51
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesatnya perkembangan teknologi menyebabkan arus pertukaran informasi semakin mudah dan cepat. Fenomena ini sejalan dengan semakin meningkatnya kebutuhan manusia terhadap informasi dan komunikasi. Hal ini terlihat dari adanya interaksi antar manusia dari bangsa yang berbeda. Perbedaan bangsa berdampak pula pada perbedaan bahasa dan budaya, oleh karena itu kegiatan penerjemahan atau pengalihbahasaan sangat diperlukan guna mengatasi perbedaan bahasa dan budaya tersebut. Betapa bahasa mempunyai keterikatan yang kuat dengan budaya terbukti dengan adanya istilah-istilah khusus yang dimiliki oleh suatu bahasa sulit untuk diterjemahkan ke dalam bahasa lain dengan menghadirkan makna yang sama. Boleh jadi satu kata dalam sebuah bahasa tertentu tidak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa lain dengan diwakili satu kata pula, melainkan harus ditambah dengan penjelasan. Inilah pentingnya seorang penerjemah mengetahui budaya dalam bahasa sumber dan budaya dalam bahasa sasaran. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Al-Farisi (2011: 28) bahwa seorang penerjemah idealnya adalah seorang bilingual sekaligus seorang bikultural. Bagi umat Islam di Indonesia, penerjemahan juga memegang peranan yang sangat penting, khususnya penerjemahan dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia. Kitab al-Qur`an dan hadits dapat dipahami dengan baik karena telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Terjemahan al-Qur’an dan hadits

BAB I PENDAHULUAN A. Latar BelakangIslam yaitu perkara-perkara yang mengandung berbagai hal yang berkaitan dengan adab, tata krama, dan sopan santun kita dalam menjalin dan berinteraksi

  • Upload
    others

  • View
    10

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pesatnya perkembangan teknologi menyebabkan arus pertukaran

informasi semakin mudah dan cepat. Fenomena ini sejalan dengan semakin

meningkatnya kebutuhan manusia terhadap informasi dan komunikasi. Hal ini

terlihat dari adanya interaksi antar manusia dari bangsa yang berbeda. Perbedaan

bangsa berdampak pula pada perbedaan bahasa dan budaya, oleh karena itu

kegiatan penerjemahan atau pengalihbahasaan sangat diperlukan guna mengatasi

perbedaan bahasa dan budaya tersebut.

Betapa bahasa mempunyai keterikatan yang kuat dengan budaya terbukti

dengan adanya istilah-istilah khusus yang dimiliki oleh suatu bahasa sulit untuk

diterjemahkan ke dalam bahasa lain dengan menghadirkan makna yang sama.

Boleh jadi satu kata dalam sebuah bahasa tertentu tidak bisa diterjemahkan ke

dalam bahasa lain dengan diwakili satu kata pula, melainkan harus ditambah

dengan penjelasan. Inilah pentingnya seorang penerjemah mengetahui budaya

dalam bahasa sumber dan budaya dalam bahasa sasaran. Sebagaimana yang

ditegaskan oleh Al-Farisi (2011: 28) bahwa seorang penerjemah idealnya adalah

seorang bilingual sekaligus seorang bikultural.

Bagi umat Islam di Indonesia, penerjemahan juga memegang peranan

yang sangat penting, khususnya penerjemahan dari bahasa Arab ke bahasa

Indonesia. Kitab al-Qur`an dan hadits dapat dipahami dengan baik karena telah

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Terjemahan al-Qur’an dan hadits

2

belum cukup untuk memahami agama Islam secara mendalam dan menyeluruh,

Al Farisi (2011: 2) pun memberikan alasan bahwa umat Islam masih memerlukan

kitab-kitab para ulama yang menjelaskan perihal al-Qur`an dan hadits tersebut.

Penerjemahan pun semakin giat dilakukan terhadap kitab tafsir, fiqih, aqidah,

akhlak, qira’at, tarikh, dan kitab-kitab lain.

Kenyataan ini semakin membuka cakrawala pemikiran umat Islam

Indonesia. Umat kian menyadari pentingnya memperkaya wawasan keagamaan

guna menyempurnakan praktik keislaman mereka secara utuh. Di samping itu,

fenomena ini juga bisa menjadi bahan perhatian bagi para akademisi untuk

meneliti permasalahan-permasalahan dalam penerjemahan serta memberikan

solusinya sehingga dihasilkan penerjemahan yang baik.

Menurut Burdah (2004: 9) penerjemahan adalah usaha memindahkan teks

berbahasa Arab (teks sumber) dengan padanannya ke dalam bahasa Indonesia

(bahasa sasaran). Menurut Catford (1965: 20) penerjemahan adalah penggantian

bahan kenaskahan dalam suatu bahasa (bahasa sumber) dengan padanan bahan

kenaskahan dalam suatu bahasa yang lain (bahasa sasaran). Adapun pengertian

penerjemahan menurut Widyamartaya (1989: 38) adalah proses memindahkan

makna yang telah diungkapkan dalam bahasa yang satu (bahasa sumber) menjadi

ekuivalen yang sedekat-dekatnya dan sewajarnya dalam bahasa yang lain (bahasa

sasaran).

Lebih jauh Al-Farisi (2011: 21) mengatakan bahwa penerjemahan juga

bisa berlangsung ketika seseorang membaca teks berbahasa asing maupun bahasa

yang sama kemudian dia berusaha menebak-nebak maksud dari bacaan tersebut.

Hal ini berarti bahwa orang yang sedang membaca pada dasarnya sedang

3

melakukan penerjemahan baik dalam tataran intralingual, interlingual, maupun

intersemiotik. Dari beberapa pandangan para ahli mengenai pengertian

penerjemahan di atas, peneliti mengambil kesimpulan berdasarkan pendapat Al-

Farisi (2011: 24) bahwa penerjemahan adalah proses pengungkapan makna yang

dikomunikasikan dalam bahasa sumber dengan padanan yang paling akurat, jelas

dan wajar di dalam bahasa target.

Salah satu buku yang cukup banyak dikaji di pesantren khususnya

pesantren tahfizhul qur’an adalah buku At-Tibyān fi> Ādābi Chamalatil-Qur’a>n

karya Imam An-Nawawi. Adapun beberapa pesantren yang mengkaji buku ini

antara lain: pesantren Isy Karima, pesantren Mush‘ab Bin Umair, dan pesantren

Tahfizh Al-Ma‘rifat Wal Adab. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa

Indonesia dengan judul At-Tibyān Adab Penghafal Al-Qur`an. Buku ini

menjelaskan bagaimana cara kita memuliakan al-Qur`an, dengan membahas

beberapa tema, antara lain: 1) keutamaan pembaca dan penghafalnya, 2)

keutamaan qira’ah dan ahlul-qira’ah, 3) keharusan memuliakan ahlul-qur’an, 4)

adab untuk pengajar, pelajar, dan penghafal al-Qur`an, 5) adab membaca al-

Qur`an, 6) anjuran membaca ayat dan surat pada waktu serta keadaan tertentu, 7)

adab menulis dan memuliakan mushaf.

Buku ini sangat penting untuk dipelajari oleh para penghafal al-Qur`an dan

para penuntut ilmu. Penghafal al-Qur`an memiliki tanggung jawab yang besar

terhadap ayat-ayat yang dihafalkannya. Selain dia harus menjaga hafalan yang

telah dimiliki, dia juga harus memperhatikan akhlak kesehariannya. Harapan besar

yang ingin dicapai dari semua adab ini adalah terbentuknya pribadi yang

berakhlak qur’ani. Maka tidak benar ketika hafalan al-Qur`an hanya sebatas

4

mampu mengingat seluruh ayat-ayat yang dihafal tanpa adanya pengaruh terhadap

keimanan dan akhlak. Begitu juga dengan penuntut ilmu, Sebagaimana yang telah

dicontohkan oleh para ulama salaf dan ilmuwan Muslim, mereka mempelajari

adab terlebih dahulu sebelum mempelajari ilmu. Dengan adab inilah seorang

penuntut ilmu akan bisa memanfaatkan ilmunya untuk kemaslahatan. Ibnu Abbas

radhiyalla>hu ‘anhu berkata: “Aku merendahkan diri saat menuntut ilmu maka aku

pun menjadi mulia saat menjadi guru” (An-Nawawi, 2014: 91).

Buku At-Tibyān fi> Ādābi Chamalatil-Qur’a>n karya Imam An-Nawawi ini

membahas perihal yang sangat penting yang perlu diketahui oleh setiap umat

Islam yaitu perkara-perkara yang mengandung berbagai hal yang berkaitan

dengan adab, tata krama, dan sopan santun kita dalam menjalin dan berinteraksi

dengan sesama manusia khususnya terhadap guru (Muhdi, 2016: 5). Dengan

berbagai pertimbangan itulah peneliti memilih buku ini sebagai objek penelitian.

Adapun penelitian ini memfokuskan kajiannya pada bentuk penerjemahan tamyi>z

dan strategi penerjemahan tamyīz. Ad-Dahdah (1993: 179) mengistilah tamyi>z

dengan distinctive. Tamyi>z merupakan susunan gramatikal yang khas dalam

bahasa Arab, oleh karena itu perlu untuk dilakukan penelitian mengenai susunan

ini khususnya mengenai strategi yang diterapkan oleh penerjemah untuk

mengatasi perbedaan karakteristik bahasa Arab dengan bahasa Indonesia.

Pemilihan tamyi>z ini dilakukan juga untuk membatasi data yang akan diteliti

karena mengingat banyaknya uslub (gaya bahasa) dalam buku tersebut.

Pengertian at-tamyīz (distinctive) menurut Ash-Shanha>jiy (2001: 32)

adalah ism manshūb (akusatif) untuk menjelaskan maksud dari kata sebelumnya

yang belum jelas, berupa ism nakirah (nomina indefinit) dan terletak setelah

5

kalimat yang sempurna. Adapun menurut Ni’mah (2008: 85) at-Tamyīz adalah

ism nakirah yang ber-i‘ra>b manshu>b, disebutkan dengan maksud untuk

menjelaskan maksud dari kata sebelumnya yang belum jelas. Dalam ilmu nachwu,

tamyīz dibagi menjadi dua macam yaitu tamyi>z malfu>zh dan tamyi>z malchu>zh.

Contoh kalimat yang mengandung pola tamyi>z malfu>zh adalah :

(1) BSu : ات ت م خ ث ان ت م ب ع ض ه م و خ Wa khatama ba‘dhuhum tsama>ni khatama>tin (An-Nawa>wi, 2014: 99).

BSa :

Ada juga yang delapan kali (Hauro`, 2014: 53).

Pada data 1 di atas kata “ اتم ت خ ” khatama>tun yang diterjemahkan dengan

“kali” berkedudukan sebagai tamyi>z dan merupakan penjelas bagi kata “ انث ”

tsama>nu yang diterjemahkan dengan “delapan” yang berkedudukan sebagai

mumayyaz. Apabila kalimat di atas hanya berhenti pada kata “delapan” maka

kalimat tersebut belum senyap/sempurna sehingga didatangkan kata “kali

(khatam)” untuk menjelaskan maksud dari kata “delapan”. Kalimat di atas adalah

contoh tamyi>z malfu>zh karena disebutkan mumayyaz-nya. Adapun kalimat yang

mengandung tamyi>z malchu>zh dapat dilihat pada contoh berikut.

(2) BSu:

م ع ه ي ت و اض ع ل م ع لم ه و ي ت أ دب أ ن ك ل ذ ر ي غ و اح ل ص و اب س ن و ة ر ه ش ل ق أ و ان س ه ن م ر غ ص أ ان ك ن إ و و ي ن ب غ ي Wa yanbaghi> an yatawa>dha‘a limu‘allimihi wa yata’addaba ma‘ahu wa in ka>na ashgharu minhu sinnan wa aqallu syuhratan wa nasaban wa shala>chan wa ghaira dza>lika (An-Nawa>wi, 2014: 88).

BSa:

Hendaknya ia rendah hati dan juga bersikap sopan terhadap gurunya,

walaupun sang guru lebih muda umurnya, tidak setenar dirinya, tidak

semulia nasab dan keshalihannya, serta lainnya (Hauro`, 2014: 40).

Pada data 2 di atas terdapat empat kata yang berkedudukan sebagai tamyi>z

yaitu “ ن س ”sinnun, “ ةر ه ش ” syuhratun, “ بس ن ” nasaban, dan “ حل ص ” shala>chun.

6

Keempat kata tersebut berkedudukan sebagai pengganti posisi mubtada’ sehingga

disebut sebagai tamyi>z malchu>zh muchawwal ‘an mubtada’. Kalimat di atas

dapat diubah dalam bentuk lain yaitu “ أص املعل م سن هغسن من ر ” sinnul-mu‘allimi

ashgharu min sinnihi. Frasa “ املعل م sinnul-mu‘allimi menempati posisi ”سن

mubtada’/subjek dan kata “ رغأص ” ashgharu menempati posisi khabar/predikat.

