ALISA ETNOOOO

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Organisasi kesehatan dunia (WHO) memperkirakan bahwa 80 % masyarakat di negara berkembang menggunakan obat tradisional untuk memenuhi kebutuhan pemeliharaan kesehatan dan 85% obat tradisional melibatkan penggunaan ekstrak tanaman yang disebut juga dengan

Etnofarmasi yaitu ilmu tentang bagaimana masyarakat suatu etnis atau wilayah dalam menggunakan suatu tanaman obat atau ilmu multidisiplin yang mempelajari penggunaan obat-obatan terutama obat tradisional oleh suatu masyarakat lokal (etnik). Sedangkan pelakunya disebut etnofarmasis. Hal ini berarti kurang lebih 3,5 4 miliar penduduk di dunia memakai tanaman sebagai sumber obat (Farnsworth et al,1985). Di sisi lain, kira-kira 119 senyawa kimia murni yang diekstraksi dari tanaman yang digunakan dalam pengobatan di seluruh dunia berasal dari hampir 90 spesies tanaman. 74% dari 119 senyawa kimia tersebut memiliki hubungan pemakaiannya sebagai obat pada daerah dimana bahan tersebut diperoleh. Farnsworth (1988) berpendapat bahwa program pengembangan obat dari tanaman di masa depan seharusnya mencakup evaluasi secara hati-hati riwayat

penggunaan tanaman tersebut sebagai obat. Dr. E. Z. Greenleaf mengajukan usul kepada perusahaan farmasi ABC di USA untuk melakukan studi tanaman sebagai sumber cerita obat baru dengan untuk

menggunakan

pendekatan

pemeriksaan

masyarakat

memperoleh informasi mengenai tanaman yang diduga kuat digunakan oleh suatu masyarakat dalam pengobatan penyakit tertentu. Perusahaan akan mempekerjakan 1 sampai 2 ahli medis untuk berkunjung ke afrika, kalimantan, kaledonia baru atau area eksotis yang lainnya, serta bermukim di masyarakat sekitar selama hampir 1 tahun atau lebih. Selama periode tersebut ahli medis akan melakukan observasi tabib dalam mengobati pasien dan kemudian melakukan diagnosa sendiri pada tiap pasien serta melakukan pengamatan lanjutan terhadap dampak pengobatan. Apabila terdapat peningkatan kesehatan (kesembuhan) maka selanjutnya dicatat tanaman manakah yang digunakan dalam mengobati pasien. Tanaman tersebut kemudian dikoleksi dan dikirim ke laboratorium riset perusahaan farmasi ABC yang bertempat di Hearth Break, Colorado untuk dilakukan etnofarmasisan lebih lanjut. Hutan tropis memiliki jumlah spesies tanaman yang luar biasa besar. Kebanyakan masih belum dieksplorasi dan potensial untuk sumber obat. Jumlah tanaman yang telah dideskripsikan kira-kira 150.000-250.000 spesies. Ilmuan menyadari bahwa studi mengenai budaya asli pada suatu wilayah dapat memberikan kunci yang bernilai

dalam pencarian obat untuk peningkatan kesehatan. Untuk membuka rahasia hutan tropis maka dibutuhkan seorang spesialis yang terlatih dengan baik dan berpengalaman di alam. Oleh karena itu dibutuhkan seorang etnofarmasis. Untuk menemukan tanaman yang potensial seorang

etnofarmasis harus berpengetahuan tidak hanya tentang tanaman tetapi juga memahami dinamika budaya. Di sisi lain, etnofarmasis juga dapat membantu memahami dampak musnahnya hutan tropis yang akan menyebabkan hilangnya pengetahuan tentang tanaman tropis serta budaya asli (konservasi). Persiapan untuk ekspedisi dimulai dengan mengoleksi

pengetahuan secara rinci mengenai masyarakat lokal. Etnofarmasis mempersiapkan studi wilayah mengenai epidemologi, pengobatan tradisional, budaya masyarakat dan ekologi lingkungan. Untuk

memprioritaskan tanaman yang dikoleksi maka sejumlah data base dicari untuk menentukan semua informasi etnomedisinal, biologi dan kimia dari tanaman yang diketahui digunakan di wilayah tersebut. Data juga dikumpulkan dari rumah sakit lokal dan program masyarakat yang ada di wilayah tersebut. Informasi tersebut disatukan dalam program kerja lapangan untuk tahap selanjutnya. Di lapangan, etnofarmasis mempelajari tentang tanaman yang digunakan oleh masyarakat asli. Etnofarmasis mendokumentasikan

pengetahuan tentang tanaman yang bermanfaat dan yang beracun, menyeleksi dan mengoleksi tanaman untuk budidaya dan perlindungan. Proses koleksi tanaman menggunakan metode standar meliputi preparasi spesimen tanaman (herbaria). Tim etnofarmasis mendeskripsikan penyakit kemudian dikomunikasikan dengan tabib tradisional dengan melakukan proses wawancara. Hal ini difokuskan pada tanda-tanda dan gejala umum dan yang mudah dikenali. Apabila penyakit telah dikenali dan digambarkan secara sama maka pengobatan dengan tanaman untuk penyakit tersebut dicatat secara rinci oleh etnofarmasis. Jika beberapa tabib menyatakan hal yang sama maka tanaman tersebut kemudian dikoleksi. Tanaman yang dikoleksi kemudian diuji laboratorium

menggunakan berbagai peralatan seperti HPLC. Tujuannya untuk melakukan skrining metabolit tanaman dan mendapatkan senyawa murni. Senyawa tersebut kemudian diuji menggunakan metode in vitro. Apabila uji biologis berhasil maka senyawa tersebut strukturnya ditentukan. Selanjutnya dilakukan uji pada hewan untuk menilai keamanan dan keampuhannya sehingga dapat dilakukan uji klinis pada manusia.

