55
PRESENTASI KASUS ADENOKARSINOMA SINONASAL Disusun Oleh: Hisar Daniel, S.Ked 0706168963 Narasumber: dr. Marlinda Adham Yudharto, Sp.THT-KL (K) DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA LEHER

adenokarsinoma sinonasal

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: adenokarsinoma sinonasal

PRESENTASI KASUS

ADENOKARSINOMA SINONASAL

Disusun Oleh:

Hisar Daniel, S.Ked

0706168963

Narasumber:

dr. Marlinda Adham Yudharto, Sp.THT-KL (K)

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA

OKTOBER 2008

Page 2: adenokarsinoma sinonasal

BAB I

PENDAHULUAN

Angka kejadian keganasan hidung dan sinus paranasal tergolong rendah, akan tetapi

diagnosis dini kasus ini seringkali mengakibatkan keterlambatan penatalaksanaan,

sehingga memerlukan perhatian khusus oleh dokter umum maupun ahli Telinga

Hidung Tenggorokan (THT). Dari data ditemukan bahwa keganasan hidung dan sinus

paranasal hanya merupakan 1% dari seluruh tumor ganas tubuh, dan 3% dari

keganasan di kepala dan leher.1,2,5,10 Dengan predileksi tersering adalah di sinus

maksila (70-80%), diikuti sinus etmoid dan hidung (20-30%), sedangkan sinus frontal

dan sfenoid jarang dijumpai (kurang dari 1%).1,4

Secara anatomis hidung dan sinus paranasal merupakan suatu struktur dan

rongga yang berhubungan erat. Keganasan di hidung dapat lebih cepat terlihat dan

menimbulkan gejala, tetapi keganasan di sinus yang merupakan rongga tersembunyi

di dalam tulang-tulang pembentuk wajah, tidak mungkin terlihat hanya melalui

pemeriksaan fisik biasa. Seringkali diagnosis baru ditegakkan setelah tumor sudah

merusak struktur di sekitarnya sehingga asal tumor sangat sulit ditentukan.1

Hidung tersumbat, epistaksis dan rinore merupakan gejala utama yang sering

dikeluhkan pasien. Gejala ini mirip dengan rhinitis dan sinusitis pada umumnya,

sehingga seringkali lewat dari pengamatan dokter pemeriksa. Gejala dan tanda klinis

serta beragamnya gambaran histologis keganasan ini, memerlukan pemeriksaan

histopatologik melalui biopsi untuk menentukan jenisnya. Pemeriksaan radiologik

tomografi komputer (CT-Scan) atau MRI mempunyai peranan penting untuk

menentukan asal dan perluasan tumor serta pengobatan yang akan dilakukan.

Umumnya keganasan hidung dan sinus paranasal ditemukan sudah berada dalam

stadium lanjut, sehingga penanganannya harus bersifat multidisiplin dengan bagian

yang terkait.1,2

Oleh karena itu pengetahuan dokter umum dalam diagnosis dan

penatalaksanaan tumor hidung dan sinonasal secara dini perlu ditingkatkan.

Makalah ini akan membahas kasus tumor hidung dan sinonasal dengan penekanan

pada diagnosis dan tatalaksana optimal pasien.

Page 3: adenokarsinoma sinonasal

Semoga kiranya melalui makalah ini, para pembaca mendapatkan tambahan

wawasan dalam hal diagnosis dan penatalaksanaan pasien tumor hidung dan

sinonasal.

Terima kasih,

Penulis

Page 4: adenokarsinoma sinonasal

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI1,6

1. Hidung

Hidung dibagi menjadi vestibulum, dan rongga hidung karena struktur anatomis

keduanya berbeda. Vestibulum hidung yang merupakan pintu masuk ke rongga

hidung merupakan rongga hidung bagian anterior, diliputi oleh epitel kulit yang

mengandung rambut serta folikel rambut dan kelenjar sebasea. Bagian lateral

dibatasi oleh tulang rawan lateral bawah (lower lateral cartilages) dan bagian

medial, dibatasi kolumela septum.

Rongga hidung dibagi menjadi dua oleh septum nasi, dimulai dari daerah

transisi antara epitel kulit vestibulum, mukosa hidung, dan ke belakang sampai ke

koana. Septum nasi sebagian besar dibentuk oleh tulang rawan septum di bagian

anterior dan bagian tulang di bagian posterior dibentuk oleh perpendicular tulang

etmoid yang juga membentuk kribriformis dan tulang vomer yang membentuk

bagian bawah septum. 1,6

Mukosa yang meliputi rongga hidung adalah epitel toraks berlapis semu

bersilia yang mengandung kelenjar serosa yang menghasilkan mukus. Epitel

olfaktorius menempati daerah yang paling superior dari rongga hidung yang

langsung berhubungan dengan saluran olfaktorius di daerah kribriformis. Dinding

lateral rongga hidung dibentuk oleh konka inferior, media dan superior. Di bawah

masing-masing konka terdapat meatus. Ostium duktus nasolakrimal terdapat di

meatus inferior. Bagian yang penting dari dinding lateral rongga hidung adalah

konka media yang di bawahnya terdapat meatus media dengan kompleks

osteomeatal dimana terdapat muara dari sinus-sinus anterior antara lain sinus

maksila, etmoid anterior dan frontal. Konka superior yang kadang-kadang tidak

terbentuk, di bagian bawah terdapat meatus superior dimana terdapat ostia sinus

sfenoid dan etmoid posterior.

Page 5: adenokarsinoma sinonasal

2. Sinus maksila1,6,9

Sinus maksila mulai berkembang pada usia 3 tahun dan berkembang cepat pada

usia 7-18 tahun mencapai ukuran dewasa sebesar 34 x 33 x 23 mm atau volume

rata-rata 14,75-15 mL. Sinus maksila (Antrum of Highmore) merupakan rongga

sinus terbesar, terletak di dalam tulang maksila (tulang pipi), jumlah sepasang,

dan umunya simetris. Sinus maksila berbentuk piramid dengan dasar dinding

lateral rongga hidung, dan puncaknya ke arah prosesus zygomatikus.

Gambar 1. Anatomi sinus paranasal (lateral). Sumber: Netter FH. Paranasal sinuses. In: Netter FH.

Atlas of Human Anatomy. 3rd edition. New Jersey: ICON Learning Systems, 2003. p. 45

Atapnya merupakan dasar orbita, dan lantai sinus dibatasi oleh prosesus alveolar.

Dinding anterior yaitu fosa kanina, memisahkan sinus maksila dengan kulit pipi.

Kurang lebih 1 cm di bawah dinding orbita inferior terdapat foramen infraorbita

yang mengandung pembuluh darah, dan saraf infraorbita yang memperdarahi

dan mempersarafi gingiva, dentis kanina serta insisivus atas. Dinding posterior

dibatasi oleh fosa infratemporal, dan pterigomaksila berhubungan dengan arteri

sfenopalatina yang merupakan cabang terbesar dari arteri maksilaris interna.

3. Sinus etmoidalis

Sinus etmoidalis atau labirin merupakan rongga-rongga kecil, sehingga disebut

juga sel etmoid, mulai terbentuk pada bulan ke 3 - 4 kehidupan janin sebagai

proses evaginasi dinding lateral hidung di daerah meatus media (etmoid anterior)

dan meatus superior (etmoid posterior). Pada waktu lahir jumlahnya hanya 3-4 sel

dan cepat berkembang sampai mencapai jumlah 10-15 sel pada usia 12 tahun,

dengan total volume 14-15 ml. Sel etmoid terletak di pertengahan atas rongga

hidung dan medial rongga orbita.

Page 6: adenokarsinoma sinonasal

a. b.

Gambar 2. Sinus paranasal. A. Potongan koronal. B. Potongan melintang. Sumber: Netter FH.

Paranasal sinuses. In: Netter FH. Atlas of Human Anatomy. 3 rd edition. New Jersey: ICON Learning

Systems, 2003. p. 43-4

4. Sinus frontalis1,9

Sinus frontalis secara radiologis belum terlihat pada usia kurang dari 2 tahun, dan

terbentuk lengkap pada usia akhir belasan. Besar dan bentuk sinus frontal sangat

bervariasi, bahkan pada 5% populasi salah satu sisi sinus tidak berkembang.

Ukuran dewasa rata-rata 28 x 27 x 17 mm dengan volume 6-7 ml. Sinus ini

berhubungan dengan rongga hidung melalui resesus frontal yang berjalan ke

bawah dan belakang dan bermuara di sebelah atas infudibulum, atau bermuara

langsung di meatus media. Lapisan diploik bagian tulang frontal (dahi) merupakan

batas anterior sinus frontal, sedangkan bagian posterior sinus dibentuk oleh

lapisan tulang yang padat yang memisahkan sinus frontal dari fosa kranii anterior.

5. Sinus sfenoidalis

Sinus sfenoidalis mencapai ukuran dewasa pada usia 12-15 tahun, dengan ukuran

14 x 14 x 12mm dan volume rata-rata 7,5ml.

Kedua sinus sfenoid kiri dan kanan dipisahkan oleh septum intersinus.