Dengan demikian, untuk menerjemahkan tamyi>z pada kalimat di atas diperlukan

strategi tertentu agar tidak salah menempatkan posisi tamyi>z dalam suatu susunan

gramatikal BSa dan strategi untuk menentukan padanan yang tepat agar makna

tamyi>z dalam BSu dapat tersampaikan dengan baik dalam BSa.

Strategi penerjemahan menurut Suryawinata (2003: 67) adalah taktik yang

diterapkan penerjemah untuk menerjemahkan kata atau kelompok kata atau

kalimat dalam BSu. Suryawinata (2003) membagi strategi penerjemahan menjadi

dua jenis utama, yaitu strategi struktural dan strategi semantis. Dalam literatur

tentang terjemahan, strategi penerjemahan disebut prosedur penerjemahan

(translataion procedures). Istilah ini senada dengan Newmark (1988: 81-93)

menyebut strategi penerjemahan sebagai prosedur yang terbagi menjadi 17

macam. Adapun penerapan strategi penerjemahan struktural dan semantik dapat

dilihat pada kalimat berikut ini.

(3) BSu:

ث ك ان ي ت م يفاللي ل ة ث ل د او ودأ نه ر ب ن أ ب ت م ات ف ر و ىأ ب وب ك خ Farawa> Abu> Bakribni Abi> Da>wu>d annahu ka>na yakhtimu fil-lailati tsala>tsa khatama>tin (An-Nawa>wi, 2014: 100).

BSa:

Abu Bakar bin Abu Daud meriwayatkan bahwa ia mengkhatamkan al-

Qur`an tiga kali setiap malamnya (Hauro`, 2014: 53).

Pada data 3 di atas, penerjemah menerapkan strategi penerjemahan

struktural-transposisi pada klausa “ أ ب ب ن ر ب ك أ ب و د او ودف ر و ى ” Farawa> Abu> Bakribni

7

Abi> Da>wu>d yang diterjemahkan menjadi “Abu Bakar bin Abu Daud

meriwayatkan”. Penerjemah menerjemahkan pola struktur BSu berupa P+S

menjadi bentuk S+P dalam struktur BSa -bahasa Indonesia. Dalam kalimat ini,

penerjemah juga mengubah posisi K (keterangan), yaitu keterangan cara “tsala>tsa

khatama>tin” (tiga kali) dan keterangan waktu “fil-lailati” (setiap malamnya)

dalam BSa. Pengubahan posisi tersebut terlihat dalam klausa “ ل ة يفاللي ي ت م ك ان أ نه

ث ت م ات ث ل خ ” annahu ka>na yakhtimu fil-lailati tsala>tsa khatama>tin yang

diterjemahkan menjadi “bahwa ia mengkhatamkan al-Qur`an tiga kali setiap

malamnya’’. Dalam klausa ini pun juga terdapat pengubahan dari bentuk jamak

menjadi tunggal yaitu tamyi>z kata “ت م ات khatama>tun diterjemahkan dengan ”خ

kata “kali”.

Selain itu, penerjemah juga menerapkan strategi penerjemahan semantis

pada data 3 di atas, adalah pungutan nama orang “د او ود ب ن أ ب ر Abu> Bakribni ”أ ب وب ك

Abi> Da>wu>d diterjemahkan dengan tetap mempertahankan BSu-nya menjadi “Abu

Bakar bin Abu Daud”. Dalam menerjemahkan nama orang tersebut, penerjemah

melakukan naturalisasi yaitu kata-kata BSu diucapkan dan penulisannya

disesuaikan dengan aturan BSa (Suryawinata, 2003: 71). Strategi semantik

pungutan juga terjadi pada kata “ yakhtimu yang diterjemahkan dengan ”ي ت م

“mengkhatamkan”. Mengkhatamkan bermakna “menyelesaikan” (Suharso, 2005:

250). Kemudian penerjemah juga melakukan tambahan pada BSa dengan

menambahkan kata “al-Qur`an” sebagai objek dalam BSa. Dengan adanya

penambahan kata “al-Qur`an” menjadikan kalimat tersebut dapat dipahami

dengan baik.

8

Penelitian yang berkaitan dengan strategi penerjemahan sudah banyak

dilakukan, tetapi beberapa kajian tersebut berbeda pada objek materialnya. Pada

penelitian ini, peneliti mengambil tiga kajian pustaka dalam bidang penerjemahan

khususnya strategi penerjemahan, dua pustaka mengenai buku At-Tibyān fi> Ādābi

Chamalatil-Qur’a>n (TACQ), dan satu pustaka mengenai tamyi>z antara lain:

Barathayomi (2012) dalam penelitian tesis yang berjudul Strategi

Penerjemahan Istilah Budaya dalam Novel Olive Kitteridge: Kritik Terjemahan

Berdasarkan Model Analisis Teks yang Berorientasi pada terjemahan, membahas

tentang strategi penerjemahan yang diterapkan penerjemah untuk menerjemahkan

istilah budaya dalam novel Olive Kitteridge dan kritik terhadap hasil

terjemahannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerjemah menerapkan 12

strategi untuk menerjemahkan 180 istilah budaya, antara lain: strategi transferensi,

naturalisasi, penerjemahan harfiah, modulasi, padanan budaya, kesepadanan

deskriptif, kata generik, penjelasan tambahan, penerjemahan dengan pengurangan,

terjemahan resmi, catatan kaki, dan parafrase. Dalam penelitian ini juga diketahui

tujuan penerjemah adalah untuk memperkaya istilah budaya pembaca dengan

memberikan catatan kaki dan penjelasan tambahan, tetapi kegagalan penerjemah

terlihat dari penerapan strategi transferensi dan penerjemahan harfiah yang

menjadikan terjemahan kurang tepat dan tidak wajar.

Adisoemarta (2011) dalam penelitian tesis yang berjudul Strategi

Penerjemahan Buku Mother Teresa: Come Be my Light ke dalam Bahasa

Indonesia: Kritik Terjemahan Berdasarkan Model Analisis Teks yang

Berorientasi pada Penerjemahan, membahas tentang strategi penerjemahan yang

diterapkan penerjemah dan kritik terhadap terjemahan buku Mother Teresa: Come

9

Be my Light dalam bahasa Indonesia. Kritik disusun dengan menggunakan model

analisis teks yang berorientasi pada penerjemahan dengan menggunakan

pencapaian skopos sebagai kriteria utama keberhasilan penerapan strategi

penerjemahan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa penerjemah menerapkan

strategi semantis dan penerjemahan buku ini merupakan proses yang melibatkan

banyak aktor dengan kepentingan berbeda sehingga skopos hanya dapat dicapai

jika kompromi mengenai strategi penerjemahan dapat dilakukan oleh semua aktor

itu di bawah panduan penerjemah sebagai pakar komunikasi antar budaya.

Penelitian dalam bidang penerjemahan juga pernah dilakukan oleh

Annisaa (2016) dalam penelitian skripsi yang berjudul Strategi Penerjemahan dan

Kualitas Terjemahan Pada Teks Terjemahan Piagam Madinah). Penelitian ini

membahas tentang strategi penerjemahan yang diterapkan penerjemah dalam

menerjemahkan teks Piagam Madinah dan kualitas terjemahannya. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa penerjemah menerapkan dua macam strategi,

yaitu: strategi struktural dan strategi semantis. Pada strategi struktural,

penerjemah menerapkan strategi penambahan, pengurangan dan transposisi.

Adapun strategi semantis yang diterapkan penerjemah adalah strategi pungutan,

padanan budaya, padanan deskriptif dan analisis komponensial, sinonim,

penyusutan dan perluasan, penambahan, penghapusan, dan modulasi. Hasil

penelitian juga menunjukkan bahwa kualitas terjemahan yang yang dihasilkan

masih kurang akurat, kurang berterima, dan terbaca sedang. Adapun kualitas

terjemahan terbaik dapat diperoleh dari pilihan penerjemah terhadap strategi

penerjemahan yang diterapkan pada teks Piagam Madinah.

10

Adapun penelitian tentang buku TACQ pernah dilakukan oleh Hasanah

(2015) dalam penelitian skripsi yang berjudul Studi Analisis Pemikiran Imam

Nawawi Tentang Kompetensi Kepribadian Guru dalam Pendidikan Islam (Kajian

Kitab At-Tibyān fi> Ādābi Chamalatil-Qur’a>n). Penelitian ini membahas tentang

kompetensi kepribadian guru menurut pandangan Imam Nawawi dalam kitab

TACQ dan relevansinya terhadap pendidikan Islam sekarang. Hasil penelitian ini

menunjukkan: (1) kompetensi kepribadian guru dalam kitab TACQ yaitu

hendaknya guru memiliki akhlak mulia serta menjauhi segala perilaku yang dapat

menjatuhkan keilmuannya dan harga dirinya, (2) pemikiran Imam Nawawi

tentang kompetensi kepribadian guru bila dihubungkan dengan pendidikan Islam

sekarang kurang relevan karena saat ini guru merupakan sebuah profesi untuk

mencari keuntungan materi dan jabatan saja.

Selanjutnya, Muhdi (2016) dalam sebuah laporan penelitian individual

dosen yang berjudul Konsep Moral Pendidik dan Peserta Didik menurut Imam al-

Nawawi (Studi Analisis Sufistik kitab At-Tibyān fi> Ādābi Chamalatil-Qur’a>n),

membahas tentang konsep moral pendidik dan peserta didik menurut Imam

Nawawi dan implikasi nilai-nilai pendidikan moral berbasis tasawuf yang dapat

dikembangkan dari kitab TACQ terhadap dunia pendidikan di Indonesia. Hasil

penelitian ini secara umum dapat disimpulkan bahwa Imam Nawawi secara jelas

dan lengkap mengungkap pemikiran sebuah konsep moral yang hendaknya

melekat dalam diri seorang Pendidik (Guru) dan Peserta Didik (Murid).

Sebagaimana banyak digambarkan oleh para ahli pendidikan, perlunya

menekankan pengembangan kompetensi dalam sisi personal atau diri seorang

guru terlebih dahulu, sebelum pendidik melakukan upaya penanaman ilmu atau

11

pengajaran terhadap murid. Ini harus dilakukan mengingat peserta didik akan

lebih mudah tertarik dan merespon positif terhadap penuturan seorang guru yang

telah diamalkan atau dilaksanakan juga oleh guru tersebut.

Adapun penelitian tentang tamyi>z pernah dilakukan oleh Lubis (2010)

dalam penelitian skripsi yang berjudul Analisis Tamyi>z pada Surat Al-Baqarah,

membahas tentang jenis-jenis tamyi>z yang terdapat dalam surat al-Baqarah dan

kedudukan i’rab tamyi>z-nya. Hasil penelitian ini menunjukkan jenis-jenis tamyi>z

yang ditemukan dalam surat al-Baqarah adalah jenis tamyi>z ‘adad sharih, tamyi>z

‘adad mubham, tamyi>z nisbah muchawwal, dan tamyi>z ghairu muchawwal.

Tamyi>z pada dasarnya dinisbahkan tetapi terkadang dapat dijarkan dengan

idha>fah dan huruf jar min. Pada penelitian ini juga menunjukkan kasus manshu>b

dan majru>r yang ditemukan dalam surat al-Baqarah.

Berbeda dengan kajian pustaka di atas, penelitian dengan judul “Strategi

Penerjemahan Tamyi>z dalam Kitab At-Tibyān fi> Ādābi Chamalatil-Qur’a>n karya

Imam An-Nawawi” ini belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini

memfokuskan kajiannya pada penggunaan strategi penerjemahan tamyi>z dalam

buku At-Tibyān fi> Ādābi Chamalatil-Qur’a>n. Berdasarkan hasil pencarian dan

pengamatan yang dilakukan peneliti, belum ditemukan penelitian yang mengkaji

buku ini dari aspek penerjemahan.

Manfaat penelitian ini bisa dilihat dari dua dimensi, yaitu dimensi teoretis

dan dimensi praktis. Pertama, dari dimensi teoretis, penelitian ini diharapkan

mampu menambah wawasan dalam teori strategi penerjemahan khususnya

penerjemahan tamyi>z dan menjadi bahan acuan bagi penelitian berikutnya yang

berkaitan dengan strategi penerjemahan. Kedua, dari dimensi praktis, penelitian

12

ini diharapkan mampu menemukan langkah-langkah dan strategi terbaik dalam

menerjemahkan tamyi>z dalam BSu ke dalam BSa sesuai dengan tujuan

penerjemahan, dan mudah dipahami oleh pembaca.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang dapat

disimpulkan dalam buku At-Tibyān fi> Ādābi Chamalatil-Qur’a>n (TACQ) adalah

sebagai berikut.

