29
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Globalisasi menciptakan hubungan yang lebih dinamis bagi kerjasama antar negara, memberikan peluang sekaligus tantangan bagi komunitas negara-negara di dunia. Globalisasi telah memudarkan batas-batas geografis antarnegara seiring dengan meningkatnya kerjasama ekonomi, politik, keamanan dan kerjasama lain baik dalam kerjasama bilateral, regional maupun multilateral. 1 Dengan perkataan lain, di era globalisasi, kerjasama dan diplomasi antarnegara merupakan hal yang niscaya terjadi, bahkan menjadi sebuah tren. Sadar akan kuatnya arus globalisasi, negara-negara yang berada di kawasan Asia Tenggara pada giliranya bersepakat untuk membentuk sebuah badan kerjasama antarnegara yang bernama Association South East Asia Nations (ASEAN). Asosiasi Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara ini didirikan pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok, Thailand, yang ditandai dengan penandatanganan Deklarasi ASEAN (atau Deklarasi Bangkok) 2 oleh para pendiri ASEAN, yakni Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand. Kemudian Brunei Darussalam bergabung pada tanggal 7 Januari 1984, Vietnam pada tanggal 1 Armanatha Nasir, Kesiapan Diplomasi Ekonomi Indonesia dalam Perdagangan Multilateral, dalam Menjinakkan Metakuasa Global; Suara Indonesia Untuk Globalisasi Yang Lebih Adil, Imam Cahyono (Ed), Kerjasama Prakarsa dan LP3ES, Jakarta, Desember 2008. Hal. 155. 2 Dalam Deklarasi Bangkok tersebut termuat tujuan-tujuan dibentuknya ASEAN yang ringkasannya adalah sebagai berikut: 1) Mempercepat pertumbuhan ekonomi, 2) Meningkatkan perdamaian dan stabilitas regional. 3) Meningkatkan kerjasama aktif dalam berbagai bidang, 4) Saling memberikan bantuan dalam pendidikan dan bidang lain, 5) Bekerjasama secara lebih efektif guna meningkatkan pemanfaatan pertanian dan industri, 6) Memajukan kajian Asia Tenggara, dan 7). Memelihara kerjasama internasional, lihat, Ade Maman Suherman, Organisasi Internasional dan Integrasi Ekonomi Regional Dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003, hal 142.

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAHetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/95104/potongan/S2-2016... · MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) merupakan pilar yang cukup menarik untuk

  • Upload
    lamngoc

  • View
    221

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Globalisasi menciptakan hubungan yang lebih dinamis bagi kerjasama antar

negara, memberikan peluang sekaligus tantangan bagi komunitas negara-negara di

dunia. Globalisasi telah memudarkan batas-batas geografis antarnegara seiring

dengan meningkatnya kerjasama ekonomi, politik, keamanan dan kerjasama lain

baik dalam kerjasama bilateral, regional maupun multilateral.1 Dengan perkataan

lain, di era globalisasi, kerjasama dan diplomasi antarnegara merupakan hal yang

niscaya terjadi, bahkan menjadi sebuah tren.

Sadar akan kuatnya arus globalisasi, negara-negara yang berada di kawasan

Asia Tenggara pada giliranya bersepakat untuk membentuk sebuah badan

kerjasama antarnegara yang bernama Association South East Asia Nations

(ASEAN). Asosiasi Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara ini didirikan

pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok, Thailand, yang ditandai dengan

penandatanganan Deklarasi ASEAN (atau Deklarasi Bangkok)2 oleh para pendiri

ASEAN, yakni Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand. Kemudian

Brunei Darussalam bergabung pada tanggal 7 Januari 1984, Vietnam pada tanggal

1 Armanatha Nasir, Kesiapan Diplomasi Ekonomi Indonesia dalam Perdagangan

Multilateral, dalam Menjinakkan Metakuasa Global; Suara Indonesia Untuk Globalisasi Yang Lebih Adil, Imam Cahyono (Ed), Kerjasama Prakarsa dan LP3ES, Jakarta, Desember 2008. Hal. 155.

2 Dalam Deklarasi Bangkok tersebut termuat tujuan-tujuan dibentuknya ASEAN yang ringkasannya adalah sebagai berikut: 1) Mempercepat pertumbuhan ekonomi, 2) Meningkatkan perdamaian dan stabilitas regional. 3) Meningkatkan kerjasama aktif dalam berbagai bidang, 4) Saling memberikan bantuan dalam pendidikan dan bidang lain, 5) Bekerjasama secara lebih efektif guna meningkatkan pemanfaatan pertanian dan industri, 6) Memajukan kajian Asia Tenggara, dan 7). Memelihara kerjasama internasional, lihat, Ade Maman Suherman, Organisasi Internasional dan Integrasi Ekonomi Regional Dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003, hal 142.

2

28 Juli 1995, Laos dan Myanmar pada tanggal 23 Juli tahun 1997, dan Kamboja

pada tanggal 16 Desember 1998, dan saat ini ASEAN beranggotakan 10 (sepuluh)

negara.3

Dengan berjalannya waktu dan dalam rangka menghadapi berbagai

tantangan kerjasama regional—termasuk krisis ekonomi 1997—para pempimpin

ASEAN bersepakat untuk memformulasikan ASEAN Vision 2020. Formulasi

ASEAN Vision 2020 ini merupakan hasil dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)

ASEAN II yang dilaksanakan di Kuala Lumpur, Malaysia, tanggal 15 Desember

1997. Dalam ASEAN Vision 2020 termaktub tiga (3) kesepakatan kerjasama

antara negara-negara ASEAN. Kesepakatan tersebut diantaranya adalah; pertama,

menciptakan kawasan ekonomi ASEAN yang stabil, makmur dan memiliki daya

saing tinggi serta melakukan pembangunan ekonomi untuk mengurangi

kesenjangan sosial-ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Kedua, mempercepat

liberalisasi perdagangan di bidang jasa. Dan ketiga, meningkatkan pergerakan

tenaga profesional dan jasa secara bebas di kawasan ASEAN.4

Langkah untuk memperkuat ASEAN Vision 2020 tersebut kembali

digulirkan pada saat KTT ASEAN di Bali pada bulan Oktober 2003. Dalam KTT

tersebut dihasilkan Deklarasi Bali Concord II yang memuat kesepakatan untuk

mewujudkan masyarakat ASEAN (ASEAN community) pada tahun 2020.

Masyarakat ASEAN (ASEAN community) tersebut terdiri dari tiga pilar, yaitu

pada bidang keamanan dan politik dibentuk ASEAN Securty Community (ASC),

3 Tim Penulis Kementerian Perdangan Indonesia, Informasi Umum: Masyarakat Ekonomi

ASEAN, Kementerian Perdangan Indonesia, Jakarta, 2011, hal. 3. 4Departemen Perdagangan Republik Indonesia, Menuju ASEAN Economic Community

2015. Kementrian Perdagangan Republik Indonesia, Jakarta, 2013, hal 3.

3

pada bidang ekonomi dibentuk ASEAN Economic Community (AEC/MEA), dan

pada bidang sosial budaya dibentuk ASEAN Socio-Culture Community (ASCC). 5

Ketiga pilar tersebut saling berkaitan satu sama lain dan saling memperkuat tujuan

pencapaian perdamaian yang berkelanjutan, stabilitas, serta pemerataan

kesejahteraan di kawasan.

