Upload
hoangtram
View
223
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
Bab I
Pendahuluan
A.Latar Belakang Masalah
Secara umum isu hukum yang ingin dikaji oleh
penelitian ini adalah normativitas keberlakuan
hukum internasional dalam sistem hukum nasional
melalui pengadilan domestik di mana konstitusinya
tidak memiliki ketentuan eksplisit mengenai isu
tersebut. Secara khusus isu hukum ini adalah
tentang praktik penggunaan hukum internasional
oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK
RI) dalam melakukan pengujian konstitusionalitas
undang-undang. Hal ini menarik untuk diteliti
karena ketiadaan otorisasi konstitusional secara
eksplisit telah menyebabkan keberagaman praktik di
Indonesia sehingga menimbulkan satu pertanyaan
mendasar: “Is international law legal or abusive to
national law?” Penelitian ini ingin menjawab bahwa
hukum internasional dapat diberlakukan secara sah
oleh pengadilan nasional Indonesia (dalam hal ini MK
RI) meskipun tidak didasari adanya ketentuan
konstitusional secara eksplisit.
Lazimnya, kedudukan hukum internasional
dalam sistem hukum nasional dapat dilihat pada
konstitusi suatu negara. Sebagai contoh ideal adalah
Article 39 (1) South Africa Constitution yang
mengatur tentang Interpretation of Bill of Rights yang
menentukan:
2
“When interpreting the Bill of Rights, a court, tribunal or forum: (a) mustpromote the values that underlie an open and democratic society based on human dignity, equality and freedom; (b) must consider international law; and (c) may consider foreign law.”
Konstitusi Afrika Selatan mempreskripsi supaya
lembaga peradilan menggunakan pertimbangan
hukum internasional dan hukum negara asing untuk
menginterpretasi the Bill of Rights dalam putusannya.
Contoh lain dapat ditemukan dalam konstitusi
negara Amerika Serikat, Timor Leste, Rusia, Belanda,
Perancis, Jepang dan Jerman. 1 Konstitusi negara-
negara tersebut memberi ruang kepada hukum
internasional untuk dapat digunakan dalam forum
domestiknya.
Tidak seperti negara-negara di atas, Konstitusi
Indonesia tidak mengatur posisi hukum internasional
dalam sistem hukum nasional. Konstitusi Indonesia
hanya mengatur kewenangan Presiden dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk
mengadakan perjanjian internasional 2 yang
kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2004 jo. Undang-Undang No. 8
Tahun 2011 tentang Perjanjian Internasioal tanpa
1 Article 6 The Constitution of the United States of America, Section 9 Constitution of the Democratic Republic of Timor-Leste,Article 15 (4) The Constitution of the Russian Federation, Article 94 The Constitution of the Kingdom of the Netherlands, Article 55 the Constitution of the Fifth Republic (France), Article 98 (2) The Constitution of Japan, Article 25 Constitution of German Democratic Republic.
2 Pasal 11 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3
menjelaskan posisi hukum internasional dalam
sistem hukum nasional. Meski demikian, praktik
para hakim Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia (MK RI) dalam menerapkan hukum
internasional kerap kali muncul, tercermin dalam
putusan-putusannya dalam menjalankan fungsinya
sebagai the interpreter of Constitution di bidang
pengujian undang-undang. 3 Penelitian yang
dilakukan Diane Zhang menunjukkan bahwa selama
tahun 2003-2008, terdapat 78 kasus pengujian
undang-undang terhadap 56 jenis undang-undang
dimana 86% atau berjumlah 62 putusan MK RI
merujuk pada 813 rujukan asing berupa kasus
hukum, hukum internasional dan domestik, praktik
hukum, tulisan akademik, dan lain-lain.4
Sebagai contoh, Putusan MK RI No. 2-3/PUU-
V/2007 mengenai konstitusionalitas hukuman mati
yang menunjukkan bahwa hakim MK RI telah
menginterpretasi hak untuk hidup (the right to life)
yang secara eksplisit tertulis pada Pasal 28A
Konstitusi dengan pertimbangan hukum
internasional. Terlepas dari kontroversi hukuman
mati, nyatanya para hakim MK RI telah
menginterpretasi the right to life tersebut dengan
3 Pasal 24C Undang-Undang Dasar Repubik Indonesia Tahun 1945 memberikan kewenangan terhadap MKRIuntuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk (salah satunya) menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.
