Upload
lamngoc
View
221
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Globalisasi menciptakan hubungan yang lebih dinamis bagi kerjasama antar
negara, memberikan peluang sekaligus tantangan bagi komunitas negara-negara di
dunia. Globalisasi telah memudarkan batas-batas geografis antarnegara seiring
dengan meningkatnya kerjasama ekonomi, politik, keamanan dan kerjasama lain
baik dalam kerjasama bilateral, regional maupun multilateral.1 Dengan perkataan
lain, di era globalisasi, kerjasama dan diplomasi antarnegara merupakan hal yang
niscaya terjadi, bahkan menjadi sebuah tren.
Sadar akan kuatnya arus globalisasi, negara-negara yang berada di kawasan
Asia Tenggara pada giliranya bersepakat untuk membentuk sebuah badan
kerjasama antarnegara yang bernama Association South East Asia Nations
(ASEAN). Asosiasi Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara ini didirikan
pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok, Thailand, yang ditandai dengan
penandatanganan Deklarasi ASEAN (atau Deklarasi Bangkok)2 oleh para pendiri
ASEAN, yakni Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand. Kemudian
Brunei Darussalam bergabung pada tanggal 7 Januari 1984, Vietnam pada tanggal
1 Armanatha Nasir, Kesiapan Diplomasi Ekonomi Indonesia dalam Perdagangan
Multilateral, dalam Menjinakkan Metakuasa Global; Suara Indonesia Untuk Globalisasi Yang Lebih Adil, Imam Cahyono (Ed), Kerjasama Prakarsa dan LP3ES, Jakarta, Desember 2008. Hal. 155.
2 Dalam Deklarasi Bangkok tersebut termuat tujuan-tujuan dibentuknya ASEAN yang ringkasannya adalah sebagai berikut: 1) Mempercepat pertumbuhan ekonomi, 2) Meningkatkan perdamaian dan stabilitas regional. 3) Meningkatkan kerjasama aktif dalam berbagai bidang, 4) Saling memberikan bantuan dalam pendidikan dan bidang lain, 5) Bekerjasama secara lebih efektif guna meningkatkan pemanfaatan pertanian dan industri, 6) Memajukan kajian Asia Tenggara, dan 7). Memelihara kerjasama internasional, lihat, Ade Maman Suherman, Organisasi Internasional dan Integrasi Ekonomi Regional Dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003, hal 142.
2
28 Juli 1995, Laos dan Myanmar pada tanggal 23 Juli tahun 1997, dan Kamboja
pada tanggal 16 Desember 1998, dan saat ini ASEAN beranggotakan 10 (sepuluh)
negara.3
Dengan berjalannya waktu dan dalam rangka menghadapi berbagai
tantangan kerjasama regional—termasuk krisis ekonomi 1997—para pempimpin
ASEAN bersepakat untuk memformulasikan ASEAN Vision 2020. Formulasi
ASEAN Vision 2020 ini merupakan hasil dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)
ASEAN II yang dilaksanakan di Kuala Lumpur, Malaysia, tanggal 15 Desember
1997. Dalam ASEAN Vision 2020 termaktub tiga (3) kesepakatan kerjasama
antara negara-negara ASEAN. Kesepakatan tersebut diantaranya adalah; pertama,
menciptakan kawasan ekonomi ASEAN yang stabil, makmur dan memiliki daya
saing tinggi serta melakukan pembangunan ekonomi untuk mengurangi
kesenjangan sosial-ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Kedua, mempercepat
liberalisasi perdagangan di bidang jasa. Dan ketiga, meningkatkan pergerakan
tenaga profesional dan jasa secara bebas di kawasan ASEAN.4
Langkah untuk memperkuat ASEAN Vision 2020 tersebut kembali
digulirkan pada saat KTT ASEAN di Bali pada bulan Oktober 2003. Dalam KTT
tersebut dihasilkan Deklarasi Bali Concord II yang memuat kesepakatan untuk
mewujudkan masyarakat ASEAN (ASEAN community) pada tahun 2020.
Masyarakat ASEAN (ASEAN community) tersebut terdiri dari tiga pilar, yaitu
pada bidang keamanan dan politik dibentuk ASEAN Securty Community (ASC),
3 Tim Penulis Kementerian Perdangan Indonesia, Informasi Umum: Masyarakat Ekonomi
ASEAN, Kementerian Perdangan Indonesia, Jakarta, 2011, hal. 3. 4Departemen Perdagangan Republik Indonesia, Menuju ASEAN Economic Community
2015. Kementrian Perdagangan Republik Indonesia, Jakarta, 2013, hal 3.
3
pada bidang ekonomi dibentuk ASEAN Economic Community (AEC/MEA), dan
pada bidang sosial budaya dibentuk ASEAN Socio-Culture Community (ASCC). 5
Ketiga pilar tersebut saling berkaitan satu sama lain dan saling memperkuat tujuan
pencapaian perdamaian yang berkelanjutan, stabilitas, serta pemerataan
kesejahteraan di kawasan.
Tanpa bermaksud menafikan tiga pilar yang lain, dari ketiga pilar tersebut,
MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) merupakan pilar yang cukup menarik untuk
dibicarakan. Kemenarikan MEA ini bukanlah berangkat dari ruang kosong. Jika
ditelusuri, sebagai forum regional yang awalnya bertujuan untuk kepentingan
politik, ASEAN mulai memberi perhatian pada kerjasama ekonomi pada akhir
1970-an yang ditandai dengan penandatanganan Preferential Trading
Arrangement (PTA) pada 1977. Penandatangan PTA ini menandai dimulainya
proses liberalisasi dan integrasi ekonomi secara formal di forum ASEAN.
Selanjutnya untuk mempercepat proses integrasi ekonomi, para pemimpin
ASEAN membentuk ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada 1992, yang diikuti
dengan pembentukan ASEAN Frameworks Agreement on Services (AFAS) pada
1995 dan ASEAN Investment Area (AIA) pada 1998,6 kemudian dilengkapi
dengan perumusan sektor prioritas integrasi7 dan kerjasama di bidang moneter
lain. Semua hal tersebut merupakan perwujudan dari usaha mencapai MEA.8
5 Departemen Perdagangan Republik Indonesia, Menuju ASEAN Economic Community
2015. Kementrian Perdagangan Republik Indonesia, Jakarta, 2013, hal. 5 6 Aswin Kosotali dan Gunawan Saichu, “Integrasi Ekonomi: Konsep Dasar dan Realitas”
dalam Rahmat Dwi Saputra, dkk, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015: Memperkuat Sinergi ASEAN di Tengah Kompetisi Global, Kompas Gramedia: Jakarta, 2008, hal. 38.