Tanpa bermaksud menafikan tiga pilar yang lain, dari ketiga pilar tersebut,

MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) merupakan pilar yang cukup menarik untuk

dibicarakan. Kemenarikan MEA ini bukanlah berangkat dari ruang kosong. Jika

ditelusuri, sebagai forum regional yang awalnya bertujuan untuk kepentingan

politik, ASEAN mulai memberi perhatian pada kerjasama ekonomi pada akhir

1970-an yang ditandai dengan penandatanganan Preferential Trading

Arrangement (PTA) pada 1977. Penandatangan PTA ini menandai dimulainya

proses liberalisasi dan integrasi ekonomi secara formal di forum ASEAN.

Selanjutnya untuk mempercepat proses integrasi ekonomi, para pemimpin

ASEAN membentuk ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada 1992, yang diikuti

dengan pembentukan ASEAN Frameworks Agreement on Services (AFAS) pada

1995 dan ASEAN Investment Area (AIA) pada 1998,6 kemudian dilengkapi

dengan perumusan sektor prioritas integrasi7 dan kerjasama di bidang moneter

lain. Semua hal tersebut merupakan perwujudan dari usaha mencapai MEA.8

5 Departemen Perdagangan Republik Indonesia, Menuju ASEAN Economic Community

2015. Kementrian Perdagangan Republik Indonesia, Jakarta, 2013, hal. 5 6 Aswin Kosotali dan Gunawan Saichu, “Integrasi Ekonomi: Konsep Dasar dan Realitas”

dalam Rahmat Dwi Saputra, dkk, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015: Memperkuat Sinergi ASEAN di Tengah Kompetisi Global, Kompas Gramedia: Jakarta, 2008, hal. 38.

7 Sektor prioritas integrase ekonomi ASEAN ini ada 12 sektor, yaitu produk pertanian, angkutan udara, otomotif, e-ASEAN, elektronik, perikanan, kesehatan, produk karet, tekstil dan apparel, pariwisata, produk kayu, dan jasa logistik. Lihat, Joko Siswanto dan Aditya Rachmanto, “Menuju Kawasan Bebas Aliran Barang ASEAN 2015” dalam Rahmat Dwi Saputra, dkk,

4

Realisasi konsep MEA yang mulai digunakan sejak Deklarasi Bali Concord

II itu dibangun melalui lima pilar, yaitu: aliran bebas barang, jasa, investasi,

tenaga kerja terampil, dan aliran modal yang lebih bebas.9 Selain itu,

pembentukan MEA ini dilakukan melalui empat kerangka strategis, yaitu

pencapaian pasar tunggal dan kesatuan basis produksi, kawasan ekonomi yang

berdaya saing, pertumbuhan ekonomi yang merata dan terintegrasi dengan

perekonomian global. Dengan terbentuknya MEA ini diharapkan dapat menjadi

strategi untuk mencapai daya saing yang tangguh dan di sisi lain akan

berkontribusi positif bagi masyarakat ASEAN secara keseluruhan maupun

individual negara anggota. Penbentukan MEA juga diharapkan akan menjadikan

posisi ASEAN semakin kuat dalam menghadapi negosiasi internasional, baik

dalam merespons meningkatnya kecenderungan kerjasama regional, maupun

dalam posisi tawar ASEAN dengan mitra dialog, seperti China, Korea, Jepang,

Australia-Selandia Baru, dan India.10

Langkah untuk memperkuat untuk memperkuat kerangka kerja MEA

kembali digulirkan oleh para Pemimpin ASEAN pada tahun 2006 antara lain

dengan formulasi blue print atau cetak biru. Blueprint pada ASEAN Economi

Community tersebut memuat beberapa pokok kerjasama utama. Pertama, ASEAN

sebagai pasar tunggal dan berbasis produksi harus didukung elemen barang, jasa,

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015: Memperkuat Sinergi ASEAN di Tengah Kompetisi Global, Kompas Gramedia: Jakarta, 2008, hal. 72.

8 Aida S Budiman, “Pendahuluan”, dalam Rahmat Dwi Saputra, dkk, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015: Memperkuat Sinergi ASEAN di Tengah Kompetisi Global, Kompas Gramedia: Jakarta, 2008, hal. 2.

9 Ibid. 10 Rizal A. Sjaafara dan AIDA S. Budiman, “Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015”, dalam

Rahmat Dwi Saputra, dkk, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015: Memperkuat Sinergi ASEAN di Tengah Kompetisi Global, Kompas Gramedia: Jakarta, 2008, hal. 9-10.

5

investasi, tenaga terdidik, dan aliran modal yang lebih bebas. Kedua, ASEAN

sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi yang tinggi, harus didukung oleh

elemen peraturan kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan

intelektual, pengembangan infrastruktur, perpajakan, dan e-commerese. Ketiga,

sebagai kawasan dengan pengembangan ekonomi yang merata, harus dilakukan

dengan membangun dan memperkuat pengembangan usaha kecil dan menegah

serta prakarsa untuk memperkuat negara-negara CMLV (Cambodia, Myanmar,

Laos dan Voetnam). Keempat, ASEAN sebagai kawasan yang terintergrasi

dengan perekonomian global, harus didukung oleh penguatan hubungan ekonomi

kawasan dan meningkatkan peran serta dalam jejaring produksi global.11

Pada perkembangan berikutnya, dengan mempertimbangkan keuntungan

dan kepentingan ASEAN untuk menghadapi tantangan daya saing global,

kemudian para pempimpin ASEAN memutuskan untuk mempercepat

Pembentukan MEA dari 2020 menjadi 2015 (12th ASEAN Summit, Januari 2007).

Keputusan ini juga menjadi political will para pemimpin ASEAN ditandai dengan

ditandatanganinya ASEAN Charter (Piagam ASEAN) yang terdiri dari cetak biru

dan jadwal strategis pencapaian MEA di Singapura pada 20 November 2007 (13th

ASEAN Summit, 20 November 2007). Dokumen tersebut berisi komitmen negara

anggota atas keseriusan pencapaian MEA di mana evaluasi pencapaian MEA akan

dilakukan melalui serangkaian indikator kinerja yang disepakati dan diumumkan

ke masyarakat luas.12

11 Menuju ASEAN Economic Community, Ibid, hal 10 12 Aida S Budiman, “Pendahuluan”, ibid, hal. 3.

6

Sebagai salah satu anggota ASEAN yang juga turut menandatangani

komitmen tersebut, Indonesia harus berupaya mencapai MEA di tahun 2015 guna

menjaga kredibilitas nasioal. Apalagi bagi Indonesia, ASEAN merupakan

lingkungan utama politik luar negerinya.13 Sebagai salah satu negara yang

memiliki peranan terpenting dalam ASEAN, Indonesia tentu dituntut untuk

merealisasikan lima pilar MEA, yaitu aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga

kerja terampil, dan aliran modal yang lebih bebas.

