Upload
priabatak
View
2.949
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
PRESENTASI KASUS
ADENOKARSINOMA SINONASAL
Disusun Oleh:
Hisar Daniel, S.Ked
0706168963
Narasumber:
dr. Marlinda Adham Yudharto, Sp.THT-KL (K)
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
OKTOBER 2008
BAB I
PENDAHULUAN
Angka kejadian keganasan hidung dan sinus paranasal tergolong rendah, akan tetapi
diagnosis dini kasus ini seringkali mengakibatkan keterlambatan penatalaksanaan,
sehingga memerlukan perhatian khusus oleh dokter umum maupun ahli Telinga
Hidung Tenggorokan (THT). Dari data ditemukan bahwa keganasan hidung dan sinus
paranasal hanya merupakan 1% dari seluruh tumor ganas tubuh, dan 3% dari
keganasan di kepala dan leher.1,2,5,10 Dengan predileksi tersering adalah di sinus
maksila (70-80%), diikuti sinus etmoid dan hidung (20-30%), sedangkan sinus frontal
dan sfenoid jarang dijumpai (kurang dari 1%).1,4
Secara anatomis hidung dan sinus paranasal merupakan suatu struktur dan
rongga yang berhubungan erat. Keganasan di hidung dapat lebih cepat terlihat dan
menimbulkan gejala, tetapi keganasan di sinus yang merupakan rongga tersembunyi
di dalam tulang-tulang pembentuk wajah, tidak mungkin terlihat hanya melalui
pemeriksaan fisik biasa. Seringkali diagnosis baru ditegakkan setelah tumor sudah
merusak struktur di sekitarnya sehingga asal tumor sangat sulit ditentukan.1
Hidung tersumbat, epistaksis dan rinore merupakan gejala utama yang sering
dikeluhkan pasien. Gejala ini mirip dengan rhinitis dan sinusitis pada umumnya,
sehingga seringkali lewat dari pengamatan dokter pemeriksa. Gejala dan tanda klinis
serta beragamnya gambaran histologis keganasan ini, memerlukan pemeriksaan
histopatologik melalui biopsi untuk menentukan jenisnya. Pemeriksaan radiologik
tomografi komputer (CT-Scan) atau MRI mempunyai peranan penting untuk
menentukan asal dan perluasan tumor serta pengobatan yang akan dilakukan.
Umumnya keganasan hidung dan sinus paranasal ditemukan sudah berada dalam
stadium lanjut, sehingga penanganannya harus bersifat multidisiplin dengan bagian
yang terkait.1,2
Oleh karena itu pengetahuan dokter umum dalam diagnosis dan
penatalaksanaan tumor hidung dan sinonasal secara dini perlu ditingkatkan.
Makalah ini akan membahas kasus tumor hidung dan sinonasal dengan penekanan
pada diagnosis dan tatalaksana optimal pasien.
Semoga kiranya melalui makalah ini, para pembaca mendapatkan tambahan
wawasan dalam hal diagnosis dan penatalaksanaan pasien tumor hidung dan
sinonasal.
Terima kasih,
Penulis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ANATOMI1,6
1. Hidung
Hidung dibagi menjadi vestibulum, dan rongga hidung karena struktur anatomis
keduanya berbeda. Vestibulum hidung yang merupakan pintu masuk ke rongga
hidung merupakan rongga hidung bagian anterior, diliputi oleh epitel kulit yang
mengandung rambut serta folikel rambut dan kelenjar sebasea. Bagian lateral
dibatasi oleh tulang rawan lateral bawah (lower lateral cartilages) dan bagian
medial, dibatasi kolumela septum.
Rongga hidung dibagi menjadi dua oleh septum nasi, dimulai dari daerah
transisi antara epitel kulit vestibulum, mukosa hidung, dan ke belakang sampai ke
koana. Septum nasi sebagian besar dibentuk oleh tulang rawan septum di bagian
anterior dan bagian tulang di bagian posterior dibentuk oleh perpendicular tulang
etmoid yang juga membentuk kribriformis dan tulang vomer yang membentuk
bagian bawah septum. 1,6
Mukosa yang meliputi rongga hidung adalah epitel toraks berlapis semu
bersilia yang mengandung kelenjar serosa yang menghasilkan mukus. Epitel
olfaktorius menempati daerah yang paling superior dari rongga hidung yang
langsung berhubungan dengan saluran olfaktorius di daerah kribriformis. Dinding
lateral rongga hidung dibentuk oleh konka inferior, media dan superior. Di bawah
masing-masing konka terdapat meatus. Ostium duktus nasolakrimal terdapat di
meatus inferior. Bagian yang penting dari dinding lateral rongga hidung adalah
konka media yang di bawahnya terdapat meatus media dengan kompleks
osteomeatal dimana terdapat muara dari sinus-sinus anterior antara lain sinus
maksila, etmoid anterior dan frontal. Konka superior yang kadang-kadang tidak
terbentuk, di bagian bawah terdapat meatus superior dimana terdapat ostia sinus
sfenoid dan etmoid posterior.
2. Sinus maksila1,6,9
Sinus maksila mulai berkembang pada usia 3 tahun dan berkembang cepat pada
usia 7-18 tahun mencapai ukuran dewasa sebesar 34 x 33 x 23 mm atau volume
rata-rata 14,75-15 mL. Sinus maksila (Antrum of Highmore) merupakan rongga
sinus terbesar, terletak di dalam tulang maksila (tulang pipi), jumlah sepasang,
dan umunya simetris. Sinus maksila berbentuk piramid dengan dasar dinding
lateral rongga hidung, dan puncaknya ke arah prosesus zygomatikus.
Gambar 1. Anatomi sinus paranasal (lateral). Sumber: Netter FH. Paranasal sinuses. In: Netter FH.
Atlas of Human Anatomy. 3rd edition. New Jersey: ICON Learning Systems, 2003. p. 45
Atapnya merupakan dasar orbita, dan lantai sinus dibatasi oleh prosesus alveolar.
Dinding anterior yaitu fosa kanina, memisahkan sinus maksila dengan kulit pipi.
Kurang lebih 1 cm di bawah dinding orbita inferior terdapat foramen infraorbita
yang mengandung pembuluh darah, dan saraf infraorbita yang memperdarahi
dan mempersarafi gingiva, dentis kanina serta insisivus atas. Dinding posterior
dibatasi oleh fosa infratemporal, dan pterigomaksila berhubungan dengan arteri
sfenopalatina yang merupakan cabang terbesar dari arteri maksilaris interna.
3. Sinus etmoidalis
Sinus etmoidalis atau labirin merupakan rongga-rongga kecil, sehingga disebut
juga sel etmoid, mulai terbentuk pada bulan ke 3 - 4 kehidupan janin sebagai
proses evaginasi dinding lateral hidung di daerah meatus media (etmoid anterior)
dan meatus superior (etmoid posterior). Pada waktu lahir jumlahnya hanya 3-4 sel
dan cepat berkembang sampai mencapai jumlah 10-15 sel pada usia 12 tahun,
dengan total volume 14-15 ml. Sel etmoid terletak di pertengahan atas rongga
hidung dan medial rongga orbita.
a. b.
Gambar 2. Sinus paranasal. A. Potongan koronal. B. Potongan melintang. Sumber: Netter FH.
Paranasal sinuses. In: Netter FH. Atlas of Human Anatomy. 3 rd edition. New Jersey: ICON Learning
Systems, 2003. p. 43-4
4. Sinus frontalis1,9
Sinus frontalis secara radiologis belum terlihat pada usia kurang dari 2 tahun, dan
terbentuk lengkap pada usia akhir belasan. Besar dan bentuk sinus frontal sangat
bervariasi, bahkan pada 5% populasi salah satu sisi sinus tidak berkembang.
Ukuran dewasa rata-rata 28 x 27 x 17 mm dengan volume 6-7 ml. Sinus ini
berhubungan dengan rongga hidung melalui resesus frontal yang berjalan ke
bawah dan belakang dan bermuara di sebelah atas infudibulum, atau bermuara
langsung di meatus media. Lapisan diploik bagian tulang frontal (dahi) merupakan
batas anterior sinus frontal, sedangkan bagian posterior sinus dibentuk oleh
lapisan tulang yang padat yang memisahkan sinus frontal dari fosa kranii anterior.
5. Sinus sfenoidalis
Sinus sfenoidalis mencapai ukuran dewasa pada usia 12-15 tahun, dengan ukuran
14 x 14 x 12mm dan volume rata-rata 7,5ml.
Kedua sinus sfenoid kiri dan kanan dipisahkan oleh septum intersinus.
Sinus ini bermuara di meatus superior, berupa ostium kecil di resesus
sfenoetmoid yang berlokasi 10 mm di atas dasar sinus atau kurang-lebih 30 mm
dari lantai rongga hidung. Di atas sinus terdapat kelenjar hipofise dan saraf
optikus, sedangkan di lateral terdapat sinus kavernosus, fisura orbita superior dan
arteri karotis interna. Tulang yang membentuk sinus sfenoid merupakan tulang
yang tipis dan hanya diliputi oleh mukosa sehingga tindakan kuret harus dilakukan
sangat hati-hati karena dapat merusak struktur penting di sekitarnya.