7 Sektor prioritas integrase ekonomi ASEAN ini ada 12 sektor, yaitu produk pertanian, angkutan udara, otomotif, e-ASEAN, elektronik, perikanan, kesehatan, produk karet, tekstil dan apparel, pariwisata, produk kayu, dan jasa logistik. Lihat, Joko Siswanto dan Aditya Rachmanto, “Menuju Kawasan Bebas Aliran Barang ASEAN 2015” dalam Rahmat Dwi Saputra, dkk,
4
Realisasi konsep MEA yang mulai digunakan sejak Deklarasi Bali Concord
II itu dibangun melalui lima pilar, yaitu: aliran bebas barang, jasa, investasi,
tenaga kerja terampil, dan aliran modal yang lebih bebas.9 Selain itu,
pembentukan MEA ini dilakukan melalui empat kerangka strategis, yaitu
pencapaian pasar tunggal dan kesatuan basis produksi, kawasan ekonomi yang
berdaya saing, pertumbuhan ekonomi yang merata dan terintegrasi dengan
perekonomian global. Dengan terbentuknya MEA ini diharapkan dapat menjadi
strategi untuk mencapai daya saing yang tangguh dan di sisi lain akan
berkontribusi positif bagi masyarakat ASEAN secara keseluruhan maupun
individual negara anggota. Penbentukan MEA juga diharapkan akan menjadikan
posisi ASEAN semakin kuat dalam menghadapi negosiasi internasional, baik
dalam merespons meningkatnya kecenderungan kerjasama regional, maupun
dalam posisi tawar ASEAN dengan mitra dialog, seperti China, Korea, Jepang,
Australia-Selandia Baru, dan India.10
Langkah untuk memperkuat untuk memperkuat kerangka kerja MEA
kembali digulirkan oleh para Pemimpin ASEAN pada tahun 2006 antara lain
dengan formulasi blue print atau cetak biru. Blueprint pada ASEAN Economi
Community tersebut memuat beberapa pokok kerjasama utama. Pertama, ASEAN
sebagai pasar tunggal dan berbasis produksi harus didukung elemen barang, jasa,
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015: Memperkuat Sinergi ASEAN di Tengah Kompetisi Global, Kompas Gramedia: Jakarta, 2008, hal. 72.
8 Aida S Budiman, “Pendahuluan”, dalam Rahmat Dwi Saputra, dkk, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015: Memperkuat Sinergi ASEAN di Tengah Kompetisi Global, Kompas Gramedia: Jakarta, 2008, hal. 2.
9 Ibid. 10 Rizal A. Sjaafara dan AIDA S. Budiman, “Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015”, dalam
Rahmat Dwi Saputra, dkk, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015: Memperkuat Sinergi ASEAN di Tengah Kompetisi Global, Kompas Gramedia: Jakarta, 2008, hal. 9-10.
5
investasi, tenaga terdidik, dan aliran modal yang lebih bebas. Kedua, ASEAN
sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi yang tinggi, harus didukung oleh
elemen peraturan kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan
intelektual, pengembangan infrastruktur, perpajakan, dan e-commerese. Ketiga,
sebagai kawasan dengan pengembangan ekonomi yang merata, harus dilakukan
dengan membangun dan memperkuat pengembangan usaha kecil dan menegah
serta prakarsa untuk memperkuat negara-negara CMLV (Cambodia, Myanmar,
Laos dan Voetnam). Keempat, ASEAN sebagai kawasan yang terintergrasi
dengan perekonomian global, harus didukung oleh penguatan hubungan ekonomi
kawasan dan meningkatkan peran serta dalam jejaring produksi global.11
Pada perkembangan berikutnya, dengan mempertimbangkan keuntungan
dan kepentingan ASEAN untuk menghadapi tantangan daya saing global,
kemudian para pempimpin ASEAN memutuskan untuk mempercepat
Pembentukan MEA dari 2020 menjadi 2015 (12th ASEAN Summit, Januari 2007).
Keputusan ini juga menjadi political will para pemimpin ASEAN ditandai dengan
ditandatanganinya ASEAN Charter (Piagam ASEAN) yang terdiri dari cetak biru
dan jadwal strategis pencapaian MEA di Singapura pada 20 November 2007 (13th
ASEAN Summit, 20 November 2007). Dokumen tersebut berisi komitmen negara
anggota atas keseriusan pencapaian MEA di mana evaluasi pencapaian MEA akan
dilakukan melalui serangkaian indikator kinerja yang disepakati dan diumumkan
ke masyarakat luas.12
11 Menuju ASEAN Economic Community, Ibid, hal 10 12 Aida S Budiman, “Pendahuluan”, ibid, hal. 3.
6
Sebagai salah satu anggota ASEAN yang juga turut menandatangani
komitmen tersebut, Indonesia harus berupaya mencapai MEA di tahun 2015 guna
menjaga kredibilitas nasioal. Apalagi bagi Indonesia, ASEAN merupakan
lingkungan utama politik luar negerinya.13 Sebagai salah satu negara yang
memiliki peranan terpenting dalam ASEAN, Indonesia tentu dituntut untuk
merealisasikan lima pilar MEA, yaitu aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga
kerja terampil, dan aliran modal yang lebih bebas.
Namun, realitas sikap pemerintah Indonesia saat ini, dalam kajian hubungan
internasional, Indonesia masih melihat ASEAN dalam bingkai politik luar negeri.
Indonesia masih menganggap ASEAN sebagai bagian luar dari sistem Negara
Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari isu nasionalisme yang begitu kuat. Semangat
nasionalisme inilah yang kadang berseberangan dengan realitas politik
perdagangan ASEAN. Semangat nasionalisme ini secara normatif memiliki
hubungan erat dengan proteksionisme. Padahal, tuntutan realisasi MEA
mengharuskan Indonesia untuk membuka pasarnya secara luas dan bebas. Di sini
kemudian Indonesia harus mengalami dilema, di satu sisi pemerintah dengan
perjanjian ASEAN Economic Community harus membuka pasar, tetapi di sisi lain
harus tetap menjaga kepentingan nasional dan memberikan perlindungan terhadap
pasar dalam negeri. Indonesia harus mengupayakan komitmennya terhadap MEA
dengan melakukan liberalisasi pasar, namun di sisi lain Indonesia dituntut untuk
tetap teguh dengan prinsip ekonomi yang berbasis kekeluargaan.
13 Pandu Utama Mandala, Peran Indonenesia Dalam Regionalisme ASEAN, Tesis Ilmu
Politik, FISIP-Universitas Indonesia, Jakarta, 2009, hal 80.