Namun, realitas sikap pemerintah Indonesia saat ini, dalam kajian hubungan

internasional, Indonesia masih melihat ASEAN dalam bingkai politik luar negeri.

Indonesia masih menganggap ASEAN sebagai bagian luar dari sistem Negara

Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari isu nasionalisme yang begitu kuat. Semangat

nasionalisme inilah yang kadang berseberangan dengan realitas politik

perdagangan ASEAN. Semangat nasionalisme ini secara normatif memiliki

hubungan erat dengan proteksionisme. Padahal, tuntutan realisasi MEA

mengharuskan Indonesia untuk membuka pasarnya secara luas dan bebas. Di sini

kemudian Indonesia harus mengalami dilema, di satu sisi pemerintah dengan

perjanjian ASEAN Economic Community harus membuka pasar, tetapi di sisi lain

harus tetap menjaga kepentingan nasional dan memberikan perlindungan terhadap

pasar dalam negeri. Indonesia harus mengupayakan komitmennya terhadap MEA

dengan melakukan liberalisasi pasar, namun di sisi lain Indonesia dituntut untuk

tetap teguh dengan prinsip ekonomi yang berbasis kekeluargaan.

13 Pandu Utama Mandala, Peran Indonenesia Dalam Regionalisme ASEAN, Tesis Ilmu

Politik, FISIP-Universitas Indonesia, Jakarta, 2009, hal 80.

7

Sikap Indonesia terhadap negara-negara ASEAN inilah yang dianggap

justru menghambat pengembangan ekonomi ASEAN untuk menjadi komunitas

ekonomi dunia. Dari 10 negara ASEAN, Indonesia merupakan negara yang paling

terakhir malakukan ratifikasi terhadap piagam tersebut. Indonesia baru melakukan

ratifikasi terhadap perjanjian ASEAN Economic Community pada tahun 2008.14

Selain itu, di antara negara-negara yang menjadi anggota ASEAN, Indonesia

merupakan Negara yang paling banyak memiliki hambatan non-tarif, yaitu

sebanyak 14 non-tariff measures (NTM).15

Berangkat pada kondisi nasional dan internasional tersebut secara perlahan

pemerintah Indonesia yang dimotori oleh kementrian perindustrian dan

perdagangan membuka keran pasar internasional. Salah satu sektor yang

diupayakan adalah sektor industri, dalam hal ini industri otomotif. Pemerintah

melihat, sektor industri otomotif adalah salah satu sektor yang paling siap dan

mampu bersaing di pasar regional maupaun internasional. Setidaknya ada 3 alasan

mengapa sektor industri otomotif ini menjadi prioritas, pertama karena dalam

sektor otomotif Indonesia merupakan koordinator negara-negara ASEAN untuk

mengintegrasikannya di era MEA. Kedua, produk otomotif Indonesia sudah ada

yang telah diekspor di kawasan negara-negara ASEAN.16 Ketiga, berdasar pada

data Gaikindo, daya saing industri otomotif Indonesia saat ini terus meningkat,

baik dari sisi jumlah produksi maupun penjualan. Bahkan dalam segi penjualan,

14 Pandu Utama Mandala, Peran Indonenesia Dalam Regionalisme ASEAN, ibid hal 85. 15 Joko Siswanto dan Aditya Rachmanto, “Menuju Kawasan Bebas Aliran Barang

ASEAN 2015”, ibid, hal. 107. 16 Syamsul Arifin dan Aida S. Budiman, “Peluang dan Tantangan Pembentukan MEA

2015 bagi Indonesia’, dalam Rahmat Dwi Saputra, dkk, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015: Memperkuat Sinergi ASEAN di Tengah Kompetisi Global, Kompas Gramedia: Jakarta, 2008, hal. 287.

8

Indonesia saat ini tercatat sebagai negara dengan jumlah penjualan produk

otomotif terbanyak di ASEAN.

Kapasitas produksi industri otomotif Indonesia memang masih berada di

bawah Thailand. Namun, melihat tren pertumbuhan produktivitas industri

otomotif di Negara-negara ASEAN, agaknya daya saing industri otomotif

Indonesia dalam hal produktivitasnya dapat dikatakan memiki prospek yang

cerah. Berdarkan data dari GAIKINDO, sejak tahun 2007 hingga tahun 2015

pertengahan, pertumbuhan produktivitas industri otomotif Indonesia hampir selalu

bergerak naik. Pada tahun 2007 produktivitas industri otomotif Indonesia masih

menduduki peringkat ketiga di ASEAN, di bawah Malaysia dan Thailand. Pada

tahun 2008 produktivitas industri otomotif Indonesia mulai naik dan mengungguli

Malaysia. Namun, pada tahun 2009 produktivitas industri otomotif Indonesia

kembali terpuruk dan kembali berada di bawah Malaysia. Sejak tahun 2009

hingga 2015 pertengahan, produktivitas industri otomotif Indonesia terus tumbuh

pesat dan jauh meninggalkan salah satu pesaingnya, yaitu Malaysia. Sejak tahun

2010 pertumbuhan produktivitas industri otomotif Indonesia terus membaik dan

menempati posisi nomor dua untuk kawasan ASEAN, di bawah Thailand.17

Namun, meskipun dari segi produktivitas industri otomotif Indonesia masih

berada di bawah Thailand, dari segi penjualan atau pasar saat ini industri otomotif

Indonesia sudah mengungguli Thailand dan berhasil menjadi yang nomor satu di

ASEAN. Pada tahun 2007 dan 2009 pasar industri otomotif Indonesia memang

pernah mengalami penurunan dan berada di peringkat ke tiga di kawasan ASEAN,

17 GAIKINDO

9

di bawah Malaysia dan Thailand. Namun, pada perkembangan berikutnya

pertumbuhan pasar industri otomotif Indonesia terus bergerak naik dan berhasil

menjadi yang nomor satu di kawasan ASEAN pada tahun 2011 dengan penjualan

mencapai 894.164 unit per tahun, mengungguli Thailand yang pada waktu itu

hanya mencatat penjualan sebesar 794.081.18

Dua tahun kemudian, pada tahun 2012 dan 2013 pasar industri otomotif

Thailand kembali naik cukup pesat dan kembali mengungguli pasar industri

otomotif Indonesia. Namun, kondisi pasar industri otomotif Thailand jatuh cukup

jauh pada tahun 2014 dan 2015. Situasi politik Thailand yang tidak menentu

membuat pasar pasar industri otomotif Thailand terpuruk dan jatuh, yang pada

tahun 2012 mencapai penjualan 1.436.335 unit per tahun, menjadi 881.832 unit

per tahun pada tahun 2014.19 Sementara di sisi lain, pasar industri otomotif

Indonesia terus menujukkan pertumbuhan yang positif. Sejak tahun 2010 tren

pasar industri otomotif Indonesia terus tumbuh baik dan pada tahun 2014 dan

2015 bergerak jauh mengungguli pasar industri otomotif Thailand.