6. Sistem Limfatik1
Pembuluh limfe di sinus paranasal
sangat sedikit sekali, sehingga
metastasis ke kelenjar limf regional
terjadi bila tumor primer sudah
meluas ke struktur di sekitar sinus
paranasal yang lebih banyak
mengandung jaringan limfatik seperti
nasofaring, mukosa pipi, palatum, kulit
pipi dan rongga hidung. Aliran limfe
yang berasal dari rongga hidung dan
palatum terutama menuju ke sistim
limfatik nasofaring selanjutnya
menuju ke kelenjar limf retrofaring
dan faring lateral di dasar tengkorak,
sedangkan aliran limf dari sinus
paranasal sendiri akan menuju ke
kelenjar limf parafaring dan
retrofaring, selanjutnya ke kelenjar
subdigastrik.
Gambar 3. Aliran limfatik pada regio kepala dan
leher. Sumber: Netter FH. Lymphatic System:Head
and Neck Region. In: Netter FH. Atlas of Human
Anatomy. 3rd edition. New Jersey: ICON Learning
Systems, 2003. p. 68
EPIDEMIOLOGI1,2
Keganasan di sinus paranasal hanya merupakan 1% dari seluruh keganasan di seluruh tubuh,
atau 3% dari keganasan di kepala dan leher.1,5,6,10 Insidens tertinggi ditemukan di Jepang
yaitu 2-3,6 per 100.000 penduduk pertahun. Merupakan keganasan nomor 2 di bidang THT
setelah KNF (10-15%). Pada keganasan hidung dan sinus paranasal, perbandingan jumlah
pasien laki-laki dan perempuan 2: 1, 1,2usia bervariasi luas antara 4 - 78 tahun dan terbanyak
pada dekade ke 5 - 6 (33 %). Lebih dari 90 % datang berobat dengan keluhan hidung
tersumbat, rinore dan ingus bercampur darah dan gejaia ini sudah berlangsung antara 6 - 8
bulan sehingga, sebagian besar (80-90%) sudah dalam keadaan stadium lanjut (stadium IV)
dan sulit menentukan asal tumor primernya. 1
HISTOPATOLOGI1,2,5,10
Tumor hidung dan sinus paranasal secara garis besar dikelompokkan menjadi tumor epitel,
non epitel dan metastasis tumor.
Tumor ganas epitel
Tumor ganas epitel yang sering dijumpai (sekitar 80-90%) adalah karsinoma sel
skuamosa, dengan lokasi tersering adalah di sinus maksila (70-80%), sinus etmoid 10-22%,
hidung sekitar 12%, sinus sfenoid sekitar 2% dan di sinus frontal yang paling jarang
ditemukan yaitu, kurang dari 1%, kemudian kanker kelenjar liur, adenokarsinoma,
karsinoma tanpa diferensiasi, dan lain-lain.1,2,6
Karsinoma sel skuamosa yang ditemukan umumnya berdifferensiasi baik, tumbuh
agak lambat dan jarang bermetastasis jauh atau regional. Adenokarsinoma dan adenosistik
karsinoma yang termasuk tumor epitel yang berasal dari kelenjar liur minor jumlahnya
sekitar 10-14 %, sering ditemukan di sinus etmoid, maksila dan hidung. Tumor ini dibagi
menjadi 2 jenis yaitu, gradasi rendah (low grade) dan gradasi tinggi (high grade) dengan
tingkat metastasis yang tinggi (30%). Low grade adenocarcinoma cenderung untuk terjadi
rekurensi lokal. Sedangkan sepertiga dari pasien dengan high grade adencarcinoma akan
disertai metastasis jauh. Pembagian histopatologis terbaru adenokarsinoma sinonasal
adalah dengan membaginya menjadi dua tipe yakni salivary gland-type adenocarcinoma dan
non-salivary gland-type adenocarcinoma yang kemudian dibagi lagi menjadi tipe intestinal
dan non-intestinal.11 Pendekatan untuk adenokarsinoma sinus paranasal meliputi reseksi
kraniofasial anterior, rinotomi lateral, dan teknik endonasal dengan atau tanpa radioterapi.
Angka bertahan hidup 5 tahun pada pasien pasca operasi dan radiasi berkisar 55% untuk T1
dan T2, 28% untuk T3, dan 25% untuk lesi T4.5
Melanoma malignum dapat juga ditemukan di hidung dan sinus paranasal, paling
sering terdapat di rongga hidung, sinus etmoid, maksila dan frontal. Jumlahnya kira-kira 1%
dari seluruh keganasan di daerah ini. Tumor ini mudah residif dan sering bermetastasis jauh
secara limfogen dan hematogen.
Mukoepidermoid karsinoma sangat jarang ditemukan di daerah ini. Dari 400 kasus
karsinoma mukoepidermoid di kepala dan leher, hanya ditemukan 21 kasus yang terdapat di
hidung dan sinus paranasal. Tumor jenis ini cenderung di temukan dalam stadium lanjut dan
lebih dar-i 25% telah bermetastasis jauh.1
Tumor ganas non-epitel
Tumor ganas yang berasal dari mesoderm ini hanya menempati 5% dari seluruh keganasan
di hidung dan sinus paranasal. Termasuk dalam jenis ini antara lain, rabdomiosarkoma,
fibrosarkoma, ameloblastoma maligna, osteogenik sarcoma, plasmasitoma, dan limfoma
maligna. Secara keseluruhan tumor ganas non epitel ini sangat sulit diobati baik secara
pembedahan maupun dengan radiasi ataupun dengan kemoterapi sehingga prognosisnya
sangat buruk. Limfoma malignum biasanya jenis non Hodgkin's, dapat secara lokal tumbuh
di hidung dan sinus paranasal atau bagian dari lesi yang bersifat sistemik.1,2
Metastasis tumor
Walaupun sangat jarang, hidung dan sinus paranasalis dapat merupakan tempat metastasis
jauh. Metastasis tumor hidung dan sinus paranasal menimbulkan gejala yang mirip dengan
tumor primer yang paling sering berasal dari payudara, ginjal dan karsinoma paru.
ARAH PERLUASAN TUMOR
Struktur anatomi kraniofasial yang kompleks dan hubungan yang sangat erat serta dekat
dengan organ vital, menyebabkan perluasan tumor primer hidung dan sinus paranasal
mengenai organ vital dan organ lainnya terjadi pada awal perjalanan penyakit ini. Sebagai
contoh, dari 80 % seluruh keganasan yang primernya di sinus maksila, kurang dari 25 %
kasus yang masih terbatas di sinus maksila pada saat pertama diagnosis ditegakkan.
Keganasan yang primernya di sinus etmoid jarang terjadi, sinus frontal dan sfenoid lebih
jarang lagi, biasanya sudah meluas ke organ sekitarnya.
Perluasan keganasan hidung dan sinus paranasal dapat bersifat lokal melalui
perluasan langsung atau regional dan metastasis jauh. Tumor primer yang masih kecil dan
terbatas di rongga hidung atau sinus sering tidak menimbulkan gejala sampai tumor
tersebut meluas ke sekitarnya. Tumor ganas di rongga hidung dapat meluas ke sisi lain
dengan menimbulkan destruksi septum, ke sinus maksila, etmoid, nasofaring, palatum atau
lebih jauh lagi, meluas ke sisi lain dengan menimbulkan destruksi septum, ke sinus maksila,
etmoid, nasofaring, palatum atau lebih jauh lagi, meluas ke rongga orbita atau fosa kranii
anterior.
Tumor sinus maksila dapat meluas melalui fisura atau foramen disekitarnya. Ke
posterior dan lateral meluas ke fosa Pterigopalatina dan Infratemporal. Ke superior melalui
fisura orbita superior masuk ke rongga orbita. Ke fosa kranii media melalui foramen
rotundum, ke posterior ke pars petrosus tulang temporal atau ke rongga mulut melalui
kanalis palatina. 1
ETIOLOGI1,2,4,6
Berbagai faktor diajukan sebagai etiologi keganasan di hidung dan sinus paranasal.
