29
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. ANATOMI MEDULA SPINALIS Medulla Spinalis merupakan bagian dari susunan syaraf pusat. Terbentang dari foramen magnum sampai dengan L1. Medula spinalis terletak di canalis vertebralis, dan dibungkus oleh tiga meninges yaitu duramater, arakhnoid dan piamater. Syaraf Spinal dilindungi oleh tulang vertebra, ligament, meningen spinal dan juga cairan LCS (liquor cerebro spinal). LCS mengelilingi medulla spinalis di dalam ruang subarakhnoid. Bagian superior dimulai dari bagian foramen magnum pada tengkorak, tempat bergabungnya dengan medulla oblongata. Medula spinalis berakhir di inferior di region lumbal. Di bawah medulla spinalis menipis menjadi konus medularis dari ujungnya yang merupakan lanjutan piamater, yaitu fillum terminale yang berjalan kebawah dan melekat dibagian belakang os coccygea. Akar syaraf lumbal dan sakral terkumpul yang disebut dengan c auda equine . 5-9 Di sepanjang medulla spinalis melekat 31 pasang saraf spinal melalui radix anterior atau radix motorik dan radix posterior atau radix sensorik. Masing-masing radix melekat pada medulla spinalis melalui fila radikularia yang membentang disepanjang segmen-segmen medulla spinalis yang sesuai. Masing-masing radix saraf memiliki sebuah ganglion radix posterior, yaitu sel-sel yang membentuk serabut saraf pusat dan tepi. 31 pasang saraf spinal diantaranya yaitu 8 pasang syaraf servikal , 12 pasang syaraf torakal , 5 pasang syaraf 2

BAB II edit

Embed Size (px)

DESCRIPTION

cedera servikal

Citation preview

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI MEDULA SPINALISMedulla Spinalis merupakan bagian dari susunan syaraf pusat. Terbentang dari foramen magnum sampai dengan L1. Medula spinalis terletak di canalis vertebralis, dan dibungkus oleh tiga meninges yaitu duramater, arakhnoid dan piamater. Syaraf Spinal dilindungi oleh tulang vertebra, ligament, meningen spinal dan juga cairan LCS (liquor cerebro spinal). LCS mengelilingi medulla spinalis di dalam ruang subarakhnoid. Bagian superior dimulai dari bagian foramen magnum pada tengkorak, tempat bergabungnya dengan medulla oblongata. Medula spinalis berakhir di inferior di region lumbal. Di bawah medulla spinalis menipis menjadi konus medularis dari ujungnya yang merupakan lanjutan piamater, yaitu fillum terminale yang berjalan kebawah dan melekat dibagian belakang os coccygea. Akar syaraf lumbal dan sakral terkumpul yang disebut dengancauda equine.5-9Di sepanjang medulla spinalis melekat 31 pasang saraf spinal melalui radix anterior atau radix motorik dan radix posterior atau radix sensorik. Masing-masing radix melekat pada medulla spinalis melalui fila radikularia yang membentang disepanjang segmen-segmen medulla spinalis yang sesuai. Masing-masing radix saraf memiliki sebuah ganglion radix posterior, yaitu sel-sel yang membentuk serabut saraf pusat dan tepi. 31 pasang saraf spinal diantaranya yaitu 8 pasang syaraf servikal, 12 pasang syaraf torakal, 5 pasang syaraf lumbal, 5 pasang syaraf sacral, dan 1 pasang syaraf koksigeal.5-9

Gambar 1. Anatomi Medula spinalis6,9Struktur medulla spinalis terdiri dari substansi abu abu (substansia grisea) yang dikelilingi substansia putih (substansia alba). Pada potongan melintang, substansia grisea terlihat seperti hurup H dengan kolumna atau kornu anterior atau posterior substansia grisea yang dihubungkan dengan commisura grisea yang tipis. Didalamnya terdapat canalis centralis yang kecil. Keluar dari medula spinalis merupakan akar ventral dan dorsal dari syaraf spinal. Substansi grisea mengandung badan sel dan dendrit dan neuron efferen, akson tak bermyelin, syaraf sensoris dan motoris dan akson terminal dari neuron. Bagian Posterior sebagai input atau afferent, anterior sebagai Output atau efferent, comissura grisea untuk refleks silang dan substansi alba merupakan kumpulan serat syaraf bermyelin. 5-9

