata cara interaksi yang benar
terhadap wahyu.48
Sebagai the queen of Islamic sciences, us}u>l al-fiqh
memegang peranan penting dalam melahirkan ajaran Islam menjadi
rahmatan lil ‘a>lami>n. Sebagaimana dimaklumi us}u>l al-fiqh sebagai
mesin produksi fiqh selalu berdialektika dengan problem
kontemporer.49
Hal ini sebagaimana diungkapakan oleh Muhamm{ad
Abu> Zahra>, menurutnya secara metodologis, fiqh tidak akan terwujud
tanpa ada metode istinba>t dan metode instinba>t itulah sebagai inti dari
us}u>l fiqh.50
Bagi ‘Ali< Jum‘ah ilmu usu>l al-fiqh merupakan metodologi yang
dapat berkembang sesuai dengan tempat dan waktu. Sebagai satu
metodologi, tentu saja ilmu usu>l al-fiqh sangat terpengaruh oleh
kondisi sosial yang melatarbelakangi pembentukan ilmu tersebut.
Mengingat bahwa sejak pembukuan awal ilmu usu>l hingga saat ini
telah berlangsung selama sekian abad, maka sudah menjadi satu
keniscayaan untuk kemudian mengembangkan, mengkaji ulang dan
menyesuaikan ilmu usu>l al-fiqh sesuai dengan konteks kekinian. Maka
pembaharuan ilmu usu>l mejadi satu keniscayaan. Hanya yang
48
‘Ali< Jum‘ah, Us}u>l al-Fiqh wa Ala>qatuhu Bi al-Falsafah, (Kairo: Al-
Ma'had Al-A<lami Li al-Fikr al-Isla>mi<, 1996), 7. 49
Imran Ahsan Khan Nyazee, Theories of Islamic Law; The Methodology of Ijtihad (Pakistan: Research Institute and International
Institute of Islamic Islamic Thought, 1945), 1. 50
Muhammad Abu> Zahra>, Us}u>l al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabiy
1958), 1
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
92 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
dibutuhkan kemudian adalah standar yang jelas sehingga pembaharuan
ilmu usu>l dapat berjalan sesuai dengan harapan.51
Banyak sekali fenomena realitas yang muncul di era modern,
yang menurut para cendekiawan tidak cukup penjelasannya hanya
dengan menggunakan perangkat metodologi hukum Islam klasik,
bahkan menuding bahwa kerangka teoritis usu>l al-fiqh klasiklah
penyebab kemunduran Islam dimasa sekarang. Oleh sebab itu menurut
mereka formulasi tersebut harus menyentuh level yang fundamental
yaitu dasar-dasar teoritis hukum Islam atau yang dikenal dengan usu>l
al-fiqh. Al-Nai<m misalnya mengatakan, bahwa kemunduran yang
dialami oleh fiqh Islam dewasa ini diduga kuat disebabkan oleh kurang
relevannya perangkat teoritik ilmu usu>l al-fiqh untuk memecahkan
problem kontemporer.52
Oleh karenanya apabila para pemikir Islam
hukum tidak memiliki kemampuan dan keberanian untuk
memformulasikan dan mengantisipasi setiap persoalan dalam
masyarakat dan menyelesaikan hukumnya, maka hukum Islam akan
kehilangan aktualisasinya.53
Jama>l al-Banna> menyatakan, saat ini banyak sektor kehidupan
yang telah berkembang dan melahirkan masalah-masalah baru yang
belum disinggung oleh hukum Islam produk abad pertengahan. Selain
itu, interaksi-interaksi sosial telah berganti, belum ada sistem hukum
agama yang dapat mengekspresikan tujuan agama dalam realitas
tersebut. Ini disebabkan fasilitas dan sarana kehidupan telah berubah
dan berkembang, sehingga hasil keputusan hukum tertentu dalam
format lamanya sudah tidak relevan lagi. Bersamaan dengan itu, ilmu
pengetahuan mengalami perkembangan pesat, sementara hukum Islam
lama berpijak pada pengetahuan terbatas ihwal metode perumusan
51
‘Ali< Jum‘ah, A<liya>t al-Ijtiha>d (Kairo: Da>r al-Fikr, 2004), 98-99. 52
Abdullahi Ahmed Al-Naim, Towards An Islamic Reformation; Civil Liberties, Human Right And International Law (New York: Syracusse
University Press, 1990), 39. 53
Sha>h Waliyullah bin Abd al-Rahm>an al-Dahlawi@, Hujjah Allah al-Ba>lighah, (Kairo: Maktabah Da>r al-Tura>th, 2005), 19.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
93 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
sistem hukum yang mempunyai relevansi dengan realitas alam dan
norma-norma sosial.54
Inilah yang menjadi kegelisahan dan keresahan intelektual ‘Ali<
Jum‘ah, menurutnya, us}u>l al-fiqh bukanlah cabang ilmu yang sudah
sempurna atau final, namun masih membutuhkan perbaikan agar lebih
sesuai dengan perkembangan zaman. Us}u>l al-Fiqh klasik perlu
mendapat kajian dan penulisan ulang agar dapat disesuaikan dengan
konteks kekinian. Tidak hanya sampai disitu, Ia juga menghendaki
terjadinya penambahan dalam muatan us}u>l al-fiqh.55
Lebih lanjut, ‘Ali< Jum‘ah menegaskan bahwa us}u>l fiqh
merupakan cabang baru pada saat generasi salaf lambat laun mulai
berangsur punah. Karena dahulu generasi salaf tidak membutuhkan
ilmu tersebut, sebab pemahaman mereka terhadap teks shara‘ berasal
dari keterampilan kebahasaan mereka. Selain itu, sebagian kaidah
untuk memahami teks shara‘ dalam menyimpulkan hukum telah
mereka kuasai dengan baik. Hingga pada abad ke-2 H, ilmu berubah
menjadi profesi, maka para fuqaha dan mujtahid membutuhkan kaidah
dan ketentuan untuk digunakan sebagai instrumen dalam merumuskan
hukum dari teks-teks shara‘. Pada gilirannya mereka merumuskan
kaidah-kaidah tersebut yang pada kemudian hari disebut us}u>l al-fiqh.56
Dalam perjalanan us}u>l al-fiqh selama kurun waktu 13 abad, us}u>l
al-fiqh mengalami perubahan-perubahan mendasar, baik dari segi
metodologi penulisan maupun dari segi materi pembahasan-
pembahasan us}u>l al-fiqh sendiri.57
Kemudian pada abad ke-15 H
54
Jama>l Al-Banna>, Nahw Fiqh Jadid (Kairo: Da>r al-Fikr al-Islami<,
2000), 299. 55
‘Ali< Jum‘ah, Q}{a}diyah Tajdi<d Us}u>l al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Hida>yah,
1993), 21-22 56
‘Ali< Jum‘ah, Ta>ri>kh Usu>l al-Fiqh, 7 57
Ditandai dengan kemunculan karya fenomenal al-Sha>fi>‘i> yaitu
al-Risa>lah yang memuat tulisan us}u>l fiqh dengan metodologi sangat
sederhana dan jauh dari sistematis, namun isinya begitu berbobot dan
padat. Kemudian dikembangkan oleh ulama al-Sha>fi>‘iyyah, diantanya
Ima>m al-Harama>in (478 H) yang mengkompilasikan metodologi
mazhab al-Sha>fi>‘i> dan sisi ist}i>nba>t ulama mazhab al-Sha>fi>‘i> dalam
adikaryanya Niha>yah al-Math{lab Fi< Dira>yat al-Mazhab, lalu al-Ghaza>li<
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
94 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
sekarang ini, setelah melalui modifikasi dan perkembangan selama 13
abad lamanya, bermunculan buku-buku us}u>l al-fiqh yang metodologi
penulisannya menggunakan pendekatan-pendekatan tertentu seperti
pendekatan yang memudahkan para penuntut ilmu atau yang
menekankan pada penelitian ataupun cenderung kepada studi
komparatif ataupun yang cenderung mengambil fungsi awal us}u>l al-
fiqh digunakan untuk memahami Al-Qur’an dan hadis.
‘Ali< Jum‘ah mengkritisi beberapa permasalahan yang muncul
dalam ilmu us}u>l fiqh. ‘Ali< Jum‘ah menyatakan suatu hal yang aneh
jika seseorang yang menguasai us}u>l al-fiqh dan fiqh secara bersamaan,
akan tetapi hanya menguasai dalam pengajaran saja, dan hanya
mengetahui fiqh dalam lingkup ruang materi pelajaran saja. Sebagaian
besar karya-karya us}u>l al-fiqh telah membawa seseorang jauh dari
tujuan mempelajari us}u>l al-fiqh itu sendiri, dan lebih banyak condong
mendorong seseorang untuk menjadikannya sebagai tujuan dari
memperkaya materi pelajaran itu sendiri, yaitu untuk menambah gelar
bagi yang mengajar us}u>l al-fiqh sebagai ulama us}u>l.58
Oleh karenanya
menurut ‘Ali< Jum‘ah perlunya tinjauan ulang kembali us}u>l al-fiqh agar
lebih terarah sebagaimana semestinya tujuan dari mempelajari us}u>l al-
fiqh itu sendiri dan memaksimalkan peran us}u>l al-fiqh dalam
menyelesaikan permasalahan kontemporer. Sebagaimana diantaranya
penulisan ulang secara metodologis dan sistematis penulisan agar
(505 H) yang menyempurnakan apa yang telah dimulai gurunya Ima>m
al-Harama>in, lalu pada gilirannya disusun secara sistematis oleh Fak{hr
al-Ra>zi< (606 H) dan al-A<midi< (631 H), keduanya , menggunakan
metode tahq{i<q al-masalah. Kemudian dari ulama Malikiyah
dikembangkan oleh al-Qara>fi@ (687 H) dalam karyanya al-Tanqiha>t.
Disisi lain, ulama Hanifiyah seperti Abu> Mansu>r al-Maturidi< (333 H),
Abu> Hasan al-Kara>kh{i< (340 H), Abu> Bakar al-Jas{a>h, Abu> Zayd al-
Dabu>si< ( 430 H) Abu> Yusr al-Bazdawi< (482 H) telah menyusun us}u>l
fiqh dengan metodologi sendiri. Disamping itu, terdapat ulama
mutakhiri@n yang menulis us}u>l fiqh dengan menggabungkan dua
metodologi diatas seperti al-Subki, ibn Qayim, Al-Sha>tibi<, al-
Shawka>ni>, dan lainnya. Lihat: ‘Ali< Jum‘ah, Ta>ri>kh Usu>l al-Fiqh, 5- 9. 58
‘Ali< Jum‘ah, A<liya>t al-Ijtiha>d, 61.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
95 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
dapat disesuaikan dengan konteks saat ini dengan dikemas dengan
bahasa-bahasa kekinian agar mudah dipahami.
Studi usu>l fiqih konvensional masih berputar pada pendekatan
doktriner normative. Hal ini diakibatkan hukum Islam masih sangat
didominasi oleh model penarikannya yang diderivasikan dari wahyu
saja sedangkan realitas sosial yang hidup dan berlaku dimasyarakat
kurang mendapatkan perhatian yang memadai dan tempat yang
proposional dalam kerangka metodologi hukum Islam.59
Hal tersebut
sebagaimana dilontarkan oleh Muhammad Sa‘i<d al-Ashma>wi>, bahwa
pembedaan antara agama sebagai ide murni dan sebagai pemikiran
untuk menguraikan ide murni tersebut. Agama sebagai suatu ide atau
sistem ide dan kepercayaan bersifat ketuhanan tidak dapat diletakkan
dalam konteks kemanusiaan. Sementara pemikiran keagamaan adalah
produk manusia dan berkaitan dengan masyarakat tidak dapat
dipisahkan dari realitas sosial tertentu dan sejarah masyarakat60
,
Pandangan hampir serupa juga dikemukakan Kha>lid Abu> Sulai<ma>n,61
Fazlur Rahman62
dan ‘Abd al-Hami<d Abu> Sulai<ma>n63
. Dilihat dari
orientasi utama dalam kajian usu>l al-fiqh sebagaimana dikatakan T{a>hir
Ibn Ashu>r. Betapa besar dalam persoalan usu>l al-fiqh tidaklah
59
Dalam hal ini, Imam al-Sha>tibi sebagaimana dikuti al-Ja>biri<
menyatakan bahwa epistomologi ilmu usu>l fiqh yang telah ada sebelumnya
mempunyai kekurangan karena hanya berputar pada mengutak-atik teks teks
untuk mendapatkan kebenaran bayani. Abid Ali Al-Jabiri<, Bunyah al-‘Aq{l wa al-‘Arabi<, Dira>sah Tahliliyah Naqdiyah Li al-Niza>mi al-Ma’rifah al-Thaqafah al-A’rabiyah (Beirut: al-Markaz al-Thaqa>fi al-‘Arabi<, 1993), 540.
60Muhammad Sa’i<d al-Ashma>wi, <Us}u>l al-Shari<’ah (Beirut: Da>r al-Iqra,
1983), 24. 61
Kha>led Abu> al-Fad{l mengajak untuk melakukan pembongkaran-
pembongkaran terhadap otoritarianisme dalam hukum Islam. Kha>led Abu> al-
Fad{l Speaking In God’s Name: Islamic Law, Authority and Women, 18. 62
Fazlur Rahman, Islam and Modernity Transformation of An Intellectual Tradition (Chicago: The University of Chichago Press, 1996), 7.
63Abd al-Hami<d Abu> Sulayma>n, Towards An Islamic Theory of
International Relation: Directions For Methodology and Thought (Virginia:
The International of Islamic Thought, 1993), 64.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
96 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
berorientasi pada pelayanan hikmah shar‘i > dan tujuannya tapi
orientasinya berputar pada penarikan hukum dari lafal shar‘i<.64
Sebenarnya geliat ide pembaharuan marak dilakukan para
sarjana dalam bidang usu>l al-fiqh, diantaranya Rifa>'at al-T{ahta>wi<,
Meskipun secara umum pembaharuan bersifat umum untuk semua
cabang ilmu melalui bukunya yang fenomenal al-Qa>ul sadi<d fi< Tajdi<d wa Taqli<d.65
Sedangkan untuk pembaharuan ilmu usu>l al-fiqh di era
kontemporer saat ini, beberapa ulama telah mewacanakan
permasalahan ini lebih mendalam seperti yang diwacanakan oleh
H{asan Tura>bi<, Jama>l al-Di<n al-‘At}iyah, Muhammad Sali<m al-‘Awa>,
T{aha> Ja>bir Al-‘Alwa>ni, Amr al-T{ala>bi< dan lain sebagainya.
H{asan T{urabi< misalnya, menghendaki reformasi total dalam
penggalian hukum Islam dalam hal ini usu>l al-fiqh. Ia menganggap
bahwa usu>l al-fiqh saat ini sudah tidak relevan dengan perkembangan
zaman. Baginya, usu>l al-fiqh klasik merupakan jawaban terhadap
problematika umat yang berkembang pada saat itu yang masih sangat
sederhana. Sementara permasalahan kontemporer semakin luas dan
sangat kompleks. Jika memang ilmu usu>l al-fiqh adalah jawaban atas
realitas sosial kemasyarakatan yang dipengaruhi ruang dan waktu,
maka untuk menjawab berbagai tantangan yang terus meluas
dibutuhkan usu>l al-fiqh yang lebih sesuai dengan perkembangan
zaman. H{asan T{urabi< juga mengajak untuk menyelesaikan
ketidakjelasan metodologis yang menimpa ilmu usu>l al-fiqh, ilmu usu>l
al-fiqh perlu direkonstruksi dengan cara menyatukan antara ilmu-ilmu
naql dengan ilmu-ilmu rasional.66
Berbeda halnya dengan Sali<m al-‘Awa> yang menginginkan agar
rekonstruksi dapat dimulai dari analisa kritis terhadap penerapan ilmu
usu>l al-fiqh tersebut. Dengan kata lain, Ia masih sepakat terhadap
kandungan ilmu usu>l al-fiqh klasik, hanya saja ketika berhadapan
dengan realita yang berbeda, maka usu>l al-fiqh harus menyesuaikan
64
Muhammad Ibn T{a>hir Ibn Ashu>r, Maqa>sid al-Sha>ri<ah al-Islamiyah
(Kairo: Da>r al-Salam, 2005), 4. 65
‘Ali< Jum‘ah, Q}{a}diyah Tajdi<d Us}u>l al-Fiqh, 4. 66
H{asan al-Tura>bi<, Tajdi<d Usu>l al-Fiqh al-Isla>mi< (Kh}arto>um: Maktabah
Da>r al-Fikr, 1980), 45-46. Lihat juga: H{asan al-Tura>bi>, Q}ad{a>ya> al-Tajdi>d Nahwa Manhaj Usu>l i (Beirut: Da>r al-Ha>di: 2000), 167-168.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
97 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
diri sehingga akan menghasilkan fiqh yang berbeda pula. Ilmu usu>l al-
fiqh klasik masih dapat memberikan jawaban terhadap realitas
kontemporer tanpa harus merubah bahkan menghancurkan kerangka
dasar ilmu usu>l al-fiqh itu sendiri.67
Hal senada diungkapkan, Jama>l al-Di<n al-At}iyah, dengan
memperluas lapangan ijtihad sehingga menyentuh usul al-fiqh yaitu
kaidah-kaidah dalam ilmu-ilmu usu>l al-Fiqh. Dalam hal ini, Jama>l al-
Di<n al-At}iyah memberikan kerangka dasar sebagai upaya
memformulasikan fiqh dari dua sisi. Pertama, bahwa yang
berhubungan dengan persoalan metodologis fiqh harus dibangun
dengan tradisi Islam yang ada selama ini. Artinya fiqh tidak usah
menggunakan pendekatan lain dari luar Islam. Kedua yang berkenaan
dengan teori inti fiqh dimana fiqh harus dilihat secara objektif dan
dinamis.68
Sedangkan menurut ‘Ali< Jum‘ah merespon pembaharuan ilmu
usu>l fiqh ini, bahwa sebagai metodologi dalam kajian hukum Islam,
us}u>l al-fiqh merupakan cabang ilmu yang didalamnya berkaitan dengan
bahasa arab, ilmu kalam dan fiqh.69
us}u>l al-fiqh sebagai disiplin yang
mengkaji hukum bukan hanya mempelajari masalah hukum dan
legimitasi dalam suatu konteks sosial melainkan juga melihat
persoalan hukum sebagai masalah epistimologis. Dengan kata lain,
us}u>l al-fiqh tidak hanya berisi mengananlisa argumen dan penalaran
hukum belaka, tetapi juga terdapat pembicaraan mengenai logika
formal, teori linguistik dan epistimologi hukum.70
Diantara masalah yang perlu dikaji ulang adalah penyederhanaan
bahasa terutama didalam membuat definisi tidak terlalu membesarkan
masalah yang diperselisihkan ulama, membuang masalah yang tidak
ada kaitannya dengan usu>l al-fiqh, seperti beberapa masalah tentang
bahasa, ilmu kalam filsafat, mustalah hadith dan mengaplikasikan
setiap masalah yang dibahas dengan contoh-contoh konkrit yang
67
Muhammad Sali<m Al-Awa>, Al-Isla>mi< Fi< al-T{ari<q al-Tajdi<d (Beirut:
Maktab al-Isla>mi<, 1998), 22. 68
Jama>l al-Di<n al-At}iyah, Tajdi<d al-Fiqh al-Islami<, (Damaskus: Da>r al-
Fikr, 2000), 9. 69
‘Ali< Jum‘ah, Q}{ad{iyah Tajdi<d Usu>l al-Fiqh, 19. 70
‘Ali< Jum‘ah, A<liya>t al-Ijtiha>d, 61.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
98 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
dibutuhkan masyarakat serta berusaha menggunakannya untuk
memahami Al-Qur’an dan hadis yang merupakan tujuan utama dari
ilmu usu>l al-fiqh itu sendiri.71
Pada dasarnya, ‘Ali< Jum‘ah sendiri cenderung sepakat dengan
rekonstruksi ilmu usu>l al-fiqh. Hanya saja Ia memberikan beberapa
catatan, diantaranya adalah:
Perlu dibukukannya ilmu usu>l al-fiqh sesuai dengan susunan
dan model pembukuan kontemporer.
Usu>l al-fiqh juga perlu dipermudah dan disederhanakan dengan
menghindari berbagai perdebatan lafaz ulama klasik yang
kiranya tidak berpengaruh pada penetapan hukum.
Terkadang apa yang dikehendaki ulama salaf tidak dapat
dipahami oleh khalaf. Untuk itu, perlu dibentuk mu‘jam must}alaha>t us}u>liyyah yang dapat menerangkan secara jelas
mengenai berbagai definisi dan persoalan usu>l lainnya.
Begitu pula, sedapat mungkin ilmu usu>l al-fiqh dapat
mengambil pelajaran dari metodologi ilmu sosiologi, dan
demikian juga sebaliknya, ilmu sosiologi dapat mengambil
pelajaran dari metodologi ilmu usu>l al-fiqh.
Sementara dari segi kandungan ilmu usu>l al-fiqh dapat diadakan
kajian ulang sebagai berikut: Petama, Memasukkan ilmu maqa>s}id, ilmu
qawa>‘id, furuq dan al-takhri>j dalam ilmu usu>l al-fiqh supaya lebih
kelihatan dalam tataran praktis. Kedua, Membuang al-dakhil.
Maksudnya adalah menghindari kajian yang tidak berkaitan erat
dengan ilmu usu>l. Ilmu lain yang berkaitan dengan ilmu usu>l dapat
dibukukan secara independen seperti ilmu kalam, logika dan ilmu
bahasa. Ketiga, Membuat daftar isi yang jelas agar dalam berinteraksi
dengan ilmu usu>l al-fiqh semakin mudah. Keempat, Menyusun kembali
ilmu usu>l al-fiqh secara sederhana setelah membuang al-da>kh}il.
Menerangkan perbedaan pendapat dari ulama usu>l serta
mencantumkan pendapat yang dianggap paling ra>jih.
Selain itu, pengembangkan dari tema kandungan ilmu usu>l al-
fiqh sebagaimana berikut:
71
‘Ali< Jum‘ah, A<liya>t al-Ijtiha>d, 48.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
99 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
Pertama, Menerangkan inti-inti dari pembahasan yang perlu
digunakan dan mengeluarkan permasalahan furu>’iyah (takhri<j al furu>’), mengkaitkan dengan kaidah fiqhiyyah dan disertakan keterangan
mengenai manfaat yang dapat diambil dari berbagai perbedaan
pendapat tersebut. Kedua, Menjadikan maqa>s}id shar‘iyah sebagai
sandaran dalam fatwa. Ketiga, Mengembangkan dan mengkaji kembali
sumber-sumber hukum dan metodologi yang perlu digunakan
(mas}a>dir-mana>hij-adawa>t). Keempat, ijma>‘ dan ijtihad dirubah dalam
bentuk lembaga-lembaga formal. Kelima, Menggunakan metodologi
ilmu usu>l al-fiqh dalam ilmu-ilmu sosial. Keenam, Menggunakan
metodologi ilmu-ilmu sosial dalam ilmu usu>l al-fiqh. Ketujuh, Memanfaatkan berbagai cabang ilmu baru yang dapat membantu
dalam pengembangan ilmu usu>l al-fiqh.72
Berdasarkan pengamatan penulis, disini dapat disimpulkan
bahwa ‘Ali< Jum‘ah dalam pendapatnya terkait pembaharuan cenderung
pada prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh para ulama klasik.
Hanya saja pembaharuan lebih pada format dan isi usu<l al-fiqh yang
dirasa perlu lebih dipermudah pada zaman kontemporer saat ini. Di
lain sisi, yang tak kalah menarik dari ‘Ali< Jum‘ah mengenai fenomena
pembaharuan us}u>l al-fiqh adalah kritikannya terhadap sarjana
pengusung teori pembaharuan us}u>l al-fiqh semisal H}asan al-Tura>bi<,
Jama>l al-Di<n al-‘At}iyah dan Sali<m al-‘Awa>.
‘Ali< Jum‘ah mengkritik bahwa apa yang dilontarkan al-Tura>bi<
hanya sebatas wacana dan tidak menyentuh rekonstruksi dalam usu>l al-
fiqh sama sekali. Terdapat inkonsistensi antara konsep dan
implementasi, karena H{asan al-T{urabi< tidak menjelaskan tema mana
saja yang sudah tidak sesuai dengan konteks kekinian dan juga tema
apa yang perlu ditambahkan agar lebih sesuai dengan situasi dan
kondisi. Konsep pembaharuan yang Ia wacanakan hanya ingin
membebaskan kerangka berfikir dari keterikatan oleh nas}s} tapi pada
nyatanya banyak kebijakan-kebijakan H{asan al-T{ura>bi< sebagai politisi
dan posisinya dipemerintahan yang terksesan tektualis seperti
kebijakannya tidak membolehkan perempuan menduduki jabatan
publik.
72
‘Ali< Jum‘ah, Q}{ad{iyah Tajdi<d Usu>l al-Fiqh, 53.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
100 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
Lalu, menanggapi Jama>l al-Di<n al-At}iyah, meskipun sependapat
dalam wacana pembaharuan usu>l al-fiqh dari segi format dan isi
kandungan, tapi tak lepas kritikan dari ‘Ali< Jum‘ah, bahwa Jama>l al-
Di<n al-At}iyah mengupayakan langkah pembaharuan terlalu jauh dan
telalu sulit diimplementasikan dan terkesan untuk tidak menganjurkan
penghormatan pada manhaj para usuli<, tetapi lebih mencoba untuk
menggiring ke arah konflik pemikiran diantara para intelektual. ‘Ali<
Jum‘ah menambahkan bahwa betapapun seriusnya para ulama dalam
upaya pembaharuan terhadap ilmu usu>l al-fiqh, namun tidak mampu
keluar dari prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh para ulama
sebelumnya.
b. Idra>k Al-Wa>q{i>‘ dalam Teori Ifta>’ Muncul adagium masyhur dikalangan para sarjana hukum Islam
‚yajibu ala> al-mufti< an yudrika al-wa>qi<‘‛ dalam hal ini menurut ‘Ali<
Jum‘ah teoritis dalam Ifta> (penyimpulan hukum) merupakan poros
usu>l al-fiqh yang menuntut pemahaman terhadap realitas sebagai unsur
paling pokok. Fatwa tidak akan menghasilkan hukum yang adaptable
sesuai zaman kecuali didasarkan pada pemahaman yang benar terhadap
suatu kejadian atau permasalahan yang dimintakan fatwanya atau
hukumnya. Dalam hal ini perlunya pemahaman yang komprehensif
terhadap semua sisi realitas.73
Hubungan antara teori hukum dan
realitas merupakan salah satu materi pokok dalam diskursus hukum
Islam. Terkadang, dampak perubahan yang begitu besar dapat
mempengaruhi bangunan teori, sehingga memunculkan suatu konsep
baru dalam falsafat hukum Islam.74
Dalam kata pengantar al-Muwa>faqa>t, ‘Abd Alla>h Dara>z
mengungkapkan bahwa dampak yang diberikan oleh perubahan realitas
menghasilkan perbedaan hasil pemikiran hukum. Terkadang, begitu
besarnya efek yang ditimbulkan juga akan mempengaruhi bangunan
73
‘Ali< Jum‘ah, Us}u>l al-Fiqh wa Ala>qatuhu Bi al-Falsafah. 40. Lihat
juga: ‘Ali< Jum‘ah, Ta>ri>kh Ushu>l al-Fiqh, 206. 74
Muh}ammad Kha>lid Mas‘}u>d, Shat{ibi’s Philoshophy of Islamic Law
(Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 1995), 1.; Majid Khadduri, ‚From
Religion to Natural Law,‛ dalam J.H Thomson & R.D. Reischauer, (eds.),
Modernization of the Arab World (Princeton: Nostrand, 1966), 38.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
101 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
metodologi,75
sehingga para us}u>li< (khususnya ulama kontemporer)
mencoba menelaah kembali dan merekontruksi ulang bangunan
metodologi hukum guna menciptakan produk hukum yang signifikan
dan relevan.
Bagi ‘Ali< Jum‘ah, memahami realitas adalah permasalahan akhir
yang terdapat dalam teori ifta>‘ dan berhubungan dengan prosesi
pemberian fatwa itu sendiri. Dalam literatur usu>l al-fiqh,
pembahasannya diletakkan setelah seorang us}uli> paham cara
menyelesaikan kontradiksi antar nas}s} dan paham maqa>s}id shari<’ah.
Para usu>li< generasi awal tidak memaparkan pembahasan ini dalam
paparan yang luas bagaimana memahami konteks. Jelaslah bahwa hal
ini, dikatakan sesautu yang tertinggal dalam kecakapan amaliah
personal, dan para usu>li< tidak menganggap perlu untuk menuliskanya
dalam sebuah karya, dengan pertimbangan bahwa hal itu sudah
dipelajari langsung secara individual-mandiri mereka masing-masing.76
Secara garis besar, ‘Ali< Jum‘ah membagi tiga poin yang wajib
dikuasai agar produk hukum dapat betul-betul bersifat fungsional,
yaitu kecakapan dalam memahami nas}s} (idra>k al-nus}u>s}), memahami
realitas (idra>k al-wa>qi’), dan kemampuan menghubungkan antara nas}s}
yang mutlak dengan kejadian yang relatif.77
Hal senada diungkapkan
pula oleh Ibn al-Qayyim yang mengemukakan bahwa fatwa ditetapkan
setelah mujtahid atau ahli fatwa melewati dua proses analisa, yaitu
analisa terhadap realitas (fahm alwa>qi‘) dan analisa terhadap nas}s}
(fahm al-wa>jib fi> al-wa>qi‘).78 Maka dari itu, pemahaman manusia
terhadap realitas tentu berbeda-beda sesuai zaman dan informasi yang
diperoleh. Dengan memahami realitas suatu yang berkembang, ahli
istinba>t} akan lebih berhati-hati dalam mengeluarkan hukum dan
meletakkan hukum yang adaptable sesuai kebutuhan.
Menurut ‘Ali< Jum‘ah, realitas adalah segala hal yang pasti
dihadapi oleh manusia dengan panca inderanya yang normal. Dengan
75
Lihat pengantar ‘Abd Alla>h Dara>z dalam al-Sha>t}ibi<, al-Muwa>faqa>t fi Us}u>l al-Shari>‘ah (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmi<yah, tt), 5.
76‘Ali< Jum‘ah, Ta>ri>kh Usu>l al-Fiqh, 133.
77‘Ali< Jum‘ah, Ta>ri>kh Usu>l al-Fiqh, 133.
78Ibn Qayyim al-Jawzi>, I‘la>m al-Muwa>qi‘i>n ‘an Rabb al-‘Ala>mi>n,
(Dammam: Da>r Ibn al-Jawziyyah, 2002), Vol. 4, 337.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
102 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
pemaknaan ini, maka antara nabi Adam As dengan manusia modern
normal saat ini adalah sama. Dalam setiap perubahan masa, ruang dan
waktu dan orang, manusia menemukan kebenaran baru yang
bersebrangan dengan realita sebelumnya atau bahkan memperkuat
kenyataan sebelumnya. Dengan demikian maka nas}s} shar‘ dalam
k}hita>b Allah untuk semua orang sejalan dengan realita yang ada.79
Yu>suf al-Qara>d}a>wi<> mengungkapkan bahwa fatwa merupakan
solusi terbaik bagi para mujtahid dalam menjawab masalah-masalah
aktual umat Islam. Namun, sebelum mengeluarkan fatwa, seorang
mufti atau ahli fatwa terlebih dahulu wajib memahami hakikat realitas
yang melatarbelakangi terjadinya sebuah kasus hukum.80
Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa salah satu aspek
terpenting yang harus diketahui dan dipahami oleh seseorang yang
hendak mengeluarkan fatwa adalah pemahaman terhadap realita agar
hukum yang dikeluarkan adaptable sesuai tuntunan zaman. Maka
realita harus dilihat dari segala seperti aspek sosial, budaya, ekonomi
politik, dan lain sebagainya yang kemudian dihubungkan pada nass
untuk memahami itu semua. Dalam hal ini, ‘Ali< Jum‘ah
memperlihatkan wajah baru pada istinba>t hukum (teori ifta>) dalam
mengkaji permasalahan, dan tentu permasalahan tersebut harus
dipahami secara komprehensif. ‘Ali< Jum‘ah memetakan subjek kajian
usu>l al-fiqh dalam 3 kelompok besar: Pertama, teori hujiyyah, thubu>t dan dalalah dapat dirangkum dalam satu wadah dengan sebutan
"pemahaman". Kedua, teori q{at}‘i>-z}anni<, Qiya>s dan teori istidla>l ditampung dalam satu wadah dengan sebutan ‚menyelesaikan
kontradiksi dengan tarji<h‛. Demikian pula, teori ijtihad, fatwa dan
maqa>sh}id, semuanya harus dipahami sebagai teori yang saling
melengkapi, bukan sebagai teori yang terpisah-pisah. Bahkan, teori-
teori ini ibarat jaring yang tali-talinya saling bertautan sehingga
membentuk pola pikir seorang faqih dan usuli, pada saat yang sama
akan berproses membentuk daya nalarnya sebagai seorang mujtahid.
Dan Ketiga, yaitu fatwa> dan mufti<’ atau peneliti sesuai sebutan zaman
79
‘Ali< Jum‘ah, Ta>ri>kh Usu>l al-Fiqh, 134 80
Yu>suf al-Qara>d}a>wi>, Al-Fatwa> Bayna al-Ind{iba>t} wa al-Tasayyub
(Beiru>t: al-Maktab al- Isla>mi>, 1995), 67.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
103 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
sekarang. Dan poin ketiga ini menjadi poin inti dari pembahasan pada
sub judul ini.81
Selengkapnya, ketiga kelompok besar ini penulis jabarkan dalam
tujuh teori yang diusung ‘Ali< Jum‘ah dalam membahas mengenai
bagaimana kerangka berfkir para ulama usu>l al-fiqh dalam beristinba>t
sehingga sampai pada sebuah kesimpulan hukum yang adaptable.
Tujuh teori tersebut memiliki urutan yang sistematis, rasional dan
logis. Namun demikian, hal tersebut tersebut bukan sesuatu yang
sifatnya paten dengan kata lain tujuh yang dipaparkan oleh ‘Ali<
Jum‘ah ini bisa saja diintergrasikan antara teori satu dengan yang
lainnnya. Adapun ketujuh teori yang diusung ‘Ali< Jum‘ah tersebut
diantaranya:82
Pertama, teori otoritatif. Yaitu memastikan sumber otoritatif
yang mendasari suatu pemikiran dimana dalam konteks pemikiran
hukum Islam kaitannya erat dengan dasar teologis. Sumber hukum
utama dalam Islam adalah Al-Qur’an yang merupakan nas}s} (}teks)
terbebas dari penyimpangan, Sumber setelahnya yaitu sunnah yang
menjelaskan dan melengkapi apa yang tidak dijelaskan secara rinci
dalam Al-Qur’an. Dengan demikian haruslah seorang muslim meyakini
bahwa apa yang disampaikan Rasulullah dijamin terbebas dari
kekeliruan dalam penetapan shari<‘ah.
Kedua, teori otentisitas. Pada langkah selanjutnya, memastikan
otentisitas sumber otoritatif tersebut sehingga bisa dijadikan dasar
hukum. Hal ini lebih banyak diterapkan dalam kasus sunnah Rasulullah
Saw. Suatu perkataan Rasulullah Saw. (hadis) bisa disebut sunnah
ketika ia disampaikan secara lisan dari waktu ke waktu oleh para
periwayat yang adil dan terpercaya. Meski sunnah disepakati sebagai
teks yang otoritatif, namun tidak akan berguna jika ternyata tidak
benar-benar bersumber dari Rasulullah Saw. Terdapat sejumlah ilmu
bantu yang dapat digunakan untuk menuju otentisitas, yaitu -Ilm Mus}t}olah} al-Hadi<th atau ‘Ilm al-Jarh} wa al-Ta’di<l dan lainnya.
81
‘Ali< Jum‘ah, Ta>ri>kh Usu>l al-Fiqh, 52-53. 82
‘Ali< Jum‘ah, Us}u>l al-Fiqh wa Ala>qatuhu Bi al-Falsafah, 34-40. Lihat
juga: ‘Ali< Jum‘ah, Al-Madkh}al Ila> Dira>sa>t al-Maza>hib al-Fiqhiyah (Kairo: Da>r
al-Sala>m, 2012), 387-390.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
104 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
Ketiga, teori pemahaman. Setelah teks dianggap otoritatif dan
otentik menjadi sebuah dalil. Maka langkah selanjutnya bagaimana
teks tersebut untuk dipahami. Hal tersebut dapat dipahami melalui di
antaranya lewat pemahaman kebahasaan, seperti kaidah, makna
leksikal setiap kata, makna yang khas pada teks itu, hingga bercermin
kepada hukum apa yang sudah muncul dari penafsiran teks itu.
Keempat, teori qat}‘i< wa z{anni>. Setelah tahap pengambilan
hukum dilalui melalui teori otoritatif, otentik dan pemahaman pada
nas}s}. Selanjutnya, diperlukan tambahan perangkat lain dalam
memehami nas}s, seperti ijma>‘ dan lain sebagainya. Semisal ‘Ali<
Jum‘ah mendeskripsikan sebagaimana dalam kasus ayat wud}u>’. Secara
kebahasaan, dalam ayat Qs. al-Ma>idah (5): 6, Fa idha> qumtum ila> al-s}ola>t faghsilu> wuju>hakum dapat dipahami kalau wud}hu> justru
dilakukan setelah shalat. Hal ini, bukan yang dikehendaki oleh ayat ini.
Maka, peran ijma>’ ulama pada bagian ini berperan besar untuk
memastikan apakah pasti hukum yang ditelurkan dari teks itu
demikian, atau masih memiliki kemungkinan lain.
Kelima, teori analogi hukum (q{iya>s). Tidak semua hukum
disebutkan secara eksplisit maupun implisit dalam nas}s}. Bagaimana
jika ada permasalahan yang membutuhkan status hukum, sementara
teks tidak ada yang berbicara soal itu. Solusinya, teks yang hadir pada
suatu zaman tertentu itu, bisa menjadi analogi untuk permasalahan-
permasalahan lain yang memiliki ‘illat hukum yang sama sehingga bisa
memiliki kesamaan dasar hukum.
Keenam, teori al-istidla>l. Mungkin, hanya dua sumber itu (Al-
Qur’an dan Sunnah) yang disepakati ulama sebagai dalil yang absah
dalam istinba>t hukum. Namun, terdapat sumber lain yang
memungkinkan untuk menempati posisi keduanya, meski masih
menjadi perdebatan diantara para ulama. Seperti ‘urf, ‘a>dat, Qawl al-S}aha>bi<, hingga hukum yang sudah ada sebelum muncul khazanah
hukum Islam. Dengan segala perdebatan yang ada soal keabsahannya,
setidaknya sumber yang mendukung tersebut dapat menjadi
pertimbangan sebagai referensi pengambilan hukum, paling tidak
untuk mendukung kedua dalil yang otoritatif tadi.
Ketujuh, teori Ifta> (penyampaian fatwa). Teori pada dasarnya
menjadi inti dari pembahasan sub bab pada teori dalam usu>l fiqh.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
105 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
Dalam khazanah hukum Islam, dalam satu topik tertentu tidak
memiliki hukum yang tunggal. Kadang, hukumnya beragam. Di antara
keputusan hukum itu, ada yang kedudukannya kuat, ada juga yang
lemah. Berkaitan dengan hal ini, ulama usu>l al-fiqh memiliki
kedudukan yang disebut mufti< (pemberi fatwa). Seorang mufti dapat
memutuskan hukum yang berbeda untuk permasalahan yang sama,
karena objek hukum yang memintanya (mustafti<) juga berbeda
kondisinya.
Untuk mewujudkan hal itu, mufti perlu mempertimbangkan
banyak aspek, seperti sisi maqa>s}id al-shari<‘ah hingga apakah ada dalil
yang saling bertentangan soal hukum itu sehingga perlu dipilah mana
dalil yang bisa digunakan karena lebih kuat dan mana yang tidak (al-ta’a>rud{ wa al-tarji<h). Semuanya dalam tataran agar tujuan shari<‘ah
tercapai, dan tidak berkurang nilai hukum itu karena tidak atau kurang
berfungsi hukum itu kepada objeknya.
Tegasnya, seorang ahli istinba>t ketika Ia menguasai hujjah
bagaimanapun Ia harus tahu kondisi secara riil dalam mewujudkan
maq{a>sid al-shari<‘ah ataupun menghilangkan kontradiksi dengan tarjih<,
ataupun kontekstualisasi wahyu terhadap realitas. Hal ini ni semua
yang melatarbelakangi terbentuknya naz}ariyat ifta> (teori fatwa) yang
mana mempunyai konsekuensi lain, yaitu persyaratan apa saja yang
harus dipenuhi oleh seorang peneliti atau mujtahid, dan seperti apakah
orangnya sehingga d\apat memberikan fatwa? Jawabnya adalah orang
yang mampu memahami realitas, paham terhadap nas shara', dan juga
paham bagaimana kontekstualisasi nass terhadap realitas itu sendiri.
Inilah hakikat seorang mujtahid.83
Bagi ‘Ali< Jum‘ah seorang mujtahid dalam memahami sebuah
hukum dalam syariat Islam, diperlukan kepahaman terhadap realita
dengan melihat faktor-faktor yang mempengaruhi, diantaranya: ‘A‘la>m al-Ahda>th (instrumen peristiwa), ‘A‘la>m al-Ashh}a>s (instrumen
personal), ‘A‘la>m al-Afka>r (instrumen pemikiran) dan ‘A‘la>m al-Ashya’ (instrumen objek). Agar sampai pada pemahaman yang tepat
akan suatu realitas, perlunya memahami faktor-faktor tersebut yang
83
‘Ali< Jum‘ah, Ta>ri>kh Usu>l al-Fiqh, 52-53.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
106 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
kesemuanya saling berkaitan juga selalu berubah. Firman Allah Swt.
‚Setiap waktu Dia dalam kesibukan‛ QS. Ar-Rahma>n (55): 29.
‘A<’lam Ashya’ (Objek Benda) dalam memahami objek benda,
maka seseorang membutuhkan sebuah metodologi. Tentu metodologi
ini tidak dibiarkan liar tanpa adanya batasan dan harus dipahami
dengan ketentuan-ketentuan berikut:
Batasan Pertama: Syariat tidak memberikan batasan apapun
terhadap riset ilmiah. Syariat memberikan cakrawala manusia seluas-
luasnya dalam berpikir dari yang kecil sampai paling terbesar terhadap
apa saja yang terdapat pada alam semesta. Allah menginsyaratkan
secara umum akan hal ini, sebagaimana firman-Nya, ‚Katakanlah:, ‚Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?‛ Sesungguhnya orang yang berakal yang dapat
menerima pelajaran‛ Qs. al-Zumar (39): 9. Dalam kata ‚ilm‛ pada ayat
diatas, megindikasikan bahwa ilmu shara‘ dan ilmu alam berada dalam
satu tingkat dalam hasil yang disimpulkan dari dua ilmu tersebut, yaitu
memberi manfaat bukan mendatangkan mud}arat.