Setelah terpapar bahan-bahan karsinogen diperlukan waktu laten kurang lebih 20-30 tahun
untuk dapat berkembang menjadi keganasan. Lebih dari 44% keganasan di hidung dan sinus
paranasal menunjukkan adanya paparan karsinogen industri maupun rumah tangga, seperti
nikel, kromium, larutan isopropil, gas hidrokarbon, dan debu serat organik. Bahan-bahan
kimia ini banyak terdapat pada industi kayu, kulit dan tekstil.1,4,6 Terpaparnya debu kayu
pada industri furnitur dan penggergajian kayu, menyebabkan insidens yang sangat tinggi
terjadinya adenokarsinoma di sinus etmoid, yaitu 1000 x lebih sering dibanding populasi
normal.1,2,5 Debu kayu tidak memiliki sifat mutagenik, akan tetapi apabila terakumulasi di
mukosa dapat mengakibatkan inflamasi kronis sehingga turnover rate mukosa meningkat
dan pada akhirnya memicu hiperplasia dan metaplasia mukosa yang dapat berlanjut
menjadi keganasan.12 Ciri gambaran histologisnya adalah adenokarsinoma tipe intestinal
(golongan non-salivary gland-type adenocarcinoma).12
Menurut Sakai, 80 % pasien dengan karsinoma sinus maksila mempunyai latar
belakang sinusitis kronis untuk berkembang menjadi keganasan adalah 36 kali lebih besar
dari orang sehat.4
GEJALA KLINIS1,2,4,5,10
Tumor primer di rongga hidung sulit diketahui apakah dimulai dari rongga hidung
atau perluasan tumor dari sinus maksila atau etmoid, sebab secara anatomis daerah
tersebut berhubungan. Hal yang sering dijumpai pertama kali pasien datang adalah bahwa
tumor sudah meluas mengenai seluruh rongga hidung dan sinus paranasal bahkan sudah
mengenai kulit pipi, palatum, orbita dan dasar tengkorak, sehingga secara klinis sangat sulit
menentukan asal tumor. Pada stadium yang lebih awal, gejala yang timbul tergantung dari
tempat asal dan perluasan tumor. Gejala yang ditimbulkan sulit dibedakan dengan
peradangan kronis di hidung dan sinus paranasal sampai tumor tumbuh menjadi stadium
lanjut. Pada pasien yang lebih tua adanya keluhan hidung atau sinus yang bersifat unilateral
seperti poliposis atau keluhan sumbatan, epistaksis, anosmia harus dicurigai adanya
keganasan. Adanya rasa nyeri dan pembengkakkan dahi mungkin dapat disebabkan oleh
keganasan di sinus frontal. Keganasan di sinus sfenoid secara dini sulit dikenal, sampai
tumor ini keluar dari sinus sfenoid dan sering terlihat sebagai tumor nasofaring atau
sfenoetmoid.
Gejala tersering pada keganasan di sinus maksila yaitu benjolan di pipi yang
menyebabkan asimetris wajah akibat perluasan tumor ke dinding sinus anterior. Lebih dari
50% keganasan di sinus maksila dan etmoid terdapat keluhan rinore dan nyeri di daerah pipi
atau pangkal hidung. Keganasan di sinus maksila, tumor dapat meluas ke superior dan
masuk rongga orbita sehingga menyebabkan proptosis, atau ke inferior menyebabkan
keluhan gigi-geligi berupa gigi goyang, bahkan tanggal, atau meluas ke posterior melalui
rongga pterigomaksila, masuk ke fosa kranii media dan menyebabkan gangguan neurologis.
Gejala mata terdapat pada 25% pasien yang disebabkan oleh perluasan tumor
melalui dinding orbita inferior atau melalui lamina papirasea. Gejala yang timbul berupa,
diplopia, berkurangnya visus dan eksoftalmus, bahkan pada stadium lanjut terjadi pelebaran
jarak antara kedua kantus medial mata. Rasa penuh di kelopak mata bawah dan epifora
menunjukkan keterlibatan rima orbita atau struktur lakrimalis. Pada stadium lanjut terdapat
gangguan neurologis karena kerusakan saraf-saraf kranial akibat perluasan tumor ke dasar
tengkorak.
DIAGNOSIS1,2,5
Anamnesis
Anamnesis yang lengkap dan menyeluruh sangat diperlukan dalam penegakkan diagnosis
keganasan di hidung dan sinus paranasal. Pada stadium awal sering berupa sumbatan,
rinore, epistaksis, nyeri di daerah sinus dan pembengkakan pipi yang juga merupakan gejala
peradangan umumnya. Kurang lebih 9-12 % keganasan di hidung dan sinus paranasal
stadium awal bersifat asimptomatis. Riwayat terpapar bahan-bahan kimia karsinogen yang
dihubungkan dengan pekerjaan atau lingkungan perlu diketahui untuk mencari
kemungkinan faktor resiko.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik THT harus seteliti mungkin dengan penerangan yang cukup, baik dengan
alat-alat konvensional maupun dengan endoskopi. Adanya asimetri wajah atau proptosis
dapat disebabkan oleh pertumbuhan atau desakan tumor di hidung dan sinus paranasal.
Adanya massa di rongga hidung, harus dideskripsikan dengan lengkap baik warna,
permukaan, konsistensi, rapuh/tidak, mudah berdarah serta perluasannya. Jika dinding
lateral kavum nasi terdorong ke medial berarti tumor berada di sinus maksila. Pemeriksaan
rongga mulut harus dilakukan apakah ada massa tumor di palatum atau sulkus
gingivobukalis, bila perlu digunakan sarung tangan untuk meraba apakah terdapat destruksi
tulang palatum, penonjolan atau gigi yang goyah.1,2
Pemeriksaan nasofaring dilakukan untuk mengetahui adanya massa tumor yang berasal dari
sinus sfenoid atau perluasan tumor hidung ke posterior. Pemeriksaan lain yang harus
dilakukan adalah, pemeriksaan telinga, adakah otitis media atau tuli konduktif akibat masa
tumor yang menutup tuba Eustakius, pemeriksaan visus dan gerakan bolamata,
pemeriksaan saraf perifer dan pemeriksaan kelenjar getah bening leher walaupun
keganasan di hidung dan sinus paranasal jarang bermetastasis ke kelenjar getah bening
regional.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologi dapat berupa foto polos sinus (posisi Waters atau lateral),
tomografi komputer (CT Scan) atau MRI. Pada lebih dari 60% kasus, adanya destruksi tulang
dapat terlihat pada foto polos, tetapi adanya invasi tumor ke jaringan lunak kurang jelas
terlihat. Kadang-kadang pada keganasan yang masih terbatas, dengan pemeriksaan foto
polos, masih terkesan normal. Perselubungan di rongga sinus sulit dibedakan dengan proses
peradangan. Sehingga penleriksaan foto polos untuk keganasan di hidung dan sinus
paranasal sudah jarang digunakan.
CT Scan dan MRI dapat mengisi kekurangan pada foto polos, karena dengan jelas
dapat terlihat adanya destruksi tulang, besar dan perluasan tumor primer ke jaringan lunak,
sehingga derajat invasi tumor tergambarkan. Selain itu, dapat dinilai adanya metastasis ke
kelenjar getah bening regional. CT Scan lebih baik dalam memperlihatkan gambaran
destruksi tulang, sedangkan pada MRI adanya invasi ke jaringan lunak lebih jelas terlihat dan
lebih tidak invasif dibandingkan dengan pemeriksaan CT Scan.
a. b.