4 Diane Zhang, “The Use and Misuse of Foreign Materials by the Indonesian Constitutional Court: A Study of Constitutional Court Decision 2003-2008” Thesis, Melbourne: Melbourne Law School, 2010.
4
pertimbangan hukum internasional perjanjian
internasional seperti Universal Declaration of Human
Rights, International Covenant on Civil and Political
Rights (ICCPR), Protocol Additional I to the 1949
Conventions and Relating to the Protection ofVictims of
International Armed Conflict, Protocol Additional II to
the 1949 Conventions and Relating to the Protection of
Victims of Non-International Armed Conflict, Rome
Statute of International Criminal Court, Convention for
the Protection of Human Rights and Fundamental
Freedoms (European Convention on Human Rights),
American Convention on Human Rights, Protocol No. 6
to the Convention for the Protection of Human Rights
and Fundamental Freedoms Concerning the Abolition
of the Death Penalty, Vienna Convention on the Law of
Treaties 1969, Statute of International Court of Justice
serta melakukan perbandingan praktik negara di
Singapura dan Malaysia.
Praktik hakim MK RI dalam menggunakan
hukum internasional untuk menginterpretasi
Konstitusi seperti pada contoh di atas melahirkan
satu pertanyaan besar mengenai dasar keterikatan
negara Indonesia (dalam hal ini diwakili oleh MK RI)
terhadap hukum internasional mengingat ketiadaan
otorisasi eksplisit oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun
1945). Kondisi demikian secara teoretis sebenarnya
dapat dijustifikasi melalui teori tradisional tentang
hubungan antara hukum internasional dan hukum
nasional yaitu teori monisme dan dualisme. Namun
sayangnya ketika ditelaah lebih jauh, eksistensi teori
5
tersebut ternyata belum mampu memberi jawaban
atas dasar normativitas hukum internasional yang
berlaku di Indonesia. 5 Hal tersebut dikarenakan
adanya inkonsistensi cara pandang terhadap
normativitas hukum internasional pada tataran
praktik yang kemudian menghasilkan sengketa
doktrinal antara monist dan dualist 6 untuk
menjustifikasi keterikatan negara Indonesia dengan
hukum internasional. Ini menjadi tahapan
keberlanjutan dari kebimbangan dalam menentukan
dasar normativitas hukum internasional dalam
sistem hukum nasional.
Selain menjawab isu hukum di atas, penelitian
ini juga ingin memberikan kontribusi pada
perkembangan sistem hukum di Indonesia dalam
kaitan dengan keberlakuan hukum internasional.
Penulis memahami bahwa hakim MK RI dalam
menjalankan fungsinya sebagai the Interpreter of
Constitution, kerap menggunakan pertimbangan
hukum internasional untuk menginterpretasi
Konstitusi dalam pengujian undang-undang di
Indonesia terutama dalam kasus mengenai hak asasi
manusia. Tindakan MK RI tersebut memerlukan
justifikasi terutama pada aspek normativitas dari
hukum internasional itu sendiri.
Kata “normativitas” yang dimaksud di sini
adalah daya normatif atau mengharuskan dari
hukum internasional dalam konteks penerapan atau
5 Ibid, hlm. 7-9.6 Tim Hillier, Sourcebook On Public International Law, London:
Cavendish Publishing Limited, 1998, hlm. 33.
6
keberlakuan pada ranah atau forum domestik. Dalam
konteks demikian maka tesis atau argumen yang
hendak dipertahankan penelitian ini adalah dasar
keharusan (normativitas) dari keterikatan Indonesia
terhadap hukum internasional, termasuk dalam hal
ini MKRI, memiliki kausa halal yaitu internalisasi
hukum internasional sebagai dikte hukum (bukan
sekadar preferensi politik). Internalisasi hukum
internasional di sini mengandung tuntutan perlunya
konstitusi dipahami dalam perspektif hukum
internasional meskipun tidak didukung oleh
ketentuan konstitusional yang ekplisit dalam UUD
NRI 1945 sendiri. Kata “normativitas” ini dibedakan
dengan kata “aplikabilitas” yang digunakan dalam
Bab IV dimana kata “aplikabilitas” dimaksudkan
untuk menjelaskan penerapan dari normativitas
hukum internasional secara konkret pada aras
domestik, yakni dalam penelitian ini adalah
pengadilan nasional MK RI. Dengan demikian,
orientasi dari penelitian ini adalah menjabarkan
(breakdown) tesis atau argumen penelitian tersebut.