Hal tersebut ditegaskan bahwa Al-Qur’an mengangkat derajat
para ulama (ilmuwan) dengan dominasi takutnya mereka kepada Allah.
Allah berfirman ‚sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hambaya, hanya ulama‛ Qs. Fa>th}i<r (35); 28. Kata ulama disini
merupakan muba>lagah (hiperbola) tidak seperti isim fa>‘il sebagaimana
kata a>lim, dalam firman ‚Wa Fau>q dzi< ilmin ‘ali<m‛ (dan tiap-tiap
orang yang berpengetahuan itu adalagi yang maha mengetahui).
Batasan Kedua: Ketika seorang muslim keluar dari ranah
keilmuan teoritis menuju penerapan eksperimen, maka Ia harus tetap
terikat dengan syariat-Nya yang berupa perintah dan larangan-Nya
begitupula nilai-nilai moral yang terdapat pada syariat-Nya. Tidak
boleh membenturkan apa yang telah digariskan metode ilahi dan
dengan penelitian untuk merusak kehidupan. Sebagaimana Allah
mengarahkan pada manusia kepada syariat dan mengajak pada
kemaslahatan dan kebahagian.
Batasan Ketiga: Menghindari mentalitas menyimpang dalam
ranah apapun. Karena pemikiran seperti ini tidak dapat menghadirkan
dalil apapun yang tepat untuk membuktikan kasus ataupun masalah
yang dihadapinya, tidak mengikuti metodologi yang jelas dan terukur
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
107 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
dalam berinteraksi dengan realitas, tidak pula berpedoman pada
sumber pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan. Mentalitas
seperti biasanya berupa cara pandang acak dan pembinasaan. Seperti
konsep intiha>r (bunuh diri), inhisa>r (terpesona), in‘iza>l (ekslusifitas)
igtira>r (kepuasan nafsu). Semua pandangan ini jelas ditolak.
Dari paparan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut: pertama,
metode yang benar, dalam kaitannya dengan pemahaman terhadap
realitas adalah metode yang menghormati sumber-sumber hukum
Islam, mempertajam kehujjahannya dengan cara menautkan dengan
realitas, instrumen-instrumen untuk memahami seperti qat}‘i> dan z}anni>, mana yang tetap dan mana yang berubah, metode qiya>s, tarji<h
manakala terjadi kontradiksi, cakupan seorang mujtahid tidak boleh
keluar dari hal tersebut dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
seorang mujtahid.
Kedua, metode yang dimaksud juga harus meletakkan perspektif
umum yang suatu prosedur dapat dikonkretkan. Perspektif menyeluruh
inilah yang dapat disebut sebagai epistimologi seperti yang telah
disinggung sebelumnya. Adapun prosedur yang dimaksud adalah
metodologi penelitian yang seing dijumpai pada usu>li<. Atribut usu>l al-
fiqh sebagai sebuah metode ilmiah tersebut dapat dilihat dari makna
dan pengertian terminologisnya. Al-Ba>id{a>wi<84
misalnya, mengartikan
ilmu usu>l al-fiqh dengan "pengetahuan atas dalil-dalil fiqh secara
umum dan langkah-langkah prosedural pengambilan faedah dari dalil-
dalil tersebut, serta keadaan peneliti". Fakhr al-Di<n al-Ra>zi<85
menjelaskan pengertian usu>l al-fiqh dengan: "rangkaian metode fiqh
secara umum dan langkah- langkah prosedural penelitian, serta
keadaan peneliti".
Maksudnya membahas sumber-sumber data dala riset fiqih
kemudian langkah-langkah riset berkut tahapan-tahapannya, kemudian
juga membahas syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pelaku istinba>t,
tegasnya ini adalah tiga rukun yang nantinya dijadikan metode ilmiah
84
Muhammad ibn al-H}asan Al-Badakhshi<, Mana>hil al-Uqu>l: Syarh} al-Badakhsi< wa ma‘ahu Niha >yat al-Su>l li al-Asna>wi (Kairo: Maktabah al-
Azhariyyah Li al-Tura>th, ttp), 13-17. 85
Fakhr al-Di<n Al-Ra>zi<, Al-Mahsu>l, ed. Thaha Jabir al Fayya>d al-
‘Alwa>ni< (Kairo: Mu’assasah al-Risalah, ttp), 80.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
108 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
seperti Roger Bacon: dalam tiga kelompok besar sumber, cara dan
pelaku.86
3. Kedudukan Perempuan Perspektif Pemikiran ‘Ali< Jum‘ah dan
Distingsi di Tengah Pemikir Lain
Pada bab II yang lalu berkaitan dengan relasi gender penulis
telah memaparkan gambaran tentang dinamika permasalahan
perempuan yang muncul seiring berkembangnya zaman. Pada sub judul
ini, penulis akan memaparkan relasi gender perspektif pemikiran ‘Ali<
Jum‘ah dan tanggapannya terhadap fenomena tersebut serta persamaan
dan perbedaannya dengan para kaum tokoh emansipasi wanita.
Menurut ‘Ali< Jum‘ah, dalam konteks historis pada masyarakat
pra-Islam, posisi perempuan dianggap amat sangat rendah. Struktur
sosial masyarakat dalam semua perdaban kuno memberikan status
wanita sebagai sesuatu amat hina dan penuh dengan penindasan. Baik
itu peradaban Yunani Kuno, Eropa Kuno, Romawi Kuno bahkan
hingga Arab sebelum Islam. Seperti halnya Yunani kuno yang
menganggap bahwa wanita layaknya pohon beracun. Juga masyarakat
Persia boleh menikahi perempuan siapa saja tanpa pengecualian atau
orang yahudi menganggap wanita hai<d najis sehingga diperbolehkan
untuk dijual dan lain peradaban kuno lainnya yang penuh dengan
kekejian.87
Lebih lanjut menurut ‘Ali< Jum‘ah, dalam masyarakat pra-Islam
struktur masyarakat kesukuan adalah patriarkis dan secara umum
perempuan diberi status yang jauh sangat rendah. Semisal para janda
dari bapaknya dapat diwarisi. Al-Qur’an melarang praktik ini dimana
kasus persoalan perempuan seperti ini banyak ditemukan di zaman
jahiliyah. Menurut ‘Ali< Jum‘ah bila hukum Islam yang sebagian besar
sumbernya merupakan wahyu dan pemberian contohnya lewat praktik
86
Lynn Thorndike, Roger Bacon and Experimental Method in the
Middle Ages, dalam The Philosophical Review, Vol. 23, No. 3 (May, 1914),
281. Diakses di https://www.jstor.org/stable/2178622 diakses pada 27
Oktober 2019. Lihat juga: ‘Ali< Jum‘ah, Ta>ri>kh Ushu>l al-Fiqh, 138. 87
‘Ali> Jum‘ah, Al-Mar'ah Ba>ina Ins}h>af al-Isla>m wa Shubha>t Al-Akha>r, (Kairo: Wiza>ra>t al-Awqa>f al-Majlis al-’A‘la> Li al-Shuu>n al-Isla>miyah, 2006), 9.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
109 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
nabi (sunnah) dilihat dari konteks praktek kaum jahiliah maka tampak
bahwa hukum Islam merupakan sebuah revolusi. Melalui ayat-ayat Al-
Qur'an meningkatkan status sosial perempuan dan meletakkan norma-
norma yang jelas sebagai penentangan terhadap adat kebiasaan.88
Dalam dunia Islam memasuki era modern yang ditandai dengan
adanya kontak adanya budaya timur dan Barat. Seiring dengan kontak
ini turut pula berkembang pemikiran tentang perempuan. Begitupula
para pemikir Islam tentang perempuan di dunia Islam terus
berkembang. Merespon fenomena tersebut, tokoh reformis Mesir,
Muhammad Abduh yang hidup dalam masyarakat muslim yang sedang
bersentuhan dengan perekmbangan yang dicapai oleh Eropa,
menekankan pentingnya anak-anak perempuan dan kaum wanita
mendapatkan pendidikan formal di sekolah dan perguruan tinggi,
supaya mereka mengerti hak-hak dan tanggung-jawabnya sebagai
seorang Muslimah dalam pembangunan Umat.
Pandangan serupa juga dinyatakan oleh H{asan al-Tura>bi<.
Menurutnya, Islam mengakui hak-hak perempuan di ranah publik,89
seperti kebebasan mengemukakan pendapat dan memilih, berdagang,
menghadiri shalat berjama'ah, ikut ke medan perang dan lain-lain.
Cendekiawan lain yang berpandangan kurang lebih sama adalah
Mahmu>d Shaltu>t90
, Sayyid Q{utb91
, Yu>suf al-Qaradawi92
, Jama>l A.
88
‘Ali> Jum‘ah, Fata>wa> Al-Mar’ah Al-Muslimah wa Rud<d ‘Ala< Shubha>t Hawla Q{ad}aya> al-Mar’ah, (Kairo: Nahd{ Mas{r, 2010), 262-263. Lihat juga:
‘Ali> Jum‘ah , Al-Kalim al-T{ayib Fata>wa> As}riyah, Vol. ke- 1, 399-400. ‘Ali>
Jum‘ah, Al-Mar'ah Ba>ina Ins}h>af al-Isla>m wa Shubha>t Al-Akhar, 10. 89
Peter Woodward, ‚Hasan al-Turabi‛, dalam John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, (New York: Oxford
University Press, 1995), h. 240-241 90
Mahmu>d Shaltu>t, al-Isla>m Aq{i@datun wa Shari@atun, 227. 91
Sayyid Qut{b, Tafsir< Fi< Zila>l al-Qur’a>n, (Kairo: Da>r al-Shuru>q{, 2011),
Vol. ke-. 1, 11. 92
Yu>suf al-Q{arad}a>wi<, Muslimah al-Gha>di<, (Beirut: Da>r al-Wafa>: 1995),
h. 5-10. Lihat juga: Yu>suf al-Qara>d}a>wi<, Min Hady> al-Isla>m: Fata>wa> Mu'as}irah, 255.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
110 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
Badawi<93
, Mahmu>d Hamdi< Zaqzu>q94
dan lain sebagainya. Sudah tentu
para tokoh ini mendasari pendapatnya pada ayat-ayat Al-Qur’an dan
hadis.
Namun ada juga yang menggunakan pendekatan sekular, seperti
Qa>sim Amin, Ashgar Ali, Amina Wadud, Fatima Mernissi, Jama>l Al-
Banna> dan lain sebagainya. Qa>sim A<min95
misalnya, intelektual yang
disebut sebagai ‘bapak feminis Arab’ melalui bukunya yang
kontroversial, Tahri<r al-Mar’ah dan al-Mar'ah al-Jadidah, ia menyeru
emansipasi wanita ala Barat. Ià memerintahkan kaum perempuan
untuk membuang jauh-jauh doktrin-doktrin agama yang konon
menindas dan membelenggu perempuan, seperti perintah berjilbab,
poligami, dan lain sebagainya. Ali Ashgar menegaskan perlunya
reinterpretasi terhadap ayat-ayat yang tidak relevan dengan kondisi
man seperti perbudakan, poligami, dan kesaksian perempuan.96
Menurut Qa>sim A<min, perempuan sama dengan laki-laki tidak ada
perbedaan dilihat dari segi pemikiran, perasaan, dan kemanusiaan.
Menurut Qa>sim A<min dan Khalid Muhammad Khalid menjelaskan,
peran perempuan dalam suatu adat dapat berubah. Sejalan dengan
Qa>sim Amin, Jama>l al-Banna> yang menjadikan adat menjadi sumber
hukum Islam setelah Al-Qur’an dan sunnah, Ia mengatakan Al-Qur’an
tidak membatasi kewajiban yang harus ditutupi dalam berh}ija>b. Adat
dan kebiasaan setempat sangat berperan, maka bentuk pakaian
merupakan adat suatu bangsa menurut iklim dan negeri yang
dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Bagi al-Banna>, melalui adat yang
salah satu kategori menjadi unsur penting merupakan bagian dalam
reformasi hukum Islam tentu hal tersebut melandasi reformasi
terhadap emansipasi wanita. 97
93
Jama>l A. Bayda>wi, Gender Equity In Islam Basic Principle (Durban:
Islamic Dakwah Movement Publications, 2016), 1. 94
Mahmu>d Hamdi< Zaqzu>q, H{aq}{a>iq Isla>miyah Fi< Muwa>jaha>t Hamala>t al-Tahqi<q (Kairo: Wiza>ra>t al-Awqa>f al-Majlis al-’A‘la> Li al-Shuu>n al-
Isla>miyah, 2005), h. 81-85) 95
Qasim al-Ami<n, Tahrir al-Al-Mar’ah, 41. 96
Ali Ashgar Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, 10. 97
Jama>l Al-Banna>, Al-Mar’ah Al-Muslimah Bayna Tahri<r Al-Qur’an wa Taqyi<d al-Fuqaha> (Kairo: Da>r al-Fikr al-Isla>mi<, 1999), 184.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
111 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
Pemikir lainnya yang merupakan perempuan seperti Amina
Wadud98
misalnya, menyatakan bahwa melalui pendekatan lingustik
mengenai relasi gender, bahwa setiap penggunaan muannath dan
mudhakkar tidak berarti pembatasan jenis kelamin. Hal ini perlu untuk
memahami keuniversalan pesan al-Qur’an pembaharuan hukum
personal Islam. Menurut Fatima Mernissi, terjadi perubahan secara
gradual atas status perempuan. Perubahan ini dirumuskan ke dalam
hukum-hukum shari<‘ah oleh fuqaha yang kemudian melarang
perempuan untuk keluar rumah. Akibatnya kondisi perempuan pasca
Nabi dapat dikatakan menjauh dari kondisi ideal.99
Fatima termasuk
seorang feminis muslim yang secara terang-terangan menggungat fiqh
klasik yang ada dan menanggap fiqh yang selama ini perlu ditafsirkan
ulang.
Seperti halnya dengan tokoh-tokoh di atas, Menurut ‘Ali<
Jum‘ah, seluruh ide tentang perempuan dalam Al-Qur’an,
dimaksudkan untuk menjunjung tinggi martabat perempuan dan
mempersamakan hak dan kewajibannya dengan laki-laki melalui
proses pembebasannya dari kungkungan adat dan kebudayaan serta
kelembagaan sosial Arab Jahiliyah. Proses pembebasan itu dapat
dikenali dengan jelas isu dalam kitab suci yang menyangkut
pengecaman dan pengutukan atas praktik-praktik Arab Jahiliyah
berkenaan dengan perempuan.100
‘Ali< Jum‘ah menyatakan kaum perempuan pada masa rasulullah
dapat dideskripsikan sebagai perempuan yang aktif tetapi tetap
terpelihara akhlaknya. Islam memberikan kebebasan yang amat besar
bagi perempuan untuk berkiprah diruang publik. Maka tidak
mengherankan dizaman nabi terdapat sejumlah perempuan yang
mempunyai kemampuan dan prestasi. Data historis menunjukkan pada
awal masa Islam perempuan diberikan kesempatan mengekspresikan
dirinya, beragumentasi, ikut hijrah, melakukan ba‘iat dan aktif dalam
98
Amina Wadud Muhsin, Wanita dalam Al-Qur’an, 12. 99
Fatima Mernissi, Women and Islam: a Historical and Theological Enquiry, 79.
100‘Ali< Jum‘ah, Al-Mar'ah Fi< al-Had}arah Al-Isla>miyah; Ba>ina Nusūs al-
Shar‘i> wa Turāth al-Fiqh wa al-Wāqiʻ al-Maʻish, 65.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
112 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
masalah kegiatan musyawarah.101
Pada masa nabi, perempuan dapat
berpartisipasi secara bebas dalam urusan perang yang secara ketat
merupakan wilayah yang didominasi oleh kaum laki-laki. Tokoh
muslimah penting diawal peradaban Islam antara lain adalah Siti
Khadijah istri pertama nabi Muhammad. Di dalam hadis s}ahi>h
dikisahkan bahawa Siti Khadijah adalah penasihat utama Nabi
Muhammad dan sekaligus donatur utama dalam seluruh kerja dakwah
sang suami.102
‘Ali< Jum‘ah dalam bukunya menunjukkan data historis
dimana lebih dari 50 wanita yang memerintah negara-negara Islam di
zaman yang berbeda. Para perempuan ini tidak hanya dengan istilah
khalifah, sultan, dimulainya dari Sitt al-Mulk di Mesir dinasti
Fatimiyah abad ke-5, Arwa Al-Sulayhi> dari Yaman akhir abad ke-5,
Zaenab al-Nafzaweya dari Andalus, Razeya al-Din Ratu dari New
Delhi pada pertengahan abad ke-7, Shajar al-Durr dari Mesir abad ke-7
dan lain sebagainya.103
Dalam karyanya Al-Mar'ah Ba>ina Ins}h>af al-Isla>m wa Shubha>t Al-Akha>r ‘Ali< Jum‘ah membahas pandangan nas}s} shar‘a terhadap
perempuan. Menurut ‘Ali< Jum‘ah terdapat dua benang kesimpulan
yang dapat dipahami dari pesan shar‘a, yaitu:104
Pertama, bahwa nas}s{ shar‘a menegaskan kedatangannya
bertujuan untuk menyerukan kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan dalam pembebanan sebagai mukallaf, hak dan kewajiban.
Sebagaimana kesamaan hak dalam menerima balasan amal perbuatan,
hak sama dalam meraih prestasi, hak kesetaran warisan dan lain
sebagainya. Hal ini ditunjukkan dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang
menunjukkan kesetaraan keduanya, diantaranya:
101
‘Ali< Jum‘ah, Fata>wa> Al-Mar’ah Al-Muslimah wa Rud<d ‘Ala< Shubha>t Hawla Q{ad}aya> al-Mar’ah, 270.
102Jama>l Al-Banna>, Al-Mar’ah Al-Muslimah Bayna Tahri<r Al-Qur’an
wa Taqyi<d al-Fuqaha>, 9. 103
‘Ali< Jum‘ah, Al-Mar'ah Fi< al-Had}arah Al-Isla>miyah; Ba>ina Nusūs al-Shar‘i> wa Turāth al-Fiqh wa al-Wāqiʻ al-Maʻish, 65-70
104‘Ali< Jum‘ah, Al-Mar'ah Ba>ina Ins}h>af al-Isla>m wa Shubha>t Al-Akha>r,
19.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
113 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
Qs. al-Gha>fir (40): 40105
, Qs. ‘Ali< ‘Imra>n (3): 195106
, Qs. al-Nisa>
(4): 124107
, Qs. al-Nah{l (16): 97108
, Qs. al-Nisa> (4) : 8109
.#
Kedua, wasiat untuk laki-laki agar bersikap lemah lembut
kepada wanita dan memberikan perlindungan kepada mereka dengan
penunh kasih sayang. Hal ini ditunjukkan dalam nas}s} diantaranya: Qs.
Al-Baqarah (2): 228110
, Qs. Al-Nisa> (4): 19111
, Qs. Al-Baqarah (2):
105 ح
ما ز
ننن م ننن مم ننن ح ما همح
نننزو
نننن
ا مل ىج ننناث نننا
حمنننللنننا
مع م
ننننشا م
نننلا ز
ج
ل ننن نننا
نننن مننن ىال
ن مممدخ جى
ير ث
غ يها ب ن ز
مزسق م
سابو ح
Artnya: Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka dia akan dibalas sebanding dengan kejahatan itu. Dan barang siapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan sedangkan dia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezeki di dalamnya tidak terhingga.
106 ب م مل
مك ل بعضم
ا همح
زو
م مل
مىك
او مل ام ا يعم ض م
ي ل
لوم هم م رب لم
اب ل ت ا
عضو ز
Artinya: Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), ‚Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan, (karena) sebagian kamu adalah (keturunan) dari sebagian yang lain.
107
ت م ىا ل لص
ا م ع يرج حم ق ن ه م م
ظ م
حل
جى
ن ث
مممدخ ى
احل
ما ز
م مم ح م
ا همح
زو
Artinya: Dan barangsiapa mengerjakan amal kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan sedang dia beriman, maka mereka itu akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak dizalimi sedikit pun.
108 نز م مهم نش ى
حل
جلةن
يل ي
جن حيا ىن
حي ىمم ز
م مم ح م
ا همح
زو
ا مل ىج اث
ا م حسن
ا م
م
ن مم ع
ماه
ما ك
Artinya: Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
109ز
ق ن ح
دا ل زك ل
ا ت
ب مل ص
ال ه
مزل ا ل ن م زبمق ن ح
دا ل زك ل
ا ت ل
ب م ص
ء ه
سا
لمي حل
ن بم
ا حضج ا مفزم ةج ص
ر ه
مثح
م ى ا م
ق
Artinya: Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.
110يم ش حك
ش م
ح لم در
يه م ال
مزل حل حف عزم
ال
يه م ي ذ
ام ل
ع م لم
حل
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
114 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
236112
, Qs. Al- Nu>r (24): 33113
, Qs. Al-Nisa> (4): 24114
. Begitu juga
berdasarkan hadis nabi yang begitu banyak mengenai perintah bersikap
lemah lembut dan kasih sayang pada perempuan diantaranya
sebagaimana diriwatkan oleh al-Tirmi<dzi bahwa nabi mewasiatkan
terhadap kaum muslimin agar berbuat baik pada perempuan di akhir
kehidupannya, dan hal itu saat pada haji Wada>’115
. Hadis nabi yang
menjadikan lemah lembut pada wanita bagian dari iman pada Allah
dan hari kiamat.116
Dan lain sebagainya hadis berkaitan perintah lemah
lembut kepada wanita.
Artinya: Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.
111 ع ز م م تم ز
ن ا
حف ل ز عزم
ال
ح م زم اش يرج ح ع يرج
خ ي م ز
عا لم ا ح جين
ش ز م
ك
ن ت
س ا
Artinya: Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.
112حس
م ى ل
ل ا حق
لحف عزم
ال ا
ج ه ل متا درمر ق قت
م ى ل
ل ه ح درم
ع ق
م ى ل
ل م عم
ين حمتل ى
Artinya: Dan hendaklah kamu beri mereka mut‘ah, bagi yang mampu menurut kemampuannya dan bagi yang tidak mampu menurut kesanggupannya, yaitu pemberian dengan cara yang patut, yang merupakan kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.
113م
مىك
اتا
ي ذ
ل
مال لم
م مل م
م حآت
Artinya: dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu
114 جض
ز ز ر م م
م م
متاا ز
Artinya: berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban
را115 أال واستـوصوا بالنسـاء خيـArtinya: Ingatlah, berbuat baiklah kepada wanita. Lihat : Al-Tirmi<dzi,
Ja>mi’ Al-Tirmi<dzi<. No. 1163, Muslim dalam S}ah}i>h Muslim, No. 1091.
Bukh{a>ri<, S}ah}i>h Bukha>ri< No. 1091. 116 ي نارهم
ن م
نلا
نز ز خ
ي م لا
اهلل ح ل
مم م ان
ك م ن م ن
ق م
م خ نهم نه
ينرج ، ز
سناء خ
لالي ن م
ت ، ح
ننشل ننم م ل تنن
ز
ن ت ، حن م
سننزتم نن م ي ق
م ةننت ت
ن ننه
، ز هم
ننلا
ع ع
ننم نن لضل و ض
نن
ش نن ن ع ، حن عو
ننم نن ض م ت ا
، ز نن
ع
يرج ساء خ
لالي
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
115 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
Dari dua poin benang kesimpulan yang terdiri dari berbagai
variabel ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis di atas, ‘Ali< Jum‘ah
menegaskan bahwa nas}s shar‘a menjunjung tinggi prinsip kesetaraan
gender antara laki-laki dan perempuan. Prinsip kesetaraan gender
tersebut dapat dikatakan sebagai nilai universal yang menjadi pesan
moral untuk dapat diimplementasikan dalam segala aspek kehidupan.
‘Ali< Jum‘ah juga menyatakan bahwa sesungguhnya syariat Islam
berkaitan gender ini tidak didapatkan dalam syariat samawi
sebelumnya.
Pada dasarnya para tokoh melalui pemikiran-pemikirannya
diatas mempunyai tujuan yang sama mendasar yaitu menjunjung tinggi
martabat perempuan dan hak dan kewajibannya antara laki-laki dan
perempuan. Namun, disitngsi yang melandasi mereka adalah
interpretasi mereka dalam kontekstualisasi teks terhadap permasalahan
kontemporer saat ini. Terlebih pendekatan mereka yang berbeda
adalah interferensi intelektual serta interferensi sosio-histori-politik
mereka yang menyebabkan perbedaan ini. Dalam hal ini, ‘Ali< Jum‘ah
memposisikan pemikirannya berkaitan dengan isu gender pada
pemikiran yang semi-tekstual. Karena dilihat dari pemikiran ‘Ali<
Jum‘ah sangat mempertimbangkan konsteksual yang disini berarti
dapat disebut lebih banyak mempertimbangkan maslahat. Akan tetapi
pada banyak konteks, Ia tidak sependapat dengan sekularisme dan
liberalisme. Di lain sisi pula, meskipun pada banyak pendapatnya
terkesan tekstualis namun ‘Ali< Jum‘ah juga menolak pemikiran
tradisional-konservatif.
Semisal berkaitan dengan warisan –yang akan penulis bahas
lebih terperinci pada bagian selanjutnya-, sebagian tokoh feminis
muslim menuntut reinterpretasi keadilan 2 banding 1 dalam warisan,
bagi mereka konsep 2 banding 1 yang selama ini ada dianggap
Artinya: Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir,
janganlah ia menganggu tetangganya, dan berbuat baiklah kepada wanita. Sebab, mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Jika engkau meluruskannya, maka engkau mematahkannya dan jika engkau biarkan, maka akan tetap bengkok. Oleh karena itu, berbuat baiklah kepada wanita. Lihat: Muslim dalam S}ah}i>h Muslim, No. 60. Bukh{a>ri< dalam S}ah}i>h Buk{ha>ri< No. 5185.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
116 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali <Jum‘ah
menguntungkan anak laki-laki sehingga harus diubah menjadi 1
banding 1 sehingga anak laki-laki menjadi sama dengan hak anak
perempuan. Berbeda dengan ‘Ali< Jum‘ah, baginya pengertian keadilan
yang dimaksud Islam yaitu konsep 2:1, karena perbedaan tanggung
jawab, hak dan tanggung jawab laki-laki dengan perempuan. Tentu hal
ini tidak sejalan dengan pemikiran ‘Ali< Jum‘ah yang cenderung
tekstual. Namun pada kasus lain, semisal berkaitan cadar, ‘Ali> Jum‘ah
menolak anggapan cadar bagian dari teologis, begitu juga menolak
pendapat ulama klasik mengenai kewajiban menutup wajah selain
kedua mata. Karena cadar bagian dari budaya. Dalam konteks Mesir –
dimana ‘Ali< Jum‘ah berdialog dengan konteks- tidak relevan seorang
perempuan memakai cadar dalam bermasyarakat. Bahkan bersama
Sayyid T{ant}awi- saat itu sebagai grand shaykh al-Azhar-, Mahmu>d
Zaqzu>q –menteri waqaf Republik Arab Mesie-, melarang aktifitas
cadar dalam dunia pendidikan di Mesir. Hal ini menunjukkan bahwa
‘Ali> Jum‘ah juga mempunyai kecenderungan bersikap kontekstual-
progresif pada banyak kasus. Selengkapnya berkaitan dengan kasus
akan penulis jelaskan secara terperinci pada bagian pembahasan
selanjutnya.
117 |Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
BAGIAN EMPAT
ANALISIS PEMIKIRAN HUKUM ISLAM ‘ALI < JUM‘AH TENTANG WACANA KESETARAAN GENDER
-----------------------------
Bab ini mengulas lebih lanjut pemikiran hukum Islam ‘Ali<
Jum‘ah yang terdiri dari ijtiha>d, fatwa> serta respon realitas sosial
kontemporer. Pembahasan yang diangkat berupaya untuk melihat
relevansi pemikiran ‘Ali< Jum‘ah -yang telah didiskusikan sebelumnya-
dalam merespon permasalahan wacana gender yang penulis batasi pada
ekslusifitas h{ija>b (cadar), khita>n perempuan, kepemimpinan
perempuan (hak & kontestasi perempuan dalam politik), konsep
keadilan 2:1 dalam pembagian warisan dan kepemimpinan perempuan
dalam shalat.
Dalam hal ini, penelusuran tersebut dimaksudkan juga untuk
mengetahui cara pengambilan hukum dan keterkaitannya dengan
realitas yang melingkupinya sehingga bisa diketahui latar belakang
munculnya sebuah produk pemikiran hukum itu serta relevansinya
dengan masa kini. Analisa dalam bab ini menggunakan pendekatan
usu>l al-fiqh yang dipadukan dengan aspek gender dan sosiologis.
A. Ekslusifitas H{ija>b (Cadar)
1. Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah Tentang Ekslusifitas H{ija>b
‘Ali< Jum‘ah merupakan ulama yang meyakini bahwa menutup
rambut bagi perempuan adalah perkara yang diwajibkan. Dalam hal
ini, Ia menggunakan istilah h{ija>b sebagai pakaian yang menutupi aurat
bagi perempuan. Adapun h{ija>b secara etimologi, Ibn Manzūr
mengartikan kata ini dengan al-sitr (penutup).1 Sedangkan secara
terminologi Abu> al-Baqa>’ al-Kafawi> al-H{anafi> mendefinisikan h{ija>b
sebagai setiap yang menutupi hal-hal yang dituntut untuk ditutupi atau
menghalangi hal-hal yang terlarang untuk digapai.2 Dengan demikian
1Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab , Vol. ke-2, 298.
2Abu> al-Baqa>’ al-Kafawi> al-H{anafi>, Kulliya>t, (Beirut: Muassasat al-
Risa>lah, 1998), vol. 1, 360.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
118 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
h{ija>b dalam konteks pakaian bagi perempuan merupakan segala
sesuatu yang menutupi hal-hal yang dituntut untuk ditutupi bagi
seorang perempuan. Jadi h}ija>b mencakup semua yang menutupi aurat,
lekuk tubuh dan perhiasan perempuan dari ujung rambut sampai kaki.
Lebih spesifik, Al-Mawdu>di> mengartikan h{ija>b dengan pakaian yang
tertutup rapat kecuali yang biasa terlihat yaitu wajah dan tangan.3
Berbeda halnya dengan kewajiban h{ija>b bagi perempuan, niqa>b bagi
‘Ali< Jum‘ah merupakan bagian dari budaya dan bukan merupakan
suatu kewajiban. Arti niqa>b sendiri yaitu sesuatu yang digunakan
perempuan untuk menutupi wajahnya. Niqa>b merupakan kerudung
yang diletakkan perempuan diwajahnya sehingga tidak ada yang
terlihat kecuali kedua matanya. 4 Dari uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa h}ija>b diartikan sebagai penutup secara umum sedangkan niqa>b
ialah penutup untuk wajah atau yang sering disebut dengan cadar.
Setelah diketahui definisi dari h}ija>b dan niqa>b, selanjutnya istilah h{ija>b
dan niqa>b tersebut akan digunakan untuk menguraikan pembahasan
pada poin ekslusifitas h}ija>b ini.
Sebagaimana ‘Ali< Jum‘ah menganggap h}ija>b sebagai kewajiban
bagi perempuan, ‘Ali< Jum‘ah juga menganggap h}ija>b bagian dari
keyakinan teologis. Hal tersebut sebagaimana telah jelas hukumnya
berdasarkan Al-Qur’an,5 hadis
6 dan konsesus para ulama baik dari
3Abu> ’A‘la> al-Mawdu>di>, H}ija>b, (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1963), 300.
4Pengertian ini dirumuskan oleh lembaga fatwa di Mesir, Da>r Ifta> al-
Mis{riyah. Kementerian Waqaf Republik Arab Mesir,‚Al-Niqa>b A<datun Wa Laysa Iba>dah @(Kairo: Da>r al-Kutub al-Mas}riyah, 2008), 1.
5Sebagaimana dimaksud dalam Qs. al-Ah}za>b (33): 59 dan Qs. al-Nu>r
(24): 31.
زواجك وبناتك
ل لبي ق ها الن ي
ا ي
ي
ييؤ
يب
ي ن
ين ا
ىن
ليك ا
ه يبي
ه مي جب يمنين يدنين عل
ؤ
ء ال
ونسا
حبما فىرا ره غ
ان الل
وك
Artinya, ‚Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang".
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
119 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
يييييي مييييي ا
ييييي مؤمن ل يييييل ل
ييييي ب ق ب
ييييي م هيييييا ول
ميييييا
ل
نييييينه يتيييييدي ز
ول ييييي وجييييي
فف صيييييارو و
ء يا
و ا
ا
يا
و ا
نه ا
ىل لت
ننه لا يتدي ز
ول
ى جبىبه م و عل
ويخ
نه ا
ىل و ب
نه ا
يىل ء ب
ينيا
و ا
ا
ينيا
ا
يمييييانه ا
ا يييي
و مييييا مل
ا
و نسييييا
هه ا ييييى
خ
ا
و يييييي
ييييىانه ا
اخ
و يييييي
ييييىانه ا
ربيييي ميييي اخ
ييييى لا و
يييييى ا
ين غ يييياب
و الت
فيييل ا و ال
نيييال جييا ا فيييين مييي ز
ميييا يخ
ل ليييب رجلييي ب ييييا ي
ء ول
سييا
ال
يييى عيييىر ييي وا عل
يف ييي
ي ل ييي
ل
نه
فلحىن ت
ل
ؤمنىن ل ه ال ي
ا ا ه جمب
ى الل
ا ا
ىبى
وت
Artinya ‚Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung‛.
Dari kedua ayat diatas menunjukkan bahwa menampakkan rambut bagi
wanita merupakan perbuatan yang dilarang oleh agama, karena rambut juga
termasuk aurat, sebagaimana hukum yang berlaku pada sebagian besar tubuh
wanita. Lihat: ‘Ali< Jum‘ah, Al-Kalim al-T{ayib Fata>wa> ‘As}riyah, Vol. 1, 463-
464. 6Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh ‘A<ishah RA:
وعلهيييا ببيييا ملسو هيلع هللا ىلصروي أيييى ىاوى عييي عاض ييي رهيييأي أ ع هيييا أن أكيييماء ي ييي أ ييي ي ييي ىخلييي عليييى ركيييى أ
وقا ليا ييا أكيماء ن الي أا ا يلي اليبيص لي يصيل أن يي ي م هيا ملسو هيلع هللا ىلصرقاق؛ أع ض ع ها ركى أ
ه وكفبهل وا وواص وأشار ى وج
Artinya, ‚Bahwa suatu hari Asma>’ binti Abu> Bakar menemui
Rasulullah SAW. Ia mengenakan baju tipis, maka Rasul pun memalingkan
pandangannya dan bersabda, ‚Hai Asma’! Seorang wanita yang telah baligh tidak boleh menampakkan seluruh tubuhnya kecuali ini dan ini‛, Ia memberi isyarat pada wajah dan kedua telapak tangannya.‛ (HR. Abu> Da>wu>d dalam
Sunan Abu> Da>wu>d no. 4104 dan al-Bayhaqi> Riwayat al-Bayhaqi> dalam Sunan
Al-Kubra>, no. 3218, hadis ini di S}ah}i>hkan oleh al-Ba>ni <). Lihat: ‘Ali> Jum‘ah,
Al-Kalim al-T{ayib Fata>wa> As}riyah, Vol. ke-1, 462.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
120 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
kalangan salaf maupun khalaf. Dalam kewajiban h}ija>b bagi perempuan
‘Ali< Jum‘ah tidak memberi sedikitpun celah bagi siapapun yang
mempertentangkan kewajibannya untuk ditanggalkan, demikian pula
karena alasan tidak ada ruang bagi akal untuk mengaturnya. Pengertian
kata al-kh}ima>r dalam ayat Qs. al-Nu>r (24): 31 yaitu menutup rambut
kepala sangat sh}ari@h (jelas) dan tidak perlu ta’wi@l untuk dimaknai.7 Hal
senada diungkapkan Wahbah al-Zuhayli< dalam karya monumentalnya
‚al-Fiqh al-Islāmi> wa Adillatuhu>, Ia menyatakan bahwa aurat
perempuan adalah seluruh anggota tubuh kecuali wajah dan telapak
tangan.8
Dan hal ini sejalan dengan mayoritas ulama fiqh dari kalangan
H}anafi>, Ma>liki>, Sha>fi‘i> kecuali mazhab Ah}mad bin H }anbal.9 Bahkan
Abu> Hani<fah membolehkan perempuan memperlihatkan kedua tumit
kakinya dengan alasan bahwa dalam penggalan ayat ( ها ظها ما لإ منا )Allah
melarang memperlihatkan perhiasan kecuali yang tampak, sedangkan
tumit termasuk bagian yang sering tampak. Selain itu, para ulama juga
menyandarkan pendapatnya dengan hadis ‘A<ishah RA tentang
kebolehan menampakkan wajah dan telapak tangan dalam berh}ijab.10
Dalam keadaan darurat sekalipun, ‘Ali< Jum‘ah sangat ketat dan
menqiyaskan kasus ini sebagaimana kehalalan memakan babi dan
mayit dalam keadaan darurat. Mendefinisikan kata al-d}aru>rat yaitu
7‘Ali< Jum‘ah, Fata>wa> al-Nisa>, 415. Lihat juga: ‘Ali< Jum‘ah, Al-Kalim
al-T{ayib Fata>wa> As}riyah, Vol. ke- 1, 463- 464. 8Wahbah al-Zuhayli<, Al-Fiqh al-Islami< wa Adillatuhu>, 19.
9Ah}mad bin Hanbal menganggap bahwa setiap bagian tubuh wanita
adalah aurat -yaitu wanita merdeka- bahkan hingga kukunya. Abu al-Fara>j al-
Jawzi>, Za>d al-Mas}i>r Fi> `Ilm al-Tafsi>r, (Beirut: Da>r Ibn Hazm, 2002), Vol. ke-4,
h. 31. Sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad bin S}a>lih al-‘Uthaymi>n
bahwa pendapat yang ra>jih{ (kuat) mazhab H}anbali> dalam masalah ini adalah
wajib hukumnya bagi wanita untuk menutup wajah dari pada lelaki ajnabi.
Lihat: Muhammad bin S}a>lih al-‘Uthaymi>n, Risa>lat al-H{ija>b, (Madinah:
Muassasat Muhammad bin S}a>lih al-‘Uthaymi>n, 2007), 15. Bandingkan
dengan Ah}mad bin Abu> Bakar al-Q{urtu>bi<, Al-Jāmi‘ li Ahkām al-Qur’ān,
(Beirut: Muassasah Risa>lah, 2006), 213. 10
‘Ali< Jum‘ah, Mutashadidu>n; Manh}ajuhum wa Muna>q{ashat Aha{mm Q{ad{a>yahum, 142-143.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
121 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
menutup kehancuran dan meniadakan kematian.11
Hal tersebut sejalan
dengan batasan al-Suyu>t}i< dalam arti d{aru>rah, Ia menempatkan d{aru>rah
pada posisi seseorang yang sudah berada dalam batas maksimal jika
seseorang tersebut tidak mengerjakan sesuatu yang dilarang agama
maka bisa mati atau hampir mati.12
Dalam hal ini disimpulkan bahwa
mengerjakan sesuatu terlarang karena darurat adalah untuk menolak
tehadap bahaya dan bukan hal lain. Maka jika tidak ada darurat maka
h}ija>b menjadi haram untuk dilepas.
Ketika ditanyai fatwa terkait inkonsistensi perempuan dalam
mengenakan h}ija>b, ‘Ali< Jum‘ah berpendapat bahwa inkonsistensi
perempuan yang telah baligh dalam memakai h}ija>b tidak dapat
diterima. Karena h}ija>b merupakan kewajiban dan merupakan bagian
dari teologis dengan kondisi apapun, sekalipun keadaan struktur sosial
masyarakat di suatu tempat telah berkembang dan berubah termasuk di
Mesir -dimana ‘Ali< Jum‘ah berdialog dengan konteks-. Pun demikian
kewajiban h}ija>b berlaku sampai kapanpun. Maka konsistensi
perempuan dalam urusan h}ija>b haruslah berkesinambungan.
Sebaliknya, inkonsistensi perempuan dalam pemakaian h}ija>b seperti
terkadang memakai dan terkadang melepasnya begitupula seterusnya,
bagi ‘Ali< Jum‘ah hal tersebut merupakan pembangkangan terhadap
agama dan wajib taubat bagi pelakunya.13
Dalam kumpulan fatwanya Al-Kallim al-T{ayib Fata>wa> ‘As}riyah,
‘Ali< Jum‘ah berpendapat bahwa seorang perempuan yang bekerja di
negara mayoritas non-muslim dimana pegawainya dilarang memakai
h}ija>b, maka perempuan tersebut tetap tidak ditolerir menanggalkan
h}ija>b. Karena nas}s} yang memerintahkan untuk memakai h}ija>b bersifat
qat}‘i> kecuali dalam keadaan darurat seperti apabila dengan tanpa
pekerjaan tersebut dapat membahayakan hidupnya. ‘Ali< Jum‘ah
menekankan keadaan darurat yang mengakibatkan pelakunya benar-
benar dalam keadaan terdesak bagi keberlangsungan hidupnya.
Artinya, jikalau dengan sesuatu yang dilarang tidak dapat
11
‘Ali< Jum‘ah, Fata>wa> al-Nisa>, 415. Lihat juga: ‘Ali< Jum‘ah, Al-Kallim al-T{ayib Fata>wa> As}riyah, Vol. ke- 1, 463- 464.