1.2 Rumusan Masalah 1. Tanaman apa saja yang sering digunakan dalam masyarakat sebagai obat? 2. Bagaimana cara masyarakat mengolah tanaman obat tersebut? 3. Bagaimana kandungan kimia dan faktor-faktor yang mempengaruhi tanaman etnofarmasi? 1.3 Tujuan Penelitian 1. Mendapatkan informasi keanekaragaman obat yang ada pada satu wilayah. 2. Mendapatkan informasi teknik dan cara penggunaan tanaman obat oleh pengobatan tradisional atau battra dengan masyarakat. 3. Melindungi habitat dan memperkecil kerusakan lingkungan dengan perencanaan budidaya tanaman obat diluar habitat seperti toga. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari inventarisasi tanaman obat adalah agar dapat mengetahui tanaman apa saja yang dapat digunakan sebagai obat serta mempermudah dalam proses pembelajaran.

1.5 Kontribusi Penelitian bagi IPTEK Berdasarkan penelitian ini, kita dapat mengetahui : 1. Identifikasi dan etnotaksonomi bahan alam yang digunakan dalam pengobatan etnozoologi). 2. Preparasi tradisional sediaan farmasi (etnofarmasetika). 3. Evaluasi aksi farmakologis suatu preparasi pengobatan tertentu (etnofarmakologi). 4. Efektivitas klinis (Etnofarmasi klinis). 5. Aspek medis-sosial yang terkait dalam penggunaan obat (antropologi kesehatan). 6. Kesehatan masyarakat dan farmasi praktis yang membahas penggunaan oleh publik dan atau re-evaluasi obat-obatan. (etnobiologi medis: etnofarmasi, etnomikologi,

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tentang Etnofarmasi 2.1.1 Pengertian etnofarmasi dan ilmu yang terkait Etnofarmasi sebagai suatu interdisipliner ilmu

pengetahuan berkenaan dengan studi kefarmasian yang mempertimbangkan hubungan dengan faktor penentu budaya yang mengenali penggunaan dan suatu obat oleh manusia

berdasarkan

kelompok,

menyertakan

identifikasi,

penggolongan dan teori kategorisasi bahan alami yang akan di produksi (etnobiologi), persiapan tentang format yang

berkenaan dengan farmasi, preparasi dan formulasi serta cara penggunaannya (etnofarmaseutik) , dan efek yang dianggap berasal dari bahan alam yang diklaim berkhasiat terapi (etnofarmakologi) dan aspeksosio - medikal termasuk dalam penggunaannya (etnomedisin). Etnobotani dan etnofarmakologi sudah sering dijadikan sebagai alat untuk penemuan obat dan racun, sebagai integritas kultur berasal etnis dalam bidang riset untuk pengembangan obat (Sastronomidjojo, 2001)

2.1.2 Sejarah dan perkembangane Etnofarmasi di wilayah SulSel Obat merupakan semua zat baik kimiawi, hewani, maupun nabati dalam dosis yang layak dapat menyembuhkan,

meringankan atau mencegah penyakit serta gejalanya Obat Nabati. Kebanyakan obat yang digunakan di masa lalu adalah obat yang berasal dari tanaman. Dengan cara coba-mencoba, secara empiris orang purba mendapatkan pengalaman dengan berbagai macam daun atau akar tumbuhan untuk mengobati penyakit. Pengetahuan ini secara turun-temurun disimpan dan

dikembangkan, sehingga muncul ilmu pengobatan rakyat, seperti pengobatan tradisional jamu di Indonesia (http;// ilmu pengobatan.co.id) Munculnya obat kimiawi sintesis Pada permulaan abad ke20, obat-obat kimia sintesis mulai tampak kemajuannya, dengan ditemukannya obat-obat termashyur, yaitu salvarsan dan aspirin sebagai pelopor, yang kemudian disusul oleh sejumlah obat lain. Pendobrakan sejati baru tercapai dengan penemuan dan

penggunaan kemoterapeutika sulfatilamid (1935) dan penisilin (1940). Sebetulnya, sudah lebih dari dua ribu tahun diketahui bahwa borok bernanah dapat disembuhkan dengan menutupi luka

menggunakan kapang-kapang tertentu, tetapi baru pada tahun 1928 khasiat ini diselidiki secara ilmiah oleh penemu penisilin Dr. Alexander Fleming (http;// ilmu pengobatan.co.id) Sejak tahun 1945 ilmu kimia, fisika dan kedokteran berkembang pesat (misalnya: sintesakimia, fermentasi, teknologi rekombinan DNA) dan hal ini menguntungkan sekali bagi penelitian sistematis obat-obat baru. Beribu-ribu zat sintetik telah ditemukan, rata-rata 500 zat mengakibatkan perkembangan revolusioner di bidang farmakoterapi. Kebanyakan obat kuno ditinggalkan dan diganti dengan obat-obat mutakhir (http;// ilmu pengobatan.co.id). 2.1.3 Etnofarmasi Sulawesi Selatan Di lapangan, etnofarmasis mempelajari tentang tanaman yang digunakan oleh masyarakat asli. Etnofarmasis

mendokumentasikan pengetahuan tentang tanaman yang bermanfaat dan yang beracun, menyeleksi dan mengoleksi tanaman untuk budidaya dan perlindungan. Proses koleksi tanaman menggunakan metode standard meliputi preparasi specimen tanaman (herbaria). Tim etnofarmasis

mendeskripsikan penyakit kemudian dikomunikasikan dengan tabib tradisional dengan melakukan proses wawancara. Hal ini

difokuskan pada tanda-tanda dan gejala umum dan yang mudah dikenali. Apabila penyakit telah dikenali dan

digambarkan secara sama maka pengobatan dengan tanaman untuk penyakit tersebut dicatat secara rinci oleh etnofarmasis. Jika beberapa tabib menyatakan hal yang sama maka tanaman tersebut kemudian dikoleksi. (http;//www. Sulawesi selatan.co.id). 2.2 Tinjauan Tentang Desa Bulu Lampoko, Kecamatan Balusu, Kabupaten Barru 2.2.1 Letak Geografis Letak Wilayah Kabupaten Barru terletak di Pantai Barat Sulawesi Selatan, berjarak kurang lebih 115 Km arah utara Kota Makassar. Secara geografis terletak pada koordinat 4O 05 49 LS - 4O 47 35 LS dan 119O 35 00 BT - 119O 49 16 BT. Di sebelah utara Kabupaten Barru berbatasan Kota

Parepare, sebelah timur berbatasan Kabupaten Soppeng dan Kabupaten Bone, sebelah selatan berbatasan Kabupaten