Gambar 2. Anatomi internal medulla spinalis

B. SISTEM SARAF OTONOMSusunan saraf otonom merupakan bagian susunan saraf yang berhubungan dengan persarafan struktur involunter seperti jantung, otot polos, dan kelenjar di seluruh tubuh, serta tersebar di dalam susunan saraf pusat dan perifer. Susunan saraf otonom dapat dibagi dalam dua bagian simpatis dan parasimpatis dan keduanya mempunyai serabut saraf aferen dan eferen. 9B.1. Bagian simpatis sistem otonomSistem simpatis adalah bagian terbesar dari kedua bagian sistem otonom yang didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh, yang kemudian mempersarafi jantung dan paru, otot pada sebagian besar dinding pembuluh darah, folikel rambut dan kelenjar keringat, serta banyak organ visera abdominopelvik. 9Fungsi sistem simpatis adalah menyiapkan tubuh pada keadaan darurat. Denyut jantung meningkat, arteriola di kulit dan usus mengalami konstriksi, dan arteriola pada otot-otot rangka berdilatasi, serta tekanan darah meningkat.Selain itu, saraf simpatis membuat pupil berdilatasi, menghambat otot polos bronkus, usus, dan dinding vesika urinaria, serta menutup sphincter. Rambut berdiri dan kulit berkeringat.9a. Serabut saraf eferenSubstansia grisea medula spinalis dari segmen torakal I sampai segmen lumbal II, mempunyai cornu laterale atau columna intermedia, yang merupakan tempat badan sel neuron penghubung simpatis. Akson sel-sel ini yang bermielin meninggalkan medulla spinalis pada radix anterior dan kemudian berjalan melalui rami communicates alba ke ganglia paravertebralis truncus sympathicus. Serabut sel-sel penghubung disebut preganglionik karena serabut ini menuju ke ganglion perifer. Saat serabut preganglionik mencapai ganglia pada truncus symphaticus, serabut tersebut mungkin menempuh perjalanan sebagai berikut : 91. Serabut tersebut mungkin berhenti pada ganglion yang dimasukinya dan bersinaps dengan sel-sel eksitator di dalam ganglion. Celah diantara kedua neuron tersebut dijembatani oleh zat neurotransmiter yaitu acetycholine. Axon neuron eksitator yang tidak bermielin meninggalkan ganglion. Serabut saraf postganglionik ini kemudian menuju ke nervi thoracici sebagai rami communicantes grisea dan tersebar dalam cabang-cabang saraf spinal untuk menyarafi otot polos di dalam dinding pembuluh darah, kelenjar keringat, dan musculus arrector pili kulit.2. Sebagian serabut-serabut yang masuk ke dalam ganglia truncus symphaticus di daerah thorax bagian atas akan berjalan sepanjang truncus symphaticus menuju ke ganglia di daerah leher, tempat serabut-serabut tersebut akan bersinap dengan sel-sel eksitator. Di sini serabut saraf postganglionik meninggalkan truncus symphaticus sebagai rami communicantes grisea dan sebagian besar akan bergabung dengan nervi cervicales. Banyak serabut postganglionik yang masuk ke dlaam bagian bawah truncus symphaticus dari segmen bawah thoracal dan dua segmen lumbal bagian atas medulla spinalis akan turun ke ganglia pada regio lumbalis dan sacralis, tempat serbaut-serabut tersebut bersinaps dengan sel eksitator. Serabut postganglionik meninggalkan truncus symphaticus sebagai rami communicantes grisea yang bersatu dengan nervi lumbales, nervi sacrales, dan nervus coccygeus.3. Serabut preganglionik mungkin berjalan melalui ganglia pada bagian thoracal truncus symphaticus tanpa bersinaps. Serabut-serabut bermielin ini membentuk tiga buah nervi splanchnici. Nervus splanchnicus major berasal dari ganglia thoracica ke lima sampai sembilan, menembus diaphragma, dan bersinaps dengan sel-sel eksitator di dalam ganglia coeliaca. Nervus splanchnicus minor berasal dari ganglia thoracica ke sepuluh dan sebelas, menembus diaphragma, dan bersinaps dengan sel-sel eksitator di dalam ganglia coeliaca bagian bawah. Nervus splanchnicus imus berasal dari ganglion thoracica kedua belas, menembus diaphragma, dan bersinaps dengan sel-sel eksitator pada ganglia renalia. Oleh karena itu nervi sphlanchnici terdiri atas serabut-serabut preganglionik. Serabut-serabut postganglionik berasal dari sel-sel eksitator di dalam ganglia yang telah disebutkan, dan tersebar ke otot-otot polos dan kelenjar pada visera. Beberapa serabut preganglionik yang berjalan di dalam nervus splanchnicus major berakhir langsung pada sel-sel di medulla suprarenalis. Sel-sel medula ini dapat dianggap sebagai modifikasi sel-sel eksitator simpatis.b. Serabut saraf aferenSerabut aferen bermielin berjalan dari visera melalui ganglia simpatik tanpa bersinaps. Serabut-serabut tersebut masuk ke saraf spinalis melalui rami communicantes alba dan mencapai badan selnya dalam ganglion sensorium nervi spinalis yang sesuai. Axon sentral kemudian masuk ke medulla spinalis dan mungkin membentuk komponen aferen lengkung refleks lokal. Serabut yang lain berjalan ke atas sampai ke pusat otonom yang lebih tinggi di dalam otak. 9