12Jala>l al-Di@n al-Suyu>t{i@, Al-Ashba>h wa al-Nad}za>ir (Beirut: Da>r al-
Kutub al Ilmiyah, 1983), 60-61. 13
‘Ali< Jum‘ah, Al-Kalim al-T{ayib Fata>wa> As}riyah, Vol. ke- 1, 464.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
122 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
melangsungkan hidup, maka h}ija>b boleh dilepas sebagaimana
seseorang yang memakan daging babi dalam keadaan darurat.14
Dalam tingkatan d}aru>rah, Bin Bayah dalam memahami ayat Qs.
al-Nu>r (24): 31 mengungkapkan bahwa pelarangan (al-nahy) yang
terdapat dalam nas}s} tersebut bukanlah pada tingkatan larangan
maqa>s}id, melainkan dalam takaran larangan wasa>’il atau dhara>’i‘. Sehingga bagi Bin Bayah, teks-teks keagamaan tentang menutup
rambut kepala perempuan baik perintah menggunakannya dan larangan
untuk melepaskannya adalah teks hukum yang bersifat sarana untuk
menuju maksud dan tujuan hukum yang sebenarnya.15
Al-Qara>fi< membagi hukum menjadi dua; Pertama, hukum yang
bersifat maqa>s}id, yaitu pemberlakuan sebuah hukum disebabkan
adanya tujuan mutlak. Apabila itu sebuah perintah, maka di dalam
tujuan tersebut terdapat kemaslahatan yang sangat besar, yang harus
digapai oleh manusia. Dan apabila itu sebuah larangan, maka di
dalamnya terdapat kemudaratan, yang harus dihindari karena dapat
mencederai manusia. Kedua, hukum yang bersifat wasa>‘il, yaitu
pemberlakuan hukum disebabkan statusnya sebagai wasilah yang
mengantarkan kepada tujuan maqa>s}id. Wasi>lah adalah jalan dan sarana
yang ditempuh menuju perwujudan perkara tertentu. Hukum yang
berlangsung pada wasa>‘il dapat disamakan dengan hukum yang
berlaku pada maqa>s}id.16
Sebagaimana kaidah al-fiqhiyyah yang
berbunyi ‚al-wasa>’il laha> ah}ka>m al-maqa>s}id‛ (hukum wasi>lah
tergantung pada tujuan-tujuannya). Sehingga memakai h}ija>b
merupakan kewajiban kecuali dalam keadaan darurat. Secara
keseluruhan pemikiran Bin Bayah mempunyai kesamaan dengan ‘Ali<
Jum‘ah walaupun berbeda dalam takaran darurat. Hal tersebut
dilatarbelakangi interferensi sosio-politik dari keduanya yang
mempunyai distingsi, karena Bin Bayah berdialog dengan konteks di
Eropa, sedangkan ‘Ali< Jum‘ah berdialog dengan konteks di Mesir
14
‘Ali< Jum‘ah, Al-Kalim al-T{ayib Fata>wa> As}riyah, Vol. ke- 2, 346-348. 15
Bin Bayyah, S}ina>‘ah al-Fatwa wa Fiqh al-Aqalliyya>t (Beirut: Da>r al-
Minha>j, 2007), 319. 16
Abu> Isha>q al-Sha>t}ibi<, al-Muwa>faqa>t fi< Us}u>l al-Shari<‘ah (Beirut: Da>r
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt), iii, 209. Lihat juga: Bin Bayyah, S}ina>‘ah al-Fatwa wa Fiqh al-Aqalliyya>t, 319.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
123 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
dimana Ia tidak komprehensif dalam memahami kondisi sosial Eropa
yang notabe mayoritas negara penduduknya merupakan non-muslim.
Masalah kewajiban memakai h}ija>b, Ibn A<shu>r menyatakan
bahwa adat kebiasaan suatu kaum tidak dapat dipaksakan kaum lain
atas nama agama. Contohnya adalah pemakaian h}ija>b yang
dianggapnya sebagai ajaran yang mempertimbangkan adat oang Arab.
Selanjutnya Ia menyatakan bahwa cara pemakaian h}ija>b berbeda-beda
sesuai adat istiadat setempat. Yang menjadi tujuan agar mereka
dikenal sebagai wanita muslimah yang baik dan tidak diganggu
terpenuhi.17
Berbeda halnya dengan h}ija>b yang dianggap bagian dari syariat,
namun tidak demikian dengan niqa>b (cadar), ‘Ali< Jum‘ah menolak
pandangan cadar bagian dari syariat tetapi menganggap cadar sebagai
bagian dari budaya.18
‘Ali< Jum‘ah mengkritik para kaum ekslusif19
yang beranggapan bahwa cadar termasuk sunnah nabi SAW yang
wajib dilakukan. Dalam hal ini ‘Ali< Jum‘ah menduga bahwa para kaum
ekslusif salah menggunakan istilah sunnah diluar konteksnya, dimana
mereka kerap mencampuradukkan antara istilah sunnah versi ahli
17
Muhammad T{a>hir Ibn A<shu>r, Maqa>sid al-Shari@ah al-Isla>miyah‛(Kairo: Da>r al-Sala>m, 2007), 233.
18Pada tahun 2008, Kementerian Wakaf Mesir meluncurkan sebuah
buku yang berjudul ‘al-Niqab ‘A <datun wa Laysa ‘Iba >dah. Buku ini ditulis oleh
para ulama terkemuka Mesir, diantaranya Grand Sheikh Al-Azhar –ketika itu-
Muhammad Sayyid T{ant{a>wi< dan ‘Ali> Jum‘ah, Grand Mufti Republik Arab
Mesir –ketika itu-. Secara khusus, Mahmu>d Hamdi< Zaqzu>q, Menteri Wakaf
Mesir memberikan kata pengantar dalam buku ini. Dalam kata pengantarnya,
langkah yang diambil Kementerian Wakaf Mesir ini bukan sebuah kebijakan
yang bersifat tiba-tiba, melainkan sebagai respons terhadap fenomena publik
terkait hukum menggunakan cadar. Selain itu, hal ini juga mersepon terhadap
menguatnya arus politik identitas dan kelompok-kelompok ekstremis di
Mesir, cadar menjadi salah satu isu yang mulai mencuat di permukaan,
umumnya fenomena tersebut berlaku di kampung-kampus umum universitas
di Mesir. Lihat: Kementerian Waqaf Repbulik Arab Mesir,‚Al-Niqa>b A<datun Wa Lai@sa Iba>dah @(Kairo: Dar al-Kutub al-Masriyah, 2008), 1.
19‘Ali< Jum‘ah menggunakan istilah Mutashadidu>n yang berarti
kelompok yang keras dan kaku dalam beragama. Dalam hal ini penulis
menggunakan istilah kaum ekslusif untuk menamai kelompok tersebut.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
124 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
hadi>th dengan istilah sunnah versi ahli fiqh dan ahli usu>l al-fiqh.
Karena ketidakpahaman istilah sunnah tersebut menjadikan adat
istiadat atau kebiasaan yang dikatakan termasuk sunnah oleh para ahli
hadis ke dalam kategori sunnah menurut ahli fiqh yang berarti sunnah
termasuk bagian dari hukum shar‘a.20
Jikalau memang anggapan niqa>b bagian dari agama, hal tersebut
merupakan salah kaprah dan termasuk melampaui batas karena
melebih-lebihkan perintah agama. Dari segi sosial, ‘Ali< Jum‘ah
mengkategorikan niqa>b termasuk pakaian shuhrah (mencari
popularitas) apabila dalam adat kebiasaan masyarakat dalam suatu
negara tidak biasa mengenakan pakaian tersebut. Bahkan ulama
Ma>likiyah menganggapnya sebagai bid‘ah karena termasuk perbuatan
melampaui batas dalam beragama.21
Berkaitan dengan masalah niqa>b, sebagian ulama menyatakan
kewajiban menutup wajah dan telapak tangan. ‘Ali< al-S}abu>ni<
melandaskan pendapatnya pada ayat Qs. al-Nu>r (24): 31 yang
mengharuskan seorang perempuan untuk tidak menampakkan
perhiasannya. Hal tersebut sebagaimana tertera dalam penggalan ayat ( ي ول زيانا اه يابا ) bahwa asal dari segala bentuk perhiasan adalah wajah,
maka menutupinya adalah sebuah keharusan.22
Abu> A‘la> al-Mawdu>di>
20
Sunnah menurut ahli usu>l al-fiqh merupakan sumber hukum Islam
yang mempunyai kedudukan setelah Al-Qur’an. Sedangkan menurut ahli fiqh,
sunnah merupakan salah satu hukum shar‘i< yang berbeda dengan wajib,
mubah, makruh dan haram yang didefinisikan sebagai sesuatu yang bila
dikerjakan mendapatkan pahala, jikalau ditinggalkan tidak berdosa‛.
Sedangkan menurut ahli hadis, sunnah yaitu ‚sesuatu yang dilakukan rasuullah baik perkataan, perbuatan, pengakuan sifat penciptaan atau sifat budi perkerti baik sebelum atau sesudah menjadi nabi‛. Lihat: Adh{d al-Din al-
I<ji @, ‚Sharah al-Adh{d Ala> Sharh} Mukhtas}ar Ibn al-Ha>jib‛ (Beirut: Da>r al-Kutub
al-Ilmiyah, 2000), h. 290. Muhammad Ibra>hi@m al-H{ifna>wi@, ‚Dira>sa>t Us}u>liyah Fi@ al-Sunah al-Nabawiyah‛ (Kairo: Da>r al-Wafa>’, 1991), 12.
21‘Ali< Jum‘ah, Mutashadidu>n; Manh}ajuhum wa Muna>q{ashat Aha{mm
Q{ad{a>yahum, 144. 22
‘Ali< al-S}abu>ni<, Rawa>’>i<‘ al-Baya>n Fi< Tafsi<r A<ya>t al-Ah}ka>m, (Beirut:
Da>r al-Fikr, 2000), Vol. ke- II, 310.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
125 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
juga diikuti Bakar bin Abu> Zayd 23
Muhammad bin S}a>lih al-
‘Uthaymi>n24
berpendapat bahwa seluruh tubuh perempuan adalat aurat
yang wajib ditutupi termasuk wajah dan kedua telapak tangan ketika
berhadapan dengan yang bukan muhrim, konsekuensinya adalah
kewajiban memakai cadar atau penutup bagi perempuan. Mereka
menyandarkan hadis tentang kewajiban cadar juga qiya>s. Dalam qiya>s,
jikalau perempuan wajib menutupi telapak kakinya, lehernya, dan
lainnya karena dikhawatirkan akan menimbulkan godaan, maka
menutup wajah perempuan lebih wajib. Hal ini senada dengan al-
T{{abari< sebagaimana dikutip Abu> Hayya>n meriwayatkan dari Ibn
23 يييييان
يييييد ك
-وق ىان
ك
الييييي ييييي
ي ب
يييييل يييييل الس
ييييي -صيييييفىان يييييي ال
يييييا عل
ييييي ا ن ي
تيييييل أ
ي انييييي ق
تا وجهي يجل م
خ
ي
ياكتىجاعه حين ع
فبق
اكت
“Dia (S{awfa>n bin Al-Mu‘at}al) dahulu pernah melihatku sebelum
diwajibkan hijab atasku, lalu aku terbangun karena perkataannya: ‚Inna lillaahi…‛ ketika dia mengenaliku. Maka aku menutupi wajahku dengan jilbabku‛ (HR. Muslim)
Menurut Bakar bin Abu> Zayd, hadis Ini merupakan kebiasaan
ummaha>t al-mu’mini>n, yaitu menutupi wajah, maka hukumnya meliputi
wanita mukmin secara umum sebagaimana dalam masalah h}ija>b. Lihat: Bakar
bin Abu> Zayd, Hira>sah al-Fad{i>lah, (Riya>d}: Da>r al-‘A>s}imah, 2005), 72. 24
‘A <ishah RA berkata:
ييياتييييان يمييي ك
ك وا ينييييا ن ال
ا حييييا
ييي
مييييا م
بييييه وكيييليييه عل
ى الل
ييييه صييييل
ييي مييييا ركيييى الل
ون ينييييا ون
فناه
ا ك
ا جاوزون
ا
ى وجا عل ك
تابها م رأ
ا جل
حدان
كدل
“Para pengendara kendaraan biasa melewati kami, di saat kami (para
wanita) berihram bersama-sama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka jika mereka mendekati kami, salah seorang di antara kami menurunkan jilbabnya dari kepalanya pada wajahnya. Jika mereka telah melewati kami, kami membuka wajah.‛ (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain).
Dalam hadis ini Muhammad bin S}a>lih al-‘Uthaymi>n menyebutkan
bahwa wanita yang ihram dilarang memakai penutup wajah dan kaos tangan.
Sehingga kebanyakan ulama berpendapat, wanita yang ihram wajib membuka
wajah dan tangannya. Sedangkan yang wajib tidaklah dapat dilawan kecuali
dengan yang wajib pula. Maka kalau bukan karena kewajiban menutup wajah
bagi wanita, niscaya tidak boleh meninggalkan kewajiban ini (yakni membuka
wajah bagi wanita yang ihram). Muhammad bin S}a>lih al-‘Uthaymi>n, Risa>lat al-H{ija>b, (Madinah: Muassasat Muhammad bin S}a>lih al-‘Uthaymi>n, 2007), 15
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
126 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
‘Abba>s dan Qata>dah, bahwa seorang perempuan harus mengulurkan
jilbabnya sampai di atas dahi kemudian mengaitkannya ke hidung.25
Dalam karya ‚Hija>b al-Mar’ah al-Muslimah Fi@ al-Kita>b wa al-Sunnah‛ meskipun tidak mewajibkan cadar, Al-Ba>ni@ menganggap bahwa cadar
merupakan sunnah dimana hal tersebut ditempuh ummaha>t al-mu’mini>n (istri-istri Rasulullah) juga merupakan kebiasaan para
sahabat wanita dalam menutupi wajah mereka.26
Pada dasarnya bagi ‘Ali< Jum‘ah, menyesuaikan bentuk pakaian
sesuai dengan masanya adalah termasuk bagian dari menjaga muru’ah
(kehormatan) selagi pakaian tersebut tidak mendatangkan dosa.
Sebaliknya, tampil dalam pakaian yang berbeda dimasanya termasuk
bagian dari bergaya (mencari popularitas). Jenis dan pakaian yang
sedang tren di tengah masyarakat selama masih dalam lingkaran umum
pakaian shar‘I <yaitu tidak terlalu ketat, tidak tipis tidak membuat
aurat kelihatan dan tidak untuk bergaya maka hukumnya boleh.27
Al-Shawka>ni> mengatakan ketika pakaian yang dikenakan adalah
mencari popularitas di tengah masyarakat, maka tidak ada bedanya
dengan apakah pakaian itu baik atau buruk. Karena yang menjadi
standar adalah apakah pakaian tersebut sesuai atau beda dengan yang
umum dikenakan masyarakat pada waktu itu. Sebab, keharaman
shuhrah berputar pada ‘illat (sebab) mencari popularitas. Yang menjadi
25
Abu> Hayya>n al-Andalu>si<, Al-Bah{r al-Muhi<t}, (Beirut: Da>r al-Kutub
Ilmiah,1993), Vol. ke- VII, 240. 26
Muhammad Na>sir al-Di<n Al-Ba>ni@. Hija>b al-Al-Mar’ah al-Muslimah Fi@ al-Kita>b wa al-Sunah (Beiut: al-Maktabah al-Islami, 1987), 3.
27‘Ali< Jum‘ah memberikan kriteria pakaian yang digunakan perempuan
untuk menutupi aurat yang wajib dilakukan sebagaimana berikut: Pertama,
tidak terlalu pendek sehingga membuat sebagian auratnya terlihat. Kedua, tidak terlalu sempit sehingga memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh yang
merupakan aurat. Ketiga, tidak terlalu tipis sehingga bisa terlihat warna kulit
dan anggota tubuh yang merupakan aurat. Apabila pakaian perempuan -
apapun namanya dan modelnya- telah memenuhi kriteria-kriteria di atas,
maka bisa disebut dengan h}ija>b shar‘i >. Akan tetapi, apabila ada salah satu dari
kriteria-kriteria di atas tidak terpenuhi, maka tidak bisa disebut dengan h}ija>b
shar‘i >. Lihat: ‘Ali< Jum‘ah, Mutashadidu>n; Manh}ajuhum wa Muna>q{ashat Aha{mm Q{ad{a>yahum, 140-143.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
127 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
standar hukum adalah maksud dari perbuatan sekalipun maksud
tersebut tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.28
Selain itu, masalah pakaian memiliki hubungan yang kuat
dengan adat dan budaya masyarakat setempat. Adapun mengenai
masyarakat dinegara lain yang secara umum penduduknya menjadikan
cadar bagian tradisinya semisal penduduk Saudi Arabia yang
menerapkan mazhab Ah}mad bin H{anbal, maka bagi ‘Ali< Jum‘ah hal
tersebut diperkenankan karena mengacu pada hukum ‘a>dat setempat
dan tidak ada kaitannya dengan landasan keagamaan.29
Penulis menyimpulkan mengenai pandangan h{ija>b, secara umum
‘Ali< Jum‘ah lebih mengedepankan pendapat mayoritas ulama yang
membolehkan perempuan untuk membuka wajah dan kedua telapak
tangan. Maka selain dari wajah dan telapak tangan maka wajib
ditutupi. Di sisi lain, ‘Ali< Jum‘ah melemahkan pendapat yang
mewajibakan menutup wajah dan telapak tangan. Selain itu, dalam
kaitannya dengan pakaian yang mempertimbangkan kondisi sosial,
sebagaimana diuraikan diatas bahwa pakaian haruslah menyesuaikan
pakaian adat atau kebiasaan setempat. Pendapat niqa>b ini
termanifestasi dari pemikiran ‘Ali< Jum‘ah yang telah diuraikan pada
bagian tiga lalu berkaitan usu>l al-fiqh dan realitas sosial bahwa Ia
konsisten mempertimbangkan hukum dengan melihat berbagai faktor
realitas yang mengitarinya, antara lain: waktu, tempat, kondisi dan
personal. Maka kondisi, tempat dan personal di Mesir tidak
mendukung masyarakat Mesir untuk menggunakan niqa>b, namun
dalam niqa>b, Ia sangat mendukung untuk diterapkan bagi penduduk di
Saudi Arabia.
2. Relevansi Pemikiran ‘Ali< Jum‘ah Dengan Aspek Gender
Perdebatan yang selalu muncul di dunia Islam kontemporer
antara kalangan tradisionalis dan modernis; antara pendukung h}ija>b
dan yang tidak. Itulah mengapa studi tentang wacana gender menjadi
28
Al-Shawka>ni<, Nai@l al-Awt}a>r (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 1986),
111. Lihat: ‘Ali< Jum‘ah, Mutashadidu>n; Manh}ajuhum wa Muna>q{ashat Aha{mm Q{ad{a>yahum, 143.
29‘Ali< Jum‘ah, Mutashadidu>n; Manh}ajuhum wa Muna>q{ashat Aha{mm
Q{ad{a>yahum, 143.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
128 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
urgen dan relevan. Dalam dunia Islam umumnya dan Mesir –dimana
‘Ali< Jum‘ah berdialog dengan konteks- khususnya, apa yang
dikemukan ‘Ali< Jum‘ah bertolak belakang dengan apa yang
diungkapkan oleh para feminis muslim seperti Qa>sim Ami<n dan Jama>l
Al-Banna>. Menurut Qa>sim Amin, tidak ada nas}s} s}ari<h yang
mewajibkan pemakaian h}ija>b. Sejalan dengan pendapat Qa>sim Ami<n,
Jama>l al-Banna> menyatakan masyarakat Arab mempunyai pandangan
yang salah terhadap h}ija>b sehingga mereka bersikeras mempertahankan
tradisi ini. H}ija>b hanya dianggap sebagai pesan syariat sehingga agama
dijadikan legitimasi atas kewajiban memakai h}ija>b.30
Pada sisi sosial al-Banna>, menyatakan bahwa h}ija>b dalam
beberapa hal justru menjadi kendala bagi pemakainya untuk dapat
berinteraksi sosial dengan masyarakat luas. Sebagaimana dalam hal
kriminalitas dan kesaksian dalam pengadilan, h{ija>b terlebih niqa>b
dapat menimbulkan kemungkinan-kemungkinan yang memanipulasi
keadaan. Begitu juga dalam keadaan lain, seperti perdagangan dan
pertanian. Masyarakat pertanian di pedesaan dimana kaum perempuan
banyak ikut bercocok tanam akan lebih banyak menemukan kesulitan
daripada mereka yang tidak memakai h}ija>b. Bahkan secara radikal lagi,
Qa>sim Ami<n menyatakan kaum perempuan yang memakai h}ija>b akan
lebih terisolasi dari pada kaum perempuan yang melepasnya.31
Pada awal abad ke-20, jutaan perempuan muslim memutuskan
untuk menanggalkan h}ija>b yang digunakan oleh para ibu atau nenek
mereka. Kemudian setengah abad setelahnya, jutaan perempuan
muslim yang menyebar diberbagai belahan dunia kembali mengenakan
h}ija>b, bagaimana dan mengapa fluktuasi ini dapat terjadi dan
menyebar ke berbagai penjuru dunia. Menurut Leila Ahmad, di Mesir
pada tahun 1940, pada kala itu, h}ija>b dianggap terbelakang dan
membatasi otonomi perempuan. Tetapi menurutnya, meskipun tidak
mengenakan h}ija>b, mereka tergolong taat terhadap agamanya. Akan
tetapi kembalinya h}ija>b bukan hanya sebagai bentuk dari kealiman
atau menurut Leila Ahmad tidak ada hubungannya dengan ketaatan
30
Jama>l Al-Banna>, Al-Mar’ah Al-Muslimah Bayna Tahri<r Al-Qur’an wa Taqyi<d al-Fuqaha> , 25-26.
31Mufidah Saggaf Aljufri, Pembaruan Hukum Islam Menurut Jama>l Al-
Banna>, (Jakarta: Gaung Persada, 2011), 234.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
129 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
keimanan seseorang melainkan hampir sebagai bentuk aktivitas sosial
dimana waktu munculnya berbarengan dengan kehadiran gerakan
Islamisme terutama bangkitnya gerakan Islamisme tahun 1970 yang
dipelopori oleh ikhwa>n al-muslimi@n.32
Pada masa pemerintahan Husni< Muba>rak, perkembangan
Islamisme di Mesir berkaitan erat dengan dengan pola pikir perempuan
muda muslim kelas menengah. Mereka memiliki pandangan bahwa
prioritas seorang perempuan itu berada di rumah. Mereka akan bekerja
ketika memenuhi empat syarat yang oleh mereka dijadikan pegangan,
yaitu; ketika seorang perempuan tidak diperlukan di rumah,
pekerjaannya memiliki nilai inheren, suaminya menyetujui dan
pekerjaannya tersebut tidak mengharuskannya bercampur dengan
lawan jenis.33
Disamping adanya fakta bahwa gerakan Islamisme berkembang
pada masa Husni< Muba>rak, gerakan feminisme juga turut berkembang,
hal itu disebabkan terdapat persinggungan antara keduanya, dan
memiliki kepentingan politik yang bisa dicapai jika dilakukan
bersama.34
H}ija>b menurut Fatima Mernissi mempunyai 3 dimensi. Pertama,
dimensi visual menyembunyikan sesuatu dari pandangan (to hide). Kedua, dimensi ruang (to separate). Ketiga, dimensi spiritual sebagai
fungsi secara etika. Jadi, penggunaan h}ija>b berhubungan dengan makna
secara visual, berhubungan dengan ruang dan berhubungan dengan
makna abstrak.35
32
Leila Ahmed, A Quiet Revolution: The Veil's Resurgence from Middle East to America (New Heaven: Yale University Press, 2011), 19
33Leila Ahmed, A Quiet Revolution: The Veil's Resurgence, 20.
34Asef Bayat, ‚Post-Islamism; The Changing Faces of Political Islam‛
(New York: Oxford University Press, 2013), 90 – 91. 35
Fatima Mernissi ‚Women and Islam: a Historical and Theological Enquiry‛ diterj oleh Yaziar Radianti, Wanita dalam Islam, (Bandung:
Pustaka, 1994), h. 79. Lihat Pula: Fatima Mernissi, ‚Women’s Rebellion & Islamic Memory‛ diterj oleh Rahmani Astuti, ‚Pemberontakan Wanita: Peran Intelektual Kaum Wanita Dalam Sejarah Muslim‛ (Bandung: Mizan, 1999),
107.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
130 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
Jika pemakaian h}ija>b bertujuan menghindari fitnah, maka
menurut Qa>sim Ami<n h}ija>b dalam konteks masyarakat Mesir lengkap
dengan atribut niqa>b (cadar) justru menimbulkan fitnah. Sebab seorang
yang yang memakai h}ija>b cenderung lebih bebas dan bertindak
melanggar sosial tanpa ada rasa khawatir untuk diketahui khalayak
ramai. Pernyataan mengenai niqab tersebut senada dengan ‘Ali< Jum‘ah
yang mengatakan aneh dalam kehidupan masyarakat Mesir modern
apabila perrempuan menutup wajahnya (niqa>b). Menurut ‘Ali< Jum‘ah
tindakan menutup wajah apabila dijadikan sebagai alasan untuk hidup
ekslusif terpisah dari komunitas masyarakat luas ataupun menganggap
syiar dalam beragama maka hukumnya telah keluar dari sunnah dan
menjadi bid‘ah yang terlarang.36
Berbeda dengan pandangannya terkait pemakaian h}ija>b yang
terkesan tekstualis yang menganggap bahwa h}ija>b merupakan
kewajiban yang tidak bisa ditolerir oleh keadaan sosial, sedangkan
dalam cadar ‘Ali< Jum‘ah dengan tegas menolak pandangan cadar
bagian dari agama. Dalam perumusan hukum h}ija>b, ‘Ali< Jum‘ah
menganggap telah final bersifat qat}‘I< sesuai Al-Qur’an, sunnah dan
ijma>‘. Sedangkan ekslusifitas cadar tampak menggunakan tarji>h, ‘illat hukum dan metode istih{sa>n (bi al-‘urf) dalam argumennya.
Dalam tarji<h, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa
‘Ali< Jum‘ah telah merajih{kan pendapat mayoritas ulama yang
membolehkan perempuan untuk membuka wajah dan kedua telapak
tangan dalam berh}ija>b. Sebaliknya ‘Ali< Jum‘ah melemahkan dalil
beserta hujjah yang digunakan para ulama yang pro cadar.
Dalam Illat hukmi, secara bahasa, ‘illat adalah suatu sebab
dimana hukum itu diterapkan. Adapun syarat utamanya adalah suatu
‘illat hukum mesti jelas, konsisten dan sesuai dengan maqa>s}id al-shari>’ah, yaitu membawa kemaslahatan. ‘Ali< Jum‘ah menggunakan
metode ini untuk memahami maksud dalam Qs. al-Ah}za>b (33): 21 dan
Qs. al-Nu>r (24): 31.
Kedua ayat ini saling menyempurnakan dalam menentukan
sesuatu yang wajib dipakai seorang muslimah, yaitu pakaian yang
36
‘Ali< Jum‘ah, Mutashadidu>n; Manh}ajuhum wa Muna>q{ashat Aha{mm Q{ad{a>yahum, 143.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
131 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
menutup tubuhnya dan tidak membukanya kecuali sesuatu yang
tampak. Menurut Quraish Shihab, perintah wanita mengulurkan jilbab
dengan tujuan membedakan antara wanita merdeka dengan hamba
sahaya, atau antara wanita terhormat dengan yang tidak terhormat
pada masa turunnya ayat tersebut, agar wanita terhormat tidak
diganggu oleh lelaki usil.37
Pada konteks masyarakat tertentu keterhormatan atau
ketidakterhormatan tidak disimbolkan dengan pakaian yang nyeleneh
dari sekitarnya. Maka jika demikian, yang penting dalam konteks
pakaian perempuan adalah memakai pakaian yang terhormat -sesuai
dengan perkembangan budaya positif masyarakat terhormat- dan yang
mengantar mereka tidak diganggu atau mengganggu dengan
pakaiannya itu. Sebaliknya tampil dalam pakaian yang berbeda pada
bentuk masanya termasuk pada bagian dari shuhrah (mencari
popularitas) dan ekslusif, bahkan aneh dari kebiasaan masyarakat
umum. Sehingga berpakaian shuhrah bagi perempuan tidak dapat
dibenarkan. ‘Illat seperti ini termasuk dalam dala>lah s}ara>h}ah, yaitu
‘illat yang disebutkan secara jelas oleh ayat jilbab tersebut.
Metode istihsa>n bi ‘urf, dalam hal ini sangat penting untuk
menjadikan adat kebiasaan sebagai pertimbangan dalam menetapan
hukum (dengan catatan adat tersebut tidak lepas kendali dari prinsip-
prinsip ajaran agama serta norma-norma umum), dan menggunakan
alasan cenderung aneh apabila melihat cara berpakaian perempuan
muslimah masyarakat Mesir yang yang memakai cadar. Maka dalam
hal ini ‘Ali< Jum‘ah tampak menggunakan metode istihsan bi al-‘urf. Di Indonesia, kasus berkaitan dengan cadar sering kali muncul
ke publik dan menimbulkan reaksi yang beragam dari berbagai
kalangan dan elemen masyarakat. Pada akhir tahun 2019, isu cadar
kembali mencuat seiring pernyataan yang dilontarkan oleh menteri
agama Republik Indonesia, Fachrul Razi, terkait larangan penggunaan
cadar di instansi pemerintah.38
Satu tahun sebelumnya, tepatnya pada
37
M. Quraish Shihab, Membumikan al Qur’an, 23. 38
Pernyataan Fachrul Razi ini sebagaimana dimuat media elektronik
CNN Indonesia dalam ‚Menag Fachrul Razi Akan Larang Cadar di Instansi
Pemerintah‛ pada 5 November 2019. Diakses di
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191030194509-20-444279/menag-
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
132 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
awal tahun 2018, isu cadar juga mencuat serta menimbulkan pro dan
kontra dalam masyarakat Indonesia. Hal tersebut merujuk pada
keputusan rector terkait larangan bercadar bagi mahasiswi yang kuliah
di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagaimana berdasarkan Surat
Rektor No B-1301/Un02/R/AK.00.3/02/2018 tentang Pembinaan
Mahasiswi Bercadar. Di tahun yang sama juga terjadi dengan adanya
penon-aktifan dosen bahasa Inggris yang bercadar di IAIN Bukit
Tinggi.39
Pelarangan pada kasus diatas didasari atas keamanan juga cadar
sejatinya hanya berkaitan dengan tradisi atau budaya bukan kewajiban
agama. Selain itu berkaitan dengan kebijakan pelarangan cadar di
kampus, pelarangan tersebut dimaksudkan untuk kepentingan umum
dan kampus serta kebaikan mahasiswi itu sendiri. Sedangkan bagi
yang menolak kebijakan larangan bercadar di kampus, mereka
beralasan bahwa larangan tersebut bertentangan dengan hak asasi
manusia, di samping itu tidak ada satu pun dalil dari Al-Qur’an dan
hadis yang melarang muslimah bercadar.
Di Mesir pada tahun 2008, isu cadar mencuat dan menimbulkan
perdebatan di kalangan masyarakat Mesir bahkan dunia Arab lantaran
pernyataan 3 tokoh terkemuka di Mesir yaitu Mahmu>d Hamdi> Zaqzu>q
-menteri waqaf Republik Arab Mesir-, Sayyid T{ant}a>wi -Grand
Shaiykh al-Azhar- dan ‘Ali> Jum‘ah –grand mufti Republik Arab Mesir-
terkait larangan penggunaan cadar dalam dunia pendidikan di Mesir.
Hal tersebut didasari atas menguatnya arus politik identitas dan
kelompok-kelompok ekstremis di Mesir, dan cadar menjadi salah satu
isu yang mulai mencuat di permukaan, umumnya fenomena tersebut
berlaku di kampus-kampus umum. Bahkan T}ant}a>wi> mengukuhkan
fachrul-razi-akan-larang-cadar-di-instansi-pemerintah pada 29 Desember
2019. 39
Pelarangan cadar di dua kampus tersebut sebagaimana dimuat dalam
media elektronik CNN Indonesia pada ‚Pelarangan Cadar di Kampus Dinilai
Langgar HAM‛ pada 3 Maret 2018. Diakses di
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180307125206-20-
281105/pelarangan-cadar-di-kampus-dinilai-langgar-ham 29 Desember 2019.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
133 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
larangan cadar pada sekolah-sekolah yang berafiliasi dengan instansi
lembaga Al-Azhar.40
Penulis berpendapat jika melihat konteks struktur masyarakat
Indonesia dan Mesir tampaknya sulit diterapkan penggunaan cadar
dalam bermasyarakat. Jikalau cadar dimaksudkan untuk keamanan
sebaliknya cadar justru menimbulkan ketidakamanan dan kenyamanan
bukan hanya untuk si pemakai tetapi orang disekeliling pemakai pula.
Terlebih ketika isu-isu radikalisme dan ekstremisme mencuat. Konteks
dan zaman saat ini telah berubah, sebagaimana dalam konteks
Indonesia dan Mesir, keamanan negara tersebut juga dapat dikatakan
aman. Maka jikalau cadar untuk alasan keamanan tampaknya tidak
dapat diterima. Lebih dari itu, apabila cadar diklaim sebagai kewajiban
ataupun sunnah agama tentu hal ini salah kaprah. Maka dalam hal ini
penulis berpegang pada pendapat ‘Ali< Jum‘ah terkait pemikirannya
mengenai cadar juga berdasarkan ulama terdahulu karena pada prinsip
agama adalah maslahat.
Selain itu menurut penulis, cadar hanya termasuk bagian dari
kategori masalah khila>fiyah. Agaknya terlalu berlebihan jikalau
masalah cadar dibesar-besarkan seolah bagian dari permasalahan yang
inti dari agama (us}ul). Berkaitan dengan pelarangan cadar di beberapa
kampus -sebagaimana fenomena disebutkan diatas- penulis mengacu
pada sadd al-dhari>ah, sebagai langkah preventif dan antisipatif untuk
mencegah potensi bahaya dan kerusakan (mud}arat dan mafsadat) yang
akan ditimbulkan dari pemakaian cadar tersebut selama di kampus.
Dalam kaitannya dengan pemakaian h}ija>b dan niqa>b, pendapat
‘Ali< Jum‘ah cenderung tekstualis ketika menguraikan dalih serta
kehujjahan h}ija>b dengan berpegang teguh nas}s} shar‘I< yang bersifat
qat}‘I< dan mengunggulkan ulama yang mewajibkan h}ija>b tanpa bisa
dita’wi>l dengan dalih lain. Dalam hal ini, tentu saja Ia mengunggulkan
otoritas teks keagamaan dibanding pertimbangkan konteks sosio-
40
Pernyataan larangan cadar dilontarkan 3 tokoh ternama di Mesir
yaitu Sayyid Tant}a>wi -Grand Shaiykh al-Azhar-, Mahmu>d Hamdi> Zaqzu>q –
menteri waqaf Republik Arab Mesir-, dan ‘Ali< Jum‘ah sebagaiman dimuat
berita elektronik al-Jazeera dalam ‚‘Ulama> Mas}riyu>n Yuayyidu>na Khat}r al-Niqa>b‛. Diakses di https://www.aljazeera.net/news/arabic/2009/12/23/ pada
29 Desember 2019.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
134 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
histori-politik Mesir. Sedangkan dalam cadar, ‘Ali< Jum‘ah
menyampingkan otoritas teks dan lebih banyak berbicara budaya Mesir
yang tidak relevan dengan konteks sosial masyarakat Mesir terkait
cadar. ‘Ali< Jum‘ah menolak anggapan cadar bagian dari teologis,
begitu juga menolak pendapat ulama mengenai kewajiban menutup
wajah. Karena cadar bagian dari budaya dan bukan bagian dari agama.
Hal ini mengindikasikan bahwa Ia cenderung kontekstualis dan
membela realitas dengan menganggap bahwa cadar bukan suatu
kewajiban bahkan dianggap bid‘ah apabila pelakunya menggangapnya
sebagai syiar agama.
Dalam hal ini, penulis menduga bahwa pendapat kontradiktif
tersebut agaknya dipengaruhi inteferensi sosio-politik Mesir dan
intelektual ‘Ali< Jum‘ah sebagai akademisi al-Azhar. Karena dari segi
histori-sosio-politik al-Azhar sangat kontras sekali dengan salafi> –yang
dalam hal ini Ikhwa>n al-Muslimi<n dan sempalannya seperti partai al-
Nu>r-, hal ini penulis jelaskan panjang lebar pada bagian sebelumnya
tentang interferensi kondisi sosial Mesir yaitu pada bagian tiga.
Tampaknya interferensi tersebut mempengaruhi pendapat ‘Ali< Jum‘ah
dalam dialognya dengan teks dan konteks mengenai cadar. Bahkan
bersama Sayyid Tant}a>wi<- saat itu sebagai grand shaykh al-Azhar- dan
Mahmu>d Hamdi> Zaqzu>q –menteri waqaf Republik Arab Mesir-, ‘Ali<
Jum‘ah melarang penggunaan cadar dalam aktifitas pendidikan di
Mesir. Hal ini menunjukkan bahwa ‘Ali< Jum‘ah juga mempunyai
kecenderungan bersikap kontekstual-progresif pada kasus cadar dengan
pelarangan tersebut.
B. Khita>n Perempuan
1. Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah Tentang Khita>n Perempuan
Menurut ‘Ali< Jum‘ah, khita>n merupakan tradisi masyarakat
masa lalu dan sejak awal sejarah manusia telah diketahui praktek
tersebut. Mereka melakukan praktek khita>n terus-menerus hingga
datangnya Islam, baik laki-laki maupun perempuan. Khita>n perempuan
pertama kali dilakukan di Mesir kuno sebagai bagian dari upacara adat
yang diperuntukkan khusus bagi perempuan yang sudah beranjak
dewasa. Tradisi tersebut merupakan akulturasi budaya antara
penduduk Mesir dan orang-orang Romawi yang saat itu tinggal di
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
135 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
Mesir. Hingga datangnya Islam, tradisi ini menyebar ke Madinah pada
masa nabi tapi tidak dengan Mekkah. Di Madinah, khita>n perempuan
sudah menjadi tradisi sehingga ketika nabi SAW berkunjung ke
Madinah, Ia selalu menasehati mereka yang melakukan praktek ini
agar tidak berlebihan. Sebagaimana diriwayatkan dari Umm ‘At}iyah,
\terdapat seorang perempuan yang berprofesi sebagai juru khita>n
perempuan di Madinah pernah suatu ketika Rasulullah s}alla allahu>
‘alayhi wa sallam bersabda kepadanya:
إلالباعل لتانهكيفإنذلكأحظىللم أة،وأحب‚(Jika Engkau mengkhita>n), jangan dihabiskan. Karena hal itu
lebih menyenangkan untuk perempuan, dan lebih dicintai suami.‛41
Memperhatikan teks hadis Umm ‘At}iyah, jikalaupun hadis
tersebut s}ahih maka mayoritas ulama’ mazhab memahami -baik
tersurat maupun tersirat- perintah untuk mengkhita>n anak perempuan,
namun pada realitanya tidak demikian adanya. Sesuatu yang tersurat
berupa tuntunan dan peringatan nabi SAW. kepada juru khita>n
perempuan agar mengkhita>n dengan cara yang baik dan tidak merusak.
Ia mendiamkan praktek khita>n perempuan berjalan di Madinah, namun
disyaratkan dengan tidak berlebihan dan tidak merusak. Apabila saat
ini dijadikan dasar maka khita>n bisa menjadi tidak diperkenankan
apabila berlebihan, atau ternyata merusak dan tidak memberikan
kenikmatan seksual bagi perempuan.42
Dalam literatur fiqh tidak satupun ditemukan satupun ulama
mazhab fiqh yang mu‘tabar melarang praktek khita>n perempuan.
Bahkan ada kesepakatan bahwa khita>n perempuan adalah bentuk
keutamaan. Hanya saja, terdapat perbedaan hukum fiqhnya, antara
41
Hadis ini diriwayatkan Abu> Da>wu>d dalam Al-Sunan, Vol. 4 h. 365
dan Al-Haim dalam al-Mustadrak, Vol. 3, h. 603. ‘Ali< Jum‘ah, Qad{a>ya> Marah Fi< Al-Fiqh al-Isla>mi<, 61.
42Ahmad Anwar, Ārā’ Ulamā’ al-Dīn al-Islāmi Fi> al-Kh}itān al-Unthā,
(Kairo: tp., 1989), 8-9.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
136 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
sunnah dan wajib.43
Ulama kontemporer seperti Yu>suf al-Q{arad{a>wi<
menambah ketentuan hukum mubah, hal tersebut merujuk pada
kenetralan makna tersirat dari kata ‛makrumah‛ dalam hadis nabi ‛Al-Khita>n sunnatan li al-rija>l makru>matun li al-nisa>‛. Khita>n merupakan
sunnah (ketetapan Rasul) bagi laki-laki, dan makru>mah (kemuliaan)
bagi wanita.44
Para ulama tidak sependapat tentang hukum khita>n.
Sebagaimana diungkapkan H{asanayn Muhammad Makhlu>f,
bahwasannya sebagian fuqaha berbeda pendapat dalam menetapkan
status hukum khita>n bagi setiap laki-laki dan perempuan. Dalam
mazhab sha>fi>‘i>yyah misalnya, sebagaimana disebutkan oleh al-Nawawi@>
dalam al-Majmu>‘, bahwa khita>n wajib hukumnya bagi laki-laki dan
sunnah bagi perempuan. Pendapat semacam ini merupakan pendapat
yang banyak diikuti kebanyakan ulama. Sedangkan mazhab H{ana>bilah
sebagaimana yang disebutkan oleh Ibn Quda>mah dalam kitab al-Mughni>, mengatakan wajib hukumnya bagi laki-laki, dan tidak wajib
ataupun sunnah tetapi lebih baik bagi perempuan. Nampaknya
pendapat inilah yang diikuti oleh kebanyakan ahli ilmu kesehatan.45
Adapun khita>n bagi perempuan yang ditetapkan oleh mazhab
H}anafi>, Ma>likiyah dan Hana>bilah yaitu sunnah berdasarkan hadis
Umm ‘At}iyyah. Mengomentari kepada seluruh teks hadis yang
berkaitan dengan kewajiban khita>n baik untuk laki-laki maupun untuk
perempuan, al-Shawka>ni@ mengatakan: ‚Yang benar adalah bahwa tidak
ada dasar hukum yang s}ahi>h, yang menunjukkan kewajiban khita>n.
Dan Ia membagi tiga pendapat menurut klasifikasi ulama, yaitu wajib
bagi laki-laki dan perempuan, sunnah bagi keduanya dan wajib bagi
laki-laki dan sunnah bagi perempuan.46
43
Jama>l Abu> Surur, dkk, Khita>n al-Ina>th, (Kairo: Jam‘iyat al-Azhar al-
Markazi al-Daw>li> al-Islami> Li al-Dira>sa>t wa al-Buhu>th al-Sakaniyah, 2013),
15. 44
Yu>suf al-Qarad{a>wi>, ‚Hukm al-Shar‘a Fi> al-Khita>n‛ Diakses di
https://www.al-qaradawi.net/node/4263 pada 29 Desember 2019 45
H{usayn Muhammad Makhlu>f, Fatāwa> Shar‘iyyah wa Buhūth al-Islāmiyyah, (Kairo: al-Madani, 1971), Vol. I, 145.