Geliat positif pertumbuhan daya saing industri otomotif di Indonesia

tersebut, tentu tidak dapat dilepaskan dari peran pemerintah dalam menyokong

pertumbuhan industri otomotif tanah air di era MEA. Sebagaimana pendapat

Michael E. Porter,20 kuat atau lemahnya daya saing sebuah industri, dalam hal ini

industri otomotif, akan sangat dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan Negaranya.

Seperti, peran Negara dalam menciptakan kondisi nasional yang kondusif,

18 Ibid. 19 Ibid. 20 Michael E. Porter, “The Competitive Advantages of Nations” dalam Harvard Busisnes

Review, edisi March-April 1990.

10

pembuatan peraturan-peraturan, dan dorongan produksi. Atas dasar hal tersebut,

penulis kemudian menjadi tertarik untuk mengkaji kebijakan-kebijakan

pemerintah Indonesia di sektor industri otomotif secara lebih mendalam.

B. PERTANYAAN PENELITIAN

Berdasarkan latar belakang yang telah diulas sebelumnya, maka ada dua

pertanyaan yang hendak dijawab dalam penelitian ini, yaitu;

1. Seberapa efektif kebijakan peningkatan daya saing industri otomotif

Indonesia dalam menghadapi MEA 2015?

C. TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Memahami dan memaparkan kebijakan pemerintah Indonesia dalam

menguatkan daya saing di sektor industri otomotif menghadapi MEA

2015.

2. Mengamati efektivitas kebijakan pemerintah Indonesia dalam

menguatkan daya saing di sektor industri otomotif menghadapi MEA

2015.

D. TINJAUAN PUSTAKA

Topik tentang MEA 2015 dan topik tentang industri otomotif merupakan

topik yang cukup umum. Ada banyak literatur yang membahas tentang topik

MEA 2015, demikian juga yang membahas tentang industri otomotif. Namun,

sejauh pengamatan penulis, literatur-literatur yang membahas tentang kebijakan

pemerintah Indonesia terkait perkembangan daya saing industri otomotif dalam

11

menghadapi MEA 2015 serta efektivitas dari kebijakan tersebut terhadap daya

saing industri otomotif Indonesia di era MEA 2015, masih amat langka. Berikut

akan disajikan beberapa literatur yang memiliki keterkaitan tema, namun dalam

beberapa hal cukup berbeda dengan penelitian yang hendak penulis lakukan.

Pertama, kajian yang dilakukan oleh Jose Fernandes dan Roos K.

Andadari21, keduanya meneliti tentang persepsi kelompok sosial (dalam hal ini

mahasiswa) dalam masyarakat dalam menyongsong diberlakukannya MEA 2015.

Persepsi ini berkaitan dengan sikap-sikap individu dalam masyarakat. Pendekatan

penelitian yang bersifat kualitatif ini menghasilkan rumusan bahwa tidak semua

mahasiswa sebagai kelompok sosial masyarakat mengetahui tentang MEA 2015.

Faktor yang mempengaruhi diantaranya adalah sumber informasi yang terbatas

yang diakibatkan oleh ketidakterpaduan kebijakan serta tingkat antusiasme

mahasiswa yang cukup rendah, menyebabkan informasi yang diterima tentang

MEA 2015 amat terbatas. Namun, meskipun sedikit banyak kajian ini telah

membahas tentang MEA 2015, kajian ini tidak membahas tentang kebijakan-

kebijakan pemerintah Indonesia dalam sektor industri otomotif dalam menghadapi

MEA 2015.

Kedua, Kajian yang dilakukan oleh Bank Indonesia berjudul “Outlook

Ekonomi Indonesia; Integrasi Ekonomi ASEAN dan Prospek Perekonomian

Nasional”.22 Kajian ini disusun berdasar pada roundtable discussion pada

21 Jose Fernandes dan Roos K. Andadari, Persepsi Mahasiswa Terhadap Pemberlakuan

Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Kristen Satya Wacana, Makalah, Semarang, Desember 2012.

22 Bank Indonesia, Outlook Ekonomi Indonesia; Integrasi Ekonomi ASEAN dan Prospek Perekonomian Nasional, Biro Riset Ekonomi Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia, Jakarta, Januari 2008.

12

berbagai Focus Group Discussion yang dilakukan antara berbagai pihak,

diantaranya Departemen Keuangan, Departemen Perdagangan, BAPPENAS, IPB,

LIPI, CSIS, KADIN, GAIKINDO, dan API. Pendekatan analisis penelitian ini

merupakan analisis ekonomi dan merupakan kesimpulan dari tim peneliti

ekonomi. Paparan tentang peta ekonomi beserta tantangan dan peluang ekonomi

Indonesia nampak jelas dalam penelitian ini. Titik lemah dalam kajian ini, meski

peta-peta tampak dijelaskan akan tetapi belum ada rumusan upaya-upaya strategis

dalam bentuk kebijakan. Kebijakan diserahkan kepada otoritas kebijakan sehingga

kajian ini lebih tepat disebut peta ekonomi. Sebagai peta, paparan dalam temuan

kajiannya harus dikembangkan. Selain itu, kajian ini juga tidak mengangkat

secara khusus tentang kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia dalam sektor

industri otomotif dalam menghadapi MEA 2015..

Ketiga, Kajian berjudul “Integrasi Ekonomi Regional Menuju Masyarakat

Ekonomi ASEAN (MEA) 2015: Kajian mengenai kesiapan Indonesia menghadapi

Free Flow of Goods sebagai implementasi dari Single Market and Production

Base” oleh Solikhatun Isnaini.23 Penelitian ini berupaya untuk melihat pengaturan

integrasi ekonomi regional ASEAN menurut Hukum Internasional. Fokus lain

dalam pendekatan hukum ini juga untuk melihat bagaimana persiapan pemerintah

Indonesia menghadapi integrasi ekonomi regional dalam mempersiapakan dasar

hukum pemberlakuannya. Hasilnya, diantara negara-negara ASEAN, pemerintah

Indonesia menjadi negara yang cukup terlambat dalam mempersiapkan aturan

23 Solikhatun Isnaini , Integrasi Ekonomi Regional Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN

(MEA) 2015: Kajian mengenai kesiapan Indonesia menghadapi Free Flow of Goods sebagai implementasi dari Single Market and Production Base, Fakultas Hukum, Universitas Jendral Sudirman, Purwokerto, 2013.

13

hukum dalam persaingan ekonomi ASEAN tersebut. Karena berfokus pada kajian

hukum, penelitian ini pun luput untuk mengangkat tema kebijakan-kebijakan

pemerintah Indonesia dalam sektor industri otomotif dalam menghadapi MEA

2015.

Keempat, penelitian yang berjudul Implementasi Integrasi Ekonomi ASEAN

2015 Terhadap Ekonomi Indonesia yang ditulis oleh Jose Fernandes dan Roos K.

Andadari.24 Kajian ini juga melakukan kajian tentang implementasi integrasi

ekonomi ASEAN terhadap ekonomi Indonesia. Kajian yang dilakukan bersifat

futuristik atau berdasar pada prediksi-prediksi masa depan ekonomi Indonesia

pasca diberlakukannya MEA 2015. Namun, buku ini juga tidak menyinggung

tentang kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia dalam sektor industri otomotif

dalam menghadapi MEA 2015.