7
Sikap Indonesia terhadap negara-negara ASEAN inilah yang dianggap
justru menghambat pengembangan ekonomi ASEAN untuk menjadi komunitas
ekonomi dunia. Dari 10 negara ASEAN, Indonesia merupakan negara yang paling
terakhir malakukan ratifikasi terhadap piagam tersebut. Indonesia baru melakukan
ratifikasi terhadap perjanjian ASEAN Economic Community pada tahun 2008.14
Selain itu, di antara negara-negara yang menjadi anggota ASEAN, Indonesia
merupakan Negara yang paling banyak memiliki hambatan non-tarif, yaitu
sebanyak 14 non-tariff measures (NTM).15
Berangkat pada kondisi nasional dan internasional tersebut secara perlahan
pemerintah Indonesia yang dimotori oleh kementrian perindustrian dan
perdagangan membuka keran pasar internasional. Salah satu sektor yang
diupayakan adalah sektor industri, dalam hal ini industri otomotif. Pemerintah
melihat, sektor industri otomotif adalah salah satu sektor yang paling siap dan
mampu bersaing di pasar regional maupaun internasional. Setidaknya ada 3 alasan
mengapa sektor industri otomotif ini menjadi prioritas, pertama karena dalam
sektor otomotif Indonesia merupakan koordinator negara-negara ASEAN untuk
mengintegrasikannya di era MEA. Kedua, produk otomotif Indonesia sudah ada
yang telah diekspor di kawasan negara-negara ASEAN.16 Ketiga, berdasar pada
data Gaikindo, daya saing industri otomotif Indonesia saat ini terus meningkat,
baik dari sisi jumlah produksi maupun penjualan. Bahkan dalam segi penjualan,
14 Pandu Utama Mandala, Peran Indonenesia Dalam Regionalisme ASEAN, ibid hal 85. 15 Joko Siswanto dan Aditya Rachmanto, “Menuju Kawasan Bebas Aliran Barang
ASEAN 2015”, ibid, hal. 107. 16 Syamsul Arifin dan Aida S. Budiman, “Peluang dan Tantangan Pembentukan MEA
2015 bagi Indonesia’, dalam Rahmat Dwi Saputra, dkk, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015: Memperkuat Sinergi ASEAN di Tengah Kompetisi Global, Kompas Gramedia: Jakarta, 2008, hal. 287.
8
Indonesia saat ini tercatat sebagai negara dengan jumlah penjualan produk
otomotif terbanyak di ASEAN.
Kapasitas produksi industri otomotif Indonesia memang masih berada di
bawah Thailand. Namun, melihat tren pertumbuhan produktivitas industri
otomotif di Negara-negara ASEAN, agaknya daya saing industri otomotif
Indonesia dalam hal produktivitasnya dapat dikatakan memiki prospek yang
cerah. Berdarkan data dari GAIKINDO, sejak tahun 2007 hingga tahun 2015
pertengahan, pertumbuhan produktivitas industri otomotif Indonesia hampir selalu
bergerak naik. Pada tahun 2007 produktivitas industri otomotif Indonesia masih
menduduki peringkat ketiga di ASEAN, di bawah Malaysia dan Thailand. Pada
tahun 2008 produktivitas industri otomotif Indonesia mulai naik dan mengungguli
Malaysia. Namun, pada tahun 2009 produktivitas industri otomotif Indonesia
kembali terpuruk dan kembali berada di bawah Malaysia. Sejak tahun 2009
hingga 2015 pertengahan, produktivitas industri otomotif Indonesia terus tumbuh
pesat dan jauh meninggalkan salah satu pesaingnya, yaitu Malaysia. Sejak tahun
2010 pertumbuhan produktivitas industri otomotif Indonesia terus membaik dan
menempati posisi nomor dua untuk kawasan ASEAN, di bawah Thailand.17
Namun, meskipun dari segi produktivitas industri otomotif Indonesia masih
berada di bawah Thailand, dari segi penjualan atau pasar saat ini industri otomotif
Indonesia sudah mengungguli Thailand dan berhasil menjadi yang nomor satu di
ASEAN. Pada tahun 2007 dan 2009 pasar industri otomotif Indonesia memang
pernah mengalami penurunan dan berada di peringkat ke tiga di kawasan ASEAN,
17 GAIKINDO
9
di bawah Malaysia dan Thailand. Namun, pada perkembangan berikutnya
pertumbuhan pasar industri otomotif Indonesia terus bergerak naik dan berhasil
menjadi yang nomor satu di kawasan ASEAN pada tahun 2011 dengan penjualan
mencapai 894.164 unit per tahun, mengungguli Thailand yang pada waktu itu
hanya mencatat penjualan sebesar 794.081.18
Dua tahun kemudian, pada tahun 2012 dan 2013 pasar industri otomotif
Thailand kembali naik cukup pesat dan kembali mengungguli pasar industri
otomotif Indonesia. Namun, kondisi pasar industri otomotif Thailand jatuh cukup
jauh pada tahun 2014 dan 2015. Situasi politik Thailand yang tidak menentu
membuat pasar pasar industri otomotif Thailand terpuruk dan jatuh, yang pada
tahun 2012 mencapai penjualan 1.436.335 unit per tahun, menjadi 881.832 unit
per tahun pada tahun 2014.19 Sementara di sisi lain, pasar industri otomotif
Indonesia terus menujukkan pertumbuhan yang positif. Sejak tahun 2010 tren
pasar industri otomotif Indonesia terus tumbuh baik dan pada tahun 2014 dan
2015 bergerak jauh mengungguli pasar industri otomotif Thailand.
Geliat positif pertumbuhan daya saing industri otomotif di Indonesia
tersebut, tentu tidak dapat dilepaskan dari peran pemerintah dalam menyokong
pertumbuhan industri otomotif tanah air di era MEA. Sebagaimana pendapat
Michael E. Porter,20 kuat atau lemahnya daya saing sebuah industri, dalam hal ini
industri otomotif, akan sangat dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan Negaranya.
Seperti, peran Negara dalam menciptakan kondisi nasional yang kondusif,
18 Ibid. 19 Ibid. 20 Michael E. Porter, “The Competitive Advantages of Nations” dalam Harvard Busisnes
Review, edisi March-April 1990.
10
pembuatan peraturan-peraturan, dan dorongan produksi. Atas dasar hal tersebut,
penulis kemudian menjadi tertarik untuk mengkaji kebijakan-kebijakan
pemerintah Indonesia di sektor industri otomotif secara lebih mendalam.
B. PERTANYAAN PENELITIAN
Berdasarkan latar belakang yang telah diulas sebelumnya, maka ada dua
pertanyaan yang hendak dijawab dalam penelitian ini, yaitu;
1. Seberapa efektif kebijakan peningkatan daya saing industri otomotif
Indonesia dalam menghadapi MEA 2015?
C. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Memahami dan memaparkan kebijakan pemerintah Indonesia dalam
menguatkan daya saing di sektor industri otomotif menghadapi MEA
2015.