46Al-Shawka>ni<, Nayl al-Awt}a>r, 111.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
137 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
Bagi ‘Ali< Jum‘ah mengenai hukum khita>n perempuan dapat
disimpulkan bahwa para fuqaha sebenarnya menafikan sifat wajib,
begitu juga mereka menafikan sifat sunnah. Maka benang merah yang
diambil adalah mereka menafikan pentasyri‘an khita>n perempuan dan
menjadikan khita>n bagian dari adat tradisi. Dan sifat kemuliaan yang
ditunjukkan dari hadis dapat dikatakan merujuk pada pengetahuan
medis yang berlaku dan kesesuaian adat pada waktu itu dan bukan
bagian dari syariat Islam.47
‘Ali< Jum‘ah menjustifikasi bahwa semua hadis yang berkaitan
dengan perintah khita>n perempuan adalah d}a‘if (lemah) dan tidak ada
satupun hadis yang dapat dijadikan landasan h{ujjah. Berkaitan dengan
hadis Umm ‘At}iyah yang banyak dikutip oleh para ulama, hadis
tersebut tidak mengindikaikan adanya unsur kewajiban, kecuali hanya
unsur legalitas (pengakuan) nabi Saw. terhadap perbuatan perempuan
yang melakukan praktek khita>n di Madinah ketika itu.48
Hal tersebut
juga diamini Ibn al-Mundhi>r, al-Shawka>ni>, Mahmu>d Shaltu>t, Sayyid
Sa>biq, Wahbah al-Zuha>yli<, Muhammad al-Banna> dan Anwar Ah{mad.49
Jika demikian, maka label hukum khita>n perempuan yang ada dalam
fikih adalah murni hasil ijtihad ulama dan bukan perintah atau
tuntunan agama secara langsung. Bahkan mengenai khita>n laki-laki
pun sebagian ulama juga tetap memahaminya demikian. Oleh karena
itu, mayoritas ulama mazhab fiqh terkait dengan masalah khita>n
perempuan, lebih memilih kepada predikat ‚kemuliaan‛ daripada
sunnah terlebih tidak sampai kepada wajib.
Menurut ‘Ali< Jum‘ah, pada dasarnya khita>n perempuan yang
menjadi adat hingga saat ini dan sebagaimana pula hadis nabi yang
mengindikasikan bukan bagian dari syariat itu hanya untuk alasan
emergensi medis.50
Dan ini yang menurut ‘Ali< Jum‘ah harus dipahami
oleh umat muslim saat ini karena untuk alasan medis semata. Hal
47
‘Ali< Jum‘ah, Qad{a>ya> Marah Fi< Al-Fiqh al-Isla>mi<, 61 48
‘Ali< Jum‘ah, Qad{a>ya> Marah Fi< Al-Fiqh al-Isla>mi<, 62. 49
Agus Hermanto, ‚Khita>n Perempuan antara tradisi dan Syariah‛
dalam Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam. Vol. 10, No. 1, (Juni,
2016), 262-263. 50
‘Ali< Jum‘ah, ‚The Islamic view on female circumcision‛ dalam
African Journal of Urology. Vol. 19, No. 3, (September, 2011), 122.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
138 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
senada diungkapkan Mah{mu>d Shaltu>t51
bahwa kaidah fiqh yang dapat
dijadikan rujukan dalam menentukan kebijakan khita>n perempuan,
ataupun melukai anggota badan makhluk hidup (seperti memotong
anggota badan bagian seks), hukum dasarnya adalah haram, kecuali
kalau dalam hal itu ada kemaslahatan yang kembali kepadanya. Maka
hukum asal khita>n adalah haram karena termasuk kategori melukai
anggota tubuh. Apabila laki-laki diperbolehkan khita>n karena
pencapaian kesehatan yang lebih baik (selain karena ada teks hadis)
maka pengambilan keputusan untuk mengkhita>n perempuan harus
didasarkan pada alasan medis yang kuat. Jika tidak ada alasan medis
maka hukum khita>n kembali keasalnya, yaitu haram.
Mempertimbangkan perdebatan seputar khita>n perempuan
diatas, ‘Ali< Jum‘ah menetapkan keharaman khita>n perempuan untuk
zaman saat ini. Karena sunat kelamin perempuan yang dipraktekkan
saat ini membahayakan perempuan secara psikologis dan fisik.
Baginya praktik khita>n bagi perempuan harus dihentikan sebagaimana
kaidah ‚La> d{ara>ra wa la> d{ira>ra‛ agar tidak menyakit diri sendiri
maupun menyakiti orang lain. Selain itu hal tersebut sejalan pula
dengan perintah nabi SAW.52
Melalui Konferensi Internasional berkaitan dengan FGM
(Female Genital Mutilation) yang diselenggarakan Da>r Ifta>’ al-
Mis}riyah pada November 2006. ‘Ali< Jum‘ah -yang saat itu merupakan
grand mufti Republik Arab Mesir- mengajak para cendekiawan dari
berbagai elemen yangterdiri dari para sarjana hukum Islam, ahli
kesehatan dan para aktivis dari berbagai organisasi di Mesir dan
seluruh dunia membahas larangan praktik khita>n perempuan.
Konferensi tersebut menyimpulkan bahwa mutilasi yang saat ini
diterapkan di beberapa bagian Mesir, Afrika dan di tempat lain
merupakan kebiasaan yang menyedihkan yang tidak menemukan
pembenarannya dalam sumber hukum Islam, baik Al-Qur’an dan
sunnah nabi Muhammad.53
51
Mahmud Shaltut, Al-Fata>wa>, 333. 52
‘Ali< Jum‘ah, Fata>wa> al-Mar’ah al-Muslimah, 294. 53
‘Ali< Jum‘ah, Al-Kallim al-T{ayib Fata>wa> As}riyah, Vol. 1, 253.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
139 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
Secara etimologi istilah khita>n berarti memotong. Berbagai
literatur fiqh klasik menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan khita>n
adalah memotong kuluf (menghilangkan sebagian kulit) yang
menutupi kashafah atau ujung kepala penis. Adapun khita>n perempuan
dalam bahasa Arab disebut khifad} yang berasal dari kata khafd{, artinya
memotong ujung klitoris pada vagina.
Khita>n merupakan ajaran dari nabi Ibra>hi>m As. yang turun
temurun dianut oleh umat setelahnya sampai dikuatkan kembali dalam
ajaran Islam. Sebagaimana disampaikan oleh Abu> Isha>q bahwa nabi
Ibrahim dikhita>n di Qudum,54
yaitu nama suatu desa yang berada di
wilayah negeri Syam. Selanjutnya khita>n tersebut juga diterapkan
kepada anaknya yaitu nabi Isha>q dan nabi Isma>‘i>l. Sebagaimana juga
dikemukakan oleh Ibn Qayyim al-Jawzi> yang mengatakan bahwa:
‚Nabi Ibrahim mengkhita>n anaknya yang bernama Ishaq ketika
berumur 7 hari, dan mengkhita>nkan Isma>‘il ketika berumur 13
tahun‛.55
Pelaksanaan khita>n laki-laki hampir sama di setiap tempat, yaitu
dengan memotong sebagian kulit yang menutupi kepala penis
(kashafah). Sedangkan khita>n peremuan pelaksanaannya berbeda di
setiap tempat. Ada yang dilakukan hanya secara simbolis saja atau
membuang sebagian klentit (klitoris) dan ada yang memotong bibir
vagina (labia minora).56
Ada yang dilakukan dengan mengiris kulit
yang paling atas pada alat kelamin yang berbentuk seperti biji-bijian,
atau bagaikan jengger ayam jago. Dan yang menjadi kewajiban adalah
mengiris kulit bagian atas alat tersebut dengan tidak melepaskan
potongannya.57
54
Abu> Ishaq al-Shi>ra>zi>, al-Muhadhdhab, juz ke-1, (Kairo: Isa> al-Ba>bi
al-Halabi, tt.), 14. 55
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Zādu al-Ma‘ād fī Hādi Khayr al-Ibād Muhammad Khatam al-Nabiyyīn wa al-Imām al-Mursalīn, juz ke-1, 2, (Kairo:
Matba’at al-Mushriyyah, tt.), 40. 56
Elga Sarapung, dkk., Agama dan Kesehatan Reproduksi, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1999), 118. 57
H}asanayn Muhammad Makhlu>f, Fatāwa> Shar‘iyyah wa Buhūth al-Islāmiyyah, 145.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
140 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
Wahbah al-Zuhayli<@ dalam kitab al-fiqh al-Isla>mi< wa Adilatuhu>, khita>n pada perempuan berarti memotong sedikit mungkin dari kulit
yang terletak pada bagian atas farj. Lebih utamanya adalah tidak
memotong jengger yang paling atas dari farj demi tercapainya
kesempurnaan kenikmatan waktu bersenggama.58
2. Relevansi Pemikiran ‘Ali< Jum‘ah dengan Aspek Kesetaraan Gender
Sebagaimana telah penulis uraikan dinamika perdebatan para
ulama seputar khita>n perempuan, pada dasarnya dalam literatur fiqih
tidak ditemukan satupun ulama mazhab fiqh yang mu‘tabar melarang
praktek khita>n perempuan. Bahkan, ada kesepakatan bahwa khita>n
perempuan adalah bentuk keutamaan.
Namun permasalahan khita>n perempuan menjadi permasalahan
kontemporer karena permasalahan yang justru "baru" adalah adanya
tren pelarangan terhadap khita>n perempuan secara umum dan menjadi
peraturan internasional seperti PBB, bahkan dibeberapa negara sudah
dituangkan dalam kebijakan pemerintahan sekalipun itu hanya
berbentuk surat edaran.
Di negara Mesir telah ditetapkan undang-undang yang melarang
keras pelaksanaan sunat perempuan. Undang-undang tersebut merujuk
kepada fatwa ulama Mesir tahun 2007 yang melarang melaksanakan
sunat perempuan. Di Indonesia, sebagai negara yang berpenduduk
muslim terbesar di dunia, melalui Kementerian Kesehatan telah
menerapkan peraturan melalui Dirjen Kesehatan tentang pelarangan
praktek medikalisasi sunat perempuan sejak tahun 2004. Demikian
juga di tingkat International, PBB melalui pasal 12 CEDAW
(Konvensi PBB tahun 1979 tentang penghapusan segala bentuk
diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan) secara tegas
melarang praktek khita>n perempuan dan menganggapnya sebagai
bentuk nyata kekerasan terhadap perempuan. WHO mengatakan
bahwa khita>n pada perempuan tidak memiliki manfaat kesehatan sama
58
Wah{bah al-Zuhayli<, al-Fiqh al-Isla>miy wa Adilatuhu>, Vol.1, 356.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
141 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
sekali bahkan khita>n pada perempuan justru menambah reksiko untuk
kaum perempuan terkena penyakit berbahaya seperti HIV.59
WHO sebagai agen khusus kesehatan PBB telah membagi
klasifikasi praktek khita>n perempuan kedalam empat tipe: (1).
Pemotongan ‚prepuce‛ dengan atau menggores bagian atau seluruh
klitoris (2) pemotongan klitoris dengan disertai sebagian atau seluruh
labia minora: (3) pemotongan bagian atau seluruh alat kelamin luar
disertai penjahitan atau penyempitan lubang vagina (infibulasi); dan
(4) tidak terklasifikasi, yakni: penusukan, pelubangan, pengirisan, atau
penggoresan terhadap klirotis dan/atau labia, pemotongan vagina,
pemasukan bahan jamu yang bersifat korosif ke dalam vagina.
Dorongan untuk pelarangan vagina semakin menguat dengan
kampanye yang sistematis dengan WHO serta beberapa lembaga
donor.60
Menurut WHO, terdapat sekitar 200 juta perempuan di dunia
yang mengalami tindakan sunat.61
Khita>n perempuan dalam realita
sosiologis banyak dilakukan di negara-negara Islam atau wilayah yang
berpenduduk mayoritas muslim. Paling tidak, khususnya masyarakat
muslim mazhab Sha>fi>‘i>< di Afrika, seperti Mesir, Kamerun, Kenya,
Tanzania, Ghana, Mauritania, Sierra Loene, Chad, Botswana, Mali,
Sudan, Somalia, Eithopia, dan Negeria. Sedangkan di Asia, praktek ini
umumnya dilakukan di lingkungan masyarakat muslim, seperti
Pakistan, Filipina Selatan, Malaysia, Brunei, dan Indonesia.
Menarik dicatat, tradisi khita>n juga dilakukan umat Islam yang
tinggal di Amerika Latin, seperti Brazil, Meksiko bagian Timur, dan
Peru. Masyarakat muslim yang bermukim di beberapa negara barat,
seperti Belanda, Swedia, Inggris, Prancis, Amerika, Kanada, Australia,
59
Lihat: Situs resmi World Health Organization tentang Female
Genital Mutilation di https://www.who.int/en/news-room/fact-
sheets/detail/female-genital-mutilation diakses pada 28 Oktober 2019. 60
Cut Riani Oetari, ‚Peran World Health Organization (WHO)
Mengatasi Female Genital Mutilation Di Mesir Tahun 2008-2012‛, dalam
jurnal Jom Fisip, Vol. 3, No. 1 (Feb, 2016), 3. 61
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/female-genital-
mutilation. Diakses pada 22 September 2019.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
142 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
juga masih melakukan khita>n perempuan, meskipun undang-undang
setempat telah melarangnya.
Selain itu, khita>n perempuan juga dipraktekkan di Uni Emirat
Arab, Yaman Selatan, Bahrain, dan Oman. Perlu dicatat, praktek
khita>n perempuan bukan hanya ditemukan di kalangan muslim,
melainkan juga non muslim, seperti penganut Kristen Koptik di Mesir
dan penganut Yahudi di Palestina. Tetapi menarik juga diungkapkan
bahwa praktek khita>n perempuan justru tidak umum dilakukan di
wilayah asal-usulnya Islam, yaitu Saudi Arabia. Demikian juga
wilayah Islam lainnya. Seperti Suriah, Libanon, Iran, Iraq, Yurdania,
Maroko, Aljazair dan Tunisia. Bahkan Turki yang mayoritas mazhab
H}anafi>> tidak mengenal khita>n perempuan. Begitu juga di Afghanistan
dan negara-negara Afrika lainnya.62
Berkaitan dengan dalil hukum khita>n terutama khita>n bagi
perempuan, kebanyakan didasarkan pada tuntutan untuk mengikuti
ajaran Ibra>hi>m As., dan keterangan lain yang disebutkan sebagai
sunnah serta peluang meraih kemuliaan. Anggapan ini cenderung
disebabkan pada keadaan pelaksanaan khita>n pada saat itu yang lebih
mengarah pada faktor perilaku, yaitu kebiasaan yang menggejala dan
kemudian berkembang sebagai nilai-nilai di tengah masyarakat.63
Berangkat dari hal tersebut pembahasan mengenai khita>n
perempuan tidak lagi berkutat pada hukum, karena secara fiqh,
ketentuan tersebut telah lama panjang lebar dijelaskan dalam berbagai
literatur baik klasik maupun kontemporer. Permasalahan yang justru
baru sebagaimana telah diungkapkan adalah adanya tren larangan
terhadap khita>n perempuan secara umum.
Di Mesir -di mana ‘Ali< Jum‘ah berdialog dengan konteks-, pada
dasarnya permasalahan pelarangan khita>n perempuan telah lama
dibahas oleh para ulama hingga pemerintah Mesir mengeluarkan
peraturan-peraturan terkait khita>n perempuan. Hal ini pula yang
menjadikan landasan ‘Ali< Jum‘ah menegaskan keharaman khita>n
62
Marlinda Oktavia Erwanti, ‚Kajian Yuridis Female Genital
Mutilation (FGM) dalam perspektif HAM‛ dalam jurnal Diponegoro Law Review, Vol. 1, No. 4, (November, 2012), 9.
63H}usayn Muhammad Makhlu>f, Fatāwa> Shar‘iyyah wa Buhūth al-
Islāmiyyah, 146.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
143 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
perempuan. Pertama kali pelarangan khita>n perempuan diterbitkan
melalui peraturan menteri No. 74 pada tahun 1959. Dimana dalam
peratutan tersebut melibatkan cendekiawan agama Islam dan praktisi
medis, termasuk wakil menteri Kesehatan, Must}afa> Abd al-Khaliq,
grand mufti Mesir pada saat itu, Hassan Ma’mun, dan Mufti
sebelumnya, Hasanayn Muhammad Makhlu>f. Begitu juga fatwa
Mahmud Shaltu>t yang dikeluarkan pada tahun 1959.64
Pada kenyataannya praktek khita>n perempuan meningkat dan
menyebabkan kenaikan tingkat keadaan yang memprihatinkan pada
kesehatan perempuan. Menteri kesehatan mengeluarkan peraturan No.
261 untuk tahun 1996 yang menyatakan: ‚Sunat perempuan dilarang,
terlepas dari apakah itu dilakukan dalam rumah sakit atau klinik
kesehatan umum atau swasta. Kinerja penyunatan pada perempuan
tidak diizinkan kecuali mendapatkan izin medis yang harus ditentukan
oleh kepala departemen penyakit dan kelahiran perempuan di rumah
sakit dan berdasarkan rekomendasi dari dokter pasien.65
Pada tahun 2007 ‘Ali< Jum‘ah mengeluarkan fatwa mengutuk
FGM dan dewan tertinggi Azhar riset Islam mengeluarkan pernyataan
yang menjelaskan bahwa FGM tidak memiliki dasar dalam inti syariat
Islam. Begitupula dalam kurun waktu beberapa tahun, pemerintah
Mesir mengeluarkan beberapa keputusan peraturan perundang-
undangan untuk sepenuhnya menerapkan hukum anti-FGM, dan hal
tersebut berkesinambung hingga usaha kampanye pemerintah yang
komprehensif yang telah dilakukan sejak tahun 2007 melalui larangan
melakukan FGM baik di rumah sakit maupun klinik medis.66
Tampaknya, pendapat-pendapat ataupun fatwa yang dikeluarkan
‘Ali< Jum‘ah dan usaha pemerintah Mesir beberapa tahun terkahir
begitu juga para sarjana Hukum Islam turut andil ke arah penghentian
praktek FGM di Mesir. Meskipun tingkat prevalensi masih tinggi,
namun pemerintah Mesir terus mengkampenyakan anti-FGM dan
kampanye tersebut tampaknya menunjukan penurunan prevalensi.
Hasil survey dari Demografi Health Survey untuk tahun 2012
64
‘Ali< Jum‘ah, A. Responding from Traditions, 100. 65
‘Ali< Jum‘ah, A. Responding from Traditions.,101. 66
‘Ali< Jum‘ah, ‚The Islamic view on female circumcision‛, 123–126.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
144 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
menunjukkan bahwa prevalensi anak perempuan antara 15-19 tahun
dari 93% di tahun 2008 menjadi 74% di tahun 2012. Dari total
keselurahan prevalensi antara 15-49 terjadi perubahan signifikan
terhadap persentase prevalensi tahun 2008 yaitu 96% menjadi 91%
ditahun 2012, dan perubahan signifikan dari sikap ibu, karena dari 92%
ibu yang mengalami FGM hanya 35% dari mereka yang berniat
menyunat anak perempuan mereka. 67
Berbeda halnya di Indonesia, menyikapi perkembangan -tren-
pelarangan khita>n perempuan -sebagaimana telah penulis jelaskan
diatas- juga dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Population Council terhadap pelaksanaan sunat perempuan di Indonesia yang
dibiayai oleh USAID dan Ford Foundation. Disamping itu juga
peraturan kementerian kesehatan, melalui Dirjen kesehatan tentang
pelarangan praktek medikalisasi sunat perempuan sejak tahun 2004.
MUI (Majelis Ulama Indonesia) kemudian mengeluarkan Fatwa No.
9A Tahun 2008 tertanggal 7 Mei 2008.68
67
United Nations Population Fund Egypt. (n.d.). National Legislation, Decrees and Statements Banning FGM/C. Diakses di
http://egypt.unfpa.org/english/fgmStaticpages/3f54a0c6-f088-4bec-
86715e9421d2adee/National_Legislations_Decrees_and_Statements_banning
_fgm.aspx pada 18 Oktober 2019. 68
Keputusan fatwa MUI (majelis ulama Indonesia) No. 9 A tahun 2008
tentang hukum pelarangan khita>n terhadap perempuan, yang diketuai oleh
Anwar Ibrahim, sekretaris Hasanudin. Fatwa tentang hukum pelarangan
khita>n terhadap perempuan. Pertama, status hukum khita>n perempuan. 1)
Khita>n, baik bagi laki-laki maupun perempuan, termasuk fitrah (aturan) dan
syiar Islam. 2) Khita>n terhadap perempuan adalah makrumah, pelaksanaannya
sebagai salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan. Kedua, hukum pelarangan
khita>n terhadap perempuan adalah bertentangan dengan ketentuan syari'ah
karena khita>n, baik bagi laki-laki maupun perempuan, termasuk fitrah (aturan)
dan syiar Islam. Ketiga, batas atau cara khita>n perempuan dalam
pelaksanaannya, khita>n terhadap perempuan harus memperhatikan hal-hal
sebagai berikut: 1. Khita>n perempuan dilakukan cukup dengan hanya
menghilangkan selaput (jaldah/colum/praeputium) yang menutupi klitoris. 2.
Khita>n perempuan tidak boleh dilakukan secara berlebihan, seperti memotong
atau melukai klitoris (insisi dan eksisi) yang mengakibatkan d{arar. Keempat,
Rekomendasi, Pemerintah cq. Kementerian Kesehatan untuk menjadikan
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
145 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
Jika dicermati, agaknya fatwa MUI ini berada pada posisi
netral. Fatwa tersebut tidak mewajibkan ataupun melarang
pelaksanaan khita>n perempuan. Oleh karena itu, kementerian
kesehatan kemudian menerbitkan peraturan menteri kesehatan RI No.
1636 Tahun 2010 yang mengatur pelaksanaan khita>n perempuan.69
‘Ali< Jum‘ah dalam kaitannya khita>n perempuan lebih melihat
konteks sosiologis masyarakat dibanding otoritas teks keagamaan.
Dalam hal ini, ‘Ali< Jum‘ah melihat konteks di Mesir dan negara-negara
muslim lainnya terkhusus Afrika yang dianggap memprihatinkan.
Berlandaskan kaidah fiq}hiyah ‚La> D{arara wa la> D{ira>ra‛ ‘Ali< Jum‘ah
menganggap konteks masyarakat lebih maslah}ah. Karena menurut
hasil pengamatannya, khita>n perempuan tidak mendatangkan manfaat
bagi perempuan, justru hal tersebut dapat merusak organ perempuan
dengan cara memotong, melukai dan menghilangkan sebagian dari alat
vital dan alat reproduksi perempuan. Apalagi kalau terbukti praktek
khita>n dapat meninggalkan trauma psokologis bagi mereka. Diluar
konteks sebagian ulama menganggap khita>n perempuan sebagai suatu
kemuliaan, ‘Ali< Jum‘ah justru melarang praktek khita>n bagi
perempuan.
Terlebih tingkat kemud}aratan yang ditimbulkan khita>n di Mesir
cukup tinggi terbukti sebagaimana hasil survey Demografi Health Survey diatas. Berbeda halnya dengan Indonesia yang agaknya masih
dalam batas norma khitan perempuan yang tidak menimbulkan
mud}arat tingkat terlalu tinggi pada praktek dalam masyarakat,
beberapa ulama di Indonesia juga menjunjung hormat hadis berkaitan
kemuliaan khitan perempuan. Dari dua konteks Mesir dan Indonesia
agaknya kesesuaian fatwa dalam merespon realitas harus juga dilihat
dari sosiolgis atau tempat yang mengitari dan hal ini tampaknya yang
‘Ali Jum‘ah pertimbangkan dalam fatwanya mengenai pelarangan
khitan perempuan tersebut.
fatwa ini sebagai acuan dalam penetapan peraturan/regulasi tentang masalah
khita>n perempuan. 2) Menganjurkan kepada Pemerintah cq. Departemen
Kesehatan untuk memberikan penyuluhan dan pelatihan kepada tenaga medis
untuk melakukan khita>n perempuan sesuai dengan ketentuan fatwa ini. 69
Lihat: Asrorun Ni’am Sholeh, ‚Fatwa Majelis Ulama Tentang Khita>n
Perempuan‛, dalam jurnal Ahkam, Vol. XII. No. 2 (Juli, 2012), 36.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
146 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
Penulis menyimpulkan bahwa ‘Ali< Jum‘ah menyampingkan
pendapat fuqaha atas kemuliaan khita>n perempuan sebagai validasi
hukum, sebaliknya ‘Ali< Jum‘ah tampak menggunakan ‘illat hukum
khita>n perempuan dari berbagai aspek, seperti aspek historis, aspek
medis, sosiologis, antropologis, psikis secara interdisipliner, juga dari
segi kekuatan dasar baik Al-Qur’an maupun hadi>th secara tekstual
maupun kontekstual. Jikalau demikian, maka ‘Ali< Jum‘ah
mempertimbangankan kemaslahatannya yang menjadi hukum.
C. Kepemimpinan Perempuan (Hak & Kontestasi Perempuan dalam
Politik)
1. Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah Tentang Kepemimpinan
Perempuan
Menurut ‘Ali< Jum‘ah suatu hal yang pasti dan tidak mungkin
dipungkiri, bahwa Allah menciptakan perempuan dengan tabiat yang
berbeda dengan laki-laki. Karena itu, syariat datang dengan hukum-
hukum yang sesuai dengan kondisinya. Islam menetapkan hak dan
kewajiban perempuan sesuai fitrahnya, semuanya untuk menjaga
keseimbangan dan keselarasan fitrah manusia itu sendiri. Berkaitan
dengan kontestasi perempuan dalam ruang politik, pada prinsipnya
agama tidak membatasi hak perempuan dalam mengurus kepentingan
publik. Hanya saja perlu disesuaikan dengan kemampuan dan
kehormatan perempuan itu sendiri. 70
‘Ali< Jum‘ah menambahkan, selama perempuan tersebut dapat
mengkompromikan kewajiban pekerjaannya dengan kewajibannya
kepada suami juga dengan sesuatu yang menjadi kewajibannya sebagai
istri maka hal tersebut tidak dilarang. Akan tetapi pada faktanya
seringkali perempuan yang berkarir tidak selaras dengan tabiatnya,
seperti keberadaannya yang jarang dirumah dengan mengadakan
perjalanan jauh, hal ini menjadikannya tidak sesuai dengan syariat
sebagaimana hak dan kewajibannya. Maka dalam hal ini, alangkah
baiknya perempuan cukup menjadi voter dalam pemilihan umum dan
70
‘Ali> Jum‘ah, Fata>wa> al-Nisa>’, 438.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
147 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
menyerahkan urusannya kepada laki-laki, karena ini termasuk bab al-shaha>dah dan begitupula lebih mas}lahah.
71
Hal senada diungkapkan Sayyid T{anta>wi>72
< dan Qara>d{a>wi<73
, bagi
Qara>d{a>wi tidak ada satupun nas}s{ Al-Qur’an maupun hadis yang
melarang perempuan untuk menduduki jabatan apapun dalam ruang
publik baik diparlemen maupun di pemerintahan. Namun, Ia mewanti
bahwa perempuan dalam pekerjaan tersebut harus mengikuti aturan
yang telah ditentukan syariat, seperti: 1) tidak boleh ada khalwat (berduaan dalam ruangan tertutup) dengan lawan jenis bukan mahram.
2) tidak boleh melupakan tugas utamanya sebagai seorang ibu yang
mendidik anak-anaknya. dan 3) harus tetap menjaga perilaku secara
Islami baik dalam berpakaian, berkata, berperilaku, dan lain-lain.74
Dalam kontestasi di ruang politik, ‘Ali< Jum‘ah membatasi
kebolehan perempuan pada haknya dalam pemilihan umum,
pencalonan di parlemen, jabatan di lembaga-lembaga kepemerintahan
seperti hakim, menteri dan jabatan-jabatan lainnya kecuali kepala
negara (presiden, perdana menteri, kanselir, dan lain-lain). Karena
urusan kepala negara selain mencakup urusan negara juga mencakup
urusan umat Islam secara keseluruhan, dalam hal ini kepemimpinannya
bersentuhan langsung dengan urusan agama seperti mencakup
kepemimpinan dalam shalat yang tentu saja bertentangan dengan
syariat.75
Ketidakbolehan perempuan menjadi pemimpin dalam shalat
tersebut akan penulis uraikan secara khusus pada bagian keempat ini
pada poin E tentang kepemimpinan perempuan dalam shalat. Sejalan
71
‘Ali> Jum‘ah, Al-Kalim al-T{ayib Fata>wa> As}riyah, Vol. ke- 2, 349-350. 72
Sayyid al-T{ant{a>wi<, Tawlia> al-Mar'ah Ria>sah al-Dau>lah La> Yukh{lif al-Sharia>h. Dalam Okaz Arab Saudi, edisi 28 Muharram 1429 H. Diakses di
https://www.okaz.com.sa/article/161980 pada 18 Oktober 2019. 73
Yusu>f al-Qarad}a>wi><, Min Hadyi al-Isla>m Fatwa> Mua>s}irah, 381 74
Yusu>f al-Qarad}a>wi><, Min Hadyi al-Isla>m Fatwa> Mua>s}irah, 382.
Mengenai syarat-syarat kebolehan perempuan kebolehan wanita karier juga
dikemukakan oleh Nu>r al-Di<n ‘Itr dalam karyanya Amal al-Mar’ah Wa Ikhtila>thiha> wa Dau>ruha> Fi> Bina>’ al-Mujtama’. Lihat Nu>r al-Di<n ‘Itr, Amal al-Mar’ah Wa Ikhtila>thiha> wa Dau>ruha> Fi> Bina>’ al-Mujtama‘, (Damaskus: Da>r
al-Buhu>th li al-dira>sah al-Isla>miyah Wa Ihya>’ al-Tura>th, 2001), 61-70. 75
‘Ali> Jum‘ah, Al-Kalim al-T{ayib Fata>wa> ‘As}riyah, Vol. ke- 2, 351.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
148 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
dengan pendapat tersebut, Wahbah al-Zuh}aiyli> menambahkan
kepemimpinan sebuah negara hendaknya dijalankan oleh seorang laki-
laki. Menurutnya, laki-laki merupakan syarat dalam menjadi pemimpin
karena beban pekerjaan menuntut kemampuan besar yang umumnya
tidak ditangggung perempuan. Perempuan juga tidak sanggup
mengemban tanggung jawab yang timbul atas jabatan ini baik pada
masa damai atau perang dan situasi berbahaya.76
Pada dasarnya para ulama berbeda pendapat mengenai
kepemimpinan perempuan di ruang politik. Akan tetapi dinamika
perbedaan ulama tersebut banyak dijumpai pada ulama kontemporer
sehingga permasalahan ini dikategorikan dalam permasalahan
kontemporer . Di sisi lain juga kajian literatur klasik belum banyak
dijumpai dalam membahas tentang kepemimpinan perempuan diruang
politik. Karena di era klasik struktur sosial dan konteks dalam
masyarakat muslim memaklumkan bahwa laki-laki memiliki tanggung
jawab ekonomi dibanding perempuan. Secara politis pun, perempuan
sama sekali tidak memiliki peran signifikan untuk menjalankan urusan
klan, kota, negara dan lain-lain sehingga kurangnya kajian untuk
membahas peran perempuan dalam ranah ini. Mengacu pada sebagian
ulama kontemporer,77
secara umum mayoritas ulama klasik tidak
membolehkan perempuan diruang politik terkhusus menjadi pemimpin
negara. Pendapat tersebut berdasarkan Qs. al-Nisa>’ (4): 3478
dan hadis
76
Wahbah al-Zuhayli<, Al-Fiqh al-Islami< wa adillatuhu>, Vol. 8, 302. 77
Diantara ulama kontemporer yang tidak membolehkan
kepemimpinan perempuan ialah Wahbah al-Zuhayli> yang mengutip ijma>‘ ulama bahwa salah satu syarat mengemban jabatan imam adalah laki-laki
(dhuku>rah). Lihat: Wahbah al-Zuhayli<, Al-Fiqh al-Islami< wa adillatuhu>, Vol.
8, 302. Lebih dari itu, Abd al-‘Azi>z bin ‘Abd Alla>h bin Ba>z dalam Fata>wa> Abd Alla>h bin Ba>z mengharamkan perempuan menduduki jabatan tinggi
apapun dalam pemerintahan terlebih kepala negara. Lihat: Abd al-‘Azi>z bin
‘Abd Alla>h bin Baz, Majmu‘ Fata>wa> Ibn Ba>z, no. fatwa: 3046, Vol. 1, 424.
Pendapat serupa juga dapat dilihat pada Fata>wa> Al-Lajnah Al-Da>imah, no.
fatwa: 11780,13. 78
QS.al-Nisa>’ (4) :34:
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
149 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
dari Abu> Bakrah.79
Dari kedua nas{s} tersebut kalangan ahli fiqih salaf,
termasuk mazhab empat berpendapat bahwa imam harus dipegang
seorang laki-laki dan tidak boleh diduduki seorang perempuan.80
Adapun perbedaan ulama kontemporer berkaitan seorang
perempuan menjadi kepala negara didasari atas perbedaan definisi dan
level kepemimpinan dikalangan para ulama. Kepemimpinan dalam
bahasa Arab dapat disebut al-wila>yah yang secara etimologis berarti
suatu negara yang diatur oleh kepala pemerintahan. Al-wila>yah juga
bermakna penguasa atau pejabat negara itu sendiri.81
مييييييىالفقييييييىا ميييييي أ
نييييييي وبمييييييا أ ييييييى ب
عل يييييي ييييييه ب
ييييييل الل
سيييييياء يمييييييا
ييييييى ال
امييييييىن عل ى
ال جييييييا ق
بيي
لل ييا
ف حا انتييا
ق يياحا الص
ييىو واي يي وو يي
ف
ييىزو
ىن ن
ييا
خ
خيي ت
ييه والب
الل
يمييا حفييل
تيىا ك ان علب
ه ك
ن الل
ه كببب
ىا عل
ت
ت
ب
ن ط
ن أ
اجا واض بىو
اال
Artinya: ‚Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kem udian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar‛.
79Hadis Abd al-Rahma>n bin Abu> Bakrah:
ا ام أ م و
ىا أ
ىم ول
يفل ق
.ل
"Tidak akan bahagia suatu kaum apabila mereka menyerahkan
kepemimpinan mereka kepada wanita". (HR. Bukha>ri>) 80
Isma>‘il bin ‘Umar Al-Dimashqi>, Tafsi>r Ibn Kathi>r, (Beirut: Da>r Ibn
H}azm, 2000), 293. Bandingkan dengan Muhammad al-Ra>zi> Fakhr al-Di>n,
Tafsi>r al-Fakhr al-Ra>zi>, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1981), Vol. 1, 88. Ibnu Rushd
merinci perbedaan pendapat ini dalam kitab Bidayatul Mujtahid, bahwa Abu>
Hani>fah berkata: boleh wanita menjadi qad}i dalam masalah harta. Al-T}abari>
berkata: Wanita boleh menjadi hakim secara mutlak dalam segala hal. Lihat:
Ibn Rushd, Bida>yah al-Mujtahid wa al-Niha>yah al-Muq{tas}id, Vol. 4. 1678. 81
Lihat: Mu‘jam Al-Ma‘a>ni< dan Mu‘jam Al-Wasi<t{h. Teks asal: البالد التي / https://www.almaany.com/ar/dict/ar-ar .يتسللل عل ه يالللل الللل الي ال اليللل /?c= سللل/.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
150 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
Secara istilah al-wila>yah terbagi menjadi tiga yaitu al-wila>yah al-uz}ma> al-kubra>, al-wila>yah al-a>mmah dan al-wila>yah al-s}ughra> al-kh{as}s}ah. Al-wila>yah al-a>mmah berarti jabatan yang memiliki otoritas
untuk melaksanakan tiga jabatan yaitu eksekutif (tanfi<z}iyah), yudikatif
(qad{a>iyah) dan legislatif (tashri<’iyah).82
Yang dimaksud al-wilaya>h al-uz{ma> al-kubra> yaitu wilayah negara yang dipimpin oleh kepala
pemerintahan yang sekarang disebut dengan presiden, perdana menteri,
kanselir, atau raja. Namun, ada juga perbedaan penafsiran dalam
mendefinisikan kata al-wilaya>h al-uz{ma> al-kubra> dan al-wila>yah al-s}ughra>. Yu>suf al-Qarad}awi> menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
al-wilayah al-kubra> adalah kekuasaan khilafah yang mencakup seluruh
negara Islam di seluruh dunia yang pemimpinnya disebut dengan al-imamah al-uz{ma>.83
Dalam pengertian ini, maka sebenarnya al-imamah al-uz{ma> atau al-khila>fah al-‘a>mmah yang menjadi pemimpin tertinggi
dalam al-wilayah al-uz}ma> saat ini pada dasarnya tidak ada. Yang ada
saat ini adalah kepala negara dalam level al-wila>yah al-s}ughra>. Dari uraian diatas, disini penulis menemukan perbedaan
pendapat dan fatwa yang dikeluarkan oleh ‘Ali< Jum‘ah pada 2
Dalam kamus Ar-Ra>id, kata al-wilayah bisa bermakna wali yakni penguasa
yang mengatur negara. 82
Al-Ma>wardi< dalam Al-Ah}ka>m Al-Sult}a>niyyah membagi kekuasaan
al-wilayah al-a>mmah yang berada di bawah kepala negara (al-wila>yah al-kubra>) ke dalam empat bagian: Pertama, orang yang kekuasaannya umum
dalam urusan umum. Mereka adalah para menteri karena mereka bertanggung
jawab atas semua perkara tanpa kekhususan. Kedua, pejabat yang
kekuasaannya umum dalam tugas-tugas khusus. Mereka adalah pejabat daerah
dan kota, karena melihat pada tugas yang dikhususkan pada mereka itu umum
dalam segala urusan. Ketiga, pejabat yang kekuasaannya khusus dalam urusan
yang umum. Mereka seperti hakim, komandan tentara, penarik pajak dan
zakat. Keempat, pejabat yang tugasnya khusus untuk urusan khusus. Seperti
hakim kota atau daerah, penarik pejak atau zakat, penegak hukum, dan lain-
lain. Karena masing-masing memiliki pengawasan khusus dan tugas khusus.
Lihat Al-Ma>wardi<, Al-Ah{ka>m Al-Sult}a>niyyah, (Kairo: Da>r al-Hadi<s, 2006),
31. 83
Yusu>f al-Qara>d{a>wi<, Li al-Mar’ah Tawliyah al-Ifta>' wa Ri'a>sah al-Dawlah dalam https://www.al-qaradawi.net/node/4384 diakses pada 30
Desember 2019.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
151 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
karyanya yaitu Al-Kallim al-T{ayib Fata>wa> ‘As}riyah dan Fata>wa al-Nisa>’. Dalam karya Al-Kallim al-T{ayib Fata>wa> ‘As}riyah Ia melarang
perempuan menduduki jabatan kepala negara karena urusannya
mencakup kepemimpinan shalat yang mana hal tersebut bertentangan
dengan syariat. Sedangkan dalam karya Fata>wa al-Nisa>’84, bagi ‘Ali<
Jum‘ah dalam kepemimpinan perempuan menjadi kepala negara perlu
dibedakan antara tugas jabatan khila>fah al-isla>m dan kepemimpinan
kepala negara modern. Ia menjelaskan bahwa khila>fah al-isla>m
merupakan pemimpin yang mencakup urusan agama yang didalamnya
terdapat kepemimpinan shalat. Dalam literatur fiqh klasik, para ‘ulama
menetapkan syarat-syarat tertentu dimana perempuan tidak
diperbolehkan mengemban tugas ini. Akan tetapi menurut ‘Ali<
Jum‘ah khilafah yang dimaksud sudah tidak ada lagi sekarang.
Terhitung sejak ditumbangkannya khilafah Turki Uthma>ni> di tahun
1924 yang lalu, maka istilah khilafah al-isla>m ini sudah tidak relevan
pada zaman modern saat ini. Semenjak abad ke-21 dan runtuhnya
khilfah Turki ‘Uthma>ni> tersebut tugas jabatan kepala negara
bertransformasi menjadi urusannya hanya pada urusan rakyat sipil.
Sehingga kepemimpinan perempuan dalam suatu negara pada zaman
modern ini tidak bertentangan dengan syariat.
Menyetir klasifikasi level kepemimpinan yang dikemukan oleh
Yu>suf al-Qarad}a>wi> –sebagaimana telah diuraikan sebelumnya- penulis
menyimpulkan bahwa ‘Ali< Jum‘ah melarang perempuan dari al-wila>yah al-uz}ma> al-kubra>, dan membolehkan al-wila>yah al-‘a>mmah
dan al-wila>yah al-s}ughra> al-kh{as}s}ah. Jika kepala negara yang dimaksud
adalah al-wila>yah al-uz}ma> al-kubra, maka istilah tersebut sudah tidak
ada dan tidak relevan dengan zaman sekarang. Maka bagi ‘Ali< Jum‘ah
juga diamini al-Qarad}a>wi dan T{ant{a>wi> bahwa kepala negara seorang
perempuan diperbolehkan. Dengan demikian pendapat ini selaras
dengan adagium yang dicanangkan para ulama bahwa hukum dapat
berubah sesuai dengan kondisi, tempat, zaman dan lain sebagainya.
Hal tersebut juga menandakan bahwa hukum Islam bersifat elastis dan
fleksibel menampung permasalahan kontemporer yang sangat
kompleks. Demikian pula kontradiktif fatwa yang dikeluarkan ‘Ali<
84
‘Ali> Jum‘ah, Fata>wa> al-Nisa>’, 438-440.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
152 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
Jum‘ah dalam 2 karyanya mengindikasikan bahwa hukum Islam
tidaklah kaku dan jumu>d merespon konteks yang selalu berkembang.
Untuk menjelaskan masalah kepemimpinan perempuan diruang
publik, Menurut ‘Ali< Jum‘ah pada dasarnya hak politik bagi seorang
muslim –baik laki-laki maupun perempuan- dalam partisipasi
bernegara secara global sebagai berikut;
1. Memilih seorang hakim dan rid}o dengannya.
Hal ini disebut dalam literatur fiqh dengan cara bai‘at.
2. Berpartisipasi dalam permaslahan-
permasalahan negara secara umum karena hal tersebut
termasuk dalam prinsip shu>ra> yang mana hal tersebut bagian
dari prinsip dasar Islam.
3. Ambil bagian politik dalam pemerintahan atau
lembaga-lembaga negara.