Sinus ini bermuara di meatus superior, berupa ostium kecil di resesus

Page 7: adenokarsinoma sinonasal

sfenoetmoid yang berlokasi 10 mm di atas dasar sinus atau kurang-lebih 30 mm

dari lantai rongga hidung. Di atas sinus terdapat kelenjar hipofise dan saraf

optikus, sedangkan di lateral terdapat sinus kavernosus, fisura orbita superior dan

arteri karotis interna. Tulang yang membentuk sinus sfenoid merupakan tulang

yang tipis dan hanya diliputi oleh mukosa sehingga tindakan kuret harus dilakukan

sangat hati-hati karena dapat merusak struktur penting di sekitarnya.

6. Sistem Limfatik1

Pembuluh limfe di sinus paranasal

sangat sedikit sekali, sehingga

metastasis ke kelenjar limf regional

terjadi bila tumor primer sudah

meluas ke struktur di sekitar sinus

paranasal yang lebih banyak

mengandung jaringan limfatik seperti

nasofaring, mukosa pipi, palatum, kulit

pipi dan rongga hidung. Aliran limfe

yang berasal dari rongga hidung dan

palatum terutama menuju ke sistim

limfatik nasofaring selanjutnya

menuju ke kelenjar limf retrofaring

dan faring lateral di dasar tengkorak,

sedangkan aliran limf dari sinus

paranasal sendiri akan menuju ke

kelenjar limf parafaring dan

retrofaring, selanjutnya ke kelenjar

subdigastrik.

Gambar 3. Aliran limfatik pada regio kepala dan

leher. Sumber: Netter FH. Lymphatic System:Head

and Neck Region. In: Netter FH. Atlas of Human

Anatomy. 3rd edition. New Jersey: ICON Learning

Systems, 2003. p. 68

Page 8: adenokarsinoma sinonasal

EPIDEMIOLOGI1,2

Keganasan di sinus paranasal hanya merupakan 1% dari seluruh keganasan di seluruh tubuh,

atau 3% dari keganasan di kepala dan leher.1,5,6,10 Insidens tertinggi ditemukan di Jepang

yaitu 2-3,6 per 100.000 penduduk pertahun. Merupakan keganasan nomor 2 di bidang THT

setelah KNF (10-15%). Pada keganasan hidung dan sinus paranasal, perbandingan jumlah

pasien laki-laki dan perempuan 2: 1, 1,2usia bervariasi luas antara 4 - 78 tahun dan terbanyak

pada dekade ke 5 - 6 (33 %). Lebih dari 90 % datang berobat dengan keluhan hidung

tersumbat, rinore dan ingus bercampur darah dan gejaia ini sudah berlangsung antara 6 - 8

bulan sehingga, sebagian besar (80-90%) sudah dalam keadaan stadium lanjut (stadium IV)

dan sulit menentukan asal tumor primernya. 1

HISTOPATOLOGI1,2,5,10

Tumor hidung dan sinus paranasal secara garis besar dikelompokkan menjadi tumor epitel,

non epitel dan metastasis tumor.

Tumor ganas epitel

Tumor ganas epitel yang sering dijumpai (sekitar 80-90%) adalah karsinoma sel

skuamosa, dengan lokasi tersering adalah di sinus maksila (70-80%), sinus etmoid 10-22%,

hidung sekitar 12%, sinus sfenoid sekitar 2% dan di sinus frontal yang paling jarang

ditemukan yaitu, kurang dari 1%, kemudian kanker kelenjar liur, adenokarsinoma,

karsinoma tanpa diferensiasi, dan lain-lain.1,2,6

Karsinoma sel skuamosa yang ditemukan umumnya berdifferensiasi baik, tumbuh

agak lambat dan jarang bermetastasis jauh atau regional. Adenokarsinoma dan adenosistik

karsinoma yang termasuk tumor epitel yang berasal dari kelenjar liur minor jumlahnya

sekitar 10-14 %, sering ditemukan di sinus etmoid, maksila dan hidung. Tumor ini dibagi

menjadi 2 jenis yaitu, gradasi rendah (low grade) dan gradasi tinggi (high grade) dengan

tingkat metastasis yang tinggi (30%). Low grade adenocarcinoma cenderung untuk terjadi

rekurensi lokal. Sedangkan sepertiga dari pasien dengan high grade adencarcinoma akan

disertai metastasis jauh. Pembagian histopatologis terbaru adenokarsinoma sinonasal

adalah dengan membaginya menjadi dua tipe yakni salivary gland-type adenocarcinoma dan

non-salivary gland-type adenocarcinoma yang kemudian dibagi lagi menjadi tipe intestinal

dan non-intestinal.11 Pendekatan untuk adenokarsinoma sinus paranasal meliputi reseksi

kraniofasial anterior, rinotomi lateral, dan teknik endonasal dengan atau tanpa radioterapi.

Page 9: adenokarsinoma sinonasal

Angka bertahan hidup 5 tahun pada pasien pasca operasi dan radiasi berkisar 55% untuk T1

dan T2, 28% untuk T3, dan 25% untuk lesi T4.5

Melanoma malignum dapat juga ditemukan di hidung dan sinus paranasal, paling

sering terdapat di rongga hidung, sinus etmoid, maksila dan frontal. Jumlahnya kira-kira 1%

dari seluruh keganasan di daerah ini. Tumor ini mudah residif dan sering bermetastasis jauh

secara limfogen dan hematogen.

Mukoepidermoid karsinoma sangat jarang ditemukan di daerah ini. Dari 400 kasus

karsinoma mukoepidermoid di kepala dan leher, hanya ditemukan 21 kasus yang terdapat di

hidung dan sinus paranasal. Tumor jenis ini cenderung di temukan dalam stadium lanjut dan

lebih dar-i 25% telah bermetastasis jauh.1

Tumor ganas non-epitel

Tumor ganas yang berasal dari mesoderm ini hanya menempati 5% dari seluruh keganasan

di hidung dan sinus paranasal. Termasuk dalam jenis ini antara lain, rabdomiosarkoma,

fibrosarkoma, ameloblastoma maligna, osteogenik sarcoma, plasmasitoma, dan limfoma

maligna. Secara keseluruhan tumor ganas non epitel ini sangat sulit diobati baik secara

pembedahan maupun dengan radiasi ataupun dengan kemoterapi sehingga prognosisnya

sangat buruk. Limfoma malignum biasanya jenis non Hodgkin's, dapat secara lokal tumbuh

di hidung dan sinus paranasal atau bagian dari lesi yang bersifat sistemik.1,2

Metastasis tumor

Walaupun sangat jarang, hidung dan sinus paranasalis dapat merupakan tempat metastasis

jauh. Metastasis tumor hidung dan sinus paranasal menimbulkan gejala yang mirip dengan

tumor primer yang paling sering berasal dari payudara, ginjal dan karsinoma paru.

ARAH PERLUASAN TUMOR

Struktur anatomi kraniofasial yang kompleks dan hubungan yang sangat erat serta dekat

dengan organ vital, menyebabkan perluasan tumor primer hidung dan sinus paranasal

mengenai organ vital dan organ lainnya terjadi pada awal perjalanan penyakit ini. Sebagai

contoh, dari 80 % seluruh keganasan yang primernya di sinus maksila, kurang dari 25 %

kasus yang masih terbatas di sinus maksila pada saat pertama diagnosis ditegakkan.

Keganasan yang primernya di sinus etmoid jarang terjadi, sinus frontal dan sfenoid lebih

jarang lagi, biasanya sudah meluas ke organ sekitarnya.

Page 10: adenokarsinoma sinonasal

Perluasan keganasan hidung dan sinus paranasal dapat bersifat lokal melalui

perluasan langsung atau regional dan metastasis jauh. Tumor primer yang masih kecil dan

terbatas di rongga hidung atau sinus sering tidak menimbulkan gejala sampai tumor

tersebut meluas ke sekitarnya. Tumor ganas di rongga hidung dapat meluas ke sisi lain

dengan menimbulkan destruksi septum, ke sinus maksila, etmoid, nasofaring, palatum atau

lebih jauh lagi, meluas ke sisi lain dengan menimbulkan destruksi septum, ke sinus maksila,

etmoid, nasofaring, palatum atau lebih jauh lagi, meluas ke rongga orbita atau fosa kranii

anterior.

Tumor sinus maksila dapat meluas melalui fisura atau foramen disekitarnya. Ke

posterior dan lateral meluas ke fosa Pterigopalatina dan Infratemporal. Ke superior melalui

fisura orbita superior masuk ke rongga orbita. Ke fosa kranii media melalui foramen

rotundum, ke posterior ke pars petrosus tulang temporal atau ke rongga mulut melalui

kanalis palatina. 1

ETIOLOGI1,2,4,6

Berbagai faktor diajukan sebagai etiologi keganasan di hidung dan sinus paranasal.

