126
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyalahgunaan bahan alkohol sebagai bahan minuman keras sangat banyak terjadi. Kasus-kasus kematian terkait dengan minuman keras oplosan sudah sering dilaporkan di Indonesia. Salah satunya adalah berita yang dari kabupaten Blitar yang mengabarkan 40 orang sedang menggelepar sekarat akibat menegak minuman keras oplosan pada acara pernikahan (Arif & Bachtiar, 2012). Berdasarkan laporan hasil Riset Kesehatan Dasar NTB tahun 2007, konsumsi alkohol selama 12 bulan terakhir di Provinsi Nusa Tenggara Barat mencapai 2% lebih rendah dari angka nasional (3,2%) (Riskesdas NTB, 2007). Seringkali pembuat miuman keras oplosan tidak memperhatikan jenis bahan dan kadar yang digunakan dalam membuat minuman keras oplosan. Etanol adalah bahan kimia yang diperoleh dari hasil fermentasi bahan-bahan seperti

BAB 1-akhir

Embed Size (px)

DESCRIPTION

gerus

Citation preview

Page 1: BAB 1-akhir

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Penyalahgunaan bahan alkohol sebagai bahan minuman keras sangat banyak

terjadi. Kasus-kasus kematian terkait dengan minuman keras oplosan sudah sering

dilaporkan di Indonesia. Salah satunya adalah berita yang dari kabupaten Blitar yang

mengabarkan 40 orang sedang menggelepar sekarat akibat menegak minuman keras

oplosan pada acara pernikahan (Arif & Bachtiar, 2012). Berdasarkan laporan hasil

Riset Kesehatan Dasar NTB tahun 2007, konsumsi alkohol selama 12 bulan terakhir

di Provinsi Nusa Tenggara Barat mencapai 2% lebih rendah dari angka nasional

(3,2%) (Riskesdas NTB, 2007).

Seringkali pembuat miuman keras oplosan tidak memperhatikan jenis bahan

dan kadar yang digunakan dalam membuat minuman keras oplosan. Etanol adalah

bahan kimia yang diperoleh dari hasil fermentasi bahan-bahan seperti buah dan biji-

bijian yang normalnya di gunakan dalam pembuatan minuman keras, tetapi harus

melalui beberapa kali penyaringan dan kadar yang ditetapkan oleh pemerintah adalah

sekitar 1-55% (Syarifudin, 2010).

Peminum kronis dapat mengalami berbagai gangguan syaraf mulai dari

dementia (gangguan kecerdasan), bingung, kesulitan berjalan dan kehilangan

memori. Berdasarkan penelitian, efek pada otak yang diakibatkan oleh keracunan

metanol adalah kerusakan pada retina mata dan nekrosis putamen bilateral dengan

Page 2: BAB 1-akhir

2

atau tanpa perdarahan, edema serebri, herniasi, dan perubahan patologi sel-sel otak

(Trisna, 2010).

Dalam pembuatan minuman keras oplosan, zat-zat seperti etanol, metanol atau

etilen glikol sering dicampur dengan bahan-bahan seperti minuman berenergi, nanas,

Pepsi, obat nyamuk, spiritus, deterjen, dan DPM (D-3-methoxy-N-methyl-morphinan,

dimana dalam dosis tertentu digunakan untuk mengurangi batuk) (Trisna, 2010).

Dalam kasus minuman keras yang menyebabkan kematian, minuman keras yang

diminum juga dicampurkan dengan MSG (monosodium glutamate) bahan penyedap

rasa sejenis vetsin (Arif& Bachtiar, 2012).

Alkohol bisa menghilangkan kecemasan dalam pikiran. Selain itu alkohol bisa

memberikan rasa manis sehingga membuat minuman dan makanan menjadi enak

(Sudarmaji, 1982), sedangkan MSG mempunyai pengaruh sebagai penyedap rasa.

Hal inilah yang mungkin menjadi penyebab orang yang mengkonsumsi alkohol lupa

berapa banyak alkohol yang telah diminum karena didalamnya ada campuran MSG

yang memberikan rasa nikmat sehingga tidak sadar bahwa volume yang dikonsumsi

sudah mencapai kadar toksik.

Khususnya pada sistem neurologik, efek yang bisa ditimbulkan akibat

mengkonsumsi MSG adalah depresi, perasaan yang tidak stabil, migrain, pusing,

sakit kepala ringan, hilang keseimbangan, disorientasi, bingung, cemas, sering panik,

hiperaktivitas, gangguan perilaku anak, gangguan perhatian, letargi, mudah

mengantuk atau susah tidur, skiatrik, gagap, kesemutan atau paralisis (Arisman,

2009).

Page 3: BAB 1-akhir

3

Otak adalah organ yang sangat kritis, terdiri dari berbagai struktur yang sangat

menunjang fungsi tubuh, merupakan pusat integrasi dan koordinasi organ-ogran

sensorik dan sistem efektor perifer tubuh, dan berfungsi sebagai pengatur informasi

yang masuk, simpanan pengalaman, impuls yang keluar dan tingkahlaku (Wilson,

2005). Kerusakan yang terjadi pada otak bisa diketahui dengan cara melihat

perubahan yang terjadi pada struktur organnya.

Kematian akibat minuman keras yang dioplos dengan bahan kimia telah

dilaporkan, serta penelitian yang membahas minuman oplosan dengan bahan

campuran yang lain juga sudah dilaporkan, antara lain tentang pengaruh pemberian

etanol dan metanol pada gambaran histopatologis hepar dan ginjal (Sumarni, 2010).

Penelitian lainnya adalah tentang pengaruh pemberian alkohol 20% secara akut dan

kronik pada tikus bisa yang menyebabkan toksik pada ginjal (Guhardi, 2012). Hal ini

menunjukkan bahwa lamanya paparan juga berpengaruh terhadap kerusakan organ.

Sedangkan penelitian tentang pengaruh pemberian oplosan MSG dan etanol terhadap

gradasi kerusakan otak belum pernah dilaporkan, sementara penggunaan MSG sendiri

sebagai Adjuvan sudah diketahui.

Hal inilah yang mendorong peneliti untuk mengetahui bagaimana pengaruh

pemberian oplosan etanol dan MSG dosis letal sejumlah 4 ml dengan dosis yang

bervariasi yaitu perbandingan 1:3, 1:4, dan 1:5 terhadap gradasi kerusakan otak tikus

Wistar.

Page 4: BAB 1-akhir

4

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah

pengaruh pemberian oplosan MSG dan etanol 10% dosis bertingkat terhadap gradasi

kerusakan otak tikus Wistar.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah pengaruh

pemberian oplosan MSG dan etanol 10% dosis bertingkat terhadap gradasi kerusakan

otak tikus Wistar.

1.3.2 Tujuan khusus

Tujuan dari penelitian ini adalah

1. Mengetahui gradasi kerusakan otak tikus Wistar yang telah diberi paparan

etanol 10% sebanyak 4 ml.

2. Mengetahui gradasi kerusakan otak tikus Wistar yang telah diberi paparan

MSG dosis letal sebanyak 4 ml.

3. Mengetahui gradasi kerusakan otak tikus Wistar yang telah diberi paparan

oplosan MSG dan etanol 10% dosis letal dengan perbandingan 1: 3 sebanyak

4 ml.

4. Mengetahui gradasi kerusakan otak tikus Wistar yang telah diberi paparan

oplosan MSG dan etanol 10% dosis letal dengan perbandingan 1: 4 sebanyak

4 ml.

Page 5: BAB 1-akhir

5

5. Mengetahui gradasi kerusakan otak tikus Wistar yang telah diberi paparan

oplosan MSG dan Etanol 10% dosis letal dengan perbandingan 1:5 sebanyak

4 ml.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Untuk peneliti

Memberi pengetahuan bagi mahasiswa tentang efek penggunaan

alkohol khususnya oplosan MSG dan etanol bagi kesehatan.

1.4.2 Untuk pemerintah

Menjadi bahan informasi masalah kesehatan mengenai efek pemberian

oplosan MSG dan etanol sehingga bisa digunakan sebagai acuan dalam

mengambil keputusan terkait dengan kesehatan masyarakat.

1.4.3 Untuk masyarakat

Menjadi bahan acuan bagi masyarakat dalam mengkonsumsi etanol

dan MSG supaya mengetahui batas normal yang boleh dikonsumsi.

Page 6: BAB 1-akhir

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Monosodium Glutamate

2.1.1 Definisi MSG

Monosodium glutamat (MSG) adalah garam sodium “L glutamate acid” yang

mudah larut dalam air dan tidak berbau, dibuat melalui proses fermentasi dari tetes-

gula (molases) oleh bakteri Brevibacterium lactofermentum. Dari fermentasi ini

dihasilkan asam glutamat. Asam glutamat kemudian ditambah soda (Natrium

karbonat) sehingga terbentuk MSG, kemudian dimurnikan dan dikristalisasi

(Simanjuntak, 2010).

Gambar 2.1.1. Struktur kimia MSG, dikutip dari Kauffman, 2004

Asam glutamat digolongkan menjadi salah satu asam amino non essensial

tubuh manusia dapat memproduksi glutamat sendiri. Glutamat dibuat dalam tubuh

manusia dan memainkan peran esensial dalam metabolisme. Hampir dua kilogram

glutamat terdapat secara alami dalam otak, ginjal, hati dan pada jaringan lain pada

tubuh manusia (Simanjuntak, 2010). Selain di produksi dalam tubuh, glutamat juga

terdapat dalam beberapa makanan. Dalam urutan makin tinggi, beberapa diantaranya

Page 7: BAB 1-akhir

7

mengandung kadar tinggi seperti: susu, telur, daging, ikan, ayam, kentang, jagung,

tomat, brokoli, jamur, anggur, kecap, saus dan keju (Ardyanto, 2004).

Saat ini, menghindari bahan penyedap rasa berupa MSG tidak mudah karena

masyarakat sudah terbiasa menggunakannya sehari-hari. Bahkan saat ini kadar MSG

yang digunakan semakin bertambah dan tidak sesuai dengan kadar yang

diperbolehkan. Hal ini terjadi akibat naiknya ambang rasa enak diotak yang

disebabkan oleh MSG. Akibat dari hal ini tentunya adalah terjadinya berbagai

keadaan yang bisa merusak keseimbangan atau homeostasis tubuh.

2.1.2 Metabolisme MSG

MSG pertama sekali ditemukan oleh Ritthausen (1866), dan berhasil diisolasi

dari rumput laut oleh Ikeda (1908), dengan rumus kimia MSG adalah

C5H8O4NNaH2O, terdiri atas natrium sebanyak 12%, glutamat 78% dan air 10%

(Simanjuntak, 2010).

MSG diketahui bisa merangsang selera akibat dari kombinasi rasa yang khas

dari efek sinergis MSG dengan 5 ribonukleotida yang terdapat di dalam makanan,

yang bekerja pada membran sel reseptor kecap (Simanjuntak 2010, dari Widharto et

al.). Mekanisme kerja MSG bisa sampai menimbulkan efek rasa sedap di otak

dimulai dari adanya MSG yang larut dalam air ataupun ludah, kemudian zat ini

berdisosiasi dengan cepat menjadi garam bebas dalam bentuk anion glutamat,

kemudian ion ini akan membuka saluran Ca2+ pada sel saraf yang terdapat kuncup

perasa sehingga memungkinkan ion Ca2+ memasuki sel sehingga menimbulkan

Page 8: BAB 1-akhir

8

depolarisasi reseptor. Depolarisasi selanjutnya menimbulkan potensial aksi yang

sampai ke otak untuk kemudian diterjemahkan oleh otak sebagai rasa lezat.

Pada pemberian secara oral, MSG akan di serap dan di metabolisme di usus.

Asam glutamat kemudian di transaminasikan dengan piruvat menjadi alanin. Alanin

kemudian diubah menjadi ketoglutarat atau oksaloasetat oleh asam amino

dikarboksilat. Proses ini mengakibatkan berkurangnya jumlah asam amino

dikarboksilat yang dilepas ke dalam darah porta. Asam glutamat dan asam aspartat

yang lolos dari metabolisme mukosa usus dibawa ke hati melalui vena porta.

Sebagian asam glutamat dan aspartat dikonversi menjadi glukosa dan laktat sebelum

memasuki pembuluh darah perifer. Hati mempunyai kemampuan terbatas

memetabolisme asam glutamat menjadi metabolit lain. Karena itu, apabila kadar

glutamat melebihi kemampuan kapasitas hati untuk metabolismenya, maka kadar

glutamat plasma akan meningkat (Simanjuntak, 2010).

Kadar asam glutamat dalam darah manusia mulai meningkat setelah

konsumsi MSG 30 mg/kg berat badan/hari, yang berarti sudah mulai melampaui

kemampuan metabolisme tubuh (Ardyanto, 2004 dalam Jurnal Nutritional Sciences

tahun 2000). Jika kondisi tubuh bagus dan masih terkendali, kadar ini akan kembali

normal dalam jangka waktu 3 jam. Peningkatan yang signifikan baru mulai terjadi

pada konsumsi 150 mg/kg berat badan/hari. Efek ini makin kuat bila konsumsi

ini bersifat jangka pendek dan besar atau dalam dosis tinggi (3 gr atau lebih dalam

sekali makan) (Ardyanto, 2004).

Page 9: BAB 1-akhir

9

Khususnya di otak, memang terdapat asam amino glutamat yang berfungsi

sebagian neurotransmiter untuk menjalarkan rangsang antar neuron. Tetapi bila

terakumulasi di sinaps akan bersifat eksitotoksik bagi otak. Karena itu ada kerja

dari glutamate transporter protein untuk menyerapnya dari cairan ekstraseluler.