1. Bagaimana bentuk penerjemahan tamyi>z (distinctive) dalam buku At-Tibyān fi>

Ādābi Chamalatil-Qur’a>n (TACQ) karya Imam An-Nawawi ?

2. Bagaimana strategi penerjemahan yang diterapkan penerjemah dalam

menerjemahkan tamyi>z (distinctive) dalam buku At-Tibyān fi> Ādābi

Chamalatil-Qur’a>n (TACQ) karya Imam An-Nawawi ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian mengenai buku At-Tibyān fi> Ādābi Chamalatil-Qur’a>n (TACQ)

sesuai dengan rumusan masalah di atas, memiliki tujuan sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan bentuk penerjemahan tamyi>z (distinctive) dalam buku At-

Tibyān fi> Ādābi Chamalatil-Qur’a>n (TACQ) karya Imam An-Nawawi.

2. Mendeskripsikan strategi penerjemahan yang diterapkan penerjemah dalam

menerjemahkan tamyi>z (distinctive) dalam buku At-Tibyān fi> Ādābi

Chamalatil-Qur’a>n (TACQ) karya Imam An-Nawawi.

13

D. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah dalam suatu penelitian perlu dilakukan mengingat

luasnya permasalahan yang dapat dikaji dari berbagai aspek serta keterbatas

kompetensi peneliti. Pembatasan masalah juga dilakukan agar penelitian menjadi

terarah dan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.

Penelitian ini mengambil objek material berupa buku yang berjudul At-

Tibyān fi> Ādābi Chamalatil-Qur’a>n karya Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf

An-Nawawi, terbitan Maktabah Ibn ‘Abba>s kota Manshu>rah tahun 2014. Buku ini

diterjemahkan oleh Umniyyati Sayyidatul Hauro`, Shafura Mar’atu Zuhda, dan

Yuliana Sahadatilla dengan judul At-Tibyān Adab Penghafal Al-Qur`an terbitan

Al-Qowam tahun 2014. Adapun objek formal dalam penelitian ini adalah pada

data tamyi>z yang diambil dari bab muqaddimah sampai bab terakhir atau bab 10.

Selanjutnya, penelitian difokuskan pada pembahasan bentuk

penerjemahan tamyi>z dan jenis-jenis strategi penerjemahan yang diterapkan

penerjemah dalam menerjemahkan tamyi>z berdasarkan teori yang dirumuskan

oleh Suryawinata (2003: 67-76). Strategi penerjemahan terbagi menjadi dua,

strategi struktural dan strategi semantis. Jenis strategi struktural terdapat tiga

macam, yaitu penambahan, pengurangan, dan transposisi. Adapun jenis strategi

semantis terdapat sembilan macam, yaitu pungutan, padanan budaya, padanan

deskriptif dan analisis komponensial, sinonim, terjemahan resmi, penyusutan dan

perluasan, penambahan, penghapusan, dan modulasi.

14

E. Landasan Teori

Landasan teori merupakan bagian yang sangat penting dalam sebuah

penelitian. Pada penelitian ini, terdapat dua landasan teori dalam menganalisis

data. Landasan teori pertama adalah at-tamyi>z untuk menjawab rumusan masalah

pertama. Adapun landasan teori kedua adalah strategi penerjemahan untuk

menjawab rumusan masalah kedua. Berikut penjelasan mengenai teori yang

digunakan untuk menganalisis data.

1. At-Tamyi>z (Distinctive)

Ghani (2010: 479) menjelaskan makna tamyi>z secara bahasa artinya al-

fashlu (pemisah), at-tafsi>r (penjabar), at-tabyi>n (pemberi keterangan), dan at-

taudhi>ch (penjelas). Adapun at-tamyi>z secara istilah adalah ism naki>rah (nomina

indefinit) yang ber-i’ra>b manshu>b (akusatif) yang disebutkan setelah kalimat

sempurna dengan tujuan untuk menjelaskan maksud dari kata sebelumnya yang

belum jelas (Ghani, 2010: 479; Hamid, 2008: 249; Ni‘mah, 2008: 85). Ad-Dahdah

(1993: 179) mengistilah tamyi>z dengan distinctive. Adapun Ash-Shanha>jiy (2001:

32) dalam matan al-Juru>miyyah mendefinisikan at-tamyi>z adalah ism manshūb

(nomina akusatif) yang menjelaskan bagian yang dzat/kata yang masih samar

(kurang jelas/ masih umum/ masih mengundang pertanyaan). Seperti ungkapan;

اشرتيت“ ,”tashabbaba Zaidun ’araqan “Zaid bercucuran, keringatnya ”تصب بزيدعرق ا“

“ ,”isytaraitu ’isyri>na kita>ban “saya membeli 20 kitab ”عشرينكتاب ا زيدأكرممنكأب ا

Zaidun akramu minka aban wa ajmala minka wajhan “Zaid lebih ”وأمجلمنكوجه ا

baik darimu, bapaknya dan dia lebih tampan darimu, wajahnya”. Beliau juga

menambahkan bahwa tamyi>z harus berbentuk ism nakirah (nomina indefinit) dan

disebutkan setelah kalimat terbentuk sempurna.

15

a. Syarat-syarat at-Tamyi>z

Berdasarkan pengertian at-tamyi>z menurut Ash-Shanha>jiy di atas, Ghani

(2010: 479) menyebutkan syarat-syarat at-tamyi>z yaitu berupa ism, manshūb, al-

mufassiru lima> inbahama (menjelaskan bagian yang semu), nakirah dan terletak

setelah kalimat sempurna.

1) Ism (nomina), yaitu tamyi>z yang hanya berlaku pada ism (nomina),

bukan pada fi’l (verba) ataupun charf (partikel).

2) Manshūb (akusatif) yaitu tamyi>z yang selalu dalam keadaan manshūb

(akusatif), bukan marfu’ (nominatif), atau majru>r (genitif), kecuali hukum

i’rab (aturan harakat bahasa Arab) dalam tamyi>z malfuzh yang akan

dijelaskan nanti.

3) Al-mufassiru lima> inbahama (menjelaskan bagian yang semu), yaitu suatu

kalimat yang disertai dengan tamyi>z, maka akan menjadi jelas maksudnya.

Seperti contoh pada kalimat “saya memiliki 40....”, kemudian diam.

Kalimat ini belum jelas sehingga membutuhkan suatu penjelas untuk

bilangan 40. Dalam kalimat ini 40 apa yang dimaksud? Apakah 40 teman?

Atau 40 buku? Atau 40 bolpoin?. Maka jika kita berkata, “saya memiliki

40 unta”, maka kata unta berfungsi sebagai penjelas bilangan 40.

4) Ism Nakirah (nomina indefinit), yaitu adalah tamyi>z yang harus berupa

ism naki>rah (nomina indefinit) bukan ism ma’rifat (nomina definit).

Adapun contoh terdapat pada sebuah sya’ir.

ياقيسعنعمروالنفس صددتوطبتShadadta wa thibta’n-nafsa ya> qaisu ‘an ‘Amr (Ghani, 2010: 485).

16

Kata “النفس” an-nafsu dalam sya’ir tersebut adalah tamyi>z. Adapun alif

lam dalam kata tersebut bukan menunjukkan ism ma‘rifat (nomina

definit), tetapi hanya sebuah tambahan.

5) Terletak setelah kalimat sempurna : maksudnya adalah tamyi>z terletak

setelah fi’l (verba) + fa>’il (subjek) atau mubtada’ (subjek) + khabar

(predikat). Adapun tamyi>z berfungsi sebagai tambahan dalam kalimat

tersebut.

b. Macam-Macam Tamyi>z :

Dalam ilmu nachwu, tamyi>z dibagi menjadi dua macam (Ni’mah, 2008:

85; Ghani, 2010: 86), yaitu tamyi>z malfu>zh dan tamyi>z malchu>zh. Adapun

penjelasan sebagai berikut:

1) Tamyi>z Malfûzh (Tamyi>z Mufrad) / Tamyi>z Tunggal

Tamyi>z malfuzh adalah kata yang menjelaskan kata semu yang

disebutkan dalam kalimat. Dengan kata lain Ni’mah (2008: 85) menyatakan

bahwa mumayyaz-nya disebutkan dalam kalimat tersebut. Jenis-jenis tamyi>z

malfu>zh menurut (Ghani, 2010: 86-87) antara lain:

a) Asma>ul A‘da>d (nomina-nomina penunjuk bilangan)

Ghani (2014: 237) menjelaskan ketentuan pembentukan tamyi>z asma>ul

a‘dad sebagai berikut:

1. Tamyi>z A‘da>d (tamyi>z bilangan 3-10), berupa ism jamak majru>r

(nomina plural genitif) dalam pola idha>fah, contoh:

(4) BSu : ات ت م خ ث ان ت م ب ع ض ه م و خ Wa khatama ba‘dhuhum tsama>ni khatama>tin (An-Nawa>wi, 2014:

99). BSa :

Ada juga yang delapan kali (Hauro`, 2014: 53).

17

2. Tamyi>z A‘da>d (tamyi>z bilangan 11-99), berupa ism mufrad manshu>b

(nomina tunggal akusatif) dalam pola tamyi>z, contoh:

(5) BSu : ال م ف صل ر ي ن س و ر ة م ن ع ش ر ف ذ ك Fadzakara ‘isyri>na su>ratan minal-mufashshali (An-Nawa>wi,

2014: 160). BSa :

Kemudian ia menyebutkan dua puluh surat mufashal (Hauro`,

2014: 131).

3. Tamyi>z A‘da>d (tamyi>z bilangan 100 atau lebih), berupa ism mufrad

majru>r (nomina tunggal genitif) dalam pola idha>fah. Adapun contoh

sebagai berikut:

(6) BSu : م ل ك ف د ع اأ من ع ل ىد ع ائ ه أ ر ب ع ة آل ال ق ر آن ث ق ر أ م ن Man qara’al-qur’a>na tsumma da‘a> ammana ‘ala> du‘a>’ihi arba‘atu a>la>fi malakin (An-Nawawi, 2014: 188).

BSa :

Barang siapa membaca al-Qur`an kemudian berdoa maka ada

empat ribu malaikat yang mengamini doanya (Hauro`, 2014:

160).

b) Asma>ul Maqa>di>r (nomina-nomina penunjuk ukuran)

Ghani (2014: 237) menjelaskan ketentuan pembentukan tamyi>z asma>ul

maqa>di>r (nomina-nomina penunjuk ukuran) sebagai berikut:

1. Al-Wazn (penunjuk ukuran timbangan), berikut contoh:

BSu : كيلوعنب ا اشرتيت Isytaraitu ki>lu> ’inaban (Ghani, 2010: 482).

BSa :

Saya membeli satu kilo anggur.

Adapun kata-kata yang menunjukkan ukuran timbangan, antara lain: (طن)

tunnun “ton”, (قنطار) qinta>run “kwintal”, (كيلو) ki>lu> “kilo”, (رطل) rithlun

“pound”, (جرام) jara>mun “gram”, dan lain-lain.

2. Al-Masa>chah (penunjuk ukuran jarak atau luas), berikut contoh:

BSu : عنديفدانقطن ا ‘Indi> fadda>nun quthnan (Ghani, 2010: 482).

18

BSa :

Saya memiliki 1 hektar ladang kapas.

Adapun kata yang menunjukkan ukuran jarak/luas, antara lain: (فدان)

fadda>nun “hektar (4.072 m2 (سهم) ,”qi>ra>tun “kirat (4/6 dinar) (قرياط) ,”(

sahmun “anak panah”, (مرت) mitrun “meter”, dan lain-lain.

3. Al-Kail (penunjuk takaran), berikut contoh:

BSu : ا نتصدقبأردبقمح Natashaddaqu bi’ardabin qamchan (Ghani, 2010: 482).

BSa :

Kita bersedekah dengan 1 ardab gandum.

Adapun kata yang menunjukkan ukuran berat, antara lain : (أردب)

ardabun “ardab”, (قدح) qadachun “cangkir”, (صاع) sha>‘un “sha’”, dan

lain-lain.

c) Asyba>hul Maqa>di>r (hal yang menyerupai ukuran)

Di dalam tamyi>z terdapat tamyi>z yang menunjukkan ukuran tetapi

bukan ukuran yang pasti. Sehingga tidak bisa diukur dengan alat ukur

tertentu lalu disebut asyba>hul maqa>di>r (menyerupai ukuran) (Ghani, 2010:

87). Seperti contoh berikut ini:

BSu : فمنيعملمثقالذر ةخري ايره Faman ya‘mal mitsqa>la dzarratin khairan yarahu (Qs. al-Zalzalah: 7)

BSa :

Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya

dia akan melihat (balasan) nya (Qs. al-Zalzalah: 7).