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan di atas, maka isu
sentral penelitian ini adalah dasar normativitas
keterikatan Indonesia terhadap hukum internasional,
khususnya dalam pengujian undang-undang oleh
MKRI, untuk menginterpretasi Konstitusi dengan
menggunakan hukum internasional. Untuk
menjawab isu sentral tersebut maka selanjutnya
dijabarkan isu-isu hukum lebih spesifik yang akan
7
penulis kaji dalam penelitian ini yang dirumuskan
sebagai berikut:
1. Teori monisme-dualisme dan teori
internasionalisme sebagai penjelasan atas isu
kedudukan hukum internasional di depan
pengadilan domestik.
2. Perbandingan antara teori monisme-dualisme dan
teori internasionalisme dalam menjawab isu
kedudukan hukum internasional di depan
pengadilan domestik.
3. Aplikabilitas teori internasionalisme sebagai dasar
normativitas hukum internasional untuk
menjawab isu kedudukan hukum internasional di
depan pengadilan domestik di Indonesia, dalam
hal ini penggunaan hukum internasional oleh MK
RI dalam rangka interpretasi konstitusi.
C. Tujuan Penelitian
1. Menjelaskan teori monisme-dualisme dan teori
internasionalisme dalam memandang hubungan
antara hukum internasional dan hukum nasional
secara umum dan kedudukan hukum
internasional di depan pengadilan domestik
secara khusus;
2. Menjelaskan bahwa berdasarkan hasil analisis
komparatif, teori internasionalisme memberikan
dasar normativitas lebih kuat untuk hukum
internasional dibandingkan dengan teori
monisme-dualisme, terutama terkait isu
kedudukan hukum internasional di depan
pengadilan domestik;
8
3. Menjelaskan bahwa teori internasionalisme dapat
diberlakukan di Indonesia sebagai dasar
normativitas hukum internasional untuk
menjawab isu kedudukan hukum internasional di
depan pengadilan domestik di Indonesia, dalam
hal ini penggunaan hukum internasional oleh MK
RI dalam rangka interpretasi konstitusi di mana
berdasarkan kajian terhadap konstitusi Indonesia
dapat ditemukan pemikiran yang mendukung
posisi teori tersebut.
D. Orisinalitas Penelitian
Tinjauan pustaka terhadap studi yang
menganalisis obyek serupa dengan penelitian ini
dilakukan untuk menentukan orisinalitas penelitian
ini. Satu studi yang paling mendekati substansi
penelitian ini adalah disertasi Chumpicha Vivitasevi
yang berjudul “The Interpretative Influence of
International Human Rights Norms on Judicial
Reasoning in Thailand: Lessons from the United
Kingdom and the United States of America” (Durham
University, 2012). Sama seperti tesis penulis,
disertasi tersebut juga menjelaskan tentang
bagaimana hubungan antara hukum internasional
dan hukum nasional, namun studi tersebut berbeda
dengan penelitian ini karena disertasi Chumpicha
merupakan analisis deskriptif tentang perbandingan
hukum di negara Thailand, Inggris dan Amerika
Serikat sedangkan penelitian ini merupakan
argumen normatif untuk memberi posisi terhadap
9
teori internasionalisme sebagai dasar normativitas
hukum internasional dalam hukum nasional.
E. Landasan Teori : Teori Internasionalisme dan
Teori Monisme-Dualisme
Pada Sub-judul ini akan dijelaskan mengenai
teori yang menjadi landasan berpikir dalam
memahami hubungan antara hukum internasional
dan hukum nasional, terutama untuk isu
international law before municipal courts (kedudukan
hukum internasional di depan pengadilan nasional).