Selain kerja glutamate transporter protein, ada enzim glutamine sintetase yang

bertugas merubah amonia dan glutamat menjadi glutamin yang tidak berbahaya

dan bisa dikeluarkan dari otak (Ardyanto, 2004).

Gambar 2.1.2 Kerja glutamate di otak, di kutip dari Pitenger, 2011

Selain di otak, reseptor untuk glutamat juga ditemukan di beberapa bagian

tubuh lain seperti tulang, jantung, ginjal, hati, plasenta dan usus. MSG yang

menyebar di seluruh tubuh termasuk akan menembus sawar darah otak dan terikat

oleh reseptornya. Sayangnya, seperti disebutkan sebelumnya, asam glutamat bebas

ini bersifat eksitotoksik sehingga dihipotesiskan akan bisa merusak neuron otak bila

Page 10: BAB 1-akhir

10

sudah melebihi kemampuan otak mempertahankannya dalam kadar rendah

(Ardyanto, 2004).

2.1.3 Efek MSG secara umum

Pada awalnya, penelitian mengenai Monosodium Glutamat dimulai sejak

adanya suatu sindrom yang diderita oleh pelanggan rumah makan di cina. Para

pelanggan yang keluar dari rumah makan tersebut mengalami pusing-pusing, mual,

jantung berdebar lebih kencang dan rasa tegang di tegkuk (Alao dkk, 2010).

Kadar MSG yang boleh di konsumsi oleh masyarakat masih belum jelas di

tetapkan, akan tetapi melihat hasil penelitian untuk batasan metabolisme (30

mg/kg/hari) berarti rata-rata dalam sehari dibatasi penambahan maksimal 2,5– 3,5 g

MSG (berat badan 50–70 kg), dan tidak boleh dalam dosis tinggi sekaligus

(Ardyanto, 2004).

Mengkonsumsi MSG sebanyak 2-3 gram secara rutin bisa memicu sindrom

restoran cina, hal ini diperkenalkan oleh Dr. Robert Ho an Kwok pada akhir tahun

1968. Sementara mengkonsumsi dosis sebanyak 5 gr mampu memicu sindrom

restoran cina tersebut, karena RDA yang dianjurkan maksimal 2 gram (Arisman,

2009).

Efek toksik dari paparan MSG selain berupa Chinese Restaurant Syndrome,

juga didapatkan gejala berupa rasa panas di leher, lengan dan dada, diikuti kaku-kaku

otot dari daerah tersebut menyebar sampai ke punggung. Gejala lain berupa rasa

panas dan kaku di wajah diikuti nyeri dada, sakit kepala, mual, berdebar-debar

dan kadang sampai muntah. Gejala ini mirip dengan Chinese Restaurant

Page 11: BAB 1-akhir

11

Syndrome, tetapi kemudian lebih tepat disebut MSG Complex Syndrome

(Ardyanto, 2004).

2.1.4 Efek MSG terhadap otak

Monosodium glutamate bisa menghasilkan eksositotoksin yang biasanya

berupa asam amino yang dapat bereaksi dengan reseptor khusus diotak melalui

mekanisme tertentu yang belum diketahui dengan pasti sehingga menyebabkan

kerusakan sel-sel otak tertentu. Glutamat adalah salah satu dari asam amino tersebut.

Sebenarnya, asam amino ini adalah neurotransmiter yang normal pada otak tapi

konsentrasinya tidak lebih dari 8-12 mikrogram. Jika kadar glutamat melebihi angka

tersebut sifat asam amino ini akan menjadi toksik (Arisman, 2009).

Didalam otak ada Blood Brain Barier yang bertugas untuk menjaga otak dari

hal-hal yang bersifat merusak bagi otak. Glutamat yang akan masuk kedalam otak

akan ditahan oleh sawar ini. Tapi jika kadarnya melebihi kemapuan sawar ini untuk

menahannya, maka tentu saja glutamate bisa lolos menembus sawar ini dan akan

merusak sel-sel otak.

Khususnya pada sistem neurologis, efek yang bisa ditimbulkan akibat

mengkonsumsi MSG adalah depresi, perasaan yang tidak stabil, migrain, pusing,

sakit kepala ringan, hilang keseimbangan, disorientasi, bingung, cemas, sering panik,

hiperaktivitas, gangguan perilaku anak, gangguan perhatian, letargi, mudah

mengantuk atau susah tidur, gagap, kesemutan atau paralisis (Arisman, 2009).

Ardyanto pada tahun 2004 menyebutkan dari Jurnal Neurochemistry International

Page 12: BAB 1-akhir

12

bahwa pemberian MSG sebanyak 4 mg/g berat badan ke bayi tikus

menimbulkan neurodegenerasi berupa jumlah neuron lebih sedikit dan rami dendrit

(jaringan antar sel syaraf otak) lebih renggang.

Efek samping dari mengkonsumsi MSG pada otak yang khususnya pada telah

ditunjukkan dari hasil penelitian yang mengamati perubahan biokimia dan histologis

dari jaringan tersebut. Hasilnya menunjukkan bahwa ditemukan adanya degenerasi

dari sel saraf dan peningkatan alkaline posfatase yang mengindikasikan adanya lesi

pada otak. Hal ini berakibat pada gangguan lokomosi, berfikir, ingatan, berbicara,

perilaku seksual dan sosial. Berdasarkan hasil penelitian ini, memperjelas fungsi dari

otak sebagai organ yang berfungsi untuk membuat keputusan dan pembentuk prilaku

(Alao dkk, 2010).

2.2 Etanol

2.2.1 Definisi etanol

Etanol merupakan senyawa dengan rumus molekul C2H5OH, larut dalam air,

diserap sempurna dari saluran cerna. Uapnya juga bisa diserap melalui paru-paru

(Katzung, 1997). Etanol adalah senyawa yang terdapat dalam alkohol minuman keras.

Senyawa ini didapatkan dari hasil fermentasi buah-buahan atau gandum yang sudah

dikenal sejak lama sebagai minuman yang menghangatkan tubuh dinegara-negara

beriklim dingin. Namun, belakangan ini digunakan untuk bersenang-senang (Hapsari,

2007).

Minuman keras atau yang dikenal dengan nama minuman beralkohol, bahan

dasar utamanya adalah etanol yang mempunyai batas kadar yang telah ditetapkan

Page 13: BAB 1-akhir

13

oleh pemerintah 1%-55 dan etanol yang ada dalam minuman beralkohol tersebut

bukan etanol yang dibuat atau digunakan untuk industri tetapi etanol yang diproses

dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan

destilasi atau fermentasi tanpa destilasi dari buah dan biji bijian misalnya anggur,

gandum, beras dan lain-lain (Syarifudin, 2010).

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang

Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol pada Bab I, Pasal 1 menetapkan

bahwa yang dimaksud dengan minuman beralkohol adalah minuman yang

mengandung etanol yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung

karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi, baik

dengan cara memberikan perlakuan terlebih dahulu atau tidak, menambahkan bahan

lain atau tidak, maupun yang diproses dengan cara mencampur kosentrat dengan

etanol atau dengan cara pengenceran minuman mengandung etanol.

2.2.2 Standarisasi pembuatan tuak

Tuak adalah minuman yang berasal dari hasil fermentasi air Aren atau nira.

Minuman sangat digemari di daerah-daerah tertentu di Indonesia, salah satu

contohnya adalah Bali. Di daerah ini, tuak sudah menjadi minuman yang biasa di

konsumsi sehari-hari dan digunakan dalam upacara keagamaan (Sari, 2007).

Nira adalah cairan yang keluar yang keluar dari bunga aren (Arenge pinata)

dan memiliki rasa manis karena mengandung glukosa. Selain mengandung glukosa,

kandungan lain yang terdapat dalam nira adalah sebagai berikut:

Page 14: BAB 1-akhir

14

Tabel 2.2.2 komposisi nira segar

Komposisi bahan Kadar kandungan (gr/100 ml)

Total padatan 15,20-19,70

Sukrosa 12,30-17,40

Abu 0,11-0,41

Protein 0,23-0,32

Vitamin C 16,0-30,0

Berat jenis pada 290C 1,058-1,007

Dikutip dari Setyamidjaja dalam Sari, 2007

Proses penyadapan nira dimulai setelah dilakukannya pemotongan pada

bagian mayang dari bunga atau tandan pohon aren. Air nira akan keluar dari bagian

yang dipotong tadi kemudian akan ditampung. Seorang paragat (penyadap nira)

menyadap tuak dua kali sehari, yaitu pagi dan sore (Lay, 2011).

Ketika nira baru keluar dari bunga aren, ia akan menjadi minuman yang

menyegarkan. Tapi jika nira di diamkan, ia akan mengalami fermentasi dengan

bantuan bakteri Saccharomyces cerevisiae , Pseudomonas lindueri atau Acetobacter

subixidant (Lay, 2011& Sari, 2007) atau zat tertentu seperti kulit kayu (Shigehira,

1997) yang akan menyebabkan air ini menjadi minuman beralkohol atau tuak.

Kadar alkohol yang terdapat pada nira tergantung seberapa lama proses

fermentasi tersebut berlangsung. Pada pengolahan nira menjadi alkohol melalui

proses fermentasi, faktor penentu dari proses fermentasi tersebut adalah mikroba

atau ragi yang digunakan dan kondisi lingkungan (Lay, 2011).

Page 15: BAB 1-akhir

15

Alkohol yang terdapat pada suatu minuman yakni salah satunya nira

belum dapat diukur besar kadar alkoholnya karena alkohol tersebut membentuk

suatu ikatan dengan molekul lainnya sepeti CO2, air serta zat – zat asam

lainnya yang terdapat pada nira. Hal inilah yang menyebabkan harus di

destilasi terlebih dahulu sebelum dilakukan pengamatan kadar alkohol pada nira

(Sari, 2007).

Pemisahan alkohol dari cairan nira tentunya mempergunakan metode

distilasi. Dimana destilasi atau penyulingan merupakan suatu metode pemisahan

bahan kimia berdasarkan perbedaan kecepatan atau kemudahan menguap

(volatilitas) bahan. Dalam penyulingan, air nira di didihkan sampai menguap. Zat

yang memiliki titik didih terendah tentunya akan menguap terlebih dahulu. Dimana

pada cairan nira, alkohol merupakan zat yang memiliki titik didih paling

rendah. Uap yang dihasilkan akan didinginkan oleh kondensor sehingga uap

yang diperoleh dapat diubah menjadi cairan kembali (Sari, 2007).

Pemisahan alkohol dengan zat lain yang terkandung dalam Nira telah

dilakukan dengan destilasi. Alkohol hasil dari destilasi kemudian akan dihitung

kadarnya menggunakan mesin chromatograph. Mesin chromatograph ialah mesin

yang digunakan untuk memproses suatu makanan atau minuman sehingga dapat

diketahui kadar alkoholnya. Setelah mesin chromatograph memproses cairan alkohol

pada nira, maka hasilnya akan muncul pada mesin chromatopac yang berbentuk

grafik (Sari, 2007).

Page 16: BAB 1-akhir

16

Hasil pengukuran kadar alkohol berdasarkan lamanya penyimpanan air nira

berdasarkan suatu penelitian yang dilakukan oleh Sari dkk adalah:

Tabel 2.2.2 tabel hasil pengukuran kadar alkohol pada nira

2.2.3 Metabolisme etanol

Alkohol dimetabolisme dihati dalam dua tahap dan dikatalisasi aldehyde

dehydrogenase dengan NAD+ sebagai akseptor hidrogen (Robert & Lustig , 2010).

Setelah alkohol di cerna, zat ini kemudian diabsorpsi untuk pertama kalinya di

usus kecil menuju ke vena yang mengumpulkan darah dari lambung dan usus dan

dari vena porta, dimana hal ini meningkatkan konsentrasi akohol yang menuju ke

hepar. Di hepar, etanol akan mengalami metabolisme. Konsentrasi alkohol rata-rata

Blood Alkohol Concentration (BAC) di tentukan oleh seberapa cepat alkohol di

kosongkan dari lambung dan seberapa panjang metabolisme yang dilalui selama di

lambung dan hepar (Zakhari S, 2006).

Page 17: BAB 1-akhir

17

Metabolisme alkohol juga menghasilkan Asetaldehid, suatu zat dengan

toksisitas dan reaktivitas yang tinggi. Zat ini berperan terhadap kerusakan jaringan,

molekul yang terbentuk hasil dari reaksi yang timbulkan oleh Asetaldehid yang bisa

merusak jaringan diketahui sebagai reactive oxygen species (ROS). Mengkonsumsi

alkohol secara kronik dan metabolisme alkohol yang berlebih dikaitkan dengan

konsekuensi patologis dan kerusakan jaringan (Zakhari S, 2006).

Selain di hepar, alkohol juga di metabolisme di jaringan ekstrahepatik yang

sedikit mengandung ADH seperti di otak, dengan enzim cytochrome P450 dan

catalase. Secara umum, metabolisme alkohol berlangsung melalui dua jalur oksidatif,

yang juga menambah oksigen atau membuang hydrogen (melalui jalur ADH,

sitokrom P450, dan enzim katalase), dan jalur nonoksidatif (Zakhari S, 2006).

Gambar 2.2.3 Metabolisme alkohol Jalur oksidatif. Dikutip dari Zakhari S,

2006).

Page 18: BAB 1-akhir

18

Enzim alkohol dehydrogenase (ADH), sitokrom P450 2E1 (CYP2E1), dan

katalase semuanya berkontribusi pada metabolisme oksidatif dari alkohol.