Setelah terpapar bahan-bahan karsinogen diperlukan waktu laten kurang lebih 20-30 tahun

untuk dapat berkembang menjadi keganasan. Lebih dari 44% keganasan di hidung dan sinus

paranasal menunjukkan adanya paparan karsinogen industri maupun rumah tangga, seperti

nikel, kromium, larutan isopropil, gas hidrokarbon, dan debu serat organik. Bahan-bahan

kimia ini banyak terdapat pada industi kayu, kulit dan tekstil.1,4,6 Terpaparnya debu kayu

pada industri furnitur dan penggergajian kayu, menyebabkan insidens yang sangat tinggi

terjadinya adenokarsinoma di sinus etmoid, yaitu 1000 x lebih sering dibanding populasi

normal.1,2,5 Debu kayu tidak memiliki sifat mutagenik, akan tetapi apabila terakumulasi di

mukosa dapat mengakibatkan inflamasi kronis sehingga turnover rate mukosa meningkat

dan pada akhirnya memicu hiperplasia dan metaplasia mukosa yang dapat berlanjut

menjadi keganasan.12 Ciri gambaran histologisnya adalah adenokarsinoma tipe intestinal

(golongan non-salivary gland-type adenocarcinoma).12

Menurut Sakai, 80 % pasien dengan karsinoma sinus maksila mempunyai latar

belakang sinusitis kronis untuk berkembang menjadi keganasan adalah 36 kali lebih besar

dari orang sehat.4

GEJALA KLINIS1,2,4,5,10

Page 11: adenokarsinoma sinonasal

Tumor primer di rongga hidung sulit diketahui apakah dimulai dari rongga hidung

atau perluasan tumor dari sinus maksila atau etmoid, sebab secara anatomis daerah

tersebut berhubungan. Hal yang sering dijumpai pertama kali pasien datang adalah bahwa

tumor sudah meluas mengenai seluruh rongga hidung dan sinus paranasal bahkan sudah

mengenai kulit pipi, palatum, orbita dan dasar tengkorak, sehingga secara klinis sangat sulit

menentukan asal tumor. Pada stadium yang lebih awal, gejala yang timbul tergantung dari

tempat asal dan perluasan tumor. Gejala yang ditimbulkan sulit dibedakan dengan

peradangan kronis di hidung dan sinus paranasal sampai tumor tumbuh menjadi stadium

lanjut. Pada pasien yang lebih tua adanya keluhan hidung atau sinus yang bersifat unilateral

seperti poliposis atau keluhan sumbatan, epistaksis, anosmia harus dicurigai adanya

keganasan. Adanya rasa nyeri dan pembengkakkan dahi mungkin dapat disebabkan oleh

keganasan di sinus frontal. Keganasan di sinus sfenoid secara dini sulit dikenal, sampai

tumor ini keluar dari sinus sfenoid dan sering terlihat sebagai tumor nasofaring atau

sfenoetmoid.

Gejala tersering pada keganasan di sinus maksila yaitu benjolan di pipi yang

menyebabkan asimetris wajah akibat perluasan tumor ke dinding sinus anterior. Lebih dari

50% keganasan di sinus maksila dan etmoid terdapat keluhan rinore dan nyeri di daerah pipi

atau pangkal hidung. Keganasan di sinus maksila, tumor dapat meluas ke superior dan

masuk rongga orbita sehingga menyebabkan proptosis, atau ke inferior menyebabkan

keluhan gigi-geligi berupa gigi goyang, bahkan tanggal, atau meluas ke posterior melalui

rongga pterigomaksila, masuk ke fosa kranii media dan menyebabkan gangguan neurologis.

Gejala mata terdapat pada 25% pasien yang disebabkan oleh perluasan tumor

melalui dinding orbita inferior atau melalui lamina papirasea. Gejala yang timbul berupa,

diplopia, berkurangnya visus dan eksoftalmus, bahkan pada stadium lanjut terjadi pelebaran

jarak antara kedua kantus medial mata. Rasa penuh di kelopak mata bawah dan epifora

menunjukkan keterlibatan rima orbita atau struktur lakrimalis. Pada stadium lanjut terdapat

gangguan neurologis karena kerusakan saraf-saraf kranial akibat perluasan tumor ke dasar

tengkorak.

Page 12: adenokarsinoma sinonasal

DIAGNOSIS1,2,5

Anamnesis

Anamnesis yang lengkap dan menyeluruh sangat diperlukan dalam penegakkan diagnosis

keganasan di hidung dan sinus paranasal. Pada stadium awal sering berupa sumbatan,

rinore, epistaksis, nyeri di daerah sinus dan pembengkakan pipi yang juga merupakan gejala

peradangan umumnya. Kurang lebih 9-12 % keganasan di hidung dan sinus paranasal

stadium awal bersifat asimptomatis. Riwayat terpapar bahan-bahan kimia karsinogen yang

dihubungkan dengan pekerjaan atau lingkungan perlu diketahui untuk mencari

kemungkinan faktor resiko.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik THT harus seteliti mungkin dengan penerangan yang cukup, baik dengan

alat-alat konvensional maupun dengan endoskopi. Adanya asimetri wajah atau proptosis

dapat disebabkan oleh pertumbuhan atau desakan tumor di hidung dan sinus paranasal.

Adanya massa di rongga hidung, harus dideskripsikan dengan lengkap baik warna,

permukaan, konsistensi, rapuh/tidak, mudah berdarah serta perluasannya. Jika dinding

lateral kavum nasi terdorong ke medial berarti tumor berada di sinus maksila. Pemeriksaan

rongga mulut harus dilakukan apakah ada massa tumor di palatum atau sulkus

gingivobukalis, bila perlu digunakan sarung tangan untuk meraba apakah terdapat destruksi

tulang palatum, penonjolan atau gigi yang goyah.1,2

Pemeriksaan nasofaring dilakukan untuk mengetahui adanya massa tumor yang berasal dari

sinus sfenoid atau perluasan tumor hidung ke posterior. Pemeriksaan lain yang harus

dilakukan adalah, pemeriksaan telinga, adakah otitis media atau tuli konduktif akibat masa

tumor yang menutup tuba Eustakius, pemeriksaan visus dan gerakan bolamata,

pemeriksaan saraf perifer dan pemeriksaan kelenjar getah bening leher walaupun

keganasan di hidung dan sinus paranasal jarang bermetastasis ke kelenjar getah bening

regional.

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan radiologi dapat berupa foto polos sinus (posisi Waters atau lateral),

tomografi komputer (CT Scan) atau MRI. Pada lebih dari 60% kasus, adanya destruksi tulang

Page 13: adenokarsinoma sinonasal

dapat terlihat pada foto polos, tetapi adanya invasi tumor ke jaringan lunak kurang jelas

terlihat. Kadang-kadang pada keganasan yang masih terbatas, dengan pemeriksaan foto

polos, masih terkesan normal. Perselubungan di rongga sinus sulit dibedakan dengan proses

peradangan. Sehingga penleriksaan foto polos untuk keganasan di hidung dan sinus

paranasal sudah jarang digunakan.

CT Scan dan MRI dapat mengisi kekurangan pada foto polos, karena dengan jelas

dapat terlihat adanya destruksi tulang, besar dan perluasan tumor primer ke jaringan lunak,

sehingga derajat invasi tumor tergambarkan. Selain itu, dapat dinilai adanya metastasis ke

kelenjar getah bening regional. CT Scan lebih baik dalam memperlihatkan gambaran

destruksi tulang, sedangkan pada MRI adanya invasi ke jaringan lunak lebih jelas terlihat dan

lebih tidak invasif dibandingkan dengan pemeriksaan CT Scan.

a. b.

Gambar 4.a. Pasien dengan tumor sinonasal kiri. 4.b. Gambaran CT-Scan pasien 4.a. dengan keterlibatan sel tumor pada kavum nasi kiri, antrum maksila, etmoid, dan orbita. Sumber: Fasunla AJ, Lasisi AO. Sinonasal Malignancies: A 10-Year Review in a Tertiary Health Institution. JNMA;99:1407-10

Biopsi

Setiap keganasan hidung dan sinus paranasal harus dilakukan biopsi untuk

menegakkan diagnosis yang definitif dan merencanakan pengobatan. Pada umumnya pasien

datang sudah dalam stadium lanjut dan tumor sudah terdapat di rongga hidung bahkan

sudah menginfiltrasi kulit. Biopsi cukup dilakukan pada massa tumor yang terlihat dan

mudah dicapai. Jika dicurigai tumor jenis vaskuler, misalnya hemangioma atau

angiofibroma, jangan lakukan biopsi karena sulit untuk menghentikan perdarahan yang

terjadi. Untuk kasus tumor vaskuler, diagnosis dapat ditegakkan dengan angiografi.1,2

Page 14: adenokarsinoma sinonasal

KLASIFIKASI STADIUM1,3,4,5,10

Klasifikasi stadium karsinoma sinus paranasal sampai saat ini masih kontroversial,

sedangkan untuk karsinoma sinus frontal dan sfenoid sampai saat ini belum ada sistim

klasifikasi stadium yang dipakai secara luas, karena keganasan di daerah ini sangat jarang

ditemukan.1,2,3 Onhgren tahun 1933, pertama sekali membuat sistim stadium keganasan di

sinus maksila , dengan membagi sinus maksila menjadi bagian Anteroinferior (Infrastruktur)

dan Postero superior (Suprastruktur) berdasarkan garis imajiner yang ditarik dari angulus

mandibula ke kantus medial mata. Onhgren membuat korelasi secara umum yaitu, tumor

yang berasal dari bagian Supra struktur mempunyai prognosis yang lebih buruk dibanding

dari Infra struktur. Sissons tahun 1963, mengadopsi sistim TNM dan menambahkan uraian

daerah Onhgren. Sakai tahun 1985 mengusulkan sistim TNM dan sistim ini juga dipakai oleh

UICC dan AJCC. Klasifikasi stadium diatas hanya untuk keganasan di sinus maksila.1