4. Menasehati pemerintah dan segala
kebijakannya dengan berlandaskan al-amr bi al-ma‘ru>f wa al-nahi< ‘an al-munkar.85
Poin diatas berdasarkan Qs. al-Fath} (48): 1086
yang
menunjukkan bai’at secara umum tanpa pengecualian baik dari laki-
laki maupun perempuan dan Qs. al-Mumtahanah (40): 1287
yang
85
‘Ali< Jum‘ah, Qad{a>ya> Marah Fi< Al-Fiqh al-Isla>mi<, 65-66. 86 م
يديه
ىق أ
ه
ه يد الل
ىن الل
ما يتان ك
ىن
ي يتا ن ال فسه
ى ن
عل
ث
ما ين ن
ث
ن
به الل
ى يما عاود عل
و
ج ا عفبماوم أ
سبؤتبه أ
ه
Artinya: ‚Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar‛
ا 87
بيي هيا الن ي يي نين ييا أ
ول
سي ق
اا ول ي
يه ش
يالل
ي ك
ن ل
يى أ
نيك عل
يتا منيا
ؤ
ال جياء
صييييييين
ييييييي ول رجلييييييييديه وأ
ىينيييييييه ييييييييين أ
هتيييييييان يفت تين ي
ييييييييأ
ىوييييييي ول
ول
أ
يقيييييييتل
ول ييييييي و ك ييييييي م
تيييييييا
فىر رحبه غ
ن الل ه
الل ف ل
واكت
Artinya: ‚Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
153 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
menunjukkan perintah pada perempuan dalam pembaia’tan. Dan hal
ini berlaku penetapan pada hakim perempuan sebagaimana pembaiatan
hakim seorang laki-laki. Maka suara perempuan dalam pemilihan suara
laki-laki tanpa membedakan diantara keduanya. Begitu juga hadis nabi
yang mengikutkan Umm Salamah dalam musyawarah pada suatu
kejadian setelah ditandatanganinya perjanjian hudaybiyah pada tahun
ke-6 H. Pada waktu itu, Rasulullah dan umat Islam hendak
menjalankan umrah di Mekkah. Namun, kaum musyrik tidak
mengizinkan umat Islam masuk Mekkah. Setelah melalui negosiasi
yang alot, kaum musyrik dan umat Islam sepakat untuk
menandatangani perjanjian hudaibiyah. Isinya, pada tahun itu umat
Islam tidak diperbolehkan memasuki kota Mekkah. Mereka baru
diizinkan memasuki kota Mekkah dan menunaikan umrah pada tahun
berikutnya.88
Selain itu, kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak di
antara kaum perempuan yang terlibat dalam soal politik praktis.
Bahkan istri Nabi saw. sendiri, yakni 'A<ishah RA. memimpin langsung
peperangan melawan ‘Ali< ibn Abi< T{a>lib yang ketika itu menduduki
jabatan kepala negara. Isu tersebar dalam peperangan tersebut adalah
soal eksekusi setelah terbunuhnya khali>fah ketiga, ‘Uthma>n ibn 'Affa>n.
Peperangan itu dikenal dalam sejarah Islam dengan nama perang Unta.
Keterlibatan ‘A<ishah bersama sekian banyak sahabat nabi Saw. dan
kepemimpinannya dalam peperangan itu, menunjukkan bahwa Ia
bersama para pengikutnya itu menganut paham kebolehan keterlibatan
perempuan dalam politik praktis sekalipun.
Uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa laki-laki dan
perempuan mempunyai hak kepemimpinan publik. Terlebih hak
berpolitik, hal tersebut merupakan hak untuk berpendapat, hak untuk
menjadi anggota lembaga perwakilan. Terbukti laki-laki dan
membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang‛.
88Lihat: Ah}mad bin H}anbal dalam Musnad al-Imam Ah{mad bin
Hanbal, (Muassasah al-Qurt}ubah, tt), Vol. ke- 4, 330.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
154 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
perempuan berhak untuk menasehati akan amr bi al-ma‘ru>f wa nahi> an al-munkar mencakup segala segi kebaikan, termasuk memberi
masukan dan kritik terhadap penguasa. Di samping karena ditunjang
oleh fakta historis pada masa Rasulullah saw. banyak kaum perempuan
terlibat dalam peran-peran politik dan bahkan terlibat dalam soal
politik praktis termasuk istri Rasulullah saw., sendiri yaitu A<ishah r.a.
memimpin langsung peperangan melawan Ali< ibn Abi< T{a>lib.89
Berlandas pernyataan diatas, ‘Ali< Jum‘ah mengungkapkan
bahwa pada zaman modern sekarang ini, tampaknya tidak ada ulama
yang kontra atas pencalonan perempuan di parlemen yang
merepresentatifkan rakyat dan partisipasinya dalam pemberlakuan
undang-undang negara. Diterbitkan fatwa Da>r Ifta> al-Mis}riyah No. 852
Tahun 1997 tentang Hukum kebolehan Perempuan menjadi anggota
parlemen wakil rakyat atau majlis permusyawartan rakyat yang
berbunyi ‚Tidak ada larangan bagi seorang perempuan yang mencalonkan dirinya sebagai anggota wakil rakyat atau majlis permusyawartan rakyat apabila orang-orang disekelilingnya ridha menjadi wakil rakyat untuk mereka‛.
90
Begitu juga dalam permasalahan peradilan tertinggi dalam suatu
negara, meskipun para ulama berbeda pendapat, namun ‘Ali< Jum‘ah
membolehkan perempuan mempunyai kekuasaan dalam kepemimpinan
lembaga peradilan suatu negara. Pendapat ‘Ali< Jum‘ah mengikuti
pendapat ulama klasik yang membolehkan perempuan menduduki
jabatan q{a>d{i< atau hakim diantaranya lain Abu> Hani<fah, Ibn H{azm dan
Ibn Jari<r al-T{abari<.91
Dengan demikian, ‘Ali< Jum‘ah membolehkan perempuan
menjadi kepala negara dan jabatan tinggi apapun seperti presiden,
menteri, hakim, anggota parlemen, dan lain-lain. Ia juga sepakat
dengan Yu>suf al-Qarad}a>wi> bahwa kedudukan al-ima>mah al-uz}ma> yang
membawahi seluruh umat Islam dunia harus dipegang oleh laki-laki
karena salah satu tugasnya adalah menjadi imam shalat. Akan tetapi
konteks al-ima>mah al-uz}ma> sudah tidak relevan dengan zaman saat ini.
89
M. Quraish Shihab, Membumikan al Qur’an, 274-275. 90
‘Ali< Jum‘ah, Qad{a>ya> Marah Fi< Al-Fiqh al-Isla>mi<, 66. 91
‘Ali> Jum‘ah, Fata>wa> al-Nisa>’, 438.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
155 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
Sehingga saat ini kepemimpin perempuan dalam jabatan apapun
diperbolehkan selama tidak mencakup urusan agama yang dalam hal
ini kepemimpinan dalam shalat yang bertentangan dngan syariat
(sebagaimana bagian ini telah penulis bahas terperinci pada
pembahasan sebelumnya tentang kepemimpinan perempuan dalam
shalat).
2. Relevansi Pemikiran ‘Ali< Jum‘ah Dengan Aspek Gender
Kepemimpinan perempuan merupakan persoalan yang selalu
menjadi isu sentral perdebatan dikalangan para feminis. Banyak
dikalangan mereka menggugat paham kepemimpinan hanya milik laki-
laki yang selama ini sudah mapan di kalangan kaum muslim. Bagi
mereka, paham yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin -baik
dalam wilayah domestik ataupun publik- tidak sejalan, bahkan
bertentangan dengan ide utama feminisme, yaitu kesetaraan laki-laki
dan perempuan. Sebagai konsekuensi logis dari konsep kesetaraan
tersebut, maka status perempuan harus setara dengan status laki-laki
dalam segala bidang baik dalam ruang domestik maupun publik.
Berkaitan dengan hak perempuan dalam kontestasi politik,
kebanyakan dari para ulama klasik tidak memberikan kesempatan bagi
perempuan untuk bisa berdiri sejajar (egaliter) dengan laki-laki.
Terlebih dalam persoalan politik Islam, sudah hampir dipastikan
banyak sejarawan yang kurang tertarik untuk membahas peran
perempuan dalam ranah ini. Memang, di era klasik struktur sosial dan
konteks dalam masyarakat muslim memaklumkan bahwa laki-laki
memiliki tanggung jawab ekonomi dibanding perempuan. Secara
politis pun, perempuan sama sekali tidak memiliki peran signifikan
untuk menjalankan urusan klan, kota, dan lain-lain.92
Akan tetapi, konteks di atas sudah berubah. Di mana banyak
perempuan era sekarang yang ternyata memiliki kemampuan yang
bahkan bisa melebihi laki-laki di ranah publik dan politik. Fenomena
kepala negara perempuan sudah pernah dan sedang terjadi yaitu di
Pakistan dan Bangladesh. Perdana Menteri (PM) Benazir Bhutto
menjadi kepala negara Pakistan dua periode yang pertama pada tahun
92
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach, (New York; Routledge, 2005),121.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
156 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
1988-1990 dan yang kedua pada tahun 1993-1996.93
Bangladesh,
negara yang memisahkan diri dari Pakistan pada 1971, dipimpin oleh
dua kepala negara perempuan yaitu Khaleda Zia 1991-1996 kemudian
dilantik kembali pada tahun 2001-2006 dan Sheikh Hasina.yang
berkuasa pada tahun 1996-2001 dan kembali dilantik dari tahun 2009
hingga sekarang.94
Di Indonesia sendiri, tepatnya sejak tahun 2001,
yakni saat lengsernya Abdurrahman Wahid dari tahta kepresidenan dan
naiknya Megawati Soekarnoputri menjadi presiden perempuan
pertama di Indonesia. Dan tokoh-tokoh pemimpin lainnya seperti
Eleanor Rosevelt (pendamping Franklin D. Rosevelt), Hillary Clinton,
Margareth Thatcher (pemimpin Inggris sejak 1970-1990), dan lain-
lain. Menjadi bukti bahwa perempuan memiliki kemampuan yang
tidak kalah dibanding laki-laki.
Perdebatan yang terjadi tentang kepemimpinan ini di dasarkan
pada QS.al-Nisa>’ (4) :34 ini bahwa laki-laki mutlak menjadi pemimpin.
Larangan perempuan menjadi imam, baik dalam salat bahkan
merambat dalam kehidupan sosial, sepertinya telah menjadi
kesepakatan kitab fiqh.95
Penafsiran tersebut memberikan reaksi
kepada sebagian kalangan cendekiwan Islam dan feminis bahwa Islam
diskriminatif terhadap perempuan yang dapat menjadi pemimpin. Oleh
karenanya ada bias pemahaman yang menyebabkan ketidakadilan
dalam kepemimpinan bagi perempuan.
Sebelum masuk pada pembahasan kepemimpinan perempuan
diruang politik, menarik dikaji terlebih terdahulu pengertian dan
penafsiran ulama> dalam penggalan ayat al-Rija>lu Qawwa>muna ala> Nisa> pada QS.al-Nisa> (4) :34. Dalam hal ini penulis memaparkan pendapat
para tokoh feminis muslim yang menggugat ketidakadilan gender
93
Libby Hughes, Benazir Bhutto: From Prison to Prime Minister (Universe: 2000), xii.
94Willem Van Schendel, A History of Bangladesh (Cambridge
University Press 2009), 1. Lihat juga: Nation, Fox edisi 31 Juli 2017 dalam
"Circa: Prime Minister of Bangladesh Says Clinton Personally Pressured Her
to Help Donor". Diakses di https://nation.foxnews.com/ pada 29 Desember
2019. 95
Sa‘di< Abu> Habi<b, Mau>su>‘ah Fi< al-Fiqh al-Isla>mi<, Terj. Sahal
Mahfudz, ‘Ensiklopedi Ijma>‘, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), 771.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
157 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
melalui penggalan ayat tersebut. Karena penekanan pada kalimat
tersebut sebenarnya inti dari pro-kontra yang menjadikan sebagian
ulama bependapat bahwa kepemimpinan mutlak dipegang oleh laki-
laki dan sebagian berpendapat bahwa perempuan boleh menjadi
pemimpin baik diranah publik maupun domestik.
Pada dasarnya istilah-istilah gender dalam Al-Qur'an
mempunyai makna yang signifikan untuk diluruskan. Dalam ayat Qs
al-Nisa> (4):34, kata al-rija>l dikaitkan dengan al-nisa’> dan kata al-nisa>
dikonotasikan sebagai feminim, domestikal, lemah lembut, bahkan
banyak lupa. Sementara rija>l bisa bermakna orang yang berjalan kaki,
jadi makna sosiologis dalam pengertian di atas, laki-laki berjalan
mencari nafkah dan perempuan tinggal di rumah.96
Zaitunah Subhan
menjelaskan bahwa yang dimaksud kata qawwa>mun di dalam ayat ini
bisa saja diartikan laki-laki dan bisa juga diartikan untuk perempuan.
Karena secara sosiologis siapa pun yang mampu (baik laki-laki
maupun perempuan) untuk berupaya imengayomi nafkah keluarga
maka dialah qawwa>mun, dialah al-rija>l.97
Menurut Amina Wadud, dalam ayat QS.al-Nisa> (4) :34
digunakan kata "bi" sehingga ayat ini diartikan laki-laki Qawwa>muna
adalah pemimpin perempuan "hanya jika" dia memiliki dua syarat:
Pertama, jika laki-laki sanggup membuktikan kelebihannya. Kedua,
jika laki-laki memberi natkah dengan harta bendanya, dan jika kedua
persyaratan ini tidak terpenuhi maka laki- laki tidak berhak menjadi
pemimpin bagi perempuan. Kelebihan yang dimaksud dalam ayat ini
adalah kelebihan material. Karena itu bertanggungjawab memberi
nafkah dan kebutuhan kepada perempuan. Jadi terdapat hak istimewa
yang diterima laki-laki dengan tanggungjawab yang dipikulnya.98
Hal
senada diungkapkan Quraish Shihab, bahwa q{awwa>mun, dapat
dipahami dalam ayat ini Allah menunjuk laki-laki sebagai pemimpin
dalam rumah tangga, karena laki-laki memang memiliki kelebihan
96
Luwi<s Ma’lu>f Al-Yasu>‘i<, Al-Munjid Fi< al-Lughah wa al-A<dab wa al-Ulu>m (Beirut: al-Kathulikiyah, 1986), 807.
97Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-
Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2008), Vol II, 404. 98
Ashgar Ali Engineer, The Right of Women In Islam (New York: St.
Martin’s Press: 1992), 46.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
158 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
secara fisik maupun psikis, dan adanya perintah kewajiban bagi suami
untuk menafkahi istri dan keluarga.99
Menurut Ashgar kepemimpinan laki-laki dalam keluarga bersifat
kontekstual, terkait dengan keunggulan fungsional laki-laki pada masa
ayat ini diturunkan. Pada waktu itu, laki-laki diangap unggul karena
kekuasaan dan keampuannya mencari nafkah. Sementara kesadaran
perempuan pada saat itu sangat rendah dan pekerjaan domestik
dianggap sebagai kewajiban perempuan. Lebih jauh Ashgar
mengatakan laki-laki sebagai qawwa>mu>n (pemberi nafkah atau
pengatur urusan rumah tangga), dan tidak mengatakan harus menjadi
qawwa>mun dapat dilihat bahwa qawwa>mu>n merupakan sebuah
pernyataan kontekstual, bukan normative. Seandainya Al-Qur’an
mengatakan bahwa laki-laki harus menjadi qawwamu>n, maka dia akan
menjadi sebuah pernyataan normatif, dan pastilah akan mengikat bagi
semua perempuan pada semua zaman dan dalam semua keadaan.
Tetapi Allah tidak menginginkan hal semacam ini.100
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa
berdasarkan konteks ayat Qs. al-Nisa >(4): 34, maka kepemimpinan
dalam rumah tangga berada di tangan laki-laki sebagai suami dengan
kelebihan yang dimiliki. Namun, bagaimana jika melihat realitas dan
fakta saat ini banyak perempuan (istri) menanggung biaya hidup
menjadi (tulang punggung) keluarga karena laki-laki (suami) tidak
mampu bekerja karena beberapa alasan, misalnya karena mengidap
penyakit menahun yang tidak bisa disembuhkan, otomatis suami tidak
dapat menunaikan tanggung jawabnya sebagai pemimpin dan kepala
rumah tangga serta kelebihan yang dimiliki juga tidak bisa
difungsikan. Atau karena suami kemampuan berusaha, atau karena
suami sudah meninggal dunia, dalam kondisi seperti ini tanggung
jawab sebagai kepala rumah tangga boleh diambil alih perempuan
(istri). Karena itu sejatinya ayat ini dipahami secara kontekstual
sehingga tidak terjadi ketimpangan dalam relasi gender.
99
Amina Wadud, Qur’an and Women (Kuala Lumpur: Fajar Bakti
SDN, 1994), 70. 100
Ashgar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, 55.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
159 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
Sebagian ulama menjadikan QS. al- Nisa> (4) :34 tersebut
sebagai argumen menolak perempuan menjadi pemimpin dalam ranah
publik. Menurut mereka kepemimpinan berada di tangan laki-laki,
sehingga hak-hak berpolitik pun berada di tangan mereka. Pandangan
ini tidak sejalan dengan makna sebenarnya yang diamanatkan oleh
ayat yang discbutkan itu. Sebagaimana diungkapkan Nasaruddin Umar
yang menyatakan bahwa QS. al- Nisa> (4) :34 tidak dapat dijadikan
alasan untuk menolak perempuan menjadi pemimpin di daiam
masyarakat.101
Dia juga mendukung pendapat Muhammad Abduh
dalam al-Mana>r yang menjclaskan bahwa laki-laki tidaklah mutlak
sebagai pemimpin bagi perempuan, karena ayat ini tidak menggunakan
kata "ma faddalahum bihinna atau bi fadhilim alaihinna ‚ oleh karena
Allah memberikan kelebihan pada laki-laki atas perempuan), tetapi
menggunakan ungkapan: bi ma faddalallahu ba'duhum ala ba'd (Allah
memberikan kelebihan sebagian mercka terhadap sebagian yang lain).
Argumen ini cukup beralasan karena ayat ini berbicara dalam konteks
urusan keluarga, tidak ada hubungannya dengan soal hak politik
perempuan. Demikian juga kepemimpinan dalam masyarakat tidak ada
kaitannya dengan kewajiban memberi nafkah terhadap masyarakat
yang dipimpinnya, tetapi hanya berkaitan dengan kewajiban
melaksanakan tanggungjawabnya dan menegakkan keadilan terhadap
masyarakat yang dipimpinnya.
Mereka juga berdalih bahwa dalam sejarah Islam tercatat
keterlibatan perempuan dalam jabatan penting peradilan dan
pemerintahan. Salah satu diantaranya dalah Sumala al-Qahra Manah.
101
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender; Perspektif Al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 1999) h. 150. Kepemimpinan laki-laki terhadap
perempuan yang terkandung dalam QS.al-Nisa> (4):34 adalah kepemimpinan
dalam keluarga, itu hak yang tidak diragukan lagi, karera itu hukum syar'i dan
realitas kehidupan dalam segala zaman. Namun perempuan itu harus di rumah
jangan kita menjadıkan dia selalu ada di rumah, tetapi harus diarahkan ke
tempat di mana dia melakukan pekerjaannya dan tempat menyampaikan
misinya yang inulia dalam kehidupan. Apabila dia ikut serta dalam urusan
masyarakat. maka harus keluar dari rumahnya untuk menyempurnakan
risalahnya. Jama>l al-di<n Muhammad Mahmu>d, Huqu>q al-Mar'ah (Kairo: al-
Ha>iah al-Mis{riyah al- A<mmah li al-Kita>b, 1986), 65.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
160 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
Ia menjabat sebagai Qa>d}i@ al-Maza>lim, yang majlisnya dihadiri para
hakim dan fuqaha. Demikian juga Shifa> al-A<dawiyah yang karea
keahliannya diangkat oleh kalifah Umar untuk menjabat kepala
pasar.102
Dalam memahami ayat al-Rija>lu Qawwa>muna ala> Nisa> hendaknya diuraikan sebagai deskripsi keadaan struktur dan norma
sosial masyarakat pada waktu itu, dan bukan suatu norma ajaran yang
harus dipraktekan.103
Ketika ide-ide feminisme tersebar dan diadopsi oleh sebagian
kaum muslimin, merekapun lalu membuat analisis sendiri mengenai
sebab sebab terjadinya ketidakadilan gender. Para feminisme Muslim
lalu mengajukan konsep keseteraan sebagai jawaban terhadap problem
ketidaksetaraan gender tersebut. Salah satunya Asghar Ali Engineer
yang mengatakan bahwa terjadinya ketidakadilan gender adalah akibat
asumsi asumsi teologis bahwa memang diciptakan lebih rendah
derajatnya daripada laki-laki, misalnya asumsi bahwa perempuan
memang tidak cocok memegang kekuasaan, perempuan tidak memiliki
kemampuan yang dimiliki laki-laki, perempuan dibatasi kegiatannya di
rumah dan di dapur. Asumsi-asumsi ini menurut Asghar adalah hasil
penafsiran laki-laki terhadap Al-Qur'an untuk mengekalkan dominasi
laki-laki atas perempuan.104
Secara ringkas, substansi ide feminis muslim ini menurut Taq{i<y
al-Di<n al-Nabha>ni< ialah menjadikan kesetaraan (al-musa>wah/equality)
sebagai batu loncatan atau jalan untuk meraih hak-hak perempuan. 105
Dengan kata lain, feminisme itu ide dasarnya adalah kesetaraan
kedudukan laki-laki dan perempuan. Sementara ide cabang yang di
102
Ibn H{azm, Naqt al-Aru>s, (Beirut: al-Muassah al-Arabiyah Li al-
Dirasa>t wa al-Nashr, 1987), 98 103
Kaukab Siddique, The Struggle of Muslim World, terj. Arif
Maftuhin, Menggugat Tuhan Yang Maskulin. (Jakarta: Paramadina, 2002),
11-13. 104
Ashgar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, Terj. Farid
Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, (Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya,
1994), 55. 105
Taq{i<y al-Di<n al-Nabha>ni<, Al-Niz}a>m al-Ijtima>‘i< Fi< al-Isla>m (Beirut:
Da>r al-Ummah, 1990), 77.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
161 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
atas dasar itu, ialah kesetaraan hak-hak antara laki-laki dan
perempuan.
Walaupun pada dasarnya, pendapat ‘Ali< Jum‘ah terkesan
tekstualis dengan banyak berpegang teguh berdasarkan pada Al-
Qur’an, Sunah, Ijma>’ dan Qiya>s sebagai metodologi utama dalam
penetapan hukum -sebagaimana dipaparkan diatas pemikiran ‘Ali<
Jum‘ah berkaitan dengan kepemimpinan-. Akan tetapi dilain sisi, pada
banyak kasus dalam masalah kepemimpinan perempuan ‘Ali< Jum‘ah
lebih banyak sejalan dengan ide-ide feminisme sebagaimana penulis
paparkan diatas.
Pada penafsirannya terkhusus pada penggalan ayat ( ال جيا قىاميىن
dalam Qs. al-Nisa (عليى ال سياء >’ (4) :34, ‘Ali> Jum‘ah menyatakan bahwa
para lelaki yakni jenis kelamin laki-laki adalah qawwa>mah yang bisa
berarti pemimpin dan penanggung jawab atas para perempuan.
Qawwa>mah bisa berarti ihsa>n al-isroh, al-ria>'yah wa al-ina>yah, al-nafaqah, tahqi<q maslah{ah dsb. Hal ini pula yang menjadi sebab
keutamaan laki-laki sebagaimana tercermin dalam kalimat setelahnya
bima> fad}d}ala Allahu ba’d}ahum ‘ala> ba’d }wa bima> anfaqu> min amwa>lihim yang dapat ditafsirkan bahwa Allah telah melebihkan
sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka yakni
laki-laki secara umum atau suami telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka untuk membayar mahar dan biaya hidup untuk istri dan
anak anaknya.
Berdasarkan pernyataan diatas, ‘Ali< Jum‘ah menganggap
masalah Qiwa>mah sebagai masalah yang berkaitan dengan keluarga. Ia
membatasi keutamaan kepemimpinan laki-laki atas perempuan hanya
sebatas pada lingkup keluarga. Sedangkan berkaitan dengan ruang
lingkup politik, Ia menyatakan perempuan mempunyai hak politik dan
peran dalam kontestasi diruang publik dengan perlu adanya catatan,
diantaranya terdapat komunikasi dengan keluarga antara dirinya
dengan suami, terlebih perannya sebagai ibu untuk anak-anaknya, juga
diataranya tidak boleh adanya khalwat. Bagi ‘Ali< Jum‘ah, keputusan
perempuan untuk menempati jabatan publik adalah keputusan pribadi
antara dirinya dan suaminya. Islam tidak melarang kontestasi
perempuan di ruang publik selama hal berkaitan keluarga terpenuhi
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
162 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
dan memperhatikan hak dan kewajibannya sebagai istri serta tidak
bersebrangan dengan syariat Islam.
D. Konsep Keadilan 2:1 dalam Pembagian Warisan
1. Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah Tentang Pembagian Warisan
Dalam pembahasan mengenai pembagian warisan, ‘Ali< Jum‘ah
menekankan perlunya dogma yang harus dimiliki seorang muslim
secara teologis, bahwa ketentuan Allah berkaitan dengan keadilan
adalah mutlak dalam syariat, timbangan yang ditetapkan Allah tidak
seperti timbangan ukuran manusia dan harus diterapkan dalam setiap
menjalankan syariatnya. Ketidakadilan dalam syariat-Nya merupakan
hal yang mustahil sebagaimana dijelaskan dalam penggalan redaksi
ayat diantaranya: (اليظ ل ببلأ دالدا ) Qs. al-Kahfi< (18): 49, (اليظ مل تتليال )
Qs. Al-Isra> (17): 73, ( ملكلل هللا ) ,Qs. Al-H{ajj (22): 10 ( ليب بظال ل يبيلد د هللا
) ,Qs. Al-‘Ankabu>t (29): 40 (للليظ ما :Qs. al-Nisa>’ (4) ( ال يظ ملل يريللبا
124.106
Adapun masalah pembagian harta warisan dalam Islam telah
diatur dalam ilmu fara>id} yaitu ilmu yang berkaitan dengan harta
peninggalan, cara menghitung pembagiannya serta bagian masing-
masing ahli waris.107
Warisan secara etimologi perpindahan harta
benda dari seseorang kepada seseorang yaitu ahli waris setelah
kematian pewaris dengan hukum syariat. Perpindahan harta
kepemilikan ahli waris yang terjadi berdasarkan hubungan keturunan,
pernikahan yang sah, dan semacamya.108
106
‘Ali< Jum‘ah, Al-Mar’ah Fi< al-Had{a>rah al-Isla>miyah bayna al-Nus{u>s al-Shar‘i< wa Tura>th al-Fiqh, 19. Lihat juga: ‘Ali< Jum‘ah, Qad{a>ya> Marah Fi< Al-Fiqh al-Isla>mi<, 9.
107Wahbah al-Zuh}a>ili<, Al-Fiqh al-Isla>mi< wa Adillatuhu> (Beirut: Da>r al-
Fikr, 2004), Vol. ke-10, 7440. 108
Pada masa jahiliah disebutkan tiga penyebab utama saling mewarisi.
Pertama, karena nasab, yakni anak laki-laki dewasa yang sudah teruji mampu
mengangkat senjata dan sama sekali tidak melibatkan perempuan dewasa
sekalipun dan anak-anak, sekalipun anak-anak laki. Kedua, anak angkat, yakni
pengangkatan anak laki-laki dari orang lain oleh sescorang yang secara de facto diakui sebagai anak layaknya seorang anak kndung yang mendapatkan
hak waris. Ketiga, perjanjian atau sumpah setia, di mana seorang berjanji
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
163 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
Persoalan warisan erat kaitannya dengan kewajiban seorang
laki-laki (suami) memberikan nafkah kepada perempuan (istri). Laki-
laki mendapatkan warisan dua kali bagian perempuan karena laki-laki
berkewajiban memberikan nafkah kepada istri (keluarga) yang menjadi
tanggungannya.
Dalam hukum waris Islam ditetapkan bahwa laki-laki
mendapatkan dua bagian dibanding perempuan. Ayat yang
menjelaskan tentang pembagian terdapat dalam Qs. al-Nisa> (4): 11 dan
12.109
Menanggapi ayat ini, ‘Ali< Jum‘ah berpendapat bahwa ketentuan
seraya bersumpah dengan mengatakan kepada yang lain balwa "darahku adalah juga darahmu, dan kehancuranku adalah juga kehancuranmu" dan
karena itu kamu berhak mewarisi aku dan aku pun berhak mewarisi kamu.
Ketika salah satunya wafat, maka yang masih hidup otomatis menjadi ahli
warisnya. Lihat: Ah}mad Mus}t}afa> al-Mara>ghi<, Tafsi<r al- Mara>ghi< (Beirut: Da>r
al-Fikr, t.t.), Vol. ke- 2, 194-195. 109
QS. Al-Nisa (4): 11-12:
يا مييىصيب
حلي ب
لتييين
يىق اب
ي نسياء
يي ن ك
بيين
ن ي
يل حيل
مح
ك
لليي ي
ىك
ول
يه ي أ
ن الل و يي
ا ت
ييان ل
ن ك
يي يا ت مم ييد ييل واحيد م هميا الس
يه لو يى
وو
صيل ييا الن
ل
واحيدا ي
ان
ييد ك
يه ول
يي ل
ي ي
ي ن ل
ييد
ه ول
ي بهييييي يييييد وصييييب يى ييييأ ميييي ب ييييد يييييه الس م
ييييىا
خ ييييه
يييييان ل
يييي ن ك
ييييث
ليييييه الح م
يييييىاه
ييييه أ
وورب
كو ىييييي ؤييييييا
ا أ
ا ف
ن
ل
ق
أ ه ي
درون أ
ت
ل
كينا
ان علبما ح بما )وأ
ه ك
ن الل ه
م الل
11)
ي يا مم ال ي
ليد
ي ول
يان ل
ي ن ك
يد
ي ول
ي ل
ي ي
ن ل
يزواج
أ
ما ت
نصل
يد ول مي ب
ي ك
ا ت
يي و ىييي ول
ييا وصييب يىصييين بهييا أ م مم
يي الييح
لييد
ول يي
ييان ل
يي ن ك
ييد
ول يي
يي ل
ي يي
ن ل
تيي ك
ييا ت ييا مم ال
أ
ييه أ
ول
او اميي أ
أ
يي
بل
ك
ييان رجييل يييىر
ن ك و ىييي و
ىصييىن بهييا أ
ييد وصييب ت ميي ب ت
يي ك
لت
يي
خ
ييل واحييد و أ
و
وييد وصييب يى ييأ بهييا أ ييث ميي ب
لاء يي الح
يي ك
ش يي
لييك
ييى ميي
ك
ىا أ
ييان
يي ن ك
ييد ييار م همييا الس يييى م
ىييي غ
( حلب ه علبه والل
م الل
(11وصب
Artinya, "Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yng ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia mewarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (pembagian-pembagian tersebut di atas)
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
164 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
yang Allah tetapkan bukan berarti sikap pilih kasih berdasarkan jenis
kelamin, akan tetapi ketentuan ini justru menunjukkan keseimbangan
dan keadilan, karena perbedaan tanggung jawab antara laki-laki dan
perempuan dalam kehidupan keluarga dan dalam sistem sosial Islam. 110
Hal senada dikemukakan oleh al-Sha‘ra>wi<, bahwa kandungan
ayat diatas tidak mendiskreditkan perempuan, justru memuat
penghargaan lebih kepada perempuan dengan alsan perempuan
mendapat bagian setengah dari laki-laki dalam hal warisan. Dengan
kata lain, laki-laki memperoleh bagian lebih dari perempuan
disebabkan tugas yang diemban laki-laki, yaitu memberi nafkah istri
sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaat bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana".
"Dan bagimu (suami-istri) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Para istri memperoleh seperempat harta yang kanmu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta kamu yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam bagian yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun‛.
110‘Ali> Jum‘ah, Tafsi<r al-Qur’a>n al-Kari<m; Su>rah Al-Nisa> 11, diakses di
https://www.youtube.com/watch?v=S15eWrRs9z8&list=PLxQnfwkf6
ksirv4PiZ-Y8WTZocyK05Kvr&index=27 pada 12 Oktober 2019.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
165 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
dan anaknya. Sedangkan perempuan tidak mengemban tugas sebagian
laki-laki.111
Memperhatikan pernyataan ‘Ali< Jum‘ah dan al-Sha‘ra>wi diatas
dapat dipahami bahwa ayat yang disebut diatas berisi pesan kepada
manusia terkait pembagian warisan sebagaimana yang telah ditetapkan
Allah dalam ayat tersebut tidak boleh dirubah, karena sudah ketentuan
dari Allah. Manusia tidak pantas mengubah ketentuan pembagian
harta dan pusaka kepada anak dan keturunan mereka. Pembagian
warisan yang telah ditetapkan allah lebih baik dari pada yang
ditetapkan orang tua kepada anak-anaknya. Apa yang disyariatkan
Allah terhadap anak keturunan mereka adalah lebih bermanfaat
kehidupan mereka.
Al-Ra>zi< menjelaskan hikmah pelipatan bagian laki-laki 2:1
adalah: Pertama, karena perempuan lebih lemah dibanding dibanding
laki-laki, sehingga mereka jarang keluar untuk berperang dan berjuang.
Lagi pula dari segi nafkah perempuan sudah diberikan oleh suaminya.
Oleh karena kebutuhan dan tanggungjawab laki-laki lebih besar untuk
istri dan anak-anaknya maka dia membutuhkan harta yang lebih
banyak. Kedua, Laki-laki lebih sempurna keadaannya dari pada
perempuan, baik dari segi moral, intelektual, maupun agama, misalnya
ia boleh menjadi hakim dan imam. Demikian juga kesaksian
perempuan separo dari kesaksian laki-laki, schingga wajar untuk
mereka harus ditambah bagian harta warisan. Ketiga, Perempuan
sedikit akal tetapi banyak keinginan, jika harta ditambah lagi untuk
perempuan, maka akan semakin banyak peluang untuk terjadi
kerusakan. Manusia akan berlebihan apabila ia memiliki banyak harta.
Keempat, laki-laki karena kesempurnaan intelektualnya ia mampu
membelanjakan harta yang dimiliki untuk hal-hal bermanfaat.
Misalnya, membangun pesantren (lembaga pendidikan), menolong
orang menderita, dan menafkahi anak-anak yatim dan janda. Laki-laki
mampu berbuat seperti itu, karena dia banyak bergaul dengan orang
111
Muhammad Mutawali< Sha‘ra>wi<, Mukh{tas{ar Tafsir< al-Sha‘ra>wi <(Kairo: Dar al-Tau>fi<qiyah Li al-Tura>th, 2011), 20-25.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
166 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
lain, sementara perempuan lebih sedikit bergaul dengan orang lain,
sehingga dia tidak mampu berbuat demikian.112
Menurut ‘Ali< Jum‘ah, perbedaan dalam besar kecilnya bagian
waris tidak ditentukan oleh jenis kelamin, baik itu laki-laki atau
perempuan, tapi lebih ditentukan oleh faktor-faktor berikut ini:
Pertama, tingkat kekerabatan antara ahli waris (baik itu laki-laki
maupun perempuan) dan orang yang meninggal. Semakin dekatnya
hubungan kekerabatan, maka semakin besar juga warisan bagian
warisan yang diterima.
Kedua, kedudukan tingkat generasi. Generasi muda dari
kalangan pewaris yang masa depannya masih panjang terkadang
memperoleh bagian warisan yang lebih besar dibanding generasi tua
tanpa memandang lelaki maupun perempuan. Sebagai contoh anak
perempuan (bint) mendapatkan warisan yang lebih banyak dari ibunya
atau ayahnya; anak laki-laki (ibn) mendaptkan warisan lebih banyak
dari ayahnya (ab).
Ketiga, tanggung jawab untuk menanggung kehidupan keluarga.
Poin inilah yang terkadang membuahkan perbedaan bagian hak waris
antara laki-laki dan perempuan, walaupun berada pada tingkat
kekerabatan yang sama. Sebab kedudukan anak laki-laki menanggung
nafkah istri dan keluarganya. Sedangkan anak perempuan tidak diberi
tanggung jawab sepeti laki-laki.113
Lebih lanjut ‘Ali< Jum‘ah menambahkan, hak waris perempuan
tidak selamanya lebih sedikit dari laki-laki. Sebaliknya dalam banyak
hal, perempuan mendapatkan bagian harta waris lebih banyak dari
laki-laki, bahkan beberapa keadaan perempuan mendapat bagian
warisan sedangkan laki-laki tidak. Seperti halnya berikut ini:
a. Ada empat keadaan, di mana bagian waris perempuan lebih
sedikit dari bagian waris laki-laki.
b. Dalam banyak kasus, perempuan mendapatkan bagian waris
yang persis sama dengan bagian waris laki-laki.
112
Fakhr al-Di<n al-Ra>zi<, al-Tafsi<r al-Kabi<r aw Mafa>tih al-Ghayib (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 1990), Vol. ke- 9, cet 1, 168.
113‘Ali< Jum‘ah, Qad{a>ya> Al-Al-Mar’ah Fi< Al-Fiqh al-Isla>mi<, (Kairo:
Nahdet Mis{r, 2008), 10.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
167 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
c. Beberapa kasus bagian waris perempuan lebih banyak dari
bagian waris laki-laki.
d. Dalam banyak kasus, perempuan mendapatkan bagian waris
yang tidak didapatkan oleh laki-laki.
Adapun sebagai penjelasan singkat keempat poin di atas penulis
uraikan sebagaimana halnya berikut:
A. Keadaan yang membuat bagian waris perempuan lebih
sedikit dari bagian waris laki-laki adalah sebagai berikut:
Ahli waris hanya anak laki-laki (ibn) dan anak perempuan
(bint), ataupun juga furu>‘ kebawah cucu laki-laki (ibn al-ibn) dan cucu perempuan (bint al-ibn) yaitu seperti yang
terkandung dalam firman-Nya: "Allah mensyari’at kan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan". QS. (4): 11.
Ahli waris hanya kedua orang tua mayit (al-ab wa al-umm),
dan si mayit tidak mempunyai anak maupun suami/istri,
yaitu seperti yang difirmankan Allah: .jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga QS. (4):
11.
Ahli waris hanya saudara dan saudari kandung mayit, yaitu
seperti yang difirmankan Allah: ‚Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan‛ QS. (4):
176.
Ahli waris hanya saudara dan saudari kandung mayit
saudara dan saudari seayah dari si mayit.
Tabel A.1 Bagian waris perempuan lebih sedikit dari bagian waris
laki-laki
Ahli Waris Bagian
Saudara Kandung (akh li ab): Saudari
Kandung (ukht li ab)
2:1
Anak Laki-laki (ibn) Anak :Perempuan (bint) 2:1
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
168 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
Saudara Kandung (Akh Shaq{i>q{) : Saudari
Kandung (Ukht Shaq{i>q{)
2:1
Ayah (al-ab) : Ibu (al-Umm) 2:1
B. Keadaan yang membuat bagian warisan perempuan sama
dengan laki-laki adalah sebagai berikut:
Ayah dan ibu dalam keadaan si mayit mempunyai furu’ anak
laki-laki
Tabel B. 1 Bagian warisan perempuan sama dengan laki-laki
Ahli Waris Bagian
Ayah (Ab) 1/6
Ibu (Umm) 1/6
Anak As}abah (Sisa)
Saudara/saudari Seibu atau lebih dari 2 saudara/saudari Seibu
Tabel B. 2 bagian warisan perempuan sama dengan laki-laki
Ahli Waris Bagian Jumlah
Suami (al-Zawj) ½ 3
Ibu (al-Umm) 1/6 1
Saudara Seibu (Akh li al-Umm) Bersekutu dalam
1/3
1
Saudari Seibu (Ukht li al-Umm)
1
Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau
saudari perempuan (seibu saja), maka bagi kedua jenis
tersebut adalah 1/6.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
169 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
Tabel B. 3 bagian warisan perempuan sama dengan laki-laki
Ahli Waris Bagian Jumlah
Suami ½ 3
Ibu 1/3 2
Saudara Seibu (Akh li al-Umm)
1/6 1
Bandingkan
Ahli Waris Bagian Jumlah
Suami ½ 3
Ibu 1/3 2
Saudara Seibu (Akh li al-Umm)
1/6 1
Saudara kandung dan 2 saudari perempuan mendapatkan
bagian yang sama dengan bersekutu dalam 1/3. Sebagaimana
seorang suami dan ibu dan 2 saudari seibu dan saudara
kandung. Hal ini sesuai pendapat Umar Ibn Khat{a>b, Zayd bin
Tha>bit dan Uthma>n ibn Affa<n.
Tabel B. 4 bagian warisan perempuan sama dengan laki-laki
Ahli Waris Bagian Jumlah
Suami ½ 3
Ibu 1/6 2
2 Saudara Seibu
(Ukh{ta>ni li al-Umm) Bersekutu dalam 1/3
1
Saudara Kandung
(Akh Shaq{i<q){
1
Bagian warisan ketika laki-laki atau perempuan dalam
keadaan tunggal. Sebagaimana seorang mayit yang mewaris
anak laki-laki tunggal, maka ahli waris mendapat bagian
As}abah (Sisa). Ataupun mewarisi anak perempuan tunggal,
maka bagian anak adalah ½ + As}abah (Sisa) dari pembagian
harta warisan.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
170 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
Tabel B. 5 bagian warisan perempuan sama dengan laki-laki
Ahli Waris Bagian
Suami (al-zawj) ¼
Anak laki-laki Sisa
Bandingkan
Ahli Waris Bagian
Istri (al-zawjah) 1/8
Anak perempuan ½ + Sisa
Suami dengan saudari kandung. Hal ini sama dengan
pembagian jikalau posisi saudari kandung adalah seorang
laki-laki (saudara kandung). Sebagaimana seorang
perempuan mati meninggalkan suami dan saudari
kandungnya, maka bagi suami ½ dan saudari kandung
mendapatkan As}abah (Sisa).
Tabel B. 6 bagian warisan perempuan sama dengan laki-laki
Ahli Waris Bagian
Suami (al-Zawj) ½
Saudari Kandung (Ukh}t al-Shaqi<qah)
½ + Sisa
Bandingkan
Ahli Waris Bagian
Suami (al-Zawj) ½
Saudara Kandung (Akh al-Shaqi<q)
Sisa
Hak persamaan antara seorang perempuan dan seorang laki-
laki ketidak terhalangi dari warisan. Yaitu terdapat 6
persamaan kondisi yang tidak akan pernah terhalangi
mendapat warisan dimana 3 orang dari laki-laki terdiri suami
(al-zawj), anak laki-laki (al-ibn) dan ayah (al-ab) dan 3 orang
dari perempuan terdiri dari istri (al-zawjah), anak perempuan
(bint) dan ibu (al-umm).