Kelima, buku “Menuju ASEAN Economic Community” yang diterbitkan

oleh Kementrian Perdagangan25. Seperti halnya kajian Jose Fernandes dan Roos

K. Andadari, buku Kementrian Perdagangan ini juga bersifat futuristik, tetapi

agak bertolak belakang. Kajian Jose Fernandes dan Roos K. Andadari lebih

banyak menyampaikan tentang kekhawatiran akan masa depan ekonomi Indonesia

karena pemerintah belum dianggap serius, maka sebaliknya Kementrian

perdagangan justru lebih menampilkan optimisme masa depan ekonomi Indonesia

dalam berbagai sektor dengan upaya-upaya yang sudah dilakukan. Seperti juga

kajian futuristik sebelumnya buku ini tidak membahas secara spesifik tentang

24 Jose Fernandes dan Roos K. Andadari, Dampak Integrasi Ekonomi ASEAN 2015

Terhadap Ekonomi Indonesia, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Kristen Satya Wacana, Semarang, 2013.

25 Kementrian Perdagangan RI, Menuju ASEAN Economic Community 2015, Direktur Jendral Perdagangan Internasional, Jakarta 2013

14

kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia dalam sektor industri otomotif dalam

menghadapi MEA 2015.

Keenam, Penelitian yang berkaitan dengan peran dan kebijakan, beberapa

diantaranya dilakukan oleh Pandu Utama Mandala26, Yuventus Effendi dan

Suska27, serta Raisa Samantha Sudana28. Penelitian Pandu Utama Mandala

berjudul “Peran Indonenesia Dalam Regionalisme ASEAN”, dan penelitian

Yuventus Effendi dan Suska berjudul “ASEAN Investment Forum Untuk

Mendorong Investasi di Kawasan ASEAN”. Sedangakan penelitian Raisa

Samantha Sudana berjudul “Peranan Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam

Persiapan Menyongsong Asean Economic Comunity 2015”. Penelitian tersebut

meski memiliki fokus pada kebijakan, ketiganya menggunakan pendekatan yang

berbeda. Penelitian Pandu Utama Manadala menggunakan pendekatan ekonomi-

politik, dan pendekatan Yuventus Effendi dan Suska menggunakan pendekatan

ekonomi makro. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Samantha Sudana

menggunakan pendekatan ilmu hukum. Jika ketiganya dilihat sebagai sebuah

kesatuan, maka penelitian ini akan saling melengkapi. Pertama, pada penelitian

yang dilakukan olej Pandu Utama Mandala, titik letak kebijakan yang harus

diambil oleh pemerintah tampak pada keniscayaan bahwa kebijakan harus

mengedepankan kemandirian bangsa sehingga daya tawar negara dihadapan

bangsa lain kuat. Potensi dan kekayaan alam Indonesia harus dimanfaatkan

26 Pandu Utama Mandala, Peran Indonenesia Dalam Regionalisme ASEAN, Tesis Ilmu

Politik, FISIP-Universitas Indonesia, Jakarta, 2009 27 Yuventus Effendi dan Suska, ASEAN Investment Forum Untuk Mendorong Investasi di

Kawasan ASEAN, Makalah Forum Investasi ASEAN, Jakarta 6 Desember 2011. 28 Raisa Samantha Sudana, Peranan Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam Persiapan

Menyongsong Asean Economic Comunity 2015, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 2013.

15

dengan baik sehingga daya tawar Indonesia kuat. Kedua, kebijakan investasi di

Indonesia menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia terbuka. Sebagai negara

terbuka, Indonesia tidak lagi dianggap takut terhadap ancaman negara ataupun

korporasi dari negara-negara lain yang melakukan usahanya di Indonesia. Namun

demikian, investasi sebagai negara-negara di kawasan ASEAN harus

mengedepankan kerjasama. Pada kajian hukum sebagaimana dilakukan oleh

Sudana, kebijakan pemerintah, baik pada kerjasama ekonomi, politik,

perdagangan ataupun investasi harus diletakkan pada konstitusi sehingga

kebijakan tersebut tidak menabrak konstitusi dasar sebuah negara. Namun,

penelitian-penelitian tersebut belum membahas secara spesifik tentang

implementasi kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia terhadap daya saing

sektor industri otomotif Indonesia di era MEA 2015.

Ketujuh, penelitian Patrick Kuntara Harpranata Silangit yang berjudul

“Langkah Strategis Ekonomi Indonesia Menghadapi ME ASEAN 2015“.29 Patrick

mengungkapkan strategi kebijakan berkaitan dengan peningkatan daya saing

produk Indonesia dalam menghadapi ME ASEAN 2015 berdasar analisis dari

roadmap HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia), setidaknya terdapat

tiga indikator yang digunakan untuk meraba posisi Indonesia di ekonomi ASEAN.

Pertama, pangsa ekspor Indonesia ke negara-negara ASEAN cukup besar. Nilai

ekspor Indonesia ke Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand mencapai 13,9 %

dari total ekspor Indonesia pada 2005. Kedua, daya saing ekonomi Indonesia lebih

buruk dibandingkan negara ASEAN lainnya. Sebagaimana yang dilaporkan oleh

29 Kuntara Harpranata Silangit, Langkah Strategis Ekonomi Indonesia Menghadapi ME

ASEAN 2015, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2013

16

World Economic Forum dalam Global Competitiveness Index 2011-2012,

peringkat Indonesia turun menjadi peringkat 46 dari peringkat 44 pada 2010.

Ketiga, percepatan investasi di Indonesia tertinggal bila dibandingkan negara

ASEAN lainnya. Selain akibat dari sisa krisis ekonomi, rendahnya investasi

dipicu pula oleh buruknya infrastruktur ekonomi, kelambanan birokrasi dan

mahalnya izin usaha. Namun, penelitian ini juga masih belum membahas secara

memadai tentang kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia dalam sektor industri

otomotif dalam menghadapi MEA 2015.

Kedelapan, tesis Enggar Furi Herdianto yang berjudul Industri Otomotif

Thailand Dan Indonesia: Analisis Rent.30 Tesis ini membahas efektivitas

upgrading industri otomotif Thailand dan Indonesia melalui prespektif global

value chain, serta pelajaran apa yang dapat Indonesia dapat pelajari dari

perkembangan Thailand. Namun, karena berfokus pada upgrading industri

otomotif Thailand dan Indonesia, tema tentang kebijakan-kebijakan pemerintah

Indonesia dalam sektor industri otomotif dalam menghadapi MEA 2015, tidak

mendapatkan porsi yang banyak dalam penelitian tersebut.