Uraian lengkap yang terbaru dan banyak dipakai saat ini yaitu berdasarkan UICC

(Union Internationale Contre le Cancer) atau International Union Against Cancer edisi ke 6

tahun 2002s klasifikasi ini hanya untuk karsinoma di sinus maksila, etmoid, dan rongga

hidung, serta harus dibuktikan dengan pemeriksaan histopatologis. Penulis sendiri

mengambil sumber dari AJCC Cancer Staging Manual sebagai sumber dalam

pengklasifikasian yang serupa dengan UICC dimana penilaian TNM didasari atas

pemeriksaan fisik, dan penunjang antara lain nasoendoskopi, foto Rontgen, CT-Scan, MRI,

ataupun modalitas pencitraan terkini lainnya.3

Klasifikasi TNM adalah sebagai berikut :

T Tumor Primer

TX Tumor primer tidak diketahui

T0 Tidak terbukti adanya tumor primer

Tis Karsinoma insitu

Sinus Maksila

T1 Tumor terbatas di mukosa dan tidak ditemukan erosi atau destruksi

tulang

T2 Tumor sudah mengakibatkan erosi atau destruksi tulang, meluas ke

palatum durum dan atau meatus media tanpa perluasan ke dinding

Page 15: adenokarsinoma sinonasal

posterior sinus maksila dan tulang pterigoid

T3 Tumor sudah menginvasi salah satu organ : dinding posterior sinus

maksila, jaringan subkutan, dasar atau medial orbita, fossa pterigoid,

sinus etmoid

T4a Tumor sudah menginvasi salah satu organ : masuk anterior orbita, kulit

pipi, os pterigoid, fosa infratemporal, kribriformis, sinus sphenoid atau

frontal

T4b Tumor sudah menginvasi salah satu organ : apeks orbita, dura/

intraserebral, fosa kranii media, saraf cranial selain cabang maksila saraf

trigeminal (V2), nasofaring atau klivus

Rongga hidung dan Sinus etmoid

T1 Tumor terbatas pada salah satu organ di rongga hidung atau satu sisi

sinus etmoid, dengan atau tanpa invasi tulang

T2 Tumor sudah meluas ke dua organ di rongga hidung atau ke dua sisi sinus

etmoid, atau meluas ke kompleks nasoetmoid, dengan atau tanpa invasi

tulang

T3 Tumor sudah meluas dan menginvasi dinding medial atau lantai orbita,

sinus maksila, palatum, daerah kribriformis

T4a Tumor sudah menginvasi salah satu organ : masuk anterior orbita, kulit

pipi atau hidung, os pterigoid, perluasan minimal ke fosa kranii anterior,

sinus sphenoid atau frontal

T4b Tumor sudah menginvasi salah satu organ : apeks orbita, dura/

intraserebral, fosa kranii media, saraf cranial selain cabang maksila saraf

trigeminal (V2), nasofaring atau klivus

N = Kelenjar Getah Bening Regional

Nx adanya metastasis ke KGB regional tidak dapat dinilai

N0 Tidak terdapat metastasis ke KGB regional

N1 Metastasis ke salah satu kgb regional ipsilateral degan diameter terbesar

sama dengan atau kurang dari 3 sentimeter

N2 Metastasis ke salah satu kgb ipsilateral den-an diameter terbesar antara 3

Page 16: adenokarsinoma sinonasal

cm Sampai 6 cm, atau multiple ipsilateral, atau bilateral atau kontra

lateral dengan diameter terbesar kurang dari 6 crn

N2a Metastasis ke salahsatu kgb ipsilateral dengan diameter terbesar antara 3

sampai 6 cm

N2b Metastasis ke kgb multiple ipsilateral dengan diameter terbesar kurang 6

cm

N2c Metastasis ke kgb bilateral atau kontralateral dengan diameter terbesar

sampai 6 cm

N3 Metastasis ke kgb dengan diameter terbesar lebih dari 6 cm

M = Metastasis Jauh

Mx Adanya metastasis jauh tidak dapat dinilai

M0 Tidak terdapat metastasis jauh

M1 Terdapat metastasis jauh

KLASIFIKASI STADIUM TNM

Stadium 0 Tis N0 M0

Stadium I T1 N0 M0

Stadium II T2 N0 M0

Stadium IIIT1,T2 N1 M0

T3 N0. N1 M0

Stadium IVaT1,T2,T3 N2 M0

T4a No, N1, N2 M0

Stadium IVbT4b Setiap N M0

Setiap T N3 M0

Stadium IVc Setiap T Setiap N M1

Page 17: adenokarsinoma sinonasal

PENGOBATAN1,4,5,6

Pembedahan

Pembedahan pada keganasan hidung dan sinus paranasal merupakan modalitas utama dan

lebih sering bertujuan untuk pengobatan yang bersifat kuratif. Eksisi paliatif biasanya

dilakukan untuk tumor yang sangat besar untuk mengurangi nyeri dengan dekompresi

terhadap struktur penting atau debulking sebagai persiapan pemberian radiasi dan

kemoterapi. Pembedahan sebagai pengobatan tunggal pada keganasan di hidung dan sinus

paranasal, prognosis bertahan hidup selama 5 tahun mempunyai variasi luas antara 19 –

86%.5

Pada tumor yang terbatas di vestibulum, tumor dapat diangkat secara adekuat

dengan reseksi sebagian hidung, setelah reseksi defek dapat langsung di rekonstruksi

dengan "local flap" atau "forehead flap" pada defek yang lebih besar. Pada rinektomi, defek

akan lebih mudah ditutup dengan prostesis hidung. Tumor yang masih terbatas di dinding

lateral hidung dapat diangkat dengan eksisi luas dengan pendekatan rinotomi lateral atau

"mid facial degloving". Bila tumor sudah meluas ke sinus maksila atau etmoid, dilakukan

maksilektomi medial dengan cara pendekatan rinotomi lateral. Bila tumor melibatkan

lempeng kribiformis, atap hidung atau etmoid, biasanya membutuhkan reseksi kraniofasial

anterior.6

Tumor di septum nasi bila masih terbatas pada bagian anterior, dapat dilakukan

eksisi luas dengan pendekatan rinotomi lateral atau "mid facial degloving". Bila telah

meluas ke vestibulum, dasar rongga hidung, eksisi luas masih dapat dilakukan dengan

pendekatan Weber-Fergusson atau Rinektomi total.

Pembedahan sinus paranasal, pertama kali diperkenalkan oleh Lizars pada tahun

1822 yang pertama kali melakukan maksilektomi.1 Beberapa modifikasi maksilektomi dapat

dilakukan yaitu maksilektomi medial dengan pendekatan rinotomi lateral, maksilektomi

parsial maupun total, dan maksilektomi radikal yang sekaligus melakukan eksentrasi obita.

Maksilektomi medial bermanfaat untuk tumor hidung dan sinus etmoid yang mengenai pula

dinding medial antrum. Maksilektomi partial dilakukan untuk mengangkat tumor yang

mengenai bagian superior atau inferior antrum.4 Sejak saat itu mulai dilakukan pembedahan

radikal sinus maksila, berupa maksilektomi radikal dengan dan tanpa eksentrasi orbita.

Dalam 20 tahun terakhir, maksilektomi radikal mulai ditinggalkan dan diganti dengan

maksilektomi parsial, terutama dengan makin pesatnya perkembangan pemeriksaan

Page 18: adenokarsinoma sinonasal

radiologi seperti CT-Scan dan MRI sehingga perluasan tumor dapat diketahui dengan akurat.

Saat ini maksilektomi total (pengangkatan seluruh maksila) dengan atau tanpa eksentrasi

orbita hanya dilakukan pada tumor yang sudah meluas ke gingiva-alveolar, palatum durum,

daerah pterigoid atau ke rongga orbita.1

Tumor sinus maksila stadium I dan II masih dapat diangkat dengan maksilektomi

partial dengan pendekatan rinotomi lateral atau "midfacial degloving", sedangkan bila

stadium III, harus dilakukan maksilektomi total dengan atau tanpa eksentrasi orbita dan

dikombinasikan dengan radiasi pasca operasi. Jika tumor telah mencapai periorbita,

diperlukan operasi radikal termasuk eksentrasi orbita. Eksentrasi orbita dilakukan bila

terdapat infiltrasi luas ke rongga orbita. Menurut Harrison, eksentrasi perlu dilakukan jika

terdapat proptosis bola mata, hambatan gerak bola mata,dan jelas terdapat destruksi

tulang. Indikasi mutlak adalah jika tumor telah menginfiltrasi periorbita, sel etmoid posterior

dan apeks orbita. 1,4

Pada tumor stadium IVa , tumor masih dapat diangkat dengan maksilektomi total

dengan atau tanpa eksentrasi orbita dan dikombinasi dengan kraniotomi anterior,

pendekatan ini disebut reseksi kraniofasial. Tumor stadium IVb, masih dapat diangkat

walaupun sifatnya debulking dan dilanjutkan dengan radiasi atau kombinasi dengan

kemoterapi. Bila terdapat metastasis ke kgb regional seharusnya dilakukan dulu diseksi kgb

leher. Pada tumor stadium IVc (lanjut), pembedahan hanya bersifat paliatif.