Kata “خري” khairun “kebaikan” pada data 10 di atas, tidak dapat diukur

dengan alat ukur tertentu. Sehingga ia termasuk dalam jenis tamyi>z

asyba>hul maqa>di>r / menyerupai ukuran.

Adapun hukum i’rab (aturan harakat bahasa Arab) menurut (Ghani,

2010: 87) pada tamyi>z malfu>zh meliputi tiga hal, yaitu:

19

1) Manshu>b (akusatif/ keadaan berharakat fathah), sebagaimana contoh

berikut:

BSu : عنديقنطارقطن ا Indi> qinta>run quthnan (Ghani, 2010: 87).

BSa :

Saya memiliki satu kwintal kapas.

2) Majru>r (genitif/ keadaan berharakat kasrah) dengan charf (partikel) “من”

min “dari”, sebagaimana contoh berikut:

BSu : عنديقنطارمنقطن Indi> qinta>run min quthnin (Ghani, 2010: 87).

BSa :

Saya memiliki satu kwintal dari kapas.

3) Majru>r (genitif/ keadaan berharakat kasrah) dengan idha>fah, sebagaimana

contoh berikut:

BSu : عنديقنطارقطن Indi> qinta>ru quthnin (Ghani, 2010: 87).

BSa : Saya memiliki satu kwintal kapas.

Perbedaan antara tamyi>z dan cha>l adalah tamyi>z mengandung makna “min”

sedangkan cha>l mengandung makna “fi>” , contoh :

Cha>l :

يفسرور : جاءحممدمسرور اأي Ja>’a Muchammadun masru>ran ai fi> masru<rin. Terjemahannya adalah “Muhammad datang dalam dengan bahagia atau dalam keadaan bahagia”.

Tamyi>z :

منقطن: اشرتيتقنطار اقطن اأي Isytaraitu qintha>ran quthnan ai min quthnin. Terjemahnnya adalah “Saya membeli satu kwintal kapas atau satu kwintal dari kapas”.

2) Tamyi>z Malchûzh atau Tamyi>z Nisbah

Menurut Hamid (2010: 251), tamyi>z malchu>zh adalah tamyi>z yang dapat

menghilangkan kesamaran penisbatan pada kalimat yang disebutkan

sebelumnya. Dengan kata lain tamyi>z ini menggantikan salah satu pengisi

20

fungsi sebuah kalimat. Adapun Ni’mah (2008: 86) menjelaskan bahwa dalam

tamyi>z ini tidak disebutkan mumayyaz-nya. Tamyi>z malchu>zh terbagi

menjadi tiga macam yaitu muchawwal ’an fa>’il, muchawwal ’an maf’u>l, dan

muchawwal ’an mubtada’ (Ni’mah, 2008: 86; Ghani, 2010: 88-89) Adapun

penjelasan dari ketiga jenis tersebut adalah sebagai berikut.

a) Muchawwal ’an Fa>’il (sebagai pengganti subjek), berikut contoh:

BSu : تفق أزيدشحم ا Tafaqqa’a Zaidun Syachman (Hamid, 2010: 251).

BSa :

Zaid bertumpuk, lemaknya (Hamid, 2010: 251).

Asal kalimat di atas adalah:

BSu : تفق أشحم زيد Tafaqqa’a syachmu Zaidin (Hamid, 2010: 251).

BSa :

Lemak zaid bertumpuk (Hamid, 2010: 251).

Mudha>f kalimat di atas yaitu kata “ syachmun (bertumpuk) ”شحم

dihilangkan, kemudian mudha>f ilaih yaitu kata “زيد” zaidun menggantikan

syachmun sebagai fa>’il (subjek), sehingga kata ini pun berubah ”شحم“

menjadi rafa’ (berharakat dhammah) sebagaimana kata “شحم” syachmun

yang telah dihilangkan sebelumnya. Kemudian mudha>f yang telah

dihilangkan tadi dimunculkan kembali dan diletakkan di akhir kalimat

sehingga kata tersebut dinisbatkan karena berkedudukan sebagai tamyi>z.

b) Muchawwal ’an Maf’u>l (sebagai pengganti objek), berikut contoh:

BSu : غرستاألرضشجرا gharastul-‘ardha syajaran (Ghani, 2010: 88).

BSa : Aku menanam di tanah pohonnya.

Asal kalimat tersebut adalah :

BSu : غرستشجراألرض gharastu syajaral-‘ardhi

21

BSa : Aku menanam pohon di tanah.

Pada kalimat di atas, kata “شجر” syajarun ‘pohon’ adalah tamyi>z

yang berkedudukan sebagai objek. Hal ini terlihat ketika kalimat tersebut

diubah dalam bentuk asalnya.

Adapun contoh dalam data penelitian adalah sebagai berikut:

(7) BSu : ن ه اأ ح س ن ص و ت ام أ ح د ف م اس ع ت Fama> sami‘tu achadan achsana shautan minhu (An-Nawa>wi, 2014: 143).

BSa :

Dan aku tidak pernah mendengar seseorang yang lebih bagus

suaranya daripada beliau (Hauro`, 2014: 112)

Asal kalimat pada data 7 di atas, adalah:

BSu : ن ه م س ن صوتأ ح دأ ح ف م اس ع ت Fama> sami‘tu shauta achadin ahsana minhu.

BSa :

Dan aku tidak pernah mendengar suara seseorang yang lebih baik

darinya.

Mudha>f kalimat di atas yang dalam hal ini adalah kata “صوت”

shautun dihilangkan kemudian mudha>f ilaih yaitu kata “أ ح د”

menggantikan “ تصو ” shautun sebagai maf’u>l bih sehingga kata ini pun

berubah menjadi manshu>b. Kemudian kata “ وتص ” shautun tadi

dimunculkan kembali dan diletakkan setelah kata “ س ن ahsana sehingga ”أ ح

kata tersebut dinisbatkan karena berkedudukan sebagai tamyi>z.

c) Muchawwal ’an Mubtada’ (sebagai pengganti mubtada`/subjek),

berikut contoh:

BSu : نفرا أناأكثرمنكمالوأعز Ana aktsaru minka ma>lan wa a‘azzu nafaran (Qs. al-Kahfi: 34).

BSa :

Saya lebih banyak dari kamu hartanya dan lebih kuat pengikutnya

(Qs. al-Kahfi: 34).

22

Asal kalimat di atas adalah:

BSu : مننفرك مايلأكثرمنمالكونفريأعز

Ma>li> aktsaru min ma>lika wa nafari> a‘azzu min nafarika (Qs. al-Kahfi: 34).

BSa :

Hartaku lebih banyak daripada hartamu dan pengikutku lebih kuat

(Qs. al-Kahfi: 34).

Pada kalimat di atas, kata “مال” ma>lun ‘harta’ dan kata “نفر” nafarun

‘pengikut’ merupakan tamyi>z yang berkedudukan sebagai mubtada’/subjek.

Hal ini terlihat jelas ketika kalimat tersebut diubah dalam bentuk asalnya.

Adapun contoh dalam data penelitian adalah sebagai berikut:

(8) BSu :

أ ش د ق ي ن ت ه ان ذ أ اهلل ن ة إ ل ال ق ي ب ص اح م ن ب ال ق ر آن ال س ن الصو ت الرج ل إ ل Alla>hu asyaddu adzanan ila’r-rajulil-chasani’sh-shauti bil-qur’a>ni min sha>chibil-qainati ila> qainatihi (An-Nawa>wi, 2014: 140).

BSa :

Allah sangat senang mendengarkan seseorang yang membaca al-

Qur`an dengan suara merdu daripada seseorang yang

mendengarkan biduanitanya menyanyi (Hauro`, 2014: 105).

Asal kalimat pada data 8 di atas, adalah:

BSu :

أ ذ ن أ ش د م ن ب ال ق ر آن ال س ن الصو ت الرج ل إ ل ن ت ه أ ذ ن هاهلل ق ي ن ة إ ل ال ق ي ب إلص اح Adzanu’l-La>hi ila’r-rajulil-chasani’sh-shauti bil-qur’a>ni asyaddu min adzanihi ila> sha>chibil-qainati ila> qainatihi (An-Nawawi, 2014:

140). BSa :

Allah sangat senang mendengarkan seseorang yang membaca al-

Qur’an dengan suara merdu daripada seseorang yang

mendengarkan biduanitanya menyanyi (Hauro’, 2014: 105)

Dari kalimat kedua pada data 8, dapat diketahui bahwa kata “أ ذ ن”

adzanun adalah tamyi>z yang berkedudukan sebagai mubtada` (subjek).

Kemudian Ghani (2010: 89) menjelaskan hukum i’rab (aturan harakat

bahasa Arab) pada tamyi>z malchu>zh adalah selalu dalam keadaan manshu>b

(akusatif) dan tidak bisa menjadi majru>r (genitif) oleh partikel “ من” min

“dari” ataupun idha>fah . Berikut contoh:

23

BSu : اوأكرب سن ا حممدأكثرعلم Muchammadun aktsaru ‘ilman wa akbaru sinnan (Ghani, 2010: 89)

BSa :

Muhammad lebih banyak ilmunya dan lebih banyak umurnya.

Adapun maksud dari kalimat di atas adalah:

BSu : علمحممد أكثروسن هأكرب ‘Ilmu Muchammadin aktsaru wa sinnuhu akbaru (Ghani, 2010:

89). BSa :

Ilmu Muhammad lebih banyak dan umurnya lebih banyak.

Dari kalimat di atas, dapat diketahui bahwa kata “علم” ‘ilmun dan kata

.sinnun berkedudukan sebagai mubtada’ (subjek) ”سن ه“

2. Strategi Penerjemahan

Landasan teori kedua pada penelitian ini adalah berupa strategi

penerjemahan. Dalam praktiknya, proses penerjemahan membutuhkan strategi.

Al-Farisi (2011: 47) menyatakan bahwa strategi penerjemahan diterapkan ketika

proses penerjemahan berlangsung, baik dalam tahap analisis teks sumber maupun

pada tahap pengalihan pesan ke dalam bahasa target .

Strategi penerjemahan menurut Suryawinata (2003: 67) adalah taktik

penerjemah untuk menerjemahkan kata atau kelompok kata, atau mungkin kalimat

penuh bila kalimat tersebut tidak bisa dipecahkan lagi menjadi unit yang lebih

kecil untuk diterjemahkan. Dalam literatur tentang terjemahan, strategi

penerjemahan disebut prosedur penerjemahan (translataion procedures).

Suryawinata membagi strategi penerjemahan menjadi dua jenis utama, yaitu yaitu

strategi penerjemahan struktural dan strategi penerjemahan semantis.

Newmark (1988: 81-93) membagi prosedur penerjemahan menjadi 17

macam prosedur, yakni Transference/ Transferensi, Naturalisation/ Naturalisasi,

24

Cultural Equivalent/ Padanan Budaya, Functional Equivalent/ Padanan

Fungsional, Descriptive Equivalent/ Padanan Deskriptif, Synonymy/ Sinonim,

Through-Translation/ Terjemahan Literal, Shift or Transpositions/ Transposisi,

Modulation/ Modulasi, Recognised Translation/ Terjemahan Resmi, Translation

Label/ Terjemahan Label, Compensation/ Kompensasi, Componential Analysis/

Analisis Komponensial, Reduction and Expansion/ Penyempitan dan Perluasan,

dan Paraphrase/ Parafrase, Couplet (Bait), dan Notes, Addition, and Glosses/

Catatan, Penambahan, dan Pengurangan.

Berdasarkan pengamatan peneliti, 14 prosedur penerjemahan Newmark

(1988) memiliki kesamaan fungsi dengan 10 strategi penerjemahan Suryawinata

(2003) yang dapat dilihat pada tabel 1.1. berikut.