Kesembilan, tesis Muhtar Rasyid yang berjudul Kinerja sektor industri

otomotif berdasarkan indiaktor price-cost margin di Indonesia, 1999-2006.31

Tesis ini menganalisis trend kinerja industri otomotif dan menguji pengaruh

market share, intensitas kapital, intensitas impor serta produktivitas tenaga kerja

terhadap kinerja industri otomotif nasional. Indikator price-cost margin digunakan

30 Enggar Furi Herdianto, Industri Otomotif Thailand Dan Indonesia: Analisis Rent,

Hubungan Internasional UGM, 2013. 31 Muhtar Rasyid, Kinerja sektor industri otomotif berdasarkan indiaktor price-cost

margin di Indonesia, 1999-2006, Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan UGM, 2009.

17

untuk mengukur kinerja industri otomotif Indonesia tahun 1999-2006. Namun,

meski sudah membahas tentang indutri otomotif Indonesia, tesis tersebut sama

sekali tidak mengulas tentang keterkaitan industri otomotif dengan MEA 2015,

terlebih tentang kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia dalam sektor industri

otomotif dalam menghadapi MEA 2015..

Melihat tidak adanya literatur yang membahas secara spesifik tentang

kontribusi sektor industri otomotif bagi Indonesia di era MEA 2015, maka

penelitian ini pun menjadi amat relevan untuk dilakukan.

E. KERANGKA KONSEPTUAL

1. Konsep Porter’s Diamond Framework

Konsep Porter’s Diamond Framework ini merupakan konsep yang

pertama kali dikenalkan secara eksplisit oleh Michael E. Porter. Dia pernah

menuliskan sebuah artikel yang berjudul The Competitive Advantages of

Nations.32 Dalam artikel itu, Michael E. Porter mengkaji secara mendalam

tentang pengembangan daya saing industri. Berdasarkan kajiannya tersebut,

Michael E. Porter kemudian mengatakan bahwa Daya saing suatu negara dalam

industri tertentu dapat ditingkatkan melalui Diamond Framework.

Secara umum, konsep Diamond Framework ini menguraikan tentang hal-

hal yang harus diperhatikan jika menginginkan mengembangkan daya saing

sebuah industri. Menurut Porter, terdapat sinergi antara pemerintah dan dunia

industri untuk meningkatkan daya saing negara dalam perdagangan

internasionalnya. Sinergi tersebut amat membantu untuk mendukung eleman-

32 Michael E. Porter, “The Competitive Advantages of Nations” dalam Harvard Busisnes

Review, edisi March-April 1990.

18

elemen penting dan membentuk keunggulan kompetitif. Terdapat empat pilar

dalam membentuk daya saing suatu negara, dimana daya saing ini dapat

ditingkatkan hingga mencapai titik yang membuat industri domestik mampu

bersaing dengan industri global dalam perdagangan internasional.

Adapun empat pilar dalam membentuk daya saing suatu negara tersebut,

1) Factor condition, yaitu bagaimana kondisi faktor produksi pada suatu

negara seperti ketersediaan infrastruktur yang memadai dan lain hal yang

dapat mendukung daya saing industri.

2) Demand condition, yaitu bagaimana kondisi permintaan pasar misalnya:

1.Memiliki pembeli yang beragam. 2. Adanya tekanan dari pelanggan

untuk selalu melakukan inovasi. 3. Ukuran permintaan cukup besar dan

dapat terlihat dengan jelas. 4. Memiliki segmen konsumen yang berlapis.

3) Related and supporting industry, yaitu kehadiran industri terkait dan

industri pendukungnya yang berdaya saing internasional. Misalnya : 1.

Adanya akses yang efisien ke input. 2. Selalu ada koordinasi yang tak

putus. 3. Menolong proses inovasi dan peningkatan (upgrading)

berdasarkan pada pertukaran litbang, informasi, dan ide. 4. Membawa

kepada industri yang kompetitif. 5. Mendorong permintaan untuk produk-

produk pendukung. 6. Memaksakan keunggulan kompetitif untuk industri-

industri yang terkait.

4) Firm strategy, structure, and rivaly, yaitu bagaimana negara

mengkondisikan dan mengatur industri serta kaitannya dengan persaingan

19

domestik.33misalnya Perusahaan harus memiliki tujuan, struktur

kepemilikan yang membanggakan bangsa, dan selalu berkomitmen dengan

visi nasional maupun negara.

Berikut interaksi keempat elemen penting tersebut dalam sebuah gambar.

Interaksi Elemen Pembentuk Keunggulan Kompetitif

Diagram tersebut menunjukkan bahwa interaksi dari keempat elemen

tersebut keterkaitannya didukung oleh peranan pemerintah dalam meningkatkan

daya saing suatu industri. Pemerintah dapat memberikan lingkungan yang

kondusif agar keempat elemen tersebut dapat bekerja secara optimal membentuk

dan membangun daya saing negara.

Selain itu, menurut Michael E. Porter keempat hal tersebut dipengaruhi

oleh dua hal, yaitu pemerintah (goverment) dan kesempatan (chance). Dua hal ini

sangat berpengaruh terhadap perkembangan Factor condition, Demand condition,

33 Ibid, hal. 78.

20

Related and supporting industry, dan Firm strategy, structure, and rivaly.34

Tanpa peran pemerintah dan adanya kesempatan, empat hal tersebut akan sulit

utuk menjadi kondusif.

Dalam industri otomotif Indonesia, seiring dengan disepakatinya cetak

biru MEA 2015, pemerintah Indonesia terus berupaya untuk mendorong

pertumbuhan daya saing industri otomotif. Berdasarkan pengamatan penulis,

pemerintah Indonesia cukup memberi perhatian lebih terhadap empat hal

sebagaimana diuraikan Porter di atas.

Pertama, dalam hal memberi perhatian terhadap Factor condition. Ada

dua kebijakan besar yang ditempuh pemerintah Indonesia dalam rangka

memperhatikan Factor condition di sektor industri otomotif, yaitu Kebijakan

Peningkatan Infrastruktur Industri Otomotif Indonesia oleh BUMN dan Kebijakan

Pengembangan Teknologi Produk Industri Otomotif Indonesia oleh Kementerian

Industri.

Kedua, pemerintah melalui kementerian perindustrian telah berusaha

untuk memperhatikan apa yang disebut oleh Porter sebagai Demand condition.

Dalam hal menjaga kondisi permintaan pasar akan produk otomotif di era MEA

2015, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan pengembangan kendaraan

hemat energi, ramah lingkungan dan harga terjangkau (low cost green

car/LCGC). Kebijakan ini diambil karena permintaan pasar Indonesia (ASEAN)

saat ini cenderung mengarah pada kendaraan LCGC.

34 Michael E. Porter, “The Competitive Advantages of Nations” dalam Harvard Busisnes

Review, edisi March-April 1990. Hlm. 78.

21

Ketiga, pemerintah Indonesia melalui kementerian perindustrian dan

kementerian perdagangan juga memperhatikan kehadiran industri terkait dan

industri pendukung industri otomotif, yaitu industri komponen. Ada dua kebijakan

besar yang lakukan pemerintah Indonesia untuk mendorong daya saing industri

komponen, yaitu pembatasan impor komponen dan program promosi produk

komponen otomotif nasional.