Gambar 4.a. Pasien dengan tumor sinonasal kiri. 4.b. Gambaran CT-Scan pasien 4.a. dengan keterlibatan sel tumor pada kavum nasi kiri, antrum maksila, etmoid, dan orbita. Sumber: Fasunla AJ, Lasisi AO. Sinonasal Malignancies: A 10-Year Review in a Tertiary Health Institution. JNMA;99:1407-10
Biopsi
Setiap keganasan hidung dan sinus paranasal harus dilakukan biopsi untuk
menegakkan diagnosis yang definitif dan merencanakan pengobatan. Pada umumnya pasien
datang sudah dalam stadium lanjut dan tumor sudah terdapat di rongga hidung bahkan
sudah menginfiltrasi kulit. Biopsi cukup dilakukan pada massa tumor yang terlihat dan
mudah dicapai. Jika dicurigai tumor jenis vaskuler, misalnya hemangioma atau
angiofibroma, jangan lakukan biopsi karena sulit untuk menghentikan perdarahan yang
terjadi. Untuk kasus tumor vaskuler, diagnosis dapat ditegakkan dengan angiografi.1,2
KLASIFIKASI STADIUM1,3,4,5,10
Klasifikasi stadium karsinoma sinus paranasal sampai saat ini masih kontroversial,
sedangkan untuk karsinoma sinus frontal dan sfenoid sampai saat ini belum ada sistim
klasifikasi stadium yang dipakai secara luas, karena keganasan di daerah ini sangat jarang
ditemukan.1,2,3 Onhgren tahun 1933, pertama sekali membuat sistim stadium keganasan di
sinus maksila , dengan membagi sinus maksila menjadi bagian Anteroinferior (Infrastruktur)
dan Postero superior (Suprastruktur) berdasarkan garis imajiner yang ditarik dari angulus
mandibula ke kantus medial mata. Onhgren membuat korelasi secara umum yaitu, tumor
yang berasal dari bagian Supra struktur mempunyai prognosis yang lebih buruk dibanding
dari Infra struktur. Sissons tahun 1963, mengadopsi sistim TNM dan menambahkan uraian
daerah Onhgren. Sakai tahun 1985 mengusulkan sistim TNM dan sistim ini juga dipakai oleh
UICC dan AJCC. Klasifikasi stadium diatas hanya untuk keganasan di sinus maksila.1
Uraian lengkap yang terbaru dan banyak dipakai saat ini yaitu berdasarkan UICC
(Union Internationale Contre le Cancer) atau International Union Against Cancer edisi ke 6
tahun 2002s klasifikasi ini hanya untuk karsinoma di sinus maksila, etmoid, dan rongga
hidung, serta harus dibuktikan dengan pemeriksaan histopatologis. Penulis sendiri
mengambil sumber dari AJCC Cancer Staging Manual sebagai sumber dalam
pengklasifikasian yang serupa dengan UICC dimana penilaian TNM didasari atas
pemeriksaan fisik, dan penunjang antara lain nasoendoskopi, foto Rontgen, CT-Scan, MRI,
ataupun modalitas pencitraan terkini lainnya.3
Klasifikasi TNM adalah sebagai berikut :
T Tumor Primer
TX Tumor primer tidak diketahui
T0 Tidak terbukti adanya tumor primer
Tis Karsinoma insitu
Sinus Maksila
T1 Tumor terbatas di mukosa dan tidak ditemukan erosi atau destruksi
tulang
T2 Tumor sudah mengakibatkan erosi atau destruksi tulang, meluas ke
palatum durum dan atau meatus media tanpa perluasan ke dinding
posterior sinus maksila dan tulang pterigoid
T3 Tumor sudah menginvasi salah satu organ : dinding posterior sinus
maksila, jaringan subkutan, dasar atau medial orbita, fossa pterigoid,
sinus etmoid
T4a Tumor sudah menginvasi salah satu organ : masuk anterior orbita, kulit
pipi, os pterigoid, fosa infratemporal, kribriformis, sinus sphenoid atau
frontal
T4b Tumor sudah menginvasi salah satu organ : apeks orbita, dura/
intraserebral, fosa kranii media, saraf cranial selain cabang maksila saraf
trigeminal (V2), nasofaring atau klivus
Rongga hidung dan Sinus etmoid
T1 Tumor terbatas pada salah satu organ di rongga hidung atau satu sisi
sinus etmoid, dengan atau tanpa invasi tulang
T2 Tumor sudah meluas ke dua organ di rongga hidung atau ke dua sisi sinus
etmoid, atau meluas ke kompleks nasoetmoid, dengan atau tanpa invasi
tulang
T3 Tumor sudah meluas dan menginvasi dinding medial atau lantai orbita,
sinus maksila, palatum, daerah kribriformis
T4a Tumor sudah menginvasi salah satu organ : masuk anterior orbita, kulit
pipi atau hidung, os pterigoid, perluasan minimal ke fosa kranii anterior,
sinus sphenoid atau frontal
T4b Tumor sudah menginvasi salah satu organ : apeks orbita, dura/
intraserebral, fosa kranii media, saraf cranial selain cabang maksila saraf
trigeminal (V2), nasofaring atau klivus
N = Kelenjar Getah Bening Regional
Nx adanya metastasis ke KGB regional tidak dapat dinilai
N0 Tidak terdapat metastasis ke KGB regional
N1 Metastasis ke salah satu kgb regional ipsilateral degan diameter terbesar
sama dengan atau kurang dari 3 sentimeter
N2 Metastasis ke salah satu kgb ipsilateral den-an diameter terbesar antara 3
cm Sampai 6 cm, atau multiple ipsilateral, atau bilateral atau kontra
lateral dengan diameter terbesar kurang dari 6 crn
N2a Metastasis ke salahsatu kgb ipsilateral dengan diameter terbesar antara 3
sampai 6 cm
N2b Metastasis ke kgb multiple ipsilateral dengan diameter terbesar kurang 6
cm
N2c Metastasis ke kgb bilateral atau kontralateral dengan diameter terbesar
sampai 6 cm
N3 Metastasis ke kgb dengan diameter terbesar lebih dari 6 cm
M = Metastasis Jauh
Mx Adanya metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 Tidak terdapat metastasis jauh
M1 Terdapat metastasis jauh
KLASIFIKASI STADIUM TNM
Stadium 0 Tis N0 M0
Stadium I T1 N0 M0
Stadium II T2 N0 M0
Stadium IIIT1,T2 N1 M0
T3 N0. N1 M0
Stadium IVaT1,T2,T3 N2 M0
T4a No, N1, N2 M0
Stadium IVbT4b Setiap N M0
Setiap T N3 M0
Stadium IVc Setiap T Setiap N M1
PENGOBATAN1,4,5,6
Pembedahan
Pembedahan pada keganasan hidung dan sinus paranasal merupakan modalitas utama dan
lebih sering bertujuan untuk pengobatan yang bersifat kuratif. Eksisi paliatif biasanya
dilakukan untuk tumor yang sangat besar untuk mengurangi nyeri dengan dekompresi
terhadap struktur penting atau debulking sebagai persiapan pemberian radiasi dan
kemoterapi. Pembedahan sebagai pengobatan tunggal pada keganasan di hidung dan sinus
paranasal, prognosis bertahan hidup selama 5 tahun mempunyai variasi luas antara 19 –
86%.5
Pada tumor yang terbatas di vestibulum, tumor dapat diangkat secara adekuat
dengan reseksi sebagian hidung, setelah reseksi defek dapat langsung di rekonstruksi
dengan "local flap" atau "forehead flap" pada defek yang lebih besar. Pada rinektomi, defek
akan lebih mudah ditutup dengan prostesis hidung. Tumor yang masih terbatas di dinding
lateral hidung dapat diangkat dengan eksisi luas dengan pendekatan rinotomi lateral atau
"mid facial degloving". Bila tumor sudah meluas ke sinus maksila atau etmoid, dilakukan
maksilektomi medial dengan cara pendekatan rinotomi lateral. Bila tumor melibatkan
lempeng kribiformis, atap hidung atau etmoid, biasanya membutuhkan reseksi kraniofasial
anterior.6
Tumor di septum nasi bila masih terbatas pada bagian anterior, dapat dilakukan
eksisi luas dengan pendekatan rinotomi lateral atau "mid facial degloving". Bila telah
meluas ke vestibulum, dasar rongga hidung, eksisi luas masih dapat dilakukan dengan
pendekatan Weber-Fergusson atau Rinektomi total.
Pembedahan sinus paranasal, pertama kali diperkenalkan oleh Lizars pada tahun
1822 yang pertama kali melakukan maksilektomi.1 Beberapa modifikasi maksilektomi dapat
dilakukan yaitu maksilektomi medial dengan pendekatan rinotomi lateral, maksilektomi
parsial maupun total, dan maksilektomi radikal yang sekaligus melakukan eksentrasi obita.
Maksilektomi medial bermanfaat untuk tumor hidung dan sinus etmoid yang mengenai pula
dinding medial antrum. Maksilektomi partial dilakukan untuk mengangkat tumor yang
mengenai bagian superior atau inferior antrum.4 Sejak saat itu mulai dilakukan pembedahan
radikal sinus maksila, berupa maksilektomi radikal dengan dan tanpa eksentrasi orbita.
Dalam 20 tahun terakhir, maksilektomi radikal mulai ditinggalkan dan diganti dengan
maksilektomi parsial, terutama dengan makin pesatnya perkembangan pemeriksaan
radiologi seperti CT-Scan dan MRI sehingga perluasan tumor dapat diketahui dengan akurat.
Saat ini maksilektomi total (pengangkatan seluruh maksila) dengan atau tanpa eksentrasi
orbita hanya dilakukan pada tumor yang sudah meluas ke gingiva-alveolar, palatum durum,
daerah pterigoid atau ke rongga orbita.1
Tumor sinus maksila stadium I dan II masih dapat diangkat dengan maksilektomi
partial dengan pendekatan rinotomi lateral atau "midfacial degloving", sedangkan bila
stadium III, harus dilakukan maksilektomi total dengan atau tanpa eksentrasi orbita dan
dikombinasikan dengan radiasi pasca operasi. Jika tumor telah mencapai periorbita,
diperlukan operasi radikal termasuk eksentrasi orbita. Eksentrasi orbita dilakukan bila
terdapat infiltrasi luas ke rongga orbita. Menurut Harrison, eksentrasi perlu dilakukan jika
terdapat proptosis bola mata, hambatan gerak bola mata,dan jelas terdapat destruksi
tulang. Indikasi mutlak adalah jika tumor telah menginfiltrasi periorbita, sel etmoid posterior
dan apeks orbita. 1,4
Pada tumor stadium IVa , tumor masih dapat diangkat dengan maksilektomi total
dengan atau tanpa eksentrasi orbita dan dikombinasi dengan kraniotomi anterior,
pendekatan ini disebut reseksi kraniofasial. Tumor stadium IVb, masih dapat diangkat
walaupun sifatnya debulking dan dilanjutkan dengan radiasi atau kombinasi dengan
kemoterapi. Bila terdapat metastasis ke kgb regional seharusnya dilakukan dulu diseksi kgb
leher. Pada tumor stadium IVc (lanjut), pembedahan hanya bersifat paliatif.