B.2. Bagian parasimpatis sistem otonomAktivitas bagian parasimpatsis sistem otonom bertujuan untuk menyimpan dan memulihkan tenaga. Laju denyut jantung melambat, pupil berkonstriksi, gerakan peristaltik dan aktivitas kelenjar keringat meningkat, otot-otot sphincter membuka, serta dinding kandung kemih berkontraksi.9a. Serabut saraf eferenKonektor pada bagian parasimatis susunan saraf otonom terletak di dalam batang otak dan segmen sakralis medulla spinalis. Sel-sel penghubung di dalam batang otak ini membentuk sebagian nuclei yang merupakan asal dari saraf otak III, VII, IX, dan X, dan axonnya bagian-bagian otak yang mengandung saraf kranial yang sesuai. 9 Sel-sel penghubung sacral didapatkan pada substansi grisea segmen sacralis kedua, ketiga dan keempat medula spinalis. Sel-sel ini tidak cukup banyak untuk membentuk cornu lateral substansia grisea seperti sel-sel penghubung pada daerah thoracolumbal. Axon bermielin meninggalkan medulla spinalis di dalam radix anterior saraf spinalis yang sesuai, kemudian meninggalkan nervus sacralis, dan membentuk nervus splanchnicus pelvicus. 9Semua serabut eferen yang telah dijelaskan adalah serabut preganglionik, yang bersinaps dengan sel eksitator di dalam ganglia perifer, yang biasanya terletak dekat dengan visera yang dipersarafi. Serabut preganglionik kranial bersinaps di ganglion ciliare, pterygopalatinum, submandibulare, dan oticum. Serabut preganglionik di dalam nervus splanchnicus pelvicus berhenti pada ganglia yang terdapat plexus hypogastricus atau dinding visera. Yang khas, serabut postganglionik tidak bermielin dan relatif pendek bila dibandingkan dengan serabut post ganglionik simpatis. 9

Gambar 3. Sistem saraf otonom10b. Serabut saraf aferenSerabut serabut aferen bermielin berjalan dari visera ke badan selnya yang terletak didalam ganglion sensorium nervi cranialis atau ganglion sensorium nervi sacrales. Axon sentralnya kemudian masuk ke susunan saraf pusat dan ikut berperan dalam pembentukan lengkung refleks lokal atau berjalan ke pusat susunan saraf otonom yang lebih tinggi. Komponen aferen susunan saraf otonom identik dengan komponen aferen susunan saraf somatik, dan membentuk sebagian segmen aferen umum di seluruh sistem saraf. Ujung-ujung saraf komponen aferen otonom tidak dapat diaktifkan oleh sensasi seperti panas atau raba, tetapi diaktifkan oleh regangan atau kekurangan oksigen. Setelah serabut aferen masuk ke dalam medula spinalis atau otak, serabut-serabut tersebut berjalan bersama-sama atau bercampur dengan serabut aferen somatik.9

C. TRAUMA MEDULLA SPINALISCedera medulla spinalis adalah suatu kerusakan pada medulla spinalis akibat trauma atau non trauma yang akan menimbulkan gangguan pada sistem motorik, sistem sensorik dan vegetatif. Kelainan motorik yang timbul berupa kelumpuhan atau gangguan gerak dan fungsi otot-otot, gangguan sensorik berupa hilangnya sensasi pada area tertentu sesuai dengan area yang dipersyarafi oleh level vertebra yang terkena, serta gangguan sistem vegetatif berupa gangguan pada fungsi bladder, bowel dan juga adanya gangguan fungsi sexual.6,11Tabel 1. Klasifikasi menurut American Spinal Injury Association:12Grade AHilangnya seluruh fungsi morotik dan sensorik dibawah tingkat lesi

Grade BHilangnya seluruh fungsi motorik dan sebagian fungsi sensorik di bawah tingkat lesi.

Grade CFungsi motorik intak tetapi dengan kekuatan di bawah 3.

Grade DFungsi motorik intak dengan kekuatan motorik di atas atau sama dengan 3.

Grade EFungsi motorik dan sensorik normal.

Sedangkan lesi pada medula spinalis menurut ASIA resived 2000, terbagi atas : 13a. Paraplegi : Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan sensorik karena kerusakan pada segment thoraco-lumbo-sacral.b. Quadriplegi : Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan sensorik karena kerusakan pada segment cervikal.

Gambar 4. Level kerusakan medulla spinalis dan daeran yang mengalami paralisis13Spesifik Level131. C1 C2 : Quadriplegia, kemampuan bernafas (-).2. C3 C4 : Quadriplegia, fungsi N. Phrenicus (-), kemampuan bernafas hilang.3. C5 C6 : Quadriplegia, hanya ada gerak kasar lengan.4. C6 C7 : Quadriplegia, gerak biceps (+), gerak triceps (-).5. C7 C8 : Quadriplegia, gerak triceps (+), gerak intrinsic lengan (-).6. Th1 L1-2 : Paraplegia, fungsi lengan (+), gerak intercostalis tertentu (-), fungsi tungkai (-), fungsi seksual (-).Di bawah L2: Termasuk LMN, fungsi sensorik (-), bladder & bowel (-), fungsi seksual tergantung radiks yang rusak.