Keempat, dalam hal Firm strategy, structure, and rivaly. Guna

mengkondisikan dan mengatur industri serta kaitannya dengan persaingan

domestik, pemerintah Indonesia melalui kementerian keuangan mengeluarkan

paket kebijakan untuk mendorong investasi industri otomotif Indonesia. Dengan

semakin banyaknya investasi yang masuk ke Indonesia di harapkan persaingan

industri otomotif di Indonesia akan semakin kompetitif dan semakin memperkuat

daya saingnya.

2. Konsep Daya Saing

Konsep daya saing merupakan satu dari sekian konsep yang sangat

populer, tetapi tidak terlalu sederhana untuk dipahami. Seperti diungkapkan oleh

Garelli, konsep yang multidimensi ini sangat memungkinkan beragam definisi dan

pengukuran. Meski begitu, bahasan konsep daya saing setidaknya memiliki tiga

aspek tinjauan, yakni: pada tingkat perusahaan, industri atau sehimpunan atau

sekelompok industri, dan negara atau daerah (sebagai suatu entitas ekonomi).35

Pemaknaan daya saing pada konteks tersebut berbeda. Akan tetapi, daya

saing pada masing-masing tingkatan tersebut saling terkait secara erat. Daya saing

35 Porter, Michael. 1990. The Competitive Advantage of Nations . New York : The Free

Press, A Division of Macmillan 1990

22

pada tingkatan perusahaan merupakan elemen dasar dalam membentuk daya saing

pada tingkat industri, daerah maupun negara.36 Sementara di pihak lain, berbagai

kondisi dan faktor yang ada dalam suatu industri dan di suatu daerah tertentu atau

negara dapat membentuk konteks bagi perkembangan daya saing perusahaan

dalam industri dan di wilayah yang bersangkutan. Isu ini merupakan salah satu

topik yang terus diperdebatkan dalam diskusi tentang daya saing.

Daya saing industri dapat diartikan suatu industri dikatakan berdaya saing

(kompetitif) jika memiliki tingkat produktivitas faktor keseluruhan (total factor

productivity/TFP) sama atau lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pesaing

asingnya (foreign competitors). Atau, suatu industri dapat dikatakan berdaya saing

(kompetitif) jika memiliki biaya satuan (rata-rata) sama atau lebih rendah apabila

dibandingkan dengan pesaing asingnya (foreign competitors).37

Selain itu, daya saing industri juga dilihat dalam konteks kemampuan

perusahaan atau industri dalam menghadapi tantangan persaingan dari para

pesaing asingnya (US Department of Energy). Aspek kemampuan yang dimaksud

adalah daya dukung kemampuan perusahaan, industri, daerah, atau negara

ataupun supranational regions untuk menciptakan tingkat pendapatan dan

pemanfaatan faktor yang relatif tinggi, sambil tetap mampu mempertahankan

keberadaan dalam persaingan internasional.38

Menurut Kadocsa, ada beberapa indikator untuk mengukur daya saing,

yaitu penerimaan, ekspor, laba, pangsa pasar, produktifitas, standar teknis, nilai

perusahaan, good will, pencitraan, kepuasan konsumen, dan nilai produk dan jasa

36 Ibid. 37 Ibid. 38 Ibid.

23

yang dihasilkan.39 Kadocsa juga menyatakan bahwa secara garis besar, faktor

yang mempengaruhi daya saing dibagi menjadi dua, yaitu faktor eksternal dan

faktor internal. Perbedaan antara faktor eksternal dan internal diberikan Kadocsa40

sebagai berikut:

FAKTOR EKSTERNAL FAKTOR INTERNAL

Employment Marketing

Productivity Innovation

Capital supply opportunities Productivity

Globalisation Knowledge-based development

EU Capital supply

Business relations Management, organisation, structure

Alliances Cost-efficiency

Networks Compliance

Untuk kasus daya saing industri otomotif Indonesia, setelah berbagai

upaya dan kebijakan diterapkan oleh pemerintah Indonesia, daya saing industri

otomotif Indonesia telah berhasil terangkat. Dalam hal produktivitas, berdasarkan

catatan Gaikindo, jumlah produksi industri otomotif Indonesia naik rata-rata 18,1

% selama periode 2010-2014 yaitu mencapai 1.298.523 unit pertahun di tahun

2014, namun sedikit turun, yaitu 1,4%, pada pertengahan tahun 2015.41

39 György Kadocsa, “Research of Competitiveness Factors of SME” dalam Acta

Polytechnica Hungarica Vol. 3, No. 4, 2006. Keleti Károly Faculty of Economics, Budapest Tech. 40 Ibid. 41 Data Base Gaikindo

24

Berikutnya dari segi pemasaran. sejak tahun 2010 hingga pertengahan

tahun 2015, tren pertumbuhan pasar atau penjualan produk industri otomotif

Indonesia relatif baik. Terhitung sejak tahun 2010 hingga tahun 2013, pasar

industri otomotif Indonesia selalu menunjukkan perkembangan yang positif. Rata-

rata perkembangan pasar industri otomotif Indonesia sejak tahun 2010 hingga

2013 mencapai kisaran rata-rata pertumbuhan penjualan hingga 100.000 unit lebih

dalam setiap tahunnya.42 Memang, kondisi pasar industri otomotif Indonesia sejak

tahun 2010 hingga tahun 2015, pertumbuhannya tidak selalu positif. Semenjak

tahun 2014 hingga pertengahan 2015, laju pertumbuhan pasar industri otomotif

Indonesia cenderung menurun. Namun, tren pasar otomotif Indonesia yang

menurun tersebut tidak terlalu jauh dan besar, hanya kisaran 20.000 unit dari

tahun 2013 ke 2014.43 Kondisi penurunan pasar industri otomotif pada tahun

2014-2015 tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga hampir seluruh

Negara di ASEAN, karena kondisi perokonomian dunia tidak tumbuh baik.

Kondisi penurunan pasar industri otomotif Indonesia tersebut masih wajar dan

relatif sedikit. Apabila dibandingkan dengan penurunan pasar industri otomotif

Thailand, Negara yang selama ini menduduki posisi pertama dalam pasar industri

otomotif ASEAN, penurunan pasar industri omotif Indonesia masih tergolong

rendah, bahkan cenderung stabil.