Pangkep, dan sebelah barat berbatasan Selat Makassar. Luas wilayah. Kabupaten Barru seluas 1.174,72 km 2, terbagi dalam tujuh kecamatan yakni: Kecamatan Tanete Riaja seluas 174,29 km2; Kecamatan Tanete Rilau seluas 79,17 km 2;

Kecamatan Barru seluas 199,32 km2; Kecamatan Soppeng Riaja seluas 78,90 km2; Kecamatan Mallusetasi seluas 216,58 km 2; Kecamatan Pujananting seluas 314,26 km 2; dan Kecamatan Balusu seluas 112, 20 km2. Selain daratan, terdapat juga wilayah laut teritorial seluas 4 mil dari pantai, sepanjang 78 km. 1. Morfologi Wilayah Berdasarkan kemiringan lereng, wilayah Kabupaten Barru terbagi empat kriteria morfologis yakni datar dengan kemiringan 002O seluas 26.596 ha atau 22,64%, landai dengan kemiringan 2015O seluas 7.043 ha atau 5,49%, miring dengan kemiringan 150400 seluas 33.346 ha atau 28,31%, dan terjal dengan kemiringan > 400 seluas 50.587 ha atau 43,06%, yang tersebar pada semua kecamatan. 2. Ketinggian Wilayah Berdasarkan ketinggian dari permukaan laut, Kabupaten Barru dapat dibagi dalam enam kategori ketinggian yakni: 0 25 meter dari permukaan laut (mdpl) seluas 26.319 ha (22,40%), tersebar di seluruh kecamatan kecuali Kecamatan Pujananting; 25100 mdpl seluas 12.543 ha (10,68%), tersebar di seluruh kecamatan, 100500 mdpl seluas 52.782 ha (44,93%), tersebar di seluruh kecamatan; 5001000 mdpl

seluas 23.812 Ha (20,27%), tersebar di seluruh kecamatan kecuali Kecamatan Tanete Rilau, 10001500 mdpl seluas 1.941 ha (1,65%), tersebar di Kecamatan Tanete Riaja, Barru, Soppeng Riaja, dan Pujananting; dan kategori > 1.500 mdpl seluas 75 ha (0,06%), hanya terdapat di Kecamatan Pujananting. 3. Kondisi Geologi Jenis tanah di Kabupaten Barru terdiri atas: Alluvial seluas 14.659 ha (12,48%) yang terdapat di Kecamatan Tanete Riaja; Litosol seluas 29.043 ha (24,72%) yang terdapat di Kecamatan Tanete Rilau dan Tanete Riaja; Regosol seluas 41.254 ha (38,28%) yang terdapat di seluruh kecamatan; dan jenis Mediteran seluas 32.516 (24,60%). 4. Pola Penggunaan Lahan. Pola penggunaan lahan di Kabupaten Barru meliputi kampung atau permukiman tahun 1993 seluas 2.063,50 ha, meningkat menjadi 2.767,92 ha tahun 2008, persawahan tahun 1993 seluas 11.921,00 ha, meningkat menjadi 15.959,23 ha tahun 2008; kolam/tambak tahun 1993 seluas 1.889,50 ha, meningkat menjadi 2.903,55 ha tahun 2008, kebun campuran tahun 1993 seluas 7.698,00 ha, meningkat

menjadi 18.586,95 ha tahun 2008, lading atau tegalan tahun 1993 seluas 2.873,00 ha, meningkat menjadi 5.138,70 ha tahun 2008, lahan terbuka tahun 1993 seluas 10.966,00 ha, berkurang menjadi 3.367,53 ha tahun 2008, semak belukar tahun 1993 seluas 110,00 ha, bertambah menjadi 12.712,11 ha tahun 2008, alang-alang tahun 1993 seluas 1.327,00 ha, berkurang menjadi 265,32 ha tahun 2008, dan hutan tahun 1993 seluas 75.257,00 ha, berkurang menjadi 55.481,80 ha tahun 2008. 5. Kondisi klimatologis Kabupaten Barru merupakan daerah yang beriklim tropis dan termasuk dalam pola iklim pesisir pantai barat Sulawesi Selatan. Berdasarkan tipe iklim dengan metode Zone Agroklimatologi yang berdasarkan pada bulan basah (curah hujan lebih dari 200 mm/bulan) dan bulan kering (curah hujan kurang dari 100 mm/bulan), maka di Kabupaten Barru pada umumnya memiliki tipe iklim C yang mempunyai bulan basah berturut-turut 5 6 bulan (Oktober-Maret) dan bulan kering berturut-turut kurang dari dua bulan (AprilSeptember). Temperatur rata-rata antara 20OoC sampai 35OoC. Total hari hujan selama setahun rata-rata 94 hari

dengan jumlah curah hujan sebesar 2.646 mm. Curah hujan berdasarkan hari hujan terbanyak pada bulan Desember dan Januari dengan jumlah curah hujan rata-rata 423 mm dan 453 mm. 6. Sungai dan pesisir Kabupaten Barru dialiri sekitar 12 sungai yang tersebar di seluruh Kecamatan dengan panjang secara keseluruhan sekitar 234,60 km dengan lebar 5 80 m dan kedalaman antara 1 4 m. Kondisi sungai saat ini pada umumnya mengalami sedimentasi dan penurunan debit air bila dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya. Sungaisungai tersebut bermuara di pantai sepanjang pesisir Kabupaten Barru dengan garis pantai sepanjang 78 km. 7. Kondisi Hutan Luas hutan Kabupaten Barru berdasarkan Peta Padu Serasi Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan (Surat

Keputusan Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 276/IV/1999 adalah 65.185 ha (55,49 persen dari luas Kabupaten Barru) dengan rincian Hutan Lindung seluas 49.801 ha dan Hutan Produksi Terbatas seluas 15.384 ha. Namun berdasarkan survei tahun 2008 (Profil Kabupaten Barru Tahun 2008) luas hutan yang memiliki vegetasi atau

tegakan hanya seluas 55.481,80 ha. Hal ini sesuai dengan kenyataan terdapatnya lahan kritis dalam kawasan hutan seluas 25.189 ha.