D. TRAUMA CERVICALD.1. DefinisiTrauma servikal adalah cedera pada tulang belakang yang mengenai servikal akibat trauma sehingga menyebabkan kerusakan fungsi neurologis seperti fungsi motorik dan sensorik.14D.2. EtiologiCedera servikal paling sering disebabkan oleh benturan kuat, kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian atau trauma pukulan di kepala. Atlet yang terlibat dalam olahraga impact, atau berpartisipasi dalam olahraga memiliki resiko jatuh akibat benturan di leher (ski, menyelam, sepak bola, bersepeda) terkait dengan cedera servikal. 15

Gambar 5. Penyebab cedera servikalD.3 EpidemiologiDiperkirakan bahwa di Amerika Utara sekitar 14.000 cedera tulang belakang terjadi setiap tahun. Kecelakaan merupakan penyebab kematian terbanyak ke-4 di Amerika Serikat, setelah penyakit jantung, kanker, dan stroke, dengan jumlah kematian 50 kasus per 100.000 populasi setiap tahunnya. Cedera medula spinalis, cenderung terjadi pada populasi laki-laki usia muda. Dengan perbandingan 3-20 kali lebih sering dibanding pada perempuan. 12D.4 KlasifikasiMeskipun ada banyak klasifikasi dari cedera tulang belakang servikal akut, mekanisme seharusnya cedera merupakan dasar yang paling umum untuk klasifikasi tersebut. sebuah klasifikasi cedera dari servikal tulang belakang disajikan dalam tabel 1 :

Tabel 2. Klasifikasi trauma servikal16KlasifikasiNarrowing sagittal diameter of spinal canal

Distractive hyperflexiona. hyperflexion sprainb. unilateral facet interlockingc. bilateral facet interlockingCompressive hyperflexiona. hyperflexion fracture dislocationb. tear-drop fractureDistractive hyperextensiona. hyperextension dislocation- hyperextesion sprainCompressive hyperextensionb. hyperextension fracture dislocationAxial compressiona. wedge-like fracture of vertebral bodyb. burst fracture

nonemoderateusually severe

usually severeoften severe

commontemporary, sometimes severe

commonly not

nonevarying, usually severe

Klasifikasi lainnya juga dapat digunakan untuk mengklasifikasikan trauma spinal :161. Kompresi: fraktur corpus vertebrae, herniasi diskus, hematoma epidural, adanya perpindahan dinding posterior corpus vertebrae. 2. Fraktur fleksi: robeknya ligamen interspinosum, kekacauan ligamen kapsular di sekitar facet joints, fraktur elemen posterior, kekacauan ligamen posterior, dan biasany fraktur unstable. 3. Fraktur ekstensi: robeknya ligamen longitudonal anterior, pemisahan korpus vertebrae, ruptur diskus, avulsi badan vertebra atas dari diskus.4. Fraktur rotasi: terkait dengan dislokasi facet unilateral.