Tumor sinus etmoid stadium I (masih terbatas di mukosa), dapat diangkat dengan
pendekatan etmoidektomi ekstranasal atau secara endoskopik intranasal. Pada stadium
yang lebih lanjut, pendekatannya seperti tumor di sinus maksila.1,4
Rekonstruksi dan rehabilitasi 2,5
Sesudah maksilektomi total, harus dipasang prostesis maksila sebagai tindakan rekonstruksi
dan rehabilitasi, supaya pasien tetap dapat melakukan fungsi menelan dan berbicara
dengan baik, di samping perbaikan kosmetis melalui operasi bedah plastik. Dengan
tindakan-tindakan ini pasien dapat bersosialisasi kembali dalam keluarga dan masyarakat.
Radioterapi1,5,6,7
Respon radioterapi pada keganasan hidung dan sinus paranasal bervariasi, tergantung dari
stadium dan jenis histopatologis tumor. Radiasi dapat digunakan sebagai terapi tunggal,
pada kasus keganasan limforetikuler seperti limfoma malignum, midline granuloma atau
pada kasus kondisi buruk atau menolak untuk tindakan bedah. Radiasi juga dapat diberikan
setelah pembedahan sebagai ajuvan pada kasus dimana tumor sulit diangkat secara total,
atau dengan batas yang tidak bebas tumor, atau sebagai terapi paliatif untuk mengurangi
nyeri dan menghentikan perdarahan pada tumor stadium lanjut. Pada umumnya, dosis
radiasi yang diperlukan adalah 50 Gy.
Kemoterapi1,5
Kemoterapi pada keganasan hidung dan sinus paranasal umumnya sebagai terapi paliatif
untuk mengurangi nyeri, obstruksi dengan mengecilkan tumor, atau pada kasus stadium
lanjut dengan metastasis jauh. Kemoterapi dapat bersifat ajuvan setelah pembedahan atau
radiasi untuk mencegah metastasis jauh, atau neo-ajuvan sebelum pembedahan untuk
mempertahankan organ yang terkena tumor, walaupun manfaat masih banyak
diperdebatkan. Untuk keganasan terutama karsinoma kepala dan leher umumnya,
kombinasi cisplatin, methotrexate, dan 5 fluoro-urasil merupakan obat pilihan yang paling
banyak digunakan. Menurut Samant et al (2004), penggunaaan Cisplatin intraarterial
disertai radiasi pada keganasan sinus paranasal dapat meningkatkan angka bertahan hidup 5
tahun menjadi 53%.
PROGNOSIS1,2
Sedikit dan tidak khasnya gejala yang ditimbulkan pada keganasan hidung dan sinus
paranasal menyebabkan sangat jarang pasien datang dalam keadaan stadium dini. Faktor
yang mempengaruhi prognosis antara lain perbedaan diagnosis histology, asal tumor
primer, perluasan tumor, pengobatan yang diberikan sebelumnya, status batas sayatan,
terapi adjuvant yang diberikan, status imunologis, lamanya follow-up dan banyak lagi.2
Umumnya pasien datang dalam stadium lanjut, tumor sudah meluas ke seluruh struktur
hidung dan sinus paranasal, sehingga asal tumor tidak diketahui dan sulit mengangkat
tumor secara "en bloc". Hal ini menyebabkan prognosis penyakit sampai saat ini masih
buruk. Sampai beberapa dekade terakhir, belum tampak peningkatan yang bermakna
terhadap angka bertahan hidup (survival rates) pada seluruh keganasan hidung dan sinus
paranasal. Angka bertahan hidup selama 5 tahun rerata seluruh keganasan sinus maksila
berkisar antara 20-50%, hal yang sama juga berlaku untuk keganasan sinus paranasal
lainnya.1 Tapi dengan pengobatan yang agresif dan multimodalitas, angka bertahan hidup 5
tahun dapat meningkat sebesar 75% untuk seluruh stadium tumor.
BAB III
ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. ES
Jenis Kelamin : Wanita
Umur : 57 tahun
Alamat : Kampung Bulak RT 02 RW 03, Cikarang
Agama : Islam
Suku : Sunda
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
No. RM : 324-00-94
ANAMNESIS
Pasien pertama kali datang ke poliklinik THT RSCM pada tanggal 2 Juli 2008. Data terdiri dari
data sekunder, dan auto serta alloanamnesis pada pasien pasca operasi yang dikerjakan hari
Senin, 13 Oktober 2008. Anamnesis terakhir dilakukan pada Selasa, 14 Oktober 2008 di
bangsal perawatan THT.
Keluhan Utama
Pasien mengeluh timbulnya benjolan di hidung kanan yang membesar dengan cepat sejak 2
bulan sebelum masuk rumah sakit (SMRS).
Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak satu tahun SMRS pasien mengeluh hidung kanannya sering pilek, dengan lendir
yang cair, encer, bening, tidak ditemukan darah maupun mimisan, lendir dapat menetes
tanpa disadari oleh pasien sehingga mengharuskan pasien untuk selalu membawa sapu
tangan, dan ada keluhan lendir mengalir ke tenggorokan. Ditemukan pula keluhan hidung
kanan yang tersumbat, suara menjadi sedikit sengau (bindeng), pasien juga mengaku tidak
ada keluhan gangguan penghidu, ataupun gangguan dalam selera makan. Tidak ditemukan
keluhan hidung gatal, mata gatal, sering bersin-bersin di pagi hari.
Enam bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien mengaku sudah mulai timbul
benjolan pada hidung kanan. Benjolan tersebut terus membesar ke arah kanan dan ke
bawah, dan ada massa yang keluar melalui lubang hidung kanan. Tidak ditemukan adanya
keluhan penglihatan ganda, bola mata kanan yang terdesak keluar, keletihan bola mata,
gangguan penglihatan, dan mata yang berair terus menerus. Dari anamnesis juga tidak
ditemukan adanya keluhan benjolan yang menjalar ke langit-langit mulut, gigi yang goyah
dan tanggal dengan sendirinya, rasa kesemutan ataupun baal di daerah majah, mulut yang
sulit dibuka, telinga berdenging, telinga tersumbat, sakit kepala hebat, dan pembesaran di
leher. Menurut pasien yang paling dirasakan hanya benjolan tersebut membuat wajah
menjadi terlihat besar sebelah. Pada awal terasa ada pembesaran di hidung pasien
memeriksakan diri ke dokter umum dan dikatakan ada polip hidung, dan kemudian
diberikan obat minum (jenis/nama pasien lupa).
Sejak dua bulan SMRS benjolan semakin besar. Benjolan tersebut menjadi lebih
sering berdarah, kadang-kadang pasien mimisan, hidung tersumbat sehingga bernafas
kadang lewat mulut, dan tidak ditemukan adanya keluhan gangguan pendengaran dan
telinga yang tersumbat. Setelah semakin besar pasien memeriksakan diri ke spesialis THT
RSUD Bekasi dikatakan ada tumor kemudian pasien dipasang tampon, dan dianjurkan harus
segera dioperasi di RSCM.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat hipertensi (+) belum terkontrol dengan tekanan darah tertinggi 140/90 mmHg,
riwayat sinusitis (+), stigmata alergi tidak khas dijumpai pada pasien, asma (-), penyakit
jantung (-). Riwayat trauma (-)
Riwayat serupa sebelumnya (-).
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keganasan (-), riwayat serupa di keluarga (-), benjolan daerah leher (-), batuk lama
(-), penyakit jantung (+) pada kakak pasien.
Riwayat Sosial-Ekonomi, Kebiasaan, dan Pendidikan
Pasien tinggal di daerah pemukiman yang cukup bersih, antar rumah tidak berdempetan.
Pasien tinggal cukup jauh dari kawasan industri Cikarang, tidak berdekatan dengan industri
kayu, atau pembuangan limbah. Pasien tidur di kamar sendiri, berjendela, dibersihkan setiap
hari. Pasien adalah seorang ibu rumah tangga, tidak merokok, dahulu pasien berdagang di
rumah tepat di pinggir jalan, dan tidak ada kontak dengan materi produk pabrik atau kayu.
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan dilakukan di poliklinik THT RSCM pada tanggal 2 Juli 2008.