2. Mengamati efektivitas kebijakan pemerintah Indonesia dalam
menguatkan daya saing di sektor industri otomotif menghadapi MEA
2015.
D. TINJAUAN PUSTAKA
Topik tentang MEA 2015 dan topik tentang industri otomotif merupakan
topik yang cukup umum. Ada banyak literatur yang membahas tentang topik
MEA 2015, demikian juga yang membahas tentang industri otomotif. Namun,
sejauh pengamatan penulis, literatur-literatur yang membahas tentang kebijakan
pemerintah Indonesia terkait perkembangan daya saing industri otomotif dalam
11
menghadapi MEA 2015 serta efektivitas dari kebijakan tersebut terhadap daya
saing industri otomotif Indonesia di era MEA 2015, masih amat langka. Berikut
akan disajikan beberapa literatur yang memiliki keterkaitan tema, namun dalam
beberapa hal cukup berbeda dengan penelitian yang hendak penulis lakukan.
Pertama, kajian yang dilakukan oleh Jose Fernandes dan Roos K.
Andadari21, keduanya meneliti tentang persepsi kelompok sosial (dalam hal ini
mahasiswa) dalam masyarakat dalam menyongsong diberlakukannya MEA 2015.
Persepsi ini berkaitan dengan sikap-sikap individu dalam masyarakat. Pendekatan
penelitian yang bersifat kualitatif ini menghasilkan rumusan bahwa tidak semua
mahasiswa sebagai kelompok sosial masyarakat mengetahui tentang MEA 2015.
Faktor yang mempengaruhi diantaranya adalah sumber informasi yang terbatas
yang diakibatkan oleh ketidakterpaduan kebijakan serta tingkat antusiasme
mahasiswa yang cukup rendah, menyebabkan informasi yang diterima tentang
MEA 2015 amat terbatas. Namun, meskipun sedikit banyak kajian ini telah
membahas tentang MEA 2015, kajian ini tidak membahas tentang kebijakan-
kebijakan pemerintah Indonesia dalam sektor industri otomotif dalam menghadapi
MEA 2015.
Kedua, Kajian yang dilakukan oleh Bank Indonesia berjudul “Outlook
Ekonomi Indonesia; Integrasi Ekonomi ASEAN dan Prospek Perekonomian
Nasional”.22 Kajian ini disusun berdasar pada roundtable discussion pada
21 Jose Fernandes dan Roos K. Andadari, Persepsi Mahasiswa Terhadap Pemberlakuan
Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Kristen Satya Wacana, Makalah, Semarang, Desember 2012.
22 Bank Indonesia, Outlook Ekonomi Indonesia; Integrasi Ekonomi ASEAN dan Prospek Perekonomian Nasional, Biro Riset Ekonomi Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia, Jakarta, Januari 2008.
12
berbagai Focus Group Discussion yang dilakukan antara berbagai pihak,
diantaranya Departemen Keuangan, Departemen Perdagangan, BAPPENAS, IPB,
LIPI, CSIS, KADIN, GAIKINDO, dan API. Pendekatan analisis penelitian ini
merupakan analisis ekonomi dan merupakan kesimpulan dari tim peneliti
ekonomi. Paparan tentang peta ekonomi beserta tantangan dan peluang ekonomi
Indonesia nampak jelas dalam penelitian ini. Titik lemah dalam kajian ini, meski
peta-peta tampak dijelaskan akan tetapi belum ada rumusan upaya-upaya strategis
dalam bentuk kebijakan. Kebijakan diserahkan kepada otoritas kebijakan sehingga
kajian ini lebih tepat disebut peta ekonomi. Sebagai peta, paparan dalam temuan
kajiannya harus dikembangkan. Selain itu, kajian ini juga tidak mengangkat
secara khusus tentang kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia dalam sektor
industri otomotif dalam menghadapi MEA 2015..
Ketiga, Kajian berjudul “Integrasi Ekonomi Regional Menuju Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) 2015: Kajian mengenai kesiapan Indonesia menghadapi
Free Flow of Goods sebagai implementasi dari Single Market and Production
Base” oleh Solikhatun Isnaini.23 Penelitian ini berupaya untuk melihat pengaturan
integrasi ekonomi regional ASEAN menurut Hukum Internasional. Fokus lain
dalam pendekatan hukum ini juga untuk melihat bagaimana persiapan pemerintah
Indonesia menghadapi integrasi ekonomi regional dalam mempersiapakan dasar
hukum pemberlakuannya. Hasilnya, diantara negara-negara ASEAN, pemerintah
Indonesia menjadi negara yang cukup terlambat dalam mempersiapkan aturan
23 Solikhatun Isnaini , Integrasi Ekonomi Regional Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA) 2015: Kajian mengenai kesiapan Indonesia menghadapi Free Flow of Goods sebagai implementasi dari Single Market and Production Base, Fakultas Hukum, Universitas Jendral Sudirman, Purwokerto, 2013.
13
hukum dalam persaingan ekonomi ASEAN tersebut. Karena berfokus pada kajian
hukum, penelitian ini pun luput untuk mengangkat tema kebijakan-kebijakan
pemerintah Indonesia dalam sektor industri otomotif dalam menghadapi MEA
2015.
Keempat, penelitian yang berjudul Implementasi Integrasi Ekonomi ASEAN
2015 Terhadap Ekonomi Indonesia yang ditulis oleh Jose Fernandes dan Roos K.
Andadari.24 Kajian ini juga melakukan kajian tentang implementasi integrasi
ekonomi ASEAN terhadap ekonomi Indonesia. Kajian yang dilakukan bersifat
futuristik atau berdasar pada prediksi-prediksi masa depan ekonomi Indonesia
pasca diberlakukannya MEA 2015. Namun, buku ini juga tidak menyinggung
tentang kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia dalam sektor industri otomotif
dalam menghadapi MEA 2015.
Kelima, buku “Menuju ASEAN Economic Community” yang diterbitkan
oleh Kementrian Perdagangan25. Seperti halnya kajian Jose Fernandes dan Roos
K. Andadari, buku Kementrian Perdagangan ini juga bersifat futuristik, tetapi
agak bertolak belakang. Kajian Jose Fernandes dan Roos K. Andadari lebih
banyak menyampaikan tentang kekhawatiran akan masa depan ekonomi Indonesia
karena pemerintah belum dianggap serius, maka sebaliknya Kementrian
perdagangan justru lebih menampilkan optimisme masa depan ekonomi Indonesia
dalam berbagai sektor dengan upaya-upaya yang sudah dilakukan. Seperti juga
kajian futuristik sebelumnya buku ini tidak membahas secara spesifik tentang
24 Jose Fernandes dan Roos K. Andadari, Dampak Integrasi Ekonomi ASEAN 2015
Terhadap Ekonomi Indonesia, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Kristen Satya Wacana, Semarang, 2013.