ADH ada di cairan sel seperti sitosol, enzim ini mengkonversi etanol menjadi

ssetaldehid. Asetaldehid dari hasil metabolisme atanol di perifer sulit untuk

memasuki otak, akibat terhalang oleh BBB. Untuk itu, asetaldehid yang terdapat di

otak adalah hasil dari produksi sendiri yang terjadi di dalamnya (Zimatkin B, 2007).

Reaksi ini melibatkan elektron-elektron pembawa, nicotinamide adenine dinucleotide

(NAD+), yang di reduksi oleh dua elektron untuk membentuk NADH. ADH,

merupakan jalur utama metabolisme oksidatif di hepar. Metabolisme etanol dengan

ADH mengasilkan asetaldehid (suatu zat toksik dan reaktif). Pada konsentrasi yang

tinggi, alkohol di eliminasi dengan cepat karena aktifitas enzim yang meningkat

(Zakhari S, 2006).

Katalase, belokasi di salah satu badan sel yang disebut dengan peroksisom,

membutuhkan hidrogen peroksida (H2O2) untuk mereduksi alkohol. Enzim ini

mampu mengoksidasi etanol. Asetaldehid umumnya di metabolisme oleh aldehid

degidrogenase 2 (ALDH2) di mitokondria untuk membentuk asetat dan NADH

(Zakhari S, 2006).

Enzim sitokrom p450 atau CYP2E1, dominan terdapat di mikrosom, di

asumsikan berperan penting dalam memetabolisme etanol menjadi asetaldehid ketika

konsentrasi etanol meningkat. Sitokrom P450 terbagi atas CYP2E1, 1A2, dan 3A4,

yang dominan terdapat di mikrosom, atau vesikel. CYP2E1 di induksi oleh konsumsi

alkohol secara kronik dan enzim ini penting untuk memetabolisme etanol menjadi

Page 19: BAB 1-akhir

19

aldehid pada konsentrasi yang tinggi (Km = 8 to 10 mM,). Enzim ini juga bisa

mengoksidasi etanol di jaringan lain selain di hepar, yaitu di otak, dimana aktivitas

ADH sangat lambat. Ia juga memproduksi ROS, termasuk hidroksi etil, anion

superoksida, dan radikal hidroksil, yang meningkatkan resiko kerusakan jaringan.

Metabolisme etanol oleh ADH dan CYP2E1 menghasilkan produk molekul

yang reaktif seperti asetaldehid dan ROS yang bisa berinteraksi dengan protein yang

dikenal dengan protein building blocks seperti asam amino dan molekul lain di sel

(Zakhari S, 2006).

Seperti dijelaskan di awal, metablisme etanol oleh enzim CYP2E1 dan

oksidasi NADH oleh rantai trasnsport elektron menghasilkan ROS. Proses ini

menghasilkan zat yang disebut malondialdehyde (MDA) dan 4-hydroxy-2-nonenal

(HNE), kedua zat ini bisa bereaksi dengan protein. Asetaldehid dan MDA bisa

bereaksi dengan protein untuk menghasilkan MDA–acetaldehyde–protein adduct

(MAA) yang stabil. Semua zat diatas bisa menginduksi respon imun. Lebih jauh lagi,

produk MAA bisa menginduksi proses inflamasi (Zakhari S, 2006).

CYP2E1, terdapat di beberapa jaringan seperti di jaringan hepar, otak,

jantung, paru, dan di sel darah putih seperti neutrofil dan makrofag. Efek toksik

akibat metabolisme etanol yang diinduksi oleh enzim ini berhubungan dengan di

hasilkannya ROS, terutama superoksida, dan radikal hidroksil. Produksi ROS ini

berkontribusi terhadap kerusakan jaringan yang disebabkan oleh etanol. Zat ini selain

menimbulkan respon imun, juga meningkatkan apoptosis (Zakhari S, 2006)

Page 20: BAB 1-akhir

20

Efek dari etanol pada metabolisme karbohidrat sedang diteliti. Metabolisme

etanol oleh alkohol dehidrogenase semakin menurunkan rasio NAD/NADH yang

merupakan zat yang sangat penting dalam efeknya pada hati yang nantinya akan

berpengaruh pada efek alkohol di otak dan jaringan lain akibat transport alkohol dari

hati tersebut. Selain itu etanol meningkatkan penggunaan asetat di perifer dan

menurunkan koenzin A bebas di otak. Etanol juga menghambat glukoneogenesis

hepatis dengan menurunkan kestabilan konsentrasi piruvat. Etanol juga menghambat

glikolisis di hati dan otak sehingga pada otak kemungkinan untuk terjadi hipoksia

cukup besar. Pada hati, penghambatan ini bisa pada tingkat 3-glyceraldehyde

phosphate dehydrogenase. Etanol menghambat siklus asam trikarboksilat dengan

mekanisme yang belum jelas sepenuhnya termasuk menurunkan rasio

malat/oksaloasetat atau menghambat sitrat sintase dan isositrat dehidrogenase.

Selain itu, etanol menghambat metabolisme galaktosa dengan menghambat enzim

kuncinya yaitu uridine diphosphate galactose 4-epimerase (Badawi A. 1997).

2.2.4 Efek etanol secara umum

Mengkonsumsi alkohol dapat menghilangkan efek cemas sehingga

menghasilkan suatu efek ueforia. Efek inilah yang dicari oleh pecandu alkohol. Akan

tetapi, jika alkohol yang dikonsumsi berlebihan maka bisa menimbulkan suatu efek

toksik. Apalagi jika diperhatikan sekarang ini, banyak alkohol oplosan yang di

edarkan. Akibat dari hal ini adalah maraknya berita yang mengabarkan pecandu

alkohol yang masuk rumah sakit bahkan meninggal dunia karena mengkonsumsi

alkohol oplosan.

Page 21: BAB 1-akhir

21

Di Amerika, diperkirakan sekitar 7% dari orang dewasa dan 19% remaja

peminum alkohol atau yang mempunyai masalah dengan minuman alkohol sejumlah

100.000 meninggal pertahun atau 5% semunya meninggal (Brust J, 2010).

Alkohol akan lebih mudah mengakibatkan toksisitas ketika perut dalam

keadaan kosong. Jika seseorang meminum alkohol saat perut sedang penuh dengan

makanan, maka akan kurang toksisitasnya karena kesempatannya untuk diserap oleh

dinding perut menjadi berkurang dan efeknya keotak menjadi lebih perlahan (Murti,

2004).

Ada banyak akibat yang bisa ditimbulkan oleh etanol. Efek tidak

langsungnya adalah intoksikasi, penarikan diri, trauma otak, infeksi sistem saraf,

hipoglikemia, gagal jantung, dan penyakit Marchiafava-Bignami. Etanol juga

merupakan neurotoksin dan pada dosis yang suffisien bisa menyebabkan demensia

yang parah (Brust J, 2010).

Efek dari mengkonsumsi alkohol jangka panjang adalah diabetes, ulserasi dari

lambung dan usus halus, depresi psikologi yang berat, fatty liver, gangguan sistem

saraf pusat, malnutrisi, dan osteoporosis (Robert & Lustig , 2010).

2.2.5 Efek etanol terhadap otak

Mengkonsumsi akohol secara kronik bisa menimbulkan banyak efek yang

tidak baik seperti perubahan emosi dan personalitas seperti kemampuan untuk belajar,

mengingat, dan masalah persepsi. Neuropatologis dan sistem pencitraan seperti MRI

telah mampu melihat perubahan yang terjadi pada alkoholism yaitu adanya atropi dari

sel-sel saraf dan penurunan volume otak ( Berman dkk, 1997).

Page 22: BAB 1-akhir

22

Pada tingkat molekular, diketahui bahwa alkohol mempengaruhi fungsi otak

dengan jalan bereaksi dengan glutamat, gamma-aminobutyric acid (GABA), dan

neurotransmitter lain (Berman dkk, 1997. Jalurnya adalah dengan mempengaruhi

sistem neurotransmitter, seperti menghambat eksistasi reseptor glutamat dan

memfasilitasi penghambatan reseptor GABA. Kemungkinan efek kedepan dari

meningkatnya pengaturan reseptor glutamat dan penurunan pengaturan reseptor

GABA yang disertai dengan seringnya meminum alkohol bisa menghasilkan akibat

seperti tremor, halusinasi, seizura, agitasi dan ketidak stabilan diri (Brust J, 2010).

Pada proses molekular, etanol menginduksi pecahnya strand DNA yang

mungkin menyebabkan matinya neuronal. Pada binatang protein adduct formation

dengan metabolit etanol yaitu acetaldehyde telah ditemukan di korteks bagian lobus

Frontal dan subtansia alba yang menandakan kerusakan (Brust J, 2010).

Dosis yang aman dalam mengkonsumsi etanol masih belum bisa di tetapkan.

Dari hasil telaah sumber didapatkan orang yang mengkonsumsi etanol secara berat

(rata-rata 418 gr etanol/minggu) dikorelasikan dengan penurunan volume lobus

Frontal, sedangkan peminum alkohol yag mengkonsumsi secara sedang ( kira-kira

181 gr/minggu) dan yang mengkonsumsi secara ringan (kira-kira 88 gr/minggu)

masih belum ditemukan penurunan volume (Brust J, 2010).

2.3 Oplosan Etanol dan Monosodium glutamate

2.3.1 Definisi etanol dan MSG

Oplosan etanol dan glutamat adalah campuran larutan yang dibuat

menggunakan bahan etanol (tuak) dan monosodium glutamat.

Page 23: BAB 1-akhir

23

2.3.2. Efek toksik oplosan etanol dan MSG

Dari hasil kajian kepustakaan, pada suatu penelitian eksperimental dengan

metode dua buah kelompok mencit yaitu kelompok perlakuan dan kelompok kontrol

masing-masing diberikan perlakuan dengan memberikan Monosodium glutamat

(MSG) (untuk kelompok perlakukan) pada hari ke 2,4,6,8,dan 10 postnatal dan

injeksi larutan salin (untuk kelompok kontrol) dengan hari pemberian yang sama.

Hasil dari penelitian ini yang diamati setelah 6 bulan dari perlakukan adalah

didapatkan kerusakan perubahan anatomi dan perilaku kearah yang buruk pada

kelompok perlakukan.

Penelitian selanjutnya menggunakan kelompok mencit yang telah diberikan

perlakuan dengan Monosodium glutamat beserta kelompok kontrol diberikan

perlakuan dengan mengijeksikan etanol secara kronik selama 30 hari dan didapatkan

hasil yang lebih signifikan yaitu terjadi penurunan berat badan lebih besar pada

kelompok perlakukan daripada kelompok kontrol, dan penurunan volume otak

dengan perbedaan yang signifikan pada kelompok perlakukan daripada kelompok

kontrol. Kaitannya dengan pengaruh pemberian perlakuan ini terhadap otak adalah

dikatakan bahwa tikus yang diberikan perlakuan dengan monosodium glutamate

memiliki berat otak yang lebih rendah daripada tikus kontrol (Sepulveda, Guerrero

dkk, 2002).

Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa pemberian Monosodium Glutamat

pada mencit sejak neonates yang dilajutkan dengan penginduksian etanol akan

meningkatkan kerusakan pada fungsi-fungsi tubuhnya khususnya pada sistem

Page 24: BAB 1-akhir

24

neurologis (Sepulveda, Guerrero dkk, 2002). Akan tetapi, belum ada penelitian yang

secara langsung melihat efek pencampuran MSG dan etanol pada otak.

2.4 Anatomi Otak

Otak terdiri dari cerebrum, cerebellum, dan trunchus encephali yang dibentuk

oleh mesencephalon, pons dan medulla oblongata (Sukardi, 1984).

Gambar 2.4. anatomi otak, dikutip dari Seeley, 2004

Berikut adalah perkembangan divisi dari otak

1. Prosencephalon yang terdiri thelencephalon dan diencephalon. Thelencephalon

terdiri dari hemispherium cerebri dan thelencephalon medium, sedangkan

diecephalon terdiri dari thalamus, metathalamus, hypothalamus, subthalamus,

dan epithalamus.

2. Mesencephallon terdiri dari tectum mesencephali, tegmentum mesencephali,

pedunculus cerebri

Page 25: BAB 1-akhir

25

3. Rhombencephalon terdiri dari metencephalon, dan myellencephalon.

Metencephalon tersusun atas pons dan cerebellum, sedangkan myellencephalon

tersusun dari medulla oblongata

4. Korteks serebri

a. Lobus Frontalis

Lobus Frontalis adalah salah satu lobus diotak yang berada dibagian depan.

Pada lobus Frontalis, terdapat daerah-daerah atau area yang yang sangat vital karena

merupakan pusat dari berbagai fungsi yang ada di tubuh manusia.

Didaerah lobus Frontalis dikenal sejumlah daerah arsitektural sel-sel antara

lain sebagai berikut yaitu area 4 (area motorik) yang meliputi sebagian besar gyrus

precentralis dan bagian anterior lobules parasentralis. Selain itu terdapat area 6 (area

premotorik), area brodman 8 (area opto kinetik Frontal), pusat bicara Brocca yaitu

didaerah 44 dan 45, dan area prefrontalis yang terletak disebelah anterior area 6 dan 8

(Sukardi 1984).

Korteks prefrontalis secara umum dipakai untuk menunjuk ujung depan otak

(pole atau lobus anterior). Tiga hal berikut yang diatur oleh lobus prerontalis adalah

membuat keputusan, merencanakan masa depan, dan membuat keputusan (Sukardi

1984).