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : kompos mentis
Tanda vital :
Tekanan darah : 140/80 mmHg
Frekuensi nadi : 90x/ menit, reguler, isi cukup
Suhu : afebris
Pernapasan : 20x/ menit, teratur, kedalaman cukup
Status Generalisata
Kepala : wajah terlihat asimetris, nampak pembesaran sisi kanan
dan massa keluar dari hidung kanan, rambut hitam,
tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), proptosis - / -
Mulut : trismus (-), tidak terlihat massa di palatum
Wajah : asimetris, nyeri tekan frontal (+), maksila (+), etmoid
tidak dilakukan karena ada benjolan
Leher : pembesaran KGB (-)
Paru : Vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung : BJ I/II (N), murmur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, lemas, NT(-), hepar/limpa tidak teraba, BU (+) N
Ekstremitas : Akral hangat, perfusi cukup, edema (-)
Status THT
Pemeriksaan Telinga
Pemeriksaan Telinga KANAN Telinga KIRI
Daun Telinga Deformitas(-), radang(-) Deformitas(-), radang(-)
Daerah retroaurikuler Fistel(-), radang(-) Fistel(-), radang(-)
Liang Telinga Serumen(+),sekret(-) Serumen(+),sekret(-)
Gendang telinga intak intak
Refleks cahaya (+) pada arah jam 5 (+) pada arah jam 7
Rinne (512 Hz) (+) (+)
Weber Lateralisasi (-)
Schwabach Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa
Pemeriksaan Hidung
Pemeriksaan Hidung KANAN Hidung KIRI
Hidung luar Deformitas(+), asimetris Deformitas(-), radang(-)
Kavum nasi Dipenuhi massa polip sempit, sekret (+)
Vestibulum Dipenuhi massa polip Sekret (-)
Septum Terdorong ke kiri, abses(-), perforasi(-)
Terdorong ke kiri, abses(-), perforasi(-)
Konka superior Tidak terlihat Tidak terlihat
Konka media Tidak terlihat Eutrofi
Konka inferior Tidak terlihat Eutrofi, sekret (+) mukoid
Meatus superior Tidak terlihat Tidak terlihat
Meatus media Tidak terlihat Tidak dapat dinilai
Meatus inferior Tidak terlihat Sekret (+) mukoid
Setelah tampon dibuka ditemukan:
Pemeriksaan Hidung KANAN Hidung KIRI
Hidung luar Deformitas(+), asimetris Deformitas(-), radang(-)
Kavum nasi Lapang, dipenuhi massa sempit, sekret (+)
Vestibulum Dipenuhi massa polip Sekret (-)
Septum Terdorong ke kiri, abses(-), perforasi(-)
Terdorong ke kiri, abses(-), perforasi(-)
Konka superior Tidak terlihat Tidak terlihat
Pemeriksaan Hidung KANAN Hidung KIRI
Konka media Ditemukan massa nekrotik, rapuh s.d. koana, perdarahan (-)
Eutrofi
Konka inferior Eutrofi, sekret (+) mukoid
Meatus superior Tidak terlihat Tidak terlihat
Meatus media Tidak terlihat Tidak dapat dinilai
Meatus inferior Tidak terlihat Sekret (+) mukoid
Pemeriksaan Nasofaring (rhinoskopi posterior)
Muara tuba eustachius terbuka, sekret -/-, hiperemis -/-
Koana, septum bagian belakang, konka, torus tubarius, fossa Rosenmuller, adenoid dalam
batas normal, ditemukan massa polip dari kavum nasi dekstra.
Pemeriksaan Tenggorok
Faring
Arkus faring : simetris
Uvula : letak di tengah
Dinding faring : hiperemis (-), granulasi (-)
Tonsil : T1-T1, hiperemis -/-, kripta tidak melebar, detritus (-),
licin
Laring
Epiglotis, plika ariepiglotika, pita suara palsu, pita suara, aritenoid, subglotis, fossa
piriformis : dalam batas normal massa (-), benda asing (-), radang(-)
Kelenjar Getah Bening Leher
KGB retrourikuler -/-, submandibula -/-, regio II/III/IV/V/VI -/-
PEMERIKSAAN PENUNJANG
CT SCAN sinus paranasal tanpa dan dengan kontras potongan aksila dengan rekonstruksi
sagital dan koronal (14 Juli 2008)
Tampak massa memenuhi kavum nasi dekstra yang menyangat dengan pemberian kontras.
Septum nasi terdorong ke sisi kiri. Tampak pula pendesakan dinding medial sinus maksilaris
kanan. Massa meluas ke posterior mencapai kavum nasofaring. Rongga parafaring baik. Ke
superior mengenai sinus etmoidalis kanan. Tak tampak perluasan massa intrakranial
maupun sinus sfenoid, basis kranii intak. M. Pterigoid medial dan lateral baik. Pterigoid plate
lateral dan medial baik.
Sinus maksilaris kanan, frontalis kanan terselubung, tidak menyangat setelah pemberian
kontras. Kavum nasi kiri tak tampak massa, konka nasalis kiri baik, tak tampak pneumatisasi
konka. Prosesus uncinatus kanan dan kiri baik, ostium sinus maksila dan infundibulum
etmoid kiri terbuka.
Kesan:
1. Massa di kavum nasi kanan yang meluas ke rongga nasofaring, dan sinus etmoidalis
kanan sugestif tumor sinonasal.
2. Sinusitis maksilaris dan frontalis kanan.
Foto Rontgen Thorax PA 13 Juni 2008
Cor : CTR = 52%, jantung membesar kekiri dengan apeks tertanam dan pinggang jantung
tidak menonjol, tampak elongasi dan kalsifikasi aorta, aorta dan mediastinum tidak melebar,
trakea di tengah, kedua hilus tidak melebar, corakan bronkovaskular kedua paru kasar,
tampak nodul bulat soliter di apeks paru kiri, kedua sudut kostofrenikus lancip, diafragma
licin, tulang-tulang dan jaringan lunak dinding dada baik.
Kesimpulan :
- Kardiomegali
- Elongasi aorta dan kalsifikasi
- Suspek kalsifikasi apeks paru kiri
Histopatologi (17 Juli 2008) / Biopsi
Mikroskopik :
Sediaan biopsi kavum nasi dekstra menunjukkan jaringan tumor yang sebagian solid,
sebagian lagi membentuk struktur duktal/rongga kistik. Sel tumor uniform, berinti
bulat/oval, ukuran kecil sampai sedang, hiperkromatik, anak inti kecil. Stroma sebagian
miksoid dan sebagian lain mengalami hyalinisasi, bersebukan sel radang mendadak dan
menahun. Tampak daerah nekrotik luas dan perdarahan.
Kesimpulan:
Tumor kelenjar liur.
DD/
- polymorphous low grade adenocarcinoma
- adenoid cystic carcinoma
Hasil pemeriksaan lanjutan (histokimia):
Histologik lebih sesuai dengan Adenokarsinoma NOS, yang berasal dari kelenjar liur.
Pemeriksaan laboratorium Hematologi
6/8/08 3/9/08 Nilai Rujukan
LED 60 (H) 105 (H) 0 – 10 mm
Hemoglobin 10,6 (L) 10,8 (L) 13 – 16 g/dL
Hematokrit 34,7 (L) 34,1 (L) 40 – 48 %
Eritrosit 4,2 (L) 4,15 (L) 4,5 – 5,5 juta/ uL
Leukosit 9,4 9,4 5 – 10 ribu/uL
Trombosit 483 (H) 519 (H) 150 – 400 ribu /uL
Basofil 0,3 0,2 0 – 1 %
Eosinofil 2,1 2,1 1 – 3 %
Neutrofil 69 68 52 – 76 %
Limfosit 22,1 20,6 20 – 40 %
Monosit 6,3 8,9 2 – 8 %
SGOT/PT 14/9 16/13 10 – 35 U/L
AF 168 0 – 270 U/L
LDH 219 (H) 100 – 190 U/L
Natrium 144 145 135-147 mEq/L
Kalium 4,16 3,37 3,5 – 5,5 mEq/L
Klorida 112 100 100 – 106 mEq/L
Ureum 32 51 10 – 50 mg/dL
Kreatinin 1,1 1,2 0,5 – 1,5 mg/dL
Asam urat 4,6 3,5 – 7,2 mg/dL
GDS 111 112 70 – 200 mg/dL
Perdarahan
Ivy
2’ 3,3’ 1’00 – 6’00
Pembekuan
Lee&white
9,3’ (L) 12’ 10’00 – 15’00
PT 12,9 11,7 11 – 14 detik
APTT 33,7 38,1 27,3 – 37,6 detik
Konsul Mata
Hasil : okuli dekstra tenang, dan tidak ada tindakan di bagian mata mengingat massa tumor
belum menyebabkan gangguan visus, dan gerakan bola mata ke segala arah.
Resume
Ny. ES, 57 tahun, datang dengan keluhan timbul benjolan di hidung kanan sejak 2 bulan
SMRS. Rinorea (+), post nasal drip (+), kongesti nasal (+), wajah terlihat asimetris (+),
epstaksis (+), sakit kepala (-), diplopia (-), proptosis (-), epifora (-), tinnitus (-), otalgia (-),
hipo/anosmia (-), hidung gatal (-), mata gatal (-), bersin-bersin di pagi hari (-). Riwayat
hipertensi belum terkontrol, dan sinusitis.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tekanan darah 140/80 mmHg, tanda vital lain dan status
generalis ditemukan nyeri tekan daerah sinus frontal dan maksila. Pada pemeriksaan THT,
ditemukan wajah asimetri, pada rinoskopi anterior hidung ditemukan kavum nasi dekstra
terisi massa polip, pada konka media dan inferior dekstra ditemukan massa nekrotik rapuh
sampai daerah koana, dengan perdarahan. Pada konka inferior sinistra ditemukan sekret
mukoid, dan septum terdorong ke kiri. Pada rinoskopi posterior ditemukan muara tuba
eustachius terbuka, sekret (-), hiperemis (-),koana, septum bagian belakang, konka, torus
tubarius, fossa Rosenmuller, adenoid dalam batas normal, ditemukan massa polip dari
kavum nasi dekstra.