2.2.2 Demografi Penduduk 1. Jumlah Penduduk Jumlah penduduk Kabupaten Barru tahun 1995 sebesar 149.912 jiwa dan meningkat menjadi 152.101 jiwa tahun 2000 158.821 jiwa tahun 2005 dan menjadi 161.732 jiwa pada tahun 2008. Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin pada tahun 1995 terdiri dari laki-laki sebanyak 71.526 jiwa dan perempuan 78.386 jiwa, sedangkan pada

tahun 2000 terdiri dari laki-laki sebanyak 72.361 jiwa dan perempuan sebanyak 79.740 jiwa. Pada tahun 2005 dan 2008 komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin terdiri dari laki-laki sebanyak 76.377 jiwa dan 78.266 jiwa sedangkan perempuan sebanyak 82.444 jiwa dan 83.466 jiwa. 2. Struktur umur Penduduk usia produktif pada tahun 2006

mencapai 81.229 jiwa dan pada tahun 2007 mencapai 78.859 jiwa, sedangkan angka beban tanggungan mencapai 57,73 persen pada tahun 2003 dan 56,95 persen pada tahun 2007 serta menjadi 62,02 pada tahun 2008. Penduduk usia produktif dan angka beban tanggungan pada tahun 2025 diperkirakan mengalami peningkatan menjadi lebih tinggi proporsinya. 3. Pertumbuhan penduduk Penduduk Kabupaten Barru mengalami pertumbuhan yang berfluktuasi dari tahun ke tahun sejak tahun 1995 sampai dengan tahun 2008. Pertumbuhan penduduk yang terkecil dialami pada tahun 2005 sebesar 0,13 persen dan tertinggi pada tahun 2003 sebesar 3,01 persen. Pertumbuhan

penduduk dalam siklus lima tahunan yaitu 0,61 persen pada tahun 1990-1995, 0,24 persen pada tahun 1995-2000, 0,13 persen pada tahun 2000-2005 dan 0,81 persen pada tahun 2005-2008. Pertumbuhan penduduk pada tahun 2015 diperkirakan 0,58 persen, pada tahun 2020 diperkirakan 0,57 persen dan pada tahun 2025 diperkirakan 0,55 persen. 4. Kualitas manusia Secara umum kualitas manusia diukur melalui

pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Selama periode tahun 2004-2008, IPM Kabupaten Barru mengalami peningkatan dari 67,07 (2004), 67,48 (2005), 68,60 (2006), 68,97 (2007) dan 69,50 (2008). Meskipun nilainya meningkat dari tahun ke tahun, dari sisi peringkat jika dibandingkan dengan kabupaten lain di Provinsi Sulawesi Selatan, Kabupaten Barru berada pada posisi 13 (2004), peringkat 14 (2005), peringkat 13 (2006), peringkat 14 (2007) dan tetap peringkat 14 (2008). IPM tersebut masih di bawah rata-rata provinsi dan nasional yang masing-masing 67,75 dan 68,86 (2004), 68,14 dan 69,57 (2005), 68,81 dan 70,08 (2006), 69,62 dan 70,66 (2007).

5. Indeks pendidikan Indeks pendidikan Kabupaten Barru, sebagai gabungan dari nilai angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah, telah mengalami peningkatan dari tahun 2004 ke tahun 2007, tetapi posisinya masih dibawah rata-rata indeks pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan. Barru Pada tahun 2004 indeks (Provinsi

pendidikan

Kabupaten

sebesar

71,29

mencapai 71,44 dan Nasional mencapai 76,27), tahun 2005 sebesar 71,91 (Provinsi mencapai 71,96 dan Nasional mencapai 76,82), tahun 2006 sebesar 74,37 (Provinsi mencapai 73,07 dan Nasional mencapai 77,41), 2007 sebesar 74,37 (Provinsi mencapai 73,56 dan Nasional mencapai 77,84). 6. Angka Melek Huruf Nilai indikator angka melek huruf telah mengalami peningkatan dari 84,60 persen (2004), 85,20 persen (2005), 87,10 persen (2006) dan 87,26 persen (2007). Apabila dibandingkan dengan angka melek huruf rata-rata Provinsi Sulawesi Selatan, pencapaian Kabupaten Barru sudah berada diatas rata-rata Provinsi yang nilainya 85,50 persen (2004) dan 86,24 persen (2007).

7. Rata-rata Lama Sekolah Indikator ini juga telah mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004 rata-rata lama sekolah mencapai 6,70 tahun, pada tahun 2007 menjadi 7,20 tahun. Apabila dibandingkan dengan capaian rata-rata lama sekolah Provinsi Sulawesi Selatan, capaian Kabupaten Barru masih lebih rendah dibanding rata-rata Provinsi yang nilainya 6,80 tahun (2004) dan 7,23 tahun (2007). Pada 2007, kinerja pendidikan SD/sederajat men capai APM 97,48 persen (Provinsi mencapai 88,89 persen), APK 102,87 persen (Provinsi mencapai 95,25 persen), angka putus sekolah 3,11 persen (Provinsi 2,84 persen), rasio murid/guru mencapai 11 (Provinsi mencapai 17) dan rasio murid/sekolah 103 (Provinsi mencapai 161). 8. Indeks Kesehatan Indeks kesehatan Kabupaten Barru sebagai bagian dari indikator IPM/kualitas manusia, juga menunjukkan

peningkatan pada tahun 2004-2007, tetapi pencapaiannya masih dibawah rata-rata Provinsi Sulawesi Selatan dan Nasional. Pada tahun 2004 nilai indikator ini sebesar 70,50 (Provinsi mencapai 72,83 dan Nasional mencapai 71,00),

tahun 2005 sebesar 70,67 (Provinsi mencapai 72,83 dan Nasional mencapai 71,81), tahun 2006 sebesar 71,00 (Provinsi mencapai 71,00 dan Nasional mencapai 72,44), pada tahun 2007 sebesar 71,33 (Provinsi mencapai 74,00 dan Nasional mencapai 73,03). 9. Angka Harapan Hidup Nilai indikator ini juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004, angka harapan hidup Kabupaten Barru sebesar 67,30 tahun, pada tahun 2005 sebesar 67,40 tahun, pada tahun 2006 sebesar 67,60 tahun, pada tahun 2007 sebesar 67,80 tahun, dan pada tahun 2008 sebesar 68,20 tahun. Dibandingkan dengan rata-rata angka harapan hidup Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2008 sebesar 69,60 tahun, capaian Kabupaten Barru masih lebih rendah. Diproyeksikan bahwa angka harapan hidup Kabupaten Barru mampu mencapai 70,85 tahun pada tahun 2015, mencapai 72,74 tahun pada tahun 2020 dan menjadi 74,62 tahun pada tahun 2025.

