5
Amir Fatah merupakan tokoh yang membidani lahirnya DI/TII Jawa Tengah. Semula ia bersikap setia pada RI, namun kemudian sikapnya berubah dengan mendukung Gerakan DI/TII. Perubahan sikap tersebut disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama, terdapat persamaan ideologi antara Amir Fatah dengan S.M. Kartosuwiryo, yaitu keduanya menjadi pendukung setia Ideologi Islam. Kedua, Amir Fatah dan para pendukungnya menganggap bahwa aparatur Pemerintah RI dan TNI yang bertugas di daerah Tegal- Brebes telah terpengaruh oleh "orang-orang Kiri", dan mengganggu perjuangan umat Islam. Ketiga, adanya pengaruh "orang-orang Kiri" tersebut, Pemerintah RI dan TNI tidak menghargai perjuangan Amir Fatah dan para pendukungnya selama itu di daerah Tegal-Brebes. Bahkan kekuasaan MI yang telah dibinanya sebelum Agresi Militer II, harus disebahkan kepda TNI di bawah Wongsoatmojo. Keempat, adanya perintah penangkapan dirinya oleh Mayor Wongsoatmojo. Dalam meiakukan aksi aksi militernya, Amir Fatah berhasil memobiliasikan berbagai sumber daya dari para pendukungnya, baik normatif, utilities, maupun Koersif. Namun di samping itu juga terdapat hambatan yang harus dilaluinya, yaitu berupa tentangan yang datang dari kelompok gerilyawan Gerakan Antareja Republik Indonesia (GARI), dan Gerilya Republik Indonesia (GRI), serta dari "Orang-orang Kiri", terutama kaum Komunis. Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (lahir di Cepu, Jawa Tengah, 7 Januari 1905 meninggal 5 September 1962 pada umur 57 tahun) adalah seorang ulama karismatik yang memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII) di Tasikmalaya pada tahun 1949. Pada tahun 1901, Belanda menetapkan politik etis (politik balas budi). Penerapan politik etis ini menyebabkan banyak sekolah modern yang dibuka untuk penduduk pribumi. Kartosoewirjo adalah salah seorang anak negeri yang berkesempatan mengenyam pendidikan modern ini. Hal ini

Amir Fatah Merupakan Tokoh Yang Membidani Lahirnya DI

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Amir Fatah Merupakan Tokoh Yang Membidani Lahirnya DI

Amir Fatah merupakan tokoh yang membidani lahirnya DI/TII Jawa Tengah. Semula ia bersikap setia

pada RI, namun kemudian sikapnya berubah dengan mendukung Gerakan DI/TII. Perubahan sikap

tersebut disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama, terdapat persamaan ideologi antara Amir Fatah

dengan S.M. Kartosuwiryo, yaitu keduanya menjadi pendukung setia Ideologi Islam. Kedua, Amir Fatah

dan para pendukungnya menganggap bahwa aparatur Pemerintah RI dan TNI yang bertugas di daerah

Tegal-Brebes telah terpengaruh oleh "orang-orang Kiri", dan mengganggu perjuangan umat Islam.

Ketiga, adanya pengaruh "orang-orang Kiri" tersebut, Pemerintah RI dan TNI tidak menghargai

perjuangan Amir Fatah dan para pendukungnya selama itu di daerah Tegal-Brebes. Bahkan kekuasaan

MI yang telah dibinanya sebelum Agresi Militer II, harus disebahkan kepda TNI di bawah Wongsoatmojo.

Keempat, adanya perintah penangkapan dirinya oleh Mayor Wongsoatmojo. Dalam meiakukan aksi aksi

militernya, Amir Fatah berhasil memobiliasikan berbagai sumber daya dari para pendukungnya, baik

normatif, utilities, maupun Koersif. Namun di samping itu juga terdapat hambatan yang harus dilaluinya,

yaitu berupa tentangan yang datang dari kelompok gerilyawan Gerakan Antareja Republik Indonesia

(GARI), dan Gerilya Republik Indonesia (GRI), serta dari "Orang-orang Kiri", terutama kaum Komunis.