Gambar 6. Klasifikasi cedera cervicalD.5 Manifestasi KlinisLesi saraf spinal dapat dibedakan menjadi lesi lengkap dan berbagai jenis lesi tidak lengkap :a. Lesi KomplitPada tahap akut lesi lengkap ada total kelumpuhan flasid dengan kehilangan total refleks tendon dan kepekaan di bawah tingkat cedera. Refleks kremaster, sfingter ani, dan bulbokavernosus dapat bertahan selama beberapa waktu setelah cedera dan kemudian menghilang. Respon plantar fleksi yang sering tidak ada atau bentuk flexorvariant dengan interval berkepanjangan antara stimulus dan respon atau, mungkin bertahan selama beberapa jam setelah cedera atau muncul kembali setelah 1 hari atau lebih biasanya hanya menghilang lagi dan memberi jalan kepada plantar ekstensor respon.16Cl ke C4. Dengan lesi spinal di CI ke tingkat C4, diafragma lumpuh sebagai akibat dari gangguan dari persarafan segmental saraf frenikus. Karena semua otot pernafasan bawah lintang yang juga lumpuh, lesi pada tingkat ini akan menyebabkan kematian dalam waktu singkat kecuali nafas buatan diterapkan dengan segera. 16Di bawah C4. Pada tahap akut cedera bawah C4, fungsi tingkat diafragma biasanya terganggu, tapi dapat pulih. Lengan pasien lumpuh dan bahu yang digerakkan oleh aksi dari otot levator skapula dan otot trapezius. Leher dan daerah aspek anterior lengan atas sensasi normal. seluruh tubuh memiliki gangguan sensibilitas complet. 16Di bawah C5. Pasien dengan lesi di bawah C5 mungkin juga perlu pernapasan buatan. Ketika cedera tindakan seperti bahu ditinggikan, lengan diculik, dan lengan tertekuk Perlu dilakukan karena tindakan tanpa hambatan dari deltoid, bisep, dan otot brakialis. Kontraktur siku dengan mudah dapat terjadi, dan dengan demikian lengan harus disimpan dalam posisi ekstensi dan tangan di abudction. 16Di bawah C6. Dengan cedera bawah C6 biasanya fungsi pernafasan cukup untuk bernapas spontan, trakeostomi dan ventilasi buatan jarang ditunjukkan. Tangan menunjukkan penyimpangan radial karena aksi otot ekstensor karpi radialis tetapi lumpuh. 16Di bawah C7. Tangan dan jari ekstensor dan fiexors fungsional dalam kasus cedera bawah C7 vertebra, tapi interosei dan Sorne melawan otot adalah berkurang sekali kekuatannya. Hal ini biasanya menghasilkan tangan cakar. Sebagian besar pasien mampu menulis, untuk makan sendiri, untuk mengetik setelah pelatihan yang memadai, untuk duduk di kursi roda dengan keseimbangan yang baik, dan dapat bahkan mengambil kegiatan atletik kursi roda. 16b. Lesi InkomplitAda berbagai jenis lesi servikal inkomplit. Beberapa sindrom klinis tampak saling terkait dan ekstensi satu sama lain. Hal tersebut bukanlah seatu mekanisme yang berbeda, namun merupakan perkembangan terus meningkat tergantung keparahan cedera. Root syndrome adalah penampakan klinis yang paling serius. Tabel 3. Sindrom cedera medulla spinalis menurut ASIA, yaitu :13Nama SindromaPola dari lesi sarafKerusakan

Central cord syndromeCedera pada posisi sentral dan sebagian pada daerah lateral.Dapat sering terjadi pada daerah servikalMenyebar ke daerah sacral. Kelemahan otot ekstremitas atas dan ekstremitas bawah jarang terjadi pada ekstremitas bawah

Brown- Sequard SyndromeAnterior dan posterior hemisection dari medulla spinalis atau cedera akan menghasilkan medulla spinalis unilateralKehilangan proprioseptif ipsilateral dan kehilangan fungsi motorik.

Anterior cord syndromeKerusakan pada anterior dari daerah putih dan abu-abu medulla spinalisKehilangan funsgsi motorik dan sensorik secara komplit.

Posterior cord syndromeKerusakan pada anterior dari daerah putih dan abu-abu medulla spinalisKerusakan diskriminasi proprioseptif dan getaran. Funsgis motor juga terganggu

Cauda equine syndromeKerusakan pada saraf lumbal atau sakral samapi ujung medulla spinalisKerusakan sensori dan lumpuh flasid pada ekstremitas bawah dan kontrol berkemih dan defekasi.

D.6. PatofisiologiCedera dari tulang belakang leher dapat disebabkan Oleh kekuatan langsung atau tidak langsung. Kekuatan langsung, seperti dari objek yang memukul jatuh leher relatif jarang. Mereka bertindak secara langsung pada vertebra. Biasanya, hasilnya adalah fraktur dari Prosesus spinosus atau lengkungan tulang belakang. Lesi yang dihasilkan dari kekuatan tidak langsung disebabkan oleh pergerakan tulang belakang yang melampaui jangkauan fisiologis. Hyper (Ante) fleksi hasil kompresi dari tulang belakang tubuh atau dictraction discus elemen posterior. Hiperekstensi (kadang-kadang diindikasikan sebagai hyperretroflexion atau hyperdeflexion) menghasilkan fraktur kompresi keras dan merobek dari longitudinal ligament anterior. Hiperfleksi lateral dan hyperrotation juga memainkan bagian dalam cedera tulang belakang servikal. Kombinasi dari gerakan berlebihan bisa terjadi ,seperti hiperfleksi dan kompresi aksial atau gangguan aksial yang bertindak untuk melukai servikal tulang belakang. Kombinasi ini menentukan jenis cedera untuk tulang belakang leher.15Medula spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut: 151. Kompresi oleh tulang, ligamen, herniasi diskus intervertebralis, dan hematoma. Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi ke posterior dan trauma hiperekstensi.2. Regangan jaringan berlebihan, biasanya terjadi pada hiperfl eksi. Toleransi medula spinalis terhadap regangan akan menurun dengan bertambahnya usia.3. Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma mengganggu aliran darah kapiler dan vena.4. Gangguan sirkulasi atau sistem arteri spinalis anterior dan posterior akibat kompresi tulang.