Tumor sinus etmoid stadium I (masih terbatas di mukosa), dapat diangkat dengan

pendekatan etmoidektomi ekstranasal atau secara endoskopik intranasal. Pada stadium

yang lebih lanjut, pendekatannya seperti tumor di sinus maksila.1,4

Rekonstruksi dan rehabilitasi 2,5

Sesudah maksilektomi total, harus dipasang prostesis maksila sebagai tindakan rekonstruksi

dan rehabilitasi, supaya pasien tetap dapat melakukan fungsi menelan dan berbicara

dengan baik, di samping perbaikan kosmetis melalui operasi bedah plastik. Dengan

tindakan-tindakan ini pasien dapat bersosialisasi kembali dalam keluarga dan masyarakat.

Radioterapi1,5,6,7

Respon radioterapi pada keganasan hidung dan sinus paranasal bervariasi, tergantung dari

stadium dan jenis histopatologis tumor. Radiasi dapat digunakan sebagai terapi tunggal,

Page 19: adenokarsinoma sinonasal

pada kasus keganasan limforetikuler seperti limfoma malignum, midline granuloma atau

pada kasus kondisi buruk atau menolak untuk tindakan bedah. Radiasi juga dapat diberikan

setelah pembedahan sebagai ajuvan pada kasus dimana tumor sulit diangkat secara total,

atau dengan batas yang tidak bebas tumor, atau sebagai terapi paliatif untuk mengurangi

nyeri dan menghentikan perdarahan pada tumor stadium lanjut. Pada umumnya, dosis

radiasi yang diperlukan adalah 50 Gy.

Kemoterapi1,5

Kemoterapi pada keganasan hidung dan sinus paranasal umumnya sebagai terapi paliatif

untuk mengurangi nyeri, obstruksi dengan mengecilkan tumor, atau pada kasus stadium

lanjut dengan metastasis jauh. Kemoterapi dapat bersifat ajuvan setelah pembedahan atau

radiasi untuk mencegah metastasis jauh, atau neo-ajuvan sebelum pembedahan untuk

mempertahankan organ yang terkena tumor, walaupun manfaat masih banyak

diperdebatkan. Untuk keganasan terutama karsinoma kepala dan leher umumnya,

kombinasi cisplatin, methotrexate, dan 5 fluoro-urasil merupakan obat pilihan yang paling

banyak digunakan. Menurut Samant et al (2004), penggunaaan Cisplatin intraarterial

disertai radiasi pada keganasan sinus paranasal dapat meningkatkan angka bertahan hidup 5

tahun menjadi 53%.

PROGNOSIS1,2

Sedikit dan tidak khasnya gejala yang ditimbulkan pada keganasan hidung dan sinus

paranasal menyebabkan sangat jarang pasien datang dalam keadaan stadium dini. Faktor

yang mempengaruhi prognosis antara lain perbedaan diagnosis histology, asal tumor

primer, perluasan tumor, pengobatan yang diberikan sebelumnya, status batas sayatan,

terapi adjuvant yang diberikan, status imunologis, lamanya follow-up dan banyak lagi.2

Umumnya pasien datang dalam stadium lanjut, tumor sudah meluas ke seluruh struktur

hidung dan sinus paranasal, sehingga asal tumor tidak diketahui dan sulit mengangkat

tumor secara "en bloc". Hal ini menyebabkan prognosis penyakit sampai saat ini masih

buruk. Sampai beberapa dekade terakhir, belum tampak peningkatan yang bermakna

terhadap angka bertahan hidup (survival rates) pada seluruh keganasan hidung dan sinus

paranasal. Angka bertahan hidup selama 5 tahun rerata seluruh keganasan sinus maksila

berkisar antara 20-50%, hal yang sama juga berlaku untuk keganasan sinus paranasal

Page 20: adenokarsinoma sinonasal

lainnya.1 Tapi dengan pengobatan yang agresif dan multimodalitas, angka bertahan hidup 5

tahun dapat meningkat sebesar 75% untuk seluruh stadium tumor.

Page 21: adenokarsinoma sinonasal

BAB III

ILUSTRASI KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. ES

Jenis Kelamin : Wanita

Umur : 57 tahun

Alamat : Kampung Bulak RT 02 RW 03, Cikarang

Agama : Islam

Suku : Sunda

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

No. RM : 324-00-94

ANAMNESIS

Pasien pertama kali datang ke poliklinik THT RSCM pada tanggal 2 Juli 2008. Data terdiri dari

data sekunder, dan auto serta alloanamnesis pada pasien pasca operasi yang dikerjakan hari

Senin, 13 Oktober 2008. Anamnesis terakhir dilakukan pada Selasa, 14 Oktober 2008 di

bangsal perawatan THT.

Keluhan Utama

Pasien mengeluh timbulnya benjolan di hidung kanan yang membesar dengan cepat sejak 2

bulan sebelum masuk rumah sakit (SMRS).

Riwayat Penyakit Sekarang

Sejak satu tahun SMRS pasien mengeluh hidung kanannya sering pilek, dengan lendir

yang cair, encer, bening, tidak ditemukan darah maupun mimisan, lendir dapat menetes

tanpa disadari oleh pasien sehingga mengharuskan pasien untuk selalu membawa sapu

tangan, dan ada keluhan lendir mengalir ke tenggorokan. Ditemukan pula keluhan hidung

kanan yang tersumbat, suara menjadi sedikit sengau (bindeng), pasien juga mengaku tidak

Page 22: adenokarsinoma sinonasal

ada keluhan gangguan penghidu, ataupun gangguan dalam selera makan. Tidak ditemukan

keluhan hidung gatal, mata gatal, sering bersin-bersin di pagi hari.

Enam bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien mengaku sudah mulai timbul

benjolan pada hidung kanan. Benjolan tersebut terus membesar ke arah kanan dan ke

bawah, dan ada massa yang keluar melalui lubang hidung kanan. Tidak ditemukan adanya

keluhan penglihatan ganda, bola mata kanan yang terdesak keluar, keletihan bola mata,

gangguan penglihatan, dan mata yang berair terus menerus. Dari anamnesis juga tidak

ditemukan adanya keluhan benjolan yang menjalar ke langit-langit mulut, gigi yang goyah

dan tanggal dengan sendirinya, rasa kesemutan ataupun baal di daerah majah, mulut yang

sulit dibuka, telinga berdenging, telinga tersumbat, sakit kepala hebat, dan pembesaran di

leher. Menurut pasien yang paling dirasakan hanya benjolan tersebut membuat wajah

menjadi terlihat besar sebelah. Pada awal terasa ada pembesaran di hidung pasien

memeriksakan diri ke dokter umum dan dikatakan ada polip hidung, dan kemudian

diberikan obat minum (jenis/nama pasien lupa).

Sejak dua bulan SMRS benjolan semakin besar. Benjolan tersebut menjadi lebih

sering berdarah, kadang-kadang pasien mimisan, hidung tersumbat sehingga bernafas

kadang lewat mulut, dan tidak ditemukan adanya keluhan gangguan pendengaran dan

telinga yang tersumbat. Setelah semakin besar pasien memeriksakan diri ke spesialis THT

RSUD Bekasi dikatakan ada tumor kemudian pasien dipasang tampon, dan dianjurkan harus

segera dioperasi di RSCM.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat hipertensi (+) belum terkontrol dengan tekanan darah tertinggi 140/90 mmHg,

riwayat sinusitis (+), stigmata alergi tidak khas dijumpai pada pasien, asma (-), penyakit

jantung (-). Riwayat trauma (-)

Riwayat serupa sebelumnya (-).

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat keganasan (-), riwayat serupa di keluarga (-), benjolan daerah leher (-), batuk lama

(-), penyakit jantung (+) pada kakak pasien.

Page 23: adenokarsinoma sinonasal

Riwayat Sosial-Ekonomi, Kebiasaan, dan Pendidikan

Pasien tinggal di daerah pemukiman yang cukup bersih, antar rumah tidak berdempetan.

Pasien tinggal cukup jauh dari kawasan industri Cikarang, tidak berdekatan dengan industri

kayu, atau pembuangan limbah. Pasien tidur di kamar sendiri, berjendela, dibersihkan setiap

hari. Pasien adalah seorang ibu rumah tangga, tidak merokok, dahulu pasien berdagang di

rumah tepat di pinggir jalan, dan tidak ada kontak dengan materi produk pabrik atau kayu.

PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan dilakukan di poliklinik THT RSCM pada tanggal 2 Juli 2008.