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (lahir di Cepu, Jawa Tengah, 7 Januari 1905 – meninggal 5

September 1962 pada umur 57 tahun) adalah seorang ulama karismatik yang memproklamirkan Negara

Islam Indonesia (NII) di Tasikmalaya pada tahun 1949.

Pada tahun 1901, Belanda menetapkan politik etis (politik balas budi). Penerapan politik etis ini

menyebabkan banyak sekolah modern yang dibuka untuk penduduk pribumi. Kartosoewirjo adalah

salah seorang anak negeri yang berkesempatan mengenyam pendidikan modern ini. Hal ini disebabkan

karena ayahnya memiliki kedudukan yang cukup penting sebagai seorang pribumi saat itu.

Pada umur 8 tahun, Kartosoewirjo masuk ke sekolah Inlandsche School der Tweede Klasse (ISTK).

Sekolah ini menjadi sekolah nomor dua bagi kalangan bumiputera. Empat tahun kemudian, ia masuk ELS

di Bojonegoro (sekolah untuk orang Eropa). Orang Indonesia yang berhasil masuk ELS adalah orang yang

memiliki kecerdasan yang tinggi. Di Bojonegoro, Kartosoewirjo mengenal guru rohaninya yang bernama

Notodiharjo, seorang tokoh Islam modern yang mengikuti alur pemikiran Muhammadiah. Ia

menanamkan pemikiran Islam modern ke dalam alam pemikiran Kartosoewirjo. Pemikiran Notodiharjo

ini sangat memengaruhi sikap Kartosoewirjo dalam meresponi ajaran-ajaran Islam.

Setelah lulus dari ELS pada tahun 1923, Kartosoewirjo melanjutkan studinya di Perguruan Tinggi

Kedokteran Nederlands Indische Artsen School.Pada masa ini, ia mengenal dan bergabung dengan

organisasi Syarikat Islam yang dipimpin oleh H. O. S. Tjokroaminoto. Ia sempat tinggal di rumah

Page 2: Amir Fatah Merupakan Tokoh Yang Membidani Lahirnya DI

Tjokroaminoto. Ia menjadi murid sekaligus sekretaris pribadi H. O. S. Tjokroaminoto. Tjokroaminoto

sangat memengaruhi perkembangan pemikiran dan aksi politik Kartosoewirjo. Ketertarikan

Kartosoewirjo untuk memelajari dunia politik semakin dirangsang oleh pamannya yang semakin

memengaruhinya untuk semakin mendalami ilmu politik. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila

nanti Kartosoewirjo tumbuh sebagai orang yang memiliki integritas keIslaman yang kuat dan kesadaran

politik yang tinggi. Tahun 1927, Kartosoewirjo dikeluarkan dari Nederlands Indische Artsen School

karena ia dianggap menjadi aktivis politik serta memiliki buku sosialis dan komunis.

S. M. Kartosoewirjo juga bekerja sebagai Pemimpin Redaksi Koran harian Fadjar Asia. Ia membuat

tulisan-tulisan yang berisi penentangan terhadap bangsawan Jawa (termasuk Sultan Solo) yang

bekerjasama dengan Belanda. Dalam artikelnya nampak pandangan politiknya yang radikal. Ia juga

menyerukan agar kaum buruh bangkit untuk memperbaiki kondisi kehidupan mereka, tanpa memelas.

Ia juga sering mengkritik pihak nasionalis lewat artikelnya.

Kariernya kemudian melejit saat ia menjadi sekretaris jenderal Partai Serikat Islam Indonesia (PSII). PSII

merupakan kelanjutan dari Sarekat Islam. Kartosoewirjo kemudian bercita-cita untuk mendirikan negara

Islam (Daulah Islamiyah). Di PSII ia menemukan jodohnya. Ia menikah dengan Umi Kalsum, anak seorang

tokoh PSII di Malangbong. Ia kemudian keluar dari PSII dan mendirikan Komite Pembela Kebenaran

Partai Sarekat Islam Indonesia (KPKPSII).