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
171 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
C. Keadaan yang membuat bagian waris perempuan lebih banyak
dari bagian laki-laki adalah sebagai berikut:
Tabel C.1 Perincian bagian warisan dalam Al-Qur’an dan Sunnah
Bagian Ahli Waris
2/3
2 Anak Perempuan (Binta>ni<)
2 Cucu Pr dari anak laki-laki (Binta>ni al-ibn)
2 Saudari Kandung (ukhta>ni< shaqi<qata>ni)
2 saudara seayah (ukh{ta>ni li al-ab)
½
1 anak perempuan (bint)
1 cucu perempuan dari anak laki-laki (bint al-ibn)
1 saudari kandung (ukht shaq{i<q{ah)
1 saudari seayah (uk{ht li al-ab)
Suami (al-zawj)
1/3
Ibu (al-Umm)
Saudari seibu (ukh{t li al-umm)
Saudara seibu (akh} li al-umm)
1/6
Ibu (al-Umm)
Nenek (al-jaddah)
Cucu dari anak laki-laki (ukh}t li al-ab)
Saudari seayah (ukh{t li al-ab)
Saudari seibu (ukh{t li al-umm)
Saudara seibu (akh li al-umm)
Ayah
Kakek
¼ Suami (al-zawj)
Istri (al-zawjah)
1/8 Istri (al-zawjah)
Dari tabel diatas dapat dipahami sebagai berikut:
i. Bagian terbesar dalam hukum waris yaitu (2/3) hanya
diperuntukkan perempuan.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
172 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
ii. Bagian ½ tidak didapati, kecuali hanya suami pada kasus
yang jarang terjadi, diantaranya karena mayit (istri) tidak
memiliki anak maupun tidak adanya ahli waris lainnya yang
mengurangi hak ½nya, sedangkan selabihnya, bagian ½
didapatkan oleh para perempuan dalam 4 kasus.
iii. Bagian terkecil 1/8 diperoleh istri karena adanya para ahli
waris lainnya yang mengurangi hak ¼ nya. Namun demikian
dalam ketentuan bagian ahli waris yang disebutkan dalam
Al-Qur’an dan sunnah, terdapat 17 kasus dimana
penerimanya adalah perempuan, dibanding laki-laki yang
hanya enam kasus. Misal lebih rinci sebagai berikut:
1). Misal ada perempuan mati dan meninggalkan uang
60 juta dengan bandingan ahli waris yang ada 2 kasus
sebagaimana berikut diantaranya:
Tabel C. 2 contoh bagian waris perempuan lebih banyak dari bagian
laki-laki
Ahli Waris Bagian Jumlah Jumlah
Warisan
Suami (al-zawj) ¼ 3 12 juta
Ayah (al-ab) 1/6+sisa 2+0 8 juta
Ibu (al-umm) 1/6 2 8 juta
2 anak perempuan
(binta>ni<) 2/3 8 32juta
Bandingkan
Ahli Waris Bagian Jumlah Jumlah
Warisan
Suami ¼ 3 15 juta
Ayah 1/6 2 10 juta
Ibu 1/6 2 10 juta
2 anak lai-laki (ibna>ni) ‘Asa}bah/Sisa 5 25 juta
Jadi dalam dua kasus diatas, 1 anak perempuan dapat
16 juta: Sedangkan anak laki-laki mendapat 12,5.
2). Misal seorang perempuan dan meninggalkan
warisan 48 juta dengan ahli waris sebagai berikut:
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
173 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
Tabel C. 3 contoh bagian waris perempuan lebih banyak dari bagian
laki-laki
Ahli Waris Bagian Jumlah Jumlah Warisan
Suami (al-zawj) ½ 3 18 juta
Ibu (al-umm) 1/6 1 48 juta/8 (‘awl)
= 6 juta
2 saudari
kandung
(shaqi<qatani<)
2/3 4 24 juta
Bandingkan
Ahli Waris Bagian Jumlah Jumlah Warisan
Suami (al-zawj) ½ 3 24 juta
Ibu (al-umm) 1/6 1 8 juta
2 saudara
kandung
(shaqi<qa>ni<)
‘Asa}bah/Sisa 48
juta/6x2
(‘awl)
16 juta
Jadi, dalam dua kasus diatas, 2 saudari kandung
mendapatkan 24 juta: Sedangkan 2 saudara kandung laki-laki
mendapat 16 juta.
D. Keadaan yang membuat harta warisan hanya didapatkan
perempuan dan tidak dapat oleh laki-laki, terdapat 2 contoh
seperti tabel dibawah ini:
1). Bila seorang perempuan mati dan meninggalkan harta 195
hektar dengan ahli waris sebagaimana berikut:
Tabel D. 1 contoh harta warisan hanya didapatkan perempuan dan tidak
dapat oleh laki-laki
Ahli Waris Bagian Jumlah Jumlah
Warisan
Suami (al-zawj) ¼ 3 39 ha
Ayah (al-ab) 1//6 + sisa 2 26 ha
Ibu (al-umm) 1/6 2 26 ha
anak perempuan
(bint) ½ 6 78 ha
Cucu perempuan 1/6 2 26 ha
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
174 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
dari anak laki (bint al-ibn)
Bandingkan
Ahli Waris Bagian Jumlah Jumlah
Warisan
Suami (al-zawj) ¼ 3 45 ha
Ayah (al-ab) 1//6 + sisa 2 30 ha
Ibu (al-umm) 1/6 2 30 ha
anak perempuan
(bint) ½ 6 90 ha
Cucu laki-lki dari
anak laki (bin al-ibn)
Sisa - Nol
2). Bila seorang perempuan mati dan meninggalkan
harta 84 dengan ahli waris sebagaimana berikut:
Tabel D. 2 contoh harta warisan hanya didapatkan perempuan dan tidak
dapat oleh laki-laki
Ahli Waris Bagian Jumlah Jumlah Warisan
Suami (al-zawj)
½ 3 36 ha
Saudari
kandung (ukht} shaqi<qah)
½ 3 36 ha
Saudari seayah
(ukht{ li al-ab) 1/6 1 84 juta/7 (‘awl) =
12 ha
Bandingkan
Ahli Waris Bagian Jumlah Jumlah Warisan
Suami (al-zawj)
½ 1 42 ha
Saudari
kandung (ukht} shaqi<qah)
½ 1 42 ha
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
175 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
Saudara seayah
(akh{ li al-ab)
‘Asa}bah/Sisa - Nol
Dari paparan diatas terlihat dengan seksama bahwa hak
perempuan tidak selamanya harus lebih sedikit dari laki-laki.
Sebaliknya dalam banyak hal, perempuan justru mendapatkan bagian
hak warisnya lebih banyak daripada laki-laki. Bahkan dalam beberapa
keadaan harta warisan hanya didapatkan perempuan sedangkan hal
tersebut tidak didapatkan oleh laki-laki. Selain itu, besar atau kecilnya
bagian warisan tidak ditentukan oleh jenis kelamin, akan tetapi lebih
ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya: Pertama, tingkat
kekerabatan antara ahli waris (baik laki-laki maupun perempuan dan
orang yang meninggal. Kedua, kedudukan tingkat generasi. Dan
ketiga, tanggung jawab untuk menanggung kehidupan keluarga.
Mengomentari pembagian warisan sebagaimana tabel diatas,
‘Ali< Jum‘ah berpendapat bahwa seharusnya berkaitan dengan perincian
pembagian warisan sebagaimana diatas dapat menghilangkan shubha>t
dan keraguan konsep kadilan 2;1 pembagian warisan dari mereka yang
mengkritik akan ketidakadilan pembagian warisan, karena Allah SWT
menetapkan sebaik-baikya keadilan.114
Bagi ‘Ali< Jum‘ah, bahwasannya Allah SWT telah menetapkan
ketentuan bagian waris dengan rinci, maka apabila Allah SWT
menyebutkan suatu hukum dengan rinci berarti tidak ada ijtihad untuk
hukum tersebut. Sebagaimana kaidah yang dicetuskan ulama "La> Ijtiha>da Ma‘a al-Nas}s{" selama ada nas}s} maka nas}s} ini tidak perlu
ta’wi<l maupun ijtihad. Karena para ulama usul sepakat berpendapat
bahwa ruang lingkup ijtihad hanya pada ayat-ayat yang bersifat
z}anniyyah. Selama nas}s} bersifat q{at{'i< baik itu qat}‘i> al-thubu>t maupun
dala>lah maka tidak dapat diijtihadi lagi. Akan tetapi hanya al-ittiba>'.
114
‘Ali< Jum‘ah, Al-Al-Mar’ah Fi< al-Had{a>rah al-Isla>miyah bayna al-Nus{u>s al-Shar‘i< wa Tura>th al-Fiqh, h. 28. Lihat juga: ‘Ali> Jum‘ah, Al-Al-Mar’ah Fi< al-Had{a>rah al-Isla>miyah bayna al-Nus{u>s al-Shar‘i< wa Tura>th al-Fiqh, 28.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
176 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
Maka hukum warisan Islam adalah hukum yang mutlaq sesuai nas}s}}
shar‘i yang tidak perlu ijtihad.115
2. Relevansi Pemikiran ‘Ali< Jum‘ah dengan Aspek Gender
Masalah pembagian waris merupakan salah satu masalah yang
senantiasa menjadi objek pembicaraan di kalangan umat Islam. Hal ini
disebabkan antara lain karena pembagian warisan merupakan masalah
yang langsung bersentuhan dengan praktek kehidupan juga berkaitan
dengan harta.
Pada masa kontemporer saat ini, konstruks hukum waris Islam
selalu mendapat kritikan dari cendekiawan muslim terutama dari
aktifis gender. Dengan begitu mereka menuntut adanya transformasi
berkaitan dengan keadilan 2:1 ini menjadi 1:1. Selain para
cendekiawan yang banyak melontarkan rekonstruksi keadilan terdapat
pula lembaga yang dalam banyak kasus memutuskan keadilan 1:1
dalam pembagian warisan. Banyak diantara mereka yang menyatakan
bahwa agama Islam menempatkan hak asasi manusia perempuan lebih
rendah daripada kaum laki-laki berkaitan dengan kewarisan. Hal itu
dapat dilihat dari aturan yang diterapkan dalam Islam tentang
pembagian harta warisan konsep keadilan 2:1 laki-laki atas perempuan.
Mereka mempersoalkan perbandingan yang tidak adil antara laki-laki
dan perempuan terutama ketika melihat penggalan ayat dalam surah
al-Nisa (4): 11 ‚Li al-dhakari mitslu haz{ al-unthaya>y<n‛. (Bagian dua
perempuan sebanding dengan satu orang laki-laki).
Di Indonesia, warisan 1:1 menjadi perbincangan yang
kontroversial dalam masyarakat seiring putusan sebuah pengadilan
agama di Medan. Dalam putusan Pengadilan Agama Medan No.
92/Pdt.G/2009/PTA.Mdn menyebutkan bahwa pembagian bagian hak
waris ahli laki-laki dan perempuan masing-masing yaitu kesemuanya
adalah 1/9 bagian dari harta warisan yang ditinggalkan (porsi
perbandingan bagian laki-laki dan perempuan 1:1). Pertimbangan
majelis hakim atas putusannya tersebut adalah majelis hakim tetap
menentukan asas pembagian harta peninggalan antara laki-laki dengan
115
‘Ali> Jum‘ah, Tafsi<r al-Qur’a>n al-Kari<m; Su>rah Al-Nisa> 11, diakses di
https://www.youtube.com/watch?v=S15eWrRs9z8&list=PLxQnfwkf6
ksirv4PiZ-Y8WTZocyK05Kvr&index=27 pada 12 Oktober 2019.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
177 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
perempuan adalah dua banding satu sesuai dengan Qs. al-Nisa>' (4): 11.
Akan tetapi ketentuan tersebut bukan harga mati karena realitas
menghendaki porsi dua bagi laki-laki dan porsi satu bagian perempuan
sewaktu-waktu berubah sesuai dengan perubahan ‘illat hukum.116
Sebelumnya pernyataan kontroversial serupa juga pernah
dilontarkan oleh Munawar Sjadzali dan memicu perdebatan dikalangan
para cendekiawan muslim. Munawir Sjazdzali melontarkan perubahan
pembagian 1:1 antara anak-laki-laki dan perempuan yang semula 2:1.
Munawir Sjadzali menggugat pola penafsiran secara tekstual selama
ini terhadap ayat-ayat Al-Qur’an mengenai hukum waris. Ia
menggugat konsep keadilan yang sudah mapan, lalu dihadapkan
kepada konsekuensi-konsekuensi zaman yang baru dan berkembang
dalam kehidupan sosial yang berbeda dengan masa lalu.117
Dalam hal
ini penulis merangkum argumen Munawir Sjadzali terkait konsep
pembagian waris antara anak laki-laki dan anak perempuan menjadi
1:1 tersebut. Diantaranya:
Pertama, sosio-histori konteks Arab saat diturunkannya ayat.
Bahwa sebelum Islam, budaya bangsa Arab ja>hiliyyah pada waktu itu
sangat memarjinalkan kaum perempuan, hanya kaum laki-laki saja
yang mendapatkan bagian harta warisan dan kaum perempuan tidak
mendapatkannya. Lalu dengan datangnya Islam, Nabi Muhammad
turut merombak keseluruhan sistem kewarisan bangsa Arab jahiliyyah
subjek penerima waris dengan konsep 2:1 untuk anak laki-laki dan
anak perempuan. Alasan dan tujuan dari formula 2:1 tersebut cocok
pada waktu itu, dikarenakan budaya bangsa Arab ketika itu masih
membatasi dimensi ruang gerak kaum perempuan. Atho Muzhar
menambahkan, ajaran Islam sering diberlakukan secara bertahap –
116
Abdul Mukhsin ‚Pergeseran Sikap Hakim Peradilan Agama di Kota
Medan‛ dalam jurnal Miqot Vol. XXXV No. 1 (Januari-Juni, 2014), 97. 117
Namun demikian, menurut pandangan Munawir Sjadzali tentunya
bukan dialah yang mengatakan bahwa hukum waris Islam seperti yang telah
ditentukan oleh Al-Qur’an itu tidak adil, menurutnya, justru Munawir hanya
menyoroti sikap dan perilaku masyarakat yang tampak sudah tidak percaya
lagi kepada keadilan dari pada ketentuan hukum fara>id. Lihat : Munawir
Sjadzali, Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, (Jakarta, Pustaka Panjimas:
1988), 5.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
178 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
sebagaimana hukum keharaman khamr-, maka dapat dipahami bahwa
terkait ayat waris, pada dasarnya usaha meningkatkan hak dan derajat
perempuan harus terus diberlakukan dan tidak boleh berhenti.118
Kedua, Pemahaman q{at}’i> dilalah al-nas}s} kewarisan Munawar
Sjadzali. Bagi Sjadzali, dalil qat}’i> merupakan hukum yang mengatur
bukan hukum yang mengikat. Sebagaimana menurut sebagian ulama,
q{at}’i> dilalah al-nas}s} kewarisan tidak mutlak diberlakukan. Ia
mencotohkan pada banyak kasus khalifah Umar bin Khat}ab yang tidak
melaksanakan hukum potong tangan yang seperti halnya terdapat pada
al-Ma>idah (5): 38 terhadap seorang pencuri. Lalu, Ia melarang
penjualan umm al-walad yang diberlaukan pada masa nabi bahkan
sampai ke masa Khalifah Abu Bakar, lalu Ia tidak lagi memberikan
bagian zakat kepada para al-muallafa>t qulu>buhum, sebagaimana
praktek ini telah dirintis oleh nabi Muhammad yang ditunjukkan
dalam Al-Qur’an dalam Qs. al-Tau>bah (9):60 dan juga contoh lain
yang berlakukan Umar. Dalam pandangan Munawir Sjadzali, sebagai
umat Islam tidak bisa mengatakan bahwa dengan kebijaksanaan-
kebijaksaan yang meninggalkan nas}s} s}ari>h atau dalil q{at}’i> itu Umar
Ibnu Kh{at{a>b telah melakukan suatu hal yang keliru dan digolongkan ke
dalam kelompok sembarangan, yang disebut juga sebagai kelompok
inka>r al-sunnah.119
Ketiga, Bersandar pada alur kebijakan nabi Muhammad terkait
pemberian izin penggunaan terhadap budak-budak hamba sahaya
sebagai penyalur alternatif kebutuhan biologis kaum pria selain istri
sebagaimana yang dimaksud dalam Qs. al-Nisa> (4): 3. Dalam hal ini,
Munawir Sjadzali mencoba membela atas realitas bahwa sampai pada
saat nabi Muhammad wafat belum menghilangkan dan menghapuskan
perilaku perbudakan secara tuntas, dalam pendapatnya ada diantara
para mujtahid yang menyatakan bahwa hal itu disebabkan karena nabi
118
‘Atho Mudzhar, Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam Munawir Sjadzali di Dunia Islam dalam Sulastomo dkk, Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA. (Jakarta: IPHI dan
Paramdina, 1995), 311. 119
Munawir Sjadzali, Ijtihad dan Kemaslahatan Umat, (Jakarta,Paramadina: 1997), 123-125.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
179 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
masih khawatir terhadap reaksi masyarakat pada waktu itu, jika Ia
tegas menghapuskan perbudakan tersebut.
Dalam pandangan Munawir Sjadzali, jika metode penalaran
tersebut bisa diterima, maka ia akan memunculkan pertanyaan: kalau
dalam hal yang sedemikain mendasar seperti perbudakan, nabi
Muhammad masih memperhitungkan ketermungkinan reaksi dan sikap
masyarakat Arab pada waktu itu, maka apakah kita sebagai umat nabi
Muhammad bukannya seharusnya belajar dari kebijaksanaannya dalam
mempertimbangkan penyelesaian suatu hal permasalahan. Dari
pernyataan Munawir tersebut, secara tersirat ia ingin mengutarakan
bahwa sepatutnya melalui contoh dari alur kebijakan nabi Muhammad
tersebut.120
Hal tersebut diperkuat kembali dari segi pemahaman struktur
sosial. Sebagaimana diungkapkan Atho’ Mudzhar121
bahwa dalam
masyarakat Arab menganut sistem patrilinial maka aturan bagian lebih
kepada laki-laki memang sesuai dan berfungsi postif dalam
melestarikan kekerabatan. Tetapi masyarakat Islam didunia tidak
selamanya menggunakan kekerabatan patrilinial. Di Masyarakat
tertentu di Indonesia misalnya -spesifiknya di Sumatera Barat, sistem
kekerabatan yang berlaku adalah matrilinial. Sebagai akibatnya banyak
hak dan tanggung jawab juga berada pada kaum perempuan. Dalam
masyarakat modern dengan aspek gender yang menuntut kesetaraan
gender -atau sebagaimana bahasa yang digunakan Atho Mudhzar:
bilateral-, maka wajar saja kalau aspirasinya mengenai hak dan
kewajiban juga seimbang dalam hal ini termasuk dalam warisan.
Melihat konteks perbedaan antara konteks Indonesia dan Arab,
melalui pemikiran ‘Ali< Jum‘ah yang juga berdialog dengan konteks –
Mesir khususnya- penulis berpendapat, perempuan bangsa Arab pada
umumnya mendapatkan mahar sangat tinggi, diantaranya berupa
rumah beserta isinya, mobil dan pembantu-pembantu yang selalu siap
120
Munawir Sjadzali, Ijtihad dan Kemaslahatan Umat, (Jakarta:
Paramadina: 1997), 120. 121
‘Atho Mudzhar, Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam Munawir Sjadzali di Dunia Islam dalam Sulastomo dkk, Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA. (Jakarta: IPHI dan
Paramdina, 1995), 311.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
180 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
sedia mengurusi segala keperluan mereka. Dikarenakan adanya mahar
yang tinggi, maka perempuan bangsa Arab kehidupannya menjadi
terjamin karena umumnya mahar yanga mereka terima adalah
seperangkat rumah. Selain itu, penulis setuju kekerabatan yang
diungkapakan ‘Atho Mudzhar bahwa kekerabatan patrilinial Arab
yang kental mengakibatkan sistem 2:1 cocok diterapkan di negara-
negara yang mempunyai kekerabatan patrilineal.
Perdebatan seputar keadilan 2:1 perempuan tak hanya di
Indonesia, pernyataan tersebut seringkali dilontarkan para
cendekiawan muslim mancanegara. Seperti pernyataan Amina Wadud
yang secara emplisit terkesan menolak formula pembagian waris
prinsip keadilan 2:1. Amina Wadud berpendapat bahwa pembagian
waris menurutnya, harus dilihat dari berbagai faktor yang lain, seperti
keadaan orang yang meninggal dan orang-orang yang ditinggal.
Sebelum warisan dibagi perlu dilihat seluruh anggota keluarganya
yang berhak, kombinasinya, dan kemanfatannya. Amina memberikan
contoh misalnya, jika dalam keluarga terdapat seorang anak laki-laki
juga orang anak perempuan, seorang ibu yang harus dirawat dan
ditanggung kehidupannya oleh salah seorang anak perempuannnya,
maka apakah anak laki-laki harus menerima bagian yang lebih besar?
Jadi menurut Amina Wadud, dalam masalah warisan haruslah
mempertimbangkan hal-hal berikut: Pembagian untuk keluarga dan
kerabat laki-laki dan perempuan yang masih hidup, sejumlah kekayaan
yang bisa dibagikan. Pembagian kekayaan juga harus
mempertimbangkan manfaatnya bagi yang ditinggalkan, dan manfaat
harta warisan itu sendiri. Dengan cara berpikir seperti itu dan juga
berdasarkan kemungkinan cara pembagian warisan yang dijelaskan
oleh al-Qur’an, maka pembagian warisan tersebut sangatlah fleksibel,
bisa berubah, dan yang pasti harus memenuhi asas manfaat dan
keadilan.122
Selanjutnya, komentar meragukan konsep keadilan warisan 2:1
datang dari Muhammad Shah}ru>r, Ia menyatakan bahwa penggalan ayat
ini merupakan batasan maksimal yang berlaku bagi (للاكر ملالحاألاييل ان)
122
Amina Wadud, Wanita dalam Al-Qur’an, Terj. Yaziar Radianti
(Bandung: Pustaka, 1994), 117-118.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
181 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
laki-laki dan batasan minimal yang berlaku bagi perempuan. Jika
beban ekonomi keluarga sepenuhnya atau seratus persen ditanggung
pihak laki-laki, kondisi batasan hukum Allah dapat diterapkan yaitu
memberikan dua bagian pada laki-laki dan satu bagian bagi
perempuan. Dengan begitu Ia menyatakan bahwa dari sisi persentase
bagian minimal bagi perempuan adalah 33,3 %, sedangkan bagian
maksimal bagi laki-laki adalah 66,6 %. Oleh karenanya jika memberi
laki-laki sebesar 75 % dan perempuan diberi 25 %, maka telah
melanggar batasan yang telah ditetapkan Allah. Namun jika membagi
60 % bagi laki-laki dan 40 % bagi perempuan, maka tidak melanggar
batasan hukum Allah karena masih berada dalam lingkup batas-batas
hukum Allah.123
Jama>l al-Banna> dalam Al-Mar’ah al-Muslimah Bayna Tah}ri>r Al-Qur’an wa Taqyi>d al-Fuqaha berpendapat bagian waris 2:1 sekilas
memang kurang adil bagi perempuan. Jika melihat realita kehidupan
saat ini di mana dunia sudah tidak mengenal lagi perbedaan antara
laki-laki dan perempuan karena keduanya memiliki kesempatan yang
sama baik dalam ruang publik maupun dalam ruang domistik, tentunya
ayat bagian tersebut sudah tidak relevan lagi. Namun hal yang perlu
dipahami bahwa nilai keadilan yang terdapat dalam ayat tersebut
adalah bagaimana proses Al-Qur’an memberikan hak waris bagi
perempuan yang dulunya bahkan dijadikan sebagai benda yang dapat
diwariskan.124
Walaupun terkesan ketidaksetujuan konsep 2:1 akan tetapi
Jama>l lebih mengedapankan aspek lain bahwa keadilan tersebut
terletak pada betapa Islam telah memberikan hak kepada anak
perempuan yang dulunya tidak mendapatkan waris. Hal yang menjadi
pertimbangan tentang keadilan dalam bagian waris 2:1 adalah
bagaimana proses Al-Qur’an mengupayakan agar perempuan berhak
memperoleh harta waris sebagaimana laki-laki. Perlu penulis tekankan
bahwa apa yang ditetapkan dalam Qs. al-Nisa> (4): 11, ini tidak serta
merta diterima oleh umat muslim pada saat itu. Dalam hal ini dasar
123
Muh{ammad Shahru>r, Al-Kita>b wa al-Qur’a>n Qira>’ah Mua>s{irah (Damaskus: Al-Aha>li< Li al-Tau>zi<‘ wa al-T{iba‘ah, 1990), 458.
124Jama>l al-Banna>, Al-Mar’ah al-Muslimah Bayna Tah}ri>r al-Qur’a>n wa
Taqyi>d al-Fuqaha, (Kairo: Dar al-Fikr, 1998), 113-115.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
182 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
hukum yang dipakai Jama>l al-Banna> dalam melahirkan sebuah hukum
adalah akal, nilai-nilai universal Al-Qur’an, sunnah dan kebiasaan.125
Pendapat kontras juga dikemukan Zaitunah Subhan dengan
mempertanyakan, apakah benar pembagian warisan 2:1 yang
dirumuskan Al-Qur'an itu, sepenuhnya mencerminkan keadilan?
Dengan mengutip pandangan Masdar F. Mas'udi, dia memahami
pembagian itu sebagai batasan kuantitatif yang telah diberikan setelah
minus yang pada dasarmya bukan merupakan nilai maksimal.
Menurutnya, apa yang digariskan Allah bukanlah angkanya, tetapi
semangat keadilan dan kemitraannya sebagai subyek yang sama-sama
mewarisi, setelah sebelumnya diperlakukan hanya sebagai obyek yang
diwariskan.126
Secara literal, pandangan-pandangan para tokoh yang penulis
sebutkan diatas tentu bertentangan dengan ayat al-Nisa >’ (4): 7,
padahal dalam ayat tersebut menyatakan bahwa bagian laki-laki dan
perempuan, sedikit atau banyak, merupakan bagian yang telah
ditetapkan berdasarkan ketentuan Allah. Juga ketika melihat dan
menelaah ayat-ayat lain akan ditemukan pembagian yang berbeda
dalam Al-Qur’an untuk perempuan. Hal tersebut dapat dilihat
sebagaimana ‘Ali< Jum‘ah jabarkan dalam Qada>ya> Marah Fi< Al-Fiqh al-Isla>mi< dan Al-Mar’ah Fi< al-Had{a>rah al-Isla>miyah bayna al-Nus{u>s al-Shar‘i< wa Tura>th al-Fiqh yang penulis paparkan dipembahasan
sebelumnya.127
Dari pendapat ‘Ali< Jum‘ah dalam karyanya tersebut,
nampaknya ‘Ali< Jum‘ah mencounter kurangnya pemahaman mereka
secara komprehensif pada teks tentang kewarisan yang mengakibatkan
salah kaprah bahkan menganggap hal tersebut bagian dari
ketidakadilan gender bahkan menganggap tidak berdasarkan HAM
(Hak Asasi Manusia).
125
Jama>l Al-Banna>, Nahw Fiqh Jadid (Kairo: Da>r al-Fikr al-Islami<,
2000), 195. 126
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir al-Qur’a>n (Yogyakarta: LKIS, 1999), 127-128.
127Lihat tabel pembagian warisan tabel A. 1, B.1-B.6, C.1-C.3, dan
D.1-D.2 pada pembahasan poin pemikiran ‘Ali< Jum‘ah tentang pembagian
warisan.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
183 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
Berkaitan dengan HAM, Mah{mu>d Shaltu>t menjawab bahwa
persoalan hak waris dalam Islam bukan dititikberatkan pada persoalan
hak asasi manusia yang harus sama rata antara laki-laki dan
perempuan, akan tetapi lebih melihat pada aspek kebutuhan dan
tanggungjawab laki-laki yang jauh lebih banyak daripada perempuan.
Laki-laki dalam Islam memiliki kewajiban untuk menafkahi istri, anak
dan sanak saudaranya, sedangkan perempuan tidak memiliki
tanggungjawab itu. Begitu juga laki-laki dalam Islam memiliki
kewajiban memberi maskawin atau mahar kepada istri, sementara istri
diberi hak untuk menentukan nominasi maharnya. Sehingga bagi
Mah{mu>d Shaltu>t, pembagian harta warisan yang diterima oleh laki-
laki melebihi jatah perempuan tidak bisa dikatakan sebagai
pelanggaran hak asasi manusia.128
Rashi<d Rid{a> menambahkan dalam karyanya Huq{u>q{ al-Nisa> fi< al- Isla>m bahwa tanggungjawab dan kebutuhan laki-laki terhadap harta
benda jauh lebih banyak dibanding perempuan. Ia memaparkan bahwa
laki-laki memiliki kewajiban membayar mahar ketika akan menikah
dan memiliki kewajiban untuk menafkahkan sebagian hartanya kepada
fakir miskin sebagaimana Mahmiu>d Shaltu>t jelaskan. ‘Ali< Jum‘ah
menambahkan bahwa laki-laki juga memiliki tanggung jawab istri
walaupun istri sudah mempunyai harta benda.129
Warisan dalam Islam tidak hanya dipandang sebagai pembagian
harta tapi sebagai salah satu bentuk distribusi kekayaan dalam
masyarakat. Ajaran Islam menegaskan bahwa warisan dan nafkah
adalah dua hal yag saling terkait dan saling melengkapi.130
Ini berarti
bahwa pesan yang ingin disampaikan Al-Qur’an adalah transformasi
hukum berupa disyariatkannya hak waris bagi perempuan yang
sebelumnya tidak dikenal dalam tradisi jahiliyah.131
128
Mah{mu>d Shaltu>t, Al-Isla>m Aq{i<datum wa Shari<‘ah (Kairo: Da>r al-
Shuru>q{, 2001), 237-239. 129
‘Ali< Jum‘ah, Al-Mar’ah Fi< al-Had{a>rah al-Isla>miyah bayna al-Nus{u>s al-Shar‘i< wa Tura>th al-Fiqh (Kairo: Da>r al-Sala>m, 2006), 28.
130Muhammad Balta>ji <, Maka>nah al-Al-Mar’ah Fi< Al-Qur’an al-Az}i>m
(Kairo: Da>r al-Sala>m, 2000), 205. 131
Muhammad al-T}a>hir bin Ashur, Al-Tahri<r wa Al-Tanwi<r (Kairo:
Maktabah Isa> Ba>b al-Hala>bi<, 1963), 345.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
184 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
Dalam konteks sosiologis, pembagian ini merupakan prinsip
keadilan yang diberikan oleh Islam. Sebab, pada zaman jahiliyah,
jangankan mendapakan warisan, perempuan justru menjadi obyek yang
diwariskan. Hal ini tidak didasarkan pada status seseorang melainkan
atas dasar tugas dan tanggung jawab. Laki-laki mendapat bagian lebih
besar dibanding perempuan, karena dia mendapat beban lebih berat
dari yang dipikul perempuan.132
Pemikiran ‘Ali< Jum‘ah di atas dalam mengintepretasikan hukum
tampak menggunakan pendekatan tekstual sebagaimana para fuqaha
(ahli hukum Islam) telah menetapkan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an yang
menjelaskan tentang bagian-bagian ahli waris merupakan ayat yang
qat}’i> al-dila>lah (penunjukkan hukumnya sudah pasti), sehingga tidak
membuka peluang untuk berijtihad di dalamnya. Meski begitu penulis
lebih mendukung apa yang dipaparkan ‘Ali< Jum‘ah dibanding para
aktifis keseteraan gender yang mengkritik tentang konsep 2:1 dalam
waris, karena menurut penulis mengikuti ketentuan pembagian hukum
waris adalah wajib bukan sunnah. Pembagian warisan diserahkan pada
pilihan dan kebebasan seseorang. Warisan dalam pandangan Islam
sangat penting karena Al-Qur’an menerangkannya dengan sangat rinci
dan detail supaya menjadi acuan dan pedoman. Karena itu, pembagian
warisan merupakan tuntutan syariat yang wajib diikuti. Hal ini dapat
dibuktikan dengan redaksi ayat-ayat Al-Qur’an yang mewajibkan
pembagian warisan sesuai ketetapan Allah: ( يص ب مف وض) Qs. al-Nisa> (4):
تلاك) ,Qs. al-Nisa> (4): 12 (وصا ما اه) ,Qs. al-Nisa> (4): 11 (ف يضا ما اه) ,7 .Qs. al-Nisa> (4): 13 dan Qs. al-Nisa> (4):7 (حوداه
Namun, pendapat ‘Ali< Jum‘ah diatas tak luput dari pertanyaan
dan kritik dari penulis, bahwa ‘Ali< Jum‘ah terlihat tidak menjelaskan
pembagian dua banding satu secara mendalam. Karena bisa saja hal
tersebut berbeda ketika laki-laki dan perempuan mempunyai
kesepakatan pembagian waris, sehingga pemikiran ‘Ali< Jum‘ah
terkesan masih tekstual dalam masalah kewarisan perempuan. ‘Ali<
Jum‘ah hanya melihat sisi tinjauan interpretasi hukum terhadap
132
Wahbah al-Zuha>ili<, Al-Tafsi>r wa al-Muni>r fi> al-‘Aqi>dah wa al-Shari<‘ah wa al-Manhaj, Vol. ke- 4 (Beirut: Da>r al-Fikr, 1998), 282-283.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
185 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
pembagian harta waris ketika ayat ini turun dan tidak mengangkat isu-
isu kontemporer tentang kewarisan juga tidak menghubungkan dengan
kondisi perempuan terutama yang sudah mulai berkembang. Semisal
mungkin saja, formula 2:1, yakni bagian laki-laki yang besarnya dua
kali lipat dari bagian perempuan, bisa saja perempuan mendapat
bagian yang sama dengan bagian laki-laki atau lebih banyak dari
bagian perempuan berdasarkan kebijakan hasil musyawarah antar
keluarga yang mana kebijakan tersebut tidak merubah ketentuan yang
ditetapkan Allah SWT. Akan tetapi penulis berpendapat, jika melihat
konteks Mesir yang menganut sistem kekerabatan patrilineal-
sebagaimana budaya Arab umumnya-, tentu hal tersebut berimbas
pada aspek gender dan aspek sosiologis struktur masyarakat di Mesir.
Misalnya seperti adat yang masih mengakar di Mesir yaitu
tingginya mahar dalam pernikahan, sehingga banyaknya para lelaki
membutuhkan biaya lebih banyak untuk mahar. Hal ini mengakibatkan
konsekuensi lain dari aspek sosiologis dan gender. Kekhawatiran
kebanyakan para pemuda yang semakin bertambah usia namun
kesiapan biaya untuk mahar yang sangat tinggi tidak mencukupi.
Sehingga banyak dari mereka, menikah secara rahasia -atau disebut
dalam istilah di Mesir dengan nika>h ‘urfi < - dan menghindari biaya-
biaya yang menyebabkan mahalnya biaya pernikahan di Mesir. Tentu
saja hal ini dari aspek gender tidak memihak kepada perempuan,
karena apabila ditinggalkan perempuan tidak punya hak hukum untuk
meminta cerai dengan alasan bahwa nika>h ‘urfi< dianggap ilegal
berdasarkan status hukum yang berlaku di Mesir. Keadaan istri akan
semakin sulit, apabila suami menikah lagi, berbeda dengan keadaan
istri, apabila menikah lagi dalam keadaan ditinggal suami, maka bisa
dituduh poliandri dan bisa dijatuhi hukuman berat yaitu dipenjara
selama tujuh tahun. Penulis berpendapat, tampaknya kondisi sosial di
Mesir ini mempengaruhi pemikiran ‘Ali< Jum‘ah berkaitan pembagian
warisan.
E. Kepemimpinan Perempuan dalam Shalat
1. Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah Tentang Kepemimpinan
Perempuan dalam Shalat
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
186 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
Menurut ‘Ali< Jum‘ah, para cendekiawan muslim dibelahan dunia
manapun sepakat keharusan menjunjung tinggi kehormatan martabat
perempuan. Melarang perempuan dari kepemimpinan laki-laki dalam
shalat bukan berarti merendahkan derajat perempuan justru hal
tersebut bagian dari menjunjung derajat mereka. Islam memerintahkan
perempuan berdiri dibelakang laki-laki dalam shalat. Karena dalam
shalat terdapat gerakan sujud yang berpotensi terbukanya aurat
perempuan dan dapat mengganggu kekhusyuan dalam shalat.
Sebagaimana pepatah Arab mengatakan ‚ أإيملل درلبأ ليرلدم . Keberadaan
barisan perempuan dibelakang shaf laki-laki bukanlah penurunan
martabat perempuan, melainkan dalam rangka menjunjung kemuliaan
mereka. Selain itu pula, untuk mempertimbangkan adab serta saling
menjaga pandangan antara laki-laki dan perempuan dari adanya kh}awf al-fitnah seperti hal-hal yang menimbulkan rangsangan bagi laki-
laki.133
Hal senada juga diungkapkan Sayyid T{anta>wi> yang
mengatakan bahwa tubuh perempuan adalah aurat dan dikhawatirkan
mengganggu kekhusyukan shalat apabila perempuan mengimami laki-
laki.134
Sebenarnya dalam realitas kepemimpinan perempuan dalam
shalat, dapat ditinjau dari dua sisi. Pertama, dari sisi historis bahwa
kenyataan sepanjang sejarah umat muslim sejak zaman nabi
Muhammad SAW tidak diketahui adanya shalat jama‘ah dimana
imamnya perempuan dan makmumnya laki-laki. Kedua, dari sisi
realitas rasionalitasnya, bahwa dalam warisan fiqh tidak ada pendapat
ulama melegalkan imamnya perempuan dan makmumnya laki-laki.135
133
‘Ali< Jum‘ah, Qad{a>ya> Marah Fi< Al-Fiqh al-Isla>mi<, 47. Lihat Juga:
‘Ali< Jum‘ah, Fata>wa> al-Nisa>, 167-169. ‘Ali< Jum‘ah, Al-Kalim al-T{ayib Fata>wa> As}riyah, Vol. ke- 1, 56.
134Pendapat Sayyid al-T{anta>wi> tersebut dikutip oleh media online al-
Sharq al-Au>sat}, dengan judul ‚Shaykh al-Azhar: Ima>mah al-Mar’ah Li al-
Rija>l Ghairu Ja>’izah‛ diakses di
http://archive.aawsat.com/details.asp?issueno=9532&article=289131WDwM
bk-Dxk8 pada 23 Desember 2019. 135
‘Ali< Jum‘ah, Qad{a>ya> Marah Fi< Al-Fiqh al-Isla>mi<, 48.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
187 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
Menurut Yu>suf al-Qarad{a>wi>136
> sekaligus diamini ‘Ali< Jum‘ah137
,
bahwa umat muslim di belahan dunia manapun tidak pernah
menyetujui atas perempuan untuk adzan, berkhutbah terlebih menjadi
imam shalat dalam jama’ah jum’at. Dalam realita sejarahnya, tidak
terdeteksi kondisi seperti ini lebih dari 14 abad. Disebutkan dalam
sejarah, bahwa seorang ratu yang terkemuka dalam sejarah dinasti
Mamluk, Shajar al-Durr yang mempunyai otoritas dalam permasalahan
negarapun tidak pernah berkhutbah dalam shalat jum’at terlebih
mengimami laki-laki. Akan tetapi penyelenggaraan khutbah dan shalat
jum’at dipimpin oleh laki-laki.138
Hal ini mengindikasikan
ketidakbolehan perempuan menjadi imam shalat berdasarkan
kesepakatan ulama salaf maupun kh{alaf. Dari sisi nas}s} shar‘i< dan pendapat para ulama klasik hingga saat
ini bahwasannya para ulama mendefinisikan ‘ima>mat al-s{ala>t’ yaitu
keterikatan seorang yang mengerjakan shalat dengan orang lain yang
mengerjakan shalat dengan syarat adanya syariat yang mengikat antara
mereka. Seorang imam tidak menjadi imam kecuali jikalau ada yang
mengikuti dalam shalatnya. Para ulama dalam banyak karya
memberikan banyak kriteria dan syarat untuk menjadi seorang imam
dalam shalat. Wahbah al-Zuhayli> dalam al-Fiqh al-Isla>mi< wa Adillatuhu> setidaknya menyebutkan 9 syarat yang harus dipenuhi oleh
seorang imam dalam shalat, diantaranya imam haruslah seorang laki-
laki.139
‘Ali< Jum‘ah mengemukakan terdapat 2 hadis berkaitan dengan
kepemimpinan perempuan dalam shalat bagi laki-laki. Hadis pertama
yang diriwayatkan Ja>bir ibn ‘Abd Alla>h yang banyak disandarkan para
ulama dalam ketidakbolehan perempuan menjadi imam dalam shalat
dan hadis Umm Waraqah binti ‘Abd Alla>h ibn al-Ha>rith yang
membolehkan perempuan menjadi imam shalat.
136
Yu>suf al-Qarad{a>wi>, ‚Mata> Taju>z Ima>mah al-Mar’ah Fi< al-S}ala>t‛
Diakses di http://www.qaradawi.net/new/Articles-1361 pada 21 Desember
2019. 137
‘Ali< Jum‘ah, Al-Mar’ah Fi< al-Had}arah Al-Isla>miyah; Bayna Nusūs al-Shar‘i > wa Turāth al-Fiqh wa al-Wāqiʻ al-Maʻish, 40.
138‘Ali< Jum‘ah, Q{ad{a>ya> Marah Fi< Al-Fiqh al-Isla>mi<, 48.
139Wahbah al-Zuhayli<, Al-Fiqh al-Islami< wa adillatuhu>, Vol. 1, 174.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
188 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
-قا ل:طببنا رلاالاه-رضاياهبنهما -اهاحليثايول:حيثج ب با ببا،،ولأبا اممها ج ا،،ولفا ج مؤمنا ،،إلأنيقها -صلىاهبل هوللم فق ل:لتؤمام أةرجا
140بسلب نخي فلاطهول فه
Hadis pertama: Dari Ja>bir bin Abd Allah, dari Nabi SAW
bersabda: ‚Janganlah sekali-kali perempuan menjadi imam shalat bagi
laki-laki, orang Arab Badui bagi orang-orang Muhajir (mereka yang
ikut hijrah bersama nabi ke Madinah), dan orang jahat bagi orang
mukmin kecuali karena paksaaan dari penguasa yang ditakuti
cambuknya atau pedangnya‛.
احليثالل ين:حيثأمورق أنالنيبصلىاهبل هوللمر نيزورها ب ها وجعال هل مؤذي، يؤذنهل ،وأم ه أنتؤمأهلداره
141
Hadis kedua: Rasulullah pernah mengunjungi Umm Waraqah di
rumahnya. Ia bahkan mengangkat mu'adzin untuknya dan
menyuruhnya mengimami keluarganya.
‘Ali< Jum‘ah bersandar pada H{ajar al-‘Asq{}ala>ni> dalam
melemahkan hadis pertama, bahkan kebanyakan ahli hadis
melemahkan hadis kedua.142
Ibn Quda>mah menjadikan hadis pertama
sebagai argumentasi ketidakbolehan perempuan menjadi imam bagi
laki-laki dalam shalat berjama’ah. Akan tetapi permasalahannya, pada
hadis tersebut terdapat dua orang perawi yang dinilai lemah oleh
kritikus hadis. Dua orang perawi yang dimaksud adalah ‘Ali< ibn Zayd
ibn Jud‘a>n dan ‘Abd Alla>h ibn Muhammad al-'Ada>wi>.143
140
Riwayat Ibn Majah dalam Sunan Ibn Majah, Riwayat al-Baihaqi
dalam Sunan Al-Kubra>, al-Thabra>ni< dalam Al-Au>sat}>. Lihat: ‘Ali< Jum‘ah,
Qad{a>ya> Marah Fi< Al-Fiqh al-Isla>mi<, (Kairo: Nahdet Mis{r 2008), 49. 141
Riwayat Abu> Da>wud dalam Sunan Abu> Da>wud, Riwayat Ahmad bin
H{anbal dalam Al-Musnad, Riwayat al-Ha>kim dalam al-Mustadrak 'ala> Shahi<hayn, Ibn Huzaymah dalam Sunan Ibn Huzaymah, Riwayat al-Bayhaqi>
dalam Sunan Al-Kubra>. Lihat: ‘Ali< Jum‘ah, Qad{a>ya> Marah Fi< Al-Fiqh al-Isla>mi<, (Kairo: Nahdet Mis{r 2008), 48.