Keadaan umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran : kompos mentis

Tanda vital :

Tekanan darah : 140/80 mmHg

Frekuensi nadi : 90x/ menit, reguler, isi cukup

Suhu : afebris

Pernapasan : 20x/ menit, teratur, kedalaman cukup

Status Generalisata

Kepala : wajah terlihat asimetris, nampak pembesaran sisi kanan

dan massa keluar dari hidung kanan, rambut hitam,

tidak mudah dicabut

Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), proptosis - / -

Mulut : trismus (-), tidak terlihat massa di palatum

Wajah : asimetris, nyeri tekan frontal (+), maksila (+), etmoid

tidak dilakukan karena ada benjolan

Leher : pembesaran KGB (-)

Paru : Vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

Jantung : BJ I/II (N), murmur (-), gallop (-)

Abdomen : datar, lemas, NT(-), hepar/limpa tidak teraba, BU (+) N

Ekstremitas : Akral hangat, perfusi cukup, edema (-)

Page 24: adenokarsinoma sinonasal

Status THT

Pemeriksaan Telinga

Pemeriksaan Telinga KANAN Telinga KIRI

Daun Telinga Deformitas(-), radang(-) Deformitas(-), radang(-)

Daerah retroaurikuler Fistel(-), radang(-) Fistel(-), radang(-)

Liang Telinga Serumen(+),sekret(-) Serumen(+),sekret(-)

Gendang telinga intak intak

Refleks cahaya (+) pada arah jam 5 (+) pada arah jam 7

Rinne (512 Hz) (+) (+)

Weber Lateralisasi (-)

Schwabach Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa

Pemeriksaan Hidung

Pemeriksaan Hidung KANAN Hidung KIRI

Hidung luar Deformitas(+), asimetris Deformitas(-), radang(-)

Kavum nasi Dipenuhi massa polip sempit, sekret (+)

Vestibulum Dipenuhi massa polip Sekret (-)

Septum Terdorong ke kiri, abses(-), perforasi(-)

Terdorong ke kiri, abses(-), perforasi(-)

Konka superior Tidak terlihat Tidak terlihat

Konka media Tidak terlihat Eutrofi

Konka inferior Tidak terlihat Eutrofi, sekret (+) mukoid

Meatus superior Tidak terlihat Tidak terlihat

Meatus media Tidak terlihat Tidak dapat dinilai

Meatus inferior Tidak terlihat Sekret (+) mukoid

Setelah tampon dibuka ditemukan:

Pemeriksaan Hidung KANAN Hidung KIRI

Hidung luar Deformitas(+), asimetris Deformitas(-), radang(-)

Kavum nasi Lapang, dipenuhi massa sempit, sekret (+)

Vestibulum Dipenuhi massa polip Sekret (-)

Septum Terdorong ke kiri, abses(-), perforasi(-)

Terdorong ke kiri, abses(-), perforasi(-)

Konka superior Tidak terlihat Tidak terlihat

Page 25: adenokarsinoma sinonasal

Pemeriksaan Hidung KANAN Hidung KIRI

Konka media Ditemukan massa nekrotik, rapuh s.d. koana, perdarahan (-)

Eutrofi

Konka inferior Eutrofi, sekret (+) mukoid

Meatus superior Tidak terlihat Tidak terlihat

Meatus media Tidak terlihat Tidak dapat dinilai

Meatus inferior Tidak terlihat Sekret (+) mukoid

Pemeriksaan Nasofaring (rhinoskopi posterior)

Muara tuba eustachius terbuka, sekret -/-, hiperemis -/-

Koana, septum bagian belakang, konka, torus tubarius, fossa Rosenmuller, adenoid dalam

batas normal, ditemukan massa polip dari kavum nasi dekstra.

Pemeriksaan Tenggorok

Faring

Arkus faring : simetris

Uvula : letak di tengah

Dinding faring : hiperemis (-), granulasi (-)

Tonsil : T1-T1, hiperemis -/-, kripta tidak melebar, detritus (-),

licin

Laring

Epiglotis, plika ariepiglotika, pita suara palsu, pita suara, aritenoid, subglotis, fossa

piriformis : dalam batas normal massa (-), benda asing (-), radang(-)

Kelenjar Getah Bening Leher

KGB retrourikuler -/-, submandibula -/-, regio II/III/IV/V/VI -/-

PEMERIKSAAN PENUNJANG

CT SCAN sinus paranasal tanpa dan dengan kontras potongan aksila dengan rekonstruksi

sagital dan koronal (14 Juli 2008)

Tampak massa memenuhi kavum nasi dekstra yang menyangat dengan pemberian kontras.

Septum nasi terdorong ke sisi kiri. Tampak pula pendesakan dinding medial sinus maksilaris

Page 26: adenokarsinoma sinonasal

kanan. Massa meluas ke posterior mencapai kavum nasofaring. Rongga parafaring baik. Ke

superior mengenai sinus etmoidalis kanan. Tak tampak perluasan massa intrakranial

maupun sinus sfenoid, basis kranii intak. M. Pterigoid medial dan lateral baik. Pterigoid plate

lateral dan medial baik.

Sinus maksilaris kanan, frontalis kanan terselubung, tidak menyangat setelah pemberian

kontras. Kavum nasi kiri tak tampak massa, konka nasalis kiri baik, tak tampak pneumatisasi

konka. Prosesus uncinatus kanan dan kiri baik, ostium sinus maksila dan infundibulum

etmoid kiri terbuka.

Kesan:

1. Massa di kavum nasi kanan yang meluas ke rongga nasofaring, dan sinus etmoidalis

kanan sugestif tumor sinonasal.

2. Sinusitis maksilaris dan frontalis kanan.

Page 27: adenokarsinoma sinonasal

Foto Rontgen Thorax PA 13 Juni 2008

Cor : CTR = 52%, jantung membesar kekiri dengan apeks tertanam dan pinggang jantung

tidak menonjol, tampak elongasi dan kalsifikasi aorta, aorta dan mediastinum tidak melebar,

trakea di tengah, kedua hilus tidak melebar, corakan bronkovaskular kedua paru kasar,

tampak nodul bulat soliter di apeks paru kiri, kedua sudut kostofrenikus lancip, diafragma

licin, tulang-tulang dan jaringan lunak dinding dada baik.

Kesimpulan :

- Kardiomegali

- Elongasi aorta dan kalsifikasi

- Suspek kalsifikasi apeks paru kiri

Histopatologi (17 Juli 2008) / Biopsi

Mikroskopik :

Sediaan biopsi kavum nasi dekstra menunjukkan jaringan tumor yang sebagian solid,

sebagian lagi membentuk struktur duktal/rongga kistik. Sel tumor uniform, berinti

bulat/oval, ukuran kecil sampai sedang, hiperkromatik, anak inti kecil. Stroma sebagian

miksoid dan sebagian lain mengalami hyalinisasi, bersebukan sel radang mendadak dan

menahun. Tampak daerah nekrotik luas dan perdarahan.

Kesimpulan:

Tumor kelenjar liur.

DD/

- polymorphous low grade adenocarcinoma

- adenoid cystic carcinoma

Hasil pemeriksaan lanjutan (histokimia):

Page 28: adenokarsinoma sinonasal

Histologik lebih sesuai dengan Adenokarsinoma NOS, yang berasal dari kelenjar liur.

Pemeriksaan laboratorium Hematologi

6/8/08 3/9/08 Nilai Rujukan

LED 60 (H) 105 (H) 0 – 10 mm

Hemoglobin 10,6 (L) 10,8 (L) 13 – 16 g/dL

Hematokrit 34,7 (L) 34,1 (L) 40 – 48 %

Eritrosit 4,2 (L) 4,15 (L) 4,5 – 5,5 juta/ uL

Leukosit 9,4 9,4 5 – 10 ribu/uL

Trombosit 483 (H) 519 (H) 150 – 400 ribu /uL

Basofil 0,3 0,2 0 – 1 %

Eosinofil 2,1 2,1 1 – 3 %

Neutrofil 69 68 52 – 76 %

Limfosit 22,1 20,6 20 – 40 %

Monosit 6,3 8,9 2 – 8 %

SGOT/PT 14/9 16/13 10 – 35 U/L

AF 168 0 – 270 U/L

LDH 219 (H) 100 – 190 U/L

Natrium 144 145 135-147 mEq/L

Kalium 4,16 3,37 3,5 – 5,5 mEq/L

Klorida 112 100 100 – 106 mEq/L

Ureum 32 51 10 – 50 mg/dL

Kreatinin 1,1 1,2 0,5 – 1,5 mg/dL

Asam urat 4,6 3,5 – 7,2 mg/dL

GDS 111 112 70 – 200 mg/dL

Perdarahan

Ivy

2’ 3,3’ 1’00 – 6’00

Pembekuan

Lee&white

9,3’ (L) 12’ 10’00 – 15’00

PT 12,9 11,7 11 – 14 detik

APTT 33,7 38,1 27,3 – 37,6 detik

Page 29: adenokarsinoma sinonasal

Konsul Mata

Hasil : okuli dekstra tenang, dan tidak ada tindakan di bagian mata mengingat massa tumor

belum menyebabkan gangguan visus, dan gerakan bola mata ke segala arah.

Resume

Ny. ES, 57 tahun, datang dengan keluhan timbul benjolan di hidung kanan sejak 2 bulan

SMRS. Rinorea (+), post nasal drip (+), kongesti nasal (+), wajah terlihat asimetris (+),

epstaksis (+), sakit kepala (-), diplopia (-), proptosis (-), epifora (-), tinnitus (-), otalgia (-),

hipo/anosmia (-), hidung gatal (-), mata gatal (-), bersin-bersin di pagi hari (-). Riwayat

hipertensi belum terkontrol, dan sinusitis.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan tekanan darah 140/80 mmHg, tanda vital lain dan status

generalis ditemukan nyeri tekan daerah sinus frontal dan maksila. Pada pemeriksaan THT,

ditemukan wajah asimetri, pada rinoskopi anterior hidung ditemukan kavum nasi dekstra

terisi massa polip, pada konka media dan inferior dekstra ditemukan massa nekrotik rapuh

sampai daerah koana, dengan perdarahan. Pada konka inferior sinistra ditemukan sekret

mukoid, dan septum terdorong ke kiri. Pada rinoskopi posterior ditemukan muara tuba

eustachius terbuka, sekret (-), hiperemis (-),koana, septum bagian belakang, konka, torus

tubarius, fossa Rosenmuller, adenoid dalam batas normal, ditemukan massa polip dari

kavum nasi dekstra.