Korteks Pre Frontal adalah bagian otak yang memiliki sirkuit paling banyak

dan paling lengkap ke dan dari seluruh bagian otak lain. Dinamika neural di cortex

pre Frontal (CPF) ini sangat aktif karena terlibat dalam setiap kegiatan diwilayah

Page 26: BAB 1-akhir

26

otak lain. Faktanya, dalam kehidupan sehari-hari kegiatan berfikir manusia terjadi

sebagai hubungan dinamis antara CPF dan sistem limbik (terutama amigdala). Jika

hal ini terganggu, maka akan terjadi suatu keadaan yang sangat patologis.

Korteks Prefrontal sering disebut sebagai pusat eksekusi manusia dan menjadi

bagian penting dari kepribadian. Fungsi eksekutif tersebut meliputi antara lain atensi,

memori, penyimpanan memori, perencanaan, intergrasi temporal, pembuatan

keputusan, monitoring dan kontrol penghambatan (Pasiak, 2012 dan Sukardi 1984).

Area prefontalis ini terutama sangat penting pada masa anak-anak, karena

pada masa ini pola tingkah laku sedang terbentuk, jadi sangat berpengaruh pada

tingkatan kecerdasan emosional.

2.5 Histologi Otak

Otak adalah bagian dari susunan saraf pusat. Otak, terutama pada bagian

serebrum paling banyak disusun oleh neuron. Neuron mempunyai bagian-bagian

yaitu perikarion atau soma, badan sel utama yang mengandung inti, dan satu atau

lebih cabang-cabang sel yang ramping, sering amat panjang dan bercabang-cabang.

Cabang-cabang ini mempunyai dua jenis yaitu dendrit yang biasanya bercabang dan

banyak, bersama dengan perikarion untuk membentuk daerah utama untuk menerima

rangsang serta akson , lebih ramping dari dendrit dan hanya satu yang timbul dari

setiap soma atau badan sel (Paparo, 1996)

Didalam susunan sistem saraf pusat, salah satunya otak terdapat jaringan saraf

yang dinamakan neuraglia, suatu jaringan yang berfungsi untuk menyatukan jaringan

Page 27: BAB 1-akhir

27

sistem saraf pusat. Neuralgia terdiri atas astrosit, oligodendrosit, mikroglia, dan sel-

sel ependim yang mempunyai fungsi masing-masing.

Perubahan yang bisa terjadi akibat dari gangguan pada sistem saraf pusat

akibat mengkonsumsi Monosodium glutamate dan Etanol jika dilihat secara

makroskopis adalah berupa penurunan volume dari otak dan secara mikroskopis

didapatkan adanya neurodegeneratif dari komponen sistem saraf diatas.

Page 28: BAB 1-akhir

28

Gambar 2.5 Gambaran histologiotak normal (kiri) dan abnormal (kanan), dikutip dari

Abbas M,dkk, 2011

2.6 Pathology otak

Otak adalah organ yang membutuhkan energi dan oksigen terbesar.

Kerusakan jaringan otak yang disebabkan oleh kehilangan sel otak di area-area yang

ada diotak dihubungkan dengan gangguan mobilitas, belajar, dan mengingat.

Saat ini, sedang dikembangkan penelitian tentang otak normal dan otak sehat.

Otak normal lebih umum dikaitkan dengan dengan usia dan fase perkembangan yang

dicitrakan atau digambarkan oleh sejumlah alat pemeriksa otak, terutama yang

memeriksa anatominya (Pasiak, 2012).

Indikator utama radiologis dari otak normal meliputi volume ruang

intrakranial, substansia grisea, subsansia alba, dan cairan serebrospinalis.

Otak sehat dikaitkan dengan keterampilan berfikir. Karena keunggulan

manusia terletak pada kemampuanya berfikir. Keterampilan berfikir dirujuk secara

neurobiologis sebagai koordinasi-hubungan sirkuit neural-antara korteks preFrontalis

(CPF) dan sistem limbik (terutama amygdala) (Pasiak, 2012).

Suatu jejas atau cedera yang terjadi di sususnan saraf pusat adalah suatu

kehancuran karena ketidak mampuan dari neuron saraf pusat untuk meregenerasi

kambali koneksi dari axon dan dendrit yang dimiliki. Konsekuensinya adalah tidak

hanya pada putusnya komunikasi antara neuron yang sehat, tapi peningkatan kaskade

kejadian dari degenerasi dan kematian sel (Horner & Gage, 2000).

Page 29: BAB 1-akhir

29

Kerusakan atau hilangnya mitokondria adalah penyebab primer dari semua

gangguan neurodegenerative yang terjadi, mulai dari penyakit Parkinson sampai

demensia (Flagg, 2011).

Karena sel otak banyak dan sering terpapar dengan energi dan oksigen tingkat

tinggi, khususnya mitokondria mudah diserang dan mengalami kerusakan akibat

stress oksidatif. Seiring dengan berjalannya waktu, sel kehilangan kemampuan untuk

mengatur transfer energi dengan efisien. Sebagaimana sel-sel neuron mengalami

kehilangan fungsinya, Mitokondria mengakumulasi kerusakan struktural dan

fungsional, yang mana kemudian berkembang menjadi lingkaran setan yang semakin

membuat kerusakan. Kerusakan oksidatif mitokondrial sekarang diakui sebagai

kontributor terbesar penyebab penuaan.

2.7 Kajian Penelitian Terdahulu

No Judul Penelitian Peneliti Metode Penelitian Hasil 1 Perbedaan

Gambaran Histopatologi Ginjal dan Hepar Tikus Wistar yang diberi Paparan Metanol dibandingkan dengan Oplosan Metanol dan Etanol

Rani Sumarni

Penelitian ini meggunakan 4 kelompok hewan coba. Satu kelompok sebagai kontrol negatif dan serta tiga kelompok berikutnya sebagai kelompok perlakuan, kelompok pertama (K) tidak diberi perlakuan apapun, dan 3 kelompok perlakuan. Kelompok perlakuan 1 (P1) yang diberi metanol 40% dengan dosis 9 gr/kgbb,

Tidak ada perbedaan yang bermakna antara gambaran histopatologi jaringan ginjal maupun hepar tikus Wistar yang diberi paparan metanol dibandingkan dengan oplosan metanol dan etanol.

Page 30: BAB 1-akhir

30

kelompok berikutnya yaitu kelompok perlakuan 2 (P2) yang di berikan oplosan metanol 40% dengan dosis 9 gr/kgbb dan etanol 40% dengan dosis 10 gr/kgbb, dan terakhir kelompok perlakuan 3 (P3) diberi oplosan metanol dan etanol setengah dari dosis kelompok perlakuan kedua.

2 Perbedaan Gambaran Kerusakan Histopatologi Hepar dan Ginjal Tikus Wistar Setelah Habituasi Alkohol 10% dan 40%

Yogi Guhardi

Penelitian ini menggunakan 3 kelompok objek penelitian. Masing-masing terdiri dari 6 tikus. Kelompok satu(kontrol tanpa alkohol), kelompok 2 diiberi alkohol kadar 40% 4ml/hari/ekor, kelompok 3 diberi alkohol kadar 10% 4ml/hari/ekor.

Terdapat perbedaan yang bermakna tingkat kerusakan sel hati dan ginjal pada habituasi alkohol 40% dibandingkan alkohol 10%. Tingkat kerusakan sel hati dan ginjal lebih tinggi pada habituasi alkohol 40% di bandingkan dengan alkohol 10%.

3 Pengaruh Lama Pemberian Metanol 50 % per Oral Terhadap Jumlah Nekrosis Neuron pada Putamen Tikus Wistar

Yulia Trisna

Sampel berupa 20 tikus Wistar, yang dibagi secara acak menjadi empat kelompok dengan masing – masing lima tikus. Kelompok K adalah kelompok kontrol yang tidak diberi metanol, kelompok P1 diberi metanol50% 6 ml/kgbb per oral selama 5 hari, kelompok P2 diberi

Pemberian metanol pada semua kelompok perlakuan dengan berbagaiperbedaan lama paparan, menyebabkan peningkatan jumlah nekrosis neuron yang bermakna (p<0,005) dibanding kontrol. Jumlah nekrosis terbesar didapatkan pada hari ke 15 sebanyak 43,8%.

Page 31: BAB 1-akhir

31

metanol 50% 6 ml/kgbb per oral selama 10 hari, kelompok P3 diberi metanol 50% 6 ml/kgbb per oral selama 15 hari. Setelah pemberian metanol selama hari yang ditentukan, selanjutnya tikus didekapitasi lalu dihitung jumlah nekrosis neuron. Sampel berupa 20 tikus Wistar, yang dibagi secara acak menjadi empat kelompok dengan masing – masing lima tikus. Kelompok K adalah kelompok kontrol yang tidak diberi metanol, kelompok P1 diberi metanol 50% 6 ml/kgbb per oral selama 5 hari, kelompok P2 diberi metanol 50% 6 ml/kgbb per oral selama 10 hari, kelompok P3 diberi metanol 50% 6 ml/kgbb per oral selama 15 hari. Setelah pemberian metanol selama hari yang ditentukan, selanjutnya tikus didekapitasi lalu dihitung jumlah

Page 32: BAB 1-akhir

32

nekrosis neuron.4 Oxidative Stress

is The Primary Event: Effects of Etanol Consumption in Brain. Indian Journal of Clinical Biochemistry

Subir Kumar Das, Hiran K.R, Sukhes Mukherjee, D.M. Vasudevan

Tikus Wistar diberi paparan etanol dengan konsentrasi bervariasi selama 4 minggu dan dilihat perubahan biokimia pada otak.

Pemberian 1,6 g etanol/hari selama 4 minggu dapat menyebabkan stress oksidatif pada otak, namun tidak menimbulkan perubahan degeneratif. Perubahan tingkat antioksidan kemungkinan merupakan proses adaptif.

5 Pengaruh Pemberian Dekstrometorfan Dosis Bertingkat Per Oral Terhadap Gambaran Histopatologi Otak Tikus Wistar

Aditya Tjandra

Penelitian menggunakan rancangan post test only kontrol group design. jumlah sampel 24 ekor tikus Wistar yang dibagi menjadi 4 kelompok. Tiap kelompok terdiri dari 6 ekor. K adalah kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan. P1 diberi dekstrometorfan per oral ½ x dosis letal, P2 diberi dekstrometorfan per oral dosis letal, dan P3 diberi dekstrometorfan per oral 2 x dosis letal. Tikus Wistar yang mati diambil otaknya sedangkan pada hari ke-7, tikus Wistar yang belum mati didekapitasi, kemudian dibuat

Terdapat pengaruh pemberian dekstrometorfan terhadap gambaran histopatologi otak tikus Wistar. Terbukti dengan di dapatkan perbedaan jumlah kerusakan sel neuron pada otak tikus Wistar . Penilaian meliputi nekrosis sel. Data jumlah sel otak besar yang mengalami nekrosis dengan menggunakan uji normalitas Shapiro-Wilk dan didapatkan bahwa distribusi data normal (p>0,05). Selanjutnya dilakukan analisis dengan uji One Way ANOVA, dan didapatkan normal (p>0,05) sehingga

Page 33: BAB 1-akhir

33

preparat jaringan otak. Data yang diamati adalah jumlah kerusakan sel otak tikus Wistar

hasil uji ANOVA bernilai valid. Kemudian dilakukan uji Post Hoc yang menggambarkan bahwa terdapat perbedaan bermakna (p<0,05) antara kelompok K-P1, K-P2, K-P3, P1-P2, P1-P3, P2-P3.

6 Evaluation of Monosodium glutamate Induced Neurotoxicity and Nephrotoxicity in Adult Male Albino Rats

Marwa A. Abass dan Manal R. Abd El-Haleem

Sebanyak 36 ikus albino dibagi menjadi 3 kelompok (masing-masing 12 ekor) yaitu, kelopok kontrol negatif, kelompok kontrol positif (menerima 2ml salin secara oral selama 28 hari) dan kelompok Monosodium Glutamate (menerima 830 mg/kg/BB secara oral selama 28 hari) . Serum kreatinin, dan kadar nitrogen urea darah , analisis urine untuk melihat ekskresi albumin dan dilakukakan pemeriksaan histopatologi pada organ ginjal serebrum pada semua kelompok penelitian.

Hasil menunjukkan bahwa terdapat peningkatan serum kreatinin. Level Blood Ureum Nitrogen dikomparasikan dengan kelompok kontrol dan hal ini disertai dengan peningkatan eksresi albumin pada urine.Terdapat juga perubahan pada gambaran histopatologis serebrum dan ginjal yang diperiksa, yaitu berupa perubahan neurodegenerative seperti bentukan vakuolisasi, pyknosis, saelitosis dan kongesti pleksus choroidal di korteks serebral. Kemudian diginjal ditemukan pembengkakan di gari endothelium dari grumerulus yang diasosiasikan dengan

Page 34: BAB 1-akhir

34

atrofi area glumerular. Selain itu, didapatkan juga degenerasi hidrofik dari tubulus dengan dilatasi dan adanya hialin cats. ruang intertubular menunjukkan dilatasi dan kongsti dari pembuluh darah kortikal dengan focal hemorrhage diantara tubulus. Jadi, dapat disimopulkan bahwa pemberian Monosodium Glutamate dapat memberikan pengaruh neurotoxic dan nephrotoxic effects

2.8 Kerangka Teori

Influks elektrolit ke sel

Peningkatan permeabilitas membran sel

Pembengkakan sel atau gliaosis

Dosis pemberian MSG dan

Etanol

Lama perlakuan Jalur pemberian

Kondisi Blood Brain Barier

Akumulasi etanol dan

MSG

Metabolisme meningkat

Metabolisme utama di hepar Organ lainotak

Jalur absorbsi

Peningkatan ROS dan Asetaldehid

Page 35: BAB 1-akhir

35

BAB IIIKERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konsep

Keterangan :

= Dilakukan dalam penelitian

= Tidak dilakukan dalam penelitian

3.2 Hipotesis

Ada pengaruh pemberian oplosan MSG dan etanol 10% dosis bertingkat

terhadap gradasi kerusakan otak tikus Wistar.