25 Kementrian Perdagangan RI, Menuju ASEAN Economic Community 2015, Direktur Jendral Perdagangan Internasional, Jakarta 2013
14
kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia dalam sektor industri otomotif dalam
menghadapi MEA 2015.
Keenam, Penelitian yang berkaitan dengan peran dan kebijakan, beberapa
diantaranya dilakukan oleh Pandu Utama Mandala26, Yuventus Effendi dan
Suska27, serta Raisa Samantha Sudana28. Penelitian Pandu Utama Mandala
berjudul “Peran Indonenesia Dalam Regionalisme ASEAN”, dan penelitian
Yuventus Effendi dan Suska berjudul “ASEAN Investment Forum Untuk
Mendorong Investasi di Kawasan ASEAN”. Sedangakan penelitian Raisa
Samantha Sudana berjudul “Peranan Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam
Persiapan Menyongsong Asean Economic Comunity 2015”. Penelitian tersebut
meski memiliki fokus pada kebijakan, ketiganya menggunakan pendekatan yang
berbeda. Penelitian Pandu Utama Manadala menggunakan pendekatan ekonomi-
politik, dan pendekatan Yuventus Effendi dan Suska menggunakan pendekatan
ekonomi makro. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Samantha Sudana
menggunakan pendekatan ilmu hukum. Jika ketiganya dilihat sebagai sebuah
kesatuan, maka penelitian ini akan saling melengkapi. Pertama, pada penelitian
yang dilakukan olej Pandu Utama Mandala, titik letak kebijakan yang harus
diambil oleh pemerintah tampak pada keniscayaan bahwa kebijakan harus
mengedepankan kemandirian bangsa sehingga daya tawar negara dihadapan
bangsa lain kuat. Potensi dan kekayaan alam Indonesia harus dimanfaatkan
26 Pandu Utama Mandala, Peran Indonenesia Dalam Regionalisme ASEAN, Tesis Ilmu
Politik, FISIP-Universitas Indonesia, Jakarta, 2009 27 Yuventus Effendi dan Suska, ASEAN Investment Forum Untuk Mendorong Investasi di
Kawasan ASEAN, Makalah Forum Investasi ASEAN, Jakarta 6 Desember 2011. 28 Raisa Samantha Sudana, Peranan Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam Persiapan
Menyongsong Asean Economic Comunity 2015, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 2013.
15
dengan baik sehingga daya tawar Indonesia kuat. Kedua, kebijakan investasi di
Indonesia menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia terbuka. Sebagai negara
terbuka, Indonesia tidak lagi dianggap takut terhadap ancaman negara ataupun
korporasi dari negara-negara lain yang melakukan usahanya di Indonesia. Namun
demikian, investasi sebagai negara-negara di kawasan ASEAN harus
mengedepankan kerjasama. Pada kajian hukum sebagaimana dilakukan oleh
Sudana, kebijakan pemerintah, baik pada kerjasama ekonomi, politik,
perdagangan ataupun investasi harus diletakkan pada konstitusi sehingga
kebijakan tersebut tidak menabrak konstitusi dasar sebuah negara. Namun,
penelitian-penelitian tersebut belum membahas secara spesifik tentang
implementasi kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia terhadap daya saing
sektor industri otomotif Indonesia di era MEA 2015.
Ketujuh, penelitian Patrick Kuntara Harpranata Silangit yang berjudul
“Langkah Strategis Ekonomi Indonesia Menghadapi ME ASEAN 2015“.29 Patrick
mengungkapkan strategi kebijakan berkaitan dengan peningkatan daya saing
produk Indonesia dalam menghadapi ME ASEAN 2015 berdasar analisis dari
roadmap HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia), setidaknya terdapat
tiga indikator yang digunakan untuk meraba posisi Indonesia di ekonomi ASEAN.
Pertama, pangsa ekspor Indonesia ke negara-negara ASEAN cukup besar. Nilai
ekspor Indonesia ke Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand mencapai 13,9 %
dari total ekspor Indonesia pada 2005. Kedua, daya saing ekonomi Indonesia lebih
buruk dibandingkan negara ASEAN lainnya. Sebagaimana yang dilaporkan oleh
29 Kuntara Harpranata Silangit, Langkah Strategis Ekonomi Indonesia Menghadapi ME
ASEAN 2015, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2013
16
World Economic Forum dalam Global Competitiveness Index 2011-2012,
peringkat Indonesia turun menjadi peringkat 46 dari peringkat 44 pada 2010.
Ketiga, percepatan investasi di Indonesia tertinggal bila dibandingkan negara
ASEAN lainnya. Selain akibat dari sisa krisis ekonomi, rendahnya investasi
dipicu pula oleh buruknya infrastruktur ekonomi, kelambanan birokrasi dan
mahalnya izin usaha. Namun, penelitian ini juga masih belum membahas secara
memadai tentang kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia dalam sektor industri
otomotif dalam menghadapi MEA 2015.
Kedelapan, tesis Enggar Furi Herdianto yang berjudul Industri Otomotif
Thailand Dan Indonesia: Analisis Rent.30 Tesis ini membahas efektivitas
upgrading industri otomotif Thailand dan Indonesia melalui prespektif global
value chain, serta pelajaran apa yang dapat Indonesia dapat pelajari dari
perkembangan Thailand. Namun, karena berfokus pada upgrading industri
otomotif Thailand dan Indonesia, tema tentang kebijakan-kebijakan pemerintah
Indonesia dalam sektor industri otomotif dalam menghadapi MEA 2015, tidak
mendapatkan porsi yang banyak dalam penelitian tersebut.
Kesembilan, tesis Muhtar Rasyid yang berjudul Kinerja sektor industri
otomotif berdasarkan indiaktor price-cost margin di Indonesia, 1999-2006.31
Tesis ini menganalisis trend kinerja industri otomotif dan menguji pengaruh
market share, intensitas kapital, intensitas impor serta produktivitas tenaga kerja
terhadap kinerja industri otomotif nasional. Indikator price-cost margin digunakan
30 Enggar Furi Herdianto, Industri Otomotif Thailand Dan Indonesia: Analisis Rent,
Hubungan Internasional UGM, 2013. 31 Muhtar Rasyid, Kinerja sektor industri otomotif berdasarkan indiaktor price-cost
margin di Indonesia, 1999-2006, Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan UGM, 2009.
17
untuk mengukur kinerja industri otomotif Indonesia tahun 1999-2006. Namun,
meski sudah membahas tentang indutri otomotif Indonesia, tesis tersebut sama
sekali tidak mengulas tentang keterkaitan industri otomotif dengan MEA 2015,
terlebih tentang kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia dalam sektor industri
otomotif dalam menghadapi MEA 2015..