Dalam pembahasan ini penulis menggunakan satu
varian teori yang disebut teori internasionalisme
sebagai alternatif untuk teori tradisional yaitu teori
monisme-dualisme dalam menjelaskan normativitas
hukum internasional. Isu normativitas hukum
internasional tersebut timbul berkenaan dengan
berbeda-bedanya praktik hukum nasional
berkenaan dengan isu kedudukan hukum
internasional di depan pengadilan domestik, di mana
perbedaan tersebut biasa dijelaskan dengan apakah
negara menganut teori monisme atau teori
dualisme.7
7 Pengadilan Inggris menggunakan hukum internasional setelah hukum tersebut melalui proses ratifikasi, praktik ini dijelaskan dengan teori dualisme. Malcolm N. Shaw, International Law, New York: Cambridge University Press, 2008, hlm. 140. Berbeda halnya di Amerika Serikat yang memposisikan hukum internasional secara langsung menjadi bagian dari hukum negaranya, praktik ini dijelaskan melalui teori monisme. Lori Fisler Damrosch dkk., International Law Cases and Materials: Fifth Edition, New York: West Group, 2001, hlm. 670.
10
Oleh karena itu, karena kelemahan dalam
penjelasan teoretis yang diberikan oleh teori
monisme-dualisme tersebut maka penulis berusaha
mencari alternatif lain yang di sini disebut teori
internasionalisme. Yang dimaksud dengan teori
internasionalisme tersebut mencakup pandangan
dari perspektif hukum internasional8 maupun dari
perspektif hukum nasional (hukum konstitusional)9
terkait dengan keterikatan suatu negara terhadap
hukum internasional sehingga sebagai implikasinya
pengadilan nasional didorong untuk memberikan
kontribusi positif terhadap hukum internasional
tersebut melalui penggunaan hukum internasional
oleh pengadilan domestik jika suatu kasus atau
perkara mengandung dimensi hukum
internasional.10
Sementara itu, secara singkat, teori monisme
menitikberatkan pada pemikiran bahwa hukum
internasional dan hukum nasional merupakan satu
kesatuan dalam sistem hukum yang terintegrasi dan
seharusnya dianggap sebagai suatu manifestasi dari
8 Dalam hal ini teori transnational legal process yang dikemukakan oleh Harold Hongju Koh.
9 Dalam hal ini teori international constitution yang dikemukakan oleh Sarah Cleveland.
10 Transnational legal process dalam kasus demikian berpendapat negara terikat hukum internasional melalui proses interaksi sampai internalisasi norma yang kemudian menciptakan kepatuhannya pada hukum internasional. Harold Hongju Koh, Harold Hongju Koh, “Transnational Legal Process”, Op.Cit.,Nebraska Law Review Vol.75, 1996, hlm. 206. Sementara international constitution berpendapat keterikatan negara terhadap hukum internasional ditentukan oleh konstitusi negara. Sarah H. Cleveland, “Our International Constitution” The Yale Journal of International Law Vol. 31, 2006, hlm. 105.
11
kesatuan konsep hukum. 11 Sedangkan teori
dualisme menekankan bahwa sistem hukum
internasional dan hukum nasional berada pada
tempat yang terpisah dan independen.12
Pada level praktik di pengadilan nasional yang
menghasilkan suatu putusan hakim, teori monisme-
dualisme memiliki teknik aplikasi berbeda. Pertama,
teori monisme menggunakan teori incorporation yang
juga sering disebut sebagai teori adoption. Teori ini
menerangkan bahwa aturan dalam hukum
internasional menjadi hukum nasional tanpa
kebutuhan untuk teknik pengadopsian aturan
tersebut. 13 Partsch menjelaskan teori adopsi
merupakan tindakan negara untuk membuat
hukum internasional dapat diterapkan di hukum
nasional tanpa mengubah dasar hukumnya. 14
Teknik inkorporasi ini menghasilkan suatu
klasifikasi jenis hukum yang bersifat self-executing,
atau dengan istilah lain direct effect atau direct
enforceable, dimana self-executing treaty bersifat
dapat diterapkan secara langsung dalam sistem
11 Hersch Lauterpacht, International Law: Collected Papers, London: Cambridge University Press, 1970, hlm. 216. Inti terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, teori monoisme memiliki karakter: 1) Ia menyangkal adanya dua hukum yang berbeda; 2) Pada dasarnya, kedua hukum tersebut merupakan perintah yang mengikat para subyek hukum yang secara independen atas kehendak mereka; 3) Hukum internasional dan hukum nasional jauh dari kata berbeda, bahwa ia harus dianggap sebagai manifestas konsep tunggal hukum.