Pada pemeriksaan penunjang CT-scan ditemukan massa di kavum nasi kanan yang meluas
ke rongga nasofaring, dan sinus etmoidalis kanan sugestif tumor sinonasal, dan sinusitis
maksilaris dan frontalis kanan. Dari foto toraks PA tidak ditemukan gambaran metastasis
paru. Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan tumor kelenjar liur dengan diagnosis
banding polymorphous low grade adenocarcinoma, dan adenoid cystic carcinoma. Dari
pemeriksaan histokimia secara histologik lebih sesuai dengan adenokarsinoma NOS yang
berasal dari kelenjar liur (salivary gland-type adenocarcinoma).
DIAGNOSIS
Diagnosis Kerja
Adenokarsinoma sinonasal dekstra T1 N0 M0 Stadium I
Sinusitis maksilaris dan frontalis dextra.
Diagnosis Banding (-)
TATALAKSANA
Rencana Edukasi
Menjelaskan tentang karsinoma sinonasal terutama rencana tatalaksana sampai prognosis
pasien.
Rencana Terapi
Pro operasi ekstirpasi adenokarsinoma sinonasal T1 N0 M0 (Stadium I) Maxilektomi
medial dekstra.
Instruksi pre-op :
Ceftriaxon 1x 2 g iv
Puasa 6 jam pre-op
Konsul IPD
SIO + konsul anestesi
Konsul Ilmu Penyakit Dalam
Hasil : Toleransi operasi sedang
Konsul Anestesi : ASA II dengan hipertensi belum terkontrol
Laporan Pembedahan Operasi 13 Oktober 2008
Pasien terlentang di meja operasi dalam narkose.
Dilakukan a dan antisepsis pada sekitar lapangan operasi.
Dilakukan torsorafi pada orbita dekstra.
Dibuat garis insisi Moore di antara kantus medius dekstra dan puncak hidung,
setinggi pupil, menyusuri lateral hidung, allae nasi sampai vestibulum.
Dilakukan insisi pada garis tersebut, sampai dengan dasar tulang, perdarahan
dirawat.
Dilakukan pemaparan dinding anterior maksila dekstra dengan respiratorium
dibebaskan jaringan kutis, subkutis, dan otot ke lateral sampai batas foramen
infraorbita, dan ke medial, kavum nasi terpapar.
Tampak massa memenuhi kavum nasi.
Dilakukan pemahatan dinding medial sinus maksilaris dekstra, dinding anterior sinus
maksilaris dekstra dibuang sebagian dengan tang kerisor.
Tampak sekret dan massa di sinus maksila dekstra.
Dilakukan pengangkatan tumor dengan tang tumor, massa tumor dibersihkan dari
sinus maksilaris dekstra, kavum nasi dekstra sampai dengan nasofaring.
Dievaluasi, sisa massa tumor diangkat sampai bersih, dilakukan pemeriksaaan PA.
Perdarahan dirawat.
Dilakukan pemasangan tampon gulung, betadin, dan kemicetin di rongga sinus
maksilaris dekstra, nasofaring, dan kavum nasi dekstra.
Dilakukan penjahitan subkutis, kutis pada bekas insisi.
Torsorafi dibuka.
Operasi selesai.
Telah dilakukan maxilektomi medial dekstra dengan pendekatan rinotomi lateral, instruksi
post operatif:
1. Observasi tanda vital dan perdarahan.
2. Puasa sampai ditemukan bising usus.
3. Ceftriaxon 1 x 2 g
4. Ranitidin 2 x 1 amp
5. Transamin 3 x 1 amp
6. Tramadol 3 x 1 amp
Follow Up (14 Oktober 2008)
S : Pasien sadar, keluhan (-), perdarahan dari mulut/hidung (-), demam (-)
O : Luka insisi tenang, hidung tampak terpasang verban, perdarahan aktif (-)
A : Pasca maxilektomi medial dekstra dengan pendekatan rinotomi lateral, pada
adenokarsinoma sinonasal, T1N0M0 (stadium I), hari I
P : Ceftriaxon 1x 2 g
Ranitidin 2 x 1 amp
Tramadol 3 x 1 amp bila masih nyeri
Transamin 3 x 1 amp bila perdarahan kembali keluar
Follow Up (15 Oktober 2008)
S : keluhan (-)
O : Luka insisi tenang, hidung tampak terpasang verban, perdarahan aktif (-), pus (-), jahitan
baik.
A : Pasca maxilektomi medial dekstra dengan pendekatan rinotomi lateral, pada
adenokarsinoma sinonasal, T1N0M0 (stadium I), hari II
P : Ceftriaxon 1x 2 g
Ranitidin 2 x 1 amp
Tramadol 3 x 1 amp bila masih nyeri
Transamin 3 x 1 amp bila perdarahan kembali keluar
PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad malam
BAB IV
PEMBAHASAN KHUSUS
Pasien wanita berusia 57 tahun dengan keluhan utama benjolan di hidung kanan sejak 2
bulan SMRS. Benjolan pada daerah hidung kanan dapat disebabkan oleh karena infeksi
rongga sinus, polip nasi, trauma, dan keganasan. Diagnosis banding sinusitis dapat dipikirkan
karena selain benjolan yang dapat timbul pada kondisi akut, ditemukan pula keluhan hidung
tersumbat, rinorea, post-nasal drip, riwayat sinusitis. Polip nasi masih dapat dipikirkan
karena dari anamnesis ditemukan riwayat sinusitis, keluhan rinorea, dan hidung tersumbat.
Ketiadaan riwayat trauma pada pasien menyingkirkan diagnosis banding trauma.
Kecurigaan terhadap massa/tumor tidak boleh dilupakan pada kasus ini. Sumbatan
hidung karena tumor umumnya dapat disebabkan oleh karsinoma nasofaring (KNF), tumor
hidung dan sinonasal, dan angiofibroma nasofaring belia. Diagnosis banding KNF masih
dipikirkan karena adanya sumbatan hidung dan riwayat mimisan pada pasien, walaupun
tidak ditemukan gejala dini KNF berupa tinnitus, otalgia, rasa penuh di telinga akibat
sumbatan tuba, dan tidak ada gejala mata atau saraf. Diagnosis tumor hidung dan sinonasal
juga masih belum dapat disingkirkan. Kedua diagnosis di atas memerlukan masih
memerlukan pemeriksaan fisik dan penunjang. Angiofibroma nasofaring belia dapat
disingkirkan, karena selain sumbatan hidung, tidak ditemukan data pendukung lain berupa
riwayat epistaksis berulang masif, dan secara epidemiologi umumnya terjadi pada laki-laki
dekade 2 (7-19 tahun).
Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan tekanan darah yang tergolong hipertensi
grade II, tanda vital lainnya dalam batas normal. Status generalis pasien tidak ditemukan
kelainan. Dari hasil pemeriksaan telinga hidung tenggorokan ditemukan adanya asimetris
wajah unilateral (dekstra), nyeri tekan di daerah sinus frontalis dan maksilaris, massa polip
yang memenuhi kavum nasi dekstra, dengan adanya jaringan nekrotik tanpa perdarahan
aktif sampai koana ditemukan adanya septum terdesak ke kiri, konka inferior dan media kiri
eutrofi, serta dari pemeriksaan rinoskopi posterior ditemukan muara tuba eustachius
terbuka, sekret (-), hiperemis (-), koana, septum bagian belakang, konka, torus tubarius,
fossa Rosenmuller, adenoid dalam batas normal, ditemukan massa polip dari kavum nasi
dekstra. Dari hasil rinoskopi posterior maka diagnosis banding karsinoma nasofaring dapat
disingkirkan. Ditemukannya massa yang nekrotik di kavum nasi sampai dengan koana
membantu menyingkirkan diagnosis banding polip nasi, karena pada umumnya polip nasi
tidak dijumpai ada jaringan nekrotik. Wajah yang asimetris, rinorea dapat mengarahkan
diagnosis kepada keganasan hidung dan sinonasal. Namun masih perlu dilakukan
pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis kerja, apakah mengarah kepada
sinusitis atau keganasan hidung dan sinonasal, atau bahkan kedua diagnosis tersebut
merupakan diagnosis kerja pasien. Oleh karena itu pemilihan modalitas pemeriksaan
penunjang harus tepat sasaran, yakni membantu penegakkan diagnosis demi kepentingan
penatalaksanaan yang optimal.