Melihat tidak adanya literatur yang membahas secara spesifik tentang
kontribusi sektor industri otomotif bagi Indonesia di era MEA 2015, maka
penelitian ini pun menjadi amat relevan untuk dilakukan.
E. KERANGKA KONSEPTUAL
1. Konsep Porter’s Diamond Framework
Konsep Porter’s Diamond Framework ini merupakan konsep yang
pertama kali dikenalkan secara eksplisit oleh Michael E. Porter. Dia pernah
menuliskan sebuah artikel yang berjudul The Competitive Advantages of
Nations.32 Dalam artikel itu, Michael E. Porter mengkaji secara mendalam
tentang pengembangan daya saing industri. Berdasarkan kajiannya tersebut,
Michael E. Porter kemudian mengatakan bahwa Daya saing suatu negara dalam
industri tertentu dapat ditingkatkan melalui Diamond Framework.
Secara umum, konsep Diamond Framework ini menguraikan tentang hal-
hal yang harus diperhatikan jika menginginkan mengembangkan daya saing
sebuah industri. Menurut Porter, terdapat sinergi antara pemerintah dan dunia
industri untuk meningkatkan daya saing negara dalam perdagangan
internasionalnya. Sinergi tersebut amat membantu untuk mendukung eleman-
32 Michael E. Porter, “The Competitive Advantages of Nations” dalam Harvard Busisnes
Review, edisi March-April 1990.
18
elemen penting dan membentuk keunggulan kompetitif. Terdapat empat pilar
dalam membentuk daya saing suatu negara, dimana daya saing ini dapat
ditingkatkan hingga mencapai titik yang membuat industri domestik mampu
bersaing dengan industri global dalam perdagangan internasional.
Adapun empat pilar dalam membentuk daya saing suatu negara tersebut,
1) Factor condition, yaitu bagaimana kondisi faktor produksi pada suatu
negara seperti ketersediaan infrastruktur yang memadai dan lain hal yang
dapat mendukung daya saing industri.
2) Demand condition, yaitu bagaimana kondisi permintaan pasar misalnya:
1.Memiliki pembeli yang beragam. 2. Adanya tekanan dari pelanggan
untuk selalu melakukan inovasi. 3. Ukuran permintaan cukup besar dan
dapat terlihat dengan jelas. 4. Memiliki segmen konsumen yang berlapis.
3) Related and supporting industry, yaitu kehadiran industri terkait dan
industri pendukungnya yang berdaya saing internasional. Misalnya : 1.
Adanya akses yang efisien ke input. 2. Selalu ada koordinasi yang tak
putus. 3. Menolong proses inovasi dan peningkatan (upgrading)
berdasarkan pada pertukaran litbang, informasi, dan ide. 4. Membawa
kepada industri yang kompetitif. 5. Mendorong permintaan untuk produk-
produk pendukung. 6. Memaksakan keunggulan kompetitif untuk industri-
industri yang terkait.
4) Firm strategy, structure, and rivaly, yaitu bagaimana negara
mengkondisikan dan mengatur industri serta kaitannya dengan persaingan
19
domestik.33misalnya Perusahaan harus memiliki tujuan, struktur
kepemilikan yang membanggakan bangsa, dan selalu berkomitmen dengan
visi nasional maupun negara.
Berikut interaksi keempat elemen penting tersebut dalam sebuah gambar.
Interaksi Elemen Pembentuk Keunggulan Kompetitif
Diagram tersebut menunjukkan bahwa interaksi dari keempat elemen
tersebut keterkaitannya didukung oleh peranan pemerintah dalam meningkatkan
daya saing suatu industri. Pemerintah dapat memberikan lingkungan yang
kondusif agar keempat elemen tersebut dapat bekerja secara optimal membentuk
dan membangun daya saing negara.
Selain itu, menurut Michael E. Porter keempat hal tersebut dipengaruhi
oleh dua hal, yaitu pemerintah (goverment) dan kesempatan (chance). Dua hal ini
sangat berpengaruh terhadap perkembangan Factor condition, Demand condition,
33 Ibid, hal. 78.
20
Related and supporting industry, dan Firm strategy, structure, and rivaly.34
Tanpa peran pemerintah dan adanya kesempatan, empat hal tersebut akan sulit
utuk menjadi kondusif.
Dalam industri otomotif Indonesia, seiring dengan disepakatinya cetak
biru MEA 2015, pemerintah Indonesia terus berupaya untuk mendorong
pertumbuhan daya saing industri otomotif. Berdasarkan pengamatan penulis,
pemerintah Indonesia cukup memberi perhatian lebih terhadap empat hal
sebagaimana diuraikan Porter di atas.
Pertama, dalam hal memberi perhatian terhadap Factor condition. Ada
dua kebijakan besar yang ditempuh pemerintah Indonesia dalam rangka
memperhatikan Factor condition di sektor industri otomotif, yaitu Kebijakan
Peningkatan Infrastruktur Industri Otomotif Indonesia oleh BUMN dan Kebijakan
Pengembangan Teknologi Produk Industri Otomotif Indonesia oleh Kementerian
Industri.
Kedua, pemerintah melalui kementerian perindustrian telah berusaha
untuk memperhatikan apa yang disebut oleh Porter sebagai Demand condition.
Dalam hal menjaga kondisi permintaan pasar akan produk otomotif di era MEA
2015, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan pengembangan kendaraan
hemat energi, ramah lingkungan dan harga terjangkau (low cost green
car/LCGC). Kebijakan ini diambil karena permintaan pasar Indonesia (ASEAN)
saat ini cenderung mengarah pada kendaraan LCGC.
34 Michael E. Porter, “The Competitive Advantages of Nations” dalam Harvard Busisnes
Review, edisi March-April 1990. Hlm. 78.
21
Ketiga, pemerintah Indonesia melalui kementerian perindustrian dan
kementerian perdagangan juga memperhatikan kehadiran industri terkait dan
industri pendukung industri otomotif, yaitu industri komponen. Ada dua kebijakan
besar yang lakukan pemerintah Indonesia untuk mendorong daya saing industri
komponen, yaitu pembatasan impor komponen dan program promosi produk
komponen otomotif nasional.
Keempat, dalam hal Firm strategy, structure, and rivaly. Guna
mengkondisikan dan mengatur industri serta kaitannya dengan persaingan
domestik, pemerintah Indonesia melalui kementerian keuangan mengeluarkan
paket kebijakan untuk mendorong investasi industri otomotif Indonesia. Dengan
semakin banyaknya investasi yang masuk ke Indonesia di harapkan persaingan
industri otomotif di Indonesia akan semakin kompetitif dan semakin memperkuat
daya saingnya.