12 Malcolm N. Shaw, Op.Cit,. hlm. 131.13 Martin Dixon, Textbook on International Law, London:
Blackstone Press Limited, 1993, hlm. 74. 14 Damos Dumoli Agusman, Treaties Under Indonesian Law: A
Comparative Study, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014, hlm. 85.
12
hukum nasional.15 Contoh kasus Sei Fujii vs. State
dimana putusannya menganggap bahwa the
California Alien Land Law tidak berlaku dan
mendiskriminasi pemilik tanah berkebangsaan
Jepang dan dinyatakan bertentangan dengan
ketentuan hak asasi manusia dalam United Nations
(UN) Charter. Kasus tersebut menyatakan bahwa
ketentuan UN Charter tersebut adalah self-executing.
Kedua, teori dualisme menggunakan teori
transformation dalam memandang aplikabilitas
hukum internasional. Teori transformation pada
dasarnya adalah salah satu bentuk dari positivist-
dualist16 yang memandang bahwa “International law
is not ipso facto part of municipal law”17. Case Regina
vs. Keyn (1876) mendefinisikan transformation
sebagai suatu proses legislasi yang dibutuhkan
untuk mengubah hukum internasional menjadi
bagian dari the law of the land.18 Dengan demikian,
transformation mengharuskan hukum internasional
diekspresikan dan ditransformasikan ke dalam
hukum nasional sesuai dengan instrumen
konstitutional yang benar. Jenis hukum yang
menggunakan teori transformation adalah yang
bersifat non-self-executing. Non-self-executing
dimaknai sebagai ketiadaan daya eksekusi tanpa
alat tambahan yang digunakan untuk
15 Ibid, hlm. 101. 16 Malcolm N. Shaw, Op.Cit., hlm. 105. 17 Martin Dixon, Op.Cit., hlm. 74.18 Damos Dumoli Agusman, Op.Cit., hlm. 91.
13
menerapkannya. 19 Wright mencoba untuk
mengklasifikasi perjanjian non-self-executing sebagai
berikut:1) Treaty provisions dealing with finances; 2) Treaty provisions which require for their performance detailed supplementary legislation or specific acts which the Constitution provides shall be performed by Congress (e.g., incorporation of territory, organization of offices and courts, and declaration of war); 3) Treaty provisions which are by nature self-executing, but because of historical tradition and constitutional interpretation require legislation to be executed (e.g., treaties defining crimes).20
Klasifikasi di atas membagi jenis ketentuan treaty
yang dikategorikan sebagai non-self-executing yakni
yang berhubungan dengan keuangan, yang
membutuhkan legislasi tambahan untuk
pelaksanaannya, dan yang secara alamiah bersifat
self-executing namun membutuhkan legislasi untuk
dilaksanakan oleh karena tradisi sejarah dan
interpretasi konstitusionalnya. Contoh kasusnya
adalah ketika hakim Mahkamah Agung Amerika
Serikat yaitu Judge Marshall memutus kasus Foster
vs. Neilson. 21 Kasus tersebut memutus bahwa
perjanjian antara Amerika Serikat dan Spanyol
dalam amity, settlement, and limits adalah perjanjian
yang non-self-executing. Alasannya adalah terdapat
frasa “shall be ratified and confirmed” (harus
diratifikasi dan dikonfirmasi) di dalam ‘bahasa
kontrak’.