Pembagian Prosedur/Strategi

Oleh Newmark (1988) dan Suryawinata (2003)

No Newmark (1988) Suryawinata (2003)

1. Shift or Transposition (Transposisi) Struktural – Transposisi

2. Naturalization (Naturalisasi)

Transference (Transferensi)

Semantis – Pungutan

3. Cultural Equivalent (Padanan

Budaya)

Translation Label (Terjemahan

Label)

Semantis – Padanan Budaya

4. Descriptive Equivalent (Padanan

Deskriptif)

Componential Analysis (Analisis

Komponensial)

Semantis – Padanan Deskriptif

dan Analisis Komponensial

5. Synonym (Sinonim)

Functional Equivalent (Padanan

Fungsi)

Semantis – Sinonim

6. Recognized Translation (Terjemahan

Resmi)

Semantis – Terjemahan Resmi

7. Reduction and Expansion

(Penyusutan dan Perluasan)

Semantis – Penyusutan dan

Perluasan

25

8. Notes, Addition, and Glosses

(Catatan, Penambahan, dan

Pengurangan)

Paraprhrase (Parafrase)

Semantis – Penambahan

9. Notes, Addition, and Glosses

(Catatan, Penambahan, dan

Pengurangan)

Semantis – Penghapusan

10. Modulation (Modulasi) Semantis – Modulasi

Tabel 1.1. Pembagian Strategi Penerjemahan

Teori strategi penerjemahan yang digunakan untuk menganalisis rumusan

masalah kedua terbagi menjadi dua macam, yaitu strategi penerjemahan struktural

dan strategi penerjemahan semantis. Adapun penjelasan dari dua macam strategi

tersebut adalah sebagai berikut.

a. Strategi Penerjemahan Struktural

Strategi penerjemahan jenis pertama adalah strategi penerjemahan

struktural. Suryawinata (2003: 67) menjelaskan mengenai strategi penerjemahan

struktural sebagai strategi yang diterapkan penerjemah berkaitan dengan struktur

kalimat. Strategi ini bersifat wajib dilakukan karena kalau tidak hasil

terjemahannya akan tidak berterima secara struktural di dalam BSa. Struktural

yang dimaksud adalah struktur gramatikal BSa yang berlaku pada

masyarakatnya. Dalam penelitian ini struktur BSa yang dimaksud adalah struktur

bahasa Indonesia yang sesuai dengan Ejaan Bahasa Indonesia (EBI) dan Tata

Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBI). Ada tiga strategi dasar yang berkenaan

dengan masalah struktur, yaitu penambahan, pengurangan, dan transposisi.

26

1) Strategi Penambahan (Addition)

Penambahan di sini adalah penambahan kata-kata di dalam BSa karena

struktur BSa memang menghendaki begitu. Penambahan jenis ini bukanlah

masalah pilihan tetapi suatu kaharusan yang dilakukan seorang penerjemah,

dalam menerjemahkan teks BSu (Suryawinata, 2003: 67-68). Adapun contoh

sebagai berikut:

(9) BSu :

ن ة ال ش ب ع ح ص و ل ه ب ال ص ث ة و يف الشاف ع يأ و ج ه ث ل أل ص ح اب

Wa fi> chushu>lihi bil-ishba‘il-khasyinati tsala>tsatu aujuhin li’ashcha>bisy-sya>fi‘i> (An-Nawawi, 2014: 110).

BSa :

Mengenai penggunaan jari yang kasar ada tiga pendapat dari

madzhab Syafi’i (Hauro’, 2014: 67)

Pada contoh data 9 di atas terdapat penerapan strategi struktural

penambahan oleh penerjemah, yaitu dengan menambahkan kata “ada” untuk

menghubungkan antara subjek dan predikat. Kalimat dalam BSu di atas

tersusun atas khabar muqaddam yaitu “ ب ع ب ال ص ح ص و ل ه ن ة يف ال ش ” fi> chushu>lihi

bil-ishba‘il-khasyinati + mubtada’ muakhkhar yaitu “ ث ة ه ث ل أ و ج ” tsala>tsatu

aujuhin. Dalam penerjemahannya, kedua unsur ini mengharuskan adanya

penambahan kata penjelas sekaligus penghubung agar sesuai dengan struktur

BSa sehingga ditambahkan kata “ada” untuk menjelaskan dan

menghubungkan antara S dan P.

2) Strategi Pengurangan (subtraction)

Strategi pengurangan adalah strategi yang mengurangi elemen

struktural di dalam teks BSa. Elemen struktural yang dimaksud adalah berupa

27

kata, frasa, klausa, dan kalimat. Strategi ini pun diterapkan karena struktur

BSa menghendaki adanya pengurangan elemen struktural pada BSu

(Suryawinata, 2003: 68). Adapun contoh sebagai berikut:

(10) BSu :

ث ر اأ ك اأ ي ه م ذ ل ل ق ر آن أ خ

Ayyuhuma> aktsaru akhdzan lilqur’a>ni (An-Nawawi, 2014: 72).

BSa :

Manakah di antara keduanya yang lebih banyak hafalan al-

Qur’annya (Hauro’, 2014: 21).

Pada contoh data 10 di atas, terdapat penerapan strategi struktural-

pengurangan pada BSu oleh penerjemah, yaitu partikel “ li yang bermakna ”ل

“untuk” di dalam terjemahan BSa. Pengurangan partikel “ li yang ”ل

menyatakan kepemilikan seseorang terhadap hafalan Al-Qur’an adalah

pilihan yang tepat berdasarkan pendapat Suparno (2005: 160-161) yang

menyatakan bahwa penerjemahan kata ganti milik yaitu partikel “ li adalah ”ل

dengan menyebutkan lebih dahulu benda yang dimiliki kemudian langsung

menyebutkan pemiliknya. Sehingga partikel “ li tidak perlu lagi ”ل

diterjemahkan ke dalam BSa.

Strategi pengurangan ini disebut juga dengan teknik reduksi (Al-

Farisi, 2011: 71). Teknik reduksi merupakan cara penerjemahan yang

dilakukan dengan menghilangkan unsur gramatikal BSu dalam BSa. Dalam

penerjemahan Arab-Indonesia, menurut Syihabudin (dalam Al-Farisi, 2011:

72), penggunaan teknik reduksi dapat terlihat pada pengurangan pola P+S

menjadi P dan P+(S) menjadi P, tanda kurung menunjukkan bahwa

keberadaan S dalam bahasa sumber bersifat implisit.

28

Terkadang kalimat bahasa Arab yang berpola P+S atau P+(S) mesti

mereduksi S-nya, sehingga menjadi P saja dalam bahasa Indonesia agar

menghasilkan terjemahan yang berterima. Kalimat imperatif bahasa Arab

meniscayakan adanya unsur S yang tersirat dalam verba. Sebagaimana contoh

dalam surah Al-Baqarah ayat 223 terdapat penggalan “ رث ك مأ ن شئ ت م ف أت واح ” fa’tu>

chartsakum anna> syi’tum yang diterjemahkan “maka datangilah tanah tempat

bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki”. Dengan teknik

reduksi, frasa “ف أت وا” fa’tu> cukup diterjemahkan menjadi “maka datangilah”

tanpa menghadirkan unsur S, yakni pronomina persona II jamak.

3) Strategi Transposisi (Transposition)

Strategi penerjemahan ini digunakan untuk menerjemahkan klausa

atau kalimat dan bersifat kondisional (Suryawinata, 2003: 68). Dengan strategi

ini penerjemah mengubah struktur asli BSu di dalam klausa dan kalimat BSa

untuk mencapai efek yang sepadan. Pengubahan ini dilakukan jika terdapat

perbedaan antara struktur BSu dan BSa yang wajar.

Pengubahan ini bisa pengubahan bentuk jamak ke bentuk tunggal,

posisi kata sifat, sampai pengubahan struktur kalimat secara keseluruhan.

Pemisahan satu kalimat BSa atau lebih, atau penggabungan dua kalimat BSu

atau lebih menjadi satu kalimat BSa juga termasuk di dalam strategi ini.

Dalam kondisi yang lain, transposisi juga bisa dilakukan karena pertimbangan

gaya bahasa atau stilistika (Newmark, 1988: 85; Suryawinata, 2003: 68).

Berikut ini adalah contoh penerapan strategi transposisi berupa pengubahan

bentuk jamak ke bentuk tunggal.

29

(11) BSu :

ق ام آيت ر ش ع ب م ن م ن ت ب ي ك ل ال غ اف ل ي

Man qa>ma bi‘asyri a>ya>tin lam yuktab minal-gha>fili>na (An-Nawawi, 2014: 107).

BSa :

Barang siapa yang shalat malam dengan membaca sepuluh ayat

maka ia tidak dicatat sebagai orang lalai (Hauro’, 2014: 61).

Pada contoh data 11 di atas terdapat penerapan strategi transposisi.

Kata “آيت” a>ya>tun yang berarti “ayat-ayat” merupakan bentuk jamak dari

kata “أية” a>yatun diterjemahkan dalam bentuk mufrad atau tunggal yaitu

“ayat”. Kemudian kata “ ن ال غ اف ل و ” al-Gha>filu>na yang berarti “orang-orang lalai”

merupakan bentuk jamak dari kata “ال غ اف ل” al-Ghafilu diterjemahkan dalam

bentuk mufrad atau tunggal yaitu “orang lalai”. Di sini penerjemah melakukan

pengubahan dari bentuk jamak dalam BSu menjadi bentuk tunggal dalam BSa.

Adapun penerapan strategi transposisi pada ranah struktur gramatikal,

peneliti mengabil penjelasan Burdah (2004: 85-98) tentang pembagian

kategori kalimat beserta cara penerjemahannya. Burdah membagi kalimat

dalam bahasa Arab berdasarkan tingkat kesulitan dan kemungkinan jalan

pemecahannya menjadi tiga kategori yaitu (1) kalimat sederhana, (2) kalimat

lengkap, dan (3) kalimat kompleks. Adapun penjelasannya adalah sebagai

berikut:

a) Kalimat Sederhana

Kalimat sederhana adalah kalimat yang memiliki struktur

gramatikal paling mininimal sebagai syarat pembentukan kalimat, yaitu

subjek dan predikat (Burdah, 2004: 85). Dalam bahasa Indonesia, sebuah

30

kalimat sederhana ini harus mengikuti pola S+P sedangkan dalam bahasa

Arab memiliki dua pola yaitu S+P (jumlah ismiyyah/ kalimat nominal) dan

P+S (jumlah fi‘liyyah/ kalimat verbal). Dengan demikian, kalimat dalam

bahasa Arab yang berpola P+S harus diubah menjadi pola S+P dalam

penerjemahannya. Pengubahan struktur ini terlihat dalam contoh berikut:

BSu :

.Chadhara’r-Rija>lu ( Burdah, 2004: 85) حضرالرجال

BSa :

Orang-orang itu telah datang ( Burdah, 2004: 85).

(bukan: telah datang orang-orang itu)

b) Kalimat Lengkap

Kalimat lengkap adalah kalimat yang memiliki struktur lebih

lengkap dari kalimat sederhana (Burdah, 2004: 87). Dalam bahasa

Indonesia, kalimat lengkap ini memiliki struktur S+P+O atau S+P+O+K.

Menurut (Burdah, 2004: 87) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan

ketika menerjemahkan kalimat lengkap sebagai berikut.

1. Struktur kalimat lengkap bahasa Arab yang memiliki pola S+P dan P+S,

dalam penerjemahannya harus disesuaikan dengan struktur kalimat bahasa

Indonesia yaitu pola S+P seperti contoh berikut:

BSu :

يقدمالدكتورحازمعرضاتارييالعلقةالشرقمعالغربYuqaddimu a’d-duktu>r Cha>zim ‘irdhan ta>ri>khiyyan li-‘ala>qati’sy-syarqi ma‘al-gharbi (Burdah, 2004: 87).

BSa :

Doktor Hazim menyampaikan paparan historis tentang relasi

Timur dan Barat (Burdah, 2004: 87).

(bukan: Menyampaikan Doktor Hazim paparan).

2. Kalimat pengkap bahasa Arab yang mengandung O (objek) dengan pola

S+P+O atau P+S+O diterjemahkan dengan menggunakan struktur kalimat

aktif dalam bahasa Indonesia. Sebagai contoh:

31

BSu :

مستقبلالعاللنعرفLa> na‘rifu mustaqbalal-‘a>lami (Burdah, 2004: 88).

BSa :

Kita tidak tahu masa depan dunia (Burdah, 2004: 88).

Adapun kalimat lengkap bahasa Arab dengan pola P+O+S dapat

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan struktur

kalimat aktif atau struktur kalimat pasif. Hal ini terlihat dalam contoh

berikut:

BSu :

.Sayanshuruna’l-La>h (Burdah, 2004: 88) سينصرنااهلل

BSa :

Kita akan ditolong Allah (Burdah, 2004: 88). (Atau: Allah akan menolong kita)

3. kalimat lengkap bahasa Arab dengan pola S+P+O+K bisa

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan pola S+P+O+K atau

K+S+P+O, seperti contoh berikut:

BSu :

الغربيرىنفسهمركزاللعالوالتاريخAl-gharbu yara nafsahu markazan lil-‘a>lami wa’t-ta>ri>khi (Burdah, 2004: 90).