a. Kerusakan PrimerAda setidaknya 4 mekanisme penyebab kerusakan primer: (1) gaya impact dan kompresi persisten, (2) gaya impact tanpa kompresi, (3) tarikan medula spinalis, (4) laserasi dan medula spinalis terpotong akibat trauma. Sel neuron akan rusak dan kekacauan proses intraseluler akan turut berdampak pada selubung mielin di dekatnya sehingga menipis; transmisi saraf terganggu, baik efek trauma ataupun oleh efek massa akibat pembengkakan daerah sekitar luka. Kerusakan substansia grisea akan ireversibel pada satu jam pertama setelah trauma, sementara substansia alba akan mengalami kerusakan pada 72 jam setelah trauma.15

Gambar 7. Mekanisme cedera primer saraf servikal 15

b. Kerusakan SekunderKerusakan primer merupakan sebuah nidus atau titik awal terjadinya kerusakan sekunder. Kerusakan sekunder disebabkan, antara lain, oleh syok neurogenik, proses vaskular, seperti perdarahan dan iskemia, eksitotoksisitas, lesi sekunder yang dimediasi kalsium, gangguan elektrolit, kerusakan karena proses imunologi, apoptosis, gangguan pada mitokondria, dan proses lain. 15

Gambar 8. Mekanisme cedera sekunder saraf servikal 15

D.7 Diagnosisa. AnamnesisRiwayat trauma merupakan hal yang perlu diketahui. Trauma meliputi posisi, waktu, yang terjadi setelah trauma dan keluhan yang dirasakan pasien.12b. Pemeriksaan FisikAdanya defisit neurologis merupakan tanda adanya gangguan pada spinal. 12 c. Foto PolosFoto polos merupakan imejing dasar pada pasien yang dicurigai menderita cedera servikal. Indikasi dilakukannya foto polos servikal antara lain adalah nyeri lokal, deformitas, krepitus, edema, perubahan status mental, disfungsi neurologis, cedera kepala dan multipel trauma. Serial foto servikal lengkap terdiri dari foto lateral, anteroposterior, open mouth view, dan oblique film. Pillar view, swimmers view, dan studi dinamik merupakan foto tambahan yang perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan evaluasi yang penuh dari cedera. 12

Gambar 9. Hubungan normal dari servikal lateral. 1. prosesus spinosus; 2. spinolaminar line; 3. posterior vertebral body line; 4. anterior vertebral body line. 12