19 Ibid, hlm. 107. 20 Ibid., hlm. 111.21 Damos Dumoli Agusman, Op.Cit., hlm. 99.
14
Keseluruhan teori di atas merupakan
konstelasi teori yang menggambarkan hubungan
antara hukum internasional dan hukum nasional
pada umumnya. Dalam pembahasan ini perlu
dipahami lebih dulu bahwa landasan teori di atas
sekadar bersifat sebagai background dan penjelasan
awal terhadap isu teoretis mengenai hubungan
antara hukum internasional dan hukum nasional
karena dalam pembahasan selanjutnya hal itu akan
menjadi objek kritisisme penulis. Dengan demikian,
sebagai landasan teori, teori monisme-dualisme
tidak penulis posisikan sebagai preskripsi untuk
argumen yang akan penulis bangun (misalnya untuk
mengklaim apakah Indonesia monis atau dualis),
tetapi hanya sekadar pembahasan yang bersifat
informatoris atas isu yang ada secara umum.
F. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum
dengan orientasi penelitian pada tataran teori
konstitusi dan teori hukum internasional. Penelitian
ini secara spesifik bertujuan untuk menemukan
suatu teori hukum selain teori monisme-dualisme
sebagai preskripsi untuk menjawab isu normativitas
keterikatan suatu negara terhadap hukum
internasional, terutama normativitas penerapan
hukum internasional oleh pengadilan domestik
tanpa didukung oleh dasar konstitusional yang
eksplisit.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah pendekatan konseptual dan pendekatan
15
perbandingan. Pendekatan yang utama digunakan
adalah pendekatan konseptual (conceptual approach)
untuk memecahkan rumusan masalah penelitian
dengan teori-teori maupun konsep-konsep yang
dikemukakan oleh para ahli hukum. Sesuai dengan
pendekatan tersebut maka bahan hukum yang akan
digunakan di sini adalah treatise atau ajaran yang
dikemukakan oleh ahli-ahli hukum (yuris
konstitusional dan internasional). Pendekatan kedua
adalah pendekatan perbandingan (comparative
approach). Dalam pendekatan perbandingan ini
kasus atau putusan-putusan yudisial dan
perundang-undangan negara lain akan diacu dalam
mengkonstruksikan argumen penelitian ini.
G. Sistematika
Bab I penelitian ini menjelaskan latar
belakang masalah yang kemudian memunculkan
isu-isu hukum yang dijabarkan dalam rumusan
masalah. Selain itu juga memuat tentang tujuan dan
manfaat penelitian, orisinalitas penelitian, landasan
teori, dan metode penelitian yang digunakan.
Bab II akan berbicara mengenai elaborasi
kedua teori klasik yaitu teori monisme dan teori
dualisme dalam menjelaskan keterikatan negara
terhadap hukum internasional. Selain itu elaborasi
lanjutan dilakukan untuk mendeskripsikan teori
internasionalisme yang memiliki konsep
transnational legal process dan international
constitution. Pada bab ini akan diawali dengan
karakteristik kedua teori tersebut kemudian
16
menunjukkan kelemahan yang dimilikinya masing-
masing.
Bab III membahas mengenai perbandingan
antara teori monisme-dualisme dan teori
internasionalisme. Bab ini akan spesifik
menjelaskan kelemahan sifat teoritis pada teori
monisme-dualisme yang menyebabkan minimnya
daya keterikatan suatu negara terhadap hukum
internasional yang berakibat inkonsistensi dalam
praktiknya. Oleh sebab itu, teori monisme dan teori
dualisme dipandang tidak memadai dalam memberi
penegasan keterikatan negara terhadap hukum
internasional. Lebih lanjut dijelaskan bahwa teori
internasionalisme merupakan teori yang lebih
memadai ketimbang teori monisme dan teori
dualisme karena ia memiliki karakter yang lebih
kuat sehingga daya keterikatan negara lebih kuat,
jelas, dan tegas pada praktiknya di lembaga-lembaga
negara seperti MK RI.
Bab IV akan menjelaskan bagaimana teori
internasional dapat digunakan sebagai dasar
normativitas penggunaan hukum internasional
dalam sistem hukum nasional melalui fungsi MK RI
sebagai the Intepreter of Constitution. Menilik melalui
pendekatan sejarah, terdapat suatu keinginan
implisit konstitusional bangsa Indonesia untuk
patuh terhadap hukum internasional. Hal ini bisa
dilihat dari proses pembentukan UUD NRI Tahun
1945, Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dan pidato
Pancasila yang disampaikan oleh the founding father,
Soekarno, bahwa Indonesia sebenarnya memiliki