2. Konsep Daya Saing
Konsep daya saing merupakan satu dari sekian konsep yang sangat
populer, tetapi tidak terlalu sederhana untuk dipahami. Seperti diungkapkan oleh
Garelli, konsep yang multidimensi ini sangat memungkinkan beragam definisi dan
pengukuran. Meski begitu, bahasan konsep daya saing setidaknya memiliki tiga
aspek tinjauan, yakni: pada tingkat perusahaan, industri atau sehimpunan atau
sekelompok industri, dan negara atau daerah (sebagai suatu entitas ekonomi).35
Pemaknaan daya saing pada konteks tersebut berbeda. Akan tetapi, daya
saing pada masing-masing tingkatan tersebut saling terkait secara erat. Daya saing
35 Porter, Michael. 1990. The Competitive Advantage of Nations . New York : The Free
Press, A Division of Macmillan 1990
22
pada tingkatan perusahaan merupakan elemen dasar dalam membentuk daya saing
pada tingkat industri, daerah maupun negara.36 Sementara di pihak lain, berbagai
kondisi dan faktor yang ada dalam suatu industri dan di suatu daerah tertentu atau
negara dapat membentuk konteks bagi perkembangan daya saing perusahaan
dalam industri dan di wilayah yang bersangkutan. Isu ini merupakan salah satu
topik yang terus diperdebatkan dalam diskusi tentang daya saing.
Daya saing industri dapat diartikan suatu industri dikatakan berdaya saing
(kompetitif) jika memiliki tingkat produktivitas faktor keseluruhan (total factor
productivity/TFP) sama atau lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pesaing
asingnya (foreign competitors). Atau, suatu industri dapat dikatakan berdaya saing
(kompetitif) jika memiliki biaya satuan (rata-rata) sama atau lebih rendah apabila
dibandingkan dengan pesaing asingnya (foreign competitors).37
Selain itu, daya saing industri juga dilihat dalam konteks kemampuan
perusahaan atau industri dalam menghadapi tantangan persaingan dari para
pesaing asingnya (US Department of Energy). Aspek kemampuan yang dimaksud
adalah daya dukung kemampuan perusahaan, industri, daerah, atau negara
ataupun supranational regions untuk menciptakan tingkat pendapatan dan
pemanfaatan faktor yang relatif tinggi, sambil tetap mampu mempertahankan
keberadaan dalam persaingan internasional.38
Menurut Kadocsa, ada beberapa indikator untuk mengukur daya saing,
yaitu penerimaan, ekspor, laba, pangsa pasar, produktifitas, standar teknis, nilai
perusahaan, good will, pencitraan, kepuasan konsumen, dan nilai produk dan jasa
36 Ibid. 37 Ibid. 38 Ibid.
23
yang dihasilkan.39 Kadocsa juga menyatakan bahwa secara garis besar, faktor
yang mempengaruhi daya saing dibagi menjadi dua, yaitu faktor eksternal dan
faktor internal. Perbedaan antara faktor eksternal dan internal diberikan Kadocsa40
sebagai berikut:
FAKTOR EKSTERNAL FAKTOR INTERNAL
Employment Marketing
Productivity Innovation
Capital supply opportunities Productivity
Globalisation Knowledge-based development
EU Capital supply
Business relations Management, organisation, structure
Alliances Cost-efficiency
Networks Compliance
Untuk kasus daya saing industri otomotif Indonesia, setelah berbagai
upaya dan kebijakan diterapkan oleh pemerintah Indonesia, daya saing industri
otomotif Indonesia telah berhasil terangkat. Dalam hal produktivitas, berdasarkan
catatan Gaikindo, jumlah produksi industri otomotif Indonesia naik rata-rata 18,1
% selama periode 2010-2014 yaitu mencapai 1.298.523 unit pertahun di tahun
2014, namun sedikit turun, yaitu 1,4%, pada pertengahan tahun 2015.41
39 György Kadocsa, “Research of Competitiveness Factors of SME” dalam Acta
Polytechnica Hungarica Vol. 3, No. 4, 2006. Keleti Károly Faculty of Economics, Budapest Tech. 40 Ibid. 41 Data Base Gaikindo
24
Berikutnya dari segi pemasaran. sejak tahun 2010 hingga pertengahan
tahun 2015, tren pertumbuhan pasar atau penjualan produk industri otomotif
Indonesia relatif baik. Terhitung sejak tahun 2010 hingga tahun 2013, pasar
industri otomotif Indonesia selalu menunjukkan perkembangan yang positif. Rata-
rata perkembangan pasar industri otomotif Indonesia sejak tahun 2010 hingga
2013 mencapai kisaran rata-rata pertumbuhan penjualan hingga 100.000 unit lebih
dalam setiap tahunnya.42 Memang, kondisi pasar industri otomotif Indonesia sejak
tahun 2010 hingga tahun 2015, pertumbuhannya tidak selalu positif. Semenjak
tahun 2014 hingga pertengahan 2015, laju pertumbuhan pasar industri otomotif
Indonesia cenderung menurun. Namun, tren pasar otomotif Indonesia yang
menurun tersebut tidak terlalu jauh dan besar, hanya kisaran 20.000 unit dari
tahun 2013 ke 2014.43 Kondisi penurunan pasar industri otomotif pada tahun
2014-2015 tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga hampir seluruh
Negara di ASEAN, karena kondisi perokonomian dunia tidak tumbuh baik.
Kondisi penurunan pasar industri otomotif Indonesia tersebut masih wajar dan
relatif sedikit. Apabila dibandingkan dengan penurunan pasar industri otomotif
Thailand, Negara yang selama ini menduduki posisi pertama dalam pasar industri
otomotif ASEAN, penurunan pasar industri omotif Indonesia masih tergolong
rendah, bahkan cenderung stabil.