Monosodium Glutamat

Efek terhadap Otak Tikus Wistar

Oplosan Monosodium Glutamat dan Etanol

Etanol

Gambaran Kerusakan Otak

Page 36: BAB 1-akhir

36

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimental melalui percobaan di

laboraturium. Rancangan percobaannya disusun secara Rancangan Acak Kelompok

(RAK) dengan pengambilan data setelah perlakuan (Post Test Only Kontrol Group

Design) atau dengan kata lain dengan rancangan randomized kontrol group post test

only design. Dalam penelitian ini terdapat 6 kelompok penelitian. Tiga kelompok

kontrol dan tiga kelompok perlakuan. Kelompok kontrol Negatif (KN) menggunakan

Aquades 4 ml, kelompok kontrol 1 (K1) menggunakan etanol kadar 10% sebanyak 4

ml, kelompok kontrol 2 (K2) menggunakan MSG yang diambil dari larutan dosis

letal 16,6 gr/kgBB sebanyak 4 ml serta tiga kelompok perlakuan yaitu kelompok

perlakuan 1 (P1) yang diberi paparan oplosan MSG dan etanol 10% dengan

perbandingan 1:3 sebanyak 4 ml, kelompok perlakuan 2 (P2) yang diberi paparan

oplosan MSG dan etanol 10% dengan perbandingan 1:4 sebanyak 4 ml, dan

Page 37: BAB 1-akhir

37

kelompok perlakuan 3 (P3) yang diberi paparan oplosan MSG dan etanol 10%

dengan perbandingan 1:5 sebanyak 4 ml.

Skema terkait dengan rancangan penelitian tersebut dapat dilihat pada bagan berikut

ini

H

Keterangan :

H : Populasi

O1KN

O3K2R

O5P2

O6P3

K1 O2

P1 O4

Page 38: BAB 1-akhir

38

R : Randomisasi

KN : Kelompok kontrol negatif menggunakan aquades

K1 : Kelompok kontrol menggunakan etanol alami kadar 10% sebanyak 4 ml

K2 : kelompok kontrol menggunakan MSG yang diambil dari larutan dosis letal

16,6 gr/Kb/BB sebanyak 4 ml.

P1 : Kelompok Perlakuan yang diberikan oplosan MSG dan etanol 10% dengan

perbandingan 1:3 sebanyak 4 ml

P2 : Kelompok Perlakuan yang diberikan oplosan MSG dan etanol 10% dengan

perbandingan 1:4 sebanyak 4 ml

P3 : Kelompok Perlakuan yang diberikan oplosan MSG dan etanol 10% dengan

perbandingan 1:5 sebanyak 4 ml

O : Observasi (pengamatan terhadap masing-masing perlakuan, berupa

pengambilan organ otak untuk pemeriksaan gambaran histopatologi)

O1 : Gambaran histopatologi otak tikus Wistar kelompok kontrol negatif

O2 : Gambaran histopatologi otak tikus Wistar pada K1

O3 : Gambaran histopatologi otak tikus Wistar pada K2

O4 : Gambaran histopatologi otak tikus Wistar pada P1

O5 : Gambaran histopatologi otak tikus Wistar pada P2

O6 : Gambaran histopatologi otak tikus Wistar pada P3

Page 39: BAB 1-akhir

39

4.2 Alur penelitian

Tikus Wistar diadaptasi dan diberikan pakan konsentrat selama 7 hari

Berat badan tikus Wistar ditimbang

Kelompok perlakuan (P)

KN (kontrol aquades)

P2 (tikus Wistar + oplosan MSG dan etanol 10% dengan perbandingan 1:4 sebanyak 4 ml)

36 ekor tikus Wistar

P1 (tikus Wistar + oplosan MSG dan etanol 10% dengan perbandingan 1:3 sebanyak 4 ml)

Kelompok kontrol (K)

Bius eter

7 kali paparan dengan jarak pemberian 2 hari

P3 (tikus Wistar + oplosan MSG dan etanol 10% dengan perbandingan 1:5 sebanyak 4 ml)

K1(kontrol etanol)

K2 (kontrol MSG)

Populasi yang telah memenuhi kriteria inklusi

Page 40: BAB 1-akhir

40

4.3 Populasi

Populasi dari penelitian ini adalah tikus Wistar yang memenuhi kriteria

inklusi selama berlangsungnya penelitian yaitu pada bulan Juni- Agustus 2012.

4.4 Sampel

Sampel yang digunakan penelitian ini adalah tikus Wistar yang memenuhi

kriteria inklusi yang dibagi menjadi enam kelompok.

4.4.1 Besar sampel

Besar sampel yang akan digunakan sesuai dengan kriteria WHO untuk

penelitian eksperimental yaitu sedikitnya menggunakan lima ekor hewan coba dan

tambahan satu ekor untuk tiap kelompok perlakuan. Pada penelitian ini digunakan

enam kelompok penelitian, tiga kelompok kontrol dan tiga kelompok perlakuan

dengan jumlah masing-masing hewan coba tiap kelompok kontrol adalah 6 ekor dan

tiap kelompok perlakuan adalah 6 ekor, sehingga jumlah sampel yang dibutuhkan

adalah 36 ekor tikus Wistar.

4.4.2 Kriteria inklusi dan ekslusi

Dekapitasi dan pengambilan organ otak

Preparasi jaringan dengan formalin 10%

Pembuatan slide

Pemeriksaan jaringan

Analisis data

Page 41: BAB 1-akhir

41

Kriteria inklusi dari penelitian ini adalah

1. Tikus Wistar yang berjenis kelamin jantan

2. Berat badan 100-150 gr

3. Kondisi tikus Wistar yang digunakan sehat (aktif bergerak), tidak mempunyai

penyakit atau cacat secara anatomi

Kriteria ekslusi dari penelitian ini adalah

1. Tikus Wistar yang mati sebelum perlakuan

2. Tikus Wistar yang mati sebelum penelitian selesai

4.4.3 Cara pemilihan sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara simple random sampling. Sampel

yang termasuk dalam kriteria inklusi dipilih secara acak, untuk menghindari bias

karena variasi faktor umur dan berat badan, kemudian dibagi menjadi enam

kelompok, yaitu tiga kelompok kontrol dan tiga kelompok perlakuan dengan jumlah

sampel 36 ekor tikus Wistar.

4.5 Variabel dan Definisi Operasional Variabel

4.5.1 Variabel penelitian

Variabel Bebas. Variabel bebas dari penelitian ini adalah dosis bertingkat paparan

MSG dan etanol.

Variabel Tergantung. Variabel tergantung dari penelitian ini adalah gradasi

kerusakan otak tikus Wistar.

4.5.2 Definisi Operasional

Page 42: BAB 1-akhir

42

a. Dosis paparan oplosan MSG dan etanol

Dosis paparan oplosan MSG dan etanol adalah jumlah dosis oplosan MSG

dan etanol 10% yang diberikan secara oral kepada hewan coba yaitu sebanyak 4 ml

yang diambil dari larutan oplosan MSG dosis letal 16,6 kg/BB dan etanol fermentasi

kadar 10% sesuai dengan perbandingan dibutuhkan di masing-masing kelompok.

b. Jenis paparan

Etanol yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah etanol alami dengan

kadar 10% karena sifat etanol yang iritatif (Desprinita, 2010) dan jenis paparan MSG

yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah MSG merek Ajinomoto. MSG dibuat

melalui proses fermentasi dari tetes gula-molase/tapioca menggunkaan bakteri

Corynebacterium glutamicus (Setiawati, 2008).

c. Gradasi kerusakan otak

Gradasi kerusakan otak adalah suatu tingkat, bagian, atau derajat pada skala

kerusakan (Stedman, 2005).

Pengamatan dibawah mikroskop adalah untuk melihat tanda-tanda kerusakan

sel neuron pada otak. Dikatakan mengalami kerusakan jika terdapat vakuolisasi,

piknosis, gliaosis, satelitosis dan kongesti plexus kroidal pada otak (Abbas & Abd El-

Haleem, 2011).

4.6 Waktu dan Tempat Penelitian

Page 43: BAB 1-akhir

43

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus 2012 di tiga tempat, yaitu :

1. Laboratorium Imunobiologi Fakultas Peternakan Universitas Mataram sebagai

pemeliharaan, tempat pelaksanaan penelitian dan pengambilan organ otak tikus

Wistar.

2. Laboratorium Patologi Anatomi RSI Siti Hajar Mataram sebagai tempat

pembuatan preparat organ otak hewan coba.

3. Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Mataram sebagai

tempat pembacaan dan dokumentasi preparat organ otak hewan coba.

4.7 Alat dan Cara Pengumpulan Data

4.7.1 Alat

Alat-alat yang diperlukan dalam penelitian ini antara lain :

1. Kandang untuk hewan coba

2. Timbangan analitik

3. Timbangan MSG dengan merek Precisa 205-A-SCS

4. Alat untuk perlakuan hewan coba: spuit dispossible 5 cc

5. Sonde

6. Stirrer

7. Alat untuk membuat larutan: Gelas ukur, mikro pipet, gelas Beker , Blue

tip.

8. Gunting

9. Pinset

10. Sarung tangan steril

Page 44: BAB 1-akhir

44

11. Masker

12. Bak paraffin

13. Alat untuk membuat preparat histologi jaringan otak : microtome untuk

mengiris jaringan, paraffin untuk proses pemendaman, serta Hematoksilin

dan Eosin untuk pewarnaan.

14. Mikroskop cahaya untuk mengamati sediaan jaringan otak tikus Wistar

15. Kamera digital untuk mendokumentasikan kegiatan selama penelitian dan

hasil temuan gambaran histopatologi sediaan jaringan otak tikus Wistar.

4.7.2 Bahan

1. Tikus Wistar

2. Pakan tikus Wistar

3. Aquades

4. Etanol fermentasi kadar 10%

5. MSG merek Ajinomoto

6. Alkohol 70% untuk sterilisasi alat seksio dan bak paraffin

7. Larutan MSG dan etanol dengan perbandingan 1:3, 1:4, dan 1:5

8. Larutan MSG dan aquades dengan perbandingan 1:2

9. Dietil eter untuk membius hewan coba sebelum pengambilan organ

10. Formalin 10 % untuk mengawetkan organ

Page 45: BAB 1-akhir

45

4.7.3 Cara Pengumpulan Data

Pengamatan gambaran mikroskopis otak meliputi perubahan pada sel neuron

otak. Perubahan neurodegenerative meliputi vakuolisasi, piknosis, satelitosis dan

kongesti plexus kroidal pada otak (Abbas & Abd El-Haleem, 2011).

Kriteria normal bila tidak ditemukan:

1. Vakuolisasi

2. Piknotik

3. Satelitosis

4. Kongesti plexus kroidal

5. Gliaosis

Derajat kerusakan jaringan otak dikuantitatifkan sebagai berikut:

0 = tidak terjadi kerusakan jaringan otak

+ = bila ditemukan 1 kriteria di atas

++ = bila ditemukan 2-3 kriteria di atas

+++ = bila ditemukan 4-5 kriteria di atas

4.8 Prosedur Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Menyiapkan kandang lengkap dengan pakan dan minum. Tikus Wistar

yang didapatkan dari laboraturium anatomi Universitas Mataram sebanyak

36 ekor diadaptasi di dalam kandang selama 7 hari (diberi makan dan

minum sepuasnya).

Page 46: BAB 1-akhir

46

2. Menimbang berat badan semua tikus dan menghitung berat badan dari

seluruh tikus.

3. Pembuatan tuak fermentasi

Proses pembuatan tuak membutuhkan waktu yang lama. Pohon aren

yang digunakan sebagai penghasil tuak harus di proses terlebih dahulu dan

membutuhkan beberapa tahapan yang penting. Berikut tahapan pembuatan

tuak:

1. Langkah pertama dalam pengambilan tuak adalah memilih pohon aren

yang sudah memiliki mayang bunga aren. Tanda dari pohon aren yang

sudah bisa diambil airnya adalah pohon yang sudah memiliki mayang

bunga dan bunganya tersebut sudah mulai mekar.

2. Pohon aren ini kemudian mulai di rawat, dengan cara dibersihkan dari

bekas pelepah dedaunannya.

3. Setelah dibersihkan, tandan mayang bunga aren tadi kemudian di

pukul-pukul selama kurang lebih 10 hari dari ujung sampai ke

pangkalnya dengan tujuan supaya air nira yang akan keluar menjadi

lancar.

4. Pemukulan tandang bunga aren dilanjutkan dengan mengayun-

ayunkan tandan bunga tersebut.

5. Setelah cukup sesuai dengan hari yang dibutuhkan, tandan ini

kemudian potong sampai dengan batas bunga mayang tersebut.

Page 47: BAB 1-akhir

47

6. Pohon aren yang sudah siap untuk menghasilkan tuak kemudian di

“sadep” oleh para penyadap dengan cara menggantungkan botol ke

tempat keluarnya air nira tadi.

7. Apabila sudah penuh, penyadap akan datang ke kebun untuk

mengambil sebanyak 2 kali sehari yaitu pada waktu pagi dan sore hari.

8. Tuak yang sudah ada di dalam botol kemudian di campur dengan kayu

purut yang berfungsi untuk memberikan warna agak kemerahan dan

sebagai pemanis serta bahan fermentasi agar tuak yang dihasilkan

berupa tuak manis.