BSa :

Barat memandang dirinya sebagai pusat dunia dan pusat

sejarah (Burdah, 2004: 90).

c) Kalimat Kompleks

Kalimat kompleks memiliki makna yang sepadan dengan istilah

‘kalimat bertingkat’, yakni satu kalimat yang bagiannya memiliki anak

kalimat (Burdah, 2004: 91). Variasi kalimat kompleks dan penjelasannya

yang terkait dengan penerjemahannya ke dalam bahasa Indonesia meliputi:

1) sifat berupa kalimat, 2) jeda/ sampiran (mu’taridhah), 3) kalimat syarat,

32

4) kalimat dengan bagian struktur berupa kalimat (Burdah, 2004: 91-98).

Berikut ini adalah contoh penerjemahan kalimat kompleks berupa kalimat

syarat:

BSu :

.man yazra‘ yachshud (Burdah, 2004: 96) منيزرعحيصد

BSa :

Barangsiapa menanam niscaya ia memanen (Burdah, 2004: 96).

b. Strategi Penerjemahan Semantis

Strategi semantis adalah strategi penerjemahan yang dilakukan dengan

pertimbangan makna. Strategi ini ada yang diterapkan pada tataran kata, frase

maupun klausa atau kalimat. Suryawinta (2003: 70-76) membagi strategi

penerjemahan semantis menjadi sembilan strategi, yaitu pungutan, padanan

budaya, padanan deskriptif dan analisis komponensial, sinonim, terjemahan

resmi, penyusutan dan perluasan, penambahan, penghapusan, dan modulasi.

Berikut penjelasan dari tiap jenis strategi ini.

1) Strategi Pungutan (Borrowing)/ Prosedur Naturalisasi dan Transferensi

Pungutan adalah strategi penerjemahan dengan cara membawa kata BSu

ke dalam BSa. Penerjemah sekadar memungut kata dalam BSu tanpa

mengubahnya sehingga strategi ini disebut pungutan. Strategi ini dilakukan

sebagai bentuk penghargaan terhadap kosakata dalam BSu atau dikarenakan

belum ada padanan dalam BSa. Strategi ini adalah usaha menstranfer pesan BSu

dengan mengadopsi kata BSu untuk diubah menjadi bentuk kata yang padan pada

BSa (Newmark, 1988: 82; Suryawinata, 2003: 70).

33

Suryawinata (2003: 71) menjelaskan bahwa pungutan meliputi

transliterasi dan naturalisasi/ adaptasi. Transliterasi adalah mempertahankan

kosakata BSu tersebut secara utuh, baik bunyi atau tulisannya. Sedangakan

naturalisasi adalah pengambilan kosakata dari BSu untuk BSa dengan adanya

penyesuaian secara ucapan dan tulisan dalam BSa. Strategi ini disebut juga

dengan transkripsi (Al-Farisi, 2011:63). Dalam menyerap istilah asing, menurut

Widayamartaya (1989: 63) pengubahan ejaan asing tersebut dilakukan seperlunya

saja sehingga bentuk Indonesianya masih dapat dibandingkan dengan bentuk

asalnya, misalnya kata “manajemen” berasal dari kata management, “bujet”

berasal dari kata budget, dan lain-lain.

Strategi pungutan ini biasanya digunakan untuk kata-kata atau frasa-frasa

yang berhubungan dengan nama orang, nama tempat, nama majalah, nama jurnal,

gelar, nama lembaga, dan istilah-isitilah pengetahuan yang belum ada di BSa

(Newmark, 1988: 82; Suryawinata, 2003: 71). Kemudian Alwi (1988: 23)

menyebutkan bahwa pengaruh kosa kata bahasa asing terhadap bahasa Indonesia

nerupakan hal yang lumrah dan tidak perlu dikhawatirkan selama tidak

disalahgunakan, justeru bahasa asing tersebut dapat memberikan sumbangan

untuk pengembangan bahasa nasional. Contoh transliterasi adalah kata “ت ب لي غ”

tabli>gh diterjemahkan menjadi “tabli>gh”, sedangkan contoh naturalisasi adalah

kata “م ص لى” mushalla> diterjemahkan menjadi “musala” (Al-Farisi, 2011: 77).

Adapun penerapan strategi pungutan ini terdapat pada data 12 berikut:

(12) BSu :

ان و اي ت م و ن ك الذ ي ن ت م ات و م ن خ ث :ث ل ع ن ه –س ل ي م ب ن ع رت اهلل ي ,-ر ض يف يم ص ر ق اض ف ة م ع او ي ة ل ع ن ه –خ اهلل ي -ر ض

34

Wa minal-ladzi>na ka>nu> yakhtimu>na tsala>tsa khatama>tin: Sulaimu-bnu ‘Itr -radhiyalla>hu ‘anhu- qa>dhi> Mishra fi> khila>fati Mu‘a>wiyata - radhiyalla>hu ‘anhu- (An-Nawawi, 2014: 100).

BSa :

Yang mengkhatamkan tiga kali: Salim bin Itr radhiyalla>hu ‘anhu,

hakim Mesir pada masa pemerintahan Mu‘awiyah radhiyalla>hu ‘anhu (Hauro’, 2014: 53).

Pada data 12 di atas terdapat penerapan strategi pungutan berupa

transkripsi dan transliterasi. Transkripsi terdapat pada nama tempat yaitu kata

“ mishra diterjamahkan menjadi “Mesir”. Kata tersebut sudah disesuaikan ”م ص ر

dengan ejaan dalam bahasa Indonesia. Kemudian transliterasi terdapat pada nama

orang dan gelar yaitu “ ع رت ب ن اهلل –س ل ي م ي ع ن ه ر ض ” Sulaimu-bnu ‘Itr -radhiyalla>hu

‘anhu- diterjemahkan menjadi Salim bin Itr radhiyalla>hu ‘anhu , dan nama “ م ع او ي ة”

Mu‘a>wiyata diterjemahkan dengan “Mu‘awiyah”.

2) Strategi Padanan Budaya (Cultural Equivalent)

Setiap bahasa memiliki kekhasan budaya masing-masing. Untuk

mendapatkan terjemahan yang akurat, seorang penerjemah tidak hanya mencari

padanan kosakata tetapi juga mencari padanan budaya dalam BSa. Hal utama

yang perlu diperhatikan adalah kata yang khas budaya BSu diganti dengan kata

yang juga khas di dalam BSa (Newmark, 1988: 83; Suryawinata, 2003: 72).

Newmark (1988: 95) berpendapat bahwa kebanyakan kata-kata “budaya”

mudah untuk dideteksi, yaitu ketika kata tersebut tidak dapat diterjemahkan secara

literal dan hasil terjemahan dapat juga berupa padanan deskriptif. Adapun

Newmark (1988: 95) membagi kosakata yang berkonotasi budaya ke dalam

beberapa kategori berikut:

35

a. Ecology (Ekologi)

Pada umumnya, keistimewaan bentuk geografis dapat dibedakan dari

istilah budaya lain yang merupakan istilah umum, politis, dan komersial.

Hal itu tergantung pada kepentingan tiap negara dalam mengelompokkan

istilah budaya tersebut secara spesifik. Contoh budaya ekologi adalah

seperti jenis flora, fauna, angin, lembah, dan gunung (Newmark: 1988:

95-96). Di dalam bahasa Arab, Al-Farisi (2011: 140) mencontohkan

kosakata budaya berkenaan dengan unta, seperti (1) “سليل” sali>lun yaitu

“anak unta yang belum jelas jantan atau betina”, (2) “سبق” sabqun yaitu

“anak unta jantan”, dan lain sebagainya.

b. Material Culture (Material Budaya/ Artefak)

Material budaya/ artefak dapat berupa istilah mengenai makanan,

pakaian, perumahan, dan transportasi (Newmark: 1988: 95). Di dalam

bahasa Arab, Al-Farisi (2011: 140) mencontohkan kata yang

berhubungan dengan pakain “عمامة” ima>matun yaitu “serban” dan “جلباب”

jilba>bun yaitu “jilbab”.

c. Social Culture (Budaya Sosial)

Hal yang berkaitan dengan budaya sosial dapat dibedakan menjadi

masalah terjemahan makna denotatif dan konotatif (Newmark: 1988: 98).

Adapun yang dimaksud dengan makna denotasi dalam KBBI (2008: 341)

adalah arti yang tegas tanpa ada kiasan atau makna tambahan. Sedangkan

makna konotatif dalam KBBI (2008: 748) adalah perkataan yang

memiliki makna tambahan/konotasi. Adapun contoh dalam bahasa Arab,

Al-Farisi (2011: 140) mengambil contoh istilah “الر ماد -katsi>ru’r ”كثري

36

ruma>di yang memiliki arti literal “banyak abu”. Ungkapan ini diberikan

kepada orang yang memiliki sifat dermawan sebagai bentuk

penghormatan kepadanya, sehingga istilah “الر ماد katsi>ru’r-ruma>di ”كثري

lebih tepat bila diterjemahkan menjadi “orang yang dermawan”.

d. Organisations, Customs, Activities, Procedures, and Concepts

(Organisasi, Adat-istiadat, Aktivitas, Prosedur, dan Konsep)

Newmark (1988: 99) menjelaskan bahwa kehidupan politik dan sosial

dalam sebuah negara tergambarkan dengan penggunaan istilah-istilah

institusi. Seperti istilah untuk gelar kepala negara “President, King”

(Presiden, Raja). Sebagaimana Suryawinata (2003: 72) menerjemahkan

istilah “Jaksa Agung” menjadi “Attorney General” bukan “Great

Attorney”. Adapun di dalam bahasa Arab, istilah “مشرك” musyrikun

diartikan menjadi “orang musyrik/ musyrik” dengan menambahkan

catatan penjelas berupa “orang yang menyekutukan Allah”.

e. Gestures and Habits (Sikap dan Kebiasaan)

Sikap dan kebiasaan terdapat sebuah perbedaan antara deskripsi dan

fungsi yang dapat menentukan kapan sebuah ungkapan itu dibutuhkan

dalam kasus yang ambigu. Seperti jika seseorang tersenyum sedikit saat

seseorang meninggal (Newmark, 1988: 102). Adapun Al-Farisi (2011:

141) memberikan contoh ungkapan penyesalan dalam kebiasaan

masyarakat Arab, yaitu “كفيه yuqallibu kaffaihi yang bermakna ”يقلب

“membolak-balikkan kedua tangan”. Di dalam norma masyarakat

Indonesia, dikenal dengan kebiasaan mengelus dada.

37

Adapun hasil terjemahan dapat berupa terjemahan sementara dari bentuk

BSu yang tidak memiliki terjemahan konvensional pada BSa. Strategi ini muncul

sebagai solusi untuk mencari ketepatan makna (Newmark, 1988: 90; Suryawinata,

2003: 72). Sehingga strategi padanan budaya ini dapat disebut sebagai prosedur

penerjemahan label karena penerjemah memberikan terjemahan sementara untuk

mencari padanan yang pas untuk kata BSu. Contoh penerapan strategi

penerjemahan padanan budaya terlihat pada data 13 berikut:

(13) BSu :

ن ة إ ل أ ش د أ ذ ن ااهلل ال ق ي ب ص اح م ن ب ال ق ر آن ال س ن الصو ت الرج ل ق ي ن ت ه إ ل

Alla>hu asyaddu adzanan ila’r-rajulil-chasani’sh-shauti bil-qur’a>ni min sha>chibil-qainati ila> qainatihi (An-Nawawi, 2014: 140).

BSa : Allah sangat senang mendengarkan seseorang yang membaca al-

Qur’an dengan suara merdu daripada seseorang yang

mendengarkan biduanitanya menyanyi (Hauro’, 2014: 105)

Pada data 13 di atas kata “ن ة Qainatun diterjemahkan menjadi ”ق ي

“biduanita”. Dalam kamus Al-Munawwir (1997: 1180) dan kamus Al-Wasith

(2011: 799) kata tersebut berarti “budak dan penyanyi wanita”. Dalam budaya

Arab, kata tersebut mengandung unsur budaya bahwa penyanyi wanita tersebut

dimiliki oleh seseorang sehingga juga bermakna budak. Oleh karena itu,

penerjemah memilih kata “biduanita” sebagai padanan dalam bahasa Indonesia.

Al-Farisi (2011: 64) memberikan contoh penerapan penerjemahan

padanan budaya ini pada penerjemahan pribahasa yaitu “ن ائن الك ت ل الر م اء ”ق ب ل

qabla’r-rima>i tamla’ul-kana>ini terjemahannya adalah “sebelum memanah isi

dahulu tabung anak panah”, lebih berterima jika diterjemahkan menjadi “sedia

payung sebelum hujan”. Terjemahan ini lebih dikenal dan mudah dipahami

38

daripada terjemahan harfiah. Struktur lahir keduanya memang berbeda, tetapi

struktur batin keduanya jelas sama. Strategi penerjemahan padanan budaya sangat

cocok digunakan untuk menerjemahkan pribahasa.