Dari segi investasi, Indonesia masih menjadi tujuan investasi sejumlah
perusahaan otomotif global. Pada tahun 2013 pertumbuhan investasi di sektor
otomotif Indonesia tumbuh sangat kuat, bahkan PMDN tumbuh hingga lebih dari
42 Ibid. 43 Ibid.
25
300% dan PMA tumbuh hingga lebih dari 100%. Namun, pertumbuhan investasi
di sektor otomotif Indonesia cenderung turun cukup signifikan pada tahun 2014,
yaitu Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) turun hingga 76,31% dan
Penanaman Modal Asing (PMA) turun 44,77%.44 Kondisi penurunan tersebut
kembali membaik setelah memasuki tahun 2015. Berdasarkan laporan triwulan I
dan II BKPM, jumlah realisasi investasi untuk industri otomotif Indonesia mulai
merangkak naik, terutama nilai investasi PMDN. Hingga bulan Juli 2015, nilai
investasi PMDN untuk industri otomotif telah mencapai 934,16 milyar rupiah
dengan jumlah proyek sebanyak 48 proyek. Sedangkan nilai investasi PMA untuk
industri otomotif per Januari-Juli telah mencapai 955,5 juta dolar dengan jumlah
proyek sebanyak 349 proyek.45
Berikutnya dari segi teknologi. Para pengusaha industri otomotif Indonesia
terus bergerak untuk menghasilkan produk-produk otomotif yang berteknologi
tinggi, terutama pada segmen produk LCGC yang merupakan produk utama
industri otomotif Indonesia. Hingga tesis ini ditulis, beberapa perusahaan industri
otomotif Indonesia telah mengeluarkan beberapa produk otomotif terbaru dengan
kualitas teknologi yang bersaing.46
F. ARGUMEN UTAMA
Realitasnya Indonesia merupakan negara yang terluas dan terbesar
penduduknya di kawasan ASEAN. Kondisi ini tentu menjadikan Indonesia
sebagai objek pasar potensial bagi negara-negara yang industri otomotifnya kuat,
44 Laporan kinerja kementerian perindustrian tahun 2014. 45 Laporan triwulan I dan II 2015 Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM)/Indonesia Investment Coordinating Board. 46 Bedah Produk LCGC, dalam Media Industri Kemenperin no. 03. 2013. hlm. 14
26
seperti Thailand, terlebih tahun 2015 ini ASEAN telah menerapkan MEA. Tidak
mau menjadi objek pasar otomotif Thailand di era MEA, pemerintah Indonesia
kemudian mengeluarkan beberapa kebijakan untuk mendorong daya saing
industri-industri otomotif di Indonesia. Upaya-upaya pemeritah tersebut pada
akhirnya cukup efektif mendorong laju pertumbuhan daya saing industri otomotif
Indonesia, sehingga industri otomotif Indonesia semakin baik dan siap bersaing di
era MEA, bahkan dari segi daya saing penjualan saat ini Indonesia tercatat
menjadi yang nomor satu di ASEAN.
G. METODE PENELITIAN
Setiap kegiatan ilmiah untuk lebih terarah dan rasional diperlukan suatu
metode yang sesuai dengan objek yang dikaji, karena metode berfungsi sebagai
cara mengerjakan sesuatu untuk dapat menghasilkan hasil yang memuaskan. Di
samping itu metode merupakan cara bertindak supaya peneliti berjalan terarah dan
mencapai hasil yang maksimal. Oleh karena itu, sebagai salah satu kegiatan
ilmiah, maka penelitian ini pun memiliki metode. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian dalam penelitian ini menggunakan pendekatan
deskriptif kualitatif. Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif. Penelitian
kualitatif disini meletakkan kekuatan pada upaya obyektifitas. Pendekatan ini
dipilih karena penelitian kualitatif mampu menjelaskan divergensi (kenyataan
27
ganda) sebuah obyek penelitian di mana peneliti dan obyek penelitiannya menjadi
instrumen. Divergensi yang terjadi dapat bersifat bertolak belakang, linier maupun
kausalitas (sebab-akibat). Dapat dimaknai bahwa, dalam satu sisi anggota
legislatif merupakan orang-orang pilihan yang dihormati namun disisi lain sebagai
orang terhormat tersebut tidak sedikit anggota dewan yang melakukan
pelanggaran dengan tidak menjalankan tugas dan kewajibannya sebagaimana
seharusnya. Oleh karena itu, pengumpulan data dalam penelitian ini tidak selalu
dapat dijelaskan secara teoretik, tetapi dipandu oleh fakta-fakta dalam penelitian
lapangan.47
2. Obyek Penelitian
Segaris dengan masalah yang hendak diuraikan dalam penelitian ini, maka
obyek penelitian ini adalah kebijakan-kebijakan pemerintah terkait perkembangan
industri otomotif Indonesia sejak 2007-2015 sebagai upaya menghadapi MEA
2015, serta implementasi kebijakan-kebijakan tersebut terhadap daya saing
industri otomotif Indonesia di Era MEA 2015.
3. Metode Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini menggunakan data pustaka. Data pustaka tersebut
berasal dari segala usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun
informasi yang relevan sesuai dengan kajian topik yang diteliti. Informasi itu
dapat diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan penelitian, karangan-karangan
47 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Penerbit Alfabeta, Bandung, 2005, hal 3.
28
ilmiah, peraturan-peraturan, ketetapan-ketetapan, buku tahunan, ensiklopedia,
serta juga termasuk skripsi, tesis dan disertasi.48
Dalam penelitian ini, studi kepustakaan merupakan teknik pengumpulan
data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap berbagai sumber informasi
sebagaimana disebut diatas yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah
Indonesia dalam perdagangan, investasi dan upaya dalam meningkatkan daya
saing pada sektor industri otomotif. Kepustakaan yang digunakan dalam
penelitian ini dapat tertulis dalam bentuk cetak maupun elektronik.
4. Metode Analisa Data
Sesuai dengan jenis penelitian ini, teknik analisa data yang dipergunakan
dalam penelitian ini adalah dengan mengunakan teknik analisa kualitatif. Teknik
analisa kualitatif adalah analisa data dengan menggunakan keterangan atau
penjelasan-penjelasan secara teoritis tentang hubungan antara fakta yang terjadi,
informasi dan data. Metode teknik analisa kualitatif secara spesifik yang
digunakan adalah teknik induktif. Fakta, informasi data serta analisa tersebut
diklasifikasikan dan dikelompokkan (cluster). Klasifikasi dan pengelompokan ini
disesuaikan dengan kebutuhan penelitian, khususnya sesuai dengan pembahasan
pada setiap bab pembahasan penelitian ini. Proses analisa ini dilakukan sejak
penelitian ini dilakukan dari melakukan reduksi data (pengumpulan data), display
data (penyajian data) hingga pada verifikasi dan melakukan simpulani data.
Hasilnya dituangkan dalam laporan penelitian.49
48 Masri Singarimbun dan Sofian Efendi (penyunting), Metode Penelitian Survai,
Penerbit LP3ES, Jakarta, 1989 49 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Penerbit Alfabeta, Bandung, 2005, hal 89-
116.
29
H. JANGKAUAN PENELITIAN
Sebuah penelitian tentu memerlukan suatu batasan waktu yang akan
diteliti agar tidak terlalu melebar. Dengan adanya jangkauan waktu yang jelas
maka penelitian dapat lebih fokus terhadap pembuktian hipotesa dalam menjawab
pertanyaan penelitian dan tidak melebar ke masalah yang tidak berkaitan. Dalam
penelitian ini, jangkauan waktu yang diteliti adalah kebijakan-kebijakan
pemerintah terkait perkembangan daya saing industri otomotif Indonesia untuk
menghadapi MEA 2015, sejak tahun 2007 hingga pertengahan 2015 serta
efektivitas kebijakan tersebut terhadap peningkatan daya saing industri otomotif
di era MEA 2015.