Dari segi investasi, Indonesia masih menjadi tujuan investasi sejumlah

perusahaan otomotif global. Pada tahun 2013 pertumbuhan investasi di sektor

otomotif Indonesia tumbuh sangat kuat, bahkan PMDN tumbuh hingga lebih dari

42 Ibid. 43 Ibid.

25

300% dan PMA tumbuh hingga lebih dari 100%. Namun, pertumbuhan investasi

di sektor otomotif Indonesia cenderung turun cukup signifikan pada tahun 2014,

yaitu Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) turun hingga 76,31% dan

Penanaman Modal Asing (PMA) turun 44,77%.44 Kondisi penurunan tersebut

kembali membaik setelah memasuki tahun 2015. Berdasarkan laporan triwulan I

dan II BKPM, jumlah realisasi investasi untuk industri otomotif Indonesia mulai

merangkak naik, terutama nilai investasi PMDN. Hingga bulan Juli 2015, nilai

investasi PMDN untuk industri otomotif telah mencapai 934,16 milyar rupiah

dengan jumlah proyek sebanyak 48 proyek. Sedangkan nilai investasi PMA untuk

industri otomotif per Januari-Juli telah mencapai 955,5 juta dolar dengan jumlah

proyek sebanyak 349 proyek.45

Berikutnya dari segi teknologi. Para pengusaha industri otomotif Indonesia

terus bergerak untuk menghasilkan produk-produk otomotif yang berteknologi

tinggi, terutama pada segmen produk LCGC yang merupakan produk utama

industri otomotif Indonesia. Hingga tesis ini ditulis, beberapa perusahaan industri

otomotif Indonesia telah mengeluarkan beberapa produk otomotif terbaru dengan

kualitas teknologi yang bersaing.46

F. ARGUMEN UTAMA

Realitasnya Indonesia merupakan negara yang terluas dan terbesar

penduduknya di kawasan ASEAN. Kondisi ini tentu menjadikan Indonesia

sebagai objek pasar potensial bagi negara-negara yang industri otomotifnya kuat,

44 Laporan kinerja kementerian perindustrian tahun 2014. 45 Laporan triwulan I dan II 2015 Badan Koordinasi Penanaman Modal

(BKPM)/Indonesia Investment Coordinating Board. 46 Bedah Produk LCGC, dalam Media Industri Kemenperin no. 03. 2013. hlm. 14

26

seperti Thailand, terlebih tahun 2015 ini ASEAN telah menerapkan MEA. Tidak

mau menjadi objek pasar otomotif Thailand di era MEA, pemerintah Indonesia

kemudian mengeluarkan beberapa kebijakan untuk mendorong daya saing

industri-industri otomotif di Indonesia. Upaya-upaya pemeritah tersebut pada

akhirnya cukup efektif mendorong laju pertumbuhan daya saing industri otomotif

Indonesia, sehingga industri otomotif Indonesia semakin baik dan siap bersaing di

era MEA, bahkan dari segi daya saing penjualan saat ini Indonesia tercatat

menjadi yang nomor satu di ASEAN.

G. METODE PENELITIAN

Setiap kegiatan ilmiah untuk lebih terarah dan rasional diperlukan suatu

metode yang sesuai dengan objek yang dikaji, karena metode berfungsi sebagai

cara mengerjakan sesuatu untuk dapat menghasilkan hasil yang memuaskan. Di

samping itu metode merupakan cara bertindak supaya peneliti berjalan terarah dan

mencapai hasil yang maksimal. Oleh karena itu, sebagai salah satu kegiatan

ilmiah, maka penelitian ini pun memiliki metode. Metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian dalam penelitian ini menggunakan pendekatan

deskriptif kualitatif. Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif. Penelitian

kualitatif disini meletakkan kekuatan pada upaya obyektifitas. Pendekatan ini

dipilih karena penelitian kualitatif mampu menjelaskan divergensi (kenyataan

27

ganda) sebuah obyek penelitian di mana peneliti dan obyek penelitiannya menjadi

instrumen. Divergensi yang terjadi dapat bersifat bertolak belakang, linier maupun

kausalitas (sebab-akibat). Dapat dimaknai bahwa, dalam satu sisi anggota

legislatif merupakan orang-orang pilihan yang dihormati namun disisi lain sebagai

orang terhormat tersebut tidak sedikit anggota dewan yang melakukan

pelanggaran dengan tidak menjalankan tugas dan kewajibannya sebagaimana

seharusnya. Oleh karena itu, pengumpulan data dalam penelitian ini tidak selalu

dapat dijelaskan secara teoretik, tetapi dipandu oleh fakta-fakta dalam penelitian

lapangan.47

2. Obyek Penelitian

Segaris dengan masalah yang hendak diuraikan dalam penelitian ini, maka

obyek penelitian ini adalah kebijakan-kebijakan pemerintah terkait perkembangan

industri otomotif Indonesia sejak 2007-2015 sebagai upaya menghadapi MEA

2015, serta implementasi kebijakan-kebijakan tersebut terhadap daya saing

industri otomotif Indonesia di Era MEA 2015.

3. Metode Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini menggunakan data pustaka. Data pustaka tersebut

berasal dari segala usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun

informasi yang relevan sesuai dengan kajian topik yang diteliti. Informasi itu

dapat diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan penelitian, karangan-karangan

47 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Penerbit Alfabeta, Bandung, 2005, hal 3.

28

ilmiah, peraturan-peraturan, ketetapan-ketetapan, buku tahunan, ensiklopedia,

serta juga termasuk skripsi, tesis dan disertasi.48

Dalam penelitian ini, studi kepustakaan merupakan teknik pengumpulan

data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap berbagai sumber informasi

sebagaimana disebut diatas yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah

Indonesia dalam perdagangan, investasi dan upaya dalam meningkatkan daya

saing pada sektor industri otomotif. Kepustakaan yang digunakan dalam

penelitian ini dapat tertulis dalam bentuk cetak maupun elektronik.

4. Metode Analisa Data

Sesuai dengan jenis penelitian ini, teknik analisa data yang dipergunakan

dalam penelitian ini adalah dengan mengunakan teknik analisa kualitatif. Teknik

analisa kualitatif adalah analisa data dengan menggunakan keterangan atau

penjelasan-penjelasan secara teoritis tentang hubungan antara fakta yang terjadi,

informasi dan data. Metode teknik analisa kualitatif secara spesifik yang

digunakan adalah teknik induktif. Fakta, informasi data serta analisa tersebut

diklasifikasikan dan dikelompokkan (cluster). Klasifikasi dan pengelompokan ini

disesuaikan dengan kebutuhan penelitian, khususnya sesuai dengan pembahasan

pada setiap bab pembahasan penelitian ini. Proses analisa ini dilakukan sejak

penelitian ini dilakukan dari melakukan reduksi data (pengumpulan data), display

data (penyajian data) hingga pada verifikasi dan melakukan simpulani data.

Hasilnya dituangkan dalam laporan penelitian.49

48 Masri Singarimbun dan Sofian Efendi (penyunting), Metode Penelitian Survai,

Penerbit LP3ES, Jakarta, 1989 49 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Penerbit Alfabeta, Bandung, 2005, hal 89-

116.

29

H. JANGKAUAN PENELITIAN

Sebuah penelitian tentu memerlukan suatu batasan waktu yang akan

diteliti agar tidak terlalu melebar. Dengan adanya jangkauan waktu yang jelas

maka penelitian dapat lebih fokus terhadap pembuktian hipotesa dalam menjawab

pertanyaan penelitian dan tidak melebar ke masalah yang tidak berkaitan. Dalam

penelitian ini, jangkauan waktu yang diteliti adalah kebijakan-kebijakan

pemerintah terkait perkembangan daya saing industri otomotif Indonesia untuk

menghadapi MEA 2015, sejak tahun 2007 hingga pertengahan 2015 serta

efektivitas kebijakan tersebut terhadap peningkatan daya saing industri otomotif

di era MEA 2015.