Berdasarkan literatur, jika ada kecurigaan terhadap tumor hidung dan sinonasal,
pemeriksaan radiologik CT-scan atau MRI mempunyai peranan penting dalam menentukan
asal dan perluasan tumor serta pengobatan yang akan dilakukan. Selain itu, oleh karena
beragamnya gambaran histologis pada keganasan hidung dan sinonasal, diperlukan
pemeriksaan histopatologik melalui biopsi untuk menentukan jenisnya.1
Berdasarkan hasil CT-Scan sinus paranasal tanpa dan dengan kontras potongan aksila
dengan rekonstruksi sagital dan koronal, didapatkan kesan massa di kavum nasi kanan yang
meluas ke rongga nasofaring, dan sinus etmoidalis kanan sugestif tumor sinonasal, dan
sinusitis maksilaris dan frontalis kanan. Diagnosis definitif tumor hidung dan sinonasal pada
pasien ini ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan patologi anatomi melalui biopsi,1
dimana didapatkan gambaran tumor kelenjar liur dengan diagnosis banding polymorphous
low grade adenocarcinoma, dan adenoid cystic carcinoma, setelah dilakukan pemeriksaan
histokimia ditemukan adenokarsinoma NOS yang berasal dari kelenjar liur (salivary gland-
type adenocarcinoma). Sehingga diagnosis pada pasien ini adalah adenokarsinoma sinonasal
dekstra, dan sinusitis frontal et maksilaris dekstra.
Setelah menetapkan diagnosis, perlu dicari adanya metastasis. Pemeriksaan KGB
leher perlu dilakukan walaupun keganasan hidung dan sinus paranasal jarang bermetastasis
ke KGB. Pada pasien ini, tidak adanya keluhan benjolan leher dan tidak terabanya
pembesaran KGB leher menyingkirkan kemungkinan metastasis ke KGB regional. Pencarian
metastasis jauh juga perlu dilakukan untuk mengetahui kemungkinan tumor hidung dan
sinonasal merupakan tumor primer yang meluas atau merupakan metastasis dari organ lain.
Dari pemeriksaan foto toraks, tidak didapatkan kesan metastasis paru.
Berdasarkan literatur, tumor sinus paranasal perlu dilakukan klasifikasi stadium
menurut TNM untuk menentukan tindakan yang akan dilakukan. Berdasarkan klasifikasi
menurut UICC/UIAC edisi ke 6 tahun 2002 maupun dengan AJCC edisi 6 tahun 2002, yang
hanya digunakan untuk karsinoma di sinus maksila, etmoid dan rongga hidung1,3, maka
tumor pada pasien ini :
T1 : Tumor terbatas pada salah satu organ di rongga hidung atau satu sisi sinus
etmoid, dengan atau tanpa invasi tulang
N0 : karena tidak ditemukan metastasis ke KGB regional
M0 : karena berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, hasil foto
thoraks tidak ditemukan adanya metastasis jauh
Klasifikasi pada pasien ini yaitu T1N0M0 sesuai dengan klasifikasi UICC maupun AJCC dan
tergolong dalam stadium I. Sehingga diagnosis akhir pada pasien ini adalah Adenokarsinoma
sinonasal dekstra T1N0M0 Stadium I.
Pada keganasan hidung dan sinus paranasal, pembedahan berupa maksilektomi
masih merupakan modalitas utama, dan lebih sering bertujuan untuk pengobatan kuratif.
Radiasi dan kemoterapi dapat merupakan pengobatan tambahan. Sedangkan kombinasi
pembedahan, radiasi dan kemoterapi masih besifat paliatif.1 Pada tumor jinak dilakukan
ekstirpasi tumor sebersih mungkin, bila perlu dengan cara pendekatan rinotomi lateral atau
mid-facial degloving. Untuk tumor ganas, tindakan operasi harus seradikal mungkin.
Maksilektomi yang dilakukan dapat berupa maksilektomi medial, partial, total atau radikal.2
Pilihan pembedahan pada pasien ini berupa tindakan maksilektomi medial dengan
pendekatan rinotomi lateral dinilai tepat, sebab pada tumor hidung yang sudah meluas ke
sinus maksila ataupun etmoid dilakukan maksilektomi medial dengan pendekatan rinotomi
lateral. Hal ini sesuai dengan lokasi tumor pasien yaitu di kavum nasi dekstra yang sudah
meluas ke sinus etmoidalis dekstra, dan rongga nasofaring. Akibatnya, pasca operasi masih
ditemukan sisa tumor yang banyak di daerah orbita dan palatum, dan terapi radiasi yang
direncanakan pada pasien tidak dapat memperoleh hasil yang maksimal.
Setelah operasi, pasien diberikan antibiotika Cefriaxon 1 x 2 g, bertujuan sebagai
antibiotik profilaksis, dan juga bermanfaat untuk terapi sinusitis pasien. Pemberian Ranitidin
dimaksudkan untuk mencegah efek samping gastrointestinal oleh karena perngaruh
antibiotik yang diberikan. Pemberian Transamin (asam Traneksamat) bertujuan untuk
mencegah terjadinya perdarahan pasca operasi. Tramadol (Analgetik) sebagai analgetik kuat
untuk mencegah nyeri pasca operasi pada pasien. Dalam dua hari perawatan bangsal
kondisi klinis pasien membaik dan tidak ada keluhan. Pada pasien ini pertimbangan
pemberian terapi radiasi sebagai ajuvan dapat ditunda, karena terapi radiasi dilakukan
sebagai terapi paliatif pada keganasan stadium lanjut, pada pasien yang menolak operasi,
pada operasi yang tidak bersih atau masih batas yang tidak bebas tumor, atau untuk
menghentikan perdarahan aktif pada stadium lanjut. Sedangkan dari laporan pembedahan
didapatkan massa tumor telah dibersihkan dari sinus maksilaris dekstra, kavum nasi dekstra
sampai dengan nasofaring, dan setelah dievaluasi ulang sisa massa tumor diangkat sampai
bersih, sehingga pemberian terapi radiasi dapat ditunda melihat hasil pencitraan (CT-Scan)
pasca operasi untuk melihat apakah terjadi rekurensi.
Prognosis quo ad vitam pada pasien ini dubia ad bonam. Sebab pada pasien dengan
keganasan maka kita akan bicara mengenai angka bertahan hidup dalam 5 tahun. Angka
bertahan hidup 5 tahun pada pasien adenokarsinoma sinus paranasal yang menjalani
operasi dan radiasi berkisar 55% untuk T1 dan T2, 28% untuk T3, dan hanya 25% untuk lesi
T4.5 Sehingga angka bertahan hidup pasien masih cukup tinggi.
Prognosis quo ad functionam pasien dubia ad bonam, karena pada pasien diterapi
sesuai kondisinya. Tumor yang belum sempat menginvasi terlalu jauh, dan tidak
ditemukannya keluhan gangguan penciuman sebelum dan setelah operasi menunjukkan
fungsi indera penghidu yang masih dapat dipertahankan. Prognosis qua ad sanactionam
dubia ad malam, karena adenokarsinoma gradasi rendah sekalipun memiliki kecenderungan
untuk rekurensi lokal.5
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
1. Armiyanto. Keganasan hidung dan sinus paranasal. Dibawakan pada Satelit
Simposium Penanganan Mutakhir Kasus Telinga Hidung Tenggorok. Hotel
Borobudur, Jakarta 12 April 2003. PKB bagian THT FKUI/RSCM.
2. Roezin A, Armiyanto. Tumor hidung dan sinonasal. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
editor. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Ed. 5.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2001; h.178-81.
3. American Joint Committee on Cancer (AJCC). Nasal Cavity and Paranasal Sinuses. In :
Greene FL, Page DL, et al. AJCC Cancer Staging Handbook. 6th ed. Philadelphia :
Lippincott-Raven, 2002. H.39.
4. Roezin A. Terapi bedah tumor ganas sinus maksila. Dalam: Kumpulan Naskah Ilmiah
PERHATI. Jakarta: The Indonesian Otorhinolaringological Society, 1995: 1139-47
5. Zimmer LA, Carrau RL. Neoplasms of the nose and paranasal sinuses. In : Bailey BJ,
Johnson JT, Newlands SD. Head and neck surgery-Otolaryngology.4th ed. vol 2.
Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2006. h.1481-1498.
6. Rassekh CH. Nose and paranasal sinus. In : Close LG, Larson DL, Shsh JP. Essentials of
head and neck oncology. New York : Thieme, 1998.h.125-134.
7. Susworo R. Radioterapi pada kasus kanker kavum nasi dan sinus paranasal. In :
Dasar-Dasar Radioterapi dan Tatalaksana radioterapi penyakit Kanker. Jakarta: UI-
Press, 2006; hal 64-76
8. Dhillon RS, East CA.An illustrated color text : Ear, Nose and Throat and head and
neck surgery.2nd ed. Philadelphia : Churchill-Livingstone, 2000. h. 30-6
9. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinus paranasal. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
editor. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Ed. 5.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2001; h.145-9.
10. Shao W, Vasanth A. Malignant tumor of the nasal cavity. Diperbarui: 16 November
2007. Diunduh dari http://www.emedicine.com tanggal 17 Juli 2008.
11. Leivo I. Update on Sinonasal Adenocarcinoma: Classification and Advances in
Immunophenotype and Molecular Genetic Make-Up. Diperbarui: 28 November
2007. Diunduh dari http://www.springerlink.com tanggal 14 Oktober 2008.
12. Escuredo PJ, Llorente JL, et al. Genetic and clinical aspects of wood dust related
intestinal-type sinonasal adenocarcinoma: a review. Diperbarui: 17 Juni 2008.
Diunduh dari http://www.springerlink.com tanggal 14 Oktober 2008.