10. Daya Beli Masyarakat Indeks daya beli masyarakat Kabupaten Barru juga masih berada dibawah rata-rata Provinsi Sulawesi Selatan dan Nasional, namun telah terjadi peningkatan dari tahun 2004 hingga tahun 2007. Pada tahun 2004, nilai indeks daya beli masyarakat Kabupaten Barru sebesar 59,41 (Provinsi mencapai 58,98; Nasional mencapai 58,72), tahun 2005 sebesar 59,88 (Provinsi mencapai 59,35; Nasional mencapai 60,07), tahun 2006 sebesar 60,43 (Provinsi mencapai 59,70; Nasional mencapai 60,38), dan tahun 2007 sebesar 61,00 (Provinsi mencapai 61,29; Nasional mencapai 61,10). Dalam nilai nominal, angka daya beli masyarakat Kabupaten Barru meningkat dari Rp.617.100 (2004), menjadi Rp.619.100 (2005), Rp.621.500 (2006), Rp.624.00 (2007) dan Rp. 629.200 (2008). Angka daya beli masyarakat Kabupaten Barru berada dibawah rata-rata Provinsi yang bernilai Rp.630.800 (2008). Diproyeksikan angka ini mencapai Rp.733.700 tahun 2015, mencapai Rp.799.400 (2020) dan Rp.865.120 (2025).

11. Kesejahteraan Sosial Jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial cenderung bertambah dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2005 jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial sekitar 17.323 jiwa dan tahun 2008 menjadi 17.455 jiwa, meliputi fakir-miskin 4.816 jiwa, wanita rawan sosial 2.985 jiwa, lanjut usia terlantar 2.000 jiwa, anak terlantar 2.124 jiwa, keluarga rumah tidak layak huni 2.644 jiwa, penyandang cacat 1.075 jiwa, anak cacat 265 jiwa, penyandang cacat eks kronis 146 jiwa, keluarga rentan 325 jiwa, balita terlantar 205 jiwa, anak korban tindak kekerasan atau diperlakukan salah 12 jiwa, bekas narapidana 51 jiwa, wanita korban tindak kekerasan atau diperlakukan salah 6 jiwa, masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana 348 jiwa, pengemis 4 jiwa, keluarga bermasalah psikologis 13 jiwa, korban bencana 385 jiwa dan waria 51 jiwa. Jumlah komunitas adat terpencil (KAT) di Kabupaten Barru sampai dengan tahun 2008 tidak mengalami perubahan dari tahun-tahun sebelumnya yakni 150 KK, jumlah panti asuhan juga tidak mengalami perubahan yakni hanya empat unit hingga 2008.

12. Kepemudaan dan Olahraga Jumlah organisasi pemuda dan olahraga tidak

mengalami perubahan berarti dalam lima tahun terakhir. Jumlah organisasi pemuda pada tahun 2000 mencapai 47 unit, pada tahun 2005 dan 2008 menjadi 54 unit organisasi; sedangkan jumlah organisasi olahraga pada tahun 2008 sebanyak 12 unit atau tidak bertambah secara nyata dibanding tahun-tahun sebelumnya. 13. Kehidupan Politik dan Demokrasi Eksistensi partai politik mengalami dinamika

pertumbuhan yakni dari 48 parpol pada tahun 2000 menjadi 22 parpol pada tahun 2005 kemudian meningkat lagi menjadi 34 parpol pada tahun 2008. Tingkat partisipasi pemilih dalam pemilihan legislatif pada tahun 2004 mencapai 87.120 jiwa atau 82,70 persen dari jumlah wajib pilih sebanyak 105.350 jiwa, dan pada pemilihan presiden/wakil presiden mencapai 85.297 jiwa atau 80,05 persen dari jumlah wajib pilih sebanyak 106.555 jiwa. Pada pemilihan legislatif pada tahun 2009 mencapai 91.355 jiwa atau 72,59 persen dari jumlah wajib pilih sebanyak 123.858 jiwa dan pada pemilihan presiden/wakil presiden mencapai 97.642 jiwa atau 78,23

persen dari jumlah wajib pilih sebanyak 124.815 jiwa. Khusus pada pemilu kepala daerah/wakil kepala daerah pada tahun 2005, tingkat partisipasi pemilih mencapai 89.147 jiwa atau 81,45 persen dari jumlah wajib pilih sebanyak 109.446 jiwa. 14. Keluarga Berencana Jumlah kepala keluarga mengalami pertambahan dari 33.461 KK pada tahun 1995 menjadi 37.242 KK pada tahun 2000, 43.112 KK pada tahun 2005 dan menjadi 45.993 KK pada tahun 2008. Dari jumlah kepala keluarga tersebut, pasangan usia subur (PUS) sebanyak 21.527 (1995), 27.933 (2000), 27.282 (2005) dan menjadi 28.080 (2008). Jumlah peserta KB aktif tahun 1995 sebanyak 14.910 pasangan, tahun 2000 sebanyak 14.801 pasangan, tahun 2005 sebanyak 14.890 pasangan dan tahun 2008 mencapai 15.638 pasangan. Persentase peserta KB mengalami

penurunan dari 69,26 persen tahun 2000 menjadi 55,69 persen pada tahun 2008. 15. Administrasi Kependudukan Jumlah penduduk yang telah memiliki KTP mencapai 64,13 persen pada tahun 2005 dan meningkat menjadi 74,24 persen pada tahun 2008. Sedangkan jumlah penduduk yang

telah memiliki akte kelahiran mencapai 70,19 persen pada tahun 1995 dan meningkat menjadi 74,49 persen pada tahun 2008. 2.2.3 Latar Belakang Pemilihan Lokasi Etnofarmasi Barru (Kecamatan Balusu) dijadikan sebagai lokasi