4. Pembuatan oplosan menggunakan MSG dengan dosis letal dan etanol 10

% sesuai kebutuhan masing-masing kelompok yaitu dengan perbandingan

1: 3, 1:4, dan 1:5.

5. Pembagian kelompok tikus yaitu kelompok konrol negatif/tikus yang tidak

mendapat perlakuan apapun, hanya mendapat pakan konsentrat, dan 2

kelompok kontrol yang masing-masing diberikan etanol 10% dan MSG

dosis letal 16,6 gr/kbBB sebanyak 4 ml. Kemudian 3 kelompok tikus

perlakuan dengan pemberian oplosan MSG dan etanol 10% sebanyak 4 ml

sesuai dengan perbandingan dimasing-masing kelompok.

6. Dua kelompok kontrol (yaitu kelompok 1-2), kelompok kontrol satu diberi

oplosan etanol kadar 10% sejumlah 4 ml/hari dan kelompok kontrol dua

diberi larutan MSG dan aquades dengan perbandingan 1: 2 sebanyak 4

ml/hari selama 7 kali dengan interval pemberian selama 2 hari.

Page 48: BAB 1-akhir

48

7. Tiga kelompok perlakuan (yaitu kelompok 1-3) diberi oplosan MSG dan

etanol kadar 10% sesuai dengan kebutuhan masing-masing kelompok

yaitu kelompok perlakuan 1 dengan perbandingan 1:3, kelompok

perlakuan 2 dengan perbandingan 1:4, dan kelompok perlakuan 3 dengan

perbandingan 1:5 sebanyak 4 ml/ ekor selama 7 kali dengan interval

pemberian selama 2 hari.

8. Tikus Wistar diberi perlakuan secara oral dengan menggunakan sonde

9. Setelah itu, pengambilan organ otak tikus Wistar dengan cara seksio.

Sebelum diambil organnya, tikus dibius menggunakan Dietil eter.

10. Menyiapkan larutan formaldehyde 10% untuk mengawetkan organ.

11. Organ yang tersimpan dalam larutan formaldehyde 4 % dikirim ke

laboratorium untuk dilakukan pembuatan preparat histopatologi.

1. Setelah difiksasi, serebrum di simpan di balok paraffin dan dilakukan

proses pemotongan organ.

2. Otak di belah melalui potongan coronal dengan ketebalan 5 μ

menggunakan microtome.

3. Irisan lobus Frontal diletakkan di kaca objek dan dilakukan pemulasan

menggunakan bahan pewarna Eosin dan Hematoksilin.

12. Pembacaan preparat dan analisis data.

Page 49: BAB 1-akhir

49

4.9 Cara Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini akan dinalisis dengan formula

kruskal wallis untuk melihat ada tidaknya perbedaan gambaran kerusakan pada

kelompok kontrol dan perlakuan, dilanjutkan dengan formula Mann-Whitney untuk

mengetahui perbedaan gambaran kerusakan antar kelompok.

BAB VANALISA DATA

Data yang dianalisis adalah data primer yang diambil dari penelitian ini. Data

penelitiannya berupa pengamatan derajat kerusakan pada gambaran histopatologi

otak otak tikus Wistar setiap kelompok yang telah terpapar etanol, MSG, oplosan

etanol dan MSG yang diberi perlakuan secara oral dengan menggunakan sonde

setelah 7 kali paparan. Setelah dilakukan entry ,coding dan pleaning data, kemudian

diolah dengan program SPSS 16.00 for Windows. Karakteristik data dianalisis secara

deskriptif untuk mengetahui distribusi data yang meliputi mean , median, standar

deviasi , nilai maksimum dan nilai minimum yang ditampilkan dalam tabel. Untuk

mengetahui tingkat gradasi kerusakan otak tikus Wistar yang bermakna pada 2

kelompok dilakukan analisis, jika tidak memenuhi syarat uji parametrik dilakukan uji

Mann-Whitney.

Page 50: BAB 1-akhir

50

BAB VIJADWAL PELAKSANAAN

Rencana Kegiatan

Februari Maret April MeiJuni Juli Agustus september1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Penyusunan proposalPerijinan pelaksanaan penelitianAdaptasi tikus WistarPelaksanaan penelitian

Pengolahan data

Analisis dataPenyusunan laporan

Page 51: BAB 1-akhir

51

BAB VII

HASIL PENELITIAN

4.1 Data Hasil Penelitian

Berikut ini adalah data mengenai derajat kerusakan sel otak tikus Wistar

pada 3 kelompok kontrol yaitu kontrol negatif menggunakan Aquades (KN), kontrol

etanol (KI), kontrol MSG (K2), dan 3 kelompok perlakuan yaitu perlakuan oplosan

MSG dan etanol perbandingan 1:3 (P1), perlakuan oplosan MSG dan etanol

perbandingan 1:4 (P2) dan perlakuan oplosan MSG dan etanol perbandingan 1: 5

(P3).

Tabel 1. Menunjukkan data hasil data hasil pemeriksaan histopatologi otak

tikus Wistar pada tiga kelompok kontrol dan tiga kelompok perlakuan.

No.

sampel

KN K1 K2 P1 P2 P3

1 0 0 0 0 0 0

Page 52: BAB 1-akhir

52

2 0 0 0 0 0 0

3 0 0 0 0 0 1

4 0 0 0 0 0 1

5 0 0 0 0 0 1

6 0 0 0 0 0 1

Pengamatan gambaran mikroskopis otak meliputi perubahan pada sel neuron

otak. Perubahan neurodegeneratif meliputi vakuolisasi, piknosis, gliaosis, satelitosis

dan kongesti plexus kroidal pada (Abbas & Abd El-Haleem, 2011).

Kriteria normal bila tidak ditemukan:

1. Piknotik

2. Satelitosis

3. Kongesti plexus koroidal

4. Gliaosis

5. Vakuolisasi

Derajat kerusakan jaringan otak dikuantitatifkan sebagai berikut:

0 = tidak terjadi kerusakan jaringan otak

+ = bila ditemukan 1 kriteria di atas

++ = bila ditemukan 2-3 kriteria di atas

+++ = bila ditemukan 4-5 kriteria di atas

4.2 Persentase Kerusakan Sel Otak Tikus Wistar

Persentase kerusakan sel otak pada kelompok kontrol dan perlakuan

ditampilkan pada tabel berikut ini: Tabel 2. Menunjukkan persentase kerusakan sel

otak pada kelompok kontrol dan perlakuan

Page 53: BAB 1-akhir

53

Jenis kelompok kontrol dan kelompok

perlakuan

Persentase kerusakan sel otak

Kontrol Aquades 0%

Kontrol etanol 0%

Kontrol MSG 0%

Oplosan MSG dan etanol 1:3 0%

Oplosan MSG dan etanol 1:4 0%

Oplosan MSG dan etanol 1: 5 66,66%

Tabel 2 menunjukkan presentase kerusakan sel otak yang tertinggi adalah

kelompok perlakukan tiga dengan presentase 66,66 % dan yang terendah adalah pada

semua kelompok kontrol dan perlakuan satu dan dua dengan rerata 0%.

4.3 Uji Perbandingan Gambaran Histopatologi Jaringan Otak Tikus Wistar

Tabel 3. Uji Kruskal Wallis perbedaan gambaran histopatologi otak tikus Wistar.

Berikut adalah tabel hasil uji Kruskal Wallis mengenai derajat kerusakan otak tikus

Wistar

Jenis kelompok kontrol dan kelompok

perlakuan

Derajat kerusakan otak

Mean rank

Kontrol Aquades 16,50

Kontrol etanol 16,50

Kontrol MSG 16,50

Oplosan MSG dan etanol 1:3 16,50

Oplosan MSG dan etanol 1:4 16,50

Oplosan MSG dan etanol 1:5 28,50

P* 0.001

*Uji kruskal wallis

Page 54: BAB 1-akhir

54

Dari uji Kruskal-Wallis, diperoleh nilai p=0,001. Oleh karena nilai p<0,05,

maka dapat diambil kesimpulan bahwa paling tidak terdapat 2 kelompok perbedaan

gambaran histopatologi jaringan otak tikus Wistar yang diberi oplosan MSG dan

etanol dengan perbandingan 1:3, 1:4, dan 1:5

4.4 Perbedaan Gambaran Kerusakan Sel Otak Tikus Wistar Antar Kelompok

Tabel 4. Hasil Uji Mann Whitney perbandingan gambaran histopatologi jaringan otak

tikus Wistar antar kelompok

Jenis kelompok kontrol dan kelompok

perlakuan

Asymp. Sig. (2-tailed)

KN dengan K1

KN dengan K2

KN dengan P1

1.000

1.000

1.000

KN dengan P2 1.000

KN dengan P3 0,019

P1 dengan P2 1.000

P1 dengan P3 0.019

P2 dengan P3

P*

0,019

<0,05

*uji Mann Whitney

Hasil uji perbedaan persentase kerusakan sel otak seluruh kelompok

menunjukkan perbedaan bermakna terjadi antara kelompok kontrol dengan kelompok

perlakuan tiga (p=0,019) dan perlakuan satu dengan perlakuan tiga(p=0,019), juga

Page 55: BAB 1-akhir

55

antara kelompok perlakuan dua dan kelompok perlakuan tiga (p=0,019) dimana

p<0,05.

BAB VIII

PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi bermakna antara

pemberian oplosan etanol dan MSG dosis bertingkat dengan gradasi kerusakan sel

otak pada tikus Wistar. Semakin tinggi dosis oplosan etanol dan MSG yang

diberikan, semakin tinggi pula kerusakan yang ditimbulkan pada sel otak. Kerusakan

yang bermakna terdapat pada kelompok perlakuan 3 yang diberikan oplosan MSG

dan etanol dengan perbandingan 1:5 sejumlah 4 ml sedangkan pada kelompok yang

lain didapatkan sel otak yang normal.

Mengkonsumsi alkohol secara akut bisa meningkatkan fungsi dari

neurotransmitter inhibisi yaitu GABA dengan segala efek toksiknya. Begitu pula saat

seseorang mengkonsumsi MSG, akan terjadi peningkatan fungsi dari neurotransmitter

eksitasi yaitu glutamat. Menurut teori, jika suatu potensial inhibisi postsinaptik

cenderung untuk mengurangi besarnya potensial membran ke nilai yang lebih negatif

lagi, padahal pada saat yang sama potensial eksitasi postsinaptik cenderung untuk

meningkatkan potensial, maka kedua pengaruh ini akan saling meniadakan satu sama

Page 56: BAB 1-akhir

56

lain baik secara keseluruhan atau sebagian saja. Selain itu,” kontak pendek” inhibisi

dari potensial membrane itu dapat meniadakan sebagian besar potensial eksitasi

(Guyton, 1997). Berdasarkan teori tersebut, jika MSG dan etanol dicampurkan, maka

akan terjadi efek yang berlawanan. Akan tetapi, karena jumlah etanol yang diberikan

lebih banyak dari MSG, maka kemungkinan untuk kelompok perlakuan

menyebabkan kerusakan lebih besar bisa terjadi. Pada kelompok ini, jumlah

perbadingan etanol yang diberikan lebih banyak daripada jumlah MSG, sehingga efek

toksik akibat etanol lebih terlihat. Sedangkan pada kelompok lain tidak bermakna

karena perbadingan jumlah etanol dan MSG yang diberikan masih dalam batas yang

bisa ditoleransi oleh ditambah dengan adanya jarak pemberian selama 2 hari sebagai

waktu untuk dilakukannya recovery pada sel otak, walaupun untuk recovery

sempurna membutuhkan waktu beberapa minggu sampai bulan (Zahr M N 2010, dan

Meer, 2010).

Gambaran perubahan jaringan otak yang terlihat saat pemeriksaan berupa

vakuolisasi, piknosis, satelitosis , gliaosis dan kongesti plexus kroidal pada otak.

Vakuolisasi dan piknosis adalah perubahan bentuk dari sel saraf, dimana piknosis

adalah sel saraf yang mengkerut dan vakuolisasi adalah bentuk bervakuola dengan

adanya sel neutrofil di sekitar sel yang rusak. Gambaran kongesti pleksus koroidal

dan gliaosis menunjukkan edema atau pembengkakan yang terjadi serta satellitosis

merupakan akumulasi sel neuroglial di sekitar neuron saat neuron mengalami

kerusakan (Abbas & El-Haleem, 2011).

Page 57: BAB 1-akhir

57

Para peneliti menganggap bahwa efek toksik yang dihasilkan oleh MSG dan

etanol itu berasal dari zat ROS dan Asetaldehide . Reactive oxygen spesies (ROS)

adalah suatu zat radikal bebas. Zat ini terbentuk ketika terjadi ketidak seimbangan

antra ROS yang terbentuk dengan sistem pertahaan tubuh yaitu superoxide dismutase

(SOD), catalase (CAT), and glutathione peroxidase (GPx) (Contini dkk, 2012). ROS

khususnya, aktif di otak dan jaringan neuronal sebagai asam amino eksitatori dan

neurotransmitter, dimana metabolisme dari ROS pada otak adalah sumber dari stress

oksidatif utama. Sel glial dan neuron khususnya sangat sensitive pada radikal bebas

yang dihasilkan ROS yang akan meningkatkan kerusakan di otak (Uttara, 2009).

Salah satu sumber terbentuknya ROS adalah mengkonsumsi MSG. Reseptor

glutamate dibagi menjadi lima kelompok yaitu NMDA (N-metil-D-aspartat), AMPA

(asam α amino-3-hidroksi-5-metil-4-isoksazol propionate), kainat , L-AP4 , dan

reseptor metabotropik. Penyuntikan kainat ke dalam striatum tikus menyebabkan

kematian neuron, tetapi mempertahankan sel glia dan akson. Agen ini bekerja dnegan

menyebabkan pelepasan glutamin yang berlebihan (Murray dkk, 2003).