Menurut Kartosoewirjo, PSII adalah partai yang berdiri di luar lembaga yang didirikan oleh Belanda. Oleh

karena itu, ia menuntut suatu penerapan politik hijrah yang tidak mengenal kompromi. Menurutnya,

PSII harus menolak segala bentuk kerjasama dengan Belanda tanpa mengenal kompromi dengan cara

jihad. Ia mendasarkan segala tindakkan politiknya saat itu berdasarkan pembedahan dan tafsirannya

sendiri terhadap Al-Qur’an. Ia tetap istiqomah pada pendiriannya, walaupun berbagai rintangan

menghadang, baik itu rintangan dari tubuh partai itu sendiri, rintangan dari tokoh nasionalis, maupun

rintangan dari tekanan pemerintah Kolonial.

Pada masa perang kemerdekaan 1945-1949, Kartosoewirjo terlibat aktif tetapi sikap kerasnya

membuatnya sering bertolak belakang dengan pemerintah, termasuk ketika ia menolak pemerintah

pusat agar seluruh Divisi Siliwangi melakukan long march ke Jawa Tengah. Perintah long march itu

merupakan konsekuensi dari Perjanjian Renville yang sangat mempersempit wilayah kedaulatan

Republik Indonesia. Kartosoewirjo juga menolak posisi menteri yang ditawarkan Amir Sjarifuddin yang

saat itu menjabat Perdana Menteri.

Kekecewaannya terhadap pemerintah pusat semakin membulatkan tekadnya untuk membentuk Negara

Islam Indonesia. Kartosoewirjo kemudian memproklamirkan NII pada 7 Agustus 1949. Tercatat beberapa

Page 3: Amir Fatah Merupakan Tokoh Yang Membidani Lahirnya DI

daerah menyatakan menjadi bagian dari NII terutama Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh.

Pemerintah Indonesia kemudian bereaksi dengan menjalankan operasi untuk menangkap Kartosoewirjo.

Gerilya NII melawan pemerintah berlangsung lama. Perjuangan Kartosoewirjo berakhir ketika aparat

keamanan menangkapnya setelah melalui perburuan panjang di wilayah Gunung Rakutak di Jawa Barat

pada 4 Juni 1962. Pemerintah Indonesia kemudian menghukum mati Kartosoewirjo pada September

1962.

Kekuatan pasukan pendukung Musso digempur dari dua arah: Dari barat oleh pasukan Divisi II di bawah

pimpinan Kolonel Gatot Subroto, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Wilayah II (Semarang-

Surakarta) tanggal 15 September 1948, serta pasukan dari Divisi Siliwangi, sedangkan dari timur diserang

oleh pasukan dari Divisi I, di bawah pimpinan Kolonel Sungkono, yang diangkat menjadi Gubernur

Militer Jawa Timur, tanggal 19 September 1948, serta pasukan Mobiele Brigade Besar (MBB) Jawa

Timur, di bawah pimpinan M. Yasin. Kekuatan inti pasukan-pasukan pendukung Musso dapat

dihancurkan dalam waktu singkat.

Tanggal 30 September 1948, kota Madiun dapat dikuasai seluruhnya. PKI kembali harus menelan pil

pahit setelah pemberontakannya kembali digulung pemerintah Sukarno-Hatta. Pasukan Republik yang

datang dari arah timur dan pasukan yang datang dari arah barat, bertemu di Hotel Merdeka di Madiun.

Namun pimpinan kelompok kiri beserta beberapa pasukan pendukung mereka, lolos dan melarikan diri

ke beberapa arah, sehingga tidak dapat segera ditangkap.

Baru pada akhir bulan November 1948 seluruh pimpinan dan pasukan pendukung Musso tewas atau

dapat ditangkap. Sebelas pimpinan kelompok kiri, termasuk Mr. Amir Syarifuddin, mantan Perdana

Menteri RI, dieksekusi pada 20 Desember 1948, atas perintah Kol. Gatot Subroto.