etnofarmasi disebabkan karena kecamatan Balusu memiliki keaneka ragaman sampel darat dan sampel laut. Selain itu Jarak antara hutan dan laut tidak terlalu jauh sehingga interval waktu yang dibutuhkan dari hutan ke laut tidak terlalu lama. 2.2.4 Kultur Budaya dan Etnofarmasi Struktur masyarakat tergolong seragam, termasuk agama, adat istiadat serta budaya mayarakat. Hal ini tergambar pada berbagai kegiatan ritual keagamaan maupun budaya. Serta keseragaman dalam pemanfaatan tanaman (bahan alam)

sebagai obat tradisional yang secara seragam, penggunaan secara merata sesuai dengan funginnya masing-masing,

tanaman obat yang digunakan oleh para Batrra di daerah tersebut masih sangat sedikit yang terinventarisir, disebabkan beberapa faktor yang memiliki pengaruh yang angat besar, seperti adannya battra (Pengobatan yang digunakan Tradisional) sebagai yang obat,

merahasiakan

tanaman

keanekaragaman spesies tanaman obat, adannya kemiripan pada tanaman yang satu dengan yang lainnya sehingga membingungkan pengguna atau peneliti obat tradisional, dimana tumbuh tanaman, beberapa tanaman obat sulit didapatkan karena tumbuh ditempat yang sulit dijangkau, seperti didaerah pegunungan atau adannya kepunahan akibat penebangan hutan.

BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL, HIPOTESIS, SKEMA KERJA 3.1 Kerangka KonseptualMakassar Etnis Makassar Lontarak

pabburak

BARRU

Pegunungan bulu Lampoko

Etnofarmasi dari Tanaman Obat dan Hewan

Referensi inventarisasi Tanaman Obat

3.2 Hipotesis Kabupaten Barru kecamatan Lampoko memiliki kekayaan Sample darat yang begitu melimpah..salah satu diantaranya adalah tanaman Anting-anting (Acalypha australis ) terdiri dari uji morfologi, anatomi, organoleptik dan identifikasi kandungan kimia, dapat ditarik suatu hipotesis yaitu merupakan tumbuh dalam bentuk semak. Tinggi pohon bisa mencapai 1.5 meter, berbatang tegak, bulat, berambut halus, berwarna hiajau. Daun tunggal, berbentuk belah ketupat, berwarna hijau, panjang 3-4 cm, lebar 2-3 cm, berujung runcing, tepi bergerigi, terletak menyebar di sepanjang pohon dan batang. Bunga majemuk berbentuk butir, keluar dari ketiak daun dan ujung cabang. Buah berbentuk bulat, warna hitam. Biji berbentuk bulat panjang berwarna coklat. Akar tunggang.

3.3 Skema Kerja Pemiihan Tempat Etnofarmasi

Pengumpulan Data DiTempat PKL

Mengadakan Wawancara dengan Masyarakat setempat

Membuat Laporan Data

Gambar 3.3. Skema Kerja Etnofarmasi

BAB IV

MATERI DAN METODE PRAKTIKUM 4.1 Rancangan praktikum (Penelitian bersifat observasional) Praktikum ini dirancang untuk mendukung proses pembelajaran Mata Kuliah Farmakognosi I, dan memperlancar program kerja Laboratorium Farmakognosi yang pada akhirnya dapat menambah wawasan mahasiswa / praktikan yang kemudian dapat diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Praktikum ini dirancang atas

kesepakatan bersama seluruh Keluarga Besar Farmasi Universitas Muslim Indonesia. 4.2 Bahan a. Bahan tanaman Adapun bahan tanaman yang digunakan adalah Anting-anting (Acalypha australis Linn), Bandotan (Ageratum conyoide),

Kunyit(Curcuma rhizoma ), Sirsak ( Anana murcata ), Pare( Mamordika caranti), Katuk (Cauropus albicus), Mengkudu (Mamordika citrifolia), Pegagang (Centella acetica), Tomat (Solanum lossfeldiana), Lengkuas merah ( Alpina purprata ).

4.3 Waktu Adapun waktu pengambilan sampel adalah Tanggal 30 september 3 oktober 2011. Pengambilan sampel sekitar pagi hari hingga siang hari. 4.4 Lokasi Praktikum a. Tempat Pengambilan sampel di Desa Lampoko Kec.Ballusu,

Kabupaten Barru, tepatnya di daerah pegunangan yaitu Bulu Lampoko.. b.Pemeriksaan Morfologi dan anatomi serta uji kimia dilakukan Laboratorium farmakognosi, fakultas farmasi UMI 4.5 Prosedur praktikum 4.3.1 Pemeriksaan Farmakognostik 4.3.1.1 Identifikasi dan Determinasi Tanaman Menentukan kunci determinasi tanaman dilakukan berdasarkan bentuk morfologi melalui pendekatan di

hubungan kekerabatan tanaman ( suku dan genus) dari setiap simplisia dimana kunci determinasi tanaman

sebagai mana yang dicantumkan dalam buku resmi (FLORA OF JAVA,atau FLORA). Untuk mempermudah determinasi tanaman dilakukan pembuatan herbarium

khusus. Herbarium adalah penyimpanan dan pengawetan tumbuhan. Herbarium dapat dibuat dengan dua cara yaitu cara kering dan cara basah, sesuai dengan namanya herbarium kering disimpan dalam keadaan kering,

sedangkan hrbarium basah disimpan dalam keadaan basah dengan cairan tertentu . 4.3.1.1.1 Morfologi Tanaman Mengamati dan menggambar bentuk morfologi dari tanaman, yaitu berupa bentuk batang, daun, dan akar . 4.3.1.1.2 Anatomi Tanaman Pemeriksaan anatomi di Laboratorium, yaitu anatomi akar, batang, dan daun serta mencari bentuk stomata dengan membuat

preparat setipis mungkin diatas objek glass yang ditutupi deg glass dengan ditetesi air atau kloralhidrat, dan diamati serta digambar

anatominya dibawah mokroskop.