Reseptor NMDA adalah reseptor yang terpenting dan memegang peranan

penting dalam mengontrol kemampuan otak untuk beradaptasi pada pengaruh

lingkungan dan genetilk(Gonzales,1997). Reseptor NMDA akan terbuka ketika

ditepati oleh agonis seperti glutamat, dan dalam keadaan terbuka, reseptor ini

memungkinkan masuknya ion Ca2+ dan Na+ kedalam sel neuron. Jika reseptor NMDA

mendapat rangsangan kronis, keadaan ini memungkinkan akumulasi ion Ca2+ yang

toksik bagi sel jika terdapat dalam kadar tinggi serta dapat mengakibatkan kematian

Page 58: BAB 1-akhir

58

sel. Disamping itu, influk Ca2+ dan Na+ bisa menyebabkan pembengkakan osmotik

dan kerusakan sel (Murray dkk, 2003). Pembengkakan ini akan terlihat sebagai

gliosis saat pemeriksaan.

Glutamat yang merupakan komponen MSG menginduksi stress oxidatif yang

berhubungan dengan kematian endotelial oleh apoptosis, dan Heme oksigenase (HO-

1) dan Heme oksigenase (HO-2) adalah pelindung dari efek toksisitas glutamat. Pada

sel endothelial serebral, glutamat (0.1–2.0 mM) meningkatkan pembentukan ROS,

termasuk radikal superoksidase, dan produk pemicu apoptosis seperti NF-κB nuclear

translocation, aktifasi caspase-3, fragmentasi DNA, dan integritas sel (Parfenova dkk,

2005).

Terkait dengan pengaruh etanol, pemeriksaan neuropatologis di otak dari

peminum alkohol kronik mengindikasikan kemunculan dari neurodegenerasi,

perenggangan jarak antar dendrit yang kecil dan perubahan sinaps. Mengkonsumsi

alkohol secara kronik dan berlebihan bisa meningkatkan lesi oksidatif di sel saraf.

Dengan mekanisme yang belum terlalu dipahami, EtOH (etanol) menginduksi

aktivitas metabolisme enzim P450-2E1 (CYP2E1) dan meningkatkan pembentukan

(ROS) di otak. Ekspresi dari enzim CYP2E1 sangat penting, karena merupakan enzim

yang mengkatalisis EtOH menjadi ROS dan asetaldehid (AA), bisanya di substansia

alba. Oksidatif stres dihubungkan dengan disekresikannya faktor inflamasi oleh

makrofag atau protein viral yang menyebabkan terganggunya blood-brain barrier

(BBB). Pada konsentrasi nontoksik, penurunan kerapatan BBB oleh aktivasi myosin

light chain (MLC) kinase (MLCK), meningkatkan posforilasi dari protein MLC/TJ

Page 59: BAB 1-akhir

59

dan memudahkan migrasi monosit melewati BBB. Para peneliti menganggap bahwa

hasil dari matabolisme EtOH yaitu AA dan ROS mengaktivasi MLCK, meningkatkan

posforilasi dari protein MLC/TJ dan menghasilkan penurunan integritas BBB serta

meningkatkan migrasi monosit melewati BBB (Haorah, 2005) . Kerusakan organ

terkait dengan asetaldehida juga mungkin dimediasi melalui sitokin inflamasi

(misalnya, faktor tumor nekrosis dan interferon), serta kemampuan mengikat protein

tertentu (Pratama dkk, 2011).

Untuk hasil dari oplosan MSG dan etanol sendiri, masih di teliti, akan tetapi

jika MSG dan alkohol di diberikan pada suatu hewan secara bergantian bisa

menimbulkan efek yang toksik, karena dari hasil penelitian, pemberian MSG pada

mencit sejak neonatus yang dilanjutkan dengan penginduksian etanol akan

meningkatkan kerusakan pada fungsi-fungsi tubuhnya khususnya pada sistem

neurologis. Efek seperti ini sebagian besar dihasilkan akibat dari modifikasi

farmakodinamik. Seperti diketahui, neurotoksisitas MSG menurunkan aktivitas GAD

(glutamic acid decarboxylase) pada beberapa area di sistem saraf pusat yang

konsekwensinya adalah menurunkan isi dari GABA. Dibawah kondisi ini, penurunan

isi dari neurotransmitter penghambat di otak akan menyebabkan peningkatan jumlah

reseptor GABA (up-regulation), merupakan fenomena neuropalstisitas yang

meningkatkan fasilitasi penghambatan GABAergik terhadap etanol (Sepulveda,

Guerrero dkk, 2002).

Page 60: BAB 1-akhir

60

BAB IX

SIMPULAN DAN SARAN

9.1 Simpulan

Dari penelitian tentang gambaran histopatologi otak pada tikus Wistar pasca

habituasi oplosan MSG dan etanol 10% dapat disimpulkan bahwa:

1. Terdapat perbedaan kerusakan yang bermakna antara pemberian oplosan

MSG dan etanol 10% dosis bertingkat dengan gradasi kerusakan otak pada

tikus Wistar .

2. Dari hasil pengamatan histopatologi jaringan otak, didapatkan kerusakan

tertinggi pada pemberian oplosan MSG dan etanol 10% dengan perbandingan

1:5 .

9.2 Saran

1. Diperlukan penelitian yang lebih lanjut untuk membuktikan derajat kerusakan

otak akibat paparan oplosan MSG dan etanol secara kronis.

Page 61: BAB 1-akhir

61

2. Diperlukan penelitian yang lebih lanjut untuk melihat efek dari pemberian

oplosan MSG dan etanol pada sistem hematologi .

3. Diharapkan pada penelitian lebih lanjut dapat menggunakan dosis dan jumlah

yang lebih tinggi dengan frekuensi pemberian yang lebih sering.

DAFTAR PUSTAKA

Abass, M. A. & Abd El-Haleem, M. R. (2011). Evaluation of Monosodium

Glutamate Induced Neurotoxicity and Nephrotoxicity in Adult Male Albino

Rats. Dalam Journal of American Science, 7 (8): 264-76. Tersedia dalam:

http://www.jofamericanscience.org/journals/am-sci/am0708/028_6313am070

8_264_276.pdf . (Diakses pada 30 Maret 2012).

Andrew,Sudhir.1980. Food And Beverage Service Training Manual. New Delhi:

Mcgraw Hill Publishing Company limited.

Anonimous. Intraventricular haemorrhages IVH .tersedia dalam:

http://www.thewomens.org.au/uploads/downloads/HealthInformation/FactShe

ets/English/IVH.pdf ( Diakses: March 24th , 2012)

Ardyanto T, 2004. MSG dan Kesehatan : Sejarah, Efek dan Kontroversinya.

Vol.1/XVI: 52-56. Tersedia dalam:

http://si.uns.ac.id/profil/uploadpublikasi/kedokteran/MSG%20dan

%20Kesehatan%20Sejarah,%20Efek%20dan%20Kontroversinya.pdf.

(Diakses pada 15 Februari, 2013).

Page 62: BAB 1-akhir

62

Arif & Bachtiar. 2012. Korban kritis pesta minuman keras Oplosan. Tersedia dalam:

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/461478/ (Diakses

pada 25Februari , 2012)

Arisman.2009. Keracunan Makanan. Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta: EGC

Badawi A. 1997. Alcohol and Alcoholism : A Review of the Effects of Alcohol on

Carbohydrate Metabolism. Vol 12 (3): 120-136. Tersedia dalam:

http://alcalc.oxfordjournals.org/content/12/3/120.abstract. (Diakses pada 11

Februari, 2013).

Contini M, et al. 2012. Food and Public Health : Kidney and Liver Functions and

Stress Oxidative Markers of Monosodium Glutamate-Induced Obese Rats.

Vol 2(5): 168-177. Tersedia dalam:

http://article.sapub.org/10.5923.j.fph.20120205.08.html. (Diakses: pada 4

Februari 2013).

Djuarni, Nies; sachribunga. 1998. Tatalaksana Makanan Indonesia Timur. Badan

Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri

Das, Subir Kumar, et al. 2007. Oxidative Stress is the Primary Event: Effects of

Ethanol Consumption in Brain. Indian Journal of Clinical Biochemistry, 22

(1) pp. 99-104. Kerala: Amrita Institute of Medical Sciences. Available at :

http://medind.nic.in/iaf/t07/i1/iaft07i1p99.pdf (Diakses pada 15 Maret 2012)

Gonzales RA, Jaworski JN. (1997). Alcohol and Glutamate. Alcohol Health and

Research World, Vol.21, No.2. Tersedia dalam:

http://pubs.niaaa.nih.gov/publications/arh21-2/120.pdf (Diakses pada 5

Maret 2012)

Guyton , Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta: EGC

Page 63: BAB 1-akhir

63

Haorah, et al. 2005. Alcohol-induced oxidative stress in brain endothelial cells causes

blood-brain barrier dysfunction. Tersedia dalam:

http://www.jleukbio.org/content/78/6/1223.full.pdf+html. . Diakses pada 5

Februari 2013.

Laporan Riskesdas 2007 Nusa Tenggara Barat. Tersedia dalam:

http://www.batukar.info/system/files/RISKESDASLAPORAN%20PROV.

%20NTB.pdf. (Diakses pada 22 Februari , 2012)

Lay. 2011. Prospek Agro-Industri Aren (Arenga pinnata). Tersedia dalam :

http://perkebunan.litbang.deptan.go.id/upload.files/File/publikasi/

perspektif/Perspektif%20v%2010%20n%201%202011/N-1%20Abner

%20Lay%20_aren_.pdf. Diakses pada 21 februari 2013.

Meer V. 2010. Brain Reorganization after Experimental Stroke: Functional and

Structural MRI Correlates. Tersedia dalam:

http://igitur-archive.library.uu.nl/dissertations/2011-0331-200602/meer.pdf.

(Diakses pada 17 Februari 2013).

Murray dkk. 2003. Biokimia Harper edisi ke 25. Jakarta: EGC

Pasiak T. 2012. Tuhan dalam Otak Manusia. Mizania: EGC

Parfenova et al. 2005. American Journal of Physiology: Glutamate induces oxidative

stress and apoptosis in cerebral vascular endothelial cells: contributions of

HO-1 and HO-2 to cytoprotection. vol. 290 no. 5 C1399-C1410. Tersedia

dalam: http://ajpcell.physiology.org/content/290/5/C1399.full. (Diakses pada

4 Februari 2013).

Pittenger C et al. 2011. Pharmachology & Therapeutics: Glutamate Abnormalities In

Obsessive Compulsive Disorder: Neurobiology, Pathophysiology, And

Page 64: BAB 1-akhir

64

Treatment. Vol 132, issue 3.p 314-332. Tersedia dalam:

http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0163725811001847.

(Diakses pada 11 Februari 2013 )

Rani Sumarni. 2010. Perbedaan Gambaran Histopatologi Ginjal dan Hepar Tikus

Wistar yang diberi Paparan Metanol dibandingkan dengan Oplosan Metanol

dan Etanol. Mataram: Fakultas Kedokteran UniversitasMataram.

Sari EK & Mahardika AL. (2007). Pengaruh Perbedaan Lama Penyimpanan Nira

Terhadap Kadar Alkohol yang Dihasilkan. Dalam

http://id.scribd.com/mobile/doc/21448228 (Diakses 22 Agustus 2012)

Shigehiro. 1997. Tuak Dalam Masyarakat Batak Toba: Laporan Singkat Tentang

Aspek Social-Budaya Penggunaan Nira. Tersedia dalam: http://bambi.u-

shizuoka-ken.ac.jp/~kiyou4228021/11_3/11_3_5.pdf. Diakses pada 21

februari 2013.

Simanjuntak L. 2010. Pengaruh Pemberian Vitamin C Terhadap Gambaran

Histologis Hati Mencit (Mus Musculus L) Yang Dipapari Monosodium

Glutamate. Tersedia dalam:

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22270/7/Cover.pdf. (Diakses

pada 15Februari, 2013)

Sudarmadji, Slamet. 1982. Bahan-Bahan Pemanis. Yogyakarta: Agritech

Syarifudin, dkk. 2010.Dasar-dasar Kimia Organik. Binarupa Aksara: Jakarta

Uttara et al. 2009. Current Neuropharmacology: Oxidative Stress and

Neurodegenerative Diseases: A Review of Upstream and Downstream

Antioxidant Therapeutic Options. vol 7, p 65-74. Tersedia dalam:

Page 65: BAB 1-akhir

65

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2724665/pdf/CN-7-65.pdf.

(Diakses pada 5 February 2013).