3) Strategi Padanan Deskriptif (Descriptive Equivalent) dan Analisis

Komponensial (Componential Analysis)

Strategi padanan deskriptif adalah cara penerjemahan dengan berusaha

mendeskripsikan makna atau fungsi dari kata BSu. Strategi ini dilakukan karena

kata dalam BSu tersebut sangat terkait dengan budaya khas BSu dan penggunaan

padanan budaya dirasa tidak bisa mencapai derajat ketepatan yang dikehendaki

sehingga diperlukan tambahan deskripsi. Dalam padanan deskriptif ini

penerjemah biasanya menambahkan daftar kata-kata atau glossary (Suryawinata,

2003: 73; Newmark, 1988: 83-84). Penerapan strategi deskriptif ini terdapat pada

data 14 berikut:

(14) BSu :

اأ ر ب ع ,س اع ات ه :آن اء اللي ل د ه و اح إ ن و:ل غ ات و يف و إ ن و و أ ن إ ن

A<na>’al-laili: sa>‘a>tuhu, wa fi> wa>chidiha> arba‘u lugha>tin: ina> wa ana> wa inyun wa inwun (An-Nawawi, 2014: 222).

BSa :

A>na>al-lail: waktu-waktu malam, bentuk tunggalnya ada empat

variasi bahasa yaitu ina>, ana>, inyun, dan inwun (Hauro’, 2014:203).

Pada data 14 di atas, penerjemah menerjemahkan frasa dalam BSu

disertai dengan deskripsi, yaitu “ اللي ل a>na>’al-laili diterjemahkan dengan ”آن اء

“waktu-waktu malam”. Pada data ini penerjemah menerjemahkan bab “akurasi

bahasa” dalam buku TACQ.

39

Strategi analisis komponensial adalah menerjemahkan sebuah kata dalam

BSu dengan cara menganalisis atau merinci komponen makna yang terkandung

dalam kata BSu. Strategi analisis komponensial ini digunakan untuk

menerjemahkan kata-kata umum bukan yang berkaitan dengan budaya

(Suryawinata, 2003: 73).

Strategi analisis komponensial ini mencoba untuk membandingkan kata

BSu dengan kata BSa yang memiliki kesamaan makna tetapi bukan mencari

padanan satu per satu. Pertama yang dilakukan adalah mencari keumuman kata

lalu membedakan komponen-komponennya. Secara normal, kata BSu memiliki

makna yang lebih spesifik daripada kata BSa. Maka penerjemah diharuskan untuk

menambah satu ada dua komponen BSa untuk menyepadankan kata BSu dan juga

menghasilkan pendekatan makna yang tepat (Newmark, 1988: 114).

Adapun komponen makna yang dimaksud menurut Newmark (1988: 114-

115) adalah; pertama, sebagai komponen unit leksikal yang dapat berupa makna

referensial dan/atau pragmatik. Secara komprehensif, kata BSu dapat dibedakan

dengan kata BSa dari segi komposisi, ukuran, dan fungsi referensial, dan dapat

juga dengan dilihat dari konteks budaya dan konotasi kata tersebut. Sehingga

dalam pengaruhnya terhadap makna pragmatik adalah bergantung pada bunyi

komposisi kata BSa yang dipakai. Adapun kedua, sebagai komponen makna

semantik karena beberapa kata BSu dan BSa yang dianalisis akan menunjukkan

hasil diagnosa komponen berupa keumuman dan perbedaan komponen. Adapun

contoh dapat dilihat pada data 15 berikut:

(15) BSu :

ق ام ال م ق ن ط ر ي ن ة آي ف ل أ ب و م ن م ن ك ت ب

40

Wa man qa>ma bi’alfi a>yatin kutiba minal-muqanthari>na (An-Nawawi, 2014: 107).

BSa : Dan barang siapa yang shalat malam dengan membaca seribu ayat

maka ia dicatat sebagai orang yang mendapat pahala berlimpah

ruah (Hauro’, 2014: 61).

Pada data 15 di atas, analisis makna komponensial terdapat pada

penerjemahan kata “ ن ال م ق ن ط ر و ”al-muqantharu>na dengan komponen-komponen

makna yang terdapat dalam kata tersebut yaitu “orang yang mendapat pahala

berlimpah ruah”.

4) Strategi Sinonim (Synonym)/ Prosedur Sinonim dan Prosedur Padanan

Fungsional

Newmark (1988: 84) menjelaskan bahwa strategi sinonim adalah strategi

yang diterapkan penerjemah untuk mendekatkan padanan BSa kepada BSu dalam

sebuah konteks. Strategi ini digunakan pada kata BSu yang tidak dapat

diterjemahkan dengan terjemahan padan “satu per satu/ one to one”. Artinya

strategi ini akan lebih tepat digunakan ketika terjemahan literal tidak sesuai untuk

digunakan dalam menerjemahkan kata BSu itu dan ketika kata BSu tersebut

termasuk kata yang tidak terlalu penting bila diterjemahkan dengan menggunakan

strategi analisis komponensial.

Strategi sinonim ini juga merupakan strategi fungsional. Newmark (1988:

83) menjelaskan bahwa strategi fungsional adalah menerjemahkan kata BSu

dengan padanan yang fungsional/ sesuai kegunaannya –yakni diterjemahkan

dengan pendekatan kata yang memiliki makna dan fungsi yang sama dengan kata

BSu. Dikatakan demikian karena apabila kata tersebut diterjemahkan satu per satu

41

maka akan terjadi ketakterjemahan. Penerapan strategi sinonim ini terdapat pada

data 16 berikut:

(16) BSu :

ق ام و م ن م ن ك ت ب ب ائ ة آي ة ال ق ان ت ي

Wa man qa>ma bimiati a>yatin kutiba minal-qa>niti>na (An-Nawawi, 2014: 107).

BSa :

Barang siapa yang shalat malam dengan membaca seratus ayat

maka ia dicatat sebagai orang yang bertakwa (Hauro’, 2014: 61).

Pada data 16 di atas, penerjemah melakukan strategi sinonim untuk

menerjemahkan kata “ ن ت و ال ق ان ” al-qa>nitu>na yang berarti “orang-orang yang taat”

(Munnawir, 1997: 1161) dengan “orang yang bertakwa”. Penerjemah melihat

bahwa kata “taat” bisa disamakan dengan kata “takwa”.

5) Strategi Terjemahan Resmi/ Prosedur Terjemahan Resmi

Terjemahan resmi adalah strategi penerjemahan menurut pedoman yang

telah dibakukan (Suryawinata, 2003: 74). Untuk itu, penerjemah yang

mengerjakan naskah dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia perlu memiliki

“Pedoman PengIndonesiaan Nama dan Kata Asing” yang dikeluarkan oleh Pusat

Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Depdikbud R.I. Sebagai contoh “read-

only memory” diterjemahkan menjadi “memori simpan tetap” di dalam buku

pedoman tersebut. Penerjemah juga bisa mengecek secara online di

www.kateglo.com., yang berisikan data lengkap kata baku bahasa Indonesia.

Adapun contoh dalam kamus Al-Munawwir (2007: 959), yaitu terjemahan dari

istilah “Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/AKABRI” yang diterjemahkan

menjadi “الندونيسية املسل حة القو ة -Aka>di>miyyatul-Quwwatil-Musallachatil ”أكادميي ة

Indu>ni>siyyati .

42

6) Strategi Penyusutan dan Perluasan

Newmark (1988: 90) dan Suryawinata (2003: 74) menjelaskan bahwa di

dalam menerjemahkan, penerjemah dapat melakukan strategi penyusutan

(Reduction) dan strategi perluasan (expansion) terhadap kata BSu. Strategi

penyusutan (Reduction) adalah strategi yang berusaha menyusutkan komponen

kata BSu. Sedangkan strategi perluasan (expansion) adalah strategi yang

memperluas kata BSu di dalam BSa. Suryawinata (2003: 74) memberikan contoh

perluasan pada penerjemahan kata “while” menjadi “ikan paus”. Di dalam contoh

ini elemen “ikan” ditambahkan karena kalau diterjemahkan “paus” saja kurang

baik. Di dalam bahasa Indonesia “Paus” berarti pemimpin umat Katolik sedunia,

atau “The Pope” dalam bahasa Inggris. Adapun contoh lain dapat dilihat pada

data 17 berikut:

(17) BSu:

ث ب ث ل أ و ت ر م ن ع ات رو ي ق ر أ ك ع ة األ و ل الرك األ ع ل ى)يف اس م ر بك (س بح

Wa yaqra’u man autara bitsala>tsi raka‘a>tin fi’r-rak‘atil-u>la (sabbichisma rabbikal-‘a‘la>) (An-Nawawi, 2014: 204)

BSa :

Ketika melaksanakan shalat witir tiga rakaat, rakaat pertama

membaca surah Al-A‘la> (Hauro’, 2014: 182).

Pada contoh data 17 di atas, penerjemah melakukan perluasan pada

potongan ayat yang menunjukkan nama surah “ األ ع ل ى) ر بك اس م (س بح ” (sabbichisma

rabbikal-‘a‘la>) yaitu diterjemahkan sebagai “surah Al-A‘la>”. Penambahan kata

“surah” merupakan pilihan bagi penerjemah sebagai upaya untuk memperluas

terjemahan dan bentuk penegasan pada makna potongan ayat tersebut sebagai

sebuah surah.

Sedangkan penyusutan terdapat dalam penerjemahan “ األ ع ل ى) ر بك اس م (س بح ”

(sabbichisma rabbikal-‘a‘la>) dengan kata “Al-A‘la>”. Penerjemah memilih kata

43

“Al-A‘la>” untuk mewakili kalimat “ األ ع ل ى) ر بك اس م (س بح ” (sabbichisma rabbikal-

‘a‘la>).

7) Strategi Penambahan/ Prosedur Penambahan dan Prosedur Parafrase

Strategi penambahan di sini berbeda dengan strategi penambahan pada

strategi struktural. Penambahan di sini dilakukan untuk memperjelas makna.

Penerjemah menambahkan informasi pada terjemahannya karena dirasa informasi

tersebut dibutuhkan oleh pembaca. Prosedur ini biasanya digunakan untuk

membantu menerjemahkan kata-kata yang berhubungan dengan budaya, teknis,

atau bahasa yang membutuhkan penjelasan lebih lanjut (Newmark, 1988: 91;

Suryawinata, 2003: 74).

Al-Farisi (2011:82) menjelaskan penambahan bisa berupa penambahan

informasi dalam BSa yang sebenarnya tidak ada dalam BSu dengan harapan teks

terjemahan lebih berterima, mudah dipahami, dan tidak ambigu. Strategi semantis

penambahan memiliki kesamaan fungsi dengan prosedur parafrase, yaitu dalam

hal pengungkapan makna tetapi tidak merubahnya. Newmark (1988: 90)

menjelaskan bahwa prosedur parafrase adalah amplifikasi atau penjelasan

mengenai makna bagian dalam teks BSu. Adapun contoh penerapan strategi

penambahan ini terdapat pada data 18 tersebut:

(18) BSu :

ق ام آيت ر ش ع ب م ن ال غ اف ل ي م ن ت ب ي ك ل

Man qa>ma bi‘asyri a>ya>tin lam yuktab minal-gha>fili>na. (An-Nawawi, 2014: 107)

BSa :

Barang siapa yang shalat malam dengan membaca sepuluh ayat

maka ia tidak dicatat sebagai orang lalai (Hauro’, 2014: 61).

44

Pada contoh data 18 di atas, penerjemah menambahkan kata “membaca”

pada BSa untuk memperjelas makna yang dimaksud dalam BSu.

8) Strategi Penghapusan (Omission atau Deletion)

Penghapusan di sini maksudnya adalah penerjemah tidak menerjemahkan

sebagian teks atau kata dalam BSu ke dalam BSa dengan pertimbangan bahwa

kata dalam BSu tersebut tidak terlalu penting bagi keseluruhan teks BSa atau

dampaknya akan menimbulkan kebingungan bagi pembaca apabila diterjemahkan.

Hal ini juga berdasarkan pertimbangan bahwa kata tersebut juga sulit untuk

diterjemahkan dan tidak terlalu menimbulkan perbedaan makna yang signifikan

(Suryawinata, 2003: 75). Seperti contoh berikut:

(19) BSu :

ات ب ا ب ن ال ك ع ن ه –ك ان اهلل ي ار -ر ض ات م ت خ ع ب ر أ و ب اللي ل ,ات م ت خ ع ب ر أ ي ت م ب الن ه

Ka>na Ibnul-Ka>tib –radhiyalla>hu <<<<<<<< ‘anhu – yakhtimu bin-naha>ri arba‘a khatama>tin wa bil-laili arba‘a khatama>tin (An-Nawawi, 2014: 100)

BSa :

Ibnul-Ka>tib -radhiyalla>hu <<<<<<<< anhu- mengkhatamkan al-Qur’an empat kali pada waktu siang dan empat kali pada waktu malam (Hauro’,

2014: 54).