4.3.1.2 Pemeriksaan Simplisia 4.3.1.2.1 Pengambilan Simplisia Pengumpulan simplisia berupa Anting-

anting (Acalypha australis Linn ), Bandotan(Ageratum conyoide), Kunyit(Curcuma rhiozoma), sirsak(Anana murcata, Pare (Mamordika carantia),Katuk (Cauropus albicus),Mengkudu (Morinda citrifolia), Pegagang (Centella acetica), Tomat (Solanum lossfeldiana) Lengkuas merah (Alpina purprata) dilakukan dengan menggunakan pisau dan tangan yang telah dilapisi dengan kaos tangan. 4.3.1.2.2 Pembuatan Simplisia Simplisia dicuci yang telah dikumpulkan,

untuk membersihkan simplisia dari kotoran

atau debu dan memisahkan tanaman itu sendiri yang tidak dikehendaki saat pencucian. Setelah dicuci dan dibersihkan dari debu dan kotoran, sampel dipotong kecil-kecil kemudian dikeringkan. Pengeringan yang digunakan pada percobaan ini ialah pengeringan alamiah yakni dengan bantuan sinar matahari, atau diangin-anginkan. Untuk bagian tanaman yang keras,

seperti batang dan akar pengeringan dilakukan di bawah sinar matahari. Untuk bagian tanaman yang lunak seperti daun cukup diangin-anginkan. 4.3.1.2.3 Pemeriksaan Mutu Simplisia Organoleptis yaitu pemeriksaan warna, bau, dan rasa dari adalah Sirih (Piper betle), Benalu (Averroa

(Loranthus

spinosus),

Belimbing

carambola), Bunga tai ayam (Lantana camara), Pepaya (carica papaya) Daun pare (Mimordica carantia). a. Dari simplisia yang telah dibuat, diamati

warnanya, baunya b. Makroskopik yaitu memuat paparan mengenai bentuk dari simplisia, ukuran, warna serta bidang patahannya. c. Mikroskopik yakni memuat paparan anatomis, penampang pengenal melintang simplisia, fragmen

bentuk simplisia

5.5 Kandungan Kimia Tanaman Etnofarmasi Berdasarkan Literatur 1. Kucing-kucingan ( Acalypha indica Linn ) Pada daun, batang dan akar mengandung saponin dan tanin selain itu pada batang juga mengandung flavonoida dan pada daun mengandung minyak atsiri. 2. Kunyit ( Curcuma domestic) Kunyit (Curcuma domestic) mengandung kurkunim,

desmetoksikurkumin, dan bisdesmetoksirkurkuminoid. 3. Mengkudu (Morinda citrofilia R) Mengkudu (Morinda citrofilia R) mengandung morinda diol, morindone, morindin, damnacanthal, metal asetil, asam kapril, dan sorandiyiol. 4. Bandotan ( Ageratum conzoides ) Herba bandotan mengandung asam amino, organacid, pectic substance, minyak asiri kumarin, ageratochromene, friedelin, sitosterol, stigmasterol, tanin, sulfur, dan potassium chlorida. Akar bandotan mengandung minyak asiri, alkaloid, dan kumarin. 5. Sirsak ( Anona murcata ) Daun sirsak mengandung senyawa acetogin, antara lain asimisin, bulatacin dan squamosin yang pada konsentrasi tinggi senyawa acetogenin mempunyai keistimewaan sebagai antifeedent

sehingga hama tidak lagi bergairah untuk melahap bagian tanaman yang disukainnya.sedangkan pada konsentrasi rendah, bersifat racun perut yang bisa mengakibatkan serangga hama menemui ajalnya. 6. Pare ( Mamordica carantia ) Momordisin, momordin, karantin, asam trikosanik, resin, asam resinat, saponin, vitamin A dan C serta minyak lemak terdiri dari asam oleat, asam linoleat, asam stearat dan L.oleostearat 7. Katuk ( Cauropus albicus ) Daun katuk dapat mengandung hampir 7% protein dan serat kasar sampai 19%. Daun ini kaya vitamin K, selain pro-vitamin A (beta-karotena), B, dan C. Mineral yang dikandungnya adalah kalsium (hingga 2,8%), besi, kalium, fosfor, dan magnesium. Warna daunnya hijau gelap karena kadar klorofil yang tinggi. Daun katuk dapat diolah seperti kangkung atau daun bayam. Ibu-ibu menyusui diketahui mengonsumsi daunnya untuk memperlancar keluarnya ASI. Perlu diketahui, daun katuk mengandung papaverina, suatu alkaloid yang juga terdapat pada candu (opium). Konsumsi berlebihan dapat menyebabkan efek samping seperti keracunan papaverin. 8. Pegagang ( Centella acetca ) Kandungan dari tanaman ini adalah asiaticoside, thankuniside, isothankuniside, brahminoside, madecassoside, madasiatic acid, brahmoside, meso-inositol, brahmic acid,

centelloside,

carotenoids, hydrocotylin, vellarine, tanin serta garam mineral seperti kalium, natrium, magnesium, kalsium dan besi. 9. Tomat ( Solanum blossfeldiana ) Vitamin C - ada antioksidannya yang berguna untuk membantu membuang radikal bebas dalam tubuh. 10. Lengkuas Merah ( Alpinia purpurata ) Lengkuas masih bisa dipergunkan untuk yang lainnya

diantaranya untuk menyembuhkan jamur kulit (panu), menyegarkan dan menjaga stamina Pria.

BAB VI

PEMBAHASAN Etnofarmasi adalah studi tentang bagaimana masyarakat suatu etnis atau wilayah dalam menggunakan suatu tanaman obat atau ilmu multidisiplin yang mempelajari penggunaan obat-obatan terutama obat tradisional oleh suatu masyarakat lokal (etnik).. Etnofarmasi merupakan orang yang mengeksplorasi bagaimana suatu tanaman digunakan sebagai pengobatan. Hal ini terkait dengan studi mengenai sediaan obat yang terkait dengan penggunaannya dalam konteks kultural. Etnofarmasi meliputi studi-studi : 1. Identifikasi dan etnotaksonomi bahan alam yang digunakan dalam pengobatan (etnobiologi medis: etnofarmasi, etnomikologi, etnozoologi). 2. Preparasi tradisional sediaan farmasi (etnofarmasetika). 3. Evaluasi aksi farmakologis suatu preparasi pengobatan tertentu

(etnofarmakologi). 4. Efektivitas klinis (Etnofarmasi klinis). 5. Aspek medis-sosial yang terkait dalam penggunaan obat (antropologi kesehatan). 6. Kesehatan masyarakat dan farmasi praktis yang membahas penggunaan oleh publik dan atau re-evaluasi obat-obatan.