Pada pemeriksaan penunjang CT-scan ditemukan massa di kavum nasi kanan yang meluas

ke rongga nasofaring, dan sinus etmoidalis kanan sugestif tumor sinonasal, dan sinusitis

maksilaris dan frontalis kanan. Dari foto toraks PA tidak ditemukan gambaran metastasis

paru. Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan tumor kelenjar liur dengan diagnosis

banding polymorphous low grade adenocarcinoma, dan adenoid cystic carcinoma. Dari

pemeriksaan histokimia secara histologik lebih sesuai dengan adenokarsinoma NOS yang

berasal dari kelenjar liur (salivary gland-type adenocarcinoma).

Page 30: adenokarsinoma sinonasal

DIAGNOSIS

Diagnosis Kerja

Adenokarsinoma sinonasal dekstra T1 N0 M0 Stadium I

Sinusitis maksilaris dan frontalis dextra.

Diagnosis Banding (-)

TATALAKSANA

Rencana Edukasi

Menjelaskan tentang karsinoma sinonasal terutama rencana tatalaksana sampai prognosis

pasien.

Rencana Terapi

Pro operasi ekstirpasi adenokarsinoma sinonasal T1 N0 M0 (Stadium I) Maxilektomi

medial dekstra.

Instruksi pre-op :

Ceftriaxon 1x 2 g iv

Puasa 6 jam pre-op

Konsul IPD

SIO + konsul anestesi

Konsul Ilmu Penyakit Dalam

Hasil : Toleransi operasi sedang

Konsul Anestesi : ASA II dengan hipertensi belum terkontrol

Laporan Pembedahan Operasi 13 Oktober 2008

Pasien terlentang di meja operasi dalam narkose.

Dilakukan a dan antisepsis pada sekitar lapangan operasi.

Dilakukan torsorafi pada orbita dekstra.

Dibuat garis insisi Moore di antara kantus medius dekstra dan puncak hidung,

setinggi pupil, menyusuri lateral hidung, allae nasi sampai vestibulum.

Dilakukan insisi pada garis tersebut, sampai dengan dasar tulang, perdarahan

dirawat.

Page 31: adenokarsinoma sinonasal

Dilakukan pemaparan dinding anterior maksila dekstra dengan respiratorium

dibebaskan jaringan kutis, subkutis, dan otot ke lateral sampai batas foramen

infraorbita, dan ke medial, kavum nasi terpapar.

Tampak massa memenuhi kavum nasi.

Dilakukan pemahatan dinding medial sinus maksilaris dekstra, dinding anterior sinus

maksilaris dekstra dibuang sebagian dengan tang kerisor.

Tampak sekret dan massa di sinus maksila dekstra.

Dilakukan pengangkatan tumor dengan tang tumor, massa tumor dibersihkan dari

sinus maksilaris dekstra, kavum nasi dekstra sampai dengan nasofaring.

Dievaluasi, sisa massa tumor diangkat sampai bersih, dilakukan pemeriksaaan PA.

Perdarahan dirawat.

Dilakukan pemasangan tampon gulung, betadin, dan kemicetin di rongga sinus

maksilaris dekstra, nasofaring, dan kavum nasi dekstra.

Dilakukan penjahitan subkutis, kutis pada bekas insisi.

Torsorafi dibuka.

Operasi selesai.

Telah dilakukan maxilektomi medial dekstra dengan pendekatan rinotomi lateral, instruksi

post operatif:

1. Observasi tanda vital dan perdarahan.

2. Puasa sampai ditemukan bising usus.

3. Ceftriaxon 1 x 2 g

4. Ranitidin 2 x 1 amp

5. Transamin 3 x 1 amp

6. Tramadol 3 x 1 amp

Follow Up (14 Oktober 2008)

S : Pasien sadar, keluhan (-), perdarahan dari mulut/hidung (-), demam (-)

O : Luka insisi tenang, hidung tampak terpasang verban, perdarahan aktif (-)

A : Pasca maxilektomi medial dekstra dengan pendekatan rinotomi lateral, pada

adenokarsinoma sinonasal, T1N0M0 (stadium I), hari I

P : Ceftriaxon 1x 2 g

Page 32: adenokarsinoma sinonasal

Ranitidin 2 x 1 amp

Tramadol 3 x 1 amp bila masih nyeri

Transamin 3 x 1 amp bila perdarahan kembali keluar

Follow Up (15 Oktober 2008)

S : keluhan (-)

O : Luka insisi tenang, hidung tampak terpasang verban, perdarahan aktif (-), pus (-), jahitan

baik.

A : Pasca maxilektomi medial dekstra dengan pendekatan rinotomi lateral, pada

adenokarsinoma sinonasal, T1N0M0 (stadium I), hari II

P : Ceftriaxon 1x 2 g

Ranitidin 2 x 1 amp

Tramadol 3 x 1 amp bila masih nyeri

Transamin 3 x 1 amp bila perdarahan kembali keluar

PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

Quo ad sanactionam : dubia ad malam

Page 33: adenokarsinoma sinonasal

BAB IV

PEMBAHASAN KHUSUS

Pasien wanita berusia 57 tahun dengan keluhan utama benjolan di hidung kanan sejak 2

bulan SMRS. Benjolan pada daerah hidung kanan dapat disebabkan oleh karena infeksi

rongga sinus, polip nasi, trauma, dan keganasan. Diagnosis banding sinusitis dapat dipikirkan

karena selain benjolan yang dapat timbul pada kondisi akut, ditemukan pula keluhan hidung

tersumbat, rinorea, post-nasal drip, riwayat sinusitis. Polip nasi masih dapat dipikirkan

karena dari anamnesis ditemukan riwayat sinusitis, keluhan rinorea, dan hidung tersumbat.

Ketiadaan riwayat trauma pada pasien menyingkirkan diagnosis banding trauma.

Kecurigaan terhadap massa/tumor tidak boleh dilupakan pada kasus ini. Sumbatan

hidung karena tumor umumnya dapat disebabkan oleh karsinoma nasofaring (KNF), tumor

hidung dan sinonasal, dan angiofibroma nasofaring belia. Diagnosis banding KNF masih

dipikirkan karena adanya sumbatan hidung dan riwayat mimisan pada pasien, walaupun

tidak ditemukan gejala dini KNF berupa tinnitus, otalgia, rasa penuh di telinga akibat

sumbatan tuba, dan tidak ada gejala mata atau saraf. Diagnosis tumor hidung dan sinonasal

juga masih belum dapat disingkirkan. Kedua diagnosis di atas memerlukan masih

memerlukan pemeriksaan fisik dan penunjang. Angiofibroma nasofaring belia dapat

disingkirkan, karena selain sumbatan hidung, tidak ditemukan data pendukung lain berupa

riwayat epistaksis berulang masif, dan secara epidemiologi umumnya terjadi pada laki-laki

dekade 2 (7-19 tahun).

Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan tekanan darah yang tergolong hipertensi

grade II, tanda vital lainnya dalam batas normal. Status generalis pasien tidak ditemukan

kelainan. Dari hasil pemeriksaan telinga hidung tenggorokan ditemukan adanya asimetris

wajah unilateral (dekstra), nyeri tekan di daerah sinus frontalis dan maksilaris, massa polip

yang memenuhi kavum nasi dekstra, dengan adanya jaringan nekrotik tanpa perdarahan

aktif sampai koana ditemukan adanya septum terdesak ke kiri, konka inferior dan media kiri

eutrofi, serta dari pemeriksaan rinoskopi posterior ditemukan muara tuba eustachius

terbuka, sekret (-), hiperemis (-), koana, septum bagian belakang, konka, torus tubarius,

fossa Rosenmuller, adenoid dalam batas normal, ditemukan massa polip dari kavum nasi

dekstra. Dari hasil rinoskopi posterior maka diagnosis banding karsinoma nasofaring dapat

Page 34: adenokarsinoma sinonasal

disingkirkan. Ditemukannya massa yang nekrotik di kavum nasi sampai dengan koana

membantu menyingkirkan diagnosis banding polip nasi, karena pada umumnya polip nasi

tidak dijumpai ada jaringan nekrotik. Wajah yang asimetris, rinorea dapat mengarahkan

diagnosis kepada keganasan hidung dan sinonasal. Namun masih perlu dilakukan

pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis kerja, apakah mengarah kepada

sinusitis atau keganasan hidung dan sinonasal, atau bahkan kedua diagnosis tersebut

merupakan diagnosis kerja pasien. Oleh karena itu pemilihan modalitas pemeriksaan

penunjang harus tepat sasaran, yakni membantu penegakkan diagnosis demi kepentingan

penatalaksanaan yang optimal.