Gambar 10. Foto cervical lateral. 1. Anterior vertebral line; 2. Posterior vertebral line; 3. Spinolaminal line; 4. Interspinous line. 12Foto lateral digunakan untuk menilai allignment tulang servikal, kelainan tulang, kelainan diskus intervertebralis, dan jaringan lunak. Temuan seperti swelling prevertebra dapat menjadi temuan satu-satunya pada pasien cedera akut. Foto anteroposterior, walaupun berguna untuk evaluasi lima vertebra servikal bagian bawah dan vertebra torakal atas; memiliki keterbatasan karena bayangan yang bertumpang tindih dengan mandibula dan occiput.15c. CT-ScanPada saat ini CT scan merupakan metode pilihan untuk melakukan evaluasi trauma spinal akut. Dengan CT scan, tulang vertebra dapat divisualisasikan dengan sangat baik, pecahan tulang kecil yang masuk ke kanalis spinalis dapat dinilai dengan baik. Hal ini sangat berguna pada evaluasi fraktur C1-2 oleh karena subtipe fraktur sangat sulit dilakukan dengan menggunakan foto polos saja. 12d. AngiografiDengan perkembangan teknik CT angiography (CTA) dan MR angiography (MRA), visualisasi sttuktur vaskular kini dapat dinilai dengan lebih baik dan semakin non invasi dibandingkan dengan angiografi tradisional. MRA direkomendasikan oleh beberapa penulis, tetapi teknik ini memiliki kelemahan dalam mendeteksi spasme dan pecahan tulang kecil. 12D.8. TatalaksanaSetelah dipastikan airway, breathing dan circulation (ABC) penderita aman, dilakukan imobilisasi untuk mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah atau cedera sekunder, yaitu dengan dilakukannya imobilisasi di tempat kejadian dengan memanfaatkan alas yang keras. Pada CMS servikal dilakukan pemasangan cervical collar. Setelah semua langkah tersebut di atas dipenuhi, barulah dilakukan pemeriksaan fisik dan neurologik yang lebih cermat. Pemeriksaan penunjang radiologi juga dapat dilakukan. 17Tindakan pembedahan merupakan penatalaksanaan utama yang ditujukan untuk stabilisasi patah tulangnya untuk memudahkan perawatan atau untuk dapat dilakukan mobilisasi dini. Pembedahan juga dilakukan dengan tujuan dekompresi yaitu melakukan reposisi untuk menghilangkan penyebab yang menekan medula spinalis, dengan harapan dapat mengembalikan fungsi medula spinalis yang terganggu akibat penekanan tersebut. Dekompresi paling baik dilaksanakan dalam waktu enam jam pascatrauma untuk mencegah kerusakan medula spinalis yang permanen. Tidak boleh dilakukan dekompresi dengan cara laminektomi, karena akan menambah instabilitas tulang belakang. 17Mobilisasi dini merupakan syarat penting sehingga penyulit yang timbul pada kelumpuhan akibat cedera tulang belakang seperti infeksi saluran nafas, infeksi saluran kencing atau dekubitus dapat dicegah. 17 D.9. KomplikasiBeberapa komplikasi yang dapat terjadi pada trauma servikal:16a. Syok neuogenik Syok neurogenik merupakan hasil dari kerusakan jalur simpatik yang desending pada medulla spinalis.b. Syok spinal Syok spinal adalah keadaan flasid dan hilangnya refleks, terlihat setelah terjadinya cedera medulla spinalis. c. Hipoventilasi Hal ini disebabkan karena paralisis otot interkostal yang merupakan hasil dari cedera yang mengenai medulla spinalis bagian di daerah srvikal bawah atau torakal atas. d. Hiperfleksia autonomikDikarakteristikkan oleh sakit kepala berdenyut, keringat banyak, kongesti nasal, bradikardi dan hipertensi.E. SYOK NEUROGENIK E.1. DefinisiSyok neurogenik dideskripsikan sebagai kehilangan mendadak dari tonus autonom karena cedera dari medua spinalis. Gangguan jalur descendens simpatis mengakibatkan hilangnya tonus vagal pada otot polos vaskular, yang menyebabkan penurunan resistensi pembuluh darah sistemik dan vasodilatasi.18 E.2. EpidemiologiHilangnya tonus simpatis, sehingga shock neurogenik, yang paling umum ketika tingkat cedera di atas T6. Selain itu, syok neurogenik dapat terjadi kapan saja setelah timbulnya cedera atau sakit, mulai dari waktu pertama muncul sampai beberapa minggu setelah onset. Tidak ada penelitian pada manusia mendokumentasikan perubahan hemodinamik yang terjadi setelah SCI akut pada anak-anak, dan kejadian syok neurogenik pada anak dengan SCI tidak diketahui. Namun, laporan menunjukkan di mana saja 50-90% orang dewasa dengan SCI serviks memerlukan resusitasi cairan dan infus vasoaktif untuk mencapai parameter dewasa yang direkomendasikan (MAP> 85-90 mm Hg selama 7 hari) oleh Kongres pedoman Ahli Bedah Neurologi 'untuk pengelolaan SCI. Orang dewasa dengan SCI lebih tinggi (C1-C5) mungkin lebih mungkin untuk memerlukan intervensi kardiovaskular, seperti agen vasoaktif atau pacu jantung, daripada SCI rendah (C6-C7). 18E.3. PatofisiologiSistem saraf simpatis mengatur denyut jantung dan kontriksi pembuluh darah dengan mensekresikan catecolamine (epinefrin dan norepinefrin) ke dalam pembuluh darah. Ketokolamin ini, dibawah kondisi normal, mempertahankan pembuluh darah berkontriksi sebagian untuk perfusi yang adekuat. Ketika tekanan arteri rendah, baroreseptor yang terletak di sinus carotis dan arkus aorta, mengirim pesan ke otak melalui sistem saraf. Otak kemudian mengirim pesan melalui sistem saraf simpatis ke medula adrenal, menyebabkan peningkatan produksi ketokolamin. 19Pada syok neurogenik, fungsi normal sistem saraf simpatis terganggu, respon kompensasi normal tubuh terhadap syok tidak terjadi. Cedera medula spinalis menyebabkan dilatasi pembuluh darah yang disuplai oleh nervus spinalis distal dari cedera, menghasilkan penurunan resistensi vaskular sistemik, hipotensi dan hilangnya kontrol suhu tubuh. 