142‘Ali< Jum‘ah, Qad{a>ya> Marah Fi< Al-Fiqh al-Isla>mi<, 49.
143Ibn Quda>mah, Al-Mughni<, (Kairo: Da>r al-Hadi<s), jlid 1, 534-535.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
189 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
Menurut Ali Mustafa Ya‘qub, kendati hadis ini dinilai lemah
oleh sebagian ahli hadis, namun hadis d}a‘i>f (lemah) belum tentu
ditolak dan tidak boleh diamalkan. Terlebih lagi, substansi dan
kandungan hadis di atas dapat diterima dan diamalkan para ulama
sepanjang masa, sejak masa nabi SAW sampai sekarang. Oleh sebab
itu, hadis ini tetap diterima dan dijadikan dalil keharaman perempuan
menjadi imam salat laki-laki.144
Dengan demikian, sebagaimana
diungkapkan Ibnu Rushd bahwa hadis ini menjadi sandaran mayoritas
ulama bahwa perempuan tidak boleh menjadi imam shalat bagi laki-
laki.145
Berbeda halnya dengan mayoritas ulama, sebagian ulama
membolehkan perempuan menjadi imam shalat bagi laki-laki.
Sebagaimana dikemukakan oleh Abu> Thawr, al-Muzani>, Al-T{abari>146
,
juga diikuti Muhyi< al-Di<n al-‘Arabi<.147
Hal ini didasarkan pada hadis
Umm Waraqah yang menjadi sandaran mereka yang membolehkan
imam shalat perempuan bagi laki-laki. Dalam hadis tersebut
disebutkan bahwa muadzin di rumah Umm Waraqah adalah seorang
laki-laki tua (shaykh kabi>r).148 Hadis ini disahihkan oleh Ibn
Khuzaymah dan al-Ba>ni> menilai-nya sebagai hadis h}asan. Terkait al-
Wali>d ibn Juma>i‘>, salah satu perawi yang dipermasalahkan, Muslim
ibn al-Hajjāj tetap menganggapnya kredibel (ta‘di>l). Al-S}an‘a>ni>
mengatakan hadis ini sebagai dalil keabsahan perempuan mengimami
keluarganya. Meskipun dalam keluarga tersebut terdapat laki-laki.
144
Ali Mustafa Ya‘qub, Imam Perempuan (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2006), 25. 145
Ibn Rushd, Bida>yah al-Mujtahid wa al-Niha>yah al-Muq{tas}id, Vol.
ke-1. 155 146
Wiza>rat al-Auqa>f wa al-Su’u>n al-Islamiyah. Mau>su>‘ah al-Fiqhiyah al- Islamiyah, Vol. ke-21 (Kuwait: 1992). 267. Abu> Zakariya> Muhy al-Din Al-
Nawawi>, Al-Majmu>: Sharh} al-Muhadhdhab, Vol. ke-4 (Jeddah: Maktabah al-
Irsya>d),152. Ibn Quda>mah, Al-Mughni<, (Kairo: Da>r al-Hadi<s), jlid 2, 146.
Bandingkan dengan Ibn Rushd, Bida>yah al-Mujtahid wa al-Niha>yah al-Muq{tas}id, Vol. ke-. 1. 155. Muhammad Ibn Isma>‘i<l al-S{an‘a>ni<, Subul al-Sala>m, Vol. ke-2 (Beirut: Da>r al-Ihya> al-Tura>th al-Arabi>, 1995), 581.
147Ali< Jum‘ah, Qad{a>ya> Marah Fi< Al-Fiqh al-Isla>mi<, 49.
148Ibnu Khuzaymah, S}ahi>h Ibnu Khuzaymah, Vol. ke-3, No. 1676, 89.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
190 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
Sebab dalam riwayat Umm Waraqah ini dikisahkan bahwa Ia memiliki
seorang muadzin laki-laki dan Ia mengimaminya beserta budak laki-
laki.149
Menurut Mustafa Ya‘qub, hadis Umm Waraqah ini tidak
menjadi pertimbangan untuk membolehkan perempuan untuk menjadi
imam shalat karena lemahnya periwayatan baik sanad maupun
matan.150
Ibn Quda>mah dalam al-Mughni< memberikan penjelasan
penafsirannya tentang berkaitan hadis Umm Waraqah. Pertama, Umm
Waraqah diizinkan nabi untuk mengimami jama’ah perempuan. Kedua,
kalaupun diantara jam’ah perempuan terdapat laki-laki, maka
sesungguhnya peristiwa ini berkaitan dengan shalat sunnah karena
sebagian fuqaha mazhab Hambali memang membolehkan perempuan
menjadi imam dalam shalat tarawih. Ketiga, apabila kisah Umm
Waraqah benar-benar berkaitan dengan shalat wajib, maka ketentuan
tersebut tidak pernah disyariatkan pada perempuan lain sehingga
bermakna khusus untnuk keluarga saja.151
Perdebatan seputar boleh tidaknya perempuan sebagai imam
telah ada dalam pemikiran-pemikiran ulama terdahulu. Keempat imam
mazhab secara tegas menolak kepemimpinan perempuan atas laki-laki.
Imam Ma>lik dan Abu> Hani<fah menolak perempuan sebagai imam laki-
laki karena imamah merupakan posisi yang terhormat dan agung yang
hanya menjadi kewenangan laki-laki. Hal ini berlaku secara mutlak.
Sementara itu, al-Shafi>‘i< dan Ah}mad bin H}anbal, membolehkan
perempuan menjadi imam terbatas pada sesama perempuan saja.152
Bagi ‘Ali< Jum‘ah imam shalat perempuan dibelakang barisan
laki-laki tidak dapat diterima. Sebagaimana konsesus para ulama baik
salaf maupun khalaf karena kuatnya dalil juga alasan yang tidak dapat
diterima dengan akal. ‘Ali< Jum‘ah tidak menerima pendapat mereka
yang membolehkan imam shalat perempuan, karena pendapat ini
menurut ‘Ali< Jum‘ah pendapat yang cacat dan mengaggapnya sebagai
pemikiran yang melenceng. Adapun hikmah dari menjauhkan
149
Muhammad Ibn Isma>‘i<l al-S{an‘a>ni<, Subul al-Sala>m, Vol. ke- 2, 381. 150
Ali Mustafa Ya’qub, Imam Perempuan, 38. 151
Ibn Quda>mah, Al-Mughni<, (Kairo: Da>r al-Hadi<s), jlid 1, 542-543. 152
Hasan Sulayma>n al-Nu>r Alwi< Abba>s al-Mala>ki<, Iba>nat Al-Ahka>m,
(Beirut: Da>r al-Thaqa>fah al-Islamiyah, 1909), 41.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
191 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
perempuan dalam imamah shalat merupakan perintah Islam yang
menjaga konsistensi tatanan Islam dalam kesucian. Karena perempuan
semua badannya aurat kecuali telapak tangan dan wajah. Maka
perintah berdiri dibelakang laki-laki karena shalat mencakup sujud
yang dengan sujud dapat perempuan terlihat auratnya.153
2. Relevansi Pemikiran ‘Ali< Jum‘ah dengan Aspek Gender
Masalah imam perempuan bagi laki-laki dalam kajian hukum
Islam terus menjadi perbincangan dikalangan para cendekiawan
muslim. Karena para feminis muslim terus menggugat perbedaan
penafsiran dan keabsahan terhadap dalil-dalil yang berkaitan dengan
masalah tersebut. Terlebih kasus tersebut selalu bermunculan dan
menjadi fenomena kontroversial yang berulang dalam masyarakat
muslim modern. Masalah imam perempuan bagi laki-laki mencuat
kepermukaan dan menghebohkan publik pada tahun 2018, ketika
Jamida Beevi memimpin shalat jum’at sekaligus berkhutbah di sebuah
masjid di Kerala, India. Menurutnya, tidak ada ayat suci yang
menghambat seorang perempuan untuk menjadi imam. Baginya Al-
Qur’an tidak diskriminatif terhadap perempuan, Gagasan yang
diajukan dalam teks adalah kesetaraan gender dan bukan
diskriminasi.154
Pertama kali dunia Islam dihebohkan pada tahun 2005 oleh
Amina Muhsin Wadud, -seorang Asisten Professor Studi Islam- di
Virginia University, New York, Amerika Serikat yang menjadi imam
sekaligus merangkap sebagai kh}a>tib dan makmunya kurang lebih
sekitar 50-an orang yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Jama’ah
berbeda jenis kelamin tersebut berdiri sejajar tanpa ta’bir pemisah.155
Pasca peristiwa ini, muncul polemik dan mengundang reaksi
beberapa tokoh ulama diseluruh dunia diantaranya Sayyid T{anta>wi,
153
‘Ali< Jum‘ah, Al-Kalim al-T{ayib Fata>wa> As}riyah, Vol. ke- 1, 56. 154
https://www.memri.org/reports/indian-muslim-woman-leads-all-
male-friday-prayer-indias-kerala-state diakses pada 30 Desember 2019. 155
Respon ulama kontemporer terhadap Amina Wadud dapat dibaca
dalam penelitian Ahmed Elewa dan Lary Silvers, ‚I Am the One of The
People‛: A Survey And Analysis of Legal Arguments on Woman Led Prayer
in Islam‛, dalam Journal of Law and Religion, Vol. 26, No. 1 (2010), 114.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
192 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
<‘Ali< Jum‘ah melalui lembaga yang dipimpinnya kala itu Da>r Ifta> al-
Mis}riyah, walaupun pada awalnya ‘Ali< Jum‘ah156
tidak
mempermasalahkan fenomena kontroversial tersebut akan tetapi
karena dirasa meresakan publik, pada akhirnya Ia turut pula mengecam
fenomena tersebut bersama para ulama al-Azhar lainnya.157
Termasuk
juga diantaranya Yu>suf al-Q{ara>d}a>wi> yang< mengecam Amina telah
menyimpang dari tradisi Islam yang telah berjalan 14 abad. Sementara
‘Abd al-Azi>z bin Ba>z, mufti agung Arab Saudi, menganggap Amina
sebagai musuh Islam yang menentang hukum tuhan. Beberapa koran di
Mesir dan Arab Saudi menempatkan berita itu di halaman utama, dan
menganggap Amina sebagai perempuan sakit jiwa yang berkolaborasi
dengan barat untuk menghancurkan Islam.158
Sebaliknya, Jama>l al-Banna> justru mengkritik pendapat Sayyid
T{anta>wi<, ‘Ali< Jum‘ah, Yu>suf Q{ara>d}a>wi dan ulama al-Azhar lainnya
yang tidak membolehkan perempuan mengimami laki-laki. Jama>l
menulis buku khusus terkait persoalan ini dan disebarkan secara gratis
lewat internet. Dalam karyanya yang berjudul Jawa>z Ima>mat al-Mar’ah al-Rija>l, Ia tidak mempermasalahkan praktek ibadah yang
dilakukan oleh Amina Wadud. Menurutnya kasus ini perlu ditinjau dari
dua aspek: naq{l (teks) dan ‘aql (rasio). Kedua aspek ini perlu
dipertimbangkan dan tidak mungkin bertentangan, sekalipun dalam
masalah ibadah.159
156
Pendapat kebolehan tersebut dimuat dalam al-Arabiya dengan judul
‚Mufti Diya>r al-Mis}riyah al-Shaikh ‘Ali> Jum‘ah: Ikhtilaf al-Ulama>' Yuji>z Li
al-Duktu>rah Aminah Wadu>d An Taum Li al-RIja>l‛ Selengkapnya dapat
diakses di media online al-Arabiya pada 16 aret 2005
https://www.alarabiya.net/articles/2005/03/16/11294.html diakses pada 23
Desember 2019. 157
Fathi< al-Bayumi, Ula>ma Al-Azhar Yastankiruna Ima>mah Ami<na Wadu>d Li- al-Shala>t, dalam berita hariann di lahaonline pada 20 Maret 2005
https://www.lahaonline.com/articles/view/8055.htm diakses pada 18 Oktober
2019. 158
Jocelyne Cesari dan Jose Casanova, Islam, Gender, and Democracy in Comparative Perspective (New York: Oxford University Press, 2017), 121-
122. 159
Jama>l Al-Banna>, Jawa>z Ima>mah al-Mar’ah al-Rija>l (Tt: Tp, tt). Resensi ini dapat dica dalam artikel Faragh Isma‘il ‚Shaqi>q Hasan al-Banna>
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
193 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
Menurut Jama>l al-Banna>, ahli fiqh belum sepenuhnya mampu
keluar dari budaya patriarkis yang memposisikan perempuan sebagai
kelas kedua. Agar keluar dari budaya tersebut, ahli fiqh mestinya
melihat perempuan sebagai manusia, posisinya setara dengan laki-laki
sebagaimana dikatakan Al-Qur’an dan melihatnya sebagai makhluq
yang diistimewakan Allah SWT: mereka dapat hamil, menyusui,
mendidik, dan surga berada dibawah telapak kaki mereka.160
Senada dengan Jama>l al-Banna>, Khaled Abou el-Fad}l ketika
ditanya hukum perempuan mengimami shalat laki-laki, Ia mengatakan
bahwa tidak adil apabila perempuan dilarang mengimami shalat
dikarenkan Ia seorang perempuan. Seharusnya persyaratan dan standar
kelayakan iman difokuskan pada penguasaan terhadap ilmu agama dan
kesepakatan komunitas.161
Pada dasarnya, jika hadis Umm Waraqah
dikaji lebih jauh, kesempatan untuk mendapatkan posisi imam dapat
diperoleh siapapun, baik laki-laki maupun perempuan, sepanjang Ia
memiliki kualifikasi sebagai imam. Namun, karena di antara orang-
orang yang ada di rumah Umm Waraqah, hanya Ia yang memiliki
kualitas dan kemampuan dalam agama dan membaca Al-Qur'an dengan
baik, maka Nabi mengizinkannya menjadi imam. Dalam hal ini,
pertimbangan Nabi didasarkan bukan pada apa jenis kelaminnya, tapi
bagaimana kemampuannya. Argumentasi ini pula yang digunakan oleh
jama’ah Amina Wadud ketika menunjuknya agar mengambil andil
sebagai khatib dan imam salat jum'at.162
Mohammad Nawir dalam Kajian Hadis Relasi Kesetaraan Gender Dalam Fatwa MUI,163
mengungkapkan bahwa kaum feminis
Ima>mah al-Mar’ah al-Rija>l. https://www.Al-
Arabiya.net/articles/2005/08/19/16015.html diakses pada 23 November 2019. 160
Jama>l Al-Banna>, Jawa>z Ima>mah al-Mar’ah al-Rija>l, 67. 161
Lihat pendapat Khaled Abou el-Fadl di
http://www.scholarofthehouse.org/onwolepr.html . Diakses pada 25
November 2019. 162
Mohammad Nawir, ‚Kajian Tentang Hadis-Hadis Relasi Kesetaraan
Gender Dalam Fatwa MUI‛ (Tesis UIN Sekolah Pascasarjana, UIN Syarif
Hidayatulla, Jakarta, 2016), 118. 163
Mohammad Nawir, Kajian Tentang Hadis-Hadis Relasi Kesetaraan Gender Dalam Fatwa MUI, 120-121.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
194 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
muslim umumnya berpendapat bahwa diskursus para ulama tentang
ima>mah perempuan mencerminkan keberpihakan mereka kepada
kepentingan patriarkhi. Hal ini terlihat dari adanya inkonsistensi
rasional dalam pemikiran mereka, di satu sisi dalam persyaratan imam
secara umum, pemahaman agama dalam bacaan Al-Qur'an dijadikan
sebagai kriteria utama. Namun, di sisi lain ketika membahas tentang
kepemimpinan perempuan, kriteria yang substansial itu justru tidak
diterapkan. Penolakan mereka tidak didasarkan pada pertimbangan
apakah perempuan memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan, tetapi
justru pada ‘karena Ia perempuan’. Sementara itu, Abu> Thawr, al-
T}abari< dan al-Muzani<, merupakan wakil ulama yang membolehkan
secara mutlak perempuan sebagai imam. Pendapat tersebut di perkuat
oleh hadis Umm Waraqah yang di riwayatkan oleh Abu> Da>wu>d, dalam
sarahnya al-S{an’a>ni< mengatakan bahwa kepemimpinan perempuan
dalam salat adalah sah sekalipun diantara makmum ada laki-laki
dewasa. Namun, pandangan kelompok ini sering tidak muncul
kepermukaan, bahkan hampir tenggelam dalam diskursus pemikiran
Islam.164
Bersandar pada Qa>sim Ami<n dalam bukunya Tahri<r al-Mar'ah,
Nawir mengatakan bahwa Islam dengan misi pembebasannya yang
berpijak pada tauhid harus selalu dihadirkan dalam realitas sosial
masyarakatnya sehingga mampu melakukan perubahan-perubahan
sosial, Ia menyimpulkan bahwa Islam memberikan posisi yang cukup
tinggi kepada perempuan, namun faktor tradisi yang kuat yang berasal
dari luar Islam menjadikan perempuan Islam terbelakang. Bahkan
menurutnya umat Islam mengalami kemerosotan karena separo dari
umatnya, yaitu perempuan mengalami kemunduran. Maka untuk
164
Ibn Rushd, Bida>yah al-Mujtahid wa al-Niha>yah al-Muq{tas}id, 175.
Bandingkan Muhammad Ibn Isma>‘i<l al-S{an‘a>ni<, Subul al-Sala>m, ditahqiq oleh
Abd al-Azi<z Hawli<, 35. Bandingkan dengan Wiza>rat al-Auqa>f wa al-Su’u>n al-
Islamiyah. Mau>su>‘ah al-Fiqhiyah al- Islamiyah, Vol. ke-21 (Kuwait: 1992).
267. Abu> Zakariya> Muhy al-Din Al-Nawawi>, Al-Majmu>: Sharh} al-Muhadhdhab, Vol. ke- 4 (Jeddah: Maktabah al-Irsya>d),152. Ibn Quda>mah, Al-Mughni<, (Kairo: Da>r al-Hadi<s), jlid 2, 146
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
195 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
mendapatkan kembali kejayaan Islam tidak ada jalan lain kecuali
memberikan kemerdekaan kepada kaum perempuan.165
Di era sekarang dengan adanya emansipasi wanita ataupun
kesetaraan gender yang menuntut adanya kedudukan yang sama
dengan kaum laki-laki. Imam umumnya yang sudah disebut dalam
kitab-kitab klasik atau modern adalah seorang laki-laki. Perbedaan
antara tokoh tradisionalis dimana mereka berpendapat bahwa seorang
perempuan tidak boleh menjadi imam dalam shalat yang termaktub
dalam kitab-kitab fiqih klasik berbeda dengan kaum postra mereka
berpendapat bahwa seorang perempuan boleh menjadi imam dalam
shalat karena adanya kualitas yang lebih tinggi dibanding kaum laki-
laki.
Tentu, ide-ide feminisme diatas tidak sesuai dengan pemikiran
‘Ali< Jum‘ah. ‘Ali< Jum‘ah tidak sependapat kepemimpinan perempuan
di ranah ibadah. Fatwa ini pada dasarnya terlihat mempertegas hukum
tentang imam seorang perempuan dalam shalat bagi jama’ah laki-laki.
Fatwa ‘Ali< Jum‘ah konsisten mengikut pendapat para ulama fiqh يصل
ولاتتيا لبيق يى التياىا التى . Karena sebagaimana penulis paparkan bahwa
para ulama telah panjang lebar membicarakan terkait hal ini.
Disamping itu pula, panjang lebar ‘Ali< Jum‘ah memaparkan perbedaan
para ulama beserta dalil mereka dalam mengemukakan pendapatnya.
Berkaitan dengan kedua kelompok hadis yang ‘Ali< Jum‘ah
paparkan sebagai pegangan dalil yang saling kontradiktif (ta’arud}), dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya hadis yang melarang
perempuan mengimami laki-laki sanadnya adalah lemah (d}a‘i>f), tidak
shahih. Di lain sisi, hadis Umm Waraqah yang sering dipakai kalangan
feminis seperti Amina Wadud untuk menjustifikasi pemikiran mereka
tentang bolehnya seorang perempuan mengimami shalat laki-laki,
hadis tersebut juga tidak sahih. Maka disini ‘Ali< Jum‘ah merajihkan
kontradiksi literal tersebut ditinjau dari hukum Islam yaitu maslahah
karena efek yang ditimbulkan dari sosiologi masyarakat.
Dengan demikian, penulis berpendapat dengan mengacu pada
pemikiran ‘Ali< Jum‘ah, dilihat sosio-histori terkait dengan
165
Qasim al-Ami<n, Tahrir al-Al-Mar’ah (Kairo: al-Markaz al-Arabi> Li
al-Bah}th wa Al-Nashr, 1948), 98.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
196 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
kontektualisasi kedua hadis tersebut dalam memposisikan perempuan
sebagai imam shalat laki-laki, hal tersebut hanya akan menyulut
keresahan di tengah-tengah masyarakat. Dalam hal ini, ketika kedua
hadis tersebut telah jelas-jelas tidak bisa dikatakan seratus persen
s}ahi>h, alias sama-sama terdapat perawi yang bermasalah, maka kaidah
fiqh yang berbunyi al-‘a>dah muhakkamah (adat kebiasaan itu
dipandang sebagai hukum), maka larangan masalah perempuan
mengimami shalat laki-laki adalah lebih tepat dan lebih selamat.
Selain itu, kaidah daf‘ul mafa>sid muqaddamun ‘ala> jalbi al-mas}alih} juga relevan untuk diterapkan dalam masalah ini. Perempuan
yang di depan publik mengimami shalat berjamaah, dimana di
dalamnya terdapat laki-laki, hanya akan menimbulkan efek negatif di
tengah masyarakat luas. Terlepas dari mereka tahu ataukah tidak
tentang shahih tidaknya dua hadis tersebut di atas, hal ini akan
dipandang sebagai sebuah penyimpangan agama dan keresahan publik.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
197 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
Diagram
Genealogi Pemikiran ‘Ali> Jum‘ah Tentang
Wacana Kesetaraan Gender
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
198 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender
Tabel
Pembagian Pembahasan Gender dari Sumber Primer Rujukan Karya
‘Ali> Jum‘ah
199 |Epilog
BAGIAN LIMA
EPILOG ----------------------------
‘Ali< Jum‘ah merupakan ulama kontemporer yang telah
berusaha memanfaatkan hasil ilmu kontemporer (antropologi) ketika
mengijtihadkan hukum-hukum fiqh dalam rangka menciptakan sebuah
sistem yang lebih padu dan komprehensif. ‘Ali< Jum‘ah dalam
berijtihad tidak berbeda dengan ulama kontemporer lainnya yang
menjadi rujukan umat muslim saat ini seperti Yu>suf al-Qarad}a>wi<,
Wahbah al-Zuhay<li>, Sai<d Ramd{a>n al-Bu>ti> dan lain ulama kontemporer
lainnya. Dimana metode yang biasa digunakan seperti metode ijtiha>d baya>ni<, ta‘li>li> dan istis}la>hi< serta tarji>hi> atau intiqa>’i>. Begitu juga ‘Ali<
Jum‘ah tidak berbeda dengan ulama terdahulu yang dalam banyak
karya-karyanya, ‘Ali< Jum‘ah cenderung menukil pendapat yang telah
ada dan telah disebutkan dalam literatur-literatur fiqh, khususnya
dalam mazhab al-Sha>fi>‘i><. Walaupun Ia menganut mazhab al-Sha>fi>‘i <,
tak lantas ‘Ali< Jum‘ah segan mengikuti mazhab lain sesuai konteks
maslahat yang dihadapi realita. Dalam kebanyakan fatwa yang Ia
keluarkan, Ia cukup banyak mengikuti mazhab lain dibanding mazhab
yang Ia anut.
Dalam kaitannya dengan usu>l al-fiqh sebagai landasan
epistimologi hukum Islam, dimana para pengusung teori pembaharu
marak mengkampanyekan rekonstruksi secara komprehensif seperti
H}asan al-Tura>bi<, Jama>l al-Di<n al-At}iyah dan Sali<m al-‘Awa>. ‘Ali
Jum‘ah menolak teori tersebut dengan alasan bahwa betapapun
seriusnya para ulama saat ini dalam upaya pembaharuan terhadap usu>l
al-fiqh, namun tidak mampu keluar dari prinsip-prinsip yang telah
ditetapkan oleh para ulama klasik. Selain itu, hal tersebut juga bentuk
ketidakhormatan terhadap warisan para ulama terdahulu. Dalam hal ini
‘Ali< Jum‘ah tidak merombak konstruksi yang selama ini telah mapan
dibangun oleh para ulama klasik, justru menurut ‘Ali Jum‘ah, sebagai
bentuk penghormatan warisan ulama klasik seharusnya yang perlu
diperbaharui adalah kritik terhadap tura>th dengan cara meninjau
kembali metodologi, sitematika penulisan, kesesuaian materi
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
200 | Epilog
kaitannya dalam isi materi agar relevan dengan zaman kontemporer
saat ini dan memaksimalkan peran usu>l fiqh dalam menyelesaikan
problematika umat saat ini.
Perihal relevansi pemikiran hukum Islam ‘Ali Jum‘ah dengan
wacana kesetaraan gender, dapat disimpulkan bahwa ‘Ali Jum‘ah
memposisikan pada pemikiran semi-tekstual-moderat, karena dilihat
dari beberapa kasus, Ia bersikap tekstualis namun tidak sependapat
dengan pemikiran tradisional-konservatif. Pada kasus lain, Ia bersikap
konsteksual namun tidak sependapat dengan pemikiran sekular
ataupun liberal. Pemikirannya termanifestasi pada kasus isu gender
yang penulis batasi dalam penelitian ini pada lima kasus, antara lain:
berkaitan dengan h}ija>b. Pendapat ‘Ali< Jum‘ah terkait h}ija>b cenderung
tekstualis dengan pegang teguh nas}s} shar‘i >< yang bersifat q}at‘i< dan
mengunggulkan para ulama yang mewajibkan h}ija>b. Pemikiran
tekstualis serupa juga teraplikasi pada pembagian warisan, ‘Ali> Jum‘ah
memandang bahwa pengertian keadilan yang dimaksud Islam yaitu
konsep 2:1 (laki-laki: perempuan), hal tersebut didasari atas perbedaan
tanggung jawab, hak dan tanggung jawab laki-laki dengan perempuan.
Juga ‘Ali< Jum‘ah tidak menerima pendapat mereka yang membolehkan
imam shalat perempuan, karena pendapat ini menurut ‘Ali< Jum‘ah
pendapat yang cacat dan pemikiran yang melenceng.
Berbeda halnya dengan pendapat diatas yang cenderung
tekstualis, pendapat ‘Ali< Jum‘ah juga mempunyai kecenderungan
kontektualis. Dalam cadar, ‘Ali< Jum‘ah lebih banyak berbicara terkait
budaya Mesir yang mana cadar tidak relevan dengan konteks sosial
masyarakat Mesir. Penulis menduga bahwa pendapatnya terkait cadar
dipengaruhi inteferensi sosio-politik Mesir serta intelektualitas ‘Ali<
Jum‘ah sebagai akademisi Al-Azhar. Karena Al-Azhar secara ideologi
pemikiran, keagamaan serta politik kontradiktif dengan ikhwa>n al-
muslimi>n. Pemikiran kontekstualis serupa juga diaplikasikan pada
kepemimpinan perempuan diruang publik, Ali< Jum‘ah berpendapat
kebolehan perempuan menjadi kepala negara dan jabatan tinggi apapun
seperti hakim, menteri, anggota parlemen, dan lain-lain. Selama tidak
mencakup urusan agama - dalam hal ini kepemimpinan dalam shalat-
yang bertentangan dengan syariat. Istilah ini dikenal dengan al-ima>mah al-uz}ma> yang berarti kekuasaannya membawahi seluruh umat
Islam dunia dan salah satu tugasnya adalah menjadi imam shalat. Akan
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
201 | Epilog
tetapi konteks al-ima>mah al-uz}ma> sudah tidak relevan dengan zaman
saat ini. Bahkan pemikiran ‘Ali> Jum‘ah berkaitan khita>n perempuan
lebih terkesan kontekstual-progresif dengan pelarangan ‘Ali> Jum‘ah
terhadap praktek khita>n yang telah mengakar pada budaya masyarakat
Mesir.
202 |Daftar Pustaka
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ahmed, Leila. A Quiet Revolution: The Veil's Resurgence from Middle East to America. New Haven: Yale University Press, 2011
Ali, Ausaf. Modern Muslim Thought. vol. 1. Karachi: Royal Book Company, 2000.
Al-Andalu>si<, Abu> Hayya>n. Al-Bah{r al-Muhi<t}. Beirut: Da>r al-Kutub Ilmiah,1993.
Al-Ashma>wi<, Muhammad Sa’i<d. Us}u>l al-Shari<’ah. Beirut: Da>r al-Iqra>, 1983
Al-At}iyah, Jama>l al-Di<n. Tajdi<d al-Fiqh al-Islami<, Damaskus: Da>r al-Fikr, 2000.
Al-Azhari<, Usa>mah Sayyid. Asa>nid al-Mash}riyi<n,. Kairo: Dār al-Faqīh, 2011.
________, Usa>mah Sayyid Al-Haq al-Mubi<n Fi< al-Radd Ala> Man Tala>ba Bi al-Di@n
(Abu Dhabi: Dar a-Faqih, 2015.
Al-Awa>, Muhammad Sali<m. Al-Isla>mi< Fi< al-T{ari<q al-Tajdi<d. Beirut: Maktab al-Isla>mi<,
1998.
Al-Banna>, Jama>l. Nahw Fiqh Jadid. Kairo: Da>r al-Fikr al-Islami<, 2000.
________. Al-Mar’ah Al-Muslimah Bai<na Tahri<r al-Qur’an wa Taqyi<d al-Fuqaha>. Kairo: Da>r al-Fikr al-Isla>mi<, 1999.
Al-Ba>ni@, Muhammad Na>sir al-Di<n. Hija>b al-Al-Mar’ah al-Muslimah Fi@ al-Kita>b wa al-Sunah Beiut: al-Maktabah al-Islami, 1987.
Al-Dahlawi, Sha>h Waliyullah bin Abd al-Rahm>an @, Hujjah Allah al-Ba>lighah. Kairo:
Maktabah Da>r al-Tura>th, 2005.
Al-Fad{l, Kha>led Abu.> Speaking In God’s Name: Islamic Law, Authority and Women.
Oxford: Oneworld Publication, 2003.
Al-Ha>di, Abu> Sari Muhamad Abd. Wa A<shiru>hunna Bi al-Ma’ru>f. Kairo: Maktabah al-
Turath al-Islami, 1988.
Al-Hashemi, Alkaf, Bushra & Ghaza, Rym. Grand Mufti calls for dialogue about the internet. Abu Dhabi, 21 : The National, February, 2012.
Al-H{ifna>wi@, Muhammad Ibra>hi@m. Dira>sa>t Us}u>liyah Fi@ al-Sunah al-Nabawiyah. Kairo:
Da>r al-Wafa>, 1991.
Al-I<ji>, Adh{d al-Din. Sharah al-Adh{d Ala> Sharh} Mukh{tas}ar Ibn al-Ha>jib. Beirut: Da>r al-
Kutub al-Ilmiyah, 2000
Al-Jabari@, Abd al-Muta’a>li Muhamad. Al-Mar’ah fi al-Tas}awwur al-Islami@ Kairo:
Maktabah Wahbah, 1994.
Al-Ja>biri<, A<bid ‘Ali<. Bunyah al-‘Aq{l wa al-‘Arabi<, Dira>sah Tahliliyah Naqdiyah Li al-Niza>mi al-Ma’rifah al-Thaqafah al-A’rabiyah Beirut: al-Markaz al-Thaqa>fi al-
‘Arabi<, 1993.
_________________ . Takwi<nul ‘Aqli li al-‘Araby. Beirut: Markaz Dirasah al-Wahdah
al-Arabiyyah: 1990.
Al-Jawzi< Ibnu Qayyim <, I‘la>m al-Muwa>qi‘i>n ‘an Rabb al-‘Ala>mi>n. Dammam: Da>r Ibnu
al-Jauziyyah, 2002.
Al-Mala>ki<, Hasan Sulai<ma>n al-Nu>r Alwi< Abba>s. Iba>nat Al-Ahka>m. Beirut: Da>r al-
Thaqa>fah al-Islamiyah, 1909.
Al-Mara>ghi<, Ah}mad Mus}t}afa.> Tafsi<r al- Mara>ghi<. Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.
Al-Ma>wardi<, Abu> Hasan. Al-Ah{ka>m Al-Sult}a>niyyah. Kairo: Da>r al-Hadi<s, 2006.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
203 | Daftar Pustaka
Al-Nabha>ni<, Taq{i<y al-Di<n. Al-Niz}a>m al-Ijtima>’i< Fi< al-Isla>m. Beirut: Da>r al-Ummah,
1990.
Al-Naim, Abdullahi Ahmed. Towards An Islamic Reformation; Civil Liberties, Human Right And International Law. New York: Syracusse University Press, 1990.
Al-Qara>d}a>wi>, Yu>suf. Al-Fatwa> Bai<na al-Ind{iba>t} wa al-Tasayyub Beiru>t: al-Maktab al-
Isla>mi>, 1995
________________. Al-ijtiha>d Fi< al-Shari<ah al-Isla>miyah Ma'a Naza>ra>t Tahli<liyah Fi Ijtiha>d al-Muasir. Kairo: Maktabah Wahbah, 1987.
________________. Fiqh Tajdi<d al-Syahwah al-Isla>miyah. Kairo: Muassasah al-
Risalah, 1996.
________________. Min Hady> al-Isla>m: Fatawa Mua'shirah. Manshurah: Dar al-Wafa
li Thaba'ah wa al-Tauzi, 1994.
________________. Muslimah al-Gha>di. Beirut: Da>r al-Wafa>: 1995.
________________. Khuthāb wa Muhādarāt al-Qarādāwi ‘an al-Mar’at, Alih bahasa
oleh Tiar Anwar Bachtiar dengan judul ‚Qardawi Bicara Soal Wanita‛, Bandung:
Arasy, 2003.
Al-Q{urtu>bi<, Ah}mad bin Abi< Bakar Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān. Beirut: Muassasah
Risa>lah, 2006.
Al-Ra>zi<, Fakhr al-Di<n. al-Tafsi<r al-Kabi<r aw Mafa>tih al-Ghayib. Beirut: Da>r al-Kutub
al-Ilmiyah, 1990.
Al-S}abu>ni<, Ali< Rawa>’>i< al-Baya>n Fi< Tafsi<r A<ya>t al-Ahka>m. Beirut: Da>r al-Fikr, 2000.
Al-S{an’a>ni<, Muhammad Ibn Isma>’i<l. Subul al-Sala>m,ditahqiq oleh Abd al-Azi<z Hawli<. Beirut: Da>r al-Ihya> al-Tura>th al-Arabi<, 1995.
Al-Siba>’i@, Mus}ta}fa.> Al-Mar’ah Bai@na Fiqh wa al-Qa>nu>n. Kairo: Dar al-Salam, 2010.
Al-Shadr, M. Baqir dan Muthahari, Murtadha. Pengantar Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh Perbandingan. Jakarta : Pustaka Hidayah, 1993.
Al-Sha‘ra>wi<, Muhammad Mutawali<. Mukh{tas{ar Tafsir< al-Sha‘ra>wi. < Kairo: Dar al-
Tawfi<qiyah Li al-Tura>th, 2011.
Al-Sahamra>ni@, As’ad. Al-Mar’ah fi@ al-Ta>ri@kh wa al-Shari@ah. Beirut: Dar al-Nafais,
1989.
Al-Suyu>ti@, Jala>l al-Di@n. Al-Ashba>h wa al-Nad}za>ir. Beirut: Da>r al-Kutub al Ilmiyah,
1983.
____________________. Taisi>r al-Ijtiha>d. Makkah: Maktabah Tija>riyah, 1982
Al-Tura>bi<, H{asan.Tajdi<d Usu>l al-Fiqh al-Isla>mi<. Kh}arto>um: Maktabah Da>r al-Fikr,
1980.
_______________. Q}ad{aya al-Tajdid Nahwa Manhaj Ushuli. Beirut: Da>r al-Ha>di: 2000.
Al-Yasu>’i<, Luwi<s Ma’lu>f. Al-Munjid Fi< al-Lughah wa al-A<dab wa al-Ulu>m Beirut: al-
Kathulikiyah, 1986.
Al-Zuhaylī, Wahbah. Al-Qur'an dan Paradigma Peradaban. Yogyakarta: Dinamika,
1996. Diterjemahkan oleh M. Thahir.
__________________. Al-Fiqh al-Islami< wa adillatuhu>. Damaskus: Da>r al-Fikr ala-
Isla>mi<, 1996.
__________________. Al-Tafsi>r wa al-Muni>r fi> al-‘Aqi>dah wa al-Shari<’ah wa al-Manhaj, Beirut: Da>r al-Fikr, 1998.
_________________. Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi>. Damaskus: Da>r al-Fikr, 1986.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
204 | Daftar Pustaka
Ami<n, Qa>sim. Tahrir al-Al-Mar’ah. Kairo: Al-Markaz al-Arabi< Li al-Baht wa Al-Nashr,
1948.
Anderson, J.N.D. Islamic Law In The Modern World, Islamic Law In The Modern World. New York University Press: 1959.
Anwar, Etin. Gender and Self In Islam. Canada\: Routledge, 2006.
Arivia, Gadis. Feminisme: Sebuah Kata Hati. Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2006.
A<shu>r, Muhammad Ibn T{a>hir. Maqa>sid al-Sha>ri<ah al-Islamiyah. Kairo: Da>r al-Salam,
2005.
_________________________. Al-Tahri<r wa Al-Tanwi<r . Kairo: Maktabah Isa> Ba>b al-
Hala>bi<, 1963.
Aziziy, A. Qadri. Reformasi Bermadzhab. Bandung: Penerbit teraju, 2003.
Badron, Margot. Feminism dalam John L. Esposito (ed.), The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World. New York: Oxford University Press, 1995.
Bai<da>wi, Jama>l A. Gender Equity In Islam Basic Principle. Durban: Islamic Dakwah
Movement Publications, 2016.
Balta>ji <, Muhammad. Maka>nah al-Al-Mar’ah Fi< al-Qur’a >n al-Az}i<m. Kairo: Da>r al-
Sala>m, 2000.
Bashin, Kamla & Khan, Nighat Said. Persoalan Pokok Mengenai Feminisme Dan Relevansinya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Bayyah, Abdallah Bin. S}ina>’ah al-Fatwa wa Fiqh al-Aqalliyya>t.Beirut: Da>r al-Minha>j,
2007.
Bayat, Asef. Post-Islamism; The Changing Faces of Political Islam. New York: Oxford
University Press, 2013.
Bungin, H. M. Burhan. Penelitian Kualaitatif . Jakarta: Kencana, 2012.
Bryson, Valerie. Feminist Political Theory: An Introduction. London: Macmillan,
1992.
Cesari, Jocelyne dan Casanova, Jose. Islam, Gender, and Democracy in Comparative Perspective. New York: Oxford University Press, 2017.
Elaine Showalter, (ed.), Speaking of Gender. London: Routledge, 1989.
Engineer, Ashgar Ali. Hak-Hak Perempuan dalam Islam, Terj. Farid Wajidi dan Cici
Farkha Assegaf, Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya, 1994.
_________________. Islam dan Teologi Pembebasan. Diterj. Agung Prihantoro.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
_________________. The Right of Women In Islam. New York: St. Martin’s Press:
1992.
Esposito, John L. (Ed), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern. Bandung: Mizan,
2002.
_______________. Islam and Development: Religion and Sociopolitical Change.
Syracuse: Syracuse University Press, 1980.
_______________. The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World. New
York: Oxford University Press, 1995.
Fakih, Mansour. Analisa Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1999.
Fayumi, Badriyah dkk. Keadilan dan Kesetaraan Jender Perspektif Islam, Jakarta: Tim
pemberdayaan Perempuan Bidang Agama RI, 2001.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
205 | Daftar Pustaka
Gregory M. Matoesian, Reproducing Rape: Domination Through Talk in The Courtroom. Chicago: University of Chicago Press, 1993.
Grewal, Zareena. Islam Is a Foreign Country: American Muslims and the Global Crisis of Authority. New York: University Press, 2010.
Handayani, Trysakti & Sugiarti. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Yogyakarta:
UMM Press, 2002.
Hasan, Ibra>hi<m Hasan, Ta>ri<kh} al-Isla>mi< Wa al-Dini al-Tha>qa>fi< wa al-Ijti<ma’i<. Kairo:
Maktabah al-Nahd{ah al-Mish{riyah, 1979
Hazm, Ibnu. Naqt al-Aru>s. Beirut: al-Muassah al-Arabiyah Li al-Dirasa>t wa al-Nashr,
1987.
Tierney, Helen (Ed.). Women’s Studies Encyclopedia. New York: Green World Press,
tt), Vol. I.
Lips, Hilary M. Sex & Gender; An Introduction. California: My Field Publsihing
Company, 1993.
Iqbal, Muhammad. The Reconstruction of Religion Thought in Islam. New Delhi:
Kitab Bhavan, 1930.
Ilyas, Yunahar. Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
J. Donahue, John and L. Esposito, John. Islam in Transition.
Jhon M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1993.
Julia Cleves Mosse, Gender & Pembangunan. Yogyakarta: Rifka Annisa Women’s
Crisis Centre Pustaka, 1996.
Jum‘ah,‘Ali<. A. Responding from traditions. Kairo: al-Muqatam Publication: 2008.
__________. Al-Baya>n: Lima> Yashgal al-Adha>n. Kairo: Da>r al-Muqatam, 2005.
__________. Al-Kalim al-T{ayib: Fata>wa> As}riyah, Jilid. 1. Kairo: Da>r al-Salam, 2010.
__________. Al-Kalim al-T{ayib: Fata>wa> As}riyah, Jilid. 2. Kairo: Da>r al-Salam, 2010.
__________. A<liya>t al-Ijtiha>d Kairo: Da>r al-Fikr, 2004.
__________. Al-Mar'ah Ba>ina Ins}h>af al-Isla>m wa Shubha>t Al-Akha>r. Kairo: Wiza>ra>t
al-Awqa>f al-Majlis al-A’la> Li al-Shuu>n al-Isla>miyah, 2006.
__________. Fata>wa> Al-Mar’ah Al-Muslimah wa Rud<d ‘Ala< Shubha>t Hawla Q{ad}aya> al-Mar’ah. Kairo: Nahd{ Mas{r, 2010.
__________. Mutashadidu>n; Manh}ajuhum wa Muna>q{ashat Aha{mm Q{ad{a>yahum. Kairo:
Da>r al-Muqatam, 2011.