Etnofarmasi seringkali salah disamakan dengan etnofarmakologi yang hanya fokus pada evaluasi farmakologis pengobatan tradisional. Pemeriksaaan morfologi tumbuhan dilakukan dengan mengamati bentuk fisik dari akar, batang, dan daun dari tanaman kemudian dilakukan pengambilan gambar, dan diidentifikasi lebih lanjut berdasarkan kunci determinasi menurut literatur. Pemeriksaan dilakukan dengan mengamati bentuk sel dan jaringan pada tumbuhan pada bagian penampang melintang dan membujur dari akar, batang dan daun dengan menggunakan mikroskop. Sedangkan simplisia kering serbuk untuk melihat fragment-fragment dari tanaman Meniran yang digunakan untuk obat. Pemeriksaan organoleptis tumbuhan dilakukan untuk mengamati warna, bau, dan rasa dari bagian tanaman yang masih segar meliputi akar, batang, dan daun. . Kucing-kucingan ( Acalypha indica Linn )Pada daun, batang dan akar

mengandung saponin dan tanin selain itu pada batang juga mengandung flavonoida dan pada daun mengandung minyak atsiri Tanaman ini berkhasiat mengobati mengobati penyakit diare, kencinga darah, pendaraan luka luar, muntah darah Kunyit (Curcuma dan domestic) mengandung kurkunim, Tanaman ini

desmetoksikurkumin,

bisdesmetoksirkurkuminoid.

berkhasiat sebagai obat penurun panas, diabetes mellitus, tifus, usus buntu, haid tidak lancer, amandel, nyeri haid, radang selaput hidung, koreng, gatal, sesak napas, cacar air, dan obat sakit kencing. Mengkudu (Morinda citrofilia R) mengandung morinda diol, morindone, morindin, damnacanthal, metal asetil, asam kapril, dan sorandiyiol. Tamanan ini berkhasiat sebagai obat hipertensi, demam, sakit kuning, batuk, influenza, sakit perut dan menghilangkan sisik pada kaki.. Daun pare (Mimordica carantia) mengandung momordin, karantin, asam trikosanik, resin, asam resinat, saponin, vitamin A , Bdan C, serta minyak lemak yang terdiri atas asam oleat, asam linoat, asam stearat dan Loleostearat, dan hydroxytryptamine.Tanaman ini berkhasiat sebagai obat batuk, radang, tenggorokan, sakit mata merah, malaria, menambah nafsu makan, diabetes, rematik, sariawan, bisul, abses, demam, sakit lever, kanker, impotensi, sifilis, sembelit, dan cacingan. Diantara tamanan yang disebutkan diatas ini masih banyak sekali tanaman yang dapat dijadikan obat.

BAB VII

PENUTUP 7.1 Kesimpulan Dari hasil inventarisasi dan etnofarmasi tanaman obat, maka dapat disimpulkan bahwa ada beberapa jenis tanaman yang digunakan oleh masyarakat di desa bulu Lampoko dalam pengobatan penyakit yaitu: 1. Bandotan (Ageratum canzoides) digunakan untuk menyembuhkan luka, bagian yang digunakan adalah daun. 2. Kunyit(Curcuma rizhoma) digunakan untuk muntah darah, bagian yang digunakan adalah rimpang. 3. Sirsak(Anona muscata) digunakan untuk sakit kepala, bagian yang digunakan adalah daun. 4. Pare( Mamordika carantia) digunakan untuk cacar air, bagian yang digunakan adalah daun. 5. Katuk(Caurpus albicus) digunakan untuk memperlancar ASI, bagian yang digunakan adalah daun. 6. Mengkudu ( Mamordica citrifolia ) digunakan untuk penyakit dalam, bagian yang digunakan adalah buah. 7. Pegagang (Centella acetica) digunakan untuk muntah darah, bagian yang digunakan adalah daun.

8. Tomat (Solanum blossfeldiana) digunakan untuk mengobati sariawan, bagian yang digunakan adalah buah 9. Sengketan (Heliotropium indicum) digunakan untuk menyembuhkan luka, bagian yang digunakan adalah daun. 10. Anting-anting (Acalypha australis) digunakan untuk muntah darah , bagian yang digunakan adalah daun. 7.2 Saran Perlu diadakannya penyuluhan tentang berbagai jenis tanaman obat serta khasiatnya agar masyarakat dapat memanfatkan tanaman tersebut sewaktu-waktu

DAFTAR PUSTAKA Amin, A, 2005, PenuntunPraktikum Farmakognosi, Universitas Muslim Indonesia, Makassar Attamimi, 2003, Wawasan Ilmu Farmasi, Universitas Muslim Indonesia, Makassar Hariani, Arief, 2006, Tumbuhan Obat dan Khasiat Seri 2, Penebar Swadaya, Jakarta. Mirawati, 2005, Penuntun Praktikum Farmaseutik, Universitas Muslim Indonesia Rusli, dkk, 2009, Penuntun Praktek Farmakognosi I, UMI, Makassar. Kerja Lapang Praktikum

Sastronomidjojo, 2001, Obat Asli Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta www. google.com

LAPORAN INVENTARISASI DAN ETNOFARMASI FARMAKOGNOSI TANAMAN OBAT ASAL DESA LAMPOKO KECAMATAN BALUSU KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

19 5 4

OLEH :

ALISA MAJID 150 2010 270 KELAS W2 / KELOMPOK IV (EMPAT)

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA MAKASSAR 2011

LAMPIRAN 1. Kumis kucing (Orthosiphon stamineus)

2. Kunyit ( Curcuma domestic)

3. Mengkudu (Morinda citrofilia R)

4. Paliasa (Klenhovia hospital L)

5. Daun pare (Mimordica carantia)

6. Pepaya (Carica papaya)

7. Tembelekan (Lantana camara)

8. Benalu (Loranthus spinosus)

9. Sirih (Piper betle)