Yogi Guhardi .2012. Perbedaan Gambaran Kerusakan Histopatologi Hepar dan

Ginjal Tikus Wistar Setelah Habituasi Alkohol 10% dan 40%. Mataram:

Fakultas Kedokteran UniversitasMataram

Yulia. 2010. Pengaruh Lama Pemberian Metanol 50 % per Oral Terhadap Jumlah

Nekrosis Neuron pada Putamen Tikus Wistar. Tersedia dalam:

http://eprints.undip.ac.id/23833/1/Yulia.pdf ( Diakses pada 15 Maret 2012)

Zahr, M N dkk. 2010. Biol Psychiatry;Brain Injury and Recovery Following Binge

Ethanol: Evidence from In Vivo Magnetic Resonance Spectroscopy. Vol

67:846 – 854. Tersedia dalam:

http://www.stanford.edu/~rohlfing/publications/2010-zahr-biolpsych-

brain_injury_recovery_binge_ethanol_mr_spectroscopy.pdf. (Diakses pada 17

February 2013)

Zakhari S, 2006. Overview: How Is Alcohol Metabolized by the Body?. Tersedia

dalam: http://pubs.niaaa.nih.gov/publications/arh294/245-255.htm. (Diakses

pada 11 Februari 2013)

Zimatkin, Buben A. 2007. Alcohol and Alcoholism : Ethanol oxidation in the living

brain. 42 (6): 529-532. Tersedia dalam:

http://alcalc.oxfordjournals.org/content/42/6/529.full. (Diakses pada 11

Februari, 2013

Page 66: BAB 1-akhir

66

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1. Etichal Clearence

Page 67: BAB 1-akhir

67

Lampiran 2. Data hasil penelitian

Kelompok Sampel Dosis Derajat Kerusakan Jaringan secara mikroskopis

Page 68: BAB 1-akhir

68

0 1 2 3

KN

1

4 ml

- - - -

2 - - - -

3 - - - -

4 - - - -

5 - - - -

6 - - - -

K1

1

4 ml

- - - -

2 - - - -

3 - - - -

4 - - - -

5 - - - -

6 - - - -

K2

1

4 ml

- - - -

2 - - - -

3 - - - -

4 - - - -

5 - - - -

6 - - -

P1

1

4 ml

- - - -

2 - - - -

3 - - - -

4 - - - -

5 - - - -

6 - - - -

P2 1 4 ml - - - -

2 - - - -

3 - - - -

Page 69: BAB 1-akhir

69

4 - - - -

5 - - - -

6 - - - -

P3

1

4 ml

- - - -

2 - - - -

3 - √ - -

4 - √ - -

5 - √ - -

6 - √ - -

Lampiran 3. Hasil Pengukuran Berat Badan Tikus

No Berat badan (gram)

1 146,6

2 154,1

3 148,5

4 157,7

5 138,2

6 139,2

7 124,2

8 122,1

9 124,6

10 125,3

11 123,3

12 154,1

13 156,6

14 157,3

15 156,6

16 162,4

Page 70: BAB 1-akhir

70

17 163,0

18 163,2

19 147,3

20 128,7

21 148,3

22 133,7

23 150,1

24 163,2

25 144

26 146,5

27 137,3

28 146,2

29 137,3

30 154,6

31 139,8

32 148,7

33 145,4

34 126,6

35 150,3

36 132,8

Rata-rata 144

Standar

deviasi

12,60557

Lampiran 4. Perhitungan dosis

Kelompok 1 (KN)146,6154,1148,5

Berat semua tikus : 884,3 gramRata-rata berat tikus: 147,4 gr Dosis: 6 ekor x 4 ml= 24 ml. Dibutuhkan aquades sebanyak 24 ml untuk 6 ekor

Mean ± standar deviasi

Page 71: BAB 1-akhir

71

157,7138,2139,2

tikus. Masing-masing diberikan sebanyak 4 ml

Kelompok 2124,2122,1124,6125,3123,3154,1

Berat semua tikus: 773,6 grRata-rata berat badan tikus : 128,9 grDosis : 6 ekor x 4 ml=24 ml. Dibutuhkan etanol fermentasi 10% sebanyak 24 ml untuk 6 ekor tikus. Masing-masing diberikan sebanyak 4 ml

Kelompok 3156,6157,3156,6162,4163,0163,2

Berat semua tikus : 959 grRata-rata berat tikus: 159,8 grDosis: kebutuhan MSG : 959 gr x 0,0166 gr/grBB= 15,91 gr.Perbandingan MSG dan aquades 1:2 15,91 gr:31,83ml. campuran menghasilkan larutan sejumlah 47,74 ml.Diberikan kepada 6 ekor tikus masing-masing 4 ml. kebutuhan larutan6 ekor x 4 ml=24 ml.Sisa larutan 47,74-24 ml= 23,74 ml

Kelompok perlakuan I (1:3)147,3128,7148,3133,7150,1163,2

Berat semua tikus : 871,3 grRata-rata berat tikus: 145,21 grDosis: kebutuhan MSG: 871,3 gr x 0,0166 gr/grBB= 14.46 gr.V MSG=m/ρ14,46gr/1,538 gr/cm3=9,40 ml Perbandingan MSG dan etanol 10% 1:39,40 ml:28,2 ml.Hasil pencampuran 37,6 ml.Diberikan kepada 6 ekor tikus masing-masing 4 ml. kebutuhan larutan 6 ekor x 4 ml=24 ml. Sisa larutan 37,6-24 ml=13,6 ml

Kelompok perlakuan 2 (1:4)144146,5137,3

Berat semua tikus : 865,9 grRata-rata berat tikus: 144,3 grDosis: kebutuhan MSG: 865,9 gr x 0,0166 gr/grBB= 14.37 gr.

Page 72: BAB 1-akhir

72

146,2137,3154,6

V MSG=m/ρ14,37gr/1,538 gr/cm3=9,34 ml . Perbandingan MSG dan etanol 10% 1:49,34 ml:37.38 ml.Hasil pencampuran 46,72 ml.Diberikan kepada 6 ekor tikus masing-masing 4 ml. kebutuhan larutan 6 ekor x 4 ml=24 ml. Sisa larutan 46,72-24 ml=22.72 ml

Kelompok perlakuan 3 (1:5)139,8148,7145,4126,6150,3132,8

Berat semua tikus : 834,6 grRata-rata berat tikus: 140,6 grDosis: kebutuhan MSG: 834,6 gr x 0,0166 gr/grBB= 14.00 gr.V MSG=m/ρ14,00gr/1,538 gr/cm3=9,10 ml .Perbandingan MSG dan etanol 10% 1:59,10 ml:45.52 ml.Hasil pencampuran 54,62 ml.Diberikan kepada 6 ekor tikus masing-masing 4 ml. kebutuhan larutan 6 ekor x 4 ml=24 ml. Sisa larutan 54,62-24 ml=30.62 ml

Keterangan : ρ MSG=1.538 gr/cm3

ρ Etanol =0,789 gr/cm3

lethal dose MSG= 0,0166 gr/grBB (Anachemia, 2010)

lethal dose etanol= 10.000 mg/kgBB (Loomis,1970)

Lampiran 5. Perhitungan untuk Analisis Data

1. Data Kerusakan sel otak

Page 73: BAB 1-akhir

73

Case Processing Summary

Perlaku

an

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

histopatologiotak KN 6 100.0% 0 .0% 6 100.0%

K1 6 100.0% 0 .0% 6 100.0%

K2 6 100.0% 0 .0% 6 100.0%

P1 6 100.0% 0 .0% 6 100.0%

P2 6 100.0% 0 .0% 6 100.0%

P3 6 100.0% 0 .0% 6 100.0%

2. Presentase kerusakan sel otak tikus Wistar

Jenis kelompok Perhitungan Presentase

KN 0/6x 100 % 0%

KI 0/6x100% 0%

K2 0/6x100% 0%

P1 0/6x100% 0%

P2 0/6x100% 0%

P3 4/6x100% 66.66%

3. Uji Shafiro WilkUji normalitas perbedaan gambran histopatologi otak tikus Wistar yang terpapar

oplosan MSG dan etanol 10% dengan perbadingan 1:3, 1:4, dan 1:5.

Page 74: BAB 1-akhir

74

Tests of Normalityb,c,d,e,f

perlaku

an

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

histopatologiotak P3 .407 6 .002 .640 6 .001

a. Lilliefors Significance Correction

b. histopatologiotak is constant when perlakuan = KN. It has been omitted.

c. histopatologiotak is constant when perlakuan = K1. It has been omitted.

d. histopatologiotak is constant when perlakuan = K2. It has been omitted.

e. histopatologiotak is constant when perlakuan = P1. It has been omitted.

f. histopatologiotak is constant when perlakuan = P2. It has been omitted.

4. Uji normalitas Uji normalitas perbedaan gambran histopatologi otak tikus Wistar yang terpapar

oplosan MSG dan etanol 10% dengan perbadingan 1:3, 1:4, dan 1:5 setelah

transformasi data

Page 75: BAB 1-akhir

75

Descriptivesa,b,c,d,e

Perlakuan Statistic Std. Error

histopatologiotak P3 Mean .67 .211

95% Confidence Interval for

Mean

Lower Bound .12

Upper Bound 1.21

5% Trimmed Mean .69

Median 1.00

Variance .267

Std. Deviation .516

Minimum 0

Maximum 1

Range 1

Interquartile Range 1

Skewness -.968 .845

Kurtosis -1.875 1.741

a. histopatologiotak is constant when perlakuan = KN. It has been omitted.

b. histopatologiotak is constant when perlakuan = K1. It has been omitted.

c. histopatologiotak is constant when perlakuan = K2. It has been omitted.

d. histopatologiotak is constant when perlakuan = P1. It has been omitted.

e. histopatologiotak is constant when perlakuan = P2. It has been omitted.

5. Uji Kruskal-Wallis Perbedaan presentase gambaran histopatologi otak tikus Wistar yang terpapar

oplosan MSG dan etanol 10% dengan perbandingan 1:3, 1:4, dan 1:5 di setiap

kelompok

Page 76: BAB 1-akhir

76

Ranks

perlaku

an N Mean Rank

histopatologiotak KN 6 16.50

K1 6 16.50

K2 6 16.50

P1 6 16.50

P2 6 16.50

P3 6 28.50

Total 36

Test Statisticsa,b

histopatologiotak

Chi-Square 21.875

Df 5

Asymp. Sig. .001

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: perlakuan

6. Uji Mann- Whitney Perbandingan gambaran histopatologi otak tikus Wistar yang terpapar oplosan

MSG dan etanol 10% dengan perbandingan 1:3, 1:4, dan 1:5 antar semua

kelompok

Ranks

perlaku

an N Mean Rank Sum of Ranks

histopatologiotak KN 6 6.50 39.00

K1 6 6.50 39.00

Total 12

Page 77: BAB 1-akhir

77

Test Statisticsb

histopatologiotak

Mann-Whitney U 18.000

Wilcoxon W 39.000

Z .000

Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 1.000a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks

perlaku

an N Mean Rank Sum of Ranks

histopatologiotak KN 6 6.50 39.00

K2 6 6.50 39.00

Total 12

Test Statisticsb

histopatologiotak

Mann-Whitney U 18.000

Wilcoxon W 39.000

Z .000

Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 1.000a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Page 78: BAB 1-akhir

78

Ranks

perlaku

an N Mean Rank Sum of Ranks

histopatologiotak KN 6 6.50 39.00

P1 6 6.50 39.00

Total 12

Test Statisticsb

histopatologiotak

Mann-Whitney U 18.000

Wilcoxon W 39.000

Z .000

Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 1.000a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks

perlaku

an N Mean Rank Sum of Ranks

histopatologiotak KN 6 6.50 39.00

P2 6 6.50 39.00

Total 12

Page 79: BAB 1-akhir

79

Test Statisticsb

histopatologiotak

Mann-Whitney U 18.000

Wilcoxon W 39.000

Z .000

Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 1.000a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Ranks

perlaku

an N Mean Rank Sum of Ranks

histopatologiotak KN 6 4.50 27.00

P3 6 8.50 51.00

Total 12

Test Statisticsb

histopatologiotak

Mann-Whitney U 6.000

Wilcoxon W 27.000

Z -2.345

Asymp. Sig. (2-tailed) .019

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .065a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Page 80: BAB 1-akhir

80

Ranks

perlaku

an N Mean Rank Sum of Ranks

histopatologiotak P1 6 6.50 39.00

P2 6 6.50 39.00

Total 12

Test Statisticsb

histopatologiotak

Mann-Whitney U 18.000

Wilcoxon W 39.000

Z .000

Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 1.000a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Test Statisticsb

histopatologiotak

Mann-Whitney U 18.000

Wilcoxon W 39.000

Z .000

Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 1.000a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Page 81: BAB 1-akhir

81

Ranks

perlaku

an N Mean Rank Sum of Ranks

histopatologiotak P2 6 4.50 27.00

P3 6 8.50 51.00

Total 12

Test Statisticsb

histopatologiotak

Mann-Whitney U 6.000

Wilcoxon W 27.000

Z -2.345

Asymp. Sig. (2-tailed) .019

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .065a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: perlakuan

Lampiran 6. Dokumentasi Proses Penelitian

Page 82: BAB 1-akhir

82

Gambar 3. Kandang Hewan Percobaan Gambar 4. Stirrer

Gambar 5. Timbangan Gambar 6. Larutan oplosan

Page 83: BAB 1-akhir

83

Gambar 7. Tabung organ Gambar 8. Bahan pembiusan

Gambar 9. Tikus galur Wistar Gambar 10. Proses pembedahan

Gambar 10. Proses penyondean gambar 11. Proses pembiusan

Page 84: BAB 1-akhir

84

Gambar 12. Bahan pembedahan Gambar 13. Pengambilan organ otak

Gambar 14. Proses pengawetan Gambar 15. Pengambilan otak

Gambar 16. Formalin 10% Gambar 17. Sampel organ

Page 85: BAB 1-akhir

85

Page 86: BAB 1-akhir

86

Lampiran 6. Gambar Histopatologi Jaringan Otak

Gambar 18. (KN). Otak tikus normal

dengan perbesaran 40. Ganglion dan

astrosit normal (tanda panah)

Gambar 19. (KN) otak tikus dengan

pembesaran 400. ganglion dan astrosit

normal ( tanda panah)

Gambar 20.(P3). Otak tikus dengan

pembesaran 400. Sedikit pelebaran

Gambar 21. (P3). Otak tikus dengan

pembesaran 400. Ukuran sel bertambah

Page 87: BAB 1-akhir

87

sitoplasma (anak panah) karena Sitoplasma menggelembung yang

disebut gliaosis (anak panah)