Berdasarkan literatur, jika ada kecurigaan terhadap tumor hidung dan sinonasal,

pemeriksaan radiologik CT-scan atau MRI mempunyai peranan penting dalam menentukan

asal dan perluasan tumor serta pengobatan yang akan dilakukan. Selain itu, oleh karena

beragamnya gambaran histologis pada keganasan hidung dan sinonasal, diperlukan

pemeriksaan histopatologik melalui biopsi untuk menentukan jenisnya.1

Berdasarkan hasil CT-Scan sinus paranasal tanpa dan dengan kontras potongan aksila

dengan rekonstruksi sagital dan koronal, didapatkan kesan massa di kavum nasi kanan yang

meluas ke rongga nasofaring, dan sinus etmoidalis kanan sugestif tumor sinonasal, dan

sinusitis maksilaris dan frontalis kanan. Diagnosis definitif tumor hidung dan sinonasal pada

pasien ini ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan patologi anatomi melalui biopsi,1

dimana didapatkan gambaran tumor kelenjar liur dengan diagnosis banding polymorphous

low grade adenocarcinoma, dan adenoid cystic carcinoma, setelah dilakukan pemeriksaan

histokimia ditemukan adenokarsinoma NOS yang berasal dari kelenjar liur (salivary gland-

type adenocarcinoma). Sehingga diagnosis pada pasien ini adalah adenokarsinoma sinonasal

dekstra, dan sinusitis frontal et maksilaris dekstra.

Setelah menetapkan diagnosis, perlu dicari adanya metastasis. Pemeriksaan KGB

leher perlu dilakukan walaupun keganasan hidung dan sinus paranasal jarang bermetastasis

ke KGB. Pada pasien ini, tidak adanya keluhan benjolan leher dan tidak terabanya

pembesaran KGB leher menyingkirkan kemungkinan metastasis ke KGB regional. Pencarian

metastasis jauh juga perlu dilakukan untuk mengetahui kemungkinan tumor hidung dan

sinonasal merupakan tumor primer yang meluas atau merupakan metastasis dari organ lain.

Dari pemeriksaan foto toraks, tidak didapatkan kesan metastasis paru.

Page 35: adenokarsinoma sinonasal

Berdasarkan literatur, tumor sinus paranasal perlu dilakukan klasifikasi stadium

menurut TNM untuk menentukan tindakan yang akan dilakukan. Berdasarkan klasifikasi

menurut UICC/UIAC edisi ke 6 tahun 2002 maupun dengan AJCC edisi 6 tahun 2002, yang

hanya digunakan untuk karsinoma di sinus maksila, etmoid dan rongga hidung1,3, maka

tumor pada pasien ini :

T1 : Tumor terbatas pada salah satu organ di rongga hidung atau satu sisi sinus

etmoid, dengan atau tanpa invasi tulang

N0 : karena tidak ditemukan metastasis ke KGB regional

M0 : karena berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, hasil foto

thoraks tidak ditemukan adanya metastasis jauh

Klasifikasi pada pasien ini yaitu T1N0M0 sesuai dengan klasifikasi UICC maupun AJCC dan

tergolong dalam stadium I. Sehingga diagnosis akhir pada pasien ini adalah Adenokarsinoma

sinonasal dekstra T1N0M0 Stadium I.

Pada keganasan hidung dan sinus paranasal, pembedahan berupa maksilektomi

masih merupakan modalitas utama, dan lebih sering bertujuan untuk pengobatan kuratif.

Radiasi dan kemoterapi dapat merupakan pengobatan tambahan. Sedangkan kombinasi

pembedahan, radiasi dan kemoterapi masih besifat paliatif.1 Pada tumor jinak dilakukan

ekstirpasi tumor sebersih mungkin, bila perlu dengan cara pendekatan rinotomi lateral atau

mid-facial degloving. Untuk tumor ganas, tindakan operasi harus seradikal mungkin.

Maksilektomi yang dilakukan dapat berupa maksilektomi medial, partial, total atau radikal.2

Pilihan pembedahan pada pasien ini berupa tindakan maksilektomi medial dengan

pendekatan rinotomi lateral dinilai tepat, sebab pada tumor hidung yang sudah meluas ke

sinus maksila ataupun etmoid dilakukan maksilektomi medial dengan pendekatan rinotomi

lateral. Hal ini sesuai dengan lokasi tumor pasien yaitu di kavum nasi dekstra yang sudah

meluas ke sinus etmoidalis dekstra, dan rongga nasofaring. Akibatnya, pasca operasi masih

ditemukan sisa tumor yang banyak di daerah orbita dan palatum, dan terapi radiasi yang

direncanakan pada pasien tidak dapat memperoleh hasil yang maksimal.

Setelah operasi, pasien diberikan antibiotika Cefriaxon 1 x 2 g, bertujuan sebagai

antibiotik profilaksis, dan juga bermanfaat untuk terapi sinusitis pasien. Pemberian Ranitidin

dimaksudkan untuk mencegah efek samping gastrointestinal oleh karena perngaruh

antibiotik yang diberikan. Pemberian Transamin (asam Traneksamat) bertujuan untuk

Page 36: adenokarsinoma sinonasal

mencegah terjadinya perdarahan pasca operasi. Tramadol (Analgetik) sebagai analgetik kuat

untuk mencegah nyeri pasca operasi pada pasien. Dalam dua hari perawatan bangsal

kondisi klinis pasien membaik dan tidak ada keluhan. Pada pasien ini pertimbangan

pemberian terapi radiasi sebagai ajuvan dapat ditunda, karena terapi radiasi dilakukan

sebagai terapi paliatif pada keganasan stadium lanjut, pada pasien yang menolak operasi,

pada operasi yang tidak bersih atau masih batas yang tidak bebas tumor, atau untuk

menghentikan perdarahan aktif pada stadium lanjut. Sedangkan dari laporan pembedahan

didapatkan massa tumor telah dibersihkan dari sinus maksilaris dekstra, kavum nasi dekstra

sampai dengan nasofaring, dan setelah dievaluasi ulang sisa massa tumor diangkat sampai

bersih, sehingga pemberian terapi radiasi dapat ditunda melihat hasil pencitraan (CT-Scan)

pasca operasi untuk melihat apakah terjadi rekurensi.

Prognosis quo ad vitam pada pasien ini dubia ad bonam. Sebab pada pasien dengan

keganasan maka kita akan bicara mengenai angka bertahan hidup dalam 5 tahun. Angka

bertahan hidup 5 tahun pada pasien adenokarsinoma sinus paranasal yang menjalani

operasi dan radiasi berkisar 55% untuk T1 dan T2, 28% untuk T3, dan hanya 25% untuk lesi

T4.5 Sehingga angka bertahan hidup pasien masih cukup tinggi.

Prognosis quo ad functionam pasien dubia ad bonam, karena pada pasien diterapi

sesuai kondisinya. Tumor yang belum sempat menginvasi terlalu jauh, dan tidak

ditemukannya keluhan gangguan penciuman sebelum dan setelah operasi menunjukkan

fungsi indera penghidu yang masih dapat dipertahankan. Prognosis qua ad sanactionam

dubia ad malam, karena adenokarsinoma gradasi rendah sekalipun memiliki kecenderungan

untuk rekurensi lokal.5

Page 37: adenokarsinoma sinonasal

BAB V

DAFTAR PUSTAKA

1. Armiyanto. Keganasan hidung dan sinus paranasal. Dibawakan pada Satelit

Simposium Penanganan Mutakhir Kasus Telinga Hidung Tenggorok. Hotel

Borobudur, Jakarta 12 April 2003. PKB bagian THT FKUI/RSCM.

2. Roezin A, Armiyanto. Tumor hidung dan sinonasal. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,

editor. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Ed. 5.

Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2001; h.178-81.

3. American Joint Committee on Cancer (AJCC). Nasal Cavity and Paranasal Sinuses. In :

Greene FL, Page DL, et al. AJCC Cancer Staging Handbook. 6th ed. Philadelphia :

Lippincott-Raven, 2002. H.39.

4. Roezin A. Terapi bedah tumor ganas sinus maksila. Dalam: Kumpulan Naskah Ilmiah

PERHATI. Jakarta: The Indonesian Otorhinolaringological Society, 1995: 1139-47

5. Zimmer LA, Carrau RL. Neoplasms of the nose and paranasal sinuses. In : Bailey BJ,

Johnson JT, Newlands SD. Head and neck surgery-Otolaryngology.4th ed. vol 2.

Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2006. h.1481-1498.

6. Rassekh CH. Nose and paranasal sinus. In : Close LG, Larson DL, Shsh JP. Essentials of

head and neck oncology. New York : Thieme, 1998.h.125-134.

7. Susworo R. Radioterapi pada kasus kanker kavum nasi dan sinus paranasal. In :

Dasar-Dasar Radioterapi dan Tatalaksana radioterapi penyakit Kanker. Jakarta: UI-

Press, 2006; hal 64-76

8. Dhillon RS, East CA.An illustrated color text : Ear, Nose and Throat and head and

neck surgery.2nd ed. Philadelphia : Churchill-Livingstone, 2000. h. 30-6

9. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinus paranasal. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,

editor. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Ed. 5.

Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2001; h.145-9.

10. Shao W, Vasanth A. Malignant tumor of the nasal cavity. Diperbarui: 16 November

2007. Diunduh dari http://www.emedicine.com tanggal 17 Juli 2008.

11. Leivo I. Update on Sinonasal Adenocarcinoma: Classification and Advances in

Immunophenotype and Molecular Genetic Make-Up. Diperbarui: 28 November

2007. Diunduh dari http://www.springerlink.com tanggal 14 Oktober 2008.

Page 38: adenokarsinoma sinonasal

12. Escuredo PJ, Llorente JL, et al. Genetic and clinical aspects of wood dust related

intestinal-type sinonasal adenocarcinoma: a review. Diperbarui: 17 Juni 2008.

Diunduh dari http://www.springerlink.com tanggal 14 Oktober 2008.