Pada contoh data 19 di atas, penerjemah menghapus kata “ ان Ka>na ”ك

di dalam teks BSa. Kata “ ان Ka>na yang memiliki arti “ada” tidak ”ك

diterjemahkan oleh penerjemah karena keberadaan kata tersebut tidak

memengaruhi penyimpangan makna pada teks BSa. Pesan dari BSu tetap

tersampaikan dengan baik walaupun tanpa menerjemahkan kata tersebut.

45

9) Strategi Modulasi

Modulasi adalah strategi untuk menerjemahkan frase, klausa atau kalimat

dengan cara mengubah sudut pandang, fokus, atau kategori kognitif dalam

kaitannya dengan BSu (Suryawinata, 2003: 75; Newmark, 1988: 88; Al-Farisi,

2011: 68). Perubahan ini bersifat leksikal ataupun gramatikal. Variasi perubahan

sudut pandang tersebut bisa berupa abstrak menjadi konkret, sebab menjadi

akibat, aktif menjadi pasif, ruang menjadi waktu dan semacamnya. Sementara itu

Machali (2009: 98) menjelaskan bahwa modulasi ada kalanya berupa pergeseran

struktur seperti pada prosedur transposisi yang menyangkut pergeseran makna

karena terjadi perubahan perspektif, sudut pandang atau sisi maknawi lainnya.

Contoh penerapan strategi modulasi terdapat dalam data 20 berikut:

(20) BSu :

أ ر ب ع ي س ك ت ر ية أ ن ة ال ه الصل يف م ام ل ل ت ح ب ال ق ي ام ات ت ك س ي س ح ال يف

Yustachabbu lil’ima>mi fi’sh-shala>til-jahriyyati an yaskuta arba‘a sakata>tin fi> cha>lil-qiya>mi (An-Nawawi, 2014: 162).

BSa :

Empat tempat imam diam sejenak (Hauro’, 2014: 133).

Pada data 20 di atas, penerjemah melakukan strategi modulasi bebas yaitu

menerjemahkan BSu ke dalam BSa dengan mengambil substansi BSu kemudian

diungkapkan dengan bebas/tidak berpatokan pada struktur BSu. Penerjemah

melakukan menerjemahkan kalimat lengkap dalam BSu menjadi frasa dalam BSa.

Cara ini menunjukkan bahwa penerjemah berfikir secara out of the box / keluar

konteks dan memilih sudut pandang yang berbeda sehingga dapat digolongkan

sebagai penerapan strategi modulasi.

46

F. Sumber Data

Sumber data merupakan segala sesuatu yang bisa memberikan informasi

yang sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer

penelitian ini diperoleh dari objek material peneliti yaitu buku At-Tibyān fi> Ādābi

Chamalatil-Qur’a>n karya Imam Muhyiddin Abu Zakarya Bin Syarif An-Nawawi

yang biasa dikenal dengan sebutan Imam An-Nawawi yang diterbitkan oleh

Maktabah Ibn ‘Abba>s, Manshu>rah tahun 2014. Ditambah dengan buku

terjemahnya yang berjudul At-Tibyān Adab Penghafal Al-Qur’an yang

diterjemahkan oleh Umniyyati Sayyidatul Hauro’, Shafura Mar’atu Zuhda, dan

Yuliana Sahadatilla. Buku terjemahan ini diterbitkan oleh Al-Qawam, Sukoharjo

tahun 2014. Data-data tamyi>z diambil dari muqaddimah sampai bab terakhir atau

bab 10 dalam buku tersebut.

Adapun data sekunder penelitian ini diperoleh dari beberapa kamus,

seperti kamus Al-Munawwir, kamus Al-Maurid, Al-Wasith, KBBI, Al-Qur’an

dan terjemahannya. Beberapa kamus tersebut digunakan untuk mencocokkan hasil

terjemahan penerjemah dengan kosakata yang ada di dalam kamus sehingga bisa

diketahui strategi yang digunakan oleh penerjemah dalam menerjemahkan tamyi>z.

Adapun sumber lain adalah berupa data-data yang bersumber dari buku dan hasil

penelitian yang berhubungan serta dapat menunjang penelitian ini.

47

G. Metode dan Teknik

1. Metode Penelitian

Metode penelitian didefinisikan sebagai suatu kegiatan ilmiah yang

terencana, terstruktur, sistematis, dan memiliki tujuan tertentu baik praktis

maupun teoretis (Raco, 2010: 5). Dikatakan sebagai ‘kegiatan ilmiah’ karena

penelitian dengan aspek ilmu pengetahuan dan teori. ‘Terencana’ karena

penelitian harus direncanakan dengan memerhatikan waktu, dana dan aksesbilitas

terhadap tempat dan data.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan tiga macam metode

yang diterapkan, yaitu penelitian kualitatif deskriptif, terpancang, dan studi kasus

tunggal. Pertama, Subana (2011: 17) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif

bersifat deskriptif karena data yang dianalisis tidak untuk menerima atau menolak

hipotesis, melainkan hasil analisis itu berupa deskripsi dari gejala-gejala yang

diamati dan tidak harus berbentuk angka-angka atau koefisien antarvariabel.

Dalam penelitian ini, peneliti membahas tentang bentuk penerjemahan tamyi>z dan

strategi penerjemahan tamyi>z dalam buku TACQ untuk kepentingan akademis

dan untuk mendeskripsikan secara rinci pokok permasalahan tersebut.

Kedua, penelitian ini disebut penelitian terpancang karena peneliti telah

memfokuskan penelitian sebelumnya yakni terkait analisis bentuk penerjemahan

tamyi>z dan strategi penerjemahan tamyi>z. Dengan demikian, peneliti telah

membekali diri dan mampu mengidentifikasi permasalahan yang akan diteliti.

Ketiga, penelitian ini merupakan studi kasus tunggal karena penelitian

dilakukan pada objek material yang sama yaitu buku TACQ dalam versi bahasa

Arab dan bahasa Indonesia.

48

2. Teknik Penelitian

a. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang diterapkan dalam penelitian ini adalah

teknik simak dan catat. Sutopo (2002: 58) menjelaskan bahwa ada dua

metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif. Pertama, metode

noninteraktif yang meliputi kuesioner, mencatat dokumen dan arsip. Kedua,

metode interaktif yang meliputi wawancara mendalam, observasi berperan

dalam beberapa tingkatan, dan focus group discussion (FGD).

Adapun pada penelitian ini, peneliti menggunakan metode

noninteraktif dengan tahapan; Pertama, mencari data tamyi>z dalam BSu.

Kedua, mencari terjemahan data tamyi>z dalam buku terjemahannya. Ketiga,

mengelompokkan data tamyi>z tersebut sesuai dengan jenisnya. Keempat,

mencermati secara saksama antara BSu dan BSa dalam data tamyi>z tersebut

dan menganalisis bentuk penerjemahannya. Kelima, menentukan strategi

penerjemahan yang digunakan oleh penerjemah berdasarkan teori strategi

penerjemahan yaitu strategi struktural dan strategi semantis. Dalam tahap

mencermati antara BSu dan BSa diperlukan kamus untuk mengetahui makna

leksikal suatu kata. Hasil pengumpulan data ditemukan 39 data tamyi>z.

b. Teknik Cuplikan (Sampling)

Sutopo (2002: 55) menjelaskan mengenai teknik cuplikan adalah

pembatasan jumlah dan jenis dari sumber data yang akan digunakan dalam

penelitian. Dalam penelitian kualitatif, peneliti menyeleksi data yang

dianggap perlu dan bisa mewakili informasi yang dibutuhkan. Adapun

penerapan teknik cuplikan pada penelitian ini berdasarkan kriteria tamyi>z

49

dalam bahasa Arab kemudian dikelompokkan berdasarkan jenis tamyi>z-nya

Data tersebut sudah mengarah pada usaha generalisasi dari hasil

pengelompokan data untuk menjawab permasalahan pada rumusan masalah

satu mengenai bentuk penerjemahan tamyi>z dan rumusan masalah dua

tentang prosentase strategi penerjemahan yang diterapkan penerjemah dalam

menerjemahkan tamyi>z.

c. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teori analisis data milik Miles (1994:10)

yang telah memberikan definisi bahwa analisis data terbagi dalam tiga

aktivitas, yaitu reduksi data, penyajian data, dan kesimpulan/verifikasi data.

Berikut penerapannya dalam penelitian ini.

c.1. Reduksi Data (Data Reduction)

Pada tahapan reduksi data, peneliti harus melakukan penyeleksian dan

penyederhanaan data. Miles (1994:11) menjelaskan bahwa data kualitatif

dapat direduksi dan ditransformasikan ke dalam beberapa cara; penyeleksian,

kesimpulan, atau penafsiran, yang kemudian menghasilkan rumus besar

mengenai hasil analisis data yang dilakukan peneliti.

Fokus permasalahan pada penelitian ini adalah bentuk penerjemahan

tamyi>z dan strategi penerjemahan tamyi>z. Reduksi data yang diberlakukan

pada rumusan masalah satu, adalah penyeleksian data tamyi>z dalam buku

TACQ dan data terjemahnnya. Kemudian data yang dimasukkan ke dalam

pembahasan rumusan masalah pertama adalah satu sampel data tamyi>z

berserta terjemahannya untuk dianalisis secara mendalam pada masing-

masing bentuk penerjemahannya.

50

Adapun proses reduksi data untuk rumusan masalah kedua adalah

berasal dari data yang sudah diklasifikasikan jenis strategi penerjemahannya.

Kemudian dari 39 data yang telah diklasifikasi, diambil satu sampel data

untuk bab pembahasan. Sampel tersebut disertai dengan alasan yang

mendukung hasil pengklasifikasian data.

c.2. Penyajian Data (Data Display)

Penyajian data adalah suatu proses organized (pengelompokan) dan

compressed (meringkas) informasi-informasi yang dapat dijadikan sebagai

kesimpulan (Miles, 1994: 11).

Setelah data melalui tahap pereduksian, maka akan diperoleh hasil

berupa pengelompokkan data. Data pada rumusan masalah pertama disajikan

dalam tabel pengelompokan tamyi>z dan bentuk terjemahannya, serta tabel

kalimat berdasarkan struktur, jenis kalimat dan bentuk terjemahannya.

Adapun data rumusan masalah kedua yaitu strategi penerjemahan disajikan

dalam tabel strategi penerjemahan dengan menampilkan jumlah data pada

masing-masing strategi disertai dengan prosentasenya.

c.3. Kesimpulan/Verifikasi (Conclusion Drawing/Verification)

Verifikasi adalah membuktikan kebenaran data berdasarkan hasil

penelitian di lapangan (Miles, 1994: 11). Pada penelitian ini, pembuktian

kebenaran dibantu dengan teknik trianggulasi data. Menurut Sutopo (2002:

80) bahwa untuk menarik kesimpulan pada data, dibutuhkan lebih dari satu

sudut padang. Sehingga dari beragam bentuk tersebut, seseorang memiliki

data yang lengkap dan mampu menyimpulkan data tersebut dengan baik.

51

Adapun jenis trianggulasi data yang diterapkan pada penelitian ini adalah

trianggulasi peneliti.

Sutopo (2002: 81) menjelaskan bahwa trianggulasi peneliti adalah

cara menguji validitas hasil penelitian dengan melihat pandangan peneliti-

peneliti lain. Adapun terapan teknik trianggulasi peneliti yang dilakukan

adalah dengan memanfaatkan peneliti-peneliti lain atau dosen penelaah untuk

memantapkan hasil penelitian. Telaah yang diberikan berupa sudut pandang

dan tafsiran baru mengenai hasil penelitian. Informasi yang diberikan oleh

penelaah dapat berupa masukan atau kritikan mengenai hasil penelitian yang

telah dilakukan.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan laporan penelitian ini disajikan dalam empat bab.

BAB I, yaitu PENDAHULUAN. Pada bab ini, terdapat latar belakang

penulisan laporan penelitian yang berisi pula tinjauan pustaka dan manfaat

penelitian, rumusan masalah, tujuan pembahasan, pembatasan masalah, kajian

teori, sumber data, metode dan teknik, dan sistematika penulisan.

BAB II, yaitu BENTUK PENERJEMAHAN TAMYĪZ.

BAB III, yaitu STRATEGI PENERJEMAHAN TAMYĪZ.

BAB IV, yaitu PENUTUP yang berupa kesimpulan dan saran.

DAFTAR PUSTAKA, yaitu berupa lampiran pustaka-pustaka yang

digunakan saat penelitian berlangsung.

LAMPIRAN, yaitu berupa lampiran data-data pendukung penelitian.