19Pada syok ini terjadi vasovagal berlebihan yang menyebabkan vasodilatasi menyeluruh di regio splanknikus sehingga perdarahan otak berkurang. Reaksi vasovagal umumnya disebabkan oleh suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut atau nyeri. Syok neurogenik pada trauma terjadi karena hilangnya tonus simpatis, misalnya pada cedera tulang belakang atau yang sangat jarang, cedera pada batang otak. Hipotensi pada pasien dengan cedera tulang belakang disertai dengan pasokan oksigen yang cukup karena curah jantung tinggi meskipun tekanan darahnya rendah. 14Syok neurogenik akibat dari cedera sumsum tulang belakang mengakibatkan gangguan aliran otonom simpatik. Konsekuensi dari penurunan tonus adrenergik adalah ketidakmampuan untuk meningkatkan kerja inotropik jantung dan konstriksi lemah dari pembuluh darah perifer dalam menanggapi rangsangan excitational. Hilangnya tonus vagal menghasilkan hipotensi dan bradikardi. Akibat dari vasodilatasi perifer kulit menjadi hangat. Hipotermia dapat terjadi akibat tidak adanya regulasi otonom vasocontriction redistribusi darah ke inti tubuh. Semakin tinggi tingkat cedera tulang, semakin berat shock neurogenik, karena lebih banyak massa tubuh yang terputus dari pengaturan simpatik. Syok neurogenik biasanya tidak terjadi jika cedera di bawah tingkat T6.20E.4. Manifestasi KlinikTidak ada tes diagnostik yang pasti, tetapi secara klasik pasien menunjukkan hipotensi dan bradikardia relatif. Bradikardia sering diperburuk oleh suction, buang air besar, dan hipoksia. Kulit sering hangat dan memerah pada awalnya. Hipotermia dapat berkembang karena vasodilatasi mendalam dan kehilangan panas. Seringkali tekanan vena sentral rendah karena penurunan resistensi vaskular sistemik. 18Karena syok neurogenik memblok kerja dari sistem saraf simpatis, ketokolamin tidak dibebaskan ke pembuluh darah. Sehingga tanda klasik dari syok (seperti takikardi, diaporesis) muncul. Vasodilatasi menyebabkan kulit menjadi merah, hangat dan kering pada tingkat dibawah cedera spinal. Bagaimanapun, bagian proksimal dari cidera, serat saraf simpatis didaerah tersebut tetap utuh. Denyut jantung lemah dan menurun, disebabkan oleh menurunnya epinefrin disirkulasi dan selanjutnya efek sistem parasimpatis. Pasien dengan syok neurogenik mempunyai laju pernafasan yang meningkat, jika cedera pada kolumna spinalis terjadi pada regio servikal, paralisis dari diafragma, musculus intercostal, mungkin terjadi.19E.5. TatalaksanaPenurunan resistensi pembuluh darah sistemik, menghasilkan suatu hipovolemia relatif karena peningkatan kapasitas vena, dan pemberian cairan isotonik sering diperlukan. Namun, hipotensi karena syok neurogenik sering refrakter terhadap resusitasi cairan. Namun demikian, hipotensi pada pasien trauma tidak dapat diasumsikan karena syok neurogenik awalnya, dan bisa menjadi tanda syok hemoragik. Dengan demikian, korban trauma dengan hipotensi harus diperlakukan awalnya dengan cairan kristaloid (0,9% natrium klorida, laktat ringer) atau koloid (albumin, produk darah) dan dievaluasi untuk setiap kehilangan darah yang sedang berlangsung. Pasien harus diresusitasi memadai dari perspektif hemodinamik sebelum menjalani operasi dekompresi tulang belakang. 18Jika terdapat bradikardia, pasien mungkin berespon dengan atropin, glikopirolat, atau infus vasoaktif dengan chronotropic, vasokonstriktor, dan inotropik lainnya sepertidopamin atau norepinefrin. Isoproterenol juga dapat dipertimbangkan jika agen chronotropic kuat diperlukan. Fenilefrin berpotensi menyebabkan refleks bradikardia, tidak adanya aktivitas beta agonis, dan harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan bradikardia yang muncul sebagai bagian dari shock neurogenik. 18E.6. PrognosisPasien dengan cedera medula spinalis servikal lebih cenderung untuk mengalami syok neurogenik. Pasien dengan cedera medula spinalis torakolumbal umumnya tidak mengalami syok neurogenik. Kehadiran syok neurogenik telah terbukti menyebabkan keterlambatan dalam manajemen operasi, yang berpotensi memperburuk hasil juga. Meskipun dianjurkan untuk menghindari dan mengobati hipotensi agresif, tidak diketahui apakah hipotensi memperburuk hasil. 18Syok neurogenik dapat bertahan selama 1-6 minggu setelah cedera. Dysreflexia otonom, tekanan darah istirahat rendah, dan hipotensi ortostatik yang tidak biasa selama fase kronis, sering muncul setelah syok neurogenik telah teratasi. Ketidakstabilan otonom sering dimanifestasikan oleh hipertensi episodik, diaphoresis, dan takikardia. 18Kesimpulannya, cedera tulang belakang terlepas dari mekanismenya dapat menyebabkan syok neurogenik ditandai dengan kehilangan mendadak tonus otonom yang mengakibatkan hipotensi dan bradikardia relatif. Lesi yang lebih tinggi dikaitkan dengan defisit yang lebih parah. Vasokonstriktor perifer, chronotropik, dan inotropik mungkin diperlukan dalam kasus-kasus syok neurogenik. 18Hipotensi yang dihasilkan dari hilangnya tonus otonom dapat memicu cedera iskemik sekunder lanjut ke sumsum tulang belakang, dan harus dikelola secara agresif. Dysautonomia mungkin berkembang dan sering berlanjut beberapa minggu setelah cedera. Setiap pasien yang datang dengan kemungkinan cedera medula spinalis seharusnya tulang belakang mereka diimobilisasi untuk mencegah cedera lebih lanjut atau kompresi pada saraf tulang belakang. 18

2