__________. Ta>ri>kh Ushu>l al-Fiqh. Kairo: Da>r al-Muq{attam Li al-Nashr Wa Al-Tawzi>,
2014.
__________. Us}u>l al-Fiqh wa Ala>qatuhu Bi al-Falsafah. Kairo: Al-Ma'had Al-A<lami Li
al-Fikr al-Isla>mi<, 1996.
__________. Qad}<aya> Marah Fi< Al-Fiqh al-Islami>. Kairo: Nahdet Mis}r, 2008.
__________. Q}{a}diyah Tajdi<d Us}u>l al-Fiqh. Kairo: Dar al-Hida>yah, 1993.
Khairuddin, Wan Mohd Khairul Firdaus Bin Wan. ‛Metode Fatwa ‘Ali> Jum‘ah dalam Kitab Kallim al-Tayyib‛. Disertasi: Fakultas Dirasat Islamiyah Universitas
Malaya, Kuala Lumpur, 2011.
Kementrian Waqaf Repbulik Arab Mesir,‚Al-Niqa>b A<datun Wa Lai@sa Iba>dah @(Kairo:
Dar al-Kutub al-Masriyah, 2008
Linda L. Linsey, Gender Roles a Sociological Perspective. New Jersey: Prentice Hall,
1990.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
206 | Daftar Pustaka
Mak}hlu>f, Husayn Muhammad, Fatāwa> Shar‘iyyah wa Buhūth al-Islāmiyyah. Kairo: al-
Madani, 1971.
Maranci, Gabriele. Studying Islam in Practice. New York: Routledge, 2013.
Mas’u>d, Muh}ammad Kha>lid. Shat{ibi’s Philoshophy of Islamic Law. Kuala Lumpur:
Islamic Book Trust, 1995.
Mernissi, Fatima. Beyond The Veil Male-Female Dinamics In Modern Muslim Society. Indiana: Indiana University Press, 1987
_______________. Women and Islam: a Historical and Theological Enquiry. Diterj
oleh Yaziar Radianti, Wanita dalam Islam, Bandung: Pustaka, 1994.
_______________. Women’s Rebellion & Islamic Memory. Diterj oleh Rahmani Astuti,
Pemberontakan Wanita: Peran Intelektual Kaum Wanita Dalam Sejarah Muslim.
Bandung: Mizan, 1999.
Mernissi, Fatima dan Hasan, Riffat. Equal Before Allah, terj. Tim LSSPA Yogyakarta:
LSSPA, 2000.
Muammar, Arfan dkk, Bias Gender dalam Penafsiran Al-Qur’an; Memahami Pemikiran
Nasr Hamid Abu Zayd. Yogyakarta: Diva Press, 2012.
Mudzhar, Atho. Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Jakarta: INIS, 1993.
Muhsin, Amina Wadud. Wanita dalam Al-Qur’an, Terj. Yaziar Radianti. ___________________. Qur’an and Women. Kuala Lumpur: Fajar Bakti SDN, 1994. Mulia, Siti Musdah. Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender .Yogyakarta: Kibar Press,
2007.
________________. Muslimah Sejati; Menempuh Jalan Islami Meraih Ridha Ilahi. Bandung: Marja, 2011.
Najm, Ibra>hi<m. The Epistemology of Excellence: A Journey into the Life and Thoughts of the Grand Mufti of Egypt. Beirut: InnoVatio Publishing, 2012.
Nawir, Mohammad, Kajian Tentang Hadis-Hadis Relasi Kesetaraan Gender Dalam Fatwa MUI (Tesis UIN Sekolah Pascasarjana, UIN Syarif Hidayatulla, Jakarta,
2016),
N. C., Asthana, & Nirmal, Anjali. Urban Terrorism: Myths and Realities. (Jaipur:
Pointer Publishers 2009
Neufealdt, Victoria (ed). Webster’s New World Dictionary. New York: Webster‟s New
World Clevenland, 1984.
Nyazee, Imran Ahsan Khan. Theories of Islamic Law; The Methodology of Ijtihad
(Islambad: Research Institute and International Institute of Islamic Islamic
Thought, 1945.
Oakley, Ann. Sex, Gender and Society. New York: Yale University Press, 1972.
Permada, Aji, dkk. Islam dan Negosiasi Relasi Gender (Medan: Perdana Publshing).
Power, David S. Studies In Qur'an and Haidth, The Formation of the Islamic Law of Inheritance. Berkeley: University of California Press, 1986.
P. Muniarti, Nunuk. Getar Gender Perempuan dalam Perspektif Sosial, Politik, Ekonomi, Hukum dan HAM. Jakarta: Yayasan Indonesia Tera IKAPI, 2004.
Qut{b, Sayyid. Tafsir< Fi< Zila>l al-Qur’a>n, Kairo: Da>r al-Shuru>q{, 2011.
Qutub, Muhammad. Islam the Missunderstood Religion, Alih bahasa oleh Fungky
Kusnaedi Timur dengan judul ‚Islam Agama Pembebas‛, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, Cet. I, 2001.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
207 | Daftar Pustaka
Rahman, Fazlur> Islam and Modernity Transformation of An Intellectual Tradition.
Chicago: The University of Chichago Press, 1996.
Ramazanoglu, Caroline. Feminism and Contradiction, London: Routledge, 1989.
Ratna Saptari, Briggte Holzner, Perempuan Kerja dan perubahan Soial; Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: Kalyana Mitra, 1997.
Rushd, Abu> al-Wali<d Ibn. Bida>yah al-Mujtahid wa al-Nihayah al-Muq{tashid. Amman:
Bayt al-Afka>r al-Dawliyah, 2007
Rutherford, Bruce K. Egypt after Muba>rak: Liberalism, Islam, and Democracy in the Arab World New Jersey: Princeton University Press, 2008.
Saeed, Abdullah. Interpreting The Qur’an: Towards A Contemporary Approach. New
York: Routledge, 2006.
Schacht, Joseph. An Introduction to Islamic Law. London: Oxford at the Clarendon
Press,1971.
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Buku Pedoman Akademik 2016-2020.
Sevilla, Consuelo G. et.al,. Metode Penelitian. Jakarta: UI Press, 2006. Diterjemahkan
oleh Alimuddin Tuw.
Shah}ru>r, Muhammad. Nahwa Ushu>l Al-Jadi<dah Li Al-Fiqh Al-Isla>mi. Damaskus: Al-
Aha>li Li Al-Tauzi wa al-T{iba>’ah, 2008.
_________________. Al-Kita>b wa al-Qur’a>n Qira>’ah Mua>s{irah.Damaskus: Al-Aha>li< Li
al-Tawzi<’ wa al-T{iba>’ah, 1990.
Shihab, M. Quraish. Jilbab, pakaian Wanita Muslimah. Jakarta: Lentera Hati, 2005.
_______________. Membumikan al Qur’an. Jakarta : Mizan,1996.
_______________.Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta:
Lentera Hati, 2008
_______________. Perempuan. Jakarta: Lentera Hati, 2005.
Shaltu>t, Mahmu>d. al-Isla>m Aqi>datun wa Shari<atun. Beirut: Da>r al-Nafa>i<s, 1989.
Syah, Muhammad Ismail, et al.,. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Bumi Aksara 1992.
Sha‘ra>wi, Mutawali<. Al-Fiqh Al-Muslimah Al-Mar’ah. Kairo: Maktabah al-Tawfikia).
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2011.
Subhan, Zaitunah. Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan. Jakarta : el-Kahfi,
2008.
_______________. Rekonstruksi Pemahaman Jender Dalam Islam: Agenda Sosio-Kultural dan Politik Perempuan. Jakarta: El-\Kahfi, 2002.
_______________. Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir al-Qur’a>n.
Yogyakarta: LKIS, 1999.
Sudarto. Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
Sugiyono. Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta,
2012.
Sugihastuti, Teori dan Apresisasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka belajar, 2002.
Sulai<ma>n, Abd al-Hami<d Abu.> Towards An Islamic Theory of International Relation: Directions For Methodology and Thought. Virginia: The International of Islamic
Thought, 1993.
Suru>r, Jama>l Abu> dkk, Khita>n al-Ina>th. Kairo: Jam’iyat al-Azhar al-Markazi al-Dauli
al-Islami Li al-Dirasat wa al-Buhuth al-Sakaniyah, 2013
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
208 | Daftar Pustaka
The Most Influential Muslim-2009. Jordan : The Royal Islamic Strategic Studies
Centre, cet. 1 & 2, 2009.
The Most Influential Muslim-2010. Jordan : The Royal Islamic Strategic Studies
Centre, Vol. 1 & 2, 2010. \
Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an, Jakarta:
Paramadina, 1999.
_______________. Bias Jender dalam Penafsiran Kitab Suci. Jakarta: Fikahati Anesha,
2000.
_______________. Paradigma Baru Teologi Perempuan. Jakarta: Fikahati Aneska,
2000.
Wa>fi@, Ali< Abd al-Wa>hid. Al-Musa>wa> Fi< al-Isla>m. Kairo: Dar al-Ma’arif, 1983.
Wiktorowicz, Quintan ‚Gerakan Sosial Islam: Teori, Pendekatan dan Studi Kasus‛,
terj.Tim Penerjemah Paramadina. Yogyakarta: Gading Publishing, 2012.
Yanggo, Huzaemah Tahido. Fikih Perempuan Kontemporer. Bogor: Ghalia Indonesia,
2010.
Yu>su>f, Husa>in Muhammad. Ahda>f al-Usrah al-Isla>m. Kairo: Da>r al-I’tis}am, 1977.
Zahra>, Muhammad Abu.> Us}u>l al-Fiqh. Kairo: Da>r al-Fikr al-Arabi< 1958.
Zaqzu>q, Mahmu>d Hamdi.< H{aq}{a>iq Isla>miyah Fi< Muwa>jaha>t Hamala>t al-Tahqi<q. Kairo:
Wiza>ra>t al-Awqa>f al-Majlis al-A’la> Li al-Shuu>n al-Isla>miyah, 2005.
Zayd, Nasr Hamid Abu. Dawa>ir al-Kha>wf: Qira>’ah Fi< Khita>b al-Mar’ah Beirut: al-
Markaz al-Thaqa>fi al-Araby, 2000.
Jurnal
Aini, Noryamin. ‚Rape and The Problems of Criminological Theories‛ Jurnal Hukum Islam, No. 6 Vol. II Maret, 1995
Alrawi, Karim, "Goodbye to the Enlightenment," dalam Index on Censorship 23, nos. 1
Vol. 2 (1994).
Barraclough, Steven. ‚Al-Azhar: Between the Government and the Islamists‛ dalam
Middle East Journal, Vol. 52, No. 2 (1998). https://www.jstor.org/stable/4329188
Brown, Jonathan. ‚Salafis and Salaf In Egypt‛, dalam Middle East The Carniege Papers, (Dec, 2011). https://www.jstor.org/stable/resrep13019
Brown, Nathan J. ‚The Egyptian Muslim Brotherhood: Islamist Participation in a
Closing Political Environment‛, dalam The Carnegie Middle East Center (9
March 2010). https://www.jstor.org/stable/resrep12813
Fadlan Al-Hanif "Islam, Feminisme dan Konsep Kesetaraan Gender Dalam Al-Qur'an‛
dalam Jurnal Karsa, Vol. 19. No. 2, (2011).
Hallaq, Wael B. Was al-Shafi’I the Master Architect of Islamic Jurisprudence.
International Journal of Middle East Studies, Vol. 25, No. 4. (November, 1993).
Hallaq, Wael B. Was the gate of ijtihad closed?. International Journal of Middle East
Studies, vol. 16, no. 1, Maret, 1984.
Hermanto, Agus. ‚Khitan Perempuan Antara Tradisi dan Syari’ah‛ dalam jurnal Kalam: Studi Agama dan Pemikiran Islam, Vol. 10, No. 1, (Juni, 2016).
Khamdan Muh., ‚Rethinking Deradikalisasi: Konstruksi Bina Damai Penanganan
Terorisme‛ dalam jurnal Addin, Vol. 9, No. 1, Februari 2015.
Mark A. Hall dan Ronald F. Wright. ‚Systematic Content Analysis of Judicial
Opinions‛. California Law Review, vol. 96, no. I (Feb. 2008).
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
209 | Daftar Pustaka
Mashour, Amira. ‚Islamic Law and Gender Equality: Could There Be a Common Ground?‛. Human Rights Quarterly, Vol. 27, No. 2. May, 2005.
Mesraini ‚Diskursus Gender Dalam Hukum Islam‛ dalam Jurnal Mizan Vol. 2 No. 1
2018.
Muhammadun, Muzdalifah. Fiqh Dan Permasalahan Perempuan Kontemprer. Jurnal Al-
Maiyyah, Vol. 8 No. 1, Januari-Juni 2015.
Muhammad, Husein. Fiqh Perempuan; Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender. Yogyakarta: LKis, 2001.
Muzani, Ahmad. ‚Wanita Menjadi Imam Shalat; Diskursus dalam Perspekif Kesetaraan
Gender‛ dalam jurnal Sawwa, Vol. 10, No. 1, Oktober 2014
Oetari, Cut Riani. ‚Peran World Health Organization (WHO) Mengatasi Female
Genital Mutilation Di Mesir Tahun 2008-2012‛, dalam jurnal Jom Fisip, Vol. 3,
No. 1 (Feb, 2016).
Rabi@, Ibra>hi@m Abu.> ‚Islam Liberalism In The Middle East Viable‛ dalam Hamdard Islamicus, Vol XII, No 4, 1989.
Rofiq, Muhammad. Otoritas, Keberlanjutan Dan Perubahan Fiqh. Novelity; Jurnal
Hukum, Vol.7, No.1 Februari 2016.
Tolson, Jay. Finding the Voices of Moderate Islam. US News & World Report.
Washington D.C.: 2 April, 2008.
Tahir, Masnun. Perempuan dalam Bingkai Hak Asasi Manusia. Jurnal Musawa, Vol.
15, No. 1 Januari 2016.
Thorndike, Lynn. ‚Roger Bacon and Experimental Method in the Middle Ages‛,
dalam The Philosophical Review, Vol. 23, No. 3 (May, 1914).
https://www.jstor.org/stable/2178622
Zakariyah,Nur Mukhlis "Kegelisahan Intelektual Seorang Peminis: Telaah Pemikiran
Fatima Mernissi Tentang Hermeneutika Hadith‛ dalam jurnal KARSA, Vol. 19
No. 2 (2011)
Zamzami, Mukhammad ‚Rekonstruksi Nalar Fikih dalam Perspektif Studi Islam‛
dalam jurnal Al-Q{a>nu>n, Vol. 11, No.2, (Desember, 2008).
Zubeir, Rusdi. ‚Gender Dalam Perspektif Islam‛ dalam Jurnal An-Nisa'a, Vol. 7, No. 2,
Desember 2012.
Website
www.draligomaa.com
Al-Banna>, Jama>l. Jawa>z Ima>mah al-Mar’ah al-Rija>l. https://www.Al-
Arabiya.net/articles/2005/08/19/16015.html
Al-T{ant{a>wi<, Sayyid. Tawlia> al-Mar'ah Ria>sah al-Dawlah La> Yukh{lif al-Sharia>h. Dalam
Okaz Arab Saudi, edisi 28 Muharram 1429 H.
https://www.okaz.com.sa/article/161980
Issandr El Amrani, ‚Mufti not against women presidents after all?‛ artikel diakses pada
1 Agustus 2019
https://web.archive.org/web/20070510023418/http://arabist.net/archives/2007/02
/04/mufti-not-against-women-presidents-after-all/
Jum‘ah, ‘Ali.< "In Egypt's Democracy, Room for Islam" dalam The New York Time,
pada 1 April 2017.
https://www.nytimes.com/2011/04/02/opinion/02gomaa.html?_r=1
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
210 | Daftar Pustaka
___________ ‚Fatwa> ‘Ali< Jum‘ah bi khus}us tad{ha>hara>ti yawm jum‘ah‛
https://www.youtube.com/watch?v=7leQwsEB0&list=FLHfyNVWjX2twX7IcYPOUR
ZA&index=32
_____________ ‚The Islamic view on female circumcision‛ dalam African Journal of Urology. Vol. 19, No. 3, (September, 2011).
http://www.dar-lifta.gov.eg/Foreign/ViewArticle.aspx?ID=40&CategoryID=5
___________ Tafsi<r al-Qur’a>n al-Kari<m; Su>rah Al-Nisa> 11, diakses di
https://www.youtube.com/watch?v=S15eWrRs9z8&list=PLxQnfwkf6ksirv4PiZ-
Y8WTZocyK05Kvr&index=27
___________."Ali Gomaa, former mufti of Egypt, cancels London visit for fear of
prosecution". Dalam Middle East Monitor 5 Februari 2014.
https://www.middleeastmonitor.com/20140205-sheikh-ali-gomaa-former-mufti-of-
egypt-cancels-london-visit-for-fear-of-prosecution/
____________‚Mufti Diya>r al-Mis}riyah al-Shaikh ‘Ali> Jum‘ah: Ikhtilaf al-Ulama>'
Yuji>z Li al-Duktu>rah Aminah Wadu>d An Taum Li al-RIja>l‛. Dalam media online
al-Arabiya pada 16 Maret 2005
https://www.alarabiya.net/articles/2005/03/16/11294.html
Mu’jam Al-Ma’a>ni< dan Mu’jam Al-Wasi<t{h. https://www.almaany.com/ar/dict/ar-ar / /سب=c?/الوالية
Schenker, David. ‚Qara>d{awi< and the Struggle for Sunni Islam‛ dalam The Washington Institute pada 16 oktober 2013. Diakses dari
https://www.washingtoninstitute.org/policy-analysis/view/qaradawi-and-the-
struggle-for-sunni-Islam
Terorism Has Not Religion‛ diakses dari http://theamericanmuslim.org pada 26 Juni
2019.
The 500-Most Influential Muslim 2009-2018. (Amman: The Royal Islamic Strategic
Studies Centre, 2009-2018). http://www.rissc.jo
Ula>ma Al-Azhar Yastankiruna Ima>mah Ami<na Wadu>d Li- al-Shala>t, 20 Maret 2005
https://www.lahaonline.com/articles/view/8055.htm
United Nations Population Fund Egypt. (n.d.). National Legislation, Decrees and Statements Banning FGM/C. Diakses di
http://egypt.unfpa.org/english/fgmStaticpages/3f54a0c6-f088-4bec-
86715e9421d2adee/National_Legislations_D
ecrees_and_Statements_banning_fgm.aspx
Wedeman, Ben. "Coup topples Egypt's Morsy; deposed president under house arrest'"
dalam CNN, 4 July 2013. https://edition.cnn.com/2013/07/03/world/meast/egypt-
protests
World Health Organization tentang Female Genital Mutilation di
https://www.who.int/en/news-room/fact-sheets/detail/female-genital-mutilation
211 |Glosarium
GLOSARIUM
Fiqh Secara bahasa, fiqh berarti pemahaman. Sedangkan menurut
istilah, fiqh diartikan sebagai ilmu yang menerangkan tentang hukum-
hukum syara' yang berkenaan dengan amal perbuatan manusia yang
diperoleh/digali dari dalil-dalil tafs}i>l (jelas).
H{ad Had asal artinya sesuatu yang membatasi di antara dua
benda. Bentuk jamaknya adalah hudu>d. Secara etimologi, berarti daya
usaha, kekuatan, dan kesulitan. Diartikan pula sebagai pengerahan
daya upaya untuk mencapai sesuatu. Sedangkan secara terminologi,
ijtihad berarti mengerahkan segala kemampuan dan daya upaya dalam
rangka memperoleh hukum-hukum shar’i<.
Istinba>t} Secara etimologi, kata istinba>t} bermakna air yang pertama
kali memancar pada sumur yang digali. Bermakna pula mengeluarkan.
Apabila dikaitkan dengan hukum, istinba>t} berarti sebuah upaya
menarik hukum dari al-Qur’an dan Sunnah dengan jalan ijtihad.
Adapun secara terminologi, al-Jurjani mendefinisikan istinba>t} dengan
pengertian mengeluarkan makna-makna (hukum-hukum) dari teks-teks
(baik al-Qur’an dan Sunnah) dengan ketajaman nalar dan kemampuan
yang maksimal.
Maqa>s}id al-Shari>‘ah Maqa>s}id al-Shari>‘ah merupakan gabungan dari dua kata
maqa>s}id dan al-shari>‘ah. Secara bahasa maqa>s}id merupakan bentuk
jamak dari maqs}u>d yang berarti tujuan-tujuan, dan al-Shari>‘ah berarti
jalan (dalam arti luas ajaran Islam). Tujuan syariah pada intinya adalah
kemaslahatan yang bersifat langgeng, universal, dan umum. Dalam
konteks hukum Islam, pengertian maqa>s}id al-shari>‘ah merujuk pada
nilai-nilai filosofis yang ingin dicapai oleh syariat atas pemberlakuan
ketentuan-ketentuan. Karena sejatinya setiap tujuan (maqa>s}id)
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
212 | Glosarium
merupakan dasar dan prinsip utama dalam setiap sendi kehidupan
manusia. Pada umumnya, maqa>s}id al-shari>ah dirumuskan para ulama
ke dalam perlindungan lima prinsip universal yang popular disebut al-kulliyyah al-khamsah, yaitu h}ifz} al-di>n (melindungi agama, dan
kebebasan berkeyakinan), h}ifz} al-nafs (melindungi kehidupan/jiwa),
h}ifz} al-nasl (melindungi keturunan, generasi dan berkembangnya
komunitas), h}ifz} al-ma>l (melindungi kepemilikan, dan harta benda),
dan h}ifz} al-‘aql (melindungi eksistensi akal, kebebasan berpikir dan
berpendapat). Kelima prinsip universal ini adalah al-umu>r al-d}aru>riyyah (kebutuhan mendasar) bagi manusia.
Mukallaf Mukallaf adalah orang yang diberi beban takli>f/ ketentuan-
ketentuan syarak / hukum agama.
Usu>l al-Fiqh Secara bahasa, usu>l al-fiqh merupakan gabungan dari dua
kata yaitu ushul dan fikih. Usu>l berarti asal; landasan tempat
membangun sesuatu; dalil; kaidah umum. Sedangkan fiqh berarti
pemahaman; ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum syara'
yang berkenaan dengan amal perbuatan manusia yang diperoleh dari
dalil-dali tafsil (jelas). Adapun pengertian usu>l al-fiqh secara istilah
adalah pengetahuan tentang dalil-dalil fiqh secara global, cara meng-
istinba>t} (menarik) hukum dari dalil-dalil itu, dan tentang hal ihwal
pelaku istinba>t}.
Hukum (shara‘) Menurut terminologi usu>l al-fiqh, hukum diartikan sebagai
khitab (kalam) Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukallaf,
baik berupa iqtida>’ (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau
anjuran untuk meninggalkan), takhyi>r (kebolehan bagi orang mukallaf
untuk memilih antara melakukan dan tidak melakukan/ pilihan), atau
wad}‘ (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau
penghalang).
Dalil Aqli>
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
213 | Glosarium
Bukti rasional.Unsur dalam analisis hukum yang digalı dari
bukti atau petunjuk rasional.
Dalil Naq{li> Bukti atau isyarat tekstual. Bukti yang digali dari sebuah
sumber tekstual. Disebut juga dalil Nas}s}i.
Dar’u al-mafsadah awla> min jalb al-maşlahah Menghindari kerusakan lebih utama dari mengambil manfaat.
D{aru>riya>t (tunggal:d}aru>rah) Kepentingan manusia yang paling mendasar yang harus
dijadikan acuan dalam mengambil kesimpulan hukum.
Al-d{aru>riyat al-kh}amsah Lima nilai dasar yang dijaga oleh agama yaitu agama,
kehidupan, akal, kehormatan dan harta.
As}l (Jamak: uşu>l) Sumber, asal atau dasar. Dalam konteks hukum Islam berarti
prinsip dasar teologis uang tidak boleh diperselisihkan
Furu>‘ (tunggal far’) Cabang, sub bagian yang dibedakan dengan asl. Dalam
konteks hukum Islam berarti cabang atau sub bagian yang boleh
diperselisihkan.
Ma‘Iu>ma>t Informasi
Majma' Buhu>th al-Isla>miyah Lembaga Riset Islam al-Azhar-Kairo
Maşa>lih al-mursalah Disebut juga istis}lah yaitu menetapkan hukum dalam hal
yang tidak disebutkan dalam nass}} dengan pertimbangan untuk
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
214 | Glosarium
kepentingan hidup manusia yang bersendikan asas menarik manfaat
dan menghindari mudarat.
Maşlahah Kepentingan publik. Asumsi hukum yang mempertimbangkan
kepentingan publik dan kesejahteraan dalam menerapkan ketentuan
hukum.
Matn Substansi. Dalam konteks hukum Islam berarti analisis
kandungan substansi sebuah hadis. Salah satu segi yang diteliti dalam
membedah otentitas sebuah hadis.
ljtiha>d intiqa>’i> Dalam arti upaya bersungguh-sunguh untuk memilih dan
mentarjihkan salah satu pendapat ulama yang ditemukan.
Ijtiha>d Insha>’i>
Yaitu menetapkan hukum pada masalah baru yang tidak
sama dengan ketetapan hukum yang ditemukan dalam literatur yang
ada baik masalahnya baru maupun lama.
Insida>d ba>b al-ijtiha>d Tertutupnya pintu ljtiha>d
Jam'iyah al-Ikhwa>n al-Muslimi<n Organisasi dakwah dan kemasyarakatan yang didirikan oleh
Hasan al-Banna> di Mesir.
Khila>fah al-Rashi<dah Sebutan untuk empat orang sahabat yang menggantikan nabi
setelah wafat. Mereka adalah Abu> bakar, Umar, Uthma>n dan Ali< bin
Abi< Ta>lib.
H}ajiya>t Kebutuhan yang ada di bawah peringkat d{aru>riya>t.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
215 | Glosarium
H{ija>b Secara literal hajaba bermakna menyembunyikan/ menutup.
Kerudung yang digunakan untuk menutupi seluruh tubuh perempuan.
Ijma>’ Secara literal berarti konsensus, persetujuan. Dalam konteks
hukum Islam berati konsensus pendapat hukum. Masih diperdebatkan
tentang kekuatan hukumnya, syarat keberlakuan dan penggugurannya
apakah dibatasi waktu dan tempat dan sebagainya.
Ijma> ahl al-Madi<nah Kesepakatan penduduk Madinah. Sebutan mazhab Ma>liki
yang mengakui arti penting adat atau tradisi lokal yang terlembaga.
Mukallaf Dalam konteks hukum Islam berati orang yang diberi beban
hukum atau kewajiban yang ditetapkan oleh Allah atas orang yang
berakal dan sehat dan telah mencapai usia puberitas.
Mujaddid Modernis
Naskh Ajaran bahwa Tuhan telah menghapus atau mengganti teks
atau kandungan hukum ayat-ayat tertentu dalam al-Qur'an. Masih
diperdebatkan kemungkinan terjadinya naskh.
Naz}ariyyat al-H{udu>d Suatu teori untuk memahami ayat-ayat dan mengambil
kesimpulan hukum. Teori ini dinyatakan oleh Muhammad Shahru>r.
Nus}u>s (tunggal: Nas{s{) Teks-teks dalam al-Qur’an atau Hadis
Qau>l jadi<d Fatwa dan pendapat hukum Imam Sha>fi'i< yang Ia keluarkan
setelah berdomisili di Mesir.
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
216 | Glosarium
Sa>lih fi< kulli zaman wa maka>n Sesuai dan dapat beradaptasi di segala zaman dan tempat.
Salafiah Tradisionalis
Shari<’ah Secara literal berarti jalan, sumber air atau jejak langkah.
Dalam konteks hukum dan teologi Islam berarti jalan yang diberikan
Tuhan kepada manusia, jalan untuk menemukan kehendak Tuhan.
Pada umumnya istilah ini disalah pahami sebagai hukum Islam.Syariah
mengandung makna yang lebih luas dari pada keseluruhan kategorisasi
perbuatan manusia
Shi<’ah Secara literal berarti partai atau golongan. Secara historis
adalah sekolompok muslimin yang mendukung kekhalifaan Ali< setelah
nabi wafat sunnah Secara literal berarti jalan atau prilaku nabi. Dalam
konteks hukum Islam berarti contoh dari nabi yang dalam bentuk
pernyataan, perbuatan, atu persetujuan seperti yang dituturkan dalam
literatur hadis.
Shura> Prinsip atau nilai yaitu dialog dalam menyelesaikan suatu
masalah
Tajdi<d Pembaruan, pemurnian.
Tarji<h Cenderung, lebih suka, lebih kuat. Dalam konteks hukum
Islamm berarti memilih atau memberi bobot lebih terhadap bukti-bukti
atau pendapat tertentu berdasarkan prinsip-prinsip yang sistematis
terutama ketika bukti-bukti atau pendapat tersebut saling
bertentangan.
۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞
217 | Glosarium
Tasa>muh Sikap toleransi.
Qa>nu>n Dapat juga berarti hukum, undang-undang, dan peraturan.
Ada beberapa istilah yang sinonim dengan qanun yaitu dustu>r (konstitusi), rasm (jamak: rusu>m), hukm (jamak: ahka>m). Dalam
penggunaannya, Mahmasani menyebut bahwa qa>nu>n mempunyai tiga
makna, yaitu: pertama, kumpulan peraturan hukum atau undang-
undang, kedua, istilah yang merupakan padanan dari kata hukum,
ketiga, Undang-undang.
Taq{li<d Secara literal berarti peniruan. Dalam konteks hukum Islam
berarti mengikuti pendapat ulama
Talfi<q Memilih dan menggabungkan berbagai mazhab hukum
mencapai hasil yang tepat guna.
Tura>th
Tradisi. Produk materil dan pemikiran yang diwariskan oleh.
para pendahulu yang mana produk tersebut memainkan peran vital
dalam pembentukan kepribadian baik dalam rasional maupun prilaku.
Teori Hudu>d Teori yang dicetuskan Shahrur yang menyatakan bahwa Allah
hanya memberikan batasan saja dalam persoalan hukum dan manusia
bebas menciptakan hukum sesuai dengan nalarnya dengan tanpa
melanggar batas yang telah ditentukan oleh Allah
Uli> al-Amri> Pemimpin, pemerintah.
‘Urf
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
218 | Glosarium
Tradisi suatu tempat. Nilai-nilai yang disepakati dan berlaku
dalam suatu masyarakatyang dijadikan sebagai sumer pengambilan
hukum.
219 |I n d e k s
INDEKS
A
‘A<bid ‘Ali> Al-Ja>biri>, 1
Aan Oakley, 30
‘Abbas Mahmu>d, 80
‘Abd al-Fatta>h al-Si>si>, 80
‘Abd Alla>h bin Siddi<q al-Ghuma>ri, 74,
88
Abd Waha>b al-Kh}alla>f, 2
Abdullah Saeed, 11
Abdullahi Ahmed Al-Naim, 95
Abu> H{ani<fah, 70, 124, 160, 196
Adagium, 1
Ah}mad bin H}anbal, 124, 131, 158,
196
Al-Azhar, 21, 74, 78, 80, 85, 87, 88,
87, 91, 128, 139, 197
Ali Ashgar Engineer, 42, 50, 114
‘Ali< Jum‘ah, 2, 4, 10, 12, 13, 14, 15,
17, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27,
72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80,
81, 87, 88, 87, 89, 90, 91, 92, 93,
94, 95, 96, 97, 96, 97, 99, 100, 101,
102, 103, 104, 105, 106, 109, 111,
112, 115, 116, 118, 119, 121, 122,
122, 124, 122, 124, 125, 126, 127,
128, 129, 130, 131, 132, 134, 135,
136, 138, 139, 140, 142, 143, 144,
145, 147, 148, 150, 151, 152, 156,
157, 159, 160, 166, 167, 168, 170,
171, 172, 180, 181, 188, 189, 190,
191, 192, 193, 194, 193, 194, 195,
196, 197, 198, 201, 207, 208
Al-Muwa>faqa>t, 104, 127
Al-Qara>d}a>wi>, 5, 8, 10, 19, 20, 21, 106,
113, 133
al-Sh>afi>‘i>, 5
al-Ta’a>rud{, 108
al-T{ahta>wi, 41
Al-Zuhayli>, 2, 72, 124, 145, 153, 193
8
Amina Wadud, 42, 62, 65, 113, 114,
162, 163, 185, 186, 199, 201
Amir Syarifudin, 3
Andree Feillard, 41
Ann Oakley, 30
Anwar Sada>t, 85, 86
Atho Mudzhar, 5, 5
Ausaf Ali, 12
B
Baghdad, 4
Bani< Asa}d, 46
Bani< Tami<m, 46
Baya>ni<, 207
C
Charlesworth, 9, 10
Chinkin, 9, 10
Constantine, 45
Courtney W. Howland, 10
D
D}aru>rat, 125
Da>r al-harb, 77
Da>r al-kufr, 77
Dār al-Ifta>’ al-Miṣriyah, 22
Demosthenes, 45
Dinasti Fatimiyah, 115
E
Egyptian coup d'état, 89
Egyptian Feminist Union, 43
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
220 | I n d e k s
Ekstremisme, 9, 87, 92
F
Fatima Mernissi, 41, 42, 63, 71, 113,
114, 134
Fazlur Rahman, 5, 98
Female Genital Mutilation, 34, 35,
143, 146
Feminis, 11, 17, 25, 29, 31, 35, 36,
39, 42, 43, 60, 70, 113, 114, 119,
132, 160, 162, 166, 199, 201
Feminisme, 29, 32, 36, 37, 38, 39, 39,
43, 134, 160, 165, 166, 201
Fiqh, 2, 3, 4, 5, 8, 14, 17, 18, 19, 20,
70, 74, 76, 78, 93, 94, 95, 96, 97,
98, 99, 100, 101, 102, 103, 104,
105, 106, 108, 110, 128, 145, 162,
207
Fundamentalisme, 10
Furu>’, 102, 172
Furu>’iyah, 102
Furugh Farrukhzad, 43
G
Gender, 9, 14, 17, 25, 27, 28, 29, 30,
31, 32, 33, 35, 36, 39, 39, 42, 43,
48, 50, 51, 52, 59, 60, 61, 62, 71,
111, 114, 118, 119, 132, 162, 164,
165, 181, 188, 189, 200
Ghadah Samman, 43
Grand Mufti of Egypt, 13, 73, 75, 76,
77, 91
H
H{asan al-Banna, 21
H{asan Tura>bi, 99
Hanan Al-Shai<kh, 43
Hasanai@n Muhammad Makhlu>f, 141
Howland, 10
Huda Sha’ra>wi, 43
H{usni< Muba>rak, 86
I
Ibn Ashu>r, 98, 127
Ibn K{haldu>n, 72
Ibn Jari<r at-T{abari, 160
Ibn Qayyim al-Jauzi, 105
Ibra>hi<m Najm, 13, 73, 74, 75, 76, 77,
91
Ifta'>, 22, 78, 103, 108, 122, 159, 197
Ijma>’, 107, 135
Ijtiha>d, 4, 5, 5, 8, 17, 18, 23,24, 27,
71, 82, 87, 100, 102, 106, 121, 142,
181, 207
Ikhwa>n al-Muslimi<n, 21, 83, 84, 85,
87
‘Illat, 107, 131, 135
Imam Ma>lik, 70
Inji< Aflatun, 42
Islamic law, 3
Islamisme, 85, 86, 133, 134
Istidla>l, 106, 108
Istis}la>hi, 207
J
J.N.D Anderson, 2
Ja>d al-Haq{ Ali Ja>d al-Haq, 75, 88
Jama>l Abd al-Nas}r, 85
Jama>l al-Banna, 95, 114
Jama>l al-Di<n al-At}iyah, 99, 100, 102,
103, 207
John Esposito, 13, 83, 84
K
Kamla Bhasin, 37
Kha>lid Abu> al-Fad}l, 1
Khalaf, 101, 124, 196
Khita>b, 2
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
221 | I n d e k s
Khulafa> al-Ra>shidi<n, 4
Konservatif, 11, 77, 81, 119
L
Lati<fah al-Zayya>t, 42
Liberal, 36, 36, 81
Linda L. Linsey, 30
London, 2, 31, 36, 89
Lut}fi< al-Sayyid, 81
M
Ma>lik, 74, 196
Mahmu>d Hamdi< Zaqzu>q, 113, 128
Mahmu>d Shaltu>t, 3, 10, 113, 142
Majma’ al-Buhu>th al-Isla>miyah, 79
manhaj, 20, 87
Mansour Fakih, 31, 32, 38, 61
Maqa>s}id shari>‘ <ah, 50
Marxis-Sosialis, 36, 36
Mesir, 13, 15, 17, 21, 22, 39, 40, 41,
42, 43, 75, 78, 79, 80, 81, 82, 83,
84, 85, 86, 87, 89, 90, 91, 92, 112,
115, 119, 122, 125, 127, 128, 132,
133, 134, 136, 139, 143, 144, 146,
147, 148, 150, 198
Misognis, 10
Muḥamamd Abu> al-Nu>r Zuhai<r, 74, 88
Muhammad A<bid al-Ja>biri, 1
Muhammad Abduh, 5, 81, 82, 112,
164
Muhammad Abu> Zahra, 2, 94
Muhammad Alwi< al-Ma>liki, 75
Muhammad Mutawali< Sha’ra>wi, 170
Muhammad Sa’i<d al-Ashma>wi, 98
Muhammad Sa>lim al-'Awa, 84
Muhammad Shahru>r, 18, 186
Must{afa> al-Siba>’I, 52
N
Nahi, 157, 159
Nancy F. Cott, 36
Nas}r Ha>mid Abu> Zai>d, 65
nas}s} shar’i, 8, 20, 93
Nasarudin Umar, 33, 43
Nasrani, 47
Nathan J. Brown, 84
Nawa>l Sa’da>wi, 42
Naz}ariya>t al-Hudu>d, 18
Nighat Said Khan, 30, 37
P
patriarki, 10, 16, 17, 29, 36, 36, 61, 70
Plato, 45
Pra-Arab, 48
Progresif, 12, 120, 139
Q
Qa>sim A<mi>n, 41
Qad{a>iyah, 155
Qat‘i><, 93, 107, 135
Qau>l al-Sa}ha>bi, 108
Qiya>s, 76, 106, 107, 110, 166
Quraish Shihab, 4, 19, 40, 45, 135,
136, 159, 162, 163
R
Radikal, 36, 36
Raymond Beker, 83
Rifa>’ah Ra>fi Al-T{ahta>wi, 41
Riffat Hassan, 42
Risa>lah, 5, 96, 124
Romawi, 45, 111, 140
۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞
222 | I n d e k s
S
salaf, 96, 101, 124, 196
Sayyid al-T{anta>wi, 152
Sayyid Q{utb, 113
Sayyid Sa>biq, 142
Sexist, 31
Socrates, 44
Sufi< Abu> Ta>lib, 86
Sunni, 5, 90
T
T{aha> Ja>bir, 99
T{ahar al-Hadd<ad, 41
Ta>ri<kh Tashri<, 4
Ta>riq al-Bis}ri, 84
Tajdi<d, 8, 76, 96, 99, 100, 102
Takli<f, 10
Talaqqi, 78, 92
Ta‘li>li>, 207
Tanfi<dziyah, 155
Tarji<h, 106, 108, 110, 135
Tashri<’iyah, 155
Tekstual, 17, 20, 28, 58, 77, 119, 189,
190
Tura>th, 21, 208
U
Universal, 1, 4, 65, 118
‘Urf, 7, 57, 136, 108, 136
Usa>mah Sayyid Al-Azhari, 19, 84
Us{u>l fiqh, 4, 14, 25, 108, 128
Us{uli><, 103
W
Wael B. Hallaq, 5
Wah}bah al-Zuhai>li, 2
Women’s Federation di Turki, 43
Y
Yahudi, 47, 147
Yahya> Uwa>is, 75
Z
Z{hanni, 93, 107
Zaitunah Subhan, 52, 62, 162, 187
Zandukht Shirazi, 43
223 |Biografi Penulis
BIOGRAFI PENULIS
Ahmad Musabiq Habibie lahir di Pekalongan, 14
Oktober 1994. Riwayat pendidikan formal dimulai dari
MIN Karang Asih, Bekasi (2000-2006), kemudian
dilanjutkan ke jenjang pendidikan SLTP di sebuah pondok
pesantren modern di Bekasi, yaitu Ponpes Daruttakwien
(2006-2009). Selepas lulus dari ponpes Daruttakwien,
penulis melanjutkan pendidikan di tanah Jawa Tengah,
yaitu Solo tepatnya di MAPK MAN 1 Surakarta (2009-
2012). Ditahun yang sama setelah lulus dari MAPK,
penulis berkesempatan mengikuti seleksi masuk perguruan
tinggi Timur Tengah dan berhasil lulus dengan tujuan
Universitas al-Azhar, Cairo. Di akhir 2012, penulis berangkat ke Cairo untuk
melanjutkan pendidikan S1 di Universitas al-Azhar. Dan tercatat sejak tahun 2012
tersebut penulis resmi menjadi mahasiswa jurusan Syariah Islamiyah Fakultas
Syariah & Hukum, Universitas al-Azhar, Cairo-Mesir hingga selesai pada tahun
2016. Sekembalinya ke tanah air, penulis kemudian melanjutkan pendidikan pada
jenjang strata dua pada Program Studi Pengkajian Islam Sekolah Pascasarjana (SPs)
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Konsentrasi Syariah
(2017-sekarang).
Adapun pengalaman organisasi penulis sejak dari pondok pesantren hingga
sekarang: Bagian Pembinaan Bahasa MAPK MAN 1 Surakarta (2010-2011), Ketua
Billingual Bulletin Languadrenaline 2010-2011, Ketua Language Fair 2011, Bagian
Pendanaan MAPK Fair tingkat Jawa Tengah (2011), Manajer Personalia Griya Jawa
Tengah di Kairo (2013-2015), Sekretaris Redaksi Buletin Prestasi KSW Mesir
(2011-2012), Anggota kelompok kajian Walisongo Studi Center (WSC) Kairo 2012-
2013. Anggota kelompok kajian Misykati di Kairo (2012-2016). Petugas Haji di
Kantor Teknis Urursan Haji Konsulat Jenderal Republik Indonesia Jeddah-Saudi
Arabia (2016). Koordinator Tim Legalisasi Pemberkasan & Tim Penerjemah OIAAI
(Organisasi Ikatan Alumni Al-Azhar Indonesia) 2017-sekarang. Koordiantor Studi
Timur Tengah Rehlata (2017-sekarang). Saat ini penulis berdomisili di Jl.
Kertamukti Gang Telaga Hijau No. 69 RT/RW.003/008 Kel. Pisangan. Ciputat
Timur. Tangerang Selatan-Banten. 15419. Untuk korespondensi bisa melalui surel:
gusmus32@gmail.com.
Recommended